Вы находитесь на странице: 1из 15

G.H.

A JUYNBOLL DAN TEORI COMMON LINK


Oleh: Oman Fathurrohman

ABSTRACT
Almost all Muslims agree that an authentic prophetic tradition (hadîth) is that
which comes directly from the Prophet. A tradition such as this—like the
Qur’ân—is reliable in terms of its chain of narration and message. Hence, it brings
legal and moral implication for the Muslims to apply in their daily life. In the
science of prophetic tradition, such tradition is called darûrî, literally means
compulsory in the sense that it necessitates Muslims to comply. Different sort of
view however, is being introduced by an orientalist named G.H.A. Juynboll. He
comes up with an entirely different view concerning an authentic prophetic
tradition both in terms of its category and definition. He reckons that there is no
such thing as an authentic prophetic tradition. Every prophetic tradition is vague,
and falls therefore under the category of being inauthentic. This paper is interested
in dealing critically with this controversial view by giving particular attention to
four main issues; the issue of definition, criteria, the number of narrators, and the
rationale of a prophetic tradition to be deemed authentic.

Keywords;
Authentic tradition; definition; criteria; narration

PENDAHULUAN

Studi seputar relasi antara Islam dan orientalisme termasuk studi prestisius.
Hampir setiap bidang Islamic studies berkaitan dengan orientalisme, baik itu
tafsir, hadits, fikih, filsafat, sufisme maupun sejarah. Masing-masing bidang studi
tidak luput dari sentuhan kajian para orientalis, bahkan mereka berhasil
menghasilkan karya-karya bermutu. Sebagai bukti, dalam bidang hadits, mereka
meracik berbagai pembahasan yang berkenaan dengan otentifikasi hadits.
Ketika sarjana Barat memasuki domain penelitian tentang sumber dan asal
usul Islam, mereka dihadapkan pada pertanyaan tentang apakah dan sejauhmana
hadits-hadits atau riwayat riwayat tentang Nabi dan generasi Islam pertama dapat
dipercaya secara hisroris. Pada fase awal kesarjanaan Barat, mereka menunjukkan
kepercayaan yang tinggi terhadap literatur hadits dan riwayat riwayat tentang
Nabi dan generasi Islam awal. Tetapi sejak paroh kedua abad kesembilan belas,

1
skeptisime tentang otentisitas sumber tersebut muncul. Bahkan sejak saat itu
perdebatan tentang isu tersebut dalam kesarjanaan Barat didominasi oleh
kelompok skeptis. Kontribusi sarjana seperti Ignaz Goldziher, Joseph Schacht,
Wansbrough, Patricia Crone, Michael Cook dan Norman Calder berpengaruh
secara dramatis terhadap karya karya sarjana Barat.
Sebagian besar ahli hadits beranggapan bahwa apabila sebuah hadits
tertentu yang disandarkan kepada Nabi SAW. ditemukan dalam koleksi hadits
kanonik, lebih-lebih dalam Shahih Bukhari dan Muslim, maka dengan koleksi
hadits-hadits itu bersumber dari Nabi SAW. namun, berdasarkan temuan G.H.A.
Juynboll (1935-) dengan menggunakan teori common link, walaupun sebuah
hadits tertentu telah direkam dalam al-Kutub al-sittah, tetapi hadits itu belum
tentu berasal dari Nabi SAW.
Dalam makalah ini penulis mencoba mengkaji teori common link G.H.A.
Juynboll dan implikasinya terhadap persoalan asal usul dan perkembangan awal
hadits.karena teori ini menimbulkan akibat yang cukup mengejutkan ahli hadits
pada khususnya dan umat Islam pada umumnya.

PEMBAHASAN

A. Biografi G.H.A Juynboll

Gautier H.A. Juynboll lahir di Leiden Belanda pada 1935. Pakar hadits
dari kaum orientalis ini bisa disejajarkan dengan para pakar hadits muslim seperti
Fazlur Rahman dan MM Azami. Selama tiga puluh tahun lebih ia secara serius
mencurahkan perhatiannya untuk melakukan penelitian hadits dari persoalan
klasik hingga kontemporer.1
Selain kiprahnya sebagai seorang dosen dibanyak Universitas di Belanda,
ia juga aktif sebagai peneliti dan daily visitor dalam bidang hadits di perpustakaan
Universitas Leiden.2 Dia mempunyai banyak artikel, makalah, jurnal yang terkait

1
Ali masrur, Teori common link, (Yokyakarta: PT. LKis Pelangi Aksara, 2007), hlm. 15
2
Umi Sumbulah, Kajian Kritis, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hlm. 173.

