Вы находитесь на странице: 1из 11

PENGANTAR EPISTEMOLOGI ILMU PENGETAHUAN

Ilmu-ilmu yang dimiliki oleh manusia berhubungan satu sama lain, dan tolok ukur keterkaitan ini
memiliki derajat yang berbeda-beda. Sebagian ilmu merupakan asas dan pondasi bagi ilmu-ilmu lain,
yakni nilai dan validitas ilmu-ilmu lain bergantung kepada ilmu tertentu, dan dari sisi ini, ilmu
tertentu ini dikategorikan sebagai ilmu dan pengetahuan dasar. Sebagai contoh, dasar dari semua
ilmu empirik adalah prinsip kausalitas dan kaidah ini menjadi pokok bahasan dalam filsafat, dengan
demikian, filsafat merupakan dasar dan pijakan bagi ilmu-ilmu empirik. Begitu pula, ilmu logika yang
merupakan alat berpikir manusia dan ilmu yang berkaitan dengan cara berpikir yang benar,
diletakkan sebagai pendahuluan dalam filsafat dan setiap ilmu-ilmu lain, maka dari itu ia bisa
ditempatkan sebagai dasar dan asas bagi seluruh pengetahuan manusia.

Namun, epistemologi (teori pengetahuan), karena mengkaji seluruh tolok ukur ilmu-ilmu manusia,
termasuk ilmu logika dan ilmu-ilmu manusia yang bersifat gamblang, merupakan dasar dan pondasi
segala ilmu dan pengetahuan. Walaupun ilmu logika dalam beberapa bagian memiliki kesamaan
dengan epistemologi, akan tetapi, ilmu logika merupakan ilmu tentang metode berpikir dan
berargumentasi yang benar, diletakkan setelah epistemologi.

Hingga tiga abad sebelum abad ini, epistemologi bukanlah suatu ilmu yang dikategorikan sebagai
disiplin ilmu tertentu. Akan tetapi, pada dua abad sebelumnya, khususnya di barat, epistemologi
diposisikan sebagai salah satu disiplin ilmu. Dalam filsafat Islam permasalahan epistemologi tidak
dibahas secara tersendiri, akan tetapi, begitu banyak persoalan epistemologi dikaji secara meluas
dalam pokok-pokok pembahasan filsafat Islam, misalnya dalam pokok kajian tentang jiwa, kenon-
materian jiwa, dan makrifat jiwa. Pengindraan, persepsi, dan ilmu merupakan bagian pembahasan
tentang makrifat jiwa. Begitu pula hal-hal yang berkaitan dengan epistemologi banyak dikaji dalam
pembahasan tentang akal, objek akal, akal teoritis dan praktis, wujud pikiran, dan tolok ukur
kebenaran dan kekeliruan suatu proposisi. Namun belakangan ini, di Islam, epistemologi menjadi
suatu bidang disiplin baru ilmu yang mengkaji sejauh mana pengetahuan dan makrifat manusia
sesuai dengan hakikat, objek luar, dan realitas eksternal.

Latar belakang hadirnya pembahasan epistemologi itu adalah karena para pemikir melihat bahwa
panca indra lahir manusia yang merupakan satu-satunya alat penghubung manusia dengan realitas
eksternal terkadang atau senantiasa melahirkan banyak kesalahan dan kekeliruan dalam menangkap
objek luar, dengan demikian, sebagian pemikir tidak menganggap valid lagi indra lahir itu dan
berupaya membangun struktur pengindraan valid yang rasional. Namun pada sisi lain, para pemikir
sendiri berbeda pendapat dalam banyak persoalan mengenai akal dan rasionalitas, dan keberadaan
argumentasi akal yang saling kontradiksi dalam masalah-masalah pemikiran kemudian berefek pada
kelahiran aliran Sophisme yang mengingkari validitas akal dan menolak secara mutlak segala bentuk
eksistensi eksternal.

Dengan alasan itu, persoalan epistemologi sangat dipandang serius sedemikian sehingga filosof
Yunani, Aristoteles, berupaya menyusun kaidah-kaidah logika sebagai aturan dalam berpikir dan
berargumentasi secara benar yang sampai sekarang ini masih digunakan. Lahirnya kaidah itu
menjadi penyebab berkembangnya validitas akal dan indra lahir sedemikian sehingga untuk kedua
kalinya berakibat memunculkan keraguan terhadap nilai akal dan indra lahir di Eropa, dan setelah
Renaissance dan kemajuan ilmu empirik, lahir kembali kepercayaan kuat terhadap indra lahir yang
berpuncak pada Positivisme. Pada era tersebut, epistemologi lantas menjadi suatu disiplin ilmu baru
di Eropa yang dipelopori oleh Descartes (1596-1650) dan dikembangkan oleh filosof Leibniz (1646–
1716) kemudian disempurnakan oleh John Locke di Inggris.

