Вы находитесь на странице: 1из 22

BAB I

PENDAHULUAN
Ginjal memiliki peranan utama dalam sistem urinaria. Bagian lainnya dari
sistem urinaria umumnya merupakan saluran pembuangan dan penyimpanan urin.
Beberapa fungsi dari ginjal antara lain sebagai berikut:1
- Regulasi komposisi ion di dalam darah. Ginjal meregulasi beberapa ion
di dalam darah seperti ion sodium (Na+), potassium (K+), kalsium (Ca2+),
klorida (Cl-) dan fosfat (HPO42-).
- Regulasi pH darah. Ginjal mengeksresikan ion hidrogen (H+) dalam
jumlah yang bervariasi dalam urin dan mereabsorbsi ion bikarbonat
(HCO3-) yang merupakan buffer penting dalam menjaga pH darah.
- Regulasi volume intravaskular. Ginjal mengatur volume intravaskular
dengan mengekskresi atau mereabsorbsi air di dalam urine. Peningkatan
volume intravaskular akan meningkatkan tekanan darah, sebaliknya
penurunan volume intravaskular akan menurunkan tekanan darah.
- Regulasi tekanan darah. Ginjal juga mengatur tekanan darah dengan
mensekresikan enzim renin, yang akan mengaktifkan sistem RAAS
(renin-angiotensin-aldosteron system). Peningkatan renin akan
meningkatkan tekanan darah.
- Mempertahankan osmolaritas darah. Dengan eksresi air dan zat terlarut
dari darah ke urin, ginjal mempertahankan osmolaritas darah yang relatif
konstan, yaitu ±300 mOsm/L.
- Produksi hormon. Ginjal merupakan tempat produksi dari dua hormon,
yaitu kalsitriol, bentuk aktif dari vitamin D, yang membantu regulasi
homeostasis daripada kalsium, dan eritropoetin, yang menstimulasi
pembentukan daripada sel darah merah.
- Regulasi kadar glukosa dalam darah. Seperti liver, ginjal dapat
menggunakan asam amino glutamine dalam glukoneogenesis,
pembentukan molekul glukosa baru. Glukosa ini kemudian dilepaskan
dalam darah untuk mempertahankan kadar glukosa darah yang normal.
- Ekskresi sisa metabolisme dan zat asing. Dengan membentuk urine, ginjal
mengekskresikan sampah metabolik – zat-zat yang tidak memiliki
kegunaaan bahkan bersifat racun dalam tubuh. Zat lainnya yang
dieksresikan antara lain obat-obatan dan racun.
Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease - CKD) merupakan penurunan
progresif dari laju filtrasi glomerulus (glomerular filtration rate – GFR).
Diperkirakan sekitar 6% dari populasi dewasa pada Amerika Serikat menderita
CKD stadium 1 dan 2, dan sekitar 4,5% menderita CKD stadium 3 dan 4. CKD
merupakan penyebab utama dari komplikasi cerebrovaskular dan kardiovaskular,
sehingga umumnya penderita CKD akan meninggal karena kedua komplikasi
tersebut bahkan sebelum mencapai stadium lanjut. Proses patofisiologis, adaptasi
ginjal, manifestasi klinis, diagnosis dan terapi pada CKD akan dibahas lebih lanjut
pada bab berikutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Ginjal
2.1.1 Anatomi Eksterna Ginjal
Ginjal merupakan organ yang berbentuk kacang, yang terletak di rongga
belakang dari abdomen, karena itu dinamakan organ retroperitoneal. Ginjal terletak
antara thorakal 12 hingga lumbar 3, dimana ia terlindungi sebagian oleh costa 11
dan 12. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri karena liver yang
menempati rongga perut kanan atas.
Ukuran rata-rata ginjal pada orang dewasa yaitu panjang 10-12 cm, lebar 5-7
cm, dan tebal 3 cm dengan berat sekitar 135-150 gram. Bagian cekung dari ginjal
menghadap kolumna vertebralis – dinamakan renal hilum, yang merupakan tempat
ureter, pembuluh darah, limfe serta persarafan ginjal.
Ginjal dilapisi oleh 3 lapisan, yang pertama yaitu kapsula renalis, yaitu
lapisan jaringan ikat yang melapisi ginjal. Fungsinya sebagai barier pada trauma
dan mempertahankan bentuk ginjal. Lapisan tengan, kapsula adiposa, merupakan
massa jaringan lemak yang mengelilingi kapsula renalis. Lapisan adiposa ini juga
melindungi ginjal dari trauma dan mempertahakan letak ginjal di rongga
abdominal. Lapisan terluar yaitu fascia renalis, jaringan ikat yang menghubungkan
ginjal dengan struktur-struktur di sekitarnya dan dinding abdomen.

