Вы находитесь на странице: 1из 81

ANALISIS KUALITAS LINGKUNGAN

Disusun Oleh :

Ahmad Afandi Lubis


NIM : 17030012

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS AUFA ROYHAN
PADANGSIDIMPUAN
2019
Pertemuan 1
Konsep Dasar Analisis Kualitas Lingkungan

Secara sederhana kualitas lingkungan hidup diartikan sebagai keadaan


lingkungan yang dapat memberikan daya dukung optimal bagi ke langsungan hidup
manusia pada suatu wilayah. Kualitas lingkungan dicirikan antara lain dari suasana yang
membuat orang merasa betah atau kerasan tinggal di tempatnya sendiri. Berbagai
keperluan hidup terpenuhi dari kebutuhan dasar atau primer, meliputi makan, minum,
perumahan, sampai kebutuhan rohani atau spiritual meliputi pendidikan, rasa aman, dan
sarana ibadah. Kualitas lingkungan hidup dapat dibedakan berdasarkan karakteristik
biofisik, sosial-ekonomi, dan budaya.
a. Lingkungan Biofisik
Lingkungan biofisik adalah lingkungan yang terdiri atas komponen biotik dan
abiotik yang berhubungan dan saling memengaruhi satu dengan lainnya. Komponen
biotik merupakan makhluk hidup, seperti hewan, tumbuhan, dan manusia. Adapun
komponen abiotik terdiri atas benda-benda mati, seperti tanah, air, udara, dan cahaya
matahari. Kualitas lingkungan biofisik disebut baik jika interaksi antarkomponen
berlangsung dengan seimbang.

b. Lingkungan Sosial-Ekonomi
Lingkungan sosial ekonomi adalah lingkungan manusia dalam hubungannya
dengan sesama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Standar kualitas lingkungan
sosial-ekonomi disebut baik jika kehidupan manusia akan kebutuhan sandang, pangan,
papan, pendidikan, dan kebutuhan hidup lainnya dapat terpenuhi.

c. Lingkungan Budaya
Lingkungan budaya adalah segala kondisi baik berupa materi (benda) maupun
nonmateri yang dihasilkan manusia melalui aktivitas dan kreativitasnya. Lingkungan
budaya dapat berupa bangunan, peralatan, pakaian, senjata, dan juga termasuk
nonmateri, seperti tata nilai, norma, adat istiadat, kesenian, dan sistem politik. Standar
kualitas lingkungan budaya dikatakan baik jika di lingkungan tersebut dapat
memberikan rasa aman dan sejahtera bagi semua anggota masyarakatnya dalam
menjalankan dan mengem bangkan sistem budayanya.
Hal lain yang tidak kalah penting untuk diketahui di dalam memahami kualitas
lingkungan adalah daya dukung lingkungan (carrying capacity). Daya dukung
lingkungan adalah ukuran kemampuan suatu lingkungan mendukung sejumlah
kumpulan atau populasi jenis makhluk hidup tertentu untuk dapat hidup dalam suatu
lingkungan tertentu. Lingkungan tersebut dapat berupa sebidang lahan, wilayah tertentu,
atau ekosistem tertentu. Misalnya, lahan pertanian sawah, perkebunan, hutan, rawa,
sungai, danau, pantai, desa, kota, permukiman, dan kawasan industri. Adapun sejumlah
individu atau kelompok tertentu dapat berupa tumbuh-tumbuhan, binatang, ataupun
manusia. Jika membahas mengenai individu atau kelompok manusia, maka yang
dimaksud daya dukung lingkungan di sini adalah ukuran kemampuan suatu lingkungan
1
mendukung sejumlah individu atau kelompok manusia untuk dapat hidup dengan wajar
dalam lingkungan tersebut.
Lingkungan yang ada di sekitar manusia sangatlah beragam, begitu pula dengan
daya dukung lingkungannya. Pada lingkungan yang berbeda maka akan memiliki daya
dukung yang berbeda pula. Daya dukung lingkungan tidak mutlak, tetapi berkembang
sesuai faktor atau sumber daya yang memengaruhinya, antara lain faktor geografi dan
sosial-budaya. Adapun yang dimaksud dengan faktor-faktor geografi dan sosial budaya
di antaranya sebagai berikut.
a. Faktor geografi, seperti iklim, kesuburan tanah, dan erosi.
b. Faktor sosial-budaya, seperti ilmu, pengetahuan, dan teknologi.
Daya dukung lingkungan sangat berkaitan erat dengan kepadatan (densitas)
suatu populasi atau jumlah makhluk hidup yang terdapat dalam suatu lingkungan
tertentu. Dengan mengetahui daya dukung atau kemampuan lingkungan dalam
mendukung populasi di atasnya, dapat dihitung kemampuan tertinggi (maksimal)
lingkungan tersebut. Berapakah yang dapat didukung lingkungan yang bersangkutan
agar sejumlah makhluk hidup (populasi) dapat hidup dengan wajar.
Tingkat kepadatan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut.
a. Tingkat kepadatan maksimum (tertinggi).
b. Tingkat kepadatan optimum (cukup/sedang/wajar).
c. Tingkat kepadatan berlebih (kelebihan populasi).
Kepadatan populasi mencapai tingkat berlebih jika kepadatannya melebihi
kepadatan yang mampu didukung. Dapat dikatakan juga bahwa lingkungan telah sampai
kepada batasnya sehingga pada saat yang bersamaan akan terjadi masalah lingkungan
atau ketimpangan ekologi.
Jumlah manusia sampai saat ini terus bertambah dan berkembang. Adapun
permukaan bumi yang merupakan ekosistem kehidupan manusia luasnya tetap. Hal ini
akan mengakibatkan terjadinya benturan antara pertumbuhan jumlah manusia dan daya
dukung lingkungan, pada akhirnya menimbulkan masalah lingkungan atau ketimpangan
ekologi. Manusia dengan kemampuan ilmu, pengetahuan, dan teknologi dapat
meningkatkan daya dukung lingkungan. Melalui penerapan teknologi dalam bidang
pertanian, peternakan, dan permukiman, manusia dapat mengembang kan serta
meningkatkan daya dukung lingkungan sehingga mampu memakmurkan kehidupan
penduduk. Sebagai contoh, dengan diterapkannya program intensifikasi pertanian oleh
pemerintah, maka satu hektar sawah yang sebelumnya hanya mampu menghasilkan satu
ton gabah padi dapat menjadi dua atau tiga ton gabah padi.
Akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi manusia pun dapat
menurunkan daya dukung lingkungan bahkan dalam waktu singkat sampai kepada batas
kemampuannya. Sumber daya lingkungan yang seharusnya berperan menopang
kehidupan manusia atau makhluk hidup lainnya tidak lagi mampu mendukung
kelangsungan kehidupannya. Maka yang terjadi adalah sebuah bencana baik alam
maupun kemanusiaan. Dalam ekologi, manusia dikenal sebagai makhluk paling
dominan (man ecological dominant). Artinya, manusia sangat mampu memanfaatkan
ling kungan bagi kesejahteraan hidupnya. Oleh karena kemampuan akalnya, saat ini
2
manusia sangat berperan dalam menentukan alam dibandingkan makhluk lainnya. Alam
atau lingkungan hidup akan lestari, serasi, atau hancur, semata-mata tergantung pada
kemauan manusia itu sendiri.

