Вы находитесь на странице: 1из 10

CARA PEMILIHAN KEPALA NEGARA

MAKALAH

Mata Kuliah : Hadits Ahkam Jinayah

Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Abdul Fatah Idris, M.S.I.

Disusun oleh :

Melynda Wulandari (1702026032)

HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Kepala negara merupakan inti sari bagi negara, dimana kepala negara
merupakan kebutuhan untuk manusia di muka bumi sebagai penengah, pengayom dan
sebagai pengendali umat manusia menuju jalan kebaikan. Dan kepala negara adalah
suatu suksesi dalam negara menjalankan roda pemerintahan, maka dari itu perlu di
pilihnya seseorang untuk menjadi kepala negara.
Para ulama sepakat tentang hukum memilih kepala negara yaitu wajib. Tapi
mereka berbeda pendapat apakah wajib menurut syara atau menurut akal. Menjadi
kepala negara hukumnya fardhu khifayah; sedangkan berpartisipasi dalam memilih
kepala negara hukumnya fardhu ain bagi seluruh warga negara yang sudah memenuhi
persyaratan untuk memilih.
Tujuan pemilihan kepala negara dalam perspektif Islam tidak lepas dari tujuan
utamanya yaitu antara lain : a. Melaksanakan ajaran Islam, b. Menegakkan keadilan
negara karena Allah, c. Memakmurkan bumi Allah, d. Membentuk pasukan keamanan
yang tangguh dan e. Bekerjasama dengan negara-negara Islam lainnya.
2. Hadis tentang Cara Pemilihan Kepala Negara atau Pemimpin
‫ َل ت َ ِحل ِلث َ ََلثَة يَك ُْونُ ْونَ ِبفُ ََلة‬,, ‫ع َمر أن النبى صلى هللا عليه وآ له وسلم قال‬
ُ ‫ع ْبدِهللا بن‬
َ ‫عن‬
)‫علَ ْي ِه ْم أ َ َح َد ُه ْم (رواه احمد‬ ْ ‫ض إِلا‬
َ ‫أم ُر ُوا‬ ِ ‫ِمنَ الَ ْر‬
“Nabi saw, bersabda : Tidak halal bagi tiga orang yang berada di sesuatu tempat yang
lapang (tempat-tempat yang berbahaya), melainkan mereka harus mengangkat salah
seorang dari mereka untuk menjadi Amir”. (H.R. Ahmad; Al-Muntaqa II 931)

3. Pokok Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan diatas, pokok masalah yang
akan dibahas dalam makalah ini yaitu hadis-hadis mengenai cara pemilihan kepala
negara, hukum yang terkandung dalam hadis, dan pandangan para ulama tentang cara
pemilihan kepala negara.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Cara Pemilihan Kepala Negara

Istilah kepemimpinan dalam hukum Islam ada beberapa yang digunakan, yaitu
khilafah, imarah, sultan, mulk dan ri’asah. Setiap istilah mengandung kepemimpinan
secara umum. Namun istilah yang sering digunakan dalam konteks kepemimpinan
pemerintahan dan kenegaraan, yaitu Khilafah, Imamah dan Imarah.

Kata khilafah berasal dari kata ‫خلف‬-‫يخلف‬-‫ خلف‬khalafa-yakhlifu-khalfun yang


berarti al-‘aud atau al-balad yakni mengganti, yang pada mulanya berarti belakang.1
Adapun pelakunya yaitu orang yang mengganti disebut khalifah dengan bentuk jamak
khulafa’ yang berarti wakil, pengganti dan penguasa Kata khalifah sering diartikan
sebagai pengganti, karena orang yang menggantikan datang sesudah orang yang
digantikan dan ia menempati tempat dan kedudukan orang tersebut. Khalifah juga bisa
berarti seseorang yang diberi wewenang untuk bertindak dan berbuat sesuai dengan
ketentuan-ketentuan orang memberi wewenang.

