Вы находитесь на странице: 1из 29

1

TUGAS REFERAT

GAMBARAN RADIOLOGI RHEUMATOID ARTHRITIS


Diajukan untuk memenuhi persyaratan Pendidikan Dokter Umum
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta Stase Ilmu Radiologi

Pembimbing :
dr. Abdul Aziz, Sp.Rad

Diajukan Oleh :
Lynda Ayu Prantika, S.Ked
J510165015

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
2

REFERAT
GAMBARAN RADIOLOGI RHEUMATOID ARTHRITIS

Oleh :
Lynda Ayu Prantika, S.Ked
J510165015

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari..................tanggal..........................2017

Pembimbing :
dr. Abdul Aziz, Sp.Rad (.............................................)

Dipresentasikan dihadapan :
dr. Abdul Aziz, Sp.Rad (.............................................)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Radiologi


Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
2017
3

BAB 1

PENDAHULUAN

Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit inflamasi sendi kronis yang di


tandai dengan suatu tanda khusus dari hancurnya tulang dan sendi. RA juga
merupakan suatu penyakit sistemik, dan beberapa keluhan pasien dapat dilihat
berdasarkan adanya manifestasi di ekstra artikular ( Tobon, et al 2009).

RA adalah suatu penyakit inflamsi sistemik yang bermanifestasi pada


banyak sendi di tubuh. Proses inflamasinya terutama menyerang batas dari sendi
(membarana sinovial), tapi dapat juga menyerang organ – organ lain. Inflamasi
dari sinovium mengawali terjadinya erosi dari tulang dan kartilago dan kadang –
kadang menyebabkan deformitas sendi. Nyeri, bengkak, dan kemerahan adalah
suatu manifestasi umum pada sendi. Walaupun penyebabnya tidak diketahui, RA
dipercaya merupakan kegagalan respon imun. RA dapat menyerang semua usia
dan berhungan dengan kelelahan dan kekakuan yang berkepanjangan setelah
beristirahat. RA tidak dapat disembuhkan, tetapi mulai banyak tersedia obat –
obat baru yang efektif untuk menyembuhkan penyakit ini dan deformitas sendi.
Sebagai tambahan untuk medikasi dan pembedahan, menejemen diri yang baik,
termasuk olahraga, telah diketahui untuk mengurangi rasa sakit dan kecacatan
(CDC, 2012).

Insidensi RA beragam terhadap populasi. Diperkirakan dari Amerika


Utara dan Eropa Utara berkisar antara 20 – 50 kasus per 100.000 populasi. Di
Eropa Selatan, insidensinya lebih rendah yaitu sekitar 9 – 24 kasus per 100.000
populasi telah dilaporkan ( Tobon, et al 2009).
Kebanyakan populasi di dunia, prevalensi RA relatif konstan yaitu
berkisar antara 0,5 – 1%. Prevalensi yang tinggi didapatkan di Pima Indian dan
Chippewa Indian masing-masing sebesar 5,3% dan 6,8%. Prevalensi RA di India
dan negara Barat kurang lebih sama yaitu sekitar 0,75%. Sedangkan di China ,
Indonesia, dan Philipina prevalensinya kurang dari 0,4%, baik di daerah urban
maupun rural. Hasil survey yang dilakukan di Jawa Tengah mendapatkan
4

prevalensi RA sebesar 0,2% di daerah rural dan 0,3% di daerah urban. Sedangkan
penelitian yang dilakukan di Malang pada penduduk berusia di atas 40 tahun
mendapatkan prevalensi RA sebesar 0,5% di daerah Kotamadya dan 0,6% di
daerah kabupaten. Di Poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo
Jakarta, kasus baru RA merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru tahun 2000 dan
pada periode Januari s/d Juni 2007 didapatkan sebanyak 203 kasus RA dari
sejumlah kunjungan sebanyak 1.346 orang (15,1%). Prevalensi RA lebih banyak
ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki dengan rasio 3:1 dan
dapat terjadi pada semua kelompok umur, dengan angka kejadian tertinggi
didapatkan pada dekade ke-4 dan ke-5 (Swarjana, 2009).
5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Rheumatoid arthritis adalah penyakit peradangan kronis dengan komponen


genetik yang cukup besar (Remmers,et al 2007).

2.Etiologi

Penyebab artritis reumatoid masih belum diketahui. Dikatakan bahwa


artritis reumatoid mungkin merupakan manifestasi dari respon terhadap agen
infeksius pada orang-orang yang rentan secara genetik. Karena distibusi artritis
reumatoid yang luas, hal ini menimbulkan hipotesis bahwa jika penyebabnya
adalah agen infeksius, maka organisme tersebut haruslah tersebar secara luas.
Beberapa kemungkinan agen penyebab tersebut diantaranya termasuk
mikoplasma, virus Epstein-Barr (EBV), sitomegalovirus, parvovirus, dan virus
rubella, tapi berdasarkan bukti-bukti, penyebab ini ataupun agen infeksius yang
lain yang menyebabkan artritis reumatoid tidak muncul pada penderita artritis
reumatoid (Lipsky, 2015).
Walupun etiologi dari artritis reumatoid belum diketahui, namun nampaknya
multifaktorial. Terdapat kerentanan genetik yang jelas, dan penelitian pada orang
kembar mengindikasikan indeks sekitar 15-20%. Sebanyak 70% dari pasien
artrirtis reumatoid ditemukan human leucocyte antigen-DR4 (HLA-DR4),
sedangkan faktor lingkungan seperti merokok dan agen infeksius dikatakan
memiliki peranan penting pada etiologi, namun kontribusinya sampai saat ini
belum terdefinisikan (EIsenberg, 2013).

