Вы находитесь на странице: 1из 9

JURUSAN FUBLIC RELATION

FAKULTAS USHULUDDIN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI


SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
TAHUN AKADEMIK
2011/2012

KATA PENGANTAR

Assalamualikum wr.wb
Pertama-tama, saya mengajak semua untuk senantiasa memanjatkan puji syukur kehadirat
Allah SWT, yang telah begitu banyak melimpahkan rahmat dan karunianya kepada kita semua,
sehingga sampai saat ini kita masih dalam perlindungan-Nya.
Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Abdullah
Firdauz,LC.MA selaku dosen mata kuliah Ilmu Kalam yang memberikan pelajaran serta bimbingan
yang tidak pernah putus kepada kita semua, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari makalah ini jauh dari sempurna dan tentu masih banyak kesalahan,
kejanggalan dan kehilafan serta kekurangan disana sini. Tapi ini bukan lah halangan untuk
memahami Mu’tazilah dan Asy’ariyah ini, justru ini akan menjadi pendorong semangat dalam
mengejar pengetahuan di maksud untuk di kuasai secara utuh.
Akhirnya kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini
kami harapkan. Untuk menjadi bahan acuan dalam pembuatan makalah selanjutnya.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Jambi, 14 November 2011
Penulis

ARJAMUDIN
NIM : UR110973

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ......................................................................................... i


Daftar Isi .................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………... 1
C. Tujuan ………………………………………………………….. 1
D. Manfaat ………………………………………………………… 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Asal Nama Mu’tazilah ………………………………………….. 2
B. Sejarah Munculnya Mu’tazilah…………………………………. 2
C. Aliran Mu’tazilah ……………………………………………… 3
D. Lima Ajaran Mu’tazilah ……………………………………….. 7
E. Pengertian Asy’ariyah ………………………………………… 6
F. Awal Munculnya Aliran Asy’ariyah …………………………… 6
G. Aliran Asy’ariyah …………………………………………….. 8
H. Paham Asy’ariyah …………………………………………….. 9
I. Perkembangan Aliran Asy’ariyah ……………………………… 9
J. Penyebab Keluarnya Al-Asy’ari Dari Aliran Mtazilah …………... 9
K. Cirri-Ciri Penganut Aliran Asy’ariyah ………………………… 11
L. Tokoh-Tokoh Aliran Asy’ariyah ………………………………. 11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka …………………………………………………………. 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebelum kita membahas lebih jauh dari Asy’ariyah dan Mu’tazilah saya sebagai penulis
makalah ini mengucapkan ribuan terima kasih kepada Bapak Abdullah Firdauz,LC.MA, dan
kepada teman-teman yang telah memberikan saran dan kritikan sehingga makalah ini dapat saya
selesaikan tepat pada waktunya. Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling tinggi dibanding
makhluk Tuhan lainnya. Manusia di anugerahi kemampuan untuk berpikir, kemampuan untuk
memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Untuk itulah saya menghibau para
teman-teman untuk dapat membandingkan antara mu’tazilah dengan al-asy’ariyah.

B. Rumusan masalah
A. Agar dapat membandingkan antara aliran Mu’tazilah dengan Asy’ariyah?
B. Apa pengertian Mu’tazilah?
C. Apa pengertian Asy’ariyah ?
D. Agar mengetahui lima ajaran Mu’tazilah menurut Abu Huzail Al-Allaf.

C. Tujuan
A. Agar mengetahui sejarah munculnya aliran Mu’tazilah danAsy’ariyah
B. Agar dapat memahami aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah.
C. Agar dapat membedakan antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah.
D. Manfaat
A. Dapat mengambil hikmah diantara perbedaan aliran Mu’takzilah dengan Asy’ariyah.

