Вы находитесь на странице: 1из 96

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Konteks Penelitian

PP Nomor 18 tahun 2016 merupakan peraturan pemerintah terbaru yang

mengatur tentang tata kelola perangkat daerah, Peraturan Pemerintah tersebut

merupaka turunan dari Undang Undang nomor 23 tahun 2014. Pasal 43 dalam

peraturan pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 disebutkan bahwa Rumah Sakit

Daerah sebagai unit organisasi Fungsional yang bekerja secara profesional. Secara

bahasa tidak ada yang berbeda secara signifikan karna Rumah Sakit Daerah

merupakan unit layanan, hanya secara struktural berubah karna tidak lagi

dilaksanakan oleh pejabat struktural tugas dan fungsi organisasi di Rumah Sakit

dilakukan murni oleh pegawai fungsional yang mendapat tugas tambahan

melakukan pekerjaan struktural.

Perubahan Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 2016 diawali dengan

terbitnya Undang Undang nomor 23 Tahun 2014 mengenai organisasi perangkat

daerah menggantikan Undang Undang Nomor 32 tahun 2014. Dalam undang

undang tersebut disampaikan bahwa perangkat daerah hanya terdiri dari Sekretaris

Daerah, Sekretaris DPRD, Inspektorat, dinas, badan dan kecamatan dalam undang

undang tersebut Rumah Sakit Daerah yang awalnya disebut sebagai lembaga

tehnis daerah hilang istilahnya dan melahirkan Peraturan Pemerintah nomor 18

tahun 2016 . Dalam Peraturan tersebut disebut bahwa Rumah Sakit Daerah berada

dibawah Dinas Kesehatan, Rumah sakit daerah harus menjalankan pungsinya

melayani masyarakat secara profesional.

1
2

Rumah sakit daerah sebagai unit organisasi fungsional yang bekerja secara

profesional menjalankan organisasinya dibawah dinas kesehatan, sehingga tidak

ada lagi pejabat struktural yang di tempatkan di Rumah Sakit Daerah. Dalam

pekerjaannya Rumah Sakit Daerah bertanggung jawab kepada Dinas Kesehatan

setempat dan dipimpin oleh seorang dokter yang ditetapkan oleh kepala dinas

kesehatan. Tugan memimpin Rumah Sakit Daerah bagi seorang dokter hanya

merupakan tugas tambahan saja sementara tugas pokoknya adalah tetap

melakukan pelayanan yang profesional kepada masyarakat.

Ledia Hanifah Amalia seorang anggota DPR RI yang pernah

berkecimpung di bidang kesehatan menyatakan bahwa persolan yang terjadi di

dunia kesehatan hingga tahun 2011 berkisar pada permasalahan bahwa seorang

direktur Rumah Sakit menurut Komisi IX tidak lah harus seorang dokter siapapun

bisa yang penting dia memiliki kecakapan dalam pengelolaan Rumah Sakit atau

seorang yang memiliki latar belakang manajemen Rumah Sakit. Isu tersebut

sempat menjadi perdebatan yang panjang dan mendapat protes keras terutama dari

profesi dokter. Rumah Sakit sebagai lembaga yang cukup dinamis dalam

pengelolaannya berbeda dengan unit organisasi yang lain dibawah koordinasi

Kementrian Kesehatan. Begitu banyak profesi yang terlibat dalam pengelolaan

sebuah rumah sakit yang tidak melulu bicara soal dokter dan perawat saja.

Dalam pengelolaan manajemen keuangan Rumah Sakit pun memiliki

aturan tersendiri yang hanya dapat dilakukan oleh Rumah sakit melalui peraturan

yang dimuat dalam Peraturan pemerintah mengenai PPK-BLUD. Dengen

menggunakan aturan PPK-BLUD rumah sakit diperbolehkan mengabaikan


3

peraturan tentang pengadaan barang dan jasa yang termuat dalam Peraturan

Presiden nomor 54 tahun 2010

Rumah sakit adalah organisasi yang unik dan sangat spesifik sebagai

sebuah instansi. Tidak hanya profesi dokter yang ada dan bekerja di rumah sakit,

ada banyak profesi lainnya yang bekerja di rumah sakit seperti farmasi, analis

perawat dan lain lain. Tidak mudah bagi seorang Direktur untuk melakukan

pekerjaan rumah yang masih terus harus dilakukan hingga saat ini antara lain

mengurus jaminan kesehatan masyarakat, melakukan akreditasi terhadap

pelayanan serta membuat rumah sakit sebagai tempat yang nyaman dan cocok

bagi dunia pendidikan kesehatan.

Perkembangan Rumah Sakit mengalami lompatan yang sangat besar, di

era global dan terbitnya Undang Undang keterbukaan publik Rumah Sakit di

tuntun tidak hanya melakukan pelayanan prima akan tetapi menjadi sebuah

lembaga yang terbuka dan mampu bersaing dengan pengobatan alternatif lainnya.

Dibutuhkan pengelolaan yang jelas agar Rumah Sakit mampu bersaing di era

global. Saat ini begitu banyak undang undang dan peraturan presiden yang baru

dikeluarkan oleh pemerintah mengakibatkan turbulensi pelayanan di rumah sakit.

Kemajuan perkembangan rumah sakit saat ini mengalami perubahan besar dimana

rumah sakit sedang berada dalam suasana global dan kompetitif. Rumah sakit

sebagai sarana kesehatan dituntut untuk selalu nmempertahankan mutunya dengan

memberikan pelayanan yang sesuai dengan harapan masyarakat sebagai penerima

jasa dapat merasa puas (Rahardja and Manurung 2004)

Manajemen profesional berarti melaksanakan manajemen dengan cara

yang dapat dipertanggung jawabkan dan dilaksanakan oleh orang orang yang
4

terlatih dan serta memiliki kemampuan yang dapat dipertanggung jawabkan dalam

rangka memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Menjaga mutu

pelayanan merupakan hal utama yang harus dilakukan oleh seluruh jajaran

manajemen rumah sakit.

Usaha kepuasan suatu kinerja dan kepuasan pasien pada pelayanan Rumah

Sakit memerlukan hubungan yang terjalin diantara unit organisasi yang terkait

didalamnya. Bagaimanapun proses saling berhubungan tersebut mengacu pada

kepuasan kerja pada anggota organisasi. Sebuah perusahaan membutuhkan

seorang pemimpin yang mampu membantu dalam menjalani koordinasi dari

anggota organisasinya karena keberhasilan atau gagalnya suatu organisasi

ditentukan oleh pemimpin dalam kepemimpinannya. Peraturan pemerintah no 18

tahun 2016 menyebutkan bahwa direktur rumah sakit adalah seorang dokter

fungsional yang melaksanakn tugas tambahan sebagai seorang direktur.

Sampai saat ini kepemimpinan dalam suatu organisasi masih menarik

untuk diteliti, adanya latar belakang pemimpin terhadap gaya kepemimpinannya

juga dapat mempengaruhi bagaimana pemimpin tersebut menjalankan roda

organisasi. Pembagian kekuasaan pucuk pimpinan selalu memiliki magnet khusus

dalam sebuah organisasi, berbagai kepentingan melatarbelakangi perebutan

kekuasaan tersebut. (Bass and Stogdill 1990) menyatakan bahwa kualitas dari

pemimpin sering kali dianggap sebagai faktor terpenting yang menentukan

keberhasilan dan kegagalan organisasi. (Schein 2010) juga menyatakan bahwa

pimpinan mempunyai pengaruh besar terhadap keberhasilan organisasi. (Porter

1998) menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan suatu unsur kunci dalam

keefektifan organisasi.
5

Perubahan struktur politik di indonesia setelah rezim Presiden Soeharto

dianggap sebagai angin segar bagi tumbuhnya demokrasi di negeri ini. Lahirnya

partai partai baru dan perubahan sistem pemilu membawa dinamika baru

perpolitikan nasional. Menarik untuk dicatat, bahwa sejak tahun 2005 setahun

setelah ditetapkan di tingkat nasional provinsi dan kabupaten Indonesia telah

melakukan pemilihan langsung pertama untuk memilih gubernur, walikota, dan

bupati. Undang undang nomor 32 tahun 2004 yang mengatur tentang pelaksanaan

pemilu kada secara langsung sebagai bentuk dari desentralisasi atau manifestasi

otonomi daerah yang membedakan dua rezim yaitu orde baru dan era reformasi.

Setelah pemberlakuan pemilihan kepala daerah secara langsung, politik

elektroral di Indonesia banyak mengalami perubahan dari segi pelaksanaan,

format pemilihan serta rekruitmen kandidat dalam pemilihan kepala daerah

ataupun pemilu legislatif. Perubahan sistem ini merupakan implementasi dari

amandemen Undang Undang Dasar 1945 dengan tujuan untuk lebih mematangkan

demokrasi secara lebih substansif dan bukan bersifat prosedural.

Sektor kesehatan merupakan salah satu sektor yang memiliki magnet

tersendiri dalam geliat politik Indonesia. Desentralisasi fiscal di sektor kesehatan

adalah pengalaman tahun 2000-2007 mengenai kesulitan pemerintah pusat dalam

memahami dampak desentralisasi keuangan pada periode awal desentralisasi.

Ketika terjadi pemindahan pengalokasian anggaran ke daerah melalui DAU, yang

terjadi adalah kegagalan sektor kesehatan mendapatkan dana di daerah. Kegagalan

ini direspon oleh pemerintah pusat dengan memberikan dana dekonsentrasi yang

besar. Akibatnya terjadi situasi menyerupai resentralisasi sistem alokasi anggaran

kesehatan di sekitar tahun 2004-2005. Akan tetapi, dengan keterbatasan


6

kemampuan keuangan pemerintah pusat dan kesulitan teknis penyaluran dana

dekonsentrasi menyebabkan pendanaan pemerintah pusat di tahun 2006-2007 dan

awal tahun 2008 mengalami kesulitan besar.(Trisnantoro 2009)

Amanat Undang undang otonomi daerah memandatkan wewenang kepada

daerah dalam pengelolaan organisasi perangkat daerah. Peran daerah dianggap

perlu mengingat luasnya wilayah Indonesia. Sejarah telah mencatat bahwa pada

akhir tahun 1970-an, Indonesia melakukan desentralisasi di bidang kesehatan

namun tidak disertai dengan desentralisasi fiskal. Akibatnya tidak terjadi

pemindahan wewenang dari pemerintah pusat ke daerah. Bagian ini mengkaji

apakah kebijakan desentralisasi fiskal berjalan, dan berusaha memahami prospek

pembangunan kesehatan dalam era desentralisasi.(Trisnantoro 2009)

Tahun 1999 dinyatakan sebagai periode big bang dunia kesehatan, dimana

begitu banyak kebijakan sektor kesehatan yang tidak diikuti oleh teknis yang baik

sehingga menjadi tahun kebingungan bagi penyelenggaraan sektor kesehatan di

Indonesia. Desentralisasi kesehatan terjadi pada kurun waktu tahun 2000-2007

dengan berbagai masalah sebagai berikut

1. Desentralisasi fiskal yang dianggap gagal karena selama ini

perencanaan keuangan dan pembiayaan sektor kesehatan lebih banyak

dibagi melalui pemerintah pusat sehingga pembagiannya tidak merata

antara daerah kecil dan daerah besar.

2. Asuransi kesehatan yang menggunakan Askes kin penerapannya gagal

karena ketidak tahuan pemerintah daerah terhadap petunjuk tehnis dan

petunjuk pelaksanaannya.
7

3. Surveilan pada tahun 2004 pemerintah dianggap kebingungan apakah

akan penggunakan sistem resentralisasi atau desentralisasi.

Penelitian Trisnanto menyampaikan menyatakan telah terjadi fiscal

capacity dimana kemampuan masyarakat akan perawatan pasca kesehatan rendah.

Pemerintah pusat berfokus kepada program penyembuhan pasien setelah itu

pemerintah daerah harus mengalokasikan dana untuk program pasca kesehatan.

Pemerintah daerah selaama ini melakukan pendekatan Need basic approach

dimana pemda merasa tidak memiliki sektor kesehatan. Hal ini tercermin dari

pengadaan anggaran dalam sektor kesehatan yang dapat dilihat dari hasil

pengamatan anggaran yang digunakan selama ini. Sektor kesehatan terlalu kental

suasana politik harus memperhitungkan rasionalitas tehnisk dibanding dengan

tekanan politik.

Ada beberapa hal penting dalam konsep good governance United Nations

Development Programme (UNDP) antara lain : parsitipasi masyarakat

,transparansi,akuntabilitas, dan mengutamakan aturan hukum. Dalam Konteks

good governance peran pemerintah dalam sector Kesehatan ada tiga yaitu :

sebagai regulator, pemberi dana dan pelaksana kegiatan (Walshe and Rundall

2001)

Peran pemerintah sebagai pemberi sumber pembaiayaan dilakuan olen

pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pembiyaan Sektor Kesehatan dari

Pemerintah Pusat yaitu bersumber dari APBN yang dibagi menjadi Dana

Dekonsentrasi dan Dana Alokasi Khusus, Dana Dekonsentrasi yaitu dana yang

membiayai sektor Kesehatan di tingkat Pusat dan di tingkat provinsi, sedangkan

Dana Alokasi Khusus adalah dana APBN yang membiayai sektor Kesehatan di
8

tingkat Kabupaten/Kota. Sedang pembiayaan pada sektor Kesehatan oleh

Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) bersumber dari Dana Alokasi

Umum (DAU).

Peran Pemerintah sebagai Regulator dan penetap kebijakan pelayanan

Kesehatan dapat dilakukan oleh Kementrian Kesehatan di Pemerintah Pusat

melalui Sistem Kesehatan Nasional di Tingkat Indonesia dan Sistem Kesehatan

Daerah di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Contoh lain Penetapan

Kebijakan/Regulasi oleh Kementrian Kesehatan dengan ditetapkannya Standar

Pelayanan Minimal yang berisi Indikator-indikator Pembangunan Kesehatan dan

oleh daerah di buat Standar Pelayanan Minimal daerah sesuai kebutuhan dan

kondisi daerah masing-masing.

Peran Pemerintah Sebagai Pelaksana dilakukan melalui Fasilitas

Pelayanan Kesehatan Pemerintah berupa rumah sakit pusat maupun daerah, dan

Puskesmas. Pelayanan Kesehatan terhadap masyarakat tidak hanya dilakukan oleh

Pemerintah tapi dilaksanakan juga oleh swasta untuk itu Pemerintah sebagai

pelaksana perlu mencipatakan sistem Manajeman Pelayanan Kesehatan yang baik.

Dalam menunjang ketiga peran pemerintah tersebut diatas diperlukan

beberapa hal yaitu :

1. Komitmen Politik untuk pengembangan pelayanan Kesehatan, terutama

bagi pemerintah daerah ditingkat Provinsi maupun Kabupaten kota yang

kenyataanya sekarang ini Sektor Kesehatan bagi pemda masih kalah

prioritas dibandingkan dengan sector-sektor lain.

2. Pendekatan Pro-orang miskin


9

3. Menyeimbangkan peran pemerintah, lembaga usaha swasta dan lembaga

swadaya masayarakat dalam pelayanan Kesehatan

4. Menangani kegagalan pasar, misalnya pemerintah sebaiknya membiayai

masyarakat miskin yang tidak mampu membeli pelayanan Kesehatan

5. Menajemen lembaga pelayanan Kesehatan yang berorientasi pada

pengguna

6. partisipasi luas dari masyarakat dan lembaga usaha dalam pengambilan

keputusan, reformasi bidang Kesehatan, dan pengembangan system

Kesehatan

7. Memberantas praktik-praktik illegal dalam pelayanan Kesehatan, termasuk

korupsi. Pembiayaan pelayanan Kesehatan yang responsive dan fair

8. Desentralisasi Pelayanan

Desentralisasi kesehatan yang dimulai pada kurun waktu tahun 2000

dimulai dengan adanya Undang undang otonomi daerah. Pusat membagi perannya

dalam menjalankan peran sebagai pengurus kesehatan masyarakat dengan

pemerintah daerah. Pada tahun 2001 hingga 2004 penggunaan fasilitas rumah

sakit oleh masyarakat meningkat. Terlihat dari peningkatan angka hunian rumah

sakit yang mencapai 100 persen. Banyak masyarakat yang semakin sadar untuk

menggunakan fasilitas kesehatan yang disediakan oleh pemerintah.

Permasalahn muncul manakala pemerintah daerah tidak dapat

menterjemahkan kriteria masyarakat miskin yang menjadi acuan dalam kegiatan

pelayanan masyarakat yang menggunakan jaminan kesehatan masyarakat yang

bersumber dari pemerintah. Permasalahan pun tidak berhenti hingga disitu,

banyak pengelola Rumah Sakit dalam hal ini direktur yang harus mengalami
10

masalah dalam keuangan dikarenakan seringnya pihak asuransi kesehatan

terlambat dalam elakukan pelayanan. Pembelian obat menjadi sebuah masalah

besar yang sangat mengganggu pelayanan kepada masyarakat. Selain itu juga

adanya data pasien peserta jaminan kesehatan yang tidak sama antara yang

dimiliki oleh pemerintah pusat, pemerintah Daerah maupun Rumah sakit yang

melayani pasien. Carut marut penyelenggaraan asuransi kesehatan membuat PT

Asuransi Kesehatan yang selama ini ditunjuk mengelola sektor pembiayaan

kesehatan di berhentikan dan diganti oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Pemerintah Daerah selama ini tidak pernah dilibatkan dalam pengelolaan

jaminan kesehatan Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2004 dan Undang

undang 32 tahun 2004 dirasa belum maksimal. Pemerintah merasa bahwa urusan

kesehatan tetap menjadi kewenangan pusat karena selama ini pusat lah yang

menjalankan dan melakukan koordinasi dibidang kesehatan. Komunikasi yang

buruk menjadi salah satu penyebab dari ketidak sesuaian antara pemerintah daerah

dan pemerintah pusat. Dinas Kesehatan merasa tidak punya peran dalam mengatur

Rumah Sakit, karena tidak adanya penyerahan pengendalian wewenang. Dinas

Kesehatan tidak memiliki pengaruh terhadap kelompok medik terutama kelompok

dokter spesialis.

Dua budaya yang berbeda melatarbelakangi perbedaan pandangan antara

Rumah Sakit dan Dinas Kesehatan Dinas Kesehatan diwarnai oleh faham budaya

public Health sementara Rumah Sakit diwarnai oleh Budaya Medik. Ini pun

tercermin dari dua ditjen yang berbeda di Kementrian Kesehatan Rumah Sakit

berada dibawah naungan Ditjen Pelayanan Medis sementara Dinas Kesehatan

dibawah Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat. Dinas Kesehatan melakukan upaya


11

kesehatan terhadap masyarakat sementara Rumah Sakit melakukan upaya

kesehatan perorangan.

Terjadi pragmentasi kemampuan akibat dari neoliberalisme dan globalisasi

budaya. Dokter dan profesinya semakin memiliki kultur materialisme terlihat dari

berbagai kegiatan ilmiah dan kongres profesi ideologi pasar liberal. Belum adanya

aturan standar pendapatan yang diterima oleh dokter manjadi sebuah masalah

manakala akan dilakukan audit terhadap dokter yang melakukan pelayanan. Dan

Asuransi kesehatan pun tidak memberikan rambu rambu yang jelas mengenai obat

yang dapat digunakan dalam melakukan pelayanan. Tidak pernah ada cerita

negosiasi yang dilakukan asuransi kesehatan terhadap kelompok dokter dalam hal

pelayanan masyarakat, sehingga setiap dokter memiliki wewenang dan tata cara

tersendiri dalam melakukan pelayanan. Seorang kepala Rumah Sakit tidak dapat

mengendalikan dan mencampuri teknis medis saat dokter melakukan pelayanan.

Pimpinan Rumah sakit kesulitan mencari bentuk dan budaya rumah sakit

dalam melakukan pelayanan. Budaya organisasi yang ada cenderung mengacu ke

arah birokrasi yang rumit yang tentu saja berpengaruh kepada setiap anggota

organisasi tersebut. Budaya birokrasi pun belum berintergrasi dengan optimal

sehingga bentuk dan budaya rumah sakit dalam melakukan pelayanan. Budaya

organisasi yang ada cenderung mengacu ke arah birokrasi yang rumit yang tentu

saja berpengaruh kepada setiap anggota organisasi tersebut. Budaya birokrasi pun

belum berintergrasi dengan optimal sehingga Rumah Sakit belum memiliki

kondisi yang menguntungkan baik untuk rumah sakit maupun untuk pasien.

Dinas Kesehatan yang di amanatkan undang undang untuk mengawasi

Rumah Sakit belum siap menjadi pengawas sektor kesehatan. Posisi eselonisasi
12

yang sama, ditjen medis yang berbeda di kemenes dan budaya organisasi yang

berbeda menjadi salah satu penyebab desentralisasi belum dijalankan secara

optimal. Kewenangan mengasasi dan menjadi penanggung jawab yang seharusnya

dilakukan oleh dinas kesehatan belum menjadi hal yang dapat dilakukan karena

selama ini ada jarak yang terjadi antara dinas kesehatan dengan Rumah sakit.

Perkembangan politik sektor kesehatan terlihat berbeda dengan sektor

lainnya yang ada di Indonesia. Senioritas dan budaya saling menghormati terlihat

sangat kental mewarnai pengelolaan sektor kesehatan. Para akademisi melakukan

tugasnya dengan baik dalam menciptakan ideologi dan merancang kebijakan

dalam sektor kesehatan. Kesantunan sangat dapat dirasakan dalam perkebangan

kebijakan dalam mengatur kesehatan. Perbedaan yang mencolok terjadi antara

dokter saat melakukan pelayanan di Indonesia dengan di uar negeri. Di indonesia,

dokter adalah senter dalam melakukan pelayanan, dokter di bayar berdasarkan

pelayanan yang dilakukan semakin banyak pasien maka akan semakin banyak

pendapatannya. Berbeda dengan dokter di luar negeri dimana dokter diluarnegeri

bukan senter dari pelayanan dokter di luarnegeri adalah bagian dari rumah sakit

yang mendapat kan gaji selayaknya pegawai rumah sakit yang lainnya jadi

besaran gaji yang diterima tidak berdasarkan kepada banyak nya pasien yang

dilayani.

