Вы находитесь на странице: 1из 65

BAB 2

LAPORAN KASUS

2.1 ANAMNESA

Identitas Pasien

Nama : Ny. S

Usia : 33 tahun

Register : 11279154

Tanggal MRS : 13-3-2018

Alamat rumah : Dusun Bunutwetan RT 6/2 Pakis Malang

Pendidikan istri : Sarjana

Pekerjaan istri : Ibu rumah tangga

Nama Suami : Tn. Hadi Santoso

Usia : 34 tahun

Pendidikan : SD

Pekerjaan : Sopir

Menikah : 1 kali

Lama menikah : 1 tahun

Penderita dikirim oleh :

Poli hamil RSU dr. Saiful Anwar Malang (RSSA)

Riwayat Perawatan Antenatal (ANC)

RSSA : 5 kali – penderita direncanakan persalinan

perabdominam pada usia kehamilan 37

minggu

Hari pertama haid terakhir : 5-7-2017

4
Taksiran persalinan : 11-4-2018

Usia kehamilan : 36-37 minggu

Kontraasepsi sebelum hamil :-

Riwayat kegagalan kontrasepsi :-

Riwayat Persalinan yang lalu :

1. Kehamilan ini

Riwayat Kehamilan ini :

 13-3-2018 pukul 10.00 : Pasien datang sendiri ke poli hamil RSU dr.

Saiful Anwar Malang untuk kontrol, dengan keluhan masih kejang

dengan frekwensi 1-2x tiap bulan, kejang seluruh tubuh, lama kurang

dari 1 menit, post kejang pasien sadar, terakhir kejang 1 minggu yang

lalu. Saat ini pasien hamil dengan usia kehamilan 8 bulan.

 Pasien sudah mengkonsumsi obat dari poli syaraf RSU dr. Saiful

Anwar Malang yaitu phenitoin 3x100 mg, Asam folat 1x1 mg dan

vitamin B6 1x25 mg sejak Oktober 2017, namun kejang belum

terkontrol (frekwensi kejang 1-2x/bulan)

Riwayat penyakit dahulu:

 8 Maret 2016 : Pasien kontrol pertama kali ke Poli Syaraf RSU dr.

Saiful Anwar Malang dengan keluhan kejang 10 hari sebelumnya

saat pasien bekerja. Kejang terjadi di seluruh tubuh dengan durasi 5

menit, setelah kejang pasien sadar. Riwayat kejang sebelumnya

disangkal. Pasien didiagnosa dengan observasi syncope dengan

differential diagnosis atonic seizure, dan direncanakan untuk

Elektroensefalografi (EEG).

5
 18 Agustus 2016 : Pasien kembali kontrol ke Poli Syaraf RSU dr.

Saiful Anwar Malang dengan keluhan kejang lagi sehari sebelumnya,

dengan durasi  5 menit, dilakukan EEG dan Comuted Tomography

Scanning (CT scan) kepala. Hasil EEG normal, tidak ditemukan

gelombang epileptogenik maupun perlambatan abnormal dan hasil

CT scan kepala didapatkan lesi hipodens di subcortex lobus frontal

kanan suspek focal cerebritis, disarankan untuk Magnetic Resonance

Imaging (MRI) kepala. Pasien didagnosa dengan post status general

tonic clonic seizure et causa epilepsi simptomatik differential

diagnosis dengan idiopatik dan diberikan Phenitoin 3x100 mg dan

vitamin B6 1x25 mg

 25 Januari 2017 : Pasien kontrol ke Poli Syaraf RSUD dr. Saiful

Anwar Malang karena kejang lagi malam sebelumnya, setelah 5

bulan tidak kejang. Pasien terakhir mengkonsumsi phenitoin pada

bulan Agustus 2016. Pasien didiagnosa dengan epilepsi simptomatik

direncanakan untuk MRI kepala dengan kontras dan diberikan

phenitoin 2x100 mg, Vitamin B6 1x25 mg, dan Asam folat 1x1mg

serta disarankan kontrol rutin tiap 2 minggu

 30 Agustus 2017 : Pasien kontrol ke Poli Syaraf RSUD dr. Saiful

Anwar Malang dengan frekuensi kejang 1-2 kali tiap bulan dan

pasien sedang hamil 8 minggu. Pasien memutuskan untuk

meneruskan kehamilannya meskipun ada resiko pengobatan kejang

terhadap janin.

 2 Oktober 2017 : Pasien datang membawa MRI dengan hasil lesi

intraaksial di cortex dan subcortex lobus frontal kanan, suspek low

6
grade malignancy dan sinusitis ethmoidalis bilateral  dikonsulkan

ke poli bedah syaraf, didiagnosa dengan observasi kejang et causa

Space Occupying Process cerebri suspect Glioblastoma

direncanakan untuk tumor cocktail.

 22 November 2017 : Pasien dikonsulkan ke Poli Hamil RSUD dr.

Saiful Anwar. Pasien dilakukan pemeriksaan Ultrasonografi dengan

hasil kehamilan tunggal dalam kandungan dengan usia kehamilan

sesuai dengan 20 minggu dan taksiran berat janin 364 gr. Karena

kasus jarang, pasien direncanakan untuk Clinico Pathological

Conference (CPC).

 13 Maret 2018 : diadakan medical conference terhadap pasien ini

dengan hasil pasien akan dilakukan terminasi kehamilan dengan

operasi sesar pada usia kehamilan 37 minggu. Sebelum dilakukan

terminasi, pasien akan dilakukan regulasi kejang dengan fenitoin

selama 1 minggu dan mengurangi edema serebri dengan

kortikosteroid.

2.2 PEMERIKSAAN

Status Interna

Keadaan umum : baik

Kesadaran : compos mentis

Tinggi Badan : 153 cm

Berat Badan : 53 cm

Tekanan Darah :120/70 mmHg

Nadi : 80 x/mnt

7
RR : 18 x/mnt

Temperatur axilla : 36,4oC

Temperatur rectal : 36,7oC

Kepala/ leher : mata, hidung, telinga tidak ditemukan kelainan

Thorax : bentuk dan ukuran normal, gerakan nafas dada

simetris

Cor : S1S2 tunggal, tidak didapatkan murmur

Pulmo : suara nafas vesikuler di seluruh lapangan paru,

Tidak didapatkan ronkhi maupun wheezing

Ekstremitas : dalam batas normal

Status Neurologis

GCS 456 Fungsi Luhur dalam batas normal

Meningeal sign (MS) : (-)

Nervus Cranialis : Pupil bulat isokor  3mm/3mm, reflek cahaya +/+

N. III, IV, VI : dalam batas normal

N. VII, XI : dalam batas normal

Motoris : 5 5

55

Sensoris : dalam batas normal

Autonomic Nervous System (ANS) : dalam batas normal

Reflek fisiologis : +2/+2

Reflek Patologis : - / -

Status Obstetri

Fundus Uteri (TFU) : 29 cm

Letak Janin : letak bujur kepala di bawah

8
Bunyi jantung anak (BJA) : 156 x/mnt

Taksiran berat Janin (TBJ) : 2480 gr

His : tidak didapatkan his

Pemeriksaan dalam

Tidak dilakukan

Pemeriksaan laboratorium

DL : 12 / 11.380 / 36 / 310.000

FH : 9,3 / 26,9

OT/PT : 13/11

Albumin : 4,03

GDA : 119

Ur/Cr : 9,2 / 0,44

SE : 136 / 3,91 / 105

HbsAg : non reaktif

HIV : non reaktif

USG Fetomaternal (27/2/2018)

Tampak janin intrauterine tunggal hidup letak bujur kepala di bawah

BPD : 85,1 mm (34w2d)

AC : 294 mm (33w2d)

FL : 64,2 mm (33w2d)

EFW : 2259 g

AFI : 17,2 cm

Placenta implantasi di fundus

Maturasi gr II- III

9
Cardiotocography (CTG) :

Baseline rate :140 bpm

Variability : 5-20 bpm

Accelerasi : (+)

Deccelerasi : (-)

Kesimpulan : NST Kategori I

Computerized Tomography Scanning (CT Scan) kepala ( 19-8-2016)

 Tampak lesi hipodens di subcortex lobus frontal kanan, dengan

penambahan kontras tidak tampak menyangat

 Sulci, fissura sylvii sempit dan gyri mendatar

 Diferensiasi white dan grey matter baik

 Sistem ventrikel dan sisterna normal

 Infratentorial : mecencephalon, pons, cerrebelum dan CPA normal

 Tidak tampak pergeseran garis tengah

 Orbita kanan dan kiri normal

 Air cell mastoid kanan dan kiri normal

 Sinus paranasalis yang tervisualisasai normal

Kesimpulan :

Lesi hipodens di subcortex lobus frontal kanan suspek focal cerebritis

Saran : Magnetic Resonance Imaging (MRI) kepala

10
Gambar 2.1 Hasil pemeriksaan CT scan kepala

Magnetic Resonance Imaging (MRI) kepala ( 19 September 2017)

 Tampak lesi intraaksial dengan sentral nekrosisiso-hipointens T1W1, iso-

hiperintens T2W1, hiper-hipointens FLAIR di cortex subcortex lobus

frontal kanan, restriktif DWI pada tepinya, dengan edema tentakel ringan

di sekitarnya, ukuran  3,6 x 4,1 x 3 cm. Pada MR perfusi, tidak tampak

peningkatan rCBV. Pada MR spectroscopy :

Choline : 10.2 Lipid : 2.91

Creatinine : 2.73 Lactat : 1.92

Cho/Cr : 4.32 NAA : 0.823

Cho/NAA : 8.47 NAA/Cr : 0.51

NAA/Cho : 0.14

 Sulci, fissura sylvii menyempit dan gyri mendatar

11
 Diferensiasi gray dan white matter kabur di sekitar lesi

 Sistem ventrikel dan sisterna normal

 Infratentorial : mesencephalon, pons, dan cerebellum normal

 Tidak tampak pergeseran garis tengah

 Orbita dan aircell mastoid kanan kiri normal

 Tampak lesi isointens T1WI, hiperintens T2WI/FLAIR di sinus ethmoidalis

kanan kiri

Kesimpulan :

Lesi intraaksial di cortex subcortex lobus frontal kanan, suspect low grade

malignancy

Sinusitis ethmoidalis bilateral

12
Gambar 2.2 Hasil pemeriksaan MRI kepala

Hasil medical conference (8-3-2018)

Anestesi (dr. Isngadi SpAn)

Pada pasien ini, persalinan bisa dilakukan pervaginam dengan syarat pasien

tidak boleh mengejan dan pasien tidak boleh merasakan sakit. Jika kedua syarat

tersebut tidak bisa dipenuhi, lebih baik terminasi dilakukan dengan Seksio

Sesarea

Neurologi (dr. Desika SpS)

Jika melihat lokasi tumor dan perjalanan penyakitnya, kemungkinan besar

merupakan suatu low grade glioma. Masalah utama pada pasien ini adalah

kejang, yang belum bisa teratasi meskipun sudah diberikan terapi phenitoin

13
3x100 mg. Untuk mengendalikan kejang dan mengurangi edema serebri, pasien

perlu di MRS kan untuk mendapatkan loading Phenitoin dan steroid sebelum

dilakukan terminasi

Sedangkan untuk terminasi lebih disarankan dengan Seksio sesarea.

Bedah Syaraf (dr. Doni SpBS)

Jika melihat perjalanan penyakit dan gejala yang ditimbulkan dari pasien ini,

kemungkinan besar merupakan suatu glioma bukan glioblastoma. Diagnosa

glioblastoma adalah diagnosa berdaasarkan PA. Jadi untuk selanjutnya pasien

kita diagnosa dengan Glioma bukan glioblastoma.

Terminasi kehamilan pada pasien ini lebih disarankan dengan seksio sesarea

Sedangkan untuk penatalaksanaan Glioma pada pasien ini, akan dievaluasi

ulang pemeriksaan MRInya 3 bulan setelah pasien melahirkan.

Obgyn (dr. Nugrahanti SpOG-K)

Pasien adalah nyonya usia 33 tahun dengan kehamilan pertama dan disertai

dengan tumor otak, dimana secara sosial merupakan bayi mahal, sehingga kami

lebih memilih untuk dilakukan terminasi dengan seksio sesarea. Waktu

pelaksanaan terminasi adalah setelah loading phenitoin dari TS neurologi

mengingat berat badan bayi saat ini sudah cukup. Jika kondisi ibu tetap stabil,

terminasi akan dilakukan pada saat usia kehamilan sudah aterm ( 37 minggu).

Rekomendasi :

Pasien akan dilakukan regulasi kejang dan mengurangi edema serebri oleh TS

neurologi dengan pemberian loading phenitoin dan kortikosteroid dan kemudian

akan dilanjutkan dengan terminasi kehamila dengan seksio sesarea pada usia

kehamilan 37 minggu.