BAB II
PEMBAHASAN
A. ASAL NAMA MU’TAZILAH
Secara harifah kata mu’tazilah berasal dari kata I’tazala yang berarti berpisah atau
memisahkan diri. Nama ini pada mulanya diberikan oleh orang diluar mu’tazilah, karena tokoh
pendirinya. Washil bin Atha’. Mu’tazilah berarti memisahkan atau menjauhkan diri dari yang
salah sebagi suatu tindakan terbaik. [1]
B. SEJARAH MUNCULNYA MU’TAZILAH
Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H,
tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya
adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-
Ghozzali. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan mati pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan bid’ahnya, ia
didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu
pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah. [2]
Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak
sektenya. Hingga kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa
khalifah Al-Makmun. [3]
Mengapa Disebut Mu’tazilah?
Mu’tazilah, secara etimologis bermakna: orang-orang yang memisahkan diri. Sebutan ini mempunyai suatu
kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang imam di kalangan tabi’in.
C. Aliran Mu’tazilah
Aliran mu’tazilah, sebagai aliran kalam yang bercorak rasional, berpendapat bahwa perbutan tuhan hanya
terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Namun, ini tidak berarti bahwa tuhan tidak mampu melakukan perbuan
buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu.
Andai kata tuhan melakukan perbuatan buruk, pernyataan bahwa ia menciptakan langit dan bumi serta segala
isinya dengan hak, tentulah tidak benar atau merupak berita bohong.[4]
Dasar pemikiran tersebut serta konsep tentang keadilan tuhan yang sejajar dengan paham adanaya batasan-
batasan bagi kekuasaan dan kehendak tuhan, mendorong kelompok mu’tazilah untuk berpendapat bahwa tuhan
mempunyai kewajiban terhadap manusia. Kewajiban-kewajiabn itu dapat disimpulkan dalam satu hal, yaitu kewajiban
berbuat baik, bahkan yang terbaik (ash-Shalah wa al- ashalah) mengonsekuensikan aliran mu’tazilah memunculkan
kewajiban Allah sebagai berikut :[5]
a. Kewajiban tidak memberi beban di luar kemampuan manusia.
Memberikan kemampuan di luar kempuan manusia (taklif ma yutaq) adalah bertentangan dengan faham baik dan
terbaik. Hal ini bertentangan dengan faham mereka tentang keadilan tuhan. Tuhan tidak adil jika memberikan beban
yang terlalu berat kepada manusia.
b. Kewajiban Mengirimkan Rasul
Bagi aliran mu’tazilah bahwa akal dapat mengetahui hal-hal gai. Pengiriman rasul tidaklah begitu penting.namun,
mereka memasukkan pengiriman rasul kepada umat manusia menjadi salah satu kewajiban Tuhan. Argumentasi
mereka adalah kondisi akal yang tidak dapat mengetahui setiap apa yang harus diketahui manusia tentang tuhan dan
alam gaib. Oleh karena itu, tuhan berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia dengan cara mengirim rasul.
Tanpa rasul, manusia tidak akan memperoleh hidup baik dan terbaik di dunia dan di akhirat nanti.
c. Kewajiban Menepati Janji (Al-Wa’d ) dan Ancaman (Al-Wa’id)
Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan aliran mu’tazilah. Hal ini erat hubungannya
dengan dasar keduannya yaitu keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberikan
pahal untuk orang yang berbuat baik;dan menjalankan ancaman bagi orang yang berbuat jahat. Selanjutnya keadaan
tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia. Oleh
karena itu, menati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi tuhan.[6]
Mu’tazilah mempunyai asas dan landasan yang selalu dipegang erat oleh mereka, bahkan di atasnya-lah prinsip-
prinsip mereka dibangun.
Asas dan landasan itu mereka sebut dengan Al-Ushulul-Khomsah (lima landasan pokok). Adapun rinciannya sebagai
berikut:

D. LIMA AJARAN MU’TAZILAH


Lima ajaran yang dirumuskan oleh, Abu Huzail Al-Allaf :
1. Al-tahuhid ( keesaan Allah)
2. Al-Adl (keadilan Allah)
3. Al-Wa’dwa’id ( janji dan ancaman)
4. Al-Manzilah bain al- manzilatain
5. Amar Makhruf dan Mahi Mungkar.
1. Al-thuhid
Al-athuhid ( pengesaan tuhan) merupakan perinsip utama dan inti sari ajaran mu’tazilah. Namun,
bagi mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik dari prinsip-prinsip Al-Tahuhid, lahir
beberapa pendapat mu’tazilah diantaranya
a. Manafikan sifat-sifat Allah, mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat-sifat pada Allah.
b. Al-Quran adalah mahkluk, karena itu al-quran diciptakan dan tidak qadim.
c. Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat kelak.
d. Tuhan tidak sama dengan mahkluk (tajassum).
2. Al-Adl ( Keadilan Tuhan).
Mu’tazilah sangat menekankan bahwa tuhan itu adil dan tidak berlaku lazim pada umat manusia.
3. Al-Wa’d Wa Al-Wa’id ( Janji Baik Dan Ancaman)
Yaitu janji Allah yang akan diberikan pahala kepada orang yang bebuat baik dan menyiksa orang
yang berbuat jasa.
4. Al_Manzilah Bain Al- Manzilatain
Seorang muslim yang melakukan dosa besar dan tidak sempat bertobat kepada Allah SWT tidaklah
mukmin, tetapi tidak pula kafir.
5. Amar Makruf dan Nahi Mungkar
Prinsip ini lebih banyak berakaitan dengan masalah hokum atau fiqih. Bahwa amar amkruf dan
Nahi Mungkar harus ditegakkan dan di laksanakan. [7]
Ada beberapa pendapat yang menerangkan apa sebab-sebab maka kaum ini di namakan kaum mu’takzilah,
yaitu :
a. Di Bagdad terdapat seorang ulama besar namanya Syekh Hasan Basyryi (w.110H) orang-orang
pada saat itu banyak berguru kepadanya dan diantara muridnya itu adalah Washil bin Atha (80-
131 H).
b. Ada orang yang mengatakan bahwa sebab mereka di namakan Mu’tazilah karena mereka
mengasingkan diri dari masyarakatsebab pada asalnya adalah penganut Syi’ah yang patah hati
akibat menyerahnya Khalifah Hasin bin Ali Thalib kepada Khalifah Muawyah dari bani Umayyah.
c. Ada juga yang mengtakan bahwa ini adalah kaum yang suka memakai pakaian jelek-jelek dan
kasar-kasar dan hidupnya meminta-minta (Darawisy) dn bertempat tinggal jauh dari keramaian
orang.[8]
E. PENGERTIAN ASY’ARIYAH
Menurut Ibn Asakir, ayah asy’ariyah adalah orang yang berpaham Ahlussunnah dan Ahli
Hadis. Asy’ariyah menganut paham paham tau’tazilah hanya sampai ia berusia 40 tahun.[9]
F. AWAL MUNCULNYA ALIRAN ASY’ARIYAH

Nama Al-Asy’ariyah diambil dari nama Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari yang
dilahirkan dikota Bashrah (Irak) pada tahun 206 H/873 M. Pada awalnya Al-Asy’ari ini berguru
kepada tokoh Mu’tazilah waktu itu, yang bernama Abu Ali Al-Jubai. Dalam beberapa waktu
lamanya ia merenungkan dan mempertimbangkan antara ajaran-ajaran Mu’tazillah dengan paham
ahli-ahli fiqih dan hadist.
Ketika berumur 40 tahun, dia bersembunyi dirumahnya selama 15 hari untuk memikirkan
hal tersebut. Pada hari jum’at dia naik mimbar dimasjid Bashrah secara resmi dan menyatakan
pendiriannya keluar dari Mu’tazillah. Pernyataan tersebut adalah: “wahai masyarakat, barang siapa
mengenal aku, sungguh dia telah mengenalku, barang siapa yang tidak mengenalku, maka aku
mengenal diri sendiri. Aku adalah fulan bin fulan, dahulu aku berpendapat bahwa Al-Qur’an
adalah makhluk, bahwa sesungguhnya Allah tidak melihat dengan mata, maka perbuatan–
perbuatan jelek aku sendiri yang membuatnya. Aku bertaubat, bertaubat dan mencabut paham-
paham Mu’tazillah dan keluar dari padanya.[10]

Contoh perdebatan antara Imam Al-asy’ary dengan Abu Ali Al-Jubai:

 Abu Hasan Al-Asy’ary bertanya: Bagaimana menurut pendapatmu tentang tiga orang yang
meninggal dalam keadaan berlainan, mukmin, kafir dan anak kecil.
 Al-Jubai: Orang Mukmin adalah Ahli Surga, orang kafir masuk neraka dan anak kecil
selamat dari neraka.
 Al-Asy’ari: Apabila anak kecil itu ingin meningkat masuk surga, artinya sesudah
meninggalnya dalam keadaan masih kecil, apakah itu mungkin?
 Al-Jubai: Tidak mungkin bahkan dikatakan kepadanya bahwa surga itu dapat dicapai
dengan taat kepada Allah, sedangkan Engkau (anak kecil) belum beramal seperti itu.
 Al-Asy’ari: Seandainya anak itu menjawab memang aku tidak taat. seandainya aku
dihidupkan sampai dewasa, tentu aku beramal taat seperti amalnya orang mukmin.
 Allah menjawab: Aku mengetahui bahwa seandainya engkau sampai umur dewasa, niscaya
engkau bermaksiat dan engkau disiksa. Karena itu Aku menjaga kebaikanmu. Aku
mematikan mu sebelum engkau mencapai umur dewasa.
 Al-Asy’ari: seandainya si kafir itu bertanya: Engkau telah mengetahui keadaanku
sebagaimana juga mengetahui keadaannya, mengapa engkau tidak menjaga
kemashlahatanku, sepertinya? Maka Al-Jubai diam saja, tidak meneruskan jawabannya .

G. Aliran Asy’ariyah
Terhadap pelaku dosa besar, agaknya al-Asy’ari sebagai ahli As-Sunnah, tidak mengfirkan
orang-orang yang sujud ke baitullah (Ahl Al _Qiblah) walaupun melakukan dosa besar seperti
berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan
keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar.
Akan tetapi, jika dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan
(halal) dan tidak menyakini keharamnnya, ia dipandang telah kafir.
Adapun balasan diakhirat kelak bagi pelaku dosa besar apabila ia meninggal dan tidak
sempat bertobat, maka menurut Al-Asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha
Berkehendak Mutlak. Tuhan dapat saja mengampuni dosanya atau pelaku dosa besar itu mendapat
syafaat dari Nabi SA. Sehingga terbebas dari siksaan neraka atau kebalikannya, yaitu Tuhan
memberikannya siksaan sesuai dengan ukuran dosa yang dilakukannya. Meskipun begitu, ia tidak
akan kekal di neraka seperti orang-orang kafir lainnya. Setelah penyiksaan terhadapdirinya selesa,
ia akan dimasukan ke dalam surga. Dari paparan singkat ini jelaslah bahwa Asy’ariyah
sesungguhnya mengambil posisi yang sama dengan murji’ah. Khususnya dalam pernyataan yang
tidak mengafirkan para pelaku dosa besar.[11]
H. Paham Asy’ariyah
Paham kaum Asy’ariyah berlawanan dengan paham Mu’tazilah. golongan Asy’ariyah
berpendapat bahwa Allah itu mempunyai sifat diantaranya, mata, wajah, tangan serta bersemayam
di singgasana. Namun semua ini dikatakan la yukayyaf wa la yuhadd (tanpa diketahui bagaimana
cara dan batasnya)
Aliran Asy’ari mengatakan juga bahwa Allah dapat dilihat di akhirat kelak dengan mata
kepala. Asy’ari menjelaskan bahwa sesuatu yang dapat dilihat adalah sesuatu yang mempunyai
wujud. karena Allah mempunyai wujud ia dapat dilihat .
I. Perkembangan Aliran Asy’ariyah
Aliran ini termasuk cepat berkembang dan mendapat dukungan luas dikalangan sebelum
meninggalnya pendiri Aliran Asy’aiyah itu sendiri yaitu Imam Abu Hasan Ali bin Ismail Al-
Asy’ari, yang wafat pada tahun 324 H/934 M.
Sepeninggalnya Al-Asy’ari sendiri mengalami perkembangan dan perubahan yang cepat
karena pada akhirnya Asy’ariyah lebih condong kepada segi akal pikiran murni dari pada dalil
nash.
J. Penyebab keluarnya Al-Asy’ari dari aliran Mu’tazillah
Penyebab keluarnya Al-Asy’ari dari aliran mu’tazillah antara lain:

1. Pengakuan Al-Asy’ari telah bertemu Rasulullah SAW sebanyak 3 kali. yakni pada malam
ke-10, ke-20 dan ke-30 bulan Ramadhan. dalam mimpinya itu Rasulullah
memperingatkannya agar meninggalkan paham Mu’tazillah .
2. Al-Asy’ari merasa tidak puas terhadap konsepsi aliran Mu’tazilahdalam soal – soal
perdebatan yang telah ditulis diatas.
3. Karena kalau seandainya Al-Asy’ari tidak meninggalkan aliran Mu’tazillah maka akan
terjadi perpecahan dikalangan kaum muslimin yang bisa melemahkan mereka

