Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
ISBN : 978–602–1681–03-9
© Copyright 2013
Hak cipta dilindungi oleh undang-Undang
Dilarang memperbanyak buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
ii PRAGMENTASI HUTAN
KATA PENGANTAR
KEPALA PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
KONSERVASI DAN REHABILITASI, BADAN PENELITIAN
DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan iii
KATA PENGANTAR
Penulis
iv PRAGMENTASI HUTAN
DAFTAR ISI
Halaman
vi PRAGMENTASI HUTAN
Gambar 11d. Seleksi tiga patches untuk pemanenan tebang habis 59
(Morrison et al. 1992) .......................................
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan vii
Gambar 17. Pengaruh kehilangan dan fragmentasi habitat pada 82
ukuran patch dan isolasi (Fahrig 1997) ……………………..
Gambar 18. Ilustrasi zona pengaruh tepi (edge effect) suatu pulau
habitat…………………………………………………………............. 86
Gambar 22. Tahapan prosedur kajian evaluasi lanskap dan ana lisis
spasial ......................................................... 115
Gambar 24. Jumlah patch setiap kelas penutupan lahan ……………… 119
Gambar 25. Luas patch rata-rata setiap kelas penutupan lahan .... 120
Gambar 26. Total edge setiap kelas penutupan lahan ................ 120
Gambar 27. Edge density setiap kelas penutupan lahan ............. 121
Gambar 28. Mean patch edge setiap kelas penutupan lahan ………… 121
Gambar 29. Mean shape index setiap kelas penutupan lahan …..... 121
PENDAH ULUAN
DEFINISI DAN PENGERTIAN
MENGAPA PERLU MEMPELAJARI FRAGMENTASI?
DAFTAR PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
A. Ekologi Lanskap
Ekologi lanskap merupakan suatu bagian dari ilmu ekologi yang
mempelajari bagaimana struktur lanskap mempengaruh kelimpahan dan
distribusi organisme. Ekologi lanskap juga didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari pengaruh pola (pattern) dan proses, dimana pola di sini
khususnya mengacu pada struktur lanskap. Dengan demikian secara
lengkap ekologi lanskap dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari
bagaimana struktur lanskap mempengaruhi (memproses dan membentuk)
kelimpahan dan distribusi organisme.
Definisi lain menyebutkan, ekologi lanskap merupakan sub disip lin
ekologi dan geografi yang khusus mempelajari variasi spasial dalam lanskap
2 PRAGMENTASI HUTAN
yang mempengaruhi proses-proses ekologi seperti distribusi, aliran energi,
materi dan individu dalam lingkungannya (yang pada gilirannya mungkin
mempengaruhi ditribusi elemen-elemen lanskap itu sendiri). Teori
biogeografi pulau dari MacArtur dan Wilson merupakan fokus dari ekologi
lanskap yang oleh Levin digunakan untuk menjelaskan model metapopulasi.
Dalam ekologi lanskap dapat dipelajari bagaimana fragmentasi habitat
mempengaruhi daya hidup suatu populasi (population viability). Dalam
perkembangannya ekologi lanskap banyak meng gunakan teknologi Sistem
Informasi Geografis (SIG) dan banyak data habitat yang tersedia (seperti
citra satelit dan foto udara.
Sebagai bagian dari ekologi, ekologi lanskap ditujukan mempelajari
sebab dan akibat dari heterogenitas spasial (Forman 1995). Heterogenitas
merupakan ukuran bagaimana bagian-bagian suatu lanskap berbeda satu
sama lain. Ekologi lanskap melihat pada bagaimana struktur spasial
mempengaruhi kelimpahan organisme pada skala lansk ap, serta perilaku
dan fungsi lanskap secara keseluruhan. Hal ini berarti juga mempelajari
pola, atau keteraturan internal lanskap, proses atau operasi kontinu dari
fungsi organisme (Turner 1989). Ekologi lanskap juga mencakup
geomorfologi dalam penerapannya untuk disain dan arsitektur lanskap
(Allaby 1998). Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari bagaimana
formasi geologi mempengaruhi struktur lanskap.
B. Fragmentasi
Fragmentasi hutan terjadi karena hutan yang luas dan menyambung
terpecah menjadi blok-blok lebih kecil akibat pembangunan jalan,
pertanian, urbanisasi atau pembangunan lain. Akibatnya mengurangi fungsi
hutan sebagai habitat berbagai spesies tumbuhan dan satwaliar.
Fragmentasi juga mempengaruhi struktur, temperatur, kelembaban dan
pencahayaan yang akan mengganggu satwa hutan yang adpatasinya telah
terbentuk selama ribuan tahun. Fragmentasi didefinisikan sebagai
pemecahan habitat organisme menjadi kantong-kantong (patches) habitat
yang membuat organisme kesulitan melakukan pergerakan dari kantong
habitat yang satu ke yang lainnya. Fragmentasi dapat disebabkan oleh
penghilangan vegetasi pada areal yang luas atau oleh jalan yang
4 PRAGMENTASI HUTAN
variabilitas demografik, kemunduran genetik atau disfungsi sosial; (4)
fragmentasi dapat mengganggu hubungan ekologis yang penting sehingga
dapat menimbulkan sebab sekunder kepunahan dari hilangnya spesies kunci
dan pengaruh merugikan dari lingkungan luar dan efek tepi (edge effect).
C. Patch
Patch, merupakan suatu terminologi dasar dalam ekologi lanskap
didefinisikan sebagai sebuah area yang relatif homogen yang berbeda
dengan sekelilingnya (Forman 1995). Patch merupakan unit dasar dari
lanskap yang berubah dan berfluktuasi. Proses perubahan dan fluktuasi ini
disebut sebagai dinamika patch. Patch memiliki bentuk tertentu dan
konfigurasi spasial, dan dapat digambarkan dalam komposisi variabel-
variabel internalnya seperti jumlah pohon, jumlah jenis pohon, tinggi
pohon, atau variabel lainnya (Forman 1995).
D. Matrix
Matrix merupakan latar belakang (background) sistem ekologi dari
suatu lanskap dengan derajat konektifitas yang tinggi. Konektivitas adalah
ukuran bagaimana suatu koridor, jaringan (network) atau matrix terhubung
atau berkesinambungan (Forman, 1995). Sebagai contoh, suatu lanskap
berhutan (matrix) yang memiliki sedikit celah (gap) dalam tutupan
hutannya berarti memiliki konektifitas lebih tinggi. Koridor memiliki fungsi
penting sebagai jalur penghubung antara suatu tipe tutupan lahan yang
berbeda dengan tetangga di kedua sisinya (Forman, 1995). Suatu jaringan
(network) merupakan suatu sistem hubungan antar koridor, sementara
mosaik menggambarkan pola (pattern) dari patch, koridor dan matrix yang
membentuk suatu lanskap dalam suatu kesatuan (Forman 1995).
F. Habitat
Habitat adalah suatu tipe komunitas biotik atau kesatuan komunitas
biotik dimana spesies atau populasi hidup (Bailey, 1984). Habitat adalah
suatu unit lingkungan, alami maupun tidak (meliputi iklim, makanan, cover
dan air) dimana seekor satwa, tumbuhan atau populasi secara alami dan
normal hidup dan berkembang (Helms, 1998). Definisi habitat terbaru yang
relevan untuk pengelola satwa liar datang dari Hall et al. (1997) yaitu
sumberdaya dan kondisi yang ada pada suatu tempat yang memberikan
tempat hidup (occupancy), termasuk survival dan reproduksi suatu
organisme. Definisi ini berimplikasi bahwa habitat adalah sejumlah
sumberdaya spesifik yang dibutuhkan oleh suatu spesies (Hall et al. 1997).
6 PRAGMENTASI HUTAN
berkesinambungan sekarang terancam karena dibuka untuk membuat
ekoton sehingga berdampak negatif bagi satwa seperti meningkatnya
pemangsaan dan overbrowsing. Anggapan bahwa menciptakan edges dan
membuka hutan itu bermanfaat perlu diteliti lagi dengan seksama (Morrison
et al. 1992).
Jumlah spesies satwa dan tumbuhan berhubungan dengan kondisi
yang ada dalam interior yang relatif luas dari vegetasi matang atau
dipengaruhi oleh vegetasi terganggu dan pengaruh tepi. Komposisi dan
kelimpahan relatif dari asosiasi spesies dalam komunitas biotik bervariasi
antar lanskap menurut jumlah dan sebaran habitat secara spasial. Dengan
demikian fragmentasi berpengaruh terhadap kekayaan spesies dari suatu
komunitas, kecenderungan populasi spesies tertentu dan keanekaragaman
hayati secara keseluruhan dari suatu ekosistem. Apakah pengaruh tersebut
disukai atau tidak bergantung pada jumlah dan komposisi spesies yang ada
pada suatu area. Hal ini memiliki implikasi kuat untuk pengelolaan lanskap
(Morrison et al. 1992).
Fragmentasi hutan juga menjadi perhatian di dalam hutan tropis.
Klein (1989) dalam Morrison et al. (1992) yang melakukan penelitian
terhadap kumbang bangkai dan organisme pada kotoran (feces) di hutan
bersinambung dan hutan terfragmentasi, menyimpulkan bahwa fragmentasi
menyebabkan berkurangnya spesies pengurai kotoran dan secara tidak
langsung fragmentasi hutan berpengaruh pada siklus hara dan proses -
proses ekosistem terkait lainnya, dan mungkin mempengaruhi produktivitas
tapak dalam jangka panjang.
Fragmentasi hutan temperate di Amerika Serikat bagian barat
dapat mengurangi atau menghilangkan populasi pengerat kecil pemakan
jamur (mycophagus) yang menjadi agen kunci penyebaran sejumlah spesies
jamur hypogeous (di bawah tanah), khususnya mychorrizae yang penting
bagi hutan konifer (Maser et al. 1978 dalam Morrison et al. 1992). Jamur-
jamur michorrizae tumbuh di rambut-rambut akar pohon konifer dan
membantu menyerap hara. Pengerat (rodent) kecil yang bertindak sebagai
agen kunci penyebaran membutuhkan tegakan hutan yang tua atau pohon
tumbang yang besar. Fragmentasi hutan dapat mengurangi ketersediaan
tegakan hutan tua tersebut dan elemen-elemen vegetasi lainnya, yang
DAFTAR PUSTAKA
Allaby, M. 1998. Oxford Di ctionary of Ecology. Oxford University Press, New
York, NY.
Bailey, J.A. 1984. Princples of Wildlife Management. John Wiley and Sons.
New York.
Forman R.T.T. 1995. Land mosaics: the ecology of landscapes and regions.
Cambridge University Press, Cambridge, 632 pp.
Franklin, A.B., B.R. Noon, And T. L.George. 2002. What Is Habitat
Fragmentation? Studies in Avian Biology No. 25:20-29.
http://www. humboldt. edu/-tlg2/publications/whatis
habitat20fragmentation.Pdf. Diakses Tanggal 11 Mei 2007.
8 PRAGMENTASI HUTAN
Haila, Y. 2002. A conceptual genealogy of fragmentation research: from
island biogeography to landscape ecolog y. Ecological Applications
12:321–334.
Hall, L. S., P. R. Krausman, And M. L.Morrison. 1997. The habitat concept
and a plea for standard terminology. Wildlife Society Bulletin
25:173–182.
Helms, J.a. (ed). 1998. The Dictionary of Forestry. The Society of
American Forestry and CA BI Publishing. Bethesda, MD and Oxon,
UK.
http://www.everything bio.com/g los/definition.php?word=fragmentation.
Diakses Tanggal 17 Oktober 2006.
http://en.wikipedia.org/wiki/Habitat_fragmentation. Diakses Tanggal 17
Oktober 2006.
http://en.wikipedia.org/wiki/Landscape ecology. Diakses Tanggal 24
Februari 2007.
http://www.carleton.ca/lands-ecol/whatisle.html. Diakses Tanggal 24
Februari 2007.
MacArthur, R. H., and E. O. Wilson. 1967. The theory of island
biogeography. Princeton University Press, Princeton, New Jersey,
USA.
Morrison, M.L., B.G. Marcot and R.W. Mannan. 1992. Wi ldlife-Habitat
Relationships. The University of Wisconsisn. Madison, Wisconsin.
Rusak, H. and C. Dobson. 2007. Forest Fragmentation. www.ontarionature
.org. Diakses tanggal 26 Februari 2007.
Sanderson, J. and L. D. Harris (eds.). 2000. Landscape Ecology: A Top-Down
Approach. Lewis Publishers, Boca Raton, Florida, USA.
Turner, M.G. and R. H. Gardner (eds.). 1991. Quantitative Methods in
Landscape Ecology. Springer-Verlag, New York, NY, USA.
Wiens, J. A. 1989. Spatial scaling in ecology. Functional Ecology 3:385–397.
MASALAH FRAGMENTASI
PROSES FRAGMENTASI
PENGARUH FRAGMENTASI
MENGUKUR FRAGMENTASI
DAFTAR PUSTAKA
I. MASALAH FRAGMENTASI
Fragmentasi habitat merupakan masalah penting di seluruh dunia.
Penyempitan habitat secara luas memang cukup serius, tetapi ketika
dikombinasikan dengan fragmentasi maka dapat meruntuhkan kesatuan
ekosistem secara keseluruhan. Jalan, urbanis asi dan pertanian merupakan
kegiatan utama manusia yang memecah-mecah wilayah alami yang
seringkali diikuti oleh malapetaka bagi satwa. Wilayah yang sebelumnya
merupakan hutan yang kompak dan utuh menjadi terpecah-pecah,
berukuran kecil dan terisolasi, sehingga beberapa jenis satwa tidak dapat
melakukan perpindahan atau pergerakan untuk mencari makan atau untuk
berkembang biak.
Di sisi lain, ada beberapa jenis satwa dan tumbuhan yang lebih
menyukai habitat interior berupa hutan yang rapat dan gelap, maka jika
50% hutan tersebut dibabat, misal untuk membuat jalan atau lapangan
parkir dan sisanya terbelah oleh jalan, maka hutan yang lebat, sejuk dan
gelap berubah menjadi terang benderang, kelembaban dan temperaturnya
berubah dan tidak sesuai lagi sebagai habitat satwa dan tumbuhan tersebut.
