Вы находитесь на странице: 1из 17

KEARIFAN LOKAL DALAM FILOSOFI PENATAAN LINGKUNGAN

MASYARAKAT ADAT DI MALUKU


Oleh : Revency Vania Rugebregt

Pendahuluan
Perubahan iklim global adalah dampak dari krisis lingkungan yang terjadi saat ini,
sehingga mengakibatkan bencana alam di mana-mana. Banjir, tanah longsor,
kenaikan permukaan air laut, pengendapan juga merupakan dampak krisis
lingkungan yang terjadi. Hal ini terjadi akibat dari ketidak pedulian manusia
terhadap lingkungannya. Kerusakan lingkungan ini bukan saja terjadi akibat
orang per orang saja dalam penebangan hutan secara liar, membuang sampah
tidak pada tempatnya dan lain sebagainya, namun juga di sebabkan akibat ulah
dari para pembuat kebijakan yang tidak jeli dan sadar lingkungan.
Padahal krisis lingkungan ini sendiri telah menjadi keprihatinan global, dan
menjadi tanggung jawab masyarakat dunia untuk menanggulangi krisis
lingkungan tersebut. Tanggung jawab di maksud tampak dalam program
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai representasi masyarakat dunia
yang secara tegas telah berupaya menanggulangi krisis ini dalam serangkaian
agenda KTT (Konfrensi Tingkat Tinggi) bumi, dan yang terakhir berlangsung di
Bali pada tahun 2010. Demikian pula dengan penetapan tanggal 22 April sebagai
hari bumi yang bertujuan mengingatkan masyarakat dunia akan pentingnya
peran bumi bagi keberlangsungan umat manusia dan seluruh kehidupan dunia
ini[2]. Namun kenyataannya ialah justru degradasi lingkungan semakin nampak
saja terjadi.
Memang kita semua sepakat bahwa pembangunan harus tetap dijalankan demi
kemakmuran masyarakat, tapi seharusnya dilaksanakan tidak lagi menggunakan
pendekatan kebutuhan namun memakai pendekatan Hak Asasi Manusia. Dalam
artian bahwa tidak serta merta atas nama pembangunan, hutan di tebang
sehingga fungsi hutan berubah, hak-hak masyarakat atas tanah dan lingkungan
alam di sekitarnya diabaikan sehingga akses terhadap sumberdaya oleh
masyarakat adat pun hilang dan lainnya. Akibatnya seperti yang terjadi sekarang
ini, krisis lingkungan terjadi di mana-mana akibat mengejar kepentingan ekonomi
semata.
Bodley mengatakan kegiatan pembangunan yang didominasi negara, bercorak
sentralistik, dan semata-mata diorientasikan untuk mengejar pertumbuhan
ekonomi pada akhirnya hanya menimbulkan korban-korban pembangunan
(victims of development).[3] Dan benar saja kata Bodley, pembangunan telah
memakan banyak korban termasuk menggusur serta mengabaikan variasi-variasi
kebudayaan lokal yang mencerminkan kearifan lingkungan (ecological wisdom)
masyarakat asli (indigenous people) dalam pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya alam. Penguasaan dan Pemanfaatan sumberdaya alam yang
banyak di dominasi oleh negara yang hanya mengejar kepentingan ekonomi
justru menjadi penyebab utama terjadinya degradasi lingkungan. Selain itu
penguasaan dan pemanfaatan lingkungan oleh negara yang sentralistik justru
menutup ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan
sumberdaya alam yang ada. Misalnya saja akses masyarakat terhadap hutan
sebagai sumber hidup juga akses masyarakat terhadap laut dan pesisir (contoh
pada masyarakat Paperu, Saparua) yang tentunya menggusur serta
mengabaikan nilai-nilai budaya local yang mencerminkan kearifan lingkungan
masyarakat asli dalam pemanfaatan sumberdaya alam.
Kenyataan di lapangan ialah sampai dengan saat ini masih banyak terdapat
masyarakat asli atau masyarakat hukum adat dengan kapasitas budaya, sistem
pengetahuan dan teknologi, religi, tradisi, serta modal social seperti etika dan
kearifan lingkungan, norma-norma dan institusi hukum untuk mengelola
sumberdaya alam secara bijaksana dan berkelanjutan.
Di Maluku, dimana daerah-daerahnya masih banyak terdapat masyarakat hukum
adat, terdapat kearifan local budaya yang sangat kental dalam pengelolaan
sumberdaya alamnya terutama yang berbasis lingkungan. Budaya sasi, yang
masih terpelihara sampai dengan saat ini adalah salah satu wujud nyata
pengelolaan sumberdaya alam berbasis lingkungan. Selain itu perilaku-perilaku
masyarakat adat yang masih terpelihara sampai dengan saat ini pun masih
Nampak. Di Negeri Ihamahu misalnya ataupun di beberapa wilayah hukum adat
lain di Maluku, dalam mengambil hasil hutan contohnya sagu, untuk menebang
satu pohon sagu yang menebang pohon di wajibkan untuk menggantinya dengan
menanam 10 anakan sagu. Selanjutnya dilarang orang membuat keributan di
hutan pada saat pohon sedang berbunga, karena menurut masyarakat setempat
hal tersebut akan mengganggu proses pembuahan dan bunga akan berguguran,
dsb[4]. Hal ini menandakan betapa masyarakat adat sudah sangat menyatu
dengan alamnya sehingga mereka menghargai alam seperti halnya mereka
menghargai diri mereka sendiri.
Kapasitas budaya seperti dikemukakan di atas merupakan modal sosial yang tak
ternilai dan wajib diperhitungkan dalam rangka mewujudkan pembangunan yang
berkelanjutan (sustainable development). Dalam konteks pengelolaan sumber
daya hutan dan sumberdaya laut, modal sosial dalam wujud etika, religi, kearifan
lingkungan, dan norma-norma hukum lokal (folk/customary/ adat law) merupakan
kekayaan budaya yang harus diperhitungkan, didayagunakan, dan diakomodasi
dalam pembuatan kebijakan dan pembentukan hukum negara (state law)
mengenai pengelolaan sumber daya alam.
Berdasarkan pemikiran demikian, maka yang perlu dibahas adalah,
bagaimanakah kearifan lokal dalam filosofi penataan lingkungan masyarakat adat
di Maluku.
Pembahasan
1. Pengertian Kearifan Lokal
Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata:
kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M.
Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan)
sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan
setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang
bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh
anggota masyarakatnya[5]. Kearifan lokal itu terdapat dalam masyarakat,
komunitas, dan individu. Dengan demikian kearifan lokal merupakan pandangan
dan pengetahuan tradisional yang menjadi acuan dalam berperilaku dan telah
dipraktikkan secara turun-temurun untuk memenuhi kebutuhan dan tantangan
dalam kehidupan suatu masyarakat. Kearifan lokal berfungsi dan bermakna
dalam masyarakat baik dalam pelestarian sumber daya alam dan manusia, adat
dan budaya, serta bermanfaat untuk kehidupan.
2. Penataan Lingkungan
Kearifan lokal masyarakat adat ada dalam pengelolaan sumberdaya alam
mengandung nilai-nilai kebaikan dan kebijaksanaan. Selalu ada keseimbangan
antara manusia dan alam sekitarnya. Tidaklah heran jika lingkungan terpelihara
dengan baik. Namun, sangat di sayangkan akibat moderenisasi dan adanya
pembangunan, lingkungan mulai tercemar akan menimbulkan dampak negatif.
Padahal masyarakat adat dengan kearifannya sudah menjaga lingkungan hidup
itu hingga terpelihara.
