Вы находитесь на странице: 1из 38

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI

Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah suatu penyakit demam berat

yang sering mematikan, disebabkan oleh virus, ditandai oleh peningkatan

permeabilitas kapiler, kelainan hemostasis dan pada kasus berat, sindrom syok

kehilangan protein. Adapun istilah demam dengue adalah sindrom jinak yang

disebabkan oleh beberapa virus yang dibawa arthropoda, ditandai dengan demam

bifasik, mialgia atau atralgia, ruam, leukopenia, dan limfadenopati.

Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi

klinis yang bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undefferntiated febrile

illness), demam dengue, demam berdarah dengue (DBD) dan demam berdarah

dengue disertai syok (dengue shock syndrome = DSS). Gambaran manifestasi

klinis yang bervariasi ini memperlihatkan sebuah fenomena gunung es, DBD, dan

DSS sebagai kasus yang dirawat dirumah sakit merupakan puncak gunung es

yang kelihatan diatas permukaan laut, sedangkan kasus dengue ringan (silent

dengue infecion dan demam dengue) merupakan dasarnya.

Definisi Operasional Infeksi Dengue:

1. Suspek Infeksi Dengue ialah penderita demam tinggi mendadak tanpa sebab

yang jelas berlangsung selama 2-7 hari dan disertai dengan 2 atau lebih tanda

tanda : mual, muntah, bintik perdarahan, nyeri sendi, tanda-tanda perdarahan :

1
sekurang-kurangnya uji tourniquet (Rumple Leede) positif, leucopenia dan

trombositopenia. Infeksi Dengue dapat bermanifestasi 2 macam yaitu infeksi

Dengue Ringan dan Berat.

Tanda-tanda yang mengarah kepada infeksi Dengue Berat adalah :

• Nyeri abdominal

• Muntah yang terus menerus

• Tanda-tanda kebocoran plasma (asites, efusi pleura)

• Perdarahan mukosa (epistaksis, gusi)

• Letargi

• Pembesaran hati > 2 cm

• Pemeriksaan Lab. : Peningkatan hematokrit dan penurunan trombosit

Catatan : DD ditegakkan setelah melewati masa kritis (saat demam turun)

dengan dasar nilai hematokrit normal atau tidak ditemukan adanya kebocoran

plasma sistematik. Pasien dapat dipulangkan setelah diobservasi dalam waktu

24 jam setelah melewati masa kritis.

2. Demam Dengue (DD) ialah demam disertai 2 atau lebih gejala penyerta

seperti sakit kepala, nyeri dibelakang bola mata, pegal, nyeri sendi ( athralgia

), rash, mual, muntah dan manifestasi perdarahan. Dengan hasil laboratorium

leukopenia ( lekosit < 5000 /mm3 ), jumlah trombosit cenderung menurun <

150.000/mm3 dan didukung oleh pemeriksaan serologis.

3. Demam Berdarah Dengue (DBD) ialah demam 2 - 7 hari disertai dengan

manifestasi perdarahan, Jumlah trombosit < 100.000 /mm3, adanya tanda

tanda kebocoran plasma (peningkatan hematokrit ³ 20 % dari nilai normal,

2
dan/atau efusi pleura, dan/atau ascites, dan/atau hypoproteinemia/

albuminemia) dan atau hasil pemeriksaan serologis pada penderita tersangka

DBD menunjukkan hasil positif atau terjadi peninggian (positif) IgG saja atau

IgM dan IgG pada pemeriksaan dengue rapid test (diagnosis laboratoris).

4. Sindrom Syok Dengue (SSD) ialah kasus DBD yang masuk dalam derajat

III dan IV dimana terjadi kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan denyut

nadi yang cepat dan lemah, menyempitnya tekanan nadi (² 20 mmHg) atau

hipotensi yang ditandai dengan kulit dingin dan lembab serta pasien menjadi

gelisah sampai terjadi syok berat (tidak terabanya denyut nadi maupun

tekanan darah).

II. EPIDEMOLOGI

Demam Berdarah Dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-

tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama

dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak

tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat

negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara.

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu

masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan

luas daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya

mobilitas dan kepadatan penduduk. Di Indonesia Demam Berdarah pertama kali

ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang

3
terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK) :

41,3 %). Dan sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia.

Di Indonesia DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 41

tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan persebaran jumlah

provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota,

menjadi 32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten/kota pada tahun 2009.

Pada tahun 2015 jumlah penderita DBD yang dilaporkan sebanyak

129.650 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 1.071 orang (IR/Angka

kesakitan= 50,75 per 100.000 penduduk dan CFR/angka kematian= 0,83%).

Dibandingkan tahun 2014 dengan kasus sebanyak 100.347 serta IR 39,80 terjadi

peningkatan kasus pada tahun 2015. Target Renstra Kementerian Kesehatan untuk

angka kesakitan DBD tahun 2015 sebesar < 49 per 100.000 penduduk, dengan

demikian Indonesia belum mencapai target Renstra 2015.

4
Berikut tren angka kesakitan DBD selama kurun waktu 2008-2015.

Gambaran angka kesakitan DBD menurut provinsi tahun 2015 dapat

dilihat pada Gambar 1. Pada tahun 2015 terdapat sebanyak 21 provinsi (61,8%)

yang telah mencapai target renstra 2015. Provinsi dengan angka kesakitan DBD

tertinggi tahun 2015 yaitu Bali sebesar 257,75, Kalimantan Timur sebesar 188,46,

dan Kalimantan Utara sebesar 112,00 per 100.000 penduduk.

