Вы находитесь на странице: 1из 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Saluran Pernapasan

Secara berurutan sistem pernapasan manusia terdiri dari hidung, faring,

laring, trakea, bronkus, bronkiolus dan alveoli, dimana secara umum dibagi

menjadi saluran napas bagian atas dan saluran napas bagian bawah.

Saluran napas bagian atas terdiri dari hidung dan faring. Hidung terdiri dari

nasus externus (hidung luar) dan kavum nasi (rongga hidung). Nasus externus

berbentuk pyramid yang memiliki lima bagian, yaitu 1) bridge (pangkal

hidung). 2) dorsum nasi (batang hidung). 3) tip (puncak hidung). 4) ala nasi. 5)

kolumneladan 6) nares anterior (lubang hidung). Kavum nasi berbentuk

terowongan yang dibatasi oleh septum nasi yang menjadi kavum nasi kanan

dan kiri. Tiap kavum nasi memiliki empat dinding.yaitu dinding medial, lateral,

inferior dan superior. Pada dinding lateral terdapat empat konka yaitu konka

inferior, konka media, konka superior dan konka suprema di mana diantara

konka – konka tersebut terdapat celah sempit yang disebut meatus.

Kavum nasi dilapisi oleh membrane mukosa, kecuali daerah vestibulum

yang dilapisi oleh kulit yang telah mengalami modifikasi. Ada dua jenis

membran mukosa, yaitu mukosa respiratorius dan mukosa olfaktorius. Mukosa

respiratorius melapisi kavum nasi bagian bawah dan berfungsi untuk 1)

menghangatkan karena adanya plexus venosus didalam jaringan submukosa. 2)

melembabkan berasal dari banyaknya mukus yang dihasilkan oleh kelenjar –

kelenjar dan sel goblet, serta membersihkan udara inspirasi. Selain mukosa

respiratorius vibrissae (rambut hidung) yang berada pada vestibulum juga

5
6

berfungsi untuk membersihkan udara udara yang masuk malalui nares anterior.

Mukosa olfaktorius melapisi bagian atas dan berfungsi sebagai penerima

rangsangan bau.

Faring dibagi menjadi tiga bagian yaitu nasofaring, orofaring dan laringo

faring, naso faring terletak di belakang rongga hidung yang dihubungkan oleh

nares posterior (coana) dan diatas palatum molle, orofaring terletak di belakang

kavum oris (rongga mulut), sedangkan laringo faring terletak di belakang

aditus larynges dan permukaan posterior dari laring.

Saluran napas bagian bawah terdiri dari laring, trakea dan pulmo (paru).

Laring dibentuk oleh kartilago tiroid, kartilago krikoid, kartilago arytenoid,

kartilago kornikulata, kartilago kuneiform dan epiglotis. Trakea merupakan

pipa bulat yang panjang berbentuk ¾ cincing tulang rawan yang menyerupai

huruf U. Trakea terdapat di garis tengah dan bercabang menjadi bronkus

principalis dextra dan sinistra, tempat percabangannya disebut Carina. Bronkus

principalis dextra lebih lebar, lebih pendek dan lebih vertikal dibandingkan

dengan bronkus principali sinistra. Masing – masing dari bronkus principalis

bercabang menjadi bronkus lobaris yang menyuplay masing – masing lobus

dari pulmo yang kemudian bercabang lagi menjadi bronkus segmental.

Pulmo terdiri dari pulmo dextra dan pulmo sinistra yang keduanya dilapisi

oleh selaput yang disebut pleura viseralis. Pulmo dextra sedikit lebih besar dan

memiliki tiga buah lobus yaitu lobus superior, lobus medius dan lobus inferior.

Pulmo sinistra terdiri dari dua lobus yaitu lobus superior dan lobus inferior.

2.2 Asma
7

2.2.1 Definisi dan Klasifikasi Asma

Asma berasal dari bahasa Yunani yang artinya terengah – engah,

menurut istilah, asma merupakan penyakit heterogen berupa inflamasi

saluran napas kronis yang melibatkan berbagai sel inflamasi.