Pengertian Epistemologi

Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang berbeda


mesti akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti, dari manakah saya berasal?
Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam? Apa hakikat manusia? Tolok ukur kebaikan dan
keburukan bagi manusia? Apa faktor kesempurnaan jiwa manusia? Mana pemerintahan yang benar
dan adil? Mengapa keadilan itu ialah baik? Pada derajat berapa air mendidih? Apakah bumi
mengelilingi matahari atau sebaliknya? Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tuntutan fitrah
manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi atas
permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang akan dihadapinya.

Pada dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya mengetahui sesuatu yang
tidak diketahuinya. Manusia sangat memahami dan menyadari bahwa:

• Hakikat itu ada dan nyata;

• Kita bisa mengajukan pertanyaan tentang hakikat itu;

• Hakikat itu bisa dicapai, diketahui, dan dipahami;

• Manusia bisa memiliki ilmu, pengetahuan, dan makrifat atas hakikat itu. Akal dan pikiran
manusia bisa menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya, dan jalan menuju ilmu dan
pengetahuan tidak tertutup bagi manusia.

Apabila manusia melontarkan suatu pertanyaan yang baru, misalnya bagaimana kita bisa memahami
dan meyakini bahwa hakikat itu benar-benar ada? Mungkin hakikat itu memang tiada dan semuanya
hanyalah bersumber dari khayalan kita belaka? Kalau pun hakikat itu ada, lantas bagaimana kita bisa
meyakini bahwa apa yang kita ketahui tentang hakikat itu bersesuaian dengan hakikat eksternal itu
sebagaimana adanya? Apakah kita yakin bisa menggapai hakikat dan realitas eksternal itu? Sangat
mungkin pikiran kita tidak memiliki kemampuan memadai untuk mencapai hakikat sebagaimana
adanya, keraguan ini akan menguat khususnya apabila kita mengamati kesalahan-kesalahan yang
terjadi pada indra lahir dan kontradiksi-kontradiksi yang ada di antara para pemikir di sepanjang
sejarah manusia?Persoalan-persoalan terakhir ini berbeda dengan persoalan-persoalan sebelumnya,
yakni persoalan-persoalan sebelumnya berpijak pada suatu asumsi bahwa hakikat itu ada, akan
tetapi pada persoalan-persoalan terakhir ini, keberadaan hakikat itu justru masih menjadi masalah
yang diperdebatkan. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut ini. Seseorang sedang melihat
suatu pemandangan yang jauh dengan teropong dan melihat berbagai benda dengan bentuk-bentuk
dan warna-warna yang berbeda, lantas iameneliti benda-benda tersebut dengan melontarkan
berbagai pertanyaan-pertanyaan tentangnya. Dengan perantara teropong itu sendiri, ia berupaya
menjawab dan menjelaskan tentang realitas benda-benda yang dilihatnya. Namun, apabila
seseorang bertanya kepadanya: Dari mana Anda yakin bahwa teropong ini memiliki ketepatan dalam
menampilkan warna, bentuk, dan ukuran benda-benda tersebut? Mungkin benda-benda yang
ditampakkan oleh teropong itu memiliki ukuran besar atau kecil?. Keraguan-keraguan ini akan
semakin kuat dengan adanya kemungkinan kesalahan penampakan oleh teropong. Pertanyaan-
pertanyaan ini berkaitan dengan keabsahan dan kebenaran yang dihasilkan oleh teropong. Dengan
ungkapan lain, tidak ditanyakan tentang keberadaan realitas eksternal, akan tetapi, yang
dipersoalkan adalah keabsahan teropong itu sendiri sebagai alat yang digunakan untuk melihat
benda-benda yang jauh.

Keraguan-keraguan tentang hakikat pikiran, persepsi-persepsi pikiran, nilai dan keabsahan pikiran,
kualitas pencerapan pikiran terhdap objek dan realitas eksternal, tolok ukur kebenaran hasil pikiran,
dan sejauh mana kemampuan akal-pikiran dan indra mencapai hakikat dan mencerap objek
eksternal, masih merupakan persoalan-persoalan aktual dan kekinian bagi manusia. Terkadang kita
mempersoalkan ilmu dan makrifat tentang benda-benda hakiki dan kenyataan eksternal, dan
terkadang kita membahas tentang ilmu dan makrifat yang diperoleh oleh akal-pikiran dan indra.
Semua persoalan ini dibahas dalam bidang ilmu epistemologi. Dengan demikian, definisi
epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar
dan pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan
manusia.