Al-Asy’ari sebagai orang yang pernah menganut paham Mu’tazillah, tidak dapat
menjauhkan diri dari pemakaian akal dan argumentasi pikiran. ia menentang dengan kerasnya
mereka yang mengatakan bahwa akal pikiran dalam agama atau membahas soal-soal yang tidak
pernah disinggung oleh Rasulullah merupakan suatu kesalahan.
Dalam hal ini ia juga mengingkari orang yang berlebihan menghargai akal pikiran, karena
tidak mengakui sifat-sifat Tuhan.

Beberapa pendapat Al-Asy’ari adalah tentang :


1. Sifat.
Al-Asy’ari mengakui sifat-sifat Tuhan (Wujud, qidam, baqa, wahdania, sama’, basyar, dll),
sesuai dengan zat Tuhan itu sendiri dan sama sekali tidak menyerupai sufat – sifat makhluk. Tuhan
dapat mendengar tetapi tidak seperti kita, mendengar dan seterusnya.

2. Kekuasaan Tuhan dan Perbuatan manusia.


Al-Asy’ari mengatakan bahwa manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu, tetapi
berkuasa untuk memperoleh sesuatu perbuatan.

3. Melihat Tuhan pada hari kiamat.


Al-Asy’ari mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat, tetapi tidak menuntut cara tertentu dan
tidak pula arah tertentu. Al-Maturidi mengatakan juga bahwa manusia dapat melihat Tuhan .

4. Dosa besar
Al-Asy’ari mengatakan bahwa orang mukmin yang mengesakan Tuhan tetapi fasik,
terserah kepada Tuhan, apakah akan diampuni-Nya dan langsung masuk syurga atau akan dijatuhi
siksa karena kefasikannya, tetapi dimasukkan-Nya kedalam surga .

K. Ciri-ciri Penganut Aliran Asy’ariyah

Ciri-ciri orang yang menganut aliran Asy’ariyah adalah sebagai berikut:

1. Mereka berpikir sesuai dengan Undang-Undang alam dan mereka juga mempelajari ajaran
itu.
2. Iman adalah membenarkan dengan hati, amal perbuatan adalah kewajiban untuk berbuat
baik dan terbaik bagi manusia. dan mereka tidak mengkafirkan orang yang berdosa besar.
3. Kehadiran Tuhan dalam konsep Asy’ariyah terletak pada kehendak mutlak-Nya.

L. TOKOH-TOKOH ALIRAN ASY’ARIYAH

1. Al-Baqillani

Namanya Abu Bakar Muhammad bin Tayib, diduga kelahiran kota Basrah, tempat
kelahiran gurunya, yaitu Al-Asy’ari. ia terkenal cerdas otaknya, simpatik dan banyak jasanya
dalam pembelaan agama.
Al-Baqillani mengambil teori atom yang telah dibicarakan oleh aliran mu’tazillah sebagai
dasar penetapan kekuasaan Tuhan yang tak terbatas. Jauhar adalah suatu hal yang mungkin, artinya
bisa wujud dan bisa tidak, seperti halnya aradh. dan menurutnya tiap-tiap aradh mempunyai lawan
aradh pula. Disinilah terjadi mukjizat itu karena mukjizat tidak lain hanyalah penyimpangan dari
kebiasaan.

2. Al-Juwaini
Namanya Abdul Ma’ali bin Abdillah, dilahirkan di Naisabur (Iran), kemudian setelah besar
pergi kekota Mu’askar dan akhirnya tinggal di kota Bagdad. kegiatan ilmiahnya meliputi ushul
fiqh dan teologi islam.

Empat hal yang berlaku pada kedua alam tersebut, alam yang tidak dapat disaksikan
dengan alam yang dapat disaksikan, yaitu:

 Illat : Seperti ada sifat “ilmu” (tahu) menjadi illat (sebab) seseorang dikatakan
“mengetahui” (alim).
 Syarat : Sifat “hidup” menjadi syarat seseorang dikatakan mengetahui
 Hakikat : Hakikat orang yang mengetahui ialah orang yang mempunyai sifat “ilmu”
 Akal pikiran : Seperti penciptaan menunjukkan adanya zat yang menciptakan.

