Вы находитесь на странице: 1из 60

MAKALAH PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERSAINGAN USAHA

“KEPASTIAN HUKUM PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN ( BPSK )”

DOSEN : SRI MENDA SINULINGGA,SH, MH

DISUSUN OLEH :

INDRA MAULANA 15400026


VICTOR BUDIMAN M 15400088
A. MUH. JALIL ERWIN 15400098

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TAMA JAGAKARSA
J A K A R T A
2 0 1 8
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Atas Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa Atas Kasih Dan Karunia-Nya Makalah
perlindungan konsumen dan persaingan usaha yang berjudul “kepastian hukum putusan
badan penyelesaian sengketa konsumen ( BPSK )” Dapat Tersusun Hingga Selesai Tepat Pada
Waktunya. Saya Berharap Semoga Makalah Ini Dapat Menambah Pengetahuan Dan
Pengalaman Bagi Para Pembaca.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, kami yakin masih banyak


kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, 13 November 2018

Penulis

DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR ........................................................................................... i

i
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 4
C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan ................................................................. 4
D. Metode Penulisan ...................................................................................... 4
E. Sistematika Penulisan ............................................................................... 4

BAB II TINJAUAN UMUM


A. Penegertian Perlindungan Konsumen........................................................ 6
B. Asas dan Tujuan......................................................................................... 11
C. Hak dan Kewajiban.................................................................................... 13
D. Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha............................................ 16
E. Klausula Baku dalam Perjanjian................................................................ 22
F. Tanggung Jawab Pelaku Usaha ................................................................ 24
G. Sanksi......................................................................................................... 26

BAB III Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

A. Pengertin Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)


............................................................................................................
............................................................................................................
28
B. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui BPSK
............................................................................................................
............................................................................................................
29
C. Tahap Pengajuan Gugatan......................................................................... 31
D. Tahap Persidangan..................................................................................... 32

ii
E. Tahap Putusan............................................................................................ 34
BAB IV PERMASALAHAN YANG TERJADI AKIBAT SUATU KONTRAK
A. Kekuatan Hukum Putusan BPSK dalam Menjamin Perlindungan
Hukum bagi Konsumen
........................................................................................................
........................................................................................................
........................................................................................................
36
B. Upaya Hukum Terhadap Putusan BPSK
........................................................................................................
........................................................................................................
38
C. Kendala yang Dialami oleh BPSK dalam Praktik Pelaksanaan
Penyelesaian Sengketa Konsumen
........................................................................................................
........................................................................................................
........................................................................................................
41
D. Upaya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam
Menciptakan Konsumen dan Pelaku Usaha yang Cerdas dan
Sadar Akan Hak dan Kewajibannya
........................................................................................................
........................................................................................................
43
E. Contoh Kasus
........................................................................................................
........................................................................................................
44

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan

iii
........................................................................................................
........................................................................................................
54
B. Saran
........................................................................................................
........................................................................................................
55

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kegiatan bisnis terdapat hubungan saling membutuhkan antara pelaku
usaha dengan konsumen, baik berupa pelaku usaha dan konsumen barang
maupun jasa. Kepentingan pelaku usaha adalah memperoleh keuntungan
semaksimal mungkin dari transaksi dengan konsumen, sedangkan di sisi lain,
konsumen berkepentingan untuk memperoleh kepuasan melalui pemenuhan
kebutuhannya terhadap produk tertentu. Dengan kata lain, konsumen mempunyai
hak untuk mendapatkan kualitas yang diinginkan.
Dalam hubungan demikian, seringkali terdapat ketidaksetaraan antara
keduanya di mana secara umum konsumen berada pada posisi tawar menawar
yang lemah, akibatnya menjadi sasaran eksploitasi dari pelaku usaha atau
produsen yang secara sosial dan ekonomi memiliki posisi yang kuat. Untuk
melindungi atau memberdayakan konsumen sangat diperlukan adanya campur
tangan pemerintah dan/atau negara melalui penetapan sistem perlindungan
hukum terhadap konsumen.
Dalam hal konsumen dirugikan oleh pelaku usaha, maka konsumen dapat
menggunakan haknya untuk mendapatkan ganti kerugian, apabila keadaan
barang atau jasa yang dibelinya tidak sebagaimana mestinya. Apabila pelaku
usaha tidak mau bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan
dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang
dihasilkan atau diperdagangkan, maka hal ini akan terjadi sengketa konsumen,
yaitu sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi
atas kerusakan, pencemaran dan/atau yang menderita kerugian akibat
mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa. Untuk penyelesaian
sengketa konsumen, UUPK sendiri membagi penyelesaian konsumen manjadi
dua bagian, yaitu penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dapat dilakukan

1
dengan dua cara yaitu, penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak
sendiri dan penyelesaian sengketa melalui lembaga yang berwenang, yaitu
sebagaimana diatur dalam pasal 49, yakni Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen atau BPSK dengan menggunakan mekanisme melalui konsiliasi,
mediasi atau arbitrase dan penyelesaian sengketa melalui pengadilan.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai
kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian dan / atau mengenai
tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulang kembali kerugian yang
diderita oleh konsumen. Pola-pola penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan yang dikehendaki UUPK merupakan pilihan yang tepat, karena jalan
keluar yang dirumuskan berisikan penyelesaian yang memuaskan kedua belah
pihak yang sedang bersengketa.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah merupakan penyelesaian
sengketa yang efektif, hal inilah yang menjadi alasan mengapa konsumen
membutuhkan mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif, dikarenakan
upaya non litigasi prosesnya sederhana, cepat dan biaya murah. Penyelesaian
sengketa yang efektif diperlukan juga dikarenakan konsumen umumnya, banyak
yang enggan dan tidak mau memperjuangkan hak-hak nya, karena terstigma oleh
pengadilan prosesnya yang lama, biaya mahal serta belum tentu menang, karena
hasil dari pengadilan adalah menang-kalah. Pilihan penyelesaian sengketa di luar
pengadilan menjadi efektif karena ditinjau dari kasus yang ada adalah kasus yang
sederhana dan berskala kecil. Sedangkan pilihan penyelesaian sengketa melalui
pengadilan dapat menjadi efektif, bila kasus yang diajukan adalah kasus yang
rumit dan berskala besar.
Berkaitan dengan penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaiman
diatur dalam UUPK pasal 45 melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan
sengketa konsumen, di Indonesia sendiri ada beberapa lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa konsumen yaitu Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen atau BPSK, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia atau YLKI.

2
Indonesia memiliki Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang
didirikan tingkat Kabupaten untuk menyelesaikan sengketa konsumen.
Dalam Pasal 23 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(“UUPK”) mengatur bahwa konsumen dapat mengajukan gugatan pada pelaku
usaha melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau ke badan peradilan.
Jadi sebagai bentuk perlindungan dari negara, konsumen diberi kebebasan sesuai
dengan kemampuan untuk menyelesaikan sengketanya dengan pelaku usaha
melalui jalur pengadilan maupun diluar pengadilan seperti quasi peradilan yang
bernama BPSK.
Pemerintah menjamin adanya perlindungan hukum terhadap konsumen,
dengan membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang
bertugas untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara pelaku usaha dengan
konsumen. Eksistensi BPSK sangat penting bukan saja sebagai bentuk
pengakuan hak konsumen untuk mendapatkan perlindungan dalam penyelesaian
sengketa konsumen secara patut, tetapi juga sebagai badan pengawas terhadap
pencatuman klausula baku oleh pelaku usaha. Pasal 42 ayat (1) Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor
350/MPP/Kep/2001, menyatakan bahwa Putusan BPSK merupakan putusan
yang final dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Dibentuknya BPSK sangat membantu konsumen terutama dalam hal
prosedur beracara yang mudah, cepat, tanpa biaya karena segala biaya yang
timbul sudah dibebankan kepada APBD masing-masing Kabupaten/Kota sesuai
dengan amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Prosedur penyelesaiannya pun tidak rumit harus menggunakan dalil-
dalil hukum yang kaku. Konsumen / pengadu dapat mengajukan gugatan tertulis
maupun tidak tertulis tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan
konsumen. Jadi, penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK tidak
perlu persetujuan kedua belah pihak untuk memilih BPSK sebagai forum
penyelesaian sengketa.

3
B. Rumusan Masalah
Dalam perumusan masalah ini penulis akan merumuskan tentang:
1. Apa Yang dimaksud Perlindungan konsumen ?
2. Apa Kepastian Hukum Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ?

C. Tujuan Dan Manfaat


1. Dapat Mengetahui tentang Perlindungan konsumen.
2. Dapata Menjelaskan Kepastian Hukum Putusan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen.

D. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode
normatif karena penulisan makalah ini juga mengkaji dan meneliti peraturan-
peraturan tertulis. Jenis pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah
pendekatan perundang-undangan (the statute approach) dilakukan dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu
hukum yang ditangani.1

E. Sistematika Penulisan
Penulisan makalah ini ada 5 (lima) bab, dimana masing-masing bab dibagi
lagi atas beberapa sub bab. Uraian singkat atas bab-bab dan sub-sub bab tersebut
akan diuraikan sebagai berikut :
Bab Pertama merupakan Bab Pendahuluan yang menguraikan tentang latar
belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, metode penulisan,
dan sistematika penulisan.
Bab Kedua merupakan bab yang berisi tentang Tinjauan Umum yang
menguraikan tentang Perlindungan Konsumen

1
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Cetakan Keenam, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, h. 93.