2
dengan studi hadits dan banyak mengklaim teori-teori konvensional para ulama
muhaddisin adalah yang diada-ada tanpa data dan sanad yang akurat yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Hal itu membuat namanya semakin dikenal
dikalangan para ilmuan hadits masa kini.
Concordance et Indices de la Tradition Musulmane (kamus hadits tahun
60-an), On The Origins of Arabic Prose (1974), The Authenticity of the Tradition
Literature: Discussion in Modern Egypt; itu merupakan beberapa karya original
Juynboll yang diambil dari sumber klasik dan kontemporer, mengkaji tentang
pendapat-pendapat para teolog mesir tentang kesahihan hadits Nabi yang syarat
dengan historis. Dalam buku ini banyak dijelaskan pemahaman orientalis seperti:
G. Weil, W. Muir, dan R.P.A Dozy yang mereka berkesimpulan bahwa banyak
hadits-hadits Nabi yang palsu tidak memenuhi syarat kualitas dan kuantitas sanad
dan dalam koleksi kitab hadits Bukhari sendiripun hanya sebagian yang dapat
dikategorikan sebagai hadits yang otentik atau original.3

B. Posisi Juynboll dalam Studi Hadits Modern di Barat (Orientalis)

Ketika sarjana Barat memasuki domain penelitian tentang sumber dan asal
usul Islam, mereka dihadapkan pada pertanyaan tentang apakah dan sejauh mana
hadits-hadits atau riwayat-riwayat tentang Nabi dan generasi Islam pertama dapat
dipercaya secara hisroris. Pada fase awal kesarjanaan Barat, mereka menunjukkan
kepercayaan yang tinggi terhadap literatur hadits dan riwayat-riwayat tentang
Nabi dan generasi Islam awal. Tetapi sejak paruh kedua abad kesembilan belas,
skeptisime tentang otentisitas sumber tersebut muncul. Bahkan sejak saat itu
perdebatan tentang isu tersebut dalam kesarjanaan Barat didominasi oleh
kelompok skeptis. Kontribusi sarjana seperti Ignaz Goldziher, Joseph Schacht,
Wansbrough, Patricia Crone, Michael Cook dan Norman Calder berpengaruh
secara dramatis terhadap karya karya sarjana Barat.
Akan tetapi, Tidak semua sarjana Barat dapat digolongkan dalam aliran
atau “mazhab“ skeptis. Sarjana seperti Joseph Van Ess, Harald Motzki, Miklos

3
Ali masrur, Op.Cit. hlm.18

3
Muranyi, M.J. Kister, Fueck, Schoeler bereaksi keras terhadap sejumlah premis,
kesimpulan dan methodologi para kelompok skeptis. Mereka dapat digolongkan
sebagai kelompok non skeptis. Perdebatan antara kedua kelompok ini sangat
tajam selama dua dekade terahir.
Singkatnya, diskursus hadits di Barat selalu merujuk kepada nama Ignaz
Goldziher (Hongaria) dan Joseph Schacht (Austria), dan untuk yang masih hidup
G.H.A. Juynboll (Belanda), Harald Motzki (Jerman) dan beberapa nama yang
lain. Dimata Orientalis kedua nama yang pertama dianggap seperti Ibn al-Salah
(pendekar ulum al-hadith Muslim) atau Ibn Hajar dalam dunia Islam. Sedangkan
G. H. A. Juynboll dan Harald Motzki, dianggap (kurang lebih) seperti Muhammad
Shakir, al-Albani dan al-Saqqaf atau al-Gumari dalam dunia Islam. mayoritas
sarjana Barat untuk tidak mengatakan semua, skeptis terhadap literatur Islam,
termasuk hadits. Diskursus masa awal Islampun (abad pertama kedua) dianggap
tidak tersentuh karena minusnya sumber yang tersedia untuk itu. Secara umum,
madhab skeptis berpendapat bahwa pengetahuan dan informasi tentang masa awal
Islam (abad pertama kedua hijriah) hanyalah perpsepsi komunitas Muslim abad
ketiga. Literatur yang ada tidak lebih dari sekedar refleksi peta konflik yang tidak
dapat memantulkan realitas seperti digambarkan oleh sumber itu sendiri.
Ignaz Goldziher dan Josep Schacht adalah merupakan dua pengkaji haditst
yang dapat dikategorikan sebagai pengguna aliran revisionis dan adapun aliran
tradisional yang diwakili diantaranya Fuat Sezgin, Nabia Abbott, dan Azami.4
Aliran revisionais cendrung menarik kesimpulan yang mengingkari validitas
uraian-uraian historis yang didasarkan pada berbagai fakta dari sumber-sumber
Islam. Sedangkan kelompok tradisional adalah mereka yang tidak mengakui
kesimpulan kelompok revisionis dan juga menolak validitas metode kritik sumber
yang digunakan oleh kelompok revisionis. Dalam kontek ini perlu kiranya pikiran
Juynboll diletakkan apakah ia menganut revisionis atau masuk kedalam katagori
tradisional atau justru ia mencari jalan tengah diantara keduanya.
Di samping itu, Juynboll adalah seorang pengkaji hadits modern di Barat
dan sekaligus komentator dan penerjemah ide-ide Goldziher dan Schacht.

