Вы находитесь на странице: 1из 17

REFERAT

STASE ILMU BEDAH

OSTEOPOROSIS DAN BMI

Pembimbing:
Taufin Warindra, dr., Sp.OT

Penyusun:
Leonardus Reynald Susilo
1522316063

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA
RUMAH SAKIT PHC SURABAYA
2018
1. Definisi Osteoporosis
Osteoporosis adalah kondisi berkurangnya massa tulang dan gangguan struktur tulang
(perubahan mikroarsitektur jaringan tulang) sehingga menyebabkan tulang menjadi mudah
patah.

Kecepatan resorpsi tulang lebih besar dari kecepatan pembentukkan tulang, sehingga
dapat menurunkan massa tulang total. Osteoporosis adalah penyakit yang mempunyai sifat-
sifat khas berupa massa tulang yang rendah, disertai mikroarsitektur tulang dan penurunan
kualitas jaringan tulang yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang. Tulang secara progresif
menjadi rapuh dan mudah patah. Tulang menjadi mudah patah dengan stress, yang pada tulang
normal tidak menimbulkan pengaruh.

Osteoporosis terbagi menjadi 2 tipe, yaitu primer dan sekunder. Osetoporosis primer
terbagi lagi menjadi 2 yaitu tipe 1 (postmenopausal) dan tipe 2 (senile).

Penyebab terjadinya osteoporosis tipe 1 erat kaitannya dengan hormon estrogen dan
kejadian menopause pada wanita. Tipe ini biasanya terjadi selama 15 – 20 tahun setelah masa
menopause atau pada wanita sekitar 51 – 75 tahun dan pada tipe ini tulang trabekular menjadi
sangat rapuh sehingga memiliki kecepatan fraktur 3 kali lebih cepat dari biasanya. Sedangkan
tipe 2 biasanya terjadi diatas usia 70 tahun dan 2 kali lebih sering menyerang wanita. Penyebab
terjadinya senile osteoporosis yaitu karena kekurangan kalsium dan kurangnya sel-sel
perangsang pembentuk vitamin D. Dan terjadinya tulang pecah dekat sendi lutut dan paha dekat
sendi panggul.

Tipe osteoporosis sekunder, terjadi karena adanya gngguan kelainan hormon,


penggunaan obat-obatan dan gaya hidup yang kurang baik seperti konsumsi alkohol yang
berlebihan dan kebiasaan merokok.

2. Epidemiologi
Menurut National Osteoporosis Foundation (NOF), 9,9 juta orang Amerika mengalami
osteoporosis dan 43,1 juta orang mempunyai kepadatan tulang di bawah normal. Fraktur yang
terjadi di Amerika yang mempunyai faktor osteoporosis sekitar 432.000 di rumah sakit, 2,5
juta orang di klinik, dan 180.000 yang dirawat di rumah.
Di seluruh dunia ada lebih dari 200 juta orang yang mengalami osteoporosis dan
diperkirakan 75 juta di Eropa, USA, dan Jepang.
Osteoporosis senilis banyak terjadi pada orang dengan umur >70 tahun. Makin
progresif pada wanita setelah menopause sekitar 50-70 tahun.
Fraktur yang terjadi juga banyak mengenai vertebra dan panggul. Jensen et al
menemukan bahwa 21% dari wanita di atas 70 tahun mengalami fraktur vertebra. Sebanyak
90% fraktur tulang panggul, 90% pada orang di atas 50 tahun dan paling banyak pada dekade
ke-8.
Wanita yang mengalami osteoporosis lebih banyak dari pria. Sebanyak 50% wanita
post menopause mengalami osteoporosis, 25% mengalami deformitas pada vertebra, dan 15%
mengalami fraktur tulang panggul.
Pada pria lebih banyak mengalami osteoporosis sekunder diperkirakan sebanyak 45-
60% yang berhubungan dengan hipogonadisme, alkoholik, atau kelainan glukokortikoid.
Secara umum perbandingan pria dan wanita adalah 4:1.