14
Konsul neurologi :

Diagnosa :

1. Space Occupying Process cerebri frontal dextra

2. Epilepsi simptomatik on treatment

3. G1P0000Ab000 gravida 36-37 minggu tunggal hidup

Planning :

 MRS di IRNA III

 Rawat bersama dengan Departemen Neurologi

 Loading phenitoin 7,5 – 9 mg/kgBB lanjut Injeksi Fenitoin maintenance

3x100 mg IV

 Injeksi dexametasone 3x5 mg IV

 Injeksi Diazepam 10 mg bolus pelan bila kejang, maksimal 30 mg/hari

Konsul Bedah syaraf

Diagnosa SOP cerebri susp glioma + gravida

Pasien kami rencanakan MRI ulang 3 bulan post partum (sesuai hasil conference

8 maret 2018

2.3 DIAGNOSA OBSTETRIK

G1P0000Ab000 gravida 36-37 minggu tunggal hidup

+ Space Occupying Process cerebri frontal dextra et causa glioma

+ Epilepsi simptomatik on treatment

15
2.4 PLANNING

Planning diagnosa : USG Fetomaternal, CTG/ 3 hari

Planning terapi :

Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein

Intra Venous Fluid Drip RL lifeline

Pro terminasi dengan operasi sesar primer usia kehamilan 37 minggu (21-

3-2018)

Terapi neurologi :

Loading phenitoin 7,5 – 9 mg/kgBB lanjut Injeksi Fenitoin maintenance

3x100 mg IV

Injeksi dexametasone 3x5 mg IV

Injeksi Diazepam 10 mg bolus pelan bila kejang, maksimal 30 mg/hari

Planning Monitoring :

Obervasi keluhan, tanda-tanda vital, frekuensi kejang, DJJ, his

Komunikasi Informasi Edukasi

2.5 TANGGAL 21 MARET 2018

Subjective : pasien sudah tidak kejang

Objective :

Status Interna

Keadaan umum : baik

Kesadaran : compos mentis

Tinggi Badan : 153 cm

Berat Badan : 53 cm

Tekanan Darah :120/70 mmHg

16
Nadi : 80 x/mnt

RR : 18 x/mnt

Temperatur axilla : 36,4oC

Temperatur rectal : 36,7oC

Kepala/ leher : mata, hidung, telinga tidak ditemukan kelainan

Thorax : bentuk dan ukuran normal, gerakan nafas dada

simetris

Cor : S1S2 tunggal, tidak didapatkan murmur

Pulmo : suara nafas vesikuler di seluruh lapangan paru,

Tidak didapatkan ronkhi maupun wheezing

Ekstremitas : dalam batas normal

Status Obstetri

Fundus Uteri (TFU) : 29 cm

Letak Janin : letak bujur kepala di bawah

Bunyi jantung anak (BJA) : 156 x/mnt

Taksiran berat Janin (TBJ) : 2480 gr

His : tidak didapatkan his

Pemeriksaan dalam

Tidak dilakukan

Pemeriksaan laboratorium

DL : 10,9 / 11.130 / 32,9 / 276.000

FH : 9,8 / 29,1

OT/PT : 14/11

Albumin : 3,63

GDA : 88

17
Ur/Cr : 10,8 / 0,39

USG Fetomaternal (16/3/2018)

Tampak janin intrauterine T/H letak bujur kepala di bawah

BPD : 8,67mm (35w0d)

AC : 30,67 mm (34w4d)

FL : 6,87 mm (35w2d)

EFW : 2565 g

AFI : 16,8 cm

Placenta implantassi di fundus uteri ke corpus sinistra

Maturasi gr III

Cardiotocography (CTG) :

Baseline rate :140 bpm

Variability : 5-20 bpm

Accelerasi : (+)

Deccelerasi : (-)

Kesimpulan : CTG Kategori I

Konsul Anestesi :

ASA 3 gravida SOP cerebri, epilepsi on treatment

Assesment :

G1P0000Ab000 gravida 37-38 minggu tunggal hidup

+ SOP cerebri frontal dextra et causa glioma

+ epilepsi simptomatik on treatment

+ post induksi maturasi paru

Planning :

Planning diagnosa : -

18
Planning Terapi :

Terminasi kehamilan dengan operasi sesar dan Intra Uterine Device

Persiapan operasi : Puasa 6 jam pre op

Intra Venous Fluid Drip RL 1000 cc

Premedikasi : Injeksi Cefazolin 2 gr

Injeksi Ranitidin 1 amp

Ineksi. Metoclopramide 1 amp

Informed consent/ sedia darah

Tanggal 21 Maret 2018 pukul 14.00 lahir bayi perempuan, berat 2540 gram,

panjang 49 cm, Apgar Score 6-8, Ballard score ~ 37 minggu dengan SCTP

Laporan operasi :

DPJP / operator : dr. Nugrahanti Prasetyorini Sp.OG-K / dr. Sita

Jenis operasi SCTP + IUD PP

Diagnosa pra bedah :

G1P0000Ab000 gr 37-38 mgg T/H + Space Occupying Process cerebri et causa

glioma + epilepsi simptomatik on treatment + post induksi maturasi paru

Diagnosa pasca bedah :

G1P0000Ab000 gr 37-38 mgg T/H + Space Occupying Process cerebri et causa

glioma + epilepsi simptomatik on treatment + post induksi maturasi paru

 Pasien ditidurkan terlentang diatas meja operasi dengan anestesi umum.

 Antisepsis lapangan operasi dengan betadine, demarkasi lapangan

operasi dengan doek steril.

19
 Dilakukan insisi pfanensteil, incisi diperdalam secara tajam kecuali otot

secara tumpul sampai cavum peritoneum terbuka.

 Tampak uterus gravidarum.

 Dibuat bladder flap dengan mengincisi peritoneum viscerale  2 cm di

atas plicavesicouterina, dilebarkan ke lateral, dijauhkan ke caudal dengan

hak besar untuk melindungi vesica urinaria.

 Dilakukan insisi segmen bawah rahim (SBR)  1 cm di bawah bladder

flap, dilebarkan secara tumpul ke lateral dengan jari, keluar ketuban

berwarna jenih

 Janin dilahirkan dengan meluksir kepala, lahir bayi perempuan, BB : 2540

g, PB 49 cm, AS 6-8 pukul 14.00. Tali pusat diklem di dua tempat,

dipotong, kemudian bayi dirawat.

 Plasenta dilahirkan dengan tarikan ringan ukuran 20x20x20 cm, kalsifikasi

(-), infark (-), implantasi di fundus

 Eksplorasi cavum uteri, tidak terdapat perdarahan dan sisa plasenta.

 Dilakukan insersi IUD

 Dibuatlah jahitan sudut pada kanan dan kiri SBR, dilanjutkan dengan

jahitan jelujur feston 2 lapis.

 Dilakukan reperitonealisasi.

 Evaluasi tidak didapatkan perdarahan aktif, uterus kontraksi baik

 Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.

 Operasi selesai

 Perdarahan durante operasi  200 cc

20
2.6 Timeline pasien mulai ANC sampai dengan post SC

Tanggal S O A P

22-11- Pasien Keadan Umum : tampak sakit G1P0000Ab000 gr 20- Planning diagnosa :
2017 konsulan ringan, GCS : 456 22 minggu Tunggal Laboratorium lengkap, USG
bedah syaraf TD:100/60 mmHg, Hidup screening
dengan N:80x/m, RR:20 x/m + Space Occupying P Planning Terapi :
Space Kepala/Leher : cerebri due to Rob 1x1 tab
Occupying anemis -/-, icteric -/- Glioblastoma Kontrol ulang Senin pro USG
Process Thorax : C/ S1S2 tunggal, + epilepsi simtomatik screeening
serebri due to reguler, murmur (-) on treatment
Glioblastoma P/ Rh -/-, Wh -/-
+ gravida 18- Abdomen : TFU setinggi pusat,
20 minggu ball (+), DJJ 144 x/m, his
(-) negatif
Genetalia Eksterna : v/v
fluxus (-) / fluor (-)

27-11- Pasien Keadan Umum : tampak sakit G1P0000Ab000 gr 20- Usul Clinico Pathological Conference
2017 kontrol ringan, GCS : 456 22 minggu Tunggal Konsul neurologi
membawa TD:100/60 mmHg, Hidup Roborantia 1x1 tab
hasil lab N:80x/m, RR:20 x/m + Space Occupying P
Kepala/Leher : cerebri due to
anemis -/-, icteric -/- Glioblastoma
Thorax : + epilepsi simtomatik
Cor : S1S2 tunggal, reguler, on treatment
murmur (-)
Pulmo : Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : TFU setinggi pusat,

21
ball (+), DJJ 148 x/m, his
(-) negatif
Genetalia Eksterna : v/v
fluxus (-) / fluorr (-)

USG :
Tampak janin intrauterine T/H
BPD : 4,82 (20w4d)
AC :14,98 (20w2d)
FL : 3,53 (21w1d)
EFW : 364 gr
AFI : 18,64
Plasenta implantasi di fundus
sampai corpus posterior
maturasi gr I

27-12- Kontrol ANC Keadan Umum : tampak sakit G1P0000Ab000 Kontrol poli neurologi
2017 ringan, GCS : 456 gravida 24-26 minggu Roborantia 1x1 tab
TD:100/60 mmHg, Tunggal /Hidup Kontrol 4 minggu lagi
N:80x/m, RR:20 x/m + Space Occupying Terapi neurologi :
Kepala/Leher : Process cerebri due to Phenitoin 3x100 mg
anemis -/-, icteric -/- Glioblastoma As folat 1x1 mg
Thorax : + epilepsi simtomatik Vit B6 1x25 mg
Cor : S1S2 tunggal, reguler, on treatment
murmur (-)
Pulmo : Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : TFU setinggi pusat,
ball (+), DJJ 144 x/m, his

22
(-) negatif
Genetalia Eksterna :
fluxus (-) / fluor (-)

24-1-2018 Kontrol ANC Keadan Umum : tampak sakit G1P0000Ab000 Kontrol poli neurologi
ringan, GCS : 456 gravida 28-30 minggu Roborantia 1x1 tab
TD:100/60 mmHg, Tunggal /Hidup Kontrol 4 minggu lagi pro USG
N:80x/m, RR:20 x/m + Space Occupying Terapi neurologi :
Kepala/Leher : Process cerebri due to Phenitoin 3x100 mg
anemis -/-, icteric -/- Glioblastoma Asam folat 1x1 mg
Thorax : + epilepsi simptomatik Vitamin B6 1x25 mg
Cor : S1S2 tunggal, reguler, on treatment
murmur (-)
Pulmo : Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : TFU 23cm, letak
bujur kepala di bawah,
DJJ 144 x/m, TBJ 1550
gr, his (-) negatif
Genetalia Eksterna : v/v
fluxus (-) / fluor (-)

26-2-2018 Kontrol ANC Keadan Umum : tampak sakit G1P0000Ab000 Pro konference
ringan, GCS : 456 gravida 32-34 minggu Roborantia 1x1 tab
TD:110/60 mmHg, Tunggal/Hidup Terapi neurologi :
N:80x/m, RR:20 x/m + Space Occupying Phenitoin 3x100 mg
Kepala/Leher : Process cerebri due to Asam folat 1x1 mg
anemis -/-, icteric -/- Glioblastoma Vitamin B6 1x25 mg
Thorax : + epilepsi simtomatik

23
Cor : S1S2 tunggal, reguler, on treatment
murmur (-)
Pulmo : Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : TFU 27 cm, letak
bujur kepala di bawah,
DJJ 144 x/m, TBJ 2170
gr, his (-) negatif
Genetalia Eksterna : v/v
fluxus (-)/ fluor (-)

USG :
Tampak janin intrauterine
Tunggal /Hidup
Letak bujur kepala di bawah
BPD : 85,1 mm (34w2d)
AC : 294 mm (33w2d)
FL : 64,2 mm (33w2d)
EFW : 2259 g
AFI : 17,2 cm
Plasenta implantasi di fundus
sampai corpus posterior
maturasi gr II-III
8-3-2018 Medical Anestesi (dr. Isngadi SpAn) Rekomendasi :
conference Pasien akan dilakukan regulasi
Pada pasien ini, persalinan bisa dilakukan pervaginam
kejang dan mengurangi edema
dengan syarat pasien tidak boleh mengejan dan pasien
serebri oleh sejawat neurologi
tidak boleh merasakan sakit. Jika kedua syarat tersebut
dengan pemberian loading phenitoin
tidak bisa dipenuhi, lebih baik terminasi dilakukan dengan
dan kortikosteroid dan kemudian

24
Seksio Sesarea akan dilanjutkan dengan terminasi
kehamila dengan seksio sesarea
Neurologi (dr. Desika SpS)
pada usia kehamilan 37 minggu.
Jika melihat lokasi tumor dan perjalanan penyakitnya,
kemungkinan besar merupakan suatu low grade glioma.
Masalah utama pada pasien ini adalah kejang, yang
belum bisa teratasi meskipun sudah diberikan terapi
phenitoin 3x100 mg. Untuk mengendalikan kejang dan
mengurangi edema serebri, pasien perlu di MRS kan
untuk mendapatkan loading Phenitoin dan steroid
sebelum dilakukan terminasi

Sedangkan untuk terminasi lebih disarankan dengan


Seksio sesarea.