3
Pertemuan 2
Kinetika Bahan Pencemar Di Lingkungan Air

a. Sumber Pencemaran Air


Banyak penyebab pencemaran air tetapi secara umum dapat dikategorikan
sebagai sumber kontaminan langsung dan tidak langsung. Sumber langsung meliputi
efluen yang keluar dari industri, TPA (tempat Pembuangan Akhir Sampah), dan
sebagainya. Sumber tidak langsung yaitu kontaminan yang memasuki badan air dari
tanah, air tanah, atau atmosfer berupa hujan. Tanah dan air tanah mengandung
mengandung sisa dari aktivitas pertanian seperti pupuk dan pestisida. Kontaminan dari
atmosfer juga berasal dari aktivitas manusia yaitu pencemaran udara yang menghasilkan
hujan asam.

b. Pencemar
Pencemar air dapat diklasifikasikan sebagai organik, anorganik, radioaktif, dan
asam/basa. Saat ini hampir 10 juta zat kimia telah dikenal manusia, dan hampir 100.000
zat kimia telah digunakan secara komersial. Kebanyakan sisa zat kimia tersebut dibuang
ke badan air atau air tanah. Pestisida, deterjen, PCBs, dan PCPs (polychlorinated
phenols), adalah salah satu contohnya. Pestisida dgunakan di pertanian, kehutanan dan
rumah tangga. PCB, walaupun telah jarang digunakan di alat-alat baru, masih terdapat
di alat-alat elektronik lama sebagai insulator, PCP dapat ditemukan sebagai pengawet
kayu, dan deterjen digunakan secara luas sebagai zat pembersih di rumah tangga.

c. Dampak Pencemaran Air


Pencemaran air berdampak luas, misalnya dapat meracuni sumber air minum,
meracuni makanan hewan, ketidakseimbangan ekosistem sungai dan danau,
pengrusakan hutan akibat hujan asam, dan sebagainya.
Di badan air, sungai dan danau, nitrogen dan fosfat (dari kegiatan pertanian) telah
menyebabkan pertumbuhan tanaman air yang di luar kendali (eutrofikasi berlebihan).
Ledakan pertumbuhan ini menyebabkan oksigen, yang seharusnya digunakan bersama
oleh seluruh hewan/tumbuhan air, menjadi berkurang. Ketika tanaman air tersebut mati,
dekomposisi mereka menyedot lebih banyak oksigen. Sebagai akibatnya, ikan akan
mati, dan aktivitas bakteri menurun.

d. Langkah Penyelesaian
Dalam keseharian kita, kita dapat mengurangi pencemaran air, dengan cara
mengurangi jumlah sampah yang kita produksi setiap hari (minimize), mendaur ulang
(recycle), mendaur pakai (reuse).
Kita pun perlu memperhatikan bahan kimia yang kita buang dari rumah kita.
Karena saat ini kita telah menjadi “masyarakat kimia”, yang menggunakan ratusan jenis
zat kimia dalam keseharian kita, seperti mencuci, memasak, membersihkan rumah,
memupuk tanaman, dan sebagainya.

4
Menjadi konsumen yang bertanggung jawab merupakan tindakan yang
bijaksana. Sebagai contoh, kritis terhadap barang yang dikonsumsi, apakah nantinya
akan menjadi sumber pencemar yang persisten, eksplosif, korosif dan beracun, atau
degradable (dapat didegradasi) alam ? Apakah barang yang kita konsumsi nantinya
dapat meracuni manusia, hewan, dan tumbuhan, aman bagi mahluk hidup dan
lingkungan ?
Teknologi dapat kita gunakan untuk mengatasi pencemaran air. Instalasi
pengolahan air bersih, instalasi pengolahan air limbah, yang dioperasikan dan dipelihara
baik, mampu menghilangkan substansi beracun dari air yang tercemar. Walaupun
demikian, langkah pencegahan tentunya lebih efektif dan bijaksana.

5
Pertemuan 3
Kinetika Bahan Pencemar Di Lingkungan Udara

Sebenarnya apa yang mesti kita cermati dari fenomena pencemaran udara?
 7 Pencemar Utama
 Hujan Asam
 Penipisan Lubang Ozon
 Perubahan Iklim dan Pemanasan Global
 Kualitas udara di dalam ruangan (indoor air quality)

7 Pencemar Utama
7 pencemar utama terdiri dari Partikulat, Sulfur Dioksida (SO2), Ozone, Karbon
monoksida (CO), Nitrogen Dioksida (NO2), Hidrokarbon (HC) dan Timbal (Pb).

a. Hujan Asam
Hujan asam merupakan istilah umum untuk menggambarkan turunnya asam dari
atmosfer ke bumi. Sebenarnya turunnya asam dari atmosfer ke bumi bukan hanya dalam
kondisi “basah” tetapi juga “kering”. Sehingga dikenal pula dengan istilah deposisi
(penurunan/pengendapan) basah dan deposisi kering.
Deposisi basah mengacu pada hujan asam, kabut dan salju. Ketika hujan asam
ini mengenai tanah, ia dapat berdampak buruk bagi tumbuhan dan hewan, tergantung
dari konsentrasi asamnya, kandungan kimia tanah, buffering capacity (kemampuan air
atau tanah untuk menahan perubahan pH), dan jenis tumbuhan/hewan yang terkena.
Deposisi kering mengacu pada gas dan partikel yang mengandung asam. Sekitar 50%
keasaman di atmosfer jatuh kembali ke bumi melalui deposisi kering. Kemudian angin
membawa gas dan partikel asam tersebut mengenai bangunan, mobil, rumah an pohon.
Ketika hujan turun, partikel asam yang menempel di bangunan atau pohon tersebut akan
terbilas, menghasilkan air permukaan (runoff) yang asam.
Angin dapat membawa material asam pada deposisi kering dan basah melintasi
batas kota dan negara sampai ratusan kilometer. Menurut para ahli, bahwa SO2 dan
NOx merupakan penyebab utama hujan asam. Hujan asam terjadi ketika gas-gas
tersebut di atmosfer bereaksi dengan air, oksigen, dan berbagai zat kimia yang
mengandung asam. Sinar matahari meningkatkan kecepatan reaksi mereka. Hasilnya
adalah larutan Asam Sulfat dan Asam Nitrat (konsentrasi rendah).
Untuk mengukur keasaman hujan asam digunakan pH meter. Air murni
menunjukkan pH 7,0 air asam memiliki pH kurang dari 7 (dari 0-7), dan air basa
menunjukkan ph lebih dari 7 (dari 7-14). Air hujan normal memang agak asam, pH
sekitar 5,6 karena karbon dioksida (CO2) dan air bereaksi membentuk carbonic acid
(asam lemah). Jika air hujan memiliki pH dibawah 5,6 maka dianggap sudah tercemari
oleh gas mengandung asam di atmosfer. Hujan dikatakan hujan asam jika telah
memiliki pH dibawah 5,0. Makin rendah pH air hujan tersebut, makin berat dampaknya
bagi mahluk hidup.

6
b. Penipisan Lubang Ozon
Ozon di lapisan atas (lapisan stratosfer), terbentuk secara alami, dan melindungi
bumi. Namun zat kimia buatan manusia telah merusak lapisan tersebut, sehingga
menimbulkan penipisan lapisan ozon.
Zat kimia itu dikenal dengan ODS (ozone-depleting substances), diantaranya
chlorofluorocarbons (CFCs), hydrochlorofluorocarbons (HCFCs), halons, methyl
bromide, carbon tetrachloride, dan methyl chloroform. Zat perusak ozon tersebut
sebagian masih digunakan sebagai bahan pendingin (coolants), foaming agents,
pemadam kebakaran (fire extinguishers), pelarut (solvents), pestisida (pesticides), dan
aerosol propellants.
Kloroflorokarbon atau Chlorofluorocarbon (CFC) mengandung klorin
(chlorine), florin (fluorine) dan karbon (carbon). CFC ini merupakan aktor utama
penipisan lapisan ozon. CFCs sangat stabil di troposfer. CFCs yang paling umum adalah
CFC-11, CFC-12, CFC-113, CFC-114, dan CFC-115. Potensi merusak ozon dari CFC
tersebut secara berurutan adalah 1, 1, 0.8, 1, dan 0.6.
Di udara, zat ODS tersebut terdegradasi dengan sangat lambat. Bentuk utuh
mereka dapat bertahan sampai bertahun-tahun dan mereka bergerak melampaui
troposfer dan mencapai stratosfer. Di stratosfer, akibat intensitas sinar ultraviolet
matahari, mereka pecah, dan melepaskan molekul chlorine dan bromine, yang dapat
merusak lapisan ozon. Para peneliti memperkirakan satu atom chlorine dapat merusak
100.000 molekul ozon.
Walaupun saat ini zat kimia perusak lapisan ozon telah dikurangi atau
dihilangkan penggunaannya, namun penggunaannya di waktu yang lampau masih dapat
berdampak pada perusakan lapisan ozon. Penipisan lapisan ozon dapat diteliti dengan
menggunakan satelit pengukuran, terutama di atas kutub bumi.
Penipisan lapisan ozon pelindung akan meningkatkan jumlah radiasi matahari ke
bumi yang dapat menyebabkan banyak kasus kanker kulit, katarak, dan pelemahan
sistem daya tahan tubuh. Terkena UV berlebihan juga dapat menyebabkan peningkatan
penyakit melanoma, kanker kulit yang fatal. Menurut US EPA, sejak 1990, resiko
terkena melanoma telah berlipat dua kali.
Ultraviolet dapat juga merusak tanaman sensitif, seperti kacang kedelai, dan
mengurangi hasil panen. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa fitoplankton di laut,
yang merupakan basis rantai makanan di laut, telah mengalami tekanan akibat
ultraviolet. Tekanan ini dapat berdampak pada manusia berupa terpengaruhinya pasokan
makanan dari laut.
Isu penipisan lubang ozon telah dijadikan isu internasional oleh Badan PBB
untuk Lingkungan Hidup, United Nations Environment Programme (UNEP), sejak
tahun 1987. Sebuah protokol konvensi, dikenal dengan Montreal Protocol, mengajak
negara yang telah menandatangani konvensi tersebut untuk menghapus produksi CFC
secara bertahap pada 1 Januari 1996. Jika upaya ini berhasil maka lapisan ozon akan
kembali normal pada tahun 2050.