3.Faktor Risiko

Seratus tujuh puluh tujuh pasien dengan diagnosis Undifferentiated


arthritis berkembang menjadi RA dalam waktu satu tahun. AllelsSE mempunyai
hubungan dengan adanya antibodi anti-CCP, tetapi tidak dengan adanya
rheumatoid factor.
6

Adapun faktor risiko RA yang diketahui adalah :

a. Faktor Genetik
b. Umur dan Jenis Kelamin
c. Faktor Sosioekonomi
d. Faktor Hormonal
e. Etnik / ras
f. Faktor Lingkungan

(Tobon, 2009)

4. Gejala Klinis

Keparahan dari penyakit ini bervariasi antara satu orang dengan orang
lainnya. Gejala dapat berubah dari hari ke hari. Peningkatan mendadak gejala dan
penyakit disebut flare. Flare dapat berlangsung selama beberapa hari hingga
bulan. Kunci dari gelaja RA adalah nyeri, lelah, dan rasa hangat, bengkak,
kemerahan pada sendi. Kekakuan sendi pada pagi hari dalam jangka waktu yang
lama merupakan gejala yang umum. Inflamasi pada sendi kecil pergelangan
tangan dan tangan adalah gejala yang khas. Jika sendi dari satu sisi tubuh RA,
maka sendi yang sama di sisi lain biasanya RA juga.

Gejala klinis RA bermacam-macam, tetapi onset nyeri disertai bengkaknya


sendi kecil secara simetris merupakan gejala yang paling sering ditemui. Onset
RA yaitu akut dan subakut pada sekitar 25% pasien, namun pola dari gejalanya
juga mencakup onset palindromic, gejala monoartikular (bentuk lambat dan akut),
sinovitis ekstra-artikular (tenosinovitis, bursitis), polymyalgic-like onset, dan
gejala umum (malaise, kelelahan, penurunan berat badan, demam). Onset
palindromic ditandai dengan episode berulang dari oligoartritis tanpa sisa
kerusakan pada gambaran radiologis, sedangkan polymyalgic-like onset mungkin
secara klinis dibedakan dari polymyalgia rheumatica pada orang tua (Grassi W.,
De Angelis R., Lamanna G., Cervini C., 1998)

Kriteria dari American Rheumatism Association (ARA) yang direvisi


tahun 1987, adalah :
7

1. Kaku pada pagi hari (morning stiffness). Pasien merasa kaku pada
persendian dan di sekitarnya sejak bangun tidur sampai sekurang-
kurangnya 1 jam sebelum perbaikan maksimal.
2. Arthritis pada 3 daerah. Terjadi pembengkakan jaringan lunak atau
persendian (soft tissue swelling) atau lebih efusi, bukan pembesaran tulang
(hiperostosis). Terjadi pada sekurang-kurangnya 3 sendi secara bersamaan
dalam observasi seorang dokter. Terdapat 14 persendian yang memenuhi
kriteria, yaitu interfalang proksimal, metakarpofalang, pergelangan tangan,
siku, pergelangan kaki, dan metatarsofalang kiri dan kanan.
3. Arthritis pada persendian tangan. Sekurang-kurangnya terjadi
pembengkakan satu persendian tangan seperti tertera di atas.
4. Arthritis simetris. Maksudnya keterlibatan sendi yang sama (tidak mutlak
bersifat simetris) pada kedua sisi secara serentak (symmetrical
polyarthritis simultaneously).
5. Nodul reumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang atau
permukaan ektensor atau daerah jukstaartikular dalam observasi seorang
dokter.
6. Faktor reumatoid serum positif. Terdapat titer abnormal faktor reumatoid
serum yang diperiksa dengan cara memberikan hasil positif kurang dari
5% kelompok kontrol.
7. Terdapat perubahan gambar radiologis yang khas pada pemeriksaan sinar
rontgen tangan posteroanterior atau pergelangan tangan, yang harus
menunjukan adanya erosi atau deklasifikasi tulang yang berlokalisasi pada
sendi atau daerah yang berdekatan dengan sendi.