Gambar 2.1. Penampang melintang dari abdominal (L2) yang memperlihatkan


potongan transversal dari ginjal
2.1.2 Anatomi Internal Ginjal
Penampang melintang dari ginjal memperlihatkan dua bagian yang berbeda:
bagian superfisial, berwarna merah muda yang dinamakan korteks renal, dan bagian
dalam yang berwarna merah kecoklatan yang dinamakan medulla renal. Medula
renal terdiri dari beberapa renal piramid, yang berbentuk seperti kerucut. Bagian
dasar (lebar) dari kerucut mengarah ke korteks, sedangkan bagian ujung (puncak)
dari kerucut tersebut dinamakan papila renalis, yang mengarah ke renal hilum.
Bagian dari korteks renal yang membatasi antara renal piramid dinamakan kolumna
renalis. Satu lobus renal terdiri atas sebuah renal piramid, renal korteks di atasnya
dan masing-masing setengah dari kolumna renalis.
Renal korteks dan renal medulla membentuk parenkim ginjal, yaitu bagian
fungsional dari ginjal. Dalam parenkim ginjal, terdapat sekitar 1 juta unit fungsional
ginjal yang dinamakan nefron. Urine yang dibentuk oleh nefron mengalir melalui
duktul papilaris, yang merupakan kelanjutan dari papila renalis. Duktur papilaris
mengalir ke struktur mirip cawan yang dinamakan kaliks minor, beberapa kaliks
minor membentuk kaliks mayor. Kalik mayor kemudian bergabung menjadi pelvis
renal, yang langsung berhubungan dengan ureter kemudian kandung kemih.

Gambar 2.2. Potongan melintang dari ginjal.


2.1.3 Perdarahan dan Persarafan dari Ginjal
Walaupun ginjal hanya menyusun sekitar 0,5% dari total berat tubuh, organ
tersebut menerima sekitar 20-25% dari resting cardiac output melalui arteri renalis
kanan dan kiri. Pada dewasa, aliran darah ke ginjal berkisar 1,2 L/menit.
Di dalam ginjal, arteri renalis terbagi menjadi beberapa arteri segmental, yang
mensuplai area yang berbeda. Tiap arteri segmental kemudian bercabang ketika
memasuki paerenkim ginjal dan melewati kolumna renalis menjadi arteri interlobar.
Di dasar renal piramid arteri interlobar bercabang diantara korteks renal dan
medula, dinamakan arteri arkuata, dikarenakan bentuknya yang menyerupai busur
panah. Cabang-cabang arteri arkuata membentuk arteri interlobular. Arteri
interlobular memasuki korteks renal dan bercabang membentuk arteri afferen, yang
akan berlanjut ke kapiler glomerulus.
Setiap nefron mempunyai sebuah arteri afferen, setelah keluar dari kapiler
glomerulus akan membentuk arteri efferen. Glomerulus merupakan kapiler yang
unik dikarenakan terletak diantara dua arteri dibanding dengan kapiler lainnya yang
berada diantara arteriole dan venula. Karena merupakan kapiler dan memiliki peran
penting dalam penbentukan urin, glomerulus merupakan bagian dari dua sistem,
yaitu sistem kardiovaskular dan urinaria.
Arteri efferen terbagi membentuk kapiler peritubular, yang mengelilingi
tubulus ginjal. Perpanjangan dari arteri eferen membentuk vasa rekta (recta = lurus)
yang mensuplai bagian nefron di medula renalis.
Kapiler peritubular akan berlanjut ke vena peritubular, kemudia vena
interlobular yang juga menerima darah dari vasa rekta. Kemudian darah dialirkan
melewati vena arkuata kemudia vena interlobar yang melewati kolumnaa renalis.
Darah meninggalkan ginjal melalui vena renalis yang keluar melalui hilum dan
membawa darah ke vena cava inferior.
Persarafan ginjal berasal dari renal ganglion dan berlanjut ke renal pleksus
yang masuk ke ginjal berdampingan dengan arteri renalis. Persarafan ginjal
merupakan bagian dari divisi simpatetik dari sistem saraf otonom. Sebagian besar
terdiri dari nervus vasomotor yang meregulasi aliran darah ke ginjal melalui
vasodilatasi atau vasokonstriski dari arteri-arteri renal.1
Gambar 2.3. Perdarahan dari ginjal.1
2.2 Nefron
2.2.1 Bagian-bagian dari nefron
Nefron merupakan unit fungsional dari ginjal. Tiap nefron terdiri atas 2
bagian: korpuskel renalis, dimana tempat plasma darah mengalami penyaringan,
dan tubulus renal dimana tempat cairan hasil penyaringan tersebut disalurkan. Dua
kompenen dari korpuskel renalis yaitu glomerulus (jaringan kapiler) dan kapsula
bowman, lapisan epitel berlapis dua yang berbentuk cawan. Plasma darah
mengalami penyaringan di kapsula glomerulus, kemudian hasil penyaringan
tersebut disalurkan melalui tubulus ginjal, yang terdiri dari tiga bagian utama yaitu:
1. Tubulus konturtus proksimal (proximal convulted tubule – PCT), 2. Ansa Henle,
3. Tubulus konturtus distal (distal convulted tubule – DCT). Proksimal menandakan
bagian dari tubulus tersebut melekat ke kapsula bowman, distal menandakan bagian
tubulus yang terjauh. Konturtur (convulted) memiliki artian tubulus tersebut
cenderung memiliki bentuk yang berlekuk-lekuk. Korpuskel renalis dan tubulus
renal terletak di dalam korteks renal, tetapi beberapa ansa Henle memanjang ke
medula kemudian membentuk tikungan kembali ke korteks renal.
Tubulus konturtus distal dari beberapa nefron mengalirkan carian hasil
penyaringan ke tubulus kolektivus (collecting duct). Beberapa tubulus kolektivus
kemudian bergabung dan membentuk duktus papilaris, yang kemudian bermuara
ke kaliks minor dan mayor. Beberapa kaliks mayor kemudian bergabung
membentuk pelvis renal, yang terhubung ke ureter.
Ansa Henle terdiri atas 2 bagian, yaitu bagian desenden yang turun ke arah
medula dan bagian asenden yang naik ke arah korteks. Sekitar 80-85% dari nefron
adalah nefron kortikal, dimana ansa henle bebentuk pendek sehingga sebagian besar
dari nefron berada di dalam medulla. Sisanya sekitar 15-20% merupakan nefron
juxtamedular, dimana ansa henle memanjang ke medulla ginjal. Pada nefron
juxtamedular, ansa henle asenden terdiri atas 2 bagian yaitu asenden tipis (thin
ascending limb) dan asenden tebal (thick ascending limb). Nefron juxtamedular
memungkinkan ginjal membentuk urine yang sangan pekat.1

