Вы находитесь на странице: 1из 36

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL FEBRUARI 2018

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO

“EFIKASI TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK TERKAIT DENGAN TAHAP


KLINIS OSTEORADIONEKROSIS MANDIBULA ”

Disusun Oleh:
Menik Ayu Nurhayati
N 111 17 146

Pembimbing :
drg. Moh. Gazali Malik, Sp. BM., M.kes (MARS)

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU


KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN-KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2019

1
Efikasi terapi oksigen hiperbarik terkait
dengan tahap klinis osteoradionekrosis
mandibula
FJ Dieleman1,2,5, TTT Phan2,5, FJA van den Hoogen3, JHAM Kaanders4, MAW Merkx2
1
Department of Head and Neck Surgical Oncology, UMC Utrecht Cancer Centre,
University Medical Center Utrecht, The Netherlands;
2
Department of Oral and Maxillofacial Surgery, Radboud University Medical Centre
Nijmegen, The Netherlands;
3
Department of Otorhinolaryngology and Head and Neck surgery, Radboud University
Medical Centre Nijmegen, The Netherlands;
4
Department of Radiation Oncology, Radboud University Medical Centre Nijmegen, The
Netherlands

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keberhasilan terapi oksigen


hiperbarik (Hyperbaric Oxygen Therapy, HBOT) dan bedah dalam pengobatan
osteoradionekrosis (ORN) mandibula dalam kaitannya dengan tingkat ORN. Dua
puluh tujuh pasien dengan ORN diidentifikasi dari total 509 pasien dengan riwayat
kanker oral atau pangkal lidah; pasien-pasien ini telah dirawat dengan terapi radiasi
secara kuratif antara 1992 dan 2006, dengan dosis radiasi pada mandibula 50 Gy.
ORN dibagi menurut klasifikasi Notani et al. Waktu dari penyelesaian terapi radiasi
hingga terjadinya ORN bervariasi (median 3 tahun). Empat puluh sesi HBOT
ditawarkan. Setelah HBOT sendiri, 3 dari 11 lesi stadium I, 0 dari 8 lesi stadium II,
dan 0 dari 8 lesi stadium III telah sembuh (P = 0,0018). Insiden absolut 5,3% ORN
ditemukan pada populasi ini. Dari semua situs yang diradiasi dalam penelitian ini,
lantai mulut paling beresiko terjadinya ORN (8,6%), sedangkan pipi paling sedikit
resikonya (0%). Berdasarkan hasil penelitian ini, HBOT dapat direkomendasikan
untuk ORN tahap I dan II dan untuk kasus ORN tahap III yang dipilih.

2
Kata kunci: terapi oksigen hiperbarik; mandibula; osteoradionekrosis; terapi radiasi.

Osteoradionecrosis (ORN) pada mandibula merupakan komplikasi serius setelah


terapi radiasi untuk kanker kepala dan leher. Ini dapat didefinisikan sebagai kondisi
non-penyembuhan di mana tulang nekrotik yang diradiasi menjadi terpapar melalui
mukosa atau kulit di atasnya. Deskripsi pertama ORN tulang mandibula setelah
terapi radiasi diberikan oleh Regaud pada tahun 1922.1 Insiden ORN sangat
bervariasi, dengan perkiraan insiden antara 1,2% dan 15% pada pasien onkologi
kepala dan leher yang diobati dengan terapi radiasi.2–7 Dalam ulasan penelitian,
Clayman melaporkan kejadian ORN keseluruhan 11,8% sebelum 1968 dan 5,4%
setelah 1968,8 karena perubahan dalam cara radioterapi yang diterapkan. Namun,
perlu dicatat bahwa dalam sebagian besar penelitian, insiden absolut diberikan tanpa
koreksi penurunan jumlah pasien yang berisiko dari waktu ke waktu. Oleh karena itu
penelitian ini meremehkan insidensi ORN yang nyata dan aktuarial.

Tingkat keparahan ORN mandibula pada pasien kanker kepala dan leher sangat
bervariasi dari tulang yang terpapar dengan hilangnya jaringan lunak hingga fraktur
patologis karena nekrosis tulang.4 Interval antara terapi radiasi dan timbulnya ORN
bervariasi antara 4 hingga 20 tahun,9 dengan insidensi puncak pada 2-4 tahun dan
risiko seumur hidup yang tersisa, meskipun pada tingkat yang lebih rendah.8
Penyebab utama ORN adalah dosis radiasi tinggi ke mandibula, kadang-kadang
(tetapi tidak mesti) diikuti oleh trauma.3,10–16 Meskipun kemoterapi, karena
potensinya untuk menginduksi kerusakan vaskular, secara teoritis dapat berkontribusi
pada ORN, tidak ada hubungan signifikan yang ditunjukkan dalam penelitian
klinis.17,18 ORN tahap akhir diamati beberapa tahun setelah terapi radiasi dan sering
berhubungan langsung dengan trauma pada jaringan yang diradiasi.3,10,19

Perlakuan optimal untuk ORN mandibula tetap menjadi masalah perdebatan. Faktor-
faktor yang berhubungan dengan pasien dan terapi seperti higenitas oral yang buruk,

3
trauma, penggunaan alkohol dan tembakau, dan indeks massa tubuh yang rendah
(BMI), dapat mempengaruhi timbulnya dan terjadinya penyakit.18,20-22

Hasil pengobatan ORN biasanya dinilai secara klinis. Beberapa sistem kleasifikasi
telah disarankan untuk penilaian keparahan mandibula ORN.2,23,24 Ini berkisar dari
data sederhana fitur radiologis terbatas, dengan atau tanpa beberapa parameter klinis,
hingga data luas dengan banyak parameter klinis serta fitur radiologis. Sistem
klasifikasi yang digunakan dalam penelitian ini dijelaskan oleh Notani et al. dan
didasarkan pada deskripsi radiologis dari luasnya lesi ORN pada tulang mandibula.25
Pasien dibagi menjadi tiga kategori: pasien dengan lesi stadium I, II, atau III.
Beberapa sistem klasifikasi hadir dengan pedoman untuk tujuan membimbing dokter
untuk membuat keputusan yang lebih standar pada perawatan ORN.24,25

Pada tahun 1983 Marx menyarankan kombinasi oksigen hiperbarik (hyperbaric


oxygen, HBO) dan perawatan bedah untuk ORN.19,23 Empat kriteria keberhasilannya
adalah tidak adanya rasa sakit, penyelamatan atau rekonstruksi mandibula,
pemulihan fungsi mandibula, dan kelangsungan hidup mukosa oral di atasnya.26
Pendekatan ini telah diadopsi oleh orang lain, tetapi terdapat kurangnya bukti tingkat
tinggi untuk efikasi terapi HBO (HBOT) dalam pengobatan ORN karena tidak
adanya uji coba acak yang dirancang dengan baik. Banyak penelitian menganjurkan
penggunaan HBOT, sedangkan beberapa penelitian terbaru mempertanyakan nilai
tambah penggunaannya.3,7,20,26-33 Kekhawatiran tentang kemungkinan bahwa HBOT
dapat meningkatkan pertumbuhan tumor tidak memiliki bukti.34,35

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi efek dari protokol HBOT-
bedah yang berhubungan dengan tahap ORN mandibula sesuai dengan sistem
kleasifikasi Notani et al. Penekanan penelitian ini adalah pada hasil klinis.