Dengan demikian, fragmentasi juga meningkatkan efek tepi (edge effect).
Sejalan dengan itu area habitat interior dipengaruhi oleh kondisi berbeda
10 PRAGMENTASI HUTAN
dari habitat lainnya di sekitarnya. Semakin kecil suatu habitat, semakin
besar proporsi yang terkena efek tepi dan hal ini dapat menyebabkan
perubahan yang dramatis bagi komunitas satwa dan tumbuhan.
Bila suatu populasi satwa menjadi kesulitan menyeberangi jalan
raya yang menghalanginya untuk mencapai kantong habitat lainnya yang
berjarak cukup jauh, maka satwa tersebut hanya dapat berkembang biak
terbatas di kantong habitat tempatnya tinggal yang dapat dikatakan sebagai
pulau dan populasinya akan menghadapi resiko inbreeding. Lebih jauh, jika
populasi diserang wabah penyakit atau bencana alam lainnya, maka satwa
tersebut akan mengalami kepunahan lokal dan sulit untuk rekolonisasi dari
populasi lainnya. Sejalan dengan itu, maka jelas bahwa kesinambungan
atau konektivitas dari hutan sangat penting.
Suatu hutan yang sehat dan cukup besar akan mampu mendukung
organisme dengan jelajah luas, seperti jenis-jenis satwa besar atau satwa
pemangsa. Pengurangan luas dapat memiliki dampak langsung pada spesies
ini dan karena predator sering memainkan peran penting sebagai pengatur
populasi spesies lain, maka keseimbangan ekosistem dapat sangat
terganggu. Dalam skala luas, perubahan ik lim juga mungkin memaksa suatu
spesies untuk bermigrasi, jika habitat alaminya sangat terfragmentasi,
banyak di antara mereka tidak dapat bermigrasi dan akan menghadapi
resiko kepunahan. Ini juga membuktikan betapa pentingnya suatu lanskap
yang berkesinambungan.
12 PRAGMENTASI HUTAN
(habitat patches) kecil yang dibuat oleh manusia atau sebab alami dan efek
tepi menjadi nyata. Fragmentasi merupakan tahap ketiga yang terjadi
ketika kantong habitat yang lebih kecil meningkat frekuensinya dan
berkurang luasnya sampai pada tingkat di mana habitat yang terfragmentasi
mulai mendominasi lanskap. Attrition merupakan tahap akhir dimana lahan
alami atau habitat asli tersisa sebagai kantong yang kecil dan terisolasi di
tengah-tengah lanskap yang sekarang didominasi oleh suatu mosaik habitat
yang telah berubah dan terfragmentasi. Proses fragmentasi membuat
habitat menjadi tidak sesuai atau memiliki kesesuaian rendah bersamaan
dengan berkurangnya kualitas habitat satwaliar. Sebaliknya, jika proses
gangguan mengubah mosaik habitat tetapi tidak ada perubahan kualitas
habitat berarti tidak terjadi fragmentasi, atau habitatnya berubah teta pi
tidak terfragmentasi (Hunter 1997)
14 PRAGMENTASI HUTAN
Program Patch Anlayst yang kompatibel dengan ArcView 3.x cukup
handal untuk menghitung statistik fragmentasi, karena merupakan
modifikasi dari program Fragstats dan dapat digunakan untuk menghitung
statistik spasial, baik file poligon (seperti shape files) dan file raster
(seperti Arc grids) (Elkie et al., 1999). Penjelasan dan contoh aplikasi
program Patch Analyst dibahas secara terpisah pada Bab 11.
DAFTAR PUSTAKA
Barnes, T.G. 2000. Landscape Ecology and Ecosystems M anagement.
Cooperative Extension Services, University of Kentucky, College of
Agriculture. UK. http://www.ca.uky.edu. Diakses Tangal 24 Februari
2007.
Elkie, P.C., R.S. Rempel and A.P. Carr. 1999. Patch Analyst User’s Manual.
Ontario Ministry of Natureal Resources, Northwest Science &
Technology. Thunder Bay. Ontario.
Fahrig, L. 2003. Effects of habitat fragmentation on biodiversity. Annual
Reviews of Ecology and Systematics 34:487–515.
Forman, R. T. T. 1995. Some general principles of landscape and regional
ecology. Landscape Ecology 10:133–142.
Franklin, A.B., B.R. Noon, and T. L.George. 2002. What Is Habitat
Fragmentation? Studies in Avian Biology No. 25:20-29. http://www.
humboldt. edu/-tlg2/publications/whatis habitat20fragmentation.Pdf.
Diakses Tanggal 11 Mei 2007.
Garrison, B.A. 2005. Fragmentation of Terrestrial Habitat : An Overview for
Wildlife Biologists. Trans.W.Sect.Wildl. Soc. 41:2005.
Haila, Y. 2002. A conceptual genealogy of fragmentation research: from island
biogeography to landscape ecology. Ecological Applications 12:321–334.
http://chesapeake.towson.edu/landscape/forestfrag/what_habitat.asp.
Diakses Tanggal 1 Mei 2007.
Hunter, M. L., JR. 1997. The biological landscape. Pages 57–67 in K. A. Kohm
and J. Franklin (eds). Creating a Forestry for the 21st Century. Island
Press. Washington, D.C.
Kupfer, J.A., G.P. Malanson and S.B. Franklin. 2004. Identifying the
Biodiversity Research Needs Related to Forest Fragmentation. A report
prepared for the National Commission on Science for Sustainable
Forestry (NCSSF) and funded by the National Council for Science and
the Environment (NCSE).
McGarigal, K., and B. J. Marks. 1995. Fragstats: spatial pattern analysis
program for quantifying landscape structure. USDA For. Serv. Gen.
Tech. Rep. PNW-351. http://www.
innovativegis.com/basis/Supplements/BM_Aug_99/FRAG_expt.htm.
Diakses Tanggal 12 April 2006.
PENDAH ULUAN
TIPE-TIPE PULAU
HUBUNGAN SPESIES-AREA
KEPUNAHAN LOKAL DAN PERUBAHAN KOMUNITAS
EFEK ISOLASI
PERBEDAAN ANTARA BIOGEOGRAFI PULAU SEJATI DENGAN PULAU
HABITAT
DAFTAR PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
16 PRAGMENTASI HUTAN
dan komunitas yang lebih banyak, menyediakan kemungkinan isolasi
geografis dan jumlah populasi yang lebi h banyak untuk setiap spesies
sehingga memperbesar kemungkinan spesiasi dan memperkecil
kemungkinan kepunahan dari spesies yang baru terbentuk atau dari spesies
yang baru datang (Primack et al. 1998). Model biogeografi pulau
memperkirakan jika 50% dari wilayah pulau rusak, sekitar 10% spesies yang
hidup di pulau tersebut akan punah. A pabila spesies ini endemik di wilayah
tersebut, maka spesies akan punah. Apabila 90% dari habitat rusak, pulau
akan kehilangan 50% spesiesnya, dan jika 99% habitatnya hilang, maka 75%
spesies alami akan hilang (Primack et al. 1998).
Biogeografi pulau dapat diaplikasikan pada fragmentasi lanskap
sebagai model bagaimana “pulau-pulau” habitat kecil dapat berpengaruh
buruk pada keragaman hayati habitat as linya (Harris 1984). Teori ini sangat
penting dalam mendisain kawasan konservasi karena memberikan panduan
kuantitatif tentang luas kawasan dan kesinambungan antara kawasan
konservasi yang bertetangga, berdasarkan karakteristik ekologi di wilayah
tersebut (Diamond 1975).
Menurut teori biogeografi pulau (Mac Arthur & Wilson 1967),
kekayaan spesies suatu pulau bergantung pada:
Isolasi pulau, karena isolasi mempengaruhi laju kolonisasi. Pulau yang
terisolasi atau jauh, memiliki spesies yang lebih sedikit dari pada pulau
yang dekat dengan sumber spesies yang mengkolonisasi. Pulau yang
lebih jauh, lebih sedikit didatangi pengkoloni dibandingkan pulau yang
lebih dekat. Jika ada pulau-pulau di antara sumber kolonisasi (daratan
utama) dengan pulau, maka dapat berperan sebagai batu loncatan
(stepping stones) dan dapat meningkatkan laju kolonisasi pulau yang
jauh. Jika ada dua pulau dengan jarak yang sama dari s umber
kolonisasi, maka pulau yang lebih besar akan memiliki laju kolonisasi
yang lebih tinggi karena adanya Target Effect (The bigger targets are
easier to hit).
18 PRAGMENTASI HUTAN
3. Pulau samudera (oceanic island) sejati yang terbentuk dari proses
geologi. Biasanya berukuran kecil dan seringkali letaknya jauh dari
daratan utama. Pulau ini dapat berbentuk pulau tunggal atau
membentuk kepulauan kecil. Suksesi yang terjadi di pulau ini adalah
suksesi primer
Disamping ketiga tipe pulau tersebut juga ada tipe pulau lain yaitu
(Whitten et al., 1988):
1. Pulau atol. Pulau atol terbentuk dari binatang karang yang telah mati,
berukuran kecil, biasanya berbentuk cincin dan banyak terdapat di
Lautan Pasifik (Contoh : Pulau Takabonerate dan Tukang Besi).
2. Pulau purba (ancient island). Pulau purba telah terpisah dari daratan
utama sejak lama sekali (lebih dari 100 juta tahun) oleh karenanya
memiliki tingkat endemisme tinggi (misalnya P. Madagaskar dan
Kepulauan Selandia Baru).
Laju kolonisasi lebih tinggi pada pulau yang dekat dengan daratan
utama karena lebih banyak spesies yang dapat menyeberang laut yang
relatif dekat. Laju kepunahan lebih besar pada pulau yang lebih kecil
karena populasi-populasi berukuran lebih kecil dan kemungkinan terkena
penyakit dan kejadian merugikan lainnya yang dapat menghabiskan populasi
atau menurunkannya sampai tingkat yang tidak viable. Hubungan ini
merupakan prinsip dasar teori biogeografi pulau seperti dtunjukkan pada
Gambar 2.
Hubungan antara ukuran pulau dan jumlah jenis relatif konstan
untuk kelompok-kelompok hewan atau tumbuhan. Secara umum
berkurangnya sepuluh kali ukuran pulau mengurangi setengah jumlah jenis.
Jika suatu pulau mendukung lebih sedikit jenis dari yang diharapkan sampai
di bawah garis (Gambar 2), mungkin disebabkan oleh (Whitten et al. 1988):
1. Kelompok tersebut belum diketahui dengan baik.
20 PRAGMENTASI HUTAN
2. Keseimbangan jumlah jenis belum tercapai.
3. Pulau terdiri atas jumlah habitat yang relatif terbatas atau habitat
tidak mendukung jumlah jenis yang banyak.
Jika suatu pulau mendukung lebih banyak jenis dari pada yang
diharapkan sampai di atas garis (Gambar 2), mungkin disebabkan oleh
(Whitten et al. 1988):
1. Jumlah melebihi keseimbangan, namun beberapa jenis pada waktunya
nanti akan hilang.
2. Pulau sangat kaya akan tipe-tipe habitat.
3. Pulau merupakan pusat penyebaran jenis kelompok tertentu.
Dekat
Besar
Jauh
a b c
Jumlah spesies pada sebuah pulau
Gambar 2. Jumlah jenis relatif pada (a) pulau-pulau kecil, dekat, (b)
pulau-pulau besar, jauh atau kecil, dekat, dan (c) pulau-pulau
besar, dekat (Mac Arthur and Wilson 1967).
Istilah pulau bisa diartikan mulai dari seb uah pulau kecil, pulau
karang (atol) terpencil yang dikelilingi laut sampai pada kawasan hutan
yang ditetapkan secara hukum. Suatu komunitas alami yang ada sebagai
sebuah pusat dari suatu habitat regional yang lebih besar akan berisi banyak
spesies langka yang tergantung pada sistem yang lebih besar untuk
eksistensinya. Seiring dengan cepatnya perubahan penggunaan lahan di
sekitarnya, maka akan tercipta suatu kantong pulau habitat (habitat patch)
yang terisolasi. Seiring dengan pulau habitat yang semakin terisolasi
dengan cepat dari vegetasi di sekitarnya yang serupa, spesies langka dengan
cepat akan hilang.
22 PRAGMENTASI HUTAN
Kepunahan mengurangi satwa di setiap pulau habitat sehingga
memainkan peran penting dalam menentukan komposisi spesies. Tidak
adanya kompensasi kolonisasi, proses tersebut menghasilkan kemiringan
(slope) yang lebih tajam pada kurva species-area. Dengan demikian
perbedaan nilai kemiringan antara pulau-pulau samudera dan pulau-pulau
benua dapat dijelaskan oleh ketidakseimbangan relatif dari proses
kepunahan dan kolonisasi (Harris 1984).
Picton (1979) dalam Harris (1984) menganalisis perubahan populasi
10 spesies mamalia besar pada 24 wilayah pegunungan kontinental yang
semi terisolasi di Rocky Mountains bagian utara. Luas arealnya bervariasi
dari 11 – 4.480 mil persegi (29 – 11.600 km 2). Persentasi spesies asli yang
telah hilang selama periode pembagunan pemukiman, pertanian dan
peternakan ranch, perburuan subsisten, pembalakan dan penambangan
berbanding terbalik dengan ukuran luas areal. Sementara a real yang lebih
kecil kehilangan lebih dari 50% spesies aslinya, areal yang lebih besar
kehilangan sekitar 4% dari spesies yang pernah ada (Picton 1979 dalam
Harris 1984). Dengan perkataan lain, faktor-faktor yang meningkatkan
perbedaan antara kepunahan dan kolonisasi menyebabkan kemiringan
hubungan spesies-area meningkat seperti nilai yang ditunjukkan oleh pulau-
pulau sebenarnya.
