Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
RAHMI DINA
Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber dan informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Rahmi Dina
C24104008
RINGKASAN
Ikan bada (Rasbora argyrotaenia), salah satu ikan asli yang terdapat di
Danau Maninjau merupakan komoditas perikanan penting sebagai ikan konsumsi
baik dalam bentuk segar maupun olahan berupa ikan asap. Penelitian ini bertu-
juan untuk mengkaji stok ikan bada (Rasbora argyrotaenia) dengan melihat aspek
biologi berupa hubungan panjang berat, faktor kondisi, pertumbuhan, mortalitas,
dan laju eksploitasi ikan bada. Informasi ini merupakan masukan yang diperlukan
dalam penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya ikan bada, agar pemanfaatan-
nya dapat berkelanjutan.
Pengambilan ikan contoh berlangsung mulai 18 Juni sampai 09 Juli 2008
di perairan umum Danau Maninjau, Sumatera Barat. Ikan contoh diambil pada
beberapa stasiun yaitu di stasiun Sungai Tampang dengan alat tangkap jaring
insang, di stasiun Muko-muko dengan alat tangkap jaring insang dan bagan, serta
di stasiun Bayur dengan alat tangkap jaring insang dan perangkap (lukah). Aspek
pertumbuhan dan mortalitas dianalisis berdasarkan frekuensi panjang. Kelompok
ukuran ikan dipisahkan dengan metode Battacharya, koefisien pertumbuhan (K)
dan panjang asimtotik (L ) diduga dengan plot Ford Walford, dan umur teoritis
pada saat panjang sama dengan nol (t0) serta laju mortalitas alami (M) diduga
dengan rumus empiris Pauly. Laju mortalitas total (Z) dianalisis menggunakan
kurva tangkapan yang dilinearkan berbasis data panjang, dan laju eksploitasi (E)
ditentukan dengan rumus E=F/Z.
Sebaran frekuensi panjang ikan bada jantan berada pada selang kelas
lebih sempit yaitu 67-72 mm sampai 103-108 mm, dibandingkan ikan betina yang
berada pada selang kelas lebih lebar yaitu 73-78 mm sampai 127-132 mm. Hal ini
disebabkan ukuran ikan betina lebih besar dibandingkan ikan jantan dan ikan
jantan lebih cepat matang gonad dibandingkan ikan betina sehingga ikan jantan
banyak tertangkap pada jaring insang dengan ukuran mata jaring lebih kecil. Pola
pertumbuhan ikan bada allometrik positif (p<0,05) dengan persamaan pertum-
buhan W= 3x10-6L3,2007. Faktor kondisi rata-rata ikan bada betina lebih besar
dibandingkan ikan jantan (p<0,05) dan faktor kondisi ikan bada pada pantai barat
lebih besar dibandingkan pada pantai timur (p<0,05). Panjang asimtotik ikan
bada (L ) 180 mm, koefisien pertumbuhan (K) 1,2 per tahun, dan umur teoritis
pada saat panjang ikan sama dengan nol (t0) -0,02 tahun sehingga diperoleh
persamaan pertumbuhan von Bertalanffy ikan bada
L t = 180(1 − exp[− 1,2(t + 0,02)]) . Koefisien pertumbuhan ikan bada yang tinggi
disebabkan oleh faktor internal berupa ukuran ikan yang relatif kecil. Laju
mortalitas total (Z) ikan bada 14,58 per tahun dengan laju mortalitas alami (M)
2,88; laju mortalitas akibat penangkapan (F) 11,48 sehingga diperoleh laju
eksploitasi 0,8. Nilai laju eksploitasi ikan bada tersebut melebihi nilai laju
eksploitasi optimum 0,5. Hal ini karena intensifnya penangkapan ikan bada yang
berlangsung setiap hari dan sepanjang tahun dengan alat tangkap yang beragam.
Tingginya laju eksploitasi harus diimbangi dengan upaya pengelolaan
sumberdaya ikan bada baik populasi maupun habitatnya. Berdasarkan penelitian
ini rencana pengelolaan sumberdaya ikan bada yang disarankan yaitu mengatur
alat tangkap berupa pengaturan ukuran mata jaring yang boleh digunakan besar
dari ¾ inch, pengaturan jenis alat tangkap dengan tidak mengoperasikan alat
tangkap bagan; memperbaiki habitat melalui pembuatan pelindung atau rasau
(shelter); dan menjaga kualitas air Danau Maninjau.
RENCANA PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN BADA
(Rasbora argyrotaenia) BERDASARKAN ANALISIS
FREKUENSI PANJANG DI DANAU MANINJAU,
SUMATERA BARAT
RAHMI DINA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Ketua Anggota
Diketahui
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Rahmi Dina
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xv
I. PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1. Latar belakang .......................................................................... 1
1.2. Tujuan ...................................................................................... 2
1.3. Rumusan masalah ..................................................................... 2
1.4. Manfaat .................................................................................... 3
Halaman
1. Data morfologi Danau Maninjau ...................................................... 4
Halaman
1. Ikan bada (Rasbora argyrotaenia) .................................................... 7
10. Sebaran ukuran panjang ikan bada pada minggu I-IV ....................... 33
13. Faktor kondisi ikan bada pada stasiun Sungai Tampang ................... 39
Halaman
1. Alat dan bahan ................................................................................. 60
10. Penentuan mortalitas total (Z), alami (M), penangkapan (F), dan
laju eksploitasi (E) ........................................................................... 74
11. Komposisi TKG ikan bada pada setiap ukuran mata jaring insang .... 75
I. PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menentukan beberapa parameter biologi sumberdaya ikan bada (Rasbora
argyrotaenia) yaitu pertumbuhan dan mortalitas.
2. Merencanakan suatu opsi pengelolaan ikan bada (Rasbora argyrotaenia) yang
berkelanjutan di Danau Maninjau.
1.4 Manfaat
Sebagai langkah awal pengelolaan, penelitian ini diharapkan dapat dija-
dikan sebagai salah satu masukan dari aspek biologi dalam merumuskan suatu
upaya pengelolaan ikan bada.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.4. Pertumbuhan
Pertumbuhan bisa didefenisikan sebagai perubahan ukuran atau jumlah
material tubuh baik perubahan positif maupun negatif temporal maupun dalam
jangka waktu yang lama (Busacker et al., 1990); pertambahan ukuran panjang
atau berat dalam suatu waktu (Effendie, 1997). Dari sejumlah makanan yang
dimakan oleh ikan tertentu sebagian besar energinya digunakan untuk pemeliha-
raan tubuh, aktivitas, dan reproduksi. Hanya sebagian kecil (biasanya bagian)
yang tersedia untuk pertumbuhan (King, 1995).
Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dalam
dan faktor luar baik yang terkontrol maupun tidak terkontrol. Faktor dalam
umumnya adalah faktor yang sulit dikontrol seperti keturunan, sex, umur, parasit,
dan penyakit. Faktor luar yang utama mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu
suhu dan makanan (Effendie, 1997), ketersediaan makanan, laju memakan
makanan, nilai gizi makanan, dan faktor abiotik seperti ammonia dan pH
(Woothon, 1990 in Welcomme, 2001).