Diagnosis rheumatoid arthritis ditegakkan jika sekurang-kurangnya terpenuhi


4 dari 7 kriteria di atas. Kriteria 1 sampai 4 harus terdapat minimal selama 6
minggu (Mansjoer dkk, 2011)
8

5. Patofisiologi/ Patogenesis

Rheumatoid arthritis adalah penyakit sistemik ditandai dengan proliferasi


sinovitis yang menyebabkan kerusakan pada kartilago dan tulang, dan
mengakibatkan deformitas sendi dan peningkatan keterbatasan fungsionalnya.
Kondisi ini merupakan suatu penyakit autoimun yang etiologi tepatnya tidak
diketahui, meskipun kecenderungan genetik dikenal menjadi faktor predisposisi.
Gen HLA-DRB1 dan PTPN22 dikatakan memainkan peran dalam hal ini, gen-gen
lain juga terlibat namun pengaruh faktor genetik hanya mencapai sekitar sepertiga
dari kasus rheumatoid arthritis. Satu-satunya faktor lingkungan yang diketahui
sebagai pemicu hanyalah merokok (Min-Hsiung Pan,dkk., 2010).

(Min-Hsiung Pan,dkk., 2010, Anti-inflammtory activity of natural dietary


flavonoidshttp://pubs.rsc.org/ di ambil 17 Maret 2014)
9

6. Diagnosis

A. Anamnesis

a) Salam (ucapkan salam, persilakan masuk, observasi pasien, posisikan


pasien sesuai kondisi pasien)
b) Identitas (nama, umur, alamat, pekerjaan)
c) Keluhan utama (ONSET)
d) Keluhan tambahan (keluhan penyerta atau keluhan lain)
e) Riwayat penyakit sistemik
f) Riwayat pengobatan
g) Penjelasan kepada pasien

Pada umumnya dari hasil anamnesis di dapat :

a) Gejala pertama timbul pada sendi-sendi kecil pada jari-jari, pergelangan


tangan dan kaki, terasa hangat, bengkak, dan sendi terasa sakit dan sulit
untuk bergerak.
b) Sendi pada kedua sisi tubuh (simetris) biasanya mengalami gejala yang
sama.
c) Pasien dengan RA biasanya sering mengalami kelelahan, hilangnya nafsu
makan, dan demam ringan.
d) Kaku di pagi hari yang berlangsung selama beberapa jam atau lebih.
e) Nodul dapat terbentuk di bawah kulit, sering di atas area tulang yang
sering terkena tekanan (seperti siku)
f) Seiring waktu, kerusakan pada tulang rawan dan sendi dapat menyebabkan
deformitas sendi
g) Diagnosis RA umunya ditentukan setelah melihat sejarah kesehatan dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, melihat distribusi sendi yang terkena, sendi
bengkak, ada rasa hangat atau demam, sulit untuk bergerak, dan adanya
nodul di bawah kulit.
10

h) Pemeriksaan pencitraan seperti sinar-X, sonogram atau pencitraan


resonansi magnetik dapat digunakan untuk mendeteksi tingkat keterlibatan
sendi atau kerusakan sendi.
i) Tes darah juga dapat menunjukan adanya antibodi yang disebut faktor
rematik, yang ditemukan pada 80% orang dengan RA, namun juga bisa
didapat pada orang dengan tanpa RA (Arthritis Foundation, 2017).

B. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada sistem musculoskeletal meliputi:

1. Inspeksi pada saat diam


2. Inspeksi pada saat bergerak
3. Palpasi
Dari hasil pemeriksaan fisik yang di dapat :
a) Gaya berjalan yang abnormal pada pasien RA yaitu pasien akan segera
mengangkat tungkai yang nyeri atau deformitas, sementara tungkai yang
nyeri akan lebih lama diletakkan dilantai, biasanya diikuti oleh gerakan
lengan yang asimetris, disebut gaya berjalan antalgik.
b) Sikap/fostur badan, pasien akan berusaha mengurangi tekanan artikular
pada sendi yang sakit dengan mengatur posisi sendi tersebut senyaman
mungkin, biasanya dalam posisi pleksi.
c) Deformitas, akan lebih terlihat pada saat bergerak
d) Perubahan kulit, kemerahan disertai deskuamasi pada kulit di sekitar sendi
menunjukkan adanya inflamasi pada sendi.
e) Kenaikan suhu sekitar sendi, menandakan adanya proses inflamasi di
daerah sendi tersebut
f) Bengkak sendi, bisa disebabkan oleh cairan, jaringan lunak, atau tulang.
g) Nyeri raba
h) Pergerakan, sinovitis akan menyebabkan berkurangnya luas gerak sendi
pada semua arah.
11