Kepunahan lokal atau hilangnya spesies dari taman nasional, cagar
alam dan pulau-pulau habitat mempengaruhi kelompok spesies tertentu
lebih dari lainnya. Secara umum, spesies yang paling rawan untuk hilang
ditunjukkan oleh populasi yang kecil. Populasi kecil dapat dihasilkan oleh
keterbatasan sumberdaya spasial dan temporal (seperti habitat yang sangat
spesialis atau sumberdaya pakan), eksploitasi berlebih atau areal yang
relatif lebih kecil dari pada dae rah jelajah spesies tersebut. Spesies yang
sangat spesialis, yang menunjukkan jumlah terbesar dari kelas makanannya
(seperti raptor, karnivora darat, pemakan serangga di batang pohon) dan
yang berada pada tropic level yang lebih tinggi biasanya yang pertama
mengalami kepunahan. Walaupun spesies dengan jelajah luas memiliki
potensi kolonisasi yang lebih tinggi, laju kepunahan lokalnya lebih tinggi
dari rata-rata untuk semua spesies dalam komunitas (Harris 1984).
V. EFEK ISOLASI
Baik komunitas tropika maupun temperate sama-sama menghadapi
masalah inbreeding dan hilangnya keragaman genetik yang disebabkan oleh
sub populasi tumbuhan dan satwa yang terisolasi satu sama lain akibat
fragmentasi. Jika jarak yang memisahkan antara dua fragment terlalu
besar dan suatu spesies tidak dapat menyeberanginya, populasi di kedua
fragment tersebut benar-benar terpisahkan. Inbreeding biasa terjadi jika
sub populasi di fragment tersebut kecil. Walaupun hal ini belum ada
catatannya tetapi potensial terjadi (Harvey and Lyles 1986).
Hilangnya keragaman genetik dapat terjadi bahkan tanpa
inbreeding, dan homozigositas yang dihasilkan dalam gen-gen tertentu
dapat membawa suatu spesies pada kepunahan secara perlahan
(evolusioner) (Soule 1986). Untuk meningkatkan pertukaran antar
fragment, banyak pengelola satwa memanfaatkan koridor yang
menghubungkan dua atau lebih pulau habitat. Koridor meningkatkan
24 PRAGMENTASI HUTAN
kekayaan spesies burung-burung yang sedang berkembangbiak (MacClintock
et al. 1977) dan meningkatkan mobilitas satwa penyebar biji (Haris 1984).
Koridor mungkin bisa menghambat hilangnya keragaman genetik dan
memungkinkan penyebaran spesies antar fragment, tetapi pengurangan
ekosistem alami ke dalam fragment-fragment terus saja terjadi. Penurunan
luas ekosistem alami ini hanya dapat merugikan spesies yang bergantung
padanya untuk bertahan hidup.
Salah satu prinsip biogeografi yang telah lama dianut adalah
pentingnya isolasi dalam menentukan karakteristik komunitas biotik.
Walaupun jarak dianggap sebagai ukuran utama dari isolasi, tetapi
konsepnya jauh lebih kompleks. Mungkin ukuran jarak absolut lebih mudah
dipahami oleh pengelola, tetapi kenyataannya tidak selalu demikian karena
yang dihadapi oleh spesies-spesies tumbuhan dan satwa berbeda. Ada
ribuan perbedaan antara jarak tempuh normal rutin bulanan antara
mamalia kecil seperti mole (sejenis tikus mondok) dan beruang grizzly atau
srigala. Dengan demikian jarak 0,6 mil bisa 75 kali radius jelajah seekor
tikus mondok, tetapi hanya 1% dari radius jelajah seekor coughar (Harris
1984).
Alasan kedua mengapa ukuran jarak absolut tidak begitu menjadi
perhatian, karena perilaku menetap (sedentary) versus berpindah-pindah
(migratory) setiap spesies berbeda. Suatu spesies migratory dengan
anggota yang menjelajahi ribuan kilometer secara musiman memiliki
peluang lebih tinggi untuk mengkolonisasi pulau terisolasi dalam jarak
tempuhnya dari pada penghuni yang memiliki sifat menetap. Untuk spesies
seperti pika, jarak 1.000 feet (300 m) antara singkapan talus merupakan
rintangan yang sulit dan sangat tidak mungkin menyebar dengan jarak lebih
dari beberapa kilometer dari lingkungannya (Smith 1974 dalam Harris
1984).
Pertimbangan ketiga adalah spesialisasi habitat dan toleransi
terhadap variasi klimatik, edafik dan perubahan (gradient) vegetasi.
Spesies tertentu (misalnya beruang hitam) menjelajah seluruh wilayah
ketinggian, seluruh g radient kelembaban dan seluruh tahapan suksesi
vegetasi. Spesies lain seperti red tree vole (sejenis tikus kecil) mungkin
menghadapi rintangan besar yang tak terlihat (Grinnell 1941b dalam Harris
26 PRAGMENTASI HUTAN
keberadaan mamalia (Brown 1978 dalam Harris 1984). Secara grafis, efek
isolasi diperlihatkan pada Gambar 3.
DAFTAR PUSTAKA
28 PRAGMENTASI HUTAN
Mac Arthur, R.H. and E.O. Wilson. 1967. The Theory of Island
Biogeography. Princeton University Press. Princeton, New Jersey.
MacClintock, L., R.F. Whitcomb and B.L. Whitcomb. 1977. Island
Biogeography and Habitat Island of Eastern Forests. II. Evidence
for the Value of Corridors and Minimization of Isolation in
Preservation of Biotic Diversity. American Birds 31: 6-16.
Primack, R.B., J. Supriatna, M. Indrawan dan P. Kramadirata. 1998.
Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Ripley, S.D. 1985. Tropical Asia. Time-Life Books Inc. U.S.A.
Whitten, A.J., M. Mustafa dan G.S. Henderson. 1988. The Ecolog y of
Sulawesi. Gadjahmada University Press. Yogyakarta.
Wikipedia. 2007. Island Biogeography. http://en.wikipedia.org/
wiki/Island_ biogeography. Diakses Tanggal 30-01-2007.
WWF. 1973. The Atlas of World Wildlife. Portland House. Barcelona.
DINAMIKA PATCH
DESKRIPSI POLA PATCH
PENGARUH UKURAN PATCH
PENGARUH FA KTOR-FAKTOR LAIN
DAFTAR PUSTAKA
I. DINAMIKA PATCH
30 PRAGMENTASI HUTAN
walaupun juga dapat meningkatkan atau menurunk an aliran-aliran tertentu
tergantung pada tipe gangguannya (Morrison et al. 1992).
Shugart (1984) mengusulkan suatu cara untuk mengklasifikasi
gangguan berdasarkan pada hubungan antara luas lanskap dan luas yang
terganggu (Gambar 4). Sistemnya mengkarakterisasi gangguan sebagai
rentang dari pohon kecil tumbang yang mempengaruhi kurang dari 1.000 m2
dalam hutan individual 100 ha sampai kebakaran hutan yang mempengaruhi
lebih dari 100 ha di hutan wisata lebih dari 10.000 ha atau badai yang
mempengaruhi 1.000.000 ha atau lebih dari suatu pulau. Sughart
mengusulkan bahwa kondisi kesetimbangan dalam suatu lanskap yang
sedang terganggu memerlukan sesuatu kurang lebih luas lanskap mendekati
50 kali dari ukuran gangguan. Dengan demikian, suatu kumpulan pohon
kecil dapat menyerap gangguan pohon tumbang, tetapi luas hutan nasional
atau taman nasional diperlukan untuk menyerap kebakaran acak untuk
menjaga kesetimbangan lanskap. Pada lanskap yang tidak dalam
kesetimbangan, dimana gangguan bervariasi ukurannya, mungki n diperlukan
oleh manajer untuk mengubah skala gangguan atau untuk meningkatkan
luas di bawah manajemen dalam rangka memberikan kondisi gangguan
kesetimbangan (Morrison et al. 1992).
Cara lain untuk mengkarakterisasi gangguan adalah dengan derajat
perubahan lingkungan. Empat tipe gangguan umum dapat digambarkan
dalam cara ini (Gambar 5). Gangguan Tipe I adalah bencana lingkungan
seperti gunung meletus, kebakaran luas yang berdampak pada skala
geografis luas. Gangguan Tipe II adalah bersifat lebih lokal dan meliputi
pengaruh topan, serangga dan penyakit. Gangguan Tipe III tersebar luas
tetapi relatif berdampak rendah per unit waktu dan meliputi pengaruh
kronik dan sistematik dari predator dan kompetitor dan perubahan gradual
dalam penggunaan lahan dalam suatu wilayah yang luas. Gangguan Tipe IV
adalah bersifat setempat dan umumnya berdampak rendah dan meliputi
perubahan kecil pada lingkungan yang disebabkan oleh kebakaran lokal dan
pembangunan oleh manusia (Morrison et al. 1992).
Kebanyakan perhatian tentang dampak dari fragmentasi hutan
diturunkan dari pengurangan dan isolasi habitat lokal dari gangguan Tipe I
dan Tipe I V. Tetapi dampak sekunder dari fragmentasi seperti
32 PRAGMENTASI HUTAN
Kondisi lingkungan mencirikan edges dari patch-patch yang tersisa –
sinar matahari langsung dan sering serta fluktuasi temperatur dan
kelembaban yang besar – sering masuk ke suatu patch. Dengan demikian,
ukuran patch yang secara ekologis efektif, dimana sejumlah lingkungan
interior yang sebenarnya adalah lebih kecil dari pada ukuran fisik patch.
Demikian juga bentuk patch dipengaruhi oleh fragmentasi. Gangguan dan
fragmentasi bisa menciptakan edges, islands, rings, peninsulas dan bentuk
patch-patch lainnya yang tidak kondusif bagi spesies interior tetapi
menguntungkan spesies yang menyukai suksesi edges dan spesies suksesi
awal. Pada umumnya, jumlah dan konfigurasi patch-patch dan
perubahannya dari waktu ke waktu bervariasi menurut kondisi gangguan
yang berbeda (Morrison et al. 1992).
Kita juga dapat mengkarakterisasi fragmentasi lingkungan menurut
skala spasial dimana terjadinya serta menurut ukuran dan pola penggunaan
areal oleh spesies satwaliar. Lord dan Norton (1990) memandang
fragmentasi sebagai suatu diskontinuitas gradient lingkungan dan skalanya
bebas. Mereka menyarankan agar sebaran patch-patch dipandang dalam
skala luas, dari struktural sampai geografik (Tabel 1).
34 PRAGMENTASI HUTAN
jenis spesialis pada Douglas fir, juga mungkin berperan, pada banyak skala
lebih luas, hampir sebagai batu loncatan (stepping stone) dalam dispersal
spesies bertubuh lebih besar dan tidak memerlukan habitat spesifik seperti
singa gunung (Felis concolor) (Morrison et al. 1992).
Spesies berbeda merespon lanskap dengan berbeda pula yang
mencerminkan apa yang dimaksud environmental g rain size (ukuran
hambatan lingkungan). Satwa dengan perbedaan sumberdaya orientasi,
ukuran tubuh dan luas home range menerima dan menggunakan patch dan
sumberdaya pada skala yang berbeda. Serangkaian patch-patch spesifik
dapat muncul sebagai coarse grained (hambatan berat) bagi spesies dengan
jelajah sempit dan fine grained (hambatan ringan) untuk spesies dengan
jelajah luas. Dengan demikian asesmen apakah suatu konfigurasi patch-
patch tertentu dan derajat fragmentasi menguntungkan atau merugikan
sangat banyak tergantung pada karakteristik spesies dalam menggunakan
lanskap (Morrison et al. 1992).
Ukuran patch atau jumlah tipe lingkungan yang ada dalam suatu
lanskap secara langsung mempengaruhi kolonisasi oleh individu, ketahanan
(persistence) individu dan unit perkembang biakan (breeding unit) serta
jumlah spesies dalam areal tersebut. Ukuran patch hutan di hutan gugur
sebelah timur telah dihubungkan dengan peluang (propbability) kehadiran
burung penyanyi dan
jenis jenis burung
lainnya (Whitcomb et
al., 1981; lihat
Gambar 6).
S CA z
dimana S adalah jumlah spesies yang ada, A adalah luas pulau atau patch, C
adalah konstanta skala yang nilainya bervariasi menurut takson dan lokasi,
dan z adalah laju dimana jumlah spesies meningkat dengan meningkatnya
luas. Dari sejumlah penelitian kekayaan spesies pada kepulauan samudera,
z bervariasi dari 0,24 untuk lahan perkembangbiakan dan burung -burung air
di West Indies dan vertebrata daratan di Kepulauan Danau Michigan, sampai
0,49 untuk lahan perkembangbiakan dan burung-burung air di teluk Guinea
(MacArthur & Wilson 1967). Preston (1962a, 1962b) menghitung sebuah
nilai teoritis 0,263. Ketika diplotkan pada sebuah hubungan log-log, dimana
S = log C + z log A, fungsinya tampak sebagai sebuah garis lurus dan z
menjadi slope dari garis tersebut. Sebagai konsekuensi dari faktor z,
sebagai hukum umum, dua kali lipat jumlah spesies tampaknya
membutuhkan 10 kali luas (Darlington 1957; Haris 1984). Hubungan
species-area melemah (nilai z menurun) dengan semakin terisolasinya pulau
dan dengan spesies yang kurang vagil.
Parameter atau ukuran-ukuran karakteristik patch dalam sebuah
matrix antara lain (Morrison et al. 1992):
36 PRAGMENTASI HUTAN
dimana Di adalah indeks bentuk dari patch i, P adalah perimeter patch dan
A adalah luas patch.
n
ai d ij
i 1
Rc 2d c
dimana Rc adalah indeks dispersi; dc adalah jarak rata-rata dari suatu patch
(pusatnya atau centroid) ke patch tetangga terdekatnya; dan adalah
kepadatan rata-rata dari patch-patch. Rc =1 untuk patch-patch tersebar
acak; Rc <1 untuk patch-patch menggerombol (aggregat); dan 1 < Rc ≤
2,149 untuk patch-patch tersebar teratur (regularly). Dengan demikian Rc
adalah ukuran penggerombolan (aggregation).
38 PRAGMENTASI HUTAN
Lynch dan Whigham (1984) menghitung kembali kelimpahan lokal
spesies burung yang berkembang biak di hutan interior upland di pantai
Maryland ternyata secara signifikan dipengaruhi oleh luas hutan, isolasi,
struktur dan floristik. Mereka menemukan bahwa pengaruh fragmentasi
hutan adalah kompleks dan bersifat spesifik terhadp spesies. Walaupun
fragmentasi secara umum memiliki pengaruh negatif pada spesies interior
hutan, struktur hutan dan floristik ternyata lebih penting dari pada ukuran
patch dan isolasi bagi banyak spesies.
