Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
A. Pengertian Kebenaran
Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai
yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat
kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “berpegang” suatu kebenaran.
A. Tingkat Kebenaran
Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :
1. Tingkat kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan dan pertama
yang dialami manusia
4. Tingkat religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa
dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan
2. Teori Consistency : Teori ini merupakan suatu usah apengujian (test) atas arti
kebenaran. Hasil test dan eksperimen dianggap relible jika kesan-kesanyang
berturut-turut dari satu penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen
yang dilakukan penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain.
4. Kebenaran Religius : Kebenaran tak cukup hanya diukur dnenga rasion dan
kemauan individu. Kebenaran bersifat objective, universal,berlaku bagi seluruh
umat manusia, karena kebenaran ini secara antalogis dan oxiologis bersumber dari
Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.
Kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah, artinya suatu kebenaran
tidak mungkin muncul tanpa adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk
memperoleh pengetahuan ilmiah. Secara metafisis kebenaran ilmu bertumpu pada
objek ilmu, melalui penelitian dengan dukungan metode serta sarana penelitian
maka diperoleh suatu pengetahuan. Semua objek ilmu benar dalam dirinya sendiri,
karena tidak ada kontradiksi di dalamnya. Kebenaran dan kesalahan timbul
tergantung pada kemampuan menteorikan fakta.
1. Empirisme
2. Rasionalisme
3. Induktivisme
D . Sifat dan tingkatan kebenaran ilmu
Kebenaran mempunyai banyak aspek, dan bahkan bersama ilmu dapat didekati
secara terpilah dan hasil yang bervariasi atas objek yang sama. Popper memandang
teori adalah sebagai hasil imajinasi manusia, validitasnya tergantung pada
persetujuan antara konsekuensi dan fakta observasi.
Berdasarkan sifat dari kebenaran ilmu kita dapat mendefinisikan menjadi beberapa
bagian diantaranya adalah:
BAB III
PEMBAHASAN
Kebenaran sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama menjadi
penyelidikan manusia. Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya menyelidiki
secara terus menerus apakah hakekat kebenaran itu?
Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula
untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman
tentang kebenaran, tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan
mengalami pertentangan batin, konflik spikologis. Menurut para ahli filsafat itu
bertingkat-tingkat bahkan tingkat-tingkat tersebut bersifat hirarkhis. Kebenaran
yang satu di bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya ada kebenaran
relatif, ada kebenaran mutlak (absolut). Ada kebenaran alami dan ada pula
kebenaran illahi, ada kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran umum
universal.
Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :
4* Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha
Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan
Keempat tingkat kebenarna ini berbeda-beda wujud, sifat dan kualitasnya bahkan
juga proses dan cara terjadinya, disamping potensi subyek yang menyadarinya.
Potensi subyek yang dimaksud disini ialah aspek kepribadian yang menangkap
kebenarna itu. Misalnya pada tingkat kebenaran indera, potensi subyek yang
menangkapnya ialah panca indra.
Kebenaran itu ialah fungsi kejiwaan, fungsi rohaniah. Manusia selalu mencari
kebanran itu, membina dan menyempurnakannya sejalan dengan kematangan
kepribadiannya.
Ukuran Kebenarannya :
- Apa yang disebut benar oleh seseorang belum tentu benar bagi orang lain
Kebenaran agama yang ditangkap dengan seluruh kepribadian, terutama oleh budi
nurani merupakan puncak kesadaran manusia. Hal ini bukan saja karena sumber
kebnarna itu bersal dari Tuhan Yang Maha Esa supernatural melainkan juga karena
yang menerima kebenaran ini adalah satu subyek dengna integritas kepribadian.
Nilai kebenaran agama menduduki status tertinggi karena wujud kebenaran ini
ditangkap oleh integritas kepribadian. Seluruh tingkat pengalaman, yakni
pengalaman ilmiah, dan pengalaman filosofis terhimpun pada puncak kesadaran
religius yang dimana di dalam kebenaran ini mengandung tujuan hidup manusia
dan sangat berarti untuk dijalankan oleh manusia.
Dengan ini Aristoteles sudah meletakkan dasar bagi teori kebenaran sebagai
persesuaian bahwa kebenaran adalah persesuaian antara apa yang dikatakan
dengan kenyataan. Jadi suatau pernyataan dianggap benar jika apa yang dinyatakan
memiliki keterkaitan (correspondence) dengan kenyataan yang diungkapkan dalam
pernyataan itu.
