Вы находитесь на странице: 1из 92

RENCANA PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN BADA

(Rasbora argyrotaenia) BERDASARKAN ANALISIS


FREKUENSI PANJANG DI DANAU MANINJAU,
SUMATERA BARAT

RAHMI DINA

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

RENCANA PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN BADA (Rasbora


argyrotaenia) BERDASARKAN ANALISIS FREKUENSI PANJANG DI
DANAU MANINJAU, SUMATERA BARAT

Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber dan informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, 15 Desember 2008

Rahmi Dina
C24104008
RINGKASAN

Rahmi Dina. C24104008. Rencana Pengelolaan Sumberdaya Ikan Bada


(Rasbora argyrotaenia) Berdasarkan Analisis Frekuensi Panjang di Danau
Maninjau, Sumatera Barat. Dibimbing oleh Mennofatria Boer dan Nurlisa
A. Butet

Ikan bada (Rasbora argyrotaenia), salah satu ikan asli yang terdapat di
Danau Maninjau merupakan komoditas perikanan penting sebagai ikan konsumsi
baik dalam bentuk segar maupun olahan berupa ikan asap. Penelitian ini bertu-
juan untuk mengkaji stok ikan bada (Rasbora argyrotaenia) dengan melihat aspek
biologi berupa hubungan panjang berat, faktor kondisi, pertumbuhan, mortalitas,
dan laju eksploitasi ikan bada. Informasi ini merupakan masukan yang diperlukan
dalam penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya ikan bada, agar pemanfaatan-
nya dapat berkelanjutan.
Pengambilan ikan contoh berlangsung mulai 18 Juni sampai 09 Juli 2008
di perairan umum Danau Maninjau, Sumatera Barat. Ikan contoh diambil pada
beberapa stasiun yaitu di stasiun Sungai Tampang dengan alat tangkap jaring
insang, di stasiun Muko-muko dengan alat tangkap jaring insang dan bagan, serta
di stasiun Bayur dengan alat tangkap jaring insang dan perangkap (lukah). Aspek
pertumbuhan dan mortalitas dianalisis berdasarkan frekuensi panjang. Kelompok
ukuran ikan dipisahkan dengan metode Battacharya, koefisien pertumbuhan (K)
dan panjang asimtotik (L ) diduga dengan plot Ford Walford, dan umur teoritis
pada saat panjang sama dengan nol (t0) serta laju mortalitas alami (M) diduga
dengan rumus empiris Pauly. Laju mortalitas total (Z) dianalisis menggunakan
kurva tangkapan yang dilinearkan berbasis data panjang, dan laju eksploitasi (E)
ditentukan dengan rumus E=F/Z.
Sebaran frekuensi panjang ikan bada jantan berada pada selang kelas
lebih sempit yaitu 67-72 mm sampai 103-108 mm, dibandingkan ikan betina yang
berada pada selang kelas lebih lebar yaitu 73-78 mm sampai 127-132 mm. Hal ini
disebabkan ukuran ikan betina lebih besar dibandingkan ikan jantan dan ikan
jantan lebih cepat matang gonad dibandingkan ikan betina sehingga ikan jantan
banyak tertangkap pada jaring insang dengan ukuran mata jaring lebih kecil. Pola
pertumbuhan ikan bada allometrik positif (p<0,05) dengan persamaan pertum-
buhan W= 3x10-6L3,2007. Faktor kondisi rata-rata ikan bada betina lebih besar
dibandingkan ikan jantan (p<0,05) dan faktor kondisi ikan bada pada pantai barat
lebih besar dibandingkan pada pantai timur (p<0,05). Panjang asimtotik ikan
bada (L ) 180 mm, koefisien pertumbuhan (K) 1,2 per tahun, dan umur teoritis
pada saat panjang ikan sama dengan nol (t0) -0,02 tahun sehingga diperoleh
persamaan pertumbuhan von Bertalanffy ikan bada
L t = 180(1 − exp[− 1,2(t + 0,02)]) . Koefisien pertumbuhan ikan bada yang tinggi
disebabkan oleh faktor internal berupa ukuran ikan yang relatif kecil. Laju
mortalitas total (Z) ikan bada 14,58 per tahun dengan laju mortalitas alami (M)
2,88; laju mortalitas akibat penangkapan (F) 11,48 sehingga diperoleh laju
eksploitasi 0,8. Nilai laju eksploitasi ikan bada tersebut melebihi nilai laju
eksploitasi optimum 0,5. Hal ini karena intensifnya penangkapan ikan bada yang
berlangsung setiap hari dan sepanjang tahun dengan alat tangkap yang beragam.
Tingginya laju eksploitasi harus diimbangi dengan upaya pengelolaan
sumberdaya ikan bada baik populasi maupun habitatnya. Berdasarkan penelitian
ini rencana pengelolaan sumberdaya ikan bada yang disarankan yaitu mengatur
alat tangkap berupa pengaturan ukuran mata jaring yang boleh digunakan besar
dari ¾ inch, pengaturan jenis alat tangkap dengan tidak mengoperasikan alat
tangkap bagan; memperbaiki habitat melalui pembuatan pelindung atau rasau
(shelter); dan menjaga kualitas air Danau Maninjau.
RENCANA PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN BADA
(Rasbora argyrotaenia) BERDASARKAN ANALISIS
FREKUENSI PANJANG DI DANAU MANINJAU,
SUMATERA BARAT

RAHMI DINA

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
SKRIPSI

Judul : Rencana Pengelolaan Sumberdaya Ikan Bada


(Rasbora argyrotaenia) Berdasarkan Analisis Frekuensi
Panjang di Danau Maninjau, Sumatera Barat

Nama Mahasiswa : Rahmi Dina

Nomor Pokok : C 24104008

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan

Disetujui
Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Ir. Nurlisa A. Butet, M.Sc.


NIP: 130 937 094 NIP: 131 925 898

Diketahui
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc.


NIP: 131 578 799

Tanggal ujian: 21 November 2008


PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang selalu


memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul “RENCANA PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN
BADA (Rasbora argyrotaenia) BERDASARKAN ANALISIS FREKUENSI
PANJANG DI DANAU MANINJAU, SUMATERA BARAT”. Skripsi ini
disusun untuk meraih gelar sarjana perikanan pada Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.
Ikan bada sebagai salah satu sumber pemenuhan kebutuhan protein
masyarakat, mengalami tekanan penangkapan yang berlangsung sepanjang tahun.
Hal ini akan berdampak pada populasi ikan bada di Danau Maninjau. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat menjadi bagian informasi biologi sumberdaya ikan
bada di Danau Maninjau yang diperlukan dalam penyusunan rencana pengelolaan
perikanan bada.

Bogor, 15 Desember 2008

Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:


1. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA dan Ir. Nurlisa A. Butet, M.Sc., selaku dosen
pembimbing skripsi atas bimbingan, arahan, dan masukan yang diberikan
selama penyusunan skripsi ini.
2. Dr. Ir. Mukhlis Kamal, M.Sc., selaku penguji tamu dan Dr. Ir. Yunizar
Ernawati, MS, selaku penguji dari program studi.
3. Ir. Kiagus Abdul Azis, M.Sc., yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan
masukan selama penulis menempuh pendidikan di Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan dan Ali Mashar, S.Pi, selaku dosen pembimbing
akademik.
4. Yonvitner, S.Pi, M.Si, yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan
masukan selama penulis menempuh pendidikan di Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan.
5. Kedua orang tua; Ibu dan Apa (Bapak), Uda M. Yardi dan Uda M. Ridha
terimakasih untuk keridhoan, keikhlasan, do’a, dan pengorbanannya demi
kelangsungan studi penulis.
6. Pemerintah Daerah Kabupaten Agam dan Kecamatan Tanjung Raya atas izin
penelitian di Danau Maninjau.
7. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Maninjau (Pak Triyanto, Pak
Sutrisno) atas izin penggunaan fasilitas dan bimbingan selama penelitian di
lapangan.
8. Keluarga besar di Maninjau (Mba En, Ante Ira dan keluarga, Pak Ardiyal dan
keluarga, Pak Muncak dan keluarga, Pak Sap dan keluarga, Pak Pandeka dan
keluarga) yang telah banyak membantu penulis selama di Maninjau.
9. Universitas Bung Hatta Padang (Prof. Dr. Ir. Hafrizal Syandri, M.Si, Bu Elly,
Uni Rita, dan Pak Rio) atas izin laboratorium dan bantuan selama pengamatan
ikan contoh.
10. Rekan-rekan seperjuangan di MSP 41 (terutama Aay, Ahmad, Bakhtiar,
Shelly, Widia, Devi, Hanifa, Supriyadi, Uza); kawan-kawan seperantauan di
IPB dari Payakumbuh angkatan 41; keluarga besar IKMP; dan Laboratorium
Manajemen Sumberdaya Perikanan (MSPi)

Bogor, 15 Desember 2008

Rahmi Dina
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xv

I. PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1. Latar belakang .......................................................................... 1
1.2. Tujuan ...................................................................................... 2
1.3. Rumusan masalah ..................................................................... 2
1.4. Manfaat .................................................................................... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 4


2.1. Kondisi umum Danau Maninjau ............................................... 4
2.2. Ikan bada (Rasbora argyrotaenia) ............................................ 6
2.3. Analisis frekuensi panjang ........................................................ 8
2.4. Pertumbuhan ............................................................................ 9
2.4.1. Hubungan panjang berat dan faktor kondisi ................... 10
2.5. Mortalitas dan laju eksploitasi (E) ............................................ 12
2.6. Kondisi lingkungan perairan ..................................................... 13
2.7. Pengelolaan perikanan .............................................................. 14

III. METODE PENELITIAN ................................................................. 17


3.1. Lokasi dan waktu penelitian ..................................................... 17
3.2. Alat dan bahan ......................................................................... 18
3.3. Penentuan stasiun pengambilan ikan contoh ............................. 19
3.4. Pengambilan dan perlakuan ikan contoh ................................... 21
3.5. Pengamatan parameter lingkungan perairan .............................. 21
3.6. Identifikasi kelompok ukuran ................................................... 22
3.7. Pertumbuhan ............................................................................ 22
3.7.1. Plot Ford-Walford (L , K) dan t0 .................................. 22
3.7.2. Hubungan panjang berat dan faktor kondisi .................. 23
3.8. Mortalitas dan laju eksploitasi (E) ............................................ 24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 26


4.1. Distribusi dan habitat ................................................................ 26
4.2. Hasil tangkapan menggunakan alat tangkap bagan.................... 28
4.3. Sebaran ukuran panjang ............................................................ 29
4.4. Sebaran ukuran berat ................................................................ 34
4.5. Hubungan panjang berat ........................................................... 35
4.6. Faktor kondisi (Kt) ................................................................... 39
4.7. Parameter pertumbuhan panjang ............................................... 43
4.8. Mortalitas dan laju eksploitasi .................................................. 47
4.9. Rencana pengelolaan sumberdaya ikan bada
(Rasbora argyrotaenia) ............................................................. 50

V. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 55


5.1. Kesimpulan .............................................................................. 55
5.2. Saran ........................................................................................ 55

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 56


LAMPIRAN .......................................................................................... 60
RIWAYAT HIDUP ............................................................................... 76
DAFTAR TABEL

Halaman
1. Data morfologi Danau Maninjau ...................................................... 4

2. Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian ............................ 18

3. Hasil pengukuran dan pengamatan beberapa


parameter lingkungan ....................................................................... 26

4. Hubungan panjang berat ikan bada jantan dan betina


pada tiap stasiun dan alat tangkap..................................................... 35

5. Hasil analisis masing-masing kelompok ukuran ikan bada................ 44

6. Parameter pertumbuhan K, L , dan t0 ............................................... 45

7. Panjang dan umur ikan yang digunakan dalam analisis ..................... 47

8. Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan bada ................................... 48

9. Data hasil tangkapan ikan bada tahun 2006-2008 (ton) .................... 49


DAFTAR GAMBAR

Halaman
1. Ikan bada (Rasbora argyrotaenia) .................................................... 7

2. Faktor-faktor yang menyebabkan mortalitas ikan ............................. 12

3. Hubungan antara pengkajian stok ikan dan pengelolaan perikanan


(bagian yang diarsir mewakili aktivitas yang biasanya dilakukan
oleh ilmuwan perikanan) .................................................................. 16

4. Lokasi penelitian .............................................................................. 17

5. Lokasi pengambilan ikan contoh (Bayur) ......................................... 20

6. Lokasi pengambilan ikan contoh (Sungai Tampang) ........................ 20

7. Lokasi pengambilan ikan contoh (Muko-muko) ............................... 20

8. Sebaran ukuran panjang ikan bada pada tiap stasiun


di Danau Maninjau ........................................................................... 30

9. Sebaran ukuran panjang ikan bada di Danau Maninjau .................... 32

10. Sebaran ukuran panjang ikan bada pada minggu I-IV ....................... 33

11. Sebaran ukuran berat ikan bada (Rasbora argyrotaenia) .................. 34

12. (a) Hubungan panjang berat ikan bada jantan ................................... 37


(b) Hubungan panjang berat ikan bada betina ................................... 37
(c) Hubungan panjang berat ikan bada.............................................. 37

13. Faktor kondisi ikan bada pada stasiun Sungai Tampang ................... 39

14. Faktor kondisi ikan bada pada stasiun Muko-muko .......................... 40

15. Faktor kondisi ikan bada pada stasiun Muko-muko


dengan alat tangkap bagan................................................................ 40

16. Faktor kondisi ikan bada pada stasiun Bayur .................................... 40

17. Faktor kondisi ikan bada pada stasiun Bayur


dengan alat tangkap lukah ................................................................ 41

18. Faktor kondisi ikan bada jantan dan betina ....................................... 41


19. Faktor kondisi ikan bada pada pantai barat dan pantai timur ............. 42

20. Kelompok ukuran ikan bada ............................................................. 44

21. Kurva pertumbuhan ikan bada .......................................................... 46

22. Kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berbasis data panjang


( :titik yang digunakan dalam analisis regresi untuk menduga Z) ..... 48
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1. Alat dan bahan ................................................................................. 60

2. Produk olahan ikan bada (ikan asap/bada masiak) ............................ 62

3. Kondisi pelindung atau rasau di Sungai Tampang ............................ 63

4. Sebaran frekuensi panjang ikan bada ................................................ 64

5. Sebaran ukuran berat ikan bada ........................................................ 65

6. Uji t nilai b hubungan panjang berat ................................................. 66

7. Faktor kondisi ikan bada .................................................................. 67

8. Uji t beda nilai tengah faktor kondisi ikan bada ................................ 68

9. Penentuan parameter pertumbuhan ................................................... 70

10. Penentuan mortalitas total (Z), alami (M), penangkapan (F), dan
laju eksploitasi (E) ........................................................................... 74

11. Komposisi TKG ikan bada pada setiap ukuran mata jaring insang .... 75
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Danau Maninjau merupakan salah satu danau alami di Indonesia. Secara
geografis Danau Maninjau terletak antara 0012’26,63”LS-0025’02,80”LS dan
100007’43,74’43,74”BT-100016’22,48”BT pada ketinggian 461,5 m di atas permu-
kaan laut (Apip et al., 2003). Danau Maninjau merupakan danau multi fungsi
yang dimanfaatkan oleh multi sektor yaitu ekonomi, ekologi, dan sosial. Salah
satu sektor ekonomi penting di Danau Maninjau yaitu sektor perikanan baik tang-
kap maupun budidaya. Beberapa jenis ikan asli yang hidup di perairan Danau
Maninjau adalah ikan panjang (Anguilla mauritania), asang (Osteochilus
gnatopogon), nilem (Osteochilus hasselti), rinuak (Rosterang ryroania), gariang
(Tor douronensis, T. tambroides), gabus (Channa striata), baung (Mystus
nemurus) dan ikan bada (Rasbora argyrotaenia). Ikan bada merupakan sumber-
daya perikanan penting sebagai ikan konsumsi bernilai ekonomi tinggi di Danau
Maninjau. Harga ikan bada mencapai Rp.100-200 per ekor untuk ikan segar dan
Rp.140.000 per kilogram untuk ikan asap. Oleh karena itu, menangkap ikan bada
merupakan salah satu lapangan pekerjaan utama bagi nelayan sekitar danau.
Penangkapan terhadap ikan bada berlangsung setiap hari dalam sepanjang tahun.
Sama halnya dengan sumberdaya ikan lainnya, ikan bada merupakan
sumberdaya yang sifatnya dapat diperbaharui (renewable). Hal ini berarti jika
sumberdaya ikan diambil sebagian, maka sisa ikan yang tertinggal memiliki
kemampuan untuk memperbaharui dirinya dengan berkembang biak (Nikijuluw,
2002). Berdasarkan sifat yang dimiliki oleh sumberdaya ikan tersebut, maka
diperlukan suatu upaya pengelolaan perikanan bada agar pemanfaatannya dapat
berkelanjutan. Hal ini sesuai dengan amanat yang terdapat dalam UU Nomor 31
Tahun 2004 Bab IV Pasal 6 tentang Perikanan bahwa pengelolaan perikanan
dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dilakukan untuk
tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian
sumberdaya ikan. Menurut Leopold (1933) in von Geldren (1966) pengelolaan
perikanan adalah seni dan ilmu menghasilkan hasil ikan tahunan yang berkelanju-
tan untuk tujuan rekreasi dan komersial. Selanjutnya Allison (1996) menyatakan
bahwa pengelolaan perikanan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia,
sebagai sumber pendapatan, dan menjaga kualitas lingkungan. Pengambilan ke-
putusan mengenai pengelolaan perikanan melibatkan banyak faktor. Salah satu
faktor yang sangat penting adalah dari segi ilmiah, karena suatu keputusan penge-
lolaan perikanan harus berdasarkan bukti ilmiah yang ada (FAO, 1995).
Berdasarkan fakta di atas maka perlu dilakukan suatu penelitian menge-
nai aspek biologi sumberdaya ikan bada. Sejauh ini informasi mengenai aspek
biologi ikan bada di Danau Maninjau masih sangat minim. Penelitian yang per-
nah dilakukan mengenai aspek reproduksi ikan bada yaitu aspek fekunditas dan
diameter telur (Zarmiati, 1996) serta domestikasi, potensi serta peluang budida-
yanya (Triyanto et al., 2008). Namun, belum ada laporan mengenai dinamika
populasi seperti aspek pertumbuhan dan mortalitas yang diperlukan dalam peng-
kajian stok ikan bada. Padahal saran-saran mengenai pengelolaan perikanan baik
jangka pendek maupun jangka panjang memerlukan masukan parameter pertum-
buhan sebagai informasi dasar. Metode pengkajian stok (stock assessment) pada
intinya memerlukan data komposisi umur. Beberapa metode numerik yang telah
dikembangkan memungkinkan untuk dilakukannya konversi atas data frekuensi
panjang ke dalam komposisi umur. Kompromi paling baik bagi pengkajian stok
dari spesies tropis termasuk ikan bada (Rasbora argyrotaenia) adalah analisis
sejumlah data frekuensi panjang (Sparre dan Venema, 1999).