Mekanisme pemilihan Kepala Negara dalam Islam tidak disebutkan secara


eksplisit dalam Al-Quran maupun al-Hadist. Semasa hidupnya, Nabi Muhammad saw
tidak pernah menunjuk atau memberikan mandat untuk menggantikan posisi beliau
sebagai seorang kepala negara, setelah beliau wafat dilaksanakan dengan cara yang
berbeda-beda.2

Pemilihan Abu Bakar sebagai Khalifah dilakukan dengan kesepakatan para


sahabat. Pengangkatan beliau sebagai khalifah pertama adalah melalui pemilihan secara
musyawarah yang dilakukan umat Islam di Tsaqifah Bani Saidah setelah Rasulullah
wafat. Kemudian, pemilihan Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua berbeda dengan
Abu Bakar, jikalau Abu Bakar dipilih dengan cara musyawarah, Umar bin Khattab dipilih
melalui penunjukan langsung dari khalifah sebelumnya. Sementara, pemilihan Utsman
bin Affan sebagai khalifah ketiga dilakukan dengan kesepakatan beberapa sahabat Nabi
yang ditunjuk oleh khalifah sebelumnya yaitu Umar bin Khattab. Pengangkatan Utsman
bin Affan sebagai khalifah melalui Satu Tim yang ditunjuk oleh Umar bin Khattab yang

1
Ibnu Manzhur, Lisaan al-Arab, (Kairo: Daarul Ma’arif. T.th), hal. 1235
2
Farid abdul Khaliq, Fikih Politik Islam (Jakarta: Amzah. 2005) cet. Ke-1 hal. 75
beranggotakan tujuh orang. Sedangkan pemilihan Ali bin Abi Thalib sebagai
khulafaurrasyidin berbeda dengan tiga pendahulunya. Pemilihan Ali bin Abi Thalib
dalam suasana umat Islam sedang dalam kekacauan dan penuh fitnah sebagai akibat
terbunuhnya Utsman bin Affan.

 Berdasarkan fakta tersebut, dapat diketahui bahwa mekanisme pemilihan para


khalifah (kepala negara) yang dilakukan umat Islam, antara lain3 :
1. Kesepakatan umat dengan isyarat dari Rasulullah saw
2. Penujukkan oleh khalifah sebelumnya
3. Penunjukkan beberapa orang untuk bermusyawarah dan memilih salah satu dari
mereka untuk menjadi khalifah
4. Kesepakatan umat Islam
B. Hukum yang terkandung dalam Hadis
‫ َل ت َ ِحل ِلث َ ََلثَة يَ ُك ْونُ ْونَ بِفُ ََلة‬,, ‫ع َمر أن النبى صلى هللا عليه وآ له وسلم قال‬
ُ ‫ع ْبدِهللا بن‬
َ ‫عن‬
)‫علَ ْي ِه ْم أ َ َح َد ُه ْم (رواه احمد‬ ْ ‫ض ِإلا‬
َ ‫أم ُر ُوا‬ ِ ‫ِمنَ الَ ْر‬
“Nabi saw, bersabda : Tidak halal bagi tiga orang yang berada di sesuatu tempat yang
lapang (tempat-tempat yang berbahaya), melainkan mereka harus mengangkat salah
seorang dari mereka untuk menjadi Amir”. (H.R. Ahmad; Al-Muntaqa II 931).
Penjelasan Hadits
Kandungan yang terdapat pada hadits menyatakan, bahwa apabila tiga orang
berada di suatu padang tandus umpamanya, hendaklah salah seorang diantara mereka
diangkat menjadi pemimpin.
Para ulama berkata : apabila terdapat tiga orang saja bermukim di gurun pasir,
sudah diwajibkan memilih pimpinan, konon pula bila jumlah jamaah yang cukup
besar, memilih pemimpin tentu lebih diwajibkan.
Dalil inilah yang dipegang para ulama dalam mewajibkan kita mengangkat
kepala negara, gubernur, walikota dan hakim. Sebagian besar ulama, mewajibkan kita
mengangkat kepala negara. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang dalil yang
mewajibkannya. Ada yang mengatakan bahwa yang mengharuskan adanya kepala
pemerintahan hanya berdasarkan nalar. Kebanyakan Mu’tazilah, Asy-Ariyah dan
Ithrah menetapkan, bahwa syara’ lah yang mewajibkannya.