5
Kematian akibat DBD dikategorikan tinggi jika CFR >1%. Dengan

demikian pada tahun 2015 terdapat 5 provinsi yang memiliki CFR tinggi yaitu

Maluku (7,69%), Gorontalo (6,06%), Papua Barat (4,55%), Sulawesi Utara

(2,33%), dan Bengkulu (1,99%). Pada provinsi tersebut masih perlu upaya

peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dan peningkatan kualitas dan kuantitas

SDM kesehatan di rumah sakit dan puskesmas (dokter, perawat dan lain-lain)

termasuk peningkatan sarana-sarana penunjang diagnostic dan penatalaksanaan

bagi penderita di sarana-sarana pelayanan kesehatan. Sedangkan menurut jumlah

kematian, jumlah kematian tertinggi terjadi di Jawa Timur sebanyak 283

kematian, diikuti oleh Jawa Tengah (255 kematian) dan Kalimantan Timur

(65 kematian).

6
III. PENYEBAB

Penyebab penyakit Dengue adalah Arthrophod borne virus, famili

Flaviviridae, genus flavivirus. Virus berukuran kecil (50 nm) ini memiliki single

standard RNA. Virion-nya terdiri dari nucleocapsid dengan bentuk kubus simetris

dan terbungkus dalam amplop lipoprotein.Genome (rangkaian kromosom) virus

Dengue berukuran panjang sekitar 11.000 dan terbentuk dari tiga gen protein

struktural yaitu nucleocapsid atau protein core (C), membrane-associated protein

(M) dan suatu protein envelope (E) serta gen protein non struktural (NS).

Terdapat empat serotipe virus yang disebut DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan

DEN-4. Ke empat serotipe virus ini telah ditemukan di berbagai wilayah

Indonesia. Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa Dengue-3 sangat

berkaitan dengan kasus DBD berat dan merupakan serotipe yang paling luas

distribusinya disusul oleh Dengue-2, Dengue-1 dan Dengue -4.

Terinfeksinya seseorang dengan salah satu serotipe tersebut diatas, akan

menyebabkan kekebalan seumur hidup terhadap serotipe virus yang bersangkutan.

Meskipun keempat serotipe virus tersebut mempunyai daya antigenis yang sama

namun mereka berbeda dalam menimbulkan proteksi silang meski baru beberapa

bulan terjadi infeksi dengan salah satu dari mereka.

7
Gambar 3: Virus Dengue

IV. VEKTOR

Sampai saat ini telah diketahui beberapa nyamuk sebagai vektor dengue.

Walaupun Ae. Aegypti diperkirakan sebagai vektor utama penyakit Dengue

hemorrhagic fever (DHF), pengamatan epidemologis dan percobaan penularan di

laboratorium membuktikan bahwa Ae. Scuttelaris dan Ae. Polynesiens yang

terdapat di Kepulauan Pasifik Selatan dapat menjadi vektor demam dengue.

Di Indonesia, walaupun vektor DHF belum diselidiki secara luas, Ae.

aegypti diperkirakan sebagai vektor terpenting di daerah perkotaan, sedangkan

Ae. albopictus di daerah pedesaan.

Gambar 4: Nyamuk Ae. Aegypti

8
V. PATOGENESIS

Hipotesis infeksi heterolog sekunder oleh Halstead pada tahun 1973 (the

secondary heterologous infection hypothesis atau the sequential infection

hypothesis) sampai saat ini masih dianut oleh sebagian besar sarjana sebagai

konsep patogenesis terjadinya DHF. Berdasarkan hipotesis ini seseorang akan

menderita DHF apabila mendapatkan infeksi berulang oleh serotipe virus dengue

yang berbeda dalam jangka waktu tertentu, yang berkisar diantara 6 bulan – 5

tahun. Hipotesis lain menentangnya ialah hipotesis virulensi virus; menurut

hipostesis ini perbedaan virulenis serotipe/strain serotipe virus dengue adalah

penyebab terjadinya DHF.

Kelemahan hipotesis pertama ialah ketika dilaporkan adanya kasus DSS

pada seorang anak wanita berumur 3 tahun di jakarta yang mengalami infeksi

primer. Kelemahan hipotesis kedua ialah tidak adanya bukti eksperimental, baik

percobaan binatang maupun kultur jaringan yang dapat membuktikan perbedaan

virulensi keempat serotipe/”strain” serotipe virus dengue.

9
Gambar 5: Patogenesis terjadinya syok pada DBD

Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme

imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom

renjatan dengue. Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD

adalah :

a. Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses

netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas

yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam

mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini

disebut dengan antibodi dependent enchancement (ADE);

b. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam

respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu

10
TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin. Sedangkan

TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10;

c. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi

antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi

virus dan sekresi sitokin oleh makrofag;

d. Aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a

dan C5a.

Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan

peneliti lain; menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi

makrofag yang memfagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga

virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue

menyebabkan aktivasi T helper dan T sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan

interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga

disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-1, PAF (platelet

activating factor), IL-6, dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi

endotel dan terjadi kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui

aktivasi oleh kompleks virus antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya

kebocoran plasma.

Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme :

a. Supresi sumsum tulang

b. Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum

tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler

dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi

11
peningkatan hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar

tromobopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru

menunjukkan kenaikan. Hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi

trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan

trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen

C3g, terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosit selama proses

koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi

melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-

tromboglobulin dan PF4 yang merupakan pertanda degranulasi trombosit.

Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel

yang menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan

terjadinya koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium

III dan IV. Aktivasi koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi

melalui aktivasi jalur intrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga

berperan melalui aktivasi faktor Xia namun tidak melalui aktivasi kontak

(kalikrein C1-inhibitor complex).

12
Gambar 6: Patofisiologi berdasarkan gejala yang muncul pada DHF :

VI. GAMBARAN KLINIS

Gambar 7: Klasifikasi infeksi virus dengue

13
Gambaran klinis pada infeksi virus dengue mulai dari asimptomatis

sampai keadaan yang berat bahkan sampai menyebabkan kematian jika tidak

mendapat penanganan. Kasus simptomatis dikelompokkan menjadi

Undifferentiated febrile illness (UF), dengue fever (DF), dengue hemoragic fever

(DHF), dengue shock syndrom (DSS), dan unusual dengue (UD) atau expanded

dengue syndrom (EDS).