Dahulu istilah asma digunakan untuk serangan napas pendek akan

tetapi, sekarang asma digunakan untuk menggambarkan keadaan yang

menunjukkan respon abnormal saluran pernapasan karena rangsangan

yang dapat menyebabkan penyempitan jalan napas.

2.2.2 Klasifikasi Asma

Global Initiative for Asthma (GINA) mengklasifikasikan asma dalam

beberapa jenis, yaitu asma alergi, asma non-alergi, asma dengan onset

yang lama, asma dengan keterbatasan aliran napas dan asma dengan

obesitus. Asma alergi merupakan tipe asma yang mudah dikenali dan

sering ditemukan pada anak – anak. Asma dengan tipe ini biasanya

berhubungan dengan riwayat penyakit dahulu serta riwayat penyakit

keluarga seperti eksim, rhinitis alergi dan alergi obat atau makanan.

Pemeriksaan sputum sebelum diberi pengobatan menunjukkan inflamasi

saluran napas eosinofilik. Pasien biasanya menunjukkan respon membaik

dengan terapi kortikosteroid inhalan.

Beberapa orang dewasa mengalami asma yang tidak ada hubungannya

dengan alergi. Pemeriksaan sputum mungkin didapatkan neutrofilik,

eosinofilik ataupun hanya terdapat beberapa sel inflamasi. Inilah yang

disebut dengan asma non alergi. Pasien dengan tipe asma ini
8

menunjukkan respon yang tidak terlalu baik dengan terapi kortikosteroid

inhalan.

Klasifikasi derajat asma pada anak secara arbiteri Pedoman Nasional

Asma Anak (PNAA) membagi menjadi 3 derajat penyakit yaitu.

a. Asma episodic jarang

b. Asma episodic sering

c. Asma persisten

Tabel 2.1 Klasifikasi derajat asma pada anak (21)

Parameter klinis, Asma Asma episodic Asma persisten

kebutuhan obat episodic sering

dan faal paru jarang

asma

1 Frekuensi <1x/bulan >1x/bulan Sering

serangan

2 Lama serangan <1 minggu >1 minggu Hampir

sepanjang tahun,

tidak ada periode

bebas serangan

3 Intensitas Biasanya Biasanya sedang Biasanya berat

serangan ringan
9

4 Diantara Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan

serangan malam

5 Tidur dan Tidak Sering terganggu Sangat terganggu

aktivitas terganggu

6 Pemeriksaan Normal Mungkin Tidak pernah

fisik diluar (tidak terganggu normal

serangan ditemukan (ditemukan

kelainan) kelainan)

7 Obat Tidak perlu Perlu Perlu

pengendali (anti

inflamasi)

8 Uji faal paru PEV atau PEV atau FEV1 PEV atau FEV

(diluar FEV1>80% <60-80% <60%

serangan)

9 Variabel faal Variabelitas> Variabelitas>30% Variabelitas

paru (bila ada 15% 20-30%

serangan) Variabelitas>50%

2.2.3 Etiologi dan Faktor Resiko Asma

Etiologi penyakit asma belum diketahui dengan pasti namun berbagai

penelitian menunjukkan bahwa konsep dasar terjadinya asma adalah

karena adanya inflamasi dan reaksi saluran napas yang berlebihan. Sel –
10

sel inflamasi (sel mast, eosinofil. Limfosit T, neutrofil), mediator kimia

(histamine, leukotriene, platelet-activating factor, bradikinin) dan faktor

kemotaktik (sitokin, eotaksin) yang diperantarai oleh proses inflamasi

yang terjadi pada saluran nafas penderita asma. Asma disebut sebagai

penyakit inflamasi karena memenuhi keenam kriteria tunda inflamasi,

yaitu kalor (panas), rubor (warna kemerahan akibat vasodilatasi), tumor

(eksudasiplasma dan edema), dolor (rasa sakit karena rangsangan

sensoris), fungctiolaesa (fungsi yang terganggu) dan infiltrasi sel – sel

radang. Keenam tanda tersebut dijumpai pada asma alergi maupun non –

alergi.