4
Bab Ketiga merupakan bab yang membahas tentang rumusan masalah yang
pertama yaitu,Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Bab Keempat merupakan bab yang membahas tentang rumusan masalah
yang kedua yaitu, kekuatan hukum putusan BPSK
Bab Kelima merupakan bab penutup yang berisi tentang kesimpulan dan
saran serta disertai dengan daftar pustaka.

5
BAB II
TINJAUAN UMUM

A. Penegertian Perlindungan Konsumen


Berdasarkan pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999,
konsumen setiap orang pemakai barang danatau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.2

Didalam perpustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen dan konsumen


antara. Pelaku usaha merupakan orang atau lembaga yang berbentuk badan hukum
maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hokum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi.3

Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya


dibidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai
variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Disamping itu, globalisasi dan
perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan
informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan /atau jasa
melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan jasa yang
ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. 4

Konsumen membutuhkan produksi barang atau jasa sesuai dengan


keperluan sehari-hari. Masyarakat yang memproduksi barang dan jasa perlu
memerhatikan kebutuhan-kebutuhan konsumen yang mengonsumsi. Sehubungan
dengan konsumsi John M Keynes berpendapat, “ He argued that proper role of a

2
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonomi, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 159
3
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 159
4
Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi)
Bagian 2, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2001), hlm. 229

6
national government is to make up for private undercomsumption by undertaking its
own spending on final goods and services and by reducing taxes to stimulate
increased private spending.”5

Jumlah penduduk yang semakin meningkat memberikan dorongan pada


peningkatan konsusmsi. Kebutuhan konsumsi masyarakat berpenduduk banyak,
membutuhkan pelayanan yang bervariasi. Konsumsi yang bervariasi memudahkan
produsen dalam memenuhi salah satu jenis konsumsi yang dibutuhkan masyarakat.
Anggota masyarakat pedesaan maupun perkotaan mempunyai kekhusussan prosuksi
yang dibutuhkan untuk konsumsi dirinya dan konsumen. Masyarakat yang memiliki
pengetahuan ilmu konsumsi diharapkan mampu memproduksi barang atau jasa
untuk di konsumsi sendiri maupun konsumen.6

Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen
karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat
terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan
kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. 7

Di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan


kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen
berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk
meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi,
cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. 8

Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran


konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya
pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang Perlindunga Konsumen
5
John M Keynes, The General Theory of Employment, Interest, and Money, (New York:
Harcourt, Brace, and Co, 1936), hlm. 87
6
Mulyono, Konsep Pembiayaan Pendidikan, ( Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 45
7
Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi)
Bagian , hlm. 229
8
Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi)
Bagian , hlm. 229

7
dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya
9
pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.

Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan


kesadaran pelaku usaha yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah
mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal
mungkin. Prinsip ini sangat potensial merugikan kepentingan konsumen, baik secara
langsung maupun tidak langsung. 10

Konsumen menurut Undang-Undang adalah setiap pemakai dan atau


pengguna barang dan jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk
kepentingan pihak lain. Dalam hal ini, Undang-Undang hanya menekankan pada sifat
penggunaan dan pemakaian barang atau jasa tersebut, dengan tidak membedakan
untuk kepentingan siapa barang atau jasa tersebut dipakai atau dipergunakan.11

Di samping itu, undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dalam


pelaksanaanya tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan
menengah. Hal itu dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas
pelanggarannya.12

Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan


merupakan awal dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab
sampai pada terbentuknya Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini

9
Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi)
Bagian 2, hlm. 229
10
Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi)
Bagian 2, hlm. 229
11
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Anti Monopoli, (Jakarta: PT
Grafindo Persada, 1999 ), hlm. 12
12
Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi)
Bagian 2, hlm. 230

8
telah ada beberapa undang-undang yang materinya melindungi kepentingan
konsumen, seperti :13

1. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan


Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang
barang, menjadi undang-undang ;

2. Undang-undang Nomor 2 tahun 1966 tentang Hygiene

3. Undang-undang Nomor 5 tahun 1975 tentang Pokok-pokok


Pemerintahan di daerah

4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal

5. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar


Perusahaan

6. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang perindustrian

7. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan

8. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan


Industri

9. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tenatang Kesehatan

10. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Aggrement


Establishing The World Trade Organizatioan ( Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia )

11. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas

12. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil

13
Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi)
Bagian 2, hlm. 230

9
13. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan

14. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas


Undang-undang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987

15. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan


AtasUndang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten

16. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas


Undang-undang Nomor 19 Tahun 1989 tentang Merek

17. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan


Lingkungan Hidup

18. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran

19. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan

20. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas


Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan 14

Perlindungan Konsumen dalam hal pelaku usaha melanggar hak atas


kekayaan intelektual (HAKI) tidak diatur dalam Undang-undang tentang
Perlindungan Konsumen ini karena sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 13
Tahun 1997 tentang Paten dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang
Merek yang menghasilkan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang
melanggar ketentuan tentang HAKI.15

B. Asas dan Tujuan

14
Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi)
Bagian 2, hlm. 231
15
Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi)
Bagian 2, hlm. 231

10
Perlindungan konsumen berdasarkan manfaat, keadilan, keseimbangan,
keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum. 16

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama


berdasarkan 5 asas yang relevan dalam pembangunan nasional yaitu :

1. Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala


upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen
dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2. Asas keadilan, dimaksukan agar partisipasi seluruh rakyat dapat


diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan


antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam
arti materil maupun spiritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk


memberikan jaminan atas kemanan dan keselamatan kepada
konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum, dimasudkan agar baik pelaku usaha maupun


konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin
kepastian hukum. 17

16
Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi)
Bagian 2, hlm. 233
17
Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi)
Bagian 2, hlm. 234

11
Perlindungan konsumen bertujuan: 18

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen


untuk melindungi diri

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara


menghindarkan dari akses negatif pemakaian barang dan.atau jasa

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,


dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen

4. Menetapkan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur


kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentinganya


perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin


kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen. 19

C. Hak dan Kewajiban


Berdasarkan Pasal 4 dan 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, hak dan
kewajiban konsumen antara lain sebagai berikut: 20

18
Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi)
Bagian 2, hlm. 234
19
Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi)
Bagian 2, hlm. 234
20
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 161

12
1. Hak Konsumen

a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam


mengkonsumsi barang dan/atau jasa

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang


dan/atau jasa tersebut sesuai nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa

d. Hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau


jasa yang digunkan

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan konsumen dan


upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsmen secara patut

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen

g. Hak untuk diperlukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif

h. Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan/atau


penggantian barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak semana mestinya

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-


undangan lainnya.21

2. Kewajiban Konsumen

21
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 161

13
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi
keamanan dan keselamatan

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang


dan/atau jasa

c. Membayar seusai dengan nilai tukar yang disepakati

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan


konsumen secara patut. 22

D. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha


Berdasarkan Pasal 6 dan 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 hak dan
kewajiban pelaku usaha adalah sebagai berikut: 23

1. Hak Pelaku Usaha

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan


mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen


yang beritikad tidak baik

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam


penyelesaian hukum sengketa konsumen

d. Hak untuk rehabilitas nama baik apabila terbukti secara hukum


bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan
22
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 162
23
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 162

14
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya.24

2. Kewajiban Pelaku Usaha

a. Baritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi


dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur


serta tidak diskriminatif

d. Menjamin mutu barang atau jasa yang diproduksi dan/atau


diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutut barang
dan.atau jasa yang berlaku

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, atau


mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan
atau garansi atas barang yang dibuat atau diperdagangkan

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau pengganti atas kerugian


akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan

g. Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila


barang yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.25

E. Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha

24
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 162
25
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 163

15
Dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
mengatur perbuatan hukum yang dilarang bagi pelaku usaha adalah larangan dalam
memproduksi/memperdagangkan, larangan dalam menawarkan /
mempromosikan / mengiklankan, larangan penjualan secara obral/lelang, dan
larangan dalam ketentuan periklanan.26

1. Larangan dalam Memproduksi/Memperdagangkan

Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan


dan/atau jasa yang :

a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang di


persyaratkan dan ketentuan perundang-undangan

b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah
dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam lebel atau
etiket barang tersebut.

c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam


hitungan dalam menurut ukuran yang sebenarnya.

d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau


kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut.

e. Tidak seusai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolaan,


gaya, mode atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan
dalam label atau keterangan barang dan jasa tersebut.

f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,


keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan jasa tersebut.