i) Krepitus, merupakan bunyi berderak yang dapat diraba sepanjang gerakan


struktur yang diserang.
j) Atropi dan penurunan kekuatan otot
k) Ketidakstabilan
l) Gangguan fungsi, gangguan fungsi sendi dinilai dengan observasi pada
penggunaan normal, seperti bangkit dari kursi atau kekuatan
menggenggam
m) Nodul, sering ditemukan pada berbagai atropi, umumnya ditemukan pada
permukaan ekstensor (punggung tangan, siku, tumit belakang, sacrum)
n) Perubahan kuku, adanya jari tabuh, thimble pitting onycholysis atau
serpihan darah
o) Pemeriksaan sendi satu persatu, meliputi pemeriksaan rentang pergerakan
sendi, adanya bunyi krepitus dan bunyi lainnya.
p) Rheumatoid arthritis mempengaruhi berbagai organ dan sistem lainnya,
yaitu:
1) Kulit: nodul subkutan (nodul rheumatoid) terjadi pada banyak pasien
dengan RA yang nilai RF nya normal, sering lebih dari titik-titik
tekanan (misalnya, olekranon. Lesi kulit dapat bermanifestasi sebagai
purpura teraba atau ulserasi kulit.
2) Jantung: morbiditas dan mortalitas kardiovaskular yang meningkat pada
pasien dengan RA. Faktor risiko non tradisional tampaknya memainkan
peran penting. Serangan jantung, disfungsi miokard, dan efusi
perikardial tanpa gejala yang umum, dan gejala perikarditis konstriktif
jarang. Miokarditis, vaskulitis koroner, penyakit katup, dan cacat
konduksi kadang-kadang diamati.
3) Paru: RA mempengaruhi paru-paru dalam beberapa bentuk, termasuk
efusi pleura , fibrosis interstisial, nodul (Caplan sindrom), dan
obliterans bronchiolitis-pengorganisasian pneumonia.
4) GI: keterlibatan usus, seperti dengan keterlibatan ginjal, merupakan
komplikasi sekunder akibat efek obat-obatan, peradangan, dan
12

penyakit lainnya. Hati sering terkena pada pasien dengan sindrom Felty
(yaitu splenomegali, dan neutropenia).
5) Ginjal: Ginjal biasanya tidak terpengaruh oleh RA langsung. Umumnya
akibat pengaruh, termasuk karena obat-obat (misalnya, obat anti-
inflammatory peradangan (misalnya, amyloidosis ), dan penyakit yang
terkait (misalnya, sindrom Sjögren dengan kelainan tubulus ginjal).
6) Vascular: lesi vasculitik dapat terjadi di organ mana saja namun yang
paling sering ditemukan di kulit. Lesi dapat hadir sebagai purpura
gamblang, borok kulit, atau infark digital.
7) Hematologi: Sebagian besar pasien aktif memiliki penyakit anemia
kronis, termasuk anemia normokromik-normositik, trombositosis, dan
eosinofilia, meskipun yang terakhir ini jarang terjadi. Leukopenia
ditemukan pada pasien dengan sindrom Felty.
8) Neurologis: biasanya saraf jeratan, seperti pada saraf median di carpal,
lesi vasculitik, multipleks mononeuritis, dan myelopathy leher rahim
dapat menyebabkan konsekuensi serius neurologis.
9) Okular: keratoconjunctivitis sicca adalah umum pada orang dengan RA
dan sering manifestasi awal dari sindrom Sjögren sekunder. Mata
mungkin juga episkleritis , uveitis, dan scleritis nodular yang dapat
menyebabkan scleromalacia.
Pada artritis reumatoid yang lanjut, tangan pasien dapat menunjukkan
deformitas boutonnierre dimana terjadi hiperekstensi dari sendi distal interfalangs
(DIP) dan fleksi pada sendi proksimal interfalangs (PIP). Deformitas yang lain
merupakan kebalikan dari deformitas boutonniere, yaitu deformitas swan-neck,
dimana juga terjadi hiperekstensi dari sendi PIP dan fleksi dari sendi DIP. Jika
sendi metakarpofalangs telah seutuhnya rusak, sangat mungkin untuk
menggantinya dengan protesa silikon (WHO, 2010).
13

C. Pemeriksaan Laboratorium
1. Tanda peradangan, seperti LED dan CRP, berhubungan dengan aktivitas
penyakit, selain itu, nilai CRP dari waktu ke waktu berkorelasi dengan
kemajuan radiografi.
2. Parameter hematologi termasuk jumlah CBC dan analisis cairan sinovial.
3. Jumlah sel darah lengkap (anemia, trombositopenia, leukositosis,
leucopenia).
4. Analisis cairan sinovial
a. Inflamasi cairan sinovial (WBC count > 2000/μL) hadir dengan
jumlah WBC umumnya dari 5,000-50,000 / uL.
b. Biasanya, dominasi neutrofil (60-80%) yang diamati dalam cairan
sinovial (kontras dengan dominasi sel mononuklear di sinovium).
c. Karena cacat transportasi, kadar glukosa cairan pleura, perikardial,
dan sinovial pada pasien dengan RA sering rendah dibandingkan
dengan kadar glukosa serum.
5. Parameter imunologi meliputi autoantibodies (misalnya RF, anti-RA33,
anti-PKC, antibodi antinuclear).
6. Rheumatoid factor Rheumatoid Faktor, RF ditemukan pada sekitar
60-80% pasien dengan RA selama penyakit mereka, tetapi kurang
dari 40% pasien dengan RA dini.
14

7. Antibodi Antinuclear: Ini adalah hadir di sekitar 40% pasien dengan


RA, namun hasil tes antibodi terhadap antigen subset paling nuklir
negatif.
8. Antibodi yang lebih baru (misalnya, anti-RA33, anti-PKC):
Penelitian terbaru dari antibodi anti-PKC menunjukkan sensitivitas
dan spesifisitas sama atau lebih baik daripada RF, dengan
peningkatan frekuensi hasil positif di awal RA. Kehadiran kedua-anti
antibodi PKC dan RF sangat spesifik untuk RA. Selain itu, anti-PKC
antibodi, seperti halnya RF, menunjukkan prognosis yang buruk
(Sartika et al, 2013 dan Weerakkody et al, 2014).