Keberadaa n spesies lain dapat sangat mempengaruhi efek prinsip
species-area. Sebagai contoh, laba-laba orb (Aranae) mencapai kepadatan
ekstrim sangat tinggi di pulau-pulau sub tropikal karena tidak ada predator
(Schoener dan Toft, 1983).
Soule et al. (1979) menyimpulkan bahwa laju kepunahan mamalia
besar di 19 cagar alam di Afrika Timur akibat ukuran cagar yang kecil tetapi
kenyataannya cagar terbesarpun gagal memberikan habitat yang cukup
untuk memelihara viabilitas populasi selama beberapa abad. Kushlan
(1979) mengingatkan bahwa ukuran saja tidak cukup sebagai kriteria untuk
menetapkan cagar alam. Ia mencontohkan kasus Taman Nasional
Everglades di Florida yang kehilangan spesies walaupun ukurannya relatif
besar. Taman nasional tersebut bukan ekosistem mandiri tetapi s angat
tergantung pada nutrien dan air yang diterima dari luar batas taman
nasional.
Soule et al. (1988) juga melaporkan bahwa empat variabel biotik
dan biogeografik di habitat chaparral di California Selatan,
bertanggungjawab atas 90% dari variasi dalam kekayaan spesies burung.
Kekayaan spesies burung yang lebih besar berkorelasi dengan umur patch-
patch yang lebih muda, chaparral-nya lebih luas, luas total lembah yang
diteliti lebih besar dan keberadaan coyote (Canis latrans) dan ketiadaan
rubah abu-abu (Urocyon cinereoargenteus). Peneliti berhipotesis bahwa
keberadaan coyote menekan pemangsaan oleh rubah abu-abu, sementara
coyote sendiri tidak memakan burung.
40 PRAGMENTASI HUTAN
Soule, M.E., B.A.Wilcox dan C. Holtby. 1979. Benign Neglect : A Model of
faunal Colapse in the Game Reserves of east Africa. Biological
Conservation 15 : 259-272.
Soule, M.E., D.T. Bolger, A.C. Alberts, J.Wright, M.Sorice dan S.Hill. 1988.
Reconstructed Dynamics of Rapid Extinctions of Chaparral-Requiring
Birds in Urban Habitat Islands. Conservation Biology 2 : 75-92.
Stamps, J.A., M. Buechner dan V.V. Krishnan. 1987. The Effects of Edge
Permeaability and Habitat Geometry on Emigration from Patches of
Habitat. American Naturalist 129 : 533 – 552.
Usher, M.B. 1985. Implication of Species -Area Relationship for Wildlife
Conservation. Journal of Environmental Management 21 : 181-191.
Whitcomb, R.F., C.S. Robbins, J.F. Lynch, B.L. Whitcomb,
M.K.Klimkiewecz, and D.Bystrak. 1981. Effects of Forest
Fragmentation on Avifauna of the Eastern Deciduous Forest. In Ed.
R.L. Burgess and D.M. Sharpe (eds). Forest Island Dynamics in Man-
Dominate Landscape. Pp.125-206. Springer-Verlag. Bew York.
Wilcove, D.S., C.H. McLellan dan A.P. Dobson. 1986. Habitat
Fragmentation in the Temperate Zone. In M.E.Soule (ed).
Conservation Biology. Pp. 237-256. Sinauer Associates.
Sunderland, Mass.
KORIDOR
PERANAN KORIDOR
SINGLE LARGE OR SEVERAL SMALL (SLOSS)
DAFTAR PUSTAKA
I. KORIDOR
42 PRAGMENTASI HUTAN
mendukung konektivitas bagi spesies, komunitas dan proses ekologi
sehingga konservasi populasi dan komunitas dapat efektif dan proses
ekologi dalam lanskap terpelihara.
Walaupun koridor dapat berupa jalur terisolasi, tetapi sering
terhubungkan pada patch-patch dengan karakteristik vegetasi yang mirip
(Forman & Godron 1986). Beberapa studi telah menunjukkan bahwa koridor
dapat membantu organisme berpindah dari satu patch ke patch lainnya,
karena menghubungkan habitat dengan kondisi yang sesuai. Koridor dapat
dibagi ke dalam tiga kategori yaitu: koridor habitat, koridor perpindahan
(movement) dan koridor penghalang (barrier) yang dideskripsikan sebagai
berikut (Forman 1985) :
1. Koridor habitat – elemen lanskap linear yang memberikan daya
survival, natalitas dan pergerakan, juga dapat memberikan habitat,
baik sementara maupun permanen. Koridor ini secara pasif
meningkatkan konektivitas patch-patch. Contoh koridor habitat
adalah sabuk lahan basah bervegetasi yang dapat melestarikan
populasi salamander.
2. Koridor yang memfasilitasi perpindahan–elemen lanskap linear yang
memberikan daya survival dan perpindahan antara patch-patch
habitat tetapi tidak sampai diperlukan untuk melahirkan di dalam
koridor. Koridor yang memfasilitasi perpindahan secara aktif
meningkatkan konektivitas. Suatu lahan bervegetasi jalur yang
memiliki karakteristik edge dapat memberikan suatu lintasan untuk
suatu jenis satwa hutan interior tetapi tdak memberikan habitat.
Sebagai contoh, jalur vegetasi sepanjang jalan dapat memberikan
sumber pakan untuk seekor vole tetapi tidak cukup memberikan
lindungan untuk anak-anaknya.
3. Koridor penghalang (barrier) atau penyaring (filter) – elemen
lanskap linear yang menghalangi (barrier) atau menghambat (filter)
aliran energi, mineral, nutrien dan/atau spesies untuk melintasinya
(seperti : aliran tegak lurus terhadap panjang koridor). Sebagai
contoh koridor barrier atau filter adalah suatu jalan tol yang
menghalangi satwa melintasinya.
44 PRAGMENTASI HUTAN
2. Memfasilitasi penyebaran kebakaran dan meningkatkan keterbukaan
terhadap predator, pemburu dan pencuri.
3. Biaya
Gambar 7.
Contoh koridor perpindahan yang
dibuat di pegunungan Costa Rica
(Dari Stiles & Clark, 1989).
46 PRAGMENTASI HUTAN
Debat terjadi karena cagar-cagar kecil berbagi spesies satu dengan
lainnya (memiliki spesies yang sama), sehingga membawa pada
pengembangan teori nested subset oleh Bruce Patterson dan Wirt Atmar
pada tahun 1980-an dan pada pembentukan Biological Dynamics of Forest
Fragment Project (BDFFP) dekat Manaus, Brazil pada tahun 1980 oleh
Thomas Lovejoy.
Bila masih ada peluang atau potensi untuk memilih single large,
maka lebih baik memilih single large dari pada several small, tetapi bila
dihadapkan pada keterbatasan kawasan hutan dan fragmentasi yang tidak
dapat dihindarkan, mungkin several small menjadi pilihan. Masing-masing
memiliki kelebihan dan kelemahan, dengan campur tangan manajemen
kelemahan bisa dikurangi.
Single large memang memiliki banyak kelebihan maka lebih
banyak dianut para ahli dan praktisi konservasi. Satu kelemahan fatal
adalah jika terjadi bencana hebat seperti tsunami, kebakaran hutan atau
pandemi suatu penyakit atau hama, maka bisa memusnahkan seluruh
spesies yang ada tanpa ada yang tersisa. Hal tersebut dapat dihindari jika
habitat-habitat tersimpan dalam beberapa lokasi (several small), sehingga
jika satu habis terkena bencana, masih ada habitat lain yang tersisa di
tempat lain.
Kelebihan lain several small adalah mewakili tipe habitat yang
lebih beragam, lebih banyak menampung populasi spesies langka.
Kelemahan pada several small antara lain meningkatnya resiko kepunahan
lokal karena masalah genetik (menurun, inbreeding, hanyutan genetik),
perubahan demografik (laju kelahiran dan kematian terkait variasi atau
peluang acak) dan perubahan lingkungan (pemangsaan, kompetisi,
penyakit, bencana). Habitat yang terfragmentasi juga menurunkan peluang
rekolonisasi dan meningkatnya efek tepi (edge effect).
Untuk mengurangi efek tepi dan efek fragmentasi maka perlu
dibuat koridor yang menghubungkan kantong-kantong habitat yang terpisah
agar dapat saling berhubungan. Namun koridor juga memiliki kelemahan
antara lain dapat menjadi jalan penularan penyakit, meningkatnya predasi
dan perburuan di sepanjang koridor
48 PRAGMENTASI HUTAN
Sebagai tambahan, ada kritik mendasar pada pendekatan ini karena ada
sedikit bukti bahwa perbedaan dalam keanekaragaman spesies dalam
pulau adalah kesetimbangan (equilibrium) antara kolonisasi dan
kepunahan. Secara spesifik, terdapat sedikit bukti untuk species
turnover.
50 PRAGMENTASI HUTAN
DAFTAR PUSTAKA
Forman, R.T.T. and M. Gordon. 1986. Landscape Ecolog y. John Wiley and
Sons. New York.
Forman, R.T.T. 1985. Land Mosaics: The Ecolog y of Landscapes and
Regions. Cambridge University Press, Cambridge, Uk.
Meret, J. 2007. Habitat Fragmentation and Wildlife Corridors.
http://www.science. mcmaster.ca.htm. Diakses Tanggal 02-11-
2007.
Stiles, F.G. and D.A. Clark. 1989. Conservation of Tropical rain Forest
Birds : A Case Study from Costa Rica. American Birds 43 (Fall) :
420-428.
Mac Arthur, R.H. and E.O. Wilson. 1967. The Theory of Island
Biogeography. Princeton University Press. Princeton, New Jersey.
http://en.wikipedia.org/wiki/SLOSS_Debat. Diakses Tanggal 10 Desember
2007.
PROSES-PROSES LANSKAP
DINAMIKA METAPOPULASI
PULAU SAMUDERA (OCEANIC ISLAND) DAN KANTONG HABITAT
(HABITAT PATCH)
KESETIMBANGAN (EQUILIBRIUM ) POPULASI ANTAR KANTONG
HABITAT (HABITAT PATCH) DAN SUBPOPULASI
DAFTAR PUSTAKA
I. PROSES-PROSES LANSKAP
52 PRAGMENTASI HUTAN
kebakaran. Gangguan juga dapat bersifat katastropik atau cepat seperti
kebakaran, badai, banjir dan gunung meletus.
Karr and Freemark (1985) menawarkan suatu klasifikasi faktor-
faktor untuk dievaluasi dalam studi gangguan (Tabel 2). Faktor-faktor
untuk dipertimbangkan meliputi tipe dan rejim gangguan, tipe sistem
biologis, dan konteks regional (context). Karr dan Freemark juga
menyebutkan bahwa respon biotik terhadap gangguan, bervariasi mulai dari
kepunahan populasi sampai perubahan dalam laju pertumbuhan yang
membawa perubahan perilaku dan ekologi dalam seleksi habitat.
Shugart and Seagle (1985) memodelkan Okupansi patch (patch
occupancy) oleh vertebrata dalam kehadiran distribusi di suatu ekosistem
hutan hujan basah di Tanzania dan menyimpulkan bahwa keanekaragaman
(diversity) hutan dan lingkungannya secara konstan sepanjang waktu
mempengaruhi kekayaan spesies di dalam suatu lanskap. Semakin besar
lanskap, semakin besar penyokong variasi lingkungan. Dalam modelnya
juga, kehadiran interaksi kompetitif di antara pengkoloni sangat
menurunkan jumlah spesies potensial di dalam suatu lanskap.
Proses-proses biotik meliputi peran invasi spesies sebagai parasit
sarang dan kompetitor. Karena habitatnya dieksploitasi manusia, burung
cowbird kepala cokelat (Molothrus ater) telah menginvasi Sierra Nevada,
California sejak 1930. Mereka sekarang menjadi parasit sarang dari 22
spesies burung yang menjadi inangnya dan dapat mengancam
keberlangsungan survival beberapa spesies di Sierra, khususnya burung
warbling vireo (Vireo gilvus) (Rothstein et al., 1980).
Proses-proses biotik lainnya seperti epidemi, meningkatnya atau
invasi spesies hama yang menekan ukuran populasi atau trend spesies lain–
juga mempengaruhi distribusi dan kelimpahan suatu populasi pada suatu
lanskap. Spesiasi dan subspesiasi merupakan proses biotik yang
mempengaruhi bagaimana spesies merespon kondisi lanskap di berbagai
zona geografis yang luas selama ribuan tahun generasi. Gang guan oleh
manusia, seperti eksploitasi, perburuan dan introduksi spesies eksotik dapat
dipandang sebagai suatu proses biotik.
Ekologi lanskap kebanyakan ditujukan pada bagaimana satwa
menggunakan lingkungan yang heterogen. Mempelajari pola seleksi
54 PRAGMENTASI HUTAN
Faktor Contoh Hasil Respon Biotik
Konteks Regional
Dalam areal Ukuran luas dan sifat internal Survivorship, kolonisasi, pola
mosaik habitat kepunahan bervariasi antar
pulau.
Antara Areal dan Habitat pulau hutan pada Variasi kepunahan dan dinamika
wilayah samudera dan pulau hutan pada kolonisasi antar kelompok
didekatnya lahan pertanian vertebrata; membedakan
pengaruh kolonisasi dari patch-
patch tetangganya dari rumput vs
air
Dalam hal ini, struktur genetik metapopulasi dapat terdiri atas gen
tunggal, mendekati panmictic genome; demes (kelompok sekerabat; sub
populasi) lokal terisolasi jarak dari demes lainnya; atau hampir seluruh sub
populasi terisolasi berbagi material genetik dengan sub populasi lainnya
hanya jarang-jarang melalui kesempatan kejadian dispersal. Secara
definisi, suatu populasi panmictic seluruhnya tidak memiliki struktur
metapopulasi sendiri karena ia berperan sebagai genetik tunggal dan
kesatuan demografik. Perbedaan antara suatu struk tur metapopulasi
dengan kurang lebih sub populasi terputus (disjunction subpopulation) dan
56 PRAGMENTASI HUTAN
suatu struktur populasi yang kontinyu (clinal population) dengan
intergrading sub populasi, bagaimanapun merupakan suatu masalah tingkat
pertukaran di antara unit-unit sub populasi (Morrison et al. 1992).