4
JENIS JENIS TUMOR KEPALA LEHER

KLASIFIKASI

Setiap tumor di leher perlu di tentukan terlebih dahulu apakah berasal dari
tiroid-paratiroid atau struktur lain. Massa yang bukan berasal dari tiroid atau
paratiroid dapat disebabkan oleh radang dan/atau neoplasma struktur lain

1. Tumor Leher Medial Kistik


1) Kista Duktus Tiroglosus
Benjolan kista duktus tiroglosus terdapat di sekitar os. Hyoid,
di garis tengah, dan ikut bergerak waktu menelan atau pada
penjuluran lidah.
Patofisiologi
Duktus yang menandai jaringan bakal tiroid akan bermigrasi
dari foramen sekum di pangkal lidah ke daerah di ventral laring dan
mengalami obliterasi. Obliterasi yang tidak lengkap akan membentuk
kista. Kista terletak di garis tengah, di cranial atau kaudal dari os.
Hyoid. Bila terletak di bagian depan tulang rawan dari os. Hyoid
mungkin tergeser sedikit ke paramedian. Jika di tarik kearah kaudal,
umumnya teraba atau terlihat sisa duktus berupa tali halus di subkutis.
Penanganan
Kelainan ini ditangani dengan ekstripasi seluruh kista dan duktus.
Biasanya os hyoid harus dibelah dulu karena duktus sering menembus
os. Hyoid. Kista harus diekstripasi dengan seluruh sisa duktus sampai
ke foramen sekum. Jika ada sisa duktus tertinggal, akan terbentuk
fistel di luka operasi setelah beberapa waktu.
2) kista Dermoid
Kista ini merupakan kelainan bawaan yang timbul di daerah
fusi embrional kulit. Di daerah leher juga dapat ditemukan kista

5
dermoid seperti di daerah kepala. Kista ini umumnya kecil saja, dan
biasanya terdapat di sekitar garis tengah. Kista teraba kenyal, berisi
cairan seperti minyak, dan mungkin mengandung unsur adneksa kulit
seperti rambut. Kista ini bebas dari kulit di atasnya.
Penanganan
Penanganan dari pada kista dermoid ini berupa ekstirpasi.
a) Kista sebasea / Ateroma
Merupakan kista kelenjar sebacea, terbentuk akibat
sumbatan pada muaranya. Oleh karena itu ateroma ditemukan
di daerah yang mengandung banyak kelenjar sebacea. Kadang
terdapat multiple dalam berbagai ukuran. Produk kelenjar
sebacea, yaitu sebum, tertimbun membentuk tumor yang
kurang lebih bulat, berbatas tegas, berdinding tipis, bebas dari
dasar, tetapi melekat pada dermis diatasnya. Daerah muara
yang tersumbat merupakan tanda khas yang disebut pungtata.
Isi kista adalah bubur eksudat berwarna putih abu-abu yang
berbau asam.
Penanganan
Penanganan dari kista ini berupa eksisi. Patut diingat
bahwa bila sebagian dinding kista tertinggal pada eksisi, kista
akan kambuh. Bila kista menjadi abses karena infeksi
sekunder, dilakukan incise dan penyinaran.

2. Tumor Leher Media Solid


Berasal dari sisa pembentukan tiroid yang tidak turun (tyroid ektopik),
dimana tiroid itu ada tapi tidak turun membentuk tulang rawan tiroid. Pada
lobus piramidalis mudah di diagnosis dengan penurunannya fungsi kedua
lobus piramidalis. Kista ini biasanya berbatas tegas dan tidak berisi cairan
(padat).

6
Penanganan
Kista ini tidak boleh di eksisi (operasi) sebab dapat terjadi
hipotiroidisme. Bila ditemukan kista seperti ini dapat di observasi terlebih
dahulu, baru dapat dilakukan eksisi.

3. Tumor Leher Lateral Kistik


A. Hygroma Kistik
Higroma kistik dapat terjadi baik pada anak laki-laki maupun
anak perempuan dengan frekuensi yang sama. Kebanyakan higroma
kistik terdapat didaerah leher. Higroma kistik berasal dari system limf
sehingga secara patologi-anatomi lebih tepat disebut limfangioma
kistik. etiologi biasanya disebabkan karena anyaman pembuluh limf
yang pertama kali terbentuk di sekitar pembuluh vena mengalami
dilatasi dan bergabung membentuk jala yang di daerah tertentu akan
berkembang menjadi sakus limfatikus. Pada embrio usia dua bulan,
pembentukan sakus primitif telah sempurna. Bila hubungan saluran
kearah sentral tidak terbentuk maka timbulah penimbunan cairan yang
akhirnya membentuk kista berisi cairan. Kelainan ini dapat meluas ke
segala arah seperti ke jaringan sublingualis di mulut. Keluhan adalah
adanya benjolan di leher yang telah lama atau sejak lahir tanpa nyeri
atau keluhan lain. Benjolan ini berbentuk kistik, berbenjol-benjol, dan
lunak. Permukaannya halus, lepas dari kulit, dan sedikit melekat pada
jaringan dasar. Kebanyakan terletak di region trigonum posterior koli.
Sebagai tanda khas, pada pemeriksaan transiluminasi positif tampak
terang sebagai jaringan diafan. Benjolan ini jarang menimbulkan
gejala akut, tetapi suatu saat dapat cepat membesar karena radang dan
menimbulkan gejala gangguan pernafasan akibat pendesakan saluran
napas seperti trakea, orofaring, maupun laring.
Penanganan

7
Eksisi total merupakan pilihan utama. Pembedahan
dimaksudkan untuk mengambil keseluruhan masa kista. Tetapi bila
tumor besar dan telah menyusup ke organ penting seperti trakea,
esophagus, atau pembuluh darah, ekstirpasi total sulit dikerjakan.
Maka penanganannya cukup dengan pengambilan sebanyak-
banyaknya kista. Kemudian pasca bedah dilakukan infiltrasi
bleomoson subkutan untuk mencegah kekambuhan.

B. Kista Bronchiogenic
Kelainan brankiogen dapat berupa fistel, kista, dan tulang
rawan ektopik. Arkus bronkial ke-3 membentuk os. Hyoid, sedangkan
arkus bronkial ke-4 membentuk skelet laring, yaitu rawan tiroid,
krikoid dan aritenoid. Fistel brankial sisa celah ke-2 akan terdapat
tepat di depam m. sternokleiodomastoid. Bila penutupan terjadi
sebagian, sisanya dapat membentuk kista yang terletak tinggi di
bawah sudut rahang. Pada anamnesis diketahui bahwa kista
merupakan benjolan sejak lahir. Fistel terletak di depan m.
sternokleidomastoid dan mengeluarkan cairan. Fistel yang buntu akan
membengkak dan merah, atau merupakan lekukan kecil yang dapat
ditemukan unilateral atau bilateral. Pada palpasi cranial, fistel teraba
sebagai jaringan fibrotik bila ditegangkan dengan tarikan kearah
kaudal. Fistulografi mungkin memperlihatkan masuknya bahan
kontras ke faring.
Penaganan
Kista dapat langsung di ekstirpasi. Fistel diisi bahan warna
seperti biru metilen, kemudian dapat diekstirpasi melalui incisi kecil
multiple. Bila sebagian saja fistel tertinggal akan kambuh dan
biasanya mengalami infeksi.

8
C. Limfadenitis TBC
Bacteria dapat masuk melalui makan ke rongga mulut dan
melalui tonsil mencapai kelenjar limf di leher, sering tanpa tanda tbc
paru. Kelenjar yang sakit akan membengkak, dan mungkin sedikit
nyeri. Mungkin secara berangsur kelenjar didekatnya satu demi satu
terkena radang yang khas dan dingin ini. Disamping itu dapat terjadi
juga perilimfadenitis sehingga beberapa kelenjar melekat satu sama
lain membentuk suatu massa. Bila mengenai kulit dapat meradang,
merah, bengkak, mungkin sedikit nyeri. Kulit akhirnya menipis dan
jebol, mengeluarkan bahan seperti keju. Tukak yang terbentuk
berwarna pucat dengan tepi membiru, disertai sekret yang jernih.
Tukak kronik itu dapat sembuh dan meninggalkan jaringan parut yang
tipis atau berbinti-bintil. Suatu saat tukak meradang lagi dan
mengeluarkan bahan seperti keju lagi, demikian berulang-ulang, kulit
seperti ini disebut skrofuloderma.
Penanganan:
Pengobatan dilakukan dengan tuberkulostatik.