Gambar 2.4. Nefron kortikal


Gambar 2.5. Nefron juxtamedular.
2.3. Proses Pembentukan Urine
Kapsula glomerulus (Bowman) terdiri atas lapisan viseral dan parietal.
Lapisan viseral terdiri atas epitel skuamosa selapis temodifikasi yang dinamakan
podosit. Podosit ini membungkus lapisan endotelial kapiler glomerulus dan
membentuk dinding dalam dari kapsula bowman. Lapisan parietal terdiri atas epitel
skuamosa selapis yang membentuk dinding luar dari kapsula bowman.
Cairan yang memasuki kapsula bowman dinamakan filtrat glomerulus. Fraksi
dari plasma darah yang menjadi filtrat glomerulus dinamakan fraksi flitrasi,
berkisar antara 0.16-0.2 (16-20%). Sekitar 99% dari filtrat glomerulus kembali ke
peredaran darah melalui reabsorbsi di tubulus, sehingga hanya 1-2 L dieksresikan
sebagai urine.
Kapiler glomerulus disusun oleh tiga lapisan yaitu endotel, membrane basalis,
dan lapisan epithelial. Pada endotel kapiler terdapat banyak rongga-rongga yang
disebut fenestrae. Membran basalis yang terdiri dari kolagen dan fibril proteoglikan
yang memiliki rongga yang cukup besar untuk dilalui air dan molekul kecil. Lapisan
terakhir dari glomerulus adalah lapisan epitelium. Pada lapisan ini terdapat sel yang
disebut podosit—sel yang berbentuk seperti gurita dengan kaki-kakinya menempel
pada permukaan kapiler glomerulus. Kaki-kaki podosit akan membentuk slit pores
yang akan dilalui oleh hasil filtrasi glomerulus serta mencegah ikut keluarnya
protein plasma.
Laju filtrasi flomerulus (LFG) ditentukan oleh (1) penjumlahan tekanan
hidrostatik dan osmotic koloid yang akan menghasilkan tekanan filtrasi akhir. (2)
Koefisien LGF (Kf) Sehingga, secara matematis dapat dinyatakan sebagai
LFG = Kf x tekanan filtrasi akhir (net filtration pressure)
Sedangkan tekanan filtrasi akhir mempunyai perhitungan sebagai berikut:
NFR = Tek hidrostatik glomerulus – tek kapsula bowman – tek onkotik koloid
darah
(10 mmHg) (55 mmHg) (15 mmHg) (32mmHg)