26
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 163

16
g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu.

h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana


dinyatakan “Halal” yang dicantumkan dalam label

i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang


memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto,
komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan,
nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk
penggunaan menurut ketentuan harus dipasang/dibuat

j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan


barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan prundang-
undangan yang berlaku.27

Selain itu, pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak,


cacat, atau bekas, dan tercemar tanpa informasi secara lengkap dan benar atasa
barang yang dimaksud.28

Sementara itu, pelaku usaha yang melakukan pelanggaran atas larangan


diatas, dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib
menariknya dari peredaran.29

2. Larangan dalam Menawarkan / Mempromosikan / Mengiklankan.

Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan


suatau barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah: 30

27
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 164
28
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 164
29
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 164
30
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 165

17
a. Barang tersebut telah memenuhi atau memiliki potongan harga,
harga khusus, standart mutu tertentu, gaya atau mode tertentu,
karajteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu

b. Barang tersebut dalam keadaan baik atau baru

c. Barang atau jasa tersebut telah mendapat atau memiliki


sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan
tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesoris tertentu.

d. Barang atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang


mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi

e. Barang atau jasa tersebut tersedia

f. Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi

g. Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu

h. Barang tersebut berasal dari daerah tertentu

i. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan


jasa lain

j. Menggunakan kata-kata yang berlebihan seperti aman, tidak


berbahaya, tidak mengandung resiko, atau efek sampingan
tanpa keterangan yang lengkap

k. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

Dengan demikian, pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang
ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan,
mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan,
misalnya:31

31
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 165

18
a. Harga atau tarif suatau barang atau jasa

b. Kegunaan suatu barang atau jasa

c. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang atau
jasa

d. Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan

e. Bahaya penggunaan barang atau jasa

Pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa, dilarang melakukan


dengan cara pemaksaan atau cara lain yang daoat menimbulkan gangguan, baik fisik
maupun psikis terhadap konsumen. 32

Sementara itu, pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa melalui
pesanan dilarang, misalnya :

a. Tidak menepati pesanan atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai


dengan yang dijanjikan

b. Tidak menepati janji atau suatu pelayanan atau prestasi 33

3. Larangan dalam Penjualan Secara Obral/Lelang

Pelaku usaha dalam penjualan yang dilakukan melalui cara obral


atau lelang, dilarang mengelabui/ menyesatkan konsumen, antara lain: 34

a. Menyatakan barang atau jasa tersebut seolah-olah telah


memenuhi standart mutu tertentu
32
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 166
33
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 166
34
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 166

19
b. Menyatakan barang atau jasa tersebut seolah-olah tidak
mengandung cacat tersembunyi

c. Tidak berniat menjual barang yang ditawarkan melainkan


dengan maksud menjual barang lain

d. Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu atau jumlah


cukup dengan maksud menjual barang lain

e. Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam


jumlah cukup ddengan maksud menjual jasa yang lain

f. Menaikan harga atau tarif barang dan jasa sebelum melakukan


obral.

4. Larangan dalam Periklanan

Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan, misalnya :

a. Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan,


kegunaan, dan harga barang atau tarif jasa, serta ketepatan
waktu penerimaan barang atau jasa.

b. Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang atau jasa tersebut

c. Memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat mengenai


barang atau jasa

d. Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan


atau jasa

e. Mengeksploitasi kejadian atau seseorang tanpa seizin yang


berwenang atau persetujuan yang bersangkutan

20
f. Melanggar etika atau ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai periklanan35

F. Klausula Baku dalam Perjanjian


Di dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999, pelaku usaha
dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang
membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen atau perjanjian
antara lain:36

1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha

2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali


barang yang dibeli konsumen

3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali


uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli konsumen

4. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik


secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindak
sepihak yang berkaitan dengan barang yang diberi konsumen secara
angsuran

5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau


pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen

6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa

7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa


aturan baru, tambahan, lanjutan atau pengubahan lanjutan yang dibuat
sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa
yang dibelinya
35
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 167
36
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 167

21
8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha
untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli oleh konsumen seara anggsuran.

Pelaku usaha dilarang mencantumkan klasula baku yang letak atau


bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti. Setiap klasula baku yang telah ditetapkan oleh
pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memeuhi ketentuan sebagaimana
telah dinayatakan batal demi hukum. Oleh karena itu, pelaku usaha wajib
menyesuaikan klasula baku yang bertentangan dengan undang-undang.

G. Tanggung Jawab Pelaku Usaha


Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan
atau diperdagangkan. Tanggung gugat produk timbul dikarenakan kerugian yang
dialami konsumen sebagai akibat dari “produk yang cacat”, bisa dikarenakan
kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan /
jaminan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku
usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum. 37

Di dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 diatur Pasal 19 sampai


dengan Pasal 28. Dalam Pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha
terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti rugi
kerugian atau kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen. 38

Bentuk kerugian konsumen dengan ganti rugi berupa pengembalian uang,


penggantian barang atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, perawatan kesehatan
atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.39
37
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 168
38
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 168
39
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 168

22
Sementara itu, Pasal 20 dan 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku
usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian,
sedangkan Pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidakya unsur
kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam Pasal 19. 40

Dengan demikian, peradilan pidana kasus konsumen menganut sistem


beban pembuktian terbalik. Jika pelaku usaha menolak atau tidak meberi tanggapan
dan tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen maka menurut Pasal 23
dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan ke
badan peradilan ditempat kedudukan konsumen. 41

Pelaku usaha yang menjual barang atau jasa kepada pelaku usaha lain
bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila: 42

1. Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan


perubahan apapun atas barang atau jasa tersebut.

2. Pelaku usaha lain di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya
perubahan barang atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak
sesuai dengan contoh mutu dan komposisi.

Pelaku usaha sebagaimana dimaksdu pada ayat (1) dibebaskan dari


tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi atau gugatan konsumen apabila pelaku
usaha lain yang membeli barang atau jasa menjual kembali kepada konsumen
dengan melakukan perubahan atas barang atau jasa tersebut. 43

Di dalam Pasal 27 disebutkan hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari


tanggung jawab atas kerugian yang di derita konsumen, apabila: 44
40
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 168
41
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 169
42
Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi)
Bagian 2, hlm. 243
43
Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi)
Bagian 2, hlm.243
44
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 169

23
1. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak
dimaksudkan untuk diedarkan.

2. Cacat barang timbul pada kemudian hari artinya seduah tanggal yang
mendapat jaminan dari pelaku usaha sebagaimana diperjanjikan, baik
tertulis maupun lisan.

Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi


barang artinya ketentuan standardisasi yang telah ditetapkan
pemerintah berdassrkan kesepakatan semua pihak.

3. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen.

4. Lewatnya jangka waktu penentuan 4 tahun sejak barang dibeli atau


lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan. Jangka waktu yang
diperjanjikan itu adalah garansi.45

H. Sanksi
Sanksi yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999, yang
tertulis dalam Pasal 60 sampai dengan Pasal 63 dapat berupa sanksi administratif
dan sanksi pidana.46

1. Sanksi Administratif

a. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berwenang menjatuhkan


sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, pasal 25, dan Pasal 26.

b. Sankso administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp.


200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

45
Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi)
Bagian 2, hlm.244
46
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 169

24
2. Sanksi Pidana

a. Pelaku usaha yang menlanggar ketentuan sebagaimana dimaksud di


dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17
ayat (1) dan Pasal 18 di pidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah)

Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimkasud


dalam Pasal 11, pasal 12, Pasal 13 yat (1), pasal 14, Pasal 16 dan
Pasal 17 ayat (1) di pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana
dena paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 47

Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 62, dapat


dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:48

1. Perampasan barang tertentu

2. Pengumuman keputusan hakim

3. Pembayaran ganti rugi

4. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbilnya


kerugian konsumen

5. Kewajiban penarikan barang dari peredaran

6. Pencabutan izin usaha.

47
Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi)
Bagian 2, hlm. 244
48
Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi)
Bagian 2, hlm.244

25
BAB III
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

A. Pengertin Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)


Penyelesaian sengketa yang timbul dalam dunia bisnis diharapkan sedapat
mungkin tidak merusak hubungan bisnis selanjutnya dengan siapa dia pernah
terlibat suatu sengketa. Hal ini tentu sulit ditemukan apabila pihak yang
bersangkutan membawa sengketanya ke pengadilan, karena proses penyelesaian
sengketa melalui pengadilan (litigasi) akan berakhir dengan kekalahan salah satu
pihak dan kemenangan pihak lainnya. 49

Keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dengan


menyelesaiakan sengketa di luar pengadilan dimana badan ini merupakan peradilan
kecil (small claim court) Pasal 49 ayat (1) UUPK dapat menjadi bagian dari
pemerataan keadilan, terutama bagi konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku
usaha atau produsen, karena sengketa di antara konsumen dan pelaku usaha atau
produsen biasanya nominalnya kecil sehingga tidak mungkin mengajukan
sengketanya di pengadilan karena tidak sebanding antara biaya perkara dengan
besarnya kerugian yang akan dituntut.50 Dengan terbentuknya lembaga Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen, maka penyelesaian sengketa konsumen dapat
dilakukan secara cepat, mudah dan murah. Cepat karena penyelesaian sengketa
melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen harus sudah diputus dalam
tenggang waktu 21 hari kerja dan tidak dimungkinkan banding yang dapat
memperlama proses penyelesaian perkara. 51 Mudah karena prosedur administratif
dan proses pengambilan putusan yang sangat sederhana serta dapat dilakukan

49
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Edisi Pertama
Cetakan Pertama, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 234.
50
J. Widjiantoro dan Al Wisnubroto, 2004, Efektivitas Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) dalam Upaya Perlindungan Konsumen, Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta, h. 46.
51
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Edisi Pertama
Cetakan Pertama, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 265.

26
sendiri oleh para pihak tanpa diperlukan kuasa hukum. Murah karena biaya
persidangan yang dibebankan sangat ringan dan dapat dijangkau oleh konsumen.

B. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui BPSK


Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas
menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. BPSK
ini dibentuk untuk menyelesaikan sengketa konsumen yang berskala kecil dan
bersifat sederhana.