1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menentukan beberapa parameter biologi sumberdaya ikan bada (Rasbora
argyrotaenia) yaitu pertumbuhan dan mortalitas.
2. Merencanakan suatu opsi pengelolaan ikan bada (Rasbora argyrotaenia) yang
berkelanjutan di Danau Maninjau.

1.3 Rumusan masalah


Ikan bada adalah komoditas ikan penting dan bernilai ekonomi tinggi di
Maninjau. Tekanan terhadap ikan bada baik tekanan penangkapan yang berlang-
sung secara terus menerus maupun tekanan lingkungan yang ada akan mempenga-
ruhi populasi ikan bada. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya pengelolaan agar
pemanfaatan ikan bada (Rasbora argyrotaenia) yang berkelanjutan dapat tercapai.
Dalam hal ini diperlukan informasi dasar mengenai biologi sumberdaya ikan bada
seperti pertumbuhan dan mortalitas agar status populasi ikan bada saat ini dapat
diketahui.

1.4 Manfaat
Sebagai langkah awal pengelolaan, penelitian ini diharapkan dapat dija-
dikan sebagai salah satu masukan dari aspek biologi dalam merumuskan suatu
upaya pengelolaan ikan bada.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kondisi umum Danau Maninjau


Danau Maninjau terletak di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten
Agam, Sumatera Barat. Kecamatan Tanjung Raya terdiri dari sembilan nagari
(desa) yang terletak di sekeliling Danau Maninjau. Kesembilan nagari tersebut
adalah Tanjung Sani, Sungai Batang, Maninjau, Bayur, Duo Koto, Paninjauan,
Koto Kaciak, Koto Gadang, dan Koto Malintang (BPS Kabupaten Agam, 2006).
Secara geografis Danau Maninjau terletak antara 002’26,63”LS-
0025’02,80”LS dan 100007’43,74’43,74”BT-100016’22,48”BT pada ketinggian
461,5 m di atas permukaan laut (Apip et al., 2003). Berikut ini pada Tabel 1
disajikan data morfologi Danau Maninjau (Hartoto dan Nomosatryo, 2002):

Tabel 1. Data morfologi Danau Maninjau


No Parameter Nilai
1 Luas permukaan air 9.737,50 ha
2 Panjang maksimum 16,46 km
3 Lebar maksimum 7,5 km
4 Volume air 10.226.001.629,2 m3
5 Kedalaman maksimum 165 m
6 Kedalaman rata-rata 105,02 m
7 Panjang garis pantai 52,68 km2
8 Shore line development 1,51 km/km2

Terdapat empat sungai di Danau Maninjau yaitu Batang Antokan,


Batang Tumayo, Batang Amparan, dan Batang Kurambik. Batang Antokan
merupakan satu-satunya outlet di Danau Maninjau yang bermuara ke Samudera
Hindia (BPS Kabupaten Agam, 2006). Danau Maninjau merupakan salah satu
danau yang multiguna karena danau ini dimanfaatkan oleh banyak sektor yaitu
sektor ekonomi, ekologi, dan sosial. Pemanfaatan danau dari segi ekonomi yaitu
pada bidang pariwisata, perikanan tangkap dan budidaya, sumber air untuk
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang terdapat di Muko-muko, Kenagarian
Koto Malintang dan sumber air untuk irigasi.
PLTA di Maninjau mulai dioperasikan pada tahun 1983. Hal ini
menyebabkan sistem penggelontoran alami danau terganggu karena air tidak lagi
keluar melalui Batang Antokan melainkan melalui intake turbin dengan debit
13,39 m3/s. Selain mengganggu sistem penggelontoran alami, tertutupnya Batang
Antokan juga menghambat migrasi ikan panjang (Anguilla mauritania) yang akan
memijah sehingga saat ini ikan panjang merupakan ikan langka di Danau
Maninjau.
Sektor pariwisata cukup berkembang, terbukti dengan tingginya jumlah
wisatawan yang berkunjung ke Danau Maninjau baik domestik maupun manca-
negara. Hal ini didukung oleh tersedianya fasilitas pendukung pariwisata yang
memadai seperti transportasi, jenis wisata yang beragam, penginapan dan sifat
masyarakat yang ramah. Salah satu jenis wisata yang menjadi andalan yaitu
wisata olahraga terjun payung dan telah menarik perhatian wisatawan mancanega-
ra. Wisata olahraga ini didukung oleh bentang alam kecamatan Tanjung Raya de-
ngan adanya perbukitan yang mengelilingi danau.
Perikanan budidaya sangat berkembang di Danau Maninjau. Hal ini
terlihat dari jumlah Karamba Jaring Apung (KJA) yang ada. KJA terdapat di
sekeliling danau. Hampir tidak ada nagari yang tidak memiliki KJA, bahkan KJA
juga terdapat di kawasan yang peruntukannya untuk konservasi dan kawasan
wisata yaitu di Muko-muko, Koto Malintang. Pemilik KJA berasal dari dalam
maupun dari luar Kecamatan Tanjung Raya. Pada tahun 2006 jumlah KJA
mencapai 4.484 unit dengan 1.610 pemilik dan pada awal 2008 jumlahnya sudah
mencapai 12.106 unit. Hal ini berdasarkan komunikasi pribadi (Juli, 2008)
dengan petugas Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan (PEPERLA) setempat.
Pada umumnya jenis ikan yang dibudidayakan adalah ikan nila dan majalaya.
Hasil panen ikan didistribusikan ke wilayah di dalam dan luar Sumatera Barat.
Perikanan tangkap berlangsung setiap hari dalam sepanjang tahun. Alat
tangkap yang digunakan oleh nelayan beragam yaitu jaring insang, perangkap,
anco, bagan, dan tubo (racun). Namun saat ini penggunaan tubo (racun) untuk
menangkap ikan sudah jarang dilakukan oleh nelayan. Jaring insang dengan
ukuran mata jaring ¾ inch merupakan alat tangkap yang umum digunakan untuk
menangkap ikan bada, dan perangkap merupakan alat tangkap yang dioperasikan
pada saluran air masuk (inlet) Danau Maninjau. Ikan bada merupakan target
tangkapan utama karena merupakan komoditas perikanan penting dan bernilai
ekonomi tinggi. Ikan bada dimanfaatkan sebagai ikan konsumsi dalam bentuk
segar maupun asap (bada masiak) (Lampiran 2). Berdasarkan komunikasi pribadi
dengan masyarakat, nelayan, dan pedagang pada Juni-Juli 2008 harga ikan bada
segar berkisar Rp.14.000-Rp.20.000 per kilogram dan harga ikan bada asap
mencapai Rp. 140.000 per kilogram. Menurut warga setempat harga ikan bada
akan meningkat pada saat hari raya. Sejauh ini pemasaran ikan bada segar
terbatas di Kabupaten Agam dan Kota Bukittinggi. Selain ikan bada juga
terdapat ikan panjang (Anguilla mauritania), asang (Osteochilus gnatopogon),
nilem (Osteochilus hasselti), rinuak (Rosterang ryroania), gariang (Tor
douronensis, T. tambroides), gabus (Channa striata), baung (Mystus nemurus)
dan gastropoda yang sangat populer di Maninjau khususnya dan Sumatera Barat
umumnya yaitu ”pensi”. Sumberdaya ikan yang terkenal dan menjadi ciri khas
Maninjau yaitu bada, rinuak, dan pensi.
Danau Maninjau juga bermanfaat dari segi ekologi dan sosial. Secara
ekologi Danau Maninjau merupakan habibat dari beragam organisme, mengatur
keseimbangan hidrologi dan sebagai pengatur iklim mikro. Secara sosial danau
dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber air untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari seperti mandi, cuci, dan kakus (MCK).

2.2. Ikan bada (Rasbora argyrotaenia)


Menurut Nelson (1984) dan Kottelat (1993) ikan bada dimasukkan
dalam klasifikasi:
Filum : Chordata
Kelas : Osteichthyes
Ordo : Cypriniformes
Famili : Cyprinidae
Genus : Rasbora
Spesies : Rasbora argyrotaenia
Nama umum : Silver Rasbora (Sterba, 1969)
Nama Indonesia : Wader pati, Luncar andong, Luncar pare, Paray, Cecereh,
Pantau, Seluang (Saanin, 1968)
Pada Gambar 1 berikut ini disajikan gambar ikan bada (Rasbora
argyrotaenia):

Gambar 1. Ikan bada (Rasbora argyrotaenia) (Sumber: Koleksi pribadi, 2008)

Rasbora argyrotaenia memiliki ciri morfologi batang ekor dikelilingi


14 sisik; 1-1½ sisik antara gurat sisi dan awal sirip perut; garis warna gelap
memanjang berawal dari operkulum sampai pangkal sirip ekor dan membatasi
bagian belakang badannya; jarak dorso-hypural jika ditarik ke depan akan terletak
pada mata atau di depan mata. Variasi bentuk badan dan warna pada spesies ini
banyak sekali. Panjang standar ikan ini dapat mencapai 110 mm (Kottelat, 1993)
dan panjang total 17 cm (Sterba, 1969). Daerah penyebaran Rasbora argyrotae-
nia yaitu Jepang, China, Thailand, Kepulauan Malay (Sterba, 1969), dan
Indonesia di Sumatera, Borneo dan Jawa (Kottelat, 1993). Ikan betina memiliki
perut yang cembung dan semua sirip hampir tidak berwarna. Ikan jantan memiliki
tubuh yang lebih langsing (Sterba, 1969).
Rasbora spp termasuk ikan yang aktif. Suhu lingkungan perairan yang
sesuai untuk kelompok ikan ini adalah sekitar 24-25 0C. Makanan kelompok
Rasbora spp beragam khususnya krustasea kecil dan larva akan lebih disukai.
Telur ikan yang sudah dibuahi akan menetas setelah 24-30 jam dan akan
menempel pada tumbuhan air. Setelah menetas anak ikan dapat berenang bebas
setelah 3-5 hari. Pertumbuhan ikan muda akan cepat jika makanan hidup tersedia.

2.3. Analisis frekuensi panjang


Semua metode pengkajian stok (stock assessment) pada intinya
memerlukan masukan data komposisi umur. Pada perairan beriklim sedang, data
komposisi umur biasanya dapat diperoleh melalui penghitungan terhadap
lingkaran-lingkaran tahunan pada bagian-bagian keras seperti sisik dan otolith.
Lingkaran-lingkaran ini terbentuk karena adanya fluktuasi yang kuat dalam
berbagai kondisi lingkungan dari musim panas ke musim dingin dan sebaliknya
(Sparre dan Venema, 1999).
Selanjutnya Sparre dan Venema (1999) menjelaskan bahwa penggunaan
lingkaran-lingkaran musiman untuk menentukan umur sangat sulit, bahkan
hampir tidak mungkin dilakukan di daerah tropis, karena perubahan musim yang
sangat mencolok tidak terjadi. Belakangan ini sejumlah metode penentuan umur
telah dikembangkan dengan menggunakan sejumlah struktur yang lebih lembut.
Struktur ini disebut dengan lingkaran-lingkaran harian untuk menghitung umur
ikan dalam jumlah hari. Namun metode ini memerlukan peralatan khusus yang
relatif mahal dan tidak mungkin diaplikasikan di banyak tempat.
Beberapa metode numerik telah dikembangkan yang memungkinkan
dilakukannya konversi atas data frekuensi panjang ke dalam komposisi umur.
Oleh karena itu kompromi paling baik bagi pengkajian stok dari spesies tropis
adalah analisis sejumlah data frekuensi panjang. Analisis data frekuensi panjang
bertujuan untuk menentukan umur terhadap kelompok-kelompok panjang tertentu.
Dengan kata lain tujuannya adalah untuk memisahkan suatu distribusi frekuensi
panjang yang kompleks ke dalam sejumlah kelompok ukuran (Sparre dan
Venema, 1999).
Panjang ikan dapat ditentukan dengan mudah dan cepat dalam
investigasi di lapangan. Karena panjang ikan dari umur yang sama cenderung
membentuk suatu distribusi normal sehingga umur bisa ditentukan dari distribusi
frekuensi panjang melalui analisis kelompok umur. Kelompok umur bisa
diketahui dengan mengelompokkan ikan dalam kelas-kelas panjang dan
menggunakan modus panjang kelas tersebut untuk mewakili panjang kelompok
umur. Hasil identifikasi kelompok umur dapat digunakan untuk menghitung
pertumbuhan atau laju pertumbuhan (Busacker et al., 1990). Ketika suatu contoh
dalam jumlah yang besar dan tidak bias diambil dari suatu stok ikan atau
invertebrata, panjang masing-masing individu bisa diukur dan digambarkan
sebagai diagram frekuensi panjang. Jika pemijahan terjadi sebagai suatu peristiwa
diskret, hal ini akan menghasilkan kelompok ukuran atau kelas yang berbeda yang
dibuktikan dengan puncak atau modus pada distribusi frekuensi panjang (King,
1995). Setelah komposisi umur diketahui melalui analisis frekuensi panjang,
maka parameter pertumbuhan dapat ditentukan dengan menggunakan metode-
metode estimasi yang sesuai. Selain parameter pertumbuhan, mortalitas total juga
dapat diduga dari hasil tangkapan yang dilinearkan dan metode ini merupakan
metode berbasis panjang.

2.4. Pertumbuhan
Pertumbuhan bisa didefenisikan sebagai perubahan ukuran atau jumlah
material tubuh baik perubahan positif maupun negatif temporal maupun dalam
jangka waktu yang lama (Busacker et al., 1990); pertambahan ukuran panjang
atau berat dalam suatu waktu (Effendie, 1997). Dari sejumlah makanan yang
dimakan oleh ikan tertentu sebagian besar energinya digunakan untuk pemeliha-
raan tubuh, aktivitas, dan reproduksi. Hanya sebagian kecil (biasanya bagian)
yang tersedia untuk pertumbuhan (King, 1995).
Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dalam
dan faktor luar baik yang terkontrol maupun tidak terkontrol. Faktor dalam
umumnya adalah faktor yang sulit dikontrol seperti keturunan, sex, umur, parasit,
dan penyakit. Faktor luar yang utama mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu
suhu dan makanan (Effendie, 1997), ketersediaan makanan, laju memakan
makanan, nilai gizi makanan, dan faktor abiotik seperti ammonia dan pH
(Woothon, 1990 in Welcomme, 2001).
Dari sudut pandang perikanan, pertumbuhan sebagaimana rekruitmen
mempengaruhi berat tangkapan berkelanjutan yang dapat diambil dari suatu stok
ikan (King, 1995). Studi mengenai pertumbuhan pada dasarnya adalah penentuan
ukuran badan sebagai suatu fungsi umur. Dalam menganalisis suatu populasi
diperlukan ekspresi matematika yang menggambarkan pertumbuhan. Melalui
ekspresi matematika ini maka ukuran baik panjang maupun berat suatu individu
ikan pada umur tertentu dapat diduga (Gulland, 1969). Beberapa model telah
digunakan untuk menggambarkan pertumbuhan dengan menggunakan persamaan
matematika yang sederhana (Allen, 1971 in King, 1995). Menurut King (1995)
salah satu diantaranya adalah persamaan pertumbuhan von Bertalanffy yang
umum digunakan dalam studi pertumbuhan. Persamaan pertumbuhan von
Bertalanffy memberikan representasi pertumbuhan ikan yang memuaskan. Hal ini
karena persamaan pertumbuhan von Bertalanffy berdasarkan konsep fisiologis se-
hingga bisa digunakan untuk mengetahui beberapa masalah seperti variasi pertum-
buhan karena ketersediaan makanan (Beverton dan Holt, 1957).
Dalam analisis populasi, pertumbuhan tidak hanya dilihat dari ukuran
ikan pada umur yang berbeda namun juga perlu melihat laju pertumbuhan ikan
tersebut. Laju pertumbuhan adalah peningkatan berat atau panjang per unit
waktu. Laju pertumbuhan penting untuk diketahui dalam pendugaan perikanan
untuk melihat berat yang diperoleh melalui pertumbuhan dibandingkan dengan
kehilangan berat akibat mortalitas alami (Gulland, 1969).
2.4.1. Hubungan panjang berat dan faktor kondisi
Pengukuran panjang tubuh memberikan bukti langsung terhadap
pertumbuhan. Peningkatan ukuran panjang umumnya tetap berlangsung
walaupun ikan mungkin dalam keadaan kekurangan makanan. Panjang tubuh
dapat diukur dalam banyak cara, seperti panjang total, fork length, dan panjang
baku yang umum digunakan untuk ikan. Panjang dapat dengan mudah dan murah
diukur di lapangan maupun di laboratorium pada ikan yang masih hidup ataupun
ikan yang sudah diawetkan (Anderson & Gutreuter, 1983 in Busacker et al.,
1990). Panjang total adalah panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan
bagian kepala sampai ujung terakhir bagian ekornya. Fork length adalah panjang
ikan yang diukur dari ujung terdepan sampai ujung bagian luar lekukan ekor.
Panjang standar atau panjang baku adalah panjang ikan yang diukur dari ujung
terdepan dari kepala sampai ujung terakhir dari tulang punggungnya (Effendie,
1979).
Panjang dan berat ikan seringkali diukur secara bersamaan. Salah satu
variabel dapat diukur dari variabel lainnya jika hubungan panjang berat populasi
diketahui. Dengan jumlah ikan yang sedikit, akan lebih baik mengukur berat
sebagaimana pengukuran panjang untuk menduga laju pertumbuhan. Dengan
jumlah ikan yang banyak akan lebih akurat untuk mengukur panjang saja dan
mengkonversinya ke berat.
Panjang ikan sering lebih mudah didapatkan dibandingkan dengan umur
atau beratnya. Hubungan antara panjang dan berat ikan yaitu W=a Ln, W=berat,
L= panjang, a adalah suatu konstanta dan n suatu eksponen. Nilai n berfluktuasi
antara 2,5 sampai 4; kebanyakan mendekati 3 karena pertumbuhan mewakili
peningkatan dalam tiga dimensi sedangkan pengukuran panjang diambil dari satu
dimensi. Hubungan ini juga memungkinkan untuk membandingkan individu
dalam satu populasi maupun antar populasi (Lagler et al., 1977). Nilai b=3
menggambarkan pertumbuhan isometrik yang akan mencirikan ikan mempunyai
bentuk tubuh yang tidak berubah (Ricker, 1975) atau pertambahan panjang ikan
seimbang dengan pertambahan beratnya. Nilai b 3 menggambarkan pertumbuhan
allometrik. Nilai b<3 menunjukkan keadaan ikan yang kurus dimana pertam-
bahan panjangnya lebih cepat dari pertambahan beratnya dan nilai b>3
menunjukkan pertumbuhan berat lebih cepat dari pertumbuhan panjangnya
(Effendie, 1997). Nilai b yang berbeda dapat disebabkan oleh perbedaan spesies,
lingkungan, stok dalam spesies yang sama, tahap perkembangan ikan, jenis
kelamin, tingkat kematangan gonad, musim, bahkan perbedaan waktu dalam hari
yang sama (Bagenal, 1978).
Faktor kondisi (ponderal index) menggambarkan keadaan nutrisi atau
“kondisi baik” suatu individu ikan dan terkadang diinterpretasikan sebagai suatu
indeks laju pertumbuhan. Faktor kondisi digunakan untuk membandingkan berat
dan panjang ikan contoh atau antar individu ikan tertentu. Faktor kondisi sesuai
untuk membandingkan ikan yang berbeda dalam spesies yang sama. Faktor
kondisi juga akan berbeda tergantung jenis kelamin ikan, musim, atau lokasi
penangkapan (Ricker, 1975), dan umur (Lagler, 1970).
Menurut Yonvitner et al. (2008) pengamatan kondisi ikan dapat dilihat
dari tiga model pengamatan, yaitu:
1. Kt : kondisi yang diamati berdasarkan panjang total
2. Ks : kondisi yang diamati berdasarkan data panjang standar (baku)
3. Kf : kondisi yang diamati berdasarkan data panjang cagak