Pokok Bahasan Epistemologi

Dengan memperhatikan definisi epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema dan pokok pengkajian
epistemologi ialah ilmu, makrifat dan pengetahuan. Dalam hal ini, dua poin penting akan dijelaskan:

1. Cakupan pokok bahasan, yakni apakah subyek epistemologi adalah ilmu secara umum atau ilmu
dalam pengertian khusus seperti ilmu hushûlî. Ilmu itu sendiri memiliki istilah yang berbeda dan
setiap istilah menunjukkan batasan dari ilmu itu. Istilah-istilah ilmu tersebut adalah sebagai berikut:

• Makna leksikal ilmu adalah sama dengan pengideraan secara umum dan mencakup segala hal
yang hakiki, sains, teknologi, keterampilan, kemahiran, dan juga meliputi ilmu-ilmu seperti hudhûrî,
hushûlî, ilmu Tuhan, ilmu para malaikat, dan ilmu manusia.

• Ilmu adalah kehadiran (hudhûrî) dan segala bentuk penyingkapan. Istilah ini digunakan dalam
filsafat Islam. Makna ini mencakup ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî.

• Ilmu yang hanya dimaknakan sebagai ilmu hushûlî dimana berhubungan dengan ilmu logika
(mantik).

• Ilmu adalah pembenaran (at-tashdiq) dan hukum yang meliputi kebenaran yang diyakini dan
belum diyakini.

• Ilmu adalah pembenaran yang diyakini.

• Ilmu ialah kebenaran dan keyakinan yang bersesuaian dengan kenyataan dan realitas
eksternal.

• Ilmu adalah keyakinan benar yang bisa dibuktikan.

• Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang saling bersesuaian dimana tidak
berhubungan dengan masalah-masalah sejarah dan geografi.
• Ilmu ialah gabungan proposisi-proposisi universal yang hakiki dimana tidak termasuk hal-hal
yang linguistik.

• Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang bersifat empirik.

2. Sudut pembahasan, yakni apabila subyek epistemologi adalah ilmu dan makrifat, maka dari
sudut mana subyek ini dibahas, karena ilmu dan makrifat juga dikaji dalam ontologi, logika, dan
psikologi. Sudut-sudut yang berbeda bisa menjadi pokok bahasan dalam ilmu. Terkadang yang
menjadi titik tekan adalah dari sisi hakikat keberadaan ilmu. Sisi ini menjadi salah satu pembahasan
dibidang ontologi dan filsafat. Sisi pengungkapan dan kesesuian ilmu dengan realitas eksternal juga
menjadi pokok kajian epistemologi. Sementara aspek penyingkapan ilmu baru dengan perantaraan
ilmu-ilmu sebelumnya dan faktor riil yang menjadi penyebab hadirnya pengindraan adalah dibahas
dalam ilmu logika. Dan ilmu psikologi mengkaji subyek ilmu dari aspek pengaruh umur manusia
terhadap tingkatan dan pencapaian suatu ilmu. Sudut pandang pembahasan akan sangat
berpengaruh dalam pemahaman mendalam tentang perbedaan-perbedaan ilmu.

Dalam epistemologi akan dikaji kesesuaian dan probabilitas pengetahuan, pembagian dan observasi
ilmu, dan batasan-batasan pengetahuan. Dan dari sisi ini, ilmu hushûlîdan ilmu hudhûrî juga akan
menjadi pokok-pokok pembahasannya. Dengan demikian, ilmu yang diartikan sebagai keumuman
penyingkapan dan pengindraan adalah bisa dijadikan sebagai subyek dalam epistemologi.

Metode Epistemologi

Dengan memperhatikan definisi dan pengertian epistemologi, maka menjadi jelaslah bahwa metode
ilmu ini adalah menggunakan akal dan rasio, karena untuk menjelaskan pokok-pokok bahasannya
memerlukan analisa akal. Yang dimaksud metode akal di sini adalah meliputi seluruh analisa rasional
dalam koridor ilmu-ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî. Dan dari dimensi lain, untuk menguraikan sumber
kajian epistemologi dan perubahan yang terjadi di sepanjang sejarah juga menggunakan metode
analisa sejarah.

Hubungan Epistemologi dengan Ilmu-Ilmu Lain

a. Hubungan Epistemologi dengan Ilmu Logika. Ilmu logika adalah suatu ilmu yang mengajarkan
tentang metode berpikir benar, yakni metode yang digunakan oleh akal untuk menyelami dan
memahami realitas eksternal sebagaimana adanya dalam penggambaran dan pembenaran. Dengan
memperhatikan definisi ini, bisa dikatakan bahwa epistemologi jika dikaitkan dengan ilmu logika
dikategorikan sebagai pendahuluan dan mukadimah, karena apabila kemampuan dan validitas akal
belum dikaji dan ditegaskan, maka mustahil kita membahas tentang metode akal untuk mengungkap
suatu hakikat dan bahkan metode-metode yang ditetapkan oleh ilmu logika masih perlu
dipertanyakan dan rekonstruksi, walhasil masih menjadi hal yang diragukan.
b. Hubungan epistemologi dengan Filsafat. Pengertian umum filsafat adalah pengenalan terhadap
eksistensi (ontologi), realitas eksternal, dan hakikat keberadaan. Sementara filsafat dalam
pengertian khusus (metafisika) adalah membahas kaidah-kaidah umum tentang eksistensi. Dalam
dua pengertian tersebut, telah diasumsikan mengenai kemampuan, kodrat, dan validitas akal dalam
memahami hakikat dan realitas eksternal. Jadi, epistemologi dan ilmu logika merupakan mukadimah
bagi filsafat.