7
Pertemuan 4
Kinetika Bahan Pencemar Di Lingkungan Tanah

a. Jenis Pencemaran Tanah


Sebagaimana udara dan air, tanah merupakan komponen penting dalam hidup
kita. Tanah berperan penting dalam pertumbuhan mahluk hidup, memelihara ekosistem,
dan memelihara siklus air. Kasus pencemaran tanah terutama disebabkan oleh
pembuangan sampah yang tidak memenuhi syarat (ilegal dumping), kebocoran limbah
cair dari industri atau fasilitas komersial, atau kecelakaan kendaraaan pengangkut
minyak, zat kimia, atau limbah, yang kemudian tumpah ke permukaan tanah.
Ketika suatu zat berbahaya/beracun telah mencemari permukaan tanah, maka ia
dapat menguap, tersapu air hujan dan atau masuk ke dalam tanah. Pencemaran yang
masuk ke dalam tanah kemudian terendap sebagai zat kimia beracun di tanah. Zat
beracun di tanah tersebut dapat berdampak langsung kepada manusia ketika bersentuhan
atau dapat mencemari air tanah dan udara di atasnya.

b. Remediasi
Kegiatan untuk membersihkan permukaan tanah dikenal dengan remediasi.
Sebelum melakukan remediasi, hal yang perlu diketahui:
1. Jenis pencemar (organic atau anorganik), terdegradasi/tidak, berbahaya/tidak,
2. Berapa banyak zat pencemar yang telah mencemari tanah tersebut,
3. Perbandingan karbon (C), nitrogen (N), dan Fosfat (P),
4. Jenis tanah,
5. Kondisi tanah (basah, kering),
6. Telah berapa lama zat pencemar terendapkan di lokasi tersebut,
7. Kondisi pencemaran (sangat penting untuk dibersihkan segera/bisa ditunda).

c. Remediasi On-site dan Off-site


Ada dua jenis remediasi tanah, yaitu in-situ (atau on-site) dan ex-situ (atau off-
site). Pembersihan on-site adalah pembersihan di lokasi. Pembersihan ini lebih murah
dan lebih mudah, terdiri dari pembersihan, venting (injeksi), dan bioremediasi.
Pembersihan off-site meliputi penggalian tanah yang tercemar dan kemudian
dibawa ke daerah yang aman. Setelah itu di daerah aman, tanah tersebut dibersihkan
dari zat pencemar. Caranya yaitu, tanah tersebut disimpan di bak/tanki yang kedap,
kemudian zat pembersih dipompakan ke bak/tangki tersebut. Selanjutnya zat pencemar
dipompakan keluar dari bak yang kemudian diolah dengan instalasi pengolah air
limbah. Pembersihan off-site ini jauh lebih mahal dan rumit.

d. Bioremediasi
Bioremediasi adalah proses pembersihan pencemaran tanah dengan
menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri). Bioremediasi bertujuan untuk memecah
atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun
(karbon dioksida dan air).
8
Ada 4 teknik dasar yang biasa digunakan dalam bioremediasi :
1. stimulasi aktivitas mikroorganisme asli (di lokasi tercemar) dengan penambahan
nutrien, pengaturan kondisi redoks, optimasi pH, dsb
2. inokulasi (penanaman) mikroorganisme di lokasi tercemar, yaitu
mikroorganisme yang memiliki kemampuan biotransformasi khusus
3. penerapan immobilized enzymes
4. penggunaan tanaman (phytoremediation) untuk menghilangkan atau mengubah
pencemar.
Kelas Jenis Bahan Kimia

Fuel hydrocarbons Benzene, Toluene

PAH’s (Polychlorinated aromatic


hydrocarbons) Creosote

PCB’s (Polychlorinated biphenyls) Aroclor

Chlorinated solvents TCE (Trichloroethylene)

Chlorinated aromatic compounds Chlorobenzene

Chlorophenols Pentachlorophenol

Nonhalogenated phenolics 2-Methylphenol

Pesticides 2,4-D, Atrazine

Explosives TNT (2,4,6-Trinitrotuluene)

Nitrogen heterocyclics Pyridine

Radionuclides Plutonium

Anions Nitrate

Metals Lead
Proses bioremediasi harus memperhatikan temperatur tanah, ketersediaan air,
nutrien (N, P, K), perbandingan C : N kurang dari 30:1, dan ketersediaan oksigen.

9
Pertemuan 5
Kinetika Bahan Pencemar Di Lingkungan Makanan

Bahan makanan adalah hal sangat penting bagi kehidupan manusia seperti
karbohidrat, lemak , protein, vitamin dan mineral. Disamping itu ada zat yang
ditambahkan baik secara sengaja maupun secara tidak sengaja yang akan
mempengaruhi kualitas makanan itu sendiri. Penambahan tersebut bisa
berbahaya bagi kesehatan manusia baik secara sengaja maupun tidak sengaja
yaitu apabila bahan makanan ditambahkan zat aditif yang bersifat sintetis.
Racun dalam makanan ternyata bisa membahayakan orang yang
memakannya apabila higiene dan sanitasinya dalam mengolah bahan makanan
tersebut tidak cermat. Bahan makanan berguna untuk sumber tenaga,
pembangun, pengatur bahkan penyembuh sakit. Namun, bisa juga sebagai media
perantara bagi vektor, mikroorganisme dan berbagi jenis bahan kimia, keracunan
bahan makanan ini oleh bahan kimia erat kaitannya dengan proses produksi dan
distribusinya. Dalam proses produksi sering terjadi kelalaian bahkan kesengajaan
menggunakan bahan kimia sebagai zat tambahan dalam makanan seperti zat pewarna,
zat pengawet dan sebagainya. Kasus biskuit beracun di Indonesia merupakan
bukti dimana bahan makanan tercemar dengan Sodium Nitrat dan
menyebabkan kematian bagi konsumen yang memakannya. Pencemaran makanan
bisa juga terjadi melalui rantai makanan di lingkungan seperti kasus Itai-Itai
Diseases di negara Jepang.
Selain oleh bahan kimia pencemaran makanan bisa juga disebabkan
oleh faktor biologis dan ini menjadikan makanan tersebut menjadi mediator
masuknya kuman penyakit ke dalam tubuh. Makanan yang telah dihinggapi
mikroorganisme tersebut mengalami penguraian sehingga dapat mengurangi
nilai gizi dan kelezatannya bahkan dapat menyebabkan sakit dan kematian bagi
yang mengkonsumsinya. Pertumbuhan mikroorganisme dalam makanan
dipengaruhi oleh faktor intrinsik, ekstrinsik, implisit dan pengolahan. Beberapa kasus
pernah terjadi di Indonesia.