4. Tumor Leher Lateral Solid


1) Otot
a) Tortikolis
Terjadi karena trauma persalinan pada kepala letak
sungsang. Bila dilakukan traksi pada kepala untuk melahirkan
anak dapat terjadi cedera m. sternokleidomastoideus yang
menimbulkan hematome sehingga terjadi pemendekan otot
akibat fibrosis. Dapat juga terjadi akibat tumor pada m.
sternokleidomastoideus. Gambaran klinik dapat dijumpai
kepala yang miring karena m. steronokleidomastoideus
memendek, dan teraba seperti tali yang kaku. Bila dibiarkan

9
maka akan menjadi asimetris, tulang belakang akan scoliosis
untuk mengimbangi miringnya vertebra secara servikalis, dan
tengkorak pun akan asimetris.
Penanganan:
Fisoterapi diberikan berupa masase disertai peregangan
dengan harapan otot dapat memanjang. Bila fisioterapi tidak
berhasil dilakukan operasi untuk memperpanjang
m.sternokleidomastoid. fisoterapi diteruskan lagi pascabedah
agar tidak kambuh lagi.
b) Vascular
 Hemangioma
Di daerah leher, hemangioma biasanya berjenis
kavernosa yang merupakan benjolan lunak yang
mengempis bila ditekan dan menggelembung saat
dilepaskan lagi. Tumor ini ditangani dengan ekstirpasi,
bila besar perlu persiapan berupa arterigrafi atau
flebografi.
 Tumor Glomus Karotikum
Di daerah leher, hemangioma biasanya berjenis
kavernosa yang merupakan benjolan lunak yang
mengempis bila ditekan dan menggelembung saat
dilepaskan lagi. Tumor ini ditangani dengan ekstirpasi,
bila besar perlu persiapan berupa arterigrafi atau
flebografi.
 Nn. II
Radang (Lymfadenitis) Akut
Peradaangan di seluruh kulit, maupun struktur
dalam kepala dan leher dapat menyebabkan

10
limfadenitis akut di leher yang akan berkurang bila
radangnya berkurang, namun hilangnya pembengkakan
kelenjar terjadi lama.

5. Neoplasma
Neoplasma dapat juga jinak atau ganas, sedangkan yang ganas dapat
primer atau sekunder (metastatik). Masa tumor metastatik dapat dibedakan
antara yang terletak di daerah yang berasal dari supraklavikuler atau
retrokalvikuler.
A. Neoplasmma Primer jinak
Berbagai macam tumor jinak terdapat di laring, termasuk polip dan
nodulus pita suara. Tumor jinak yang paling banyak dijumpai ialah
papiloma. Ini dapat terjadi pada anak, penyanyi, dan pengajar karena
salah guna suara. Biasanya kelainan yang bertanda suara parau ini dapat
regresi spontan setelah suara diistirahatkan atau ditangani logopedi.

B. Neoplasma Primer Ganas (Limfoma Malignum)


a) Morbus Hodgkin
Morbus Hodgkin merupakan limfoma ganas yang bersifat
sistemik dan dapat muncul sebagai limfoma di leher. Kelenjar
biasanya membesar, kenyal, umumnya berpaket, dan tidak nyeri. Bisa
ada gejala umum seperti rasa lelah dan demam malam. Diagnosis
ditegakkan melalui pemeriksaan patologi jaringan melalui biopsi dan
pemeriksan histolipatologik. Limfoma Non-Hodgkin (NHL) adalah
kelompok penyakit limfoma ganas yang heterogen yang juga mungkin
muncul pertama sebagai limfoma leher.
b) Karsinoma Kelenjar Tiroid
Karsinoma tiroid timbul dari sel folikel. Kebanyakan
keganasan di kelompokan sebagai jenis karsinoma tiroid berdefisiansi,

11
yang menisfes sebagai bentuk papiler, folikuler, atau campuran. Jenis
keganasan tiroid yang lain adalah karsinoma medularis yang berasal
dari sel farafolikuler yang mengeluarakan kalsitonin (APUO-oma).
Karsinoma tiroid agak jarang di dapat yaitu sekitar 3-5% dari semua
tumor maligna. Karsinoma torid didapat pada segala usia dengan
puncak pada usia muda (7-20 tahun) dan usia setengah baya (40-60
tahun). Insidens pada pria adalah sekitar 3/100.000/tahun dan wanita
sekitar 8/100.000/tahun. Radiasi merupakan salah satu faktor resiko
yang bermakna. Bila radiasi tersebut terjadi pada usia lebih dari 20
korelasinya kurang bermakna.
Anatomi Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid terletak di leher, antara fasia koli media dan fasia
prevertebralis. Di dalam ruang yang sama terletak trakea, oesofagus,
pembuluh darah besar, dan saraf. Kelenjar tiroid melekat pada trakea
sambil melingkarnya dua pertiga sampai tiga perempat lingkaran.
Keempat kelenjar paratiroid umumnya terletak pada permukaan
belakang kelenjar tiroid. Tetapi lokasi dan mungkin juga, jumlah
kelenjar ini sering bervariasi.
Embriologi
Kelenjar tiroid berkembang dari endoderm pada garis tengah usus
depan. Titik dari pembentukan kelenjar tiroid ini menjadi foramen
sekum di pangkal lidah. Endoderm ini menurun di dalam leher sampai
setinggi cincin trakea kedua dan ketiga yang kemudian membentuk
dua lobus. Penurunan ini terajdi pada garis tengah. Saluran pada
struktur ini menetap dan menjadi duktus tiroglosus atau lebih sering,
menjadi lobus piramidalis kelenjar tiroid. Kelenjar tiroid janin secara
fungsional mulai mandiri pada minggu ke-12 masa kehidupan
intraneurin.

12
Patologi
 Adenokarsinoma Papilare
Adenokarsinoma papiler adalah jenis keganasan tiroid yang
paling sering di temukan (50-60%). Kebanyakkan sudah disertai
pembesaran kelenjar getah bening pada waktu penderita pertama
kali datang memeriksakan diri. Karsinoma ini merupakan
kersinoma tiroid yang paling kronik dan yang mempunyai
prongnosa paling baik diantara karsinoma tiroid yang lainnya.
Faktor yang mempengaruhi prognosis baik adalah usia dibawah
40 tahun, wanita dan jenis histologik papilare, penyebaran
limfogennya tidak terlalu mempengaruhi prognosisnya. Faktor
prognosis kurang baik dalah usia diatas 45 tahun dan serta tumor
tingkat T3 dan T4. Tumor ini jarang bermetastasis secara
hematogen, tetapi pada 10% kasus terdapat metastasis jauh. Pada
anamnesis di temukan keluhan tentang adanya benjolan pada leher
bagian depan. Benjolan tesebut mungkin di temukan secara
kebetulan oleh penderita sendiri atau oleh orang lain. Kadang
terdapat pembesaran kelenjar getah bening di leher bagian lateral,
yaitu penyebaran getah bening yang dahulu dikenal sebagai tiroid
aberans. Tumor primer biasanya tidak dikeluhkan dan tidak dapat
di temukan secara klinis. Bila tumornya cukup besar, akan timbul
keluhan karena desakan mekanik pada trakea dan oesofagus, atau
hanya timbul rasa mengganjal di leher. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan tumor biasanya dapat diraba dengan mudah, dan
umumnya dapat pula di lihat. Yang khas untuk tumor tiroid adalah
tumor ikut dengan gerakan menelan.
Penanganan

13
Pengobatan dengan radioaktif tidak memberi hasil karena
adenokarsinoma pepilare pada umumnya tidak menyerap yodium.
Pascatirodektomi total ternyata yodium dapat ditangkap oleh sel
anak sebar tumor papiler tertentu sehingga pemberian pada
keadaan itu yodium radioaktif bermanfaat. Radiasi ekstern dapat
diberikan bila tidak terdapat fasilitas radiasi intern. Metastasis
ditanggulangi secara ablasio radioaktif.
 Adenokarsinoma Folikuler
Adenokarsinoma folikuler meliputi sekitar 25% keganasan
tiroid dan didapat terutama pada wanita setengah baya. Kadang
ditemukan tumor soliter besar di tulang seperti di tengkorak dan
humerus, yang merupakan metastasis jauh dari adenokarsinoma
folikuler yang tidak di temukan karena kecil dan tidak bergejala.
Penanganan
Dilakukan dengan cara tiroidektomi total. Karena sel
karsinoma ini menangkap yodium, maka radioterapi dengan Y 131
dapat digunakan. Bila masih ada tumor yang tersisa maupun yang
terdapat metastasis, maka dilakukan pemberian yodium radioaktif
ini. Radiasi ekstern untuk metastasis ternyata memberi hasil yang
cukup baik.
 Adenokarsinoma Meduler
Adenokarsinoma meduler meliputi 5-100% keganasan tiroid
dan berasal dari sel para folikuler, atau sel C yang
memproduksitirokalsitonin. Kadang di hasilkan pula CEA (carsino
embryonic antiagen). Tumor adenokarsinoma meduler berbatas
tegas dan keras pada peraabaan. Tumor ini terutama terdapat pada
usia di atas 40 tahun tetapi juga di temukan pada usia yang lebih
muda bahkan pada anak, dan biasanya disertai gangguan endokrin

