Вы находитесь на странице: 1из 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Tumbuhan Bakau (Sonneratia alba Sm.)

2.1.1 Klasifikasi Tumbuhan

Klasifikasi tumbuhan mangrove (Sonneratia alba Sm.) berdasarkan hasil

identifikasi oleh Laboratorium Botani Jurusan Biologi FMIPA Universitas Riau

adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Bangsa : Myrtales

Suku : Sonneratiaceae

Genus : Sonneratia

Spesies : Sonneratia alba Sm.

2.1.2 Morfologi Tumbuhan

Bakau jenis Sonneratia alba Sm. memiliki nama lokal seperti pedada,

perepat, pidada, bogem, beropak dan sopo. Pohon ini memiliki morfologi dengan

kulit kayu berwarna putih tua hingga cokelat dengan celah logitudinal dan halus.

Pohon ini tumbuh tersebar dalam zona tutupan bakau dan memiliki ketinggian

hingga 15 meter. Bagian akar pohon berbentuk kabel di bawah tanah dan muncul

dipermukaan sebagai akar nafas berbentuk kerucut tumpul mencapai 25 cm.

Sedangkan daunnya berkulit dan memiliki kelenjar yang tidak berkembang pada

bagian pangkal ganggang daun. Gagang daun memiliki panjang hingga 6-15 mm.

Secara morfologi bentuk daun membundar sepeti telur terbalik dengan ukuran 5-
12,5 x 3-9 cm. Ciri lain dari pohon bakau (Sonneratia alba) bagian buahnya seperti

bola dengan ujung yang bertangkai dan bagian dasarnya terbungkus kelopak bunga

(Ruslia dkk., 2006).

2.2 Kandungan Kimia dan Manfaat Tumbuhan Bakau (Sonneratia alba


Sm.)

Buah tumbuhan bakau (Sonneratia alba Sm.) mengandung senyawa alkaloid,

flavonoid, fenolik, tannin dan steroid (Paputungan et al., 2017). Selain itu daun

tumbuhan bakau (Sonneratia alba Sm.) mengandung senyawa metabolit sekunder

yaitu alkaloid, saponin, tanin, fenol, flavonoid, steroid dan terpenoid (Test, 2016).

Menurut literatur senyawa alkaloid, flavonoid, fenolik, saponin dan tanin

merupakan senyawa yang memiliki aktivitas antibakteri (Raharjo, 2013).

2.3 Metode Ekstraksi

Ekstraksi merupakan proses penarikan kandungan kimia yang larut

sehingga dapat terpisah dari bahan-bahan yang tidak larut dengan menggunakan

suatu pelarut tertentu. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat

digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain

(Anonim, 2000). Pemilihan metode dilakukan dengan memperhatikan sifat

senyawa, pelarut yang digunakan, dan alat tersedia (Hanani, 2015).

Menurut Anonim (2000) ada beberapa metode ekstraksi yaitu :

1. Cara Dingin

a. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan

pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur

ruangan (kamar). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut

setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya.


b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi

penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses

perkolasi terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap

perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus-menerus sampai

diperoleh ekstrak (perkolat).

2. Cara Panas

a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya

selama waktu tertentu dan dalam jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan

dengan adanya pendingin balik.

b. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru dan

yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstrak kontinu

dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

c. Infus

Infus adalah ekstraksi menggunakan pelarut air pada temperatur penangas air

bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 90○C selama

15 menit.

d. Digesti

Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinu pada temperatur yang

lebih tinggi dari temperatur kamar yaitu pada 40-50○C.


e. Dekok

Dekok adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 90○C selama 30

menit.

2.4 Metode Kromatografi

Kromatografi merupakan suatu teknik pemisahan yang menggunakan fase

diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase). Teknik kromatografi telah

berkembang dan telah digunakan untuk memisahkan dan mengkuantifikasi

berbagai macam komponen yang kompleks, baik komponen organik maupun

komponen anorganik (Gandjar dan Rohman, 2007). Keuntungan dari kromatografi

antara lain adalah pelaksanaannya yang lebih sederhana, waktu pengerjaannya lebih

efisien, dan mempunyai kepekaan yang tinggi serta kemampuan memisahkan yang

baik (Gritter et al., 1991).

1. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi lapis tipis adalah metode fisikokimia yang menyangkut fase

diam (yaitu lapisan yang memisahkan terdiri dari butir-butir bahan pemisah, yang

ditempatkan pada penyangga berupa pellet gelas, logam, atau lapisan yang cocok),

fase gerak (larutan pengembang) dan penampakan bercak (untuk menampakkan

atau mendeteksi senyawa yang tidak berwarna) (Djamal, 1998). KLT merupakan

salah satu teknik kromatografi yang banyak digunakan untuk analisis kualitatif

senyawa organik, isolasi senyawa tunggal dari campuran multikomponen, analisis

kuantitatif dan isolasi skala preperatif. Teknik KLT sangat bermanfaat untuk

analisis obat dan bahan lain dalam laboratorium karena hanya memerlukan

peralatan sederhana, waktu yang cukup singkat, dan jumlah yang diperiksa cukup

kecil (Stahl, 1969).


a. Fase Diam

Fase diam adalah lapisan tipis penyerap yang seragam atau media terpilih

digunakan sebagai media pembawa. Penjerap dilekatkan pada penyangga sebagai

pelapis untuk mendapatkan lapisan yang stabil dengan ukuran yang

sesuai.Penyangga yang sering digunakan terbuat dari bahan gelas, plastik dan

aluminium, sedangkan penjerap yang paling sering digunakan antara lain silika gel,

alumina, kieselguhr dan selulosa (Touchstone dan Dobbins, 1983).

Ukuran standar untuk lempeng KLT adalah 20 x 20 cm. Ukuran lainnya dari

lempeng antara lain 5 x 20 cm, 10 x 20 cm dan 20 x 40 cm. Lempeng mikro dapat

dibuat dari slide mikroskop. Lapis tipis dapat mengandung indikator fluoresensi

yang ditambahkan untuk membantu penampakan bercak tak berwarna pada lapisan

yang dikembangkan. Jadi lapisan yang mengandung indikator fluorosensi akan

berpendar jika disinari pada panjang gelombang yang tepat. Jika senyawa pada

bercak yang akan ditampakkan mengandung ikatan rangkap terkonjugasi atau

mengandung cincin aromatik, maka sinar UV yang mengeksitasi tidak akan

mencapai indikator fluorosensi dan tidak ada cahaya yang dipancarkan. Hasilnya

berupa bercak gelap dengan latar belakang yang berfluorosensi.Indikator

terkandung pada penjerap dengan kosentrasi 1% (Gritter et al., 1991).

b. Fase Gerak

Sifat dan komposisi kimia fase gerak ditentukan oleh jenis zat yang

dipisahkan dan jenis penjerap yang digunakan untuk pemisahan.Komposisi fase

gerak dapat berupa pelarut murni maupun campuran kompleks dari beberapa

pelarut (Touchstone dan Dobbins, 1983). Seluruh senyawa organik termasuk

pelarut digolongkan menurut kemampuan dasarnya untuk membuat ikatan


hidrogen.Terdapat pelarut yang merupakan donor atau aseptor pasangan elektron

dan mempunyai kemampuan untuk membentuk jembatan intermolekul (hidrofilik

dan pelarut polar) ataupun pelarut yang tidak mempunyai tersebut (lipofilik dan

pelarut non polar). Diantara perbedaan tersebut terdapat pelarut dengan polaritas

sedang (Gritter et al., 1991).

Pada kromatografi lapis tipis, campuran yang akan dipisahkan dilarutkan

dalam pelarut yang sesuai, lalu totolkan berupa bercak pada lapisan tipis pada salah

satu ujung plat. Penotolan dilakukan dengan menggunakan pipa kapiler. Pelarut

dibiarkan menguap kemudian dimasukkan ke dalam fase gerak.Tutup bejana dan

biarkan pelarut naik sampai batas atas penotolan (Sastrohamidjojo, 1996; Stahl,

1985). Bercak yang telah didapat diberi tanda, gunanya adalah untuk mencari harga

Rf (Retention factor) (Gritter et al., 1991).

Identifikasi dari senyawa terpisah pada lapis tipis diperoleh dari faktor retensi

(Rf), yaitu dengan membandingkan jarak tempuh senyawa terlarut dengan jarak

tempuh pelarut (Stahl dan Michigan, 1985).