Klasifikasi gejala akibat infeksi virus dengue:

 Undifferentiated febrile illness (UF) tidak dapat di diagnosis secara klinis

namun diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan serologi atau virology.

 Dengue fever (DF) dianggap sebagai gangguan sedang karena laporan

kematian pada DF masih jarang, tapi perdarahan masif dapat ditemukan

pada kasus DF.

 Dengue hemoragic fever (DHF) gambaran klinis pada fase febrile tampak

sama pada kelompok DF. Temuan khas pada DHF adalah peningkatan

permeabilitas vaskular (plasma leakage). Jika plasma leakage terjadi pada

pleura dan cavitas peritoneum maka dapat menyeabkan efusi pleura dan

asites.

 Dengue shock syndrom (DSS) gambaran yang ditemukan hampir mirip

dengan DHF namun pada DSS kebocoran plasma yang terjadi sangat hebat

sampai menyebabkan pasien syok.

 (Unusual dengue) UD atau expanded dengue syndrom (EDS) kasus yang

jarang terjadi, dengan kasus DHF disertai syok yang berkepanjangan atau

DHF dengan komorbiditas atau DHF yang disertai infeksi lain.

14
Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase yaitu fase febris, fase

kritis dan fase pemulihan.

1. Pada fase febris, Biasanya demam mendadak tinggi 2 – 7 hari, disertai

muka kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan

sakit kepala. Pada beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, injeksi

farings dan konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah. Pada fase ini dapat

pula ditemukan tanda perdarahan seperti ptekie, perdarahan mukosa,

walaupun jarang dapat pula terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan

gastrointestinal.

2. Fase kritis, terjadi pada hari 3 – 7 sakit dan ditandai dengan penurunan

suhu tubuh disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya

kebocoran plasma yang biasanya berlangsung selama 24 – 48 jam.

Kebocoran plasma sering didahului oleh lekopeni progresif disertai

penurunan hitung trombosit. Pada fase ini dapat terjadi syok.

3. Fase pemulihan, bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian

cairan dari ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48 – 72

jam setelahnya. Keadaan umum penderita membaik, nafsu makan pulih

kembali , hemodinamik stabil dan diuresis membaik.

15
Gambar 8: Gambaran klinis tiap fase dengue

VII. DIAGNOSIS

Langkah penegakkan diagnosis suatu penyakit seperti anamnesis,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang tetap berlaku pada penderita infeksi

dengue. Riwayat penyakit yang harus digali adalah saat mulai demam/sakit, tipe

demam, jumlah asupan per oral, adanya tanda bahaya, diare, kemungkinan adanya

gangguan kesadaran, output urin, juga adanya orang lain di lingkungan kerja,

rumah yang sakit serupa. Pemeriksaan fisik selain tanda vital, juga pastikan

kesadaran penderita, status hidrasi, status hemodinamik sehingga tanda-tanda

syok dapat dikenal lebih dini, adalah takipnea/pernafasan Kusmaul/efusi pleura,

apakah ada hepatomegali/asites/kelainan abdomen lainnya, cari adanya ruam atau

ptekie atau tanda perdarahan lainnya, bila tanda perdarahan spontan tidak

16
ditemukan maka lakukan uji torniket. Sensitivitas uji torniket ini sebesar 30 %

sedangkan spesifisitasnya mencapai 82 %.

Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan

hematokrit dan nilai hematokrit yang tinggi (sekitar 50 % atau lebih)

menunjukkan adanya kebocoran plasma, selain itu hitung trombosit cenderung

memberikan hasil yang rendah.

Diagnosis konfirmatif diperoleh melalui pemeriksaan laboratorium, yaitu

isolasi virus, deteksi antibodi dan deteksi antigen atau RNA virus.

Imunoglobulin M (Ig M) biasanya dapat terdeteksi dalam darah mulai hari

ke-5 onset demam, meningkat sampai minggu ke-3 kemudian kadarnya menurun.

Ig M masih dapat terdeteksi hingga hari ke-60 sampai hari ke-90. Pada infeksi

primer, konsentrasi Ig M lebih tinggi dibandingkan pada infeksi sekunder. Pada

infeksi primer, Imunoglobulin G (Ig G) dapat terdeteksi pada hari ke -14 dengan

titer yang rendah (<1:640), sementara pada infeksi sekunder Ig G sudah dapat

terdeteksi pada hari ke-2 dengan titer yang tinggi (> 1 :2560) dan dapat bertahan

seumur hidup1.

Akhir-akhir ini dikembangkan pemeriksaan Antigen protein NS-1 Dengue

(Ag NS-l) diharapkan memberikan hasil yang lebih cepat dibandingkan

pemeriksaan serologis lainnya karena antigen ini sudah dapat terdeteksi dalam

darah pada hari pertama onset demam. Selain itu pengerjaannya cukup mudah,

praktis dan tidak memerlukan waktu lama. Dengan adanya pemeriksaan Ag NS-l

yang spesifik terdapat pada virus dengue ini diharapkan diagnosis infeksi dengue

sudah dapat ditegakkan lebih dini.

17
Penelitian Dussart dkk (2002) pada sampel darah penderita infeksi dengue

di Guyana menunjukkan Ag NS-l dapat terdeteksi mulai hari ke-0 (onset demam)

hingga hari ke-9 dalarn jumlah yang cukup tinggi. Pada penelitian ini didapatkan

sensitivitas deteksi Ag NS-l sebesar 88,7% dan 91 % sedangkan spesifisitas

mencapai 100%, dibandingkan terhadap pemeriksaan isolasi virus dan RT-PCR

dengan kontrol sampel darah infeksi non-dengue. Penelitian lainnya di Singapura

pemeriksaan NS1- antigen secara Elisa memberikan sensitivitas sampai 93,3 %.

