Вы находитесь на странице: 1из 16

BAB I

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 57 tahun
Alamat : Depok
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 9 Februari 2015

II. ANAMNESIS
Diambil dari autoanamnesis tanggal 9 Februari 2015

Keluhan Utama: Adanya lentingan berisi cairan terasa nyeri di perut kanan dan punggung
kanan

Keluhan Tambahan: Pegal – pegal, gatal, panas, dan perih pada daerah lenting.

Riwayat Penyakit Sekarang:


5 hari SMRS muncul kemerahan berserta lenting berisi cairan berkelompok pada
daerah punggung sebelah kanan, sebelumnya pasien merasa pegal-pegal, pusing dan badan
lemah. Pasien sempat mengoleskan balsam pada daerah punggung untuk mengurangi keluhan
pegal – pegal, tapi keluhan tidak berkurang dan dirasakan semakin panas dan terasa nyeri.
3 hari SMRS timbul lentingan berisi cairan pada perut sebelah kanan. Pasien
mengatakan pada daerah lenting terasa nyeri, panas, gatal, dan pegal pada pinggang sampai
punggung. Nyeri semakin hebat ketika pada daerah lenting tersentuh ataupun tersenggol,
sehingga pasien sering tidur dalam posisi miring kiri.
2 hari SMRS lenting bertambah banyak dan bekelompok di bagian perut kanan dan
punggung kanan. Beberapa lentingan sudah pecah dan mengeluarkan carian bening.

1
Pasien mengatakan ini merupakan kejadian yang pertama kali. Pasien belum berobat
ke dokter, ia hanya meminum neuralgin untuk mengatasi pusing dan nyerinya.

Riwayat penyakit dahulu : Cacar air (+)

Riwayat Penyakit Keluarga: tidak ada

III. STATUS GENERALIS


Keadaan Umum : Baik.
Kesadaran : Compos mentis.
Keadaan Gizi : Baik.
Tanda Vital
Tekanan darah : 120/80 mmHg.
Nadi : 88 x/menit.
Pernafasan : 20 x/menit.
Suhu : 36,8 0C
Kepala : Normocephali.
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-.
Hidung : Simetris, deviasi septum (-), secret (-).
Telinga : Liang telinga lapang, tidak ada secret dan pus.
Mulut : Bibir tidak sianosis, tidak ada lesi di sekitar bibir.
Tenggorokan : Faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1 tenang.
Thorak : BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-).
Paru : Suara pernapasan vesikuler, ronki (-), whezzing (-).
Abdomen : Tidak ada nyeri tekan, hepar dan lien tidak teraba membesar.
Kelenjar Getah Bening : Tidak teraba pembesaran.
Ekstremitas : Akral hangat, udem (-).

IV. STATUS DERMATOLOGIKUS

Efloresensi: Tampak vesikel berkelompok, berukuran miliar sampai lentikular, distribusi lesi
setinggi dermatom T6-T7 dextra, tidak melewati garis tengah tubuh dengan dasar permukaan
eritematosa bentuk tidak beraturan, berbatas tegas, berukuran 15 cm x 10 cm.

2
Foto:

Gambar 1. Tampak vesikel berkelompok dengan ukuran miliar sampai lentikular dengan
dasar eritematosa pada punggung kanan

3
Gambar 2. Tampak vesikel berkelompok berukuran miliar sampai lentikular dengan dasar
eritematosa pada perut kanan

4
Gambar 3. Tampak vesikel berkelompok berukuran miliar sampai lentikular pada regio
dermatom T6-T7 dextra dengan dasar eritematosa tidak beraturan dan berbatas tegas.

5
Gambar 4. Vesikel berkelompok berukuran miliar sampai lentikular dengan dasar
eritematosa tidak beraturan dan berbatas tegas pada perut kanan.

6
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak ada.