Menurut teori ini, kebenaran adalah soal kesesuaian antara apa yang diklaim
sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya. Benar dan salah adalah soal
sesuai tidaknya apa yang dikatakan dengan kenyataan sebagaimana adanya. Atau
dapat pula dikatakan bahwa kebenaran terletak pada kesesuaian antara subjek dan
objek, yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas sebagaimana adanya.
Kebenaran sebagai persesuaian juga disebut sebagai kebenaran empiris, karena
kebenaran suatu pernyataan proposisi, atau teori, ditentukan oleh apakah
pernyataan, proposisi atau teori didukung fakta atau tidak.
Suatu ide, konsep, atau teori yang benar, harus mengungkapkan relaitas yang
sebenarnya. Kebenaran terjadi pada pengetahuan. Pengetahuan terbukti benar dan
menjadi benar oleh kenyataan yang sesuai dengan apa yang diungkapkan
pengetahuan itu. Oleh karena itu, bagi teori ini, mengungkapkan realitas adalah hal
yang pokok bagi kegiatan ilmiah. Dalam mengungkapkan realitas itu, kebenaran
akan muncul dengan sendirinya ketika apa yang dinyatakan sebagai benar memang
sesuai dengan kenyataan.
Masalah kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita oyek
(informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide,
kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan kenyataan,
realita, objek, maka sesuatu itu benar. Teori korespodensi (corespondence theory
of truth), menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti
benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau
pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat
tersebut. Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselaran
dengan realitas yang serasi dengan sitasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur
yang perlu yaitu :
Statemaent (pernyataan)·
Persesuaian (agreemant)·
Situasi (situation)·
Kenyataan (realitas)·
Putusan (judgements)·
Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat
koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap
benar. Artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten
dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren
menurut logika. Misalnya, bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan
mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si Hasan
seorang manusia dan si Hasan pasti akan mati” adalah benar pula, sebab
pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Salah satu kesulitan dan sekaligus keberatan atas teori ini adalah bahwa karena
kebenaran suatu pernyataan didasarkan pada kaitan atau kesesuaiannya dengan
pernyataan lain, timbul pertanyaan bagaimana dengan kebenaran pernyataan tadi?
Jawabannya, kebenarannya ditentukan berdasarkan fakta apakah pernyataan
tersebut sesuai dan sejalan dengan pernyataan yang lain. Hal ini akan berlangsung
terus sehingga akan terjadi gerak mundur tanpa henti (infinite regress) atau akan
terjadi gerak putar tanpa henti.
Karena itu, kendati tidak bisa dibantah bahwa teori kebenaran sebagai keteguhan
ini penting, dalam kenyataan perlu digabungkan dengan teori kebenaran sebagai
kesesuaian dengan realitas. Dalam situasi tertentu kita tidak selalu perlu mengecek
apakah suatu pernyataan adalah benar, dengan merujuknya pada realitas. Kita
cukup mengandaikannya sebagai benar secara apriori, tetapi, dalam situasi lainnya,
kita tetap perlu merujuk pada realitas untuk bisa menguji kebenaran pernyataan
tersebut.
Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel, Bradley
dan Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan begitu
maka tiap-tiap pertimbangan yang benar dan tiap-tiap sistem kebenaran yang
parsial bersifat terus menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti
dari keseluruhan tersebut. Meskipun demikian perlu lebih dinyatakan dengan
referensi kepada konsistensi faktual, yakni persetujuan antara suatu perkembangan
dan suatu situasi lingkungan tertentu.
3. Teori Pragmatik
Dewey dan kaum pragmatis lainnya juga menekankan pentingnya ide yang benar
bagi kegiatan ilmiah. Menurut Dewey, penelitian ilmiah selalu diilhami oleh suatu
keraguan awal, suatu ketidakpastian, suatu kesangsian akan sesuatu. Kesangsian
menimbulkan ide tertentu. Ide ini benar jika ia berhasil membantu ilmuwan
tersebut untuk sampai pada jawaban tertentu yangmemuaskan dan dapat diterima.
Misalnya, orang yang tersesat di sebuah hutan kemudian menemukan sebuah jalan
kecil. Timbul ide, jangan-jangan jalan ini akan membawanya keluar dari hutan
tersebut untuk sampai pada pemukiman penduduk. Ide tersebut benar jika pada
akhirnya dengan dituntun oleh ide tadi ia akhirnya sampai pada pemukiman
manusia.