D. Foto Polos
Pada tahap awal penyakit, biasanya tidak ditemukan kelainan pada
pemeriksaan radiologis kecuali pembengkakan jaringan lunak. Tetapi, setelah
sendi mengalami kerusakan yang lebih berat, dapat terlihat penyempitan ruang
sendi karena hilangnya rawan sendi. Juga dapat terjadi erosi tulang pada tepi sendi
dan penurunan densitas tulang. Perubahan-perubahan ini biasanya irreversibel.

Tanda pada foto polos awal dari artritis reumatoid adalah peradangan
periartikular jaringan lunak bentuk fusiformis yang disebabkan oleh efusi sendi
dan inflamasi hiperplastik sinovial. Nodul reumatoid merupakan massa jaringan
lunak yang biasanya tampak diatas permukaan ekstensor pada aspek ulnar
pergelangan tangan atau pada olekranon, namun adakalanya terlihat diatas
prominensia tubuh, tendon, atau titik tekanan. Karakteristik nodul ini berkembang
sekitar 20% pada penderita artritis reumatoid dan tidak terjadi pada penyakit lain,
sehingga membantu dalam menegakkan diagnosis (Sartika et al, 2013).
15

Artritis erosif yang mengenai tulang karpal dan sendi metakarpofalangs

A : Perubahan erosif pada ulna dan distal radius. B : Erosi komplit pada
pergelangan tangan
16

C : Swelling dan erosi pada sendi MTP 5. D : Nodul subkutaneus multipel pada
tangan

E. CT-Scan
Computer tomography (CT) memiliki peranan yang minimal dalam
mendiagnosis artritis reumatoid. Walaupun demikian, CT scan berguna dalam
memperlihatkan patologi dari tulang, erosi pada sendi-sendi kecil di tangan yang
sangat baik dievaluasi dengan kombinasi dari foto polos dan MRI.
CT scan jarang digunakan karena lebih rendah dari MRI dan memiliki
kerugian dalam hal radiasi. CT scan digunakan sebatas untuk mengindikasikan
letak destruksi tulang dan stabilitas tertinggi tulang secara tepat, seperti pada
pengaturan pre-operatif atau pada tulang belakang (Sartika et al, 2013).

F. USG
Sonografi dengan resolusi tinggi serta pemeriksaan dengan frekuensi
tinggi digunakan untuk mengevaluasi sendi-sendi kecil pada artritis reumatoid.
Efusi dari sendi adalah hipoekhoik, sedangkan hipertrofi pada sinovium lebih
ekhogenik. Nodul-nodul reumatoid terlihat sebagai cairan yang memenuhi area
kavitas dengan pinggiran yang tajam. Erosi tulang dapat terlihat sebagai
irregularitas pada korteks hiperekhoik. Komplikasi dari arthritis reumatoid, seperti
17

tenosinovitis dan ruptur tendon, juga dapat divisualisasikan dengan menggunakan


ultrasonografi. Hal ini sangat berguna pada sendi MCP dan IP. Tulang karpal dan
sendi karpometakarpal tidak tervisualisasi dengan baik karena konfigurasinya
yang tidak rata dan lokasinya yang dalam.

A B

Erosi (tanda panah) pada sendi metakarpofalangs pada penderita artritis reumatoid
(A) bidang longitudinal (B) bidang transverse. M, kaput metakarpal dan P,
falangs.

(A) Gambaran normal bagian longitudinal dari sendi metakarpofalangs.


(B) Sendi metakarpofalangs pada pasien artritis reumatoid. FP, bantalan
lemak; M dan MC,kaput metakarpal; P, falangs; S, sinovitis.

Sonografi telah digunakan dalam mendiagnosis artritis reumatoid dengan


tujuan meningkatkan standar yang tepat untuk radiografi konvensional.
Ultrasonografi, terkhusus dengan menambahkan amplitude color doppler (ACD)
18

Imaging, juga menyediakan informasi klinis yang berguna untuk dugaan artritis
reumatoid. ACD imaging telah diaplikasikan untuk artritis reumatoid dengan
tujuan mengevaluasi manifestasi dari hiperemia pada peradangan jaringan sendi.
Hiperemia sinovial merupakan ciri patofisiologi yang fundamental untuk artritis
reumatoid (Sartika et al, 2013).

G. MRI
Magnetic Resonance Imaging (MRI) menyediakan gambaran yang baik
dengan penggambaran yang jelas dari perubahan jaringan lunak, kerusakan
kartilago, dan erosi tulang-tulang yang dihubungkan dengan artritis reumatoid.

koronal T1-weighted pada sendi metakarpofalangs 2-4, memperlihatkan


erosi radial yang luas pada kaput metakarpal 2 dan 3.