Gambar 9: Timeline infeksi dengue primer dan sekunder dan metode diagnostik

untuk mendeteksi infeksi

Tabel 1. Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue

DD/DBD Derajat* Gejala Laboratorium

DD Demam disertai 2 • Leukopenia

atau lebih tanda : • Trombositopen

sakit kepala, nyeri ia, tidak ditemukan

18
retro-orbital, bukti kebocoran plasma.

myalgia, arthralgia. • Serologi

dengue positif

DBD I Gejala diatas Trombositopenia,

ditambah uji bendungan bukti ada

positif Kebocoran plasma

DBD II Gejala diatas Trombositopenia,

ditambah bukti ada

pendarahan spontan. kebocoran plasma

DBD III Gejala diatas Trombositopenia,

ditambah kegagalan bukti ada

sirkulasi (kulit kebocoran plasma

dingin dan lembab

serta gelisah)

DBD IV Syok berat disertai Trombositopenia,

dengan tekanan bukti ada

darah dan nadi tidak kebocoran plasma

terukur.

* DBD derajat III dan IV juga disebut Dengue Syok Syndrome (DSS)

19
a. Demam Dengue (DD)

Merupakan penyakit

demam akut selama 2-7 hari,

ditandai dengan dua atau lebih

manifestasi klinis sebagai berikut:7

• Nyeri kepala.

• Nyeri retro-orbital.

• Mialgia / artralgia.

• Ruam kulit.

• Manifestasi perdarahan (petekie atau uji bendung-rumple leed positif).

• Leukopenia.

dan pemeriksaan serologi dengue positif, atau ditemukan pasien DD/DBD yang

sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama.

b. Demam Berdarah Dengue (DBD)

Diagnosa DBD ditegakkan jika ada 2 kriteria klinis ditambah dengan 2

kriteria laboratoris. Kasus DBD yang menjadi lebih berat, menjadi kasus Dengue

Shock Syndrome (DSS)3

Tabel 2 : Kriteria Klinik dan Laboratoris DBD

Kriteria Klinik 1. Demam tinggi mendadak, terus menerus selama 2-7 hari

2. Terdapat manifestasi perdarahan seperti torniquet positif,

petechiae, echimosis, purpura, perdarahan mukosa,

epistaksis, perdarahan gusi dan hematemesis dan atau

20
melena

3. Pembesaran hati

4. Syok ditandai dengan nadi lemah dan cepat, tekanan

nadi turun, tekanan darah turun, kulit dingin dan lembab

terutama di ujung jari dan ujung hidung, sianosis sekitar

mulut, dan gelisah.

Kriteria 1. Trombositopenia (100.000ul atau kurang)

Laboratorium 2. Hemokonsentrasi, peningkatan hematokrit 20% atau

lebih.

c. Dengue Shock Syndrome (DSS)

Pada DSS, setelah demam berlangsung selama beberapa hari keadaan

umum tiba-tiba memburuk, hal ini terjadi biasanya pada saat atau setelah demam

menurun, yaitu di antara hari sakit ke 3-7. Hal ini dapat di terangkan dengan

hipotesis meningkatnya reaksi imunologis (the immunological enchancement

hypothesis). Pada sebagian besar kasus ditemukan tanda kegagalan peredaran

darah, kulit teraba lembab dan dingin, sianosis di sekitar mulut, nadi menjadi

cepat dan lembut. Anak tampak lesu, gelisah, dan secara cepat masuk dalam fase

syok. Pasien seringkali mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok. Fabie

(1996) mengemukakan bahwa nyeri perut hebat seringkali mendahului

pendarahan gastrointestinal. Nyeri di daerah retrosternal tanpa sebab yang jelas

dapat memberikan petunjuk adanya pendarahan gastrointestinal yang hebat. Syok

yang terjadi selama periode demam biasanya mempunyai prognosis buruk.

21
Disamping kegagalan sirkulasi, syok ditandai oleh nadi lembut, cepat, kecil

sampai tidak dapat diraba. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang

dan tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau lebih rendah. Syok harus

segera diobati apabila terlambat pasien dapat mengalami syok berat (profound

shock), tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak dapat diraba. Tatalaksana

syok yang tidak adekuat akan menimbulkan komplikasi asidosis metabolik,

hipoksia, pendarahan gastrointestinal hebat dengan prognosis buruk. Sebaliknya

dengan pengobatan yang tepat segera terjadi masa penyembuhan dengan cepat.

Pasien menyembuh dalam waktu 2-3 hari. Selera makan membaik merupakan

petunjuk prognosis baik.

Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan trombositopenia dan

hemokonsentrasi. Jumlah trombosit < 100.000/μl ditemukan di antara hari sakit ke

3-7. Peningkatan kadar hematokrit merupakan bukti adanya kebocoran plasma,

terjadi pula pada kasus derajat ringan walaupun tidak sehebat dalam keadaan

syok. Hasil laboratorium lain yang sering ditemukan ialah hipoproteinemia,

hiponatremia, kadar transaminase serum dan nitrogen darah meningkat. Pada

beberapa kasus ditemukan asidosis metabolik. Jumlah leukosit bervariasi antara

leukopenia dan leukositosis. Kadangkadang ditemukan albuminuria ringan yang

bersifat sementara.

22
VIII. DIFERENSIAL DIAGNOSIS

Demam pada fase akut mencakup spektrum infeksi bakteri dan virus yang

luas. Pada hari-hari pertama diagnosis DBD sulit dibedakan dari morbili dan

idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP) yang disertai demam. Pada hari

demam ke 3-4, kemungkinan diagnosis DBD akan lebih besar, apabila gejala

klinis lain sperti manifestasi perdarahan dan pembesaran hati menjadi nyata.