Bedah Syaraf (dr. Doni SpBS)

Jika melihat perjalanan penyakit dan gejala yang


ditimbulkan dari pasien ini, kemungkinan besar
merupakan suatu glioma bukan glioblastoma. Diagnosa
glioblastoma adalah diagnosa berdaasarkan PA. Jadi
untuk selanjutnya pasien kita diagnosa dengan Glioma
bukan glioblastoma.

Terminasi kehamilan pada pasien ini lebih disarankan

25
dengan seksio sesarea

Sedangkan untuk penatalaksanaan Glioma pada pasien


ini, akan dievaluasi ulang pemeriksaan MRInya 3 bulan
setelah pasien melahirkan.

Obgyn (dr. Nugrahanti SpOG-K)

Pasien adalah nyonya usia 33 tahun dengan kehamilan


pertama dan disertai dengan tumor otak, dimana secara
sosial merupakan bayi mahal, sehingga kami lebih
memilih untuk dilakukan terminasi dengan seksio sesarea.
Waktu pelaksanaan terminasi adalah setelah loading
phenitoin dari TS neurologi mengingat berat badan bayi
saat ini sudah cukup. Jika kondisi ibu tetap stabil,
terminasi akan dilakukan pada saat usia kehamilan sudah
aterm ( 37 minggu).

13-3-2018 Pasien MRS untuk regulasi kejang

26
13-3-2018 Keadan Umum : tampak G1P0000Ab000 Planning diagnosa : NST/ 3 hari
sakit ringan, GCS : 456 gravida 36-37 minggu Planning terapi :
TD:120/70 mmHg, Tunggal/Hidup  Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein
N:80x/m, RR:20 x/m + Space Occupying  IVFD RL lifeline
Kepala/Leher : Process cerebri frontal  Pro terminasi dengan seksio
anemis -/-, icteric -/- dextra due to suspect sesarea primer usia kehamilan
Thorax : glioma 37 minggu (21-3-2018)
Cor : S1S2 tunggal, reguler, + epilepsi simtomatik  Terapi neuro :
murmur (-) on treatment  Loading phenitoin 7,5 – 9
Pulmo : Rh -/-, Wh -/- mg/kgBB lanjut Injeksi Fenitoin
Abdomen : TFU 28 cm, maintenance 3x100 mg IV
letak bujur kepala di  Injeksi dexametasone 3x5 mg IV
bawah, TBJ 2480 g,  Injeksi Diazepam 10 mg bolus
DJJ 159 x/m, his (-) pelan bila kejang,maksimal 30
negatif mg/hari
Genetalia Eksterna : v/v Planning Monitoring:
fluxus (-)/ fluor (-) observasi. Vital Sign, keluhan, DJJ, his,
kejang
Komunikasi Informasi Edukasi

14-3-2018 Kejang (-) Keadan Umum : tampak G1P0000Ab000 Planning diagnosa : NST/ 3 hari
sakit ringan, GCS : 456 gravida 36-37 minggu Planning terapi :
TD:120/70 mmHg, Tunggal/Hidup  Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein
N:80x/m, RR:20 x/m + Space Occupying  IVFD RL lifeline
Kepala/Leher : Process cerebri frontal  Pro terminasi dengan seksio
anemis -/-, icteric -/- dextra due to suspect sesarea primer usia kehamilan
Thorax : glioma 37 minggu (21-3-2018)
Cor : S1S2 tunggal, reguler, + epilepsi simtomatik  Terapi neuro :
murmur (-) on treatment  Injeksi Fenitoin maintenance

27
Pulmo : Rh -/-, Wh -/- 3x100 mg IV
Abdomen : TFU 28 cm,  Injeksi dexametasone 2x5 mg IV
letak bujur kepala di  Injeksi Diazepam 10 mg bolus
bawah, TBJ 2480 g, pelan bila kejang,maksimal 30
DJJ 159 x/m, his (-) mg/hari
negatif Planning Monitoring:
Genetalia Eksterna : v/v observasi. Vital Sign, keluhan, DJJ, his,
fluxus (-)/ fluor (-) kejang
Komunikasi Informasi Edukasi
15-3-2018 Kejang 1x Keadan Umum : tampak G1P0000Ab000 Planning diagnosa :
sakit ringan, GCS : 456 gravida 36-37 minggu USG fetomaternal dan NST besok
TD:120/70 mmHg, Tunggal/Hidup Planning terapi :
N:80x/m, RR:20 x/m + Space Occupying  Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein
Kepala/Leher : Process cerebri frontal  IVFD RL lifeline
anemis -/-, icteric -/- dextra due to suspect  Pro terminasi dengan seksio
Thorax : glioma sesarea primer usia kehamilan
Cor : S1S2 tunggal, reguler, + epilepsi simtomatik 37 minggu (21-3-2018)
murmur (-) on treatment  Terapi neuro :
Pulmo : Rh -/-, Wh -/-  Injeksi Fenitoin maintenance
Abdomen : TFU 28 cm, 3x100 mg IV
letak bujur kepala di  Injeksi dexametasone 1x5 mg IV
bawah, TBJ 2480 g,  Injeksi Diazepam 10 mg bolus
DJJ 159 x/m, his (-) pelan bila kejang,maksimal 30
negatif mg/hari
Genetalia Eksterna : v/v Planning Monitoring:
fluxus (-)/ fluor (-) observasi. Vital Sign, keluhan, DJJ, his,
kejang
Komunikasi Informasi Edukasi

28
16-3-2018 Keadan Umum : tampak G1P0000Ab000 Planning diagnosa : -
sakit ringan, GCS : 456 gravida 36-37 minggu Planning terapi :
TD:120/70 mmHg, Tunggal/Hidup  Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein
N:80x/m, RR:20 x/m + Space Occupying  IVFD RL lifeline
Kepala/Leher : Process cerebri frontal  Pro terminasi dengan seksio
anemis -/-, icteric -/- dextra due to suspect sesarea primer usia kehamilan
Thorax : glioma 37 minggu (21-3-2018)
Cor : S1S2 tunggal, reguler, + epilepsi simtomatik  Induksi maturasi paru dengan
murmur (-) on treatment Injeksi dexametason 4x6 mg
Pulmo : Rh -/-, Wh -/- selang 6 jam
Abdomen : TFU 28 cm,  Terapi neuro :
letak bujur kepala di  Injeksi Fenitoin maintenance
bawah, TBJ 2480 g, 3x100 mg IV
DJJ 159 x/m, his (-)  Injeksi dexametasone stop
negatif
 Injeksi Diazepam 10 mg bolus
Genetalia Eksterna : v/v
pelan bila kejang,maksimal 30
fluxus (-)/ fluor (-)
mg/hari
Planning Monitoring:
USG Fetomaternal:
observasi. Vital Sign, keluhan, DJJ, his,
Tampak janin intrauterine
kejang
Tunggal /Hidup letak bujur
Komunikasi Informasi Edukasi
kepala di bawah
BPD : 86,7 mm (35w0d)
AC : 30,67 mm (34w4d)
FL : 6,87cm (35w2d)
EFW : 2565 g
AFI : 16,8 cm
Placenta implantasi di
fundus uteri ke corpus

29
sinistra maturasi gr III

CTG :
Baseline : 140 bpm
Variability : 5-20 bpm
Acc : (+)
Dcc : (-)
Kesimpulan :NST Kategori I
17-3-2018 Keadan Umum : tampak G1P0000Ab000 Planning diagnosa : NST/ 3 hari
sakit ringan, GCS : 456 gravida 36-37 minggu Planning terapi :
TD:120/70 mmHg, Tunggal/Hidup  Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein
N:80x/m, RR:20 x/m + Space Occupying  IVFD RL lifeline
Kepala/Leher : Process cerebri frontal  Pro terminasi dengan seksio
anemis -/-, icteric -/- dextra due to suspect sesarea primer usia kehamilan
Thorax : glioma 37 minggu (21-3-2018)
Cor : S1S2 tunggal, reguler, + epilepsi simtomatik  Induksi maturasi paru dengan
murmur (-) on treatment Injeksi dexametason 4x6 mg
Pulmo : Rh -/-, Wh -/- selang 6 jam
Abdomen : TFU 28 cm,  Terapi neuro :
letak bujur kepala di  Injeksi Fenitoin maintenance
bawah, TBJ 2480 g, 3x100 mg IV
DJJ 159 x/m, his (-)  Injeksi Diazepam 10 mg bolus
negatif pelan bila kejang,maksimal 30
Genetalia Eksterna : v/v mg/hari
fluxus (-)/ fluor (-)
 Per oral :
 Fenitoin 3x100 mg
 Asam folat 1x1 mg
 Vitamin B6 1x25 mg
Planning Monitoring:

30
observasi. Vital Sign, keluhan, DJJ, his,
kejang
Komunikasi Informasi Edukasi

18-3-2018 Keadan Umum : tampak G1P0000Ab000 Planning diagnosa : NST/ 3 hari


sakit ringan, GCS : 456 gravida 36-37 minggu Planning terapi :
TD:120/70 mmHg, Tunggal/Hidup  Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein
N:80x/m, RR:20 x/m + Space Occupying  IVFD RL lifeline
Kepala/Leher : Process cerebri frontal  Pro terminasi dengan seksio
anemis -/-, icteric -/- dextra due to suspect sesarea primer usia kehamilan
Thorax : glioma 37 minggu (21-3-2018)
Cor : S1S2 tunggal, reguler, + epilepsi simtomatik  Terapi neuro :
murmur (-) on treatment  Injeksi Fenitoin maintenance
Pulmo : Rh -/-, Wh -/- + Post Induksi 3x100 mg IV
Abdomen : TFU 28 cm, maturasi paru  Injeksi Diazepam 10 mg bolus
letak bujur kepala di pelan bila kejang,maksimal 30
bawah, TBJ 2480 g, mg/hari
DJJ 159 x/m, his (-)  Per oral :
negatif
 Fenitoin 3x100 mg
Genetalia Eksterna : v/v
 Asam folat 1x1 mg
fluxus (-)/ fluor (-)
 Vitamin B6 1x25 mg
Planning Monitoring:
observasi. Vital Sign, keluhan, DJJ, his,
kejang
Komunikasi Informasi Edukasi

19-3-2018 Keadan Umum : tampak G1P0000Ab000 Planning diagnosa : NST/ 3 hari


sakit ringan, GCS : 456 gravida 36-37 minggu Planning terapi :
TD:120/70 mmHg, Tunggal/Hidup  Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein

31
N:80x/m, RR:20 x/m + Space Occupying  IVFD RL lifeline
Kepala/Leher : Process cerebri frontal  Pro terminasi dengan seksio
anemis -/-, icteric -/- dextra due to suspect sesarea primer usia kehamilan
Thorax : glioma 37 minggu (21-3-2018)
Cor : S1S2 tunggal, reguler, + epilepsi simtomatik  Terapi neuro :
murmur (-) on treatment  Injeksi Fenitoin stop
Pulmo : Rh -/-, Wh -/- + Post induksi maturasi  Injeksi Diazepam 10 mg bolus
Abdomen : TFU 28 cm, paru pelan bila kejang,maksimal 30
letak bujur kepala di mg/hari
bawah, TBJ 2480 g,  Per oral :
DJJ 159 x/m, his (-)  Fenitoin 3x100 mg
negatif
 Asam folat 1x1 mg
Genetalia Eksterna : v/v
 Vitamin B6 1x25 mg
fluxus (-)/ fluor (-)
Planning Monitoring:
observasi. Vital Sign, keluhan, DJJ, his,
kejang
Komunikasi Informasi Edukasi

20-3-2018 Keadan Umum : tampak G1P0000Ab000 Planning diagnosa : -


sakit ringan, GCS : 456 gravida 36-37 minggu Planning terapi :
TD:120/70 mmHg, Tunggal/Hidup  Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein
N:80x/m, RR:20 x/m + Space Occupying  IVFD RL lifeline
Kepala/Leher : Process cerebri frontal  Pro terminasi dengan seksio
anemis -/-, icteric -/- dextra due to suspect sesarea primer besok (21-3-
Thorax : glioma 2018)
Cor : S1S2 tunggal, reguler, + epilepsi simtomatik  Persiapan operasi
murmur (-) on treatment  Puasa 6 jam pre op
Pulmo : Rh -/-, Wh -/- + post induksi maturasi  IVFD RL 1000 cc
Abdomen : TFU 28 cm, paru  Premedikasi :