4
Ali Masrur, Op.Cit. hlm. 32

4
Walaupun ia tidak selalau mengikuti dan sejalan dengan keduanya, tetapi paling
tidak melalui teori common linknya, orang dapat memahami dengan baik karya-
karya kedua tokoh itu. Hingga saat ini, Juynboll dapat dianggap sebagai pengkaji
hadits terbesar di Barat. Oleh karena itu, membaca dan menyimak teori common
linknya merupakan sebuah keharusan untuk melihat seberapa jauh capaian-
capaian studi hadits di Barat yang telah disumbangkan kepada studi hadits pada
khususnya, dan studi Islam pada umumnya.

C. Asumsi Dasar dan Istilah-istilah Teknis dalam Teori Common link

Mayoritas para ulama hadits sepakat bahwa semua hadits yang terdapat
dalam koleksi kitab konanik adalah otentik dan dapat dipertanggungjawabkan
serta sudah merupakan bersumber dari Nabi. Namun Juynboll dengan tegas
mengungkapkan hasil temuannya bahwa setiap hadits yang terdapat dalam koleksi
hadits yang konanik sekalipun, tidaklah bersumber dari sahabat atau Nabi
sekalipun, sahabat dan Nabi tidak bertanggungjawab atas dimasukannya nama-
nama mereka kedalam isnad hadits. Adapun yang bertanggung jawab atas matan
hadits dan juga isnad adalah seorang periwayat hadits yang berperan sebagai
common link dalam suatu bundel Isnad. Oleh karenanya materi hadits itu
besumber dari seorang periwayat yang disebut sebagai common link tersebut.
Dalam kajiannya terhadap sanad hadits, Juynboll secara umum bisa
digolongkan kepada dua bagian, pertama; kritiknya terhadap umat islam dalam
konsep dan cara analisis sanad yang mereka kembangkan, kedua; menciptakan
metode analis isnad yang baru sebagai alternatif. Ia berkesimpulan bahwa metode
yang selama ini digunakan oleh para muhaddisin dalam menganalisis sanad
adalah metode yang lemah. Oleh karena itu perlu rancangan metode analisis
sanad yang baru untuk menyelidiki kemunculan suatu matan hadits. 5
Selain dari pada itu kritikan-kritikan yang dikemukakan oleh Juynboll
juga membawa kesimpulan bahwa sebahagian besar matan-matan hadits yang

5
G.H.A Juynboll, "Some Isnad-Analytical Methods Illustrated on the Basis of Seeveral
Woman-Demeaning Sayings from Hadist Literatur" al-Qantara, vol. X (1991).