c. Hubungan epistemologi dengan Teologi dan ilmu tafsir. Ilmu kalam (teologi) ialah suatu ilmu
yang menjabarkan proposisi-proposisi teks suci agama dan penyusunan argumentasi demi
mempertahankan peran dan posisi agama. Ilmu tafsir adalah suatu ilmu yang berhubungan dengan
metode penafsiran kitab suci. Jadi, epistemologi berperan sentral sebagai alat penting bagi kedua
ilmu tersebut, khususnya pembahasan yang terkait dengan kontradiksi ilmu dan agama, atau akal
dan agama, atau pengkajian seputar pluralisme dan hermeneutik, karena akar pembahasan ini
terkait langsung dengan pembahasan epistemologi.

Urgensi Epistemologi

Jika kita perhatikan definisi epistemologi dan hubungannya dengan ilmu-ilmu lainnya, maka jelaslah
mengenai urgensi kajian epistemologi, terkhusus lagi apabila kita menyimak ruang pemikiran dan
budaya yang ada serta kritikan, keraguan, dan persoalan inti yang dimunculkan seputar keyakinan
agama dan dasar-dasar etika, fiqih, penafsiran, dan hak-hak asasi manusia dimana sentral dari
semua pembahasan tersebut berpijak pada epistemologi.

Hubungan epistemologi dengan persoalan politik adalah hal yang juga tak bisa disangkal dan saling
terkait. Plato berkata pada penguasa Yunani ketika itu, “Anda tidak layak memerintah, karena Anda
bukan seorang hakim (filosof).” Dan juga berkaitan dengan pemerintahan Islam bisa dikatakan
bahwa karena manusia tak bisa memahami hakikat dirinya sendiri sebagaimana yang semestinya,
maka penetapan hukum hanya berada ditangan Tuhan, dan para ulama yang adil adalah wakil Tuhan
yang memiliki hak memerintah. Pada sisi lain, sebagian beranggapan bahwa makrifat agama adalah
bukan bagian dari ilmu, dan untuk memerintah mesti dibutuhkan ilmu politik dan pemerintahan,
sementara kaum ulama tersebut tak menguasainya, dengan demikian, mereka tidak berhak
memerintah.

Pembahasan seperti tersebut di atas membuktikan kepada kita pentingnya pengkajian epistemologi
dan konklusi-konklusinya, dan dari aspek lain, begitu banyak ayat al-Quran berkaitan dengan
argumentasi akal, memotivasi manusia untuk menggapai ilmu dan makrifat, dan menolak segala
bentuk keraguan. Semua kenyataan ini berarti bahwa pencapaian keyakinan dan kebenaran adalah
sangat mungkin dengan perantaraan akal dan argumentasi rasional, dan jika ada orang yang ragu
atas realitas ini, maka minimalnya iaharus menerimanya untuk menjawab segala bentuk kritikan.

Perbedaan hakiki manusia dan hewan terletak pada potensi akal-pikiran. Rahasia kemanusiaan
manusia adalah bahwa ia mesti menjadi maujud yang berakal dan mengaplikasikan kekuatan akal
dalam semua segmen kehidupannya serta seluruh kehendak dan iradahnya terwujud melalui
pancaran petunjuk akal. Hal ini berarti bahwa jika akal dan rasionalitasnya dipisahkan dari
kehidupannya, maka yang tertinggal hanyalah sifat kehewannya, dengan demikian, segala dinamika
hidupnya berasal dari kecenderungan hewaninya.

Manusia ialah maujud yang berakal dan seluruh aktivitasnya dinapasi oleh akal dan pengetahuan,
maka dari itu, suatu rangkaian persoalan yang prinsipil menjadi terkonstruksi dengan tujuan untuk
mencarikan solusi atas segala permasalahan yang timbul berkaitan dengan pengetahuan dan akal
manusia, dimana hal itu merupakan pembatas substansial antara iadengan hewan.Yang pasti,
jawaban atas segala persoalan mendasar niscaya dengan upaya-upaya rasional dan filosofis, karena
ilmu-ilmu alam dan matematika tidak mampu memberikan solusi komprehensif dan universal
atasnya. Karena telah jelas urgensi upaya rasional untuk kehidupan hakiki manusia, maka persoalan
yang kemudian muncul ialah apakah akal manusia mampu menyelesaikan persoalan-persoalan
tersebut? Jika nilai dan validitas pengenalan akal belum ditegaskan, maka tidaklah berguna
pengakuan akal dalam mengajukan solusi atas segala permasalahan yang dihadapi manusia, dan
keraguan akan senantiasa bersama manusia bahwa apakah akal telah memberikan solusi yang benar
atas perkara-perkara tersebut? Pertanyaan-pertanyaan ini adalah inti pembahasan epistemologi.
Dengan begitu, sebelum melangkah ke arah upaya-upaya rasional dan filosofis, langkah pertama
yang mesti diambil adalah membedah persoalan-persoalan epistemologi.