Istilah Lingkungan Hidup, dalam bahasa Inggris disebut dengan “environment”,
dalam bahasa Belanda disebut dengan “milieu”, atau dalam bahasa Perancis
disebut dengan “I’environment”[6] ada beberapa rumusan mengenai pengertian
Lingkungan Hidup, “Secara umum Lingkungan Hidup diartikan sebagai segala
benda, kondisi, keadaan dan pengaruh yang terdapat dalam ruangan yang kita
tempati, dan mempengaruhi hal yang hidup termasuk kehidupan manusia. Batas
ruang lingkungan menurut pengertian ini sangat luas, namun untuk praktisnya di
batasi ruang lingkungan dengan faktor-faktor yang dapat di jangkau oleh
manusia seperti faktor alam, faktor politik, faktor ekonomi, faktor sosial dan lain-
lain.”[7]
Munadjat Danusaputro sebagaimana dikutip oleh Siahaan[8], memberikan
pengertian bahwa “Lingkungan Hidup adalah semua benda dan daya serta
kondisi termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya yang terdapat
dalam ruang di mana manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup
lainnya. Dengan demikian tercukup segi lingkungan fisik dan segi lingkungan
budaya”.
Selanjutnya Otto Soemarwoto berpendapat pengertian “Lingkungan Hidup
adalah jumlah semua benda dan kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati
yang mempengaruhi kehidupan kita”.[9]
Menurut pengertian yuridis, Lingkungan Hidup dalam Bab I Ketentuan Umum
Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah “Kesatuan ruang dengan semua
benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan prilakunya,
yang mempengaruhi alam itu sendiri kelangsungan perikehidupan dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain”. Lingkungan hidup merupakan
bagian yang mutlak dari kehidupan setiap manusia dan makhluk lainnya, oleh
karena itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan terhadapnya. Pasal 1
angka 2 Bab I Ketentuan Umum UUPPLH memberikan pengertian bahwa
“Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan
terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan
mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang
meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan
dan penegakan hukum”. Untuk itu perlu penataan lingkungan hidup agar
lingkungan tetap lestari dan berkesinambungan. Penataan lingkungan sendiri
merupakan proses pengelompokan, pemanfaatan, dan pengendalian lingkungan
hidup sesuai dengan potensi dan fungsinya.
Konsep penataan lingkungan secara global berarti mencakup satu kesatuan
wilayah. Menurut Setyo Moersidik (Dosen Paskasarjana UI) kunci penataan
lingkungan hidup untuk menjamin keberlanjutan fungsi lingkungan hidup adalah
pengelolaan lingkungan hidup. Prinsip penataan berhubungan erat dengan
konservasi Sumber Daya Alam, Sumber Daya Manusia, dan sumber daya alam
lainnya.[10] Menurut UU.No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang
dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia
dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan
perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Dalam 5 tahun terakhir, propinsi Maluku, khususnya kota Ambon pembangunan
yang dilaksanakan cukup signifikan. Pembenahan infrastruktur di mana-mana
oleh pemerintah daerah merupakan langkah maju dalam menghadapi berbagai
tantangan pembangunan. Namun pembangunan itu tidak dilakukan dengan
pemikiran yang matang. Para pembuat kebijakan pun seolah tidak sadar dengan
apa yang dilakukan. Contoh konkrit kebijakan yang teledor oleh pemerintah
adalah dengan memberikan izin membangun kepada developer sebagai
pengembang perumahan Bukit Lateri Indah yang mengakibatkan pencemaran
lingkungan. Pencemaran lingkungan yang terjadi berdampak pada kehidupan
ekosistem dalam hal ini pengembangan hutan bakau yang telah dikelola puluhan
tahun dan juga berdampak pada kehidupan masyarakat pesisir yang berada
disepanjang garis pantai wilayah tersebut. Bukan saja dampak terjadi pada
kelangsungan hidup hutan bakau tetapi juga terhadap kehidupan masyarakat
yang berprofesi sebagai nelayan yang berada pada lokasi tersebut.
Ketidakberdayaan masyarakat dalam memerangi praktek-praktek pengrusakan
lingkungan oleh pihak developer bukan saja karena ketidak pedulian developer
tetapi juga karena lemahnya kinerja dari badan pemerintah yang menangani
masalah ini serta lemahnya penegakan hukum terhadap kasus ini. Hasil
kunjungan Komisi DPRD bersama Dinas Pekerjaan Umum Maluku, Bappeda dan
Bapedalda Maluku serta Koalisi Peduli Lingkungan Hidup (Marinyo, 25 Januari
2007) memperlihatkan telah terjadi kerusakan alam dilokasi tersebut. Sedimen
yang terjadi akibat penggusuran tanah disekitar lokasi tersebut, telah
mengakibatkan laboratorium alam yang ada di hutan bakau menjadi rusak dan
komponen pendukung lingkungan hidup di sekitar lokasi hutan bakau menjadi
punah[11].
Hal ini jelas memperlihatkan bagi kita bahwa pembangunan Perumahan oleh
Developer di Lateri sama sekali bertentangan dengan prinsip pembangunan
berkelanjutan yang merupakan hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio De
Janeiro, Brasil tahun 1992. Hasil konferensi tersebut memutuskan paradigma
pembangunan berkelanjutan diterima sebagai sebuah agenda politik
pembangunan untuk semua Negara di dunia.
Selain pembangunan perumahan tersebut di Bukit Lateri Indah ada pula
pembangunan perumahan lain di wilayah perbukitan untuk perumahan, seperti
Citra Land, Kemudian Pembangunan Mall Ambon City Center, Maluku City
Center yang sementara di bangun, Jembatan Merah Putih, Rumah Sakit
Internasional di wilayah pesisir tantui, belum lagi pembangunan Victoria Park
yang konon kabarnya berlantai lebih dari 16 lantai atau mungkin 45 lantai. Tidak
ada yang melarang semua kegiatan pembangunan tersebut sepanjang itu
bermanfaat bagi hidup orang banyak. Namun apakah bermanfaat bagi orang
banyak hanya di lihat dari segi ekonomi sajakah maka di sebut bermanfaat? Lalu
bagaimana dengan segi budaya, segi lingkungan hidup, dan segi lainnya. Yang
paling penting untuk di kaji dan direnungkan adalah apakah pembangunan yang
dilaksanakan telah benar-benar memenuhi semua standar, baik itu standar daya
dukung lingkungan dan daya tampung lingkungan, kemudian di lihat dari
penataan lingkungan apakah memang tempat dilakukan pembangunan benar-
benar di peruntukan sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (diatur dalam Undang-
undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang), serta apakah sudah
melakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) (seperti diamanatkan
undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup) dimana di dalamnya terkandung nilai-nilai : keterkaitan,
keseimbangan, dan keadilan.
Ada banyak tahapan dan proses yang harus dilakukan dalam pembangunan
khususnya yang memiliki dampak. Karena harus melaui mekanisme yang
panjang demi mendapatkan suatu hasil yang maksimal. Seperti dikatakan diatas
pembangunan gedung dan proyek pembangunan lainnya harus memenuhi
standar-standar kelayakan lingkungan seperti daya dukung lingkungan
lingkungan, yang menurut Undang - Undang no 23 tahun 1997, daya dukung
lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung
perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya.
Menurut Soemarwoto[12], daya dukung lingkungan pada hakekatnya adalah
daya dukung lingkungan alamiah, yaitu berdasarkan biomas tumbuhan dan
hewan yang dapat dikumpulkan dan ditangkap per satuan luas dan waktu di
daerah itu. Menurut Khanna[13] daya dukung lingkungan hidup terbagi menjadi 2
(dua) komponen, yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas
tampung limbah (assimilative capacity). Sedangkan menurut Lenzen[14]
kebutuhan hidup manusia dari lingkungan dapat dinyatakan dalam luas area
yang dibutuhkan untuk mendukung kehidupan manusia. Luas area untuk
mendukung kehidupan manusia ini disebut jejak ekologi (ecological footprint).
