Вы находитесь на странице: 1из 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Demam Tifoid


2.1.1 Definisi Demam Tifoid
Demam tifoid adalah suatau penyakit infeksi sistemik bersifat akut
yang disebabkan oleh bakteri salmonella thypi penyakit ditandai dengan
panas berkepanjangan, ditambah dengan bakterimia tapa keterlibatan struktur
endothelial atau endokordial dan infeksi bakteri sekaligus multiplikasi
kedalam sel fagosit monokuler dari hati, limfa dan usus (Soedarmo dkk,
2002). Demam tifoid termasuk penyakit menular yang tercamtum dalam
undang-undang nomor 6 tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit
menular ini merupakan penyakit menular dan dapat menyerang banyak orang
sehinga dapat menimbulkan wabah (Sudoyo, 2007).
2.1.2 Epidemologi Demam Tifoid
Demam tifoid terdapat diseluruh dunia dengan angka kejadian sekitar
15 juta kasus dan 600.000 angka kematian setiap tahun. Penyebaranyan
sebgai penyakit menular tidak selalu bergantung pada iklim, tetapi lebih
banyak dijumpai di negara-negara berkembang dan dengan daerah iklim
tropis. Di Indonesia penyakit ini dapat ditemukan sepanjang tahun dengan
angka kejadian 900.000 kasus per tahun dengan 20.000 kematian (Anonim,
2003).
Makanan atau air yang terkontamidasi salmonella thypi melalui karier
asimtomatik merupakan penyebab utama demam tifoid orang yang menjadi
karier mengekskresi 109 sampai 1011 kuman per gram tinja. Didaerah endemic
transmisi terjadi melalui air yang tercemar. Makan yang tercemar oleh karier
merupakan sumber penularan yang paling sering didaerah nonendemik
(Juwono, 2004).
Setiap yang ketularan salmonella thypi, mengekrersi kuman tersebut
melalui fases dan urin selama beberapa waktu. Terbabnya pasien demam
tfioid masi mengekskresi salmonella thypi lebih dari satu tahun karier

5
biasanya terdapat pada ,manusia menengah, lebih sering pada wanita
dibandingkan pada pria (Juwono, 2004).
2.1.3 Patogenesis Dan Patologi
tifoid disebabkan oleh kuman salmonella thypi atau salmonellah para
thypi. Penularan ke manusia melalui makanan dan minuman yang tercermar
dengan fases manusia. Setelah melewati lambung kuman mencapai usus
halus dan invasi ke jaringan limofoid (plak-plak peyer) yang merupakan
tempat predipeleksi untuk berkembang biak. Memalaui saluran limfe
mesenteric kuman masuk aliran darah sistemik (bakterima) dan mencapai sel-
sel retikulo endothelial dari hati dan limpa. Fases ini diangap masa inkubasi
(7-14 hari). Kemudian dari jaringan ini kuman dilepas dari ke sirkulasi
sistemik (bakterimia II) melalui ductus torasikus dan mencapai organ-organ
tubuh terutama limpah, usus halus dan kandungan empedu (Kepmenkes RI,
2006).
Kuman salmonella menghasilkan endotosin yang merupakan komplkes
lipopolissakarida dan diangap berperaan penting pada patogeneis dalam
demam tifoid. Endotoksin bersifat pirogenetik serta memperbesar reaksi
peradangan dimana kuman salonellah berkembang biak. Disamping itu
merupakan stimulator yang kuat utnutk memproduksi sitokin oleh sel-sel
makrofag dan sel lekositdi jaringan yang meradang. Sitokin ini merupakan
media termediator untuk timbulnya demam dan gejlah toksemia
(proiflamatory). Oleh karena basil salmonella bersifat intraseluler maka
hampir semua bagian tubuh dapat terserang dan kadang-kadang pada jaringan
yang terinvasi dapat timbul fokal-fokal infeksi (Kepmenkes RI, 2006).
Kelainan patologis yang utama terdapat diusus halus terutama di eleum
bagian distal dimana terdapat kelenjar plak payer. Pada minggu pertama, plak
payer terjadi hiperpelasia berlanjut menjadi nekrosis pada minggu kedua dan
ulserasis pada minggu ketiga. Akhirnya berbentuk ulkus, ulkus ini mudah
menimbulkan perdarahan dan perforasi yang merupakan komplikasi yang
berbahaya. Hati membesar karena infilrasi sel-sel limfosit dan sel
mononukuler lainnya pada nekrosis fokal. Demikian juga proses ini terjadi

6
pada jaringan rettikuloendoteliat lain seperti limpa dan kelenjar masentrika .
kelainan –kelainan patologis yang sama juga dapat ditemukan pada organ
tubuh lain seperti tulang, usus, paru, ginjal, jantung dan peradangan otak.
Pada pemeriksaan klinis , sering ditemukan proses radang dan abses-abses
pada banyak organ, sehinga dapat ditemukan brongkitis , artritis septik,
pielonefritis, manengitis dll. Kandungan empedu merupakan tempat yang
disenangi basil salmonella. Bila penyembuhan tidak sempurna , basil tetap
tahan dalam kandungan empedu ini, mengalir kedalam usus, sehingga
menjadi karier intestinal (Kepmenkes RI, 2006).
Demikian juga ginjal dapat mengandung basil dalam waktu lama
sehingga juga menjadi karier (Urinary carrier). Adapun tempat-tempat yang
menyimpan basil ini, memungkinkan penderita mengalami kekambuhan
(Kepmenkes RI, 2006).
2.1.4 Gejala Klinis Demam Tifoid
Kumpulan gejalah tifoid disebut juga dengan sindrom demam tifoid.
Beberapa gejala klinis yang sering pada tifoid diantaranya adalah :
1. Demam
Demam atau panas atau gejalah utama tifoid. Pada awal sakit,
demamnya kebanyakan samar-samar saja , selanjutnya suhu tubuh sering
turun naik. Pagi lebih rendah atau normal, sore dan malam lebih tinggi
(demam intermitten). Dari hari kehari intensitas demam makin tinggi yang
disertai banyak gejalah lain seperti sakit kepala (pusing-pusing) yang
dirasakan diarea frontal, nyeri otot, pegal-pegal, insomnia, anoreksia, mual
dan muntah. Pada mingu kedua intensitas demam makin tinggi, kadang-
kadang terus menerus (Demam kontiyu). Bila pasien membaik maka pada
minggu ke 3 suhu badan berangsur turun kdan dapat normal kembali pada
akhir minggu ke 3. Perlu diperhatikan terhadap laporan, bahwa demam yang
khas tifoid tersebut tidak selalu ada . tipe demam terjadi tidak beraturan. hal
ini mungkin karena intervensi pengobatan atau komplikasi yang dapat terjadi
lebih awal, pada anak khususnya balita (Kepmenkes RI, 2006).