Dari sudut pandang perikanan, pertumbuhan sebagaimana rekruitmen
mempengaruhi berat tangkapan berkelanjutan yang dapat diambil dari suatu stok
ikan (King, 1995). Studi mengenai pertumbuhan pada dasarnya adalah penentuan
ukuran badan sebagai suatu fungsi umur. Dalam menganalisis suatu populasi
diperlukan ekspresi matematika yang menggambarkan pertumbuhan. Melalui
ekspresi matematika ini maka ukuran baik panjang maupun berat suatu individu
ikan pada umur tertentu dapat diduga (Gulland, 1969). Beberapa model telah
digunakan untuk menggambarkan pertumbuhan dengan menggunakan persamaan
matematika yang sederhana (Allen, 1971 in King, 1995). Menurut King (1995)
salah satu diantaranya adalah persamaan pertumbuhan von Bertalanffy yang
umum digunakan dalam studi pertumbuhan. Persamaan pertumbuhan von
Bertalanffy memberikan representasi pertumbuhan ikan yang memuaskan. Hal ini
karena persamaan pertumbuhan von Bertalanffy berdasarkan konsep fisiologis se-
hingga bisa digunakan untuk mengetahui beberapa masalah seperti variasi pertum-
buhan karena ketersediaan makanan (Beverton dan Holt, 1957).
Dalam analisis populasi, pertumbuhan tidak hanya dilihat dari ukuran
ikan pada umur yang berbeda namun juga perlu melihat laju pertumbuhan ikan
tersebut. Laju pertumbuhan adalah peningkatan berat atau panjang per unit
waktu. Laju pertumbuhan penting untuk diketahui dalam pendugaan perikanan
untuk melihat berat yang diperoleh melalui pertumbuhan dibandingkan dengan
kehilangan berat akibat mortalitas alami (Gulland, 1969).
2.4.1. Hubungan panjang berat dan faktor kondisi
Pengukuran panjang tubuh memberikan bukti langsung terhadap
pertumbuhan. Peningkatan ukuran panjang umumnya tetap berlangsung
walaupun ikan mungkin dalam keadaan kekurangan makanan. Panjang tubuh
dapat diukur dalam banyak cara, seperti panjang total, fork length, dan panjang
baku yang umum digunakan untuk ikan. Panjang dapat dengan mudah dan murah
diukur di lapangan maupun di laboratorium pada ikan yang masih hidup ataupun
ikan yang sudah diawetkan (Anderson & Gutreuter, 1983 in Busacker et al.,
1990). Panjang total adalah panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan
bagian kepala sampai ujung terakhir bagian ekornya. Fork length adalah panjang
ikan yang diukur dari ujung terdepan sampai ujung bagian luar lekukan ekor.
Panjang standar atau panjang baku adalah panjang ikan yang diukur dari ujung
terdepan dari kepala sampai ujung terakhir dari tulang punggungnya (Effendie,
1979).
Panjang dan berat ikan seringkali diukur secara bersamaan. Salah satu
variabel dapat diukur dari variabel lainnya jika hubungan panjang berat populasi
diketahui. Dengan jumlah ikan yang sedikit, akan lebih baik mengukur berat
sebagaimana pengukuran panjang untuk menduga laju pertumbuhan. Dengan
jumlah ikan yang banyak akan lebih akurat untuk mengukur panjang saja dan
mengkonversinya ke berat.
Panjang ikan sering lebih mudah didapatkan dibandingkan dengan umur
atau beratnya. Hubungan antara panjang dan berat ikan yaitu W=a Ln, W=berat,
L= panjang, a adalah suatu konstanta dan n suatu eksponen. Nilai n berfluktuasi
antara 2,5 sampai 4; kebanyakan mendekati 3 karena pertumbuhan mewakili
peningkatan dalam tiga dimensi sedangkan pengukuran panjang diambil dari satu
dimensi. Hubungan ini juga memungkinkan untuk membandingkan individu
dalam satu populasi maupun antar populasi (Lagler et al., 1977). Nilai b=3
menggambarkan pertumbuhan isometrik yang akan mencirikan ikan mempunyai
bentuk tubuh yang tidak berubah (Ricker, 1975) atau pertambahan panjang ikan
seimbang dengan pertambahan beratnya. Nilai b 3 menggambarkan pertumbuhan
allometrik. Nilai b<3 menunjukkan keadaan ikan yang kurus dimana pertam-
bahan panjangnya lebih cepat dari pertambahan beratnya dan nilai b>3
menunjukkan pertumbuhan berat lebih cepat dari pertumbuhan panjangnya
(Effendie, 1997). Nilai b yang berbeda dapat disebabkan oleh perbedaan spesies,
lingkungan, stok dalam spesies yang sama, tahap perkembangan ikan, jenis
kelamin, tingkat kematangan gonad, musim, bahkan perbedaan waktu dalam hari
yang sama (Bagenal, 1978).
Faktor kondisi (ponderal index) menggambarkan keadaan nutrisi atau
“kondisi baik” suatu individu ikan dan terkadang diinterpretasikan sebagai suatu
indeks laju pertumbuhan. Faktor kondisi digunakan untuk membandingkan berat
dan panjang ikan contoh atau antar individu ikan tertentu. Faktor kondisi sesuai
untuk membandingkan ikan yang berbeda dalam spesies yang sama. Faktor
kondisi juga akan berbeda tergantung jenis kelamin ikan, musim, atau lokasi
penangkapan (Ricker, 1975), dan umur (Lagler, 1970).
Menurut Yonvitner et al. (2008) pengamatan kondisi ikan dapat dilihat
dari tiga model pengamatan, yaitu:
1. Kt : kondisi yang diamati berdasarkan panjang total
2. Ks : kondisi yang diamati berdasarkan data panjang standar (baku)
3. Kf : kondisi yang diamati berdasarkan data panjang cagak
Predasi
Kekurangan Penyakit/
makanan parasit
Mortalitas Stress
Penangkapan total (Z) pemijahan
Isolasi Senescence
Abiotik (suhu,
polusi, DO)
Keterangan : Langsung
Tidak Langsung
Gambar 2. Faktor-faktor yang menyebabkan mortalitas ikan (Welcomme, 2001)
Mortalitas alami adalah mortalitas yang terjadi karena berbagai sebab
selain penangkapan seperti pemangsaan, penyakit, stress pemijahan, kelaparan,
dan usia tua (Sparre dan Venema, 1999). Beverton dan Holt (1957) menduga
bahwa predasi merupakan faktor eksternal yang umum sebagai penyebab
mortalitas alami. Hal yang sama juga disampaikan Welcomme (2001) bahwa
mortalitas alami ikan di danau terutama disebabkan oleh predasi baik oleh ikan,
burung, dan mamalia walaupun penyakit juga berperan terutama pada populasi
yang padat dan popolusi yang terisolasi. Mortalitas alami juga disebabkan oleh
suhu yang tinggi, kandungan oksigen yang rendah, dan kematian ikan secara tiba-
tiba seringkali berhubungan dengan perubahan yang cepat pada faktor abiotik
terutama oksigen terlarut (Das dan Pande, 1980; Welcomme, 1985 in Welcomme,
2001). Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan
von Bertalanffy K, dan L . Ikan yang pertumbuhannya cepat (nilai K tinggi)
mempunyai M tinggi dan sebaliknya. Nilai M berkaitan dengan nilai L karena
pemangsa ikan besar lebih sedikit dari ikan kecil. Menurut Pauly berdasarkan
penelitiannya terhadap 175 stok ikan dari 84 spesies, faktor lingkungan yang
mempengaruhi nilai M adalah suhu rata-rata perairan selain faktor non lingkungan
yaitu panjang maksimum ikan dan laju pertumbuhan.