2.5. Mortalitas dan laju eksploitasi (E)


Banyak faktor yang berperan di suatu lingkungan perairan sehingga
menyebabkan berkurangnya kesempatan hidup individu ikan dalam suatu
populasi. Pada suatu stok yang telah dieksploitasi perlu untuk membedakan
mortalitas akibat penangkapan dan mortalitas alami. Laju mortalitas total (Z)
adalah penjumlahan laju mortalitas penangkapan (F) dan laju mortalitas alami (M)
(King, 1995). Lebih lanjut Halls (1998) in Welcomme (2001) menggambarkan
faktor yang menyebabkan mortalitas total ikan di danau dan rawa banjiran baik
langsung maupun tidak langsung seperti disajikan pada Gambar 2 berikut:

Predasi

Kekurangan Penyakit/
makanan parasit

Mortalitas Stress
Penangkapan total (Z) pemijahan

Isolasi Senescence

Abiotik (suhu,
polusi, DO)

Keterangan : Langsung
Tidak Langsung
Gambar 2. Faktor-faktor yang menyebabkan mortalitas ikan (Welcomme, 2001)
Mortalitas alami adalah mortalitas yang terjadi karena berbagai sebab
selain penangkapan seperti pemangsaan, penyakit, stress pemijahan, kelaparan,
dan usia tua (Sparre dan Venema, 1999). Beverton dan Holt (1957) menduga
bahwa predasi merupakan faktor eksternal yang umum sebagai penyebab
mortalitas alami. Hal yang sama juga disampaikan Welcomme (2001) bahwa
mortalitas alami ikan di danau terutama disebabkan oleh predasi baik oleh ikan,
burung, dan mamalia walaupun penyakit juga berperan terutama pada populasi
yang padat dan popolusi yang terisolasi. Mortalitas alami juga disebabkan oleh
suhu yang tinggi, kandungan oksigen yang rendah, dan kematian ikan secara tiba-
tiba seringkali berhubungan dengan perubahan yang cepat pada faktor abiotik
terutama oksigen terlarut (Das dan Pande, 1980; Welcomme, 1985 in Welcomme,
2001). Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan
von Bertalanffy K, dan L . Ikan yang pertumbuhannya cepat (nilai K tinggi)
mempunyai M tinggi dan sebaliknya. Nilai M berkaitan dengan nilai L karena
pemangsa ikan besar lebih sedikit dari ikan kecil. Menurut Pauly berdasarkan
penelitiannya terhadap 175 stok ikan dari 84 spesies, faktor lingkungan yang
mempengaruhi nilai M adalah suhu rata-rata perairan selain faktor non lingkungan
yaitu panjang maksimum ikan dan laju pertumbuhan.
Laju eksploitasi (E) didefenisikan sebagai bagian suatu kelompok umur
yang akan ditangkap selama ikan tersebut hidup. Dengan kata lain laju eksploitasi
adalah jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang
mati karena semua faktor baik alami maupun akibat penangkapan (Pauly, 1984).
Gulland (1971) in Pauly (1984) menduga bahwa dalam stok yang dieksploitasi
optimal maka laju mortalitas penangkapan (F) akan sama dengan laju mortalitas
alami (M) atau laju eksploitasi (E) sama dengan 0,5. Penentuan laju eksploitasi
merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui untuk menentukan kondisi
sumberdaya perikanan dalam pengkajian stok perikanan (King, 1995).

2.6. Kondisi lingkungan perairan


Informasi kondisi lingkungan perairan sangat penting karena hal tersebut
bisa menjelaskan hubungan antara spesies target dan lingkungannya. Parameter
yang diukur pada umumnya adalah parameter yang diperkirakan bepengaruh
langsung terhadap biologi, distribusi, dan kelimpahan ikan. Informasi yang diper-
lukan, relatif mudah, dan murah untuk diukur adalah suhu perairan (King, 1995).
Faktor lain yang perlu dilihat adalah tempat pemasukan dan pengeluaran air, yang
menutupi permukaan perairan, dan jenis dasar perairan (Effendie, 1979).
Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi
badan air. Suhu juga sangat berperan mengendalikan kondisi ekosistem perairan.
Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang disukai bagi pertumbu-
hannya. Peningkatan suhu dapat mengakibatkan peningkatan kecepatan metabo-
lisme dan respirasi organisme akuatik dan selanjutnya meningkatkan konsumsi
oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 100C menyebabkan terjadinya
peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat.
Namun, peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut
sehingga keberadaan oksigen seringkali tidak mampu memenuhi kebutuhan oksi-
gen bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi.
Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan
organik oleh mikroba (Effendi, 2003).

2.7. Pengelolaan perikanan


Berbagai definisi mengenai pengelolaan perikanan telah dikemukakan
oleh banyak pihak, Leopold (1933) in von Geldren (1966) menyatakan bahwa
pengelolaan perikanan adalah seni dan ilmu menghasilkan hasil ikan tahunan yang
berkelanjutan untuk tujuan rekreasi dan komersial, selanjutnya Allison (1996)
menyatakan bahwa pengelolaan perikanan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
manusia, sebagai sumber pendapatan, dan menjaga kualitas lingkungan.
Pengelolaan perikanan menurut UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Bab I
Pasal 1 adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam
pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan,
alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan
perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau
otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber
daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.
Pada awalnya pengelolaan perikanan bertujuan untuk melindungi stok
ikan. Saat ini pengelolaan perikanan tidak hanya sebatas melindungi stok ikan
namun juga untuk tujuan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Tujuan pengelolaan
perikanan adalah memaksimalkan hasil baik dalam bentuk berat atau biomassa
ikan maupun penerimaan (keuntungan secara ekonomi), dan menjaga stok pada
level tertentu untuk menyediakan penyangga terhadap rekruitmen yang kecil atau
menjaga stok induk minimum. Penyusunan rencana pengelolaan perikanan mem-
butuhkan data masukan dari penelitian perikanan dan pengkajian stok perikanan.
Pengkajian stok perikanan bertujuan untuk menetapkan status sumberdaya dan
menentukan tingkat ekploitasi yang berkelanjutan (King, 1995).
King (1995) menyatakan bahwa secara umum suatu rencana pengelolaan
seharusnya mengandung gambaran mengenai:
1. Kondisi perkembangan perikanan dan tingkat eksploitasi sumber daya ikan
saat ini.
2. Tujuan kebijakan pengelolaan perikanan.
3. Strategi pengelolaan untuk mencapai tujuan pengelolaan.
4. Peraturan yang akan diterapkan terhadap perikanan sesuai dengan strategi
yang disusun.
Dalam pengelolaan perikanan diperlukan keterlibatan banyak pihak yaitu
ilmuwan biologi, ahli ekonomi, politikus, sosiolog, dan ahli penangan konflik.
Dalam banyak kasus, keterlibatan pengguna lain lingkungan perairan juga diperlu-
kan dalam penyusunan rencana pengelolaan perikanan. Proses ini mengacu pada
pengelolaan co-operative atau co-management (Pinkerton, 1989 in King, 1995).
Berdasarkan UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Bab IV Pasal 6 ayat (2) di-
sebutkan bahwa pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan
pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan
lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa rencana pengelolaan
perikanan harus berdasarkan bukti ilmiah, salah satunya adalah mengenai pengka-
jian stok ikan. Berikut ini (Gambar 3) disajikan hubungan antara pengkajian stok
ikan dan pengelolaan perikanan:
Pengkajian
Pengkajian
Stok Ikan perikanan
perikanan
(model-model
(pengumpulan
populasi)
data)

Saran

Aktivitas
penangkapan

Penyusunan
Regulasi kebijakan
pengelolaan dan
Pemanfaatan pengambilan
sumberdaya keputusan
perairan lainnya

Gambar 3. Hubungan antara pengkajian stok ikan dan pengelolaan perikanan


(bagian yang diarsir mewakili aktivitas yang biasanya dilakukan oleh
ilmuwan perikanan) (Cowx, 1996)

Langkah teknis yang dapat dilakukan dalam menetapkan regulasi yang


akan diterapkan yaitu pembatasan ukuran mata jaring alat tangkap, pembatasan
jenis alat tangkap, pengaturan musim dan wilayah dimana aktivitas penangkapan
tidak diijinkan (Welcomme, 2001). Lagler (1970) menyatakan bahwa dalam
mencapai tujuan produksi ikan maksimum yang berkelanjutan dapat dilakukan
pengelolaan lingkungan perairan, pengelolaam populasi ikan, ataupun keduanya.
Dalam memutuskan perlu tidaknya tindakan tersebut dilakukan, maka diperlukan
survei perikanan yang intensif.
III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan waktu penelitian


Penelitian ini dilakukan di perairan umum Danau Maninjau, Kecamatan
Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat (Gambar 4). Pengambilan ikan
contoh berlangsung mulai 18 Juni sampai 09 Juli 2008 dengan interval waktu pe-
ngambilan tetap yaitu satu minggu. Penangkapan ikan bada di Danau Maninjau
berlangsung sepanjang tahun sehingga pengambilan ikan contoh pada waktu yang
telah ditentukan bisa dilakukan. Menurut King (1995) salah satu metode untuk
menentukan parameter pertumbuhan adalah analisis contoh tunggal menggunakan
plot Ford-Walford. Analisis contoh tunggal mensyaratkan ikan contoh diambil
dalam interval waktu yang sama, dalam penelitian ini yaitu satu minggu.
Pengamatan ikan contoh bertempat di Laboratorium Dasar Kimia, Fakultas
Teknik Industri, Universitas Bung Hatta, Padang pada bulan Agustus 2008.

2 3

Keterangan : Lokasi Pengambilan ikan contoh


1; 2; 3= Sungai Tampang (Kenagarian Tanjung Sani); Muko-muko (Kenagarian Koto Malintang);
Bayur (Kenagarian Bayur)
(Sumber: Marganof, 2007)
Gambar 4. Lokasi Penelitian
3.2. Alat dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian disajikan pada Tabel 2
berikut:

Tabel 2. Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian


No Alat dan Bahan Kegunaan
A. Alat
1 Jaring insang 5/8 inch, ¾ inch, Menangkap ikan pada ketiga lokasi
dan 1 inch pengambilan ikan contoh
2 Perangkap (lukah) berbentuk Menangkap ikan di inlet (Banda Sungai
persegi dengan ukuran 90 cm x Rangai)
50 cm x 30 cm
3 Bagan Menangkap ikan di Muko-muko
4 Sampan Alat transportasi ke danau
5 Papan ukur dengan ketelitian 1 Mengukur panjang total ikan
mm
6 Neraca elektrik dengan Menimbang berat basah total ikan
ketelitian 0,001 gram
7 Termometer Mengukur suhu permukaan perairan
8 Satu set alat bedah Membedah ikan untuk melihat ciri primer
jenis kelamin ikan
9 Sepasang sarung tangan Melindungi tangan dari cairan pengawet
selama pembedahan
10 Masker Melindungi hidung dari bau pengawet
yang menyengat
11 Kamera Mendokumentasikan kegiatan penelitian.

B. Bahan
1 Formalin Pengawet ikan contoh
2 Kantong Plastik Wadah ikan yang diawet
3 Kertas Label Memberi tanda pada ikan sesuai dengan
stasiun, waktu, dan alat pengambilan ikan
contoh.

Pengertian jaring insang (gill net) yang umum berlaku di Indonesia


adalah satu jenis alat penangkap ikan dari bahan jaring yang bentuknya empat
persegi panjang dimana mata jaring dari bagian jaring utamanya sama, jumlah
mata jaring ke arah panjang atau ke arah horisontal (Mesh Length (ML)) jauh
lebih banyak daripada jumlah mata jaring ke arah vertikal atau ke arah dalam
(Mesh Depth (MD)), pada bagian atasnya dilengkapi dengan beberapa pemberat
(sinkers) sehingga dengan adanya dua gaya yang berlawanan memungkinkan
jaring insang dapat dipasang di daerah penangkapan dalam keadaan tegak
(Martasuganda, 2002).

3.3. Penentuan stasiun pengambilan ikan contoh


Penentuan stasiun pengambilan ikan contoh didasarkan pada perbedaan
faktor yang mempengaruhi lingkungan perairan Danau Maninjau dan perbedaan
jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan bada. Lokasi yang dipi-
lih diperkirakan dapat mewakili kondisi Danau Maninjau dan populasi ikan bada
secara umum. Ikan contoh diambil pada tiga lokasi yang berbeda yaitu Bayur,
Sungai Tampang, dan Muko-muko dengan deskripsi masing-masing lokasi
sebagai berikut:
a. Bayur (Gambar 5) : Bayur terletak pada pantai timur Danau Maninjau.
Sumber pencemaran berasal dari limbah pertanian, limbah budidaya bibit ikan
untuk KJA, limbah domestik, dan limbah kegiatan perikanan budidaya dengan
sistem karamba jaring apung (KJA). Pada lokasi ini terdapat saluran air
masuk ke danau berupa sungai kecil Banda Sungai Rangai. Zona litoral danau
memiliki substrat pasir berkerikil dan bebatuan. Alat tangkap yang digunakan
pada lokasi ini yaitu jaring insang dan perangkap (lukah). Perangkap
dioperasikan pada mulut saluran air masuk (inlet) Banda Sungai Rangai.
Selanjutnya pada lokasi ini terdapat dua stasiun yaitu Bayur dan Bayur lukah.
b. Sungai Tampang (Gambar 6) : Sungai Tampang terletak pada pantai barat
Danau Maninjau. Sumber pencemaran berasal dari limbah domestik dan
limbah kegiatan perikanan budidaya dengan sistem karamba jaring apung
(KJA). Pantai barat berbatasan langsung dengan perbukitan sehingga tidak
bisa digunakan untuk lahan pertanian. Zona litoral danau memiliki substrat
berbatu dan terdapat pepohonan yang relatif lebih banyak pada tepian danau
dibandingkan dengan pantai timur. Alat tangkap yang digunakan pada lokasi
ini yaitu jaring insang.
c. Muko-muko (Gambar 7) : Pada lokasi ini terdapat satu-satunya saluran air
keluar (outlet) alami Danau Maninjau yaitu Batang Antokan, dan Pembangkit
Listrik Tenaga Air (PLTA). Muko-muko juga berlokasi pada pantai barat
Danau Maninjau. Sumber pencemaran pada lokasi ini berasal dari limbah
domestik dan limbah kegiatan perikanan budidaya dengan sistem karamba
jaring apung (KJA). Pantai barat berbatasan langsung dengan perbukitan
sehingga tidak bisa digunakan untuk lahan pertanian. Zona litoral danau
memiliki substrat berbatu serta terdapat pepohonan yang relatif lebih banyak
pada tepian danau dibandingkan dengan pantai timur. Alat tangkap yang
digunakan pada lokasi ini yaitu jaring insang dan bagan. Selanjutnya pada
lokasi ini terdapat dua stasiun yaitu Muko-muko dan Muko-muko bagan.

Gambar 5. Lokasi pengambilan ikan contoh (Bayur)

Gambar 6. Lokasi pengambilan ikan contoh (Sungai Tampang)

Gambar 7. Lokasi pengambilan ikan contoh (Muko-muko)


3.4. Pengambilan dan perlakuan ikan contoh
Pengambilan ikan contoh pada masing-masing stasiun dilakukan setiap
minggu selama empat minggu. Menurut Carlander (1956) in Miller (1966)
jumlah contoh yang diperlukan pada tingkat kepercayaan 99%, 98%, dan 95%
adalah 550, 150, dan 30 dengan asumsi bahwa contoh yang diambil sudah
mewakili populasi yang sebenarnya. Selanjutnya menurut Lagler (1970) untuk
memperoleh hasil yang baik dalam penggunaan metode frekuensi panjang maka
jumlah contoh harus banyak. Berdasarkan pertimbangan di atas dan hasil survei
pendahuluan serta komunikasi dengan nelayan maka ditetapkan jumlah ikan
contoh yang diambil 20% dari hasil tangkapan nelayan pada masing-masing uku-
ran mata jaring insang dan 50 ekor pada alat tangkap bagan dan perangkap
(lukah). Hal ini dengan asumsi bahwa jumlah tersebut sudah memenuhi kriteria
Carlander (1956) in Miller (1966) dan Lagler (1970).
Ikan contoh diukur panjang dan beratnya. Panjang ikan bada yang
diukur yaitu panjang total. Panjang total adalah panjang ikan yang diukur mulai
dari ujung terdepan bagian kepala sampai ujung terakhir bagian ekornya. Panjang
total bisa diukur ke unit terdekat di bawahnya (Sparre dan Venema, 1999) atau ke
satuan terdekat (King, 1995). Dalam hal ini panjang total diukur ke unit terdekat
di bawahnya. Berat ikan bada yang akan diukur yaitu berat basah total. Berat
basah total adalah berat total jaringan tubuh ikan dan air yang terdapat di
dalamnya. Pengukuran berat basah total merupakan cara pengukuran berat yang
paling mudah dilakukan di lapangan (Busacker et al., 1990). Pengukuran panjang
dan berat dibedakan berdasarkan jenis kelamin yaitu jantan dan betina. Penentuan
jenis kelamin berdasarkan ciri primer jenis kelamin ikan dengan melihat organ
reproduksinya melalui pembedahan. Pada ikan yang sudah matang gonad ikan
jantan dan betina dapat dibedakan dengan menekan secara lunak bagian perut
ikan. Ikan jantan akan mengeluarkan cairan berwarna putih susu dan ikan betina
akan mengeluarkan cairan berwarna kekuningan.

3.5. Pengamatan parameter lingkungan perairan


Beberapa parameter lingkungan diamati secara visual seperti ada atau
tidaknya lapisan minyak, benda terapung/sampah, tumbuhan air dan substrat zona
litoral perairan. Parameter suhu permukaan perairan Danau Maninjau diukur pada
tiga lokasi berbeda yaitu Gasang, Bayur, dan Sungai Tampang masing-masing
selama tiga hari berturut-turut pada pagi, siang, dan sore hari.