Berbeda dengan orang normal, saluran napas pada penderita asma

bersifat sangat peka terhadap berbagai rangsangan seperti iritan, zat

kimia maupun psikis. Beberapa keadaan yang dapat meningkatkan

hiperaktivitas saluran napas yaitu inflamasi saluran napas. Kerusakan

epitel, mekanisme neurologis, gangguan intrinsik (otot polos saluran

napas) dan obstruksi saluran napas.

Secara umum, faktor penyebab asma dapat dibagi menjadi faktor yang

dapat dikendalikan dan faktor yang tidak dapat dikendalikan. Faktor yang

dapat dikendalikan yaitu yang berkaitan dengan lingkungan dan

kebiasaan hidup seperti asap rokok, polusi udara, debu dan sebagainya.

Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan Mustafa yang

menunjukkan prevalensi asma di daerah padat dengan jumlah polusi serta

banyaknya pengguna kendaraan bermotor relative lebih tinggi

dibandingkan dengan daerah lain. Sedangkan faktor yang tidak dapat


11

dikendalikan merupakan faktor genetik yang berkaitan dengan riwayat

asma yang diturunkan dan keluarga.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Zulfikar, terdapat

hubungan yang signifikan antara prevalensi asma dan bersin, atopi serta

riwayat asma pada keluarga. Jenis kelamin juga merupakan salah satu

faktor risiko asma. Berdasarkan beberapa penelitian, ditemukan bahwa

pada usia anak – anak penderita asma lebih banyak pada anak laki – laki

dari pada perempuan, kemudian menjelang dewasa hingga masa

menopause menjadi berbalik yaitu prevalensi asma lebih banyak

ditentukan pada perempuan dari pada laki – laki.

2.2.4 Manifestasi Klinis Asma

Penyakit asma ditandai dengan gejala episodic berulang berupa

mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat di dada yang bervariasi setiap

individunya dalam tingkat kepatuhun dan frekuensi. Pada asma alergi,

gejala dapat disertai dengan pilek atau bersin dan sering berhubungan

dengan pajanan alergen. Penyakit asma bersifat fluktuatif (hilang timbul)

artinya dapat tenang tanpa gejala dan tidak mengganggu aktifitas tetapi

dapat pula eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat bahkan dapat

menimbulkan kematian.

Pada awalnya batuk pada asma tidak disertai secret, namun pada

perkembangan selanjutnya dapat ditemukan sekret baik yang mukoid,

putih dan terkadang purulent. Sebagian kecil penderita asma hanya

mengalami batuk tanpa menghilang disebut dengan cough variant


12

asthma. Gejala asma sering dijumpai pada malam hari, namun tidak

menutup kemungkinan serangan terjadi di sembarang waktu.

2.2.5 Patofisiologi Asma

Asma merupakan penyakit paru yang ditandai dengan obstruksi

saluran napas reversible (dengan atau tanpa pengobatan), inflamasi

saluran napas serta peningkatan respons saluran napas terhadap berbagai

rangsangan.

Obstruksi saluran napas pada asma disebabkan oleh sumbatan mukus,

spasme otot bronkus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Selama

ekspirasi, saluran napas menyempit yang mengakibatkan obstruksi yang

semakin bertambah berat saat fase tersebut. Hal ini menyebabkan udara

pada bagian distal tidak dapat dikeluarkan dengan maksimal yang

selanjutnya mengakibatkan peningkatan volume residu, kapasitas residu

fungsional (KRF) dan penderita akan mulai bernapas pada volume

mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan ini bertujuan untuk

mempertahankan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas

berlangsung dengan normal yang memerlukan otot – ototbantu napas

untuk mempertahankan.