Menurut teori ini proposisi dikatakan benar sepanjang proposisi itu berlaku atau
memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan
yang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Bagi para pragmatis, batu
ujian kebenaran adalah kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability) dan
akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequences). Teori ini
tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak kebenarannya tergantung
pada manfaat dan akibatnya. Akibat/ hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis
adalah :
Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide
dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar
tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori
tersebut bagi manusia untuk kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan harus
bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.
4. Kebenaran Religius
Kebenaran adalah kesan subjek tentang suatu realita, dan perbandingan antara
kesan dengan realita objek. Jika keduanya ada persesuaian, persamaan maka itu
benar.
Kebenaran tak cukup hanya diukur dnenga rasion dan kemauan individu.
Kebenaran bersifat objective, universal,berlaku bagi seluruh umat manusia, karena
kebenaran ini secara antalogis dan oxiologis bersumber dari Tuhan yang
disampaikan melalui wahyu.
Nilai kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan itu adalah objektif namun
bersifat superrasional dan superindividual. Bahkan bagi kaum religius kebenarn
aillahi ini adalah kebenarna tertinggi, dimnaa semua kebanaran (kebenaran
inderan, kebenaran ilmiah, kebenaran filosofis) taraf dan nilainya berada di bawah
kebanaran ini :
Kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah, artinya suatu kebenaran
tidak mungkin muncul tanpa adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk
memperoleh pengetahuan ilmiah. Secara metafisis kebenaran ilmu bertumpu pada
objek ilmu, melalui penelitian dengan dukungan metode serta sarana penelitian
maka diperoleh suatu pengetahuan. Semua objek ilmu benar dalam dirinya sendiri,
karena tidak ada kontradiksi di dalamnya. Kebenaran dan kesalahan timbul
tergantung pada kemampuan menteorikan fakta.
1. Empirisme
2. Rasionalisme
Spinoza dan Hegel amat menekankan pada pengenal dibanding dengan apa yang
dikenal sebagai suatu kenyataan, mereka adalah tokoh yang menekankan
dibangunnya pengetahuan yang bersifat a priori sebagaimana ilmu falak dan
mekanika. Ilmu falak dan mekanika tidak bisa memakai kenyataan objektif untuk
mendukung pernyataan-pernyataan teoritisnya, karena menurutnya ilmu cukup
bertumpu pada kerangka teoritis yang bersifat a priori. Mereka menggunakan Teori
Kebenaran Koherensi dalam menguji produk pengetahuannya. Teori Kebenaran
Koherensi berpandangan bahwa suatu pernyataan dikatakan benar bila terdapat
kesesuaian antara pernyatan satu dengan pernyataan terdahulu atau lainnya dalam
suatu sistem pengetahuan yang dianggap benar.
Sebab sesuatu adalah anggota dari suatu sistem yang unsur-unsurnya berhubungan
secara logis. Teori kebenaran koherensi tergolong dalam teori kebenaran yang
tradisional. Selain melalui hubungan gagasaan-gagasan secara logis-sistemik, ada
beberapa cara pembuktian dalam berpikir rasional, yaitu melalui hukum-hukum
logika dan perhitungan matematis. Kebenaran koherensi mempunyai kelemahan
mendasar, yaitu terjebak pada penekanan validitas, teorinya dijaga agar selalu ada
koherensi internal. Suatu pernyataan dapat benar dalam dirinya sendiri, namun ada
kemungkinan salah jika dihubungkan dengan pernyataan lain di luar sistemnya.
Hal ini bisa mengarah pada relativisme pengetahuan. Misal pada jaman
Pertengahan ilmu bertumpu pada mitos dan cerita rakyat, kebenaran argumen tidak
pernah bertumpu pada pengalaman dunia luar.
3. Induktivisme
Kebenaran mempunyai banyak aspek, dan bahkan bersama ilmu dapat didekati
secara terpilah dan hasil yang bervariasi atas objek yang sama. Popper memandang
teori adalah sebagai hasil imajinasi manusia, validitasnya tergantung pada
persetujuan antara konsekuensi dan fakta observasi.
1. Evolusionisme
Suatu teori adalah tidak pernah benar dalam pengertian sempurna, paling bagus
hanya berusaha menuju ke kebenaran. Thomas Kuhn berpandangan bahwa
kemajuan ilmu tidaklah bergerak menuju ke kebenaran, jadi hanya berkembang.