5
terkumpul dalam kitab-kitab hadits bukanlah bersumber dari Rasulullah SAW.
atas dasar ini maka metode alternatif yang ditawarkan oleh Juynboll adalah
bertujuan untuk menyelidiki siapakah orang yang pertama kali menyebarkan
matan hadits tersebut, kapan matan hadits tersebut mulai diriwayatkan dan
dimana matan hadits tersebut muncul serta siapa yang pertama kali
meriwayatkannya
Teori ini dibangun berdasarkan beberapa asumsi, yaitu:
1. Semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu, baik yang menuju
kepadanya atau yang meninggalkannya, maka semakin besar pula
seorang periwayat dan periwayatannya memiliki klaim kesejarahan;
2. Periwayat yang dianggap sebagai Common link (CL) bertanggung jawab
atas jalur tunggal yang kembali kepadaotoritas tertua, sahabat atau Nabi,
berikut perkembangan teks yang terjadi di dalamnya;
3. Posisi CL adalah sebagai originator (pencetus) atau fabricator (pemalsu)
isnad dan matan hadits yang kemudian disebarkan kepada sejumlah
muridnya.6
Keaslian dan tidaknya suatu jalur sanad sangat berkaitan dengan istilah-
istilah yang dibuat oleh Junyboll dalam analisi sanad yang dikembangkannya.
Istilah-istilah tersbut adalah Common link (cl); single stand (ss); partical common
link (pcl) seeming common link (scl); diving stand, dan spider.
Kritik yang paling mendasar menurut Juynboll adalah bahwa common link
hampir dari setiap hadits tidak pernah seorang sahabat, dan sangat jarang seorang
tabi'in besar, melainkan hampir selalu hanya seorang dari generasi tabi'in kecil
atau dari generasi setelah itu yaitu tabi'it tabi'in. Dalam hal ini Juynboll membuat
pernyataan bahwa jika para sahabat dan juga tabi'in besar saja hampir tidak pernah
atau jarang menjadi common link maka apalagi Nabi sendiri. Singkatnya menurut
Juynboll bahwa materi hadits dalam berbagai koleksi hadits tidaklah bersumber
dari Nabi ataupun sahabat, tetapi hanya dari generaasi tabi'in kecil atau generasi
tabi'it tabi'in.7

6
Umi Sumbulah, Op.Cit. hlm, 173.
7
Ali Masrur, Op.Cit. hlm. 105-106.

6
Jika sebuah hadits berdasarkan dari Nabi hanya melalui seorang sahabat
kapada seorang tabi’in, lalu kepada soerang tabi’in lain yang pada gilirannya
sampai kepada common link, dan sesudah itu jalur periwayatannya mulai tersebar
dan terpancar keluar maka kesejarahan jalur periwayatan tunggal dari Nabi hingga
common link tersebut tidak dapat dipertahankan. Disini, yang manjdi persoalan
adalah mengapa Nabi manyampaikan haditsnya hanya kepeda seorang sahabat,
begitu pula sahabat hanya kepada seorang tabi’in dan seterusnya sehingga sampai
kepada common link.8

D. Pandangan Juynboll terhadap Metode Kritik Hadits (Takhrijul


Hadits) dan Kelemahannya

Terdapat dua hal yang mendasari pentingnya penelitian hadits yaitu:


pertama, terkait dengan posisi hadits sebagai sumber hukum islam II; kedua,
terkait dengan historitas hadits. Argumen historis ini mencakup alasan karena
tidak semua hadits telah tertulis di masa Nabi, secara factual telah terjadi sejumlah
manipulasi dan pemalsuan hadits.9 Menghadapai hal itu, para ahli hadits
mengembangkan metode untuk membedakan antara hadits asli, lemah dan bahkan
hadits palsu. Adapun kriteria dalam kritik sanad adalah:
1. Sanad bersambung
2. Perawi bersifat adil
3. Perawi bersifat dhabit
4. Terhindar dari syadz
5. Terhindar dari ilat.
Metode di atas sudah dianggap mapan dan baku oleh para ahli hadits
klasik. Namun dalam pandangan Juynboll sangat berbeda, menurutnya metode
klasik tersebut masih menimbulkan kontroversi jika digunakan untuk
membuktikan kesejarahan penisbatan hadits kepada Nabi. Juynboll mengatakan
ada beberapa titik kelemahan dalam metode tersebut, yaitu:

8
Ibid, hlm. 64
9
Umi Sumbulah, Op.Cit. hlm. 183.

7
a. Kemunculan metode kritik hadits konvensional dianggap terlambat.
b. Isnad dapat dipalsukan secara keseluruhan seseuai dengan kondisi
budaya dan politik dimasanya.
c. Tidak diterapkan kritik matan yang tepat hanya fokus kepada kritik
sanad.10
Informasi tentang Nabi yang terekam dalam buku-buku hadits laksana
pecahan-pecahan kaca yang harus direkonstruksi supaya dapat memantulkan
berita-berita akurat tentang Nabi. Meskipun hadits-hadits tersebut telah diseleksi
oleh para kolektornya (misalnya al-Bukhari, Muslim, Tirmizi, Ibn Majah, Abu
Daud, Nasai dll). Namun, kenyataan bahwa para kolektor ini hidup pada abad ke
tiga hijriah (dua ratus tahun lebih setelah Nabi wafat), pertanyaan epistimologis
muncul: sejauh mana tingkat akurasi metodologi para kolektor ini dalam
menyeleksi hadits-haditsnya? Apakah metodologi mereka sama dengan
metodologi yang populer kita kenal dengan ulum al-hadits?
Al-Bukhari yang dikenal sebagai the man of hadits, misalnya, tidak pernah
menjelaskan metodologinya secara detail. Ulum al-hadits yang menurut mayoritas
sarjana Islam sangat akurat menyimpan sejumlah pertanyaan-pertanyaan
epistimilogis yang tidak terjawab secara empiris. Ulum al-hadits diterima dan
dianggap sesuatu yang taken for granted.11
Dalam hal ini Junyboll pun menawarkan metode common link yang
menurutnya pantas untuk menggantikan metode kritik hadits klasik. Tak hanya
untuk menggantikan posisi metode kritik hadits klasik tersebut, teori common link
juga dimaksudkan untuk menolak semua asumsi dasar yang menjadi pijakan
metode itu.

E. Cara Kerja Teori Common link G.H.A Juynboll

Secara garis besar, cara kerja dari teori Common link ini adalah:

10
Ali Masrur, Op.Cit. hlm. 113.
11
Phil. H. Kamaruddin Amin, "Refleksi Metodologis atas Diskursus Kesarjanaan Hadis
Islam dan Barat,"http://kamaruddinamin.uin-alauddin.ac.id/pidato-12-western-methods-of-dating-
visavis-ulumul-adis.htm (akses 03 Januari 2012).

8
a. Menentukan hadits yang akan diteliti
b. Menelusuri hadits dalam berbagai koleksi hadits
c. Menghimpun seluruh isnad hadits
d. Menyusun dan merekonstruksi seluruh jalur isnad dalam satu bundel
isnad (pohon sanad)
e. Mendeteksi Common link, periwayat yang dinilai paling bertanggung
jawab atas penyebaran hadits.12
Junyboll mengatakan kita tidak pernah menemukan metode yang sukses
secara ilmiah untuk membuktikan kesejarahan penisbatan hadits kepada Nabi.
Selaian itu menurutnya, metode kritik isnad yang digunakan oleh para ulama
hadits memiliki beberapa kelemahan: pertama, metode kritik isnad baru
berkembang pada priode yang relatif sangat lambat. Kedua, isnad hadits,
sekalipun shahih, dapat di palsukan secara keseluruhan dengan mudah. Ketiga,
tidak diterapkannya kriteria yang tepat untuk memeriksa matan hadits. Dalam
fenomena ini Juynboll mengajukan solusi dengan menggunakan metode common
link dan metode analisis isnad.
Setelah menentukan dan menelusuri hadits yang akan diteliti dalam
berbagai koleksi hadits, langkah selanjutnya adalah membuat isnad bundle
construction.
Tahap kerja isnad bundle construction ini seorang peneliti sebuah hadits
harus membuat skema yang menggambarkan jalur-jalur sanad yang menyokong
matan hadits yang dikaji, kemudian jalur-jalur sanad yang berasal dari berbagai
kitab tersebut digabung menjadi satu sehingga membentuk satu konstruksi/
gabungan sanad yang menggambarkan perjalanan periwayatan matan hadits dari
generasi kegenerasi dimulai dari Rasulllllah S.A.W hingga masa para ulama
pengumpul hadits seperti al-Bukhari, Muslim dan lain sebagainya. 13
Untuk menyusun isnad bundle construction , Juynboll menjadikan kitab
Tuhfah al-Asyraf bi Ma'rifah al-Atraf karya al-Mizzi sebagai rujukan utama.
Kitab al-Mizzi ini mencatat jalur-jalur sanad hadits- hadits yang diriwayatkan