Dengan ungkapan lain, apabila kita merujuk kepada daftar isi persoalan-persoalan yang berkaitan
dengan pengetahuan, misalnya persoalan tentang keberadaan realitas eksternal dan kemungkinan
terjalinnya hubungan manusia dengan realitas eksternal itu, maka akan menjadi jelas bagi kita
bahwa epistemologi merupakan pemberi validitas dan nilai kepada seluruh pemikiran filsafat dan
penemuan ilmiah manusia sedemikian sehingga kalau persoalan-persoalan yang berhubungan
dengan ilmu dan pengetahuan tersebut belumlah menjadi jelas, maka tak satu pun pemikiran filsafat
manusia dan penemuan ilmiah yang akan bernilai, karena semua aliran filsafat dan ilmu mengaku
telah berhasil mengungkap hakikat alam, manusia, dan rahasia fenomena eksistensial lainnya.

Berkenaan dengan urgensi epistemologi, kami akan kutip ungkapan seorang pemikir dan filosof
Islam kontemporer asal Iran , Murthada Muthahhari , ia berkata “Pada era ini kita menyaksikan
keberadaan aliran-aliran filsafat sosial dan ideologi yang berbeda dimana masing-masingnya
mengusulkan suatu jalan dan solusi hidup. Aliran-aliran ini memiliki sandaran pemikiran yang
bersaing satu sama lain untuk merebut pengaruh. Muncul suatu pertanyaan, mengapa aliran-aliran
dan ideologi-ideologi tersebut memiliki perbedaan? Jawabannya, penyebab lahirnya perbedaan-
perbedaan tersebut terletak pada perbedaan pandangan dunianya (word view) masing-masing. Hal
ini karena, semua ideologi berpijak pada pandangan dunia dan setiap pandangan dunia tertentu
akan menghadirkan ideologi dan aliran sosial tertentu pula. Ideologi menentukan apa yang mesti
dilakukan oleh manusia dan mengajukan bagaimana metode mencapai tujuan itu. Ideologi
menyatakan kepada kita bagaimana hidup semestinya. Mengapa ideologi mengarahkan kita? Karena
pandangan dunia menegaskan suatu hukum yang mesti diterapkan pada masyarakat dan sekaligus
menentukan arah dan tujuan hidup masyarakat. Apa yang ditentukan oleh pandangan dunia, itu pula
yang akan diikuti oleh ideologi. Ideologi seperti filsafat praktis, sedangkan pandangan dunia
menempati filsafat teoritis. Filsafat praktis bergantung kepada filsafat teoritis. Mengapa suatu
ideologi berpijak pada materialisme dan ideologi lainnya bersandar pada teisme? Perbedaan
pandangan dunia tersebut pada hakikatnya bersumber dari perbedaan dasar-dasar pengenalan,
pengetahuan, dan epistemologi.

Epistemologi pada Zaman Yunani Kuno dan Abad Pertengahan

Perjalanan historis epistemologi dalam filsafat Islam dan Barat memiliki perbedaan bentuk dan arah.
Perjalanan historis epistemologi dalam filsafat barat ke arah skeptisisme dan relativisme.
Skeptisisme diwakili oleh pemikiran David Hume, sementara relativsime nampak pada pemikiran
Immanuel Kant.

Sementara perjalanan sejarah epistemologi di dalam filsafat Islam mengalami suatu proses yang
menyempurna dan berhasil menjawab segala bentuk keraguan dan kritikan atas epistemologi.
Konstruksi pemikiran filsafat Islam sedemikian kuat dan sistimatis sehingga mampu memberikan
solusi universal yang mendasar atas persoalan yang terkait dengan epistemologi. Pembahasan yang
berhubungan dengan pembagian ilmu, yakni ilmu dibagi menjadi gagasan/konsepsi (at-tashawwur)
dan penegasan (at-tashdiq), atau hushûlî danhudhûrî, macam-macam ilmu hudhûrî, dan hal yang
terkait dengan kategori-kategori kedua filsafat. Walaupun masih dibutuhkan langkah-langkah besar
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan partikular yang mendetail di dalam epistemologi.

1. Sejarah Epistemologi dalam Filsafat Barat

Apabila kita membagi perjalanan sejarah filsafat Barat dalam tiga zaman tertentu (Yunani kuno, abad
pertengahan, dan modern) dan menempatkan Yunani kuno sebagai awal dimulainya filsafat Barat,
maka secara implisit bisa dikatakan bahwa pada zaman itu juga lahir epistemologi. Pembahasan-
pembahasan yang dilontarkan oleh kaum Sophis dan filosof-filosof pada zaman itu mengandung
poin-poin kajian yang penting dalam epistemologi.