14
lainnya. Pada sindrom sipple (multiple endocrine neopleasia
IIa/MEN IIa) ditemukan kombinasi adenokarsinoma meduler,
feokromositoma, dan hiperparatiroid, sedangkan pada MEN IIb
disertai feokromositoma dan neuroma submukosa. Bila di curigai
adanya adenokarsinoma meduler maka dilakukan pemeriksaan
kadar kalsitonin darah sebelum dan sesudah perangsangan dengan
suntikan pentagastrin atau kalsium.
Penanganan
Penanggulangan tumor ini adalah tiroidektomi total.
Pemberian yodium radioaktif juga tidak akan memberi hasil
karena tumor ini berasal dari sel C sehingga tidak menangkap dan
menyerap yodium.
 Adenokarsinoma Anaplastik
Adenokarsinoma anaplastik jarang ditemukan dibandingkan
dengan karsinoma berdeferensi baik, yaitu sekitar 20%. Tumor ini
sangat ganas, terdapat terutama pada usia tua, dan lebih banyak
pada wanita. Sebagian tumor terjadi pada struma nodosa lama
yang kemudian membesar dengan cepat. Tumor ini sering disertai
nyeri dan nyeri ahli ke daerah telinga dan suara serak karena
infiltrasi ke n. rekurens. biasanya waktu penderita datang sudah
terjadi penyusupan ke jaringan sekitarnya seperti laring, faring dan
oesofagus sehingga prognosisnya buruk. Pada anamnesis
ditemukan struma yang telah di derita cukup lama dan kemudian
membesar dengan cepat. Bila disertai dengan suara parau, harus
dicurigai keras terdapatnya karsinoma anaplastik. Pemeriksaan
penunjang berupa foto roentgen toraks dan seluruh tulang tubuh
dilakukan untuk mencari metastasis ke organ tersebut. Prognosis

15
tumor ini buruk dan penderita biasanya meninggal dalam waktu
enam bulan sampai satu tahun setelah diagnosis.
Penanganan
Pembedahan biasanya sudah tidak memungkinkan lagi,
sehingga hanya dapat dilakukan biopsi insisi untuk mengetahui
jenis karsinoma. Satu-satunya terapi yang bisa diberikan adalah
radiasi ekstern.

Keganasan Lain
Limfoma malignum jarang dijumpai pada kelenjar tiroid yang
timbul pada wanita usia pertengahan sampai tua yang tampil
dengan massa thyroidea kenyal difus tak nyeri yang cepat
membesar. Secara histology, biasanya lesi jenis sel besar difus dan
penyakit Hasimoto dapat ditemukan dalam latar belakang pada
lebih dari sepertiga pasien. Terapi terdiri dari tirodektomi dan
radiasi. Kelangsungan hidup lima tahun dapat lebih dari 80%
sewaktu tumor terbatas pada glandula thyroidea dan 40% bila
penyakit ini juga ekstrathyroidea.

c) Karsinoma Kelenjar Paratiroid


Embriologi dan anaomi
Kelenjar paratiroid tumbuh di dalam endoderm kantong faring
ketiga dan keempat. Kelenjar paratiroid yang berasal dari kantong
faring keempat cenderung untuk bersatu dengan kutub atas kelenjar
tiroid yang membentuk kelenjar paratiroid atas. Kelenjar yang berasal
dari kantong faring ketiga merupakan kelenjar paratiroid pada kutub
bawah tiroid, dan posisinya dapat bervariasi. Kelenjar paratiroid ini
bisa berkedudukan di posterolateral kutub bawah kelenjar tiroid, atau
di dalam timus, di mediastinum. Kadang kelenjar tiroid berada di

16
dalam kelenjar tiroid. Biasanya terdapat dua kelenjar pada tiap sisi,
meskipun jumlah kelenjar yang lebih banyak di temukan pada sekitar
15% populasi. Kelenjar paratiroid berwarna kekuningan dan
berukuran kurang lebih 3 X 3 X 2 mm, dengan berat keseluruhan
sampai 100 mg.
Fisiologi
Kelenjar paratiroid mengelurakan hormone paratiorid (PTH).
Sintesis PTH dikendalikan oleh kadar kalsium di dalam plasma.
Sintesis PTH di hambat apabila kadar kalsium rendah dan juga kadar
magnesium dalam plasma yang rendah. PTH bekerja pada tiga sasaran
utama dalam pengendalian homeostasis kalsium, yaitu ginjal, tulang
dan usus. Di dalam ginjal, PTH meningkatkan reabsorpsi kalsium. Di
tulang PTH merangsang aktivitas osteoplastik sedangkan di usus PTH
meningkatkan absorpsi kalsium. Vitamin D berpengaruh besar dalam
metabolisme kalsium. Vitamin ini terdapat didalam diet normal dan
disintesis di kulit. Sinar ultraviolet menghasilkan vitamin D3 di kulit
yang selanjutnya mengalami hidroksilasi di dalam hati dan ginjal
menjadi vitamin D3 (kasiterol), fungsi utamanya adalah merangsang
penyerapan kalsium di dalam usus.
Patologi
Kelainan kelenjar paratiroid di tandai dengan peningkatan atau
penurunan fungsi. Hipoparatiroid dapat disebabkan oleh defisiensi
PTH yang bersifat autoimun, berkurangnya pembentukan PTH, atau
ketidakmampuan jaringan untuk bereaksi terhapadap PTH (Pseudo-
HipoParatiroidisme). Yang paling sering dijumpai ialah
hipoparatiroidi iatrogenic sesudah tiroidektomi. Sekitar 85%
hiperparatiroid primer di sebabkan oleh adenoma tunggal salah satu
kelenjar paratiroid, Pada kasus selebihnya (15%), hyperplasia terdapat
pada semua kelenjar paratiroid. Sebagian kecil adalah adenoma

17
multiple atau karsinoma paratiorid. Gambaran klinik yang dapat
dilihat adalah terdapatnya hiperkalsemia asimtomatik. Bila ada
gejalanya ini dapat berupa kelemahan, nyeri abdomen, konstipasi,
poliuria, kebingungaan, atau nyeri tulang. Kadang ditemukan penyulit
berupa batu ginjal dengan segala akibatnya.

d) Neoplasma yang berasal dari struktur Lain


 Tumor Ganas Orofaring
Kebanyakan tomor ganas orofaring merupakan karsinoma sel
skuamosa yang diferensiasinya kurang dari umumnya sehingga
tingkat keganasaanya agak tinggi disertai infiltrasi jauh ke
jaringan sekitarnya. Orofaring yang juga meliputi pangkal lidah
dan daerah tonsil, merupakan daerah yang kaya akan jaringan
limf, dan pembuluh limfnya dialirkan bilateral ke kelenjar limf
juguler atas dan tengah serta segitiga leher belakang.
Gambaran klinik
Karsinoma pangkal lidah tidak lebih ganas daripada tumor
sejenis di tempat lain tetapi umunya baru diketahui bila tumor
sudah besar dengan penyebaran ke kelanjar limf regional. Tumor
di daerah tonsil sering menyusup ke mandibula dan menimbulkan
trismus akibat ketegangan m.ptiroideus medialis. Keadaan ini
merupakan tanda yang penting untuk mendiagnosis. Tetapi
trismus mempersulit pemeriksaan rongga mulut. Tumor ini sering
menimbulkan nyeri alih, yakni otalgia.
Penaganan
Tumor T1 dan T2 dapat ditangani dengan pembedahan atau
radioterapi, sedangkan tumor yang lebih besar di bedah setelah
upaya radioterapi. Pada beberapa keadaan dianjurkan untuk

