Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
DOSEN PEMBIMBING:
Fiddin Khairuddin, S.Th.I., MA
Disusun Oleh:
Nama: Okta Pinra
NIM: 60316101006
(Okta Pinra)
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits adalah segala yang bersumber dari Nabi SAW baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya. Hadis menjadi sumber hukum yang
kedua setelah al-quran. Hadis diterima oleh sahabat dari nabi baik secara langsung
maupun tidak langsung. Sahabat atau orang yang meriwayatkan hadis disebut juga
rawi. Oleh karena itu kita harus mengetahui kehidupan par perawinya dengan baik
dengan mengetahui kehidupan para perawinya kita akan mengetahui hadis itu
shahih atau tidak.
Sejarah periwayatan hadis berbeda dengan sejarah periwayatan al-Qur‟an.
Pernyatan al-Qur‟an dari Nabi kepada para sahabat berlangsung secara umum.
Para sahabat, di samping ada yang menghafalnya juga banyak yang mencatatnya,
baik atas perintah dari Nabi atau inisiatif sendiri. Setelah Nabi wafat, periwayatan
al-Qur‟an berlangsung secara mutawatir dari zaman ke zaman. Periwayatan ini
bukan hanya secara lisan (hafalan) melainkan juga secara tertulis. Periwayatan
dalam bentuk tertulis dan penghimpunan seluruhnya secara resmi dilaksanakan
pada masa khalifah Usman dengan tujuan untuk keseragaman bacaan. Melihat
proses periwayatan al-Qur‟an begitu rumit dan selektif maka sangat sulit bagi
orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mengadakan pemalsuan.
Periwayatan hadis berlangsung secara ahad dan hanya sebagaian kecil saja yang
berlangsung secara mutawatir. Sementara itu Nabi memang pernah pula melarang
para sahabat untuk menulis hadis. Nabi pernah memerintahkan para sahabat saat
itu agar menghapus seluruh catatan selain catatan al-Qur‟an. Namun dalam
kesempatan lain Nabi pernah juga menyuruh para sahabat agar menulis hadis.
Nabi menyatakan bahwa apa yang keluar dari lisannya adalah benar. Oleh karena
itu, beliau tidak keberatan bila hadis yang diucapkannya ditulis.
Kebijakan Nabi di atas berakibat hanya sebagian periwayatan hadis saja
yang berlangsung secara tertulis pada zaman Nabi. Dengan demikian hadis yang
berkembang pada zaman Nabi lebih banyak berlangsung secara hafalan dari pada
secara tertulis. Hal ini berakibat bahwa dokumentasi hadis Nabi secara tertulis
1
belum mencakup seluruh hadis yang ada. Selain itu tidaksemua hadis yang telah
dicatat telah dikonfirmasikan kepada Nabi. Hal ini berlanjut bahwa hadis nabi
tidak terhindar dari kemungkinan kesalahan dalam periwayatan. Ini berarti pula,
bahwa hadis yang didokumentasikan secara tertulis dan secara hafalan harus
diteliti baik sumber periwayatannya (sanad) maupun kandungan
beritanya (matan).
Berkaitan dengan tujuan di atas, maka kegiatan pendokumentasian hadis
sebagai kegiatan penelitian hadis telah berlangsung dari zaman ke zaman dengan
karakteristiknya masing-masing. Pendokumentasian hadis sebagai langkah awal
penelitian hadis mendapat pijakan untuk pertama kalinya ketika adanya perintah
resmi dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz (w. 101 H/720 M) salah seorang
penguasa yang bijaksana dari Dinasti Umayyah, untuk mengumpulkan seluruh
hadis yang berada di masing-masing daerah. Ulama hadis yang berhasil
mengumpulkan hadis dalam satu kitab waktu itu adalah Syihab al-Din al-Zuhri
(w. 724 H/742 M), seorang ulama hadis terkenal di wilayah Hijaz dan Syam.
Kajian penghimpunan hadis terus berjalan. Sekitar pertengahan abad
kedua Hijriyah muncul berbagai kitab kumpulan hadis (hadis riwayah) di berbagai
daerah, antara lain karya Abd al-Malik bin Juraij aal-Bisri, Malik bin Anas, dan
lain-lain. Karya-karya tersebut tidak hanya menghimpun hadis-hadis Nabi, akan
tetapi juga memuat berbagai fatwa sahabat maupun tabi‟in, dengan kualitas yang
bermacam-macam yaitu sahih, hasan dan dhaif.
Masa berikutnya ulama menyusun kitab-kitab hadis berdasarkan nama-
nama para sahabat yang meriwayatkan hadis yang disebut dengan al-musnad.