Obstruksi saluran napas dapat terjadi pada saluran napas kecil,sedang,

ataupun besar. Bila terjadi obstruksi pada saluran yang besar, maka

gejala yang muncul adalah mengi. Sedangkan obstruksi pada saluran

napas yang lebih kecil akan menunjukkan gejala batuk dan sesak napas

yang lebih mencolok dibandingkan dengan mengi.


13

Pada asma penyempitan saluran napas tidak merata di seluruh bagian

paru, dimana terdapat daerah – daerah yang kurang mendapatkan

pasokan oksigen yang mengakibatkan daerah tersebut menjadi

hipiksemia. Untuk mengatasi, tubuh melakukan kompensasi berupa

hiperventilasi yang bertujuan agar kebutuhan oksigen (O2) terpenuhi.

Mekanisme kompensasi mengakibatkan pengeluaran karbon dioksida

(CO2) yang berlebihan sehingga tekanan parsial CO2(PaCO2) ikut

menurun. Jika terus berlanjut, maka akan mengakibatkan alkalosis

respiratorik.(22)

Serangan asma yang lebih berat menunjukkan banyak saluran napas

dan alveolus yang tertutup oleh mukus yang tidak memungkinkan untuk

terjadinya pertukaran gas pada paru. Dalam hal ini terjadi peningkatan

produksi CO2 yang diikuti dengan penurunan ventilasi alveolus yang

dapat menyebabkan hiperkapnia akibat retensi CO2 dan terjadinya

asidosis resporatorik atau gagal napas.

2.2.6 PenatalaksaanAsma

Tatalaksana medis asma antara lain mencakup beberapa hal penting

yaitu kontrol lingkungan, terapi farmakologi dan edukasi pasien,

termasuk untuk tatalaksana mandiri. Karena banyak anak dengan asma

mempunyai alergi lain, langkah untuk meminimalisasi paparan terhadap

allergen pencetus harus dilakukan.

Secara umum, penatalaksanaan asma dikelompokkan menjadi

penatalaksanaan asma akut (saat serangan) dan penatalaksanaan asma


14

jangka panjang. Serangan ikutan merupakan serangan episodik yang

memerlukan penanganan cepat dan sebaiknya dapat dilakukan sendiri

oleh penderita di rumah. Adapun obat – obat yang dapat digunakan yaitu

bronkodilator (2 agonis kerja cepat dan ipratropium bromida) dan

kortikosteroid sistemik yang disesuaikan dengan derajat serangan. Pada

serangan ringan dapat hanya menggunakan 2 agonis kerja cepat dalam

bentuk inhalan. Pada serangan sedang dapat diberi 2 agonis kerja cepat

dan kortikosteroid oral. Jika terjadi serangan yang berat, penderita

sebaiknya dirawat dan diberikan O2 dan cairan IV 2 agonis kerja cepat,

ipratropiumbromi dan inhalasi, kortikosteroid IV dan aminofilin IV

(bolus atau drip). Adrenalin subkulan dapat diberikan jika O2agonis kerja

cepat tidak tersedia.

Penatalaksanaan jangka panjang bertujuan untuk mengontrol dan

mencegah serangan asma. Prinsip pengobatan jangka panjang yaitu

edukasi, obat asma (pengontrol dan pelega) dan menjaga kebugaran.

2.3 Rhinitis Alergi

2.3.1 Definisi Rinitis Alergi

Rhinitis alergi adalah gejalah persensitifitas hidung yang diperantarai

oleh igE akibat mukosa hidung terpapa roleh allergen. Sedangkan apabila

gejala timbul tanpa ada kaitan dengan alergen, pencetus non infeksius

(misal: perubahan cuaca dan tekanan), paparan asap rokok dan

sebagainya dikatakan sebagai rhinitis non alergi.


15

Rninitis, dalam berbagai bentuknya dapat berpengaruh pada kualitas

hidup semua usia. Pada orang dewasa, rhinitis diakui menjadi alasan

untuk tidak masuk kerja, penurunan produktivitas, dan secara signifikan

menambah biaya pengeluaran untuk kesehatan. Walaupun demikian,

rhinitis sering tidak ditangani dalam pengaturan kesehatan karena tidak

menggambarkan kondisi yang mengancam jiwa.