18
melakukan glosektomi total, laringektomi, dan reseksi sebagian
mandibula sekaligus. Defek yang terjadi harus ditutup dengan flep
transposisi. Dianjurkan melakukan diseksi radikal kelenjar limf
pada penyebaran ke kelenjar leher dengan cara modifikasi, dengan
atau tanpa radioterapi.
 Tumor Ganas Hipofaring
Lebih dari 95% tumor ganas hipofaring merupakan karsinoma
sel skuamosa yang diferensiasinya buruk. Insidens invasi ke
kelenjar limf sangat tinggi sehingga bila ditemukan pada kelenjar
limf leher tanpa diketahui asal usulnya, dianjurkan untuk
melakukan biopsi buta pada sinus piriformis untuk menentukan
tumor primernya. Kelenjar limf yang umunya terkena adalah
kelenjar limf retrofaringeal, seluruh kelenjar limf juguler, bahkan
juga kelenjar di segitiga posterior leher.
Gambaran klinik
Karsinoma hipofaring paling sering di temukan di sinus
piriformis. Tumor yang terletak di belakang krikoid sering
mengitari lumen sehingga menimbulkan keluhan disfagia. Pada
umunya tanda utamanya berupa trias yang terdiri dari nyeri,
disfagia, dan penurunan barat badan. Nyeri dapat dirasakan pada
lokalisasi tumornya atau sebagai nyeri alih, yakni otalgia
ipsilateral. Tumor lanjut menyusup ke laring dan dapat
menimbulkan kelumpuhan pita suara yang mengakibatkan suara
parau.
Penanganan
Penanganan berupa pembedahan, radioterapi, atau
kombinasinya. Jika dilakukan faringektomi total, rekonstruksi
faring dapat dilakukan dengan cangkok yeyenum bebas secara

19
bedah mikrovaskuler. Tindak bedah juga meliputi diseksi kelenjar
limf leher.
 Karsinoma Laring
Dibagi dalam tiga macam yaitu supraglotik, glotik, dan
infraglotik. Pada tumor yang supraglotik termasuk permukaan
posterior epiglottis, plika ariepiglotik, dan plika ventrikularis;
pada tumor yang glotik termasuk korda vokalis, komisura anterior
dan posterior, sedangkan pada karsinoma infraglotik termasuk
jaringan di bawah korda vokalis sampai tepi bawah krikoid.
Gambaran klinik
Suara parau merupakan gejala utama yang sering terdapat
pada tipe supraglotik. Dispnoe merupakan keluhan dan tanda bila
tumor mulai menutup plika vokalis. Disfagia, batuk darah, stridor,
foeter ex ore, dan benjolan di leher karena penyebaran limfogen
merupakan gejala dan tanda lanjut. Diagnosis ditegakakan
melalui pemeriksaan laringoskopi dengan biopsi.
Penanganan
Radioterapi dilakukan pada stadium T1-T2 tipe glotik dan
supraglotik bila pita suara masih bergerak. Radioterapi juga
diberikan sebagai terapi adjuvant setelah laringektomi total kuratif
mengakibatkan penderita kehilangan suara selamanya.
Kordektomi merupakan tindakan bedah terbatas yang dianjurkan
pada stadium Tis, dan stadium T1 di pita suara. Laringektomi
parsial merupakan operasi terbatas yang dapat dilakukan pada
tumor yang terbatas di supraglotik atau bilamana hanya satu sisi
laring yang terserang.

20
 Karsinoma Nasofaring
Kejadianya lebih dari separuh kejadiaan semua karsinoma di
daerah leher dan kepala. Insidens yang tinggi ini dihubungkan
dengan kebiasaan makan, lingkungan, dan virus Epstein-Barr.
Gambaran klinik
Kadang hanya ada keluhan ringan seperti nyeri kepala atau
pendengaran kurang, bahkan sering tidak ada kuluhan sama
sekali sehingga metastasis di leher merupakan tanda pertama.
Gejala dan tanda yang mungkin didapat adalah epistaksis,
tinnitus dan tuli. Tidak jarang penderita datang dengan keluhan
juling dan bengkak leher bagian kranial bilateral. Bila penyakit
telah lanjut keluhan berupa rinolalia, eksoftalmus dan trismus.
Pada leher bagian cranial terdapat benjolan medial terhadap m.
sternokleidomastoideus yang akhirnya membentuk massa besar
hingga kulit mengkilat. Tanda neurologis sering muncul berupa
paresis atau paralysis dari saraf II, IV, V, dan VI (sindrom
petrosfenoidal) karena tumor ini berada di daerah keluarnya saraf
tersebut serta saraf otak lain dari dasar tengkorak. Gangguan
saraf IX, X, XI, XII, serta saraf simpatis servikal disebut sindrom
parafaringeal. Infiltrasi pada saraf simpatis di leher menimbulkan
sindrom Horner seperti miosis, enoftalmus dan ptosis.
Penanganan
Radioterapi diberikan berupa penyinaran leher kiri dan kanan
karena umunya penyebaran terjadi bilateral. Terapi adjuvant
berupa kemoterapi dapat menghasilkan perbaikan yang berarti
untuk waktu yang terbatas.

21
C. Neoplasma Sekunder (Tumor Metastatik)
Mungkin karena sangat vaskularitas, metastasis timbul dalam
thyroidea dan dalam kebanyakan kasus timbul dari hipernefroma.
Melanoma, karsinoma pankreas serta tumor bronchus dan
gastrointestinalis kadang-kadang bermetastasis ke thyroidea.
Gejala dari metastasis ini biasanya ditutupi oleh tumor primer dan
timbunan sekunder lain serta penyakit primer dan timbunan sekunder lain
serta penyakit thyroidea biasanya mempunyai akibat yang kecil.
Metastasis tumor di kelenjar limfe leher barasal dari karsinoma di kepala
atau leher seperti karsinoma nasofaring, tiroid, tonsil, lidah, sinus
maksilaris, dan kulit kepala. Kelenjar supraklavikular menerima
metastasis melalui duktus torasikus, terutama dari karsinoma lambung,
ovarium, dan bronkus. Kelenjar teraba keras, tidak nyeri, mulanya soliter,
kemudian dapat multiple unilateral atau bilateral, dan bila berlanjut akan
melekat dengan jaringan sekitar. Bila saling melekat akan terjadi massa
yang massif dan sulit digerakan dengan tanda penekanan ke sekitarnya,
misalnya sesak nafas, disfagia, bendungan vena, dan paresis pleksus
serviobrakialis. Diagnosis ditegakkan melalui biopsi kelenjar dan dengan
mencari tumor primernya yang kadang tersembunyi atau tidak diketahui
(MUP syindrome: m matastatic of unknown primary syndrome).

22
Pasien dan metode Penelitian

Karakteristik pasien dan tumor

ORN didefinisikan sebagai masalah penyembuhan luka akibat nekrosis tulang setelah
terapi radiasi, yang gagal sembuh dalam jangka waktu 6 bulan.3,23

Sebanyak 509 pasien yang dirawat selama periode 1992-2006 dengan terapi radiasi
primer atau ajuvan dievaluasi untuk oral atau tumor pangkal lidah, dengan mandibula
di daerah volume tinggi. Dalam kelompok pasien ini, 134 pasien memiliki karsinoma
pada batas lidah, 133 memiliki tumor pada pangkal lidah, 128 memiliki tumor pada
dasar oral, 53 memiliki tumor pada trigon retromolar, 31 memiliki tumor pada pipi,
dan 30 memiliki tumor pada proses alveolar inferior (Tabel 1). Pasien dengan tumor
rongga mulut sebagian besar menjalani operasi dengan radioterapi pasca operasi,
sedangkan tumor orofaringeal umumnya diobati dengan radioterapi primer. Dari 509
pasien ini, 27 memiliki satu episode ORN mandibula yang terbukti secara histologis
dan menerima HBOT dalam kombinasi dengan pembedahan seperlunya. Data
mereka diambil dari database departemen onkologi radiasi dari pusat medis
universitas dan fasilitas perawatan hiperbarik.