Rf = Jarak yang ditempuh senyawa

Jarak yang ditempuh pelarut


2. Kromatografi Cair Vakum (Vacuum Liquid Chromatography)

Vacuum liquid chromatography (VLC) atau kromatografi cair vakum

(KVC) adalah bentuk kromatografi kolom khususnya berguna untuk fraksinasi

kasar yang cepat terhadap suatu ekstrak. Kondisi vakum adalah alternative untuk

mempercepat aliran fase gerak dari atas ke bawah. Metode isi sering digunakan

untuk fraksinasi awal suatu ekstrak non polar atau semipolar (Raymond et al.,

2006). Prinsip kerja dari kromatografi cair vakum (KCV) adalah adsorpsi atau

serapan, sedangkan pemisahannya didasarkan pada senyawa-senyawa yang akan

dipisahkan terdistribusi di antara fase diam dan fase gerak dalam perbandingan

yang berbeda-beda (Sastrohamidjojo, 2002).

Metode ini pertama kali dipublikasikan oleh Coll et al., pada tahun 1977

dengan menggunakan corong Bunchner kaca masir atau kolom pendek untuk

mengisolasi diterpena sembrenoida dari terumbu karang Australia. Kolom

kromatografi dikemas kering dengan menggunakan vakum agar diperoleh

kerapatan kemasan maksimum. Pompa vakum dihentikan, dan pelarut yang

kepolarannya rendah dituangkan kepermukaan penjerap lalu divakumkan kembali.

Kolom divakum sampai kering dan telah siap dipakai (Hostettmann et al., 1995).

VLC apparatus terdiri dari kolom pendek atau corong Buchner yang

dilengkapi dengan penyaring glass (10-20µm). Penggunaan kolom yang lebih

panjang dapat digunakan untuk meningkatkan daya pisah. Fase diam yang

digunakan adalah silika gel 60 (230-400 mesh). Silika ini dimasukkan ke dalam

kolom dengan cara memadatkannya dengan menggunakan bantuan vakum.

Umumnya tinggi fase diam haruslah tidak lebih dari 5 cm. Fase gerak yang

digunakan adalah pelarut organik (Hostettmann, et al., 1995).


2.5 Media Pertumbuhan Bakteri

Media merupakan suatu bahan yang terdiri atas campuran nutrisi atau zat-

zat hara (nutrient) yang digunakan untuk menumbuhkan mikroorganisme. Selain

itu media dapat dipergunakan pula untuk isolasi, perbanyakan sel, sifat-sifat

fisiologis dan perhitungan jumlah mikroorganisme (Waluyo, 2016).

Berdasarkan konsistensinya, media dapat menjadi 3 kelompok yaitu

(Anonima, 2017):

1. Media padat, merupakan media yang mengandung banyak agar atau zat

pemadat kurang lebih 15% agar sehingga media menjadi padat.

2. Media semi padat atau semi cair, merupakan media yang mengandung

agar kurang dari yang seharusnya kurang lebih 0,3% - 0,4% sehingga

media menjadi kenyal, tidak padat dan tidak begitu cair.

3. Media cair merupakan media yang tidak ditambahi bahan pemadat,

umumnya digunakan untuk pertumbuhan mikroalga.

Berdasarkan komposisinya, media di bagi menjadi (Anonima, 2017):

1. Media alami/non sintetis merupakan media yang disusun dari bahan-

bahan alami dimana komposisinya yang tidak dapat diketahui secara

pasti dan biasanya langsung diekstrak dari bahan dasarnya seperti:

kentang, tepung, daging, telur, ikan sayur, dan sebagainya. Contohnya:

Tomato juice agar.

2. Media semi sintesis merupakan media yang disusun dari bahan-bahan

alami dan bahan-bahan sintesis. Contohnya: Kaldu nutrisi disusun dari

: Pepton 10,0 g, Ekstrak daging 10,0 g, NaCl 5,0 g, dan Aquadest 1000

ml.
3. Media sintesis, yaitu media yang disusun dari senyawa kimia yang jenis

dan takarannya diketahui secara pasti. Contohnya : Mac Conkey Agar.

Berikut ini beberapa media yang sering digunakan secara umum dalam

mikrobiologi, yaitu (Anonima, 2017):

1. Lactose Broth, digunakan sebagai media untuk mendeteksi kehadiran

koliform dalam air, makanan, dan produk susu, sebagai kaldu

pemerkaya (pre-enrichment broth) untuk Salmonellae dan dalam

mempelajari fermentasi laktosa oleh bakteri pada umumnya. Pepton

dan ekstrak daging menyediakan nutrien esensial untuk memetabolisme

bakteri. Laktosa menyediakan sumber karbohidrat yang dapat

difermentasi untuk organisme koliform.