Kesulitan kadang—kadang dialami dalam membedakan syok pada DBD dengan

sepsis; dalam hal ini trombositopenia dan hemokonsentrasi di samping penilaian

gejala klinis lain seperti tipe dan lama demam dapat membantu.

Diagnosis banding lain pada demam dengue meliputi sejumlah penyakit

virus pernafasan dan seperti influenza dan stadium awal malaria, scrub tifus,

hepatitis, dan leptospirosis. Empat penyakit arbovirus yang mempunyai perjalanan

seperti dengue tetapi tanpa ruam: demem tick Colorado, demam lalat pasir

(sandfly), demam rift Valley, dan demam Ross River.

Diferensial diagnosis demam dengue

23
Tabel 3: Gejala kontitusi non-spesifik pada demam berdarah dengue dan demam

cikungunyah

IX. KOMPLIKASI

1. komplikasi Demam Dengue (DD)

DF dengan perdarahan dapat terjadi jika dihubungkan dengan

penyakit yang mendasari seperti tukak lambung, trombositopenia berat dan

trauma. DBD bukan merupakan bentuk lanjut DD.

2. komplikasi DBD

komplikasi Ini biasanya terjadi akibat syok yang berkepanjangan yang

menyebabkan asidosis metabolik dan pendarahan hebat sebagai akibat dari

DIC dan kegagalan multiorgan seperti hati dan disfungsi ginjal. yang lebih

berbahaya, penggantian cairan yang berlebihan selama terjadi kebocoran

plasma dapat menyebabkan efusi masif yang akan menyebabkan gangguan

pernapasan, kongesti paru akut dan / atau gagal jantung. Pemberian cairan

24
terapi yang terus berlanjut setelah periode kebocoran plasma juga akan

menyebabkan edema paru akut atau gagal jantung, terutama ketika ada

reabsorpsi cairan extravasasi. Selain itu, syok yang berkepanjangan dan terapi

cairan yang tidak sesuai dapat menyebabkan gangguan

metabolisme/elektrolit. kelainan metabolik sering ditemukan sebagai

hipoglikemia, hiponatremia, hipokalsemia dan kadang-kadang hiperglikemia.

Gangguan ini dapat menyebabkan berbagai manifestasi yang tidak biasa,

misalnya encephalopathy.

Expanded dengue syndrome (unusual atau manifestasi atipikal)

Manifestasi yang tidak biasa (unusual) atau jarang terjadi. Dalam

beberapa tahun terakhir dengan penyebaran geografis penyakit dengue dan

dengan keterlibatan lebih banyak pada orang dewasa, termasuk adanya

laporan peningkatan kasus DF dan DHF dengan manifestasi yang tidak biasa.

Termasuk diantaranya: neurologis, hati, ginjal dan keterlibatan organ

terisolasi lainnya. Hal Ini dapat dijelaskan sebagai komplikasi syok sangat

parah atau terkait dengan kondisi dasar host/penyakit atau koinfeksi.

Manifestasi sistem saraf pusat (SSP) termasuk kejang-kejang,

spastisitas, perubahan kesadaran dan transient paresis telah tampak. Penyebab

tergantung pada waktu manifestasi ini dalam kaitannya dengan viremia,

kebocoran plasma atau pemulihan.

X. TATA LAKSANA

Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue , prinsip utama adalah

terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat

25
diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi

merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan

cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral

pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui

intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.

Manajemen DBD Derajat I dan II (Kasus Non-Syok)

Tata laksana dengue sesuai dengan perjalanan penyakit yang terbagi atas 3

fase. Pada fase demam yang diperlukan hanya pengobatan simtomatik dan

suportif. Parasetamol merupakan antipiretik pilihan pertama dengan dosis

10mg/kg/dosis selang 4 jam apabila suhu >380C. Pemberian aspirin dan ibuprofen

merupakan indikasi kontra. Kompres hangat kadang membantu apabila anak

merasa nyaman dengan pemberian kompres. Pemberian antipiretik tidak

mengurangi tingginya suhu, tetapi dapat memperpendek durasi demam.

Pengobatan suportif lain yang dapat diberikan antara lain larutan oralit,

larutan gula-garam, jus buah, susu, dan lain-lain. Apabila pasien memperlihatkan

tanda dehidrasi dan muntah hebat, koreksi dehidrasi sesuai kebutuhan. Apabila

cairan intravena perlu diberikan, maka pada fase ini biasanya kebutuhan sesuai

rumatan. Semua pasien tersangka dengue harus diawasi dengan ketatsejak hari

sakit ke-3. Selama fase demam, belum dapat dibedakan antara DD dengan DBD.

Ruam makulopapular dan mialgia/artralgia lebih banyak ditemukan pada pasien

DD. Setelah bebas demam selama 24 jam tanpa antipiretik, pasien demam dengue

akan masuk dalam fase penyembuhan, sedangkan pasien DBD memasuki fase

kritis.

26
Hati yang membesar dan lunak merupakan indikator fase kritis.Pasien

harus diawasi ketat dan dirawat di rumah sakit. Leukopenia <5000 sel/ mm3 dan

limfositosisdisertai peningkatan limfosit atipikal mengindikasikan bahwa dalam

waktu 24 jam pasien akan bebas demam serta memasuki fase kritis.

Trombositopenia mengindikasikan pasien memasuki fase kritis dan memerlukan

pengawasan ketat di rumah sakit.