32
letak bujur kepala di  Injeksi Cefazolin 2 gr
bawah, TBJ 2480 g,  Injeksi Ranitidin 1 amp
DJJ 159 x/m, his (-)  Injeksi Metoclopramide
negatif 1 amp
Genetalia Eksterna : v/v  Informed consent, sedia
fluxus (-)/ fluor (-) darah, konsul anestesi
 Terapi neuro :
Hasil laboratorium :  Injeksi Diazepam 10 mg
DL : 10,9/ 11.130/ 32,9/ bolus pelan bila
276.000 kejang,maksimal 30
FH : 9,8/29,1 mg/hari
OT/PT : 14/11  Per oral :
Alb : 3,63  Fenitoin 3x100 mg
GDA : 88  Asam folat 1x1 mg
Ur/Cr : 10,8/0,39  Vitamin B6 1x25 mg
Planning Monitoring :
Konsul anestesi : Observasi Vital Sign, keluhan, DJJ, his,
ASA 3 Space Occupying kejang
Process cerebri, Komunikasi Informasi Edukasi
epilepsi on treatment
21-3-2018 pasien dilakukan terminasi kehamilan dengan Seksio Sesarea
21-3-2018 Post operasi Keadan Umum : tampak P1001Ab000 Post Planning diagnosa : DL 2 jam post op
Seksio sakit sedang, GCS : 456 Partum SCTP+IUD Planning Terapi :
Sesarea hari TD:110/70 mmHg, dengan anestesi Pindah ruangan
ke-0 N:80x/m, RR:20 x/m umum hari ke-0 atas Puasa sampai dengan Bising Usus (+)/
Kepala/Leher : indikasi Space flatus lanjut minum sedikit-sedikit
anemis -/-, icteric -/- Occupying Process Dilarang angkat kepala sampai dengan
Thorax : cerebri frontal dextra et 12 jam
Cor : S1S2 tunggal, reguler, causa glioma + IVFD RL drip oxitocin 20 IU 28 tpm

33
murmur (-) epilepsi simtomatik on sampai dengan 12 jam
Pulmo : Rh -/-, Wh -/- treatment + post Tx Injeksi : Cefazolin 3x1 gr
Abdomen : TFU 2 jari Induksi maturasi paru Ranitidin 2x1 amp
bawah pusat, Metoclopramide 3x1 amp
kontraksi baik, luka Ketorolac 3x30 mg
operasi tertutup Kalnex 3x500 mg
kassa kering Planning Monitoring :
Genetalia Eksterna : Observasi Vital Sign, keluhan, kontraksi
lochea (+) uterus
Komunikasi Informasi Edukasi
22-3-2018 - Keadan Umum : tampak P1001Ab000 Post Planning diagnosa : -
sakit ringan, GCS : 456 Partum SCTP+IUD Planning Terapi :
TD:110/70 mmHg, dengan anestesi  Diet Makanan Pasca Bedah
N:80x/m, RR:20 x/m umum hari ke-1 atas  Mobilisasi bertahap
Kepala/Leher : indikasi Space  Per Oral :
anemis -/-, icteric -/- Occupying Process  Cefadroxil 3x500 mg
Thorax : cerebri frontal dextra et  As. Mefenamat 3x500 mg
Cor : S1S2 tunggal, reguler, causa glioma +  Metergin 3x1 tab
murmur (-) epilepsi simtomatik on  Phenitoin 3x100 mg
Pulmo : Rh -/-, Wh -/- treatment + post  Asam folat 1x1mg
Abdomen : TFU 2 jari Induksi maturasi paru Planning Monitoring :
bawah pusat, observasi Vital Sign, keluhan, kontraksi
kontraksi baik, luka uterus, kejang
operasi tertutup
kassa kering
Genetalia Eksterna :
lochea (+)

Hasil Laboratorium :

34
DL : 10/17210/30,8/246000

23-3-2018 - Keadan Umum : tampak P1001Ab000 Post Planning diagnosa : -


sakit ringan, GCS : 456 Partum SCTP+IUD Planning Terapi :
TD:110/60 mmHg, dengan anestesi  Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein
N:80x/m, RR:20 x/m umum hari ke-2 atas  Mobilisasi bertahap
Kepala/Leher : indikasi Space  Per Oral :
anemis -/-, icteric -/- Occupying Process  Cefadroxil 3x500 mg
Thorax : cerebri frontal dextra et  As. Mefenamat 3x500 mg
Cor : S1S2 tunggal, reguler, causa glioma +  Metergin 3x1 tab
murmur (-) epilepsi simtomatik on  Phenitoin 3x100 mg
Pulmo : Rh -/-, Wh -/- treatment + post  Asam folat 1x1mg
Abdomen : TFU 2 jari Induksi maturasi paru Planning Monitoring :
bawah pusat, observasi Vital Sign, keluhan, kontraksi
kontraksi baik, luka uterus, kejang
operasi tertutup
kassa kering
Genetalia Eksterna :
lochea (+)

24-3-2018 - Keadan Umum : tampak P1001Ab000 Post Planning diagnosa : -


sakit ringan, GCS : 456 Partum SCTP+IUD Planning Terapi :
TD:120/80 mmHg, dengan anestesi  Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein
N:80x/m, RR:20 x/m umum hari ke-3 atas  Mobilisasi bertahap
Kepala/Leher : indikasi Space  Per Oral :
anemis -/-, icteric -/- Occupying Process  Cefadroxil 3x500 mg
Thorax : cerebri frontal dextra et  As. Mefenamat 3x500 mg
Cor : S1S2 tunggal, reguler, causa glioma +  Metergin 3x1 tab
murmur (-) epilepsi simtomatik on  Phenitoin 3x100 mg

35
Pulmo : Rh -/-, Wh -/- treatment + post  Asam folat 1x1mg
Abdomen : TFU 2 jari Induksi maturasi paru  Rawat luka  baik
bawah pusat,  Keluar Rumah Sakit
kontraksi baik, luka Planning Monitoring :
operasi tertutup observasi Vital Sign, keluhan, kontraksi
kassa kering uterus, kejang
Genetalia Eksterna : Komunikasi Informasi Edukasi
lochea (+)

36
BAB III
PERMASALAHAN

3.1 Bagaimana cara menegakkan diagnosa glioma dalam kehamilan ?

Penegakkan diagnosa glioma dalam kehamilan bisa dilakukan

berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang. Gejala dari glioma

sebagian mirip dengan gejala kehamilan muda, yaitu pusing serta mual dan

muntah. Namun pada glioma biasanya didapatkan gejala lain seperti kejang,

defisit neurologis, maupun defisit kognitif. Diagnosa pasti didapatkan dari

pemeriksaan CT scan kepala dengan kontras atau MRI kepala dengan kontras

yang menggambarkan letak dan ukuran dari glioma serta efek dari glioma

tersebut ke jaringan sekitarnya.

3.2 Bagaimana pengaruh kehamilan terhadap glioma ?

Pallud et al, dalam penelitiannya menyebutkan bahwa dengan

menggunakan teknik Velocity of Diametric Expansion (VDE) didapatkan

pertumbuhan tumor glioma derajat rendah yang lebih cepat selama kehamilan

jika dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan tumor baik sebelum kehamilan

maupun setelah persalinan. Percepatan pertumbuhan tumor ini diduga

berhubungan dengan adanya retensio cairan dan peningkatan volume

intravascular yang secara fisiologis terjadi pada wanita hamil. Jadi kehamilan

dapat mempengaruhi percepatan pertumbuhan glioma.

3.3 Bagaimana pengaruh glioma terhadap kehamilan ?

Glioma memberikan gejala klinis berupa peningkatan tekanan intrakranial,

defisit neurologis, kejang, dan penurunan fungsi kognitif. Pada pasien ini gejala

yang menonjol adalah kejang. Wanita hamil dengan kejang, cenderung

mengalami komplikasi obstetri dalam masa kehamilan daripada wanita yang

37
tidak kejang. Pengaruh kejang pada kehamilan adalah meningkatkan resiko

persalinan prematur (4-11%), berat badan bayi lahir rendah (7-10%),

mikrocephali dan skor Apgar yang rendah.

3.4 Bagaimana penatalaksanaan kehamilan dan terminasi kehamilan pasien

dengan glioma ?

Sampai saat ini belum didapatkan evidence base yang jelas tentang

kapan dan bagaimana terminasi kehamilan dilakukan. Beberapa ahli

memutuskan bahwa tindakan neurosurgery dan terminasi kehamilan tergantung

pada berat ringannya gejala neurologis dan usia kehamilan. Pada pasien yang

secara klinis tidak stabil dengan resiko herniasi otak, terminasi kehamilan

dianjurkan secara seksio sesarea dengan general anestesi. Persalinan

pervaginam masih memungkinkan untuk dilakukan bila seksio sesarea tidak bisa

dilakukan dan hanya diperkenankan pada pasien yang stabil.

3.5 Bagaimana penatalaksanaan glioma pada pasien ini ?

Diagnosa glioma pada pasien ini ditegakkan saat pasien hamil 20

minggu. Pasien direncanakan untuk tindakan operatif untuk mengambil tumor,

namun karena pasien sedang hamil tindakan operatif ditunda sampai pasien

melahirkan. Pada pasien ini gejala klinis glioma yang menonjol adalah kejang.

Pasien diberikan obat anti kejang, yaitu phenitoin 3x100 mg sejak usia

kehamilan 20 minggu.

3.6 Bagaimana reproduksi sehat yang direncanakan pada pasien ini ?

Penderita ini berusia 33 tahun, menikah 1 tahun, baru memiliki satu orang

anak, dan menderita Space Occupying Process cerebri frontal dextra et causa

glioma dengan epilepsi simptomatik sehingga kesehatan reproduksinya

merupakan masalah penting. Penderita glioma mempunyai resiko untuk

38
terjadinya perburukan kondisi karena pertumbuhan tumornya. Penderita telah

disarankan untuk tidak hamil dahulu sebelum penyakitnya diobati ( dilakukan

pembedahan, kemoterapi, maupun radiasi), karena efek pengobatan definitif

glioma juga bisa menimbulkan dampak yang tidak baik terhadap janin.

Pertumbuhan tumor diduga bisa dipengaruhi oleh hormon progesteron maupun

estrogen, sehingga untuk pemilihan kontrasepsi, lebih disarankan untuk

pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR). Setelah diberikan penjelasan

dan memahami resiko yang terjadi, penderita dan suami memilih untuk memakai

AKDR.

3.7 Bagaimana prognosa kehamilan dengan tumor otak ?

Prognosa kehamilan dengan tumor otak tergantung dari jenis dan

stadium tumor serta kondisi pasien saat hamil. Dari beberapa penelitian

disebutkan bahwa kehamilan bisa mempercepat pertumbuhan sel tumor. Namun

hal tersebut tiidak cukup untuk membuat kehamilan sebagai faktor yang

signifikan dalam mempengaruhi prognosa dari glioma itu sendiri. Oleh sebab

itulah, penting untuk memberikan konseling kepada pasien wanita usia

reproduktif dengan glioma bahwa kehamilan sepertinya tidak mempengaruhi

kelangsungan hidup (survival rate) mereka.

39
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Penegakkan Diagnosa Glioma dalam Kehamilan

Penegakkan diagnosa Glioma dalam kehamilan secara umum sama

dengan penegakkan diagnosa glioma pada umumnya, yaitu dari anamnesa,

pemeriksaan fisik , dan pemeriksaan penunjang. Yang menjadi masalah adalah

gejala kehamilan muda yang mirip dengan gejala glioma sehingga seringkali

diagnosa glioma terlewatkan kecuali timbul gejala neurologis lainnya.

4.1.1Anamnesa

Keluhan yang timbul dapat berupa sakit kepala, mual, penurunan nafsu

makan, muntah proyektil, kejang, defisit neurologik (penglihatan ganda,

strabismus, gangguan keseimbangan, kelumpuhan ekstremitas gerak, dsb),

perubahan kepribadian, mood, mental, atau penurunan fungsi kognitif (Aman

dkk, 2017). Gejala tersebut juga bisa dijumpai pada kehamilan muda. Namun

tidak disertai dengan defisit neurologis dan gangguan kognitif. Gejala yang paling

sering muncul pada glioma adalah kejang. Sedangkan pada kehamilan dengan

glioma, kejang biasanya muncul pada usia kehamilan 13 minggu (Katz et al,

2014).

4.1.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan mencakup pemeriksaan status

generalis dan lokalis, serta pemeriksaan neurooftalmologi. Kanker otak

melibatkan struktur yang dapat mendestruksi jaras pengllihatan dan gerakan

bolamata, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga beberapa

kanker otak dapat memiliki manifestasi neurooftalmologi yang khas seperti tumor

40
regio sella, tumor region pineal, tumor fossa posterior, dan tumor basis kranii.

Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan neurooftalmologi terutama untuk

menjelaskan kesesuaian gangguan klinis dengan fungsional kanker otak (Aman

dkk, 2017).

Gangguan kognitif dapat merupakan soft sign, gejala awal pada kanker

otak, khususnya pada tumor glioma derajat rendah, limfoma, atau metastasis.

Fungsi kognitif juga dapat mengalami gangguan baik melalui mekanisme

langsung akibat destruksi jaras kognitif oleh kanker otak, maupun mekanisme

tidak langsung akibat terapi, seperti operasi, kemoterapi, atau radioterapi. Oleh

karena itu, pemeriksaan fungsi luhur berguna untuk menjelaskan kesesuaian

gangguan klinis dengan fungsional kanker otak, serta mengevaluasi pre- dan

post tindakan (operasi, radioterapi dan kemoterapi) (Aman dkk, 2017).