VI. RESUME
Perempuan 57 tahun datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSPAD dengan keluhan
lentingan yang terasa nyeri di perut kanan dan menjalar hingga punggung kanan. 5 hari
SMRS muncul kemerahan dan lenting berisi cairan berkelompok pada punggung kanan,
sebelumnya pasien merasakan pegal pegal, pusing dan badan lemah. 3 hari SMRS timbul
lenting berkelompok pada perut sebelah kanan. Lesi terasa nyeri, panas, gatal, dan pegal pada
pinggang. 2 hari SMRS lentingan bertambah banyak dan berkelompok.
Status generalis dalam batas normal.
Status dermatologikus pada Regio thorakalis anterior dan posterior dextra.
Efloresensi posterior: Tampak dasar eritematosa berukuran 15 cm x 10 cm, berbatas tegas,
distribusi dermatom setinggi T6-T7, lesi bersifat unilateral dextra dan tidak melewati garis
tengah tubuh, berbentuk multiple vesikel berwarna abu-abu.
Efloresensi anterior: Tampak dasar eritematosa berukuran 10 cm x 4 cm, berbatas tegas,
distribusi dermatom setinggi T6-T7, lesi bersifat unilateral dextra dan tidak melewati garis
tengah tubuh, berbentuk multiple vesikel berwarna kemerahan.

VII. DIAGNOSIS KERJA


Herpes zoster torakalis dextra

VIII. DIAGNOSIS BANDING


Tidak ada

IX. PEMERIKSAAN ANJURAN


Tes Tzanck.

X. PENATALAKSANAAN
 Non Farmakologis
 Istirahat cukup
 Menjaga kebersihan tubuh, terutama daerah lesi perlu dibersihkan dan jangan digaruk
agar vesikel tidak pecah.

7
 Farmakologis
 Sistemik:
 Asiklovir 5 x 800 mg per hari diberikan selama 7 hari
 Asam Mefenamat tablet 3 x 500 mg per hari diberikan selama 5 hari.

 Topical:
 Bedak As. Salisilat 2%
 Asam fusidat cream 2% 3x sehari selama 7 hari.

XI. PROGNOSIS
 Quo ad vitam : ad bonam.
 Quo ad functionam : ad bonam.
 Quo ad sanationam : ad bonam

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
HERPES ZOSTER

I. DEFINISI
Herpes Zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus Varisella Zoster
yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah
infeksi primer. Artinya setiap orang yang pernah mengalami infeksi Varicella Zoster atau
yang lebih dikenal dengan cacar air, mempunyai kemungkinan untuk mengalami Herpes
Zoster.1
Herpes Zoster adalah radang kulit akut, mempunyai sifat khas yaitu vesikel-vesikel
yang tersusun berkelompok sepanjang persarafan sensorik kulit sesuai dermatom.2

II. EPIDEMIOLOGI
Penyebarannya sama seperti varisela. Penyakit ini, seperti yang diterangkan dalam
definisi, merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah penderita mendapat varisela.
Kadang-kadang varisela ini berlangsung subklinis. Tetapi ada pendapat yang menyatakan
kemungkinan transmisi virus secara aerogen dari pasien yang sedang menderita varisela atau
herpes zoster.1
Herpes zoster ditularkan antar manusia melalui kontak langsung, salah satunya adalah
transmisi melalui pernapasan sehingga virus tersebut dapat menjadi epidemik di antara inang
yang rentan. Resiko terjangkit herpes zoster terkait dengan pertambahan usia. Hal ini
berkaitan adanya immunosenescence, yaitu penurunan sistem imun secara bertahap sebagai
bagian dari proses penuaan. Selain itu, hal ini juga terkait dengan penurunan jumlah sel yang
terkait dalam imunitas melawan virus Varicella Zoster pada usia tertentu. Penderita
imunosupresi, seperti pasien HIV/AIDS yang mengalami penurunan CD4 sel-T, akan
berpeluang lebih besar menderita herpes zoster sebagai bagian dari infeksi oportunistik.
Biasanya terjadi pada orang dewasa, kadang-kadang juga pada anak-anak.Insiden
pada pria dan wanita sama banyaknya. Infeksi ini tidak tergantung musim.2