Peningkatan nilai hematokrit (Ht) 10-20% menandakan pasien memasuki

fase kritis dan memerlukan pengobatan cairan intravena apabila tidak dapat

minum oral. Pasien harus dirawat dan diberikan cairan sesuai kebutuhan. Tanda

vital, hasil laboratorium, asupan dan luaran cairan harus dicatat dalam lembar

khusus. Penurunan hematorkrit merupakan tanda-tanda perdarahan. Umumnya

pada fase ini pasien tidak dapat makan dan minum karena anoreksia atau dan

muntah. Kewaspadaan perlu ditingkatkan pada pasien dengan risiko tinggi, seperti

bayi, DBD derajat III dan IV, obesitas, perdarahan berat, penurunan kesadaran,

adanya penyulit lain, seperti kelainan jantung bawaan dll, atau rujukan dari

Rumah Sakit lain.

Cairan intravena diberikan apabila terlihat adanya kebocoran plasma yang

ditandai dengan peningkatan Ht 10-20% atau pasien tidak mau makan dan minum

melalui oral. Cairan yang dipilih adalah golongan kristaloid (ringer laktat dan

ringer asetat). Selama fase kritis pasien harus menerima cairan rumatan ditambah

defisit 5-8% atau setara dehidrasi sedang. Pada pasien dengan berat badan lebih

dari 40 kg, total cairan intravena setara dewasa, yaitu 3000 ml/24 jam. Pada

pasien obesitas, perhitungkan cairan intravena berdasarkanberat badan ideal. Pada

27
kasus non syok, untuk pasien dengan berat badan (BB) <15 kg, pemberian cairan

diawali dengan tetesan 6-7 ml/kg/jam, antara 15-40 kg dengan 5 ml/kg/jam, dan

pada anak dengan BB >40 kg, cairan cukup diberikan dengan tetesan 3-4

ml/kg/jam.

DBD derajat II dengan Peningkatan Ht ≥20%

Cairan awal
RL NaCL 0,9% atau RLD5/NaCl 0,9%+D5
6-7 ml/KgBB/Jam

Monitor tanda vital nilai Ht dan trombosit tiap 6 jam

Perbaikan Tidak ada Perbaikan


Tidak gelisah Gelisah
Nadi kuat Distress napas
TD stabil Frekuensi nadi naik
Diuresis cukup Diuresis cukup
Ht turun Ht tetap tinggi
Diuresis kurang/tidak ada
Tanda vital memburuk
Ht meningkat

Tetesan dikurangi Tetesan dinaikkan


10-15 ml/KgBB/Jam
Perbaikan Tetesan dinaikkan bertahap
5 ml/KgBB/Jam
Evaluasi 15 menit
Perbaikan
Sesuaikan tetsan
Tanda vital tidak stabil

5 ml/KgBB/Jam
Distress pernapasan
Ht naik Hb Ht turun
IVFD stop pada 24-48 jam Tek. Nadi ≤ 20 mmHg
Bila tanda vital/Ht stabil
Diuresis cukup

Koloid Transfusi darah segar


20-30 ml/KgBB/Jam 10 ml/KgBB/Jam

Perbaikan
Bagan. Tatalaksana kasus DBD derajat II dengan Peningkatan Ht ≥20%2

28
Setelah masa kritis terlampaui, pasien akan masuk dalam fase

penyembuhan, yaitu saat keadaan overload mengancam. Pada pasien DBD, cairan

intravena harus diberikan dengan seksama sesuai kebutuhan agar sirkulasi

intravaskuler tetap memadai. Apabila cairan yang diberikan berlebihan maka

kebocoran terjadi ke dalam rongga pleura dan abdominal yang selanjutnya

menyebabkan distres pernafasan. Tetesan intravena harus disesuaikan berkala

dengan mempertimbangkan tanda vital, kondisi klinis (penampilan umum,

pengisian kapiler), laboratoris (hemoglobin, hematokrit, lekosit, trombosit), serta

luaran urin. Pada fase ini sering dipergunakan antipiretik yang tidak tepat dan

pemberian antibiotik yang tidak perlu. Cairan intravena tidak perlu diberikan

sebelum terjadinya kebocoran plasma. Penderita DD umumnya tidak perlu

diberikan cairan intravena.

Manajemen DBD Derajat III dan IV (Kasus Syok)

Dengue berat harus dipertimbangkan apabila ditemui bukti adanya

kebocoran plasma, perdarahan bermakna, penurunan kesadaran, perdarahan

saluran cerna, atau gangguan organ berat. Tata laksana dini pemberian cairan

untuk penggantian plasma dengan kristaloid dapat mencegah terjadinya syok

sehingga menghindari terjadinya penyakit berat. Apabila terjadi syok, maka

berikan cairan sebanyak-banyaknya 10-20 ml/kgBB atau tetesan lepas selama 10-

15 menit sampai tekanan darah dan nadi dapat diukur, kemudian turunkan sampai

10 ml/kg/jam. Berikan oksigen pada kasus dengan syok. Enam sampai 12 jam

pertama setelah syok, tekanan darah dan nadi merupakan parameter penting untuk

29
menentukan tetesan cairan, tetapi kemudian perhitungkan semua parameter

sebelum mengatur tetesan.

Setelah resusitasi awal, pantau pasien 1 sampai 4 jam. Apabila tetesan

tidak dapat dikurangi menjadi <10ml/kg/jam karena tanda vital tidak stabil

(tekanan nadi sempit, cepat dan lemah), ulangi pemeriksaan Ht. Dalam keadaan

seperti ini, dapat dipertimbangkan pemberian koloid (diindikasikan pada keadaan

syok berulang atau syok berkepanjangan). Apabila ada kenaikan Ht, ganti cairan

dengan koloid yang sesuai, dengan tetesan 10ml/kg/jam. Siapkan darah dan nilai

kembali pasien untuk kemungkinan pemberian transfusi apabila diperlukan.