Lenzen juga menjelaskan bahwa untuk mengetahui tingkat keberlanjutan sumber
daya alam dan lingkungan, kebutuhan hidup manusia kemudian dibandingkan
dengan luas aktual lahan produktif. Perbandingan antara jejak ekologi dengan
luas aktual lahan produktif ini kemudian dihitung sebagai perbandingan antara
lahan tersedia dan lahan yang dibutuhkan. Carrying capacity atau daya dukung
lingkungan mengandung pengertian kemampuan suatu tempat dalam menunjang
kehidupan mahluk hidup secara optimum dalam periode waktu yang panjang.
Daya dukung lingkungan dapat pula diartikan kemampuan lingkungan
memberikan kehidupan organisme secara sejahtera dan lestari bagi penduduk
yang mendiami suatu kawasan.
Dari pengertian diatas muncul pertanyaan adalah apakah pembangunan
Jembatan Merah Putih misalnya, tidak berdampak pada teluk Ambon dan
sekitarnya baik itu terhadap kerusakan biota laut karena adanya penanaman
tiang pancang, struktur tanah akibat penggalian di muara kali Galala, yang bukan
tidak mungkin hal tersebut yang menyebabkan kenaikan permukaan air akibat
hujan yang menyebabkan banjir pada tanggal 1 Agustus 2012 lalu, meskipun
sampai dengan saat ini belum ada penelitian khusus tentang hal tersebut. Selain
itu sendimentasi yang sudah terjadi akibat pembangunan perumahan di
perbukitan ditambah dengan pembangunan jembatan, dan bangunan lain akan
semakin memperparah kerusakan ekosistem di wilayah kita. Selain itu laut tidak
di jadikan sebagai ibu/air susu seperti anggapan orang Lamalera (NTT) namun
sekarang laut sudah di jadikan tempat sampah raksasa.
Masih mengaju kepada daya dukung lingkungan definisi Daya Dukung
Lingkungan/ Carrying Capacity adalah :
- Jumlah organisme atau spesies khusus secara maksimum dan seimbang yang
dapat didukung oleh suatu lingkungan
- Jumlah penduduk maksimum yang dapat didukung oleh suatu lingkungan tanpa
merusak lingkungan tersebut
- Jumlah makhluk hidup yang dapat bertahan pada suatu lingkungan dalam
periode jangka panjang tampa membahayakan lingkungan tersebut
- Jumlah populasi maksimum dari organisme khusus yang dapat didukung oleh
suatu lingkungan tanpa merusak lingkungan tersebut
Rata-rata kepadatan suatu populasi atau ukuran populasi dari suatu kelompok
manusia dibawah angka yang diperkirakan akan meningkat, dan diatas angka
yang diperkirakan untuk menurun disebabkan oleh kekurangan sumber daya.
Kapasitas pembawa akan berbeda untuk tiap kelompok manusia dalam sebuah
lingkungan tempat tinggal, disebabkan oleh jenis makanan, tempat tinggal, dan
kondisi sosial dari masing-masing lingkungan tempat tinggal tersebut.[15]
Secara kasat mata pembangunan gedung, hotel, mall, jembatan, juga
perumahan telah memberikan kontribusi besar terhadap pencemaran dan
kerusakan lingkungan. Pada tahun 1999 – 2000 kita masih melihat di dalam teluk
Ambon para nelayan dari Negeri Rumah Tiga, Galala, Lateri, Latta, dan negeri
lain sekitar yang saling bertemu di tengah teluk untuk mengail ikan di kala terlihat
dari daratan banyak sekali ikan yang berkerumun (istilah awam ikan maniso).
Namun setelah itu jarang lagi terlihat.[16]
Kawasan lingkungan laut dan pesisir yang tadinya merupakan tempat sumber
mata pencarian nelayan sekitar menjadi rusak. Nelayan tradisional yang tadinya
dapat mencari ikan di dalam teluk sudah tidak dapat lagi melakukan segala
aktifitasnya. Hanya jasa perahu ojek lintasan Poka-Galala yang masih Nampak
berlalu lalang. Sayangnya aktifitas itupun terancam berhenti karena adanya
pembangunan jembatan merah putih dan nasib para tukang perahu itu tidak jelas
nantinya.
Melihat perkembangan tersebut diatas, tidaklah berlebihan jika penulis
mengatakan bahwa Pemerintah propinsi Maluku maupun pemerintah kabupatan
dan kota belum memiliki sense berwawasan lingkungan. Mungkin walikota
sekarang ini Richard Louhenapessy melakukan suatu gebrakan dengan program
Jjumpa Berlian, tapi itu bukan solusi utama. Karena sepanjang kebijakan
pembangunan hanya mengejar nilai ekonomi dan mengabaikan nilai lainnya
daerah tidak akan pernah mengalami kemajuan. Selain itu karakter pemimpin
yang berwawasan lingkungan juga sangat minim. Padahal, setiap pembuat
kebijakan termasuk pemimpin daerah harus mempunyai pengetahuan yang
berwawasan lingkungan, sehingga kebijakannya memiliki sensifitas terhadap
lingkungan. Bukan tidak mungkin terjadi karena mantan walikota kita terdahulu,
Decky Wattimena, adalah salah satu walikota yang membawa kota Ambon
mendapat penghargaan Adipura, bukan saja karena kebijakannya di balik meja,
namun juga karena pengetahuannya tentang lingkungan, sensibilitasnya
terhadap lingkungan sehingga terbangun dalam karakternya. Hasil wawancara
penulis dengan beberapa tokoh generasi tua yang tinggal di sepanjang pesisir
mengatakan bahwa : hampir setiap hari beliau (mantan walikota Ambon Decky
Wattimena) patroli pagi melihat apakah masyarakat membuang sampah ke laut
ataukah tidak karena jika kedapatan akan mendapat sanksi. Begitu pula cerita
tentang pertokoan sepanjang jalan A.Y. Patty, yang pemiliknya akan di beri
sanksi tidak boleh membuka tokonya selama 1 minggu jika depan tokohnya
banyak sampah. Belum lagi larangan untuk mendirikan bangunan lebih dari 6
lantai. Selain itu, di beberapa lokasi di pasang tanda-tanda larangan yang
menyatakan bahwa daerah tersebut merupakan daerah konservasi dll. Ini
merupakan kisah seorang pemimpin daerah yang berwawasan lingkungan.
Standar lain yang harus di lakukan dalam penataan lingkungan adalah
penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang di dalamnya
terkandung nilai : Keterkaitan (interdependencies) digunakan sebagai nilai
penting dalam KLHS dengan maksud agar dalam penyelenggaraan KLHS
mempertimbangkan keterkaitan antara satu komponen dengan komponen lain,
antara satu unsur dengan unsur lain, atau antara satu variabel biofisik dengan
variabel biologi, atau keterkaitan antara lokal dan global, keterkaitan antar sektor,
antar daerah, dan seterusnya. Dengan membangun pertautan tersebut maka
KLHS dapat diselenggarakan secara komprehensif atau holistik. Kemudian
dalam nilai Keseimbangan (equilibrium) digunakan sebagai nilai penting dalam
KLHS dengan maksud agar penyelenggaraan KLHS senantiasa dijiwai atau
dipandu oleh nilai-nilai keseimbangan seperti keseimbangan antara kepentingan
sosial ekonomi dengan kepentingan lingkungan hidup, keseimbangan antara
kepentingan jangka pendek dan jangka panjang, keseimbangan kepentingan
pembangunan pusat dan daerah, dan lain sebagainya. Implikasinya, forum-forum
untuk identifikasi dan pemetaan kedalaman kepentingan para pihak menjadi
salah satu proses dan metode yang penting digunakan dalam KLHS. Sedangkan
nilai Keadilan (justice) digunakan sebagai nilai penting dengan maksud agar
melalui KLHS dapat dihasilkan kebijakan, rencana dan program yang tidak
mengakibatkan marginalisasi sekelompok atau golongan masyarakat tertentu
karena adanya pembatasan akses dan kontrol terhadap sumber- sumber alam
atau modal atau pengetahuan. Dengan mengaplikasikan nilai keterkaitan dalam
KLHS diharapkan dapat dihasilkan kebijakan, rencana atau program yang
mempertimbangkan keterkaitan antar sektor, wilayah, dan global-lokal. Pada
aras yang lebih mikro, yakni proses KLHS, keterkaitan juga mengandung makna
dihasilkannya KLHS yang bersifat holistik berkat adanya keterkaitan analisis
antar komponen fisik-kimia, biologi dan sosial ekonomi.