9
III. FAKTOR RESIKO
1) Usia lebih dari 50 tahun, infeksi ini sering terjadi pada usia ini, akibat daya tahan
tubuhnya melemah. Makin tua usia penderita herpes zoster makin tinggi pula resiko
terserang nyeri.
2) Orang yang mengalami penurunan kekebalan (immunocompromised) seperti HIV dan
leukemia.
3) Orang dengan terapi radiasi dan kemoterapi.
4) Orang dengan transplantasi organ mayor seperti transplantasi sumsum tulang.3

IV. PATOFISIOLOGI
Pada episode infeksi primer, virus dari luar masuk ke tubuh hospes atau penerima
virus. Selanjutnya terjadilah penggabungan virus dengan DNA hospes, mengadakan
multiplikasi atau replikasi sehingga menimbulkan kelainan kulit. Virus akan menjalar melalui
serabut saraf sensorik ke ganglion saraf dan berdiam secara permanen dan bersifat laten.
Infeksi hasil reaktivasi virus Varicella yang menetap di ganglion sensorik setelah infeksi
Chicken Fox pada masa anak-anak. Sekitar 20% orang yang menderita cacar akan menderita
Shingles (Herpes Zoster) selama hidupnya dan biasanya hanya terjadi sekali. Ketika
reaktivasi virus berjalan dari ganglion ke kulit area dermatom.1
Varisela sangat menular dan biasanya menyebar melalui droplet respiratori. Virus
Varicela Zoster (VVZ) bereplikasi dan menyebar ke seluruh tubuh selama kurang lebih 2
minggu. Pasien infeksius sampai semua lesi dari kulit menjadi krusta. Selama terjadi kulit
yang erupsi, VVZ menyebar dan menyerang saraf secara retrograde untuk melibatkan
ganglion akar dorsalis di mana ia menjadi laten. Virus berjalan sepanjang saraf sensorik ke
area kulit yang dipersarafinya dan menimbulkan vesikel dengan cara yang sama dengan cacar
air. Herpes zoster terjadi dari reaktivasi dan replikasi VVZ pada ganglion akar dorsal saraf
sensorik. Latensi adalah tanda utama virus Varisela zoster dan tidak diragukan lagi
peranannya dalam patogenitas.1 Sifat latensi ini menandakan virus dapat bertahan seumur
hidup pada hospes dan pada suatu saat masuk dalam fase reaktivasi yang mampu sebagai
media transmisi kepada seseorang yang rentan. Reaktivasi mungkin karena stres,
immunosupresi, atau mungkin terjadi secara spontan. Virus kemudian menyebar kesaraf
sensorik menyebabkan gejala prodormal dan erupsi kutaneus dengan karakteristik yang
dermatomal.1

10
Mekanisme re-aktivasi Virus Varisela Zooster

Dermatom tubuh

V. GEJALA KLINIS
1) Gejala prodormal
 Keluhan biasanya diawali dengan gejala prodormal yang berlangsung selama 1-4 hari.
 Gejala yang mempengaruhi tubuh: demam, sakit kepala, fatigue, malaise, nausea,
rash, kemerahan, sensitif, sore skin (penekanan kulit), nyeri (rasa terbakar atau
tertusuk), gatal dan kesemutan.
 Nyeri bersifat segmental dan dapat berlangsung terus-menerus atau hilang timbul.
Nyeri juga bisa terjadi selama erupsi kulit.