a. Pencemaran Makanan Oleh Bahan Kimia


Berbagai fenomena yang berhubungan dengan keracunan makanan banyak
kita jumpai, kasus yang cukup terkenal mengenai keracunan makanan oleh
bahan kimia adalah tragedi Minamata Diseases. Penyakit ini pertama kali
ditemukan pada orang yang bertempat tinggal di sekitar teluk Minamata Jepang
tahun 1953, penyakit ini disebabkan oleh senyawa Air Raksa (Hg) yang biasanya
dihasilkan oleh bahan kimia yang dipakai dalam fungisida dan industri plastik
dan limbahnya dibuang di sekitar teluk, masyarakat yang mengkonsumsi ikan
dan kerang yang ada di pinggir teluk tersebut terpapar dalam jangka waktu lama,
yang pada akhirnya menimbulkan penyakit.
Di Indonesia kasus biskuit beracun yang terjadi tahun 1992
penambahan kandungan Sodium Nitrat yang berlebihan dalam biskuit. Nityrit
10
yang menyebabkan keracunan pada anak-anak dan orang dewasa, dalam bantuk
kalium atau natrium biasanya dipakai sebagai bahan pengawet makanan.
Misalnya dipakai untuk mengawetkan daging dengan mencegah pertumbuhan
kuman yang bisa hidup tanpa oksigen (anaerob) . Nitrit mengubah lingkungan
kuman sehingga pertumbuhan kuman tidak memungkinkan. Pengolahan kue
juga bisa memakai bahan pengawet ini, tapi ada batas tertentu yang bisa
ditoleransi oleh tubuh atau Nilai Ambang Batas.
Jika melebihi NAB makan akan menimbulkan efek keracunan bagi orang yang
mengkonsumsinya.
Jika seseorang memakan makanan yang mengandung benda asing baik
organik maupun anorganik yang bersifat racun , sehingga mengubah sifat asli
makanan tersebut dan menyebabkan penyakit atau gangguan kesehatan bagi yang
memakannya , hal ini disebut Food Poisoning (keracunan makanan). Ada
beberapa hal yang menjadi penyebab timbulnya kasus keracunan makan
makanan ditinjau dari sudut kimia :

b. Makanan terkontaminasi oleh bahan-bahan kimia


Kontaminasi karena bahan kimia sering terjadi karena kelalaian atau
kecelakaan , seperti meleltakkan pestisida dengan bahan makanan, kelalaian
dalam pencucian sayuran atau buah-buahan sehingga sayur atau buah-buahan
tersebut masih mengandung sisa pestisida dan kelalaian memasukkan bahan
kimia yang seyogyanya dipakai untuk kemasan dimasukkan ke dalam makanan.
Bahan kimia yang terdapat dalam bahan makanan dengan kadar yang berlebih
akan bersifat toksik bagi manusia. Beberapa zat yang sering menimbulkan
keracunan manusia adalah :
 Zinc, terdapat pada perlatan dapur akan mengalami reduksi bila kontak
dengan bahan makan yang bersifat asam.
 Insektisida, keracunan ini terjadi karena mengkonsumsi makanan yang
masih mengandung residu pestisida, seperti pada syran dan buah-buahan.
 Cadmium, keracunan ini bisa terjadi karena Cd yang terdapat pada
peralatan dapur dengan kontak dengan makanan yang bersifat asam.
 4. Antimonium, berasal dari perlatan dapur yang dilapisi dengan email
kelabu murahan.

c. Penggunaan Zat Aditif


Zat aditif bahan makanan biasanya digunakan secara sengaja , zat
tambahan tadi dapat menyebabkan makanan lebih sedap, tampak lebih menarik,
bau dan rasa lebih sedap, dan makanan lebih tahan lama (awet) , tetapi karena
makanan tersebut dapat berbahaya bagi manusia maka disebut zat pencemar.
WHO mensyaratkan zat tambahan itu seharusnya memenuhi kriteria
sebagai

11
berikut : (1). Aman digunakan, (2). Jumlahnya sekedar memnuhi kriteri
pengaruh yang diharapkan, (3). Sangkil secara teknologi, (4). Tidak boleh
digunakan utnuk menipu pemakai dan jumlah yang dipakai haruslah minimal.
Pemakaian zat tambahan yang aman digunakan merupakan pertimbangan
yang penting , walaupun tidak mungkin untuk mendapatkan bukti secara mutlak
bahwa suatu zat tambahan yang digunakan secara khusus tidak toksik bagi
semua manusia dalam semua kondisi, paling tidak pengujian secara sifat-sifat
fisiologis, farmakologis, dan biokemis pada binatang percobaan yang dusulkan
dapat dipaki sebagai dasar yang beralasan bagi penilaian pemakian suatu zat
tambahan pada bahan makanan.
Akan tetapi permasalahan yang sering muncul adalah pihak produsen
makanan lebih memperetimbangkan segi untungnya dari dampak timbul bagi
kesehatan masyarakat yang mengkonsumsi makanan yang dihasilkannya. Karena
pertimbangan ini sering terjadi pemalsuan dalam perdagangan makanan,
kalau pemalsuan sebatas merk dagang yaitu dengan meniru nama produk yang
digemari masyarakat tidak akan memberikan masalah yang besar bagi kesehatan
masyarakat, tetapi bila pemalsuan tersebut bertujuan agar produk yang mestinya
dibuang baik karena kesalahan produksi, maupun telah melebihi masa kadaluarsa, bila
dipasarkan kembali akan sangant membahayakan bagi kesehatan masyarakat.
Ada beberapa cara pemalsuan yang sering terjadi dan ini dilakukan oleh penjual
/produsen :
 Menghilangkan bau, seperti penambahan cuka pada ikan yang
telah membusuk
 Memberikan kesegaran palsu, misalnya dengan menambahkan zat warna
pada daging
 Menambahkan zat putih pada tepung.
Menambahkan tanggal kadaluarsa suatu
produk
 Menyalurkan kembali makanan yang telah kadaluarsa melalui paket-
paket hadiah atau parcel.
Selain penyalahgunaan zat aditif tersebut bisa toksik pada seseorang yang
mengkonsumsi makanan dengan kandungan zat tambahan yang melebihi
kadarnya dalam waktu relatif lama . Sifat toksik tersebut yang muncul setelah
terpapar dalam rentang waktu relatif lama, seperti penggunaan sakarin dan
siklamat (pemanis buatan) akan meracuni hati, penggunaan Monosodium
Glutamat (penyedap rasa) akan merusak jaringan otak dan banyak bahaya zat
tambahan lain yang bisa membahayakan kesehatan manusia.

d. Penggunaan bahan makanan seraca alamiah mengandung racun


Keracunan makanan bisa terjadi akibat racun secara alamiah terdapat dalam
makanan itu sendiri, keracunan seperti itu terjadi karena kelalaian atau
ketidaktahuan masyarakat yang mengkonsumsinya, misalnya keracunan
singkong karena adanya asam sianida (HCN) yang pada dosis tertentu bisa
12
menyebabkan kematian. Singkong yang dikonsumsi tidak dicuci dengan benar atau
tidak sempurna pengolahannya. Demikian juga dengan keracunan jengkol karena
adanya kristal asam jenkolat yang bisa menyumbat saluran air seni apabila
kandungan jengkolat yang terakumulasi dalam tubuh.