Katakanlah bahwa pemerintah sangat bijak mengeluarkan UU Nomor 32 tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup yang mana
menghendaki adanya berbagai kajian yang bertumbu pada nilai-nilai keterkaitan,
keseimbangan dan nilai keadilan. Seharusnya dapat diintergrasi segala nilai
tersebut dan menjadi satuu harmoni dengan kearifan local masyarakat adat
dalam pengelolaan lingkungan. Diuraikan di atas bahwa kearifan local
masyarakat selalu bertumpu pada keseimbangan antara manusia dengan
alamnya. Hal ini selaras dengan Kajian Lingkungan Hidup strategis (KLHS). Ini,
yang mengsiyaratkan bahwa dalam program pembangunan harus juga memuat
nilai-nilai kearifan local yang terkandung dalam masyarakat, baik terhadap
pengelolaan sumberdaya alam, penataan ruang hidup, dll agar terjadi
keseimbangan dengan tidak mengabaikan hak manusia akan lingkungan.
Terbukti bahwa selama ribuan tahun kearifan local telah mampu menjaga
kelestarian dan kesinambungan lingkungan yang merupakan warisan bagi anak
cucu. Kita membutuhkan pembangunan untuk kemajuan namun, pembangunan
yang tepat bukan berarti menghilangkan adat istiadat atau menghilangkan
kekayaan budaya pada suatu daerah, tapi sebenarnya, memajukan potensi dan
kekayaan yang ada pada daerah tersebut. Sebab, jika pembangunan malah
menghilangkan adat istiadat, maka bisa dipastikan bahwa bangsa tersbut akan
kehilangan jati dirinya.
Kearifan Lokal Masyarakat Adat Maluku dan Filosofi Penataan Lingkungan
terhadap Pengelolaan Sumberdaya Alam.
Sangatlah penting memaknai kembali filosofi kearifan local masyarakat adat
dalam pengelolaan sumberdaya alam ataupun lingkungan. Karena disaat
teknologi tinggi tidak dapat memecahkan solusi pencemaran lingkungan dan
akibat pembangunan lainnya, ternyata masyarakat adat dengan kearifan
budayanya dapat menjadi solusi. Ketika masyarakat modern bingung hendak
menggunakan teknologi apa yang ramah lingkungan ternyata solusinya ada pada
kearifan local masyarakat adat, di mana kearifan local itupun tidak menimbulkan
konflik. Di Jepang pun pola pengelolaan sumberdaya laut oleh pemerintah sudah
di serahkan kepada masyarakat untuk mengelola, demikian pun di salah satu
wilayah di Australia. Dan pemerintah hanya menjadi fasilitator dan mediator
untuk melindungi hak masyarakat tersebut. Hal senada seharusnya di ikuti oleh
bangsa Indonesia yang selalu bangga dengan budaya yang beraneka ragam. Di
Maluku pun tradisi pengelolaan sumberdaya alam dengan sense pro lingkungan
sudah di perlihatkan oleh masyarakat adatnya. Dengan struktur masyarakat
adatnya serta sistem pengetahuan yang di miliki menjadi sumber kekuatan dalam
menjalankan tradisi leluhur.
Dalam struktur masyarakat adat Maluku, sebelum kedatangan bangsa Belanda
telah dikenal dua kelompok besar masyarakat, yakni yang disebut dengan (a)
ULI SIWA dan (b) ULI LIMA. Sedangkan susunan masyarakatnya berdasarkan
GENEOLOGIS-TERITORIAL, yakni ikatan sedarah dan sewilayah. Umumnya
tempat pemukiman dari suatu luma tau disebut uku yang meliputi aman atau
hena serta dipimpin oleh seorang upu. Uku atau juga kampung yang letaknya
berdekatan membentuk suatu persekutuan yang disebut uli, walaupun
merupakan jenis uli yang terendah, namun memiliki fungsi kemasyarakatan yang
lebih nyata. Jenis uli ini dipimpin oleh seorang upu latu dan dibantu oleh seroang
kepala soa (pimpinan luma tau), kapitan (panglima perang). Negeri yang
tergolong uli siwa maupun uli lima memiliki persamaan adat dalam hal tertentu
dan sangat menjunjung tinggi ikatan persaudaraan[17].
Penggunaan istilah untuk desa atau negeri berasal dari bahasa Belanda, yakni
negorij (negeri). Negeri ini dipimpin oleh seseorang yang bergelar latu yang oleh
Belanda diganti dengan gelar raja, patti atau orang kaya.
Dalam segala aktifitasnya masyarakat adat Maluku masih tetap mempertahankan
adatnya yang telah diwariskan turun temurun. Mereka beranggapan bahwa adat
diturunkan oleh leluhur yang mendirikan persekutuan negeri adat (aman, hena,)
dan mereka berharap agar adat dapat dijalankan sebagai satu-satunya
pegangan hidup. Negeri kemudian dijadikan sebagai persekutuan adat sendiri,
yakni suatu kelompok sosial yang dibatasi oleh suatu katerikatan bersama.
Dalam arti tertentu, dapat berdiri sendiri. Kewajiban anak negeri misalnya untuk
tunduk pada (aturan) adat, merupakan hal yang mendasar dan prinsipil,
teristimewa yang masih hidup di negeri-negeri di Lease dan Seram. Sebagai
suatu negeri adat, setiap negeri memiliki bangunan khusus yang disebut “baileo”
yakni sebagai tempat pertemuan semua unsur dalam masyarakat adat. Baileo
juga dijadikan sebagai “mikrocosmos”, yakni pertemuan adat anak negeri yang
bersifat komunal. Dapat pula dijadikan sebagai tempat peribadatan adat, di mana
setiap kegiatan atau upacara adat dilakukan dari “baileo”, karena itu pada
beberapa negeri terdapat jabatan khusus di dalam baileo.
Sistem pengetahuan tradisionil (asli) masih terasa dalam masyarakat adat di
Maluku hingga kini, di mana keterikatan terhadap alam yang merupakan
ekosistem tetap merupakan bagian dalam kehidupan masyarakat. Hal ini tampak
dari bentuk dan aktivitas perilaku pengolahan tanah yang masih menggunakan
teknologi tradisionil.
Bahwa alam masyarakat Maluku bersifat “kosmis”, yakni semuanya menjadi
suatu kesatuan. Manusia dalam pengertian kosmis adalah bagian dari alam, dan
tidak akan terpisah dari lapangan hidupnya. Tidak ada pemisahan antara dunia
lahir dan dunia gaib, sehingga diperlukan adanya perimbangan. Demikian juga
tidak ada pemisahan antara manusia dengan makluk-makluk lainnya.
Masyarakat adat di Maluku lebih memandang hukum adat sebagai aturan-aturan
yang telah diberikan oleh penguasa langit (upu lanito), penguasa bumi (ina ume)
atau batasan-batasan yang telah diatur oleh roh pelindung negeri (nitu aman).