7
2. Ganguan Saluran Pencernaan
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama
bibir kering dan kadang-kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dan
ditutupi selaput puti. Ujung tepih lidah kemerahan dan tremor dan pada
penderita anak jarang ditemukan. Pada umumnya penderita sering mengeluh
nyeri perut, terutama region epigastric (nyeri ulu hati) disertai nausea, mual
dan muntah. Pada awal sakit sering meterismus dan konstipasi. Pada minggu
selanjutnya kadang-kadang timbul diare (Kepmenkes RI, 2006).
3. Ganguan Kesadaran
Umumnya terdapat ganguan kesadaran yang kebanyakan berupa
penurunan kesadaran ringan, sering didapatkan kesadaran apatis dengan
kesadaran seperti berkabut (tifoid). Bila klinis berat, tak jarang penderita
sampai somnolen dan koma atau dengan gejalah –gejala psychosis (organic
brain syndrome) pada penderita dengan toksik, gejala delinum lebih
menonjol (Kepmenkes RI, 2006).
4. Bradikardi Relative dan Gejalah lain
Bradikardi relatif tidak sering ditemukan, mungkin karenan teknis
pemeriksaan yang sulit dilakukan. Bradikardi relative adalah peningkatan
suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti
frekuensin nadi. Patokan yang sering dipakai adalah bahwa setiap
peningkatan frekuensi nadi 8 suhu 0C tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi
8 denyut dalam 1 menit. Gejalah-gejala lain yang dapat ditemukan pada
demam tifoid adalah rose spot yang biasanya ditemukan diregio abdomen
atas, serta sudamina serta gejala klinis yang berhubungan dengan komplikasi
yang terjadi. Rose spot pada anak sangat jarang ditemukan malahan lebih
sering epitakis (Kepmenkes RI, 2006).
2.1.5 Komplikasi Tifoid
1. Pendarahan dan Perforasi Intestinal
Pendarahan dan perforasi terjadi pada minggu kedua demam atau
setalah itu. Pendarahan dengan gejala berat berdarah (Hematoskhezia) atau
dideteksi dengan tes penderahan tersembunyi. Perporasi estensial ini ditandai

8
dengan abdomen akut, tegang dan nyeri tekan yang oaling nyata dikuadran
kanan bawah abdomen. Suhu tubuh tibah-tibah menurun dengan peningkatan
frekuensi nadi dan berakhir syok. Pada pemeriksaan perut didapatkan tanda-
tanda ileus, bising usus melemah dan pekak hati menghilang, perforasi dapat
dipastikan dengan pemeriksaan foto polos abdomen 3 posisi. Intenstial adalah
komplikasi tifoid yang serius karena sering menimbulkan kematian
(Kepmenkes RI, 2006).
2. Peritonitas
Peritonitas biasanya menyertai perforasi usus, tetapi dapat terjadi tampa
perforasi. Ditemukan gejala-gejala abdomen akut yakni nyeri hebat, kambung
serta nyeri pada penekanan, nyeri lepas lebih khas untuk pritonitas
(Kepmenkes RI, 2006).
3. Hepatitis Tifosa
Demam tifoid yang disertai gejala-gejala icterus hepatogali dan
kelainan tes fungsi hati dimana didapatkan peningkatan SGPT, SGOT dan
bilirubin darah. Pada histopagoli hati didapatkan nodul tifoid dan hiperplasi
sel-sel kuffer (Kepmenkes RI, 2006).
4. Pangkreatitis Tifosa
Merupakan komplikasi yang jarang terjadi, gejala-gejalanya adalah
sama dengan gejala pangkreatitis penderita nyeri perut hebat yang disertai
mual dan muntah warna kehijawan, meterismus dan bising usu menurun.
Enzim amilase dan lipase meningkat (Kepmenkes RI, 2006).
5. Pneumonia
Dapat disebabkan oleh basil salmonellahatau koinfeksi dengan mikroba
lain yang sering menyebabkan pneumonia. Pada pemeriksaan didapatkan
gejala-gejala klinis pneumonia serta gambaran khas pneumonia pada foto
polos toraks (Kepmenkes RI, 2006).
6. Komplikasi Lain
Komplikasi lain dapat disebabkan karena basil salmonella bersifat infra
makrofag dan dapat beredar keseluruhan bagian tubuh, maka dapat mengenai
banyak organ yang menimbulkan infeksi yang bersifat fokal di antaranya,