Apabila nilai awal Ht rendah, pikirkan kemungkinan perdarahan internal

dan pantau nilai Ht lebih sering. Berikan transfusi darah sesuai kebutuhan bila

perlu. Hentikan perdarahan dengan tindakan yang tepat. I ndikasi transfusi darah

adalah bila terdapat kehilangan darah bermakna, misalnya >10% volume darah

total. (T\total volume darah= 80 ml/kg). Berikan darah sesuai kebutuhan. Setelah

6 jam, apabila Ht menurun, meski telah diberikan sejumlah besar cairan pengganti

dan tetesan tidak dapat diturunkan sampai <10ml/kg/jam, pertimbangkan untuk

pemberian transfusi darah segera.

Apabila syok masih berkepanjangan meski telah diberikan cairan memadai

dan didapatkan penurunan Ht, maka mungkin terdapat perdarahan bermakna yang

memerlukan transfusi darah. Pasien dengan perdarahan tersembunyi dicurigai

apabila ada penurunan Ht dan tanda vital yang tidak stabil meski telah diberi

cairan pengganti dengan volume cukup banyak. Pada keadaan demikian, berikan

30
packed red cell (PRC) 5 ml/kg/kali. Apabila tidak tersedia, dapat diberikan

sediaan darah segar 10 ml/kg/kali.

Transfusi trombosit hanya diberikan pada perdarahan masif untuk

menghentikan perdarahan yang terjadi. Dosis transfusi trombosit adalah 0,2

U/kg/dosis. Pemberian trombosit sebagai upaya pencegahan perdarahan atau

untuk menaikkan jumlah trombosit tidak dianjurkan.12 Perdarahan masif dengue

disebabkan terutama oleh syok berkepanjangan atau syok berulang. Meski jumlah

trombosit rendah, dengan pemberian cairan pengganti yang seksama dalam fase

kritis, perdarahan masif sangat jarang terjadi.

Koreksi gangguan metabolit dan elektrolit, seperti hipoglikemia,

hiponatremia, hipokalsemia and asidosis harus diperhatikan. Penggantian volume

cairan harus dipantau dengan ketat bergantung beratnya derajat kebocoran plasma

yang dapat dilihat dari nilai Ht, tanda vital, dan luaran urin, untuk menghindari

kelebihan cairan (kebocoran lebih cepat pada 6-12 jam pertama). Apabila pasien

mengalami syok berkepanjangan atau syok berulang maka peluang untuk

terjadinya perdarahan semakin besar. Hindari tindakan prosedur yang tidak perlu,

seperti pemasangan pipa nasogastrik pada perdarahan saluran cerna.

Upayakan lama pemberi cairan jangan melebihi 24-48 jam. Segera

hentikan pemberian cairan apabila pasien sudah masuk fase penyembuhan untuk

menghindari terjadinya kelebihan cairan yang dapat mengakibatkan

bendungan/edema paru karena reabsorpsi ekstravasasi plasma.

Secara umum, sebagian besar pasien DBD akan sembuh tanpa komplikasi

dalam waktu 24-48 jam setelah syok. Tanda pasien masuk ke dalam fase

31
penyembuhan adalah keadaan umum membaik, meningkatnya nafsu makan, tanda

vital stabil, Ht stabil dan menurun sampai 35-40%, dan diuresis cukup. Pada fase

penyembuhan dapat ditemukan confluent petechial rash (30%) atau sinus

bradikardi akibat mikokarditis yang umumnya tidak memerlukan pengobatan.

Cairan intravena harus dihentikan segera apabila memasuki fase ini. Apabila

nafsu makan tidak meningkat dan dan perut terlihat kembung dengan atau tanpa

penurunan atau menghilangnya bising usus, kadar kalium harus diperiksa karena

sering terjadi hipokalemia (fase diuresis). Buah-buahan, jus buah atau larutan

oralit dapat diberikan untuk menanggulangi gangguan elektroliti.

Penderita dapai dipulangkan apabila paling tidak dalam 24 jam tidak

terdapat demam tanpa antipiretik, kondisi klinis membaik, nafsu makan baik, nilai

Ht stabil,tiga hari sesudah syok teratasi, tidak ada sesak napas atau takipnea, dan

junlah trombosit >50.000/mm3.

Kegagalan tata laksana umumnya disebabkan oleh kegagalan untuk

memantau tetesan dan jumlah cairan pengganti selama fase kritis. Pemberian

cairan yang berkelebihan atau lebih lama dari masa kebocoran plasma, kegagalan

mengenal perdarahan internal/tersembunyi, pemberian transfusi trombosit yang

tidak perlu, serta kegagalan memantau pasien berobat jalan, dan penggunaan pipa

lambung (nasogastric tube) untuk menentukan adanya perdarahan seringkali

menjadi penyebab tata laksana yang tidak tepat.

Skrining Tersangka Infeksi Dengue di Sistem Triase

Pengobatan kasus dengue menurut klasifikasi diagnosis WHO 2011 tidak

jauh berbeda dengan klasifikasi WHO 1997 yang selama ini dipergunakan di

32
Indonesia. Dalam tata laksana kasus dengue terdapat dua keadaan klinis yang

perlu diperhatikan yaitu

 Sistem triase yang harus disosialisasikan kepada dokter yang bertugas di

unit gawat darurat atau puskesmas. Dalam sistem triase tersebut, dapat

dipilah pasien dengue dengan warning signs dan pasien yang dapat

berobat jalan namun memerlukan observasi lebih lanjut (Gambar 4).

Gambar 11. Alur triage yang dianjurkan

 Tata laksana kasus sindrom syok dengue (DSS) dengan dasar pemberian

cairan yang adekuat dan monitor kadar hematokrit. Apabila syok belum

teratasi selama 2 x 30 menit, pastikan apakah telah terjadi perdarahan dan

transfusi PRC merupakan pilihan (Gambar 5).