Suatu contoh distribusi metapopulasi terdiri atas hampir
seluruhnya sub populasi terisolasi terjadi pada spesies burung pegunungan
di sepanjang pegunungan Great Basin (Johnson 1975; 1978). Johnson
mengeksplorasi sumber keanekaragaman komunitas burung boreal (Gambar
10). Ia melaporkan bahwa agen berikut diurutkan menurut korelasi
penurunannya, mempengaruhi jumlah spesies burung boreal; luas hutan
woodland, latitude puncak tertinggi, elevasi puncak tertinggi, dan lebar
barrier (derajat isolasi). Dengan demikian, distrubusi metapopulasi secara
keseluruhan dari suatu spesies dipengaruhi oleh karakteristik lokal yang
mempengaruhi kepunahan lokal seperti halnya isolasi mempengaruhi
kolonisasi (Morrison et al. 1992).
11a. Batas Das dan sistem riparian (riverine) (Morrison et al. 1992).
11b. Kejadian sepuluh patches dari hutan tua (Morrison et al. 1992).
58 PRAGMENTASI HUTAN
11c. Kejadian vertebrata obligat dewasa di tujuh dari 10 patches
(Morrison et al. 1992).
11d. Seleksi tiga patches untuk pemanenan tebang habis (Morrison et al.
1992).
60 PRAGMENTASI HUTAN
11g. Masih kehilangan spesies kemudian pada suatu patch hutan lebih
besar yang kini terisolasi (Morrison et al. 1992).
62 PRAGMENTASI HUTAN
Dinamika kolonisasi patch-patch tampaknya tidak semua patch
yang cocok (suitable) akan ditempati oleh satwa dalam satu waktu. Oleh
karena itu, dari perspektif manajemen, tidak perlu mengkonservasi patch-
patch yang potensial suitable jika tidak ditempati. Lebih baik memonitor
patch-patch dari waktu ke waktu untuk mengetahui pola penghunian
(occupancy) sebelum mengubah arah manajemen yang akan sangat
menurunkan kualitas patch-patch. Tampaknya patch-patch yang kosong
mungkin masih vital untuk dispersal dan distribusi. Monitoring harus
digunakan untuk mengetahui frekuensi dan tipe penggunaan patch-patch
untuk keperluan tersebut (Morrison et al. 1992).
Konsep dinamika metaopulasi dapat bermanfaat untuk
menetapkan kriteria dalam mencantumkan (listing) spesies yang terancam
(threatened), dalam bahaya (endangered), jarang (rare) atau rawan
(sensitive) sebagaimana dinamika kepunahan lokal dan kolonisasi
meningkatkan resiko menjadi viability. Sebaliknya, konsep tersebut juga
bisa memberikan pedoman untuk mengeluarkan suatu spesies dari daftar
(delisting). Membuat kriteria delisting akan memerlukan penetapan target
tujuan recovery yang realistik untuk distribusi suatu populasi yang cukup,
memungkinkan tingkat isolasi yang dikehendaki dan interaksi sub populasi
dan derajat realistik penghunian patch (Morrison et al. 1992).
Variasi kondisi dan kualitas patch mungkin diperlukan untuk
menjaga populasi terdistrubusi dengan baik. Kita harus mempe rtimbangkan
areal-areal yang digunakan secara musiman untuk migrasi, dispersal dan
beristirahat dalam rangka membantu pertukaran individu di dalam dan
antar sub populasi. Secara umum, hal tersebut mungkin yang terbaik untuk
memberikan variasi kondisi habitat untuk menjag a keragaman genetik di
seluruh ekotipe, sub populasi dan ras-ras metapopulasi. Memberikan hanya
kondisi optimal – lingkungan dengan okupansi tertinggi atau konsisten –
mungkin tidak memberikan untuk spesiasi jangka panjang dan diversifikasi
stok genetik (Morrison et al. 1992).
Secara umum, memahami dinamika metapopulasi merupakan
kunci untuk memberikan koreksi jumlah, kualitas dan distribusi habitat
pada berbagai skala. Hal tersebut harus dapat memberikan panduan dalam
rehabilitasi habitat dan penambahan lahan, misalnya untuk penggunaan
64 PRAGMENTASI HUTAN
penggambaran proses kolonisasi dan kepunahan bisa lebih kompleks dalam
lanskap hutan dari pada dalam pulau (Morrison et al. 1992).
Juga terdapat perbedaan dalam pengaruh ukuran patch.
Walaupun sebuah patch kecil dalam lanskap benua dapat berhenti berfungsi
sebagai habitat, sama halnya dengan pulau samudera yang kecil dan
terisolasi, ini dapat menyumbang pada kejadian (occurance) dan
keberadaan (persistence) dari suatu spesies dalam sebuah lanskap jika
kondisi di dekatnya atau sekitarnya suitable untuk spesies yang
dipertanyakan. Patch-patch di dalam lanskap benua memiliki ciri mendapat
tekanan invasi pengaruh tepi (edge effect) ke dalam interior patch.
Semakin kecil patch, semakin besar fraksi patch dipengaruhi oleh edge.
Tidak ada pesamaan yang jelas antara pengaruh tersebut dengan pulau
samudera. Demikian juga, bahkan jika patch lebih kecil dari yang
dibutuhkan untuk memberikan kebutuhan pokok bagi berbagai tahapan
kehidupan suatu asosiasi spesies, patch-patch mungkin masih memberikan
sumbangan berarti bagi dispersal, mencari makan, pelindung atau tempat
istirahat, tergantung pada lanskap dimana patch itu ada. Di sisi lain, suatu
pulau samudera yang kecil tidak memberikan sumbangan apa-apa (Morrison
et al. 1992).
Mungkin ada perbedaan dalam pengaruh kompetisi antara spesies
dalam pulau dan spesies dalam lanskap benua. Martin (1981) meneliti
burung-burung di 69 pulau hutan (shelterbelt) di Dakota selatan bagian
timur menemukan bahwa ketidakhadiran spesies tidak sesederhana karena
preferensi habitat atau isolasi. Interaksi kompetitif antar spesies
mempengaruhi jumlah individu dan spesies dalam komunitas dan struKtur
ekologi komunitas, sementara interaksi kondisi lingkungan, kesempatan dan
kompetisi menentukan pola distribusi individu s pesies di antara komunitas.
Sebaliknya, spesies mamalia kecil di pulau barrier Virginia menunjukkan
tidak ada pengaruh dari kompetisi pada sumberdaya yang digunakan oleh
setiap spesies, walaupun tingkat segregasi habitat yang tinggi teramati
(Dueser & Porter 1986).
Laju kepunahan spesies, baik di pulau samudera maupun kantong
habitat dalam suatu lanskap merupakan fungsi dari meningkatnya isolasi,
yang diakibatkan oleh fragmentasi dan menurunnya luasan. Pada pulau-
66 PRAGMENTASI HUTAN
dapat memulai sebuah sub populasi lokal pada suatu areal yang sebelumnya
tidak berpenghuni. Berkaitan dengan prinsip founder adalah rescue effect
yang terjadi ketika seekor imigran mengisi suatu patch-patch tidak
berpenghuni tetapi sebelumnya berpenghuni (Brown & Brown 1977).
Memahami bagaimana segment suatu populasi, seperti nonbreeding floaters
dapat berperan sebagai founder dan penyelamat adalah penting dalam
mendisain lanskap.
Lomolino (1984) melaporkan bahwa rescue effect mungkin
mempengaruhi distribusi dalam pulau (insular distribution) dua spesies vole
(Microtus pennsylbanicus dan Blarina brevicauda) di wilayah pulau seribu
sungai St. Lawrence, New York. Distribusi spesies di pulau-pulau tersebut
dihasilkan dari seleksi imigrasi – seleksi untuk untuk fenotip lebih vagile
dari populasi di dalam daratan sumbernya – dan tidak adanya predator di
pulau-pulau tersebut.
Jika lingkungan terganggu pada laju yang lebih cepat dari pada
yang dapat direspon oleh populasi secara demografik, maka faunal
relaxation penurunan kekayaan spesies atau penghunian pulau atau patch-
patch bisa terjadi. Faunal relaxation terjadi di dalam pulau atau lanskap
yang mengalami isolasi. Penurunan terjadi karena laju kolonisasi menurun
tetapi laju kepunahan lokal tidak. Relaxation tejadi dengan isolasi
mendadak dari lingkungan yang kaya (Morrison et al. 1992).
Faunal relaxation mungkin merupakan penyebab penurunan atau
hilangnya tujuh spesies burung yang menjadi ciri hutan tua di fragment
hutan oak-hemlock, di arboretum Connecticut antara tahun 1853 dan 1976.
Meskipun demikian, pada beberapa tahun belakangan ini, fragment-
fragment telah menjadi kurang terisolasi seiring suksesi vegetasi yang
meluas di areal-areal sekitarnya yang menghasilkan kondisi yang kondusif
untuk mendukung kembali spesies burung-burung hutan tua (Askin dan
Philbrick, 1983). Faunal relaxation mungkin sekarang tejadi di beberapa
taman nasional (Newmark 1986), walaupun bukti-buktinya diperdebatkan.
Faunal relaxation juga dapat terjadi di alam liar setelah 50 tahun
mendatang, seiring hutan tua menjadi berkurang pada lahan hutan produksi
kayu komersial, jika kesinambungan patch tidak dibuat (Morrison et al.
1992).
68 PRAGMENTASI HUTAN
suatu keseimbangan (balance) antara rekruitmen dan kehilangan
demografik (Morrison et al. 1992).
Temple & Cary (1988) mengembangkan suatu model simulasi
komputer dari suatu lanskap yang berisi populasi hipotetik burung -burung
hutan interior yang fekunditasnya berhubungan negatif dengan
kedekatannya pada suatu edge dalam lanskap. Model ini
mendemonstrasikan jika beberapa spesies yang menunjukkan fekunditas
yang lebih rendah di dekat edge, kemudian persistensi mereka dalam suatu
lanskap dapat dikendalikan dengan mengatur jumlah keberadaan edge.
Dengan suatu populasi yang sederhana, bila emigrasi dari wilayah lain yang
reproduksinya lebih baik sama dengan nol atau sedikit, maka populasi yang
bergantung pada interior dalam lanskap yang sangat terfragmentasi dapat
menjadi punah secara lokal.
Dalam suatu model dinamik patch yang serupa, Fahrig dan Merriam
(1985) mengukur survival dari suatu populasi tikus kaki putih (Peromyscus
leucopus) di antara kantong-kantong hutan (forest patches) dalam suatu
lanskap pertanian. Model tersebut memprediksi bahwa tikus dalam areal-
areal berhutan yang terisolasi akan memiliki laju pertumbuhan lebih rendah
dan akan lebih rawan terhadap kepunahan lokal dari pada di dalam areal-
areal berhutan yang berkesinambungan. Prediksi ini telah diverifikasi
dengan observasi empiris terhadap populasi di alam liar (Morrison et al.
1992).
DAFTAR PUSTAKA
Askin, R.A. and M. Philbrick. 1983. Changes in Bird Community as a Forest
Fragment Becomes Less Isolated. Abstract of a paper presented at
the 1983 meeting of the American Ornitologist’ Union, August, in
New York.
Brown, C.W. and A.K. Brown. 1977. Turnover Rates in Insular
Biogeography : Effects of Immigration on Extinction. Ecology 58 :
445-449.
Dueser, R.D. and J.H. Porter. 1986. Habitat Use by Insular Small Mammals.
Relative Effects of Competition and Habitat Structure. Ecolog y 67 :
195-201.
Fahrig, L. and G. Merriam. 1985. Habitat Patch Connectivity and
Population Survival. Ecolog y 66 : 1762-1768.
70 PRAGMENTASI HUTAN
7
PENGARUH FRAGMENTASI
TERHADAP SATWALIAR
PENDAH ULUAN
KERUSAKA N HABITAT
MENGURANGI DAYA HIDUP (VIABILITY)
PENGARUH PADA POPULASI
PENGURANGAN L UAS HABITAT
PERUBAHAN KEA NEKARAGAMAN HAYATI
PENGARUH ISOLASI PATCH
EFEK TEPI (EDGE EFFECT)
SPESIES, RELUNG MAKAN DAN FRAGMENTASI
FRAGMENTASI HABITAT DAN KEPUNAHAN
PEMANGSAAN DAN FRAGMENTASI
FRAGMENTASI HABITAT DAN PERILAKU SATWA
DAFTAR PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
72 PRAGMENTASI HUTAN
menyelamatkan diri ke kantong habitat yang tersisa. Hal ini dapat
menyebabkan terjadinya pengaruh kerumuman (crowded effect) dan
meningkatkan kompetisi. (http://en.wikipedia.org/wiki/Habitat_fragmentation).
2
3
1 2
1
4 3
Gambar 12. Contoh habitat yang terfragmentasi oleh: (1) jaringan listrik,
(2) jalan raya, (3) tebang habis dan (4) pertanian (Foto:
Hendra Gunawan, 2008).
74 PRAGMENTASI HUTAN
mudah dalam lingkungan yang terganggu tersebut, dan hewan ternak yang
berdekatan sering mengganggu ekologi alami. Demikian juga, habitat
sepanjang edge dari fragment memiliki iklim berbeda dan menyenangkan
spesies yang berbeda dari habitat interior. Oleh karena itu, fragment-
fragment kecil tidak disukai oleh spesies yang membutuhkan habitat
interior (http://en.wikipedia.org/wiki/ Habitat_fragmentation ).
Jika laju kolonisasi pada patch-patch kosong lebih tinggi dari laju
kepunahan, metapopulasi akan bertahan. Hal ini karena ketika beberapa
patch mengalami kepunahan, yang lainnya dikolonisasi. Akibatnya,
perpindahan individu-individu antar populasi mengikat semua populasi ke
dalam suatu metapopulasi yang dapat bertahan dalam lanskap yang
terganggu.
