Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
b. Jenis Euthanasia
i. Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara
sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk
mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat
dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral
maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut
adalah tablet sianida.
ii. Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis
(autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi di
mana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima
perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan
memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan
secara resmi dengan membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan).
Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas
permintaan pasien yang bersangkutan.
iii. Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif
yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri
kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan
pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara
sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan
bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan,
tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat,
meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna
memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit
seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan
eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan
rumah sakit.
c. Hukum yang Mengatur
Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang
melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada
yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa
"Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri,
yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-
lamanya 12 tahun". Juga demikian halnya tampak pada pengaturan pasal-pasal 338,
340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik
dalam perbuatan eutanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di
negara kita memang tidak mengizinkan tindakan eutanasia oleh siapa pun.
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek
dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober
2004 [11]menyatakan bahwa: Eutanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan"
hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam
masyarakat Indonesia. "Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang
dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP.
Di hampir semua negara belum ada yang melegalkan, euthanasia tetap di anggap
melakukan pelanggaran hukum karena merampas dan menghilangkan nyawa
seseorang.
Jepang pernah melakukan eutansia pasif dan euthanasia Aktif hakim di jepang
menganggap hal tersebut melanganggar hukum walaupun di Jepang blm ada aturan
hokum yang mengatur mengenai euthanasia.
2) Aborsi
a. Pengertian
Pengguguran kandungan atau aborsi (bahasa Latin: abortus) adalah
berakhirnya kehamilan dengan dikeluarkannya janin (fetus) atau embrio sebelum
memiliki kemampuan untuk bertahan hidup di luar rahim, sehingga mengakibatkan
kematiannya. Aborsi yang terjadi secara spontan disebut juga "keguguran". Aborsi
yang dilakukan secara sengaja seringkali disebut "aborsi induksi" atau "abortus
provokatus". Kata aborsi umumnya hanya digunakan dalam pengertian abortus
provokatus. Prosedur serupa yang dilakukan setelah janin berpotensi untuk
bertahan hidup di luar rahim juga dikenal dengan sebutan "Aborsi”.
b. Jenis Abortus
i. Abortus Komplet
Seluruh bagian janin telah keluar dari rongga rahim melalui mulut rahim secara
lengkap, sehingga perdarahan dari jalan lahir sedikit.
ii. Abortus Inkomplete
Sebagian janin telah keluar dari rahim dan sisanya masih tertinggal di dalam
rahim.
iii. Abortus Insipiens
Keguguran yang ditandai dengan serviks yang telah mendatar namun janin masih
berada lengkap di dalam Rahim
iv. Abortus Imminens
Keguguran tingkat permulaan, ditandai dengan terjadi perdarahan yang sedikit
dari jalan lahir, namun jalan lahir masih tertutup dan janin dalam kondisi masih
baik di dalam rahim. Pada keguguran jenis ini, biasanya kehamilan masih
mungkin untuk dilanjutkan. 5. Missed Abortion Keguguran yang ditandai dengan
janin telah meninggal sebelum usia kehamilan 20 minggu dan seluruh
jaringannya masih terdapat di dalam rahim
v. Missed Abortion
Keguguran yang ditandai dengan janin telah meninggal sebelum usia kehamilan
20 minggu dan seluruh jaringannya masih terdapat di dalam rahim. 6. Abortus
Habitualis Keguguran yang terjadi sebanyak tiga kali berturut-turut atau lebih.
Untuk menentukan jenis keguguran yang Ibu alami dan memberikan
penanganan yang tepat, dokter akan melakukan pemeriksaan secara intensif.
Dokter biasanya menggunakan bantuan alat atau doppler untuk mendeteksi
denyut jantung janin atau USG untuk menentukan secara langsung keguguran
yang dialami.
vi. Abortus Habitualis :
Keguguran yang terjadi sebanyak tiga kali berturut-turut atau lebih. Untuk
menentukan jenis keguguran yang Ibu alami dan memberikan penanganan yang
tepat, dokter akan melakukan pemeriksaan secara intensif. Dokter biasanya
menggunakan bantuan alat atau doppler untuk mendeteksi denyut jantung janin
atau USG untuk menentukan secara langsung keguguran yang dialami
vii. Abortus Provokatus:
Istilah “abortus provocatus” mungkin bukan sesuatu yang asing bagi sebagian
orang. Abortus Provocatus adalah cara paling tua untuk mengakhiri kehamilan
yang tidak direncanakan dan/atau diinginkan. Untuk diketahui, mengakhiri
kehamilan dengan cara ini termasuk tindakan kriminal berisiko tinggi dan
berbahaya karena dapat menyebabkan kematian. Inilah salah satu alasan
mengapa abortus provocatus menuai banyak pro dan kontra, baik dari para ahli
agama, ahli medis, hukum, maupun pengamat sosial.