3.6. Identifikasi kelompok ukuran


Kelompok ukuran ikan bada diidentifikasi atau dipisahkan menggunakan
metode Battacharya (Sparre dan Venema, 1999). Metode Battcharya merupakan
metode pemisahan kelompok umur secara grafis.

3.7. Pertumbuhan
3.7.1. Plot Ford-Walford (L , K) dan t0
Plot Ford-Walford merupakan salah satu metode paling sederhana dalam
menduga persamaan pertumbuhan von Bertalanffy dengan interval waktu
pengambilan contoh yang sama (King, 1995). Berikut ini adalah persamaan per-
tumbuhan von Bertalanffy:
L t = L∞ (1 − exp[− K (t − t 0 )]) (1)
Keterangan: Lt = panjang ikan pada saat umur t (satuan waktu)
L = panjang maksimum secara teoritis (panjang asimtotik)
K = koefisien pertumbuhan (per satuan waktu)
t0 = umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol
Penurunan plot Ford-Walford didasarkan pada persamaan pertumbuhan
von Bertalanffy (1) dengan t0 sama dengan nol, maka persamaannya menjadi:
L t = L ∞ (1 − exp[− Kt ]) (2)

L∞ − L t = L∞ exp[− Kt ] (3)

Setelah Lt+1 disubstitusikan ke persamaan (2) maka diperoleh delta atau


perbedaan persamaan baru tersebut dengan persamaan (2) sebagai berikut:
L t +1 − L t = L∞ (1 − exp[− K (t + 1)]) − L ∞ (1 − exp[− Kt ])

= L∞ exp[− Kt ](1 − exp[− K ]) (4)


Persamaan (3) disubstitusikan ke persamaan (4) maka akan diperoleh
persamaan:
L t +1 − L t = (L ∞ − L t )(1 − exp[− K ])

L t +1 = L ∞ (1 − exp[− K ]) + L t exp[− K ] (5)


Lt dan Lt+1 merupakan panjang ikan pada saat t dan panjang ikan yang
dipisahkan oleh interval waktu yang konstan (1=tahun, bulan, atau minggu)
(Pauly, 1984). Persamaan (5) merupakan persamaan linear dan jika Lt (sumbu x)
diplotkan terhadap Lt+1 (sumbu y) maka garis lurus yang dibentuk akan memiliki
kemiringan (slope) (b) = exp[− K ] dan titik potong dengan sumbu x

(a) = L ∞ (1 − exp[− K ]) .
Umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol dapat diduga
secara terpisah menggunakan persamaan empiris Pauly (Pauly, 1983 in Amir,
2006):
log(− t 0 ) = 0,3922 − 0,2752(log L ∞ ) − 1,038(log K )
3.7.2. Hubungan panjang berat dan faktor kondisi
Hubungan antara panjang (L) dan berat (W) ikan bada jantan dan betina
secara umum adalah (Pauly, 1984):
W = aLb
Nilai a dan b diduga dari bentuk linear persamaan di atas yaitu:
log W = log a + b log L
1. Jika nilai b= 3 maka pertumbuhan berat adalah isometrik
2. Jika nilai b 3 maka pertumbuhan berat adalah allometrik.
a. jika b > 3 maka pertumbuhan berat adalah allometrik positif
b. jika b < 3 maka pertumbuhan berat adalah allometrik negatif.
Untuk menguji hipotesis nol bahwa 0 dapat dihitung t. Jika nilai t > t /2, n-2)

maka hipotesis nol ditolak dan jika t < t /2, n-2) hipotesis nol gagal ditolak (Steel
dan Torrie, 1989).
Faktor kondisi dapat dihitung dengan rumus (Bal dan Rao, 1984 in
Yonvitner et al., 2008):
1. Jika pertumbuhan ikan isometrik maka faktor kondisi ditentukan dengan:
W10 5
K (t, s, f) =
L3
2. Jika pertumbuhan ikan allometrik maka faktor kondisi ditentukan dengan:
W
K (t, s, f) =
aLb
Keterangan: W = berat aktual ikan tertentu
L = panjang ikan tertentu
a, b = koefisien persamaan hubungan panjang berat

3.8. Mortalitas dan laju eksploitasi (E)


Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang
dilinearkan berdasarkan data komposisi panjang (Sparre dan Venema, 1999)
dengan tahap-tahap sebagai berikut:
Langkah 1: Mengkonversikan data panjang ke data umur dengan menggunakan
inverse persamaan pertumbuhan von Bertalanffy:
1  L 
t(L) = t 0 −  * ln 1 −  

K  L∞ 
Langkah 2: Menghitung waktu yang diperlukan oleh rata-rata ikan untuk tumbuh
dari panjang L1 ke L2 ( t)
1  (L − L1 )  
∆t = t(L 2 ) − t(L1 ) =  * ln  ∞  
 (L ∞ − L 2 )  

K
Langkah 3: Menghitung (t+ t/2)

t
(L1 + L 2 ) = t 1  (L + L 2 )  
−  * ln 1 − 1 
2L ∞  
0
2 K 
Langkah 4: Menurunkan kurva hasil tangkapan (C) yang dilinearkan yang
dikonversikan ke panjang:
C(L1 , L 2 ) (L + L 2 )
ln = c − Z* t 1
t (L1 , L 2 ) 2
Persamaan di atas adalah persamaan linear, dengan kemiringan (b) = -Z.
Laju mortalitas alami (M) diduga menggunakan rumus empiris
Pauly (1980) in Sparre dan Venema (1999):
ln M = −0,0152 − 0,279 * ln L ∞ + 0,6543 * ln K + 0,463 * ln T

M = e (lnM )
Keterangan: M = mortalitas alami
L = panjang asimtotik pada persamaan pertumbuhan von
Bertalanffy
K = koefisien pertumbuhan pada persamaan pertumbuhan von
Bertalanffy
T = rata-rata suhu permukaan air (0C)
Laju mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan :
F = Z−M
Laju eksploitasi ditentukan dengan membandingkan mortalitas penang-
kapan (F) terhadap mortalitas total (Z) (Pauly, 1984):
F F
E= =
F+ M Z
Laju mortalitas penangkapan (F) atau laju eksploitasi optimum menurut
Gulland (1971) in Pauly (1984) adalah:
Foptimum = M dan E optimum = 0,5
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Distribusi dan habitat


Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa ikan bada terdapat di sekeli-
ling danau. Hal ini dilihat dari keberadaan nelayan ikan bada dan produk olahan-
nya yang terdapat di seluruh nagari di sekeliling Danau Maninjau. Menurut nela-
yan setempat ikan bada berukuran kecil banyak terdapat pada bagian tepi danau
dan ikan berukuran besar relatif ke bagian tengah danau (komunikasi pribadi, Mei
2008).
Berikut ini pada Tabel 3 disajikan hasil pengamatan dan pengukuran be-
berapa parameter lingkungan perairan Danau Maninjau:

Tabel 3. Hasil pengukuran dan pengamatan beberapa parameter lingkungan


No Parameter Lingkungan Hasil
1 Suhu permukaan:
a) Pagi a) 26,4-27,8 0C
b) Siang b) 28,3-30,7 0C
c) Sore c) 27,5-29,2 0C
d) Rata-rata d) 28,3±0,1 0C
2 Tumbuhan air Enceng gondok dan kangkung
3 Sampah Ada
4 Lapisan minyak Ada
5 Warna Jernih kehijaun
6 Bau Berbau

Suhu permukaan air danau berkisar antara 26,40C-30,70C dengan rata-


rata suhu harian 28,3±0,10C. Hasil ini tidak berbeda jauh dengan hasil pengu-
kuran suhu permukaan yang dilakukan oleh Nomosatryo et al. (2002) yaitu
28,290C (Mei); 27,620C (September); dan 27,640C (November). Pada tahun
2005 Triyanto et al. (2008) juga melakukan pengukuran terhadap beberapa
parameter kualitas air habitat ikan bada dan diperoleh nilai suhu 28,80C-29,20C,
pH 7,42-8,45; oksigen terlarut 6,64-8,48 mg/L, dan konduktivitas 0,107-1,097
mS/cm. Hasil Ekspedisi Sunda Pada tanggal 11 Maret 1929 menunjukkan bahwa
suhu rata-rata perairan Danau Maninjau adalah 27,38±0,360C. Berdasarkan hasil
di atas diketahui bahwa nilai suhu rata-rata perairan danau mengalami
peningkatan dari tahun 1929. Peningkatan tersebut diduga karena peningkatan
pencemaran di danau maupun karena efek peningkatan suhu bumi yang berlaku
global saat ini. Namun nilai suhu rata-rata tersebut masih dalam nilai yang dapat
mendukung kehidupan ikan bada. Hal ini dapat dilihat dari suhu habitat Rasbora
jenis lainnya di Indonesia. Suhu habitat Rasbora einthovenii di Jambi 23,3-300C
(Dinas Perikanan Provinsi Jambi, 1995), Rasbora sumatrana di Rawa Bereng-
bengkel, Palangkaraya 27-360C (Sulistiyarto, 1998), Rasbora dusonensis 26,90-
28,600C pada saat air naik, dan 27,20-30,300C pada saat air turun di Rawa Gam-
but Desa Dadahup, Kalimantan Tengah (Zahid, 2008).
Selama survei berlangsung ditemukan adanya tumbuhan air, sampah dan
lapisan minyak pada tepian danau. Jenis tumbuhan air yang terlihat yaitu enceng
gondok dan kangkung. Sampah yang ditemukan adalah sampah jenis plastik dan
terlihat lapisan minyak pada permukaan air. Masukan sampah dan lapisan minyak
ini bersumber dari limbah domestik masyarakat sekitar karena di sekeliling danau
terdapat pemukiman penduduk, rumah makan, dan hotel. Air danau terlihat
berwarna kehijauan, berbau kotoran dan pakan ikan.
Eddy (1969) menyatakan bahwa cara reproduksi ikan kelompok karper-
karperan (minnows) yaitu acak, di air dangkal dan pada tempat-tempat khusus
seperti di daerah bebatuan, dan tumbuhan air (Sterba, 1969). Adanya sampah dan
lapisan minyak di tepian danau menandakan masuknya bahan pencemar ke Danau
Maninjau. Bahan pencemar yang masuk ke Danau Maninjau berasal dari limbah
domestik, limbah pertanian dan limbah kegiatan perikanan budidya sistem KJA.
Nutrien dari limbah di luar perairan akan terakumulasi di bebatuan ataupun
tumbuhan air. Akumulasi nutrien tersebut akan mendorong pertumbuhan alga dan
mikroba yang mengkonsumsi oksigen. Kondisi ini membahayakan telur ikan
yang membutuhkan oksigen pada tingkat kritis (McComas, 2003).
Secara keseluruhan bahan pencemar baik yang berasal dari luar maupun
dari dalam perairan Danau Maninjau dapat menyebabkan eutrofikasi. Eutrofikasi
adalah proses pengkayaan perairan melalui masuknya nutrien terutama fosfor dan
nitrogen. Masukan nutrien terutama berasal dari limbah pertanian dan limbah
domestik. Eutrofikasi di danau secara berangsur akan merubah tingkat trofik
perairan dan akan merubah fauna dan flora danau tersebut. Pada kondisi yang su-
dah sangat ekstrim akan menyebabkan defisit oksigen karena meningkatnya BOD
(Welcomme, 2001). Pada perairan Danau Maninjau nutrien juga berasal dari sisa
pakan dan kotoran ikan dari kegiatan KJA. Pengoperasian PLTA sejak tahun
1983 turut mempengaruhi kualitas air Danau Maninjau karena terganggunya
proses penggelontoran alami.
Secara umum telah terjadi penurunan kualitas air Danau Maninjau yang
terlihat dari eutrofikasi, penurunan tinggi muka air, dan kematian massal ikan
(Apip et al., 2003) yang terjadi pada tahun 1997 dan 2000 (Syandri, 2002b in
Marganof, 2007). Bapedalda Sumbar (2001) in Marganof (2007) melaporkan
bahwa penyebab utama penurunan kualitas perairan Danau Maninjau adalah
akibat dari kegiatan perikanan KJA yang sudah melampaui daya dukung perairan
danau. LPP UMJ (2006) in Marganof (2007) juga mengungkapkan bahwa
kualitas perairan Danau Maninjau cenderung terus menurun dari waktu ke waktu,
akibat semakin tingginya tingkat pencemaran karena buangan limbah domestik
dan pertanian. Kondisi ini tentu akan mengganggu fungsi ekologis Danau
Maninjau sebagai habitat berbagai organisme termasuk ikan bada.

4.2. Hasil tangkapan menggunakan alat tangkap bagan


Bagan merupakan alat tangkap berbentuk segi empat seperti karamba
dengan ukuran mata jaring kecil sehingga dapat menangkap ikan bada dengan
ukuran yang beragam bahkan ikan dengan ukuran yang sangat kecil. Bagan
dioperasikan pada malam hari dengan menggunakan cahaya lampu sebagai
atraktor untuk menarik perhatian ikan. Jika ikan sudah banyak maka bagan akan
diangkat. Jenis ikan yang tertangkap dengan alat tangkap ini yaitu bada dan
rinuak. Hasil tangkapan bada tertinggi yang pernah didapat yaitu 40 kg per
malam dengan rata-rata 10-20 kg per malam. Berdasarkan panjang ikan hasil
tangkapan bagan diketahui bahwa bagan merupakan alat tangkap yang merugikan
secara biologi dan tidak memberi keuntungan yang besar secara ekonomi. Hal ini
karena banyak ikan yang belum sempat tumbuh mencapai ukuran yang cukup
besar untuk dapat mendukung biomassa sehingga dapat menyebabkan tangkap
lebih pertumbuhan (growth overfishing) (Sparre dan Venema, 1999) jika
penangkapan ikan dengan bagan terus berlangsung. Secara ekonomi hasil tangka-
pan berupa ikan berukuran sangat kecil juga tidak menguntungkan. Hal ini
disebabkan ikan berukuran kecil tidak disukai oleh konsumen karena rasanya
pahit sehingga ikan-ikan tersebut hanya dimanfaatkan sebagai pakan ternak.
Selama penelitian berlangsung frekuensi dan interval waktu pengambi-
lan ikan contoh dengan alat tangkap bagan tidak sama dengan pengambilan ikan
contoh menggunakan jaring insang dan lukah karena alasan teknis di lapangan
pada waktu dan lokasi pengambilan ikan contoh yang telah ditetapkan. Berdasar-
kan pertimbangan di atas maka data panjang pada alat tangkap bagan hanya
digunakan untuk analisis hubungan panjang berat dan faktor kondisi dengan pan-
jang ikan minimal yang digunakan dalam analisis yaitu 5 cm.

4.3. Sebaran ukuran panjang


Sebaran ukuran panjang ikan bada selama pengamatan di tiap stasiun
disajikan pada Gambar 8 dan sebaran ukuran panjang ikan bada secara
keseluruhan disajikan pada Gambar 9. Ikan contoh yang digunakan dalam
analisis sebaran ukuran panjang terdiri dari 29,35% (270 ekor) ikan jantan dan
70,65% (650 ekor) ikan betina dari total 920 ekor ikan yang digunakan. Perbandi-
ngan ikan jantan dan betina pada stasiun Sungai Tampang, Muko-muko, Bayur,
dan Bayur lukah yaitu 0,24:0,76; 0,24:0,76; 0,26:0,76; dan 0,56:0,54.
Pada stasiun Sungai Tampang ikan jantan terletak pada selang kelas 73-
78 mm sampai 97-102 mm dengan frekuensi tertinggi pada selang kelas 79-84
mm. Ikan betina berada pada selang kelas yang lebih lebar yaitu 73-78 mm
sampai 127-132 mm dengan frekuensi tertinggi pada selang kelas 91-96 mm.
Ikan contoh pada stasiun Muko-muko, Bayur, dan Bayur lukah juga
memperlihatkan pola yang sama dimana ikan jantan terdapat pada selang kelas
yang lebih sempit dibandingkan dengan ikan betina. Ikan jantan pada stasiun
Muko-muko berada pada selang kelas 73-78 mm sampai 103-108 mm dengan
frekuensi tertinggi pada selang kelas 85-90 mm, sedangkan ikan betina terdapat
pada selang kelas 79-84 mm sampai 127-132 mm dengan frekuensi tertinggi pada
selang kelas 91-96 mm.
Sungai Tampang

50,00
45,00

Frekuensi relatif (%)


40,00
35,00
30,00
25,00
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
69,5 75,5 81,5 87,5 93,5 99,5 105,5 111,5 117,5 123,5 129,5

Muko-Muko
50,00
45,00
Frekuensi relatif (%)

40,00
35,00
30,00
25,00
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
69,5 75,5 81,5 87,5 93,5 99,5 105,5 111,5 117,5 123,5 129,5

Bayur
50,00
45,00
Frekuensi relatif (%)

40,00
35,00
30,00
25,00
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
69,5 75,5 81,5 87,5 93,5 99,5 105,5 111,5 117,5 123,5 129,5

Bayur-Lukah
50,00
45,00
Frekuensi relatif (%)

40,00
35,00
30,00
25,00
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
69,5 75,5 81,5 87,5 93,5 99,5 105,5 111,5 117,5 123,5 129,5

Nilai tengah kelas panjang (mm)


Jantan Betina

Gambar 8. Sebaran ukuran panjang ikan bada pada tiap stasiun di Danau
Maninjau
Ikan jantan pada stasiun Bayur dengan alat tangkap jaring insang dan
lukah terdapat pada selang kelas 73-78 mm sampai 97-102 mm dan 67-72 mm
sampai 97-102 mm dengan frekuensi tertinggi masing-masing pada selang kelas
91-96 mm dan 79-84 mm. Ikan betina pada masing-masing alat tangkap pada
stasiun Bayur terdapat pada selang kelas 79-84 mm sampai 121-126 mm dengan
frekuensi tertinggi pada selang kelas yang sama yaitu 97-102 mm.
Berdasarkan hal di atas diketahui bahwa pada semua stasiun pengamatan
dan alat tangkap yang digunakan ikan bada jantan terletak pada selang kelas yang
lebih kecil dibandingkan dengan ikan bada betina. Berkaitan dengan alat tangkap
yang digunakan yaitu jaring insang yang selektif terhadap ukuran, misalnya
panjang maka baik secara langsung maupun tidak langsung alat tangkap ini juga
akan selektif terhadap karakteristik lainnya pada ikan misalnya tingkat ke-
matangan gonad. Jaring insang akan lebih memilih ikan aktif yang kemungkinan
berhubungan dengan tingkat kematangan gonad dan makanan (Gulland, 1980).
Berdasarkan asumsi ini maka diketahui bahwa ikan bada jantan matang gonad
pada ukuran yang lebih kecil jika dibandingkan dengan ikan betina sehingga ikan
bada jantan banyak tertangkap pada jaring insang dengan ukuran mata jaring lebih
kecil (Lampiran 11).
Secara keseluruhan diketahui bahwa frekuensi tertinggi ikan bada jantan
31,48% terdapat pada selang kelas 85-90 mm dan frekuensi tertinggi ikan bada
betina 35,54% terdapat pada selang kelas 97-102 mm seperti disajikan pada
Gambar 9. Hasil ini menunjukkan bahwa ukuran ikan bada betina lebih besar
dibandingkan ikan bada jantan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nikolsky (1963)
bahwa biasanya ukuran ikan betina lebih besar beberapa satuan dibandingkan ikan
jantan untuk menjamin fekunditas yang besar dalam stok dan perbedaan ukuran
ini dicapai melalui ikan jantan yang matang gonad lebih cepat dan jangka
hidupnya yang lebih singkat. Menurut Lagler (1977) perbedaan ukuran antar
jenis kelamin kemungkinan disebabkan oleh faktor genetik. Sebagai contoh
minnows (karper-karperan, famili Cyprinidae) di Amerika Utara. Mayoritas
ukuran ikan betina spesies ini lebih besar dibandingkan jantan, sebaliknya
beberapa spesies seperti Nocomis biguttatus dan Pimephalinae, ikan jantan
berukuran lebih besar.
50,00
45,00