9
osteoritis, artritis, miokarditis, pericarditis, endocarditis, pielonefritis,
orkhitis, serta peradangan ditempat-tempat lain (Kepmenkes RI, 2006).
2.1.6 Basil Penularan Dan Faktor-Faktor Yang Berperan
Basil salmonella menular kemanusia melalui makanan dan minuman.
Jadi makanan dan minuman yang dikomsumsi manusia telah tercemar oleh
komponen fases atau urin dan pengidap tifoid. Beberapa kondisi kehidupan
manusia yang sangat berperan, pada penularan adalah: (Kepmenkes RI,
2006).
1. Hygiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang
tidak terbiasa. Hal ini jelas pada anak-anak, penyaji makanan serta
pengasuh anak.
2. Hygiene makanan dan minuman yang rendah faktor yang paling
berperan dalam penularan tifoid. Banyak contoh diantaranya:
makanan yang dicuci dengan air yang erkontaminasi (seperti sayur-
sayuran dan buah-buahan), sayuran yang dipupuk dengan tunja
manusia, makanan yang tercermar dengan debu, sampah, dihingapi
lalat, air minuman yang tidak dimasak, dan sebagainya.
3. Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolahan air limbah,
kotoran dan sampah yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.
4. Penyendiaan air bersih untuk warga yang tidak memadai.
5. Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat.
6. Pasien atau karier tifoid yang tidak diobati secara sempurna.
7. Belum membudaya program imunisasi tifoid.
2.1.7 Pencegahan Demam Tifoid
Secara detail, strategi penceganhan demam tifoid mencakup hal-hal
sebagai berikut (Widoyono, 2011):
1. Penyediaan sumber air minum yang baik.
2. Penyediaan jaban yang sehat.
3. Sosialisasi budaya cuci tangan.
4. Sosialisasi budaya merebus air sampai medidih sebelum diminum.
5. Pembersian lalat.

10
6. Pengawasan kepada para penjual makan dan minuman.
7. Sosialisasi pemberian Air Susu Ibu (ASI) pada ibu menyesui.
8. Imunisasi jenis vaksinisasi yang tersedia adalah, vaksin parenteral utuh,
vaksin oral Ty21a, dan vaksin parenteral polisakarida.
2.1.8 Diagnosis
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakan diagnosis
demam tifoid dibagi kedalam empak kelompok:
1 Pemeriksaan Darah Tepi
Pada penderita demam tifoid bias didapatkan anemia, jumlah leukosit
normal, bias menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia
dan biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, kadang dapat aneosinofilia
dan limfositisis relative, terutama pada fase selanjutnya (Prasetyo dan
Ismoedijanto, 2009).
2 Identifikasi Kuman Melalui Isolasi/Biakan
Diagnosis biakan dapat ditegakan apabila ditemukan bakteri S typhi
dalam biakan dari dara, urine, fases, sumsum tulang belakan, cairan
duodenum atau dari rose sport. Berkaitan dengan patogenis penyakit, maka
bakteri lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal
penyakit. Sedangkan pada stadium berikutnya didalam urine dan fases
(Prasetyo dan Ismoedijanto, 2009).
3 Uji Serologi
Uji serologi dapat digunakan untuk membantu menegakan diagnosis
demam tifoid dengan cara mendeteksi antibody spesifik terhadap komponen
antigen salmonella typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri beberapa uji
serologi yang dapat digunakan pada demam tifoid.
1. Uji widal dimaksudkan untuk mendeteksi antibody terhadap kuman
salmonella typhi. Pada uji widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen
kuman salmonella typhi dan antibody penderit. Antigen yang
digunakan adalah suspense biakan salmonella typhi yang telah
dimatikan dan diolah dilaboratorium. Salmonella typhi memiliki 3
macam antigen, yaitu antigen O (antigen somatik), antigen H (antigen

11
flagela) dan antigen Vi (antigen kapsul). Ketiga macam antigen
tersebuk ada didalam tubuh penderita, maka secra alami tubuh
penderita tersebut akan membentuk 3 macam antibody yang bias
disebut agglutinin (Widodo, 2006).
2. Pemeriksaan tubex, merupakan diagnosis demam tifoid dengan tingkat
sensitifitas dan spesifitas yang sangat baik dibandingkan dengan
pemeriksaan widal. Pemeriksaan tersebut lebih cepat, mudah,
sederhana dan akurat untuk digunakan dalam penegakan diagnosis
demam tifoid (Rahayu, 2013).
3. Pemeriksaan kuman secra molekuler, metode ini untuk identifikasi
bakteri S. tyhpi yang akurat adalah DNA (asam nukleat) gen flagelin
bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat
atau amplifikasi DNA dengan polymerase chain reaction (PCR) melalui
identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi (Prasetyo dan
Ismoedijanto, 2009).
2.1.9 Pengobatan Demam Tifoid
Penderita dengan gambaran klnis jelas disarankan untuk dirawat
dirumah sakit agar pengobatan lebih optimal, proses penyembuhan lebih
cepat, observasi penyakit lebih mudah, meminimalisi komplikasi dan
menghindari penularan (Menkes RI, 2006). Antibiotik akan diberikan segera
setelah diagnosis klinik telah ditegagkan, sebelum itu pemeriksaan
pemeriksaan specimen darah atau sumsum tulang harus dilakuakan terlebih
dahulu untuk memastikan bakteri, kecuali fasilitas biakan ini benar-benar
tidak tersedia dan tidak dapat dilaksanakan (Menkes RI, 2006).
Tabel 2.1 Anti Mikroba Untuk Tifoid (Menkes RI, 2006)

Kelebihan Dan
Antibiotik Dosis Kekurangan
Kloramfenikol Dewasa: 4×500 mg (2 a. Merupakan obat yang
gr) selama 14 hari sering digunakan dan