Hal yang mesti digaris bawahi ialah pada zaman Yunani kuno dan abad pertengahan epistemologi
merupakan salah satu bagian dari pembahasan filsafat, akan tetapi, dalam kajian filsafat pasca itu
epistemologi menjadi inti kajian filsafat dan hal-hal yang berkaitan dengan ontologi dikaji secara
sekunder. Dan epistemologi setelah Renaissance dan Descartes mengalami suatu perubahan baru.

2. Epistemologi di Zaman Yunani Kuno

Berdasarkan penulis sejarah filsafat, orang pertama yang membuka lembaran kajian epistemologi
adalah Parmenides. Hal ini karena iamenempatkan dan menekankan akal itu sebagai tolok ukur
hakikat. Pada dasarnya, iamengungkapkan satu sisi dari sisi-sisi lain dari epistemologi yang
merupakan sumber dan alat ilmu, akal dipandang sebagai yang valid, sementara indra lahir hanya
bersifat penampakan dan bahkan terkadang menipu.

Heraklitus berbeda dengan Parmenides, ia menekankan pada indra lahir. Heraklitus melontarkan
gagasan tentang perubahan yang konstan atas segala sesuatu dan berkeyakinan bahwa dengan
adanya perubahan yang terus menerus pada segala sesuatu, maka perolehan ilmu menjadi hal yang
mustahil, karena ilmu memestikan kekonstanan dan ketetapan, akan tetapi, dengan keberadaan hal-
hal yang senantiasa berubah itu, maka mustahil terwujud sifat-sifat khusus dari ilmu tersebut. Oleh
karena itu, sebagian peneliti sejarah filsafat menganggap pemikirannya sebagai dasar Skeptisisme.

Kaum Sophis ialah kelompok pertama yang menolak definisi ilmu yang bermakna kebenaran yang
sesuai dengan realitas hakiki eksternal, hal ini karena terdapat kontradiksi-kontradiksi pada akal dan
kesalahan pengamatan yang dilakukan oleh indra lahir.

Pythagoras berkata, “Manusia merupakan parameter segala sesuatu, tolok ukur eksistensi segala
sesuatu, dan mizan ketiadaan segala sesuatu. Gagasan Pythagoras ini kelihatannya lebih
menyuarakan dimensi relativitas dalam pemikiran.

Gorgias menyatakan bahwa sesuatu itu tiada, apabila ia ada, maka mustahil diketahui, kalau pun
iabisa dipahami, namun tidak bisa dipindahkan.

Socrates ialah filosof pertama pasca kaum Sophis yang lantas bangkit mengkritisi pemikiran-
pemikiran mereka, dan dengan cara induksi dan pendefinisian, ia berupaya mengungkap hakikat
segala sesuatu. Iamemandang bahwa hakikat itu tidak relatif dan nisbi.

Democritus beranggapan bahwa indra lahir itu tidak akan pernah mengantarkan pada pengetahuan
benar dan segala sifat sesuatu iabagi menjadi sifat-sifat majasi dimana dihasilkan dari penetapan
pikiran seperti warna dan sifat-sifat hakiki seperti bentuk dan ukuran. Pembagian sifat ini kemudian
menjadi perhatian para filosof dan sumber lahirnya berbagai pembahasan.

Plato, murid Socrates, ialah filosof pertama yang secara serius mendalami epistemologi dan
menganggap bahwa permasalahan mendasar pengetahuan indriawi itu ialah terletak pada
perubahan objek indra. Iajuga berkeyakinan, karena pengetahuan hakiki semestinya bersifat
universal, pasti, dan diyakini, maka objeknya juga harus tetap dan konstan, dan perkara-perkara
yang senantiasa berubah dan partikular tidak bisa dijadikan objek makrifat hakiki. Oleh karena itu,
pengetahuan indriawi bersifat keliru, berubah, dan tidak bisa diyakini, sementara pengetahuan
hakiki (baca: pengetahuan akal) itu yang berhubungan dengan hal-hal yang konstan dan tak berubah
ialah bisa diyakini, universal, tetap, dan bersifat pasti. Dengan dasar ini, ia kemudian melontarkan
gagasan tentangmutsul (maujud-maujud non-materi di alam akal).

Pengetahuan hakiki dalam pandangan Plato ialah keyakinan benar yang bisa diargumentasikan,
dimana pengetahuan jenis ini terkait dengan hal-hal yang konstan. Pengetahuan-pengetahuan selain
ini ialah bersifat prasangka, hipotesa, dan perkiraan belaka. Begitu pula, definisi plato tentang
pengetahuan dan makrifat lantas menjadi perhatian serius para epistemolog kontemporer.
Lebih lanjut ia berkata bahwa panca indra lahir itu tidak melakukan kesalahan, melainkan kekeliruan
itu bersumber dari kesalahan penetapan makna-makna maujud di ruang memori pikiran atas
perkara-perkara indriawi.