Komunikasi politik adalah proses penyampaian informasi mengenai

politik dari pemerintah kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada

pemerintah. Informasi merupakan hal yang sangat penting ketika kita berbicara

organisasi modern, karena organisasi (pemerintah) tersebut akan dapat

mempertahakan kekuasaannya yang dikarenakan mereka tidak mengerti apa yang


13

menjadi kebutuhan dari masyarakatnya sehingga dari situ muncul ketidak puasan

masyarakat kepada penguasa yang kemudian berujung pada proses pergantian

penguasa baik itu dengan cara yang diatur secara konstitusi maupun dengan

kudeta. Disisi lain informasi juga dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengetahui

sejauh mana pemerintah menjalankan fungsinya, dengan cara seperti apa dan

bagaimana capaian dikehendaki. Partai politik berada diantara pemerintah dan

masyarakat. Partai politik ini berada diantara pemerintah dan masyarakat,

sehingga sangat stretegis posisi dalam hubungan ini. Dalam hubungan ini

tentunya akan sangat tergantung dipihak ana partai politik berada, apakah dipihak

pemerintah ataukah oposis, tentunya hal ini akan mempengaruhi isi dari

pemberian informasi yang diberikan kepada masyarakat terkait dengan sudut

pandang atau nilai nilai yang diperjuangkan.

Provinsi Jawa Barat sebagai salah satu provinsi terbesar di Indonesia

memiliki komitmen yang cukup tinggi terhadap pelaksanaan pelayanan kesehatan

bagi masyarakatnya. Provinsi Jawa Barat akan mengembangkan tujuh rumah

sakit daerah menjadi rumah sakit rujukan regional. Ini dilakukan sebagai upaya

pemerataan layanan kesehatan bagi masyarakat Jawa Barat. Ada tujuh rumah sakit

daerah yang akan dikembangkan sebagai rumah sakit rujukan regional. Di

antaranya Rumah Sakit Cibinong, Rumah Sakit Syamsuddin Sukabumi, Rumah

Sakit Gunung Jati Cirebon, Rumah Sakit Tasikmalaya, Rumah Sakit Al-Ihsan

Bandung, Rumah Sakit Cibabat Cimahi, dan Rumah Sakit Karawang.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif dengan

pendekatan Studi Kasus yang merupakan metode kualitatif. Peneliti berpikir

metode ini sangat tepat menjadi cara yang dapat menguraikan fenomena pada
14

penelitian komunikasi politik kesehatan pasca penerapan PP No 18 tahun 2016.

Seperti yang dijelaskan (Geertz 1988) Thick description, mengenai proses-proses

yang kompleks dan pengaruhnya dalam konteks tertentu. Kemampuan untuk

memberikan potret yang kaya dengan cara ini merupakan manfaat utama studi

kasus. Pembaca riset anda harus dibuat untuk merasakan seolah-olah mereka ada

di sana bersama anda dalam riset yang anda lakukan, melihat apa yang anda lihat,

menyimpulkan apa yang anda telah simpulkan. (Daymon and Holloway 2010)

Pendekatan studi kasus, menurut peneliti adalah sebuah cara yang

memungkinkan dapat mendeskripsikan serta mengeksplorasi fenomena yang

terlihat pada komunikasi politik kesehatan pasca penerapan PP no 18 tahun 2016.

Raco menjelaskan Studi kasus ini dapat membantu peneliti untuk mengadakan

studi mendalam tentang perorangan, kelompok, program, organsasi, budaya,

agama, daerah atau bahkan Negara. Pemahaman kasus khusus yang terjadi masa

lampau akan membantu pribadi, masyarakat dan komunitas untuk memahami dan

mengatasi masalah yang sedang dihadapi atau yang akan dihadapi. (Raco 2010)

1.2 Fokus Kajian Penelitian

Berdasarkan pandangan tersebut penulis melakukan penelitian dengan

judul “Bagaiama Pola Komunikasi Politik Kesehatan di RSUD Rujukan

Regional Jawa Barat Pasca Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 18

Tahun 2016 ?”.

1.3 Pertanyaan Penelitian


15

Merujuk pada fokus kajian penelitian diatas, maka pertanyaan-pertanyaan

penelitian adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Pola pembagian kekuasaan di Rumah Sakit pasca penerapan

Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahu 2016?

2. Bagaimana peran leadership dalam penerimaan Peraturan Pemerintah

nomor 18 tahun 2016?

3. Bagaimana proses pengembangan pola komunikasi politik kesehatan

pasca penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2016?

4. Bagaimana pemeliharaan Budaya Organisasi Kesehatan di Rumah sakit

rujukan regional Jawa Barat pasca penerapan PP No 18 Tahun 2016 ?

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan ruang lingkup fokus kajian dan pertanyaan-pertanyaan

sebagaimana diatas, maka maksud dari penelitian ini mengkaji pola komunikasi

politik kesehatan di Rumah Sakit Rujukan Regional Jawa Barat pasca penerapan

Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016. Penelitian ini dilaksanakan dengan

beberapa tujuan. Adapun tujuannya adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana Pola pembagian kekuasaan di Rumah

Sakit pasca penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahu 2016

2. Untuk mengetahui bagaimana peran leadership dalam penerimaan

Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 2016

3. Untuk mengetahui bagaimana proses pengembangan pola

komunikasi politik kesehatan pasca penerapan Peraturan Pemerintah

Nomor 18 tahun 2016


16

4. Untuk mengetahui bagaimana pemeliharaan Budaya Organisasi

Kesehatan di Rumah sakit rujukan regional Jawa Barat pasca

penerapan PP No 18 Tahun 2016

1.5 Kegunan Penelitian

1.5.1 Kegunaan Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat melahirkan suatu kajian keilmuan yang

memberi konstribusi pada ranah akademis dan menjadi salah satu bahan referensi

bagi studi ilmu komunikasi dalam hal kajian Komunikasi Politik kesehatan

1.5.2 Kegunaan Praktis

Penelitian ini pula diharapkan dapat menjadi sumbangsih informasi dan

bahan kajian bagi para stakeholder ataupun pengambil kebijakan terutama

pemerintah dalam menciptakan pola komunikasi politik kesehatan di Jawa Barat

1.6 Kajian Literatur

1.6.1 Review Penelitian Sejenis

Terdapat beberapa penelitian yang dijadikan penulis sebagai bahan rujukan

dari hasil penelusuran dari karya karya ilmiah yang telah dibuat oleh peneliti

terdahulu dalam penelitian sebagai berikut:

1. (Bossert and Beauvais 2002)

Studi ini mengulas pengalaman desentralisasi di empat negara

berkembang: Ghana, Uganda, Zambia dan Filipina. Ini menggunakan dua

kerangka analisis untuk menggambarkan dan membandingkan jenis dan tingkat

desentralisasi di setiap negara. Kerangka pertama menentukan tiga jenis


17

desentralisasi: dekonsentrasi, delegasi dan devolusi. Kerangka kedua

menggunakan pendekatan agen utama dan peta inovatif 'ruang keputusan' untuk

menentukan rentang pilihan untuk berbagai fungsi yang ditransfer dari pusat ke

pinggiran sistem. Analisis tersebut menemukan berbagai jenis dan tingkat

desentralisasi yang berbeda, dengan Filipina menunjukkan pilihan terluas atas

banyak fungsi yang diserahkan ke unit pemerintah daerah. Pilihan paling sedikit

ditransfer melalui delegasi ke layanan kesehatan otonom di Ghana. Uganda dan

Zambia menampilkan variasi di antara ekstrem ini. Tidak cukup bukti dampak

desentralisasi untuk menilai bagaimana perbedaan dalam 'ruang keputusan' ini

mempengaruhi kinerja setiap sistem kesehatan.

2. Paradigma pelayanan publik bidang kesehatan dalam rangka

sistem kesehatan nasional

Penelitian yang dilakukan oleh Dr. I Wayan Gde Wiryawan, S.H.,M.

Kesehatan merupakan Hak Dasar Manusia yang dilindungi secara konstitusional,

yang berimplikasi pada munculnya kewajiban negara untuk menyediakan

pelayanan publik dalam bidang kesehatan. Kompleksitas pelayanan publik

dibidang kesehatan masih terjadi pasca reformasi yang salah satunya adalah

tujuannya adalah memperbaiki pelayanan publik dibidang kesehatan. Hasil

penelitian menunjukan bahwa pelayanan publik dibidang kesehatan merupakan

salah satu pelayanan publik yang paling bermasalah setelah bidang pendidikan.

Hal tersebut menunjukkan bahwa reformasi pelayanan publik bidang kesehatan

masih terbatas pada persoalan prosedural dan belum menyentuh persoalan

substansial.Pelayanan publik bidang kesehatan sebagai pelayanan jasa yang

bersifat intangible yang akan diukur tingkat keberhasilannya dengan kepuasan


18

masyarakat yang selalu dinamis, menyebabkan pentingnya perubahan paradigma

pelayanan publik bidang kesehatan dengan “The New Publik Service” dengan

menjadikan masyarakat sebagai titik sentralnya dalam sistem pelayanan public

3. Implementasi kebijakan tentang standar pelayanan minimal

bidang kesehatan di puskesmas garawangi kabupaten Kuningan

Provinsi Jawa Barat

Penelitian yang dilakukan oleh M Rifa”i dkk, pelayanan kesehatan

semakin dibutuhkan sejalan dengan perkembangan ilmu kedokteran dan

munculnya berbagai penyakit sebagai dampak kurangnya kesadaran masyarakat

menjaga kesehatan, baik yang ditimbulkan dari lingkungan sekitar maupun

kebiasaan masyarakat pada pola makan dan pola hidup yang kurang sehat. Untuk

itu, Pemerintah Kabupaten Kuningan, melalui dinas kesehatan, berusaha

menerapkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 741 Tahun 2008 tentang SPM

bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota dan Keputusan Nomor: 828 Tahun 2008

sebagai petunjuk teknis pelaksanaannya. dengan demikian, standar pelayanan

kesehatan yang dilaksanakan oleh Puskesmas Garawangi Kabupaten Kuningan

merupakan perwujudan dari kebijakan Pemerintah Pusat guna melindungi dan

meningkatkan derajat kesehatan masyarakat

4. Aspek penting pengembangan dan pemberdayaan sumber daya

manusia (SDM) kesehatan di era Desentralisasi

Sejak kebijakan desentralisasi mulai diberlakukan di Indonesia, daerah

mempunyai keleluasaan untuk menyelenggarakan aspek pemerintahan yang

mencakup beberapa sektor, termasuk sektor kesehatan. Salah satu aspek yang

perlu kita cermati dengan seksama sebagai dampak pelaksanaan desentralisasi di


19

bidang kesehatan adalah dalam hal manajemen Sumber Daya Manusia (SDM).

Makalah ini menyoroti beberapa perubahan aspek SDM kesehatan dalam

era desentralisasi, dilakukan dengan teknik studi literatur. Peningkatan mutu

pelayanan akan berhubungan juga dengan peningkatan kualitas SDM sebagai

penyelenggara pelayanan kesehatan tersebut. Peningkatan kualitas SDM harus

dilakukan mulai dari tahap persiapan hingga pemanfaatan. Pengembangan dan

pemberdayaan SDM kesehatan di era desentralisasi mencakup tiga unsur utama,

yaitu perencanaan, pengadaan dan pendayagunaan SDM kesehatan. Desentralisasi

menimbulkan perubahan yang positif pada beberapa fungsi manajemen SDM

dalam organisasi dinas tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Diharapkan dengan

adanya penulisan semacam ini dapat menjadi bahan masukan dalam pelayanan di

institusi kesehatan serta dapat dijadikan sebagai informasi dalam mendukung

kebijakan-kebijakan tentang pengembangan SDM dalam meningkatkan pelayanan

kepada pasien.

5. Manajemen Perubahan di Lembaga Pemerintah: Studi Kasus

Implementasi kebijakan Pelaksanaan PPK-BLUD di Rumah Sakit

Jiwa Provinsi NTB

Rumah Sakit Jiwa Provinsi NTB sebagai satusatuny pusat rujukan utama

pelayanan jiwa di Provinsi NTB dituntut untuk dapat melayani masyarakat, dapat

berkembang dan mandiri serta harus mampu bersaing dalam memberikan

pelayanan yang bermutu dan terjangkau bagi masyarakat. Dalam rangka

memenuhi tuntutan tersebut maka sejak 29 Januari2011 RS Jiwa Provinsi NTB

telah mendapat pengesahan penuh sebagai Rumah Sakit Jiwa dengan Pola

Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD). Oleh karena


20

itu, dibutuhkan kajian mendalam tentang implementasi kebijakan pelaksanaan

PPK-BLUD di Rumah Sakit Jiwa Provinsi NTB.

Tujuan dari penelitian ini adalah Mengeksplorasi pelaksanaan proses

transformasi rumah sakit jiwa dan implementasi kebijakan pelaksanaan

PPKBLUD di Rumah Sakit Jiwa Provinsi NTB. Rancangan penelitian ini

menggunakan penelitian kualitatif dengan studi kasus untuk mendeskripsikan

dinamika proses perubahan dan implementasi kebijakan pelaksanaan PPK-BLUD

di Rumah Sakit Jiwa Provinsi NTB.

Tahap pelaksanaan proses transformasi tidak semuanya berjalan sesuai

yang diharapkan sehingga implementasi kebijakan PPK-BLUD juga tidak berjalan

maksimal karena beberapa fleksibilitas sebagai hak istimewa sebuah RS dengan

pola keuangan BLUD belum dilaksanakan. Para pengelola keuangan masih ragu-

ragu untuk menerapkan fleksibilitas tersebut dimana pola pengelolaan keuangan

yang dilaksanakan masih mengikuti mekanisme pengelolaan keuangan pemerintah

daerah. Bagi para stakeholder eksternal, implementasi kebijakan pelaksanaan

PPK-BLUD di RSJ Provinsi tidak merugikan kebijakan fiskal daerah karena hasil

pendapatan RSJ Provinsi tetap diperhitungkan sebagai penerimaan daerah. Hasil

survei terhadap kepuasan masyarakat atas pelayanan di RSJ Provinsi, data

pendapatan dan pengelolaan anggaran serta pembagian jasa pelayanan kepada

para pegawai di RSJ Provinsi memberikan gambaran bahwa implementasi

kebijakan PPK-BLUD di RSJ Provinsi memberikan dampak positif terhadap

kinerja keuangan, kinerja pelayanan dan kinerja manfaat di RSJ Provinsi. yaitu

terjadi peningkatan terhadap jumlah pendapatan RSJ, beberapa indikator

pelayanan mengalami peningkatan dan peningkatan terhadap pembagian jasa


21

pelayanan kepada seluruh karyawan RSJ. Manajemen perubahan pada proses

transformasi tidak berjalan maksimal sehingga implementasi PPK-BLUD yang

dilaksanakan di RSJ Provinsi juga belum dapat terlaksana dengan baik.

NAMA (Bossert and Dr. I Wayan Gde M Rifai Dkk Misnaniarti Julastri Rondonuwo Siti Nursanti
Beauvais 2002) Wiryawan, S.H.,M.
JUDUL pengalaman Paradigma Implementasi Aspek Penting Manajemen Komunikasi Politik
desentralisasi di empat pelayanan publik kebijakan tentang Pengembangan Perubahan Kesehatan Pasca
negara berkembang: bidang kesehatan standar pelayanan dan Lembaga di Penerapan PP no 18
Ghana, Uganda, dalam rangka sistem minimal bidang Pemberdayaan Pemerintah: Studi Tahun 2016
Zambia dan Filipina kesehatan nasional kesehatan di Sumber Daya Kasus implementasi
puskesmas garawangi Manusia Kebijakan
kabupaten Kuningan Kesehatan Di Era pelaksanaan
Provinsi Jawa Barat Desentralisasi PPKBLUD di
Rumah Sakit Jiwa
Provinsi NTB
TUJUAN Untuk mengetahui Memperbaharui Untuk mengetahui Untuk menyoroti Mengeksplorasi Untuk mengetahui
sistem desentralisasi pelayanan publik sejauh mana implikasi beberapa spek pelaksanaan proses bagaimana
bidang kesehatan di 4 peraturan pemerintah perubahan SDM transformasi rumah implementasi PP no
negara tentang standar kesehatan dalam sakit jiwa dan 18 Tahun 2016 di
pelayanan minimal era desentralisasi implementasi rumah sakit rujukan
kepada masyarakat kesehatan kebijakan regional Jawa Barat
menjadi aturan dalam pelaksanaan
pelayanan masyarakat PPKBLUD di
Rumah Sakit Jiwa
Provinsi NTB
METODE Studi kasus Majemuk Studi Kasus Studi kasus Studi Literatur Studi Kasus Studi Kasus
HASIL Ini menggunakan dua Kompleksitas Penelitian Peningkatan mutu Tahap pelaksanaan
kerangka analisis pelayanan publik yang dilakukan oleh M pelayanan akan proses transformasi
untuk menggambarkan dibidang kesehatan Rifa”i dkk, pelayanan berhubungan juga tidak semuanya
dan membandingkan masih terjadi pasca kesehatan semakin dengan berjalan sesuai yang
jenis dan tingkat reformasi yang salah dibutuhkan sejalan peningkatan diharapkan
desentralisasi di setiap satunya adalah dengan perkembangan kualitas SDM sehingga
negara. Kerangka tujuannya adalah ilmu kedokteran dan sebagai implementasi
pertama menentukan memperbaiki munculnya berbagai penyelenggara kebijakan PPK-
tiga jenis pelayanan publik penyakit sebagai pelayanan BLUD juga tidak
desentralisasi: dibidang kesehatan. dampak kurangnya kesehatan berjalan maksimal
dekonsentrasi, delegasi Hasil penelitian kesadaran masyarakat tersebut. karena beberapa
dan devolusi. menunjukan bahwa menjaga kesehatan, Peningkatan fleksibilitas sebagai
Kerangka kedua pelayanan publik baik yang ditimbulkan kualitas SDM hak istimewa
menggunakan dibidang kesehatan dari lingkungan sekitar harus dilakukan sebuah RS dengan
pendekatan agen merupakan salah maupun kebiasaan mulai dari tahap pola keuangan
utama dan peta satu pelayanan masyarakat pada pola persiapan hingga BLUD belum
inovatif 'ruang publik yang paling makan dan pola hidup pemanfaatan. dilaksanakan. Para
keputusan' untuk bermasalah setelah yang kurang sehat. Pengembangan pengelola keuangan
menentukan rentang bidang pendidikan. Untuk itu, Pemerintah dan masih ragu-ragu
pilihan untuk berbagai Hal tersebut Kabupaten Kuningan, pemberdayaan untuk menerapkan
fungsi yang ditransfer menunjukkan bahwa melalui dinas SDM kesehatan di fleksibilitas tersebut
dari pusat ke pinggiran reformasi pelayanan kesehatan, berusaha era desentralisasi dimana pola
sistem. Analisis publik bidang menerapkan Peraturan mencakup tiga pengelolaan
tersebut menemukan kesehatan masih Menteri Kesehatan unsur utama, yaitu keuangan yang
berbagai jenis dan terbatas pada Nomor: 741 Tahun perencanaan, dilaksanakan masih
tingkat desentralisasi persoalan prosedural 2008 tentang SPM pengadaan dan mengikuti
yang berbeda, dengan dan belum bidang Kesehatan di pendayagunaan mekanisme
Filipina menunjukkan menyentuh Kabupaten/Kota dan SDM kesehatan. pengelolaan
pilihan terluas atas persoalan Keputusan Nomor: Desentralisasi keuangan
banyak fungsi yang substansial.Pelayana 828 Tahun 2008 menimbulkan pemerintah daerah.
diserahkan ke unit n publik bidang sebagai petunjuk perubahan yang Bagi para
pemerintah daerah. kesehatan sebagai teknis pelaksanaannya. positif pada stakeholder
Pilihan paling sedikit pelayanan jasa yang dengan demikian, beberapa fungsi eksternal,
ditransfer melalui bersifat intangible standar pelayanan manajemen SDM implementasi
delegasi ke layanan yang akan diukur kesehatan yang dalam organisasi kebijakan
kesehatan otonom di tingkat dilaksanakan oleh dinas tingkat pelaksanaan PPK-
Ghana. Uganda dan keberhasilannya Puskesmas Garawangi provinsi dan BLUD di RSJ
Zambia menampilkan dengan kepuasan Kabupaten Kuningan kabupaten/kota. Provinsi tidak
variasi di antara masyarakat yang merupakan Diharapkan merugikan
ekstrem ini. Tidak selalu dinamis, perwujudan dari dengan adanya kebijakan fiskal
22

cukup bukti dampak menyebabkan kebijakan Pemerintah penulisan daerah karena hasil
desentralisasi untuk pentingnya Pusat guna melindungi semacam ini dapat pendapatan RSJ
menilai bagaimana perubahan dan meningkatkan menjadi bahan Provinsi tetap
perbedaan dalam paradigma derajat kesehatan masukan dalam diperhitungkan
'ruang keputusan' ini pelayanan publik masyarakat pelayanan di sebagai penerimaan
mempengaruhi kinerja bidang kesehatan institusi kesehatan daerah. Hasil survei
setiap sistem dengan “The New serta dapat terhadap kepuasan
kesehatan. Publik Service” dijadikan sebagai masyarakat atas
dengan menjadikan informasi dalam pelayanan di RSJ
masyarakat sebagai mendukung Provinsi, data
titik sentralnya kebijakan- pendapatan dan
dalam sistem kebijakan tentang pengelolaan
pelayanan public pengembangan anggaran serta
SDM dalam pembagian jasa
meningkatkan pelayanan kepada
pelayanan kepada para pegawai di
pasien. RSJ Provinsi
memberikan
gambaran bahwa
implementasi
kebijakan PPK-
BLUD di RSJ
Provinsi
memberikan
dampak positif
terhadap kinerja
keuangan, kinerja
pelayanan dan
kinerja manfaat di
RSJ Provinsi. yaitu
terjadi peningkatan
terhadap jumlah
pendapatan RSJ,
beberapa indikator
pelayanan
mengalami
peningkatan dan
peningkatan
terhadap pembagian
jasa pelayanan
kepada seluruh
karyawan RSJ.
KRITIK Penelitian ini bicara Penelitian ini bicara Penelitian ini berbicara Penelitian ini
mengenai pembagian mengenai aspek tentang aturan main bermain pada
wewenang kekuasaan penyebab buruknya yang hanyateradi di ranah literatur
di 4 negara pelayanan publik puskesmas saja dan melalui buku dan
internasional yang hanya tidak membahas sumber lainnya
setara, pada penelitian penelitiannnya bagaimana implikasi sehingga
ini tidak ada belum menyeluruh aturan tersebut di penelitian ini
perbandingan kegiatan ranah yang lebih hanya bicara pada
desentralisasi di tinggi tataran teori tidak
negara yang lebih bicara mengenai
maju atau negara yang apa yang terjadi
memiliki kualitas dilapangan
manajemen kesehatan sehingga tidak
di bawah negara masalah yang
tersebut. terjadi dilapangan.
PERSAMA Sama sama membahas Sama sama Kajian politik Penelitian ini
AN tentang desentralisasi membahas komunikasi memiliki kesamaan
kesehatan dari mengenai bagai kesehatan yang dengan penelitian
pemerintah pusat mana cara rumah akan di teliti oleh komunikasi politik
kepada pemerintah sakit memperbaiki peneliti akan juga kesehatan yang
daerah dan meningkatkan berbicara akan di lakukan
kualitas pelayanan mengenai SDM oleh penulis, yaitu
publik kepada yang ada di sektor sama sama
masyarakat kesehatan membahas tentang
aturan yang khusus
dikenakan bagi
pengurusan
manajemen rumah
sakit yang
merupakan sebuah
23

organisasi yang
cukup unik. PPK-
BLUD merupakan
aturan spesial yang
dikeluarkan oleh
pemerintah untuk
mengatur
manajemen
keuangan di rumah
sakit dalam rangka
mewujudkan
pelayanan terbaik
bagi masyarakat
PERBEDA Penelitian yang akan Pembahasan yang Perbedaan terletak Perbedaan pada Perbedaan dengan
AN diteliti oleh peneliti akan dilakukan pada peraturan penelitian ini dan penelitian yang
tidak hanya bicara peneliti akan lebih pemerintah yang akan penelitian yang dilakukan penulis
mengenai aspek menyeluruh dikupas dengan objek akan dilakukan adalah fokus dari
pembagian wilayah berbicara mengenai penelitian antara oleh peneliti penelitian ini
akan tetapi biccara aspek komunikasi puskesmas dan rumah adalah dimana penulis
juga mengenai aspek dari cara sakit permasalahan akan lebih berfokus
komunikasi yang berinteraksi antara yang dikaji oleh kepada sistem
terjadi pasca anggota organisasi peneliti akan politik komunikasi
desentralisasi yang berpengaruh dilakukan kesehatan yang ikut
kesehatan satu dengan yang dilapangan dan berubah saat ada
lainnya. akan melihat serta peraturan baru yang
memunculkan muncul.
realitas lebih
dekat dengan
masalah yang
akan dikaji.