12
Antibiotik Dosis Kelebihan Dan
Kekurangan
Anak: 50-100 mg/kg telah lama dikenal
BB/hr Max 2 gr Selama efektif untuk tifoid
10-14 hari dibagi 4 dosis b. Murah dan dapat
diberi peroral dan
sensitivitas masi tinggi
c. Pemberian PO/IV
d. Tidak diberika bila<
2000/mm3
Seftriakson Dewasa: (2-4) gr/hari a. Cepat menurunkan
Selama 3-5 hari suhu, lama pemberian
Anak: 80 mg/kg BB/hr pendek dan dapat dosis
dosis tungal selama 5 tunggal seria cukup
hari aman untuk anak
b. Pemberian
Ampisilin & Dewasa: (3-4) gr/hr a. Aman untuk penderita
Amoksisilin selama 14 hari hamil
Anak: 100 mg/kg BB/hr b. Sering dikombinasi
selama 10 hari dengan kloramfenikol
pada pasien kritis
c. Tidak mahal
d. Pemberian PO/IV
TMP-SMX Dewasa: 2×(160-800) a. Tidakmahal
(Kotrimoksasol) selama 2 minggu b. Pemberian peroral
Anak : TMP 6-10 mg/kg
BB/hr atau SMX 30-50
mg/kg/hr selama 10 hari

13
Antibiotik Dosis Kelebihan Dan
Kekurangan
Quinolone Siprofloksasin : 2×500 a. Pefloksasin dan
mg 1 minggu fleroksasin lebih cepat
Ofloksasin 2×(200-400) menurunkan suhu
1 minggu b. Efektif mencegah
Pefloksasin 1×400 relaps dan karier
selama 1 minggu c. Pemberian peroral
Fleoroksasin 1×400 d. Anak tidak dianjurkan
selama 1 minggu karena efek samping
pada pertumbuhan
tulng
Cefixime Anak : 15-20 mg/kg a. Aman untuk anak
BB/hr dibagi 2 dosis b. Efektif
selama 19 hari c. Pemberian peroral
Tiamfenikol Dewasa : 4×500 mg/kg a. Dapat untuk anak dan
Anak : 50 mg/kg dewasa
BB/hari selama (5-7) b. Dilaporkan cukup
hari bebas panas sensitive pada
beberapa daerah

2.2 Rumah Sakit


2.2.1 Definisi Rumah Sakit
Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, mengunakan
gabungan alat ilmia khusus, dan difungsikan oleh berbagai kesatuan personel
terlatih terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medik modern
yang semuanya terikat bersama-sama, untuk pemulihan dan pemeliharaan
kesehatan yang baik (Siregar, 2004).
Berdasarkan surat keputusan menteri kesehatan republik Indonesia No.
983/B/Menkes/SK/XI/1992 tentan pedoman organisasi rumah sakit umum

14
yang dimaksudkan dengan rumah umum adalah rumah sakit yang
memberikan pelayanan kesehatan bersifat dasar, spesifik, dan non
subspesialis.
2.2.2 Tugas Dan Fungsi Rumah Sakit
Rumah sakit umum mempunyai misi memberikan pelayan kesehatan
yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat berdasarkan surat keputusan menteri kesehatan
Republik Indonesia No. 983/B/Menkes/SK/XI/1992, tugas rumah sakit
umum adalah melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan
berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan pemeliharaan
yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan dan
pencegahan serta pelaksanaan upaya rujukan (Menkes RI, 1992).
Dalam menyelengarakan tugasnya, maka Berdasarkan surat keputusan
menteri kesehatan republik Indonesia No. 983/B/Menkes/SK/XI/1992 rumah
sakit mempunyai fungsi:
1. Menyelengarakan pelayanan medis
2. Menyelengarakan pelayanan penunjang medis
3. Menyelengarakan pelayanan dan asuhan keperawatan
4. Menyelengarakan pelayanan rujukan
5. Menyelengarakan penelitian dan pembangunan
6. Menyelengarakan admisnistrasi
2.2.3 Klasifikasi Rumah Sakit
Rumah sakit dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Berdasarkan kepemilikan
a. Rumah sakit umum pemerintah
Rumah sakit umum pemerintah adalah rumah sakit yang dibiayai
diselengarakan dan diawasi oleh pemerintah baik pemerintah pusat
(dapertemen kesehatan), pemerintah daerah, ABRI, dapertemen
pertahanan dan keamanan maupun badan umum milik negara
(BUMN). Rumah sakit in bersifat non profit. Rumah sakit umum

15
pemerintah dapat diklasifikasikan berdasarkan pada unsur pelayanan,
ketenagan, fisik, dan peralatan.
1) Rumah sakit umum kelas A adalah rumah sakit umum yang
mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan spesilistik luas
dan subspesialistik luas.
2) Rumah sakit umu kelas B adalah rumah sakit umum yang
mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik sekurang-
kurangnya 11 spesialistik dan subspesialistik.
3) Rumah sakit umum kelas C adalah rumah sakit umum yang
mempunyai fasilitas dan kemampuanpelayanan medik spesialistik
dasar.
4) Rumah sakit umum kelas D adalah rumah sakit umum yang
mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik dasar.
b. Rumah sakit umum swasta
Rumah sakit umum swasta adalah rumah sakit yang dimiliki dan
diselengarakan oleh yayasan, organisasi keagamaan atau badan
hokum lain dan dapat juga bekerja sama dengan institusi pendidikan.
Rumah sakit sakit ini dapat bersifat profit dan nonprofit. Berdasarkan
surat keputusan menteri kesehatan republik Indonesia No.
983/B/Menkes/SK/XI/1992 klasifikasi rumah sakit umum swasta
yaitu:
1) Rumah sakit umum swasta pratama, memberikan pelayanan medik
bersifat umum.
2) Rumah sakit umum swasta madya, memberikan pelayanan medik
bersifat umum dan spesifik dalam 4 cabang.
3) Rumah sakit umum swasta utama, memberikan pelayanan medik
bersifat umum, spesialistik dan subspesialistik.
2. Berdasarkan jenis pelayanan
a. Rumah sakit umum, rumah sakit yang melayani semua bentuk
pelayanan kesehatan sesuai dengan kemampuanya. Pelayanan