4.1.3 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan radiologis yang perlu dilakukan antara lain CT scan dengan

kontras; MRI dengan kontras, MRS, dan DWI; serta PET CT (atas indikasi).

Pemeriksaan radiologi standar adalah CT scan dan MRI dengan kontras. CT

scan berguna untuk melihat adanya tumor pada langkah awal penegakkan

diagnosis dan sangat baik untuk melihat kalsifikasi, lesi erosi/destruksi

pada tulang tengkorak. MRI dapat melihat gambaran jaringan lunak dengan

lebih jelas dan sangat baik untuk tumor infratentorial, namun

mempunyai keterbatasan dalam hal menilai kalsifikasi. Pemeriksaan

fungsional MRI seperti MRS sangat baik untuk menentukan daerah

nekrosis dengan tumor yang masih viabel sehingga baik digunakan sebagai

penuntun biopsi serta untuk menyingkirkan diagnosis banding, demikian

juga pemeriksaan DWI. Pemeriksaan positron emission tomography (PET)

41
dapat berguna pascaterapi untuk membedakan antara tumor yang rekuren

dan jaringan nekrosis akibat radiasi (Aman dkk, 2017).

4.2 Pengaruh Kehamilan Terhadap Glioma

Selama kehamilan terjadi beberapa perubahan fisiologis pada tubuh ibu

dengan tujuan utama untuk menyokong pertumbuhan janin dan perkembangan

normal selama kehamilan sampai dengan persalinan. Dalam suatu kondisi

kehamilan, proses patologis dapat terjadi pada tumor otak dengan gambaran

karakteristik dan biologi yang berbeda. Latar belakang perubahan patofisiologi

dan morfologi pada tumor dalam kehamilan masih belum dimengerti. Di bawah

ini beberapa hipotesa yang diduga sebagai penyebab perubahan patofisiologi

dan morfologi tumor tersebut (Pallud et al, 2009).

4.2.1 Interaksi Antara Kehamilan dan Tumor Otak

Banyak laporan yang menunjukkan peningkatan gejala dan tingkat

pertumbuhan dari tumor otak primer selama kehamilan. Hal ini pertama kali

ditemukan pada tahun 1930 dan didokumentasikan dalam multiple report dari

wanita-wanita dengan meningioma yang memiliki onset gejala selama hamil,

remisi saat periode post partum dan kambuh atau relaps pada kehamilan

berikutnya. Pengamatan serupa terjadi pada wanita-wanita yang menderita tumor

sel glial. Sebuah tinjauan yang melibatkan 223 kasus dengan tumor otak primer

dan tumor tulang belakang menunjukkan bahwa munculnya manifestasi klinis

pertama atau percepatan dari gejala muncul selama kehamilan. Perkembangan

dari tumor otak yang spesifik ditemukan meningkat selama kehamilan dan

tergantung pada usia kehamilan. Pertumbuhan glioma biasanya terjadi pada

42
trimester pertama, sedangkan meningioma terjadi pada trimester ketiga (Daras,

2014).

Insiden tumor pada susunan syaraf pusat tidak meningkat selama

kehamilan. Namun demikian, didapatkan perubahan perilaku biologi dari

beberapa subtipe tumor yang terjadi selama kehamilan, seperti peningkatan

pertumbuhan tumor dan evolusi ke arah transformasi maligna. Sudah diketahui

bahwa kehamilan dapat menjadi faktor yang memudahkan pertumbuhan tumor,

seperti pada kasus meningioma. Untuk lesi yang lain, seperti tumor

dysembrioplastik neuroepitel, kemungkinan tidak ada hubungan antara

pertumbuhan tumor dan kehamilan. Sedangkan untuk glioma, meskipun

hubungannya dengan kehamilan masih sangat sedikit dilaporkan, namun diduga

bahwa kehamilan dapat menimbulkan dampak negatif pada pertumbuhan

glioma. Kehamilan dapat memicu baik itu peningkatan edema perilesi dan

percepatan dari pertumbuhan tumor. Dimana beberapa mekanismenya masih

dalam taraf hipotesis (Pallud et al, 2009).

Kehamilan memberikan pengaruh terhadap tingkat pertumbuhan glioma

derajat rendah (WHO grade II). Hal ini telah dibuktikan oleh penelitian yang

dilakukan oleh Johan Pallud dan kawan-kawan pada tahun 2010 dengan

menggunakan teknik Velocity of Diametric Expansion (VDE). Pallud

menunjukkan bahwa terjadi percepatan pertumbuhan glioma derajat II selama

kehamilan. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa : 1. VDE meningkat

secara nyata selama kehamilan lebih dari level yang terdeteksi baik saat

sebelum hamil maupun setelah persalinan (75% kasus). 2. Perubahan dari

pertumbuhan tumor berhubungan dengan meningkatnya frekuensi kejang (40%

kasus) dan 3. Perubahan tersebut memicu untuk dilakukan pengobatan lebih

43
lanjut setelah persalinan (25% kasus). Studi literatur tentang bagaimana

mekanisme kehamilan mempengaruhi tumor otak primer sangat terbatas. Diduga

mekanisme yang melibatkan perubahan vaskular yang secara fisiologis terjadi

saat kehamilan dapat mempengaruhi pertumbuhan tumor. Selama kehamilan,

retensi cairan dan peningkatan volume intravaskular dapat memperburuk efek

massa intrakranial, baik melalui peningkatan edema peritumoral maupun melalui

peningkatan tumor blood volume absolut yang ditemukan pada glioma

(Blumenthal et al, 2008). Bagaimanapun, jika hanya cairan dan komponen

vaskular yang bertanggungjawab pada percepatan pertumbuhan tumor selama

kehamilan, volume tumor seharusnya menurun setelah melahirkan, dan

menghasilkan VDE negatif. Data yang sesuai dengan prediksi ini hanya 1 dari 12

kasus. Sedangkan pada 11 kasus yang lain, VDE setelah persalinan kembali

pada level seperti saat sebelum hamil, yang menunjukkan pertumbuhan yang

lambat namun pasti dari glioma (Pallud et al, 2010).

4.2.2 Hubungan Hormonal Antara Kehamilan dan Glioma

Kehamilan memicu terjadinya modifikasi hormon utama, terutama sex

hormon yang dapat melewati blood-brain barrier. Selain itu, sel-sel glia pada

susunan syaraf pusat juga mengekspresikan reseptor hormon. Efek

sesungguhnya dari kehamilan pada perilaku biologis glioma mungkin dipicu oleh

modifikasi dari interaksi hormon dan reseptornya. Berbeda dengan meningioma,

hanya ada sedikit penelitian tentang ekspresi reseptor hormon pada glioma.

Tidak ada hubungan yang jelas antara grading glioma dan ekspresi dari reseptor

hormon. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, beberapa peneliti menduga

hubungan antara reseptor steroid (terutama progesteron) dan tumor ganas

(meningioma atau glioma) adalah menghasilkan suatu edema peritumoral.

44
Menariknya progesteron juga merupakan suatu neurosteroid, yaitu hormon yang

berasal dari kolesterol pada susunan syaraf pusat dan juga bisa disintesis oleh

sel schwann, sehingga mempengaruhi produksi myelin, proses perbaikan sel

Central Nervous System (CNS) dan modulasi dari neurotransmisi. Hormon

kelamin juga secara jelas diekspresikan oleh tumor CNS yang berbeda. Interaksi

hormon – reseptor dapat mempengaruhi pertumbuhan tumor dan transformasi

maligna pada glioma (Pallud et al, 2009).

4.3 Pengaruh Glioma Pada Kehamilan

4.3.1 Manifestasi Klinis Glioma

Gejala yang timbul pada pasien dengan kanker otak tergantung dari

lokasi dan tingkat pertumbuhan tumor. Kombinasi gejala yang sering ditemukan

adalah peningkatan tekanan intrakranial (sakit kepala hebat disertai muntah

proyektil), defisit neurologis yang progresif, kejang, penurunan fungsi kognitif.

Pada glioma derajat rendah gejala yang biasa ditemui adalah kejang, sementara

glioma derajat tinggi lebih sering menimbulkan gejala defisit neurologis progresif

dan tekanan intrakranial meningkat (Aman dkk, 2017). Dari semua gejala yang

bisa ditimbulkan oleh glioma, kejanglah yang mempunyai pengaruh terhadap

kehamilan, terutama terhadap pertumbuhan dan kesejahteraan janin (RCOG,

2016) .

4.3.2 Patofisiologi Kejang Pada Tumor Otak

Hubungan antara tumor dan timbulnya kejang sebenarnya masih belum

dipahami sepenuhnya. Secara patogenesis sampai saat ini ada dua pendapat

yang menghubungkan antara tumor dan timbulnya kejang. Pendapat pertama

didasarkan pada asal tumor, dimana tumor mengeluarkan molekul yang dapat

45
menjadikan jaringan tumor bersifat epileptogenik. Pendapat yang lain

berdasarkan pada pemikiran bahwa tumor menekan jaringan normal di

sekitarnya yang kemudian pada waktunya berubah menjadi “epileptogenik”

setelah mengalami proses iskemia dan hipoksia. Sementara secara mekanisme,

terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kejang pada penderita

tumor otak (You Gan, 2012):

1. Histologi

Dari segi histologi kejang biasanya terjadi pada pasien pada tumor jinak

seperti dysembrioblastic neuroepithelial tumor, ganglioglioma dan

oligodendroglioma. Sementara pada tumor-tumor ganas dan tumor metastase

seperti glioblastoma multiforme kejang jarang terjadi. Penjelasan mengenai hal

ini adalah pada tumor jinak terjadi deferensiasi sel yang baik yang mampu

mengeluarkan neurotransmitter dan zat-zat modulator yang bersifat

epileptogenik. Materi-materi tersebut akan merangsang korteks dan subkorteks

yang akan memicu transmisi elektrik sebagai precursor kejang. Selain itu,

inflamasi kronis berupa edem perifokal akan mengubah komposisi elektrolit yang

dapat memicu timbulnya kejang. Sementara, kenyataannya juga tidak semua

pasien dengan lokasi dan histologi yang sama akan mengalami kejang. Hal ini

memberikan kemungkinan adanya faktor genetik yang berperan dalam hubungan

tumor otak dan terjadinya kejang (You Gan, 2012).

2. Lokasi Tumor

Lokasi sebuah tumor juga sangat menentukan timbulnya kejang. Tumor

yang belokasi di daerah subkorteks sangat jarang menimbulkan gejala kejang.

Beberapa penelitian menyebutkan keberadaan tumor di korteks serebri terutama

di subtansia grisea merupaka lokasi yang sering menimbulkan kejang. Dari segi

46
pembagian lobus, lobus frontal dan lobus temporal serta sistem limbik berperan

penting dalam terjadinya kejang (You Gan, 2012).

3. Sawar Darah Otak

Komponen selular yang menyusun sawar darah otak meliputi sel

endothelial, astrosit, perisit, neuron, dan komplek jungtional dan juga dilapisi oleh

protein seperti okludin, klaudin, dan molekul adhesi. Aktivitas proliferasi sel-sel

tumor akan menghasilkan zat-zat yang akan merusak sawar darah otak,

sehingga menurunkan fungsi protein transmembran, sehingga dihasilkan

Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF). Difusi VEGF di peritumor akan

menginisiasi edema disekitar lesi yang berakibat pada peningkatan Transforming

Growth Factor (TGF) β, akumulasi potasium, dan N-methyl-D-aspartate (NMDA)

yang memediasi hipereksitabilitas dari susunan saraf dan berujung pada

timbulnya kejang (You Gan, 2012).

4. Gap Junction

Komunikasi antar sel glia dijembatani oleh protein yang dinamakan connexins.

Sel-sel tumor akan mengeluarkan materi-materi yang berperan dalam

peningkatan reaktivitas protein tersebut, sehingga koneksi antara sel glia menjadi

meningkat. Hipereaktivitas dari connexins merupakan salah satu faktor pencetus

kejang (You Gan, 2012).

5. Perubahan Molekular Genetilk

Faktor genetik yang dimiliki oleh sel tumor jika memilki peran dalam timbulnya

proses kejang. Sebagai contoh, ekspresi gen tumor LGI1 berkontribusi dalam

mempercepat pertumbuhan sel tumor disertai peningkatan aktivitas potensial

aksi sel-sel normal disekelilingnya. Perubahan genetik dari sel tumor itu sendiri

47
juga dapat menjadi fokus eksitatorik yang berperan dalam proses terjadinya

kejang (You Gan, 2012).