Tabel 1. Kejadian absolut osteoradionekrosis per lokasi tumor.

Pasien dengan ORN di lokasi selain mandibula dikeluarkan. Dari 27 pasien yang
dimasukkan, 11 memiliki dasar karsinoma oral, sembilan memiliki dasar karsinoma
lidah, lima memiliki batas karsinoma lidah, satu memiliki karsinoma trigonum
retromolar, dan satu memiliki karsinoma proses alveolar yang lebih rendah (Tabel 1).

23
Klasifikasi ORN ditentukan secara klinis dan radiologis. Radiografi panoramik
digunakan untuk penilaian radiologis. Biopsi diambil untuk konfirmasi histopatologis
dan untuk mengecualikan keganasan.

Pengobatan
Semua pasien menjalani terapi radiasi sebagai terapi primer atau ajuvan setelah
bedah oral primer atau karsinoma dasar lidah dengan alasan kuratif, dengan
mandibula di daerah target. Semua pasien menjalani skrining gigi klinis dan
radiologis sebelum radiasi; jika perlu, infeksi fokal dieliminasi. Radioterapi dimulai
setelah dikonfirmasi penyembuhan fokal situs dentoalveolar yang diobati. Selama
radioterapi, pasien menerima instruksi dari ahli higenitas oral yang juga meng-follow
up dan merawat mereka.

Dosis radiasi ke situs ORN bervariasi antara 50 Gy dan 70 Gy. Tiga pasien diiradiasi
ulang untuk rekurensi atau tumor primer sekunder di area yang sama. Tiga pasien ini,
bersama-sama dengan pasien keempat yang tidak kambuh, menerima dosis total fisik
kumulatif pada mandibula lebih tinggi dari 70 Gy (Tabel 2).

Tabel 2. Dosis terapi radiasi terkait dengan stadium osteoradionecrosis pada saat
diagnosis.

Klasifikasi dan perawatan ORN

Dalam penelitian ini, ORN dikategorikan ke dalam tiga tahap menggunakan


klasifikasi Notani et al., Berdasarkan luasnya lesi ORN.25 Tahap I didefinisikan
sebagai ORN terbatas pada tulang alveolar. Stadium II adalah ORN terbatas pada
tulang alveolar dan mandibula di atas kanalis mandibula. Stadium III adalah ORN

24
yang meluas ke mandibula di bawah level kanal mandibula, dengan fistula kulit dan /
atau fraktur patologis. Radiografi panoramik digunakan untuk penilaian secara
radiologis.

27 pasien menerima 30 sesi HBOT pra-bedah dan 10 pasca-bedah sesuai dengan


pedoman Wilford Hall.23,26,29 30 sesi pra-bedah HBOT diikuti oleh debridement
bedah dan antibiotik, dan kemudian diikuti oleh 10 sesi HBOT lainnya jika lesi tidak
sembuh setelah HBOT saja. Pengangkatan sederhana sekuestrum kecil di daerah
gingiva yang terlepas dari tulang mandibula, atau pengangkatan debris, tidak dicatat
sebagai prosedur bedah.

Follow-up

Follow up selama HBOT dijadwalkan setiap dua minggu atau setiap bulan. Setelah
pengobatan ORN selesai dan situasi klinis yang stabil telah dicapai, tindak lanjut
dijadwalkan setiap 3-6 bulan. Follow up radiologis dilakukan ketika ditunjukkan oleh
penampilan klinis. Titik akhir didefinisikan sebagai kondisi stabil tidak adanya nyeri,
fistulasi, dan dehiscence mukosa tulang pada bekas situs ORN selama 2 tahun.
Pemulihan fungsional mandibula tidak layak pada beberapa pasien karena
komorbiditas.

Statistik
Data yang diperoleh berkorelasi dan dianalisis secara statistik menggunakan fisher
exact test. Perangkat lunak SAS 9.2 (SAS Institute, Cary, NC, USA) digunakan
untuk analisis ini.

Hasil

Dua puluh tujuh pasien dengan ORN mandibula, dirawat antara 1992 dan 2006
di pusat medis universitas, diidentifikasi. Delapan belas dari 27 pasien menjalani
operasi untuk tumor primer mereka, dengan terapi radiasi pasca operasi. Sembilan
pasien dirawat dengan terapi radiasi saja. Interval waktu dari penyelesaian

25
radioterapi hingga timbulnya ORN berkisar antara 1 hingga 8 tahun (median 3
tahun). Semua pasien menjalani skrining gigi sebelum terapi radiasi dan diawasi dan
diinstruksikan oleh ahli kesehatan gigi.

Tidak ada hubungan antara dosis radiasi dan stadium ORN (Tabel 2). Tidak ada
korelasi yang signifikan antara tahap tumor dan tahap ORN ditemukan (Tabel 3).
Tidak ada faktor yang memicu perkembangan ORN yang diidentifikasi untuk
delapan kasus. Ekstraksi dan keluhan terkait prosthesis adalah penyebab tambahan
ORN masing-masing dalam tujuh dan enam kasus. Operasi terkait tumor (tiga kasus)
dan penyakit periodontal (tiga kasus) juga terkait dengan terjadinya ORN (Tabel 4).

Tabel 3. Stadium tumor berhubungan dengan stadium osteoradionecrosis.

Tabel 4. Penyebab tambahan osteoradionekrosis.

Sebelas dari 27 kasus ORN adalah Notani tahap I, delapan adalah tahap II, dan
delapan adalah tahap III. Semua lesi tahap I awal sembuh, semua
lesi tahap II sembuh, dan tujuh dari delapan lesi tahap III awal sembuh (Tabel 5).
Pasien dengan ORN tahap III awal yang tidak sembuh menolak pengobatan lebih

26
lanjut dengan penyakit stadium I yang stabil. Perbedaan hasil antara pasien ORN
tahap I dan III awal setelah HBOT saja adalah signifikan (P = 0,0018).

Dalam penelitian retrospektif ini, reseksi segmental primer adalah perawatan bedah
yang paling sering untuk ORN,23 diikuti oleh sequestrektomi dan dekortikalisasi
mandibula. Tiga pasien sembuh setelah HBOT dan tidak perlu operasi. Sehubungan
dengan perawatan bedah sekunder, lima reseksi segmental diperlukan untuk
mengobati ORN refrakter. Empat belas pasien tidak membutuhkan pembedahan
sekunder untuk sembuh. Tahap ORN awal dan respons terhadap terapi ditunjukkan
pada Tabel 5.

Lima belas kasus sembuh setelah perawatan primer untuk ORN (HBOT dan operasi).
12 kasus lain yang diperlukan operasi berikutnya. Dalam satu kasus, pasien memiliki
penyakit yang stabil.

27
Tabel 5. Korelasi antara tahap osteoradionekrosis dan tingkat efek pengobatan
dengan terapi oksigen hiperbarik dan pembedahan. Tingkat efek didefinisikan
sebagai tidak adanya kelainan mukosa tulang di situs osteoradionekrosis sebelumnya.

Dalam penelitian ini, situs tumor primer dengan insiden ORN absolut tertinggi
adalah lantai mulut (8,6%), sedangkan pipi memiliki insiden absolut terendah (0%).
Rata-rata 5,3% ditemukan untuk semua situs (Tabel 1).