e. Pencemaran Makanan Secara Biologis


Makanan yang disukai manusia pada umumnya disukai oleh
mikroorganisme
, seperti virus, bakteri dan jamur yang menyerang bahan makanan yang mentah
seperti pada sayuran, buah-buahan, susu, daging, dan banyak makanan yang sudah
dimasak seperti nasi. Roti, kue dan lauk pauk.
Makanan yang telah dihinggapi mikroorganisme itu mengalami
penguraian
sehingga dapat mengurangi nilai gizi dan kelezatannya bahkan makan yang telah
mengalami penguraian dapat menyebabkan sakit bahkan kematian. Bakteri yang
tumbuh di dalam makanan mengubah makanan tersebut menjadi zat organik yang
berkurang energinya. Populasi mikroba pada berbagai jenis bahan pangan
umumnya sangat spesifik, tergantung dari jenis bahan pangannya, kondisi lingkungan
dan cara penyimpanannya dalam batas-batas tertentu kandungan mikroba pada
bahanpangan adalah berpengaruh terhadap ketahanan bahan pangan tersebut. Faktor-
faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba dalam pangan dapat bersifat
fisik, kimia atau biologis yang meliputi :
 Faktor intrinsik, merupakan sifatfisik, kimia dan struktur yang dimiliki oleh
bahan pangan tersebut, seperti kandungan nutrisi, pH, senyawa mikroba.
 Faktor ekstrinsik, yaitu kondisi lingkungan pada penganan dan
penyimpanan bahan pangan seperti suhu, kelembaban, susunan gas di
atmosfer.
 Faktor implisit, merupakan sifat-sifat yang dimiliki oleh mikroba itu
sendiri.
 Faktor pengolahan, karena perubahan mikroba awal sebagai akibat
pengolhan bahan pangan, misalnya pemansan, pendingan, radiasi dan
penambahan bahan pengawet.

Beberapa jenis /spesies dari bakteri saproba dan bakteri patogen dapat serta
tumbuh dan berkembang biakdengan baik jika makanan yang dihinggapi itu
mempunyai pH, kelembaban dan temperatur yang menguntungkan bagi
kehidupan mereka, toksin yang dihasilkan ada dua (2) pertama dapat berupa
enterotoksin, yaitu toksin yang mengganggu alat-alat pencernaan, kedua
neurotoksin yaitu toksin yang mengganggu urat syaraf kita. Diantara racun-racun
tersebut racun yang dihasilkan oleh Clostridium Botulinum, seperti makanan
dalam kaleng, spora-spora dari bakteri tidak mati dalam proses pasteurisasi.
Dalam keadaan tertutup (anaerob) dari suhu yang menguntungkan, maka
spora-spora tersebut dapat tumbuh menjadi bakteri serta menghasilkan
13
toksin, racun yang dihasilkan itu tidak mengganggu alat pencernaan
melainkan mengganggu urat saraf tepi , seperti racun Botulinum type A, B., C,
D, dan E. Diduga Clostridium Welchii dan Perfringens juga menghasilkan
Botulinum .
Dibeberapa daerah Jawa Tengah pernah terjadi keracunan setelah
mengkonsumsi tempe Bongkrek ( dari ampas kelapa) , racun yang terdapat
yaitu asam Bongkrek yang dihasilkah Pseudomonas Cocovenenans. Kemudian
di Jawa Barat keracunan Oncom yang terbuat dari kacanag tanah atau ampas tahu,
sedang raginya berupa jamur Monilia Sitophiladari spesies jamur tak sempurna ,
keracunan terjadi dari jenis jamur Neurospora Sitophila.
Makanan yang ditumbuhi Aspergillus Flavus dapat mengandung racun
Aflatoksinyang berbahaya sekali jika sampai termakan, keracunan juga
dapat diakibatkan karena memakan udang terutama pada kondisi orang
tertentu. Perlakuan panas yang tidak cukup pada pengalengan daging
seringkalimenyebabkan spora bakteri pembusuk jenis Clostridia anaerob
mengalami germinasi. Pencemaran oleh Clostridium Aerofoeticum dan C. Welchii
akan menimbulkan bau busuk. Bakteri fakultatif anaerob seperti Pseudomonas
putrafaciens, Flavobakterium Elastolyticum atau Protues Vulganbis dapat
menyebabkan dekomposisi protein yang akan menghasilkan campuran
berbagai metabolit berbau busuk ini berasal dari pencemaran bahan-bahan
organik yang me ngandung senyawa nitrogen yang bobot molekulnya rendah
seperti asma amino dan protein.

14
Pertemuan 6
Pengenalan Instrumen Untuk Analisa Kualitas Lingkungan

a. Daya Dukung Lingkungan


Dalam kehidupan dan aktivitas manusia sehari-hari, lahan merupakan bagian
dari lingkungan sebagai sumberdaya alam yang mempunyai peranan sangat penting
untuk berbagai kepentingan bagi manusia. Lahan dimanfaatkan antara lain untuk
pemukiman, pertanian, peternakan, pertambangan, jalan dan tempat bangunan fasilitas
sosial, ekonomi dan sebagainya.
Bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan luas lahan garapan cenderung
makin kecil, keadaan ini menyebabkan meningkatnya tekanan penduduk terhadap lahan.
Kemudian di daerah perladang berpindah kenaikan kepadatan penduduk juga
meningkatkan tekanan penduduk terhadap lahan karena naiknya kebutuhan akan pangan
akibatnya diperpendeknya masa istirahat lahan (Soemarwoto, 2001). Selanjutnya, (Siwi,
2002) menyatakan bahwa meningkatnya kepadatan penduduk daya dukung lahan pada
akhirnya akan terlampaui. Hal ini menunjukkan bahwa lahan di suatu wilayah tidak
mampu lagi mendukung jumlah penduduk di atas pada tingkat kesejahteraan tertentu
(Mustari et.al., 2005).
Lingkungan secara alami memiliki kemampuan untuk memulihkan
keadaannya.Pemulihan keadaan ini merupakan suatu prinsip bahwa sesungguhnya
lingkungan itu senantiasa arif menjaga keseimbangannya.Sepanjang belum ada
gangguan “paksa” maka apapun yang terjadi, lingkungan itu sendiri tetap bereaksi
secara seimbang.Perlu ditetapkan daya dukung lingkungan untuk mengetahui
kemampuan lingkungan menetralisasi parameter pencemar dalam rangka pemulihan
kondisi lingkungan seperti semula.
Apabila bahan pencemar berakumulasi terus menerus dalam suatu lingkungan,
sehingga lingkungan tidak punya kemampuan alami untuk menetralisasinya yang
mengakibatkan perubahan kualitas.Pokok permasalahannya adalah sejauh mana
perubahan ini diperkenankan.
Tanaman tertentu menjadi rusak dengan adanya asap dari suatu pabrik, tapi
tidak untuk sebahagian tanaman lainnya. Contoh, dengan buangan air pada suatu sungai
mengakibatkan peternakan ikan mas tidak baik pertumbuhannya, tapi cukup baik untuk
ikan lele dan ikan gabus.
Berarti daya dukung lingkungan untuk kondisi kehidupan ikan emas berbeda
dengan daya dukung lingkungan untuk kondisi kehidupan ikan lele gabus. Kenapa
demikian, tidak lain karena parameter yang terdapat dalam air tidak dapat dinetralisasi
lingkungan untuk kehidupan ikan emas.Ada saatnya makhluk tertentu dalam
lingkungan punya kemampuan yang luar biasa beradaptasi dengan lingkungan lain, tapi
ada kalanya menjadi pasif terhadap faktor luar. Jadi faktor daya dukung tergantung pada
parameter pencemar dan makhluk yang ada dalam lingkungan.