2.3.2 Klasifikasi Rhinitis Alergi

Berdasarkan sifat berlangsungnya, dahulu rhinitis alergi

diklasifikasikan menjadi rhinitis alergi seasonal (musiman) dan rhinitis

alergi perennial (sepanjang tahun). Rhinitis alergi musiman biasanya

digunakan untuk negara yang memiliki 4 musim dengan alergen

penyebab utamanya adalah alergen diluar rumah. Sementara istilah

rhinitis sepanjang tahun menggambarkan rhinitis alergi yang terjadi

secara terus – menerus tanpa dipengaruhi oleh variasi musim yang dapat

disebabkan oleh alergen di dalam maupun di luar rumah.

Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA)

mengklasifikasikan rhinitis alergi berdasarkan durasi dan tingkat

keparahannya. Berdasarkan durasi, rhinitis alergi dibagi menjadi

intermiten dan persisten. Dikatakan intermiten jika gejala muncul kurang

dari 4 hari dalam seminggu atau kurang dari 4 minggu dan dikatakan

persisten jika gejala muncul lebih dari 4 hari dalam seminggu atau lebih

dari 4 minggu. Sedangkan berdasarkan tingkat keparahan, rhinitis alergi

dibagi menjadi rhinitis alergi ringan dan rhinitis alergi sedang – berat.
16

Sedang – berat jika minimal terdapat salah satu dari gejala

mengganggu (mengganggu tidur, mengganggu aktifitas sehari – hari,

mengganggu waktu luang dan waktu berolahraga, mengganggu sekolah

atau pekerjaan dan lain – lain) serta dikatakan ringan jika tidak terdapat

satupun dan gejala tersebut.

2.3.3 Etiologi dan Faktor Resiko Rhinitis Alergi

Serbuk sari, allergen dari hewan peliharaan tertentu (misalnya:

kucing), tungau, debu rumah dan jamur adalah penyebab umum dari

rhinitis alergi. Pada orang dewasa yang termasuk dalam faktor risiko

rhinitis adalah eksim dan riwayat atopi dalam keluarga. Sedangkan pada

anak – anak faktor risiko rhinitis alergi yaitu asap rokok yang terhirup

oleh ibu saat hamil dan kadar IgE yang tinggi di dalam darah.

Penelitian yang dilakukan Harsono mendapatkan beberapa faktor yang

diduga meningkatkan risiko rhinitis alergi, yaitu jenis kelamin, riwayat

atopi keluarga, peningkatan kadar IgE serum total, peningkatan jumlah

eosinophil dan uji tusuk kulit positif pada allergen makanan dan inhalan.

Berdasarkan penelitian tersebut disebutkan bahwa anak laki – laki

ditemukan lebih banyak menderita rhinitis alergi dibandingkan dengan

anak perempuan. Selain itu, polusi udara dalam ruangan, faktor gaya

hidup (kepemilikan hewan peliharaan, makanan bayi, infeksi pada masa

anak – anak, asupan gizi, ukuran keluarga, standar kebersihan, makanan,

vaksinasi, stres) dan kondisi sosial ekonomi, dikatakan sebagai faktor

predisposisi untuk sensitisasi alergi dan kemungkinan penyebab

peningkatan prevalensi.
17

2.3.4 Manifestasi Klinis Rhinitis Alergi

Gejala dari rhinitis adalah rinore, bersin – bersin, hidung tersumbat

dan rasa gatal pada hidung yang terkadang juga disertai rasa gatal pada

palatum dan faring. Post nasal drip, tinnitus, serta rasa penuh di telinga

yang dapat kembali dengan spontan atau dengan pengobatan.

Gejala pada mata juga sering kali ditemukan pada rhinitis alergi,

seperti gatal, mata berair. Serta kemerahan pada mata yang sangat

mengganggu penderitanya.