3. Faktor Resiko
Banyak faktor resiko yang dihubungkan dengan terjadinya osteoporosis pada pria.
Hampir setengah dari seluruh faktor adalah akibat genetik atau usia, dengan sisanya akibat
terhadap variabel yang dapat dimodifikasi. Bakhireva dkk secara prospektif meneliti
prediktor dari kehilangan massa tulang pada usia tua (usia 45 sampai 92 tahun) dan
menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi massa tulang:

 Usia >75 tahun


 BMI < 24 kg/m2
 Penurunan berat badan >5% selama 4 tahun
 Merokok
 Kurangnya aktifitas fisik

Pada kelompok tersebut kejadian hilangnya massa tulang lebih besar pada leher femur dan
vertebra lumbar dibanding dengan yang aktif secara fisik. Resiko fraktur osteoporosis akan
meningkat, tidak hanya dengan BMD yang rendah (<18,5 kg/m2) tetapi juga dengan riwayat
fraktur sebelumnya dan menurunnya berat badan lebih dari 10 persen dalam waktu singkat.

Terdapat beberapa faktor yang bisa di ubah dan yang tidak bisa diubah yang dapat
mempercepat terjadinya osteoporosis hingga fraktur osteoporosis. Beberapa faktor resiko
yang tidak dapat diubah contohnya (Brinker & O’Connor, 2008):

 Faktor genetik 

 Riwayat keluarga dekat mengalami fraktur osteoporosis 


 Jenis kelamin wanita, dikatakan bahwa wanita mempunyai resiko hingga 50%


 lebih tinggi untuk mengalami osteoporosis dibandingkan pria 
 usia >75

tahun
 rendahnya indeks massa tubuh (<24 kg/m2) penurunan berat badan >

5% selama 4 tahun merokok
 kurangnya aktifitas fisik

 Usia tua, dikatakan bahwa pria atau wanita yang telah berusia diatas 70 tahun,
akan meningkat resiko mengalami osteoporosis setiap kelipatan 5 tahun

berikutnya 


 Ras kaukasia


Beberapa faktor resiko yang masih dapat diubah:

 Perilaku merokok 


 Rendahnya massa tubuh 


 Rendahnya konsumsi vitamin D dan kalsium 


 Peminum alcohol yang berlebih 


 Aktifitas fisik yang kurang 


 Trauma minor yang berkelanjutan terus menerus 


 Kesehatan yang buruk 


 Defisiensi estrogen pada wanita 


4. Gejala Klinis

Osteoporosis dikenal sebagai silent disease karena pengeroposan tulang terjadi secara
progresif selama beberapa tahun tanpa disertai dengan adanya gejala. Beberapa gejala yang
terjadi umumnya baru muncul setelah mencapai tahap osteoporosis lanjut. Gejala-gejala umum
yang terjadi pada kondisi osteoporosis adalah : fraktur tulang, postur yang bungkuk (Toraks
kifosis atau Dowager's hump), berkurangnya tinggi badan, nyeri pada punggung, nyeri leher
dan nyeri tulang.
Fraktur yang terjadi pada leher femur dapat mengakibatkan hilangnya kemampuan
mobilitas penderita baik yang bersifat sementara maupun menetap. Fraktur pada distal radius
akan menimbulkan rasa nyeri dan terdapat penurunan kekuatan genggaman, sehingga akan
menurunkan kemampuan fungsi gerak.Sedangkan tanda dan gejala fraktur vertebra adalah
nyeri punggung, penurunan gerak spinal dan spasme otot di daerah fraktur. Semua keadaan di
atas menyebabkan adanya keterbatasan dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari.
Pada awalnya osteoporosis tidak menimbulkan gejala, bahkan sampai puluhan tahun
tanpa keluhan. Jika kepadatan tulang sangat berkurang sehingga tulang menjadi kolaps atau
hancur, akan timbul nyeri dan perubahan bentuk tulang. Jadi, seseorang dengan osteoporosis
biasanya akan memberikan keluhan atau gejala sebagai berikut:
Gejala osteoporosis yaitu:
1. Nyeri
2. Immobilitas
3. Depresi, ketakutan dan rasa rendah diri karena keterbatasan fisik.
Tanda osteoporosis:
1. Pemendekan tinggi badan, kifosis atau lordosis
2. Fraktur tulang punggung, panggul dan pergelangan tangan
3. Kepadatan tulang rendah pada pemeriksaan radiografi