12
Ali masrur, Op.Cit. hlm. 77
13
Umi Sumbulah, Op.Cit. hlm. 174.

9
oleh al-a'immah al-sittah secara rapi, sehingga dengan menggunakan kitab al-
Mizzi ini, Juynboll tidak perlu menyusun semua jalur sanad yang terdapat
dalam al-kutub al-sittah. Supaya jalur-jalur sanad yang akan dikaji lebih
komprehensif dan menggambarkan perjalanan periwayatan sebenarnya, maka
jaringan sanad yang terdapat dalam kitab-kitab selain al-kutub al-sittah juga
harus disusun semua dan kemudian digabungkan dengan jaringan sanad yang
sudah disusun oleh al-Mizzi.14
Hasil dari gabungan jaringan sanad ini akan memberikan gambaran
bagaimana periwayatan berlangsung: siapa saja yang berperanan dalam
meriwayatkan matan hadits; pada generasi manakah matan hadits tersebut
mulai menyebar secara luas; dari daerah manakah asal para perawi tersebut dan
lain sebagainya. Singkatnya jaringan sanad inilah yang akan dijadikan lahan/
medan analisis.
Langkah berikutnya adalah Analisis Sanad
Jaringan-jaringan berbagai sanad yang sudah terpampang dalam kumpulan
isnad bundle construction sebagaimana yang dirilis dari Kutub al-sittah dan
selainnya maka kemudian dianalisis sedemikian rupa dengan metode yang ada,
untuk mencari siapa orang yang pertama kali membuat matan hadits tersebut.
Jalur sanad dari Rasulullah hingga perawi ketiga atau keempat yang
tunggal diistilahkan oleh Juynboll dengan single stand. Manakala perawi
ketiga atau keempat yang mulai mempunyai murid lebih daripada satu
dinamakan oleh Juynboll dengan common link. Adapun murid common link
yang mempunyai murid lebih dari satu dinamakan partial common link.15
Dari uraian diatas terlihat jelas bahwa Juynboll menegaskan bahwa
fenomena common link adalah yang menjamin keaslian suatu periwayatan hadits.
Dengan kata lain Juynboll menganggap bahwa beredarnya matan hadits dan juga
sanadnya semenjak mulai zaman common link hingga masa ulama pengumpul
hadits adalah otentik dan manakala kewujudan matan hadits pada masa sebelum

14
G.H.J. Juynboll, "Some Isnad-Analytical Methods Illustrated on the Basis of Seeveral
Woman-Demeaning Sayings from Hadist Literatur" al-Qantara, vol. X (1991), hlm. 345-350.
15
Ibid.

10
common link tidak otentik atau tidak dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya dengan kata lain cacat sejarah.
Juynboll menetapkan syarat yang ketat supaya seorang perawi dapat
dikatakan sebagai common link dan partial common link syarat tersebut adalah:
1. Mempunyai lebih dari pada satu murid yang masing-masing
dinamakan partial common link
2. Masing-masing partial common link tersebut pula harus mempunyai
murid lebih dari pada satu, begitu seterusnya sehingga masa ulama
pengumpulkan hadits.

Juynboll juga menegaskan bahwa generasi sahabat tidak ada yang berada
dalam posisi common link. Kebanyakan periwayatan suatu hadits, sahabat hanya
mempunyai satu murid saja. Kalaupun sahabat mempunyai dua murid atau lebih,
namun murid-muridnya tidak memenuhi syarat sebagai partial common
link.16
Selain menggunakan metode analisis isnad, Juynboll juga melakukan
analisis matan guna menguji otentisitas dan kesejarahan hadits Nabi. Secara
umum langkah-langkah metode analisis matan yang diajukan Juynboll adalah
sebagai berikut:
1. Mencari matan yang sejalan.
2. Mengidentifikasi common link yang terdapat pada matan yang sejalan.
3. Menentukan common link yang tertua.
4. Menentukan bagian teks yang sama dalam semua hadits yang sejalan.
Sumber atau asal semu matan hadits tersebut yang sejalan kemudian
ditelusui dengan menggunakan cara yang sama, yakni metode analisi isnad.
Dengan langkah ini, maka pada akhirnya ditemukan siapa orang-orang yang
bertanggung jawab terhadap suatu hadits dan pada ahirnya diketahui keotentikan
dan kebenaran suatu hadits.17
Juynboll menolak bahwa matan hadits yang disokong oleh sanad dalam
bentuk single strand sebagaimana gambar diatas bersumber dari Rasulullah