1.7.1 Teori Empati dan Homopili

Secara sederhana dapat disebutkan bahwa empati adalah kemampuan

menempatkan diri pada situasi dan kondisi orang lain. Dalam hal ini (Berlo 1960)

memperkenalkan teori yang dikenal dengan nama influence theory of emphaty

(teori penurunan dari penempatan diri kedalam diri orang lain). Artinya,

komunikator mengandaikan diri, bagaimana kalau ia berada pada posisi

komunikan. Dalam hal ini individu memiliki pribadi khayal sehingga individu-

individu yang berinteraksi dapat menemukan dan mengidentifikasi persamaan-

persamaan dan perbedaan masing-masing, yang kemudian menjadi dasar dalam

melakukan penyesuaian.

Dalam komunikasi politik, kemampuan memproyeksikan diri sendiri

kedalam titik pandang dan empati orang lain memberi peluang kepada seorang

politikus utnuk berhasil dalam pembicaraan politiknya. Akan tetapi, menempatkan


24

diri sendiri sebagai orang lain itu memang sangat tidak mudah. Justru itu, empati

dapat dtingkatkan atau dikembangkan oleh seorang politikus melalui komunikasi

social dan komunikasi politik yang sering dilakukan.

Dengan demikian, empati dalam komunikasi politik adalah sifat yang

sangat dekat dengan citra seseorang politikus tentang diri dan tentang orang lain.

Itulah sebabnya empati dapat dinegosiasikan atau dimantapkan melalui

komunikasi antarpersona (Arifin 2003)

1.7.2 Teori Informasi dan Non Verbal

Sejumlah pakar ilmu komunikasi telah mengembangkan teroi informasi

yang banyak diguankan dalam kegiatan komunikasi politik. Teori informasi (dan

teroi sistem sosial) telah digunakan oleh B. Aubrey Fisher dalam menggagas dan

menjelaskan paradigma pragmatis, yang intinya adalah bertindak sama dengan

berkomunikasi, artinya smeua tindakan politik dapat dipandang sebagi

komunikasi politik yang bersifat non verbal. Sering juga dikatakn bahwa tidak ada

komunikasi (verbal), tetapi ada komunikasi (nonverbal).

Dalam teori informasi menurut B. Abrey Fisher informasi diartikan

sebagai pengelompokkan peristiwa-peristiwa dengan fungsi untuk menghilangkan

ketidakpastian. Informasi dapat disebut sebagai konsep yang absolut dan relatif

karen informasi diartikan bukan sebagai pesan, melainkan jumlah, benda dan

energi. Jika dikaitkan dengan teori relativitas, bertindak pun merupakan sebuah

informasi dalam arti sebuah kemungkinan alternatif yang dapat diprediksi

berdasarkan pola (peristiwa dari waktu ke waktu).

Informasi dalm komunikasi politik dapat berarti sikap politik, dan

pendapat politik, media politik, kostum partai politik, dan temu kader partai
25

politik. Menurut teori informasi, komunikasi politik adalh semua hal harus

dianalisis sebagai tindakan politik (bukan pesan) yang mengandung sebuah

kemungkinan alternatif. Jadi, bertindak (melakukan tindakan politik) sama dengan

berkomunikasi (melakukan komunikasi politik).

Sesungguhnya komunikasi nonverbal adalah merupakan tindakan dalm

peristiwa komunikasi politik yang dapat ditafsirkan secara berbeda-beda oleh

khalayak. Justru itu tindakan itu harus diamati dari waktu ke waktu sehingga

dapat ditemukan polanya. Jika pesan nonverbal itu berlangsung berulang-ulang,

terbentuklah pola tindakan. Pola itu kemudian menjadi pedoman untuk melakukan

prediksi pada masa depan. Artinya prediksi dilakuakan berdasarkan pola. Jika

suatu saat terjadi tindakan di luar pola, maka terjadilah kejutan (Arifin 2003)

1.7 Landasan Konseptual

1.7.1 Komunikasi Politik

Membicarakan komunikasi politik tidak semudah membicarakan gerakan

politik ada dua disiplin ilmu yang membicarakannya yaitu komunikasi dan politik.

Jika komunikasi dipandang sebagai sebuah proses maka komunikasi yang

dimaksud adalah komunikasi yang dilakukan secara dua arah dan dilakukan

secara dinamis. David K berlo menyatakan sesuatu yang didefinisikan sebagai

sebuah proses, berarti unsur yang mendukungnya bergerak secara aktif, dinamis

dan tidak statis(Cangara 2009) . Dalam konteks komunikasi berarti telah terjadi

sebuah proses pengiriman pesan yang dilakukan oleh komunikator kepada

komunikannya kemudian mendapat timbal balik atau respon yang sesuai yang

diinginkan oleh pengirim pesan. Dalam kegiatan komunikasi antar pribadi,


26

sementara dalam komunikasi massa maka telah terjadi pengumpuan, pengolahan

serta penyebaran pesan berita dari penerbit atau media massa melalui saluran

media massa kepada publik atau khalayak luas yang dituju dan diinginkan oleh

komunikator.

Tahun 2004, pelaksanaan pemilu untuk memilih anggota DPR, presiden

dan wakil presiden di indonesia, sistemnya tidak lagi seperti pemilu yang

dilaksanakan pada masa pemerintahan soeharto, tetapi rakyat sudam memilih

langsung presiden dan wakil presidennya seperti halnya yang dilakukan Amerika

Serikat yang selama ini dikenal sebagai kampiun demokrasi. Sistem pemilihan

langsung tidak saja untu memilih presiden dan wakil presiden, tetapi juga untuk

memilih gubernur dan wakil gubernur, serta bupati dan/ wakil bupati, walikota

dan wakil walikota yang dilakukan secara langsung. Inikah demokrasi (Cangara

2009)

Hasil pengamatan ekonomi memprediksi bahwa pembangunan telah

melahirkan adanya tujuh persen anggota masyarakat yang memiliki 93 % dari

total aset kekayaan bangsa. Ini berarti kue pembangunan hanya dinikmati oleh

segelintir warga negara, sementara lainnya dipandang hanya menggigit jari

sebagai penonton dalam gemerlapnya pembangunan. Karena itu tidak heran,

ketika terjadi kerusuhan maka yang menjadi sasaran penjarahan, perampokan dan

pemerkosaan adalah komplek perumahan mewah milik warga negara keturunan

yang hasilnya diduga diperoleh melaluii berbagai macam kelicikan, sogok serta

bagi hasil dari kerjasama penguasa. Dengan kekuasaan yang ketat oleh rezim orde

baru, maka kebebasan untuk menyatakan pendapat dan memberi koreksi atas

kesalahan dan ketidak adilan yang dibuat oleh pemerintah dibungkam. Budaya
27

telpon kepada para pengelola media sebagai bentuk pengekangan kebebasan pers

dilakukan oleh para penguasa yang mendukung pemerintah soeharto. Demikian

penculikan sejumlah aktivis hilang tidak tahu rimbanya. (Cangara 2009)

Mengingat bahwa komunikasi poltik senantiasa bertumpu pada perjuangan

penegakan demokrasi, dan salah satu kata kunci dalam demokrasi adalah

kebebasan pers. (Cangara 2009)

Demokrasi berarti menyerahkan pengelolaan negara kepad keinginan

rakyat. Demokrasi tidak saja diwarnai oleh kebebasan pers, tetapi juga kebebasan

untuk melaksanakan aktivitas jejak pendapat (Pooling) sebagai pencerminan

adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat.(Cangara 2009) Rakyat diberikan

keleluasaan untuk mengeluarkan pendapat dan memilih wakilnya untuk

mengelola negara. Demokrasi menjadikan negara Indonesia memiliki martabat

dimata dunia.

Rakyat bicara, rakyat berkomunikasi, rakyat bebas mengeluarkan

pendapatnya, rakyat bisa menjalankan fungski komunikasi baik sebagai

komunikator maupun komunikan menjalankan masing masing fungsinya.

(Cangara 2009) fungsi adalah potensi yang dapat digunakan untuk memperoleh

tujuan tertentu. Komunikasi sebagai disiplin ilmu Memiliki fungsi yang dapat

dimanfaatkan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, secara klasik

fungsi komunikasi pada dasarnya ditujukan untuk :

1. Memberikan informasi
2. Menghibur
3. Mendidik
4. Membentuk opini publik

David K berlo dari michigan state university menyebut secara ringkas

bahwa komunikasi sebagai instrumen interaksi sosial berguna untuk mengetahui


28

dan memprediksi sikap orang lain, juga untuk mengetahui keberadaan diri sendiri

dalam menciptakan keseimbangan di masyarakat. (Byrnes 1965)

Sebagai masyarakat demokrasi yang menjalankan fungsi komunikasi

politik, tentunya dibutuhkan media perantara untuk dapat berkomunikasi dengan

masyarakat luas. Media digunakan sebagai saluran komunikasi guna menjangkau

khalayak luas. Goran Hadebro (1982) seorang profesor komunikasi

berkebangsaan swedia mengembangkan fungsi fungsi media lebih banyak lagi

dalam bukunya Communication and social change in developing nations. Dalam

bukunya itu hadbro mengembangkan fungsi media menjadi 12 fungsi yaitu :

1. Menciptakan iklim perubahan dengan memperkenalkan nilai nilai baru

untuk mengubah sikap dan perilaku modernisme


2. Mengajarkan keterampilan keterampilan baru kepada masyarakat
3. Berperan sebagai pelipat ganda (multiplayer effect) ilmu pengetahuan

dengan menyebarluaskan melalui media komunikasi


4. Menciptakan efisiensi tenaga dan biaya terhadap mobilitas seseorang

melalui informasi yang mereka terima dari media tanpa perlu mengunjungi

tempat tempat yang diinformasikan


5. Meningkatkan aspirasi seseorang dengan informasi yang dibaca, didengar

dan dilihat.
6. Menumbuhkan partisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap hal hal

yang menyangkut kepentingan orang banyak


7. Membantu masyarakat dalam menemukan nilai nilai baru dan

keharmonisan dari suatu situasi tertentu.


8. Mempertinggi rasa kebangsaan melalui penyajian informasi yang

menggugah rasa peduli pada nasib bangsa dan negara


9. Meningkatkan aktivitas politik seseorang untuk ikut menyambil bagian

dalam penentuan kebijakan publik.


10. Mengubah struktur kekuasaan dalam masyarakat melalui penyatuan sikap

untuk menumbang tirani.


29

11. Menjadi sarana pembelajaran melalui pertukaran ide dan pengalaman para

anggota masyarakat tanpa mengenal tempat dan jarak


12. Mendukung pelaksanaan program program pembangunan ekonomi, sosial

serta keamanan dalam rangka meningkatnya kesejahteraan hidup para

warga.

Dalam kehidupan sehari hari politik sering diartikan sebagai tindakan yang

dilakukan oleh seseorang atau sebuah lembaga untuk mendapatkan kekuasaan

sehingga pemilik kekuasaan bisa dengan bebas melakukan kehendaknya. Politik

biasanya berkaitan dengan kepentingan seseorang atau sebuah golongan. Politik

juga erat kaitannya dengan perebutan kekuasaan yang memicu perebutan

kepentingan pribadi maupun golongan.

Dalam Rogers trusty thesaurus, pelaku politik (politisi) diartikan sama

dengan perbuatan korupsi, pembuat rusuh, tukang protes, penipu, dan

semacamnya. Politik dicitrakan dengan perbuatan tidak jujur, curang, tega, kotor

dan jahanam. Sebuah penyimpangan perilaku yang keluar dari tatanan kehidupan

normal. Dalam survei yang dilakukan pada 1977 oleh perusahaan jajak pendapat

gallup, ditemukan bahwa ada 23 % penduduk Amerika tidak menginginkan anak

anaknya memilik provesi sebagai politisi (Nicholson, Rees et al. 1990)

Politik selalu diartikan sebagai hal yang kejam dan kotor di masyarakat,

politik ibarat bilah pisau yang memiliki berbagai macam sisi baik dan sisi buruk.

Pisau dapat digunakan untuk mengiris makanan ataupun membunuh manusia.

Diindonesia tercatat sejak reformasi demokrasi digulirkan terutama setalah

pemilihan tahun 1999 yaang diikuti berbagai macam partai serta pemilihan

langsung yang dilaksanakan yang diramaikan oleh bermunculan media massa.

Kampanye politik diindonesia menjadi sebuah pemandangan yang tidak asing


30

lagi, partai politik memasuki dinamika baru yang mengalami perubahan yang

begitu cepat. Anggota masyarakat secara antusias mengikuti setiap langkah

perubahan politik yang terjadi di Indonesia.

Istilah politik (science politique) pertama kali digunakan oleh Jean Budin

di Eropa pada tahun 1576, kemudian thomas Fitzherbert dan jeremy bentham pada

1606. Tetapi istilah politik yang dimaksud adalah ilmu negara sebagaimana

tertulis dalam karya sarjana eropa daratan yang bersifat institusional yuridis

dengan memberikan pengertian yang lebih luas daripada ilmu negara. Dalam

pandangan para sarjana Amerika Ilmu Politik sebagai ilmu negara bukan lagi

dalam pengertian institusi yang statis, tetapi lebih mau dengan melihat negara

sebagai lembaga politik yang mempengaruhi kehidupan massyarakat.

Oleh karena itu definisi politik belakangan ini lebih banyak memberikan

tekanan pada negara dalam hubungannya dengan dinamika masyarakat sepeerti

dibuat oleh Kaspar Bluntschili bahwa “politic is the science which is concerd with

the state, which endeavors to undreatsan and comprehend the satet in its

conditions, in its esential nature, its varius forms of menifestation, its

develompment:” Bahkan Harold D Lasswell lebih tegas merumuskan politik

sebagai ilmu tentang kekuasaan “when we speak of the science of politics, we

mean the scinece of power”

Kajian komunikasi politik awalnya berakar pada ilmu politik, meskipun

penamaannya lebih banyak dikenal istilah propaganda. Ini dimulai pada tahun

1922 dengan peelitian Ferdinand Tonniesdan walter Lippmann tentang opini

publik pada masyarakat, kemudian dilanjutkan oleh bagehot, Maine, Byrce dan

graha wallas diinggris yang menelaah peranan pers dan pembentukan opini pubik.
31

Bahkan ketika Harold D Lasswell menulis desertasi doctor tentang propaganda

Technique in the world war (1927).

Praktik propaganda berkembang terutama menjelang Perang dunia II

ketika nazi jerman berhasil melakukan ekspansi dengan gemilang oleh propagand

josep gobel. Belajar dari pengalaman itu Amerika Serikat yang tadinya

memandang propaganda neniliki konotasi negatif dan amoral mulai menyadari

kegunaannya lalu menggunakan bidang ini, sehingga menjelang perang dunia II

sejumlah pakar dipekerjakan oleh Office of war informations AS, diantaranya Carl

I Hovland (social Pdhysicology), Kurt Lewin (social Group), Lucian Pye

(politics), Gordon Alford (gosip dan rumor) dan scharm (conten analysis). Berkat

rintisal lasswell lewat desertasinya itu, wilbur Schramm lalu menempatkan

lasswell sebagai tokoh utama dalam studi komunikasi politik, kemudian diikuti

karya karya lainnya, diantaranya propaganda and promotional activities: An

annoted Bibliography oleh laswell bersama Ralph D Casey dan Bruce L Smith

(1935) Yang kemudian dikembangkan menjadi Propaganda, communications and

public opinion (1956). Ilmuwan politik lainnya yang memiliki peran penting

dalam disiplin komunikasi dan politik adalah Ithiel de Sola Pool,V.O.Key dan

gabriel Almond.

Meadow dan nimmo (Cangara 2009) juga membuat definisi bahwa

“political Communication refers to any exchange of symbols or massages that to

a significant extent have been shaped by or have consequences for political

system” disini meadow memberi tekanan bahwa simbol simbol atau pesan yang

disampaikan itu secara signifikan dibentuk atau memiliki konsekuensi terhadap


32

politik. Tetapi Nimmo sendiri yang mengutip Meadow dalam bukunya itu hanya

memberi tekanan pada pengaturan umat manusia yang dilakukan dibawah kondisi

konflik, sebagaimana disebutkan “communicaton (activity) considered political by

virtue of its consequences (actual or potential) which regulate human conduct

under the condition of conflict”

Untuk menghindari kajian komunikasi politik tidak hanya bicara tentang

kekuasaan, maka Dorris Graber mengingatkan dalam tulisannya political

language (1981) bahwa komunikasi politik tidak hanya retorika, tetapi juka

mencakup simbol simbol bahasa, sperti bahasa tubuh, serta tindakan politik

misalnya boikot, protes dan unjuk rasa.

Hakikat komunikasi politik adalah pengambilan keputusan bukan untuk

kepentingan perorangan, melainkan untuk kepentingan orang banyak. Maka cita

cita politik harus diarahkan untuk menciptakan individu yang memiliki komitmen

untuk menjadi negarawan. Seperti halnya dengan disiplin komunikasi lainnya,

maka komunikasi politik sebagai body of knowledge juga terdiri atas beberapa

unsur, yakni sumber (komunikator), pesan, media atau saluran, penerima dan efek

(Nimmo 1990)

Fungsi Komunikasi politik McNAir (2003 : 21 dalam cangara 2016)

1. Memberikan informasi kepada masyarakat apa yang terjadi disekitarnya.

Untuk itu media komunikasi diharafkan memiliki fungsi pengamatan, dan

juga fungsi monitoring apa yang terjadi dalam masyarakat.


2. Mendidik masyarakat terhadap arti dan signifikan fakta yang ada. Para

jurnalis diharapkan melihat fakta yang ada, sehingga berusaha membuat

liputan yang objektif (objektif reporting) yang bisa mendidik masyarakat

atas realitas fakta tersebut.


33

3. Meneydiakan diri sebagai flatform untuk menampung masalah masalah

politik sehingga bisa menjadi wacana dalam membentuk opini publik, dan

mengembalikan hasil opini itu kepada masyarakat. Dengan cara demikian

bisa memberi arti dan nilai pada usaha penegakan demokrasi.


4. Membuat publikasi yang dituju kepada pemerintah dan lembaga lembaga

politik. Disini media bisa berfungsi sebagai anjing penjaga

(watchdog)sebagaimana pernah terjadi dalam kasus mundurnya Nixon

sebagai presiden Amerik, karena terlibat dalam kasus Watergate .


5. Dalam masyarakat demokratis, maka media politik berfungsi sebagai

saloran advokasi yang bisa membantu agar kebijakan dan program

program lembaga politik dapat disalurkan kepada media massa.

Jika fungsi komunikasi yang dikemukankan oleh McNair (2013)

dikombinasikan dengan fungsi komunikasi yang dibuat Goran Hedebro (1982)

maka komunikasi politik berfungsi untuk :

1. Memberikan informasi kepada masyarakat terhadap usaha usaha yang

dilakukan lembaga politik maupun dalam hubungan dengan pemerintahan

dan masyarakat.
2. Melakukan sosialisasi tentang kebijakan, program dan tujuan lembaga

politik.
3. Memberikan motivasi kepada politisi, fungsionaris dan para pendukung

partai.
4. Menjadi platform yang bisa menampung ide ide masyarakat, sehingga

menjadi bahan pembicaraan dalam bentuk opini publik.