5. Patofisiologi
Terjadinya osteoporosis secara seluler disebabkan oleh karena jumlah dan aktivitas sel
osteoklas melebihi dari jumlah dan aktivitas sel osteoblas. Keadaan ini mengakibatkan
penurunan massa tulang (Kawiyana, 2009). Osteoklas adalah sel multinuklear yang mengerosi
dan meresorpsi tulang yang sebelumnya terbentuk. Osteoklas sekarang dianggap berasal dari
stem sel hemopoitik melalui monosit. Mereka tampak memfagositosis tulang, mencernakannya
dalam sitoplasmanya; itulah sebabnya mengapa tulang sekitar osteoklas aktif mempunyai sifat
berkerut atau pinggir yang seperti terkunyah (Ganong, 1983). Sel osteoklas adalah sel tulang
yang bertanggung jawab terhadap proses resorpsi tulang, berasal dari sel hematopoitik/fagosit
mononuclear. Osteoblast adalah sel pembentuk tulang yang mengsekresi kolagen, membentuk
matriks sekitar mereka sendiri yang kemudian mengalami kalsifikasi (Ganong, 1983). Proses
peningkatan formasi tulang dan penghambatan resorpsi tulang oleh esteoklas adalah efek
langsung estrogen yang merupakan regulator pertumbuhan dan homeostatis pada tulang.
Penyebab utama osteoporosis adalah gangguan dalam remodeling tulang sehingga
mengakibatkan kerapuhan tulang. Terjadinya osteoporosis secara seluler disebabkan oleh
karena jumlah dan aktivitas sel osteoklas melebihi dari jumlah dan aktivitas sel osteoblas (sel
pembentukan tulang). Keadaan ini mengakibatkan penurunan massa tulang (Association AM,
2004).
Selama pertumbuhan, rangka tubuh meningkat dalam ukuran dengan pertumbuhan
linier dan dengan aposisi dari jaringan tulang baru pada permukaan luar korteks (Association
AM, 2004). Remodeling tulang mempunyai dua fungsi utama :
(1) Untuk memperbaiki kerusakan mikro di dalam tulang rangka untuk
mempertahankan kekuatan tulang rangka, dan
(2) Untuk mensuplai kalsium dari tulang rangka untuk mempertahankan kalsium
serum.
Remodeling dapat diaktifkan oleh kerusakan mikro pada tulang sebagai hasil dari
kelebihan atau akumulasi stress. Kebutuhan akut kalsium melibatkan resorpsi yang dimediasi-
osteoklas sebagaimana juga transpor kalsium oleh osteosit. Kebutuhan kronik kalsium
menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder, peningkatan remodeling tulang, dan kehilangan
jaringan tulang secara keseluruhan.
Patogenesis dari Osteoporosis tipe I :
Pasca menopause terjadi penurunan estrogen yang menyebabkan produksi sitokin
seperti IL-1, IL-6 dan TNF-α yang meningkatkan kerja osteoklas sehingga menyebabkan
aktifitas osteoklas meningkat, yang apabila aktifitas osteoklas maka akan terjadi peningkatan
resorbsi tulang sehingga dapat menyebabkan osteoporosis karena terjadi penurunan densitas
tulang terutama pada tulang trabekuler. Selain itu, menopause juga meningkatkan eksresi
kalsium di ginjal sehinga terjadi reabsorpsi kalsium di ginjal sehingga timbul keseimbangan
negatif kalsium akibat menopause, maka kadar PTH akan meningkat karena tejadi pengaturan
kadar ion Ca dalam jaringan sehingga didapatkan peningkatan kadar kalsium dalam serum.
Patogenesis Osteoporosis tipe II :
Terjadi terutama pada dekade kedelapan dan kesembilan kehidupannya terjadi
ketidakseimbangan remodeling tulang, dimana resorpsi tulang meningkat, sedangkan formasi
tulang tidak berubah atau menurun. Defisiensi kalsium dan vitamin D terjadi karena asupannya
berkurang sehingga terjadi hiperparatiroidisme sekunder yang persisten sehingga akan
semakin meningkatakan resorpsi tulang dan kehilangan massa tulang. Selain itu juga terjadi
penurunan sekresi GH dan IGF-1, penurunan aktifitas fisik, penurunan sekresi estrogen yang
menyebabkan terganggunya fungsi oesteoblas dan peningkatan turnover tulang yang memicu
terjadinya osteoporosis, yang padat menimbulkan fraktur apabila terjadi trauma ringan.
Pada semua tipe osteoporosis, awalnya terjadi perubahan yang menyolok pada tulang
spongiosa, dimana jaringan pengapuran yang normal menjadi tipis dan renggang. Cortex tulang
menjadi tipis dan keropos akhirnya pada beberapa individu tulang menjdai lunak pada
osteomalasia, menjadi fragile, menjadi mengecil yang mudah menjadi fraktur patologik.
Beberapa penelitian, menunjukkan bahwa berat badan dapat massa tulang. Dengan
berat badan yang lebih, maka tubuh akan menopang beban dan akan memberikan tekanan pada
tulang, sehingga tulang menjadi lebih kuat dan dapat meningkatkan massa tulang. Oleh karena
itu, biasanya seseorang memiliki berat badan lebih jarang berpeluang untuk menderita
osteoporosis. Dengan berat badan yang cukup dan sesuai dengan tinggi badan maka akan
memiliki status gizi (IMT) yang baik pula.
6. Diagnosa Osteoporosis