Frekuensi Relatif (%)


40,00
35,00
30,00
25,00
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
69,5 75,5 81,5 87,5 93,5 99,5 105,5 111,5 117,5 123,5 129,5
Nilai tengah kelas panjang (mm)
Jantan Betina

Gambar 9. Sebaran ukuran panjang ikan bada di Danau Maninjau

Pada selang kelas 109-114 sudah tidak ditemukan adanya ikan jantan.
Namun pada selang kelas 121-126 mm ditemukan satu ikan jantan. Ukuran ikan
betina terbesar ditemukan pada selang 127-132 mm. Ikan berukuran besar dengan
jumlah yang sangat sedikit ini diduga adalah induk ikan bada. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Lagler et al., (1977) bahwa ukuran terbesar yang muncul pada
umumnya berhubungan dengan induk yang paling “penting”. Panjang total
maksimum ikan bada yang tertangkap adalah 132 mm. Menurut Sterba (1969)
panjang total maksimum Rasbora argyrotaenia mencapai 170 mm. Perbedaan ini
dapat dijelaskan oleh beberapa kemungkinan yaitu perbedaan lokasi pengambilan
ikan contoh, keterwakilan contoh yang diambil, dan kemungkinan terjadinya
tekanan penangkapan yang tinggi. Spesies yang sama pada lokasi yang berbeda
akan memiliki pertumbuhan yang berbeda pula karena perbedaan faktor luar
maupun faktor dalam yang mempengaruhi pertumbuhan ikan tersebut. Menurut
Effendi (1997) faktor dalam umumnya adalah faktor yang sulit dikontrol seperti
keturunan, sex, umur, parasit, dan penyakit. Faktor luar yang utama
mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu suhu dan makanan (Effendie, 1997).
Dengan asumsi bahwa ikan contoh sudah mewakili populasi yang ada maka
ukuran panjang total maksimum yang lebih kecil bisa mengindikasikan adanya
tekanan penangkapan yang tinggi. Namun untuk menyimpulkan hal ini diperlu-
kan pembandingan dengan spesies dan lokasi yang sama serta kajian lebih lanjut.
Kemungkinan terakhir adalah tidak terpilihnya ikan yang lebih besar pada saat
pengambilan ikan contoh karena pengacakan.
Pada Gambar 10 berikut disajikan frekuensi ikan pada minggu I-IV:

Minggu I
40,00
35,00
Frekuensi relatif (%) 30,00
25,00
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
69,5 75,5 81,5 87,5 93,5 99,5 105,5 111,5 117,5 123,5 129,5

Nilai Tengah Kelas Panjang (mm)

Minggu II
40,00
35,00
Frekuensi relatif (%)

30,00
25,00
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
69,5 75,5 81,5 87,5 93,5 99,5 105,5 111,5 117,5 123,5 129,5

Nilai Tengah Kelas Panjang (mm)

Minggu III
40,00
35,00
Frekuensi relatif (%)

30,00
25,00
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
69,5 75,5 81,5 87,5 93,5 99,5 105,5 111,5 117,5 123,5 129,5

Nilai Tengah Kelas Panjang (mm)

Minggu IV
40,00
35,00
Frekuensi relatif (%)

30,00
25,00
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
69,5 75,5 81,5 87,5 93,5 99,5 105,5 111,5 117,5 123,5 129,5

Nilai Tengah Kelas Panjang (mm)

Gambar 10. Sebaran ukuran panjang ikan bada pada minggu I-IV
Jumlah ikan terbanyak berubah dengan perubahan waktu seperti
disajikan pada Gambar 10. Pada minggu I jumlah ikan terbanyak berada pada
selang kelas panjang 91-96 mm dan minggu II jumlah ikan terbanyak terdapat
pada selang kelas panjang 97-102 mm. Jumlah ikan terbanyak pada minggu III
dan IV yaitu 91-96 mm. Pergeseran selang ukuran panjang ikan yang banyak
tertangkap ke selang ukuran yang lebih besar dapat dijadikan sebagai indikasi
adanya pertumbuhan pada interval waktu pengamatan yaitu satu minggu. Dengan
adanya pertumbuhan dalam interval waktu yang singkat maka diduga bahwa ikan
bada memiliki laju pertumbuhan yang relatif besar. Kajian lebih lanjut diperlukan
untuk membuktikan dugaan ini dan akan dibahas pada sub bab pertumbuhan.

4.4. Sebaran ukuran berat


Berat ikan bada betina terdapat pada selang kelas yang lebih besar
dibandingkan berat ikan bada jantan sebagaimana disajikan pada Gambar 11
berikut:

60.00
Frekuensi relatif (%)

50.00

40.00

30.00

20.00

10.00

0.00
2.759 4.428 6.097 7.766 9.435 11.10412.77314.44216.111 17.78 19.449

Nilai Tengah Kelas Berat (gr)


Jantan Betina

Gambar 11. Sebaran ukuran berat ikan bada (Rasbora argyrotaenia)

Ikan betina terdapat pada selang ukuran panjang yang lebih besar
sehingga ikan betina juga akan berada pada selang ukuran berat yang lebih besar
pula, walaupun penambahan berat tidak sebanding dengan penambahan panjang.
Hal ini karena berat merupakan fungsi dari panjang (Hile, 1963 in Lagler, 1970)
Selain itu pada ikan yang matang gonad dengan tingkat kematangan gonad sama,
maka gonad ikan betina akan lebih mempengaruhi berat total ikan daripada gonad
ikan jantan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (1997) bahwa pertambahan
berat gonad ikan betina sebesar 10-25% dari berat tubuh dan pada ikan jantan 5-
10%.

4.5. Hubungan panjang berat


Persamaan dan pola pertumbuhan berdasarkan hubungan panjang berat
ikan bada jantan dan betina pada setiap stasiun dan alat tangkap dapat dilihat pada
Tabel 4 berikut:

Tabel 4. Hubungan panjang berat ikan bada jantan dan betina pada tiap stasiun
dan alat tangkap
Persamaan Kisaran Pola pertumbuhan
Jenis
Stasiun Hubungan Panjang nilai b (setelah dilakukan uji t
Kelamin
Berat =0,05) dengan =0,05)
W=5x10-5L2,5768
2,0166-
J (n=35; r=0,8826; Isometrik
3,1370
SEb=0,2385)
ST
W = 5x10-6L3,1107
2,9064-
B (n=103; r=0,9960; Isometrik
3,3149
SEb=0,0898)
W = 5x10-6L3,1217
2,9531-
J&B (n=138; r=0,9633; Isometrik
3,2902
SEb=0,0744)
W = 1x10-5L2,9170 2,6268-
J (n=66; r= 0,9445; 3,2073 Isometrik
SEb=0,1264)
W = 9x10-6L2,9636
2,7325-
MM B (n=211; r=0,8944; Isometrik
3,1974
SEb=0,1024)
W = 7x10-6L3,0131
2,8472-
J&B (n=277;r = 0,9268; Isometrik
3,1789
SEb=0,0736)
W= 6x10-6L3,0325 2,8858-
J (n=65; r= 0,9859; 3,1792 Isometrik
SEb=0,0639)
W = 5x10-6L3,0644 2,9512-
MM-
B (n=38;r = 0,9955; 3,1776 Isometrik
BGN
SEb=0,0484)
W = 6x10-6L3,0517 2,9599-
J&B (n=103;r = 0,9910; 3,1435 Isometrik
SEb=0,0403)
W = 2x10-5L2,8407 2,5827-
J (n=76; r= 0,9460; 3,0986 Isometrik
SEb=0,1128)
BYR
W= 1x10-5L2,9009 2,7017-
B (n=220; r= 0,9121; 3,1001 Isometrik
SEb=0,0833)
W = 8x10-6L2,9923 2,8577-
J&B (n=296; r= 0,9460; 3,1270 Isometrik
SEb=0,0598)
W= 5x10-6L3,0731 2,7810-
J (n=92; r= 0,9295; 3,3652 Isometrik
BYR- SEb=0,1281)
LKH W =3x10-6L3,1628 3,0362-
B (n=107; r= 0,9839; 3,2894 Allometrik (+)
SEb=0,0557)
W=6x10-6L3,0298 2,9372-
J&B (n=199; r= 0,9823; 3,1223 Isometrik
SEb=0,0410)
Keterangan: ST =Sungai Tampang
MM =Muko-Muko
MM-BGN =Lokasi penangkapan Muko-muko dengan alat tangkap bagan
BYR =Bayur
BYR-LKH =Lokasi penangkapan Bayur dengan alat tangkap lukah
J;B =Jantan; betina
b =Koefisien pertumbuhan

Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa hubungan panjang berat pada


ikan bada memiliki korelasi yang sangat erat. Hal ini berdasarkan nilai koefisien
korelasi (r) yang mendekati satu. Secara umum nilai b ikan bada jantan dan betina
pada semua stasiun pengamatan berkisar antara 2,5827 sampai 3,3652. Nilai ini
berada pada kisaran nilai b pada umumnya yang dikemukakan oleh Lagler (1977)
bahwa nilai b berfluktuasi antara 2,5 sampai 4; dan kebanyakan mendekati 3.
Kisaran nilai b yang di luar kisaran tersebut terdapat pada koefisien pertumbuhan
ikan jantan pada stasiun Sungai Tampang yaitu 2,0166-3,1370. Hal ini
disebabkan karena nilai simpangan baku b yang besar yaitu 0,2385 (terbesar)
sehingga nilai b berada pada selang yang luas pula. Faktor utama yang
menyebabkannya diduga karena jumlah ikan contoh yang sangat sedikit yaitu 35
ekor dibandingkan dengan jumlah ikan contoh pada analisis lainnya. Menurut
Gulland (1980) besarnya ragam dapat dikurangi dengan meningkatkan jumlah
contoh dan ulangan pengambilan contoh.
Pada Gambar 12 berikut ini disajikan hubungan panjang berat ikan bada
jantan, betina, serta jantan dan betina pada semua stasiun:
Jantan

25

20
Berat (gr) W = 3x10-6L3,1813
15 (n=334; r=0,9783; SEb=0,0368)
10

0
0 20 40 60 80 100 120 140
Panjang total (mm)

(a)
Betina

25
W = 4x10-6L3,1771
20 (n=679; r=0,9706; SEb=0,0303)
Berat (gr)

15

10

0
0 20 40 60 80 100 120 140
Panjang total (mm)

(b)
25

20
W = 3x10-6L3,2007
Berat (gr)

15
(n=1013; r=0,9788; SEb=0,0209)
10

0
0 20 40 60 80 100 120 140

Panjang total (mm)

(c)
Gambar 12. (a) Hubungan panjang berat ikan bada jantan, (b) Hubungan panjang
berat ikan bada betina, dan (c) Hubungan panjang berat ikan bada
Hasil analisis menunjukkan bahwa ikan bada jantan memiliki persama-
an hubungan panjang berat W=3x10-6L3,1813 (n=334; r= 0,9783; SEb=0,0368;
=0,05) dengan kisaran nilai b 3,1091-3,2535. Ikan bada betina memiliki persa-
maan hubungan panjang berat W=3x10-6L3,1771(n=679; r= 0,9706; SEb=0,0303;
=0,05) dengan kisaran nilai b 3,1177-3,2365. Hubungan panjang berat ikan bada
secara keseluruhan W=3x10-6L3,2007 (n=1013; r=0,9788; SEb=0,0209; =0,05) dan
nilai b berkisar antara 3,1597 sampai 3,2418. Kisaran nilai b ikan bada berada
pada kisaran nilai b yang dinyatakan oleh Lagler (1977) yaitu antara 2,5 sampai 4
dan umumnya mendekati 3. Setelah dilakukan uji t terhadap nilai b ( =0,05)
diketahui bahwa nilai b 3 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ikan bada
memiliki pola pertumbuhan allometrik positif, artinya bahwa pertumbuhan berat
ikan lebih cepat daripada pertumbuhan panjangnya (Effendie, 1997). Pola
pertumbuhan yang berbeda terdapat pada Rasbora dusonensis di hutan rawa
gambut desa Dadahup, Kalimantan Tengah yang memiliki pola pertumbuhan
allometrik negatif (Zahid, 2008). Perbedaan ini diduga karena perbedaan spesies,
kondisi lingkungan, dan status penangkapan kedua ikan tersebut. Selanjutnya
menurut Bagenal (1978) faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan nilai b selain
perbedaan spesies adalah faktor lingkungan, berbedanya stok ikan dalam spesies
yang sama, tahap perkembangan ikan, jenis kelamin, tingkat kematangan gonad,
bahkan perbedaan waktu dalam hari karena perubahan isi perut. Moutopoulos dan
Stergiou (2002) in Kharat et al. (2008) menambahkan bahwa perbedaan nilai b
juga dapat disebabkan oleh perbedaan jumlah dan variasi ukuran ikan yang
diamati.
Hasil keseluruhan analisis menunjukkan pola pertumbuhan yang berbeda
(Tabel 4 dan Gambar 12). Pada Tabel 4 terlihat pola pertumbuhan ikan bada baik
jantan maupun betina pada masing-masing stasiun adalah isometrik, artinya ikan
mempunyai bentuk tubuh yang tidak berubah (Ricker, 1975) atau pertambahan
panjang ikan seimbang dengan pertambahan beratnya. Pola pertumbuhan yang
berbeda terlihat pada ikan bada betina yang ditangkap dengan alat tangkap lukah.
Penyebabnya diduga karena ukuran ikan betina yang tertangkap dengan alat
tangkap lukah lebih beragam, dari ukuran kecil sampai besar sehingga hubungan
panjang berat ikan contoh yang diamati menggambarkan keadaan sebenarnya.
Hal ini terlihat dari pola pertumbuhan ikan bada keseluruhan yang sama dengan
pola pertumbuhan ikan bada betina dengan alat tangkap lukah yaitu allometrik
positif. Hal lain yang memperkuat dugaan ini adalah berdasarkan nilai faktor
kondisi (sub bab 4.7) ikan bada baik jantan maupun betina dengan alat tangkap
lukah yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan faktor kondisi ikan pada
stasiun Sungai Tampang, Muko-muko, dan Bayur. Sehingga diduga bahwa nilai
b>3 pada ikan betina dengan alat tangkap lukah tidak disebabkan oleh faktor
lingkungan, makanan yang lebih banyak, ataupun faktor tingkat kematangan
gonad.

4.6. Faktor kondisi (Kt)


Faktor kondisi dihitung dengan menggunakan panjang total (Kt). Faktor
kondisi rata-rata ikan bada jantan dan betina di Sungai Tampang yaitu
1,1052±0,1187 dan 1,263±0,0908. Pada stasiun Muko-muko dengan alat tangkap
jaring insang faktor kondisi rata-rata ikan jantan dan betina yaitu 1,0594±0,0823
dan 1,0644±0,1102; selanjutnya faktor kondisi rata-rata ikan bada jantan dan
betina dengan alat tangkap bagan yaitu 0,9973±0,0749 dan 0,9845±0,0803.
Faktor kondisi rata-rata ikan bada jantan pada stasiun Bayur dengan alat tangkap
jaring insang dan lukah adalah 1,0773±0,0781 dan 1,0185±0,0715 dan faktor
kondisi rata-rata ikan bada betina pada kedua alat tangkap tersebut adalah
1,0827±0,0916 dan 0.9707±0,0572. Nilai faktor kondisi ikan bada pada masing-
masing stasiun disajikan pada Gambar 13-17 berikut:

Sungai Tampang

1,75

1,50
Faktor kondisi

1,25

1,1052 1,1263
1,00

0,75

0,50
Jantan Betina

Gambar 13. Faktor kondisi ikan bada pada stasiun Sungai Tampang
Muko-muko

1,75

1,50

Faktor kondisi
1,25

1,0594 1,0644
1,00

0,75

0,50
Jantan Betina

Gambar 14. Faktor kondisi ikan bada pada stasiun Muko-muko

Muko-muko bagan

1,75

1,50
Faktor kondisi

1,25

1,00 0,9973 0,9845

0,75

0,50
Jantan Betina

Gambar 15. Faktor kondisi ikan bada pada stasiun Muko-muko dengan alat
tangkap bagan

Bayur

1,75

1,50
Faktor kondisi

1,25

1,0773 1,0827
1,00

0,75

0,50
Jantan Betina

Gambar 16. Faktor kondisi ikan bada pada stasiun Bayur


Bayur lukah

1,75

1,50

Faktor kondisi
1,25

1,00 1,0185
0,9707

0,75

0,50
Jantan Betina

Gambar 17. Faktor kondisi ikan bada pada stasiun Bayur dengan alat tangkap
lukah

1,75

1,50
Faktor kondisi

1,25

1,0421 1,0609
1,00

0,75

0,50
Jantan Betina

Gambar 18. Faktor kondisi ikan bada jantan dan betina

Secara keseluruhan nilai faktor kondisi rata-rata ikan bada betina pada
masing-masing stasiun relatif lebih besar dibandingkan dengan faktor kondisi
rata-rata ikan jantan seperti disajikan pada Gambar 18 di atas. Setelah dilakukan
uji statistik terhadap beda nilai tengah faktor kondisi ikan jantan dan betina
=0,05) (Lampiran 8) diketahui bahwa secara keseluruhan faktor kondisi rata-
rata ikan bada betina yaitu 1,0610±0,1050 lebih besar dibandingkan faktor kondisi
ikan bada jantan yaitu 1,0421±0,0888 (p<0,05).
Faktor kondisi ikan bada juga dibedakan berdasarkan lokasi
penangkapan yaitu pada pantai barat (Sungai Tampang dan Muko-muko) dan
pantai timur (Bayur) Danau Maninjau seperti disajikan pada Gambar 19 berikut
ini:
1,75