5. Mendidik masyarakat dengan pemberian iformasi, sosialisasi tentang cara

cara pemilihan umum dan penggunaan hak mereka sebagai pemberi suara.
6. Menjadi hiburan masyarakat sebagai “pesta demokrasi” dengan

menampilkan para juru kampanye, artis dan para komentator atau

pengamat politik.
34

7. Memupuk integrasi dengan mempertinggi rasa kebangsaan guna

menghindari konflik dan ancaman berupa tindakan separatis yang

mengancam persatuan nasional.


8. Menciptakan iklim perubahan dengan mengubah struktur kekuasaan

melalui informasi untuk mencari dukungan masyarakat luas terhadap

gerakan reformasi dan demokratisasi


9. Meningkatkan aktivitas politik masyarakat melalui siaran berita, agenda

settingmaupun komentar politik


10. Menjadi watchdog atau anjing penjaga dalam membantu terciptanya good

governence yang transparanis dan akuntabilitas.

Penggunaan analisis isi untuk evalusi efektivitas komunikasi politik,

pemilihan khalayak sasaran yang paling peka, dan desain komunikasi yang paling

potensial untuk mempengaruhi, penggunaan riset dan teori persuasi untuk

penentuan strategi propaganda dalam kampanye

Pada tingkat teoritis komunikasi politik menguji kesahihan teori

komunikasi dalam konteks politik. Termasuk teori keperkasaan dan keterbatasan

media, teori kepemimpinan pendapat (opinion leader), teori inovasi, faktor faktor

pengaruh komuniasi, penggunaan metode jaringan dalam kaitannya dengan

koneksi politik dan kekuasaan

McNair (dalam wahid 2016) memberi batasan atau definisi komunikasi

politik antara lain:

1. Semua betuk komunikasi yang digunakan oleh politikus dan aktor atau

pelaku politik lainnya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan


35

2. Komunikasi yang disampaikan oleh aktor atau pelaku politik nonpolitikus

seperti pemilih dan kolumnis


3. Komunikasi mengenai para aktor politik dan aktivitasnya seperti pada

berita, editorial dan bentuk lainnya dari media politik.

Dalam an introduction communication (2005: 4-5) McNair menjelaskan

bahwa kajian komunikasi politik mempunyai tiga elemen yaitu:

1. Political organizations yang terdiri atas partai politik, organisasi publik,

pressure group, terorist organizations dan goverment


2. Media
3. Masyarakat (citizen)

Saluran komunikasi politik

1. Komunikasi massa
2. Komunikasi interpersonal
3. Komunikasi organisasi

Hal tersebut diperkuat oleh sumarno (1993 :3) yang mengajukan formulasi

komunikasi politik sebagai suatu proses, prosedur, dan kegiatan membentuk sikap

serta perilaku politik yang terintegrasi dalam sistem politik. Dalam ungkapan

yang lebih terbuka, komunikasi politik menyangkut hal hal sebagai berikut :

1. Disampaikan oleh komunikator politik


2. Pesannya berbobot politik yang menyangkut kekuasaan negara
3. Terintegrasi dalam sistem politik

Komunikasi politik memainkan peran sosial yang utama, khususnya dalam

pembentukan opini publik. Karl Popper mengemukakan “teori pelopor mengenai

opini publik” yang menyatakan bahwa opini publik seluruhnya dibangun disekitar

komunikator politik (nimmo 2005 :34)

Komunikasi terjadi pada matriks sosial, yaitu tempat dimana komunikasi

berula, berkembang, dan berlangsung terus menerus dalam situasi sosial. Artinya

hubungan antara komunikator dan khalayak menjadi bagian integral dari sistem
36

sosial. Komunikator massa menduduki posisi penting dalam jaringan sosial,

menanggapi berbagai tekanan dalam menolak dan memilik informasi yang

semuanya terjadi dalam sistem sosial yang bersangkutan. Karena itu, komunikator

politik memainkan peran sosial yang utama, terutama dalam pembentukan opini

publik. Komunikator dapat dianalisis sebagai dirinya sendiri.

Menurut pendapat James N Rosenau (Nimmo 2005) komunikator politik

adalah pembuat opini pemerintah atas hal ihwal nasional yang multi masalah.

Menurutnya, yang termasuk dalam klasifikasi tersebut adalah

1. Pejabat ksekutif
2. Pejabat legislatif
3. Pejabat yudikatif

Leonardo W Doob (nimmo, 2005) mengatakan bahwa kedudukan

komunikator dalam masyarakat harus ditetapkan. Menurutnya, komunikator

politik dapat dibagi menjadi tiga jenis yakni:

1. Politikus
2. Komunikator profesional
3. Aktivis atau komunikator paruh waktu

Pesan yang dihasilkan dari para peserta komuniksi banyaj bentuk serta

menghasilkan berbagai makna, struktur dan akibat. Studi tentang keragaman

tersebut merupakan merupakan suatu segi dari ilmu semiotika, yaitu teori umum

mengenai tanda dan bahasa. Charles Morris (dalam nimmo 2009) menyatakan

semiotika membahas keragaman bahasa dari tiga prespektif: semantik (studi

tentang makna) Sintaksis (berurusan dengan kaidah dan struktur yang

menghubungkan tanda tanda satu sama lain) dan pragmatika (analisis penggunaan

dan akibat permainan kata)


37

Mark Reolofs menyatakan bahwa politik adalah pembicaraan, sedangkan

kegiatan politik (berpolitik) adalah berbicara. Namun tidak semua pembicaaan

tersebut adalah politik/berpolitik (Nimmo 2009). Pembicaraan politik merupakan

pesan politik yang bisa disamaikan daam beragam bentu : berita, informasi, iklan

gambar dan lain lain. Pesan politik ialah isi dari peristiwa politik yang

menghubungkan antara politikus dan khalayak.

Efek komunikasi adalah dampak dari beragam bentuk pesan atau content

komunikasi yang di transformasikan dalam interaksi komunikasi atau komunikasi

massa bagi target audience yang menjadi sasaran media dan saluran politiknya

Berdasarkan tahapannya, dalam proses dan tindakan politik terdapat tiga jenis

efek komunikasi

1. Kognitif yaitu efek komunikasi politik yang berlangsung pada level

pemikiran
2. Afektif yaitu efek komunikasi pada level emosional/perasaan/sikap
3. Behavioral yaitu efek komunikasi politik pada level perilaku ( Ardianto,

komala & karlina 2009:52)

Anwar arifin (2003) menyatakan bahwa terdapat berbagai bentuk

komunikasi politik yang biasa dilakukan oleh politikus, profesional dan aktivis

untuk mencapai tujuan politiknya dalam upaya mencari, menjaga, serta

meningkatkan dukungan atau legitimasi politik yang meliputi tiga tingkatan

pengetahuan, sikap dan perilaku khalayak

Adapun beberapa bentuk komunikasi politik yang telah dikenal dan

dilakukan oleh para politikus yaitu :

1. Retorika politik
2. Agitasi politik
3. Propaganda politik
4. Public relations politik
38

5. Lobi politik
6. Kampanye politik
7. Pemasaran politik
8. Branding dan promosi politik
9. Penelitian politik

1.7.2 Komunikasi Kesehatan

Jika kita bicara mengenai komunikasi kesehatan, kita mau tidak mau harus

mengkaitkannya dengan konsep konsep kesehatan masyarakat, terutama bahasan

tentang informasi kesehatan atau promosi kesehatan. Dua isu terakhir ini, secara

histori berkaitan dengan pelbagai gerakan ( movement) kesehatan dalam

masyarakat. Amstrong (1983) mengemukakan, ada empat bentuk gerakan

kesehatan masyarakat yang terjadi antara tahun 1930-1991

1. Gerakan karangtina adalah gerakan untuk melokalisir para penderita

penyakit menular kesuatu tempat tertentu atau tempat tertutup yang

terpisah dari masyarakat (penduduk umum) agar penyakit tersebut tidak

menular kepada orang lain.


2. Gerakan meningkatkan ilmu pengetahuan tentang kebersihan yakni

gerakan pendidikan yang bertujuan mengajarkan ilmu pengetahuan tentang

kebersihan kepada masyarakat supaya warga masyarakat lebih peduli

terhadap kebersihan lingkungan yang hasilnya dapat menjauhkan sumber

penyakit atau mencegah tubuh terinfeksi atau tertular penyakit dari luar
3. Gerakan kesehatan individu merupakan gerakan yang mendrorong setiap

individu melakukan pengawasan terhadap kontak antara tubuh ditempat

tempat umum seperti sekolah, asrama, pasat, pelabuhan bahkan di rumah


39

sakit. Gerakan ini umumnya dipelopori oleh pemerintah melalui regulasi

mengenai perlindungan kesehatan individu dari waktu ke waktu


4. Gerakan memperkenalkan konsep baru kesehatan masyarakat garakan

untuk memperkenalkan konsep konsep baru dalam bidang kesehatan

masyarakat, antara lain dengan mengadopsi gerakan karang tina dan

kebersihan lingkungan yang semula hanya ditujukan kepada individu,

misalnya dengan memperluas agenda kerja maupun kesasaran masyarkat

umum. Gerakan yang muncul diawal abad 19 itu merupakan gerakan

masyarakat barat untuk mencegah radiasi, pencemaran air, lingkungan

kerja dan lain lain. Gerakan ini berkaitan dengan politik hijau, kesehatan

kota dll yang tertuang dalam konsep Health for all 2000 (barbara Griffin,

Nopember 1998)

Perhatian dunia terhadap masalah kesehatan

1. Kesepakatan mengenai layanan kesehatan prrimer

Perhatian dunia terhadap tanggung jawab “semua” untuk kesehatan

masyarakat telah digariskan dalam berbagai perjanjian, kesepakatan, atau

apapun namanya oleh masyarakat dunia yang sadar bahwa “kita” semua

bertanggung jawab atas kesehatan masyarakat.

2. Konferensi ottawa

Konferensi yang sama dengan yang pernah dilakukan di alma alta itu

kemudian berlangsung pula di ottawa juga menghasilkan ottawa charter

for health promotion – Health Promotion (1986) yang antara lain


40

menganjurkan pemberian peluang bagi usaha peningkatan pengawasan dan

pembaruan kesehatan masyarakat melalui:

1. Membangun kemampuan personal yakni kemampuan diri sendiri

untuk menangani kesehatan individu


2. Menciptakan dukungan dari lingkungan yakni penciptaan dukungan

dari lingkungan masyarakat yang secara aktif terlibat dalam menangani

kesehatan individu komunitas dan masyarakat seluruhnya


3. Reorientasi layanan kesehatan yakni mengadakan reorientasi atau

peninjauan kembali pelbagai program dan aktivitas yang berkaitan

dengan kesehatan masyarakat


4. Membangun mediasi dan advokasi yakni membangun pelbagai

kekuatan dalam masyarakat untuk melakukan untuk melakukan

mediasi dan advokasi kesehatan kepada individu program kesehatan

yang melibatkan partisipasi komunitas dan lingkungan


5. Memperkuat aksi dan peran komunitas

Para peserta konferensi Jakarta sepakat bahwa dari pelbagai laporan

peserta yang datang dari seluruh dunia terbukti bahwa perhatian kita masih rendah

dalam promosi kesehatan. Artinya ita harus mengubah konsep promosi kesehatan,

mengubah strategi promosi dengan pendekatan praktis yang relevan bagi

mencapai kesetaraan kesehatan manusia yakni melalui:

1. Pendekatan komprehensif terhadap pembangunan kesehatan yang efektif


2. Strategi promosi hendak lah diarahkan kesemua tempat yang meliputi kota

kota besar pulau kota sedang dan kecil warga kota disemua kota, komuitas

loka, tempat tempat umum seperti sekolah, tempat kerja dan pasar.
3. Partisipasi semua pihak agar kita dapat bersama mendorong semua orang

menjadikan dirinya sendiri atau kelompok dan komunitasnya menjadi


41

pusat dari aksi promosi kesehatan yang pada gilirannya setiap pihak dapat

mengambil keputusan sendiri berkaitan dengan kesehatan


4. Belajar berpartisipasi agar kita bersama sama dapat mengakses informasi

kesehatan yang bermanfaat bagi pengetahuan dan pendidikan demi

memperkuat semua orang dalam masyarakat.


Prioritas promosi kesehatan dalam abad 21
1. Mempromosikan tanggung jawab sosial bagi kesehatan. Para pengambil

keputusan agar pertama dan terutama meningkatkan komitmen terhadap

tanggung jawab sosial. Baik sektor publik maupun sektor swasta harus

mempromosikan kesehatan dengan mengembangkan kebijakan dan

parkatik yang meliputi :


a. Menghindari semua bentuk tindakan yang dapat mengancam

kesehatan orang lain


b. Melindungi lingkungan agar menjadi sumber daya kehidupan yang

berkelanjutan
c. Membatasi prodak barang dan jasa yang mengancam kesehatan

manusia, seperti tembakau, alkohol, alat alat perang, yang secara

praktis dapat pula menghasilkan persaingan pasar tidak sehat


d. Memelihara kesehatan warga disekitar lingkungan mereka masing

masing terutama ditempat tempat umum seperti pasar dan tempat

kerja
e. Memperbaiki resiko komunisai sebagai satu dampak tafsir yang tak

benar terhadap informasi kegiatan yang dapat mendatangkan

malapetaka agi kesehatan manusia


2. Meningkatkan modal untuk mengembangkan kesehatan
3. Konsolidasi dan perluasan kemitraan kesehatan
4. Meningkatkan kapasitas komunitas dan memperkuat individu
5. Melindungi keamanan infrastruktur promosi kesehatan

Fakta menunjukan bahwa hambatan dalam penanganan kesehatan ditanah

air kita tidak luput dari masalah sebagai berikut:


42

1. Masalah demografi
2. Keadaan geografis
3. Keadaan sosial ekonomi dan budaya keadaan sosial ekonomi dan budaya

lebih sering merupakan hambatan yterhadap keberhasilan upaya

kesehatan. (AH Markum dkk 1991)


Sadar akan tanggung jawab bersama dalam bidang kesehatan itu maka kita

sepakat bahwa secara sosial dalam garis besarnya masalah kesehatan itu dibagi

dalam tiga kategori berdasarkan tugas dan tanggung jawabnya yaitu:


1. Masalah yang khusus bersifat medis, umumnya mengenai kasus di klinik

atau rumah sakit, kasus ini murni menjadi tanggung jawab dokter
2. Masalah yang menjadi tanggung jawab pemerintah, misalnya tanggung

jawab dinas kesehatan yang menangani tanggung jawab kesehatan

masyarakat
3. Masalah yang bukan menjadi tanggung jawab pemerintah maupun dokter

misalnya tanggung jawab masyarakat terhadap kesehatan (A.H. Markum

dkk 1991)

Definisi komunikasi kesehatan

1. Studi yang mempelajari bagaimana cara menggunakan strategi komunikasi

untuk menyebarluaskan informasi kesehatan yang dapat mempengaruhi

individu dan komunitas agar mereka dapat membuat keputusan yang tepat

terkait dengan pengelolaan kesehatan


2. Studi yang menekankan pern teori komunikasi yang dapat digunakan

dalam penelitian dan praktik yang berkaitan dengan promosi kesehatan

dan pemeliharaan kesehatan


3. Kegunaan tehnik komunikasi dan teknologi komunikasi secara positif

untuk mempengaruhi individu, organisasi komunitas dan penduduk bagi

tujian mempromosikan kondisi yang kondusif atau yang memungkinkan

tumbuhnya kesehatan manusia dan lingkungan. Kegunaan ini termasuk


43

beragam aktivitas seperti interaksi antar profesional kesehatan dengan para

pasien di klinik, self-help groups, mailings, hotlines, kampanye media

massa dan penciptaan peristiwa.


4. Pendidikan kesehatan yakni suatu pendekatan yang menekankan pada

usaha mengubah perilaku kesehatan audiens agar mereka mempunyai

kepekaan terhadap masalah kesehatan tertentu yang sudah didefinisikan

dalam suatu waktu tertentu (elayne Clift & Vicki Freimuth 1995)
5. Proses untuk mengembangkan datau membagi pesan kesehatan kepada

audiens tertentu dengan maksud mempengaruhi pengetahuan, sikap,

keyakinan mereka tentang pilihan perilaku hidup sehat


6. Seni dan tehnik penyebarluasan informasi kesehatan yang bermaksud

mempengaruhi dan memotivasi individu, mendorong lahirnya lembaga

institusi baik sebagai peraturan ataupun sebagai organisasi dikalangan

audiens yang mengatur perhatian terhadap kesehatan. Komunikasi

kesehatan meliputi informasi tentang pencegahan penyakit, promosi

kesehatan, kebijaksanaan pemeliharaan kesehatan, regulasi bisnis dalam

bidang kesehatan yang sejauh mungkin merubah dan memperbaharui

kualitas individu dalan suatu komunitas atau masyarakat dengan

mempertimbangjan aspek ilmu pengetahuan dan etika (Health

Communication Partnership’s M/MC Health Communication Material

Database, 2004)
7. Proses kemitraan antara para partisipan berdasarkan dialog dua arah yang

didalamnya ada suasana interaktif, ada pertukaran gagasan, ada

kesepakatan mengenai gagasan mengenai kesehatan, juga merupakan

tehnik dari pengiriman dan penerimaan untuk memperoleh informasi


44

mengenai kesehatan yang seimbang demi mempengaruhi pemahaman

bersama (ratzan, S.C., 1994)


8. Komunikasi yang berkaitan dengan proses pertukaran pengetahuan,

meningkatkan konsensus, mengidentifikasi aksi yang berkaitan dengan

kesehatan yang mungkin dapat dilakukan secara efektif. Melalui proses

dialog tersebut maka informasi kesehatan yang dipertukarkan diantara dua

pihak itu bertujuan membangun pengertian bersama demi penciptaan

pengetahuan baru yang dapat diwariskan bersama. Jadi, dasar dari

persetujuan adalah aksi dan kerjasama (smith, W.A. and Hornik, R, 1999;

US Departemen of Health and Human Service 2000; clift, E.and Freimuth

1995; dan ratzan, S.C.ed 1994) (dalam liliweri : 46 : 2013)

Komunikasi kesehatan

1. Proses komunikasi manusia (human Communications) demi mengatasi

masalah kesehatan
2. Komunikasi yang sama dengan komunikasi pada umumnya, yaitu ada

komunikator kesehatan, komunikan, pesan, media, efek ada konteks

komunikan kesehatan.
3. Beroperasi pada level atau konteks komunikasi seperti komunikasi antar

personal, kelompok, organisasi, publik dan komunikasi massa


4. Belajar memanfaatkan strategi komunikasi
5. Belajar tentang peranan teori komunikasi dalam penelitian dan praktik

yang berkaitan dengan promosi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan


6. Penyebar luasan informasi tentang kesehatan
7. Keterpengaruhan dari individu dan komunitas dalam pembuatan keputusan

yang berkaitan dengan kesehatan


8. Pemanfaatan media dan teknologi komunikasi dan teknologi informasi

dalam penyebarluasan informasi kesehatan


45

9. Pengubahan kondisi yang kondusif yang memungkinkan tumbuhnya

kesehatan manusia dan lingkungannya


10. Variasi interaksi dalam kerja kesehatan misalnya komunikasi dengan

pasien di klinik
11. Pendidikan kesehatan
12. Pendekatan yang menekankan usaha merubah perilaku audiens agar

mereka tanggap terhadap masalah tertentu dalam satuan waktu


13. Seni dan tehnik untuk menyebarluaskan informasi
14. Proses kemitraan dengan partisipasi berdasarkan dialog dua arah

Cakupan komunikasi kesehatan

1. Komunikasi persuasif atau komunikasi yang berdampak perubahan

perilaku kesehatan
2. Faktor faktor psikologis individual yang mempengaruhi persepsi terhadap

kesehatan
3. Pendidikan kesehatan yang bertujuan memperkenalkan perilaku hidup

sehat melalui informasi dan pendidikan kepada individu dengan

menggunakan aktivitas meterial maupun terstruktur


4. Pemasaran sosial yang bertujuan untuk memperkenalkan atau mengubah

perilaku positif melalui penerapan prinsip prinsip pemasaran dengan

mengintervensi informasi kesehatan yang bermanfaat bagi komunitas


5. Penyebar luasan informasi kesehatan melalui media
6. Advokasi pendampingan melalui komunitas, kelompok atau media massa

yang bertujuan untuk memperkenalkan


a. Kebijakan
b. Peraturan
c. Program untuk memperbaharui kesehatan
7. Resiko komunikasi, bertujuan untuk menyebarluaskan informasi yang

benar mengenai resiko yang dihadapi oleh masyarakat terhadap informasi

mengenai kesehatan, termasuk dampak penggunaan informasi yang salah

mengenai kesehatan, dan mengusulkan cara cara untuk mengatasi

kesalahan informasi
46

8. Komunikasi dengan pasien meliputi informasi untuk seorang individu,

misalnya informasi yang berkaitan dengan kondisi kesehatan individu,

misalnya informasi yang brekaitan dengan kondisi kesehatan individu,

bagaimana memaksimalkan perawatan, pemberian terapi, atau

penyampaian pendekatan alternatif termasuk dalam tema ini adalah

bagaimana melayani pasien secara komunikatif


9. Informasi kesehatan untuk para konsumen satu aktivitas komunikasi yang

ditujukan kepada para individu konsumen demi membantu individu untuk

memahami kesehatan individu, bagaimana individu membuat keputusan

yang berkaitan dengan kesehatan individu kesehatan keluarga misalnya

berhubungan dengan penyedia jasa kesehatan, asuransi kesehatan, atau

aspek pemeliharaan kesehatan jangka panjang


10. Merancang health entertain atau hiburan yang yang didalamnya

mengandung informasi kesehatan, yang meliputi pilihan jenis hiburan, yng

dijadikan sebagai even untuk mengkomunikasikan tema mengenai

kesehatan individu maupun kesehatan masyarakat


11. Komunikasi kesehatan yang interaktif yakni komunikasi kesehatan yang

interaktif yakni komunikasi kesehatan yang dilakukan melalui media nedia

interaktif sehingga terjadi dialog dan diskusi antar sumber dengan

penerima media massa


12. Strategi komunikasi, yang meliputi desain pilihan
a. Komunikator kesehatan
b. Pesan pesan kesehatan
c. Media kesehatan
d. Komunikan kesehatan
e. Mereduksi hambatan komunikasi
f. Menentukan dan memilih konteks komunikasi kesehatan
47

Pada umumnya program program yang berkaitan dengan komunikasi

kesehatan yang dirancang dalam bentuk paket acara atau paket modul itu dapat

berfungsi untuk

1. Relay information
2. Enable informed decision making
3. Promote healthy behaviors
4. Promote peer information exchange and emitional support
5. Promote selft care
6. Manage demand for health service

Manfaat mempelajari komunikasi kesehatan

1. Memahami interaksi antara kesehatan dengan perilaku individu


2. Meningkatkan kesadaran kita tentang isu kesehatan masalah atau solusi
3. Sebagai tindak lanjut dari kesadaran tersebut kita dapat melakukan strategi

intervensi pada tingkat komunitas


4. Menghadapi disparatis pemeriksaan kesehatan antara etnik atau antara ras

dalam suatu masyarakat


5. Menampilkan ilustrasi keterampilan, menggambarkan pelbagai jenis

keterampilan untuk memelihara kesehatan, pencegahan, advokasi atau

sistem layanan kesehatan kepada masyarakat


6. Menjawab permintaan terhadap layanan kesehatan, tujuan kita

mempelajari komunikasi kesehatan agar kita dapat mengetahui informasi

tentang kesehatan, layanan kesehatan.