15
b. Pengertian Daya Dukung
Daya dukung lingkungan adalah Kemampuan lingkungan untuk mendukung
perikehidupan semua makhluk hidup yang meliputi ketersediaan sumberdaya alam
untuk memenuhi kebutuhan dasar atau tersedianya cukup ruang untuk hidup pada
tingkat kestabilan sosial tertentu disebut daya dukung lingkungan. Keberadaan
sumberdaya alam di bumi tidak tersebar merata sehingga daya dukung lingkungan pada
setiap daerah akan berbeda-beda. Oleh karena itu, pemanfaatannya harus dijaga agar
terus berkesinambungan dan tindakan eksploitasi harus dihindari. Pemeliharaan dan
pengembangan lingkungan hidup harus dilakukan dengan cara yang rasional antara lain
sebagai berikut :
1. Memanfaatkan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui dengan hati-hati
dan efisien, misalnya : air, tanah dan udara.
2. Menggunakan bahan pengganti, misalnya hasil metalurgi (campuran).
3. Mengembangkan metode penambangan dan pemprosesan yang lebih efisien
serta dapat didaur ulang.
4. Melaksanakan etika lingkungan dengan menjaga kelestarian alam.
Pengertian (konsep) dan ruang lingkup daya dukung lingkungan menurut UU
32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, daya dukung
lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung
perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain; sedangkan pelestarian daya dukung
lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan
hidup terhadap tekanan perubahan dan atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu
kegiatan, agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhlukhidup
lain). Menurut Soemarwoto (2001), daya dukung lingkungan pada hakekatnya adalah
daya dukung lingkungan alamiah, yaitu berdasarkan biomas tumbuhan dan hewan yang
dapat dikumpulkan dan ditangkap per satuan luas dan waktu di daerah itu. Menurut
Khanna et al. (1999), daya dukung lingkungan hidup terbagi menjadi 2 (dua)
komponen, yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas tampung
limbah (assimilative capacity).
Daya dukung lingkungan adalah kapasitas atau kemampuan ekosistem untuk
mendukung kehidupan organisme secara sehat sekaligus mempertahankan
produktivitas, kemampuan adaptasi, dan kemampuan memperbarui diri. Daya dukung
lingkungan diartikan sebagai kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan
manusia (Sunu, 2001 : 6).
Daya dukung lingkungan/carrying capacity adalah batas atas dari pertumbuhan
suatu populasi, di mana jumlah populasi tersebut tidak dapat lagi didukung oleh sarana,
sumberdaya dan lingkungan yang ada.Atau secara lebih singkat dapat dijelaskan sebagai
batas aktivitas manusia yang berperan dalam perubahan lingkungan.Konsep ini
berasumsi bahwa terdapat kepastian keterbatasan lingkungan yang bertumpu pada
pembangunan (Zoer’aini, 1997).
Sedangkan menurut Lenzen dan Murray (2003), kebutuhan hidup manusia dari
lingkungan dapat dinyatakan dalam luas area yang dibutuhkan untuk mendukung
kehidupan manusia.Luas area untuk mendukung kehidupan manusia ini disebut jejak
16
ekologi (ecological footprint).Lenzen juga menjelaskan bahwa untuk mengetahui
tingkat keberlanjutan sumberdaya alam dan lingkungan, kebutuhan hidup manusia
kemudian dibandingkan dengan luas aktual lahan produktif.Perbandingan antara jejak
ekologi dengan luas aktual lahan produktif ini kemudian dihitung sebagai perbandingan
antara lahan tersedia dan lahan yang dibutuhkan.Carrying capacity atau daya dukung
lingkungan mengandung pengertian kemampuan suatu tempat dalam menunjang
kehidupan mahluk hidup secara optimum dalam periode waktu yang panjang.Daya
dukung lingkungan dapat pula diartikan kemampuan lingkungan memberikan
kehidupan organisme secara sejahtera dan lestari bagi penduduk yang mendiami suatu
kawasan.
Definisi daya dukung lingkungan/carrying capacity :
 Jumlah organisme atau spesies khusus secara maksimum dan seimbang yang
dapat didukung oleh suatu lingkungan;
 Jumlah penduduk maksimum yang dapat didukung oleh suatu lingkungan tanpa
merusak lingkungan tersebut;
 Jumlah makhluk hidup yang dapat bertahan pada suatu lingkungan dalam
periode jangka panjang tanpa membahayakan lingkungan tersebut;
 Jumlah populasi maksimum dari organisme khusus yang dapat didukung oleh
suatu lingkungan tanpa merusak lingkungan tersebut; Rata-rata kepadatan suatu
populasi atau ukuran populasi dari suatu kelompok manusia di bawah angka
yang diperkirakan akan meningkat dan di atas angka yang diperkirakan untuk
menurun disebabkan oleh kekurangan sumberdaya. Kapasitas pembawa akan
berbeda untuk tiap kelompok manusia dalam sebuah lingkungan tempat tinggal,
disebabkan oleh jenis makanan, tempat tinggal, dan kondisi sosial dari masing-
masing lingkungan tempat tinggal tersebut.
Carrying Capacity/CC (kapasitas daya tampung) merupakan kemampuan optimum
lingkungan untuk memberikan kehidupan yang baik dan memenuhi syarat kehidupan
terhadap penduduk yang mendiami lingkungan tersebut. Apabila kemampuan optimum
telah terpenuhi, sedangkan populasi cenderung meningkat maka akan terjadi persaingan
dalam memperebutkan sumberdaya (SD). Untuk mengurangi disparitas pemenuhan
kebutuhan masing-masing individu akan sumberdaya (SD) maka diperlukan sebuah
teknologi yag dapat membantu memperbesar kapasitas sumberdaya (SD). Adanya
konsepCarrying Capacity(CC) berdasarkan sebuah pemikiran bahwa lingkungan
mempunyai batas kapasitas maksimum guna mendukung pertumbuhan populasi
penduduk yang berbanding lurus dengan azas manfaatnya.
Kapasitas daya tampung (CC) dibedakan atas 4 (empat) tingkatan, yaitu :
1. CC Maksimum, apabila SD yang tersedia telah dimanfaatkan semaksimal
mungkin dan telah melebihi daya dukung SD dalam memenuhi kebutuhan
populasi penghuninya.
2. CC Subsistem, apabila pemanfaatan SD melebihi kapasitas daya tampung SD
akan tetapi populasi tidak optimum sehingga melebihi kebutuhan populasi.
3. CC Suboptimum, apabila pemanfaatan SD yang ada berada di bawah rata-rata
kebutuhan populasi.
17
4. CC Optimum, apabila kapasitas daya tampung SD berada di bawah rata-rata
kebutuhan populasi.

Gambar 2.1 Carrying Capacity Indicator (Rolasisasi, 2007)

c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya Dukung


Daya dukung berkelanjutan ditentukan oleh banyak faktor, baik faktor biofisik
maupun sosial-budaya-ekonomi. Kedua kelompok faktor ini saling mempengaruhi.
Faktorbiofisik penting yang menentukan daya dukung daya dukung berkelanjutan ialah
proses ekologi yang merupakan sistem pendukung kehidupan dan keanekaragaman jenis
yang merupakan sumberdaya gen. Misalnya hutan adalah salah satu faktor ekologi
dalam sistem pendukung kehidupan. Hutan melakukan fotosintesis menghasilkan
oksigen yang kita perlukan untuk pernafasan kita. Apabila proses fotosintesis terhenti
atau menurun dengan drastis karena hutan atau tumbuhan pada umumnya habis atau
sangat berkurang, kandungan oksigen dalam udara akan menurun dan kehidupan kita
akan terganggu. Hutan juga mempunyai fungsi orologi yaitu melindungi tata air dan
tanah dari erosi. Kerusakan hutan akan mengakibatkan rusaknya tata air dan terjadinya
erosi tanah. Erosi tanah akan menurunkan kesuburan tanah yang berarti menurunkan
produksi dan menambah biaya produksi, menyebabkan pendangkalan sungai, waduk
dan saluran irigasi; menurunkan produksi ikan dan memperbesar bahaya banjir.
Mahluk hidup secara keseluruhan merupakan sistem dalam daur materi.
Rusaknya daur materi akan mengakibatkan pencemaran. Dan lebih hebatnya lagi ,
kerusakan daur materi akan mengancam kelangsungan hidup semua mahluk hidup.
Faktor sosial budaya juga mempunyai peranan yang sangat penting, bahkan
menentukan dalam daya dukung berkelanjutan. Sebab akhirnya manusialah yang
menentukan apakah pembangunan akan berjalan terus atau terhenti. Kemelaratan pada
salah satu pihak merupakan hambatan untuk pembangunan. Tetapi pada lain pihak
kemelaratan juga merupakan cambuk untuk perjuangan memperbaiki nasib diri sendiri.
Sebaliknya kekayaan pada salah satu pihak mengandung kekuatan untuk pembangunan.
Faktor-faktor yang dapat menentukan daya dukung lingkungan dalam kondisi
baik atau tidak antara lain, adalah ketersedian bahan baku dan energi, akumulasi limbah