Hingga saat ini deteksi osteoporosis merupakan hal yang sangat sulit dilakukan.
Osteoporosis merupakan penyakit yang hening (silent), kadang-kadang tidak memberikan
tanda-tanda atau gejala sebelum patah tulang terjadi. Diagnose penyakit osteoporosis kadang -
kadang baru diketahui setelah terjadinya patah tulang punggung, tulang pinggul, tulang
pergelangan tangan atau patah tulang lainnya pada orang tua, baik pria atau wanita. Biasanya
dari waktu ke waktu massa tulangnya terus berkurang, dan terjadi secara luas dan tidak dapat
diubah kembali.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1142/Menkes/SK/VII/2008,
pelaksanaan diagnosis adalah sebagai berikut:
1. Anamnesis
Beberapa tanda dan gejala yang perlu diwaspadai kemungkinan osteoporosis ialah:
a. Adanya faktor resiko (faktor prediposisi)
b. Terjadi patah tulang secara tiba-tiba karena trauma yang ringan atau tanpa trauma
c. Timbul rasa nyeri yang hebat sehingga pasien tidak dapat melakukan pergerakan
d. Tumbuh makin pendek dan bongkok (kifosis dorsal bertambah)
Anamnesis dapat dilengkapi dengan menggunakan formulir test semenit resiko
osteoporosis yang dikeluarkan oleh IOF (International Osteoporosis Foundation).
Anamnesis diperlukan karena keluhan utama dapat langsung mengarah ke pada
diagnosis, misalnya fraktur kolum femoris pada osteoporosis, kesemutan dan rasa kebal
disekitar mulut, immobilisasi yang lama, pengaruh obat-obatan, alcohol, merokok. (De
Jong, 2005).
2. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan dengan mengamati penurunan tinggi badan dan postur tubuh. Tinggi
badan dan berat badan harus diukur pada pasien osteoporosis, gaya berjalan, nyeri spinal,
sering ditemukannya kifosis dorsal atau gibbus dan penurunan tinggi badan.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Kadar serum puasa kalsium, fosfat fosfatase alkali.
Bila ada indikasi dianjurkan juga untuk melakukan pemeriksaan fungsi tiroid,
hati dan ginjal. Pengukuran ekskresi kalsium urin 24 jam berguna untuk menentukan
pasien malabsorpsi kalsium (total ekskresi 24 jam <100 mg) dan untuk pasien yang
jumlah ekskresi kalsium sangat tinggi (>250 mg/24 jam) yang bila diberi suplemen
kalsium atau vitamin D atau metabolismenya mungkin berbahaya.
Bila dari hasil klinis, darah dan urin diduga adanya hiperparatiroidisme,maka
perlu diperiksa kadar hormone paratiroid (PHT). Bila ada dugaan k earah malabsorpsi
maka perlu diperiksa kadar 25 OH D.
b. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi umumnya terlihat jelas apabila telah terjadi osteoporosis
lanjut atau jika hasil BMD yang diperoleh dari hasil pemeriksaan dengan menggunakan
alat densitometer menunjukkan positif tinggi.