3
Dr. H. Sutisna, M.A, Pemilihan Kepala Negara(Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif di
Indonesia)(Yogyakarta: Deepublish, 2014) Cet-1, hal. 107
Dengan memperhatikan sejarah perkembangan Islam sejak dari zaman Rasul
dan apa yang dilakukan oleh para sahabat setelah Rasul wafat dan apa yang
dirundingkan mereka dalam muktamar Safaqah Bani Sa’idah, nyatalah bahwa seluruh
sahabat sepakat menetapkan tentang perlu adanya Khalifah yang mengganti
kedudukan Rasul dalam urusan keduniaan umat dan dalam memelihara agama. Maka
oleh karenanya dalil yang terkuat untuk menetapkan wajib adanya kepala negara
ialah: ijma’ para sahabat, di samping dalil-dalil yang lain.

Hadist diperkuat oleh :

َّ ‫رء ال ُمس ِل ِم ِفي َما أ َ َح‬


‫ب‬ َ ُ‫طا عَة‬
ِ ‫علَى ال َم‬ َّ ‫سم ُع َو ال‬َّ ‫ ال‬: ‫عَن النَّ ِب اي ِ صلى هللا عليه و سلم َقا َل‬
َ ‫عصيَة فََل‬
‫سم َع َو َل َطا عَة‬ ِ ‫ فَ ِإ ذَا أ ُ ِم َر بِ َم‬,‫عصيَة‬
ِ ‫َوك َِر َه َما لَم يُؤ َمر بِ َم‬

“Mendengar dan taat adalah wajib bagi setiap muslim, baik yang ia suka maupun
yang tak ia sukai, selama ia tak diperintahkan melakukan kemaksiatan, adapun jika ia
diperintahkan meakukan maksiat, maka tak ada hak mendengar dan mentaati” (HR.
Bukhari)

ُ‫ { ال ِد ْين‬: ‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬: ‫َوعن ت َ ِميم الد َِاري رضي هللا عنه قال‬
ِ ،‫ و ِلرسوله‬،‫ و ِل ِكتا َ ِبه‬،‫ ِ َّّلِل‬: ‫ ِل َم ْن ِه َي يا رسول هللا؟ قال‬: : ‫ ث َ ََلثا قُ ْل َنا‬-ُ‫النَ ِص ْي َحة‬
‫وِلَئِ َّم ِة‬
} ‫س ِل ِم ْينَ و عا َ َّمتِ ِهم‬
ْ ‫ال ُم‬

“...dan dari Tamin al-Daari radhiallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah bersabda,


"Agama itu adalah nasehat"-beliau mengulanginya tiga kali-. Kami bertanya: "Untuk
siapa nasehat itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Untuk Allah, kitab-Nya,
Rasul-Nya, imam-imam kaum muslimin, dan kaum muslimin umumnya". (HR.
Muslim)

C. Pandangan para ulama


1. Menurut Imam Ghazali

Imam Ghazali dalam memenuhi kebutuhan manusia sesuai dengan tujuannya


dalam kehidupan bermasyarakat harus terpenuhi kebutuhan material dan spiritual
supaya bisa selamat dunia akhirat dan kesejahteraan bermasyarakat. Bertitik tolak dari
dasar pikiran itulah maka kewajiban mengangkat kepala negara atau pemimpin tidak
berdasarkan rasio tetapi berdasarkan keharusan agama. Hal ini disebutkan karena
persiapan untuk kesejahteraan ukhrowi harus dilakukan melalui pengalaman dan
penghayatan ajaran agama secara betul dan hal itu baru mungkin dalam suasana dunia
yang tertib, aman dan tentram dan untuk menciptakan dunia yang demikian
diperlukan pemimpin atau kepala negara yang ditaati atau dengan kata lain tidak
mungkin mengamalkan ajaran agama secara baik dalam kondisi dan situasi duniawi
yang tidak mendukung.4