76 PRAGMENTASI HUTAN
Masalah bagi perencana lahan adalah bahwa laju perpindahan
individu-individu antar patch ditentukan oleh seberapa dekat atau
bagaimana patch-patch itu terpisahkan. Patch-patch yang berjauhan dari
patch lainnya tidak akan bertukaran individu denga patch-patch lainnya,
dan populasi kecil yang tersisa dalam patch akhirnya akan mengalami
kepunahan. Patch-patch menjadi lebih terisolasi satu sama lain, laju
kolonisasi merosot ke titik dimana laju kepunahan lebih tinggi dari laju
kolonisasi, dan seluruh metapopulasi akan mengalami kepunahan. Hal ini
akan terjadi sebelum semua patch di dalam suatu lanskap hilang. Yang
perlu digaris-bawahi adalah bahwa patch-patch yang berdekatan satu sama
lain memberikan habitat yang lebih baik dari pada patch-patch yang
terisolasi walau memiliki ukuran yang sama
http://chesapeake.towson.edu/landscape/forestfrag/effects.asp ).
Pada skala patch hutan individual, beberapa faktor mempengaruhi
nilainya sebagai habitat tumbuhan dan satwaliar. Secara umum, patch-
patch yang lebih besar mendukung lebih banyak spesies. Hal ini karena
patch hutan yang lebih besar memiliki lebih banyak variasi habitat dan
mendukung populasi yang lebih besar sehingga kurang rawan terhadap
peluang kepunahan. Lagipula, hanya patch-patch besar cenderung berisi
habitat yang cukup untuk mendukung spesies seperti mamalia yang lebih
besar yang membutuhkan areal yang lebih luas
(http://chesapeake.towson.edu/landscape/forestfrag/effe cts.asp).
Patch hutan individual juga dipengaruhi oleh kondisi di sekitarnya.
Pada tepi hutan (forest edge), angin dan sinar matahari mengakibatkan
kondisi yang lebih kering dari pada di dalam interior patch hutan. Tepi
hutan juga lebih mudah dicapai oleh predator dan parasit yang dapat
terjadi di lahan tetangganya atau areal yang terbangun di sekitarnya.
Sebagai contoh, kucing rumah yang membunuh burung kecil seringkali lebih
umum ada di tepi hutan yang dekat dengan pemukiman. Cowbird, yang
merupakan burung parasit sarang juga lebih umum terdapat di hutan yang
dekat dengan lahan terbuka dimana mereka biasa mencari makan. Cowbird
meletakkan telurnya di sarang burung lain (burung inang). Burung -burung
inang akan merawat telur-telur burung cowbird. Ketika telur menetas,
burung cow bird yang tubuhnya lebih besar akan berebut makanan dengan
Gambar 15.
Grafik menunjukkan hubungan
antara kelembaban tanah dengan
edge dan core habitat dalam patch
hutan. Banyak spesies burung tidak
dapat mentolerir kondisi tepi habitat
(habitat edge) dan hanya ditemukan
di dalam core habitat
(Sumber:http://chesapeake.towson.
edulandscape/forestfrag/
effects.asp).
78 PRAGMENTASI HUTAN
island) dengan menggangu keseimbangan ekosistem yang disukai oleh
spesies yang sangat beradaptasi dengan kondisi yang berubah. Sebagai
contoh, meningkatnya jumlah lanskap yang didominasi manusia
memungkinkan spesies tertentu untuk tumbuh secara fenomenal, tetapi
dapat membahayakan spesies yang secara ekslusif tergantung pada patch
habitat interior. Contoh yang sering dikutip adalah burung parasit
cowbird kepala cokelat (Molothrus ater) yang populasinya meningkat secara
dramatis sejak manusia mulai mengganggu lanskap pada skala luas di
Amerika Utara. Cow bird kepala cokelat merupakan parasit sarang, yaitu
mengganti telur-telur burung inangnya dan menggantikannya dengan
telurnya sendiri dan membiarkan burung inang yang tidak menyadarinya
mengerami dan membesarkannya. Peningkatan jumlah burung cowbird
tersebut berdampak negatif terhadap keberhasilan perkembangbiakan
banyak burung-burung penyanyi penghuni tetap hutan (Mayfield 1977).
Disamping gangguan keseimbangan ekosistem yang disukai oleh
spesies yang memiliki kemampuan adaptasi tinggi, kehilangan habitat
akibat fragmentasi dengan mudah dapat menyebabkan populasi dan jelajah
spesies interior berkurang. Saunders (1989) mencatat satu contoh yang
jelas, bagaimana perubahan areal yang luas dari habitat yang utuh menjadi
pulau-pulau yang terfragmentasi mempengaruhi avifauna. Ia meneliti
perubahan avifauna di jalur ladang gandum Australia bagian barat sebagai
akibat dari fragmentasi. Ia menunjukkan bahwa 41% burung -burung asli di
wilayah tersebut telah menurun kelimpahan dan jelajahnya sejak 1900 -an
dan menunjukkan bahwa hampir semua perubahan ini secara langsung
diakibatkan oleh fragmentasi habitat dan penurunan kelimpahan vegetasi
alami. Walaupun beberapa spesies meningkat kelimpahannya, ia
menekanankan bahwa lebih banyak spesies yang dirugikan dari pada yang
diuntungkan.
Bentuk fragment hutan mempengaruhi luasan interior yang
terkandung di dalamnya, seperti diperllihatkan pada Gambar 16, dimana
luas dari seluruh fragment hutan contoh adalah sekitar 50 ha. Fragment
hutan mungkin cukup besar tetapi memiliki interior yang kecil karena
bentuknya linear. Bentuk fragment seperti lingkaran atau bujur sangkar
memiliki proporsi interior terbesar dibandingkan terhadap luas totalnya dan
Sumber: http://www.lrconline.com
80 PRAGMENTASI HUTAN
VI. PERUBAHAN KEANEKARAGAMAN HAYATI
82 PRAGMENTASI HUTAN
hubungan mutualisme yang kompleks seperti hubungan tumbuhan-
penyerbuk, tumbuhan-penyebar biji, dan parasit-inang, sehingga tidak
dapat dihindari kepunahan lokal salah satu spesies menyebabkan kepunahan
spesies lainnya. Burung kasuari (Casuarius casuarius), pemakan buah di
hutan hujan di Australia, diduga kuat mengalami kepunahan lokal akibat
fragmentasi habitat karena kebutuhan habitatnya berupa hutan hujan
kontinyu yang luas berkaitan dengan hubungan mutualisme yang unik antara
keduanya yaitu tumbuhan-penyebar biji. Burung besar yang tak dapat
terbang ini mengembara secara nomaden dalam mencari musim berbuah.
Kasuari berfungsi sebagai satu dari sedikit penyebar bi ji-biji berukuran
besar, yang banyak diantaranya perlu dikupas dan dipecah (dicerna)
sebelum berkecambah. Kepunahan kasuari dari fragment hutan hujan tak
dapat dihindarkan akan membawa kepunahan pohon-pohon atau tumbuhan
yang tergantung padanya sebagai penyebar/pemecah biji.
Disamping menjadi rumah bagi spesies terancam punah, komunitas
tropika terancam kerusakan dan fragmentasi karena lokasi fisiknya overlap
dengan batas-batas geografis negara-negara dunia ketiga. Dalam negara-
negara ini, masyarakatnya seringkali terantung pada penghasilan yang
didapatkan dari kayu hutan hujan atau ternak yang dibudidayakan dengan
menebang habis hutan hujan. Tekanan yang konstan pada komunitas hutan
hujan ini mengakibatkan fragmentasi habitat yang sangat luas. Fragment-
fragment kecil terisolasi yang dihasilkan menyebabkan ganguan pada
keseimbangan ekosistem. Ahli ekologi Thiollay dan Myberg (1988) meneliti
status dari semua burung pemangsa (raptor) yang ditemukan tersisa di
habitat hutan hujan di pulau tropika Jawa, dimana hampir semua habitat
asli hanya tersisa di cagar-cagar alam. Hampir semua raptor sangat jarang
ditemukan di luar cagar-cagar alam sebagaimana telah diduga sebelumya.
Mereka juga menemukan bahwa semakin besar ukuran cagar, semakin padat
populasi raptor di dalamnya.
Menariknya, Lovejoy et al. (1986) menemukan fenomena yang
serupa dengan burung-burung Amazon dalam proyek dinamika biologi
fragment hutan (Biological Dynamics of Forest Fragments = BDFF;
sebelumnya Minimum Critical Size of Ecosystem) di Brazil. Tujuan utama
proyek BDFF adalah untuk menemukan bagaimana komunitas hutan hujan
84 PRAGMENTASI HUTAN
menghadapi ancaman inbreeding yang berlanjut pada penurunan jumlah
dan bahkan kepunahan dari kantong habitatnya.
Baik komunitas tropika maupun temperate menghadapi masalah
yang sama yaitu inbreeding dan kehilangan keanekaragaman genetik, yang
dihasilkan oleh sub populasi tumbuhan dan satwa yang terisolasi satu sama
lain akibat dari fragmentasi habitat. Jika ada jarak yang terlalu be sar
antara dua fragment dan suatu spesies tidak dapat menyebar melintasi
areal di antaranya, populasi tersebut secara prinsip telah terpecah.
Inbreeding bisa terjadi jika sub populasi pada fragment yang ada kecil. Hal
ini tidak langsung didokumentasikan, tetapi potensial terjadi.
Hilangnya keanekaragaman genetik dapat terjadi bahkan tanpa
inbreeding dan hasilnya homosigositas pada gen-gen tertentu dapat
menyebabkan evolusi yang berakhir pada kematian suatu spesies (Soule
1986). Dalam rangka meningkatkan pertukaran antara fragment-fragment,
banyak manajer satwaliar mengaplikasikan koridor-koridor yang
menghubungkan dua atau lebih pulau-pulau habitat. Berdasarkan
penelitian MacClintock et al. (1977) koridor-koridor meningkatkan kekayaan
spesies burung-burung yang berkembangbiak dan meningkatkan perjalanan
satwa penyebar biji (Harris 1984). Koridor-koridor dapat mencegah
hilangnya keanekaragaman genetik dan memungkinkan dispersal spesies
antar fragment, tetapi hilangnya ekosistem asli menjadi fragment-
fragment terus saja terjadi. Berkurangnya luas ekosistem alami hanya
dapat merugikan spesies yang tergantung padanya untuk hidup.
Gambar 18.
Ilustrasi zona pengaruh tepi (edge effect) suatu pulau habitat
(Sumber:http://faculty.plattsburgh.edu/thomas.wolosz/ extinction.htm ).
Kita tertarik pada edge bagian luar (outer edge) atau zone edge
effect akan memiliki beberapa kondisi yang berbeda dengan kondisi di
dalam habitat. Jika kita membicarakan tentang boundary antara hutan dan
ladang, misalnya, edge effect dapat meliputi derajat yang lebih tinggi dari
penyinaran matahari di edge hutan, kecepatan angin yang lebih besar, dan
kondisi yang lebih kering dan teduh. Zona edge ini dapat berfungsi sebagai
jebakan ekologi dimana ia menggambarkan habitat yang diinginkan untuk
beberapa satwa, tetapi mungkin tidak diinginkan oleh sejumlah besar
86 PRAGMENTASI HUTAN
pemangsaan oleh satwa yang tinggal di habitat sekelilingnya. Di anta ra
burung-burung, masalah umum sepanjang zona edge meliputi pemangsaan
sarang dan parasit terhadap anakan oleh spesies seperti burung cowbird.
88 PRAGMENTASI HUTAN
pengurangan habitat, dan pemeliharaan koridor bisa menjadi langkah
penceghan kepunahan lokal (Farina 2000).
Serangga-serangga penyerbuk di hutan kering sub tropika di
Argentina bagian utara berkurang, menurunkan ukuran fragment-fragment,
tetapi sebaliknya lebah madu (Apis melifera) meningkat frekuensi
kunjungannya ke bunga (Aizen & Feinsinger 1994).
Walaupun diduga kuat adanya laju yang tinggi pada alien species
di tegakan hutan yang kecil dan terisolasi, penginvasi dihentikan oleh
konkurensi cahaya (rendah di interior) dan oleh isolasi tanaman budidaya,
digabung dengan kapasitas yang rendah alien species untuk berpindah.
Fragment-fragment tersebut memiliki edge dan vegetasi semak yang lebat
yang mencegah alien species masuk, walaupun pada waktu yang sama edge
yang hangat ini menarik alien species (Brother & Spingarn 1992).
90 PRAGMENTASI HUTAN
Burger et al. (1994). Sarang-sarang buatan di prairie < 15 ha lebih banyak
dimangsa daripada di sisa-sisa prairie yang besar (37% vs 13,9%). Sarang-
sarang yang ditempatkan pada jarak < 60 m dari tegakan hutan (woodlots)
kurang berpeluang untuk berhasil dari pada sarang -sarang buatan yang
ditempatkan lebih jauh (28,7% vs 7,9% dari pemangsaan).
Fragmentasi hutan-hutan holarctic (nearctic dan palearctic) telah
mengganggu dinamika banyak herbivora kecil dibandingkan dengan hutan
tak terganggu. Menghilangnya siklus dalam kelimpahan berpindah ke
selatan terutama disebabkan oleh meningkatnya tekanan dari pemangsa.
Andren et al. (1985) meneliti tekanan pemangsa terhadap tetranoidae
menggunakan sarang-sarang model. Tekanan pemangsa tinggi di selatan,
seperti yang telah diduga, dan pemangsa utamanya adalah corvidae yang
lebih melimpah di wilayah selatan. Burung-burung ini berkorelasi positif
dengan sistem pertanian, fragmentasi hutan dan dengan rejim gangguan
manusia yang lebih besar.
DAFTAR PUSTAKA
92 PRAGMENTASI HUTAN
Farina, A. 2000. Principles and Methods in Landscape Ecology. Kluwer
Academic Publisher. Dordrecht, The Netherlands.
Gibbs, J.P. dan J. Faarborg. 1990. Estimating the Viability of Oven Bird
and Kentucky Wabler Populastions in Forest Fragment.
Conservation Biology 4 : 193-196.
Harris, L.D. 1984. The Fragmented Forest. University of Chicago Press.