Ulama yang mula-mula menyusunnya adalah Abu Dawud bin al-Jarud al-Tayalisi
(w.204 H), kemudian diikuti oleh ulama-ulama hadis lainnya seperti Abu Bakr bin
Zubair al-Humaidi (w.219 H) dan Imam Ahmad bin Hanbal (w. 242 H). Ulama
beikutnya sekitar pertengahan abad ke-3 H. berusaha mensistematisasi kitab-kitab
hadis yang secara khusus menghimpun hadis-hadis Nabi yang berkualitas sahih
menurut kriteria penyusunnya, misalnya al-Bukhari yang dikenal dengan Kitab al-
Jami‟ al-Sahih atau Shahih al-Bukhari, Imam Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi
dengan karyanya al-Jami‟ al-Sahih atau Sahih Muslim. Masih dalam era yang
2
sama bermunculan pula berbagai kitab hadis yang sitematikanya persis dengan
bab-bab fiqih. Dengan metode inilah kitab Sunan al-Nasa‟i disusun, kitab yang
menjadi objek pembahasan dalam tulisan ini, selain kitab hadis Abu Dawud al-
Sijistani, Abu Isa al-Turmuzi, dan Ibn Majah al-Qazwaini.
Berkaitan dengan kitab Sunan al-Nasa‟‟i, melihat kepada kualitas hadis
yang diriwayatkan, ada ulama yang berpendapat bahwa kualitas kitabnya melebihi
Kitab Sahih Muslim seperti yang dikemukakan oleh Al-Hafiz Abu Ali. Ia
memberikan komentar bahwa persyaratan yang dibuat oleh Imam an-Nasa‟`i bagi
para perawi hadis jauh lebih ketat jika dibandingkan dengan persyaratan yang
dibuat oleh Imam Muslim. Untuk mengetahui lebih jelas tentang kitab hadis ini,
maka dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk menguraikan isi kitab tersebut dan
hal-hal yang berkaitan dengannya.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut maka dapat disimpulkan bahwa rumusan
masalahnya adalah:
1. Siapa nama asli Imam An-Nasa‟i?
2. Dimana saja Imam AN-Nasa‟I menimba ilmu?
3. Siapa saja Guru Imam An-Nasa‟i?
4. Siapa saja murid Imam An-Nasa‟i?
5. Apa saja karya Imam An-Nasa‟i?
C. Tujuan
Dari rumusan masalahn tersebut maka tujuan pembuatan makalah ini
adalah:
1. Untuk mengetahui nama aslli Imam An-Nasa‟i
2. Untuk mengetahui dimana Imam An-Nasa‟i menimba ilmu
3. Untuk mengetahui siapa saja yang pernah menjadi Guru Imam An-Nasa‟i
4. Untuk mengetahui siapa saja yang pernah menjadi murid Imam An-Nasa‟i
5. Untuk mengetahui karya-karya Imam An-Nasa‟i
3
BAB I
PEMBAHASAN
1
Shabri Shaleh Anwar dan Ade Jamaruddin, Takhrij Hadis (TEMBILAHAN: PT. Indragiri
Dot Com, 2018), hlm. 104.
4
hadits-hadits dari ulama-ulama besar, berjumpa dengan para imam huffazh dan
yang lainnya, sehingga Imam an-Nasa`i dapat menghafal banyak hadits,
mengumpulkannya dan menuliskannya, sampai akhirnya Imam an-Nasa`i
memperoleh derajat yang tinggi dalam disiplin ilmu ini.
Beliau telah menulis hadits-hadits dha‟if, sebagaimana Imam an-Nasa`ipun
telah menulis hadits-hadits shahih, padahal pekerjaan ini hanya di lakukan oleh
ulama pengkritik hadits, tetapi imam Nasa`i mampu untuk melakukan pekerjaan I
ni, bahkan Imam an-Nasa`i memiliki kekuatan kritik yang detail dan akurat,
sebagaimana yang digambarkan oleh al Hafizh Abu Thalib Ahmad bin Sazhr; „
siapa yang dapat bersabar sebagaimana kesabaran An Nasa`i? dia memiliki hadits
Ibnu Lahi‟ah dengan terperinci – yaitu dari Qutaibah dari Ibnu Lahi‟ah-, maka dia
tidak meriwayatkan hadits darinya.‟ Maksudnya karena kondisi Ibnu Lahi‟ah yang
dha‟if.
Dengan ini menunjukkan, bahwa tendensi Imam an-Nasa`i bukan hanya
memperbanyak riwayat hadits semata, akan tetapi Imam an-Nasa`i berkeinginan
untuk memberikan nasehat dan menseterilkan syarea‟at (dari bid‟ah dan hal-hal
yang diada-adakan).
Imam Nasa`i selalu berhati-hati dalam mendengar hadits dan selalu
selektif dalam meriwayatkannya. Maka ketika Imam an-Nasa`i mendengar dari Al
Harits bin Miskin, dan banyak meriwayatkan darinya, akan tetapi Imam an-Nasa`i
tidak mengatakan; „telah menceritakan kepada kami,‟ atau „telah mengabarkan
kepada kami,‟ secara serampangan, akan tetapi dia selalu berkata; „dengan cara
membacakan kepadanya dan aku mendengar.‟
Para ulama menyebutkan, bahwa faktor imam Nasa`i melakukan hal
tersebut karena terdapat kerenggangan antara imam Nasa`i dengan Al Harits, dan
tidak memungkinkan baginya untuk menghadiri majlis Al Harits, kecuali Imam
an-Nasa`i mendengar dari belakang pintu atau lokasi yang memungkinkan
baginya untuk mendengar bacaan qari` dan Imam an-Nasa`i tidak dapat
melihatnya.