c. Pemeriksaan densitometer (ultrasound)

Pemeriksaaan densitometer untuk mengukur kepadatan tulang (BMD)


berdasarkan standar deviasi (SD) yang terbaca oleh alat tersebut. densitometer
merupakan alat test terbaik untuk mendiagnosis seseorang penderita osteopeni atau
osteoporosis, namun tes ini tidak dapat menentukan cepatnya proses kehilangan massa
tulang. Jika densitometer ultrasound menunjukkan nilai rendah (T-score dibawah -2,5)
sebaiknya disarankan menggunakan densitometer X-ray. Penilaian osteoporosis dengan
densitometer:
- Normal: nilai densitas atau kandungan mineral tulang tidak lebih dari 1 selisih pokok
di bawah rata-rata orang dewasa, atau kira-kira 10% di bawah rata-rata orang dewasa
atau lebih tinggi (T-score lebih besar atau sama dengan -1 SD).
- Osteopenia (massa tulang rendah): nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih
dari 1 selisih pokok di bawah rata-rata orang dewasa, tapi tidak lebih dari 2,5 selisih
pokok di bawah rata-rata orang dewasa, (T-score antara -1 SD sampai -2,5 SD).
- Osteoporosis: nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih dari 2,5 selisih pokok
di bawah nilai ratarata orang dewasa, atau 25% di bawah rata-rata atau kurang (T-
score di bawah -2,5 SD).
- Osteoporosis lanjut: nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih dari 2,5 selisih
pokok di bawah rata-rata orang dewasa, atau 25% di bawah rata-rata ini atau lebih,
dan disertai adanya satu atau lebih patah tulang osteoporosis (T-score di bawah -2,5
SD dengan adanya satu atau lebih patah tulang osteoporosis).

7. Index Masa Tubuh

a. Faktor Mekanis
Beban mekanis berpengaruh terhadap massa tulang di samping faktor genetik.
Bertambahnya beban akan menambah massa tulang dan berkurangnya beban akan
mengakibatkan berkurangnya massa tulang. Dengan perkataan lain dapat disebutkan bahwa
ada hubungan langsung dan nyata antara massa otot dan massa tulang. Kedua hal tersebut
menunjukkan respons terhadap kerja mekanik. Beban mekanik yang berat akan mengakibatkan

massa otot besar dan juga massa tulang yang besar.


Sebagai contoh adalah pemain tenis atau pengayuh becak, akan dijumpai adanya
hipertrofi baik pada otot maupun tulangnya terutama pada lengan atau tungkainya; sebaliknya
atrofi baik pada otot maupun tulangnya akan dijumpai pada pasien yang harus istrahat di tempat
tidur dalam waktu yang lama, poliomielitis atau pada penerbangan luar angkasa. Walaupun
demikian belum diketahui dengan pasti berapa besar beban mekanis yang diperlukan dan
berapa lama untuk meningkatkan massa tulang di sampihg faktor genetik.

Berat badan juga akan memberikan tekanan yang kuat pada tulang, terutama tulang
yang menyangga tubuh. Menurut Mazocco, 2017, wanita yang obesitas lebih rendah
kemungkinan menjadi osteopenia dan osteoporosis dibandingkan dengan yang berat badannya
normal. Dia mengatakan bahwa ada hubungan dari berat badan dan massa tulang. Berat badan
akan memberikan tekanan pada tulang sehingga tulang berusaha untuk mengkompensasi
dengan meningkatkan masa tulang. Dan dia menjelaskan bahwa jaringan adiposa juga akan
meningkatkan produksi hormon estrogen yang akan membantu proses pembentukan tulang.

Tarek, 2011, menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa faktor resiko terbesar


osteoporosis adalah usia dan index massa tubuh. Faktor resiko lain yang menyebabkan
osteoporosis yang seperti telah dijelaskan memang mempengaruhi massa tulang, tetapi tidak
terlalu bermakna.