Chicago, IL.
http://chesapeake.towson.edu/landscape/forestfrag/effects.asp. Diakses
Tanggal 01-02-2008.
http://chesapeake.towson.edu/landscape/forestfrag/g lossary.asp. Diakses
Tanggal 01-02-2008.
http://en.wikipedia.org/wiki/Habitat_fragmentation. Diakses Tanggal 01-
02-2008.
http://faculty.plattsburgh.edu/thomas. wolosz/extinction.htm. Diakses
Tanggal 01-02-2008.
http://learning.turner.com/efts/rforest/habfrag.htm. Diakses Tanggal 17-
10-2006.
http://www.brocku.ca/epi/lebk/ lebk.html. Diakses Tanggal 01-02-2008.
http://www.dnr.state. wi.us/org/land/er/biodiversity/concepts/
fragmentation.htm. Diakses Tanggal 01-02-2008.
http://www.Lrconline.Com. Conserving The Forest Interior: A Threatened
Wildlife Habitat. Diakses Tanggal 01-02-2008.
Kattan, G.H., H. Alvares-Lopez, M. Giraldo. 1994. Forest Fragmentation
dan Kepunahan Burung : San Antonio Eighty Years Later.
Conservation Biology 8 : 138-146.
Keller, M.E. dan S.H. Anderson. 1992. Avian Use of Habitat Configurations
Created by Forest cutting in Southestern Wyoming. Condor 94:
55-65.
Klein, B.C. 1989. Effect of Forest Fragmentation on Dung and Carrion
Beetle Communities in Central Amazonia. Ecology 70 : 1715-
1725.
Leimgrurber, P., W.J. McShea, dan J.H. Rappole. 1994. Predation on
Artificial Nests in Large Forest Blocks. Journal of Wildlife
Management 58 : 254-260.
MacClintock, L., R.F. Whitcomb dan B.L. Whitcomb. 1977. Island
Biogeography and “Habitat Island” of Eastern Forest. II.
Evidence for The Value of Corridors and Minimization of
94 PRAGMENTASI HUTAN
8
PERPINDAHAN SATWA
DALAM LANSKAP
POLA PERGERAKAN
SALTATORY MOVEMENT
HOME RANGE
DISPERSAL
MIGRASI
DAFTAR PUSTAKA
I. POLA PERGERAKAN
Suatu obyek berpindah di antara dua titik menunjukkan
pergerakan sinambung (continuous movement) jika kecepatanya tidak
pernah turun sampai nol, tetapi mungkin memiliki kecepatan yang tetap,
meningkat signifikan atau melambat. Teta pi umumnya suatu obyek
menunjukkan pergerakan melompat atau bertahap (saltatory movement),
yaitu berhenti sekali atau beberapa kali selama dalam perpindahannya
antara dua titik (Forman dan Gordon, 1986).
Jika kita memandang aspek spasial dari suatu lanskap, kita
temukan bahwa dua pola perpindahan menggambarkan dua tipe utama
aliran spesies, energi dan materi. Partikel, gas dan energi panas berpindah
secara kontinu melintasi suatu lanskap dalam aliran yang tetap (steady).
Banyak spesies menunjukkan perpindahan yang seragam (uniform)
sepanjang koridor atau melalui matrix lanskap. Perpindahan pada
kecepatan yang relatif konstan cenderung terjadi di areal-areal yang
heterogenitasnya rendah. Elemen-elemen lanskap seperti padang rumput,
96 PRAGMENTASI HUTAN
menghadapi ruang yang lebih heterogen memiliki boundary crossing
frequency (BCF) yang lebih rendah dan mungkin berpindah lebih cepat
melintasi suatu areal. BCF dapat dikombinasikan dengan ukuran derajat
kontras elemen lanskap untuk memberikan perkiraan yang sangat tepat
kecepatan relatif dari satwa melintasi lanskap (Forman & Gordon 1986).
Kemudahan mengukur BCF menjadikannya digunakan dalam
perencanaan dan manajemen, karena dapat dihitung untuk sejumlah rute
alternatif yang mungkin antara dua titik. Dengan cara ini, sebagai contoh,
kita dapat langsung membandingkan sebuah garis lurus dengan suatu rute
menggunakan koridor dan dengan suatu rute yang menghindarinya. BCF
menjadi perhatian khusus dalam memahami perpindahan spesies interior,
termasuk spesies yang sulit ditemui (secretive) yang melintasi sedikit
boundary dan membutuhkan areal yang jauh dari edge (Forman & Gordon
1986).
98 PRAGMENTASI HUTAN
singkat, dan berpindah lagi, tempat tersebut dapat disebut pemberhentian
untuk istirahat (rest stop). Sebaliknya, suatu tempat yang dikolonisasi oleh
suatu spesies – dimana spesies tersebut datang kemudian tumbuh dan
berkembangbiak dengan berhasil – disebut ba tu loncatan (stepping stone)
(Kimura & Weiss 1964; MacArthur & Wilson 1967). Pada beberapa kasus,
seekor individu mungkin tinggal untuk waktu yang lama pada rest stop
tanpa berkembangbiak, misalnya ketika individu mamalia membuat rumah,
atau suatu benih tumbuh menjadi tumbuhan dewasa tanpa menghasilkan
bunga dan buah. Apa yang penting dari dua tipe pemberhentian ini adalah
ketika suatu spesies menggunakan suatu tempat (spot) tertentu sebagai
stepping stone, spesies tersebut memperluas distrbusinya sebagai individu
yang berkembangbiak. Hal ini memberikan sumber baru untuk penyebaran
individu berikutnya. Sebaliknya, rest stop hanya lokasi sementara untuk
spesies. Penyebaran banyak spesies tumbuhan dari Amerika Selatan ke
utara melintasi Laut Karibia bisa terjadi karena adanya serangkaian pulau
sebagai stepping stones. Suatu penyebaran serupa terjadi melintasi
Samudera Pasifik, karena adanya beberapa stepping stones (Forman dan
Gordon, 1986).
V. MIGRASI
Gambar 19. Koridor harus cukup lebar untuk memberikan manfaat positif
lebih banyak bagi satwaliar. Koridor riparian yang sempit
seperti yang tampak dalam gambar berpeluang menghasilkan
dampak negatif bagi satwaliar.
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan 101
Beberapa perpindahan satwa musim dingin-musim panas dapat
dianggap sebagai transisi antara migrasi dan penjelajahan home range.
Home range spesies tertentu menyempit selama musim dingin ketika
penjelajahannya terhalangi oleh salju. Padahal, beberapa spesies
membutuhkan home range musim dingin yang lebih luas karena distribusi
makanan yang jarang. Pada kedua kasus tersebut, tempat tinggal atau
sarang ada di dalam home range musim dingin dan musim panas. Spesies
lainnya berpindah ke habitat berbeda di dalam suatu lanskap pada musim
dingin dan panas dengan mudahnya, seperti migrasi vertikal. Sebagai
contoh di Maine, rusa (Odocoileus virginiana) terkumpul di rawa cedar
(Thuja, sejenis konifer yang selalu hijau) selama musim dingin karena rawa
ini memberikan persediaan makanan serta melindungi dari predator dan
cuaca. Pheasant (sejenis burung buruan) di Texas berpindah dari tekanan
basah (playas yaitu daerah datar yang mengering) pada musim panas ke
daerah tanaman musim sejuk pada musim semi, dan kemudian ke suatu
lajur tanaman campuran, biji kecil, dan tekanan basah di mus im panas dan
gugur (Whiteside & Guthery 1983).
DAFTAR PUSTAKA
Forman, R.T.T. dan M. Gordon. 1986. Landscape Ecology. John Wiley and
Sons. New York.
Getz, L.L., R. Cole dan D.L. Gates. 1978. Interstates Roadsides as Dispersal
Routes for Microtus Pennsylvanicus. J. Mammal 59 : 208-212.
Kimura, M. dan G.H. Weiss. 1964. The Stepping Stone Model of Population
Structure and the Decrease of Genetic. Correlation with Distance.
Genetics 49 : 561-576.
MacArthur, R. H., and E. O. Wilson. 1967. The theory of island biogeography.
Princeton University Press, Princeton, New Jersey, USA.
Pielou, E.C. 1979. Biogeography. Wiley. New York.
Swingland, I.R. dan P.J. Greenwood (eds). 1983. The Ecology of Animal
Movement. Clarendon Press. Oxford.
Whiteside, R.W. dan F.S. Guthery. 1983. Ring-Necked Pheasant Movement,
Home Range, and Habitat Us in Wst Texas. J. Wildlife Management
47 : 1097-1104.
dp/dt = m p (1 - p) - e p ,
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan 103
memiliki peluang kepunahan yang sama, dan peluang keberhasilan dispersal
adalah sama di semua patch (Burel dan Baudry, 2003).
Model dan konsep Levins telah menjadi metapopulasi klasik. Yang
lebih baru didefinisikan oleh Hanski dan Gilpin (1991), metapopulasi
didefinisikan sebagai sekumpulan (set) populasi-populasi lokal yang
berinteraksi melalui perpindahan individu antar populasi-populasi tersebut.
Hanski dan Simberloff (1997) mendefinisikan metapopulasi sebagai
sekumpulan (set) populasi-populasi lokal di dalam beberapa area yang lebih
besar, dimana ditandai migrasi dari satu populasi lokal ke beberapa patch
lain yang memungkinkan.
Dengan demikian, suatu metapopulasi minimal merupakan
sekumpulan populasi-populasi lokal yang relatif terisolasi, terdistribusi
secara spasial yang terikat bersama karena peristiwa dispersal antar
populasi. Peristiwa dispersal yang jaraknya relatif panjang mungkin tidak
sering, tetapi harus terjadi cukup sering untuk memberikan rekolonisasi
populasi yang telah mengalami kepunahan lokal. Metapopulasi regional
menghadapi kepunahan lokal dengan pasti karena dispersal yang cukup
antar populasi. Jika dispersal antar populasi begitu sering dimana
kepunahan lokal tidak terjadi, konsep metapopulasi tidak diperlukan
(berlebihan), dan populasi regional lebih baik dipandang secara s ederhana
sebagai sebuah populasi tunggal yang terdistribusi secara spasial (walaupun
berkantong-kantong/patchily). Di sisi lain, jika dispersal terlalu jarang dan
peluang kepunahan lokal tidak nol, metapopulasi regional tidak dapat
berlangsung dan akan punah.
Sebuah metapopulasi biasanya dianggap terdiri dari beberapa
populasi berbeda bersama dengan areal-areal habitat yang cocok yang saat
ini tidak dihuni. Setiap populasi bersiklus dengan relatif bebas dari populasi
lainnya dan ak hirnya menjadi punah sebagai akibat stokastiksitas demografi
(fluktuasi dalam ukuran populasi akibat kejadian demografik random);
populasi yang lebih kecil lebih rentan menghadapi kepunahan.
Walaupun populasi-populasi secara sendiri-sendiri memiliki masa
hidup terbatas, populasi secara keseluruhan seringkali stabil karena imigrasi
dari satu populasi (misalnya, yang mungkin mengalami ledakan populasi)
berpeluang merekonlonisasi habitat yang telah ditinggalkan populasi lain
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan 105
Jika tidak ada perpindahan, populasi-populasi tersebut berpeluang
untuk punah, tergantung apakah mereka merupakan patch sumber (source)
atau patch penerima (sink) dari suatu metapopulasi. Patch-patch sumber
akan selalu tetap dalam kondisi lokalnya dan menyumbang individu-individu
ke semua patch lain di dalam lanskap. Patch-patch penerima (sink)
membiarkan populasi-populasi atau indvidu-individu menjadi punah karena
mereka tidak memiliki habitat yang kondusif bagi spesies untuk bertahan.
Contohnya seringkali terjadi dengan spesies satwaliar daratan, suatu patch
sumber habitat atau populasi akan penuh atau mencapai daya dukungnya
sehingga beberapa satwa harus berpindah ke patch sink. Walaupun patch
itu mungkin bukan habitat terbaik untuk beberapa spesies, misalnya
burung-burung mungkin dapat bersarang dan bertahan di sana (Barnes
2000).
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan 107
beberapa populasi lokal, walaupun masih banyak yang belum terpulihkan
dan mungkin tidak akan pernah terpulihkan karena degradasi habitat yang
terus berlangsung (Barnes 2000).
DAFTAR PUSTAKA
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan 109
vegetasi asli. Hal ini potensial untuk mencegah masalah isolasi tetapi tidak
mencegah kehilangan habitat interior. Dalam beberapa kasus suatu spesies
terancam mungkin mendapatkan keuntungan terlindungi dari penyakit
karena tersebar di habitat-habitat yang terisolasi.
Upaya pencegahan lainnnya adalah memperluas sisa habitat kecil
untuk meningkatkan jumlah habitat interior. Hal ini mungkin tidak dapat
dilakukan karena lahan-lahan terbangun seringkali lebih mahal dan
membutuhkan waktu dan usaha yang tidak sedikit untuk merestorasi.
Solusi terbaik umumnya tergantung pada spesies tertentu atau
ekosistem yang sedang menjadi perhatian. Spesies yang lebih mobile,
seperti burung tidak memerlukan habitat yang tersambung, sementara
beberapa satwa yang lebih kecil seperti pengerat mungkin lebih terbuka
terhadap pemangsaan di lahan terbuka.
Dari pemahaman konsep-konsep terkait dengan fragmentasi
habitat dan metapopulasi dapat dirangkum seperti disajikan pada Gambar
21 sebagai pertimbangan dalam pengelolaan populasi pada level lanskap
dan pengelolaan satwaliar (Barnes 2000).
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan 111
11
STUDI KASUS:
Evaluasi Lanskap Kawasan Merapi – Merbabu Dan Telaah
Kemungkinan Sebaran Macan Tutul Di Kantong-Kantong
Hutan Yang Terfragmentasi1)
PENDAH ULUAN
METODOLOGI
HASIL DAN PEMBAHASAN
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bentang lanskap Gunung Merapi – Gunung Merbabu merupakan
kawasan yang sedang terancam karena terkepung oleh daerah pemukiman
dan budidaya yang terus berkembang pesat akibat pertumbuhan penduduk
yang tinggi. Pelan tetapi pasti kedua gunung tersebut seperti dikuliti
vegetasinya dari kaki hingga mendekati puncaknya. Dalam skala lanskap
kedua gunung tersebut tampak seperti bertelanjang kaki, atau dengan
perkataan lain vegetasinya hanya mengumpul di sekitar puncak yang sulit
dijangkau sehingga belum dimanfaatkan.