Gambar 4.1 Skema patogenesis dan strategi tumor- related epilepsy (You Gan,

2012)

Skema dari mekanisme yang mendasari patogenesa dan strategi klinis dari tumor-related epilepsy, yang
menunjukkan faktor intra dan peritumoral yang menyebabkan tumor-related seizure dan bagaimana efek dari
pengobatan (You Gan, 2012)

4.3.3 Pengaruh Kejang Epilepsi Pada Kehamilan

Bayi dari ibu yang menderita epilepsi memiliki risiko yang lebih tinggi

untuk sejumlah luaran kehamilan yang merugikan. Di antaranya adalah kematian

janin, malformasi kongenital, perdarahan neonatus, berat badan lahir rendah,

keterlambatan perkembangan, kesulitan makan, dan epilepsi masa kanak-kanak.

Sejumlah data epidemiologi menunjukkan, anak dari perempuan penderita

epilepsi mengalami cacat lahir sekitar 2–3 kali lebih tinggi dari populasi umum. Di

seluruh dunia, sekitar 40.000 bayi setiap tahun terpajan obat anti epilepsi (OAE)

di dalam kandungan. Diperkirakan sekitar 1.500-2.000 dari bayi tersebut

mengalami cacat lahir sebagai dampak OAE tersebut (Taufiqurohman, 2014).

48
Bangkitan selama kehamilan meningkatkan risiko outcome kehamilan

yang merugikan. Bangkitan pada trimester pertama diketahui meningkatkan

risiko malformasi kongenital pada keturunan 12,3% berbanding 4% dengan anak

yang terpapar dengan bangkitan maternal pada waktu yang lain. Bangkitan

umum tonik-klonik meningkatkan risiko hipoksia dan asidosis dan juga cedera

karena trauma benda tumpul. Peneliti dari Kanada menemukan bahwa bangkitan

maternal selama kehamilan meningkatkan risiko keterlambatan perkembangan.

Meski jarang terjadi, status epileptikus dapat menyebabkan tingkat mortalias

yang tinggi bagi ibu dan anak. Di dalam sebuah penelitian terhadap 29 kasus

yang dilaporkan, 9 ibu dan 14 anak meninggal selama atau sesaat setelah

episode status epileptikus. Anak dari seorang perempuan yang memiliki tiga kali

bangkitan tonik klonik umum selama kehamilannya, dapat menyebabkan

perdarahan intraserebral (Taufiqurohman, 2014).

Berikut adalah pengaruh kejang terhadap janin :

1.Kematian Janin

Kematian janin, didefinisikan sebagai fetal loss setelah usia kehamilan 20

minggu tampaknya menjadi hal yang umum terjadi dan kemungkinan merupakan

masalah yang sama besarnya dengan malformasi dan anomali kongenital.

Penelitian yang membandingkan tingkat stillbirth menemukan tingkat yang lebih

tinggi pada bayi dari ibu dengan epilepsi (1,31,4%) dibandingkan dengan bayi

dari ibu tanpa epilepsi (1,2-7,8%). Aborsi spontan, didefinisikan sebagai fetal loss

pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu, tampaknya terjadi lebih sering pada

bayi dari ibu dengan epilepsi. Penelitian lain telah menunjukkan kenaikan tingkat

kematian neonatus dan perinatal. Tingkat kematian perinatal berkisar dari 1,3

hingga 7,8% dibandingkan dengan 1,0 hingga 3,9% kontrol. Serangan epilepsi

49
selama trimester pertama kehamilan juga berhubungan dengan peningkatan

risiko terjadinya cacat. Pada penelitian ditemukan sekitar 12% anak lahir cacat

dari ibu epilepsi yang mengkonsumsi obat anti epilepsi (OAE) dan mengalami

serangan pada trimester pertama. Ibu yang tidak mengalami serangan pada

trimester pertama kehamilan namun juga mengkonsumsi OAE, cacat lahir yang

terjadi hanya sekitar 4 %. Serangan selama kehamilan juga dihubungkan dengan

lebih tingginya angka fetal dan maternal mortality rates sebesar 30%– 50%.

Hiilesmaa et al. meneliti hubungan antara epilepsi general dan kematian janin.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan peningkatan kematian maternal dan fetal

berhubungan dengan status epileptikus dan efek samping bangkitan secara

umum pada janin seperti hipoksia dan asidosis. Hal itu mengindikasikan, terapi

OAE perlu dilanjutkan meskipun kewaspadaan terhadap teratogenik OAE harus

diperhatikan (Taufiqurrohman, 2014).

2. Perdarahan Neonatus

Sebuah fenomena perdarahan neonatus yang unik telah digambarkan

pada bayi dengan ibu epilepsi. Berbeda dengan gangguan perdarahan lain pada

bayi dimana perdarahan cenderung terjadi selama 24 jam pertama kehidupan.

Pada awalnya berhubungan dengan paparan terhadap fenobarbital atau

primidone tetapi selanjutnya juga ditunjukkan pada anak yang terpapar dengan

fenitoin, karbamazepin, diazepam, mefobarbital, amobarbital, dan ethosuximide.

Sebuah kelompok peneliti menunjukkan bahwa vigabatrin juga meningkatkan

risiko perdarahan neonatus. Angka prevalensi mencapai setinggi 30% tetapi

tampaknya memiliki rata-rata 10%. Mortalitas tinggi, lebih dari 30%, karena

perdarahan terjadi dalam kavitas interna dan tidak diketahui hingga anak

mengalami syok. Perdarahan diakibatkan karena defisiensi faktor penjendalan

50
yang tergantung vitamin K yaitu faktor II, VII, IX dan X. Antikonvulsan bekerja

seperti warfarin, dan menghambat transport vitamin K melewati plasenta

(Taufiqurrohman, 2014).

3. Berat Badan Lahir Rendah

Berat badan lahir rendah (kurang dari 2500g) dan prematuritas telah

ditunjukkan pada bayi dari ibu penderita epilepsi. Rata-rata tingkatan berkisar

dari 7-10% untuk berat badan lahir rendah dan 4-11% untuk prematuritas.

Penelitian ini tidak menganalisis efek dari tipe bangkitan tertentu, frekuensi atau

OAE terhadap aspek perkembangan janin (Taufiqurrohman, 2014).

4. Malformasi dan Teratogenesis Obat Anti Epilepsi (OAE)

Berbagai penelitian menemukan, OAE yang dikonsumsi ibu lebih menjadi

penyebab cacat lahir dibanding penyakitnya atau epilepsinya sendiri. OAE

menyebabkan efek teratogenik pada janin. Penelitian yang dilakukan oleh

Holmes et al. menunjukkan, peningkatan cacat lahir pada bayi yang dilahirkan

oleh ibu penderita epilepsi yang mendapat terapi OAE lebih tinggi dibandingkan

dengan yang tidak mendapat terapi. Meskipun dihadapkan pada risiko cacat

lahir, penghentian OAE pada perempuan hamil bukan suatu tindakan yang

realistik. Hal itu disebabkan karena kondisi kehamilan itu sendiri meningkatkan

risiko bangkitan. Sekitar 30% perempuan hamil yang sudah mendapat terapi

mengalami kenaikan frekuensi bangkitan. Risiko paling tinggi dihadapi oleh

mereka yang sudah memiliki bangkitan lebih dari satu kali sebelum hamil. Risiko

paling rendah terjadi pada mereka yang pada masa sebelum kehamilan hanya

mengalami bangkitan kurang dari satu kali dalam sembilan bulan. Beberapa efek

teratogenik OAE, dalam dosis tertentu, masa rentan pemberian, dan jenis

anomali yang diakibatkan oleh OAE dijelaskan dalam tabel 4.1 (Polifka, 2002).

51
Sejumlah OAE baru telah dipasarkan di Amerika Serikat sejak tahun

1993: gabapentin, felbamate, lamotrigine, leveticaretam, oxcarbazepine,

tiagabine, topiramate, dan zonisamide. Jumlah laporan kehamilan yang terpapar

obat ini sangat rendah, dan tidak cukup besar untuk dapat menentukan apakah

ada peningkatan risiko outcome yang merugikan dengan paparan janin.

Diketahui bahwa konsentrasi lamotrigin dan levetiracetam mengalami penurunan

selama kehamilan dan telah menduga bahwa hal ini juga benar untuk OAE yang

baru lainnya. Pemberian terapi jangka panjang dengan zat yang diperkirakan

mempunyai efek teratogenik yang potensial pada masa usia kehamilan yang

sensitif harus dipertimbangkan dengan cermat, hal ini termasuk penggunaan

OAE. Gangguan pada masa rawan ini menimbulkan cacatalformasi kongenital

terutama pada sistem saraf pusat, karena sistem saraf pusat sedang terbentuk

dan berkembang (Polifka, 2012; Bittigau, 2002). Neural Tube Defect (NTD)

adalah cacat yang terjadi pada susunan saraf pusat termasuk otak dan medula

spinalis. Spina bifida merupakan istilah dari bahasa Latin yang berarti medula

spinalis yang terbuka, mengacu pada cacat lahir yang ditandai dengan adanya

medula spinalis yang tidak terbentuk secara lengkap. Anensefali merupakan

salah satu bentuk NTD yang ditandai sebagian besar otak, tulang tengkorak dan

mungkin medula spinalis tidak terbentuk (Lombardi, 2002).

52
Tabel 4.1 Berbagai jenis OAE, dosis, masa rentan pemberian, dan jenis anomali
(Polifka, 2002)
Obat Dosis Masa rentan post Jenis anomali yang mungkin timbul
konsepsi
Carbamazepin Terapeutik, Organogenesis (18- Facial dysmorphism, sama seperti yang terli-
kronik 60 hari) hat pada pemakaian Oxazolidine–2,4 diones,
spina bifida, hipoplasi falang distal,
keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan
Phenitoin Terapeutik, Organogenesis (18- Sindroma fetal hidantoin, hipoplasi kuku dan
kronik 60 hari) phalang distal, okular hipertelorisme, batang
hidung rata, celah bibir/palatum, cacat jantung
kongenital, mikrosefali, perkembangan lambat
Asam Valproat Terapeutik, Organogenesis (18- Brachisefali dengan dahi yang tinggi, shallow
kronik 60 hari) orbits,okular hipertelorisme, hidung dan mulut
kecil, telinga letak rendah, jari dan jempol
dempet, kuku jari hiper konvek, septo optik
displasi, celah bibir/palatum, kelainan anggota
gerak bawah, keterlambatan tumbuh kembang,
mikrosefali, spina bifida, anomali traktus UG dan
repirastorius, kraniosinotosis, autisme
Phenobarbital Terapeutik, Organogenesis (18- Celah wajah, kelainan jantung kongenital, fasial
kronik 60 hari) dismorfisme dan hipoplasi kuku seperti yang
terlihat pada penggunaan Oxazolidine–2,4
diones, neonatus withdrawal, ketidak mampuan
belajar, retardasi mental
Clonazepam Terapeutik, Organogenesis (18- Anomali kongenital dilaporkan pada 13% bayi
kronik 60 hari) dari ibu yang mengkonsumsi clonazepam kom
binasi dgn OAE lain. Tidak ada pola anomali
yang tetap. Pada satu penelitian, ditemukan
kraniofasial atau digital embriopati antikonvul
san pada bayi dari ibu yang menkonsumsi
clonazepam kombinasi dengan primidone
Primodon Terapeutik, Organogenesis (18- Hirsute forehead, thick nasal root, fasial
kronik 60 hari) dismorfisme dan hipoplasi kuku sama seperti
pada pemakaian Oxazolidine–2,4 diones,cacat
jantung kongenital, perkembangan lambat
Oxazolidine-2,4 Terapeutik, Organogenesis (18- pertumbuhan lambat, mikrosefali, celah bibir /
diones kronik 60 hari) palatum, wajah abnormal dengan alis bentuk v,
batang hidung lebar, lipatan

4.4 Penatalaksanaan Kehamilan dan Terminasi Kehamilan Pada Pasien

Dengan Glioma

4.4.1 Penatalaksanaan Kehamilan

Pasien ini mempunyai gejala klinis berupa kejang dengan frekuensi

kejang 1-2x per bulan selama kehamilan. Penatalaksanaan kehamilan pada

pasien ini sama dengan penatalaksanaan kehamilan pada pasien epilepsi.

Perempuan hamil dengan epilepsi dihadapkan pada kondisi yang unik. Satu sisi

dengan kehamilannya mempunyai risiko untuk meningkat serangannya, namun

53
di sisi lain penggunaan OAE tidak sepenuhnya aman dan bebas diberikan

mengingat efek samping bagi janin yang dikandungnya. Penanganan epilepsi

pada perempuan hamil perlu direncanakan secara cermat (Sukiandra, 2014).

1. Konseling awal kehamilan

Hakekat dan seluk beluk kehamilan sudah harus dijelaskan kepada

penderita dan suaminya. Beberapa konseling bagi perempuan epileptik yang

akan segera memiliki anak adalah penting (Penovic et al, 2004). Hal ini

berkaitan dangan seluruh proses perubahan yang terjadi pada janin dan

tubuh calon ibu, persalinan, menyusui, ketaatan minum OAE, dan

kemungkinan adanya perubahan dosis dan/atau jenis yang diminumnya

(Harsono, 2014).