7. Memperkuat infrastruktur kesehatan masyarakat dimasa yang akan datang

bagi hasil yang memuaskan masyarakat umum, misalnya mendapatkan

dukungan kolektif dari publik atau organisasi swasta swasta yang

difokuskan pada pembaruan kesehatan masyarakat, membuat strategi

investasi bagi pengeluaran terhadap layanan kesehatan masyarakat.


8. Membarui peranan para profesional dibidang kesehatan masyarakat,

misalnya meningkatkan pngetahuan dan keterampilan para petugas medis,


48

memperkuat infra struktur kesehatan, membangun kemitraan,

mengembangkan pembuktian atas layanan


9. Memperbarui kepustakaan tentang komunikasi kesehatan

denganmemberikan informasi kesehatan, apalagi kini kita kekurangan

dokumentasi, informasi, buku, majalah, dan lain lain (dalam liliweri 2013)
1.7.3 Desentralisasi Kesehatan
Sektor kesehatan menjadi salah satu sektor yang mendapat perhatian

penting dalam urusan pemerintah. Pengelolaan yang terpusat di pemerintah daerah

menjadi sebuah beban bagi pemerintah Indonesia. Masalah kesehatan menjadi hal

yang sangan fundamental bagi kehidupan manusia. Undang undang

mengamanatkan bahwa masalah kesehatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia

menjadi tanggung jawab pemerintah. Tersentralnya sektor kesehatan di

pemerintah pusat menjadikan alokasi dana kesehatan bagi semua wilayah daerah

menjadi sama. Hal tersebut tentunya tampak menjadi sebuah keadilan yang tidak

merata karna daerah yang penduduknya sedikit dengan daerah yang penduduknya

sama memperoleh dana yang sama.


Undang undang otonomi daerah yang keluar tahun 1999 membawa angin

segar bagi pemerintahan dan dunia politik di Indonesia, Hal ini tentu berimbas

juga pada dunia kesehatan. Pembagian wewenang pusat kepada daerah juga

berpengaruh kepada sektor kesehatan, sangat disayangkan desentralisasi pada

sektor kesehatan tidak disertai dengan dekonsentrasi wewenang dalam sektor

kesehatan.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

membawa perubahan yang signifikan terhadap pembentukan Perangkat Daerah,

yakni dengan prinsip tepat fungsi dan tepat ukuran (rightsizing) berdasarkan

beban kerja yang sesuai dengan kondisi nyata di masing-masing Daerah. Hal ini
49

juga sejalan dengan prinsip penataan organisasi Perangkat Daerah yang rasional,

proporsional, efektif, dan efisien.

Dalam UU Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala daerah dibantu oleh perangkat

daerah yang terdiri dari :

1. Sekretaris Daerah yang mempunyai tugas membantu kepala daerah dalam

penyusunan kebijakan dan pengoordinasian administratif terhadap

pelaksanaan tugas Perangkat Daerah serta pelayanan administratif;

2. Sekretariat DPRD yang mempunyai tugas:

1. menyelenggarakan administrasi kesekretariatan;

2. menyelenggarakan administrasi keuangan;

3. mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD; dan

4. menyediakan dan mengoordinasikan tenaga ahli yang diperlukan

oleh DPRD dalam melaksanakan fungsinya sesuai dengan

kebutuhan.

3. Inspektorat Inspektorat Daerah mempunyai tugas membantu kepala daerah

membina dan mengawasi pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi

kewenangan Daerah dan Tugas Pembantuan oleh Perangkat Daerah.

4. Dinas Daerah yang dibentuk untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan

yang menjadi kewenangan Daerah;

5. Badan Daerah dibentuk untuk melaksanakan fungsi penunjang Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah meliputi:

1. perencanaan;

2. keuangan;
50

3. kepegawaian serta pendidikan dan pelatihan;

4. penelitian dan pengembangan; dan

5. fungsi lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

6. Kecamatan dibentuk untuk meningkatkan koordinasi penyelenggaraan

pemerintahan, pelayanan publik, dan pemberdayaan masyarakat

Desa/kelurahan; dan

7. Satuan polisi pamong praja yang dibentuk untuk menegakkan Perda dan

Perkada, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman, serta

menyelenggarakan pelindungan masyarakat

Seperti telah kita ketahui bersama bahwa baru-baru ini telah diundangkan

Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 Tentang Perangkat Daerah pada

tanggal 19 Juni 2016 yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku Peraturan

Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.

Peraturan Pemerintah ini memberikan arah dan pedoman yang jelas kepada

Daerah dalam menata Perangkat Daerah secara efisien, efektif, dan rasional sesuai

dengan kebutuhan nyata dan kemampuan Daerah masing-masing serta adanya

koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi serta komunikasi kelembagaan

antara Pusat dan Daerah.

Dasar utama pembentukan perangkat daerah adalah adanya urusan

pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dan menjadi kewenangan daerah,

yang terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib dibagi atas urusan

wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, dan urusan wajib yang tidak

berkaitan dengan pelayanan dasar.


51

Penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah yang bersifat wajib,

diselenggarakan oleh seluruh pemerintah daerah, sedangkan penyelenggaraan

pemerintahan yang bersifat pilihan hanya dapat diselenggarakan oleh daerah yang

memiliki potensi unggulan dan kekhasan daerah. Hal ini dimaksudkan untuk

efisiensi dan memunculkan sektor unggulan masing-masing daerah sebagai upaya

optimalisasi pemanfaatan sumber daya daerah dalam rangka mempercepat proses

peningkatan kesejahteraan rakyat.

Dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah tersebut dijelaskan bahwa

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, membawa

perubahan yang signifikan terhadap pembentukan perangkat daerah, dengan

prinsip tepat fungsi dan tepat ukuran (rightsizing) berdasarkan beban kerja yang

sesuai dengan kondisi nyata di masing-masing daerah. Hal ini juga sejalan dengan

prinsip penataan organisasi perangkat daerah yang rasional, proporsional, efektif

dan efisien.

Pengelompokan organisasi Perangkat Daerah didasarkan pada konsepsi

pembentukan organisasi yang terdiri atas 5 (lima) elemen, yaitu :

1. Strategic Apex (Kepala Daerah);

2. Middle Line (Sekretaris Daerah);

3. Operating Core (Dinas Daerah);

4. Technostructure (Badan/Fungsi Penunjang); dan

5. Supporting Staff (Staf Pendukung).

Dinas Daerah merupakan pelaksana fungsi inti (operating core) yang

melaksanakan tugas dan fungsi sebagai pembantu kepala Daerah dalam

melaksanakan fungsi mengatur dan mengurus sesuai bidang Urusan Pemerintahan


52

yang diserahkan kepada Daerah, baik urusan wajib maupun urusan pilihan. Badan

Daerah melaksanakan fungsi penunjang (technostructure) yang melaksanakan

tugas dan fungsi sebagai pembantu kepala Daerah dalam melaksanakan fungsi

mengatur dan mengurus untuk menunjang kelancaran pelaksanaan fungsi inti

(operating core).

Dalam rangka mewujudkan pembentukan Perangkat Daerah sesuai dengan

prinsip desain organisasi, pembentukan Perangkat Daerah yang diatur dalam

Peraturan Pemerintah ini didasarkan pada asas efisiensi, efektivitas, pembagian

habis tugas, rentang kendali, tata kerja yang jelas, fleksibilitas, Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah, dan intensitas Urusan

Pemerintahan dan potensi Daerah.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, kepala Daerah dibantu oleh Perangkat Daerah yang terdiri

dari unsur staf, unsur pelaksana, dan unsur penunjang. Unsur staf diwadahi dalam

sekretariat Daerah dan sekretariat DPRD. Unsur pelaksana Urusan Pemerintahan

yang diserahkan kepada Daerah diwadahi dalam dinas Daerah.

Unsur pelaksana fungsi penunjang Urusan Pemerintahan Daerah diwadahi

dalam badan Daerah. Unsur penunjang yang khusus melaksanakan fungsi

pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah diwadahi

dalam inspektorat. Di samping itu, pada Daerah kabupaten/kota dibentuk

kecamatan sebagai Perangkat Daerah yang bersifat kewilayahan untuk

melaksanakan fungsi koordinasi kewilayahan dan pelayanan tertentu yang bersifat

sederhana dan intensitas tinggi.


53

Kepala dinas, kepala badan, sekretaris DPRD, kepala inspektorat dan

camat atau nama lain di kabupaten/kota bertanggung jawab kepada kepala Daerah

melalui sekretaris Daerah. Fungsi sekretaris Daerah dalam pertanggungjawaban

tersebut hanyalah fungsi pengendalian administrasi untuk memverifikasi

kebenaran administrasi atas pertanggungjawaban yang disampaikan oleh kepala

dinas, kepala badan, sekretaris DPRD, inspektur, kepala satuan polisi pamong

praja dan camat atau nama lain kepada kepala Daerah.

Dasar utama pembentukan Perangkat Daerah, yaitu adanya Urusan

Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah yang terdiri atas Urusan

Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan. Urusan Pemerintahan

Wajib dibagi atas Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar

dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar.

Berdasarkan pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat

dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimuat dalam

matriks pembagian Urusan Pemerintahan konkuren, Perangkat Daerah mengelola

unsur manajemen yang meliputi sarana dan prasarana, personil, metode kerja dan

penyelenggaraan fungsi manajemen yang meliputi perencanaan,

pengorganisasian, pelaksanaan, pengoordinasian, penganggaran, pengawasan,

penelitian dan pengembangan, standardisasi, dan pengelolaan informasi sesuai

dengan substansi urusan pemerintahannya.

Pembentukan Perangkat Daerah mempertimbangkan faktor luas wilayah,

jumlah penduduk, kemampuan keuangan Daerah serta besaran beban tugas sesuai

dengan Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah sebagai mandat

yang wajib dilaksanakan oleh setiap Daerah melalui Perangkat Daerah.


54

Kebijakan desentralisasi bukan sebuah momen yang terjadi dengan proses

pelaksanaan dan hasil yang dapat diprediksi. Menurut Bank Dunia (World Bank),

dari duapuluh negara yang menjadi mitrakerjanya dalam desentralisasi, ada empat

negara yakni Indonesia bersama-sama Philipina, Pakistan dan Ethiopia yang

melaksanakan “dentuman besar desentralisasi” (big bang decentralization)

Sedangkan enambelas negara lainnya melaksanakan desentralisasi secara

bertahap. World Bank memberi makna big bang decentralization sebagai “A

process wherein the central level of government announces decentralization,

passes laws, and transfer responsibilities, authority, and/or staff to subnational

and/or local governments in rapid succession”.

Kebijakan desentralisasi kesehatan terkait dengan peranan para pemegang

kekuasaan di pemerintah pusat dan daerah. Pemegang kekuasaan mempunyai

pengaruh dalam alokasi anggaran dan pengaruh politik yang merupakan magnet

untuk direbutkan. Desentralisasi adalah fenomena daerah. Daerah diberi

kesempatan untuk membangun pola kerja yang berbasis stakeholder lokal dan

kapasitas mereka. Kita sudah terbiasa dengan biaya dari pusat dan program yang

bercirikan nasional. Daerah berperan sebagai pelaksana. Desentralisasi dibuat agar

stakeholder lokal menjadi pemain dalam komunitas kebijakan dan program.

Desentralisasi mengharapkan daerah lebih mampu mengendalikan kegiatan

sehingga ia lebih cocok dengan masalah di daerah. Meskipun beberapa porsi

kegiatan dikendalikan oleh pusat, peran pengawasan dari daerah adalah utama.

Bukti lapangan menunjukkan bahwa perhatian dan solusi daerah terhadap

masalah-masalah kesehatan masih sangat bervariasi.


55

Program kesehatan di masa otonomi daerah sekarang ini memperlihatkan

beberapa fenomena keuangan dan politik. Yang pertama, dana lokal makin besar

untuk kesehatan. Jika dana berasal dari pusat, ia lebih diminta dalam bentuk block

grant daripada wujud paket program jadi. Otonomi memberi kesempatan pemda

membangun kegiatan dengan spesifikasi daerah. Kedua, kebijakan dan program

kesehatan lebih spesifik daerah dibandingkan paket program nasional pemerintah.

Kedua hal ini mencerminkan dinamika dari komunitas kebijakan lokal.

Agenda kebijakan kesehatan mendapat perhatian banyak dari peneliti

politik kesehatan . Kingdon berpendapat ada tiga domain pemikiran yang

3
mempengaruhi kemunculan kebijakan dalam masyarakat . Stream masalah

mengacu pada bagaimana orang memahami dan mengangkat prioritas dari banyak

masalah. Masyarakat mendefinisikan masalah-masalah itu dan menjadi agenda

mereka.

Stream kebijakan mengacu pada pilihan-pilihan intervensi yang bisa

dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah. Ilmuwan dan birokrat berurusan

dengan alternatif strategi dan membahas mana yang lebih efisien, yang lebih

efektif, atau yang lebih efisien dan efektif. Pengalaman kebijakan sebelumnya dan

pengalaman antar negara biasanya merupakan pelajaran bagi orang yang peduli

dengan stream kebijakan. Stream politik mengacu pada bagaimana masyarakat

beradu memanfaatkan kekuasaan yang mereka miliki.

Stream politik ditandai peristiwa seperti pemilihan kepala daerah dan

wakil masyarakat yang duduk di lembaga perwakilan, kampanye partai, dan

perilaku politisi selama mereka menduduki kekuasaan pada lembaga masyarakat.

Ketiga stream ini ada berdiri sendiri-sendiri. Sebuah kebijakan muncul jika
56

ketiga stream ini bertemu. Tidak ada yang bisa memprediksi seperti apa situasi

dan kondisi yang memunculkan sebuah kebijakan.

Kingdon menggambarkan kemunculan kebijakan sebagai sesuatu yang

sulit diramalkan. Kesulitan itu digambarkan seperti seolah-olah kita berurusan

dengan keranjang sampah (garbage can). Isu-isu dari masalah, kebijakan, dan

politik seolah-olah semuanya berada dalam keranjang itu. Istilah keranjang

sampah itu mencerminkan proses kemunculan kebijakan itu sangat tidak ideal

seperti yang digambarkan dalam tahap-tahap pengembangan kebijakan yang dapat

diprediksi dan dikelola. Jauh dari situasi dan kondisi yang ideal, sebuah

kebijakan digambarkan seolah kita merogoh barang yang sudah berada dalam

sebuah keranjang sampah.

Pemunculan dan proses pembuatan kebijakan dalam model keranjang

sampah Kingdon ini menekankan bahwa masalah dan opsi kebijakan untuk

mengatasi masalah itu tidak cukup. Meski masalah dan kebijakan pemecahannya

sudah tersedia, proses kebijakan makin sulit dikendalikan ketika peristiwa-

peristiwa politik berjalan dengan sangat dinamis.

Konsep komunitas kebijakan mengacu pada sekelompok orang atau

lembaga yang memiliki kepentingan dari sebuah kebijakan. Komunitas kebijakan

terdiri dari pihak-pihak pendukung dan penentang. Dalam konsep ini, kebijakan

merupakan kemenangan atau negosiasi dari aktor-aktor dalam komunitas.

Komunitas kebijakan sangat dinamis. Ia berubah cepat sesuai dinamika dari

anggota komunitas. Anggota bisa mempengaruhi anggota lain agar bergabung

pada salah satu kelompok dan memenangkan peperangan kekuatan politik.

Anggota-anggota yang menolak berpartisipasi dan penentang kebijakan bisa


57

berubah menjadi pendukung karena memahami perimbangan kekuatan dan

kepentingan yang berubah. Sebaliknya, anggota pendukung bisa berubah netral

atau penolak. Anggota komunitas bisa berganti-ganti keluar dan masuk. Jika

keluar, kekuatan salah satu kelompok bisa berkurang. Aktor yang baru datang bisa

menguatkan kelompok dalam komunitas. Anggota komunitas kebijakan yang aktif

dan proaktif mengikuti perkembangan kebijakan lebih intensif daripada yang lain.

Anggota yang menolak berpartispasi bisa berarti memberi kesempatan orang lain

memenangi pengambilan keputusan.

Yang penting dalam komunitas kebijakan adalah ia merupakan ajang

pertarungan kepentingan. Kabupaten dalam era otonomi memiliki komunitas

kebijakan dengan pihak-pihak yang mewakili kepentingan masyarakat dan

kelompok. Menjadi penguasa diperebutkan oleh pihak-pihak yang memiliki

kepentingan kelompok. Posisi dalam pemerintah adalah alat mewujudkan

kepentingan dan pembuatan kebijakan. Sistem politik daerah mencerminkan

proses pembuatan kebijakan oleh kepala daerah.

Proses kekuasan di daerah diwarnai terutama oleh pemilihan kepala daerah

dan kontrol lembaga perwakilan rakyat. Kekuasaan di pemerintah dan dewan

perwakilan bervariasi mulai dari yang memperjuangkan kepentingan publik,

kelompok, dan pribadi. Hal ini dikarenakan kekuasaan eksekutif dan legislatif

kuat dan kebijakan kesehatan diwarnai oleh dinamika orang- orang yang duduk di

lembaga ini.

Kebijakan desentralisasi bukan sebuah momen yang terjadi dengan proses

pelaksanaan dan hasil yang dapat diprediksi. Sebagai sebuah kebijakan publik,

penerimaan oleh berbagai pihak dalam pelaksanaan tentunya bervariasi. Ada yang
58

semangat menjalankan bahkan terlalu bersemangat, namun ada yang tidak

bersemangat bahkan cenderung menolak.

1.7.4 Manajemen Rumah Sakit

Di era industrialisasi sekarang ini, rumah sakit merupakan salah

satu bentuk organisasi yang bergerak dibidang pelayanan kesehatan

dimana salah satu upaya yang dilakukan adalah mendukung rujukan dari

pelayanan tingkat dasar, seperti puskesmas. Untuk itu, sebagai pusat

rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat dasar, maka pelayanan Rumah

Sakit perlu menjaga kualitas pelayanannya terhadap masyarakat yang

membutuhkan. (Indriyani 2009). Rumah sakit sebagai organisasi yang

besar yang didalamnya terdapat banyak profesi harus dapat bersinergi

guna memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakatnya.

Rumah Sakit Umum Daerah, merupakan rumah sakit yang dimiliki oleh

pemerintah daerah yang menurut Undang undang Nomor 23 tahun 2014

berbentuk Lembaga Tekhnis Daerah di bawah pemerintah daerah. Paradigma baru

pengelolaan keuangan negara sesuai dengan paket peraturan perundang-undangan

di bidang keuangan negara meliputi Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang

Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan

Negara dan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan

Keuangan Badan Layanan Umum setidaknya mengandung tiga kaidah manajemen

keuangan negara, yaitu: orientasi pada hasil, profesionalitas, dan akuntabilitas -

transparansi. Yang semuamya itu bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik

oleh pemerintah. (Hendrawan and KISWARA 2011)


59

Sebagai Badan Layanan Umum Daerah, rumah sakit memiliki fleksibilitas

cukup tinggi dalam pengelolaan keuangan. Paradigma BLUD dimaksudkan untuk

memangkas ketidakefisienan. Memang menjadi persepsi masyarakat bahwa

pemerintah selama ini dinilai sebagai organisasi yang birokratis, lambat, tidak

efektif dan tidak efisien. Padahal dalam manajemen modern unit pemerintahan

harus profesional, akuntabel dan transparan.

Rumah sakit sebagai salah satu jenis Badan Layanan Umum merupakan

ujung tombak dalam pembangunan kesehatan masyarakat. Namun, tidak sedikit

keluhan selama ini diarahkan pada kualitas pelayanan rumah sakit yang dinilai

masih rendah. Perkembangan pengelolaan rumah sakit, baik dari aspek

manajemen maupun operasional sangat dipengaruhi oleh berbagai tuntutan dari

lingkungan, yaitu antara lain bahwa rumah sakit dituntut untuk memberikan

pelayanan kesehatan yang bermutu, dan biaya pelayanan kesehatan terkendali

sehingga akan berujung pada kepuasan pasien. Tuntutan lainnya adalah

pengendalian biaya.

Biaya kesehatan cenderung terus meningkat, dan rumah sakit dituntut

untuk secara mandiri mengatasi masalah tersebut. Peningkatan biaya kesehatan

menyebabkan fenomena tersendiri bagi rumah sakit pemerintahan karena rumah

sakit pemerintah memiliki segmen layanan kesehatan untuk kalangan menengah

ke bawah. Akibatnya rumah sakit pemerintah diharapkan menjadi rumah sakit

yang murah dan bermutu.

PP No. 23 Tahun 2005 sebagai peraturan pelaksanaan dari asal 69 ayat (7)

UU No. 1 Tahun 2004, Pasal 2 yang menyebutkan bahwa “BLU bertujuan untuk

meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan


60

kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan

fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan

produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat”.