Keberadaan BPSK dapat menjadi bagian dari pemerataan keadilan, terutama


bagi konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha, karena sengketa diantara
konsumen dan pelaku usaha biasanya nominalnya kecil sehingga tidak mungkin
mengajukan sengketanya ke pengadilan karena tidak sebanding antara biaya perkara
dengan besarnya kerugian yang akan dituntut.

Pembentukan BPSK sendiri didasarkan pada adanya kecendrungan


masyarakat yang segan untuk beracara di pengadilan karena posisi konsumen yang
secara sosial dan finansial tidak seimbang dengan pelau usaha. Dengan
terbentuknya BPSK, maka penyelesaian konsumen dapat dilakukan secara cepat,
mudah dan murah. Cepat karena penyelesaian sengketa melalui BPSK harus sudah
diputus dalam tenggang waktu 21 hari kerja dan tidak dimungkinkan banding yang
dapat memperlama proses penyelesaian sengketa. Mudah karena prosedur
administratif dan proses pengambilan putusan yang sangat sederhana dan dapat
dilakukan sendiri oleh para pihak tanpa diperlukan kuasa hukum. Murah karena
biaya persidangan yang dibebankan sangat ringan dan dapat terjangkau oleh
konsumen. Jika putusan BPSK dapat diterima oleh kedua belah pihak, maka putusan
BPSK bersifat final, mengikat sehingga tidak perlu diajukan ke pengadilan.

Proses penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK Setiap konsumen


yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha dapat mengadukan masalahnya kepada
BPSK, baik secara langsung maupun tidask langsung, diwakili kuasanya maupun oleh

27
ahli warisnya. Pengaduan yang disampaikan oleh kuasanya maupun oleh ahli
warisnya hanya dapat dilakukan apabila konsumen yang bersangkutan dalam
keadaan sakit, meninggal dunia, lanjut usia, belum dewasa atau warga negara asing.
Pengaduan dapat disampaikan secara lisan atau tulisan kepada secretariat BPSK di
kota atau kabupaten tempat domisili konsumen atau di kota / kabupaten tersekat
dengan domisili konsumen.

Penyelesaian sengketa konsumen di BPSK diselenggarakan semata-mata


untuk mencapai kesepakatan mengenai bantuk dan besarnya ganti keerugian dan
atau menganai tindakan terntentu untuk menjamin tidak akan terulang kembali
kerugian yang diderita oleh konsumen. Ukuran kerugianmateri yang dialami
konsumen ini didasarkan pada besarnya dampak dari penggunaan produk barang/
jasa tersebut terhadap konsumen. Bentuk jaminan yang dimaksud adalah berupa
pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali
perbuatan yang telah merugikan konsumen tersebut.

Pada prinsipnya penyelesaian konsumen sedapat mungkin dilakukan secara


damai, sehingga dapat memuaskan para pihak yang bersengketa. Ada faktor penting
yang berkaitan dengan pelaksanaan sengketa di luar pengadilan juga mempunyai
kadar yang berbeda-beda :

1. apakah partisipasi penyelesaian sengketa di luar pengadilan wajib


dilakukan oleh para pihak atau hanya bersifat sukarela

2. Apakah putusan dibuat oleh para pihak sendiri atau pihak ketiga

3. Apakah prosedur yang digunakan bersifat formal atau tidak formal

4. Apakah para pihak dapat diwakili oleh pengacaranya atau para pihak
sendiri yang tampil

5. Apakah dasar untuk menjatuhkan putusan adalah aturan hukum atau


ada criteria lain

28
6. Apakah putusan dapat dieksekusi secara hukum atau tidak

Tatacara penyelesaian sengketa BPSK diatur dalam UUPK jo kepmenperindag


no 350/MPP/12/2001 tentang pelaksanaan tugas dan wewenang BPSK. Proses
penyelesaiannya pun diatur sangat sederhana dan sejauh mungkin dihindari suasana
yang formal

C. Tahap Pengajuan Gugatan


Mengajukan gugatan ke BPSK, dapat dilakukan sendiri atau kuasanya atau
ahli warsinya, secara tertulis ke sekretarian BPSK, sekretariat akan memberikan
tanda terima, bila permohonan diajukan secara lisan maka sekretariat akan
mencatat permohonan tersebut dalam sebuah formulis yang disediakan secara
khusus dan dibubuhi tanggal dan nomot registrasi. Catatan yang penting,
permohonan harus lengkap, karena kalau tidak ketua BPSK akan menolak
permohonan tersebut.

Pemanggilan pelaku usaha, dibuat surat panggilan yang memuat hari,


tanggal, jam dan tempat persidangan serta kewajibannya untuk memberikan
jawaban terhadap penyelesaian sengketa konsumen untuk diajukan pada
persidangan pertama. Jika pada hari pertama pelaku usaha tidak hadir tidak
memnuhi panggilan, pelaku usaha dapat dipanggil sekali lagi, jika tetap tidak hadir
maka BPSK dapat meminta bantuan penyiidik untuk menghadirkan pelaku usaha
tersebut.

Jika pelaku usaha hadir, maka konsumen memilih cara penyelesaian


sengketeanya yang harus disetujui oleh pelaku usaha, yakni yang bisa dipilih adalah
konsiliasi, mediasi dan arbitrasi. Jika yang dipilih para pihak adalah konsiliasi atau
mediasi, maka ketua BPSK segera menunjuk majelis sesuai ketentuan untuk
ditetapkan sebagai konsiliator atau mediator. Jika yang dilipilih adalah arbitrasi,
maka prosedurnya adalah para pihak memilih atbiter ketiga dari anggota BPSK yang

29
berasal dari unsur pemerintah sebagai ketua majelis. Persidangan dilaksanakan
selambat-lambatnya hari kerja ke-7 terhitung sejak diterimanya permohonan.

D. Tahap Persidangan
Tahap persidangan ini meliputi tiga hal, yakni persidangan secara konsiliasi,
mediasi atau arbitrasi tergantung dari cara yang dipilih oleh yang bersengketa.

1. persidangan dengan cara konsiliasi

konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa diantara para pihak dengan


melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memihak, pihak ini disebut konsiliator.
Konsiliator hanya melakukan tindakan seperti mengatur waktu dan tempat
pertemuan para pihak, mengarahkan subjek pembicaraan, membawa pesan dari
satu pihak ke pihak lain jika pesan tersebut tidak mungkin disampaikan langsung
oleh para pihak. Penyelesaian sengketa model ini mengacu pada konsensus antara
pihak, dimana pihak netral dapat berperan secara aktif maupun tidak aktif.

Konsiliator dapat mengusulkan pendapatnya, namun tidak berwenang


memutus perkaranya. Penyelesaian sengketa konsumen melalui konsiliator ini
dilakukan sendiri oleh pihak yang bersengketa dengan didampingi majelis BPSK yang
bertidak pasif sebagai konsiliator. Majelis menyerahkan sepenuhnya proses
penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun jumlah
kerugian.

Hasil musyawarah yang merupakan kesepakatan anta konsumen dan pelaku


usaha yang bersengketa selanjutnya dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis yang
ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa dan diserahkan kepada majelis
untuk dituangkan dalam keputusan majelis BPSK yang menguatkan perjanjian
tersebut.

2. persidangan dengan cara mediasi

30
mediasi ialeh proses negosiasi penyelesaian sengketa atau pemecahan
masalah dimana pihak-pihak ketiga yang tidak memihak bekerjasama dengan para
pihak yang bersengketa membantu memperoleh kesepakatan perjanjian yang
memuaskan, pihak ini disebut mediator.

Mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa,


melainkan hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan
yang diserahkan kepadanya. Kesepakatan dapat terjadi dengan mediasi, jika para
pihak yang bersengketa berhasil mencapai saling pengertian dan bersama-sama
merumuskan penyelesaian sengketa dengan arahan konkret dari mediator. Mediator
menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik
mengenai bentuk maupun besarnya ganti kerugian atau tindakan tertentu untuk
menjamin tidak terulangnya kembali kerugian konsumen.

Hasil musyawarah merupakan kesepakatan antara konsumen dengan pelaku


usaha. Selanjutnya dibuat dalam bentuk perjanjian, ditandatangani oleh para pihak
dan diserahkan kepada majelis BPSK untuk dikukuhkan dalam keputusan majelis
BPSK untuk menguatkan perjanjian tersebut. Putusan tersebut mengikat kedua
belah pihak dana mediasi tidak memuat sanksi administratif.

Persidangan dengan cara arbitrase

Arbitrase menurut UU no.30 tahun 1999 tentang arbitrase adalah cara


penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan, yang didasarkan ppada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Arbitrase ini adalah bentuk alternatif paling formal untuk menyelesaikan sengketa
sebelum bertlitigasi.

Pada proses ini pihak yang bersengketa mengemukakan masalah mereka


kepada pihak ketiga yang netral dan memberinya wewenang untuk memberi
keputusan.

31
E. Tahap Putusan
Putusan majelis BPSK dapat dibedakan atas dua jenis putusan, yaitu;

1. Putusan BPSK dengan cara konsiliasi atau mediasi, putusan ini pada dasarnya
hanya mengkukuhkan isi perjanjian perdamaian yang telah disetujui dan
ditandatangani oleh kedua belah pihak yang bersengketa.

2. Putusan BPSK dengan cara arbitrasi, seperti halnya putusan perkara perdata,
memaut duduknya perkara dan pertimbangan hukumunya.