Gambar 2.7. Tekanan yang mempengaruhi filtrasi glomerulus


Perubahan dari tekanan hidrostatik kapiler merupakan faktor terbesar dari
perubahan LFG. Tekanan hidrostatik kapiler glomerulus dipengaruhi oleh 3 hal
berikut yaitu : (1) tekanan arteri, (2) resistensi arteriolar afferent dan (3) resistensi
arteriolar efferent. Kenaikan tekanan dari arteri cenderung untuk menaikkan LFG
namun jika terdapat vasokonstriksi dari arteriola afferent, akan menimbulkan
penurunan LFG. Aretriola efferent memiliki efek yang bifasik terhadap LFG
tergantung seberapa berat resistensi yang terjadi. Jika terjadi vasokonstriksi sedang,
maka akan terjadi sedikit peninggian dari LFG, namun saat terjadi vasokonstriksi
yang berat, akan terjadi penurunan pada LFG.
Renal Blood Flow
Pada laki-laki dengan berat rata-rata 70 kg, ginjal mendapatkan pasokan
darah sebanyak 1100/ml per menitnya, atau sekitar 22% dari cardiac output. Aliran
darah ke ginjal yang sangat banyak ini bertujuan untuk mensuplai plasma yang
cukup agar bisa mendapatkan LFG yang tinggi yang dibutuhkan untuk regulasi
cairan tubuh dan konsentrasi cairan yang presisi. Adapun yang mempengaruhi
aliran darah ke ginjal adalah sebagai berikut
(Renal arterial pressure – Renal vein pressure)
Total Renal Vascular Resistance
Tekanan arteri renal umumnya hamper sama dengan tekanan arteri sistemik,
sedangkan tekanan vena renal umumnya berada 3-4 mmHg dari tekanan arterinya.
Sedangkan tekanan reisitensi renal total biasanya dipengaruhi oleh arteri
interlobularis, arteriola afferent dan efferent. Resistensi dari pembuluh darah
tersebut dipengaruhi oleh aktivitas simpatis maupun hormonal.
Autoregulasi LFG dan Renal Blood Flow
Sistem autoregulasi yang dimiliki ginjal ini ditujukan untuk mempertahankan
LFG jika terjadi perubahan tekanan maupun aliran darah ke ginjal. Mekanisme ini
diatur oleh sebuah komplek yang bernama sel juxtaglomerular yang memiliki
kumpulan sel yang dinamakan macula densa.
Saat terjadi penurunan tekanan hidrostatik glomerulus ataupun penurunan
konsentrasi sodium clorida dalam darah, sel macula densa akan merespon secara
otomatis dengan melepaskan renin dan mengakitfkan renin angiotensin system
(RAS) atau dengan membuat arteriola afferent berdilatasi sehingga didapatkan
peningkatan dari LFG .
Gambar 2.8. Skema autoregulasi dari GFR
 Reabsorpsi
Tidak seperti filtrasi glomerulus yang tidak selektif dalam filtrasinya, pada
proses reabsorpsi merupakan proses yang sangat selektif. Beberapa
substansi seperti gukosa dan asam amino kembali diserap ulang sehingga
substansi tersebut hampir tidak ditemukan di urin. Beberapa produk
buangan seperti urea dan kreatinin umumnya hanya sedikit diresorpsi dan
lebih banyak dikeluarkan.
Proses reabsorbsi di tubulus menggunakan dua macam mekanisme yaitu2
 Transpor aktif
Pada sistem ini, reabsorbsi membutuhkan sumber energy yaitu ATP
yang akan dipasangkan secara langsung, seperti pada transport
sodium melalui Sodium-Potassium ATP pump yang dikenal sebagai
primary active transport dan secara tidak langsung dengan substansi
yang akan direabsorbsi. Ini dikenal sebagai secondary active
transport. Biasanya ini digunakan untuk reabsorbsi glukosa.
Penyerapan sodium terjadi hampir disepanjang lumen tubulus,
namun pada tubulus contortus proximal terdapat brush border yang
melipat gandakan area penyerapan sebanyak 20 kali. Cara
penyerapan sodium dari lumen ke pembuluh darah dilakukan
melalui tiga tahapan yaitu
 Sodium berdifusi di sepanjang membran lumen ke dalam sel
sehingga terbentuk gradient elektrokemikal oleh sodium-potassium
ATP pump pada sisi basolateral sel.
 Sodium di transport sepanjang sisi basolateral menggunakan ATP
pump
 Sodium, air, dan substansi
lainnya diserap dari intratubular
lumen ke pembuluh darah peritubular
dengan cara ultrafiltrasi yang
dipengaruhi perbedaan tekanan
hidrostatik dan osmotic koloid.
Sedangkan pada secondary active transport, yang terjadi adalah
substansi akan berikatan dengan membran protein spesifik (molekul
karier) dan ditranspor bersamaan
melewati membran. Misalnya pada
transportasi sodium, dalam transpor
tersebut akan melepaskan energi saat
melawan gradien elektrokemikal.
Energi tersebut akan digunakan
substansi seperti glukosa untuk
melawan perbedaan atau gradien
elekrtokemikal dalam membran.
Namun, dalam transportasi ini,
terdapat batasan atau yang disebut
transport maksimum saat enzim atau protein karier tertentu sudah
melampaui batas maksimalnya untuk membawa suatu substansi.
Contohnya adalah pada penyerapan glukosa di tubulus proximal,
dimana tubulus memiliki batas maksimal penyerapan glukosa
sebanyak 375mg/menit. Jika glukosa yang difiltrasi melebihi batas
itu, maka glukosa dalam urin juga bisa ditemukan.
Pada setengah awal tubulus proximal, sodium ditransport bersaamaan
dengan glukosa, asam amino dan substansi lainnya. Namun pada setengah
akhir tubulus proximal, hanya sedikit glukosa yang diserap melainkan
clorida yang diserap lebih banyak karena konsentrasinya yang lebih tinggi.
Lengkung Henle (Ansa Henle)
Lengkung henle terbagi tiga bagian yaitu segmen tipis descendent, segment
tipis ascendent, dan segmen tebal ascendent. Pada segmen tipis, seperti
namanya, terdapat sedikit epitel tanpa adanya brush border, sedikit
mitokondria dan sedikit aktivitas metabolis yang terjadi.
Segmen tipis descendent sangat permeabel terhadap air dan cukup
permeabel terhadap zat-zat lainnya, termasuk urea dan sodium. Fungsi dari
bagian ini adalah sebagai media difusi sederhana melalui dindingnya.
Sekitar 20% cairan direabsorpsi di lengkung henle dan sebagian besar
terjadi di segmen ini.
Pada segmen ascendent yang tebal maupun tipis, sangat tidak permeabel
terhadap air, sehingga konsentrasi dari urin akan diatur oleh segmen
tersebut. Segmen tebal ascendent memiliki lapisan epitel yang cukup tebal
dan memiliki mitokondria yang cukup banyak serta brush border. Sehingga
pada segmen ini masih terjadi penyerapan
sodium-chlorida serta penyerapan ion-ion seperti
kalsium, bikarbonat, magnesium, dan kalium.