Karena itu setiap gangguan terhadap perimbangan di atas dinyatakan sebagai
pelanggaran hukum dan petugas hukum wajib mengambil tindakan-tindakan
yang perlu[18].
Ada banyak kearifan lokal masyarakat adat di Maluku yang sampai sekarang
masih terjaga dan terpelihara serta tetap di gunakan dalam pengelolaan
sumberdaya alam yang tentunya tidak merusak lingkungan. Dengan filosofi yang
mereka miliki yang menganggap alam adalah bagian dari hidup mereka sehingga
dalam pengelolaannya harus ada keseimbangan. Pengelolaan sumberdaya alam
di laut misalnya.
Laut atau Lau bagi masyarakat di Provinsi Maluku Utara adalah sebagai tempat
untuk melangsungkan hidup. Laut adalah pemberian dari yang maha kuasa
dengan segala isinya. Laut bagi masyarakat setempat adalah tempat hidup
berbagai macam hasil yang perlu dijaga, karena akan memperpanjang hidup
mereka[19].
Masyarakat masih memegang teguh pesan leluhur mereka bahwa laut itu harus
dijaga. Menurut pandangan masyarakat, laut itu bagaikan seorang wanita, jadi
harus diperlakukan dengan baik dan dan lembut, karena kalau diperlakukan
secara kasar dan sembarangan, maka laut akan mengamuk dan mendatangkan
bencana.
Laut juga dipandang sebagai sarana komunikasi yang baik karena dapat
menghubungkan pulau dengan pulau. Laut juga dipandang sebagai tempat
keramat, sehingga untuk turun melaut dalam kegiatan untuk mencari nafkah
mereka harus melaksanakan mulai berkurang maka diadakan upacara “lalohi”
memohon kepada Allah untuk mendatangkan hasil yang melimpah.
Masyarakat setempat juga beranggapan bahwa antara mereka dengan ikan ada
mempunyai hubungan yang erat, misalnya ikan cakalang menurut pandangan
mereka adalah berasal dari seorang wanita, sehingga pada waktu menangkap
ikan Cakalang harus dilakukan dengan baik (yaitu harus dirayu bagaikan merayu
seorang wanita), karena kalau tidak dilakukan hal tersebut maka menurut
kepercayaan mereka, ikan akan lari meninggalkan mereka.
Dari pantun atau dola Bololo masyarakat di Provinsi Maluku Utara juga dapat
ditemukan pandangan masyarakat tentang laut. Seperti :
“Yau fomatai pasi moro-moro fo naku ise”
yang mempunyai makna :
Yau fo matai pasi = lautan itu tempat hidup kita
Moro-moro fo naku pasi = mari kita menjaganya bersama-sama
“Kangela fo hisa ngolo kore sebao magina”
Yang mempunyai makna :
Kangela fo hisa ngolo = meskipun susah bagaimanapun laut itu
Harus kita jaga.
Kore sebao angina = angin dan arus punya muatan, suatu
Pekerjaan harus dirancang secara matang.
Bagi masyarakat masyarakat hukum adat di Maluku Tengah, secara turun
temurun pelaksanaan ketentuan untuk melindungi petuanan laut antara
keseimbangan magis dalam lingkungan hidup terus dijalani, walaupun mereka
tidak mengetahui alasan-alasan yang tepat dari peraturan yang mereka jalankan.
Mereka lebih banyak melihat sebagai aturan yang telah diberikan oleh Upu
Lanito (penguasa langit), Ina Ume (penguasa bumi) ataupun batas-batas yang
telah diatur oleh Nitu aman (roh pelindung desa) dan Nitu Upu (pengawal roh
keluarga).[20]
Untuk menjaga keseimbangan antara manusia dengan sumberdaya alam dalam
hal ini sumberdaya alam laut dan pesisir di Kabupaten Maluku Tengah Provinsi
Maluku, dikenal kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam laut dan
pesisir yaitu berupa ketentuan yang berisi larangan untuk mengambil dan
mengelola sumberdaya alam laut dan pesisir selama jangka waktu tertentu yang
disebut sasi.
Masyarakat Kei (Kabupaten Maluku Tenggara), terutama yang berdiam di daerah
pesisir, tidak dapat dipisahkan dengan laut. Laut merupakan tempat bermata
pencaharian sebagai nelayan, disamping mereka umumnya adalah juga petani
atau peladang. Laut juga sebagai daerah lalu lintas antar desa, terutama bagi
rangkaian desa yang sarana dan prasarana lalu lintas daratnya belum memadai.
Laut seperti halnya darat merupakan milik Ohoy (desa)/ratschap. Petuanan Ohoy
atau Ratschap meliputi darat dan laut, sehingga disebut nuhu-met (nuhu= tanah;
met = daerah pasang surut di laut).
Pada hakekatnya dalam pandangan orang Kei, laut adalah juga darat atau tanah,
tetapi tanah atau bumi yang berair. Laut disebut tahait yang berisi ungkapan atau
pengertian nuhu met roa yang artinya tanah yang berair. Adapun darat disebut
nangan yang berisi ungkapan atau pengertian yut eris war, made ersai roan yang
artinya ikan yang mencicipi akar (di pantai) dan kuskus yang melompat-lompat di
hutan.
Dalam pandangan orang Kei, laut tidak dapat dipisahkan dengan darat demikian
pula sebaliknya. Keduanya merupakan belahan dari satu kesatuan. Masyarakat
berpergian dengan belang melalui laut, dan berpergian dengan berjalan kaki di
darat (belan en so, yet en wil). Laut dan darat dilambangkan sebagai laki-laki
sebab sewaktu-waktu dapat mengganas sedangkan darat dilambangkan sebagai
perempuan sebab tanah atau bumi di darat adalah lambang dari perempuan
yang sekaligus melambangkan ibu yang darinya manusia dilahirkan.[21]
Sejak jaman dahulu, laut telah merupakan daerah pokok pencaharian. Orang-
orang Kei dengan perahunya berlayar sampai ke Gorom di Seram Timur untuk
memperdagangkan atau mempertukarkan perahunya dengan budak atau benda-
benda lainnya; dengan perahu mereka berlayar mencari harta seperti lela, piring
dan sebagainya. Harta ini diperlukan salah satunya dan yang terpenting untuk
mas kawin, untuk memperoleh wanita[22].
Dalam kehidupan masyarakat adat Kei, laut sangat dekat dengan mereka.
Dahulu, mereka mendapat harta dengan mengerjakan perahu.
Berbicara mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam adat ataupun budaya
suatu suku bangsa di Negara Indonesia ini, maka salah satu hal mendasar yang
harus diingat dan tak bisa ditinggalkan yakni dalam nilai-nilai dimaksud
terkandung standar normative untuk berperilaku baik dalam hubungan dengan
kehidupan pribadi masing-masing anggota masyarakat maupun dalam
hubungannya dengan kehidupan sosial.
Di kabupaten Halmahera Utara ditemukan adanya adat Hibua Lamo, nilai-nilai
adat tersebut telah tercover seluruh tata krama bagi masyarakatnya yang sangat
penting bagi segala tingkah laku masyarakat secara komunal maupun individu.