Diskusi
Temuan penting dari penelitian ini adalah bahwa semua pasien dengan ORN tahap I
dan II berhasil diobati dengan terapi primer termasuk HBOT, dan jika perlu, operasi
selanjutnya. Insidensi absolut keseluruhan ORN 5,3% ditemukan pada
populasi pasien ini, dan situs tumor lantai mulut adalah situs yang paling
berhubungan dengan ORN. Perbedaan yang signifikan dalam hasil antara pasien

28
ORN tahap I dan III awal ditemukan setelah HBOT saja (P = 0,0018). Tiga pasien
dengan lesi ORN stadium I sembuh setelah HBOT saja. Tingkat kesembuhan
tertinggi untuk ORN tahap III dicapai dengan operasi besar, termasuk
mandibulektomi segmental dan rekonstruksi dengan flap osteokutaneus bebas
vaskularisasi.25 HBOT tampaknya bermanfaat untuk ORN tahap I dan II, tetapi
mungkin kurang bermanfaat untuk penyembuhan tulang pada ORN tahap III. Pada
ORN tahap III, reseksi segmental, pengangkatan tulang mandibula dalam bidang
radiasi dosis tinggi, dan rekonstruksi dengan flap osteokutaneus bebas vaskularisasi
telah terbukti menjadi pengobatan yang paling efektif.36 HBOT tampaknya tidak
efektif untuk penyembuhan tulang pada tahap ini.37 Namun, HBOT dapat
meningkatkan jaringan lunak di sekitarnya sehingga dapat memiliki efek positif pada
penyembuhan luka setelah operasi rekonstruksi untuk ORN.38 Penyembuhan
mengikuti perawatan bedah sekunder di hampir semua kasus. Satu lesi ORN tidak
sembuh. Pasien ini memiliki penyakit yang stabil dan menolak perawatan lebih
lanjut.

Banyak faktor seperti karakteristik tumor, kebiasaan minum beralkohol dan


merokok, higenitas oral, dan peristiwa traumatis, seperti operasi, telah disebutkan
dalam literatur sebagai faktor dalam terjadinya ORN.18,20–22 Tahap keseluruhan,
ukuran tumor, dan kedekatan dengan tulang telah berkorelasi dengan terjadinya
ORN.18,20 Stadium ORN dan ukuran tumor tidak berkorelasi dalam penelitian ini.

Diketahui bahwa dosis radiasi eksternal yang tinggi dan brachytherapy adalah faktor
risiko untuk terjadinya ORN. Dalam penelitian ini, tidak ada korelasi yang
ditemukan antara dosis radiasi dan tahap ORN.

Perkembangan dalam pemberian terapi radiasi, seperti modulasi intensitas


terapi radiasi (Intensity Modulated Radiation Therapy, IMRT) dan terapi busur
termodulasi volumetrik (Volumetric Modulated Arc Therapy, VMAT), telah
meningkatkan kesesuaian distribusi dosis tinggi, sehingga menghemat volume

29
mandibula dan glandula salivarius yang lebih besar.39,40 Laporan awal menunjukkan
bahwa penggunaan IMRT dapat mengurangi kejadian ORN.36,39,41,42 Penelitian-
penelitian ini melaporkan bahwa walaupun prevalensi ORN setelah IMRT lebih
rendah daripada yang mengikuti radioterapi konvensional, penelitian tambahan
diperlukan untuk menentukan apakah perbedaan ini signifikan secara klinis.

Klasifikasi Notani et al. digunakan dalam penelitian ini, karena menggambarkan


keterlibatan tulang (dinilai secara radiologis) dalam tiga tahap dan mudah
digunakan.25 Karena sifat retrospektif dari penelitian ini, keterlibatan jaringan lunak
tidak dapat dinilai dengan baik. Banyak penelitian klinis tentang HBOT untuk ORN
telah mengikuti pedoman Wilford Hall untuk kleasifikasi dan pengobatan
ORN.10,31,38,43 Dalam pedoman ini, jenis perawatan yang diusulkan berhubungan
dengan tahap ORN.

Pada tahun 1983, Marx memperkenalkan stadium gabungan HBOT dan bedah
sebagai pengobatan standar untuk ORN mandibula ke dalam pedoman Wilford
Hall.23 Beberapa peneliti mendukung penggunaan protokol ini, terlepas dari sifat
retrospektif penelitian mereka dan kurangnya bukti yang didukung secara
statistik.7,13,41,44-46 Namun, yang lain telah gagal untuk menemukan efek
menguntungkan dari HBOT, apakah digunakan atau tidak sesuai dengan pedoman
Wilford Hall, dan telah menyarankan bahwa hal itu mungkin menunda terapi yang
pasti.9,47,48 Sistem pentahapan dalam pedoman ini tampaknya lebih tepat untuk
penggunaan klinis daripada tujuan penelitian, karena bias seleksi akibat
menghubungkan terapi dengan stadium.

Lantai mulut adalah situs tumor yang paling berhubungan dengan ORN dalam
penelitian ini. Yang lain melaporkan lidah sebagai situs tumor yang paling
sering.30,47,49 Pengaruh situs tumor primer pada timbulnya ORN telah dibahas.2,31,32,50
Beberapa penulis telah menemukan hubungan positif antara ORN dan situs tumor
primer.20,42,50 Curi dan Dib melaporkan bahwa kanker mulut yang diobati dengan

30
radioterapi memiliki insiden ORN tertinggi, terutama pada lidah, lantai mulut, dan
daerah retromolar.20

Sebuah uji klinis double-blind, randomized yang diterbitkan oleh Annane et al. pada
2004 gagal menunjukkan manfaat HBOT.28 Penulis menyimpulkan bahwa HBOT
tidak direkomendasikan untuk pasien dengan ORN mandibula terbuka. Sebuah
diskusi muncul mengenai keandalan metodologi penelitian itu. Beberapa penulis
mengkritik protokol penelitian, yang menyatakan bahwa kriteria klinis dan radiografi
nyaris tidak berhubungan dengan klasifikasi ORN yang diketahui, sehingga
menimbulkan keraguan apakah semua lesi yang dirawat dapat diklasifikasikan
sebagai ORN.51 Penggunaan rejimen HBOT dua kali sehari juga berbeda dengan
sebagian besar penelitian yang dilaporkan, di mana HBOT sekali sehari adalah
pengobatan standar.52 Oleh karena itu, populasi pasien ini mungkin tidak mewakili
pasien dengan ORN mandibula yang diobati dengan HBOT sesuai dengan pedoman
standar.

Tinjauan sistematis terbaru dari bukti klinis menyimpulkan bahwa HBOT


tidak direkomendasikan untuk perawatan rutin pasien dengan ORN mandibula,
kecuali ketika operasi reseksi / rekonstruksi diperlukan.37 Namun Van Merkesteyn et
al.,menunjukkan bahwa lesi yang tidak menanggapi pengobatan konservatif paling
baik diobati dengan debridemen bedah kombinasi, antibiotik, dan HBO.32 Pada 2004,
Delanian dan Lefaix mengusulkan teori baru untuk patogenesis ORN.53 Asumsi
bahwa tulang rusak oleh radiasi terutama adalah hasil fibrosis yang disebabkan
radiasi yang terinduksi,54 mengarah pada pengembangan terapi tiga obat untuk
mengurangi fibrosis dan kerusakan tulang akibat radiasi dan untuk menstimulasi
osteogenesis melalui jalur antioksidan.55,56 Pengobatan dengan pentoxifylline
dikombinasikan dengan tokoferol dan clodronate menyebabkan pemulihan lengkap
pada sebagian besar pasien pada 6 bulan.57,58

31
Kesimpulannya penelitian ini menunjukkan efek menguntungkan dari HBOT untuk
ORN yang lebih rendah tahap (I dan II). Tahap III ORN biasanya membutuhkan
reseksi segmental dari bagian mandibula yang terkena. Dengan perawatan ini,
segmen mandibula di area target terapi radiasi dihilangkan dan wilayah tersebut
direkonstruksi. Tidak jelas apa nilai tambah HBOT pada tulang dalam kasus ORN
yang luas. Jika jaringan lunak di sekitar lesi ORN berada dalam kondisi yang buruk,
HBOT dapat direkomendasikan untuk mempromosikan revaskularisasi dan
mendukung penyembuhan luka setelah flap rekonstruksi.

Berdasarkan hasil penelitian ini, walaupun dilakukan pada sejumlah kecil


pasien dan tanpa kelompok kontrol, HBOT dapat direkomendasikan untuk ORN
tahap I dan II dan untuk kasus ORN tahap III yang dipilih, misalnya pasien dengan
kondisi yang buruk di kelilingi jaringan lunak di sekitarnya.