 Sekresi
Bagian yang berfungsi utama dalam hal ini adalah
tubulus distal. Bagian paling awal dari tubulus
distal membentuk kompleks jugxtaglomerular
yang berfungsi mengatur LFG. Bagian
selanjutnya mempunyai struktur yang mirip
dengan segmen tebal ansa henle sehingga
berfungsi juga untuk penyerapan ion-ion namun tidak permeabel terhadap
air dan urea. Bagian akhir atau setengah akhir dari tubulus distal berfungsi
untuk mensekresi potasium dan ion hidrongen serta reabsorpsi bikarbonat.
Pada bagian ini, permeabilitasnnya dipengaruhi oleh hormon ADH, jika
terdapat hormon ADH, maka dinding tubulus distal akan sangat permeabel
terhadap air.
Duktus Kolektivus
Pada tempat ini akan terjadi reabsorpsi kembali 10% air dan sodium, dan
merupakan tempat akhir dari proses pembentukan urin. Tempat ini berperan penting
dalam penentuan output air dan substasnsi urin.
Permeabilitan tubulus ini terhadap air juga dipengaruhi oleh hormon ADH,
permeabel terhadap urea dan mampu mensekresi ion hidrogen dalam jumlah besar
sehingga berperan penting dalam keseimbangan asam basa.2

2.3 Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease – CKD)