Untuk melihat secara komprehensif nilai-nilai yang terkandung di dalam adat atau
budaya hibua lamo. Adapun pokok-pokok hibua lamo adalah sebagai berikut[23]:
1. Nilai Egaliter
Salah satu nilai dalam adat hibua lamo adalah egaliter dimana dapat dilihat dari
system kekerabatan dan juga dalam struktur masyarakatnya. Masyarakat hibua
lamo tidak mengenal adanya hirarki, karena dalam masyarakat adat hibua lamo
kedudukan masyarakatnya sama dan tidak ada perbedaan. Hal ini dapat dilihat
dalam sistem kepemimpinan dimana dalam sistem pemerintahan masyarakat
hibua lamo gelar Jiko Makowano (raja Teluk) tidak berdasarkan warisan tetapi
didasarkan pada pemilihan. Adapun sistem pemilihan Jiko Makowano dikenal
dengan istilah O Higaro (saling mengajak dan saling menguji calon pemimpin)
dalam pelaksanaannya yakni, sejumlah tokoh-tokoh adat dari masing-masing
Hoana berkumpul di hibua lamo dan menentukan calon dan kemudian diuji
kemampuannya baik dalam pengetahuan maupun kehebatannya sebagai
seorang ksatria. Orang yang terpilih adalah orang yang benar-benar tahan uji
dan yang terbaik serta dapat dijadikan teladan bagi masyarakat secara umum.
Dalam filosofi hibua lamo terdapat 5 (lima) anasir utama yang saling terkait, yaitu
: Pertama, O Dara, dapat diartikan dengan kasih, yakni kasih terhadap sesame
manusia maupun antara individu dengan masyarakat. Nilai ini tercermin dalam
praktek hidup keseharian dimana melalui kebiasaan membagi-bagi habis rejeki
(hasil tangkapan di laut maupun buruan).
Kedua, O Hayangi, maknanya sama dengan kata “sayang” yang artinya lebih
dekat dengan pengertian tolong menolong, serta saling menjaga perasaan dan
tidak saling menyakiti. Wujud dari O hayangi dapat dilihat pada saat adanya
orang sakit maupun meninggal dunia dimana masyarakat akan bahu-membahu
untuk meringankan penderitaan ataupun dukacita dari keluarga yang ditimpa
kemalangan.
Ketiga, O baliara, dapat diartikan dengan “pelihara” yang mengandung
pengertian saling peduli, saling menopang atau menunjang, saling melayani
dalam rangka mewujudkan suasana kehidupan bersama yang makmur, aman
dan damai.
Keempat, O adili, artinya keadilan yang didalamnya mengandung makna
kesetaraan derajat, harkat dan martabat, keseimbangan hak dan kewajiban di
depan aturan-aturan normative yang diakui dan diterima sebagai hukum adat.
Perbuatan seperti kecurangan, penipuan dan perbuatan lainnya yang melanggar
norma adat dianggap sebagai wujud ketidak adilan yang harus dipulihkan
kembali karena mengganggu keseimbangan yang selalu terpelihara dengan
baik.
2. Nilai gotong royong
Suatu tinjauan kerjasama berdasarkan perspektif hukum adat, Ter Haar
membedakan antara ordeling hulpbetoon dengan woderkering hulpbetoon.
Mengenai hal ini dinyatakan bahwa ordeling hulpbetoon wajib dilakukan dan
secara langsung didasarkan pada aturan hukum adat, dan tidak didasarkan pada
prestasi dimasa kini atau masa yang akan datang. Sedangkan wederkering
hulpbetoon ada, misalnya terjadi tolong menolong kalau ada orang membuka
tanah milik yang sebelumnya telah dipilih. Dengan demikian maka kerukunan
ataupun gotong royong merupakan suatu proses interaksi sosial dalam suatu
komunitas baik antar individu maupun secara komunal yang bersifat tradisional.
3. Nilai demokratis
Implementasi dari nilai demokratis dalam adat hibua lamo yang merupakan
wujud dari O adili sampai saat ini masig terlihat dalam proses penyelesaian
masalah. Ketika terjadi masalah keluarga dalam masyarakat adat hibua lamo
para ketua-ketua adat atau pemangku adat di tiap-tiap Kampong (desa) masih
memiliki peran penting dalam penyelesaian masalah dimaksud dan keputusan
yang mereka ambil masih diakui oleh masyarakat.
4. Nilai religius
Salah satu nilai yang paling mendasar dalam adat hibua lamo yakni religius
sebab segala perilaku serta tindakan manusia selalu dihubungkan dengan
dengan kuasa yang tertinggi (supra natural) di luar manusia.
Alam pikiran masyarakat Kabupaten Maluku Tengah bersifat cosmis meliputi
segala-galanya sebagai satu kesatuan. Manusia menurut aliran pikiran kosmis
adalah bagian dari alam, tidak ada pemisah dari berbagai lapangan hidup, tidak
ada pembatasan dunia lahir dan gaib, tidak ada pemisah antara manusia dan
mahluk-mahluk lain. Segala sesuatu bercampur baur dan pengaruh
mempengaruhi. Dunia manusia adalah pertalian dengan segala hidup di dalam
alam.
Pandangan ini mempunyai pengaruh yang kuat dalam masyarakat tradisional
yang tercermin dalam hukum dan kebudayaan mereka. Yang paling utama dalam
masyarakat adalah adanya perimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib,
antara golongan manusia seluruhnya dan orang perorangan. Aturan-aturan adat
telah berkembang dalam kepercayaan penduduk asli dan diwariskan secara
turun-temurun.
Mereka lebih banyak melihatnya sebagai aturan-aturan yang telah dberikan oleh
penguasa langit (upu lanito), penguasan bumi (ina ume) ataupun batasan-
batasan yang telah diatur oleh roh pelindung desa (nitu aman) dan roh pengawal
keluarga (nitu uku). Segala perbuatan yang mengganggu keseimbangan tersebut
merupakan pelanggaran hukum dan petugas hukum wajib mengambil tindakan-
tindakan yang perlu guna memulihkan kembali keseimbangan hukum tersebut.
Bagi masyarakat persekutuan hukum adat pada Kabupaten Maluku Tengah,
pokok dari segala penyelenggaraan hukum ialah masyarakat persekutuan dan
penting tidaknya perorangan adalah tergantung dari fungsinya di dalam
persekutuan.
Raja sebagai kepala persekutuan memegang kepersekutuan memegang
kedudukan terpenting, oleh sebab itu Raja mendapat perlindungan hukum yang
paling besar.
Hukum adat tidak mengenal system pelanggaran hukum yang telah ditetapkan
lebih dahulu, dan tidak ada pemisah yang jelas antara lapangan hukum publik
dan privat.
Seluruh lapangan kehidupan masyarakat menjadi batu ujian perihal apa yang
dilarang dan apa yang dibolehkan. Mengganggu jalannya organisasi persekutuan
merupakan pelanggaran hukum yang berat. Sedangkan pelanggaran-
pelanggaran hukum yang merugikan kepentingan perorangan bersifat
pelanggaran ringan. Dengan demikian pelanggaran yang tidak langsung
mengganggu persekutuan maka petugas hukum (tua-tua adat) hanya dapat
bertindak apabila diminta oleh orang yang berkepentn ingan.
Putusan kepala adat khususnya yang mengganggu masyarakat persekutuan,
golongan atau pribadi guna memperbaiki hukum dianggap sebagai delik adat.
Delik adat lambat laun mendapat sifat tetap apabila terjadi perbuatan-perbuatan
serupa dan diputuskan oleh tua-tua adat dengan berpatokan pada putusan
pertama atau putusan sebelumnya.
Tiap perbuatan atau peristiwa dalam sistem adat dinilai dan dipertimbangkan
berdasar atas tata susunan persekutuan yang berlaku pada saat terjadinya
perbuatan atau peristiwa tersebut dapat yang tumbuh berkembang dan dipelihara
dalam masyarakat satu persekutuan maka terdapat juga ketentuan negeri (desa)
yang dilarang khususnya dikaitkan dengan sasi dalam bentuk tertulis, seperti
Reglement sasi negeri Paperu, Negeri Ema dan lain-lain.