16
kesehatan yang diberikan rumah sakit bersifat dasar, spesialistik, dan
subspesialistik.
b. Rumah sakit khusus, rumah sakit yang memberikan pelayanan
kesehatan berdasarkan jenis pelayanan tertentu seperti rumah sakit
kanker, rumah sakit kusta, rumah sakit paru, rumah sakit sakit mata.
3. Berdasarkan lama tingal di rumah sakit
a. Rumah sakit untuk perawatan jangka pendek, rumah sakit ini
melayani pasien dengan penyakit-penyakit kambuhan yang dapat
dirawat dalam periode waktu relative pendek, misalnya rumah
sakityang menyediakan pelayanan spesialis.
b. Rumah sakit untuk perawatan jangka panjang, rumah sakit ini
melanyani pasien dengan penyakit-penyakit kronik yang harus
berobat secara tetap dan dalam jangka waktu yang panjang, misalnya
rumah sakit rehabilitasi dan rumah sakit jiwa.
4. Berdasarkan kapasitas tempat tidur
a. Di bawa 50 tempat tidur
b. 50-99 temppat tidur
c. 100-199 tempat tidur
d. 200-299 tempat tidur
e. 300-399 tempat tidur
f. 400-499 tempat tidur
g. 500 tempat tidur dan lebih
5. Berdasarkan afiliasi pendidikan
Terdiri atas rumah sakit pendidikan dan rumah sakit non
pendidikan.adalah rumah sakit yang menjalaskan program pelatihan
residensi dalam medik, bedah, perdiatrik, dan bidang spesialis lain di
bawah pengawasan staf medik rumah sakit. Rumah sakit yang tidak
memiliki program pelatihan residensi dan tidak ada afiliasi rumah sakit
dengan universitan disebut rumah sakit non pendidikan.

17
6. Berdasarkan atatus agreditas
Terdiri atas rumah sakit yang telah diakreditas dan rumah sakit yang
belum diagreditas. Rumah sakit yang telah diagreditas adalah rumah
sakit yang telah diakui secara formal oleh suatu badab sertifikasi yang
diakui, yang menyatakan bahwa suatu rumah sakit telah memenuhi
persyaratan untuk melakukan kegiatan tertentu (Siregar, 2004).
2.2.4 Profil Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainal Umar Sidiki
1. Sejarah Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainal Umar Sidiki
RSUD dr. Zainal Umar Sidiki merupakan satu dari sekian RS milik
Pemkab gorontalo utara yang berwujud RSU, yang dibawah Pemda
Kabupaten dan tercatat ke dalam rumah sakit tipe C. RS ini telah terdaftar
mulai 27/01/2016 dengan nomor surat izin 197 tahun 2012 dan tanggal suarat
izin 00/00/0000 dari bupati Gorontalo utara dengan sifar perpanjang, berlaku
sampai 2020. RSU ini beralamat di Jalan Cimelati Desa Bulolo kecamatan
Kwandang, Gorontalo Utara, Indonesia.
2. Visi Dan Misi
a. Visi
Memberikan pelayanan kesehatan rujukan yang aman dan
memuaskan masyarakat khususnya masyarakat kabupaten Gorontalo
Utara pada tahun 2017
b. Misi
1. Mewujudkan layanan kesehatan yang aman dan menjadi pilihan
seluruh lapisan masyarakat kabupaten Gorontalo utara dengan
didasari oleh profesionalisme, etika, performa, serta nilai-nilai dasar
yang baik.
2. Mewujudkan layanan kesehatan yang berorientasi pada kepuasan
pelanggan dengan manajemen akomodatif yang menunjang
peningkatan kesejahteraan karyawan.
3. Mewujudkan layanan kesehatan yang profesional dalam rangkan
penyelenggaraan rumah sakit.

18
2.3 Kajian Penelitian Yang Relefan
2.3.1 Haluang dkk (2015)
Pada penelitian Haluang dkk (2013), yang berjudul Analisis Biaya
Pengunaan Antibiotik pada Penderita Demam Tifoid Anak di Instalasi Rawat
Inap RSUD PROF. DR. R.D. KANDOU MANADO Periode Januari 2013-
Juni 2014. Penelitian ini mengunakan metode deskriptif dengan pengabilan
data secara retrospektif yang didasarkan pada catatan rekam medik.
Berdasarkan hasil penelitian ini, ditemukan penderita demam tifoid anak
terbanyak berdasaran kriteria kelompok umur ialah pada kelompok umur 6-
11 tahun yaitu sebanyak 35,6 % pasien. Penderita terbanyak yaitu laki-laki 58
% (26 pasien) dan perempuan sebanyak 42 % (19 pasien). Jenis obat
antibiotik yang digunakan oleh pasien demam tifoid anak dengan status
pasien JKN di peroleh hasil terbanyak yaitu penderita yang menerima terapi
antibiotik jenis Thiamfenicol sebanyak 19 % (6 pasien ), pada pasien dengan
status pasien umum jenis antibiotik Cefixime sebanyak 46,2 % (6 pasien).
Pemberian obat antibiotik menunjukan bahwa cara pemberian terbanyak
yaitu secara oral sebanyak 66,7% (30 pasien). Berdasarkan efektifitas biaya
dengan nilai ACER terendah pada satus pasien JKN ialah jenis antibiotik
amoxicillin dengan nilai ACER sebesar Rp. 762/hari dengan rata-rata lama
perawatan 5 hari. Sedangkan pada hasil analisis nilai ACER terendah pada
status pasien yang mengunakan jenis antibiotik Cholamfenikol yaitu sebesar
Rp. 360/hari dengan rata-rata perawatan 4 hari. Ringkasan rancangan yang
membedakan dengan penelitian yang akan dibuat yaitu, pada jurnal ini
membahas tentang Analisis Biaya Pengunaan Antibiotik Pada Penderita
Demam Tifoid Anak di Instalasi Rawat Inap RSUD Prof. DR. R.D. Kandou
Manado periode januari 2013- juni 2014, sedangkan pada karya tulis ilmiah
yang akan dibuat yaitu Profil Terapi Tifoid Pada Pasien Anak di Rumah Sakit
ZUS Kabupaten Gorontalo Utara Tahun 2018.
2.3.2 Sinaga (2016)
Pada penelitian ini Manotar Sinaga (2016), yang berjudul Analisis
Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadia Tifus Abdominalis di Kota