Kawasan Merapi – Merbabu dikelilingi oleh beberapa kabupaten
yang sedang berkembang cepat seperti Sleman, Magelang, Klaten, Boyolali
1)
Tulisan pada Bab ini merupakan Paper Hendra Gunawan untuk Mata Kuliah Ekologi Lanskap
yang diasuh oleh Prof. Dr. Lilik Prasetyo, M.Sc. pada Program Studi Ilmu Pengetahuan
Kehutanan, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian bogor.
B. Tujuan
Kajian ini bertujuan un tuk mengevaluasi kondisi lanskap kawasan
Merapi-Merbabu pada tahun 2005 dan memprediksi kemungkinan sebaran
populasi macan tutul berdasarkan syarat kecukupan luas dan tipe vegetasi
di kantong-kantong habitat (habitat patches) yang ada.
II. METODOLOGI
A. Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan adalah seperangkat komputer (laptop)
dan printer. Software yang digunakan adalah ERDAS Imagine 8.5 dan
ArcView GIS 3.2. Bahan yang digunakan adalah citra landsat TM (tahun
2005), band 3, 4 dan 5 yaitu:
L7G120065_06520050509_B30.TIF
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan 113
L7G120065_06520050509_B40.TIF
L7G120065_06520050509_B50.TIF
B. Metod e
1. Analisis Citra
Untuk kepentingan interpretasi citra, band combination yang
digunakan adalah 5-4-3. Penutupan lahan (land cover) diklasifikasikan
menjadi delapan kelas yaitu : (1) hutan primer; (2) hutan sekunder; (3)
kebun; (4) lahan terbuka; (5) lahar; (6) pemukiman (7) sawah dan (8)
sungai.
Areal yang akan dikaji dipilih menjadi Area Of Interest (AOI) yaitu
kawasan lanskap Gunung Merapi–Gunung Merbabu. AOI ini kemudian
diklasifikasikan tipe penutupan lahannya (land cover). Klasifikasi dilakukan
secara unsupervised dan bertahap dari 90 kelas pada tahap pertama
direklaifikasi lagi sampai akhirnya menjadi 8 kelas. Hasil klasifikasi
diekspor ke shape file untuk kemudian dilakukan opearasi spasial dengan
program ArcView GIS. Secara skematis tahapan prosedur kajian ini
disajikan pada Gambar 22.
2. Evaluasi Lanskap
Untuk mengetahui struktur lanskap dilakukan analisis patch
dengan extension Patch Analyst yang ada dalam program ArcView GIS.
Analisis dilakukan pada skala lanskap dan skala kelas.
3. Analisis Spasial
Dari literatur diketahui bahwa macan tutul dapat hidup di berbagai
ketinggian dan di berbagai tipe hutan. Oleh karena itu, yang akan dijadikan
persyaratan dalam analisis spasial ini hanyalah tipe vegetasi, dimana yang
diangap cocok untuk habitat macan tutul adalah hutan primer dan hutan
sekunder. Sementara ketinggian tidak dijadikan penentu karena macan
CITRA LANDSAT TM
Band Combination
5–4–3
Unsupervised Classification
Gambar 22. Tahapan prosedur kajian evaluasi lanskap dan ana lisis spasial.
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan 115
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
B. Evaluasi Lanskap
Paramater-parameter struktur lanskap AOI dalam skala lanskap
disajikan pada Tabel 4. Dari Tabel 4 terlihat bahwa bentang lanskap AOI
Merapi – Merbabu dengan luas 73.618,92 hektar terdiri dari 22.399 patches
dengan ukuran rata-rata 3,29 hektar/patch dan standar deviasi 256,57.
Total edge 13.097.558,52 meter dengan rata-rata edge setiap patch 584,74
meter/patch dan kerapatan edge 177,91 meter/hektar.
Indeks bentuk rata-rata (Mean Shape Index) pada skala lanskap ini
adalah 1,3357. Indeks bentuk ideal adalah 1 untuk yang berbentuk
lingkaran sempurna (McGarigal & Marks 1995). Hal ini berarti, semakin
tinggi nilai indeks bentuk maka semakin banyak memiliki edge dan hal ini
dapat berarti semakin tidak baik dipandang dalam konteks konservasi
keanekaragaman hayati.
Indeks Shannon untuk keanekaragaman patch (Shannon’s Diversity
Index) pada lanskap Merapi – Merbabu adalah 1,5790. Nilai terendah adalah
0 jika hanya ada satu patch dalam lanskap, nilai ini semakin besar dengan
semakin banyaknya tipe patch atau meningkat secara proporsional dengan
distribusi patch (McGarigal & Marks 1995). Indeks Shanon untuk
keseragaman patch (Shannon’s Evennes Index) adalah 0,7593. Indeks
keseragaman mendekati nol jika distribusi patch rendah dan mendekati satu
jika distribusi patch semakin tinggi (McGarigal & Marks 1995). Untuk kasus
ini, baik nilai indeks keanekaragaman maupun indeks keseragaman
termasuk sedang.
Parameter-paremeter struktur lanskap kawasan Merapi – Merbabu
pada skala kelas disajikan pada Tabel 5
Lahan Terbuk a 16732817 1872 8938.4709 2700 646.68564 57803. 808 647774.29
Hutan Primer 82985824 2611 31783. 157 1800 2007.1677 637941.27 1551770.7
Hutan Sekunder 16584 002 1542 10754. 865 2467.5327 687.82708 73974. 876 610193.86
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan 117
Class ED MPE MSI AWMSI MPAR MPFD AWMPFD
Gambar 23.
Komposisi luas setiap kelas penutupan lahan di
kawasan lanskap Merapi Merbabu.
8000
salah satu
7000
penyebab hutan 6000
primer menjadi
Jumlah Patch
5000
terfragmentasi 4000
3000
dan memiliki 2000
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan 119
Mean Patch Size
10.00
8.00
6.00
Hektar
4.00
2.00
0.00
Lahan Hutan Hutan
Sawah Kebun Pemukiman Sungai Lahar
Terbuka Primer Sekunder
Series1 0.72 8.71 1.87 0.89 1.57 3.18 1.08 6.78
Kelas
4. Total Edge
Total Edge (TE) atau keliling dari patch yang terpanjang adalah
pada kelas penutupan lahan kebun yaitu 5.142 km, diikuti oleh pemukiman
3.142 km dan hutan primer 1.552 km. Semakin panjang edge dapat
menjadi indikasi bentuk patch yang semakin tidak beraturan (kompleks) dan
jumlah patch yang semakin banyak (Gambar 26).
Total Edge
6,000
5,000
4,000
Km
3,000
2,000
1,000
0
Lahan Hutan Hutan
Sawah Kebun Pemukiman Sungai Lahar
Terbuka Primer Sekunder
Series1 1,331 5,142 3,580 648 192 1,552 610 43
Kelas
40.00
20.00
Gambar 27.
Edge density setiap 0.00
Lahan Hutan Hutan
Sawah Kebun Pemukiman Sungai Lahar
kelas penutupan Terbuka Primer Sekunder
lahan. Series1 18.08 69.85 48.62 8.80 2.61 21.08 8.29 0.59
Kelas
1200.00
1000.00
Meter/Patch
800.00
600.00
400.00
200.00
Gambar 28. Mean 0.00
Lahan Hutan Hutan
patch edge setiap Sawah Kebun Pemukiman
Terbuka
Sungai
Primer Sekunder
Lahar
kelas penutupan Series1 337.59 985.24 532.13 346.03 465.46 594.32 395.72 591.48
lahan. Kelas
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan 121
7. Mean Shape I ndex
Mean shape index (MSI) menggambaran kompleksitas bentuk patch.
Tingkat kompleksitas bersifat relatif dibandingkan terhadap bentuk
lingkaran atau bujur sangkar. Nilai MSI lebih dari 1, nilai MSI sama dengan 1
ketika semua patches berbentuk lingkaran atau bujur sangkar (MacGarigal
and Marks, 1995).
Nilai MSI diperoleh dengan membagi jumlah keliling setiap patches
dengan akar kuadrat dari luas patch (hektar) dan disesuaikan untuk standar
lingkaran (poligon) atau bujur sangkar (grid), dibagi dengan jumlah patches
(MacGarigal and Marks, 1995). Hal ini berarti semakin tinggi nilai MSI suatu
kelas penutupan lahan maka semakin kompleks bentuk -bentuk patches-nya
dan semakin besar juga edge-nya. Hal ini untuk satwa-satwa yang tidak
menyukai edge dapat berakibat buruk karena mengurangi luas habitatnya.
1.2200
1.2000
1.1800
Index
1.1600
1.1400
1.1200
Lahan Hutan Hutan
Sawah Kebun Pemukiman Sungai Lahar
Terbuka Primer Sekunder
Series1 1.1754 1.1744 1.2045 1.1576 1.1801 1.1835 1.1789 1.1814
Kelas
1.0400
1.0380
1.0360
1.0340
1.0320
1.0300
Lahan Hutan
Sawah Kebun Pemukiman Sungai Hutan Primer Lahar
Terbuka Sekunder
Series1 1.0359 1.0334 1.0378 1.0330 1.0345 1.0345 1.0355 1.0381
Kelas
Gambar 30. Mean patch fractal dimension untuk setiap kelas penutupan
lahan.
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan 123
Merbabu pada tahun 2005 (saat pengambi lan citra) hanyalah 9.957,35
hektar.
Ukuran home range macan tutul sangat bervariasi dan sangat
tergantung pada ketersediaan jumlah dan penyebaran satwa mangsa (IUCN -
The World Conservation Union 1996). Ukuran home range macan tutul
2
rata-rata berkisar antara 30 – 78km (jantan) dan 23 – 33 km2 (betina) di
kawasan yang dilindungi (Bailey 1993). Tetapi home range mungkin jauh
lebih besar ketika ketersediaan makanan berkurang dan kepadatan macan
tutul rendah.
Di Taman Nasional Royal Chitwan, Nepal, jumlah ungulata per
kilometer persegi sangat tinggi, macan tutul betina menjelajahai wilayah
antara 6 – 13 km2. Di Taman Nasional Serengeti dan Tsavo, Afrika Timur,
teritori mereka berkisar antara 11 – 121 km2. Tetapi di Pegunungan
Stellenbosch, Afrika Selatan, di Kalahari dan di Pegunungan Sikhote A lin,
Rusia Timur, macan tutul jantan berburu di teritori yang kadang -kadang
lebih dari 400 km 2 (IUCN - The World Conservation Union, 1996).
Berdasarkan informasi home range dan bukti bahwa di Cagar A lam
Pulau Sempu (Kabupaten Malang) dengan luas 877 ha ditemukan macan
kumbang (Surabaya Post Hot News, Selasa, 17/09/1996), maka pada studi
ini, diasumsikan seekor macan tutul memiliki daerah jelajah antara 600 –
1.000 hektar. Dengan demikian kawasan ekosistem Gunung Merapi –
Gunung Mebabu tersebut hanya mampu mendukung 10 - 17 ekor macan
tutul.
Jika dilihat dari Gambar 31, tampak bahwa kecil kemungkinan
masih adanya pertukaran genetik antara populasi macan tutul di Gunung
Merapi dan populasi macan tutul di Gunung Merbabu. Hal ini disebabkan
tidak adanya konektivitas berupa koridor yang menghubungkan kedua
populasi tersebut. Bila diperhatikan dengan seksama, hutan primer yang
tampaknya sebelumnya pernah menyatu antara Gunung Merapi dan Gunung
Merbabu, kini sudah terpecah-pecah dan terpotong oleh pemukiman dan
kebun. Pemukiman dan kebun ini merupakan barrier bagi pergerakan
macan tutul antar kedua populasi.
G. Merapi
Gambar 31. Lokasi dugaan habitat macan tutul terpilih (warna kuning)
hasil query.
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan 125
antara macan tutul dan masyarakat. Hal ini bisa terjadi jika di habitat
alaminya (hutan) kekurangan persediaan satwa mangsa, maka m acan tutul
dikhawatirkan akan masuk ke kampung dan memangsa hewan ternak dan
bila bertemu dengan manusia bisa melukai manusia atau manusia yang
membantai macan tutul.
Kondisi kawasan lanskap Merapi-Merbabu dengan struktur,
komposisi dan konfigurasi lanskap seperti saat ini, tampaknya kurang
menguntungkan bagi kepentingan konservasi keanekaragaman hayati,
khususnya satwa langka dengan home range luas seperti macan tutul.
Fragmentasi habitat dan habitat loss telah membatasi pergerakan macan
tutul dan menurunkan kualitas habitatnya sehingga dapat mengancam
kelestariannya.
Upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk mengindari kehancuran
ekosistem Merapi – Merbabu dan kepunahan berbagai jenis spesies langka
antara lain dapat dilakukan dengan :
4. Tingkat fragmentasi dan isolasi hutan juga tinggi yang ditunjukkan oleh
banyaknya patches hutan yaitu 2.611 untuk hutan primer dari luasnya
8.298,83 hektar dan 1.542 patches untuk hutan sekunder dari luasnya
1.658,52 hektar.
6. Dengan asumsi home range seekor macan tutul berkisar 600 – 1.000
hektar maka kawasan tersebut diperkirakan hanya mampu mendukung
populasi 10 – 17 ekor.
Teori yang mendasari penataan ruang hutan menuju pembangunan berkelanjutan 127
DAFTAR PUSTAKA
http://www.bio.davidson.edu/people/vecase/Behavior/Spring2002/Friedm
an/socialsystem.html. Diakses Tanggal 4 Mei 2007.
IUCN - The World Conservation Union. 1996. Leopard Panthera pardus
Linnaeus 1758. IUCN - The World Conservation Union.
McGarigal, K., and B. J. Marks. 1995. Fragstats: spatial pattern analysis
program for quantifying landscape structure. U.S. Forest Service
General Technical Report PNW-GTR-351.
Surabaya Post Hot News, Selasa, 17/09/1996. Perburuan Liar Ancam
Kelestarian Pulau Sempu dan Satwa Langka.
http://www.wp.com/64257/170996/05sempu.htm. Diakses 01-02-
2007.