2. EMBA (Eosin Methylene Blue Agar), mempunyai keistimewaan

mengandung laktosa dan berfungsi untuk memilah mikroba yang

memfermentasikan laktosa seperti S. aureus, P. aerugenosa, dan

Salmonella.

3. Nutrient Agar, merupakan medium umum untuk uji air dan produk

dairy. NA juga digunakan untuk pertumbuhan mayoritas dari

mikroorganisme yang tidak selektif, dalam arti mikroorganisme

heterotrof. Media ini merupakan media sederhana yang dibuat dari

ekstrak daging, pepton, dan agar. NA merupakan salah satu media yang

umum digunakan dalam prosedur bakteriologi seperti uji air biasa, uji

air limbah, produk pangan, untuk membawa stok kultur, untuk

pertumbuhan sampel pada uji bakteri, dan untuk mengisolasi organisme

dalam kultur murni.


4. Nutrient Broth, merupakan media untuk mikroorganisme yang

berbentuk cair. Intinya sama dengan nutrient agar.

5. Potato Dextrose Agar (PDA). PDA digunakan untuk menumbuhkan

atau mengidentifikasi ragi dan kapang. Dapat juga digunakan untuk

enumerasi ragi dan kapang dalam suatu sampel atau produk makanan.

PDA cocok untuk pertumbuhan jamur. PDA mengandung sumber

karbohidrat dalam jumlah cukup yaitu terdiri dari 20% ekstrak kentang

dan 2% glukosa sehingga baik untuk pertumbuhan kapang dan khamir

tetapi kurang baik untuk pertumbuhan bakteri.

2.6 Sterilisasi

Sterilisasi merupakan suatu proses untuk mematikan semua organisme

yang terdapat pada suatu benda. Proses sterilisasi dapat dibedakan menjadi 3

macam, yaitu sterilisasi secara mekanik (penyaringan), sterilisasi secara fisika

(panas) dan sterilisasi secara kimia (Pratiwi, 2008).

2.6.1 Sterilisasi Secara Mekanik (Filtrasi)

Penyaringan dilakukan dengan mengalirkan cairan atau gas melalui suatu

bahan penyaringan yang memiliki pori cukup kecil untuk menahan mikroorganisme

dengan ukuran tertentu. Saringan akan tercemar, sedangkan cairan atau gas yang

melaluinya akan steril. Penyaringan dilakukan untuk mensterilkan substansi yang

peka terhadap panas seperti toksin kuman, ekstrak sel dan sebagainya.

2.6.2 Sterilisasi Secara Fisika (Panas)

Metode ini merupakan metode yang paling dapat dipercaya dan banyak

digunakan. Metode sterilisasi panas dengan penggunaan uap air disebut metode

sterilisasi lembap atau sterilisasi basah. Metode ini berfungsi untuk mematikan
organisme dengan cara mengoksidasi komponen sel atau mendenaturasi enzim.

Ada dua metode sterilisasi panas kering yaitu dengan insenirasi yaitu pembakaran

dengan menggunakan api bunsen, dengan temperatur 350oC dan dengan udara

panas oven yang lebih sederhana dan murah dengan temperatur 160-170oC.

Sterilisasi panas basah menggunakan temperatur di atas 100oC dilakukan

dengan uap yaitu menggunakan autoklaf dengan pengatur tekanan dan klap. Prinsip

autoklaf adalah terjadinya koagulasi yang lebih cepat dalam keadaan basah

dibandingkan dengan keadaan kering.

2.6.3 Sterilisasi Secara Kimiawi

Metode sterilisasi kimia dapat dilakukan dengan menggunakan gas

(dengan cara fumigasi atau pengasapan) atau radiasi. Sterilisasi kimia dapat

dilakukan dengan penggunaan cairan desinfektan berupa senyawa aldehid,

hipoklorit, fenolik dan alkohol.

Desinfektan cair memiliki daya antimikroba yang lebih rendah

dibandingkan metode sterilisasi lain. Penggunaan desinfektan cair sebagai alat

sterilisasi juga perlu mempertimbangkan toksisitasnya pada pengguna. Fenol

digunakan secara luas sebagai desinfektan dan septik. Golongan fenol diketahui

memiliki aktivitas antimikroba yang bersifat bakterisidal namun tidak bersifat

sporisidal.