Penderita harus diyakinkan bahwa sebagian besar perempuan

melahirkan bayi normal, tetapi kepada penderita juga harus diberitahukan

bahwa perempuan penyandang epilepsi mempunyai risiko lebih tinggi untuk

melahirkan bayi yang cacat, itupun sebagian besar disebabkan oleh obat

yang diminumnya. Bangkitan yang terkontrol baik, terutama bangkitan tonik-

klonik, akan melahirkan bayi sehat. Penekanan kepada pentingnya

kebangkitan yang terkontrol akan meningkatkan ketaatan penderita untuk

minum obat selama hamil (Iskandar, 2002).

2. Ante Natal Care

Evaluasi selama kehamilan adalah fase yang paling penting di dalam

manajemen epilepsi dan kehamilan. Perempuan hamil dengan epilepsi perlu

untuk memiliki tinjauan neurologis pada tahap ini, untuk memastikan

diagnosis dan kebutuhan untuk diteruskannya pengobatan dengan OAE

(Thomas, 2006). Monitoring malformasi janin seharusnya dilakukan hingga

54
akhir trimester pertama. Prosedur skrining lini pertama mungkin berupa

estimasi Alpha Feto Protein (AFP) serum, yang cenderung meningkat dalam

kasus NTD terbuka. Kadar AFP serum meningkat secara bertahap selama

trimester pertama dan menurun hingga bulan keempat kehamilan (Thomas,

2006). Kewaspadaan dokter dan kekhawatiran penderita akan kemungkinan

terjadinya cacat pada janin mendorong dikerjakannya pemeriksaan antenatal

yang tidak sederhana, meliputi pemeriksaan kadar OAE, asam folat, AFP,

vitamin K, dan pemeriksaan ultrasonografi untuk mengetahui ada atau tidak

adanya neural-tube defects, bibir sumbing, dan kelainan jantung bawaan.

Pemeriksaan tersebut dikerjakan sejak kehamilan 6 minggu sampai 36

minggu. Tentu saja, pemeriksaan tersebut harus dipahami sepenuhnya oleh

penderita dan suaminya. Khusus untuk pemantauan kadar OAE, tidak ada

konsensus atau bukti epidemiologi kuat yang mendukung pemeriksaan kadar

OAE lebih sering dari pada biasa (status tidak hamil). Walaupun kadar OAE

menurun selama kehamilan, fragmen obat yang tidak terikat protein dalam

keadaan lebih konstan. Di samping hal tersebut diatas, penderita dianjurkan

untuk tidur secara cukup. Kurang tidur dapat mencetuskan bangkitan epilepsi

maupun meningkatkan frekuensinya (Harsono, 2007).

3. Pemberian Obat Anti Epilepsi (OAE)

Apabila monoterapi dapat mengendalikan serangan epilepsi dengan baik,

maka pemberian OAE harus diteruskan. Perubahan jenis OAE selama

kehamilan untuk tujuan mengurangi risiko teratogenik merupakan kontra

indikasi dengan berbagai alasan. Perubahan jenis obat justru dapat

mengundang serangan. Secara umum, risiko dapat diminimalisir dengan

penggunaan multivitamin prakonsepsi dengan asam folat, menggunakan

55
OAE dalam terapi tunggal pada dosis efektif yang paling rendah, dan dengan

mencegah terjadinya bangkitan pada ibu (Yerby et al, 2004). Hingga saat ini,

belum ada penelitian prospektif, terkendali komparatif yang mengindikasikan

bahwa OAE mana yang paling aman selama kehamilan (Taufiqurrohman,

2014).

Secara keseluruhan, bayi dari ibu dengan epilepsi dilaporkan memiliki

tingkat malformasi mayor kongenital antara 4% dan 6% sekitar dua kali dari

populasi umum. Peningkatan risiko ini sangat tinggi bagi perempuan yang

memerlukan politerapi OAE, memiliki epilepsi refraktori, atau memerlukan

kadar obat yang tinggi untuk pengendalian bangkitan. Hal ini menunjukkan

bahwa pengendalian bangkitan maternal yang optimal, monoterapi, dan

menghindari kadar serum puncak yang tinggi (membagi dosis total harian ke

dalam dosis multipel yang lebih kecil dengan puncak post absorptif yang lebih

kecil) akan lebih aman bagi bayi (Taufiqurrohman, 2014).

Laporan dari North American Pregnancy Registry menunjukkan risiko

yang lebih tinggi untuk abnormalitas kongenital dengan penggunaan

fenobarbital dan valproat (Penovic et al, 2004). Terjadinya cacat lahir ini

selain bergantung pada jenis dan dosis obat OAE, lama dan waktu serta cara

pemberiannya, juga dipengaruhi oleh faktor genetik, beratnya epilepsi yang

diderita ibu, atau kombinasi dari berbagai faktor tersebut. Beberapa data

menyebutkan, cacat lahir lebih banyak terjadi pada anak dari ibu yang harus

mengkonsumsi lebih dari satu macam OAE secara bersamaan selama

kehamilan dibandingkan dengan yang mengkonsumsi hanya satu macam

OAE saja. Secara nyata besarnya peningkatan ini tidak diketahui. Beberapa

peneliti menemukan sekitar 3% cacat lahir pada ibu hamil yang

56
mengkonsumsi hanya satu macam OAE, dibandingkan ibu epilepsi yang

tidak mengkonsumsi OAE selama kehamilan yang hanya mengalami cacat

lahir sekitar 2%. Risiko ini meningkat menjadi 5% pada ibu yang

mengkonsumsi 2 macam OAE, serta meningkat lagi menjadi 10% pada ibu

yang mengkonsumsi 3 macam OAE dan pada ibu yang menkonsumsi 4

macam OAE risiko ini meningkat menjadi sekitar 20%. Kombinasi asam

valproat, karbamazepin dan fenobarbital kemungkinan lebih teratogenik dari

pada kombinasi OAE yang lain (Bittigau, 2002; Noah, 2004). Pengaruh

jumlah OAE terhadap kejadian malformasi seperti tertera pada tabel 4.2

(Wibowo, 2006). Berdasarkan data, OAE yang paling sering digunakan

adalah karbamazepin, fenitoin, dan asam valproat. OAE generasi baru

seperti lamotigrin, topiramat, felbamat, gabapentin, tiagabin, vigabatrin,

oxcarbazepin, levetiracetam, fosfenitoin masih sangat terbatas

penggunaannya dan memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui

sejauh mana efek teratogen bisa ditimbulkan.

Saat ini belum bisa ditentukan di antara jenis OAE golongan baru

tersebut mana yang sebaiknya digunakan serta mana yang mempunyai efek

teratogenik lebih kecil atau lebih besar dari pada yang lain. Penovich et al.

(2004) merekomendasikan penggunaan OAE dalam kehamilan : 1. Gunakan

monoterapi dengan OAE yang dipilih untuk sindrom atau tipe bangkitan. 2.

Gunakan dosis yang paling rendah yang diperlukan untuk mengendalikan

bangkitan dengan optimal. 3. Hindari kadar puncak yang tinggi dengan

membagi dosis harian total ke dalam dosis multipel yang lebih kecil. 4. Ada

bukti bahwa sediaan extended- release mungkin lebih aman selama

57
kehamilan. 5. Periksa kadar obat total dan bebas (jika tersedia) setiap bulan

(Penovic et al, 2004).

Tabel 4.2 Rata – rata kejadian malformasi berdasarkan jumlah OAE (Wibowo, 2006)

Kondisi Maternal Rata-rata Malformasi Janin

Populasi normal 2%

Epilepsi tanpa terapi 2–3%

Epilepsi dengan 1 OAE 4–7%

Epilepsi dengan 2 OAE 5 – 10 %

Epilepsi dengan 3 OAE 10 – 50 %

4. Pemberian Asam Folat

Asam folat merupakan vitamin esensial yang diperlukan pada sintesa

nukleotid dan metilasi Deoxiribose Nucleic Acid (DNA). Pada trimester

pertama kehamilan, folat sangat penting dalam mencegah cacat bawaan,

khususnya NTD. Metilasi DNA penting juga untuk mencegah kanker.

Pertumbuhan yang cepat selama embrio membutuhkan sintesis DNA

meningkatkan kebutuhan folat. Metabolisme abnormal folat akan

mengakibatkan penurunan sintesis DNA dan metilasi gen, dengan dampak

pada kerusakan embrio yang sedang tumbuh. Neural tube defect adalah

salah satu dari malformasi yang terjadi lebih sering pada wanita dengan

pengobatan antiepileptik, khususnya dengan sodium valproat. Telah

diketahui dengan jelas bahwa asam folat prakonsepsi (dengan dosis 4-5

mg/hari) efektif dalam mengurangi risiko NTD diantara ibu dengan risiko

tinggi karena memiliki anak yang dengan kondisi tersebut sebelumnya.

Terlebih lagi, penelitian pada binatang (tikus) menunjukkan bahwa dosis

58
tinggi valproat berhubungan dengan perubahan konsentrasi bentuk folat

spesifik di dalam jaringan embrionik dan peningkatan insidensi anomali

neural tube. Tetapi penelitian pada manusia yang menunjukkan sebuah efek

protektif dari suplemen folat pada wanita dengan epilepsi masih kurang.

Dosis optimal asam folat belum diketahui secara pasti. Untuk perempuan

yang tidak mengalami defisiensi asam folat cukup diberi 1 mg/hari. Apabila

terbukti ada defisiensi asam folat maka kepada penderita perlu diberi asam

folat dengan dosis yang lebih tinggi, dapat diberikan sampai 4 mg/hari

(Harsono, 2007).

5. Pemberian Vitamin K

Bayi dari ibu yang mendapatkan pengobatan dengan OAE tertentu

(karbamazepin, fenitoin, primidon, fenobarbiton) memiliki risiko yang lebih

tinggi untuk mengalami perdarahan pada neonatus yang disebabkan

defisiensi faktor penjendalan yang tergantung pada vitamin K. Ibu dengan

obat ini harus mendapatkan penanganan profilaksis dengan vitamin K

(Konakion) 20 mg oral per hari dari usia kehamilan 36 minggu hingga

persalinan dan bayi mereka harus mendapatkan vitamin K 1 mg

intramuskuler pada saat kelahiran. Pada awalnya berhubungan dengan

paparan terhadap fenobarbital atau primidon tetapi selanjutnya juga

ditunjukkan pada anak yang terpapar dengan fenitoin, karbamazepin,

diazepam, mefobarbital, amobarbital, dan ethosuximide. Sebuah kelompok

peneliti menunjukkan bahwa vigabatrin juga meningkatkan risiko perdarahan

neonatus. Angka prevalensi mencapai setinggi 30% tetapi tampaknya

memiliki rata-rata 10%. Mortalitas tinggi, lebih dari 30%, karena perdarahan

terjadi dalam kavitas interna dan tidak diketahui hingga anak mengalami

59
syok. Perdarahan diakibatkan karena defisiensi faktor penjendalan yang

tergantung vitamin K yaitu faktor II, VII, IX dan X. Antikonvulsan bekerja

seperti warfarin, dan menghambat transport vitamin K melewati plasenta

(Yerby, 2001).

4.4.2 Terminasi Kehamilan Pada Pasien Dengan Glioma

Sampai saat ini belum didapatkan evidence base yang jelas tentang

kapan dan bagaimana terminasi kehamilan dilakukan. Beberapa ahli

memutuskan bahwa tindakan neurosurgery maupun terminasi kehamilan

tergantung pada berat ringannya gejala neurologis dan usia kehamilan. Pada

pasien yang secara klinis tidak stabil dengan resiko herniasi otak, Tewari et al

merekomendasikan untuk terminasi kehamilan dengan seksio sesarea dengan

general anestesi. Persalinan pervaginam masih memungkinkan untuk dilakukan,

namun hanya diperkenankan pada pasien-pasien yang stabil dengan percepat

kala II. Sumber yang lain menyebutkan bahwa peningkatan tekanan intrakranial

yang terjadi karena efek mengejan pada saat persalinan berpengaruh pada

tumor dan berhubungan dengan edema peritumoral. Sehingga pada kasus tumor

otak dengan gejala, lebih disarankan untuk dilakukan seksio sesarea elektif

(Blumenthal et al, 2008). Sedangkan untuk waktu terminasi, disebutkan bahwa

beberapa ahli kandungan dan dokter spesialis anak menyatakan bahwa

terminasi kehamilan memungkinkan untuk dilakukan pada usia kehamilan 32

minggu dimana paru-paru janin sudah matang dan bayi diperkirakan bisa

bertahan hidup (Jayasekera et al, 2012; Zwinkels et al, 2013).