Sedangkan Asas BLU diatur menurut Pasal 3 PP No. 23 Tahun 2005,

yaitu:

1. BLU beroperasi sebagai unit kerja kementerian

negara/lembaga/pemerintah daerah untuk tujuan pemberian layanan umum

yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh

instansi induk yang bersangkutan dan tidak terpisah secara hukum dari

instansi induknya.

2. Pejabat BLU bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan layanan umum

kepada pimpinan instansi induk.

3. BLU dalam menyelenggarakan kegiatannya tanpa mengutamakan

pencarian keuntungan.

4. Rencana kerja, anggaran dan laporan BLU dan instansi induk tidak

terpisah.

5. Pengelolaan sejalan dengan praktik bisnis yang sehat.

Dari uraian definisi, tujuan dan asas BLU, maka dapat terlihat bahwa BLU

memiliki suatu karakteristik tertentu, yaitu :

1. Berkedudukan sebagai lembaga pemerintah yang tidak dipisahkan dari

kekayaan Negara.

2. Menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan masyarakat.

3. Tidak mengutamakan pencarian laba.


61

4. Dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi dan produktivitas ala

korporasi.

5. Rencana kerja, anggaran dan pertanggungjawabannya dikonsolidasikan

pada instansi induk.

6. Penerimaan baik pendapatan maupun sumbangan dapat digunakan secara

langsung.

7. Pegawai dapat terdiri dari pegawai negeri sipil dan bukan pegawai negeri

sipil.

8. BLU bukan subyek pajak.

Sekalipun BLU dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi dan

produktivitas ala korporasi, namun terdapat beberapa karakteristik lainnya yang

membedakan pengelolaan BLU dengan Badan Usaha Milik Negara

(BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yaitu:

1. BLU dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam

rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan

bangsa.

2. Kekayaan BLU merupakan bagian dari kekayaan negara/ daerah yang

tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk

menyelenggarakan kegiatan BLU yang bersangkutan.

3. Pembinaan BLU instansi pemerintah pusat dilakukan oleh Menteri

Keuangan dan pembinaan teknis dilakukan oleh Menteri yang bertanggung

jawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan.

4. Pembinaan keuangan BLU instansi pemerintah daerah dilakukan oleh

pejabat pengelola keuangan daerah dan pembinaan teknis dilakukan oleh


62

kepala satuan kerja perangkat daerah yang bertanggung jawab atas bidang

pemerintahan yang bersangkutan.

5. Setiap BLU wajib menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan.

6. Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) serta laporan keuangan dan laporan

kinerja BLU disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan

dari RKA serta laporan keuangan dan laporan kinerja kementerian negara/

lembaga/ pemerintah daerah.

7. Pendapatan yang diperoleh BLU sehubungan dengan jasa layanan yang

diberikan merupakan pendapatan negara/ daerah. Pendapatan tersebut

dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja yang bersangkutan.

8. BLU dapat menerima hibah atau sumbangan dari masyarakat atau badan

lain.

9. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan keuangan BLU diatur dalam

Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 tahun 2005.

Apabila dikelompokkan menurut jenisnya Badan Layanan Umum terbagi

menjadi 3 kelompok, yaitu:

1. BLU yang kegiatannya menyediakan barang atau jasa meliputi rumah

sakit, lembaga pendidikan, pelayanan lisensi, penyiaran, dan lain-lain.

2. BLU yang kegiatannya mengelola wilayah atau kawasan meliputi otorita

pengembangan wilayah dan kawasan ekonomi terpadu (Kapet).

3. BLU yang kegiatannya mengelola dana khusus meliputi pengelola dana

bergulir, dana Usaha Kecil dan Menengah (UKM), penerusan pinjaman

dan tabungan pegawai.


63

Dengan pemikiran baru tersebut diharapkan bukan bentuknya saja suatu

unit pemerintah menjadi BLU yang melayani masyarakat tetapi tingkat pelayanan

masyarakat dapat ditingkatkan dengan cara yang profesional, efektif dan efisien

oleh pengelola unit tersebut dengan otonomi pengelolaan yang akan diberikan.

Sampai dengan saat ini urusan kesehatan menjadi urusan absolute yang

menjadi kewenangan pemerintah pusat. Era desentralisasi atau otonomi daerah

diberlakukan di Indonesia pada Tahun 1999 sejak diberlakukannya UU Nomor 22

Tahun 1999 yang diperbaharui pada tahun 2004 dengan UU Nomor 32 Tahun

2004. Sejak saat itu, urusan kesehatan diserahkan kepada pemerinta daerah

sampai dengan saat ini.

Dari awal pelaksanaan desentralisasi kesehatan, saya pribadi sudah

seringkali menentang dan bersikap kritis. Harapan saya bertumpu pada revisi

terakhir terhadap Undang-Undang Pemerintah Daerah dengan terbitnya UU

Nomor 23 Tahun 2014 yang disahkan tahun lalu. Namun ternyata harapan tinggal

harapan, jauh panggang dari api dan kembali harus menelan asa dan menyimpan

mimpi itu lagi. UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Pasal 10 Ayat (1)

seolah menjadi palu godam yang memupuskan harapan bahwa urusan kesehatan

bisa dikembalikan lagi menjadi urusan pemerintah pusat yang ter-sentralisasi.

Di negara Indonesia, urusan pemerintah itu dibagi menjadi tiga, yaitu

urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan kongruen, serta urusan

pemerintahan umum. Urusan pemerintahan absolut adalah Urusan Pemerintahan

yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Urusan pemerintahan

konguren adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan

Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota.


64

Urusan pemerintahan konguren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar

pelaksanaan Otonomi Daerah. Sedangkan urusan pemerintahan umum adalah

Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala

pemerintahan. (UU 23/2014 Pasal 9 Ayat (1) sampai Ayat (5) ). Pasal 10 Ayat (1)

UU 23/2014 menjabarkan bahwa urusan pemerintahan absolut yang menjadi

kewenangan pemerintah pusat meliputi urusan politik luar negeri, pertahanan,

keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama. Sementara urusan

pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Daerah terdiri atas Urusan

Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan. Urusan Pemerintahan

Wajib sebagaimana dimaksud terdiri atas Urusan Pemerintahan yang berkaitan

dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan

Pelayanan Dasar.

Urusan tentang kesehatan Terdapat pada Pasal 12 Ayat (1) yang

menjelaskan bahwa Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan

Dasar meliputi : pendidikan, KESEHATAN, pekerjaan umum dan penataan ruang,

perumahan rakyat dan kawasan permukiman, ketenteraman, ketertiban umum, dan

pelindungan masyarakat serta sosial. Di pasal inilah semakin menegaskan bahwa

urusan kesehatan MASIH menjadi urusan wajib pemerintah daerah. Sehingga

harapan akan dikembalikannya urusan kesehatan menjadi dibawah kewenangan

pemerintah pusat telah sirna.

Urusan Kesehatan Di Era Otonomi Daerah Perbedaan yang paling

mencolok pada sektor kesehatan sejak era otonomi adalah berubahnya status

kepegawaian PNS pada sektor kesehatan (Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit) dari

PNS Depkes (kala itu) menjadi PNS Daerah. Namun secara substansial bahwa
65

desentralisasi urusan kesehatan ini telah menyisakan beberapa persoalan yang

menurut saya pribadi perlu untuk dikaji dan dianalisa lebih dalam, diantaranya

adalah sebagai berikut :

1. Urusan kesehatan menjadi kental dengan kepentingan politik lokal

pemerintah daerah setempat. Isu-isu tentang kesehatan selalu menjadi

“dagangan” politik menjelang Pilkada dan tetap laris manis diterima oleh

masyarakat.

2. Penunjukan pimpinan lembaga yang bergerak di sektor kesehatan (Dinas

Kesehatan dan RSUD) kerap kali lebih mengedepankan pertimbangan

politis ketimbang analisis kompetensi, persyaratan minimal jabatan dan

tanpa melalui proses fit and proper test. Sebelum UU Rumah Sakit

berlaku, banyak dijumpai direktur rumah sakit BUKAN seorang dokter

sebagaimana terdapat seorang Kepala Dinas Kesehatan yang berlatar

pendidikan Sarjana Agama (S.Ag), hal ini terjadi karena pemilihan lebih

ke arah loyalitas ketimbang profesionalitas.

3. Munculnya isue bahwa RSUD menjadi “sapi perahan” pemerintah daerah

(terutama sebelum adanya aturan RSUD harus menjalankan PPK-BLUD),

Dinas Kesehatan menjadi salah satu unit penghasil (Revenue Center) yang

berperan penting dalam menyumbang PAD sebuah daerah.

4. Adanya kebingungan para pemangku kepentingan sektor kesehatan di

daerah dengan adanya “dua induk” yang harus berpijak pada dua kaki di

alam yang berbeda. Satu kaki terkait dengan aturan-aturan birokrasi

aparatur pemerintah harus tunduk dan patuh terhadap ketentuan-ketentuan

yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri),


66

sementara satu kaki lagi harus tetap mempedomani standar, aturan dan

ketentuan dari kementerian teknis sektor kesehatan yaitu Kementrian

Kesehatan (Kemenkes).

5. Banyaknya aturan-aturan yang secara tidak sengaja saling “bertabrakan”

dan “berbenturan” antara produk hukum Kemendagri yang harus dipatuhi

dan aturan hukum dari Kemenkes yang juga wajib dipedomani. Bahkan

aturan dari kementrian yang samapun bisa berbenturan manakala aturan

tersebut mengatur hal yang bersifat khusus. Sebagai contoh adanya

Permendagri Nomor 61 Tahun 2007 tentang PPK-BLUD yang agak sedikit

bertentangan dengan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Dalam Permendari 61/2007

dikenal istilah RBA (Rencana Bisnis Anggaran) sementara Permendagri

13/2006 tetap menggunakan istilah RKA (Rencana Kegiatan dan

Anggaran) dan DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran). Begitu juga

dengan standar akuntansi keuangan yang digunakan di Pemendagri

13/2006 masih tetap menggunakan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP)

yang bersifat cash-based sementara Permendagri 61/2007 telah

menggunakan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang bersfiat accrual-

based. Dampaknya adalah bagi RSUD yang sudah menerapkan PPK-

BLUD maka harus membuat RBA dan juga membuat DPA, harus

menggunkan SAK dan juga SAP yang seringkali harus dilakukan

rekonsiliasi karena adanya perbedaan data keuangan rumah sakit.

6. Meskipun standar SDM dan standar kompetensi telah diatur oleh

Kemenkes, namun persoalan krusial menyangkut standar penghasilan


67

(salary) tenaga kesehatan masih diserahkan kepada kemampuan

pemerintah daerah masing-masing. Akibatnya apa? Terjadinya disparitas

yang terlalu jauh terhadap kesejahteraan tenaga kesehatan terkait reward

antara daerah yang kaya (PAD tinggi) dengan daerah yang masih tertinggal

(PAD rendah). Begitu juga dengan standar kebutuhan SDM yang masih

bervariasi antar daerah satu dengan yang lainnya menjadi persoalan

tersendiri sehingga jika kita melihat sebaran (distribusi) tenaga dokter

khususnya dokter spesialis di Indonesia pada hari ini yang tidak merata,

maka inilah salah satu faktor penyebabnya.

7. Kemenkes selaku regulator bidang kesehatan sebetulnya telah banyak

mengeluarkan aturan, ketentuan, pedoman dan standarisasi dengan tujuan

agar pelayanan kesehatan akan dirasakan sama dan merata oleh

masyarakat dari Sabang sampai Merauke. Namun fakta di lapangan,

banyak hal yag berbenturan dengan aturan-aturan lokal daerah seperti

Perda, Perbup dan Kepbup (PERKADA). Fungsi pengawasan dan kontrol

oleh Dinas Kesehatan masih lemah karena meskipun memiliki instrumen

yang jelas dari Kemenkes namun tetap sulit karena berbenturan dengan

kepentingan politis lokal.

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2007 tentang

Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) jelas disebutkan bahwa perangkat daerah

terdiri dari : Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Inspektorat, BAPPEDA,

Dinas, Lembaga Teknis Daerah (LTD) dan Kecamatan. Lembaga Teknis Daerah

bisa berbentuk Badan, Kantor dan RUMAH SAKIT. Sehingga jelas kedudukan

RSUD adalah sebagai Lembaga Teknis Daerah yang dipimpin oleh seorang
68

direktur yang bertanggungjawab langsung kepada Kepala Daerah melalui

Sekretaris Daerah (PP 41/2007 Pasal 8 dan Pasal 15).

Namun dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah

Pasal 209 Ayat (2) yang berbunyi bahwa Perangkat Daerah kabupaten/kota terdiri

atas : Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Inspektorat, Dinas, Badan dan

Kecamatan. Hilanglah sudah Lembaga Teknis Daerah (LTD) sebagai induk

lembaga RSUD sebagaimana tercantum pada PP 41 Tahun 2007.

Satu-satunya tafsiran sebagai pintu masuk terhadap entitas RSUD adalah

pada Pasal 219 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa Badan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 209 ayat (1) huruf e dan ayat (2) huruf e dibentuk untuk

melaksanakan fungsi penunjang Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan

Daerah meliputi : perencanaan, keuangan, kepegawaian serta pendidikan dan

pelatihan, penelitian dan pengembangan dan fungsi lain sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan. Hanya pada poin terakhir yaitu menjalankan

fungsi lain sesuai dengan ketentuan peraturan perudang-undangan yang

memungkinkan sebagai pintu masuk UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah

Sakit karena berlaku azas hukum Lex Specialis Derogat Legi Generalis.

Jika kita menganggap ini adalah pintu masuk terhadap legalitas badan

hukum rumah sakit, maka kedepan rumah sakit akan menjadi sebuah Badan

dengan dipimpin oleh seorang Kepala Badan. RSUD Menjadi UPTD Dinas

Kesehatan ? Dalam UU 23 Tahun 2014 tidak disebutkan adanya kewenangan

Dinas membentuk Unit Pelaksana Teknis sebagaimana pada PP 41 Tahun 2007

Pasal 14 Ayat (6) yang secara tegas menyatakan bahwa pada dinas daerah dapat

dibentuk unit pelaksana teknis dinas untuk melaksanakan sebagian kegiatan teknis
69

operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang yang mempunyai wilayah kerja

satu atau beberapa kecamatan. Substansi pembentukan Unit Pelaksan Teknis

Dinas (UPTD) adalah untuk melakukan koordinasi dinas yang memiliki rentang

kendali dengan unit kerjanyanya. Sehingga Puskesmas memang betul menjadi

UPTD Dinas Kesehatan.

Kedudukan rumah sakit dalam Undang-Undang 44 Tahun 2009 tentang

Rumah Sakit. Pasal 7 Ayat (3) UU RS 44/2009 menyebutkan bahwa Rumah Sakit

yang didirikan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah HARUS berbentuk Unit

Pelaksana Teknis dari Instansi yang bertugas di bidang kesehatan, Instansi

tertentu, atau Lembaga Teknis Daerah dengan pengelolaan Badan Layanan Umum

atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Dapat ditafsirkan bahwa pilihan menjadi Unit Pelaksana

Teknis (UPT) dari instansi yang bertugas di bidang kesehatan adalah Rumah Sakit

vertikal milik Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan.

Pada kenyataannya, memang RSUP-RSUP yang ada di Indonesia adalah

merupakan UPT nya Kementerian Kesehatan dibawah Direktorat Jendral Bina

Upaya Kesehatan (BUK) seperti RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, RSUP

Dr. Hasan Sadikin Bandung, RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dan lain-lainnya. UPT

yang dimaksud disini adalah Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP), sedangkan

instansi di bidang kesehatan adalah Kementerian Kesehatan. Harap dicermati

bahwa tidak ada pilihan menjadi UPTD (Unit Pelaksana Teknis Dinas), bedakan

antara UPTD dengan UPT (Unit Pelaksana Teknis). Sehingga jika fakta bahwa

RSUP Dr. Cipto Mangungkusumo (RSCM) sebagai UPT nya Ditjen BUK

Kemenkes kemudian menjadikan sebagai dasar pemikiran bahwa RSUD sebagai


70

UPTD nya Dinas Kesehatan adalah kekeliruan dalam meng-analogi-kan.

Membandingkan sesuatu tidak secara apple-to-apple.

Kembali ke UU Rumah Sakit Nomor 44 Tahun 2009 terkait kedudukan

rumah sakit, terdapat pilihan ATAU menjadi Lembaga Teknis Daerah (LTD)

dengan pengelolaan secara BLU atau BLUD. Jadi kesimpulan atas tafsiran Pasal 7

Ayat (3) tersebut adalah jika rumah sakit milik Pemerintah Pusat maka HARUS

dalam bentuk UPT yang berada dibawah Ditjen BUK Kemenkes dengan

pengelolaan secara Badan Layanan Umum (BLU), sedangkan jika rumah sakit

milik Pemerintah Daerah maka harus dalam bentuk Lembaga Teknis Daerah

dengan pengelolaan secara Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Ini sejalan

dengan PP 41 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa rumah sakit daerah berbentuk

Lembaga Teknis Daerah dibawah kepala daerah langsung.

Lembaga Teknis Daerah (LTD) sangat berbeda dengan UPTD karena

Lembaga Teknis Daerah (LTD) berada dibawah kepala daerah langsung dan

bertanggungjawab kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah, sementara

UPTD adalah dibawah Dinas dan bertanggungjawab langsung kepada kepala

dinas.

Sempat mendapatkan informasi bahwa akan terbit Undang-Undang Nomor

39 Tahun 2015 yang masih dalam bentuk RUU yang akan mengatur secara rinci

fungsi dan kedudukan rumah sakit umum daerah dimana informasi tersebut

menyatakan bahwasanya RSUD akan menjadi lembaga fungsional murni (non

eselon) berbentuk UPTD dibawah Dinas Kesehatan. Dasar pemikirannya adalah

karena tidak boleh ada “matahari kembar” yang membidangi urusan kesehatan di

satu daerah, selain itu juga untuk memperkuat fungsi pengawasan dan pembinaan
71

RSUD oleh Dinas Kesehatan yang dirasakan masih belum optimal. Juga untuk

meningkatkan fungsi koordinasi kebijakan dan teknis antara RSUD dengan Dinas

Kesehatan.

Persoalan yang pasti akan mengikuti adalah seperti pendapat akademisi

Prof. Laksono Trisnantoro dari UGM dalam sebuah seminar nasional tentang

Kedudukan Rumah Sakit dalam UU 23/2014 di Semarang baru-baru ini yang

menyatakan bahwasanya antara regulator dan operator tidak bisa dijadikan satu

dalam sebuah kelembagaan. Dinas Kesehatan akan menjalankan dwi fungsi yaitu

sebagai Regulator dan sebagai Operator sehingga akan sangat memberatkan

karena akan membidangi urusan kesehatan dari hulu sampai ke hilir.

Sebuah contoh menarik adalah hubungan antara Kementerian

Perhubungan dengan Maskapai Penerbangan. Kementerian Perhubungan adalah

sebagai Regulator yang menyusun dan menetapkan Norma, Standar, Prosedur dan

Kriteria (NSPK) tentang angkutan udara dan keselamatan penumpang. Sementara

Maskapai Garuda Indonesia, Lion Air, Air Asia dan sebagainya adalah berfungsi

sebagai operator di lapangan yang menjalankan regulasi dari Kementerian

Perhubungan. Jadi antara regulator dan operator memang tidak bisa disatukan

karena masing-masing memiliki tupoksi dan ranah tanggungjawabnya sendiri-

sendiri.

Persoalan yang pasti akan segera muncul ketika memang benar bahwa

RSUD akan menjadi UPTD nya Dinas Kesehatan adalah :

1. Bagaimana dengan status BLUD sebuah RSUD ? Ada kemungkinan akan

batal demi hukum apabila belum ada Peraturan Kepala Daerah

(PERKADA) tentang BLUD secara umum karena berubahnya status


72

badan hukum rumah sakit dari sebelumnya adalah sebagai Lembaga

Teknis Daerah berubah menjadi Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD).

2. Bagaimana dengan RSUD yang kebetulan saat ini masih menjadi pusat

pendidikan kedokteran ? Perlu dipahami bahwa kondisi saat ini di

Indonesia tidak semua rumah sakit yang digunakan sebagai pusat

pendidikan kedokteran adalah milik Kementerian Kesehatan atau RSUP.

Sebagi contoh RSUD Dr. Moewardi Surakarta adalah rumah sakit daerah

milik Pemerintah Propinsi Jawa Tengah yang menjadi pusat pendidikan

klinis FK UNS dan RSUD Dr. Soetomo Surabaya adalah rumah sakit

daerah milik Pemerintah Propinsi Jawa Timur yang menjadi pusat

pendidikan klinis FK UNAIR. Meskipun saat ini sudah didorong setiap

Fakultas Kedokteran sebuah unversitas harus memiliki rumah sakit

pendidikan (Teaching Hospital) sendiri yang terpisah dengan rumah sakit

pelayanan (Services Hospital), namun faktanya contoh kedua rumah sakit

daerah tersebut diatas sampai saat ini masih dipergunakan sebagai pusat

pendidikan dokter khususnya Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Saya

pribadi meyakini bahwa akan timbul banyak persoalan tentang perubahan

status dan badan hukum kedua rumah sakit tersebut.

Adanya reformasi bidang kesehatan yang mengembalikan urusan

kesehatan sebagai urusan pemerintah yang bersifat absolute dibawah kendali

penuh pemerintah pusat, yang terjadi malahan kedudukan RSUD menjadi

“lenyap” tak berbekas berdasarkan UU 23 Tahun 2014 ini. Dari dokumen

notulensi hasil rapat pengurus Asosiasi Rumah Sakit Daerah (ARSADA) Tanggal

13 Oktober 2014 di Semarang terdapat beberapa persamaan pandangan dan pola


73

pikir dengan tulisan ini. Sedikit berbeda dalam hal pengambilan rujukan dasar

hukumnya, jika kajian ARSADA lebih banyak mengambil referensi dari PP

Nomor 08 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah namun

dalam tulisan ini banyak mengambil rujukan dari PP Nomor 41 Tahun 2007

tentang Organisasi Perangkat Daerah (OPD).

Yang menarik juga adalah menunggu sikap dan langkah selanjutnya dari

ARSADA terkait hal ini. Bagaimana juga dengan nasib perjuangan anggaran

kesehatan seperti amanat UU 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ? Nampaknya

mimpi ini harus dibawa tidur kembali sembari berharap akan adanya sebuah

gerakan besar merubah Sistem Kesehatan Nasional (SKN) di Indonesia.