2.7 Bakteri

Bakteri adalah sel prokariotik yang bersel tunggal dan tidak mengandung

struktur yang terbatas membran di dalam sitoplasmanya. Bakteri berdiameter

sekitar 0,5-1,0 μm dan panjangnya 1,5-2,5 μm. Bakteri bereproduksi terutama

dengan pembelahan biner sederhana yaitu proses aseksual. Beberapa dapat tumbuh
pada suhu 0oC, ada yang tumbuh dengan baik pada sumber air panas yang suhunya

90oC atau lebih (Irianto, 2013).

Bakteri menimbulkan berbagai perubahan kimiawi pada substansi yang

ditumbuhinya. Organisme ini amat penting untuk memelihara lingkungan dengan

menghancurkan bahan yang tertumpuk di atau dalam daratan dan lautan. Selain itu

beberapa bakteri juga dapat menimbulkan penyakit pada manusia, hewan dan

tumbuhan (Irianto, 2013).

Berdasarkan morfologi sel bakteri, ada beberapa bentuk dasar bakteri yaitu

bulat (kokus), batang atau silinder (basil) dan spiral yaitu berbentuk batang

melengkung atau melingkar-lingkar (Misnadiarly dan Djajaningrat, 2014).

1. Kokus

Semua jenis kokus mempunyai bentuk bulat yang menyerupai biji buah.

Tapi ada kokus yang tidak bulat seluruhnya tetapi mempunyai bagian yang gepeng

di satu sisi, ada pula yang agak lonjong.

2. Basil

Bentuk basil menyerupai batang kecil atau suatu silinder. Tiap jenis basil

mempunyai bentuk khas. Ada yang bentuknya pendek menyerupai kokus dan ada

yang bentuknya panjang dan halus. Ujung-ujung dari basil berbentuk persegi, bulat

dan lancip. Umumnya basil berbentuk lurus dan kaku, ada pula yang sedikit

bengkok.

3. Spiral

Dalam kelompok ini termasuk bakteri yang mempunyai bentuk

menyerupai pili atau pencabut gabus, ada spiral pendek, tidak sampai satu putaran
atau menyerupai koma, digolongkan dalam genus Vibrio. Spiral lain yang lebih

panjang dan lebih halus digolongkan dalam genus Spirallum.

Menurut Radji (2010) pertumbuhan bakteri dibagi menjadi empat fase

sebagai berikut:

1. Fase Lag

Fase lag merupakan fase dimana jumlah sel sangat sedikit karena sel belum

mengalami pembelahan sel dalam media yang baru. Fase lag dapat berlangsung

selama satu jam atau beberapa hari.

2. Fase Log

Fase log disebut fase eksponensial yaitu sel mulai membelah dan

memasuki masa pertumbuhan atau penambahan jumlah sel secara logaritmik. Pada

fase ini reproduksi seluler paling aktif dan menunjukkan waktu generasi yang

konstan sehingga grafik pertumbuhan berupa garis lurus.

3. Fase Stationer

Fase stationer disebut periode keseimbangan, dimana tingkat pertumbuhan

melambat, jumlah sel yang mati mengimbangi jumlah sel yang baru dan populasi

menjadi stabil. Kekurangan nutrisi, akumulasi produk sisa, dan perubahan pH yang

sangat bersifat toksik bagi sel dianggap menjadi penyebab berhentinya

pertumbuhan eksponensial sel.

4. Fase Kematian

Fase kematian merupakan jumlah kematian sel lebih besar daripada jumlah

sel baru yang terbentuk. Fase ini berlanjut sampai populasi menyusut menjadi fraksi

kecil atau populasi mati.


2.7.1 Bakteri Staphylococcus aureus

Menurut Soedarto (2015), klasifikasi Staphylococcus aureus sebagai

berikut :

Kingdom : Bacteria

Divisi : Firmicutes

Kelas : Bacilli

Bangsa : Bacillales

Suku : Staphylococcaceae

Marga : Staphylococcus

Spesies : Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus adalah bakteri berbentuk kokus berukuran garis

tengah sekitar 1 μm yang pada pewarnaan bersifat Gram positif, jika dilihat

dibawah mikroskop berbentuk seperti kelompok anggur. Staphylococci tidak

bergerak (non motil), tidak membentuk spora dan bersifat katalase positif. Bakteri

ini tahan panas sampai setinggi 50OC, kadar garam yang tinggi, dan tahan

kekeringan. Koloni Staphylococci berukuran besar dengan garis tengah 6-8 mm,

dan berwarna bening. S. aureus tersebar luas di alam dan adayang hidup sebagai

flora normal pada manusia yang terdapat di aksila, daerah inguinal dan perineal,

dan lubang hidung bagian anterior. Sekitar 25-30% manusia membawa S.aureus di

dalam rongga hidung dan kulitnya (Soedarto, 2015).