CKD mencakup beberapa proses patofisiologi yang berkaitan dengan
abnormalitas dari fungsi ginjal dengan penurunan progresif dari GFR. Menurut
KDIGO tahun 2012, penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai kelainan struktur
atau fungsional ginjal, yang berlangsung lebih dari 3 bulan dan diklasifikasian
berdasarkan kausa, kategori LFG, dan kategori albuminuria.3
Fungsi ginjal dapat diperkirakan dengan menilai GFR (glomerular filtration
rate) atau klirens kreatinin (CLCr). Normal nilai CLCr adalah >100 mL/menit.
Kreatinin diproduksi dari otot dan dieksresi oleh ginjal dalam jumlah yang tetap.
Klirens kreatinin adalah ukuran sejumlah kreatinin yang dieliminasi oleh ginjal dari
darah. Untuk mengukur fungsi ginjal, nilai GFR jauh lebih baik dibandingkan
dengan CLCr dikarenakan kreatinin masih mengalami reabsorbsi di tubulus,
walaupun jumlahnya kecil dan lebih dari 10% diseksresi di tubulus. Walaupun
demikian, di klinis nilai CLCr dianggap dapat menggantikan nilai GFR.3
Untuk mengukur klirens kreatinin, harus dikumpulkan urine 24 jam dan
diukur kadar kreatinin di dalam urin 24 jam dan di dalam serum, kemudian dihitung
dengan rumus
Klirens kreatinin = Crurine (mg/dL) x Volurine (ml/24 jam)/Crserum
Untuk mengukur GFR, dapat dilakukan dengan menghitung estimated GFR
(eGFR) dengan rumus sebagai berikut:
eGFR (ml/menit) = (140-umur) x BB (kg)/72 x Crserum(mg/dL)
(pada wanita x 0,85)
Gambar 2.9. Klasifikasi CKD dan albumiuria menurut KDIGO (2012). Gradasi
warna menunjukkan peningkatan resiko dan progresifitas dari CKD.4

2.3.1 Epidemiologi CKD


Di Amerika Serikat, terjadi peningkatan insiden dan prevalensi gagal ginjal,
dengan prognosis yang buruk dan biaya perawatan yang tinggi. Penyakit ginjal
adalah penyebab utama kematian kesembilan di Amerika Serikat. Nasional Ketiga
Kesehatan dan Survey (NHANES III) memperkirakan bahwa prevalensi penyakit
ginjal kronis pada orang dewasa di Amerika Serikat adalah 11% (19,2 juta): 3,3%
(5,9 juta) memiliki tahap 1, 3% (5,3 juta) harus tahap 2, 4,3% (7,6 juta) memiliki
stadium 3, 0,2% (400.000) memiliki stadium 4, dan 0,2% (300.000) memiliki
stadium 5.6
Prevalensi penyakit ginjal kronis tahap 1-4 meningkat dari 10% pada tahun
1988-1994 menjadi 13,1% pada 1999-2004. Peningkatan ini sebagian dijelaskan
oleh peningkatan prevalensi diabetes dan hipertensi, yang merupakan penyebab
paling umum dari penyakit ginjal kronis. Data dari Amerika Serikat Renal Data
System (USRDS) menunjukkan bahwa prevalensi gagal ginjal kronis meningkat
104% antara tahun 1990-2001.
Menurut ketiga Kesehatan Nasional dan Survei Pemeriksaan Gizi,
diperkirakan bahwa 6,2 juta orang (yaitu 3% dari total penduduk AS) lebih tua dari
12 tahun memiliki nilai kreatinin serum di atas 1,5 mg / dL; 8 juta orang memiliki
GFR kurang dari 60 mL / menit, mayoritas dari mereka berada di populasi Medicare
senior (5,9 juta orang).
Tingkat kejadian stadium akhir penyakit ginjal (ESRD) telah terus meningkat
secara internasional sejak tahun 1989. Amerika Serikat memiliki tingkat kejadian
tertinggi ESRD, diikuti oleh Jepang. Jepang memiliki prevalensi tertinggi per juta
penduduk, dengan Amerika Serikat menempati posisi kedua.5

2.3.2 Patofisiologi CKD


Patofisiologi CKD melibatkan dua mekanisme utama:
1. Mekanisme spesifik disebabkan penyakit yang telah ada sebelumnya,
antara lain:
− Abnormalitas perkembangan atau integritas ginjal
− Deposisi kompleks imun
− Inflamasi, pada beberapa tipe glumerulonefritis
− Eksposur toksin pada renal tubulus atau interstisium.
2. Kumpulan beberapa mekanisme progresif, termasuk hiperfiltrasi dan
hipertrofri sisa nefron yang masih berfungsi.
Jumlah nefron yang terus berkurang direspon tubuh dengan peningkatan
hormon vasoaktif, sitokin, dan faktor pertumbuhan. Kemdian adaptasi tubuh untuk
mempertahankan GFR melalui hipertrofi dan hiperfiltrasi nefron-nefron fungsional
yang bersisa menjadi maladaptif, peningkatan tekanan dan aliran dalam nefron akan
merusak struktur glomerulus, abnormalitas fungsi podosit, dan disrupsi barier
filtrasi yang semuanya mengarahkan ke proses sklerosis dan pengurangan nefron
yang tersisa. Peningkatan aktivitas renin-angiotensin sistem (RAS) juga
berkontribusi dalam proses hiperflitrasi yang menyebabkan sklerosis. Proses
tersebut menjelaskan penurunan progresif dari massa ginjal pada CKD.2
Gambar 2.10. Kiri: skema glomerulus normal. Kanan: perubahan sekunder glomerulus
akibat berkurangnya jumlah nefron, yang menghasilan proses kompensasi untuk
mempertahankan GFR dengan hipertrofi dari nefron yang tersisa.