Menurut Wasan pada tahun 2014, index massa tubuh tidak terlalu berpengaruh karena
faktor resiko lain juga memberikan efek yang sama bermaknanya pada kepadatan massa tulang.
Dia menjelaskan lebih jauh lagi bahwa jaringan lemak subkutan yang berlebih bahkan
memproduksi protein pro inflamasi yang malah akan meningkatkan penghancuran tulang.
Produksi hormon adinopektin yang meningkatkan aktivitas osteoklas juga akan meningkat.

b. Faktor Gizi

Selain faktor mekanik, index massa tubuh yang rendah juga mempengaruhi status gizi
dan atau sebaliknya status gizi yang rendah juga akan menurunkan index massa tubuh.
Defisit zat-zat yang mempengaruhi pembentukan tulang akan mempercepat proses
osteoporosis. Zat-zat yang berpengaruh adalah:

a. Kalsium

Menurut Tandra, mineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh yaitu kalsium. Kebutuhan
kalsium ini akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Karena pada usia lebih dari 30
tahun, massa tulang akan mulai berkurang. Terutama pada wanita, akan mengalami menopause
yang mengakibatkan kehilangan massa tulang sebesar 15% dan jika dalam waktu lama
memiliki pola konsumsi kurang akan beresiko untuk terkena osteoporosis. Sehingga diperlukan
asupan kalsium yang cukup. Menurut Gopalan, sebaiknya konsumsi kalsium yang cukup sudah
dimulai sejak usia remaja, karena pada masa remaja kalsium yang diserap dapat dijadikan
disimpan dalam tubuh sampai lansia, sehingga dapat mencegah timbulnya osteoporosis.

b. Vitamin D


Penyakit yang cukup serius seperti osteoporosis dapat timbul akibat kurangnya asupan vitamin
D. Karena menurut Nix, vitamin D mempunyai peranan penting dalam pemeliharaan dan
pertumbuhan tulang. (Nix, 2010) Biasanya pada usia lanjut, asupan vitamin D ini kurang
karena kurang terpaparnya sinar matahatari. Pada usia remaja dan dewasa tidak berisiko untuk
kekurangan vitamin D, karena ada yang mengasumsikan mereka lebih banyak melakukan
aktivitas diluar rumah. Tetapi, ada penelitian yang mengatakan 32% pada usia 18 – 29 tahun
mengalami kekurangan asupan vitamin D di Boston. Dan di Afrika, sekitar 42% wanita usia
15 – 49 Tahun mengalami kekurangan vitamin D dan dari penelitian tersebut berarti lebih
berpeluang untuk menderita osteoporosis. Hal ini dikarenakan adanya musim dingin di Boston
dan pada usia tersebut lebih banyak melakukan pekerjaan didalam ruangan, sehingga kurang
terpapar sinar matahari. Adapula penelitian yang mengatakan kekurangan vitamin D dari sinar
matahari mempuyai hubungan significant terhadap gangguan penyerapan vitamin D pada kulit,
sehingga lebih mudah untuk berisiko terkena osteoporosis.

Karena sinar matahari yang masuk kekulit akan mengaktifkan vitamin D untuk bekerja sama
dengan kalsium dalam memelihara tulang, sehingga dapat memperlambat terjadinya
osteoporosis. Akan tetapi semakin bertambahnya usia, kemampuan vitamin D untuk aktif
dalam penyerapan dalam kulit semakin berkurang. Dan menurut Rosenberg, jika asupan
vitamin tidak kuat akan kehilangan massa tulang dan dapat meningkatkan resiko fraktur. Oleh
sebab itu diperlukan asupan vitamin D dari makanan, seperti susu dan olahannya, ikan salmon,
minyak ikan, sarden, telur, dll.

c. Fosfor


Fosfor merupakan mineral kedua yang banyak berperan dalam tubuh. Kalsium dan fosfor
menjadi komponen dalam tulang. Akan tetapi, jika jumlah fosfor lebih besar daripada kalsium
akan menyebabkan berkurangnya masa tulang. Karena pada makanan sumber fosfor dapat
meningkatkan hormon paratiroid yang dapat memicu pengeluaran kalsium melalui urine,
sehingga masa tulang pun akan berkurang. Walaupun banyak penelitian tentang fosfor, akan
tetapi belum ada penelitian yang menunjukan adanya hubungan yang bermakna antara fosfor
dengan kejadian osteoporosis.