2.3.5 Patofisiologi Rhinitis Alergi

Reaksi alergi terjadi jika seseorang yang telah memproduksi IgE pada

suatu antigen (alergen) terpapar kembali dengan antigen yang sama. Pada

rhinitis terdiri dari 2 fase yaitu reaksi tipe cepat dan reaksi tipe lambat.

Gejala reaksi tipe cepat berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai

1 jam setelah, sedangkan gejala reaksi tipe lambat muncul 2 – 4 jam

dengan puncak 6 – 8 jam setelah pemaparan dan dapat berlangsung

sampai 24 – 48 jam.

Alergen seperti serbuk sari, tungau, bulu binatang dan lain – lain yang

terhirup diendapkan dalam mukosa hidung. Kemudian allergen tersebut

larut dan berdifusi kedalam epitel. Pada individu yang atopi akan mulai

untuk memproduksi IgE yang akan mengikat allergen spesifik dan

selanjutnya diikuti dengan degranulasi mastosit dan basofil yang

mengakibatkan terlepasnya mediator kimia terutama histamin yang akan

menimbulkan gejala pada saluran napas. Selain histamine, rhinitis alergi


18

diduga melibatkan pelepasan zat mediator lain berupa prostaglandin,

leukotriene, bradikinin dan berbagai sitokin. Mekanisme inilah yang

disebut sebagai reaksitipe cepat.

Histamin akan merangsang reseptor HI pada ujung saraf vidianus

yang akan mengakibatkan rasa gatal pada hidung dan bersin – bersin

serta merangsang mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter

Cellular Adhesion Molecule I (ICAMI). Histamin juga akan merangsang

kelenjar mukosa dan sel goblet untuk menghasilkan sekresi yang

berlebihan dan peningkatan permeabilitas kapilers ehingga timbul gejala

berupa rhinore. Pada rhinitis alergi juga terjadi gejala berupa hidung

tersumbat yang terjadi akibat vasodilatasi laring sinusoid.

Reaksi tipe cepat selanjutnya dapat diikuti dengan reaksi tipe lambat

yang ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti

eosinophil, limfosit, netrofil basofil dan mastosit di mukosa hidung serta

peningkatan sitokin dan ICAMI pada sekret hidung. Pada fase ini, gejala

juga dapat diperberat dengan allergen non spesifik seperti asap rokok,

bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang

tinggi.

2.3.6 Penatalaksanaan Rhinitis Alergi

Tatalaksana yang komprehensif pada rhinitis alergi meliputi

penghindaran allergen serta obat – obatan untuk mengurangi gejala dan

kekambuhan. Obat yang digunakan bergantung pada berat ringannya

penyakit. Adapun lini pertama terapi medika mentosa yang dipakai


19

adalah antihistamin H1 yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada

reseptor H-1 sel target. Anti histamine diabsorbsi secara oral dengan

cepat serta efektif mengatasi gejala alergi pada reaksi fase cepat seperti

rhinore, hidung gatal dan bersin, tetapi tidak efektif mengatasi gejala

hidung tersumbat pada reaksi fase lambat.

Obat golongan agonisadrenergic alfa dengan atau tanpa kombinasi

dengan antihistamin dapat dipakai untuk mengatasi hidung tersumbat.

Preparat kortikosteroid merupakan pilihan terakhir yang digunakan jika

gejala terutama hidung tersumbat akibat reaksi fuse lambat tidak dapat

diatasi lagi dengan menggunakan obat lain.

2.4 Hubungan Rhinitis Alergi dan Asma

Rhinitis alergi dan asma adalah penyakit peradangan saluran napas kronis

yang mempengaruhi sebagian besar populasi dan dalam beberapa dekade

terakhir ini semakin lazim ditemukan di berbagai belahan dunia.

Peningkatan prevalent ini juga terlihat di Italia yaitu didapatkan dan

populasi umum, sebanyak 25% menderita rhinitis dan 5% menderita asma.