Sampai dengan saat ini kelembagaan rumah sakit daerah adalah sebagai

Lembaga Teknis Daerah (LTD) dengan mengacu pada PP Nomor 41 Tahun 2007

yang merupakan aturan hukum turunan dari UU Nomor 32 Tahun 2004 sampai

dengan pemberlakuan UU Nomor 23 Tahun 2014 beserta perangkat-perangkat

hukum turunan nya.

Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah

perubahan dari UU Nomor 22 Tahun 1999 yang merupakan cikal bakal era

Desentralisasi atau Otonomi Daerah pasca tumbangnya Orde Baru melalui

rangkaian sejarah reformasi pada tahun 1998. Pasal 120 Ayat (2) UU Nomor 32

Tahun 2004 dinyatakan bahwasanya perangkat daerah Kabupaten/Kota terdiri dari

Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas Daerah, LEMBAGA TEKNIS

DAERAH, Kecamatan dan Kelurahan. Pada perangkat hukum turunan UU 32

Tahun 2004 yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2007 tentang

Organisasi Pemerintahan Daerah (OPD) pada Pasal 8 dan Pasal 15 sangat jelas
74

disebutkan bahwa Lembaga Teknis Daerah bisa berbentuk Badan, Kantor dan

RUMAH SAKIT sehingga dapat disimpulkan kedudukan Rumah Sakit Daerah

(RSD) adalah sebagai Lembaga Teknis Daerah yang dipimpin oleh seorang

direktur dan bertanggungjawab langsung kepada Kepala daerah melalui Sekretaris

Daerah. Status badan hukum dan kelembagaan inilah yang dianut oleh rumah

sakit daerah sampai dengan saat ini.

Namun dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang

merupakan perubahan atas UU Nomor 32 Tahun 2004 secara eksplisit pada Pasal

209 Ayat (2) yang berbunyi bahwa Perangkat Daerah kabupaten/kota terdiri atas :

Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Inspektorat, Dinas, Badan dan Kecamatan.

Hilanglah sudah Lembaga Teknis Daerah (LTD) sebagai induk kelembagaan

rumah sakit daerah. Pada saat saya membuat tulisan tentang kemungkinan RSD

dibawah Dinas Kesehatan (Mei 2015) lalu memang belum ada peraturan hukum

turunan. Hanya saya mendengar selentingan kabar bahwa RSD akan dibawah

Dinas Kesehatan berbentuk Unit Pelakasana Teknis Dinas (UPTD) sampai

akhirnya terbitlah PP Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah beberapa

saat yang lalu.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat

Daerah pada Pasal 43 yang secara substansi menyatakan bahwa terdapat Unit

Pelaksana Teknis Dinas Daerah Kabupaten/Kota di bidang kesehatan berupa

rumah sakit Daerah kabupaten/kota dan pusat kesehatan masyarakat sebagai unit

organisasi bersifat fungsional dan unit layanan yang bekerja secara profesional.

Nah sampai disinilah sebenarnya berakhirnya riwayat Lembaga Teknis Daerah

yaitu RSD dan berubah bentuk menjadi UPTD dibawah Dinas Kesehatan
75

Kabupaten/Kota. Inilah kisah “lenyapnya” entitas Rumah Sakit Daerah sebagai

sebuah lembaga dibawah Bupati/Walikota langsung dan berubah menjadi hanya

sebuah unit dibawah Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Pasal 43 PP Nomor 18 Tahun 2016 mengandung dua kata kunci pokok

yaitu RSD sebagai Unit Organiasai bersifat fungsional dan Unit Layanan yang

bekerja secara profesional Artinya secara kelembagaan atau organisasi bersifat

fungsional dan memberikan layanan secara profesional. Selama inipun sebenarnya

RSD dijalankan oleh para profesional yang bekerja berdasarkan standar tata kelola

klinis sehingga tidak ada perubahan yang bermakna. Namun dari sisi organisasi

atau kelembagaan mengalami perubahan yang sangat fundamental dari yang

sebelumnya adalah lembaga yang dilaksanakan oleh para pejabat

struktural(eselon-ring) dalam menjalankan tata kelola rumah sakit berdasarkan

kelas rumah sakit sebagaimana diatur pada PP Nomor 41 Tahun 2007, namun saat

ini berubah menjadi unit yang bersifat Fungsional. Pada penjelasan Pasal 43 PP

Nomor 18 Tahun 2016 ini disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ”unit

organisasi bersifat fungsional” adalah unit organisasi yang dipimpin oleh pejabat

fungsional. Kesimpulannya adalah Unit Layanan tidak mengalami perubahan,

namun Unit Organisasi (lembaga) mengalami perubahan dari struktural menjadi

fungsional. Secara sederhana diterjemahkan bahwa di RSD tidak ada lagi pejabat

struktural (eselon-ring) dan hanya diisi oleh para pejabat fungsional dan pelaksana

fungsional layanan secara profesional.

Pada Pasal 44 PP Nomor 18 Tahun 2016 merupakan penegasan dari

metamorfosis nya RSD dimana disebutkan bahwa RSD dipimpin oleh direktur

rumah sakit Daerah kabupaten/kota, bersifat otonom dalam penyelenggaraan tata


76

kelola rumah sakit dan tata kelola klinis serta menerapkan pola pengelolaan

keuangan badan layanan umum Daerah (PPK-BLUD).

Masih pada Pasal 44 PP Nomor 18 Tahun 2016 diatur bahwa Rumah Sakit

Daerah (RSD) kabupaten/kota dalam penyelenggaraan tata kelola rumah sakit dan

tata kelola klinis dibina dan bertanggung jawab kepada Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota melalui penyampaian laporan kinerja rumah sakit kepada Kepala

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan

tata hubungan kerja rumah sakit Daerah kabupaten/kota akan diatur dalam

Peraturan Presiden. Artinya bahwa masih harus menunggu perangkat hukum

turunan lagi yaitu Peraturan Presiden (Perpres) tentang organisasi dan tata

hubungan kerja di RSD.

Memang sangat wajar timbul kegusaran dan kegelisahan para pejabat

struktural di RSD yang terancam akan kehilangan jabatan struktural nya, namun

jika dirasakan dan direnungkan sebetulnya memang lebih baik pejabat pengelola

RSD adalah non eselonisasi. Karena pejabat pengelola RSD yang eselonisasi

sangat rawan dengan kepentingan politis lokal dan secara beban moral akan

banyak terlibat dalam hal-hal yang bersifat non substansial rumah sakit terutama

direktur misalkan lebih sering harus mengikuti atau menghadiri kegiatan-kegiatan

seremonial ketimbang fokus dan konsentrasi terhadap masalah-masalah

substansial rumah sakit.

Bagaimanapun juga lembaga RSD harus independen dan otonom dalam

melaksanakan tata kelola rumah sakit tanpa adanya campur tangan kepentingan

lainnya, namun semata-mata hanya demi menjalankan roda organisasai RSD

secara profesional. Munculnya persoalan yang sangat pelik adalah pada Pasal 95
77

Ayat (8) yang selengkapnya berbunyi “Kepala unit pelaksana teknis Daerah

kabupaten/kota yang berbentuk rumah sakit Daerah kabupaten/kota dijabat oleh

dokter atau dokter gigi yang ditetapkan sebagai pejabat fungsional dokter atau

dokter gigi dengan diberikan tugas tambahan

Pada penjelasan Pasal 95 Ayat (8) disebutkan bahwa yang dimaksud

dengan “pejabat fungsional dokter atau dokter gigi” adalah termasuk dokter

spesialis dan dokter gigi spesialis yang menduduki jabatan fungsional dokter dan

dokter gigi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi tambahan adalah

lampiran susulan atau pelengkap, artinya tugas tambahan adalah hanya merupakan

tugas pelengkap disamping adanya t. Dalam bahasa sederhana bahwa hanya

merupakan tugas sambilan dan yang namanya sambilan maka boleh dilaksanakan

sambil lalu atau disela-sela melakukan tugas utama. Sehingga seorang dokter atau

dokter gigi yang ditunjuk menjadi direktur RSD akan menjalankan tugas sebagai

direktur disela sela tugas utamanya sebagai pegawai fungsional yaitu memberikan

pelayanan kepada pasien. Misalkan, seorang dokter akan memberikan pelayanan

kepada pasien dari pukul 08.00 WIB sampai dengan 12.00 WIB lalu setelah pukul

12.00 WIB baru akan menjalankan fungsi sebagai direktur sebelum pulang. Atau

disela-sela waktu antara pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 14.00 WIB masih

sempat menjalankan fungsi sebagai direktur, menandatangani surat-surat yang

masuk, memberikan disposisi dan lain sebagainya.

Teori dasar manajemen rumah sakit menyatakan bahwa rumah sakit itu

adalah unik dan sangat spesifik, sebuah instansi yang serba padat dan tingkat

kompleksitas masalah, dinamika dan aktivitas yang sangat tinggi. Banyaknya


78

ilmu-ilmu dan teknologi yang ada di RS menjadikan RS sebagai organisasi yang

padat ilmu, padat tekhnologi dan pada modal. Banyaknya jenis tenaga fungsional

dengan berbagai keahlian dan kompetensinya menjadikan rumah sakit organisasi

padat karya yang pada ujungnya akan terjadi padat kepentingan, padat masalah

dan padat konflik. Semunya serba padat karena memang sangat unik dan spesifik

tempat berkumpulnya berbagai macam keahlian, teori, tekhnologi, alat kesehatan

dan sebagainya. Sehingga rumah sakit merupakan satu-satunya organisasi dengan

tata kelola yang terpisah yaitu Tata Kelola Rumah Sakit dan Tata Kelola Klinis

sehingga dibutuhkanlah sebuah Peraturan Dasar Internal Rumah Sakit atau

Hospital By Law (HBL) dan Pola Tata Kelola Rumah Sakit.

Sungguh sangat komplek dan rumit mengelola manajemen rumah sakit

karena harus menjalankan tata kelola rumah sakit (layanan) dan tata kelola klinis

(asuhan pasien) secara paralel dan sinergis. Menyederhanakan dan menganggap

enteng mengelola rumah sakit adalah sebuah kesalahan yang sangat fatal dan

pikiran yang absurd. Banyak pihak eksternal rumah sakit yang beranggapan

bahwa mengelola rumah sakit itu mudah dan sederhana, namun ketika sudah ikut

masuk ke dalam jajaran pengelola manajemen rumah sakit baru menyadari bahwa

begitu rumit dan sulitnya tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya.

Setiap hari selalu muncul persoalan dan masalah baru yang menuntut

penyelesaian secara cepat dan tepat karena menyangkut nyawa dan keselamatan

serta mencegah kecacatan. Begitu komplek dan rumitnya mengelola rumah sakit

sampai-sampai perlu dibuatkan aturan-aturan hukum khusus (lex specialist)

seperti PPK-BLU/BLUD, pengecualian dalam proses pengadaan barang/jasa dan

lain sebagainya. Dari aspek perencanaan anggaran dan keuangan begitu


79

kompleksnya karena secara PPK-BLUD harus menyusun Rencana Bisnis dan

Anggaran (RBA) namun dalam pelaporan ke pemerintah daerah tetap

menggunakan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA), belum lagi pelaporan

akuntansi keuangan yang berdasarkan Permendagri Nomor 61 Tahun 2007 tentang

PPK-BLUD harus menggunakan model accrual based berdasarkan Standar

Akuntansi Keuangan (SAK) namun dalam memberikan laporan kepada

pemerintah tetap menggunakan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) yang dulu

masih bersifat cash based (kini sudah mulai mengarah ke accrual based semua).

Proses pengadaan barang dan jasa (PBJ) menjadi persoalan tersendiri,

ketika satu kaki harus tetap mengacu pada Perpres 54 Tahun 2010 dan perubahan-

perubahannya dan disisi lain secara PPK-BLUD diperbolehkan tidak mengikuti

aturan tersebut dengan catatan harus menyusun dan menetapkan aturan tersendiri

sebagai pedoman. Persoalan mekanisme distribusi jasa pelayanan yang selalu

menjadi polemik dan memicu konflik antar profesi karena belum adanya

ketentuan yang tetap dan mengikat sebagai payung hukumnya.

Persoalan lain nya adalah terkait dengan pelaksanaan program Jaminan

Kesehatan Nasional (JKN) oleh BPJS Kesehatan dimana rumah sakit harus

melaksanakan kendali mutu dan kendali biaya agar tidak terjadi “defisit” tanpa

meninggalkan kualitas layanan atau memberikan layanan yang sub-standar. Belum

lagi permasalahan pencatatan aset dan barang milik negara (BMN) atau milik

daerah, persoalan stok dan inventori (persediaan) yang seringkali terdapat

perselisihan data ketika dilakukan audit.

Semua hal-hal tersebut diatas barulah pada sebatas persoalan pada kutub

tata kelola rumah sakit, belum merambah pada kutub tata kelola klinis yang
80

kesemuanya itu harus memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM) Rumah Sakit

dan juga standar jaminan mutu (quality insurrance) yaitu AKREDITASI yang

telah menjadi pra-syarat wajib dalam menjalankan kerjasama pemberian layanan

kesehatan program JKN dengan BPJS Kesehatan maupun pada saat pengurusan

atau perpanjangan ijin operasional rumah sakit. Dan semua itu akan dijalankan

hanya sebagai tugas tambahan saja. Dijalankan sebagai tugas utama saja tidak

akan pernah selesai karena masalah datang silih berganti, apalagi hanya

merupakan tugas tambahan.

Beberapa RSD saat ini bahkan telah menjadi pusat pendidikan fakultas

kedokteran dan masuk dalam kategori RS Kelas A. Dapat dipastikan akan jauh

lebih kompleksnya persoalan-persoalan yang ada menuntut profesionalisme

pengelolaanya dengan begitu banyaknya ragam dan jenis aktivitas sehari-hari.

Saya sulit membayangkan RS. Dr. Soetomo Surabaya dipimpin oleh seorang

dokter spesialis Bedah dengan jabatan fungsional dan mendapat tugas tambahan

sebagai direktur. Sulit memikirkan bagaimana RS. Dr. Moewardi Surakarta

dipimpin oleh seorang dokter spesialis Penyakit Dalam dengan jabatan fungsional

dan hanya sesekali berperan sebagai direktur.

1.8 Metodologi Penelitian

1.8.1 Paradigma Penelitian

Paradigma penelitian pada penelitian ini, menggunakan Paradigma

naturalistik yang berada dalam ruang lingkup tradisi sosiokultural, peneliti secara

alamiah menelisik keberadaan subjek-subjek penelitian diranah sosial dan budaya,

di mana komunikasi di fokuskan pada realitas sosial.


81

Dalam buku Sosiologi Komunikasi (Bungin 2006), mengutip Littlejohn,

(1996). Salah satu pendekatan dalam ilmu pengetahuan adalah ilmu sosial.

Walaupun pada umumnya pendekatan ilmu sosial merupakan suatu upaya

menggunakan pendekatan ilmu eksakta dalam melihat masyarakat sebagaimana

yang dimaksud oleh August Comte memperkenalkan sosiologi sebagai ilmu yang

membahas kehidupan sosial yang dipinjam dari ilmu fisika. Dalam berupaya

mengobservasikan dan menginterpretasikan pola-pola perilaku manusia, akar ilmu

sosial menjadikan manusia sebagai objek studi yang harus diobservasinya.

Apabila pola-pola perilaku pada kenyataannya ada, maka observasi haruslah

seobjektif mungkin dengan kata lain, ilmuwan sosial seperti ilmuwan alam harus

menegakan konsensus pada apa yang diobservasinya secara akurat yang nantinya

akan dijelaskan atau diinterpretasikan.

Suwardi Endraswara dalam buku Metode, Teori, Teknik, Penelitian

Kebudayaan, 2006. Mengutif Robert Friedrichs, Paradigma sebagai suatu

pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok

persoalan (subject matter) yang semestinya dipelajari (a fundamental image a

dicipline has of its subject matter).(Endraswara 2008)

Peneliti dalam memandang fenomena komunikasi politik kesehatan pasca

penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2016 berusaha untuk berpikir

secara menyeluruh, mencari bingkai yang sesuai dengan kajian ilmu komunikasi

secara naturalistik. Peneliti berada pada posisi yang netral, dan mencari gambaran

yang utuh pada proses terjadinya komunikasi. Paradigma adalah kumpulan

longgar tentang asumsi yang secara logis dianut bersama, konsep, atau proposisi

yang mengarahkan cara berpikir dan cara penelitian. Orientasi atau perspektif
82

teoritis adalah cara memandang dunia, asumsi yang dianut orang tentang sesuatu

yang penting, dan apa yang membuat dunia bekerja. Paradigma menjadi sebuah

frame of mind yang didalamnya memuat konsep dan map (peta) kajian secara

menyeluruh.(Endraswara 2008)

1.8.2 Metode Penelitian

Metode adalah cara pandang dan prinsip berpikir mengenai gejala yang

diteliti, pendekatan yang digunakan, prosedur ilmiah (metode) yang ditempuh,

termasuk dalam mengumpulkan data, analisis data, dan penarikan kesimpulan.

Bogdan dan Taylor (Bogdan and Taylor 1990) secara singkat menyatakan

metodologi sebagai, ....the process, principles, and prosedures by which we

approach provlems and seek answer (...proses, prinsip, dan prosedur bagaimana

kita memandang permasalahan dan mencari jawaban). (Pawito 2009)

Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah penelitian naturalistik.

Menurut (Bajari 2012) Penelitian Kualitatif atau disebut juga penelitian

naturalistik berkembang seiring dengan pengetahuan tentang aliran humanisme

sebagai akar penjelasan perilaku manusia. (Basrowi dan Sodikin, 2002 : 1),

mengutip (Strauss and Corbin, 1997 : 1) Qualitative Research adalah jenis

penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai

dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau dengan cara kuantifikasi

lainnya.

Pada penelitian kualitatif, ada empat asumsi pendekatan subjektif tentang

kebenaran ilmiah atau realitas, yang intisarinya sebagai berikut : (1) Nominalisme,

Kebenaran ilmiah merupakan hasil konstruksi yang diberi nama secara suka-suka
83

oleh individu, termasuk peneliti.; (2) Antipostivisme, Kebenaran ilmiah hanya

dapat dipahami dari perspektif individu pelaku. (3) Voluntarisme, Manusia

diasumsikan sebagai makhluk otonom. Secara penuh dan memiliki “free will”,

mereka aktif dan kreatif menjalani realitas; (4) Ideografis, penelitian kualitatif

berusaha memahami dan menjelaskan realitas. Mereka berusaha merangkai dan

menyusun pola-pola untuk menemukan sesuatu yang baru atau teori melalui

proses induksi ilmiah (metode berpikir induktif). Penelitian kualitatif adalah

“theoritical gathering” dengan merangkai dan mengembangkan pola-pola

tindakan sosial individu. (Bajari 2012)

Metode penelitian yang digunakan peneliti adalah metode penelitian

kualitatif. Peneliti memandang penelitian ini sifatnya interaktif, dan

meminimalkan tingkat subjektivitas. Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti

adalah komunikasi politik kesehatan pasca penerapan PP no 18 tahun 2016

dengan menggunakan metode kualitatif.

Penelitian Kualitatif menurut Yin (2011) dalam (Bajari, 2015 : 141), (1)
mempelajari arti masyarakat hidup dalam kondisi dan situasi dunia nyata ;
(2) Mewakili pandangan dan perspektif masyarakat dalam penelitian ;
masyarakat bukanlah objek pengamatan, melainkan mereka memberikan
gambaran realitas yang sebenarnya dari sebuah fakta untuk kebenaran
ilmiah ; (3) meliputi kondisi konstektual di mana anggota masyarakat
hidup (4) berkontribusi terhadap pengembangan wawasan ke dalam
konsep yang ada atau baru yang dapat membantu untuk menjelaskan
perilaku sosial manusia, serta (5) berusaha untuk menggunakan berbagai
sumber data, daripada hanya mengandalkan satu sumber. Penelitian
kualitatif dikenal sebagai penelitian yang mengembangkan berbagai
pendekatan lapangan secara partisipasif.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif dengan

pendekatan Studi Kasus yang merupakan metode kualitatif. Peneliti berpikir

metode ini sangat tepat menjadi cara yang dapat menguraikan fenomena pada

penelitian komunikasi politik kesehatan pasca penerapan PP No 18 tahun 2016.


84

Seperti yang dijelaskan (Geertz 1988) Thick description, mengenai proses-proses

yang kompleks dan pengaruhnya dalam konteks tertentu. Kemampuan untuk

memberikan potret yang kaya dengan cara ini merupakan manfaat utama studi

kasus. Pembaca riset anda harus dibuat untuk merasakan seolah-olah mereka ada

di sana bersama anda dalam riset yang anda lakukan, melihat apa yang anda lihat,

menyimpulkan apa yang anda telah simpulkan (Daymon and Holloway 2010)

Menurut Patton proses penyusunan studi kasus berlangsung dalam tiga


tahap. Tahap pertama yaitu pengumpulan data mentah tentang individu,
organisasi, program, tempat kejadian yang menjadi dasar penulisan studi
kasus. Langkah kedua adalah menyusun atau menata kasus yang telah
diperoleh melalui pemadatan, meringkas data yang masih berupa data
mentah, mengklasifikasi dan mengedit dan memasukannya dalam satu file
yang dapat diatur, (manageable) dan dapat dijangkau (accesssible).
Langkah ketiga adalah penulisan laporan akhir penelitian kasus dalam
bentuk narasi. (Raco, 2010 : 51).

Dalam penelitian Kualitatif, peneliti secara natural memandang

permasalahan pada konteks penelitian, peneliti menceburkan diri dalam peristiwa

dan kondisi yang terjadi pada konteks penelitian. Peneliti berada langsung di

lapangan di berbagai sisi peristiwa yang terjadi saat proses pengamatan

berlangsung.