19
Sibolga Tahun 2015. Metode penelitian yang digunakan adalah studi analitik
dengan desain studi case control dengan memilih khasus yang menderita tifus
abdominimalis dan control yang tidak menderita tifus addominimalis, analisis
dilakukan untuk mengetahui hubungan antara mencuci tangan, hygiene
makanan, air bersi, penyediaan jamban, sarana pembuangan limbah, sarana
pembuangan sampah, dan kebiasaan makan diluar terhadap kejadian tifus
abdominimalis di kota sibolga. Berdasarkan hasil penelitian adanya hubungan
antara mencuci tangan, hygiene makanan, penyediaan air bersi, penyediaan
jamban, sarana pembuangan limbah keluarga, sarana pembuangan sampah,
dan kebiasaan makan, terhadap kejadian tifus abdominimalis di kta sibolga.
Ringkasan rancangan yang membedakan dengan penelitian yang akan dibuat
yaitu, pada jurnal ini membahas tentang Analisis Faktor-faktor Yang
Berhubungan Dengan Kejadia Tifus Abdominalis di Kota Sibolga Tahun
2015, sedangkan pada karya tulis ilmiah yang akan dibuat yaitu Profil Terapi
Tifoid Pada Pasien Anak di Rumah Sakit ZUS Kabupaten Gorontalo Utara
Tahun 2018.
2.3.3 Rampengan (2013)
Pada penelitian ini Rampengan (2013), yang berjudul Antibiotik Terapi
Demam Tifoid Tampa Komplikasi Pada Anak, Penelitian dengan desain
kohrr retrospektif terhadap pemakian antibiotik untuk demam tifoid anak
dilakukan dengan menganalisis catatan rekam medik pasien demam tifoid
yang dirawat di ruang rawat inap anak bagian IKA FK UNSRAT/RSU Prof.
Dr. R. Kandou Manado, selama 5 tahun, yaitu sejek bulan juli 2007-juni 2012.
Berdasarkan hasil penelitian terdapat 161 pasien demam tifoid anak. Dari 161
pasien, 94 diberikan lini pertama dalam terapi demam tifoid tanpa komplikasi,
yaitu 50(31,05%) menerima terapi kloramfenikol (dosis 100 mg/kg/hari), dan
44 (27,33%) menerima tiamfenikol (dosis 75mg/kg/hari) diberikan pada 37
(22,98%) pasien dan azitromisin (dosis 10 mg/kg/hari) diberikan pada 30
(18,64%). Insiden demam tifoid pada anak laki-laki dan perempuan hampir
sama. Rata-rata usia pasien demam tfioid terbanyak diatas 5 tahun. Lama
demam sebelum masuk rumah sakit berkisar anatara 8-8,6 hari. Rata-rata

20
suhu tubuh saat masuk rumah sakit antara 37,6-38,1 ℃. Sebagian besar pasien
sudah mendapatkan pengobatan sebelum masuk rumah sakit. Gejalah klinis
terbanyak diderita adalah anoreksi, mual dan muntah, nyeri, perut, serta
batuk. terapi berbagai antibotik yang digunakan dalam penelitian, yang dinilai
dengan waktu bebas panas, dan lama rawat di rumah sakit. Waktu bebas panas
paling pendek dicapai pada pasien yang diberikan azitromisin yaitu 37,9 (SB
32,75) jam, kemudian diikuti moleh kloamfenikol yaitu 40,3 (SB 28,3),
tiamfenikol 45,27 (SB 38,05), dan sefiksin 50,81 (SB 32,3). Lama rawat
paling singkat ditemukan pada kelompok kloramfenikol yaitu 4,42 (SB 1,26)
hari, disusul oleh kelomkok azitromisin 4,56 (SB 1,27) hari, kelompok
tiamfenikol yaitu 4,75 (SB 1,75) dan kelompok sefiksin 4,81 (SB 1,6).
Ringkasan rancangan yang membedakan dengan penelitian yang akan dibuat
yaitu, pada jurnal ini membahas tentang Antibiotik Terapi Demam Tifoid
Tampa Komplikasi Pada Anak, sedangkan pada karya tulis ilmiah yang akan
dibuat yaitu Profil Terapi Tifoid Pada Pasien Anak di Rumah Sakit ZUS
Kabupaten Gorontalo Utara Tahun 2018.
2.3.4 Sapmaimy (2011)
Pada penelitian ini Desy Sapmaimy DKK, yang berjudul Pengunaan
antibiotik pada pasien anak, penderita tifus abdominimalis di instalasi rawat
inak RSUD bayumas periode agustus 2009-juli 2010. Metode pengumpulan
data yang digunakan adalah metode retrospektif dengan teknik analisis data
yang di lakukan dengan menbandingkan pedoman diagnosa dan terapi rumah
sakit bayumas. Berdasarkan hasil penelitian. penderita demam tifoid anak
terbanyak berdasaran kriteria kelompok umur ialah pada kelompok umur 1-
12, berdasarkan jenis kelamin pasien demam tifoid anak, penderita terbanyak
yaitu laki-laki 12 pasien (63,16 %) dan perempuan sebanyak 7 pasien (36,84
%). Pada penelitian ini mengunakan data pasien yang memiliki hasil uji widal
positif, makin tinggi tinggi titernya, makin besar kemungkinan pasien
menderita demam tifoid. Data rekam medik komplikasi yang banyak
menyertai penyakit demam tifoid ialah penyakit anemia. Hasil pene;itian
berdasarkan lama perawatan dan keadaan pulang pasien. Lama perawatan 1-