1,50

Faktor kondisi
1,25

1,0712 1,0457
1,00

0,75

0,50
Pantai barat Pantai timur

Gambar 19. Faktor kondisi ikan bada pada pantai barat dan pantai timur

Berdasarkan lokasi penangkapan terdapat perbedaan nilai faktor kondisi


rata-rata ikan bada pada pantai barat dan pantai timur Danau Maninjau. Setelah
dilakukan uji statistik terhadap beda nilai tengah faktor kondisi ikan bada di pantai
barat dan pantai timur ( =0,05) (Lampiran 8) diketahui bahwa faktor kondisi ikan
bada di pantai barat lebih besar yaitu 1,0710±0,1070 dibandingkan faktor kondisi
rata-rata di pantai timur yaitu 1,0457±0,0917 (p<0,05).
Faktor kondisi digunakan untuk membandingkan berat dan panjang ikan
contoh atau antar individu ikan tertentu. Faktor kondisi sesuai untuk memban-
dingkan ikan yang berbeda dalam spesies yang sama. Faktor kondisi juga akan
berbeda tergantung jenis kelamin ikan, musim, atau lokasi penangkapan (Ricker,
1975); umur (Lagler, 1970); dan King (1995) menambahkan bahwa faktor kon-
disi juga dipengaruhi oleh tingkat kematangan gonad dan kelimpahan makanan.
Oleh karena itu, perbedaan nilai faktor kondisi ikan bada di Danau
Maninjau baik antar lokasi penangkapan maupun antara jantan dan betina bisa
saja terjadi. Perbedaan faktor kondisi ikan jantan dan betina secara keseluruhan
dipengaruhi oleh berat gonad. Ikan betina memiliki faktor kondisi yang lebih
besar daripada ikan jantan. Walaupun pada selang panjang tersebut ikan jantan
telah matang gonad dan kemungkinan pada tingkat kematangan gonad yang lebih
tinggi, namun berat gonad ikan jantan tidak berpengaruh terlalu besar terhadap
berat total ikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (1997) bahwa
pertambahan berat gonad ikan betina sebesar 10-25% dari berat tubuh dan pada
ikan jantan 5-10%.
Faktor penyebab perbedaan nilai faktor kondisi ikan bada pada pantai
barat dan pantai timur diduga karena faktor makanan alami yang lebih banyak di
pantai barat. Goetz (1983) in Nasution (2008) menjelaskan bahwa pada daerah
tropis makanan baik jenis maupun jumlahnya merupakan faktor yang penting.
Pantai barat merupakan wilayah dengan substrat tepian danau berbatu, arus yang
relatif lebih lemah dibandingkan pantai timur, dan terdapat relatif lebih banyak
pohon di tepian danau. Faktor-faktor tersebut mendukung ketersediaan makanan
alami yang kemungkinan lebih disukai dan diperlukan ikan bada. Menurut Scott
(1979) in Nasution (2008) tempat yang dangkal, berarus lemah, dan banyak
terdapat tumbuhan air merupakan tempat yang banyak terdapat makanan. Hal ini
menyebabkan pada panjang dan tingkat kematangan gonad yang relatif sama ikan
bada di pantai barat memiliki faktor kondisi yang lebih besar.

4.7. Parameter pertumbuhan panjang


Parameter pertumbuhan diduga dengan metode Ford Walford. Metode
Ford Walford dapat digunakan karena data diambil pada interval waktu yang tetap
yaitu satu minggu selama satu bulan. Metode Ford-Walford memerlukan masu-
kan panjang rata-rata ikan dari beberapa kelompok ukuran. Kelompok ukuran di-
pisahkan dengan metode Battacharya (Sparre dan Venema, 1999).
Jumlah ikan contoh yang digunakan dalam analisis parameter pertum-
buhan sebanyak 930 ekor yang ditangkap dengan alat tangkap jaring insang dan
lukah. Dalam analisis pertumbuhan jenis kelamin ikan bada tidak dibedakan.
Jumlah ikan yang digunakan dalam analisis lebih banyak 10 ekor dibandingkan
ikan yang digunakan dalam sebaran frekuensi panjang. Hal ini karena terdapat 10
ekor ikan yang tidak bisa dibedakan jenis kelaminnya, namun data ukuran panjang
ikan tersebut bisa digunakan dalam analisis frekuensi panjang untuk menentukan
parameter pertumbuhan.
Hasil pemisahan kelompok ukuran menunjukkan bahwa ikan contoh
terdiri dari tiga kelompok ukuran seperti ditampilkan pada Gambar 20 berikut ini:
160
Umur x+1
140
120
100

Frekuensi
80 Umur x+2

60 Umur x
40
20
0
68
71
74
77
80
83
86
89
92
95
98
101
104
107
110
113
116
119
122
125
128
131
Nila i tengah kela s panjang (mm)

Gambar 20. Kelompok ukuran ikan bada

Masing-masing kelompok ukuran ikan di atas memiliki panjang rata-


rata, jumlah populasi dan indeks separasi seperti disajikan pada Tabel 5 berikut:

Tabel 5. Hasil analisis masing-masing kelompok ukuran ikan bada


Panjang rata-rata
Kelompok ukuran Jumlah populasi Indeks separasi (I)
(mm)
1 86,53 216,21 -
2 95,24 457,50 2,2
3 103,14 259,32 2,3
Total - 933,04 -

Hasil analisis pemisahan kelompok ukuran menunjukkan bahwa jumlah


total ikan yang diamati yaitu 933,04 ekor. Jumlah ini lebih besar dibandingkan
dengan jumlah ikan contoh yang diobservasi. Perbedaan nilai teoritis dengan nilai
observasi disebabkan oleh adanya pengacakan. Meskipun ikan contoh yang digu-
nakan merupakan contoh acak yang sempurna nilai observasi akan tetap mengala-
mi fluktuasi seputar distribusi yang sesungguhnya (distribusi dari populasi)
(Sparre dan Venema, 1999).
Dalam pemisahan kelompok ukuran ikan dengan menggunakan metode
Battacharya indeks separasi/separation indeks (I) sangat penting untuk diper-
hatikan. Menurut Hasselblad (1969), McNew & Summerflat (1978), dan Clark
(1981) in Sparre dan Venema (1999) jika nilai I<2 maka pemisahan kelompok
ukuran tidak mungkin dilakukan karena terjadi tumpang tindih yang besar antar
kelompok ukuran ikan. Berdasarkan hasil pemisahan kelompok ukuran ikan bada
pada Tabel 5 di atas diketahui bahwa nilai indeks separasi antar kelompok ukuran
yaitu 2,2 dan 2,3. Hal ini menunjukkan bahwa pemisahan kelompok ukuran ikan
bada di atas dapat diterima dan digunakan untuk analisis selanjutnya.
Pada Tabel 6 berikut ini disajikan parameter pertumbuhan K dan L
(metode Ford-Walford) dan umur teoritis saat panjang ikan sama dengan nol (t 0):

Tabel 6. Parameter pertumbuhan K, L , dan t0


Parameter Nilai
a 16,75
b 0,91
r 1
K (per tahun) 1,2
L (mm) 180
t0 (tahun) -0,02

Persamaan pertumbuhan von Bertalanffy ikan bada diperoleh


L t = 180(1 − exp[− 1,2(t + 0,02)]) . Nilai koefisien pertumbuhan (K) ikan bada di
Danau Maninjau lebih besar dibandingkan dengan koefisien pertumbuhan ikan
lainnya dari famili yang sama (Cyprinidae). Beberapa ikan Cyprinidae seperti
Puntius bramoides, Puntius ganionotus, dan Mystacoleucus marginatus di waduk
Kedung Gombo, Jawa Tengah memiliki nilai K 0,86; 0,54; dan 1,13 per tahun
(Kartamihardja, 1995). Ikan dengan nilai K besar umurnya relatif pendek.
Menurut Lagler (1977) kelompok karper-karperan (minnows) dari famili
Cyprinidae baik di daerah subtropis maupun tropis umumnya berumur dua tahun.
Perbedaan laju pertumbuhan ikan dari famili Cyprinidae tersebut dapat
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor internal yang terdiri dari a) faktor
genetik yang secara langsung membatasi ukuran maksimum ikan, dan b) ukuran
tubuh ikan. Jika laju pertumbuhan kecil maka ukuran tubuh ikan akan meningkat
(Wooton, 1990; Pauly, 1994 in Welcomme, 2001). Oleh karena itu faktor
internal yang menyebabkan nilai K pada ikan bada lebih besar adalah faktor
genetik karena perbedaan spesies dan faktor ukuran ikan bada yang relatif lebih
kecil.
Berikut ini pada Gambar 21 disajikan kurva pertumbuhan ikan bada de-
ngan memplotkan umur (bulan) dan panjang teoritis (mm) ikan sampai ikan
berumur 58 bulan:

200
180
160
140
Panjang (mm)

120
100
80
60
40
20
0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40 42 44 46 48 50 52 54 56 58
Umur (bulan)

Gambar 21. Kurva pertumbuhan ikan bada

Pada saat ikan berumur 58 bulan (±4,5 tahun), secara teoritis panjang
total ikan adalah 180 mm. Panjang maksimum ikan bada yang tertangkap yaitu
132 mm, panjang ikan ini lebih kecil dibandingkan dengan panjang asimtotik ikan
bada. Kurva di atas menunjukkan bahwa laju pertumbuhan ikan selama rentang
hidupnya tidak sama. Ikan muda memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat
dibandingkan dengan ikan tua (mendekati L ). Walaupun dengan laju pertum-
buhan yang kecil, namun ikan tetap akan mengalami pertumbuhan panjang
bahkan dalam kondisi faktor lingkungan yang tidak mendukung. Peningkatan
ukuran panjang umumnya tetap berlangsung walaupun ikan mungkin dalam
keadaan kekurangan makanan (Anderson & Gutreuter, 1983 in Busacker et al.,
1990).
Parameter pertumbuhan memegang peranan yang sangat penting dalam
pengkajian stok ikan dan dalam menyusun rencana pengelolaan perikanan baik
jangka pendek maupun jangka panjang. Salah satu aplikasi yang paling sederhana
adalah mengetahui panjang ikan pada umur tertentu atau dengan menggunakan
inverse persamaan pertumbuhan von Bertalanffy yaitu mengetahui umur ikan
pada panjang tertentu. Bertolak dari hal tersebut maka secara teoritis rata-rata
umur ikan yang digunakan dalam analisis dapat diduga sebagai berikut (Tabel 7):

Tabel 7. Panjang dan umur ikan bada yang digunakan dalam analisis

Jenis kelamin Panjang dan umur Minimal Rata-rata Maksimal L

Panjang (mm) 67 87 121 180


Jantan
Umur (tahun) 0,3 0,5 0,8 4,5
Panjang (mm) 78 98 132 180
Betina
Umur (tahun) 0,4 0,6 1 4,5

Umur rata-rata ikan jantan yang tertangkap 0,5 tahun (6 bulan) dan umur
rata-rata ikan betina yang tertangkap lebih tua yaitu 0,6 tahun (6,8 bulan). Terkait
uraian pada sub bab sebelumnya (sub bab 4.1) maka dapat diberikan dugaan awal
bahwa umur rata-rata ikan jantan dengan tingkat kematangan gonad III ke atas
yaitu ±6 bulan dan ikan betina ±6,8 bulan.

4.8. Mortalitas dan laju eksploitasi


Mortalitas yang diukur yaitu laju mortalitas total (Z), laju mortalitas
alami (M), dan laju mortalitas akibat penangkapan (F). Laju mortalitas total (Z)
diduga dengan kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berbasis data panjang
(Sparre dan Venema, 1999) dan laju kematian alami menggunakan rumus empiris
Pauly dengan suhu rata-rata permukaan danau 28,3 0C.
Kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berbasis data panjang yang
digunakan adalah sebagai berikut (Gambar 22):
7,00
6,00

Ln[C(L1,L2)/ t]
5,00
4,00
3,00
2,00
1,00
0,00
0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00
t (L1+L2/2)

Gambar 22. Kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berbasis data panjang ( :titik
yang digunakan dalam analisis regresi untuk menduga Z)

Hasil analisis dugaan laju mortalitas dan laju eksploitasi dapat dilihat
pada Tabel 8 berikut:

Tabel 8. Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan bada


Mortalitas Nilai (per tahun)
Total (Z) 14,28
Alami (M) 2,88
Penangkapan (F) 11,4
Laju Eksploitasi (E) 0,8

Pada stok ikan yang telah dieksploitasi mortalitas disebabkan oleh kom-
binasi mortalitas alami dan mortalitas akibat penangkapan. Laju mortalitas total
ikan bada (Z) 14,28 per tahun, dengan laju mortalitas alami (M) 2,88; dan laju
mortalitas penangkapan (F) 11,4. Menurut Welcomme (2001) mortalitas alami
ikan di perairan danau lebih disebabkan oleh predasi walaupun penyakit juga ber-
peran terhadap mortalitas alami. Selain itu mortalitas alami juga juga disebabkan
oleh tingginya suhu perairan dan rendahnya kandungan oksigen terlarut di
perairan yang dapat menyebabkan mortalitas ikan secara mendadak. Faktor-
faktor yang menyebabkan mortalitas alami ikan di perairan danau seperti diurai-
kan tersebut dapat menjadi faktor yang menyebabkan mortalitas alami ikan bada
di Danau Maninjau.
Laju mortalitas penangkapan (F) ikan bada 11,4 per tahun. Jika diban-
dingkan dengan fraksi mortalitas alami maka mortalitas penangkapan nilainya
lebih besar. Laju eksploitasi ikan bada 0,8 dengan kata lain 80% kematian ikan
bada disebabkan oleh penangkapan. Laju eksploitasi ikan bada yang besar
disebabkan oleh penangkapan ikan bada yang berlangsung setiap hari oleh banyak
nelayan di sekitar danau dan dengan alat tangkap dan metode penangkapan yang
beragam pula. Penggunaan alat tangkap bagan yang tidak selektif juga akan
berpengaruh terhadap laju eksploitasi ikan bada walaupun saat ini jumlah bagan
yang beroperasi di Danau Maninjau tidak banyak. Hal yang sama juga terjadi
pada laju eksploitasi ikan Bonti-bonti di Danau Towuti, Sulawesi Selatan yang
nilainya telah melebihi nilai optimum dan Nasution (2008) menduga penyebabnya
adalah peningkatan jumlah bagan yang beroperasi di Danau Towuti.
Jika dibandingkan dengan laju ekploitasi optimum yang dikemukakan
oleh Gulland (1971) in Pauly (1984) 0,5; maka laju eksploitasi ikan bada di
Danau Maninjau (0,8) sudah di atas nilai optimum tersebut. Nilai tersebut
mengindikasikan adanya tekanan penangkapan yang tinggi terhadap ikan bada.
Hal ini juga terlihat dari panjang maksimum ikan bada yang tertangkap yaitu 132
mm, ukuran ini lebih kecil dibandingkan dengan panjang asimtotik ikan bada
yaitu 180 mm dan jumlah tangkapan ikan berukuran besar yang sedikit. Indikasi
awal dampak laju eksploitasi yang telah melebihi nilai optimum juga terlihat dari
data hasil tangkapan ikan bada (ton) pada tahun 2006-2008 yang mengalami
penurunan tiap tahunnya seperti disajikan pada Tabel 9 berikut:

Tabel 9. Data hasil tangkapan ikan bada tahun 2006-2008 (ton)


Periode 2006 2007 2008
I (Januari-Maret) 63,75 40,44 29,2
II (April-Juni) 172,7 11,68 -
III (Juli-September) 53,3 48,16 -
IV (Oktober-Desember) 17,3 41,93 -
Total 307,05 142,21
Sumber: Dinas PEPERLA, Kabupaten Agam per 07 Juli 2008
Berdasarkan data hasil tangkapan ikan bada di atas diketahui bahwa hasil
tangkapan ikan bada mengalami penurunan tiap tahunnya. Sebagai contoh untuk
periode I (Januari-Maret) hasil tangkapan pada tahun 2006 mencapai 63,75 ton
pada tahun 2007 turun menjadi 40,44 ton dan pada tahun 2008 hasil tangkapan
hanya 29,2 ton. Hasil tangkapan periode I tahun 2008 hanya 45,8 % dari hasil
tangkapan tahun 2006 pada periode yang sama.