Putusan majelis BPSK sedapat mungkin didasarkan atas musyawarah untuk


mencapai mufakat, namun jika telah diusahakansungguh-sungguh ternyata hasilnya
tidak berhasil mencapai mufakat, maka putusan diambil dengan suara terbanyak.
Keputusan mediasi dan konsiliasi tidak memuat sanksi administratif sedangkan
arbitrase dibuat dengan putusan majelis dan ditandatangani oleh ketua dan anggota
majelis, keputusan majelis dalam arbitrase dapat memuat sanksi administratif.
Putusan BPSK dapat memuat; perdamaian, gugatan ditolak atau gugatan dikabulkan.

Problematika hukum muncul, dengan mengacu pada ketentuan pasal 54


ayat 3 UUPK maupun pasal 42 ayat 1 keputusan menteri perindustrian dan
perdagangan nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tersebut, putusan BPSK, adalah final
dan mengikat dan tidak dimungkinkan lagi untuk mengajukan banding atau
keberata. Sebaliknya, dalam pasal 56 ayat 2 UUPK, masih dibuka peluang untuk
mengajukan keberatan kepada pengadilan negari, dalam tenggang waktu 14 hari
setelah putusan BPSK itu diberitahukan. Adanya kendala-kendala yang dihadapi
BPSK dalam mengimplementasikan UUPK, yakni ; kendala kelembagaan /
institusional yaitu eksistensi BPSK yang hanya ada dan aktif / berjalan dibeberapa
kota saja, ada beberapa argumentasi bahwa BPSK bukanlah badan yang menjalani
fungsi yudisial sepenuhnya, ketiga cara penyelesaian sengketa yang diutarakan di
atas pada hakikatnya merupakan pilihan penyelesaian sengketa yang dilakukan
secara nonlitigasi. Secara struktural BPSK dibawah departemen perdagangan

32
sehingga menjalankan tugasnya masih melekat kewenangan eksekutif sehingga
secara tidak langsung membuka kemungkinan munculnya kendala-kendala dalam
melaksanakan tugas-tugas judisial. Kendala pendanaan, kendala SDM BPSK, kendala
peraturan, kendala pembinaan dan pengawasan serta tidak adanya koordinasi
aparat penanggungjawabnya, kurangnya respons dan pemahaman dari peradilan
terhadap kebijakan perlindungan konsumen, kurangnya sosialisasi dan rendahnya
tingkat kesadaran hukum konsumen, kurangnya respons masyarakat terhadap UUPK
dan lembaga BPSK.

33
BAB IV
KEKUATAN HUKUM PUTUSAN BPSK

A. Kekuatan Hukum Putusan BPSK dalam Menjamin Perlindungan Hukum bagi Konsumen
Perlindungan konsumen adalah upaya yang terorganisir yang didalamnya
terdapat unsur-unsur pemerintah, konsumen dan pelaku usaha yang jujur dan
bertanggungjawab untuk meningkatkan hak-hak konsumen. Dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang PerlindunganKonsumen, mendefinisikan perlindungan
konsumen sebagai berikut :

“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya


kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”

Pemerintah menjamin adanya perlindungan hukum terhadap konsumen,


dengan membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang bertugas
untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara pelaku usaha dengan konsumen.
Eksistensi BPSK sangat penting bukan saja sebagai bentuk pengakuan hak konsumen
untuk mendapatkan perlindungan dalam penyelesaian sengketa konsumen secara
patut,tetapi juga sebagai badan pengawas terhadap pencatuman klausula baku oleh
pelaku usaha. Pasal 42 ayat (1) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Republik Indonesia Nomor 350/MPP/Kep/2001, menyatakan bahwa Putusan BPSK
merupakan putusan yang final dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat belum dapat melindungi
konsumen karena terjadi ketentuan yang bertentangan mengenai arti putusan BPSK
yang bersifat final dan mengikat. Putusan arbitrase tidak mempunyai kekuatan
eksekutorial karena tidak memiliki kepala putusan atau irah-irah Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Asas-asas yang relevan sebagai dasar acuan
putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat ke depan adalah Hak Asasi Manusia

34
(HAM), asas kepastian hukum, asas tidak melampaui atau mencampuradukkan
kewenangan, asas keadilan, dan asas efektivitas.

Menurut S. Sothi Rachagan (Regional Director of CI-ROAP) ada beberapa


prinsip yang harus dipenuhi dalam pengelolaan lembaga penyelesaian sengketa
konsumen :

1. Aksesibilitas yakni bagaimana mengupayakan agar lembaga penyelesaian


sengketa konsumen dapat diakses seluas-luasnya oleh masyarakat. Prinsip
ini meliputi elemen-elemen seperti: biaya murah, prosedur yang
sederhana dan mudah, pembuktian yang fleksibel, bersifat komprehensif,
mudah diakses langsung, dan tersosialisasi serta tersedia di berbagai
tempat.
2. Fairness dalam arti keadilan lebih diutamakan daripada kepastian hukum
sehingga sebuah lembaga penyelesaian sengketa konsumen setidaknya
harus bersifat mandiri (independent) dan dapat dipertanggungjawabkan
pada masyarakat (public accountability)
3. Efektif, sehingga lembaga penyelesaian sengketa harus dibatasi cakupan
perkaranya (kompleksitas dan nilai klaim) dan setiap perkara yang masuk
harus diproses secepat mungkin tanpa mengabaikan kualitas penanganan
perkara.

Untuk dapat dijalankannya prinsip-prinsip tersebut maka cara penyelesaian


sengketa dengan pendekatan hukum yang legal-positivistik harus diubah dengan
pendekatan hukum yang lebih kritis, responsif atau progresif. Secara singkat
paradigma hukum progresif bertumpu pada filosofi dasarnya yakni hukum untuk
manusia, yang dimaknai bahwa sistem manusia (sikap; perilaku) berada di atas
sistem formal (aturan; keputusan administratif; prosedur; birokrasi). Dengan
demikian bila sistem formal tidak bisa mewujudkan cara penyelesaian konsumen

35
yang utuh, efektif dan adil atau memuaskan para pihak, maka sistem manusia harus
mampu mewujudkan sendiri.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Perlindungan


Konsumen maka konsumen di Indonesia mendapat jaminan hukum yang pasti akan
hak-haknya sebagai konsumen, khususnya dari tindakan-tindakan yang tidak adil dari
pelaku usaha.

B. Upaya Hukum Terhadap Putusan BPSK


Upaya hukum terhadap putusan BPSK tidak terlepas dari aspek filosofisnya
sebagaimana termuat dalam alinea ke-2 dan ke-4 Pembukaan Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Utilitarianisme merupakan teori kebahagiaan terbesar yang mengajarkan


tiap manusia untuk meraih kebahagiaan (kenikmatan) terbesar untuk orang
terbanyak, Konsep pemikiran utilitarianisme ini, nampak melekat dalam alinea ke-
2 Pembukaan UUD 1945 terutama pada makna adil dan makmur, sebagaimana
dipahami bahwa tujuan hukum pada dasarnya adalah memberikan kesejahteraan
bagi masyarakat, sesuai ungkapan Betham “The great happiness for the greatest
number” (Kebahagiaan sebesar-besarnya untuk masyarakat sebanyak-banyaknya).
Makna adil dan makmur harus dipahami sebagai kebutuhan masyarakat Indonesia
baik bersifat rohani ataupun jasmani. Secara yuridis hal ini tentu saja menunjuk
kepada seberapa besar kemampuan hukum untuk dapat memberikan kemanfaatan
kepada masyarakat, dengan kata lain seberapa besar sebenarnya hukum mampu
melaksanakan atau mencapai hasil-hasil yang diinginkan, karena hukum dibuat
dengan penuh kesadaran oleh Negara dan ditujukan kepada tujuan tertentu.

Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada


seseorang atau badan hukum untuk hal tertentu untuk melawan putusan hakim
sebagai tempat bagi pihak-pihak yang tidak puas dengan putusan hakim yang
dianggap tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, tidak memenuhi rasa keadilan,

36
karena hakim juga seorang manusia yang dapat melakukan kesalahan/kekhilafan
sehingga salah memutuskan atau memihak salah satu pihak. Lembaga yang
menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen diluar pengadilan
dalam hal ini adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Apabila berbicara tentang upaya hukum keberatan terhadap putusan BPSK,


kita harus melihat sejauh mana kekuatan hukum putusan BPSK itu berlaku.
Bedasarkan Pasal 42 ayat (1) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Republik Indonesia Nomor 350/MPP/Kep/2001, menyatakan bahwa putusan BPSK
merupakan putusan yang final dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Final berarti penyelesaian sengketa mestinya sudah berakhir dan selesai. Mengikat
berarti memaksa dan sebagai sesuatu yang harus dijalankan para pihak. Prinsip res
judicata pro vitatate habetur, suatu putusan yang tidak mungkin lagi untuk dilakukan
upaya hukum, dinyatakan sebagai putusan yang mempunyai kekuatan hukum pasti.

Berdasarkan prinsip demikian, jelas putusan BPSK mestinya harus dipandang


sebagai putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van
gewijsde), namun pada Pasal 41 ayat (3) Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Republik Indonesia Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, menyatakan bahwa
konsumen atau pelaku usaha yang menolak putusan BPSK, dapat mengajukan
keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat
belas) hari ketiga terhitung sejak keputusan BPSK diberitahukan. Para pihak ternyata
masih bisa mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri paling lambat 14 hari
setelah pemberitahuan putusan BPSK. Hal ini bertentangan dengan sifat putusan
BPSK yang bersifat final dan mengikat.