21
5 hari terdapat 8 masien (42,11 %) sedangkan lama perawatan lebih dari 6
hari terdapat 11 pasien (57,89 %). Pasien yang mengalami sembuh berjumlah
4 pasien (21,05 %) sedangkan pada pasien yang membaik 15 pasien (78,95
%). Berdasarkan data rekam medik terapi antibiotik tungal yang banyak
digunakan adalah kloamfenikol, sefalosporin generasi ketiga, dan seftriakson
menjadi antibiotik kedua yang paling banyak digunakan di RSUD bayumas.
Berdasarkan data rekm medik terapi multiple antibioik terdapat 8 pasien di
terapi dengan mengunakan multiple antibiotik yaitu 3 pasien diterapi dengan
2 macam antibiotik dan 5 pasien diterapi dengan 2 macam antibiotik.
Antibitok yang digunakan adalah antibiotik dari golongan sepalosporin,
kloamgenikol, penisilin dan fluorkuinolon. Ringkasan rancangan yang
membedakan dengan penelitian yang akan dibuat yaitu, pada jurnal ini
membahas tentang Pengunaan Antibiotik Pada Pasien Anak Penderita Tifus
Abdominimalis Di Instalasi Rawat Inak RSUD Bayumas periode agustus
2009-juli 2010, sedangkan pada karya tulis ilmiah yang akan dibuat yaitu
Profil Terapi Tifoid Pada Pasien Anak di Rumah Sakit ZUS Kabupaten
Gorontalo Utara Tahun 2018.
2.3.5 Islam dkk (2015)
Pada penelitian ini Md. Atiqul Islam DKK, yang berjudul Khasiat
Klinis Aziktromisin Demam Tifoid dan Paratifoid pada Anak-anak. Uji klinik
acak dilakukan di Rumh sakit Dhaka Shisu dari januari hinga desember 2009,
Sembilan puluh delapan anak-anak antara 2-12 tahun dengan presentasi klinis
karakteristik (misalnya demam, nyeri perut, diare, sembelit dll), demam
enteric tidak rumit dengan kultur darah positif untuk salmonella dilibatkan
dalam penelitian ini. Informed consent tertulis diambil dari orang tua atau
wali hukum sebelum pendaftaran dalam penelitian. Kemudian secara rinci
diambil dari pemeriksan fisik lengkap yang dilakukan. Data di catatat dalam
lembar pengumpulan data. Pengobatan yang dipilih secara acak 50 pasien
dimulai dengan azitromicin oral dosis 20 mg/kg/hari selama 7 hari.efektifitas
dan pola sensitifitas didokumentasikan jika tidak ada respon dalam waktu 5
hari protocol pengobatan diubah. kultur darah lain diubah dilakukan pada

22
semua pasien setelah hari terapi antibiotik. Pengobatan dengan azitromisin
dilanjutkan pada pada pasien yang menangapi secara klinis meskipun
menunjukan resistensi terhadap obat in vitro. Empat puluh delapan anak
diobati dengan ceftriaxone intravena dosis 100 mg/kg/hari. Hasil pongobatan
antara azitromisin dan seftriaxone dibandingkan. Ringkasan rancangan yang
membedakan dengan penelitian yang akan dibuat yaitu, pada jurnal ini
membahas tentang Khasiat Klinis Aziktromisin Demam Tifoid dan Paratifoid
Pada Anak-anak., sedangkan pada karya tulis ilmiah yang akan dibuat yaitu
Profil Terapi Tifoid Pada Pasien Anak di Rumah Sakit ZUS Kabupaten
Gorontalo Utara Tahun 2018.

2.3.6 Frenck (2004).


Pada Penelitian ini Robert W. Frenck DKK, yang berjudul Azitromisin
di Bandingkan Dengan Seftriaxone Untuk Pengobatan Terkomplikasi
Demam tifoid Pada Anak. Penelitian ini dirancang untuk menguji kesetaraan
terapi ceftriaxone dan azitromisin mengunakan metode blackwelder,
nonequivalence itu didefinisikan sebagai perbedaan 20 % di tingkat
kesembuhan klinis antara 2 kelompok perlakuan, dengan asumsi ceftriaxone
yang akan memiliki angaka kesembuhan dari 90 %. Berdasarkan hasil
penelitian terdapat 83 pasien laki-laki dengan demam tifoid klinis yang
terdaftar dalam penelitian ini. Dari jumlah tersebut , 68 (32 kelompok berbeda
di kelompok azitromisin) memiliki S.typhi diisolasi dari kultur darah atau
tinja specimen yang diperoleh saat pendaftaran dan merupakan kelompok
perlakuan. Kedua terapi antibiotik sangat efektif untuk penurunan suhu badan
sampai pada normal 4,5 ± 1,9 hari untuk pasien yang mnerima azitromisin
3,6 ± 1,6hari untuk pasien yang menerima ceftriaxone ( p = NS ).
Kesembuhan kliknis dicapai pada 30 (94 %) dari 32 pasien yang diobati
dengan azitromisin dan 35 (97%) dari 36 % pasien yang diobati dengan
seftriaxone (P = 5). Tidak ada efek yang serius. Dari efek samping ringan
gejalah gastrointestinal yang paling umum pada kedua kelompok perlakuan .
muntah lebih sering terjadi diantara pasien yang sering diobati dengan
azitromisin (11 pasien ) dibandingkan dengan mereka yang diobati dengan