Laju eksploitasi (E) didefenisikan sebagai bagian suatu kelompok umur
yang akan ditangkap selama ikan tersebut hidup. Dengan kata lain laju eksploitasi
adalah jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang
mati karena semua faktor baik alami maupun akibat penangkapan (Pauly, 1984).
Gulland (1971) in Pauly (1984) menduga bahwa dalam stok yang dieksploitasi
optimal maka laju mortalitas penangkapan (F) akan sama dengan laju mortalitas
alami (M) atau laju eksploitasi (E) sama dengan 0,5. Penentuan laju eksploitasi
merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui untuk menentukan kondisi
sumberdaya perikanan dalam pengkajian stok perikanan (King, 1995).
Saran
Aktivitas
penangkapan
Penyusunan
Regulasi kebijakan
pengelolaan dan
Pemanfaatan pengambilan
sumberdaya keputusan
perairan lainnya
2 3
B. Bahan
1 Formalin Pengawet ikan contoh
2 Kantong Plastik Wadah ikan yang diawet
3 Kertas Label Memberi tanda pada ikan sesuai dengan
stasiun, waktu, dan alat pengambilan ikan
contoh.
3.7. Pertumbuhan
3.7.1. Plot Ford-Walford (L , K) dan t0
Plot Ford-Walford merupakan salah satu metode paling sederhana dalam
menduga persamaan pertumbuhan von Bertalanffy dengan interval waktu
pengambilan contoh yang sama (King, 1995). Berikut ini adalah persamaan per-
tumbuhan von Bertalanffy:
L t = L∞ (1 − exp[− K (t − t 0 )]) (1)
Keterangan: Lt = panjang ikan pada saat umur t (satuan waktu)
L = panjang maksimum secara teoritis (panjang asimtotik)
K = koefisien pertumbuhan (per satuan waktu)
t0 = umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol
Penurunan plot Ford-Walford didasarkan pada persamaan pertumbuhan
von Bertalanffy (1) dengan t0 sama dengan nol, maka persamaannya menjadi:
L t = L ∞ (1 − exp[− Kt ]) (2)
L∞ − L t = L∞ exp[− Kt ] (3)
(a) = L ∞ (1 − exp[− K ]) .
Umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol dapat diduga
secara terpisah menggunakan persamaan empiris Pauly (Pauly, 1983 in Amir,
2006):
log(− t 0 ) = 0,3922 − 0,2752(log L ∞ ) − 1,038(log K )
3.7.2. Hubungan panjang berat dan faktor kondisi
Hubungan antara panjang (L) dan berat (W) ikan bada jantan dan betina
secara umum adalah (Pauly, 1984):
W = aLb
Nilai a dan b diduga dari bentuk linear persamaan di atas yaitu:
log W = log a + b log L
1. Jika nilai b= 3 maka pertumbuhan berat adalah isometrik
2. Jika nilai b 3 maka pertumbuhan berat adalah allometrik.
a. jika b > 3 maka pertumbuhan berat adalah allometrik positif
b. jika b < 3 maka pertumbuhan berat adalah allometrik negatif.
Untuk menguji hipotesis nol bahwa 0 dapat dihitung t. Jika nilai t > t /2, n-2)
maka hipotesis nol ditolak dan jika t < t /2, n-2) hipotesis nol gagal ditolak (Steel
dan Torrie, 1989).
Faktor kondisi dapat dihitung dengan rumus (Bal dan Rao, 1984 in
Yonvitner et al., 2008):
1. Jika pertumbuhan ikan isometrik maka faktor kondisi ditentukan dengan:
W10 5
K (t, s, f) =
L3
2. Jika pertumbuhan ikan allometrik maka faktor kondisi ditentukan dengan:
W
K (t, s, f) =
aLb
Keterangan: W = berat aktual ikan tertentu
L = panjang ikan tertentu
a, b = koefisien persamaan hubungan panjang berat
t
(L1 + L 2 ) = t 1 (L + L 2 )
− * ln 1 − 1
2L ∞
0
2 K
Langkah 4: Menurunkan kurva hasil tangkapan (C) yang dilinearkan yang
dikonversikan ke panjang:
C(L1 , L 2 ) (L + L 2 )
ln = c − Z* t 1
t (L1 , L 2 ) 2
Persamaan di atas adalah persamaan linear, dengan kemiringan (b) = -Z.
Laju mortalitas alami (M) diduga menggunakan rumus empiris
Pauly (1980) in Sparre dan Venema (1999):
ln M = −0,0152 − 0,279 * ln L ∞ + 0,6543 * ln K + 0,463 * ln T
M = e (lnM )
Keterangan: M = mortalitas alami
L = panjang asimtotik pada persamaan pertumbuhan von
Bertalanffy
K = koefisien pertumbuhan pada persamaan pertumbuhan von
Bertalanffy
T = rata-rata suhu permukaan air (0C)
Laju mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan :
F = Z−M
Laju eksploitasi ditentukan dengan membandingkan mortalitas penang-
kapan (F) terhadap mortalitas total (Z) (Pauly, 1984):
F F
E= =
F+ M Z
Laju mortalitas penangkapan (F) atau laju eksploitasi optimum menurut
Gulland (1971) in Pauly (1984) adalah:
Foptimum = M dan E optimum = 0,5
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
50,00
45,00
Muko-Muko
50,00
45,00
Frekuensi relatif (%)
40,00
35,00
30,00
25,00
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
69,5 75,5 81,5 87,5 93,5 99,5 105,5 111,5 117,5 123,5 129,5
Bayur
50,00
45,00
Frekuensi relatif (%)
40,00
35,00
30,00
25,00
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
69,5 75,5 81,5 87,5 93,5 99,5 105,5 111,5 117,5 123,5 129,5
Bayur-Lukah
50,00
45,00
Frekuensi relatif (%)
40,00
35,00
30,00
25,00
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
69,5 75,5 81,5 87,5 93,5 99,5 105,5 111,5 117,5 123,5 129,5
Gambar 8. Sebaran ukuran panjang ikan bada pada tiap stasiun di Danau
Maninjau
Ikan jantan pada stasiun Bayur dengan alat tangkap jaring insang dan
lukah terdapat pada selang kelas 73-78 mm sampai 97-102 mm dan 67-72 mm
sampai 97-102 mm dengan frekuensi tertinggi masing-masing pada selang kelas
91-96 mm dan 79-84 mm. Ikan betina pada masing-masing alat tangkap pada
stasiun Bayur terdapat pada selang kelas 79-84 mm sampai 121-126 mm dengan
frekuensi tertinggi pada selang kelas yang sama yaitu 97-102 mm.