11
2) Gejala yang mempengaruhi mata
 Berupa kemerahan, sensitif terhadap cahaya, pembengkakan kelopak mata,
kekeringan mata, pandangan kabur, penurunan sensasi penglihatan dan lain lain.
3) Timbul erupsi kulit
 Erupsi kulit hampir selalu unilateral dan biasanya terbatas pada daerah yang
dipersarafi oleh satu ganglion sensorik.
 Erupsi dapat terjadi diseluruh bagian tubuh, yang tersering di daerah ganglion
thorakalis.
 Lesi dimulai dengan makula eritroskuamosa, kemudian terbentuk papul-papul dan
dalam waktu 12-24 jam lesi berkembang menjadi vesikel. Pada hari ketiga berubah
menjadi pustul yang akan mengering menjadi krusta dalam 7-10 hari. Krusta dapat
bertahan selama 2-3 minggu kemudian mengelupas. Pada saat ini nyeri segmental
juga menghilang.
 Lesi baru dapat terus muncul sampai hari ke 4 dan kadang-kadang sampai hari ke 7.
 Erupsi kulit yang berat dapat meninggalkan makula hiperpigmentasi dan jaringan
parut (pitted scar).
4) Pada lansia biasanya mengalami lesi yang lebih parah dan mereka lebih sensitif terhadap
nyeri yang dialami.
5) Kadang-kadang terjadi limfadenopati regional.4

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1) Tzanck1,5
Mengidentifikasi virus herpes tetapi tidak dapat membedakan herpes zoster dan herpes
simpleks. Pada pemeriksaan Tzanck dapat ditemukan sel datia berinti banyak.
2) Kultur virus
Cairan dari lepuh yang baru pecah dapat diambil dan dimasukkan ke dalam media virus
untuk segera dianalisa di laboratorium virologi. Apabila waktu pengiriman cukup lama,
sampel dapat diletakkan pada es cair. Pertumbuhan virus Varicella Zoster akan memakan
waktu 3-14 hari dan uji ini memiliki tingkat sensitivitas 30-70% dengan spesifitas
mencapai 100%.
3) Deteksi antigen
Uji antibodi fluoresens langsung lebih sensitif bila dibandingkan dengan teknik kultur sel.
Sel dari ruam atau lesi diambil dengan menggunakan scapel (semacam pisau) atau jarum

12
kemudian dioleskan pada kaca dan diwarnai dengan antibodi monoklonal yang
terkonjugasi dengan pewarna fluoresens. Uji ini akan mendeteksi glikoprotein virus.
4) Uji serologi
Uji serologi yang sering digunakan untuk mendeteksi herpes zoster adalah ELISA.
5) PCR
PCR digunakan untuk mendeteksi DNA virus Varicella Zoster di dalam cairan tubuh,
contohnya cairan serebrospina.1,5

VII. KOMPLIKASI
1) Neuralgia Pasca Herpes zoster (PHN) merupakan nyeri yang tajam dan spasmodik
(singkat dan tidak terus-menerus) sepanjang nervus yang terlibat.Neuralgia pascaherpetik
dapat timbul pada umur diatas 40 tahun, persentasenya 10-15%. Semakin tua penderita
makin tinggi persentasenya.1
2) Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa komplikasi . Sebaliknya
pada yang disertai defisiensi imunitas, infeksi HIV, keganasan, atau berusia lanjut dapat
disertai komplikasi. Vesikel sering menjadi ulkus dengan jaringan nekrotik.
3) Pada herpes zoster oftalmikus dapat terjadi berbagai komplikasi, di antaranya ptosis
paralitik, keratitis, skleritis, uveitis, korioretinitis, dan neuritis optik.
4) Paralisis motorik terdapat pada 1-5% kasus, yang terjadi akibat penjalaran virus secara
per kontinuitatum dari ganglion sensorik ke sistem saraf yang berdekatan. Paralisis
biasanya timbul dalam 2 minggu sejak awitan munculnya lesi. Berbagai paralisis dapat
terjadi, misalnya di muka, diafragma, batang tubuh, ekstremitas, vesika urinaria, dan
anus. Umumnya akan sembuh spontan.
5) Infeksi juga dapat menjalar ke alat dalam, misalnya paru, hepar, dan otak.1

VIII. PENATALAKSANAAN
1) Pengobatan topical1,3
 Pada stadium vesikular diberi bedak salisil 2% atau bedak kocok kalamin untuk
mencegah vesikel pecah.
 Bila vesikel pecah dan basah diberikan kompres terbuka dengan larutan antiseptik
atau kompres dingin dengan larutan Burrow 3x sehari selama 20menit.
 Apabila lesi berkrusta dan agak basah dapat diberikan salep antibiotik
(basitrasin/polisporin) utuk mencegah infeksi sekunder selama 3x sehari.