18
dari aktivitas produksi (termasuk manajemen limbahnya) dan tentu interaksi antar
makhluk hidup yang ada di dalam lingkungan. Dengan kata lain daya dukung harus
mampu mencakup daya dukung lingkungan fisik, biologi dan persepsi atau psikologis.
Dalam upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup (pengelolaan), akan selalu ada
kegiatan-kegiatan seperti kegiatan pemanfaatan (termasuk penataan dan pemeliharaan),
pengendalian, pemulihan dan juga pengembangan kawasan lingkunganhidup.
Pembangunan berkelanjutan adalah upaya pelestarian yang paling baik, karena dalam
prosesnya akan selalu memperhatikan daya dukung lingkungan sehingga dapat
dijadikan modal pembangunan untuk generasi-generasi selanjutnya.
Untuk itu, sebelum melakukan pengelolaan hendaknya ditentukan terlebih
dahulu nilai dari daya dukung lingkungan yang menjadi targetnya. Dalam penentuan
daya dukung suatu kawasan perlu diperhatikan setidaknya tiga aspek utama, yaitu
ekologi, ekonomi dan sosial. Hal ini penting mengingat bahwa interaksi antara kegiatan
pengelolaan dengan ekosistem dari kawasan tersebut akan tergambarkan dengan sangat
kompleks, sehingga memerlukan pendekatan yang multidimensi Proses perencanaan
pembangunan dengan konsep daya dukung mengandung pengertian adanya kemampuan
dari alam dan sistim lingkungan buatan untuk mendukung kebutuhan yang melibatkan
keterbatasan alam yang melebihi kemampuannya, yang secara tidak langsung dapat
menyebabkan degradasi atau kerusakan lingkungan. Keterbatasan fisik lingkungan
dapat ditoleransi jika terdapat kompensasi biaya untuk menghindari resiko atau bahaya
yang terjadi. Dengan demikian pembangunan hanya dapat dilakukan pada tempat yang
memiliki zona potensial.Selain aspek fisik, daya dukung juga tergantung pada kondisi
sosial, masyarakat, waktu dan tempat (Suryanto, 2007).
Daya dukung lingkungan yaitu kemampuan sebidang lahan dalam mendukung
kehidupan manusia (Sumarwoto, 2001). Kemudian Notohadiprawiro (1991)
menjelaskan bahwa daya dukung tersebut dinilai menurut ambang batas kesanggupan
lahan sebagai suatu ekosistem untuk menahan keruntuhan akibat dampak penggunaan.
Pembahasan daya dukung meliputi : tingkat penggunaan lahan, pemeliharaan mutu
lingkungan, tujuan pengelolaan, pertimbangan biaya pemeliharaan dan kepuasaan
pengguna sumberdaya.
Implementasi daya dukung lingkungan dapat dilakukan dengan tiga cara :
1. Daya dukung lingkungan disusun pada level minimum sebagai aktivitas baru
yang dapat diakomodasikan sebelum terjadi perubahan yang nyata dalam
lingkungan yang ada. Misalnya : daya dukung untuk wilayah pertanian,
kehutanan dan kegiatan wisata.
2. Perubahan dapat diterima, tetapi pada level tertentu dibatasi agar tidak
mengalami proses degradasi serta sesuai dengan ketentuan standart. Cara ini
kemungkinan dapat lebih meluas dan relevan terutama untuk ambang batas
udara dan air. Contoh implementasi model ini adalah ijin pembuangan limbah
yang disesuaikan dengan kapasitas jaringan air.
3. Kapasitas lingkungan diterima sebagai aktivitas baru. Model ini dipakai untuk
manajemen sumberdaya. Cara ini kemungkinan tidak relevan dengan kasus

19
perkembangan kota, namun dapat relevan dalam kasus drainase yang menyebar
pada lahan pertanian basah (Suryanto, 2007).
Kemudian Notohadiprawiro (1991) menjelaskan bahwa tata ruang secara umum
memenuhi kriteria kesesuaian lahan, wawasan lingkungan dan wawasan ekonomi bila
diterapkan secara bersama-sama.Penggunaan lahan di bawah kelayakan memang
memenuhi kriteria kesesuaian (menghemat penggunaan lahan), namun potensi ekonomi
lahan tidak dimanfaatkan sepenuhnya.Pemanfaatan yang melampaui ukuran kelayakan
berarti melanggar kedua kriteria tata guna lahan (kesesuaian dan wawasan
lingkungan).Dalam hal ini penggunaan lahan terpaksa disubsidi dengan bahan dan
energi berupa teknologi, sehingga lahan digunakan secara tidak efisien dan menjadi
suatu sistem yang mantap semu (metastable).

Gambar 2.2Kemampuan, Daya Dukung, Kesesuaian, Kemanfaatan


danKelayakan Lahan Dalam Tata Guna Lahan

Setiap daerah memiliki karakteristik geografi yang berbeda-beda serta ditambah


dengan kegiatan manusia dengan berbagai kepentingannya, sehingga daya dukung
lingkungan akan sangat bervariasi. Di daerah yang kondisi daya dukung lingkungannya
masih relatif baik, sebagian masyarakat masih kurang memperhatikan dampak
lingkungan sehingga mengakibatkan berkurangnya daya dukung lingkungan. Hal ini
akan dapat berlaku sebaliknya, yaitu kemampuan lingkungan untuk mendukung
kehidupan manusia akan berkurang. Perkembangan teknologi dan kemajuan industri
akan berdampak pada kualitas daya dukung lingkungan yang pada akhirnya akan
merusak lingkungan itu sendiri (Sunu, 2001: 10).
Lingkungan yang berada di sekitar kita sangat bervariasi, hal ini juga
menunjukkan bervariasinya kemampuan pendukung dari lingkungan tersebut.Daya
dukung tidak mutlak, melainkan dapat berkembang sesuai dengan faktor yang
mendukungnya, yaitu faktor geografi (iklim, perubahan cuaca, kesuburan tanah, erosi);
faktor sosial budaya dan iptek (Supardi, 1994).

20
Dalam UU No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga, merinci daya dukung lingkungan menjadi tiga, yakni daya
dukung lingkungan alam, daya tampung lingkungan binaan dan daya tampung
lingkungan sosial. Namun, UU ini tidak merinci lebih jauh bagaimana daya dukung
tersebut dapat diukur ataupun dihitung.
Ada beberapa kebutuhan informasi sumberdaya lahan yang diperlukan
diketahui, yaitu : tanah, iklim, topografi dan formasi geologi, vegetasi dan kondisi sosial
ekonomi. Informasi tentang tanah pada akhirnya akan menunjukkan kondisi keragaman
sifat lahan yang sangat penting dalam penilaian kemampuan lahan serta tindakan-
tindakan budidaya yang diperlukan. Informasi iklim mencakup data tentang :
temperatur, curah hujan, kecepatan dan arah angin. Informasi tentang topografi dan
formasi geologi meliputi : ketinggian lahan di atas permukaan air laut, derajat
kemiringan lereng, dan posisi pada bentang alam. Kondisi topografi berpengaruh secara
tidak langsung terhadap kualitas tanah termasuk ancaman erosi dan potensi lahan untuk
diusahakan.
Vegetasi merupakan salah satu unsur lahan, yang dapat berkembang secara
alami atau sebagai hasil dari aktivitas manusia baik pada masa yang lalu atau masa
kini.Vegetasi dapat dipertimbangkan sebagai petunjuk untuk mengetahui potensi lahan
dan kesesuaian lahan bagi suatu kegunaan tertentu melalui kehadiran tanaman-tanaman
indikator (Sitorus, 1998: 25).
Selain faktor-faktor tersebut diatas, faktor lain yang mempengaruhi daya dukung yaitu