Berdasarkan hal di atas diketahui bahwa pada semua stasiun pengamatan
dan alat tangkap yang digunakan ikan bada jantan terletak pada selang kelas yang
lebih kecil dibandingkan dengan ikan bada betina. Berkaitan dengan alat tangkap
yang digunakan yaitu jaring insang yang selektif terhadap ukuran, misalnya
panjang maka baik secara langsung maupun tidak langsung alat tangkap ini juga
akan selektif terhadap karakteristik lainnya pada ikan misalnya tingkat ke-
matangan gonad. Jaring insang akan lebih memilih ikan aktif yang kemungkinan
berhubungan dengan tingkat kematangan gonad dan makanan (Gulland, 1980).
Berdasarkan asumsi ini maka diketahui bahwa ikan bada jantan matang gonad
pada ukuran yang lebih kecil jika dibandingkan dengan ikan betina sehingga ikan
bada jantan banyak tertangkap pada jaring insang dengan ukuran mata jaring lebih
kecil (Lampiran 11).
Secara keseluruhan diketahui bahwa frekuensi tertinggi ikan bada jantan
31,48% terdapat pada selang kelas 85-90 mm dan frekuensi tertinggi ikan bada
betina 35,54% terdapat pada selang kelas 97-102 mm seperti disajikan pada
Gambar 9. Hasil ini menunjukkan bahwa ukuran ikan bada betina lebih besar
dibandingkan ikan bada jantan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nikolsky (1963)
bahwa biasanya ukuran ikan betina lebih besar beberapa satuan dibandingkan ikan
jantan untuk menjamin fekunditas yang besar dalam stok dan perbedaan ukuran
ini dicapai melalui ikan jantan yang matang gonad lebih cepat dan jangka
hidupnya yang lebih singkat. Menurut Lagler (1977) perbedaan ukuran antar
jenis kelamin kemungkinan disebabkan oleh faktor genetik. Sebagai contoh
minnows (karper-karperan, famili Cyprinidae) di Amerika Utara. Mayoritas
ukuran ikan betina spesies ini lebih besar dibandingkan jantan, sebaliknya
beberapa spesies seperti Nocomis biguttatus dan Pimephalinae, ikan jantan
berukuran lebih besar.
50,00
45,00
Pada selang kelas 109-114 sudah tidak ditemukan adanya ikan jantan.
Namun pada selang kelas 121-126 mm ditemukan satu ikan jantan. Ukuran ikan
betina terbesar ditemukan pada selang 127-132 mm. Ikan berukuran besar dengan
jumlah yang sangat sedikit ini diduga adalah induk ikan bada. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Lagler et al., (1977) bahwa ukuran terbesar yang muncul pada
umumnya berhubungan dengan induk yang paling “penting”. Panjang total
maksimum ikan bada yang tertangkap adalah 132 mm. Menurut Sterba (1969)
panjang total maksimum Rasbora argyrotaenia mencapai 170 mm. Perbedaan ini
dapat dijelaskan oleh beberapa kemungkinan yaitu perbedaan lokasi pengambilan
ikan contoh, keterwakilan contoh yang diambil, dan kemungkinan terjadinya
tekanan penangkapan yang tinggi. Spesies yang sama pada lokasi yang berbeda
akan memiliki pertumbuhan yang berbeda pula karena perbedaan faktor luar
maupun faktor dalam yang mempengaruhi pertumbuhan ikan tersebut. Menurut
Effendi (1997) faktor dalam umumnya adalah faktor yang sulit dikontrol seperti
keturunan, sex, umur, parasit, dan penyakit. Faktor luar yang utama
mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu suhu dan makanan (Effendie, 1997).
Dengan asumsi bahwa ikan contoh sudah mewakili populasi yang ada maka
ukuran panjang total maksimum yang lebih kecil bisa mengindikasikan adanya
tekanan penangkapan yang tinggi. Namun untuk menyimpulkan hal ini diperlu-
kan pembandingan dengan spesies dan lokasi yang sama serta kajian lebih lanjut.
Kemungkinan terakhir adalah tidak terpilihnya ikan yang lebih besar pada saat
pengambilan ikan contoh karena pengacakan.
Pada Gambar 10 berikut disajikan frekuensi ikan pada minggu I-IV:
Minggu I
40,00
35,00
Frekuensi relatif (%) 30,00
25,00
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
69,5 75,5 81,5 87,5 93,5 99,5 105,5 111,5 117,5 123,5 129,5
Minggu II
40,00
35,00
Frekuensi relatif (%)
30,00
25,00
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
69,5 75,5 81,5 87,5 93,5 99,5 105,5 111,5 117,5 123,5 129,5
Minggu III
40,00
35,00
Frekuensi relatif (%)
30,00
25,00
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
69,5 75,5 81,5 87,5 93,5 99,5 105,5 111,5 117,5 123,5 129,5
Minggu IV
40,00
35,00
Frekuensi relatif (%)
30,00
25,00
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
69,5 75,5 81,5 87,5 93,5 99,5 105,5 111,5 117,5 123,5 129,5
Gambar 10. Sebaran ukuran panjang ikan bada pada minggu I-IV
Jumlah ikan terbanyak berubah dengan perubahan waktu seperti
disajikan pada Gambar 10. Pada minggu I jumlah ikan terbanyak berada pada
selang kelas panjang 91-96 mm dan minggu II jumlah ikan terbanyak terdapat
pada selang kelas panjang 97-102 mm. Jumlah ikan terbanyak pada minggu III
dan IV yaitu 91-96 mm. Pergeseran selang ukuran panjang ikan yang banyak
tertangkap ke selang ukuran yang lebih besar dapat dijadikan sebagai indikasi
adanya pertumbuhan pada interval waktu pengamatan yaitu satu minggu. Dengan
adanya pertumbuhan dalam interval waktu yang singkat maka diduga bahwa ikan
bada memiliki laju pertumbuhan yang relatif besar. Kajian lebih lanjut diperlukan
untuk membuktikan dugaan ini dan akan dibahas pada sub bab pertumbuhan.
60.00
Frekuensi relatif (%)
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
2.759 4.428 6.097 7.766 9.435 11.10412.77314.44216.111 17.78 19.449
Ikan betina terdapat pada selang ukuran panjang yang lebih besar
sehingga ikan betina juga akan berada pada selang ukuran berat yang lebih besar
pula, walaupun penambahan berat tidak sebanding dengan penambahan panjang.
Hal ini karena berat merupakan fungsi dari panjang (Hile, 1963 in Lagler, 1970)
Selain itu pada ikan yang matang gonad dengan tingkat kematangan gonad sama,
maka gonad ikan betina akan lebih mempengaruhi berat total ikan daripada gonad
ikan jantan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (1997) bahwa pertambahan
berat gonad ikan betina sebesar 10-25% dari berat tubuh dan pada ikan jantan 5-
10%.