Sejalan dengan itu Pranarka melihat ilmu selalu dalam proses evolusi apakah
berkembang ke arah kemajuan ataukah kemunduran, karena ilmu merupakan hasil
aktivitas manusia yang selalu berkembang dari jaman ke jaman.
Kebenaran ilmu walau diperoleh secara konsensus namun memiliki sifat universal
sejauh kebenaran ilmu itu dapat dipertahankan. Sifat keuniversalan ilmu masih
dapat dibatasi oleh penemuan-penemuan baru atau penemuan lain yang hasilnya
menggugurkan penemuan terdahulu atau bertentangan sama sekali, sehingga
memerlukan penelitian lebih mendalam . Jika hasilnya berbeda dari kebenaran
lama maka maka harus diganti oleh penemuan baru atau kedua-duanya berjalan
bersama dengan kekuatannya atas kebenaran masing-masing.
Ilmu sekarang lebih mendekati kebenaran daripada ilmu pada jaman Pertengahan,
dan ilmu pada abad duapuluh akan lebih mendekati kebenaran daripada abad
sebelumnya. Hal tersebut tidak seperti ilmu pada jaman Babilonia yang dulunya
benar namun sekarang salah, ilmu kita (kealaman) benar untuk sekarang dan akan
salah untuk seribu tahun kemudian, tapi kita mendekati kebenaran lebih dekat.
2. Falsifikasionis
Tesis utama Popper ialah bahwa kita tidak pernah bisa membenarkan (justify)
suatu teori. Tetapi terkadang kita bisa “membenarkan”(dalam arti lain) pemilihan
kita atas suatu teori, dengan mempertimbangkan kenyataan bahwa teori tersebut
sampai kini bisa bertahan terhadap kritik lebih tangguh daripada teori saingannya
Taryadi, 1989: 75).
3. Relativisme
Relativisme berpandangan bahwa bobot suatu teori harus dinilai relative dilihat
dari penilaian individual atau grup yang memandangnya. Feyerabend memandang
ilmu sebagai sarana suatu masyarakat mempertahankan diri, oleh karena itu kriteria
kebenaran ilmu antar masyarakat juga bervariasi karena setiap masyarakat punya
kebebasan untuk menentukan kriteria kebenarannya.
4. Objektivisme
Apa yang diartikan sebagai “benar” ketika kita mengklain suatu pernyataan adalah
sebagaimana yang Aristoteles artikan yaitu ”sesuai dengan keadaan“: pernyataan
benar adalah “representasi atas objek” atau cermin atas itu ). Tarski menekankan
teori kebenaran korespondensi sebagai landasan objektivitas ilmu, karena suatu
teori dituntut untuk memenuhi kesesuaian antara pernyataan dengan fakta. Teori
kebenaran yang diselamatkan Tarski merupakan suatu teori yang memandang
kebenaran bersifat “objektif”, karena pernyataan yang benar melebihi dari sekedar
pengalaman yang bersifat subjektif. Ia juga “absolut” karena tidak relatif terhadap
suatu anggapan atau kepercayaan.
Objektivisme menyingkirkan individu-individu dan penilaian para individu yang
memegang peranan penting di dalam analisa-analisa tentang pengetahuan,
objektivisme lebih bertumpu pada objek daripada subjek dalam mengembangkan
ilmu. Bila teori ilmiah benar dalam arti sesungguhnya, yaitu bersesuaian secara
pasti dengan keadaan, maka tidak ada tempat bagi interpretasi ketidaksetujuan,
beberapa ilmuwan percaya bahwa teori-teori mewakili gunung kebenaran. Roger
berpendapat bahwa teori-teori selalu merupakan imajinasi dari konstruksi mental,
dikuatkan oleh persetujuan antara fakta observasi dan peramalan atas implikasi.
Kelemahan kebenaran merupakan kesesuaian dengan keadaan adalah mereka
merupakan penyederhanaan dan pengabstraksian dari hubungan antara fakta-
faktadan kejadian-kejadianyang digabungkan dengan unsur persetujuan.
D. Standarisasi Ilmu
Adalah sulit untuk menyatakan ”benar” tentang keyakinan ataupun visi dari suatu
masyarakat atau budaya. Karena itu sulit untuk menilai tingkat kebenaran misalnya
antara filsafat Barat dan filsafat Cina, sebab masing-masing punya cakupan, ,
kompleksitas dan variasi yang berbeda.