4. Al-Ghazaly
Namanya Abu Hamid Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali, gelar Hujjatul Islam, lahir tahun
450 H, di Tus kota kecil di Churassan (Iran). Al-Ghazali adalah ahli pikir islam yang memiliki
puluhan karya seperti Teologi islam, Hukum islam, dll
Sikap Al-Ghazali yang dikemukakan dalam bukunya yang berjudul Faishalut Tafriqah
bainal islam waz zandaqah dan Al-Iqtishad. menurut Al-Ghazali perbedaan dalam soal – soal kecil
baik yang bertalian dengan soal – soal aqidah atau amalan, bahkan pengingkaran terhadap soal
khilaffat yang sudah disepakati oleh kaum muslimin tidak boleh dijadikan alasan untuk
mengkafirkan orang.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah tersusunnya makalah ini maka dapat saya simpulkan bahwa Nama Al-Asy’ariyah
diambil dari nama Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari yang dilahirkan dikota Bashrah (Irak)
pada tahun 206 H/873 M.
Paham kaum Asy’ariyah berlawanan dengan paham Mu’tazilah. golongan Asy’ariyah
berpendapat bahwa Allah itu mempunyai sifat diantaranya, mata, wajah, tangan serta bersemayam
di singgasana.
Sedangkan Aliran Mu’tazilah, secara etimologis bermakna: orang-orang yang memisahkan diri. Karena
mereka berpendapat bahwa tuhan berpendapat bahwa perbutan tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan
baik. Namun, ini tidak berarti bahwa tuhan tidak mampu melakukan perbuan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan
buruk karena ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu.
Andai kata tuhan melakukan perbuatan buruk, pernyataan bahwa ia menciptakan langit dan bumi serta segala
isinya dengan hak, tentulah tidak benar atau merupak berita bohong.
B. Saran
Setelah makalah ini tersusun dan dapat saya selesaikan tepat pada waktunya, saya mengharapkan kepada
pembaca supaya makalah ini jadikan sebagai sumber pengetahuan yang akan membawa kita ke jalan yang lebih baik..
Amin-amin yarobal alamin.

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, Abduh. Teologi Rasional Mu’tazilah harun nasution UIP


Drs.H.M.Yusran Asmuni.PT Raja Grapindo. Jakarta.
Prof..Harun,Nasution.Teologi islam. Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan hlm.40-61
Syekh Muhammad Abduh. Risalah Tauhid. Bulan Bintang: Jakarta Hlm.10-17
Drs Abduh Rozak,M.Ag dan Drs.Rosihon Anwar,M.Ag. Ilmu Kalam.Pustaka Setia.Bandung 2007

[1] Prof. Dr. Harun Nasotion. Universitas Indonesia. Jakarta hlm. 1


[2] Syekh Muhammad Abduh. Risalah Tauhid. Bulan Bintang: Jakarta Hlm.10-17
[3] DR.Abdul Rozak,M.Ag. dan Dr.Rosihon Anwar,M.Ag. “Ilmu Kalam”. Pustaka Setia. Hlm. 156-157.
[4] DR.Abdul Rozak,M.Ag. dan Dr.Rosihon Anwar,M.Ag. “Ilmu Kalam”. Pustaka Setia. Hlm. 153-154.
[5] DR.Abdul Rozak,M.Ag. dan Dr.Rosihon Anwar,M.Ag. “Ilmu Kalam”. Pustaka Setia. Hlm. 154-155.
[6] Dr.Abdul Rozak,M.Ag dan DR.Rosihon Anwar,M.Ag.”Ilmu Kalam”. Pustaka Setia.Hlm.154-155.
[7] Drs.H.M.Yusran Asmuni.PT Raja Grapindo. Jakarta. Hlm116
[8] Muhammad Abduh. Teologi Rasional Mu’tazilah harun nasution UIP
[9] Prof.Dr. Rosihin Anwar.CV Pustaka Seti,. Bandung.Hlm 120
[10] Risalah Tuhid.Bulan Bintang.Jakarta. Hlm 10-17
[11] Drs.Abdul Rozak,M.Ag dan Drs Anwar,M.Ag “Ilmu Kalam”. Penerbit Pustaka Setia. Hlm 137-138

Вам также может понравиться