Tabel 4. Hubungan panjang berat ikan bada jantan dan betina pada tiap stasiun
dan alat tangkap
Persamaan Kisaran Pola pertumbuhan
Jenis
Stasiun Hubungan Panjang nilai b (setelah dilakukan uji t
Kelamin
Berat =0,05) dengan =0,05)
W=5x10-5L2,5768
2,0166-
J (n=35; r=0,8826; Isometrik
3,1370
SEb=0,2385)
ST
W = 5x10-6L3,1107
2,9064-
B (n=103; r=0,9960; Isometrik
3,3149
SEb=0,0898)
W = 5x10-6L3,1217
2,9531-
J&B (n=138; r=0,9633; Isometrik
3,2902
SEb=0,0744)
W = 1x10-5L2,9170 2,6268-
J (n=66; r= 0,9445; 3,2073 Isometrik
SEb=0,1264)
W = 9x10-6L2,9636
2,7325-
MM B (n=211; r=0,8944; Isometrik
3,1974
SEb=0,1024)
W = 7x10-6L3,0131
2,8472-
J&B (n=277;r = 0,9268; Isometrik
3,1789
SEb=0,0736)
W= 6x10-6L3,0325 2,8858-
J (n=65; r= 0,9859; 3,1792 Isometrik
SEb=0,0639)
W = 5x10-6L3,0644 2,9512-
MM-
B (n=38;r = 0,9955; 3,1776 Isometrik
BGN
SEb=0,0484)
W = 6x10-6L3,0517 2,9599-
J&B (n=103;r = 0,9910; 3,1435 Isometrik
SEb=0,0403)
W = 2x10-5L2,8407 2,5827-
J (n=76; r= 0,9460; 3,0986 Isometrik
SEb=0,1128)
BYR
W= 1x10-5L2,9009 2,7017-
B (n=220; r= 0,9121; 3,1001 Isometrik
SEb=0,0833)
W = 8x10-6L2,9923 2,8577-
J&B (n=296; r= 0,9460; 3,1270 Isometrik
SEb=0,0598)
W= 5x10-6L3,0731 2,7810-
J (n=92; r= 0,9295; 3,3652 Isometrik
BYR- SEb=0,1281)
LKH W =3x10-6L3,1628 3,0362-
B (n=107; r= 0,9839; 3,2894 Allometrik (+)
SEb=0,0557)
W=6x10-6L3,0298 2,9372-
J&B (n=199; r= 0,9823; 3,1223 Isometrik
SEb=0,0410)
Keterangan: ST =Sungai Tampang
MM =Muko-Muko
MM-BGN =Lokasi penangkapan Muko-muko dengan alat tangkap bagan
BYR =Bayur
BYR-LKH =Lokasi penangkapan Bayur dengan alat tangkap lukah
J;B =Jantan; betina
b =Koefisien pertumbuhan
25
20
Berat (gr) W = 3x10-6L3,1813
15 (n=334; r=0,9783; SEb=0,0368)
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Panjang total (mm)
(a)
Betina
25
W = 4x10-6L3,1771
20 (n=679; r=0,9706; SEb=0,0303)
Berat (gr)
15
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Panjang total (mm)
(b)
25
20
W = 3x10-6L3,2007
Berat (gr)
15
(n=1013; r=0,9788; SEb=0,0209)
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140
(c)
Gambar 12. (a) Hubungan panjang berat ikan bada jantan, (b) Hubungan panjang
berat ikan bada betina, dan (c) Hubungan panjang berat ikan bada
Hasil analisis menunjukkan bahwa ikan bada jantan memiliki persama-
an hubungan panjang berat W=3x10-6L3,1813 (n=334; r= 0,9783; SEb=0,0368;
=0,05) dengan kisaran nilai b 3,1091-3,2535. Ikan bada betina memiliki persa-
maan hubungan panjang berat W=3x10-6L3,1771(n=679; r= 0,9706; SEb=0,0303;
=0,05) dengan kisaran nilai b 3,1177-3,2365. Hubungan panjang berat ikan bada
secara keseluruhan W=3x10-6L3,2007 (n=1013; r=0,9788; SEb=0,0209; =0,05) dan
nilai b berkisar antara 3,1597 sampai 3,2418. Kisaran nilai b ikan bada berada
pada kisaran nilai b yang dinyatakan oleh Lagler (1977) yaitu antara 2,5 sampai 4
dan umumnya mendekati 3. Setelah dilakukan uji t terhadap nilai b ( =0,05)
diketahui bahwa nilai b 3 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ikan bada
memiliki pola pertumbuhan allometrik positif, artinya bahwa pertumbuhan berat
ikan lebih cepat daripada pertumbuhan panjangnya (Effendie, 1997). Pola
pertumbuhan yang berbeda terdapat pada Rasbora dusonensis di hutan rawa
gambut desa Dadahup, Kalimantan Tengah yang memiliki pola pertumbuhan
allometrik negatif (Zahid, 2008). Perbedaan ini diduga karena perbedaan spesies,
kondisi lingkungan, dan status penangkapan kedua ikan tersebut. Selanjutnya
menurut Bagenal (1978) faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan nilai b selain
perbedaan spesies adalah faktor lingkungan, berbedanya stok ikan dalam spesies
yang sama, tahap perkembangan ikan, jenis kelamin, tingkat kematangan gonad,
bahkan perbedaan waktu dalam hari karena perubahan isi perut. Moutopoulos dan
Stergiou (2002) in Kharat et al. (2008) menambahkan bahwa perbedaan nilai b
juga dapat disebabkan oleh perbedaan jumlah dan variasi ukuran ikan yang
diamati.
Hasil keseluruhan analisis menunjukkan pola pertumbuhan yang berbeda
(Tabel 4 dan Gambar 12). Pada Tabel 4 terlihat pola pertumbuhan ikan bada baik
jantan maupun betina pada masing-masing stasiun adalah isometrik, artinya ikan
mempunyai bentuk tubuh yang tidak berubah (Ricker, 1975) atau pertambahan
panjang ikan seimbang dengan pertambahan beratnya. Pola pertumbuhan yang
berbeda terlihat pada ikan bada betina yang ditangkap dengan alat tangkap lukah.
Penyebabnya diduga karena ukuran ikan betina yang tertangkap dengan alat
tangkap lukah lebih beragam, dari ukuran kecil sampai besar sehingga hubungan
panjang berat ikan contoh yang diamati menggambarkan keadaan sebenarnya.
Hal ini terlihat dari pola pertumbuhan ikan bada keseluruhan yang sama dengan
pola pertumbuhan ikan bada betina dengan alat tangkap lukah yaitu allometrik
positif. Hal lain yang memperkuat dugaan ini adalah berdasarkan nilai faktor
kondisi (sub bab 4.7) ikan bada baik jantan maupun betina dengan alat tangkap
lukah yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan faktor kondisi ikan pada
stasiun Sungai Tampang, Muko-muko, dan Bayur. Sehingga diduga bahwa nilai
b>3 pada ikan betina dengan alat tangkap lukah tidak disebabkan oleh faktor
lingkungan, makanan yang lebih banyak, ataupun faktor tingkat kematangan
gonad.