Kejadian tersebut disebabkan karena lemahnya kedudukan dan kewenangan


yang diberikan oleh Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
350/MPP/Kep/2001 terhadap BPSK terutama menyangkut putusan yang bersifat
final dan mengikat namun dapat dilakukan dua kali upaya hukum keberatan dan
upaya hukum kasasi. BPSK adalah sebagai lembaga Negara independen atau

37
lembaga negara komplementer dengan tugas dan wewenang yang atributif untuk
melakukan penegakan hukum perlindungan konsumen. BPSK merupakan lembaga
penunjang dalam bidang quasi peradilan. Oleh karenanya, kekuatan BPSK bersifat
final dan mengikat. Makna final yang dimaksud dalam putusan BPSK adalah final
pada tingkat BPSK saja sedangkan pada tingkat pengadilan putusan BPSK tidak
bersifat final atau masih dapat dilakukan upaya hukum keberatan ke pengadilan
negeri dan kasasi ke mahkamah agung.

Untuk mengatasi masalah tersebut, Mahkamah Agung sudah menerbitkan


Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan
Keberatan Terhadap Putusan BPSK. Dalam Peraturan Mahkamah Agung ini
disebutkan bahwa pada hakikatnya tidak dapat dibenarkan mengajukan keberatan
terhadap putusan BPSK kecuali yang memenuhi persyaratan. Pasal 2 Peraturan
Mahkamah Agung ini menegaskan bahwa yang bisa diajukan keberatan adalah
terhadap putusan arbitrase BPSK.

C. Kendala yang Dialami oleh BPSK dalam Praktik Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa
Konsumen
Kendala Yang Dihadapi Oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam
Menyelesaikan Sengketa Konsumen yang pertama yaitu kendala kelembagaan dapat
ditinjau dari kompleksnya peran yang diberikan untuk badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen sehingga menimbulkan kendala pada tahap pelaksanaannya, dalam hal
ini dapat diuraikan mengenai peran yang diberikan kepada Badan Penyelesaian
sengketa konsumen yaitu : peran sebagai penyedia jasa penyelesaian sengketa
sebagai mediator, konsiliator, arbiter, peran sebagai konsultan masyarakat atau
public defender, peran sebagai administrative regulatoratau sebagai pengawas dan
pemberi sanksi, peran ombudsman, ajudicatoratau pemutus. Berdasarkan pasal 52
Undag-undang Perlindungan Konsumen jo. SK Menperindag No.
350/MPP/Kep/12/2001 adalah: (a). melaksnakan penanganan dan penyelesaian

38
sengketa konsumen dengan cara konsiliasi, mediasi dan abitrase. (b). Memberikan
konsultasi mengenai perlindungan konsumen (c) melakukan pengawasan terhadap
pencatuman klausula baku (d). Melaporkan kepada penyidik jika terjadi pelanggaran
Undang-undang perlindungan konsumen. (e). Menerima pengaduan tertulis
maupun tidak tertulis dari konsumen terhadap terjadinya pelanggaran perlindungan
konsumen. (f). Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan
konsumen. (g). Memanggil pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen. (h). Memanggil saksi-saksi atau saksi ahli atau
setiap orang yang diduga mengetahui pelanggaran mengenai perlindungan
konsumen. (i). Meminta bantuan kepada penyidik untuk menghadirkan saksi, saksi
ahli, atau setiap orang pada butir g dan butir h yang tidak bersedia memenuhi
panggilan dari Badan penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). (j). Mendapatkan,
meneliti dan/atau menilai surat dokumen atau bukti lain guna penyelidikandan/atau
pemeriksaan. (k). Memutuskan dan menetapkan ada tidaknya kerugian di pihak
konsumen. (l). Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen (m). Menjatuhkan sanksi
administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang
perlindungan konsumen.

Kedua Kendala Pendanaan, salah satu faktor kurang optimalnya Badan


Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah karena kurangnya dukungan dana baikdari
Pemerintah Pusat maupun dari Pemerintah Daerah, Pembagian alokasi anggaran ini
adalah untuk honor anggota/sekretariat badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sedangkan biaya
operasional dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)
Kabupaten/Kota masing-masing, hanya saja mengenai besaran alokasi anggaran ini
tidak diatur secara rinci. Selain itu menyangkut kesiapan alokasi dari APBD tidak
maksimal dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, partisipasi daerah selama
ini dalam alokasi dana untuk efektivitas Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

39
masih sangat minim hal ini mempengaruhi kinerja Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen.

Ketiga kendala Sumber Daya Manusia (SDM) Badan Penyelesaian Sengketa


Konsumen. Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu faktor pendukung
terhadap optimalisasi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, karena sebaik
apapun suatu konsep pembentukan badan/lembaga tetapi tidak didukung oleh
sumber daya manusia yang mempunyai kompetensi yang baik pula maka suatu
badan/lembaga itu pun akan jauh dari keinginan atau cita-cita.

Keempat rendahnya kesadaran hukum perlindungan konsumen. Hal ini juga


tidak kalah penting dalam cita-cita optimalisasi Badan Penyelesaiaan sengketa
konsumen, kesadaran hukum

mengenai hak- hak konsumen yang belum diketahui oleh masyarakat luas
sehingga hal – hal yang berkaitan dengan masalah-masalah konsumen seringkali
tidak dapat diselesaikan sesuai dengan hak – hak yang ada pada konsumen yang
diaturdalam Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.

D. Upaya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Menciptakan Konsumen dan


Pelaku Usaha yang Cerdas dan Sadar Akan Hak dan Kewajibannya
Ada kalanya masyarakat konsumen kurang atau belum mengetahui
berbagai hal dalam hal ini walaupun tugas yang berkaitan dengan pemberdayaan
perlindungan konsumen itu secara tegas diatur pada tugas dan wewenang lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat namun hal ini tidak dapat
mengesampingkan peran dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam
menciptakan konsumen dan pelaku usaha yang cerdas dan sadar akan hak dan
kewajibannya. Bahwa berdasarkan pasal 52 Undang-undang Perlindungan
Konsumen jo. SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 huruf (b), dimana salah

40
satu tugas BPSK adalah memberikan konsultasi mengenai perlindungan konsumen,
konsultasi ini dilakukan dalam upaya menciptakan konsumen dan pelaku usaha yang
cerdas dan sadar akan hak dan kewajibannya. Selain itu Sosialisasi dari BPSK sangat
dibutuhkan dalam rangka upaya meminimalisir permasalahan tentang perlindungan
Konsumen dalam hal masyarakat belum banyak mengetahui dan mengerti mengenai
penyelesaian masalah-masalah yang berkaitan dengan kerugian konsumen sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku. Sehingga dirasakan sangat perlu untuk
melakukan sosialisasi tentang Hukum Perlindungan Konsumen.

Namun saat ini BPSK belum fokus kepada penyelenggaraan sosialisasi secara
berkelanjutan sebagai upaya menciptakan konsumen dan pelaku usaha yang cerdas
dan sadar akan hak dan kewajibannya, saat ini Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen masih dalam tahap pembenahan internal.

E. Contoh Kasus

1. Posisi Kasus

Kasus ini merupakan sengketa konsumen yang terjadi antara Jhon Parlyn
Sinaga (selanjutnya disebut Konsumen) dengan PT. Excelcomindo Pratama (XL).
Sengketa tersebut terjadi akibat kerugian yang dialami konsumen setelah
menggunakan produk layanan telekomunikasi Kartu Prabayar Bebas yang
dipromosikan melalui brosur oleh XL yaitu berupa program Tarif Ngirit Malam
dengan tarif Rp. 149 per detik saat off peak (23.00 WIB hingga 05.59 WIB) bagi
sesame XL. Konsumen sendiri adalah pengguna Xplor ( layanan Pascabayar XL
dengan nomor 0819616010). Konsumen menyimpulkan dari brosur yang dikeluarkan
XL bahwa tarif yang ditawarkan dalam program tersebut lebih murah dibanding,
yang kemudian membeli kartu prabayar Bebas milik XL dengan nomor
08197205894. Namun apa yang dijanjikan dalam program tersebut ternyata tidak
terbukti, justru tarif Ngirit Malam lebih mahal disbanding tarif Xplor yang telah

41
dimiliki konsumen sebelumnya. Konsumen berminat untuk membeli kartu Prabayar
Bebas atas pertimbangan sebagai berikut:

a.Berdasarkan lembar tagihan Xplor konsumen (0819616010), saat


berkomunikasi ke nomor 0819613581 (sesame XL nomor Medan) pada hari kamis (9
Februari 2006) pukul 23.07.25 WIB dengan waktu percakapan 29 detik dikenakan
biaya Rp. 157,- . bila dibandingkan dengan tarif Ngirit Malam yang memberi harga
Rp. 149 per detik pada sesame XL, konsumen bisa menghemat sebesar Rp. 23,7. Dan
untuk pemakaian 30 detik seperti tertera dalam tagihan Xplor konsumen bisa
menghemat sebesar RP. 29,2.

b.Asumsi lain yang membuktikan bahwa program tarif Ngirit Malam masih
tetap lebih hemat disbanding Xplor saat off peak apabila programnya dijalankan,
terlihat pada lembar tagihan Xplor milik konsumen pada jum’at (24 Februari 2006)
pukul 23.07.30 WIB yang berkomunikasi dengan nomor 0817616010 (sesame XL
nomor Bandung) selama 10 detik. Dalam lembar tagihan tercatat biaya sebesar Rp.
145. Bila angka tersebut ditambahkan dengan PPn sebesar 10% maka jumlah
tagihan konsumen yang riil sebesar Rp. 159,5. Artinya dengan tarif Ngirit Malam
yang ditawarkan kartu Bebas milik XL sebesar Rp. 149 perlindungan 30 detik, telah
memberi penghematan sebesar Rp. 10,5 dan bila dihitung dalam durasi 60 detik
pemakaian Xplor, mengacu pada angka Rp. 145 per 10 detik, maka tarif yang
dibayarkan konsumen plus PPn menjadi sebesar Rp.957. Dan lewat program tarif
Ngirit Malam yang diberikan XL, yang dibayarkan konsumen hanya sebesar Rp. 298
atau dapat berhemat Rp. 659.