Manajemen ORN menantang dan tidak ada penelitian yang melaporkan


solusi utama untuk masalah ORN - membalikkan kerusakan ORN atau
mengendalikan arahnya - telah dipublikasikan. Teori-teori baru atas dasar patologis
ORN dapat mengarah pada pemahaman yang lebih baik tentang kondisi sulit ini.
Protokol perawatan yang diusulkan baru-baru ini oleh Delanian et al., Berdasarkan
produk antioksidan seperti pentoxifylline, tocopherol (vitamin E), dan bifosfonat,
mungkin menjanjikan.54,57–59 Diperlukan lebih banyak penelitian untuk lebih
memahami jalannya perubahan patologis yang terjadi selama pengembangan ORN
dan untuk mengidentifikasi pengobatan yang tepat untuk intervensi awal dalam jalur
patologis ORN.

Efikasi HBOT seperti yang dilaporkan dalam literatur tetap tidak pasti: beberapa seri
kasus negatif dan satu uji klinis acak negatif telah dilaporkan,16,28,60 tetapi ada banyak
laporan retrospektif tentang keberhasilan pengobatan ORN dengan HBOT. Penelitian
sistematis yang lebih baik dirancang untuk menentukan apakah HBOT memiliki
dampak signifikan pada pengobatan ORN.

32
Pendanaan

Tidak Ada.

Minat bersaing

Tidak ada.

Persetujuan etis

Dikecualikan.
Persetujuan pasien

Tidak diperlukan.

Ucapan Terima Kasih.

Kami berterima kasih kepada Ton de Haan, ahli statistik, atas dukungannya.

Referensi

1. Regaud C. Sur la necrose des os attente ´ par un processus cancereux et traites


par les radiaions. Compt Rend Soc Biol 1922;87:478.
2. Epstein JB, Wong FL, Stevenson-More P. Osteoradionecrosis: clinical
experience and a proposal for classification. J Oral Maxillofac Surg 1987;
45:104–10.
3. Marx RE. Osteoradionecrosis. A new concept in its pathophysiology. J Oral
Maxillofac Surg 1983;41:282–8.
4. Wong JK, Wood RE, McLean M. Conservative management of
osteoradionecrosis. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod
1997;84:16–21.

33
5. Murray CG, Daly TE, Zimmerman SO. The relationship between dental disease
and radiation necrosis of the mandible. Oral Surg Oral Med Oral Pathol
1980;49:99–104.
6. Morrish Jr RG, Chan E, Silverman Jr S, Meyer J, Fu KK, Greenspan D.
Osteonecrosis in patients irradiated for head and neck carcinoma. Cancer
1981;47:1980–3.
7. Vudiniabola S, Pirone C, Williamson J, Goss AN. Hyperbaric oxygen in the
therapeutic management of osteoradionecrosis of the facial bones. Int J Oral
Maxillofac Surg 2000;29:435–8.
8. Clayman L. Clinical controversies in oral and maxillofacial surgery: part two.
Management of dental extractions in irradiated jaws: a protocol without
hyperbaric oxygen therapy. J Oral Maxillofac Surg 1997;55:275–81.
9. Celik N, Wei FC, Chen HC, Cheng MH, Huang WC, Tsai FC, et al.
Osteoradionecrosis of the mandible after oromandibular cancer surgery. Plast
Reconstr Surg 2002;109:1875–81.
10. Marx RE, Johnson RP. Studies in the radiobiology of osteoradionecrosis and
their clinical significance. Oral Surg Oral Med Oral Pathol 1987;64:379–90.
11. Bras J, de Jonge HK, van Merkesteyn JP. Osteoradionecrosis of the mandible:
pathogenesis. Am J Otolaryngol 1990;11:244–50.
12. Store G, Boysen M. Mandibular osteoradionecrosis: clinical behaviour and
diagnostic aspects. Clin Otolaryngol 2000;25:378–84.
13. Mounsey RA, Brown DH, O’Dwyer TP, Gullane PJ, Koch GH. Role of
hyperbaric oxygen therapy in the management of mandibular osteoradionecrosis.
Laryngoscope 1993;103:605–8.
14. Thorn JJ, Hansen HS, Specht L, Bastholt L. Osteoradionecrosis of the jaws:
clinical characteristics and relation to the field of irradiation. J Oral Maxillofac
Surg 2000;58:1088–93.

34
15. Epstein J, Meij E, McKenzie M, Wong F, Lepawsky M, Stevenson-Moore P.
Postradiation osteoradionecrosis of the mandible: a long-term follow study. Oral
Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 1997;83:657–62.
16. Marx Re. Ehler WJ, Tayapongsak P, Pierce LW. Relationship of oxygen dose to
angiogenesis induction in irradiated tissue. Am J Surg 1990;160:519–24.
17. Glanzmann C, Gratz KW. Radionecrosis of the mandible: a retrospective
analysis of the incidence and risk factors. Radiother Oncol 1995;36:94–100.
18. Jereczek-Fossa BA, Orecchia R. Radiotherapy-induced mandibular bone
complications. Cancer Treat Rev 2002;28:65–74.
19. Marx R. Radiation injury to tissue. In: Kindwall EP, Whelan HT, editors.
Hyperbaric medicine practice. Flagstaff, AZ: Best Publishing; 1999. p. 665–723.
20. Curi MM, Dib LL. Osteoradionecrosis of the jaws: a retrospective study of the
background factors and treatment in 104 cases. J Oral Maxillofac Surg
1997;55:540–4.
21. Kluth EV, Jain PR, Stuchell RN, Frich Jr JC. A study of factors contributing to
the development of osteoradionecrosis of the jaws. J Prosthet Dent 1988;59:194–
201.
22. Beumer J, Harrison R, Saunders B, Kurasch M. Osteoradionecrosis:
predisposing factors and outcome of therapy. Head Neck Surg 1984;6:819–27.
23. Marx RE. A new concept in the treatment of osteoradionecrosis. J Oral
Maxillofac Surg 1983;41:351–7.
24. Schwartz HC, Kagan AR. Osteoradionecrosis of the mandible: scientific basis
for clinical staging. Am J Clin Oncol 2002;25:168– 71.
25. Notani K, Yamazaki Y, Kitada H, Sakakibara N, Fukuda H, Omori K, et al.
Management of mandibular osteoradionecrosis corresponding to the severity of
osteoradionecrosis and the method of radiotherapy. Head Neck 2003;25:181–6.
26. Marx RE, Ames JR. The use of hyperbaric oxygen therapy in bony
reconstruction of the irradiated and tissue-deficient patient. J Oral Maxillofac
Surg 1982;40:412–20.Johnson RP, Marx RE, Buckley SB. Hyperbaric oxygen in

35
oral and maxillofacial surgery. In: Worthington P, Evans JR, editors.
Controversies in oral and maxillofacial surgery. Philadelphia: WB Saunders Co;
1992. p. 107–26.
27. Annane D, Depondt J, Aubert P, Villart M, Gehanno P, Gajdos P, et al.
Hyperbaric oxygen therapy for radionecrosis of the jaw: a randomised, placebo-
controlled, doubleblind trial from the ORN96 study group. J Clin Oncol
2004;22:4893–900.
28. Pitak-Arnnop P, Sader R, Dhanuthai K, Masaratana P, Bertolus C, Chaine A, et
al. Management of osteoradionecrosis of the jaws: an analysis of evidence. Eur J
Surg Oncol 2008;34:1123–34.
29. Oh HK, Chamber MS, Martin JW, Lim HJ, Park HJ. Osteoradionecrosis of the
mandible: treatment outcomes and factors influencing the progress of
osteoradionecrosis. J Oral Maxillofac Surg 2009;67:1378–86.
30. Mainous EG, Hart GB. Osteoradionecrosis of the mandible. Treatment with
hyperbaric oxygen. Arch Otolaryngol 1975;101:173–7.
31. Van Merkesteyn JP, Bakker DJ, BorgmeijerHoelen AM. Hyperbaric oxygen
treatment of osteoradionecrosis of the mandible: experience in 29 patients. Oral
Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 1995;80:12–6.
32. Wood GA, Liggins SJ. Does hyperbaric oxygen have a role in the management
of osteoradionecrosis? Br J Oral Maxillofac Surg 1996;34:424–7.
33. Feldmeijer J, Carl U, Hartmann K, Sminia P. Hyperbaric oxygen: does it
promote growth or recurrence of malignancy? Undersea Hyperb Med
2003;30:1–18.

36

Вам также может понравиться