13
2) Pengobatan Sistemik
Drug of choice adalah acyclovir merupakan DNA Polymerase Inhibitor yang dapat
mengintervensi infeksi virus dan replikasinya. Meski tidak menyembuhkan infeksi herpes
namun dapat menurunkan keparahan penyakit dan nyeri. Dapat diberikan secara oral,
topikal, atau parenteral. Pemberian per oral mempunyai kelemahan, yaitu bioavaibilitas
yang rendah dan dosis diberikan lima kali sehari.4 Pemberian lebih efektif pada hari
pertama dan kedua pasca kemunculan vesikel. Namun hanya memiliki efek yang kecil
terhadap post terapeutik neuralgia. Pemberian secara intravena hanya pada penderita
dengan immunocompromised yang berat atau tidak dapat diobati secara per oral. Dosis
yang digunakan untuk pemberian oral adalah 5x800 mg sehari dan biasanya diberikan
selama 7 hari. Bisa digunakan valasiklovir 3x1000 mg sehari karena konsentrasi dalam
plasma yang tinggi.
Antiviral lain yang dianjurkan adalah vidarabine (Ara-A, Vira-A) dapat diberikan
lewat infus intravena atau salep mata.
3) Kortikosteroid dapat digunakan untuk menurunkan respon inflamasi dan efektif namun
penggunaannya masih kontroversi karena dapat menurunkan penyembuhan dan menekan
respon imun.
4) Analgesik non narkotik dan narkotik diresepkan untuk manajemen nyeri dan antihistamin
diberikan untuk menyembuhkan pruritus.
5) Penderita dengan keluhan mata
Keterlibatan seluruh mata atau ujung hidung yang menunjukkan hubungan dengan cabang
nasosiliaris nervus optalmikus, harus ditangani dengan konsultasi optalmologis. Dapat
diobati dengan salep mata steroid topikal dan midriatik, antivirus dapat diberikan.
6) Neuralgia Pasca Herpes zoster
Bila nyeri masih terasa meskipun telah diberikan asyclovir pada fase akut, sebagai gold
standart maka dapat diberikan golongan trisiklik, yaitu amitriptilin. Dosis yang dipakai
sebagai anti nyeri adalah lebih rendah daripada dosis sebagai antidepresan. Penggunaan
amitriptilin dosis rendah (10-50 mg) pada malam hari dapat mengurangi onset PHN pada
pasien herpes zoster. Menghambat reuptake serotonin dan norepinefrin di presinaps
membran sel sehingga terjadi peningkatan konsentrasi serotonin dan atau norepinefrin di
susunan saraf pusat. Menghambat reuptake serotonin dan norepinefrin di presinaps
membran sel sehingga terjadi peningkatan konsentrasi serotonin dan atau norepinefrin di
susunan saraf pusat.6

14
IX. PROGNOSIS
 Umumnya baik, tergantung berat ringannya faktor predisposisi.
 Pada orang muda dan anak umumnya baik.7

15
BAB III
DAFTAR PUSTAKA

1. Handoko RP. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Penyakit Virus. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ke-5. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2009; 110-111.
2. Siregar RS. Penyakit Virus. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi ke-2. Jakarta :
EGC, 2013; 84 – 7.
3. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Penyakit Virus. Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi Ke-3. Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius. 2000;128-9.
4. Straus SE, Oxman MN, Schmader KE. Varicella and herpes zoster. In: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatricks
Dermatol. Gen. Med. 7th ed; 112-2.
5. Melton CD. Herpes Zoster. Emedicine World Medical Library:
http//www.emedicine.com. diunduh pada 09 Februari 2015
6. Hartadi, Sumaryo S. Infeksi Virus. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates, 2000; 92-4.
7. Martodihardjo S. Penanganan Herpes Zoster dan Herpes Progenitalis. Ilmu Penyakit kulit
dan Kelamin. Surabaya: Airlangga University Press, 2001; 65-3.

16

Вам также может понравиться