Tanda-tanda larangan, ketentuan-ketentuan adat, petuah-petuah orang tua
diwariskan secara turun temurun dan tetap dipertahankan hingga kini. Di antara
larangan dan tanda-tanda tersebut yang masih dapat ditemui pada negeri-negeri
di Kabupaten Maluku Tengah yaitu :
o Sasi adalah suatu sistem pengetahuan pelestarian sumberdaya alam untuk
mencapai produksi maksimal baik itu hasil hutan, pertanian dan perairan.
o Matakau adalah suatu sistem perlindungan terhadap satu pohon atau tanaman
tertentu untuk melindungi hasilnya dari pengambilan sebelum waktunya.
o Selain itu masih terdapat banyak jenis-jenis hukuman/larangan atau
perlindungan seperti poso, pamali dan lain-lain.
Secara kumunal masyarakat Kei di Kabupaten Maluku Tenggara mempunyai
hukum yang sama yaitu hukum Larvul Ngabal, yang dikembangkan dan
dipertahankan serta diterapkan di masing-masing Ohoy (di Kabupaten Maluku
Tenggara digunakan istilah Ohoy untuk desa). Hukum ini secara umum berisikan
norma-norma yang meng-atur kesusilaan, hak milik, soal-soal kepercayaan,
kepemimpinan, criminal, juga mengatur larangan tentang pencurian, fitnah
termasuk juga pembunuhan. Apabila terdapat anggota masyarakat yang
melanggarnya, maka kepadanya dikenakan hukuman yang berat.
Ketentuan-ketentuan pokok yang ada pada hukum Larvul Ngabal tersebut
dijabarkan dalam tiga kelompok aturan hukum yaitu:
a. Hukum Hawear Balwirin;
b. Hukum Nev Nev, dan
c. Hukum Hangirit
Bagi masyarakat di Kepulauan Kei, kepemilikan atas wilayah darat maupun laut
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka, mengingat daratan atau yang
sering disebut “tanah” (nuhu), serta lautan merupakan tempat melakukan
berbagai aktivitas kehidupan sehari-hari.
Daratan atau “tanah” (nuhu) umumnya dimanfaatkan sebagai tempat
pemukiman, bercocok tanam dan mengembangkan berbagai potensi dan
aktivitas lainnya guna melangsungkan hidup, sedangkan “laut” dimanfaatkan
untuk kepentingan hidup sesehari.
Sama halnya dengnan beberapa daerah lainnya di Maluku, baik laut maupun
darat (tanah atau nuhu) dalam pandangan masyarakat Maluku Tenggara (Kei)
diakui kepemilikan secara komunal atau bersama melalui Ohoi atau juga
Kampung. Pandangan masyarakat di Kepulauan Kei melihat daratan atau tanah
demikian juga laut merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup
sesehari mereka. Keduanya merupakan suatu kesatuan.
Bagi masyarakat Kepulauan Kei, laut difungsikan sebagai sarana penghubung
antara satu Ohoi atau juga Kampung dengan Ohoi atau Kampung lainnya atau
antara Ratschap dengan menggunakan belang, dan melalui darat (tanah) dapat
juga dengan cara berjalan kaki (belan en so, vat en wil). Dalam pandangan
filosofis masyarakat Kei, laut sering dilambangkan sebagai laki-laki sebab
sewaktu-waktu ketika musim tertentu laut akan mengganas, sedangkan darat
(tanah atau nuhu) dilambangkan sebagai perempuan atau ibu yang melahirkan.
Menurut pandangan masyarakat tanah atau bumi harus dijaga karena memiliki
kekayaan yang dapat menghidupkan masyarakat.
Pandangan demikian tercermin dari falsafah dasar adat masyarakat Kei
sebagaimana tuturan para leluhur mereka yang berisikan nasehat bagi anak
cucu untuk kewajiban dimana mereka hidup, seperti:
1. Itdok fo ohoi itmian fo nuhu (jika mendiami atau menempati kampong di mana
kita hidup dan makan dari alam/tanahnya)
2. Itdok itdid kuwat dokwain itmivnon itdid mimiir/bermiir (kita menempati tempat
kita dan tetap menjinjit bagian kita)
3. Itwarnon afa ohoi nuhu enhov ni hukum adat (kita tetap memikul semua
kepentingan kampong kita dengan hukum adatnya)
4. Itwait teblo uban ruran (kita hidup sejujur-jujurnya dan tetap berjalan tegak
lurus)
5. ikbo hukum adat enfangnan enbatang haraang (dengan demikian, barulah
hukum adat akan melindungi kita)
6. Nit yamad ubudtaran, nusid teod erhoverbatang fangnan (sehingga leluhur pun
ikut menjaga dan melindungi kita)
7. Duad enfangnan wuk (dan Allah pun melindungi kita)
Terhadap nasihat para leluhur di atas, setidaknya terdapat tiga hal mendasar
yang mesti disikapi, yakni :
1. bahwa setiap anak cucu yang mendiami suatu tempat (Ohoi atau Kampung)
dapat makan dan hidup serta menikmati hasinya;
2. bahwa setiap anak cucu berkewajiban mentaati aturan hukum dan adat secara
jujur dan dilakukan secara turun temurun;
3. bahwa dengan melaksanakan hukum adat, para leluhur dan Allah akan
melindungi.
Bertolak dari pandangan filosofis demikian, maka pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya alam pada wilayah petuanan Ohoi atau juga Kampung dan atau
Ratschap di Kabupaten Maluku Tenggara mesti dilakukan secara rasional.
Berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam, masyarakat hukum adat Kei
dikenal hukum dalam pengelolaan sumberdaya alam yang berperan dalam
pelestarian maupun mencegah kerusakan lingkungan. Hukum tersebut oleh
masyarakat setempat disebut dengan istilah Yot (istilah di Kei Besar) atau Yutut
(istilah di Kei Kecil).
Yot/Yutut merupakan larangan yang bersifat melindungi sesuatu atau hasil
tertentu dan dalam batas waktu yang tertentu pula, dijalankan dengan tanda atau
lambing yang diketahui masyarakat, yaitu : (a) berupa anyaman daun kelapa
putih (muda) yang didirikan ditempat-tempat yang telah ditentukan. Tanda ini
disebut Hawear dan berlaku serta berkekuatan hukum secara umum; (b) Tetauw,
yaitu sepotong kayu yang didirikan dekat wilayah yang di Yot/Yutut, kurang lebih
30-50 cm, dimana ujungnya dipotong sebagai sebagai tanda untuk tidak
mengambil sumberdaya alam tersebut sampai tandanya diangkat; dan (c) Walut
atau Waut yaitu dibuat sebuah rumah kecil, ukurannya kurang lebih 100 x 50 x
50 cm, di dalam rumah itu didirikan sebuah batu atau sepotong kayu yang
dipotong dengan bentuknya sebagai manusia atau benda.
Pemberlakuan Yot/Yutut khususnya dengan tanda Hawear, yang merupakan
larangan, mempunyai kekuatan hukum secara adat atas masyarakat umum dan
pribadi. Bila larangan ini dilanggar, maka si pelanggar dikenakan sanksi yang
ditentukan dalam masyarakat Ohoy.
Kearifan Lokal Dalam Pembangunan Yang Berwawasan Lingkungan
Kekayaan sumberdaya alam Indonesia yang besar merupakan karunia Tuhan
Yang Maha Kuasa yang patut disyukuri sehingga pelaksanaan pengelolaannya
haruslah dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dan
dijaga kelestariannya. Dengan demikian maka pengelolaan semberdaya alam
harus dilakukan secara optimal dan berkelanjutan dengan tidak melampaui daya
dukung wilayah, sehingga tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup, dan
pemanfaatannya dapat diselenggarakan dalam jangka panjang.[24]
Pikiran cerdas yang dapat dilakukan dalam mengatasi degradasi lingkungan
adalah mengakomodasi kearifan lokal dalam pembangunan dengan menciptaka
pemikiran baru bagi semua pihak khususnya para pembuat kebijakan adalah
dengan konstitusi hijau (green constitution). Masyarakat adat dengan tradisi
budayanya meskipun lisan namun begitu memahami pentingnya lingkungan.