2.3.3 Faktor Resiko CKD


Faktor resiko CKD diantaranya sebagai berikut:
− Berat badan lahir rendah (BBLR)
− Obesitas saat anak-anak
− Hipertensi
− Diabetes mellitus
− Penyakit autoimun
− Usia lanjut
− Keturunan ras Afrika
− Riwayat keluarga dengan penyakit ginjal
− Adanya episode AKI (acute kidney injury) sebelumnya
− Adanya proteinuria
− Abnormalitas sedimen urin
− Abnormalitas struktural dari traktus urinarius.2
2.3.4 Manifestasi Klinis CKD
Sindrom Uremikum
Uremia adalah suatu sindrom klinik yang dihubungkan dengan abnormalitas
dari cairan elektrolit, serta keseimbangan hormon dan metabolik. Pada anamnesis
akan didapatkan nausea, rasa lemah, anoreksia, kram otot, gatal-gatal dan
perubahan status mental. Pemeriksaan fisik dapat ditemukan uremic frost yaitu
residu urea yang tertinggal di kulit setelah penguapan keringat. Sklera sedikit
ikterik, faring kering dan sering ditemukan stomatitis. Pada sistem kardiovaskuler
dapat ditemukan perikarditis uremikum yang ditandai dengan pericardial rub dan
efusi perikard. Pada paru dapat dijumpai uremic lungs dengan tanda berupa ronki
basah, edema paru, dan pleural rub. Pemeriksaan laboratorium akan menunjukkan
peningkatan ureum dan kreatinin.
Walaupun kadar serum urea dan kreatinin sering digunakan untuk mengukur
fungsi ginjal, akumulasi kedua toksin tersebut tidak cukup untuk menghasilkan
gejala uremikum pada gagal ginjal tahap lanjut (ESRD: end stage renal disease).
Ratusan toksin yang terakumulasi akibat kegagalan ginjal dalam mengeksresikan
zat sisa metabolisme turut bertanggung jawab dalam sindrom uremikum. Selain itu
kegagalan ginjal dalam melakukan fungsi metabolik dan endokrin yang berakibat
anemia, malnutrisi, abnormalitas metabolisme dari karbohidrat, lipid dan protein.
Selanjutnya, kadar hormon dalam plasma termasuk PTH, FGF-23, insulin,
glukagon steroid hormon termasuk vitamin D dan seks hormon, dan prolaktin,
berubah pada pasien CKD sebagai akibat terganggunya proses eksresi, produksi
atau abnormalitas pada regulasi. CKD juga dihubungkan dengan peningkatan kadar
C-reaktif protein yang memperburuk kondisi inflamasi sistemik. Inflamasi
berkaitan dengan CKD dapat menyebabkan sindrom malnutrisi-inflamasi-
ateroskelrosis/kalsifikasi yang mempercepat timbulnya komorbiditas penyakit
vaskular.
Ringkasnya, patofisilogi sindrom uremikum dapat disebabkan 3 disfungsi
utama: 1) konsekuensi akibat toksin yang terakumulasi dalam darah, 2) konsekuensi
akibat kehilangan fungsi ginjal seperti homeostasis cairan dan regulasi hormon, 3)
inflamasi sistemik yang progresis dengan konsekuensi penyakit vaskular.2
Gangguan Homeostasis Air dan Sodium
Pada ginjal yang sehat, reabsorbsi sodium dan air di tubular disesuaikan
dengan intake cairan. Pada CKD keseimbangan ini terganggu sehingga terjadi
retensi sodium dan ekspansi cairan ekstraseluler. Ekspansi ini dapat bermanifestasi
sebagai hipertensi, yang mana mempercepat kerusakan nefron itu sendiri. Selama
intake cairan tidak melebihi kemampuan ginjal untuk mengekskresikannya,
ekspansi cairan eksraseluler akan bersifat isotonik dan pasien mempunyai kadar
sodium darah yang normal. Pasien dengan ekspansi cairan ekstraseluler (edema
perifer, hipertensi yang kurang respon terhadap terapi) harus dilakukan konseling
mengenai pembatasan diet sodium. Diuretik tiazid kurang efektif pada CKD
stadium 3-5, penggunaan loop diuretik seperti furosemide, bumetanide atau
torsemide dapat diberikan. Resistansi terhadap loop diuretik memerlukan dosis
yang lebih tinggi daripada pasien dengan fungsi ginjal yang normal. Kombinasi
antara loop diuretik dengan metolazone (thiazid-like diuretik) dapat menambah
efektivitak ekskresi sodium. Resistansi diuretik dengan edema masif dan hipertensi