Aristoteles, murid Plato, lebih menekankan penjelasan ilmu dan pembuktian asumsi-asumsinya
daripada menjelaskan persoalan yang berkaitan dengan probabilitas pengetahuan. Iayakin bahwa
setiap ilmu berpijak pada kaidah-kaidah awal dimana hal itu bisa dibuktikan di dalam ilmu-ilmu lain,
akan tetapi, proses pembuktian ini harus berakhir pada kaidah yang sangat gamblang yang tak lagi
membutuhkan pembuktian rasional. Dalam hal ini, prinsip non-kontradiksi merupakan kaidah
pertama yang sangat gamblang yang diketahui secara fitrah. Ia menetapkan penggambaran
universal, abstraksi, dan analisa pikiran menggantikan gagasan mutsul Plato. Iamenyusun ilmu logika
dengan tujuan menetapkan suatu metode berpikir dan berargumentasi secara benar dengan
menggunakan kaidah-kaidah pertama dalam ilmu dan pengetahuan yang bersifat gamblang (badihi),
dengan demikian, pencapaian hakikat dan makrifat hakiki ialah hal yang sangat mungkin dan tidak
mustahil.

Kelompok Rawaqiyun yang yakin pada pengalaman agama dan indra lahir, menolak pandangan
tentang konsepsi universal pikiran dari Aristoteles dan konsep mutsul Plato tersebut. Mereka
beranggapan bahwa pengetahuan itu adalah pengenalan partikular sesuatu. Disamping meyakini
bentuk intuisi batin (asy-syuhud) itu sebagai tolok ukur kebenaran, juga meyakini penalaran
rasionalitas.

Epicure (270-341 M) memandang indra lahir sebagai pondasi dan tolok ukur kebenaran
pengetahuan. Makrifat yang diperoleh lewat indra itu merupakan makrifat yang paling diyakini
kebenarannya, dengan perspektif ini, ilmu matematika dianggap hal yang tidak valid.

Kaum Skeptis beranggapan bahwa kesalahan indra lahir dan akal itu merupakan dalil atas
ketidakabsahannya. Sebagian dari mereka bahkan menolak secara mutlak adanya kebenaran dan
sebagian lain memandang kemustahilan pencapaiannya. Perbedaan kaum Skeptis dengan kaum
Sophis adalah bahwa argumentasi-argumentasi kaum Sophis menjadi pijakan utama kaum Skeptis.
Gagasan Skeptisisme muncul sebelum Masehi hingga abad kedua Masehi yang dipropagandai oleh
Agrippa (di abad pertama) dan kemudian dilanjutkan oleh Saktus Amirikus (di abad kedua).

Walhasil, epistemologi di zaman Yunani kuno dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian
dibahas dalam bentuk yang berbeda dalam filsafat. Dan semua persoalan, keraguan, jawaban, dan
solusinya hadir dalam bentuk yang semakin kuat dan sistimatis serta terlontarnya pembahasan
seputar probabilitas pengetahuan, sumber ilmu, dan tolok ukur kesesuaian dengan realitas
eksternal.

3. Epistemologi pada Abad Pertengahan (dari Awal Masehi hingga Abad Kelimabelas)

Inti pembahasan di abad pertengahan adalah persoalan yang terkait dengan universalitas dan
hakikat keberadaannya, disamping itu, juga mengkaji dasar-dasar pengetahuan dan kebenaran.
Plotinus, penggagas maktab neo platonisme, di abad ketiga masehi melontarkan gagasan-gagasan
penting dalam epistemologi.

Ia membagi tiga tingkatan persepsi (cognition): 1. Persepsi panca indra (sensuous perception), 2.
Pengertian (understanding), 3. Akal (logos, intellect). Tingkatan pertama berkaitan dengan hal-hal
yang lahir, tingkatan kedua adalah argumentasi, dan akal sebagai tingkatan ketiga, bisa memahami
hakikat ‘kesatuan dalam kejamakan’ dan ‘kejamakan dalam kesatuan’ tanpa lewat proses berpikir.
Dan tingkatan di atas akal adalah intuisi (asy-syuhud).

Augustine (354-430 M) beranggapan bahwa ilmu terhadap jiwa dan diri sendiri itu tidak termasuk
dalam ruang lingkup yang bisa diragukan oleh kaum Skeptis dan Sophis, di samping itu iamemandang
bahwa ilmu itu sebagai ilmu yang paling benar dan proposisi-proposisi matematika adalah bersifat
gamblang yang tidak bisa diragukan lagi. Pengetahuan indriawi itu, karena objeknya senantiasa
berubah, tidak tergolong sebagai makrifat hakiki.