Rhinitis dan asma sering kali berdampingan. Diperkirakan rhinitis

mempengaruhi 80% dari seluruh penderita asma dan 20 – 50% pasien dengan

rhinitis alergi dilaporkan terkena asma atau gejala seperti asma. Dalam

penelitian yang dilakukan secara longitudinal selama 10 tahun pada anak –

anak. Asma akhirnya ditemukan pada 19% dari anak – anak yang terdiagnosis

rhinitis alergi sebelumnya. Selain itu ditemukan pula asma dan rhinitis alergi

yang berkembang secara simultan pada 25% dari ukuran sampel. Sementara
20

penelitian yang dilakukan pada anak usia 13 – 14 di Jakarta Pusat oleh

Mustafa, didapatkan 83,8% anak yang memiliki riwayat asma juga memiliki

riwayat rhinitis 12 bulan terakhir. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang

bermakna antara riwayat mengi dengan riwayat rhinitis.

Selain bukti epidemiologi, beberapa laporan klinis menunjukkan hubungan

patofisiologi umum antara rhinitis alergi dan asma. Pada 1980-an para ahli

alergi mencatat bahwa tidak hanya pasien rhinitis alergi yang hipersensitif

terhadap metakolin yang memiliki risiko lebih besar terkena asma tetapi juga

dengan peningkatan reaktivitas bronkial yang berhubungan dengan serbuk sari.

Hal ini ditemukan dalam penelitian yang dipimpin oleh Ciprandi yang

menunjukkan bahwa sebagian besar pasien rhinitis alergi yang tidak terkena

asma menunjukkan peningkatan hipereaktivitas bronkus setelah diberi

metakolin. Cipandi juga melaporkan bahwa sekitar 2/3 pasien rhinitis alergi

menunjukkan perbaikan dari hasil uji bronkodilator.

Hipotesis United Airway Disease (UAD) mengemukakan bahwa rhinitis dan

asma adalah manifestasi dari proses inflamasi tunggal, yang menyebabkan

penyakit kedua saluran napas, atas dan bawah. Singkatnya, rhinitis adalah

gejala awal proses inflamasi tersebut yang lama – kelamaan menyebar hingga

saluran napas yang lebih bawah.

Kedua penyakit yang dimediasi oleh IgE ini dapat dipicu oleh allergen yang

sama, termasuk jamur, bulu binatang dan tungau debu rumah. Biasanya rhinitis

alergi terjadi sebelum timbulnya asma. Rhinitis merupakan faktor risiko yang
21

signifikan untuk kejadian asma. Tidak hanya intensitas, tetapi juga durasi

rhinitis berhubungan dengan perkembangan asma.

Dikemukakan beberapa mekanisme yang menjelaskan hubungan antara

asma dan rhinitis alergi, hidung, berdasarkan fungsi lokasi anatominya,

menghangatkan, menyaring dan melembabkan udara yang dihirup. Selain itu,

melalui berbagai kelenjar submukosa yang terletak di bagian hidung. Hidung

mampu membersihkan udara dengan melepaskan enzim anti bakteri.Dengan

adanya rhinitis alergi, fungsi hidung dapat sebagian atau seluruhnya hilang

yang memaksa pasien bernapas menggunakan mulut. Akibatnya selama

eksaserbasi rhinitis alergi, produk inflamasi dari saluran napas atas dapat

langsung teraspirasi ke saluran napas bahwa. Hal ini dapat mengakibatkan

asma.

Peradangan pada hidung dapat menyebabkan pelepasan sitokin lokal ke

dalam aliran darah, yang akhirnya menyebabkan bronkokonstriksi di saluran

napas bagian bawah, selain itu, refleks hidung – bronkus mungkin terjadi,

dimana terjadi perangsangan saraf sensorik aferen hidung akibat pelepasan

histamine dan bradikinin. Sinyal – sinyal kemudian berjalan menuju sistem

saraf dan mengaktifkan saraf vagus eferen yang mengakibatkan hiperaktivitas

otot polos.

Вам также может понравиться