4.9. Rencana pengelolaan sumberdaya ikan bada (Rasbora argyrotaenia)


Berdasarkan hasil penelitian ini terdapat beberapa indikasi tingginya
tekanan penangkapan terhadap sumberdaya ikan bada yang mengarah kepada
gejala tangkap lebih. Beberapa indikasi tersebut adalah:
1. Jumlah ikan berukuran besar yang tertangkap lebih sedikit.
2. Ukuran maksimum ikan yang tertangkap 132 mm lebih kecil dibandingkan
ukuran maksimum Rasbora argyrotaenia 170 mm (Sterba,1969) dan panjang
asimtotik ikan bada 180 mm.
3. Laju eksploitasi ikan bada yang tinggi 0,8 dan telah melebihi nilai laju
eksplotasi optimum 0,5.
4. Hasil tangkapan ikan bada tahun 2006-2008 cenderung menurun.
Kondisi di atas harus diimbangi dengan suatu upaya pengelolaan agar
pemanfaatan sumberdaya ikan bada di Danau Maninjau dapat berlangsung secara
berkelanjutan, pemenuhan kebutuhan ikan dapat dipenuhi untuk generasi sekarang
tanpa merugikan atau mengganggu generasi mendatang untuk memenuhi kebu-
tuhannya (Hartoto, 2002). Sesuai dengan gambaran umum pengelolaan perikanan
yang disampaikan oleh King (1995), maka gambaran umum sumberdaya ikan ba-
da di Danau Maninjau adalah sebagai berikut:
a. Laju eksploitasi sumberdaya ikan bada saat ini 0,8.
b. Tujuan pengelolaan sumberdaya ikan bada di Danau Maninjau yaitu
memenuhi kebutuhan protein dan sebagai sumber pendapatan.
c. Strategi pengelolaan yang akan dilakukan yaitu pemberian kesempatan ikan
bada untuk berkembang, perbaikan habitat, dan pemeliharaan lingkungan ikan
bada.
d. Oleh karena itu berdasarkan hasil survei singkat ini dapat diajukan beberapa
saran atau peraturan yang bisa dipertimbangkan sebagai bagian dari rencana
pengelolaan sumberdaya ikan bada, sesuai dengan strategi di atas yaitu:
1. Pengaturan alat tangkap
Pengaturan alat tangkap yang dimaksud dapat berupa pengaturan jenis
alat tangkap maupun ukuran mata jaring alat tangkap yang digunakan. Alat
tangkap yang umum digunakan untuk menangkap ikan bada yaitu jaring insang
dengan ukuran mata jaring ¾ inch. Terdapat kecenderungan konsumen untuk
memilih ikan yang ditangkap dengan alat tersebut karena dirasakan lebih gurih,
disebabkan pada ikan dengan ukuran tersebut terdapat telur ikan yang sudah
matang gonad namun belum sempat dikeluarkan (dipijahkan). Hal ini sesuai
dengan hasil pengamatan gonad ikan bada secara morfologis pada tiap ukuran
mata jaring insang (Lampiran 11). Hasil pengamatan tersebut menunjukkan
bahwa tingkat kematangan gonad (TKG) ikan yang tertangkap pada ukuran mata
jaring adalah ikan jantan dengan TKG III dan IV; dan pada ukuran mata jaring
¾ adalah ikan betina dengan TKG III dan IV. Kondisi ini tentu akan mengancam
keberadaan ikan bada pada masa yang akan datang karena kelangsungan dan
evolusi suatu spesies tergantung pada proses reproduksi yang keberhasilannya
tergantung pada alokasi sumberdaya, lokasi, dan waktu reproduksi yang
ditentukan oleh strategi reproduksi spesies tersebut (Lagler et al., 1977 in
Welcomme, 2001). Upaya agar alokasi sumberdaya yang bereproduksi terpenuhi
adalah dengan memberikan kesempatan pada ikan bada yang telah matang gonad
untuk memijah terlebih dahulu sebelum ditangkap. Salah satu langkah teknis
yang dapat dilakukan menurut Welcomme (2001) adalah dengan pembatasan
ukuran mata jaring alat tangkap yang digunakan. Oleh karena itu, berdasarkan
survei awal ini salah satu upaya pengelolaan ikan bada yang bisa diusulkan adalah
pembatasan ukuran mata jaring yang digunakan yaitu mengoperasikan jaring
insang dengan ukuran mata jaring yang lebih besar dari ¾ inch. Hal ini bertujuan
agar sebelum tertangkap ikan bada yang sudah matang gonad telah memijah
terlebih dahulu.
Selain pengaturan ukuran mata jaring, pembatasan jenis alat tangkap
juga perlu dilakukan. Pengoperasian alat tangkap bagan seharusnya dilarang. Hal
ini karena alat tangkap bagan bersifat tidak selektif sehingga dapat menangkap
ikan bada dengan ukuran sangat kecil. Berdasarkan panjang ikan hasil tangkapan
bagan tersebut dapat disimpulkan bahwa bagan merupakan alat tangkap yang
merugikan secara biologi dan tidak memberi keuntungan yang besar secara
ekonomi. Hal ini karena banyak ikan yang belum sempat tumbuh mencapai
ukuran yang cukup besar untuk dapat mendukung biomassa sehingga dapat
menyebabkan tangkap lebih pertumbuhan (growth overfishing) (Sparre dan
Venema, 1999)
2. Perbaikan Habitat
Salah satu langkah yang dapat dilakukan dalam upaya perbaikan habitat
adalah dengan membuat pelindung (shelter). Pembuatan pelindung bisa berfungsi
untuk meningkatkan lapisan untuk produksi makanan alami ikan dan untuk
mengumpulkan ikan-ikan berukuran yang bisa ditangkap (Lagler, 1970),
meningkatkan peluang keberhasilan pemijahan, dan meningkatkan tempat
berlindung yang aman. Menurut McComas (2003) struktur buatan ini tidak hanya
dapat mengumpulkan ikan tetapi juga dapat meningkatkan jumlah ikan.
Pelindung dapat dibuat dari bahan alami berupa pohon kayu yang tumbang
ataupun dari bahan buatan. Pelindung dikenal dengan istilah “rasau” di Danau
Maninjau. Pembuatan “rasau” telah pernah disosialisasikan kepada beberapa
kelompok nelayan di Danau Maninjau. Pembuatan pelindung ini dapat dilakukan
pada semua stasiun pengambilan ikan contoh baik di pantai barat maupun pantai
timur.
Selain pelindung buatan, secara alami peningkatan struktur juga dapat
dilakukan dengan penanaman pohon di tepian danau. Akar pohon di tepian danau
akan menstabilkan pinggiran danau, sedangkan rantingnya akan menyediakan
naungan bagi ikan dan mengurangi gulma yang tumbuh di tepian danau. Dalam
hal ini dibutuhkan jangka waktu beberapa tahun sebelum pohon-pohon tersebut
berperan dalam peningkatan struktur habitat (McComas, 2003).
3. Kualitas air
Lingkungan perairan sebagai tempat hidup ikan bada seharusnya dijaga
agar kualitasnya tetap pada kondisi yang optimum bagi kehidupan ikan bada.
Danau Maninjau merupakan danau multifungsi sehingga kualitas air yang baik
tidak hanya akan berdampak positif bagi ikan bada tetapi juga bagi organisme dan
kepentingan lainnya termasuk bagi keberlanjutan kegiatan perikanan budidaya
dengan sistem KJA. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa telah ba-
nyak hasil penelitian yang melaporkan bahwa kualitas air Danau Maninjau terus
menurun dari waktu ke waktu karena berbagai sumber pencemar. Sumber bahan
pencemar tersebut diantaranya limbah pertanian; limbah domestik dari kegiatan
rumah tangga, rumah makan ataupun perhotelan; dan limbah kegiatan budidaya
ikan KJA yang telah melampaui daya dukung perairan danau. Pada umumnya
limbah domestik dan limbah pertanian yang masuk ke Danau Maninjau bersifat
diffuse-source point artinya bahwa limbah yang masuk tidak melalui satu sistem
tunggal, namun tersebar di sekitar danau. Secara umum limbah yang bersifat
diffuse-source point lebih sulit untuk dikontrol.
Bapedalda Sumbar (2001) in Marganof (2007) melaporkan bahwa
penyebab utama penurunan kualitas air Danau Maninjau adalah akibat dari
kegiatan perikanan KJA yang sudah melampaui daya dukung perairan danau.
Berdasarkan hal tersebut upaya yang dapat ditempuh adalah membatasi jumlah
KJA di Danau Maninjau sesuai dengan daya dukung danau. Langkah tersebut
seharusnya diambil dengan kesadaran dan melibatkan semua pihak terkait agar
dampak sosial-ekonomi yang timbul dapat diminimumkan. Hal ini karena kegia-
tan perikanan KJA telah memberi kesempatan kerja baru bagi masyarakat
setempat. Langkah lain yang dapat diambil adalah pengolahan limbah yang
masuk ke danau secara biologi, misalnya menggunakan tumbuhan air. Namun,
langkah ini harus didahului dengan penelitian ilmiah.
Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa penyusunan rencana
pengelolaan perikanan membutuhkan survei intensif mengenai perikanan tersebut
termasuk dalam hal ini perikanan bada. Beberapa aspek biologi sumberdaya ikan
bada masih belum dikaji lebih lanjut seperti aspek reproduksi secara menyeluruh,
aspek makanan dan kebiasaan makan, serta kaitannya dengan lingkungan atau
habitat ikan bada. Informasi lengkap mengenai biologi dan ekologi ikan bada
diperlukan agar langkah-langkah teknis pengelolaan sumberdaya ikan bada yang
sesuai dapat dilaksanakan. Aspek biologi reproduksi dan makanan akan menjadi
masukan dalam menetapkan pembatasan musim dan wilayah penangkapan.
Menurut Lagler (1970) kajian yang kontinu mengenai umur dan pertumbuhan
akan menunjukkan fluktuasi yang normal dari suatu periode ke periode lainnya.
Oleh karena itu penelitian mengenai dinamika populasi ikan bada juga perlu
dilakukan secara kontinu agar interpretasi yang tepat pada hasil pengambilan
contoh tunggal yang dilakukan saat ini dapat diketahui. Pada akhirnya melalui
studi yang intensif dapat dibuat suatu kebijakan pengelolaan yang efektif dan
tujuan pengelolaan sumberdaya ikan bada dapat tercapai.
V. KESIMPULAN

5.1. Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini yaitu:
1. Ikan bada (Rasbora argyrotaenia) di Danau Maninjau memiliki persamaan
pertumbuhan L t = 180(1 − exp[− 1,2(t + 0,02)]) .

2. Laju mortalitas total (Z) 14,28 per tahun terutama disebabkan oleh mortalitas
akibat penangkapan sehingga laju eksploitasi ikan bada 0,8 sudah melebihi
nilai optimum.
3. Beberapa langkah awal yang dapat dilakukan sebagai bagian dari rencana
pengelolaan ikan bada yaitu:
a. Mengatur alat tangkap baik ukuran mata jaring maupun jenis alat
tangkap. Pengaturan ukuran mata jaring insang yang boleh digunakan
besar dari ¾ inch. Pengaturan jenis alat tangkap berupa larangan
pengoperasian alat tangkap bagan yang bersifat non selektif di Danau
Maninjau.
b. Memperbaiki habitat dengan pembuatan pelindung (shelter) bagi ikan
bada atau yang dikenal dengan istilah rasau oleh masyarakat setempat.
c. Menjaga kualitas air danau pada tingkat yang optimum bagi ikan bada
dan organisme lainnya yang hidup di Danau Maninjau.

5.2. Saran
Dalam penyusunan rencana pengelolaan ikan bada yang sesuai
diperlukan informasi menyeluruh mengenai sumberdaya ikan bada, oleh karena
itu disarankan untuk:
1. Mengadakan penelitian mengenai aspek biologi dan ekologi ikan bada secara
menyeluruh untuk menguatkan atau membuktikan dugaan-dugaan dalam
penelitian ini.
2. Mengadakan penelitian dinamika populasi ikan bada secara kontinu untuk
melihat fluktuasi parameter populasi ikan bada dalam jangka waktu tertentu.
DAFTAR PUSTAKA

Allison, E. H. 1996. Stock Assessment Consideration in Large Lakes and


Reservoirs. h. 337-343 in I. G. Cowx (Ed), Stock Assessment in Inland
Fisheries. London: Fishing News Books.

Amir, F. 2006. Pendugaan Pertumbuhan, Kematian dan Hasil per Rekrut Ikan
Nila (Oreochromis niloticus) di Waduk Bilibili. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan
dan Perikanan Indonesia 13 (1):1-5.

Apip, M. F., Sulastri, L. Subehi, dan I. Ridwansyah. 2003. Telaah Unsur Iklim
dalam Proses Fisika Kimia Perairan Danau Maninjau. Limnotek Perairan
Darat Tropis di Indonesia. Volume (X) No 1. 49 h.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Agam. 2006. Kecamatan Tanjung Raya dalam
Angka 2006.

Bagenal, T. 1978. Methods for Assessment of Fish Production in Freshwater.


Third edition. Oxford: Blackwell Scientific Publications. 365 h.

Beverton, R. J. H., dan S. J. Holt. 1957. On Dynamics of Exploited Fish


Population. London:Her Majesty’s Statinery Office. 533 h.

Busacker, G. P., I. R. Adelman, dan E. M.Goolish. 1990. Growth. h. 363-382 in


Schreck, C. B and P. B. Moyle (Ed), Methods for Fish Biology. Maryland,
USA: American Fisheries Society.

Cowx, I. G. 1996. The Integration of Fish Stock Assessment into Fisheries


Management. h. 495-506 in I. G. Cowx (Ed), Stock Assessment in Inland
Fisheries. London: Fishing News Books.

Dinas Perikanan Provinsi Tingkat I Jambi. 1995. Pengenalan Jenis-jenis Ikan


Perairan Umum Jambi. Bagian I: Ikan-ikan Sungai Utama Batanghari, Jambi.
144 h.

Eddy, S. 1969. The Freshwater Fishes. 2 nd edition. USA: WM.C. Brown


Company Publisher. 286 h.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan


Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanisius. 256 h

Effendie, M. I. 1979. Metoda Biologi Perikanan. Bogor: Yayasan Dewi Sri. 110 h

Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka


Nusantara. 162 h.
FAO. 1995. Code of Conduct For Responsible Fisheries. Rome: FAO. 40 h.

Gulland, J. A. 1969. Manual Methods for Fish Stock Assessment. Rome: FAO.
154 h.

Gulland, J. A. 1980. General Concepts of Sampling Fish in Backiel, T., dan R.


L. Welcomme (Ed), Guidelines For Sampling Fish in Inland Waters. Rome:
FAO, EIFAC Technical Paper (33). 176 h.
http://www.fao.org/docrep/003/aa044e/aa044e00.HTM

Hartoto, D. I. 2002. Peran Pengembangan Sistem Reservat dalam Pengelolaan


Berkelanjutan Sumberdaya Perikanan Perairan Darat in Prosiding Seminar
Nasional Limnologi. Bogor: Puslit Limnologi, LIPI.

Hartoto, D. I., dan S. Nomosatryo. 2002. Fisika Limnologi Danau Maninjau (II)
h. 5-6 in D. I. Hartoto (Perancang Pelatihan), Kurikulum Pelatihan Khusus
Dasar Limnologi untuk Pengelolaan Bersama Danau Maninjau. Bogor:
Pusat Pnelitian Limnologi, LIPI.

Kartamihardja, E. S. 1995. Population Dynamics of Three Species Cyprinids in


Kedung Gombo Reservoir, Central Java. Indonesian Fisheries Research
Journal. Volume (I) No 1: 42-57.

Kharat, S.S., Y. K. Khillare, dan N. Dahanukar. 2008. Allometric Scalling in


Growth and Reproduction of a Freshwater Loach Nemacheilus mooreh
(Sykes, 1839). Electronic Journal of Ichthyology. April, 2008 (1):8-17

King, M. 1995. Fisheries Biology, Assessment, and Management. United


Kingdom: Fishing News Books. 341 h.

Kottelat, M., A. Whitten, S. N. Kartikasari, dan S.Wirjoatmodjo. 1993.


Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. HK: Periplus Edition.
377 h.

Lagler, K.F. 1970. Freshwater Fishery Biology. Second edition. Dubuque,


Iowa: WM. C. Company Publisher. 421 hal.

Lagler, K.F., J. E Bardach, R. R. Miller, dan D. R. Passino. 1977. Ichtyology.


USA: John Wiley & Sons. 506 h

Marganof. 2007. Model Pengendalian Pencemaran Perairan di Danau Maninjau


Sumatera Barat. Disertasi. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian
Bogor. 162 h

Martasuganda, S. 2002. Jaring Insang (Gillnet). Bogor: Jurusan Pemanfaatan


Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor. 65 h.
McComas, S. 2003. Lake and Pond Management Guidebook. USA: Lewis
Publisher. 286 h.

Miller, E. E. 1966. How Big a Sample in A. Calhoun (Ed), Inland Fisheries


Management. State of California , The Resources Agency, Department of
Fish and Fish Game. 546 h.

Nasution, S. H. 2008. Ekobiologi dan Dinamika Stok sebagai Dasar Pengelolaan


Ikan Endemik Bonti-bonti (Paratherina striata Aurich) di Danau Towuti,
Sulawesi Selatan. Disertasi. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian
Bogor. 119 h.

Nelson, J. S. 1984. Fishes of The World. 2nd edition. USA: John Wiley&Sons,
Inc. 523 h.

Nikijuluw, V. P. H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta:


PT. Pustaka Cidesindo. 254 h.

Nikolsky, G. V. 1963. The Ecology of Fishes. London and New York: Academic
Press. 325 h.

Nomosatryo, S., D. I. Hartoto, Sulastri, Sugiharti, I. Ridwansyah, dan M.


Badjoeri. 2002. Kondisi Parameter Fisikokimia Limnologis Danau
Maninjau. h. 182-190 in Laporan Teknis Bagian Proyek Penelitian
Sumberdaya Perairan Darat. Bogor: Puslit Limnologi, LIPI.

Pauly, D. 1984. Fish Population Dynamics in Tropical Waters:A Manual for Use
with Programmable Calculators. Manila: ICLARM. 325 h.

Ricker, W. E. 1975. Computation and Interpretation of Biological Statistics of


Fish Population. Ottawa: Department of the Environment. Fisheries and
Marine Service. Pacific Biological Station. 382 h

Saanin, H. 1968. Taksonomi dan Kunci Identifikasi. Bogor: Bina Cipta. 256 hal

Sparre, P., dan S. C. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis.
Diterjemahkan oleh Puslitbangkan. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengem-
bangan Perikanan. 438 h

Steel, R. G. D., dan J. H.Torrie. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika suatu
Pendekatan Biometrik. Jakarta: Gramedia. 748 h.

Sterba, G. 1969. Freshwater Fishes of The World. Diterjemahkan oleh D. W.


Tucker. New York: The Pet Library. Ltd. 878 h.

Sulistiyarto, B. 1998. Pengaruh Beberapa Komponen Habitat Terhadap


Kelimpahan Anak Ikan Seluang (Rasbora sumatrana) di Rawa Bebengkel
Palangkaraya. Tesis. Bogor: Program Studi Ilmu Perairan, Program
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 80 h.

Triyanto, Sutrisno, dan I. Yuniarti. 2008. Domestikasi Ikan Bada (Rasbora


argyrotaenia) Potensi dan Peluangnya. Abstrak in : Aquaculture Indonesia,
partnership and innovation for Sustainable Aquaculture Development,
Lampung July 8-10th 2008.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.


Jakarta

von Geldren, C. E, Jr. 1966. Warm Water Lake Management in A. Calhoun (Ed),
Inland Fisheries Management. State of California, The Resources Agency,
Department of Fish and Fish Game. 546 h.

Welcomme, R. L. 2001. Inland Fisheries, Ecology, and Management. London:


Fishing News Book, A division of Blackwell Science. 358 h.

Yonvitner, S. Sukimin, I. Setyobudiandi, dan Zairion. 2008. Modul Praktikum


Biologi Perikanan. Bogor: Departemen Manajemen Sumberdaya Perikanan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Insitut Pertanian Bogor. 48 h.

Zahid, A. 2008. Ekologi Trofik Ikan-ikan Dominan (Trichogaster leerii, T.


Trchopterus, dan Rasbora dusonensis ) di Hutan Rawa Gambut dan Desa
Dadahup Kalimantan Tengah. Tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor. 85 h.