Dalam pandangannya, ilmu dan pengetahuan dimulai dari diri sendiri, karena ilmu terhadap jiwa
tidak bisa diragukan. Salah satu ungkapan beliau adalah “Saya ragu, oleh karena itu, saya ada“.

4. Gagasan Tentang Universalia

Salah satu pembahasan inti di abad pertengahan ialah kajian tentang universal dan sumber
kehadirannya, yakni apakah universal itu adalah penyaksian mutsul Plato itu sendiri ataukah konsep
abstraksi akal yang bersifat universal yang sebagaimana diyakini oleh Aristoteles. Apakah “universal”
itu secara mendasar tidak memiliki wujud luar. Apakah “universal” itu hanya sebatas suatu konsep.
Apakah “universal” itu hanyalah sebuah kata umum yang bisa mencakup beberapa individu-individu
eksternal. Apakah wujud “universal” itu sendiri sama dengan wujud “partikular” yang
keberadaannya bukan hanya di alam pikiran, bahkan juga berada di alam eksternal yang
sebagaimana maujud-maujud hakiki yang lain?

Sebagai contoh “manusia universal”. Apakah “manusia universal” di sini hanyalah sebuah konsep
universal yang ada di alam pikiran semata, ataukah “manusia universal” itu sendiri memiliki realitas
eksternal (misalnya ia berada di alam non-materi) yang hanya bisa disaksikan secara intuitif dan
syuhudi, ataukah “manusia universal” itu hanyalah sebuah kata umum yang bisa diterapkan pada
lebih dari satu objek individual?.

Upaya-upaya pemikiran di abad pertengahan itu tak lain ialah untuk menjawab persoalan-persoalan
tersebut. Dalam hal ini, ada tiga perspektif dan aliran pemikiran: 1. Realisme (universalitas itu
memiliki wujud eksternal atau mutsul Plato), 2. Idealisme (universal itu hanya terdapat dalam alam
pikiran atau gagasan Aristoteles), 3. Nominalisme (menetapkan kata-kata umum yang mewakili
individu-individu eksternal).
Boethius (470-525 M) ialah orang pertama yang beranggapan bahwa universal itu hanyalah kata
semata, walaupun iaberupaya menyelesaikan persoalan universal itu lewat gagasan Aristoteles.

Roscelin (1050-1120 M) berkeyakinan bahwa yang hanya ada di alam eksternal adalah partikular,
sementara universal itu tidaklah memiliki wujud hakiki dan hanya bersifat kata-kata semata.

Peter Abelard (1079-1142 M) memandang bahwa universal itu terdapat di alam pikiran dan konsep-
konsep universal itu adalah konsep-konsep abstraksi yang diambil dari maujud-maujud luar dengan
memperhatikan sifat-sifatnya, dengan kata lain, universal itu merupakan konsep-konsep yang
terdapat dalam pikiran yang menceritakan tentang realitas-realitas hakiki dan eksternal.

Segala kaidah filsafat dan ilmu berpijak pada penerimaan atas konsep-konsep universal, yakni jika
seseorang beranggapan bahwa universalitas itu hanyalah sebuah kata semata dan menolak konsep
universal itu, maka tidak satu pun kaidah yang iabisa diterima, karena semua proposisi universal
akan menjadi proposisi partikular yang hanya terkait dengan individu tertentu saja, dengan
demikian, segala proposisi universal yang merupakan pijakan seluruh ilmu dan kaidah-kaidah ilmiah
tidak memiliki individu-individu eksternalnya, begitu pula, seluruh filsafat dan hukum-hukumnya tak
bermanfaat. Dengan alasan ini, pembahasan “universalitas” memiliki urgensi.

Roger Bacon (1214-1294 M) ialah orang yang berpijak pada empirisme dan positivisme. Ia
memandang bahwa alat pengetahuan adalah teks suci, argumentasi, dan experimen. Proposisi
matematik yang karena berkaitan langsung dengan experiman bisa diterima.

Thomas Aquinas (1225-1274 M) yakin bahwa rasionalitas dan pemikiran itu sangat bergantung pada
pengindraan lahiriah, yakni pertama-tama indra lahir kita berhubungan dengan alam luar, kemudian
akan terbentuk konsep-konsep imajinasi, dari konsep ini akal akan membentuk konsep-konsep
universal. Perlu diketahui bahwa iabanyak bersentuhan dengan pemikiran filsafat Islam.

William of Ockam (1287-1347 M) adalah seorang yang dikenal sebagai pengingkar konsep-konsep
universal. Namun, sebenarnya tidak bisa dikatakan bahwa ia secara mutlak mengingkari dan
menolaknya, karena ia menafsirkan “universal” itu sebagai “penghubung” antara pikiran dan objek-
objek luar, dan terkadang ia juga menyebut “penghubung” itu sebagai “konsep-konsep”.

Вам также может понравиться