d. Vitamin K


Vitamin K mempunyai peranan dalam mengatur protein dalam tulang. Kekurangan vitamin K
akan mempengaruhi berkurangnya sintesis osteokalsin, sehingga tulang menjadi kurang kuat.
Dan pada beberapa studi penelitian, mengatakan bahwa seseorang yang memiliki asupan
vitamin K yang tinggi, tulang yang dimiliki pun lebih padat dan resiko terjadinya patah tulang
menjadi rendah. Belum ada penelitian yang menunjukan adanya hubungan yang bermakan
antara vitamin K dengan kajadian osteoporosis.

e. Protein


Terjadinya ostoporosis juga disebabkan oleh asupan protein yang berlebih. Karena protein
dapat menghasilkan asam jika diuraikan dalam tubuh. Sehingga asam tersebut ditahan oleh
tulang dan terjadilah pelepasan kalsium melalui urine. Ada studi yang mengatakan adanya
peningkatan asupan protein mempengaruhi kehilangan masa tulang. Dengan asupan protein
sebanyak 1 gram dapat meningkatkan pengeluaran kalsium lewat urin sebanyak 1 mg.
Walaupun banyak penelitian tentang protein, akan tetapi belum ada penelitian yang
menunjukan adanya hubungan yang bermakan antara fosfor dengan kajadian osteoporosis.

8. Tatalaksana
 Diet kaya kalsium dan vitamin D yang mencukupi sepanjang hidup, dengan
peningkatan asupan kalsium pada permulaan umur pertengahan dapat melindungi
terhadap demineralisasi tulang 


 Pada menopause dapat diberikan terapi pengganti hormone dengan estrogen dan
progesterone untuk memperlambat kehilangan tulang dan mencegah terjadinya patah
tulang. 


 Medical treatment, obat-obatan dapat diresepkan untuk menangani osteoporosis


termasuk kalsitonin, natrium fluoride, dan natrium etridonat.

 Pemasangan penyangga tulang belakang (spinal brace) untuk mengurangi nyeri


punggung 


 Terapi utama adalah perubahan pada pola hidup berupa:

Kalsium:

- Rekomendasi asupan kalsium adalah 1200 mg/hari pada orang dewasa di



 atas 50 tahun 


- Wanita membutuhkan suplemen kalsium 500-700 mg/ hari 



Vitamin D:

- Rekomendasi asupan vitamin D adalah 400-800 IU per hari 


- Kebutuhan vitamin D lebih tinggi pada mereka di atas usia 70 tahun 


Latihan:

- Latihan menggunakan beban (termasuk beban tubuh sendiri) atau dikenal



 sebagai Weight-bearing exercise. Jika memungkinkan: berjalan kaki 
 selama 40
menit/ kali dan dilakukan 4 kali dalam seminggu 


- Latihan penguatan otot-otot. Termasuk otot tulang belakang, otot paha



 dan betis, sehingga tidak gampang jatuh. 


Hindari:

- Rokok, alkohol dan minuman bersoda yang berlebihan. 


- Faktor-faktor yang memungkinkan jatuh: cahaya yang kurang, lantai 
 yang


licin dll 

DAFTAR PUSTAKA

Association between body mass index and osteoporosis in women from northwestern
Rio Grande do Sul, 2010, diakses dari:
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2255502116300852?via%3Dihub

Tarek F., Association between Body Mass Index and Bone Mineral Density in Patients
Referred for Dual-Energy X-Ray Absorptiometry Scan in Ajman, UAE, 2011, diakses dari:
https://www.hindawi.com/journals/jos/2011/876309/

Shrimad, Association between Body Mass Index and Bone Mineral Density among
healthy women in India, 2016, diakses dari: http://www.ijmrhs.com/medical-
research/association-between-body-mass-index-and-bone-mineral-density-among-healthy-
women-in-india.pdf

International Osteoporosis Foundation, Know and reduce your risk of osteoporosis,


2010, diakses dari :
https://www.iofbonehealth.org/sites/default/files/PDFs/know_and_reduce_your_risk_english.
pdf

Wasan A., The Correlation of Body Mass Index, Age, Gender with Bone Mineral
Density in Osteopenia and Osteoporosis: A Study in the United Arab Emirates, 2014 diakses
dari : https://pdfs.semanticscholar.org/5826/17a71819d7ebbc21def3ffb333da5a76ac1e.pdf

Вам также может понравиться