Zarmiati. 1996. Studi Aspek Reproduksi Bada (Rasbora argyrotaenia Blkr.) di


Danau Maninjau Sumatera Barat. Skripsi. Padang: Jurusan Budidaya
Perairan. Fakultas Perikanan. Universitas Bung Hatta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Alat dan bahan

1. Jaring insang 5/8 inchi, ¾ inchi, dan 1 inchi.

(a) Sebelum dipasang

(b). Setelah dipasang

2. Lukah

(a) Sebelum dipasang

(b) Setelah dipasang


Lampu (perlengkapan bagan) Bahan bakar lampu Sampan

Masker Sarung Tangan Kertas Label

Alat bedah Penggaris Termometer

Neraca elektrik Formalin


Lampiran 2. Produk olahan ikan bada (ikan asap/bada masiak).
Lampiran 3. Kondisi pelindung atau rasau di Sungai Tampang
Lampiran 4. Sebaran frekuensi panjang ikan bada

Nilai
Selang Frekuensi ikan Frekuensi ikan Frekuensi Frekuensi
tengah
Kelas jantan (fj) betina (fb) relatif-jantan relatif-betina
(xi)
67-72 69,5 1 0 0,37 0,00
73-78 75,5 24 1 8,89 0,15
79-84 81,5 78 17 28,89 2,62
85-90 87,5 85 74 31,48 11,38
91-96 93,5 63 211 23,33 32,46
97-102 99,5 17 218 6,30 33,54
103-108 105,5 1 77 0,37 11,85
109-114 111,5 0 26 0,00 4,00
115-120 117,5 0 13 0,00 2,00
121-126 123,5 1 10 0,37 1,54
127-132 129,5 0 3 0,00 0,46
270 650 100 100
Lampiran 5. Sebaran ukuran berat ikan bada

Frekuensi Frekuensi Frekuensi Frekuensi


Selang Kelas Nilai tengah
ikan jantan ikan betina relatif ikan relatif ikan
Berat (xi)
(fj) (fb) jantan(fr-j) betina (fr-b)
1,925-3,593 2,759 19 0 7,06 0,00
3,594-5,262 4,428 129 42 47,96 6,55
5,263-6,931 6,097 103 214 38,29 33,39
6,932-8,6 7,766 16 251 5,95 39,16
8,601-10,269 9,435 1 85 0,37 13,26
10,27-11,938 11,104 0 22 0,00 3,43
11,939-13,607 12,773 1 4 0,37 0,62
13,608-15,276 14,442 0 11 0,00 1,72
15,277-16,945 16,111 0 8 0,00 1,25
16,946-18,614 17,78 0 2 0,00 0,31
18,615-20,283 19,449 0 2 0,00 0,31
269 641 100 100
Lampiran 6. Uji t nilai b hubungan panjang berat

H0:b=3
H1:b 3

SUMMARY OUTPUT
Statistik regresi
r : 0,9790
R2 : 0,9585
Tabel Sidik Ragam (TSR)
db Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah (KT) F hitung F tabel
Regresi 1 38,6779 38,6779 23369,76 0
Sisa 1011 1,6732 0,0017
Total 1012 40,3511
Simpangan baku P-value
Intersep (a) -5,5019 0,0411 0
Slope (b) 3,2007 0,0209 0
3,200 − 3
t hitung = = 9,587 t (0,025;1011)=1,96
0,02
t hitung > t tabel maka tolak H0. Nilai b 3 maka pola pertumbuhan ikan bada adalah allometrik positif. Kisaran nilai b yaitu 3,154-3,24
Lampiran 7. Faktor kondisi ikan bada
a) Betina
Sungai Tampang Muko-muko MM-Bagan Bayur BYR-Lukah
Selang kelas
Kt Simpangan baku Kt Simpangan baku Kt Simpangan baku Kt Simpangan baku Kt Simpangan baku
67-72 1,008 0,137
73-78 1,122 0,086 0,982
79-84 1,132 0,086 1,157 0,241 0,989 0,009 1,090 0,098 0,006
85-90 1,178 0,055 1,125 0,123 0,977 0,038 1,125 0,046 0,097 0,004
91-96 1,129 0,080 1,040 0,089 0,975 0,104 1,096 0,089 0,097 0,007
97-102 1,080 0,080 1,035 0,078 0,955 1,063 0,083 0,094 0,006
103-108 1,024 0,164 1,033 0,165 1,044 0,105 0,096 0,006
109-114 1,084 0,204 0,984 0,156 0,864 1,096 0,129 0,095 0,006
115-120 1,122 0,066 1,129 0,125 1,033 0,116 0,092 0,003
121-126 1,154 0,049 1,153 1,073 0,189 0,100 0,001
127-132 1,235 1,123 0,099
b) Jantan
Sungai Tampang Muko-muko MM-Bagan Bayur BYR-Lukah
Selang kelas
Kt Simpangan baku Kt Simpangan baku Kt Simpangan baku Kt Simpangan baku Kt Simpangan baku
67-72 1,001 0,080 0,913
73-78 1,205 0,148 1,104 0,054 0,979 0,064 1,121 0,079 1,021 0,081
79-84 1,205 0,148 1,070 0,126 0,999 0,082 1,067 0,096 1,021 0,068
85-90 1,099 0,094 1,038 0,069 1,002 0,061 1,097 0,065 0,997 0,075
91-96 1,106 0,045 1,045 0,054 0,848 1,055 0,072 0,993 0,052
97-102 0,945 0,176 1,014 0,058 1,007 0,093 0,943 0,046
103-108 1,000
109-114
115-120
121-126 0,949
127-132
Lampiran 8. Uji beda nilai tengah faktor kondisi ikan bada

Uji yang digunakan yaitu uji t karena ragam populasi tidak diketahui.
Pengujian nilai tengah diawali dengan pengujian kesamaan ragam populasi yang
diduga dengan ragam contoh dari populasi yang akan diuji. Pengujian kesamaan
ragam populasi dan pengujian dua nilai tengah diolah menggunakan perangkat
lunak MINITAB 14.

a) Jantan dan Betina

Hipotesis
Ho: j2= b2
H1: j2 b2

Uji kesamaan ragam: Jantan, Betina


Pada selang kepercayaan 95% maka kisaran nilai simpangan baku contoh

Jumlah (N) Batas bawah simpangan baku Batas atas


Jantan 355 0,0819 0,0888 0,0969
Betina 675 0,0987 0,1048 0,1115

Uji F (distribusi normal)


p-value = 0,000

p=0,000 (<0,05) maka tolak Ho. Artinya, ragam faktor kondisi populasi ikan
jantan dan ikan betina tidak sama.

Hipotesis
Ho: µj=µb atau µj-µb=0
H1: µj µb atau µj- µb 0

Uji beda nilai tengah: Jantan vs Betina

Jumlah (N); Nilai tengah; simpangan baku; SE nilai tengah


Jantan 355 1,0421 0,0888 0,0047
Betina 675 1,061 0,105 0,0040

Beda nilai tengah = mu (Jantan) - mu (Betina)


Nilai beda nilai tengah: -0,018812
Kisaran beda nilai tengah pada SK 95%: (-0,030985, -0,006639)
P-Value = 0,002
Derajat bebas = 828

p=0,002 (<0,05) maka tolak Ho, artinya nilai tengah faktor kondisi ikan jantan
tidak sama dengan faktor kondisi ikan betina.
Lampiran. 8 (lanjutan…)

b) Pantai barat dan pantai timur

Hipotesis
Ho: b2= t2
H1: b2 t2

Uji kesamaan ragam: Pantai barat, Pantai timur

Pada selang kepercayaan 95% maka kisaran nilai simpangan baku contoh

Jumlah (N) Batas bawah simpangan baku Batas atas


Pantai barat 475 0,0993227 0,106568 0,114909
Pantai timur 495 0,0855632 0,091677 0,098695

Uji F (distribusi normal)


p-value = 0,001

p=0,001 (<0,05) maka tolak Ho. Artinya, ragam faktor kondisi populasi ikan pada
pantai barat dan ikan pada pantai timur tidak sama.

Hipotesis
Ho: µb=µt atau µb-µt=0
H1: µb µt atau µb-µt 0

Uji nilai beda tengah: Pantai barat, Pantai timur

Jumlah (N); Nilai tengah; simpangan baku; SE nilai tengah


Pantai barat 475 1,071 0,107 0,0049
Pantai timur 495 1,0457 0,0917 0,0041

Beda nilai tengah = mu (Pantai barat) - mu (Pantai timur)


Nilai beda nilai tengah: 0,025496
Kisaran beda nilai tengah pada SK 95%:(0,012947; 0,038045)
p-Value = 0,000
Derajat bebas = 934

p=0,000 (<0,05) maka tolak Ho, artinya nilai tengah faktor kondisi ikan bada pada
pantai barat tidak sama dengan faktor kondisi ikan bada pada pantai timur.
Lampiran 9. Penentuan parameter pertumbuhan

Kelompok ukuran ikan dipisahkan menggunakan metode Battcharya (Sparre dan Venema, 1999) berikut ini:

B E
A C(lnN1+) D(d ln N1+, Y) F(dln N1=a+b*L) G(ln N1) H(N1) I(N2+)
(N1+) (BB,X)
68 1 0,000 - 68 1 0,00
71 0 #NUM! #NUM! 71 0 0,00
74 4 1,386 #NUM! 74 4 0,00
77 21 3,045 1,658 77 21 0,00
80 29 3,367 0,323 80 0,98 3,367 29,00 0,00
83 69 4,234 0,867 83 0,53 3,897 49,27 19,73
86 67 4,205 -0,029 86 0,08 3,977 53,37 13,63
89 96 4,564 0,360 89 -0,37 3,607 36,87 59,13
92 147 4,990 0,426 92 -0,82 2,787 16,24 130,76
95 129 4,860 -0,131 95 -1,27 1,517 4,56 124,44
98 123 4,812 -0,048 98 -1,72 -0,203 0,82 122,18
101 113 4,727 -0,085 101 -2,17 -2,373 0,09 112,91
104 56 4,025 -0,702 104 -2,62 Jum (N1) 216,21
107 22 3,091 -0,934 107 -3,07 a 12,98
110 14 2,639 -0,452 110 -3,52 b -0,15
113 12 2,485 -0,154 113 -3,97 Lrta 86,53
116 6 1,792 -0,693 116 -4,42 s(N1) 4,47
119 7 1,946 0,154 119 -4,87 r2 0,63
122 9 2,197 0,251 122 -5,32
125 2 0,693 -1,504 125 -5,77
128 1 0,000 -0,693 128 -6,22
131 2 0,693 0,693 131 -6,67
930

A B(N1+) C(ln N1+) D(d ln N1+, Y) E(BB, X) F(dln N1=a+b*L) G(ln N1) H(N1) I(N2+)
83 19,73 2,982 - 83 19,73 0,00
86 13,63 2,612 -0,370 86 13,63 0,00
89 59,13 4,080 1,468 89 1,572 4,080 59,13 0,00
92 130,76 4,873 0,794 92 0,816 4,896 133,73 0,00
95 124,44 4,824 -0,050 95 0,06 4,956 142,00 0,00
98 122,18 4,806 -0,018 98 -0,696 4,260 70,80 51,39
101 112,91 4,727 -0,079 101 -1,452 2,808 16,57 96,33
104 56 4,025 -0,701 104 -2,208 0,600 1,82 54,18
107 22 3,091 -0,934 107 -2,964 -2,364 0,09 21,91
110 14 2,639 -0,452 110 -3,72 Jum (N2) 457,50 Indeks Separasi
113 12 2,485 -0,154 113 -4,476 a 24,00 Lrta a+1 95,24
116 6 1,792 -0,693 116 -5,232 b -0,25 L rta a 86,53
119 7 1,946 0,154 119 -5,988 Lrta 95,24 s a+1 3,45
122 9 2,197 0,251 122 -6,744 s(N2) 3,45 sa 4,47
125 2 0,693 -1,504 125 -7,5 I 2,2
128 1 0,000 -0,693 128 -8,256
131 2 0,693 0,693 131 -9,012

A B(N1+) C(ln N1+) D(d ln N1+, Y) E(BB, X) F(dln N1=a+b*L) G(ln N1) H(N1) I(N2+)
98 51,39 3,939 - 98 51,39 0,00
101 96,33 4,568 0,628 101 0,545 4,568 96,33 0,00
104 54,18 3,992 -0,576 104 -0,22 4,348 77,31 0,00
107 21,91 3,087 -0,906 107 -0,985 3,363 28,87 0,00
110 14 2,639 -0,448 110 -1,75 1,613 5,02 8,98
113 12 2,485 -0,154 113 -2,515 -0,902 0,41 11,59
116 6 1,792 -0,693 116 -3,28 Jum (N3) 259,32 Indeks Separasi
119 7 1,946 0,154 119 -4,045 a 26,30 Lrta a+1 103,14
122 9 2,197 0,251 122 -4,81 b -0,26 L rta a 95,24
125 2 0,693 -1,504 125 -5,575 Lrta 103,14 s a+1 3,43
128 1 0,000 -0,693 128 -6,34 s(N3) 3,43 sa 3,45
131 2 0,693 0,693 131 -7,105 I 2,3

A B(N1+) C(ln N1+) D(d ln N1+, Y) E(BB, X) F(dln N1=a+b*L) G(ln N1) H(N1) I(N2+)
110 8,98 2,195 - 110
113 11,59 2,451 0,255 113
116 6 1,792 -0,659 116
119 7 1,946 0,154 119
122 9 2,197 0,251 122
125 2 0,693 -1,504 125
128 1 0,000 -0,693 128
131 2 0,693 0,693 131

Hasil pemisahan kelompok ukuran ikan bada adalah sebagai berikut:


Lt Jumlah populasi (N) Standar deviasi (S) Indeks separasi (I)
(1) 86,53 216,21 4,47 -
(2) 95,24 457,50 3,45 2,2
(3) 103,14 259,32 3,43 2,3
Regresi Lt pada sumbu x dan Lt+1 pada sumbu y

Lt (x) L t+1 (y)


86,53 95,24
95,24 103,14
Rata-rata 90,89 99,19

Hasil regresi dan parameter pertumbuhan:


a b r b’ a’ K (-ln b’) Linf=a’/(1-b’) (mm)
16,75 0,91 1 0,91 16,75 0,1 per bulan =0,1*12=1,2 per tahun 180

log(− t 0 ) = 0,3922 − 0,2752(log L ∞ ) − 1,038(log K )


= 0,392-0,2752*log(180)-1,038*log(0,1)
-t0 = 10(-0,10452)=1,06
t0 = -1,06 per bulan =-0,02 per tahun.
Lampiran 10. Penentuan mortalitas total (Z), alami (M), penangkapan (F) dan laju
eksploitasi (E).

a) Laju kematian total ditentukan dengan kurva tangkapan yang dilinearkan


berbasis panjang sebagai berikut:
SB SA BB BA xi fi t(L1) dt t (L1+L2)/2 (X) ln(C(L1+L2)/dt) (Y)
1 67 69 66,5 69,5 68 1 3,774 0,179 3,68 1,72
2 70 72 69,5 72,5 71 4,048 0,183 3,96 #NUM!
3 73 75 72,5 75,5 74 4 4,330 0,189 4,24 3,05
4 76 78 75,5 78,5 77 21 4,620 0,194 4,52 4,68
5 79 81 78,5 81,5 80 29 4,918 0,200 4,82 4,98
6 82 84 81,5 84,5 83 69 5,226 0,206 5,12 5,81
7 85 87 84,5 87,5 86 67 5,544 0,213 5,44 5,75
8 88 90 87,5 90,5 89 96 5,871 0,220 5,76 6,08
9 91 93 90,5 93,5 92 147 6,210 0,227 6,10* 6,47*
10 94 96 93,5 96,5 95 129 6,561 0,235 6,44* 6,31*
11 97 99 96,5 99,5 98 123 6,925 0,244 6,80* 6,22*
12 100 102 99,5 102,5 101 113 7,302 0,253 7,18* 6,10*
13 103 105 102,5 105,5 104 56 7,695 0,263 7,56* 5,36*
14 106 108 105,5 108,5 107 22 8,103 0,274 7,96* 4,39*
15 109 111 108,5 111,5 110 14 8,529 0,286 8,38* 3,89*
16 112 114 111,5 114,5 113 12 8,973 0,299 8,82* 3,69*
17 115 117 114,5 117,5 116 6 9,438 0,313 9,28* 2,95*
18 118 120 117,5 120,5 119 7 9,926 0,328 9,76 3,06
19 121 123 120,5 123,5 122 9 10,439 0,345 10,27 3,26
20 124 126 123,5 126,5 125 2 10,980 0,364 10,80 1,70
21 127 129 126,5 129,5 128 1 11,551 0,385 11,36 0,96
22 130 132 129,5 132,5 131 2 12,158 0,408 11,95 1,59
*x dan y yang digunakan dalam analisis regresi

Persamaan regresi yang diperoleh yaitu: y=14,1283+ (-1,19311) x sehingga


didapatkan Z (-b)=1,19 per bulan (14,28 per tahun).
b) Mortalitas alami (M)
ln M = −0,0152 − 0,279 * ln L ∞ + 0,6543 * ln K + 0,463 * ln T
=-0,0152-0,279*ln(180)+0,6543*ln(0,1)+0,463*ln(28,3)
M = e-1,4229=0,24 per bulan=2,88 per tahun.

c) Mortalitas penangkapan (F)


F =Z-M
=11,4
d) Laju eksploitasi (E)
E = F/Z
= 0,8
Lampiran 11. Komposisi TKG ikan bada pada setiap ukuran mata jaring insang.

a) Ukuran mata jaring inch.


5/8 inch
35
30 2
25
8
Frekuensi
20
15
5 Betina
10
Jantan
5
0 10 27 19 0
0
I II III IV V
TKG

b) Ukuran mata jaring ¾ inch.


3/4 inch
400
350
300 301
250
Frekuensi

200
150 Betina
128
100 Jantan
50 0 6 37 56 0
0
0I 9 0
II III IV V
TKG

c) Ukuran mata jaring 1 inch.


1 inch
20
19
15
Frekuensi

10
Betina
5 Jantan
3
0
1
0I II0 III 0
IV 0
V
TKG
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 24 Januari 1986 di Tanjung Jati;


merupakan anak ke-3 dari tiga orang bersaudara dari pasangan
Bapak Mardisin dan Ibu Ernita. Pendidikan formal penulis
dimulai di SDN 19 Koto Kociak (1992-1998). Setelah
menyelesaikan pendidikan dasar penulis melanjutkan pendidikan
di Madrasah Tsanawiyah (MTsN) Padang Japang (1998-2001),
dan menempuh pendidikan menengah atas di SMU N 1 Suliki (2001-2004). Pada
tahun yang sama penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan tinggi di Institut
Pertanian Bogor pada program studi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan
Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan melalui jalur USMI.
Selama menempuh pendidikan tinggi di IPB penulis aktif di beberapa
kegiatan baik intra maupun ekstrakampus. Penulis diberi kesempatan dan
kepercayaan menjadi asisten praktikum m.k. Limnologi, m.k. Statistika Dasar,
m.k. Biologi Perikanan, m.k. Sumberdaya Perikanan, m.k. Dinamika Populasi
Ikan, dan m.k. Pengkajian Stok Ikan. Pada tahun 2007 penulis menjadi Penyaji
Tingkat Nasional (kelompok) pada ajang Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional
kategori Program Kreativitas Mahasiwa-Penerapan Teknologi dengan judul
“Pemanfaatan Air Limbah Budidaya Lobster Air Tawar dengan Budidaya
Selada melalui Teknik Ekoponik” di Lampung dan pada ajang serta kategori
yang sama penulis (kelompok) menjadi Penyaji Poster Terbaik 2. Pada tahun
2008 proposal penulis (kelompok) juga didanai oleh DIKTI untuk kategori
Program Kreativitas Mahasiswa-Pengabdian Masyarakat dengan judul
“Pemanfaatan Pasir Besi untuk Kerajinan Seni Kaligrafi oleh Komunitas
Santri sebagai Salah Satu Alternatif Peluang Usaha di Kecamatan Cidaun
Kabupaten Cianjur”. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana,
penulis menyusun skripsi dengan judul “Rencana Pengelolaan Sumberdaya
Ikan Bada (Rasbora argyrotaenia) Berdasarkan Analisis Frekuensi Panjang
di Danau Maninjau, Sumatera Barat”

Вам также может понравиться