S. aureus menyebabkan penyakit pada manusia melalui invasi jaringan dan

atau karena pengaruh toksin yang dihasilkannya. Infeksi dimulai dari tempat koloni

patogen pada tubuh, lalu ditularkan melalui tangan ke tempat bakteri yang dapat

memasuki tubuh, misalnya luka yang ada di kulit, tempat insisi pembedahan,
tempat masuk kateter vaskuler, atau tempat lain yang lemah pertahanannya

(Soedarto, 2015).

Pada infeksi ringan pada kulit, diagnosis umumnya ditetapkan berdasarkan

gambaran pada daerah kulit yang terinfeksi tanpa membutuhkan pemeriksaan

laboratorium. Pada infeksi Staphylococcus yang berat, misalnya bakterimia,

pneumonia dan endocarditis, diperlukan pemeriksaan darah atau pemeriksaan

cairan jaringan yang terinfeksi dengan membiakkan di laboratorium mikrobilogi.

Sesudah bakteri tumbuh dilakukan uji kepekaan terhadap antibiotik untuk

menentukan antibiotik yang masih efektif untuk mengobati infeksi (Soedarto,

2015).

2.7.2 Bakteri Staphylococcus epidermidis

Menurut Soedarto (2015), klasifikasi Staphylococcus epidermidis sebagai

berikut :

Kingdom : Bacteria

Divisi : Firmicutes

Kelas : Bacilli

Bangsa : Bacillales

Suku : Staphylococcaceae

Marga : Staphylococcus

Spesies : Staphylococcus epidermidis

S. epidermidis adalah salah satu spesies bakteri dari genus Staphylococcus

yang diketahui dapat menyebabkan infeksi opurtunistik (menyerang individu

dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah). S. epidermidis merupakan salah satu

bakteri penyebab jerawat. Beberapa karakteristik bakteri adalah fakultatif,


koagulase negatif, katalase positif, Gram positif, berbentuk kokus, koloninya

berwarna abu-abu sampai putih pada isolasi pertama dan berdiameter 0,5-1,5 μm.

Bakteri ini secara alami hidup pada kulit dan membran mukosa manusia yang

merupakan flora normal manusia dan kadang-kadang menyebabkan infeksi,

seringkali berkaitan dengan alat-alat yang ditanam khususnya pada pasien yang

sangat muda, tua dan dengan fungsi imun yang terganggu (Brooks et al, 2012).

S. epidermidis terdapat sebagai flora normal pada kulit manusia dan pada

umumnya tidak menjadi masalah bagi orang normal yang sehat. Akan tetapi S.

epidermidis menjadi patogen opurtunistik yang menyebabkan infeksi nosokomial

pada persendian dan pembuluh darah. S. epidermidis memproduksi sejenis toksin

atau zat racun. Bakteri ini juga memproduksi semacam lendir yang memudahkan

untuk menempel dimana-mana, termasuk permukaan alat-alat yang terbuat dari

plastik atau kaca. Lendir ini pula yang membuat bakteri S. epidermidis lebih tahan

terhadap fagositosis (salah satu mekanisme pembunuhan bakteri oleh sistem

kekebalan tubuh) dan beberapa antibiotik tertentu (Irianto, 2013).

S. epidermidis umumnya dapat menimbulkan penyakit pembengkakan

(abses) seperti jerawat, infeksi kulit, infeksi saluran kemih dan infeksi ginjal. Selain

itu, S. epidermidis juga dapat menimbulkan infeksi pada neonates, orang-orang

yang sistem kekebalan yang rendah dan pada penderita yang menggunakan alat

yang dipasang di dalam tubuh (Radji, 2010).