Diagnosis awal dan penanganan awal merupakan manajemen utama pada


artritis reumatoid. Dengan adanya laporan mengenai sensitivitas MRI dalam
mendeteksi erosi dan sinovitis, serta spesifitas yang nyata untuk perubahan edema
tulang, hal itu menandakan bahwa MRI merupakan penolong untuk mendiagnosis
awal penyakit artritis reumatoid. MRI juga memberikan gambaran yang berbeda
pada abnormalitas dari artritis reumatoid, sebagai contoh, erosi tulang, edema
tulang, sinovitis, dan tenosinovitis (Sartika et al, 2013)
19

7. Penatalaksanaan

Terapi untuk RA telah meningkat pesat dalam 30 tahun terakhir. Saat


memberikan perawatan kepada pasien membantu mereka tetap berfungsi dengan
baik dan dalam tingkatan normal. . Dengan obat yang tepat, banyak pasien dapat
mencapai "remisi" - yaitu, tidak memiliki tanda-tanda penyakit aktif.

Tidak ada obat untuk RA. Tujuan pengobatan adalah untuk mengurangi
gejala. Dokter melakukan ini dengan memulai terapi medis yang tepat secepat
mungkin, sebelum sendi mengalami kerusakan permanen. Tidak ada pengobatan
tunggal yang bekerja untuk semua pasien. Banyak orang dengan RA harus
mengubah pengobatan mereka setidaknya sekali selama hidup mereka (American
College of Rheumatology).

Pharmaceutical treatments for rheumatoid arthritis: Corticosteroids

Generic Manufacturer
Name U.S. Trade Name(s)* How Supplied Usual Adult Dose

Cortico- Multiple Acetate - Injectable Acetate:


steroids: Medrol®, Depo- IM—20, 40, and 80 IM—10 to 80 mg
Methyl- Medrol®, Solu- mg/ml every 1 to 2 weeks
prednisolone Medrol® Intra-articular,
Sodium succinate - intralesional —4 to 80
Injectable: mg every 1 to 5
IM—40, 125, and weeks
500 mg, 1 and 2 g
vials Sodium succinate:
IM—10 to 80 mg
Oral: daily
Tabs—2, 4, 8, 16, IV—10 to 40 mg
and 32 mg every 4 to 6 hours; up
to 30 mg/kg every 4
to 6 hours

Oral:
2 to 60 mg in 1 to 4
20

Generic Manufacturer
Name U.S. Trade Name(s)* How Supplied Usual Adult Dose

divided doses to start,


followed by gradual
reduction

Prednisone Multiple Oral Solution—1 Use lowest effective


Deltasone®, and 5 mg/ml dose. Usually ≤ 10
Sterapred®, Tabs—1, 2.5, 5, 10, mg/day, but doses
LiquiPred 20, and 50 mg range from 5–60
mg/day

Prednisolone Multiple Oral Use lowest effective


Orapred®, Solution/Syrup—5, dose (5 to 7.5
Pediapred®, 15, and 20 mg/5 ml mg/day), up to 60
Prelone®, Delta- Oral Tabs—5 and 15 mg/day
Cortef®, mg
Econopred®

IM = intramuscular; IV = intravenous; kg = killigram; mg = milligram; ml


= millileter
21

Pharmaceutical treatments for rheumatoid arthritis: Oral DMARDs

Manufacturer
Generic U.S. Trade
Name Name(s)* How Supplied Usual Adult Dose

Hydroxy- Multiple Oral Tabs—200 200 to 400a mg/day in 1 or 2


chloroquineb Plaquenil®b mg divided doses

Leflunomideb Multiple Oral Tabs—10 10 to 20 mg/day in a single


Arava®b and 20 mg dose. May give loading dose
of 100mg/day for 3 days in
patients with low risk of
hepatic or hematologic
toxicity.

Methotrexateb Multiple Injectable—25 IM, SQ, oral—7.5 to 20


Trexall®b, mg/ml, 20 mg mg/week in a single dose
Folex®b, and 1 g vials
Rheumatrex®b Oral Tabs—2.5,
5, 7.5, 10, and 15
mg

Sulfasalazineb Multiple Oral 500 to 3,000 mg/day in 2 to


Azulfidine®b, Suspension—250 4 divided doses
EN-tabs®b, mg/5 ml
Sulfazine®b Oral Tabs—500
mg

G = gram; IM = intramuscular; mg = milligram; ml = millileter

a. Listed trade names are limited to commonly prescribed U.S. products w


hen multiple trade names are available.
b. Initial dose is 400 to 600 mg/day for 4 to 12 weeks.

Dosed according to the RA dosing recommendations.