60
4.5 Penatalaksanaan Glioma Pada Kehamilan

Pada dasarnya penatalaksanaan glioma dibagi menjadi tiga, yaitu

radioterapi, kemoterapi dan neurosurgery. Perkembangan embrio terdiri dari 3

fase, yaitu preimplantasi, organogenesis, dan fetogenesis yang memiliki

sensitivitas yang spesifik terhadap efek radiasi. Dalam fase preimplantasi

paparan radiasi mengakibatkan kematian janin atau justru pertumbuhan yang

normal. Penggunaan dosis 100 mGy sudah dapat menyebabkan kematian

embrio. Insiden yang dilaporkan, kematian embrio sebanyak 50% dengan dosis 1

Gy. Pada periode organogenesis (minggu ke-3-12), kematian embrio, malformasi

kongenital sering terjadi pada dosis radiasi 1Gy dan bisa terjadi pada dosis 50-

250 mGy. Paparan 250 mGy atau lebih dari radiasi pada trimester kedua dan

ketiga berkaitan dengan pertumbuhan terhambat, retardasi mental, malformasi

kongenital dan persalinan prematur (Pradipta, 2013). Dosis ambang yang dapat

menyebakan malformasi kongenital, keguguran dan hambatan pertumbuhan dan

kognitif adalah 0,2 Gy. Komisi internasional untuk perlindungan radiasi

menyimpulkan bahwa tidak ada efek pasti yang signifikan pada radiasi dibawah

0,1 Gy (Jayasekera et al, 2012).

Evidence base tentang penggunaan kemoterapi selama kehamilan

sangat terbatas. Sebagian besar agen kemoterapi lebih kecil dari 600 kD dan

dapat dengan mudah menembus plasenta. Adanya perubahan fisiologis selama

kehamilan berupa peningkatan oksidasi hepatik, renal clearance, penurunan

level serum dari obat yang berikatan dengan albumin, farmakokinetik dan

farmakodinamik obat yang rumit menyebabkan prediksi untuk toksisitas dan

efikasi obat menjadi sulit. Pada umumnya, ekspose agen kemoterapi selama

organogenesis dapat memicu terjadinya kelainan kongenital mayor, abortus

61
spontan, dan IUFD. Penggunaan kemoterapi pada trimester kedua dan ketiga

dapat menyebabkan IUGR, BBLR, persalinan prematur dan keguguran. Karena

terbatasnya data, rekomendasi untuk pemberian kemoterapi pada wanita hamil

sangatlah sulit (Jayasekera et al, 2012).

Belum ada evidence base yang jelas tentang kapan intervensi

neurosurgery dilakukan pada pasien hamil. Beberapa ahli sementara

berpedoman bahwa tindakan neurosurgery dilakukan berdasarkan berat

ringannya gejala neurologis dan usia kehamilan dari pasien. Pada pasien yang

stabil dengan kehamilan trimester 1 tanpa kemunduran status neurologis,

kehamilan bisa dilanjutkan dengan menunda tindakan neurosurgery dan

radioterapi sampai pada trimester kedua. Jika pasien tidak stabil dengan

ancaman herniasi otak maka tindakan neurosurgery perlu dilakukan dengan

resiko fetal loss. Pada pasien hamil pada akhir trimester kedua atau trimester

ketiga, Tewari et al menganjurkan tindakan neurosurgery sebaiknya dihindari

karena adanya resiko tinggi untuk terjadinya perdarahan intrakranial. Hal ini

berhubungan dengan adanya peningkatan volume intravaskular pada ibu selama

kehamilan. Jika pasien stabil, pasien diobservasi sampai dengan janin dirasa

matur dan siap untuk dilahirkan. Pada pasien dengan defisit neurologis yang

progresif, radioterapi lebih dianjurkan dibandingkan neurosurgery. Lynch et al

menganjurkan intervensi operatif pada pasien glioma bagaimanapun juga harus

mempertimbangkan usia kehamilan untuk memaksimalkan reseksi tumor pada

saat itu (Lynch et al, 2011).

Beberapa studi kasus sudah menerapkan semua jenis intervensi definitif

untuk tumor selama kehamilan. Kraniotomi dapat dilakukan dengan aman,

meskipun dilakukan penundaan operasi pada pasien stabil dan menunggu

62
kehamilan mendekati aterm akan menjadi suatu pilihan yang dapat disusun jika

kondisi klinis dan gambaran radiologis memungkinkan, pelaksanaan operasi otak

dapat dikerjakan segera setelah dilakukan seksio sesarea (Zwinkels et al, 2013).

Sedangkan waktu untuk pemberian kemoterapi dan radiasi lebih baik ditunda

sampai pada trimester kedua atau ketiga karena adanya resiko malformasi

kongenital jika dikerjakan pada trimester pertama (Zwinkel et al, 2013).

Pada pasien ini tindakan operasi ditunda sampai dengan post partum.

Pasien masih direncanakan untuk dilakukan evaluasi MRI 3 bulan post partum (

mendapat jadwal September 2018) untuk membandingkan pertumbuhan tumor

dengan saat sebelum hamil. Saat ini pasien masih kontrol rutin ke poli syaraf

untuk tatalaksana epilepsi simtomatik karena gliomanya.

4.6 Kontrasepsi Pada Pasien Glioma

Kehamilan pada pasien dengan glioma hendaknya adalah kehamilan

yang direncanakan dengan baik. Karena seperti yang telah kita ketahui bersama

kehamilan berpengaruh terhadap pertumbuhan dari glioma begitu juga

sebaliknya glioma mempunyai pengaruh terhadap kehamilan terutama terhadap

pertumbuhan dan perkembangan janin. Untuk itu, penggunaan kontrasepsi perlu

dipertimbangkan untuk pasien-pasien wanita dengan glioma, sehingga

kehamilannya bisa berjalan dengan baik.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, beberapa peneliti menduga

hubungan antara reseptor steroid (terutama progesteron) dan tumor ganas

(meningioma atau glioma) adalah menghasilkan suatu edema peritumoral yang

dapat mempercepat pertumbuhan dari tumor itu sendiri. Penelitian lain

menyebutkan bahwa penggunaan preparat estrogen only atau progesteron only

63
yang digunakan dalam jangka panjang berhubungan dengan peningkatan resiko

terjadinya glioma (Andersen et al, 2013). Sehingga tidak disarankan pasien

dengan glioma untuk menggunakan metode kontrasepsi hormonal. Pilihan

kontrasepsi yang lebih dianjurkan pada pasien glioma adalah IUD. Karena IUD

merupakan alat kontrasepsi jangka panjang dan tidak mengandung hormonal,

sehingga relatif lebih aman.

4.7 Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Pada Bayi

Penggunaan obat anti epilepsi tidak bisa dihindari pada sebagian besar

ibu dengan epilepsi. Bayi secara tidak langsung akan terpapar obat anti epilepsi

melalui air susu ibu, dimana secara farmakologis pengobatan epilepsi masih

dipertimbangkan sebagai kontraindikasi untuk menyusui. Sebaliknya, beberapa

ahli kesehatan justru menyarankan pemberian ASI mengingat kebutuhan

perkembangan bayi dan kebutuhan jangka panjangnya untuk nutrisi, imunologi,

dan kondisi ekonomi ibu ( Davanzo et al, 2013).

Pada beberapa literatur disebutkan bahwa pemberian ASI pada bayi tetap

dianjurkan mengingat lebih banyak manfaat dibandingkan dengan resikonya.

Obat epilepsi yang diekskresikan melalui air susu dengan konsentrasi yang

rendah dibandingkan melalui sistemik saat bayi dalam kandungan. Pada

penelitian yang dilakukan oleh Meador et al, tahun 2014 pada 199 anak usia 3

tahun yang tereksposed carbamazepine, lamotrigine, phenytoin, atau valproate

in utero, disebutkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat IQ pada anak yang

disusui dibandingkan dengan anak yang tidak disusui dengan semua kombinasi

obat anti epilepsi tersebut (Schachter, 2018).

64
Meskipun jika bayi aman untuk disusui, ibu harus memperhatikan

kelakuan dari bayinya yaitu pola tidur, pola makan, dan pertumbuhannya

terutama pada 2 bulan pertama. Jika terjadi perubahan perilaku pada bayi

terutama jika bayi tampak selalu mengantuk sebaiknya ASI dihentikan dan

diganti dengan susu formula.

4.8 Prognosa Kehamilan dengan Tumor Otak

Prognosa kehamilan dengan tumor otak tergantung dari jenis dan

stadium tumor serta kondisi pasien saat hamil. Dari beberapa penelitian

disebutkan bahwa kehamilan bisa mempercepat pertumbuhan sel tumor. Namun

hal tersebut tiidak cukup untuk membuat kehamilan sebagai faktor yang

signifikan dalam mempengaruhi prognosa dari glioma itu sendiri. Oleh sebab

itulah, penting untuk memberikan konseling kepada pasien wanita usia

reproduktif dengan glioma bahwa kehamilan sepertinya tidak mempengaruhi

kelangsungan hidup (survival rate) mereka

65
BAB V

RINGKASAN

Telah dilaporkan kasus Ny. S (33 tahun) dengan kehamilan disertai

dengan glioma dan epilepsi symptomatik. Kasus ini jarang ditemukan,

penatalaksanaannya memerlukan pendekatan tim multidisipliner. Kesimpulan

yang dapat diambil dari laporan kasus ini adalah :

1. Beberapa penelitian menyatakan bahwa kehamilan dapat mempercepat

pertumbuhan tumor glioma derajat rendah ( WHO grade II). Percepatan

pertumbuhan glioma tergantung pada banyak faktor, termasuk faktor

hormonal, faktor pertumbuhan dan perubahan hemodinamik ibu selama

kehamilan. Peningkatan aliran darah sistemik dan aliran darah otak yang

terjadi selama kehamilan dapat meningkatkan edema peritumoral dan

volume darah absolut pada tumor. Percepatan pertumbuhan tumor juga

diduga juga dipengaruhi oleh aktivasi beberapa reseptor spesifik dari

hormon-hormon kelamin. Progesteron disebut meningkatkan

pertumbuhan sel pada glioma. Sekresi placental growth hormon pada

permukaan maternal-plasental, memicu sekresi dari faktor-faktor

pertumbuhan. Pada pasien ini tidak dilakukan evaluasi MRI selama

kehamilan sehingga tidak diketahui apakah glioma pada pasien ini

mengalami pertambahan ukuran atau tidak selama kehamilan.

2. Glioma bisa mempengaruhi kehamilan dari manifestasi klinis yang

dihasilkan terutama kejang. Kejang dapat menimbulkan suatu kondisi

hipoksia pada bayi yang tentu saja akan mempengaruhi pertumbuhan

dan perkembangan janin. Selain itu untuk mengendalikan bangkitan

66
kejang pasien diberikan obat anti epilepsi yang menurut beberapa literatur

mempunyai efek samping terhadap pertumbuhan janin seperti kelainan

kongenital, persalinan prematur sampai pada kematian janin. Pada

pasien ini bayi tidak memiliki kelainan kongenital dan tumbuh sesuai

dengan usia kehamilan meskipun pasien mengkonsumsi obat anti

epilepsi secara rutin.

3. Sampai saat ini belum didapatkan evidence base yang jelas tentang

kapan dan bagaimana terminasi kehamilan dilakukan. Beberapa ahli

kandungan dan dokter spesialis anak menyatakan bahwa terminasi

kehamilan memungkinkan untuk dilakukan pada usia kehamilan 32

minggu dimana paru-paru janin sudah matang dan bayi diperkirakan bisa

bertahan hidup. Sedangkan untuk metode persalinan, beberapa ahli lebih

menyarankan untuk dilakukan seksio sesarea elektif karena peningkatan

tekanan intrakranial yang terjadi karena efek mengejan pada saat

persalinan bisa berpengaruh pada tumor dan berhubungan dengan

edema peritumoral. Pada pasien ini telah dilakukan seksio sesarea elektif

pada usia kehamilan 37 minggu.

4. Penatalaksanaan lebih lanjut untuk glioma pada pasien ini adalah

direncanakan untuk pengambilan tumor (neurosurgery). Namun

sebelumnya harus dievaluasi tentang pertumbuhan tumor dari sebelum

hamil dan setelah persalinan. Saat ini pasien masih menunggu jadwal

MRI untuk evaluasi pertumbuhan gliomanya.

5. Kontrasepsi yang dianjurkan pada penderita dengan tumor otak adalah

IUD karena selain bisa digunakan dalam jangka panjang, IUD tidak

mengandung hormon sehingga relatif aman dan tidak berpengaruh

67
terhadap pertumbuhan tumor. Pasien ini setuju untuk menggunakan IUD

yang dipasang langsung saat seksio sesarea.

Semua bentuk tumor otak dalam kehamilan membawa masalah dengan

belum adanya standar untuk terapi. Hal ini sangat menantang karena ibu

membutuhkan pengobatan untuk tumor otaknya, sedangkan di sisi lain terapi

terhadap tumor otak bisa menimbulkan efek terhadap perkembangan janin.

Fokus penatalaksanaan adalah meminimalisir morbiditas dan mortalitas baik

pada ibu maupun fetus dengan cara memperpanjang waktu kehamilan dan

mengurangi komplikasi dari tumor otak. Manajemen terapi sangat individualistik,

membutuhkan pendekatan multidisipliner, dan mempertimbangkan banyak faktor,

yaitu asal dan lokasi tumor, manifestasi klinis yang muncul, usia kehamilan dan

harapan dari pasien.

68

Вам также может понравиться