ii. Capacity
Juga disebut sebagai kompetensi. Menunjuk pada kemampuan subyek untuk
mengerti informasi yang diberikan dan membentuk suatu keputusan yang
beralasan, berdasar pada potensial konsekuensi atas keputusan tersebut
Pasien mesti diberikan kesempatan untuk bertanya dan mengklarifikasi
seluruh keraguannya. Tidak boleh ada sedikitpun paksaan
iii. Voluntariness
Consent mestilah sukarela. Pasien juga seharusnya memiliki kebebasan
untuk membatalkan consent yang telah disetujuinya, yang disebut
sebagai Informed Refusal Consent yang diberikan atas dasar rasa takut akan
cedera, atau intimidasi, miskonsepsi, atau salah memberikan fakta, dapat
dianggap invalid Dokumentasi Informed Consent. Dokumentasi Informed
Consent haruslah mengikuti aturan, dibuat dalam bentuk dan isi yang
terstandar. Dokumentasi harus mencantumkan tanggal, dan ditandatangani
oleh:
Pasien
Dokter
Pengasuh
Seorang saksi yang independent
Dalam penelitian ilmiah:
Principal Investigator
Subyek penelitian
Pengasuh
Seorang saksi yang independent
Seperti layaknya rekam medis, maka dokumentasi ini biasanya disimpan
sedikitnya tiga tahun/ Apabila setelah informasi diberikan, pasien menolak
untuk menjalankan suatu tindakan medis/pengobatan, maka hendaknya
dokter juga mesti memperoleh dokumentasi tersebut, dan meminta tanda
tangan pasien pada suatu formulir penolakan pasien, yang menyatakan
segala risiko telah dijelaskan
Tanggung Jawab Moral Profesi Medis/Peneliti
Meski Informed Consent telah diperoleh, namun tidak menjadikan seorang dokter
menghindari tanggunjawabnya secara hokum. Informed Consent tidak berarti bahwa
tanggungjawab untuk keputusan akhir berada pada pihak pasien. Dalam praktik klinis,
dokter diminta untuk memandu pasien kepada suatu keputusan, dan memberikan
rekomendasi. Lebih jauh, pasien tidak selalu menanyakan hal-hal yang detail untuk
membuat suatu keputusan. Hal ini dapat terjadi pada situasi tertentu, dimana keputusan
berhubungan dengan hidup, atau mati, atau ketika hanya ada satu alternatif medis,
contohnya: Resipien yang berpotensial menerima implan cardioverter-defibrillator.
Umumnya resipien ini beranggapan mudah untuk menyetujui pengobatan ini,
berdasarkan informasi yang mengatakan bahwa alat tersebut adalah pengobatan yang
terbaik, yang tersedia untuk mencegah kematian, yang disebabkan oleh kardia aritmi.
Seorang dokter hanya dapat mewaspadai secara adekuat dalam melakukan suatu tindak
medis kepada pasien, dengan tidak menyingkirkan jiwa melayani, dan ketekunan. Meski
demikian, menjalin hubungan yang baik dengan pasien, seringkali memberikan hasil yang
lebih baik dibanding Informed Consent yang terbaik yang dapat diperoleh.
4) Confidentiality
Confidentiality didefinisikan sebagai menjaga informasi dari orang yang tidak berhak
mengakses. Privacy lebih kearah data-data yang sifatnya privat, informasi yang tepat
terakses oleh mereka yang berhak ( dan bukan orang lain). Contoh : e-mail seorang
pemakai (user) tidak boleh dibaca oleh administrator.
Confidentiality atau kerahasiaan adalah pencegahan bagi mereka yang tidak berkepen-
tingan dapat mencapai informasi, berhubungan dengan data yang diberikan ke pihak
lain untuk keperluan tertentu dan hanya diperbolehkan untuk keperluan tertentu
tersebut. Contoh: data-data yang sifatnya pribadi (seperti nama, tempat tanggal lahir,
social security number, agama, status perkawinan, penyakit yang pernah diderita, nomor
kartu kredit, dan sebagainya) harus dapat diproteksi dalam penggunaan dan
penyebarannya. Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan privacy dan
confidentiality adalah dengan menggunakan teknologi kriptografi.
B. Tantangan dan Tuntutan Profesi Keperawatan dalam Pelayanan Kesehatan di Era Globalisasi
1. Tantangan Profesi Keperawatan dalam Pelayanan Kesehatan di Era Globalisasi
Tantangan tenaga keperawatan di Indonesia saat ini semakin meningkat. Tantangan
tersebut tidak hanya berasal dari luar (eksternal) tapi juga banyak tantangan yang berasal
dari dalam (internal) profesi itu sendiri termasuk pelayanan keperawatan, asuhan
keperawatan dan praktik keperawatan. Masih ada lagi tantangan eksternal yang menambah
daftar tantangan ini yaitu masalah sertifikasi, lisensi, tentang sistem pendidikan
keperawatan, perkembangan penyakit yang begitu pesat dan masih banyak lagi.