Pertimbangan tersebut yang menjadi alasan konsumen untuk memutuskan


beralih ke kartu Bebas ketika berkomunikasi saat off peak dengan sesama XL yang
mulai berlaku sejak 1 April hingga 30 Juni 2006. Namun kenyataannya setelah
dipakai, program tarif Ngirit Malam yang dijanjikan XL dalam brosurnya tidak
terbukti. Ini terlihat ketika Minggu (2 April) sekitar pukul 02.02 WIB kartu Prabayar
Bebas yang dibeli konsumen dipakai berkomunikasi ke nomor 08197205893 dengan

42
waktu percakapan sekitar 23 detik (di bawah 30 detik yang ditetapkan), ketika dicek
nilai pulsanya menunjukkan angka Rp. 9.376,- atau berkurang sebesar Rp. 624,- dari
pulsa awal Rp. 10.000,-. Seharusnya menurut program tersebut angka yang akan
tercatat sebesar Rp. 9.851,- atau hanya berkurang sebesar Rp. 149 seperti yang
disebutkan dalam brosur. Dan untuk membuktikan bahwa XL benar-benar tidak
menerapkan program tarif Ngirit Malam tersebut, terlihat ketika konsumen kembali
berkomunikasi dengan nomor yang sama (08197205893) dalam waktu sekitar 52
detik ( dua kali durasi yang telah ditetapkan yaitu per 30 detik). Setelah dicek pulsa
yang tersisa, tercatat Rp. 8.128,-. Artinya biaya berkomunikasi konsumen selama 52
detik itu sebesar Rp. 1.248. padahal seharusnya bila mengikuti angka yang tertera
dalam brosur milik XL hanya sebesar Rp. 298 atau dua kali tarif Rp.149 per detik.

Dengan demikian konsumen telah dirugikan sebesar Rp. 475 pada


komunikasi pertama dan sebesar Rp. 950 pada komunikasi kedua, dan total kerugian
konsumen sebesar Rp. 1.425,-. Itu terjadi ketika konsumen berkomunikasi dengan
sesama XL nomor Medan. Sesuai dengan programnya, tarif Ngirit Malam berlaku
untuk sesama XL, dalam artian tidak membedakan jarak penelpon dan penerima,
sekitar pukul 04.00 WIB pada hari yang sama, nomor prabayar Bebas tersebut
digunakan konsumen berkomunikasi ke nomor 0817616010 (sesama nomor XL
nomor Bandung, termasuk dalam Zona seberang dalam penarifan kartu Xplor).
Waktu percakapan yang digunakan konsumen sekitar 15 detik, kemudian dicek pulsa
dan tercatat pulsanya menjadi Rp. 7.448,- dari sebelumnya Rp. 8.128,- atau
dikenakan biaya sebesar Rp. 680,-. Padahal sesuai dengan isi brosur bahwa tarif
Ngirit Malam berlaku bagi sesama XL, seharusnya hanya dikenakan tarif sebesar Rp.
149 per 30 detik karena hanya 15 detik yang digunakan. Dan konsumen mengalami
kerugian sebesar Rp. 531,-.

Dan dari beberapa kali kemudian konsumen menggunakan kartu prabayar


Bebas milik XL tersebut, setelah diakumulasikan konsumen mengalami kerugian
sebesar Rp. 9.054. Namun, meski telah diberitahu mengenai kerugian yang dialami

43
konsumen akibat tidak terbuktinya program tarif Ngirit Malam seperti alam brosur
yang disebar XL melalui surat elektronik (e-mail) ke customer service dan korporate
communication PT. Excelcomindo Pratama, hingga laporan pengaduan konsumen ini
(tanggal pengaduan konsumen adalah 16 April 2006) diajukan kepada BPSK Medan,
pihak XL belum juga menyampaikan permohonan maaf baik kepada konsumen
maupun kepada public yang merasa dirugikan oleh program tersebut.

Setelah dalam persidangan BPSK para pihak sepakat memilih penyelesaian


sengketa dengan cara Arbitrase, maka Pihak XL yang kemudian menjawab
pengaduan konsumen tersebut menyatakan bahwa menanggapi keluhan dari
konsumen pada tanggal 2 Apil 2006 malam di kantor XL Jalan Diponegoro Medan,
pihak XL menyampaikan permohonan maaf atas kesalahan tanggal cetak untuk
program tarif Ngirit Malam yang seharusnya berlaku tanggal 6 April 2006 tapi
ternyata tercetak tanggal 1 April 2006. Dalam pembicaraan tersebut XL telah
menyetujui untuk memberikan penawaran kerja sama iklan sebagai bentuk
perdamaian atau ganti rugi atas kerugian yang dialami konsumen. Menanggapi
tawaran tersebut, konsumen meminta agar pemasalahan ini diselesaikan melalui
mekanisme penyelesaian yang berlaku di BPSK Kota Medan.

Pihak XL pada tanggal 2 April 2006 telah menarik semua brosur yang salah
tanggal cetak mulai berlakunya program tarif Ngirit Malam yang sempat beredar di
Kota Medan, serta telah menggantinya dengan brosur yang benar pada tanggal 4
April 2006. Pihak XL menyampaikan bahwa telah berkali-kali menawarkan
penyelesaian sengketa berdasarkan itikad baik, namun pihak konsumen belum juga
menerima tawaran dari pihak XL tersebut. Dan terhadap jawaban dari pihak XL,
konsumen menyatakan tetap pada pengaduannya/gugatannya semula.

Kemudian guna memenuhi bunyi Pasal 54 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 8


Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen jo. Pasal 22 Kepmenperindag RI Nomor
350/MPP/Kep/12/2001 yang menyatakan bahwa: “Pembuktian dalam proses
Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan beban dan tanggung jawab pelaku

44
usaha”, maka pihak XL mengajukan alat bukti surat yaitu Brosur/iklan Tarif Ngirit
Malam (TNM) Rp.149/30 detik dimulai tanggal 1 April 2006 hingga 30 Juni 2006,
Brosur/iklan Tarif Ngirit Malam (TNM) Rp.149/30 detik telah diubah tanggalnya dari
tanggal 1 April menjadi tanggal 6 April hingga 30 Juni 2006. Dan saksi-saksi antara
lain Michael AP dan Zainul Syukri serta M.Ali Syahbuddin Harahap yang menyatakan
bahwa memang benar ada kesalahan cetak terhadap brosur yang pada mulanya
dicetak berlaku pada tanggal 1 April hingga 30 Juni 2006 kemudian diubah menjadi
berlaku tanggal 6 April 2006 hingga 30 Juni 2006. Bahwa memang benar para saksi
menarik brosur yang salah tersebut dari semua agen atas perintah pimpinan
perusahaan. Bahwa memang benar brosur yang salah telah beredar 10ribu lembar
dan telah ditarik sejumlah 7 ribu lembar, sedangkan sisanya 3 ribu lembar lagi tidak
diketahui kemana beredarnya.

Dan tuntutan konsumen yang dimohonkan kepada Ketua BPSK, Cq. Ketua
Majelis Hakim BPSK yang memeriksa dan mengadili sengketa ini sebagai berikut:

a. Mengabulkan seluruhnya permohonan pengaduan konsumen.

b. Menyatakan perbuatan PT. Excelcomindo Pratama (XL) adalah perbuatan


melawan hukum.

c. Agar pelaku usaha memberi ganti rugi materiil dan immateriil sebesar Rp.
500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) kepada konsumen.

d. Menghukum PT. Excelcomindo Pratama untuk memohon maaf atas


kesalahannya secara khusus kepada konsumen dan secara umum kepada
semua pelanggan yang dirugikan akibat tidak terbuktinya program tarif Ngirit
Malam dalam brosur tersebut, yang dimuat dalam 8 (delapan) media massa
terbitan Medan (Medan Bisnis, Analisa, Waspada, SIB, Global, Pos Metro
Medan, Sumut Pos, Suara Rakyat Medan) dan 5 (lima) media massa nasional
(Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Bisnis Indonesia, Suara Pembaruan)
berturut-turut selama 3 (tiga) hari, karena meski telah diberitahu bahwa
program yang terdapat dalam brosur tersebut tidak terbukti, justru pelaku

45
usaha tidak memuat pengumuman di media massa atas kesalahan yang
dilakukan.

e. Melakukan pencabutan ijin usaha pelaku usaha, karena memproduksi


dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan
janji yang dinyatakan dalam promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.