16
Ibid.
17
Ali Masrur, Op. Cit, hlm. 88-89.

11
S.A.W. Ia menetapkan bahwa perawi yang bertanggung jawab membuat
matan hadits dan juga rangkaian sanad tersebut adalah ulama pengumpul
hadits atau gurunya. Perpindahan satu matan hadits dari satu perawi kepada
satu murid sebelum masa guru ulama pengumpul hadits tidak dapat dibuktikan
keabsahannya kerana tidak ada murid lain yang meriwayatkan matan yang
sama. Oleh karena itu keberadaan matan hadits sebelum masa guru pengumpul
hadits tidak dapat dibuktikan kesejarahannya.
Seeming common link, adalah apabila seorang perawi kelihatan seperti
common link, namun sebenarnya ia tidak memenuhi syarat sebagai common link.
Gambarannya adalah bahwa jika seorang perawi mempunyai dua murid (partial
common link) atau lebih, namun partial common link tersebut hanya
mempunyai satu murid, maka perawi tersebut tidak dianggap sebagai common
link, dan jalur sanad yang sampai kepada ulama pengumpul hadits diragukan
keotentikannya. Perawi yang berada dalam keadaan seperti ini dinamakan dengan
seeming common link (seolah-olah common link).
Adapun istilah lain yang dikemukakan Juynboll adalah Diving strand yaitu
murid yang berada dibawah common link namun tidak memenuhi syarat sebagai
partical common link dengan pengertian bahwa jalur isnad yang menyelam dan
tiba-tiba sampai kepada periwayat dibawah common link.18 Hal ini hampir sama
juga seperti single stand artinya single stand berada dibawa common link
sedangkan single strand dalam pengertian istilah Juynboll adalah sanad tunggal
dari Nabi hingga ke common link.
Konsep "Diving strand" menurut hasil penelitian Juynboll, pertama hadits
tersebut dilihat seperti diriwayatkan oleh lebih dari satu Tabiin atau Sahabat, akan
tetapi ketika isnadnya diteliti secara cermat dan seksama jaringan atau strand
tersebut sesungguhnya berjalur tunggal. Strand seperti itu, menurut Juynboll,
dibuat-buat oleh kolektor tertentu untuk mendukung periwayatan hadits yang
bersangkutan.19

18
Ali Masrur, Op.Cit. hlm. xxii.
19
Phil. H. Kamaruddin Amin, Op. Cit.

12
Istilah selanjutnya adalah Spider, yakni sebuah bundel isnad yang terdiri
dari berbagai jalur tunggal, namun tidak seorang periwayat pun yang memiliki
lebih dari seorang murid.20 Istilah spider ini juga hampir sama dengan single
strand namun rentan rawinya melewati orang yang semasa dengan Common link
atu langsug memperoleh riwayat dari guru common link dan bahkan melewati
sahabat yang lain, maka fenomena ini dinamakan dengan spider stand.
Dikalangan ulama hadits spider ini dinamakan dengan istilah syawahid dan
Mutabi'. syawahid berasal dari kata syahid yang bermakna menyaksikan, yakni
seorang sahabat menyaksikan sunnah Nabi namun matan atau maknanya
mempunyai kesamaan dengan matan atau makna hadits yang lain.21 Adapun
Mutabi' bermakna mengiringi atau yang mencocoki, maksudnya adalah hadits
yang sanadnya menguatkan sanad lain dari hadits itu juga.22 Hal ini terjadi pada
perawi yang melewati generasi setelah sahabat yakni sanadnya langsung
disandarkan kepada tabi'in.
Langkah selanjutnya adalah Analisis Motif dan Perkembangan Sanad
dan Matan
Setelah melalui berbagai teori di atas, Junyboll mengakhirinya dengan
analisis motif dan perkembangan sanad dan matan hadits. Pada tahap ini Junyboll
menyelidiki motif pembuatan matan hadits oleh si common link atau perawi
setelahnya yang mempunya sanad single strand; Motif pembuatan jalur sanad
oleh Common link atau perawi setelahnya; Motif pengembangan hadits atau
perawi setelah common link; Motif pembuatan jalur spider yang tidak melewati
common link dan motif pembuatan jalur sanad diving stand yang melewati
common link. Dengan diketahuinya motif-motif diatas maka akan diketahui juga
perkembangan bentuk matan hadits dari masa kemasa.
Setelah mengaplikasikan metode diatas serta mengamati struktur jaringan
sanad dalam al-kutub al-sittah, Juynboll menyimpulkan bahwa sebahagian
besar sanad yang terdapat dalam al-kutub al-sittah adalah berbentuk single strand
dan sebahagiannya lagi adalah gabungan sanad single strand yang membentuk