22

Pharmaceutical treatments for rheumatoid arthritis: Biologic


DMARDs

Manufacturer
Generic U.S. Trade Injectable
Name Name(s)* Supply Usual Adult Dose

Abatacept Bristol Myers 250 mg vial IV—Dosed according to


Squibb body weight (< 60 kg = 500
Orencia® mg; 60–100 kg = 750 mg;
>100 kg = 1,000 mg); dose
repeated at 2 weeks and 4
weeks after initial dose, and
every 4 weeks thereafter
SQ—may give weight-based
IV loading dose, then 125
mg SQ once weekly

Adalimumab Abbott 40 mg/0.8 ml, 20 SQ—40 mg every other


Humira® mg/0.4 ml week; may increase to 40
prefilled syringe mg per week in patients not
taking concomitant MTX

Anakinraa Amgen 100 mg/0.67 ml SQ—100 mg/day; dose


Kineret® syringe should be decreased to 100
mg every other day in renal
insufficiency

Certolizumaba UCB 200 mg powder SQ—Initial dose of 400 mg


Pegol Cimzia® for (as 2 SQ injections of 200
reconstitution, mg), repeat dose 2 and 4
200 mg/ml weeks after initial dose;
solution Maintenance dose is 200 mg
every other week (may
consider maintenance dose
of 400 every 4 weeks)

Etanercept Amgen 50 mg/ml in 25 SQ—50 mg once weekly


Pfizer mg or 50 mg with or without MTX
Immunex single use
23

Manufacturer
Generic U.S. Trade Injectable
Name Name(s)* Supply Usual Adult Dose

Enbrel® prefilled syringe

Golimumab Centocor Ortho 50 mg/0.5 ml SQ—50 mg once per month


Biotech syringe in combination with MTX
Simponi®

Infliximab Centocor Ortho 100 mg in a 20 IV—3 mg/kg in combination


Biotech ml vial with MTX at 0, 2, and 6
Remicade® weeks followed by
maintenance every 8 weeks
thereafter; may increase to
maximum of 10 mg/kg or
treat as often as every 4
weeks

Rituximaba Biogen 100 mg/10 ml IV—1,000 mg IV infusion


Idec/Genentech and 500 mg/50 separated by 2 weeks (one
Rituxan® ml vial course) every 24 weeks or
based on clinical evaluation,
but not sooner than every 16
weeks

Tocilizumaba Genentech/Roche 80 mg/4 ml, 200 IV—4 mg/kg every 4 weeks;


Actemra®, mg/10 ml, 400 increase to 8 mg/kg every 4
RoActemra® mg/20 ml vial weeks based on clinical
response

Kg = kilogram; mg = milligram; ml = millileter; MTX = methotrexate; IV =


intravenously SQ = subcutaneously

Listed trade names are limited to commonly prescribed U.S. products w hen
multiple trade names are available.

Dosed according to the RA dosing recommendations. (Donahue, 2012).


24

a. Pengelolaan Didirikan RA

Tujuan dari pengobatan adalah untuk menekan semua peradangan dan


mencegah kerusakan sendi. Kebanyakan pasien akan memerlukan terapi DMARD
jangka panjang. Mempertimbangkan follow up setiap 3-6 bulan dan khusus setiap
6-12 bulan setelah peradangan di obati.

Pada setiap kunjungan :

a. Menilai terapi obat saat ini termasuk dosis dan pemantauan efek samping.
b. Periksa sendi untuk peradangan aktif ( Jika review diperlukan klinis fitur ).
c. Ketika awal CRP atau ESR meningkat , penilaian serial mungkin
membantu.
d. Tinjau masalah kesehatan umum dan penyakit penyerta.

Jika penilaian menunjukkan peradangan aktif yang sedang berlangsung, kemudian


mempertimbangkan atau meninjau:
a. Kepatuhan terhadap rejimen pengobatan.
b. Dosis obat saat ini dan dosis substitusi/ penambahan obat alternatif.
c. Rujukan kembali ke dokter spesialis.
d. Rujukan kembali ke Physiotherapist (PT) atau/dan Occupational Therapist
(OT).

Jika penilaian menunjukkan kerusakan sendi, kemudian mempertimbangkan atau


meninjau:
a. Menghilangkan nyeri.
b. Rujukan kembali ke Physiotherapist (PT) atau/dan Occupational Therapist
(OT).
c. Rujukan ke bedah.
d. Selalu mempertimbangkan bahwa pasien mungkin memiliki kombinasi
dari peradangan dan kerusakan (British Columbia Medical Assosiation).
25

Edukasi
a. Melindungi sendi.
b. Olahraga di rumah.
Istirahat relatif
Diperlukan untuk sendi meradang yang akut.
Latihan
Penyakit akut : dengan sangat sendi yang meradang , pembidaian
dilakukan untuk tidak ada pergerakan dilakukan dua kali sehari dan untuk
mencegah kontraktur jaringan lunak.
Penyakit ringan : ( sinovitis moderat ) membutuhkan Program isometrik
(Cuccurullo, 2014).
8. Follow up

Untuk mencegah terjadinya komplikasi, orang-orang dengan RA harus


secara reguler berkonsultasi dengan ahli kesehatan. Untuk memonitor peradangan
yang berhubungan dengan penyakit-penyakit rematik dilakukan tes C-Reaktif
Protein (CRP) dan tes Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR).

Tes CRP dapat memonitor peradangan yang berhubungan dengan


penyakit-penyakit rematik. Kenaikan dari angka CRP dalam darah menunjukan
bahwa pasien tersebut mengalami infeksi atau peradangan akut. Pada orang yang
sehat, CRP biasanya kurang dari 10 mg/L darah. Kebanyakan dari infeksi dan
peradangan menunjukan angka CRP yang lebih tinggi dari 100 mg/L darah.
Walaupun tes tersebut tidak memberikan hasil spesifik untuk mendiagnosis RA,
tes tersebut dapat menunjukan kelainan autoimun, dan dapat juga membantu ahli
kesahatan untuk memonitor peradangan dan menentukan apakah pengobatan
sudah tepat.