33
Gambar 12. Flow chart penggantian volume cairan pada sindrom syok dengue

Tabel 5. Pemeriksaan laboratorium pada profound shock atau dengue dengan

komplikasi*

Keterangan: *apabila belum terjadi perbaikan klinis setelah diberikan cairan

adekuat

34
Pada tabel 5 tertera beberapa pemeriksaan yang perlu dilakukan apabila

kita menghadapi kasus dengue berat yang tidak tampak membaik walaupun

pemeberian cairan telah adekuat sesuai pedoman. Maka perlu dilakukan

pemeriksaan analisis gas darah, evaluasi kadar hematokrit, kadar elektrolit

termasuk kalsium, kadar gula darah dalam serum, dan segera dikoreksi apabila

terdapat kelainan.

Jenis Cairan

Larutan kristaloid yang direkomendasikan oleh WHO adalah larutan ringer

laktat (RL) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL), ringer asetat

(RA), atatu deksrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA), NaCL 0,9% atau

dekstrosa 5% dalam larutan garam faali. Sedangkan larutan koloid adalah

dekstran 40 dan plasma darah.

Berdasarkan rekomendasi WHO 2011, prinsip umum terapi cairan dengue ialah

sebagai berikut:

1. Pemberian cairan kristaloid isotonik selama periode kritis, kecuali pada

bayi usia <6 bulan yang disarankan menggunakan NaCl 0,45%

2. Penggunaan cairan koloid hiperonkotik, misalnya dekstran 40, dapat

dipertimbangkan pada pasien dengan kebocoran plasma yang berat, dan

tidak ada perbaikan yang adekuat setelah pemberian kristaloid.

3. Jumlah cairan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan rumatan

(maintenance) ditambah 5% untuk dehidrasi. Jumlah tersebut hanya untuk

menjaga agar volume intravaskular dan sirkulasi tetap adekuat.

35
4. Durasi pemberian terapi cairan intravena tidak boleh melebihi 24-48 jam

pada kasus syok. Pada kasus tanpa syok, durasi terapi tidak lebih dari 60-

72 jam.

5. Pada pasien obesitas, perhitungan volume cairan sebaiknya menggunakan

berat badan ideal

6. Pemberian cairan selalu disesuaikan dengan kondisi klinis. Kebutuhan

cairan intravena pada anak berbeda dengan dewasa.

7. Pemberian transfusi trombosit tidak direkomendasikan pada anak.

Tabel 6 : kebutuhan cairan berdasarkan berat badan ideal

Tabel 7: Laju pemberian infus pada anak

XI. PENCEGAHAN

Hal yang penting dalam penanggulangan DBD adalah pengendalian vektor

dan kebersihan lingkungannya. Nyamuk Aedes aegypti yang menyebarkan virus

36
dengue berbeda dengan nyamuk rumah biasa. Nyamuk ini memiliki belang hitam

- putih di badan, kepala, dan kakinya dan terbang pada siang hari. Nyamuk betina

bertelur di genangan air bersih, meninggalkan jentik nyamuk yang akan

berkembang menjadi pupa, kemudian menjadi nyamuk dewasa. Siklus nyamuk ini

berlangsung cepat, yaitu setiap 1 minggu sekali. Satu ekor nyamuk betina dapat

menggigit manusia berkali – kali (multiple bites) sehingga penyebaran virus

dengue juga berlangsung cepat.

Strategi pencegahan DBD pada rumah tangga yang lama dikenal adalah

3M Plus. Perlu diketahui bahwa 3M terdiri dari menguras bak mandi, menutup

tempat penampungan air (TPA), dan mendaur ulang barang bekas. Pengurasan

bak mandi tidak hanya dengan air, namun juga perlu penyikatan dinding bak

karena jentik nyamuk dapat menempel pada dinding. Sebaiknya pengurasan bak

dilakukan setiap 1 minggu sekali, sesuai dengan daur hidup nyamuk. Untuk

genangan air yang tidak terjangkau dan tidak dapat dikuras (seperti talang air

hujan), dapat ditaburkan bubuk larvasida (abate). Tindakan Plus lain yang dapat

dilakukan adalah penggunaan kelambu saat tidur dan lotion anti nyamuk, serta

pemeliharaan ikan sebagai predator nyamuk. Fogging (pengasapan) hanya

bermanfaat untuk membasmi nyamuk dewasa; jentik tidak dapat mati dengan

pengasapan.

Usaha pembasmian jentik tidak cukup pada tingkat rumah tangga. Pada

tingkat lingkungan yang lebih besar, pengendalian jentik dapat dilakukan dengan

menggerakkan juru pemantau jentik (jumantik). Jumantik adalah satu orang pada

37
satu rumah yang bertugas memantau keberadaan jentik dan mendorong upaya

pemberantasannya.

VAKSINASI

WHO mengumumkan secara resmi terproduksinya vaksin dengue untuk

pencegahan infeksi virus dengue pada 15 April 2016 lalu. Nama vaksin yang

diresmikan oleh WHO ini adalah Dengvaxia, vaksin yang telah diteliti selama dua

puluh tahun ini merupakan hasil penelitian Sanofi Pasteur. Empat negara,

Meksiko, Brazil, El Salvador, dan Filipina telah memiliki lisensi Dengvaxia.

Vaksin ini diberikan secara tiga kali selama satu tahun melalui cara suntik. Vaksin

ini ditujukan untuk populasi yang berumur lebih dari sembilan tahun yang

terpapar virus pada daerah endemis. Indonesia, sesuai Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sampai tahun 2019, vaksin DBD sudah

disiapkan. Tingkat efektivitas vaksin ini bisa dikembangkan lagi. Badan

Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia menyetujui vaksin dengue

tetravalen impor milik Sanofi Pasteur untuk diproduksi dan diedarkan di daerah

endemik demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia. Pesetujuan vaksin dengue

di Indonesia ini merupakan pendaftaran kedua di Asia dan ketujuh di dunia.

38

Вам также может понравиться