23
seftriaxone (7 pasien) tetapi perbedaan antar kedua kelompok tidak signifkan.
Ringkasan rancangan yang membedakan dengan penelitian yang akan dibuat
yaitu, pada jurnal ini membahas tentang Azitromisin di Bandingkan Dengan
Seftriaxone Untuk Pengobatan Terkomplikasi Demam tifoid Pada Anak.,
sedangkan pada karya tulis ilmiah yang akan dibuat yaitu Profil Terapi Tifoid
Pada Pasien Anak di Rumah Sakit ZUS Kabupaten Gorontalo Utara Tahun
2018.
2.3.7 Dolecek dkk (2008)
Pada penelitian Dolecek dkk, yang berjudul A Multi—center
randomized controlled trial off gatifloxsasin versus azitromichin for the
treatment of uncomplicated typoid fever in children and adulst in Vietnam.
Protokol untuk percobaan ini dan mendukung CONSORT checklist yang
tersedia sebagai informasi pendukung melihat daftar periksa S1 dan protocol
S1, penelitian ini di rancang sebagai percobaan multicenter, label terbuka
terkontrol acak untuk membandingkan efektifitas dan keamanan gatifloksasin
dan azitromisin untuk pengobatan demam tifoid tampa komplikasi pada anak-
anak dan orang dewasa di Vietnam. Berdasarkan hasil penelitian, hasil utama
dari analisis PP tidak ada perbedaan yang singnifikan antara gatifloksasin dan
azitromisin, untuk hasil sekunder dari analisis PP tidak ada perbedaan yang
signifikan untuk kegagalan pada pengobatan demam tifoid antara
gatifloksasin dan azitromisin. Ringkasan rancangan yang membedakan
dengan penelitian yang akan dibuat yaitu, pada jurnal ini membahas tentang
A Multi—center randomized controlled trial off gatifloxsasin versus
azitromichin for the treatment of uncomplicated typoid fever in children and
adulst in Vietnam, sedangkan pada karya tulis ilmiah yang akan dibuat yaitu
Profil Terapi Tifoid Pada Pasien Anak di Rumah Sakit ZUS Kabupaten
Gorontalo Utara Tahun 2018.

24
2.4 Kerangka Konsep

Pasien demam tifoid

Terapi demam tifoid

Terapi antibiotik Terapi simptomatik Terapi suportif

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian


Penelitian ini dilakuakan untuk mengetahui terapi antibiotik, terapi
simptomatik dan terapi suportif yang digunakan pada pasien anak, yang mejalani
perawatan di RSUD dr. Zainal Umar Sadiki Kab. Gorontalo Utara.

25

Вам также может понравиться

  • Skripsi Final
    Skripsi Final
    Документ104 страницы
    Skripsi Final
    Vida Pontoh
    Оценок пока нет
  • Bioavailability Dan Farmakokinetika Erythromycin Pada PT
    Bioavailability Dan Farmakokinetika Erythromycin Pada PT
    Документ16 страниц
    Bioavailability Dan Farmakokinetika Erythromycin Pada PT
    Vida Pontoh
    Оценок пока нет
  • Bab I
    Bab I
    Документ4 страницы
    Bab I
    Vida Pontoh
    Оценок пока нет
  • Hal 346
    Hal 346
    Документ2 страницы
    Hal 346
    Vida Pontoh
    Оценок пока нет
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Документ2 страницы
    Daftar Pustaka
    Vida Pontoh
    Оценок пока нет
  • Proposal Penelitian
    Proposal Penelitian
    Документ3 страницы
    Proposal Penelitian
    Vida Pontoh
    Оценок пока нет
  • Bantuan Dana Berobat
    Bantuan Dana Berobat
    Документ3 страницы
    Bantuan Dana Berobat
    Vida Pontoh
    Оценок пока нет
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Документ6 страниц
    Bab Iv
    Vida Pontoh
    Оценок пока нет
  • AFDAL
    AFDAL
    Документ2 страницы
    AFDAL
    Vida Pontoh
    Оценок пока нет
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Документ6 страниц
    Bab Iv
    Vida Pontoh
    Оценок пока нет
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Документ1 страница
    Daftar Pustaka
    Vida Pontoh
    Оценок пока нет
  • Bab III Injeksi Cefuroxime
    Bab III Injeksi Cefuroxime
    Документ3 страницы
    Bab III Injeksi Cefuroxime
    Vida Pontoh
    Оценок пока нет
  • Abs Trak
    Abs Trak
    Документ1 страница
    Abs Trak
    Vida Pontoh
    Оценок пока нет
  • Bab I
    Bab I
    Документ2 страницы
    Bab I
    Vida Pontoh
    Оценок пока нет
  • Bab Iii Oth
    Bab Iii Oth
    Документ5 страниц
    Bab Iii Oth
    Vida Pontoh
    Оценок пока нет
  • STEREOKIMIA
    STEREOKIMIA
    Документ15 страниц
    STEREOKIMIA
    Vida Pontoh
    Оценок пока нет
  • Makalah DEA 1
    Makalah DEA 1
    Документ4 страницы
    Makalah DEA 1
    Vida Pontoh
    Оценок пока нет
  • Dekongestan Nasal
    Dekongestan Nasal
    Документ3 страницы
    Dekongestan Nasal
    Vida Pontoh
    Оценок пока нет
  • Pedoman Teknis p2kp Tahun 2017
    Pedoman Teknis p2kp Tahun 2017
    Документ64 страницы
    Pedoman Teknis p2kp Tahun 2017
    Vida Pontoh
    Оценок пока нет
  • Jurnal
    Jurnal
    Документ3 страницы
    Jurnal
    Vida Pontoh
    Оценок пока нет
  • STEREOKIMIA
    STEREOKIMIA
    Документ15 страниц
    STEREOKIMIA
    Vida Pontoh
    Оценок пока нет