Tes ESR dapat dilakukan untuk mengukur dan memonitor peradangan


yang dihubungkan dengan penyakit rematik. Tes darah ini dapat mengukur laju
sel darah merah yang belum menggumpal.
26

Selama fase respon terhadap peradangan, jumlah fibrinogen yang tinggi


dapat menyebabkan sel-sel darah merah yang berlengketan satu sama lain.
Peningkatan angka ESR dapat menunjukan bahwa pasien tersebut mengalami
penyakit rematik. Nilai normal pada laki-laki yang berumur kurang dari 50 tahun
adalah 15 mm/jam, dan nilai normal untuk laki-laki yang berumur lebih dari 50
tahun adalah 20 mm/jam. Nilai normal pada perempuan berumur kurang dari 50
tahun adalah 20 mm/jam, dan nilai normal pada perempuan yang berumur lebih
dari 50 tahun adalah 30 mm/jam (Lehigh Valley Health Network, 2014).

9. Prognosis

RA sering menyebabkan deformitas pada sendi metacarpophalangeal


(MCP). Pasien-pasien dengan deformitas yang parah dapat dihambat dengan
operasi silicone metacarpophalangealarthroplasty (SMPA) (Chung KC.,2012).

Sedangkan dari hasil penelitian Quinn et al pada tahun 2005 didapatkan


kekambuhan menggunakan terapi standard dengan atau tanpa infliximab pada
pasien RA dengan prognosis buruk.
27

BAB 3

Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang kami kutip adalah :

1. RA merupakan penyakit peradangan kronik yang menyerang secara sistemik.


2. Penyebab pastinya belum diketahui.
3. Gejala klinis yang paling sering ditemui adalah kekakuan sendi pada pagi hari
dalam jangka waktu yang lama merupakan gejala yang umum.
4. Tanda pada foto polos awal dari artritis reumatoid adalah peradangan
periartikular jaringan lunak bentuk fusiformis yang disebabkan oleh efusi
sendi dan inflamasi hiperplastik sinovial. Nodul reumatoid merupakan massa
jaringan lunak yang biasanya tampak diatas permukaan ekstensor pada aspek
ulnar pergelangan tangan atau pada olekranon, namun adakalanya terlihat
diatas prominensia tubuh, tendon, atau titik tekanan.
5. Penatalaksanaan RA untuk saat ini tidak ada obat yang spesifik, tetapi tujuan
pengobatannya adalah untuk mengurangi gejala.
6. Follow up untuk penyakit RA dapat dilakukan 2 pemeriksaan yaitu CRP dan
ESR.
28

Daftar Pustaka

Arthritis care, 2017.


http://www.arthritiscare.org.uk/AboutArthritis/Conditions/Rheumatoidarth
ritis di ambil 22 Desember 2017.

BCGuidelines.ca. 2012. Rheumatoid Arthritis Diagnosis, Management and


Monitoring. British Columbia Medical Assosiation.

CDC. 2017. Rheumatoid Arthritis. 24:7

Cuccurullo, S. 2014. Physical Medicine and Rehabilitation Board Review.New


York: Demos Medical Publishing.

Donahue KE, Jonas DE, Hansen RA, et al. 2012. Drug Therapy for Rheumatoid
Arthritis in Adults: An Update [Internet]. Rockville (MD): Agency for
Healthcare Research and Quality (US) : 55

Eric Ruderman, MD, Siddharth Tambar, 2012. and reviewed by the American
College of Rheumatology Communications and Marketing Committee.
Grassi W, De Angelis R, Lamanna G, Cervini C.,1998. The clinical
features of rheumatoid arthritis. Italy : NCBI.

Griffiths, H. J., 1981. Basic Bone Radiology. New York : Appleton century crofts/
New York.

Mansjoer, dkk. 2011. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius.

Meschan, I., dkk. 1985. Rontgen Signs in Diagnostic Imaging ED2th.


Philadelphia: W. B. Saunders Company.

Min-Hsiung Pan,dkk., 2010. Anti-inflammtory activity of natural dietary


flavonoids

Price, S. A., Wilson L. M. 2010. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses


Penyakit. Jakarta: EGC.

Remmers, et al.,2010. STAT4 and the Risk of Rheumatoid Arthritis and Systemic
Lupus Erythematosus.

Sartika D E., 2013. Referat Rheumatoid Arthritis.Bandung : FK UKM.

Swarjana, 2009. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Interna Publishing.


29

Symmons D. Mathers C. Pfleger B,2000. The Global Burden of Rheumatoid


Arthritis In The Year 2000.

Temprano, KK. 2014. Rheumatoid Arthritis.

Tobon et al.,2009. The environment, geo-epidemiology, and autoimmune disease :


Rheumatoid arthritis. France: Elsevier.

Weerakkody Y, et al.,2014. Rheumatoid arthritis.

Вам также может понравиться