2. Menurut Imam Al-Mawardi


Menurut Imam al-Mawardi mengatakan bahwa, sahnya jabatan kepala negara
terwujud dengan dua cara :
1. Dengan cara dipilih oleh kalangan ahlul-halli wal-aqdi
2. Dengan penyerahan mandat dari kepala negara sebelumnya.5
3. Menurut Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah berbicara tentang amat perlunya ada pemerintahan, dan
mengatakan bahwa mendirikan suatu pemerintahan untuk mengelola urusan umat
merupakan kewajiban agama yang paling agung, karena agama tidak mungkin tegak
tanpa pemerintahan. Alasan lain perlunya ada pemerintahan menurut Ibnu Taimiyah,
bahwa Allah memerintahkan amar ma'ruf dan nahyi mungkar (menganjurkan orang
berbuat kebaikan dan menghalang terjadinya perbuatan tercela), dan misi atau tugas
tersebut tidak mungkin di laksanakan tanpa kekuasaan atau kekuatan dan pemerintah.6
4. Menurut Ibnu Hisyam
Pengangkatan pemimpin negara Islam pertama menurut Ibnu Hisyam adalah
melalui proses yang unik. Yang dipilih memang mempunyai kulitas yang unik, yaitu
pemegang risalah disamping pemimoim masyarakat politik. Islam mengajarkan
syahadat dan membenarkan eksistensi baiat. Syahadat bersifat religius, ia berisi
pengakuan adanya Allah dan Muhammad sebagai rasul Allah. Di dalamnya
terkandung kesediaan dan tekad untuk mematuhi Allah dan Rasul selaki pengemban
risalah. Baiat bersifat keduniaan, ia merupakan lembaga perjanjian antarsesama
manusia. Isinya bisa berupa kemauan timbal balik dan kesepakatan politik.

4
Dr. H. Sutisna, M.A, Pemilihan Kepala Negara(Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif di
Indonesia)(Yogyakarta: Deepublish, 2014) Cet-1, hal. 116
5
Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi, Ahkam al-Sultaniyyah, hal.13
6
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hal. 89
BAB III

ANALISIS HADIST

Sistem pemilihan umum presiden dan wakil presiden di Indonesia berdasarkan


Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 memiliki kelebihan dan kekurangan. Pemilihan
umum di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sistem demokrasi Indonesia, yaitu
Demokrasi Pancasila.

Kehadiran seorang kepala negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara


adalah sebuah keniscayaan, kehadirannya diharapkan mampu menjadi pengayom
bagi seluruh warga Negara. Demikianlah urgensi dari seorang kepala Negara,
kehadirannya telah menjadi kebutuhan bagi seluruh manusia dalam berbagai
komunitasnya. Dalam Islam, kehadiran kepala Negara diharapkan mampu
melaksanakan hukum-hukum Allah ta’ala dan menjadi pengayom bagi seluruh umat.

Ketika kepala negara menjadi sangat penting dikaji maka mekanisme


pemilihannya menjadi sebuah kajian yang sangat menarik. Dalam sejarah Islam
mekanisme pemilihan kepala negara diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat
dalam pelaksanaannya. Dalam hal ini Islam tidak memberikan mekanisme yang baku
dalam proses pemilihannya. Beberapa persyaratan untuk menjadi seorang kepala
Negara dalam Islam telah diatur dalam kajian ilmu politik Islam, adapun
mekanismenya disesuaikan dengan perkembangan zaman, misalnya ketika Nabi
Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam wafat, pemilihan Khalifah Abu Bakar
sebagai pengganti beliau dilakukan dengan kesepakatan umat, sementara pemilihan
Khalifah Umar bin Khattab dilakukan dengan penunjukan langsung oleh khalifah
sebelumnya. Selanjutnya pemilihan Khalifah Utsman bin Affan dilakukan oleh satu
dewan yang dipilih oleh khalifah sebelumnya untuk memilih salah satu dari mereka
untuk menjaid seorang kepala Negara, sementara kekhalifahan Ali bin Abi Thalib
dilakukan dengan kesepakatan umat waktu itu. Selanjutnya mekanisme pemilihan
kepala Negara dalam Islam dilakukan dengan system monarchi.