5
Para ulama memandang bahwa kitab hadits Imam an-Nasa`i “Sunan an-
Nasa`i” sebagai kitab kelima dari Kutubussittah setelah Shahih al-Bukhari, Shahih
Muslim, Sunan Abu Dawud dan Jami‟ at-Tirmidzi.
6
- Ali bin Kasyram
- Imam Abu Dawud
- Imam Abu Isa at Tirmidzi, dan yang lainnya.
7
4. Abu Sa‟id bin yunus menuturkan; „ Imam an-Nasa`i adalah seorang imam
dalam bidang hadits, tsiqah, tsabat dan hafizh.‟
5. Al Qasim Al Muththarriz menuturkan; „Imam an-Nasa`i adalah seorang imam,
atau berhak mendapat gelar imam.‟
6. Ad Daruquthni menuturkan; „Abu Abdirrahman lebih di dahulukan dari semua
orang yang di sebutkan dalam disiplin ilmu ini pada masanya.‟
7. Al Khalili menuturkan; „Imam an-Nasa`i adalah seorang hafizh yang kapabel,
di ridlai oleh para hafidzh, para ulama sepakat atas kekuatan hafalannya,
ketekunannya, dan perkataannya bisa dijadikan sebagai sandaran dalam
masalah jarhu wa ta‟dil.‟
8. Ibnu Nuqthah menuturkan; „Imam an-Nasa`i adalah seorang imam dalam
disiplin ilmu ini.‟
9. Al Mizzi menuturkan; „Imam an-Nasa`i adalah seorang imam yang menonjol,
dari kalangan para hafizh, dan para tokoh yang terkenal.‟
8
- Al Ighrab
- Musnad Manshur bin Zadzan
- Al Jarhu wa ta‟dil
ٍ َاد َة َع ْن أَن
س َع ْن ِ ِ َ ََخبَ َرََن إِ ْس َح ُق بْ ُن إِبْ َر ِاه َيم ق
َ َال َحدَّثَنَا ه َشامٌ َع ْن قَت
َ َيع ق
ٌ ال َحدَّثَنَا َوك ْأ
ِ َّ اَّلل علَيهِ وسلَّم ُُثَّ قُمنَا إِ ََل َِّ ولِ ال تَس َّحرََن مع رس ٍِ ِ
ت
ُ ْالص ََلة قُل ْ َ َ َ ْ َ َُّ صلَّى َ اَّلل ُ َ َ َ ْ َ َ ََزيْد بْ ِن ََثبت ق
ني آيَة ِ َّ ُال قَ ْد ُر َما يَ ْق َرأ
َ الر ُج ُل َخَْس َ ََك ْم َكا َن بَيْ نَ ُه َما ق
Telah mengabarkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim dia berkata; telah
menceritakan kepada kami Waki' dia berkata; telah menceritakan kepada
kami Hisyam dari Qatadah dari Anas dari Zaid bin Tsabit dia berkata; "Kami
9
makan sahur bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian kami
berdiri untuk melaksanakan shalat." Aku bertanya; "Berapa jarak antara
keduanya? Ia menjawab, "Seukuran orang membaca lima puluh ayat.".2
2
Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, FAJAR & SYAFAK DALAM KESARJANAAN
ASTRONOMI ISLAM DAN ULAMA NUSANTARA
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Imam An-Nasa‟I yang memiliki nama lengkap Abu Abdirrahman Ahmad
bin Syu‟aib bin Ali bin Bahar bin Sinan bin Dinar An-Nasa‟I adalah seorang
ulama hadits terkenal. Dilahirkan di satu desa yang bernama Nasa‟I di daerah
Khurasan pada tahun 215 H.
Imam An-Nasa‟I wafat pada tahun 303 H. Beliau adalah periwayat hadits
yang terkenal. Banyak hadits yang beliau tulis di bukunya dan beliau merupakan
seorang yang pengembara dalam menimba ilmu, baik dalam negeri mapun di luar
negeri.
B. Saran
Kita sebagai manusia ciptaan Allah yang sama-sama haus akan ilmu
pengetahuan, betapa mulianya jika kita mengikuti jejak para ulama-ulama dan
imam-imam besar dalam menimba ilmu. Semoga Allah memberi hidayah untuk
kita yang enggan menuntut ilmu. Aamiin.
11
DAFTAR PUSTAKA
Juli Rakhmadi Butar-Butar, Arwin. 2018. Fajar & Syafak Dalam Kesarjanaan
Dan Ulama Nusantara. Yogyakarta: LKIS.
Shaleh Anwar, Shabri dan Ade Jamaruddin. 2018. TAKHRIJ HADIS.
TEMBILAHAN: PT. Indragiri Dot Com.
12