Menurut Bajari Penelitian Kualitatif menuntut tingkat kealamihan yang

tinggi. Seorang peneliti secara intensif masuk ke sebuah komunitas untuk

mendapatkan gambaran utuh sebuah situasi atau pengalaman. Berpura-pura

(Pretending) menjadi “senjata utama” unuk “menyembunyikan” identitas sebagai

peneliti. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data yang khas, tidak diintervensi

perasaan sedang diteliti. Serta berupaya mengkonstruksi opini dan deskripsi

perilaku dari kacamata key-informan secara penuh. Upaya ini hanya bisa berhasil

jika peneliti membangun hubungan yang bisa diterima oleh informan.


85

Menurut (Baxter and Jack 2008), Studi Kasus merupakan strategi

penelitian di mana di dalamnya peneliti penyelidiki secara cermat suatu program,

peristiwa, aktivitas, proses, atau sekelompok individu. Kasus-kasus dibatasi oleh

waktu an aktivitas; dan peneliti mengumpulkan informasi secara lengkap dengan

menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah

ditentukan. (Creswell and Poth 2017)

Pendekatan studi kasus, menurut peneliti adalah sebuah cara yang

memungkinkan dapat mendeskripsikan serta mengeksplorasi fenomena yang

terlihat pada komunikasi politik kesehatan pasca penerapan PP no 18 tahun 2016.

Raco menjelaskan Studi kasus ini dapat membantu peneliti untuk mengadakan

studi mendalam tentang perorangan, kelompok, program, organsasi, budaya,

agama, daerah atau bahkan Negara. Pemahaman kasus khusus yang terjadi masa

lampau akan membantu pribadi, masyarakat dan komunitas untuk memahami dan

mengatasi masalah yang sedang dihadapi atau yang akan dihadapi. (Raco 2010)

Menurut (Cavaye 1996) memberikan batasan yang lebih bersifat teknis

dengan penekanan pada ciri-cirinya. Ary, Jacobs, dan Razavieh (1985)

menjelaskan bahwa dalam studi kasus hendaknya peneliti berusaha menguji unit

atau individu secara mendalam. Para peneliti berusaha menemukan semua

variabel yang penting dalam penelitian. Berdasarkan batasan tersebut dapat

dipahami bahwa batasan studi kasus meliputi ; (1) sasaran penelitiannya dapat

berupa manusia, peristiwa, latar, dan dokumen ; (2) sasaran-sasaran tersebut

ditelaah secara mendalam sebagai suatu totalitas sesuai dengan latar atau

konteksnya masing-masing dengan maksud untuk memahami berbagai kaitan

yang ada diantara variabel-variabelnya.


86

Lincoln dan Guba (dalam Mulyana, 2002 : 201), mengemukakan bahwa

keistimewaan studi kasus meliputi sebagai berikut :

(1) Studi kasus merupakan sarana utama bagi penelitian emik, yakni
menyajikan pandangan subjek yang diteliti; (2) Studi kasus menyajikan
uraian menyeluruh yang mirip dengan apa yang dialami pembaca dalam
kehidupan sehari-hari. (3) Studi kasus merupakan sarana efektif untuk
menunjukkan hubungan antara peneliti dengan responden.(4) Studi kasus
memungkinkan pembaca untuk menemukan konsistensi internal yang
tidak hanya merupakan konsistensi gaya dan konsistensi faktual tetapi juga
kepercayaan (trust worthiness); (4) Studi kasus memeberikan “uraian
tebal” yang diperlukan bag penilaian atas transferabilitas; (5) Studi kasus
terbuka bagi penilaian atas konteks yang turut berperan bagi pemaknaan
atas fenomena dalam konteks tersebut. (Mulyana, 2002 : 201).

Yin (2014: 12), Lebih mendalam menjelaskan studi kasus lebih

dikehendaki untuk melacak peristiwa-peristiwa kontemporer bila peristiwa-

peristiwa yang bersangkutan tak dapat dimanipulasi. Karena itu studi kasus

mendasarkan diri pada teknik-teknik yang sama dengan kelaziman yang ada pada

strategi historis, tetapi dengan menambahkan dua sumber bukti yang biasanya tak

termasuk dalam pilihan sejarawan, yaitu observasi dan wawancara.

Jenis-jenis Studi Kasus dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) Studi Kasus

Eksperimen misalnya, secara sengaja menceraikan fenomena dari konteksnya,

agar perhatian dapat difokuskan pada beberapa variabel (biasanya, konteksnya

“dikontrol” dengan lingkungannya laboratoris). (2) Stdui Kasus Historis, sebagai

bandingannya, justru berkenaan dengan situasi yang terjerat di antara fenomena

dan konteks, tetapi biasanya dengan peristiwa-peristiwa kontemporer. (3) Sudi

Kasus Survei, mencoba berurusan dengan fenomena dan konteks, tetapi

kemampuannya untuk meneliti konteks tersebut sangat terbatas. Perancang survei

senantiasa berjuang untuk membatasi jumlah variabel yang harus dianalisis (dan
87

karenanya juga jumlah pertanyaan yang dapat duajukan), untuk diterapkan secara

aman pada jumlah responden yang dapat disruvei.(Yin, 2014 : 18).

Sedangkan studi kasus evaluatif (lihat Patton, 1980, Cronbach dan kawan-

kawan 1980, Guba dan Lincoln, 1981; Datta, sedang terbit). Paling kurang ada

empat aplikasi yang berbeda dalam hal ini. Yang paling penting adalah

menjelaskan keterkaitan kausal dalam intervensi kehidupan nyata yang terlalu

kompleks bagi strategi survei ataupun eksperimen. Aplikasi yang kedua adalah

mendeskripsikan konteks kehidupan nyata di mana inetrvensi telah terjadi. Yang

ketiga, evaluasi bisa memberi keuntungan, sekali lagi dalam bentuk deskriptif,

dari studi itu sendiri. Terakhir, studi kasus bisa digunakan untuk mengeksplorasi

situasi-situasi di mana intervensi yang akan dievalusi tidak memiliki struktur hasil

yang tunggal dan jelas. (Yin, 2014 : 20).

Langkah-Langkah Studi Kasus, adalah “penyelenggaraan” sutau studi

kasus diawali dengan penentuan masalah atau isu yang akan diselidiki dan

pengembangan desain penelitiannya. Menurut Yin, pengembangan suatu protokol

penelitian, dan pengembangan studi kasus perintis. Protokol merupakan suatu cara

yang efektif khususnya untuk menangani semua persoalan peningkatan reliabilitas

studi kasus. (Yin, 2014 : 68).

Kasus dapat dipilih oleh peneliti dengan menjadikan objek orang,

lingkungan, program, proses, dan masyarakat atau unit sosial. Ukuran dan

kompleksitas objek studi kasus haruslah masuk akal, sehingga dapat diselesaikan

dengan batas waktu dan sumber-sumber yang tersedia. Menurut Yin (2014) dalam

studi kasus hal yang penting dalam langkah-langkah penelitian adalah sebagi

berikut ; (1) Mengajukan pertanyaan, pikiran ingin tahu merupakan prasyarat


88

utama selama melangsungkan pengumpulan data, dan bukan hanya sebelum dan

sesudah kegiatan itu saja. Pengumpulan data mengikuti suatu rencana, tetapi

informasi spesifik yang diperkirakan relevan tak dapat betul-betul diprediksikan.

(2) Mendegarkan, meliputi pengamatan dan perabaan yang lebih umum dan tak

terbatas pada pnuturan lisan. Menjadi pendengar yang baik berarti mampu

membaurkan informasi baru dalam jumlah besar tanpa bias. (3) Penyesuaian Diri

dan Flesibilitas, sangat studi kasus yang berakhir tepat seperti yang direncanakan.

Tak dapat dihindari keharusan adanya perubahan-perubahan kecil jika tidak besar,

mulai dari kebutuhan untuk mengidentifikasi “kasus” baru yang perlu diteliti

hingga keperluan untuk mengejar arah-arah tak terduga. (4) Memegang Teguh isu-

isu yang Akan Diteliti, cara utama untuk tetap kukuh pada target, tentu saja,

adalah memahami tujuan semula dari penelitian studi kasusnya sendiri. Setiap

peneliti studi kasus harus memahami isu-isu teoritis atau kebijakan tersebut,

karena keputusan harus dibuat (dan keerdasan diuji) selama fase pengumpulan

data. (5) Mengurangi Bias, semua kondisi terdahulu akan disangkal jika peneliti

hanya menggunakan studi kasus untuk memperkuat posisi sebelumnya. Para

peneliti studi kasus terutama cenderung kepada persoalan ini karena mereka harus

memahami isu-isu tersebut dan menguji kebebsan (lihat, Becker, 1958;1967).

(Yin, 2014 : 71-74).

Penelitian ini, secara ajeg menggunakan metode studi kasus berdasarakan

ciri-ciri studi kasus dengan definisi yang lebih teknis menurut (Yin, 1984a :

1981b), sebagai berikut : Studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang : (1)

menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata, bilamana ; (2) batas-


89

batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas; dan di mana :

multisumber bukti dimanfaatkan. (Yin, 2014 : 18)

1.8.3 Subjek Penelitian

Adapun subjek penelitian yaitu informan ditentukan dengan mengikuti

tradisi kualitatif yaitu bisa sampai 10 orang, sebagaimana menurut creswell : “in

qualitative study, the partisipants may be located a single site, although the need

not be. Most important, they must be individuals who have experienced the

phenomenon being explored and articulate their conscious experiences...interview

up to 10 people” (Creswell, 1998: 111-113).

Kemudian pemilihan subjek penelitian ini dilakukan bersadarkan pedoman

yang dikemukakan oleh Bogdan dan Taylor (1993: 165) bahwa:

1. Haruslah dipertimbangkan subjek yang mau menerima kehadiran


peneliti secara lebih baik disbanding dengan yang lainnya.
2. Haruslah dipertimbagkan kemauan dan kemampuan mereka untuk
mengutarakan pengalaman-pengalaman masa lalu dan masa sekarang
mereka.
3. Siapa yang dianggap menarik bagimu sebagai subjek penelitian,
misalnya yang memiliki pengalaman khusus.
Akan lebih bijak jika dihindari penseleksian subjek yang memiliki

hubungan professional dan hubungan khusus lainnya, yang telah mempunyai

asumsi-asumsi atau praduga khusus yang bisa mewarnai penafsiran mereka

terhadap apa yang diungkapkan. Subjek Penelitian ini adalah orang yang benar-

benar mengetahui dan memahami Komunikasi Politik Kesehatan. Dengan kriteria

sebagai berikut :

1. Informan adalah akademisi dengan kepakaran Komunikasi Kesehatan

2. Informan adalah Direktur di Rumah Sakit Rujukan Regional Jawa Barat

yang telah mengintergrasikan PP no 18 tahun 2016

3. Informan Adalah Anggota DPR RI Komisi 9


90

4. Informan Adalah Anggota Asosiasi Rumah Sakit Daerah

5. Informan Adalah Ketua Ikatan Dokter Indonesia

6. Informan Adalah pengamat Komunikasi politik kesehatan

7. Informan Adalah seorang Kepala Daerah

8. Informan adalah ketua Komite Medik di Rumah Sakit

9. Informan adalah pengamat Komunikasi Politik Kesehatan

10. Informan adalah pengamat ekonomi Kesehatan

1.8.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan cara yang digunakan peneliti untuk

mendapatkan data dalam suatu penelitian. Pada penelitian kali ini peneliti memilih

jenis penelitian kualitatif, maka data yang diperoleh haruslah mendalam, jelas dan

spesifik. Selanjutnya dijelaskan oleh Sugiyono (2009:225) bahwa pengumpulan

data dapat diperoleh dari hasil observasi, dokumentasi, dan wawancara.

1. Wawancara Mendalam
Teknik pengumpulan data dengan menggunakan wawancara hampir

sama dengan kuesioner. Wawancara itu sendiri dibagi menjadi 3

kelompok yaitu wawancara terstruktur, wawancara semi-struktur, dan

wawancara mendalam (in-depth interview). Namun disini peneliti

memilih wawancara mendalam, ini bertujuan untuk mengumpulkan

informasi yang kompleks, yang sebagian besar berisi pendapat, sikap,

dan pengalaman pribadi (Sulistyo-Basuki, 2006:173).


2. Observasi
Observasi menurut Kusuma (1987:25) adalah pengamatan yang

dilakukan dengan sengaja dan sistematis terhadap aktivitas individu

atau objek lain yang diselidiki. Adapun jenis-jenis observasi tersebut di

antaranya yaitu observasi terstruktur, observasi tak terstruktur,


91

observasi partisipan, dan observasi nonpartisipan. Sesuai dengan objek

penelitian maka, peneliti memilih observasi partisipan. Observasi

partisipan yaitu suatu teknik pengamatan dimana peneliti ikut ambil

bagian dalam kegiatan yang dilakukan oleh objek yang sedang

diselidiki.
3. Dokumentasi
Dokumen menurut Sugiyono (2009:240) merupakan catatan peristiwa

yang sudah berlalu. Dokumen yang digunakan peneliti disini berupa

foto, gambar, serta data-data relevan. Hasil penelitian dari observasi

dan wawancara akan semakin sah dan dapat dipercaya apabila

didukung oleh foto-foto.

1.9 Teknik Analisis Data

Analisis data kualitatif menurut Bogdan & Bikken (1982) sebagaimana

dikutip Moleong (2007:248), adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja

dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang

dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan

apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan menemukan apa yang dapat

diceritakan kepada orang lain.

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa langkah awal dari

analisis data adalah mengumpulkan data yang ada, menyusun secara sistematis,

kemudian mempresentasikan hasil penelitiannya kepada orang lain.

McDurry (Collaborative Group Analysis of Data, 1999) seperti yang

dikutip Moleong (2007:248) tahapan analisis data kualitatif adalah sebagai

berikut:
92

a. Membaca/mempelajari data, menandai kata-kata kunci dan

gagasan yang ada dalam data.


b. Mempelajari kata-kata kunci itu, berupaya menemukan tema-

tema yang berasal dari data.


c. Menuliskan ‘model’ yang ditemukan.

Analisis data dimulai dengan melakukan wawancara mendalam dengan

informan kunci, yaitu seseorang yang benar-benar memahami dan mengetahui

situasi objek penelitian. Setelah melakukan wawancara, analisis data dimulai

dengan membuat transkrip kembali hasil wawancara.

Setelah peneliti menulis hasil wawancara tersebut kedalam transkrip

selanjutnya peneliti harus membaca dengan cermat untuk kemudian dilakukan

reduksi data. Peneliti membuat reduksi data dengan cara membuat abstraksi, yaitu

mengambil dan mencatat informasi-informasi yang bermanfaat sesuai dengan

konteks penelitian atau mengabaikankata-kata yang tidak perlu sehingga

didapatkan inti kalimatnya saja, tetapi bahasanya sesuai dengan bahasa informan.

Abstraksi yang sudah dibuat dalam bentuk satuan-satuan yang kemudian

dikelompokkan dengan berdasarkan taksonomi dari domain penelitian. Analisis

domain menurut Sugiyono (2009:255), adalah memperoleh gambaran yang umum

dan menyeluruh dari objek penelitian atau situasi sosial. Peneliti memperoleh

domain ini dengan cara melakukan pertanyaan grand dan minitour. Sementara itu,

domain sangat penting bagi peneliti, karena sebagai pijakan untuk penelitian

selanjutnya. Mengenai analisis taksonomi yaitu dengan memilih domain

kemudian dijabarkan menjadi lebih terinci, sehingga dapat diketahui struktur

internalnya.
93

1.10 Teknik Keabsahan Data

Penarikan kesimpulan dengan melakukan kajian yang komprehensif atas

proses reduksi data dan penyajian data yang terus menerus sesuai dengan

dinamika. Data yang telah melalui proses reduksi data, penyajian data dilakukan

analisis interpretative. Untuk menguji keabsahan data Triangulasi dilakukan

penelilti. Triangulasi terhadap sumber informasi, buku referensi dan data.

(Endraswara, 2006). Kredibiltas data dalam penelitian budaya tetap perlu.

Kredibilitas ini yang akan memberikan verifikasi data. Pihak yang berhak

memberikan verifikasi adalah peneliti dan pemilik budaya. Verifikasi atau

keterujian abstraksi melalui diskusi dalam dunia pengalaman banyak orang pasti

meluas heterogen, namun sebagai bentuk pengujian tesis ke dalam analisi

pendekatan kualitatif. Ketertujuan empiris terbuka kemungkinan diskusi bahkan

perdebatan.

Keterujian empiris terbuka kemungkinan diskusi dan cross check

informasi dan data yang diperoleh dari lapangan dengan informan lain untuk

memahami kompleksitas fenomena sosial ke sebuah esensi yang sederhana. Cara

trsebut lazimnya disebut triangulasi data..

Langkah-langkah triangulasi, yaitu (1) Trangulasi sumber data, yang

dilakukan dengan cara mencari data dari banyak sumber informan, yaitu orang

yang terlibat langsung dengan objek kajian, (2) Triangulasi pengumpulan data

(dilakukan dengan cara mencari data dari banyak sumber informan, (3)

Triangulasi metode, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan

bermacam-macam metode pengumpulan data (observasi, interview, studi

dokumententasi, focus group dan (4) Triangulasi teori, dilakukan dengan cara
94

mengkaji berbagai teori relevan, sehingga dalam hal ini tidak digunakan teori

tunggal tapi dengan teori yang jamak.(Endraswara, 2006 : 110)

Dalam penelitian kualitatif, ada empat teknik mencapai keabsahan data,


yaitu : kredibilitas, transferabilitas, auditabilitas (dipendabilitas),
konfirmabilitas dan triangulasi. Oleh karena keabsahan ini yang paling
tahu hanya peneliti sendiri, maka peneliti seharusnya menampilkan
kejujuran. Manipulasi data akan berakibat keabsahan data juga menjadi
berkurang kadar keilmiahannya.(Endraswara, 2006 : 111-112).

Hasil penelitian dalam penelitian ini akan dilakukan uji Transferabilitas,

yaiu merupakan validitas eksternal berupa keteralihan. Yakni, sejauh mana hasil

penelitian dapat diterapkan atau sejajarkan pada kasus daerah lain. Kemiripan

antar subjek dan data penelitian merupakan indikator adanya kemungkinan

transferabilitas. Berarti di antara dua budaya atau lebih memiliki kesamaan

tertentu. Auditabilitas dan Dependabilitas (realibilitas) merupakan konsistensi,

atau sekurang-kurangnya ada kesamaan hasil bila diulang oleh peneliti lain. Untuk

menguji hal ini, dilakukan langkah-langkah : (a) pengamatan oleh dua orang atau

lebih terhadap fenomena budaya, (b) checking data dilakukan dengan mencari

data dari orang lain, (c) audit trail, dilakukan oleh pembimbing untuk memeriksa

proses, jika ada pembimbing atau konsultan. (Endraswara, 2006 : 112).

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, A. (2003). Komunikasi politik: paradigma, teori, aplikasi, strategi


komunikasi politik Indonesia, Balai Pustaka.
95

Bajari, A. (2012). Anak jalanan: dinamika komunikasi dan perilaku sosial anak
menyimpang.

Bass, B. M. and R. M. Stogdill (1990). Bass & Stogdill's handbook of leadership:


Theory, research, and managerial applications, Simon and Schuster.

Baxter, P. and S. Jack (2008). "Qualitative case study methodology: Study design
and implementation for novice researchers." The qualitative report 13(4): 544-
559.

Berlo, D. K. (1960). "The process of communication: An introduction to theory


and practice."

Bogdan, R. and S. J. Taylor (1990). "Looking at the bright side: A positive


approach to qualitative policy and evaluation research." Qualitative Sociology
13(2): 183-192.

Bossert, T. J. and J. C. Beauvais (2002). "Decentralization of health systems in


Ghana, Zambia, Uganda and the Philippines: a comparative analysis of decision
space." Health policy and planning 17(1): 14-31.

Bungin, B. (2006). "Sosiologi Komunikasi: teori, paradigma dan diskursus


teknologi komunikasi di masyarakat."

Byrnes, F. C. (1965). Americans in technical assistance: A study of attitudes and


responses to their role abroad, Praeger.

Cangara, H. (2009). Komunikasi politik: konsep, teori, dan strategi, Rajawali


Pers.

Cavaye, A. L. (1996). "Case study research: a multi‐faceted research approach for


IS." Information systems journal 6(3): 227-242.

Creswell, J. W. and C. N. Poth (2017). Qualitative inquiry and research design:


Choosing among five approaches, Sage publications.

Daymon, C. and I. Holloway (2010). Qualitative research methods in public


relations and marketing communications, Routledge.

Endraswara, S. (2008). Metodologi penelitian sastra, Niaga Swadaya.

Geertz, C. (1988). Works and lives: The anthropologist as author, Stanford


University Press.

Hendrawan, R. and E. KISWARA (2011). Analisis Penerapan PSAK No. 45


Tentang Pelaporan Keuangan Organisasi Nirlaba Pada Rumah Sakit Berstatus
Badan Layanan Umum (Studi kasus di RSUD Kota Semarang), Universitas
Diponegoro.
96

Indriyani, A. (2009). Pengaruh konflik peran ganda dan stress kerja terhadap
kinerja perawat wanita rumah sakit (studi pada rumah sakit roemani
muhammadiyah semarang, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.

Nicholson, N., et al. (1990). "Strategy, innovation and performance." Journal of


Management Studies 27(5): 511-534.

Nimmo, D. D. (1990). Mediated political realities, Longman Publishing Group.

Pawito (2009). Komunikasi politik: media massa dan kampanye pemilihan,


Jalasutra.

Porter, M. E. (1998). Clusters and the new economics of competition, Harvard


Business Review Boston.

Raco, J. R. (2010). "Metode penelitian kualitatif: jenis, karakteristik dan


keunggulannya." Jakarta: Grasindo.

Rahardja, P. and M. Manurung (2004). "Teori Ekonomi Makro: Suatu Pengantar."


Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.

Schein, E. H. (2010). Organizational culture and leadership, John Wiley & Sons.

Trisnantoro, L. (2009). "Pelaksanaan Desentralisasi Kesehatan di Indonesia 2000-


2007, Mengkaji Pengalaman dan Skenario Masa Depan." BPFE, Yogyakarta.

Walshe, K. and T. G. Rundall (2001). "Evidence‐based management: from theory


to practice in health care." The Milbank Quarterly 79(3): 429-457.

Вам также может понравиться