Di Indonesia profesi perawat termasuk tenaga kesehatan yang besar jumlahnya.
Karena pada setiap lembaga pendidikan di Indonesia melahirkan ribuan perawat. Padahal
hanya beberapa persen saja yang diserap di rumah sakit sehingga banyak sekali perawat
yang menganggur. Ironis memang, sudah sekolah tinggi namun belum bisa bekerja. Hal ini
membuat tidak sedikit perawat yang membuka praktik sendiri. Memang jika mengantongi
Surat Ijin Praktik Perawat memberi keuntungan financial yang besar tapi kalau tidak
mengantongi tentu saja menjadi sebuah masalah. Namun utuk membuat SIPP masih
terbentur dengan masalah perijinan, sampai sekarang masih belum jelas bagaimana nasib
Undang – Undang Praktik Keperawatan. Penggodokan Undang – Undang Praktik
Keperawatan membutuhkan waktu yang sangat lama sejak tahun 2008.
Meskipun pemerintah telah menerbitkan Kepmenkes No.1239 tahun 2001 tentang
Registrasi dan Praktik Perawat, serta Permenkes No.148 tahun 2010, namun belum bisa
menyelesaikan masalah ini. Peraturan ini tidak menjamin kebebasan profesi perawat untuk
mengatur dan mengembangkan diri. Selain itu proses pembuatan surat izin ini juga terlalu
sulit dan membutuhkan waktu yang lama, sehingga untuk mengadakan praktik mandiri tidak
semudah mendapatkan pekerjaan yang sudah tersedia. Padahal perawat adalah sebuah
profesi yang diperoleh dari pengembangan keilmuan dan keterampilan.
Selain ilmu dan keterampilan yang dibutuhkan perawat diperlukan juga bagaimana
cara perawat menghadapi pasien dengan berbagai macam keluhan. Diharapkan jika memiliki
keterampilan yang mumpuni perawat dapat bekerja dengan baik.
Namun sekarang juga tak sedikit perawat yang memiliki keterampilan (skills) yang
kurang mumpuni. Hal seperti inilah yang menyumbang sederetan tantangan bagi tenaga
keperawatan Indonesia. Selain keterampilan sikap juga tak kalah penting. Untuk apa pandai
dan terampil namun memiliki sikap yang kurang baik, padahal pada kenyataannya setiap hari
perawat praktik di rumah sakit yang dihadapi adalah manusia yang mempunyai perasaan.
Jika sikap perawat kurang baik, maka itu akan memberi dampak yang kurang baik juga bagi
perawat maupun bagi pihak yang mempekerjakannya.
Tenaga keperawatan Indonesia cukup tertinggal di ASEAN seperti Piliphina, Thailand,
dan Malaysia, apalagi bila ingin disandingkan dengan Amerika dan Eropa. Pendidikan rendah,
gaji rendah, pekerjaan selangit inilah paradoks yang ada. Rendahnya gaji menyebabkan tidak
sedikit perawat yang bekerja di dua tempat, pagi hingga siang di rumah sakit negeri, siang
hingga malam di rumah sakit swasta. Dalam kondisi yang demikian maka sulit untuk
mengharapkan kinerja yang maksimal. Apa lagi bila dilihat dari rasio perawat dan pasien,
dalam satu shift hanya ada 2 – 3 perawat yang bertugas jaga sedangkan pasien ada 20 – 25
per bangsal jelas tidak proporsional (Yusuf, 2006).
Selain itu, kemampuan bersaing perawat Indonesia bila di bandingkan dengan
Negara – Negara lain seperti Filipina dan India masih kalah. Penyebab utama mengapa hal
tersebut muncul adalah karena dalam sistem pendidikan keperawatan kita masih
menggunakan Bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam proses pendidikan. Hal tersebut
yang membuat Perawat kita kalah bersaing di tingkat global. Bahasa merupakan suatu sarana
untuk menyampaikan apa yang ada di dalam pikiran kita agar lawan bicara kita mengerti apa
yang kita maksud. Padahal untuk bisa bekerja sebagai perawat professional di luar negeri
modal utamanya adalah mampu berbahasa internasional yaitu Bahasa Inggris. Calon
perawat yang akan bekerja di luar negeri harus lulus sejumlah tes antara lain ujian NLEX
(National Licence Examination) serta harus mencapai skor TOEFL 540.