Sungai Tampang
1,75
1,50
Faktor kondisi
1,25
1,1052 1,1263
1,00
0,75
0,50
Jantan Betina
Gambar 13. Faktor kondisi ikan bada pada stasiun Sungai Tampang
Muko-muko
1,75
1,50
Faktor kondisi
1,25
1,0594 1,0644
1,00
0,75
0,50
Jantan Betina
Muko-muko bagan
1,75
1,50
Faktor kondisi
1,25
0,75
0,50
Jantan Betina
Gambar 15. Faktor kondisi ikan bada pada stasiun Muko-muko dengan alat
tangkap bagan
Bayur
1,75
1,50
Faktor kondisi
1,25
1,0773 1,0827
1,00
0,75
0,50
Jantan Betina
1,75
1,50
Faktor kondisi
1,25
1,00 1,0185
0,9707
0,75
0,50
Jantan Betina
Gambar 17. Faktor kondisi ikan bada pada stasiun Bayur dengan alat tangkap
lukah
1,75
1,50
Faktor kondisi
1,25
1,0421 1,0609
1,00
0,75
0,50
Jantan Betina
Secara keseluruhan nilai faktor kondisi rata-rata ikan bada betina pada
masing-masing stasiun relatif lebih besar dibandingkan dengan faktor kondisi
rata-rata ikan jantan seperti disajikan pada Gambar 18 di atas. Setelah dilakukan
uji statistik terhadap beda nilai tengah faktor kondisi ikan jantan dan betina
=0,05) (Lampiran 8) diketahui bahwa secara keseluruhan faktor kondisi rata-
rata ikan bada betina yaitu 1,0610±0,1050 lebih besar dibandingkan faktor kondisi
ikan bada jantan yaitu 1,0421±0,0888 (p<0,05).
Faktor kondisi ikan bada juga dibedakan berdasarkan lokasi
penangkapan yaitu pada pantai barat (Sungai Tampang dan Muko-muko) dan
pantai timur (Bayur) Danau Maninjau seperti disajikan pada Gambar 19 berikut
ini:
1,75
1,50
Faktor kondisi
1,25
1,0712 1,0457
1,00
0,75
0,50
Pantai barat Pantai timur
Gambar 19. Faktor kondisi ikan bada pada pantai barat dan pantai timur
Frekuensi
80 Umur x+2
60 Umur x
40
20
0
68
71
74
77
80
83
86
89
92
95
98
101
104
107
110
113
116
119
122
125
128
131
Nila i tengah kela s panjang (mm)
200
180
160
140
Panjang (mm)
120
100
80
60
40
20
0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40 42 44 46 48 50 52 54 56 58
Umur (bulan)
Pada saat ikan berumur 58 bulan (±4,5 tahun), secara teoritis panjang
total ikan adalah 180 mm. Panjang maksimum ikan bada yang tertangkap yaitu
132 mm, panjang ikan ini lebih kecil dibandingkan dengan panjang asimtotik ikan
bada. Kurva di atas menunjukkan bahwa laju pertumbuhan ikan selama rentang
hidupnya tidak sama. Ikan muda memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat
dibandingkan dengan ikan tua (mendekati L ). Walaupun dengan laju pertum-
buhan yang kecil, namun ikan tetap akan mengalami pertumbuhan panjang
bahkan dalam kondisi faktor lingkungan yang tidak mendukung. Peningkatan
ukuran panjang umumnya tetap berlangsung walaupun ikan mungkin dalam
keadaan kekurangan makanan (Anderson & Gutreuter, 1983 in Busacker et al.,
1990).
Parameter pertumbuhan memegang peranan yang sangat penting dalam
pengkajian stok ikan dan dalam menyusun rencana pengelolaan perikanan baik
jangka pendek maupun jangka panjang. Salah satu aplikasi yang paling sederhana
adalah mengetahui panjang ikan pada umur tertentu atau dengan menggunakan
inverse persamaan pertumbuhan von Bertalanffy yaitu mengetahui umur ikan
pada panjang tertentu. Bertolak dari hal tersebut maka secara teoritis rata-rata
umur ikan yang digunakan dalam analisis dapat diduga sebagai berikut (Tabel 7):
Tabel 7. Panjang dan umur ikan bada yang digunakan dalam analisis
Umur rata-rata ikan jantan yang tertangkap 0,5 tahun (6 bulan) dan umur
rata-rata ikan betina yang tertangkap lebih tua yaitu 0,6 tahun (6,8 bulan). Terkait
uraian pada sub bab sebelumnya (sub bab 4.1) maka dapat diberikan dugaan awal
bahwa umur rata-rata ikan jantan dengan tingkat kematangan gonad III ke atas
yaitu ±6 bulan dan ikan betina ±6,8 bulan.
Ln[C(L1,L2)/ t]
5,00
4,00
3,00
2,00
1,00
0,00
0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00
t (L1+L2/2)
Gambar 22. Kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berbasis data panjang ( :titik
yang digunakan dalam analisis regresi untuk menduga Z)
Hasil analisis dugaan laju mortalitas dan laju eksploitasi dapat dilihat
pada Tabel 8 berikut:
Pada stok ikan yang telah dieksploitasi mortalitas disebabkan oleh kom-
binasi mortalitas alami dan mortalitas akibat penangkapan. Laju mortalitas total
ikan bada (Z) 14,28 per tahun, dengan laju mortalitas alami (M) 2,88; dan laju
mortalitas penangkapan (F) 11,4. Menurut Welcomme (2001) mortalitas alami
ikan di perairan danau lebih disebabkan oleh predasi walaupun penyakit juga ber-
peran terhadap mortalitas alami. Selain itu mortalitas alami juga juga disebabkan
oleh tingginya suhu perairan dan rendahnya kandungan oksigen terlarut di
perairan yang dapat menyebabkan mortalitas ikan secara mendadak. Faktor-
faktor yang menyebabkan mortalitas alami ikan di perairan danau seperti diurai-
kan tersebut dapat menjadi faktor yang menyebabkan mortalitas alami ikan bada
di Danau Maninjau.
Laju mortalitas penangkapan (F) ikan bada 11,4 per tahun. Jika diban-
dingkan dengan fraksi mortalitas alami maka mortalitas penangkapan nilainya
lebih besar. Laju eksploitasi ikan bada 0,8 dengan kata lain 80% kematian ikan
bada disebabkan oleh penangkapan. Laju eksploitasi ikan bada yang besar
disebabkan oleh penangkapan ikan bada yang berlangsung setiap hari oleh banyak
nelayan di sekitar danau dan dengan alat tangkap dan metode penangkapan yang
beragam pula. Penggunaan alat tangkap bagan yang tidak selektif juga akan
berpengaruh terhadap laju eksploitasi ikan bada walaupun saat ini jumlah bagan
yang beroperasi di Danau Maninjau tidak banyak. Hal yang sama juga terjadi
pada laju eksploitasi ikan Bonti-bonti di Danau Towuti, Sulawesi Selatan yang
nilainya telah melebihi nilai optimum dan Nasution (2008) menduga penyebabnya
adalah peningkatan jumlah bagan yang beroperasi di Danau Towuti.
Jika dibandingkan dengan laju ekploitasi optimum yang dikemukakan
oleh Gulland (1971) in Pauly (1984) 0,5; maka laju eksploitasi ikan bada di
Danau Maninjau (0,8) sudah di atas nilai optimum tersebut. Nilai tersebut
mengindikasikan adanya tekanan penangkapan yang tinggi terhadap ikan bada.
Hal ini juga terlihat dari panjang maksimum ikan bada yang tertangkap yaitu 132
mm, ukuran ini lebih kecil dibandingkan dengan panjang asimtotik ikan bada
yaitu 180 mm dan jumlah tangkapan ikan berukuran besar yang sedikit. Indikasi
awal dampak laju eksploitasi yang telah melebihi nilai optimum juga terlihat dari
data hasil tangkapan ikan bada (ton) pada tahun 2006-2008 yang mengalami
penurunan tiap tahunnya seperti disajikan pada Tabel 9 berikut:
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini yaitu:
1. Ikan bada (Rasbora argyrotaenia) di Danau Maninjau memiliki persamaan
pertumbuhan L t = 180(1 − exp[− 1,2(t + 0,02)]) .