pada CKD tahap lanjut merupakan indikasi untuk memulai dialisis.2
Kebalikannya, karena ketidakmampuan ginjal untuk konservasi sodium dan
air, pasien CKD rentan untuk deplesi cairan ekstraseluler. Pada keadaan seperti
kehilangan cairan dari gastrointestinal, pasien cenderung mengalami dehidrasi
berat. Kehilangan cairan baik dari gangguan traktus GI maupun penggunaan
diuretik yang berlebihan menyebabkan ginjal kurang perfusi, menyebabkan
prerenal azotemia yang mengakibatkan acute-on-chronic kidney failure. Pada
keadaan tersebut rehidrasi hati-hati menggunakan normal saline dapat
mengembalikan volume ekstraselular dan fungsi renal tanpa perlu dilakukan
dialisis.2
Homeostasis Potassium
Pada pasien CKD, penurunan GFR tidak disertai penurunan secara paralel
ekskresi potassium, yang sebagian besar melalui aldosteron-dependen sekresi pada
distal nefron. Pertahanan berikutnya untuk retensi potassium melalui ekskresi
potassium di traktus GI. Dengan dua mekanisme tersebut, hiperkalemia dapat
disebabkan pada keadaan tertentu, seperti peningkatan diet intake kalium,
katabolisme protein, hemolisis, perdarahan, transfusi PRC yang telah disimpan
sebelumnya dan asidosis metabolik. Beberapa obat-obatan juga dapat
menyebabkan hiperkalemi, seperti RAS inhibitor, potassium-sparing diuretik
seperti spironolakton, amiloride, eplerenone dan triamterene.2
Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik merupakan gangguan umum pada CKD tahap lanjut.
Sebagian besar pasien masih dapat mengekskresi asam di urine namun lebih sedikit
amonia sehingga tidak dapat mengeksresikan proton dalam jumlah normal dengan
buffer tersebut. Hiperkalemia, jika ada akan mengurangi produksi amonia.
Kombinasi antara hiperkalemi dan hiperkloremik metabolik asidosis sering
ditemukan, bahkan pada stadium awal (1-3), pada pasien dengan nefropati
diabetikum atau pada pasien dengan penyakit tubulointerstisial atau obstruktif
uropati, menyababkan non-anion gap metabolik asidosis.
Dengan memburuknya fungsi ginjal, bersihan ekskresi asam umumnya
terbatas sekitar 30-40 mmol, dan retensi anion atau asam organik dapat
menyebabkan anion gap metabolik asidosis. Non-anion gap metabolik asidosis
umumnya dapat ditemukan pada CKD stadium awal, dengan memburuknya fungsi
ginjal dapat ditemukan anion-gap metabolik asidosis pada CKD stadium lanjut.
Sebagian besar pasien, asidosis metabolik yang ditemukan ringan, pH jarang <7,35
dan biasanya dapat dikoreksi dengan pemberian sodium bikarbonat oral.2
Gangguan Metabolisme Kalsium Dan Fosfat
Prinsip komplikasi akibat abnormalitas metabolisme kalsium dan fosfat
terjadi di tulang dan vaskular, terkadang dengan keterlibatan jaringan lunak
ekstraosseus. Remodelling tulang dan kalsifikasi pada vaskular dan jaringan lunak
saling berhubungan satu sama lain.
Kelainan pada tulang dapat diklasifikasikan dengan tingat remodelling tulang
yang tinggi dengan peningkatan PTH (termasuk osteitis fibrosa cystika, lesi klasik
pada hiperparatiroid sekunder) dan tingkat remodelling tulang yang rendah dengan
kadar PTH yang normal (adynamic bone disease dan osteomalacia).
Patofisiologi hiperparatiroid sekunder dan konsekuensinya terhadap
tingginya resobpsi tulang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme mineral
melalui mekanisme berikut: (1) penurunan GFR menyebabkan berkurangnya
ekskresi fosfat, kemudian retensi fosfat; (2) retensi fosfat menstimulasi sintesis
FGF-23 oleh osteosit dan PTH dan menstimulasi pertumbuhan kelenjar paratiroid;
(3) berkurangnya kadar kalsium terionisasi, akibat supresi produksi kalsitriol oleh
FGF-23 dan kegagalan ginjal.

2.3.5 Aaaaa
2.3.6

Вам также может понравиться