2.7.3 Bakteri Pseudomonas aeruginosa

Menurut Soedarto (2015), klasifikasi Pseudomonas aeruginosa sebagai

berikut :

Kingdom : Bacteria
Divisi : Proteobacteria

Kelas : Gamma Proteobacteria

Bangsa : Pseudomonadales

Suku : Pseudomonadadaceae

Marga : Pseudomonas

Spesies : Pseudomonas aeruginosa

Pseudomonas aeruginosa adalah bakteri Gram-negatif, berbentuk

kokobasil dengan motilitas unipolar. Bakteri dari keluarga Pseudomonadaceae ini

dapat ditemukan hidup bebas di tanah, air, flora kulit, dan lingkungan buatan

manusia di seluruh dunia. Bakteri ini sifat hidupnya aerobic atau anaerobic

fakultatif yang dapat menyebabkan penyakit oportunistik pada hewan, manusia

maupun tumbuhan. P.aeruginosa dapat tumbuh pada suhu 42 OC, dan dapat hidup

pada minyak diesel. Karena itu bakteri ini disebut sebagai mikroorganisme

pengguna hidrokarbon (hydrocarbon-using microorganism-HUM bug) yang

menyebabkan terjadinya karat (microbial corrosion). P.aeruginosa membentuk

berbagai jenis pigmen, yaitu pyocyanin (biru-hijau), pyoverdine (kuning-hijau dan

berfluoresensi) dan pyorubin (merah-coklat) (Soedarto, 2015).

Akibat infeksi P.aeruginosa dapat terjadi keradangan dan sepsis. Jika

terjadi pembentukan koloni pada organ penting misalnya paru, saluran kemih dan

ginjal, akibatnya bisa membahayakan jiwa penderita. Karena bakteri ini mudah

tumbuh di berbagai permukaan benda, maka ia dapat ditemukan di alat kedokteran,

misalnya kateter, sehingga terjadi infeksi silang di rumah sakit dan klinik kesehatan.

Sepersepuluh dari infeksi yang didapat dirumah sakit disebabkan oleh

Pseudomonas. Bakteri yang merupakan pathogen nosocomial yang oportunistik ini


menginfeksi saluran paru, saluran kemih, menginfeksi luka bakar dan terbuka serta

dapat menyebabkan infeksi melalui darah (Soedarto, 2015).

P.aeruginosa menunjukkan pewarnaan Gram-negatif dan membentuk

koloni yang berbau seperti anggur pada medium bakteriologi. Pada medium agar

Mac Conkey terbentuk koloni yang jernih dan menunjukkan reaksi oxidase positif.

Pada medium agar cetrimide yang dibiakkan pada suhu 42OC bakteri ini

menghasilkan pigmen pyocyanin yang berwarna biru-hijau (Soedarto, 2015).

2.8 Antibakteri

Antibakteri adalah bahan atau senyawa yang dapat membasmi bakteri

terutama bakteri pathogen. Senyawa antibakteri harus mempunyai sifat toksisitas

selektif, yaitu berbahaya bagi parasit tetapi tidak berbahaya bagi inangnya (Xia et

al., 2010). Antibakteri ada yang mempunyai spektrum luas, artinya antibakteri yang

efektif digunakan bagi banyak spesies bakteri, baik kokus, basil maupun spiril. Ada

juga yang mempunyai spectrum sempit, artinya hanya efektif digunakan pada

spesies tertentu saja (Waluyo, 2004).

Berdasarkan cara kerjanya terhadap bakteri, antibakteri dapat digolongkan

menjadi dua, yaitu (Dzen & Sjoekoer. M, 2003):

1. Bakterisidal, efek ini membunuh sel bakteri tetapi tidak menyebabkan sel

lisis atau pecah. Hal ini ditunjukkan dengan ditambahkannya antimikrobia

pada kultur mikrobia yang masih berada pada fase logaritmik, didapatkan

bahwa jumlah sel total tetap, namun jumlah sel hidup berkurang.

2. Bakteriostatik, efek ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri namun

tidak membunuhnya, efek ini menghambat sintesis protein atau mengikat

ribosom. Hal ini ditunjukkan dengan ditambahkannya antimikrobia pada


kultur mikrobia yang masih berada pada fase logaritmik, didapatkan

bahwa jumlah sel total maupun jumlah sel hidup masih tetap.

2.9 Metode Uji Aktivitas Antibakteri

Menurut Pratiwi (2008), beberapa metode yang umum digunakan untuk

menguji aktivitas antibakteri antara lain:

1. Metode Difusi

Metode difusi atau cara lempeng merupakan metode yang sederhana.