Sementara mekanisme pemilihan kepala Negara di Indonesia dilakukan


dengan cara pemilihan langsung oleh rakyat untuk memilih calon kepala Negara
secara langsung. Sebelum model pemilihan langsung, di Indonesia pemilihan kepala
Negara dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat. DPR sendiri dipilih oleh rakyat
dengan mekanisme pemilihan umum.

Dari dua model mekanisme pemilihan kepala Negara yaitu dalam Islam dan di
Indonesia terdapat beberapa kesamaan dalam proses pemilihannya, yaitu bahwa
pemilihan kepala Negara dilakukan dengan kesepakatan seluruh warga Negara.
Mereka memiliki hak untuk memilih kepala negaranya dengan cara yang sebaik-
baiknya. Jika dalam Islam tidak diatur secara langsung mekanisme pemilihannya
maka di Indonesia di atur oleh Undang- Undang No. 23 tahun 2003 tentang
pemilihan presiden dan wakilnya. Perbedaan yang mencolok dalam mekanisme ini
adalah bahwa dalam Islam pemilihan kepala Negara didasarkan pada nilai-nilai Islam
dan harus selarasn dengan aturan-aturan yang ada di dalamnya, sementara pemilihan
umum di Indonesia hanya didasarkan kepada demokrasi yaitu kekuasaan di tangan
rakyat.7

7
https://jurnal.staialhidayahbogor.ac.id/index.php/am/article/view/112 diakses pada tanggal 18 Mei 2019
pukul 16.15
BAB VI

PENUTUP

Kepala negara merupakan inti sari bagi negara, dimana kepala negara
merupakan kebutuhan untuk manusia di muka bumi sebagai penengah, pengayom dan
sebagai pengendali umat manusia menuju jalan kebaikan. Dan kepala negara adalah
suatu suksesi dalam negara menjalankan roda pemerintahan, maka dari itu perlu di
pilihnya seseorang untuk menjadi kepala negara.

Para ulama sepakat tentang hukum memilih kepala negara yaitu wajib. Tapi
mereka berbeda pendapat apakah wajib menurut syara atau menurut akal. Menjadi
kepala negara hukumnya fardhu khifayah; sedangkan berpartisipasi dalam memilih
kepala negara hukumnya fardhu ain bagi seluruh warga negara yang sudah memenuhi
persyaratan untuk memilih.

Kata khalifah sering diartikan sebagai pengganti, karena orang yang


menggantikan datang sesudah orang yang digantikan dan ia menempati tempat dan
kedudukan orang tersebut. Khalifah juga bisa berarti seseorang yang diberi wewenang
untuk bertindak dan berbuat sesuai dengan ketentuan-ketentuan orang memberi
wewenang.

Dapat diketahui bahwa mekanisme pemilihan para khalifah (kepala negara)


yang dilakukan umat Islam, antara lain :

 Kesepakatan umat dengan isyarat dari Rasulullah saw


 Penujukkan oleh khalifah sebelumnya
 Penunjukkan beberapa orang untuk bermusyawarah dan memilih salah satu dari
mereka untuk menjadi khalifah
 Kesepakatan umat Islam
DAFTAR PUSTAKA

Ibnu Manzhur, Lisaan al-Arab, (Kairo: Daarul Ma’arif. T.th),


Farid abdul Khaliq, Fikih Politik Islam (Jakarta: Amzah. 2005)
Dr. H. Sutisna, M.A, Pemilihan Kepala Negara(Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif
di Indonesia)(Yogyakarta: Deepublish, 2014)

Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi, Ahkam al-Sultaniyyah
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara

https://jurnal.staialhidayahbogor.ac.id/index.php/am/article/view/112

Вам также может понравиться