Budaya lisan yang meskipun tidak tertulis sudah seperti konstitusi bagi mereka
yang di pakai secara turun temurun bagi anak cucu. Tidaklah salah jika
masyarakat adat kita jauh lebih modern di bandingkan kita yang menyebut diri
modern tapi tidak dapat memahami arti lingkungan hijau itu seperti apa.
Padahal, degradasi lingkungan hidup di tengah gencarnya pembangunan yang
mengandalkan sumberdaya alam dalam beberapa dasawarsa terakhir
mendorong semua pihak untuk lebih peduli terhadap pentingnya perlindungan
daya dukung ekosistem[25]. UUD 1945 menurut Jimly Asshidiqin adalah
merupakan salah satu green constitution, karena secara spesifik dan jelas
mengakui hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang
terdapat pada pasal 28H UUD 1945. Pasal ini menyatakan bahwa ‘setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan. Cakupan pengakuan dalam pasal ini cukup luas karena berlaku pada
setiap elemen lingkungan hidup. (air, udara, tanah, ekosistem, dan lain-lain). [26]
Namun ironisnya pasal 33 ayat 3 yang menjadi acuan utama dari semua
kebijaksanaan pengelolaan sumberdaya alam, dalam konsep pembangunan
berwawasan lingkungan justru memberikan implikasi buruk. [27] Karena terlepas
dari tujuan pembentuk UUD 1945 dalam mencantumkan kata ‘dikuasai’, kata
tersebut dalam kenyataannya di gunakan untuk melegalisasikan kekuasaan
pemerintah. Kata tersebut juga kemudian diadopsi oleh peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan sumberdaya alam seperti tanah, hutan, tambang,
dan sumberdaya air. [28] Ternyata pasal ini sendiri tidak pro terhadap lingkungan
oleh para pengambil kebijakan sehingga harus ada penegasan.
Jimly Asshiddiqie mencoba memperkenalkan konstitusi hijau, yang meskipun
baru terdengar di Indonesia bahkan oleh para akademisi dan belum adapun satu
buku yang menulis tentang konstitusi hijau atau green constitution, namun Jimly
mencoba melihat green constitution ini dari prinsip kedaulatan. Konstitusi hijau ini
sudah terlihat dalam beberapa konstitusi negara-negara dunia seperti Portugal,
Spanyol, Polandia, Prancis, dan Ekuador. Menurut Jimly jika Kedaulatan Tuhan
dapat dikaitkan dengan doktrin Teokrasi, Kedaulatan Rakyat terkait dengan
Demokrasi , Kedaulatan Hukum terkait dengan Nomokrasi, konsep Kedaulatan
Raja terkait dengan Monarkhi, maka konsep Kedaulatan Lingkungan dapat kita
kaitkan dengan istilah Ekokrasi atau kekuasaan Ekologi[29]. Gagasan Ekokrasi
dan Kedaulatan Lingkungan tersebut menurut Jimly dapat dikembangkan dalam
konteks kekuasaan yang dikonstruksikan dalam mekanisme hubungan antara
Tuhan, Alam, dan Manusia. Dalam hubungannya dengan sistem kekuasaan
negara dapat dikatakan bahwa alam semesta juga harus di pandang merupakan
pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan. Jadi keselarasannya guna
keseimbangan adalah kedaulatan lingkungan itu sendiri, di mana lingkungan itu
sendiri memiliki Hak untuk tidak tercemar[30]. Hal ini mungkin lebih senanda
dengan pengetahuan masyarakat adat, sehingga dapat menjadi sebuah
harmonisasi dalam berkehidupan. Selain itu Sistem hukum yang komprehensif
dalam mendukung akses masyarakat untuk berpartisipasi pada proses
pengambilan keputusan di bidang lingkungan hidup tidak hanya mengakui hak
atas informasi dan partisipasi dalam konstitusi maupun peraturan perundang-
undangan saja. Namun juga harus memberikan kompensasi (redress) dalam
peraturan perundang-undangan ketika akses informasi, akses partisipasi, dan
hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat yang tidak diberikan kepada
public. Untuk itu aspek keadilan menjadi penting.[31]
Jika dikaji, pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan oleh masyarakat adat
tidak pernah mengakibatkan degradasi lingkungan malah sebaliknya terjadi
kesinambungan, karena meskipun dengan pemikiran yang sederhana namun
masyarakat adat bisa memiliki kearifan untuk tidak mengekspliotasi sumberdaya
alam secara berlebihan ataupun mereka telah menentukan batas-batas wilayah
mana yang boleh dieksploitasi dan mana yang tidak boleh dieksploitasi sebelum
waktunya tiba.
Dengan kata lain ialah masyarakat adat sudah memiliki sistem hukum sendiri dan
kearifan lokalnya sendiri dalam pengelolaan sumberdaya alam, dan sudah tentu
kebijakan pemerintah akan sangat berpengaruh pada masyarakat adat.

Penutup
Uraian diatas memberikan pemahaman mengenai paradigma pembangunan
nasional yang semata-mata diorientasikan mengejar pertumbuhan ekonomi dan
implikasinya terhadap pembangunan hukum di bidang pengelolaan sumber daya
alam dan dampak lingkungan hidup. Meskipun Undang-undang Dasar 1945
menurut Jimly Asshidiqi merupakan konstitusi bernuansa hijau (green
constitution) namun menurut penulis dalam pelaksanaannya tidak sehijau
tampilannya.
Pasal 33 UUD 1945 adalah dasar hak penguasaan Negara untuk mengatur
tentang dasar-dasar sistem perekonomian Negara, dengan tujuan untuk
kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Dan bukan sebagai justifikasi atas
tindakan sewenang-wenang Negara untuk mengambil alih semua hak
masyarakat untuk dikelola sendiri menurut kehendak pemerintah, namun
pemerintah hadir untuk mengatur dan memberikan perlindungan bagi warga
Negara untuk menjalankan hak dan kewajibannya secara berimbang. Negara
seharusnya hadir bagi rakyatnya sebagai penjamin hak, agar masyarakat
menjadi terlindungi.
Anutan ideologi sentralisme hukum (legal centralism) cenderung memarjinalisasi
modal sosial (social capital), yakni citra dan etika lingkungan, sistem religi, asas-
asas dan norma hukum adat yang mencerminkan kearifan lingkungan (ecological
wisdom) masyarakat lokal. Selain itu, pembangunan nasional juga
mendegradasikan modal sumber daya alam (ecological capital) akibat kegiatan
pembangunan yang bercorak eksploitatif.
Oleh karena itu, dalam rangka mewujudkan tata pembuatan hukum yang baik
(good law making governance), maka agenda ke depan yang harus dilakukan
pemerintah dan legislatif adalah : Melakukan kaji-ulang (review) terhadap seluruh
produk hukum yang tidak mencerminkan keadilan, demokrasi, dan keberlanjutan
dig anti dengan produk hukum yang baik terutama berwawasan lingkungan
dengan mengacu pada prinsip kedaulatan lingkungan yang mengarah pada
green constitution dan green legislator.
Untuk itu, di butuhkan kearifan oleh pemerintah dalam membuat kebijakan dan
pengaturan hukum, yang mengakomodir segala hal menyangkut kepentingan
masyarakat banyak. Pemerintah Pusat harus membuat Undang-undang baru
yang terpadu dalam hal ini mengakomodir kearifan local masyarakat adat
sebagai bentuk pengakuan Negara terhadap otoritasnya dalam pengelolaan
sumberdaya alam.
Suka Komentari
 K

Вам также может понравиться