Pengujian dengan metode ini berdasarkan luas daerah hambatan pertumbuhan

bakteri karena berdifusinya zat uji dari titik awal pemberian ke daerah difusi. Dalam

metode ini pencadang yang mengandung sampel uji, diletakkan pada permukaan

medium yang telah diinokulasi dengan bakteri uji. Setelah diinkubasi dalam

inkubator, apabila sampel uji memiliki sifat sebagai antibakteri akan terlihat daerah

bening disekitar pencadang. Pencadang yang biasa digunakan antara lain cakram

kertas dan logam yang ditempatkan pada permukaan medium serta cetak lubang

dalam medium.

a. Metode disc diffusion (Tes Kirby and Bauer)

Pada metode ini menggunakan piringan yang berisikan antimikroba yang

diletakkan pada media agar yang telah ditanami mikroorganisme yang akan

berdifusi pada media agar. Area yang jernih menandakan adanya hambatan

pertumbuhan mikroorganisme oleh agen antimikroba pada permukaan media agar.

b. E-test

Metode ini menggunakan strip plastik yang mengandung agen antimikroba

dari konsentrasi terendah hingga tertinggi dan diletakkan pada permukaan media

agar yang telah ditanami mikroorganisme. Pengamatan dilihat pada area jernih yang
ditimbulkan. Metode ini digunakan untuk mengestimasi KHM (kadar hambat

minimum), yaitu konsentrasi minimal suatu agen antimikroba untuk dapat

menghambat pertumbuhan mikroorganisme.

c. Ditch-plate Technique

Sampel uji yang digunakan berupa agen antimikroba yang diletakkan pada

parit yang dibuat dengn memotong media agar dalam cawan Petri, pada bagian

tengah secara membujur dan mikroba uji (maksimal 6 macam) digoreskan kearah

parit yang berisikan agen antimikroba.

d. Cup-plate Technique

Metode ini serupa dengan metode disc diffusion, dimana dibuat sumur pada

media agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme dan pada sumur tersebut

diberi agen antimikroba uji.

e. Gradient-plate Technique

Pada metode ini antimikroba dibuat dalam berbagai konsentrasi dari nol

hingga kadar maksimal. Langkah yang dapat dilakukan yaitu media agar dicairkan

dan larutan uji ditambahkan, campuran kemudian dituangkan ke dalam cawan Petri

dan diletakkan dalam posisi miring dan nutrisi kedua ditambahkan diatasnya. Lalu

plate diinkubasi supaya agen antimikroba dapat berdifusi ke dalam agar dan

permukaan media mengering. Mikroba uji kemudian digoreskan pada arah dari

konsentrasi tertinggi hingga terendah. Hasil diperhitungkan sebagai panjang total

pertumbuhan mikroorganisme maksimum yang mungkin dibandingkan dengan

panjang pertumbuhan hasil goresan.

2. Metode Dilusi
Pada metode dilusi, sampel uji dicampur dengan medium cair yang sesuai

yang telah diinokulasi dengan mikroba uji. Pertumbuhan mikroorganisme dapat

diamati secara visual ataupun dengan mengukur kekeruhan menggunakan alat

spektrofotometer. Bila terjadi kekeruhan berarti sampel uji tidak dapat membunuh

atau menghambat pertumbuhan bakteri. Sampel uji yang efektif sebagai antibakteri

adalah sampel uji yang memberikan larutan bening pada medium yang telah

diinokulasi dengan bakteri uji.

a. Metode dilusi cair (Borth Dilution)

Metode ini dapat mengukur kadar hambat minimum (KHM) dan kadar bunuh

minimum (KBM) dalam pengujian antimikroba, dengan cara membuat seri

pengenceran agen antimikroba pada medium cair lalu tambahkan mikroba uji.

KHM dapat ditentukan pada larutan uji agen antimikroba pada kadar terkecil yang

terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji. Sedangkan KBM ditentukan

dengan larutan yang telah ditetapkan sebagai KHM, selanjutnya dikultur ulang pada

media cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun agen antimikroba dan diinkubasi

selama 18-24 jam. Media cair yang tetap jernih setelah inkubasi ditetapkan sebagai

KBM.

b. Metode Bioautografi

Metode ini merupakan metode untuk melokalisasi aktivitas antibakteri pada

kromatogram. Prosedur umumnya berdasarkan difusi dari sampel pada plat KLT

atau pada kromatogram kertas ke lapisan agar. Permasalahan yang disebabkan oleh

perbedaan daya difusi dari kromatogram ke lapisan agar dapat di atasi dengan

teknik bioautografi langsung yaitu dengan mendeteksi langsung pada kromatogram.

Plat KLT disemprot dengan suspensi mikroba, kemudian diinkubasi selama


beberapa hari. Daerah hambatan divisualisasikan dengan penampak noda,

contohnya garam tetrazolim.

Вам также может понравиться