2. Laju mortalitas total (Z) 14,28 per tahun terutama disebabkan oleh mortalitas
akibat penangkapan sehingga laju eksploitasi ikan bada 0,8 sudah melebihi
nilai optimum.
3. Beberapa langkah awal yang dapat dilakukan sebagai bagian dari rencana
pengelolaan ikan bada yaitu:
a. Mengatur alat tangkap baik ukuran mata jaring maupun jenis alat
tangkap. Pengaturan ukuran mata jaring insang yang boleh digunakan
besar dari ¾ inch. Pengaturan jenis alat tangkap berupa larangan
pengoperasian alat tangkap bagan yang bersifat non selektif di Danau
Maninjau.
b. Memperbaiki habitat dengan pembuatan pelindung (shelter) bagi ikan
bada atau yang dikenal dengan istilah rasau oleh masyarakat setempat.
c. Menjaga kualitas air danau pada tingkat yang optimum bagi ikan bada
dan organisme lainnya yang hidup di Danau Maninjau.
5.2. Saran
Dalam penyusunan rencana pengelolaan ikan bada yang sesuai
diperlukan informasi menyeluruh mengenai sumberdaya ikan bada, oleh karena
itu disarankan untuk:
1. Mengadakan penelitian mengenai aspek biologi dan ekologi ikan bada secara
menyeluruh untuk menguatkan atau membuktikan dugaan-dugaan dalam
penelitian ini.
2. Mengadakan penelitian dinamika populasi ikan bada secara kontinu untuk
melihat fluktuasi parameter populasi ikan bada dalam jangka waktu tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, F. 2006. Pendugaan Pertumbuhan, Kematian dan Hasil per Rekrut Ikan
Nila (Oreochromis niloticus) di Waduk Bilibili. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan
dan Perikanan Indonesia 13 (1):1-5.
Apip, M. F., Sulastri, L. Subehi, dan I. Ridwansyah. 2003. Telaah Unsur Iklim
dalam Proses Fisika Kimia Perairan Danau Maninjau. Limnotek Perairan
Darat Tropis di Indonesia. Volume (X) No 1. 49 h.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Agam. 2006. Kecamatan Tanjung Raya dalam
Angka 2006.
Effendie, M. I. 1979. Metoda Biologi Perikanan. Bogor: Yayasan Dewi Sri. 110 h
Gulland, J. A. 1969. Manual Methods for Fish Stock Assessment. Rome: FAO.
154 h.
Hartoto, D. I., dan S. Nomosatryo. 2002. Fisika Limnologi Danau Maninjau (II)
h. 5-6 in D. I. Hartoto (Perancang Pelatihan), Kurikulum Pelatihan Khusus
Dasar Limnologi untuk Pengelolaan Bersama Danau Maninjau. Bogor:
Pusat Pnelitian Limnologi, LIPI.
Nelson, J. S. 1984. Fishes of The World. 2nd edition. USA: John Wiley&Sons,
Inc. 523 h.
Nikolsky, G. V. 1963. The Ecology of Fishes. London and New York: Academic
Press. 325 h.
Pauly, D. 1984. Fish Population Dynamics in Tropical Waters:A Manual for Use
with Programmable Calculators. Manila: ICLARM. 325 h.
Saanin, H. 1968. Taksonomi dan Kunci Identifikasi. Bogor: Bina Cipta. 256 hal
Sparre, P., dan S. C. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis.
Diterjemahkan oleh Puslitbangkan. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengem-
bangan Perikanan. 438 h
Steel, R. G. D., dan J. H.Torrie. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika suatu
Pendekatan Biometrik. Jakarta: Gramedia. 748 h.
von Geldren, C. E, Jr. 1966. Warm Water Lake Management in A. Calhoun (Ed),
Inland Fisheries Management. State of California, The Resources Agency,
Department of Fish and Fish Game. 546 h.
2. Lukah
Nilai
Selang Frekuensi ikan Frekuensi ikan Frekuensi Frekuensi
tengah
Kelas jantan (fj) betina (fb) relatif-jantan relatif-betina
(xi)
67-72 69,5 1 0 0,37 0,00
73-78 75,5 24 1 8,89 0,15
79-84 81,5 78 17 28,89 2,62
85-90 87,5 85 74 31,48 11,38
91-96 93,5 63 211 23,33 32,46
97-102 99,5 17 218 6,30 33,54
103-108 105,5 1 77 0,37 11,85
109-114 111,5 0 26 0,00 4,00
115-120 117,5 0 13 0,00 2,00
121-126 123,5 1 10 0,37 1,54
127-132 129,5 0 3 0,00 0,46
270 650 100 100
Lampiran 5. Sebaran ukuran berat ikan bada
H0:b=3
H1:b 3
SUMMARY OUTPUT
Statistik regresi
r : 0,9790
R2 : 0,9585
Tabel Sidik Ragam (TSR)
db Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah (KT) F hitung F tabel
Regresi 1 38,6779 38,6779 23369,76 0
Sisa 1011 1,6732 0,0017
Total 1012 40,3511
Simpangan baku P-value
Intersep (a) -5,5019 0,0411 0
Slope (b) 3,2007 0,0209 0
3,200 − 3
t hitung = = 9,587 t (0,025;1011)=1,96
0,02
t hitung > t tabel maka tolak H0. Nilai b 3 maka pola pertumbuhan ikan bada adalah allometrik positif. Kisaran nilai b yaitu 3,154-3,24
Lampiran 7. Faktor kondisi ikan bada
a) Betina
Sungai Tampang Muko-muko MM-Bagan Bayur BYR-Lukah
Selang kelas
Kt Simpangan baku Kt Simpangan baku Kt Simpangan baku Kt Simpangan baku Kt Simpangan baku
67-72 1,008 0,137
73-78 1,122 0,086 0,982
79-84 1,132 0,086 1,157 0,241 0,989 0,009 1,090 0,098 0,006
85-90 1,178 0,055 1,125 0,123 0,977 0,038 1,125 0,046 0,097 0,004
91-96 1,129 0,080 1,040 0,089 0,975 0,104 1,096 0,089 0,097 0,007
97-102 1,080 0,080 1,035 0,078 0,955 1,063 0,083 0,094 0,006
103-108 1,024 0,164 1,033 0,165 1,044 0,105 0,096 0,006
109-114 1,084 0,204 0,984 0,156 0,864 1,096 0,129 0,095 0,006
115-120 1,122 0,066 1,129 0,125 1,033 0,116 0,092 0,003
121-126 1,154 0,049 1,153 1,073 0,189 0,100 0,001
127-132 1,235 1,123 0,099
b) Jantan
Sungai Tampang Muko-muko MM-Bagan Bayur BYR-Lukah
Selang kelas
Kt Simpangan baku Kt Simpangan baku Kt Simpangan baku Kt Simpangan baku Kt Simpangan baku
67-72 1,001 0,080 0,913
73-78 1,205 0,148 1,104 0,054 0,979 0,064 1,121 0,079 1,021 0,081
79-84 1,205 0,148 1,070 0,126 0,999 0,082 1,067 0,096 1,021 0,068
85-90 1,099 0,094 1,038 0,069 1,002 0,061 1,097 0,065 0,997 0,075
91-96 1,106 0,045 1,045 0,054 0,848 1,055 0,072 0,993 0,052
97-102 0,945 0,176 1,014 0,058 1,007 0,093 0,943 0,046
103-108 1,000
109-114
115-120
121-126 0,949
127-132
Lampiran 8. Uji beda nilai tengah faktor kondisi ikan bada
Uji yang digunakan yaitu uji t karena ragam populasi tidak diketahui.