20
Ali Masrur, Op.Cit. hlm. xxiv.
21
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis, (Jakarta: Bumi aksara, 1997), hlm. 236
22
Ibid, hlm. 183

13
seeming common link dan spider strand yang tidak mempunyai partial common
link sehingga sanad-sanad tersebut tidak dapat dianggap ilmiah. Juynboll
menegaskan bahwa hadits yang mempunyai bentuk sanad seperti ini jumlahnya
ribuan. Sedangkan hadits yang mempunya common link yang disokong dengan
partial common link jumlahnya hanya ratusan.23

KESIMPULAN

Verifikasi teori common link membuktikan bahwa teori ini dapat diterima
kebenarannya sebagai sebuah metode untuk menelusuri asal-usul hadits. Teori
tersebut dapat memberi jawaban yang lebih akurat dan memadai mengenai kapan,
di mana, dan oleh siapa sebuah hadits mulai disebarkan secara publik. Namun
berbeda dengan Juynboll yang menganggap common link sebagai seorang
pemalsu (fabricator) hadits yang bertanggung jawab atas perkembangan isnad dan
matan hadits dan bahwa hampir tidak pernah seorang sahabat memainkan peranan
sebagai common link, studi ini membuktikan bahwa common link adalah seorang
periwayat yang menjadi titik pindah dari periode periwayatan hadits secara publik
dan massal. Common link bukanlah seorang pemalsu hadits. Ia adalah orang yang
pertama yang meriwayatkan hadits dengan kata-katanya sendiri, tetapi subtansi
maknanya tetap memiliki kesinambungan dengan tokoh yang lebih tua dari pada
dirinya, baik sahabat maupun Nabi saw. studi ini juga menunjukkan bahwa
seorang periwayat yang menduduki posisi common link dalam sebuah bundel
isnad berasal dari generasi yang beragam: generasi sahabat kecil, tabin atau tabiit
tabiin walaupun sebagian besar periwayat yang menduduki posisi tersebut berasal
dari generasi tabiin.

23
G.H.A. Juynboll, "Nafi', the Mawla of Ibn 'Umar and His Position in Muslim Hadist
Literatur", Der Islam, vol. LXX (1993), hlm. 207-216

14
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Kamaruddin, 2003, “Book Review The Origins of Islamic Jurisprudence


Meccan Fiqh before the Classical School”, dalam Al-Jami’ah: Journal of
Islamic Studies, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Amin, Kamarudin, 2009, Metode Kritik hadis, Jakarta: PT Mizan Publika

Arif, Syamsuddin, 2008, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema


Insani,

Jumantoro, 1997, Totok, Kamus Ilmu Hadis, Jakarta: Bumi aksara

Juynboll, G.H.A, 1991, Some Isnad-Analytical Methods Illustrated on the


Basis of Seeveral Woman-Demeaning Sayings from Hadist Literatur, al-
Qantara, vol. X

Masrur, Ali, 2007, Teori common link, Yokyakarta: PT. LKis Pelangi Aksara
Phil. H. Kamaruddin Amin, "Refleksi Metodologis atas Diskursus Kesarjanaan
Hadis Islam dan Barat," http://kamaruddinamin.uin-alauddin.ac.id/pidato-
12-western-methods-of-dating-visavis-ulumul-hadis.htm (akses 03 Januari
2012).
Solahudin, M. Agus dan Agus Suyadi, 2009, Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka
Setia

Sumbulah, Umi, 2010, Kajian Kritis Ilmu Hadis, Malang: UIN-Maliki Press

15

Вам также может понравиться