2. Amar Putusan

-MENGADILI -

a. Menerima pengaduan/gugatan konsumen sebagian.

b. Menyatakan bahwa pelaku usaha bersalah karena mengedarkan brosur dan


iklannya yaitu Tarif Ngirit Malam (TNM) yang tidak sesuai dengan yang
diperjanjikannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat (1) huruf f, Pasal 9
Ayat (1) huruf k dan Pasal 10 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen.

c. Menghukum pelaku usaha untuk tidak memberlakukannya lagi kepada konsumen.

d. Menyatakan adanya kerugian yang diderita oleh konsumen akibat perbuatan


pelaku usaha yang menurut keyakinan majelis dan rasa keadilan adalah sebesar Rp.
4.000.000,- (empat juta rupiah).

e. Menghukum pelaku usaha untuk membayar ganti rugi tersebut kepada konsumen.

f. Menghukum pelaku usaha untuk membayar denda sebesar Rp. 1.000.000,- (satu
juta rupiah) setiap harinya apabila lalai/tidak mau melaksanakan keputusan pada
poin 4 dan 5 tersebut. Sejak keputusan ini berkekuatan hukum tetap.

g. Menolak gugatan lain dan selebihnya.

Demikian diputuskan pada hari Kamis tanggal 1 Juni 2006.

46
3. Analisa Kasus

Pada hakikatnya sudah seharusnya pelaku usaha dalam hal ini PT.
Excelcomindo Pratama (XL) dihukum karena terbukti bersalah, juga menyalahi
kewajiban pelaku usaha seperti yang tertera dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen antara lain “memberikan informasi
yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta
memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan dan memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur”. Dalam Pasal 2 Undang Undang
Perlindungan Konsumen juga disebutkan bahwa perlindungan konsumen beasaskan
keamanan, serta kepastian hukum. Perbuatan PT XL ini tentu saja tidak selaras
dengan pasal pasal tersebut.

PT. Excelcomindo Pratama (XL) juga telah melakukan kesalahan akibat


mencetak dan mengedarkan brosur pada tanggal 1 April 2006 yang seharusnya
berlaku tanggal 6 April 2006, sedangkan konsumen telah mengkonsumsi/memakai
dan menggunakan Tarif Ngirit Malam tersebut, apabila dihubungkan dengan Pasal 8
Ayat (1) huruf f dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen yang menyatakan bahwa: “pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang
dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang
dan/atau jasa tersebut”. Maka sudah tepat XL telah melanggar Pasal 8 Ayat (1) huruf
f tersebut sebab membuat brosur/iklan dengan apa yang dijanjikan tidak sesuai dan
tidak terlaksana.

Dan apabila dihubungkan dengan Pasal 9 Ayat (1) huruf k Undang-Undang


Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa:
“Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang
dan/atau jasa secara tidak benar dan/atau seolah-olah menawarkan sesuatu yang
mengandung janji yang belum pasti”. Maka PT XL pun terbukti melanggar pasal
tersebut. Selanjutnya, apabila dihubungkan dengan Pasal 10 huruf a Undang-

47
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan
bahwa: “Pelaku usaha dalam menarwakan barang dan/atau jasa yang ditujukan
untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengedarkan atau
membuat penjelasan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai harga atau tarif
suatu barang dan/atau jasa”.

Pasal 19 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa “Pelaku usaha bertanggung jawab
memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen
akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”,
dan “Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian
uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Hal ganti rugi tersebut juga
dikuatkan dengan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa “pelaku usaha periklanan bertanggung
jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan
tersebut”

Dapat dilihat Putusan BPSK Medan yang menyatakan adanya kerugian yang
diderita konsumen akibat perbuatan pelaku usaha sebesar Rp 4.000.000,-(empat
juta rupiah) untuk kemudian menghukum pelaku usaha untuk membayar ganti rugi
tersebut kepada konsumen (sedangkan diketahui bahwa kerugian sebenarnya
adalah Rp 9.054,-) serta menghukum pelaku usaha untuk membayar denda Rp
1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap harinya apabila lalai atau tidak mau
melaksanakan putusan tersebut sejak keputusan itu berkekuatan hukum tetap
adalah tidak sesuai dengan ketentuan di dalam pasal 19 ayat (2) UUPK dan tidak
sesuai pula dengan Pasal 12 ayat (2) Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Nomor 350 Tahun 2001.

48
Pada kasus ini ada hal yang harus disoroti sebagai pertimbangan yaitu BPSK
telah mengeluarkan suatu keputusan agar XL membayar ganti rugi sebesar Rp 4 juta
kepada konsumen tanpa pertimbangan yang logis yang dapat menyatakan mengenai
adanya kesetaraan nilai atas kerugian yang diderita konsumen. BPSK Medan
seharusnya hanya memutuskan bahwa XL memberikan ganti rugi seharga setara
dengan nilai kartu perdana yang dibeli oleh konsumen atau pulsa yang sudah
dipergunakan oleh konsumen, tidak lebih dan tidak kurang.

49
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kesimpula dari permasalahan yang pertama

a. Berdasarkan pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, konsumen


setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup
lain dan tidak untuk diperdagangkan.

b. Asas Manfaat, memberikan kesempatan kepada konsumen dalam


memperoleh hakya. Asas Keseimbangan, memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen. Asas Keamanan Dan Keselamatan Konsumen, untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen
dalam penggunaan, Asas Kepastian Hukum, yaknik pelaku dan maupun
konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan.

c. Sanksi yang diberikan oleh Undang-Undang nomor 8 Tahun 1999, yang tertulis
dalam pasal 60 sampai dengan Pasal 63 dapat berupa sanksi administratif dan
sanksi pidana.

2. kesimpulan permasalahan kedua

Bedasarkan Pasal 42 ayat (1) Keputusan Menteri Perindustrian dan


Perdagangan Republik Indonesia Nomor 350/MPP/Kep/2001, menyatakan bahwa
putusan BPSK merupakan putusan yang final dan telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap. Namun pada Pasal 41 ayat (3) Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Republik Indonesia Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, menyatakan bahwa
konsumen atau pelaku usaha yang menolak putusan BPSK, dapat mengajukan
keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat

50
belas) hari ketiga terhitung sejak keputusan BPSK diberitahukan. Para pihak ternyata
masih bisa mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri paling lambat 14 hari
setelah pemberitahuan putusan BPSK.

Kendala Yang Dihadapi Oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam


Menyelesaikan Sengketa Konsumen yaitu kendala kelembagaan, pendanaan, sumber
daya manusia, dan rendahnya kesadaran hukum perlindungan konsumen..

B. Saran

Kesadaran konsumen bahwa mereka memiliki hak dan kewajiban serta


perlindungan hukum atas mereka harus diberdayakan dengan meningkatkan kualitas
pendidikan yang layak atas mereka, mengingat faktor utama perlakuan yang
semena-mena oleh produsen kepada konsumen adalah kurangnya kesadaran serta
pengetahuan konsumen akan hak-hak serta kewajiban mereka.

Pemerintah sebagai perancang, pelaksana serta pengawas atas jalannya


hukum dan UU tentang perlindungan konsumen harus benar-benar memperhatikan
fenomena-fenomena yang terjadi pada kegiatan produksi dan konsumsi dewasa ini
agar tujuan para produsen untuk mencari laba berjalan dengan lancar tanpa ada
pihak yang dirugikan, demikian juga dengan konsumen yang memiliki tujuan untuk
memaksimalkan kepuasan jangan sampai mereka dirugikan karena kesalahan yang
diakibatkan dari proses produksi yang tidak sesuai dengan setandar berproduksi
yang sudah tertera dalam hukum dan UU yang telah dibuat oleh pemerintah.

Kesadaran produsen akan hak-hak konsumen juga sangat dibutuhkan agar


tercipta harmonisasi tujuan antara produsen yang ingin memperoleh laba tanpa
membahayakan konsumen yang ingin memiliki kepuasan maksimum. Perlu adanya
perubahan-perubahan terhadap kaedah-kaedah yang mengatur Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK), sehingga BPSK dapat berperan lebih aktif.

51
52
DAFTAR PUSTAKA

Marzuki, Peter Mahmud. 2010. Penelitian Hukum. Cetakan Keenam. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.

Kansil, Christine S. T. 2001. Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam


Ekonomi) Bagian 2. Jakarta: PT Pradnya Paramita

Keynes, John. 1936. The General Theory of Employment, Interest, and Money. New
York: Harcourt, Brace, and Co

Mulyono. 2010. Konsep Pembiayaan Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media


Sari, Elsi Kartika. 2008. Hukum Dalam Ekonomi. Jakarta: PT Grasindo.

Widjaja, Gunawan dan Yani, Ahmad. 1999. Seri Hukum Bisnis: Anti Monopoli, Jakarta:
PT Grafindo Persada.

Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen. Edisi Pertama Cetakan
Pertama. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Shofie, Yusuf dan Somi Awan. 2004. Sosok Peradilan Konsumen Mengungkap Berbagai Persoalan
Mendasar Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia.

Widjiantoro, J. dan Al Wisnubroto. 2004. Efektivitas Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen


(BPSK) dalam Upaya Perlindungan Konsumen. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Atma
Jaya.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

i
Kepmenperindag RI No. 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan
Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
CATATAN

Вам также может понравиться