Pengujian nilai tengah diawali dengan pengujian kesamaan ragam populasi yang
diduga dengan ragam contoh dari populasi yang akan diuji. Pengujian kesamaan
ragam populasi dan pengujian dua nilai tengah diolah menggunakan perangkat
lunak MINITAB 14.
Hipotesis
Ho: j2= b2
H1: j2 b2
p=0,000 (<0,05) maka tolak Ho. Artinya, ragam faktor kondisi populasi ikan
jantan dan ikan betina tidak sama.
Hipotesis
Ho: µj=µb atau µj-µb=0
H1: µj µb atau µj- µb 0
p=0,002 (<0,05) maka tolak Ho, artinya nilai tengah faktor kondisi ikan jantan
tidak sama dengan faktor kondisi ikan betina.
Lampiran. 8 (lanjutan…)
Hipotesis
Ho: b2= t2
H1: b2 t2
Pada selang kepercayaan 95% maka kisaran nilai simpangan baku contoh
p=0,001 (<0,05) maka tolak Ho. Artinya, ragam faktor kondisi populasi ikan pada
pantai barat dan ikan pada pantai timur tidak sama.
Hipotesis
Ho: µb=µt atau µb-µt=0
H1: µb µt atau µb-µt 0
p=0,000 (<0,05) maka tolak Ho, artinya nilai tengah faktor kondisi ikan bada pada
pantai barat tidak sama dengan faktor kondisi ikan bada pada pantai timur.
Lampiran 9. Penentuan parameter pertumbuhan
Kelompok ukuran ikan dipisahkan menggunakan metode Battcharya (Sparre dan Venema, 1999) berikut ini:
B E
A C(lnN1+) D(d ln N1+, Y) F(dln N1=a+b*L) G(ln N1) H(N1) I(N2+)
(N1+) (BB,X)
68 1 0,000 - 68 1 0,00
71 0 #NUM! #NUM! 71 0 0,00
74 4 1,386 #NUM! 74 4 0,00
77 21 3,045 1,658 77 21 0,00
80 29 3,367 0,323 80 0,98 3,367 29,00 0,00
83 69 4,234 0,867 83 0,53 3,897 49,27 19,73
86 67 4,205 -0,029 86 0,08 3,977 53,37 13,63
89 96 4,564 0,360 89 -0,37 3,607 36,87 59,13
92 147 4,990 0,426 92 -0,82 2,787 16,24 130,76
95 129 4,860 -0,131 95 -1,27 1,517 4,56 124,44
98 123 4,812 -0,048 98 -1,72 -0,203 0,82 122,18
101 113 4,727 -0,085 101 -2,17 -2,373 0,09 112,91
104 56 4,025 -0,702 104 -2,62 Jum (N1) 216,21
107 22 3,091 -0,934 107 -3,07 a 12,98
110 14 2,639 -0,452 110 -3,52 b -0,15
113 12 2,485 -0,154 113 -3,97 Lrta 86,53
116 6 1,792 -0,693 116 -4,42 s(N1) 4,47
119 7 1,946 0,154 119 -4,87 r2 0,63
122 9 2,197 0,251 122 -5,32
125 2 0,693 -1,504 125 -5,77
128 1 0,000 -0,693 128 -6,22
131 2 0,693 0,693 131 -6,67
930
A B(N1+) C(ln N1+) D(d ln N1+, Y) E(BB, X) F(dln N1=a+b*L) G(ln N1) H(N1) I(N2+)
83 19,73 2,982 - 83 19,73 0,00
86 13,63 2,612 -0,370 86 13,63 0,00
89 59,13 4,080 1,468 89 1,572 4,080 59,13 0,00
92 130,76 4,873 0,794 92 0,816 4,896 133,73 0,00
95 124,44 4,824 -0,050 95 0,06 4,956 142,00 0,00
98 122,18 4,806 -0,018 98 -0,696 4,260 70,80 51,39
101 112,91 4,727 -0,079 101 -1,452 2,808 16,57 96,33
104 56 4,025 -0,701 104 -2,208 0,600 1,82 54,18
107 22 3,091 -0,934 107 -2,964 -2,364 0,09 21,91
110 14 2,639 -0,452 110 -3,72 Jum (N2) 457,50 Indeks Separasi
113 12 2,485 -0,154 113 -4,476 a 24,00 Lrta a+1 95,24
116 6 1,792 -0,693 116 -5,232 b -0,25 L rta a 86,53
119 7 1,946 0,154 119 -5,988 Lrta 95,24 s a+1 3,45
122 9 2,197 0,251 122 -6,744 s(N2) 3,45 sa 4,47
125 2 0,693 -1,504 125 -7,5 I 2,2
128 1 0,000 -0,693 128 -8,256
131 2 0,693 0,693 131 -9,012
A B(N1+) C(ln N1+) D(d ln N1+, Y) E(BB, X) F(dln N1=a+b*L) G(ln N1) H(N1) I(N2+)
98 51,39 3,939 - 98 51,39 0,00
101 96,33 4,568 0,628 101 0,545 4,568 96,33 0,00
104 54,18 3,992 -0,576 104 -0,22 4,348 77,31 0,00
107 21,91 3,087 -0,906 107 -0,985 3,363 28,87 0,00
110 14 2,639 -0,448 110 -1,75 1,613 5,02 8,98
113 12 2,485 -0,154 113 -2,515 -0,902 0,41 11,59
116 6 1,792 -0,693 116 -3,28 Jum (N3) 259,32 Indeks Separasi
119 7 1,946 0,154 119 -4,045 a 26,30 Lrta a+1 103,14
122 9 2,197 0,251 122 -4,81 b -0,26 L rta a 95,24
125 2 0,693 -1,504 125 -5,575 Lrta 103,14 s a+1 3,43
128 1 0,000 -0,693 128 -6,34 s(N3) 3,43 sa 3,45
131 2 0,693 0,693 131 -7,105 I 2,3
A B(N1+) C(ln N1+) D(d ln N1+, Y) E(BB, X) F(dln N1=a+b*L) G(ln N1) H(N1) I(N2+)
110 8,98 2,195 - 110
113 11,59 2,451 0,255 113
116 6 1,792 -0,659 116
119 7 1,946 0,154 119
122 9 2,197 0,251 122
125 2 0,693 -1,504 125
128 1 0,000 -0,693 128
131 2 0,693 0,693 131
200
150 Betina
128
100 Jantan
50 0 6 37 56 0
0
0I 9 0
II III IV V
TKG
10
Betina
5 Jantan
3
0
1
0I II0 III 0
IV 0
V
TKG
RIWAYAT HIDUP