 Produktivitas Lahan.
Jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 216 juta jiwa dengan angka
pertumbuhan 1.7 % per tahun.Angka tersebut mengindikasikan besarnya bahan pangan
yang harus tersedia.Kebutuhan yang besar jika tidak diimbangi peningkatan produksi
pangan justru menghadapi masalah bahaya latent yaitu laju peningkatan produksi di
dalam negeri yang terus menurun. Sudah pasti jika tidak ada upaya untuk meningkatkan
produksi pangan akan menimbulkan masalah antara kebutuhan dan ketersediaan dengan
kesenjangan semakin melebar.
Keragaman di atas menunjukkan bahwa laju pertumbuhan produksi pangan
nasional rata-rata negatif dan cenderung menurun, sedangkan laju pertumbuhan
penduduk selalu positif yang berarti kebutuhan terus meningkat. Keragaan total
produksi dan kebutuhan nasional dari tahun ke tahun pada ketiga komoditas pangan
utama di atas menunjukkan kesenjangan yang terus melebar; khusus pada kedelai sangat
memprihatinkan. Kesenjangan yang terus meningkat ini jika terus di biarkan
konsekwensinya adalah peningkatan jumlah impor bahan pangan yang semakin besar,
dan kita semakin tergantung pada negara asing.
Rendahnya laju peningkatan produksi pangan dan terus menurunnya produksi di
Indonesia antara lain disebabkan oleh: (1) Produktivitas tanaman pangan yang masih
rendah dan terus menurun; (2) Peningkatan luas areal penanaman-panen yang stagnan
bahkan terus menurun khususnya di lahan pertanian pangan produktif di pulau Jawa.
Kombinasi kedua faktor di atas memastikan laju pertumbuhan produksi dari tahun ke
21
tahun yang cenderung terus menurun. Untuk mengatasi dua permasalahan teknis yang
mendasar tersebut perlu dilakukan upaya-upaya khusus dalam pembangunan pertanian
pangan khususnya dalam kerangka program ketahanan pangan nasional.
Sulitnya melakukan peningkatan produksi pangan nasional antara lain karena
pengembangan lahan pertanian pangan baru tidak seimbang dengan konversi lahan
pertanian produktif yang berubah menjadi fungsi lain seperti permukiman. Lahan irigasi
Indonesia sebesar 10.794.221 hektar telah menyumbangkan produksi padi sebesar
48.201.136 ton dan 50 %-nya lebih disumbang dari pulau Jawa (BPS, 2000).Akan tetapi
mengingat padatnya penduduk di pulau Jawa keberadaan lahan tanaman pangan tersebut
terus mengalami degradasi seiring meningkatnya kebutuhan pemukiman dan pilihan
pada komoditi yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi seperti hortikultura. Jika
tidak ada upaya khusus untuk meningkatkan produktivitas secara nyata dan/atau
membuka areal baru pertanian pangan sudah pasti produksi pangan dalam negeri tidak
akan mampu mencukupi kebutuhan pangan nasional.
Dari sisi perluasan areal lahan tanaman pangan ini upaya yang dapat ditempuh
adalah: (1) Memanfaatkan lahan lebak dan pasang surut termasuk di kawasan pasang
surut (Alihamsyah, dkk, 2002) (2) Mengoptimalkan lahan tidur dan lahan tidak
produktif di pulau Jawa. Kedua pilihan di atas mutlak harus di barengi dengan
menerapkan teknologi produktivitas mengingat sebagian besar lahan tersebut tidak
subur untuk tanaman pangan.
Luas lahan pasang surut dan Lebak di Indonesia diperkirakan mencapai 20,19
juta hektar dan sekitar 9,5 juta hektar berpotensi untuk pertanian serta 4,2 juta hektar
telah di reklamasi untuk pertanian (Ananto, E.,2002). Memanfaatkan lahan lebak dan
Pasang Surut dipandang sebagai peluang terobosan untuk memacu produksi meskipun
disadari bahwa produktivitas di lahan tersebut masih rendah. Produktivitas rata-rata
tanaman pangan padi, Jagung dan Kedelai di lahan lebak/pasang surut dengan
penerapan teknologi konvensional hasilnya masih rendah yaitu : secara berturut turut
sekitar 3,5 ton/ha; 2,8 ton/ha dan 0,8 ton/ha. Kendala utama pengembang di lahan ini
adalah keragaman sifat fisiko-kimia seperti pH yang rendah, kesuburan rendah,
keracunan tanah dan kendala Bio fisik seperti pertumbuhan gulma yang pesat, OPT dan
cekaman Air (Moeljopawiro, S., 2002).
Lahan kering di Indonesiasebesar 11 juta hektar yang sebagian besar berupa
lahan tidur dan lahan marginal sehingga tidak produktif untuk tanaman pangan. Di
Pulau Jawa yang padat penduduk, rata-rata pemilikan lahan usaha tani berkisar hanya
0,2 ha/KK petani. Namun, banyak pula lahan tidur yang terlantar.Ada 300.000 ha lahan
kering terbengkelai di Pulau Jawa dari kawasan hutan yang menjadi tanah kosong
terlantar. Masyarakat sekitar hutan dengan desakan ekonomi dan tuntutan lapangan
kerja tidak ada pilihan lain untuk memanfaatkan lahan-lahan kritis dan lahan kering
untuk usaha tani pangan seperti jagung, padi huma dan kedelai serta kacang tanah.
Secara alamiah hal ini membantu penambahan luas lahan pertanian pangan, meskipun
disadari bahwa produktivitas di lahan tersebut masih rendah, seperti jagung 2,5 – 3,5
ton/ha dan padi huma 1,5 ton/ha dan kedelai 0,6 – 1,1 ton/ha, tetapi pemanfaatannya
berdampak positif bagi peningkatan produksi pangan.
22
Melihat kenyataan di atas maka solusi terbaik adalah: (1) pemerintah sebaiknya
memberikan ijin legal atas hak pengelolaan lahan yang telah diusahahan petani yaitu
semacam HGU untuk usaha produktif usaha tani tanaman pangan sehingga petani dapat
memberikan kontribusi berupa pajak atas usaha dan pemanfaatan lahan tersebut, (2)
memberikan bimbingan teknologi budidaya khususnya untuk menerapkan teknologi
organik dan Bio/hayati guna meningkatkan kesuburan lahan dan menjamin usaha tani
yang berkelanjutan dan ramah lingkungan dan (3) Melibatkan stakeholder dan swasta
yang memiliki komitmen menunjang dalam sistem Agribisnis tanaman pangan sehingga
akan menjamin kepastian pasar, Sarana Input teknologi produktivitas dan nilai tambah
dari usaha tani terpadunya. Pengelolaan lahan kering untuk pertanian dapat dilakukan
dengan menerapkan teknologi produktivitas organik agar memberikan kontribusi yang
nyata bagi peningkatan produksi pangan dan kesejahteraan masyarakat. Sebagai contoh
jika 150.000 ha lahan ini digunakan untuk budidaya Jagung jika dengan tambahan
teknologi produktivitas organik dapat menghasilkan rata-rata 6,5 ton/ha yang dilakukan
dengan 2 kali MT maka akan terjadi penambahan produksi sebesar: 1,95 juta ton
jagung, berarti akan mensubstitusi lebih dari 60% impor Jagung. Multiple effek dari
usaha tani tanaman pangan ini sangat berarti dalam upaya meningkatkan kesejahteraan
petani dan masyarakat sekitar dan bagi kepentingan nasional.
Berbagai praktek explorasi lahan yang tidak sesuai dengan daya dukung lahannya
hendaklah dihindari. Penggunaan lahan diatas daya dukung lahan haruslah disertai
dengan upaya konservasi yang benar-benar. Oleh karena itu, untuk menjamin
keberlajutan pengusahaan lahan, dapat dilakukan upaya strategis dalam menghindari
degradasi lahan melaui: (1) Penerapan pola usaha tani konservasi seperti agroforestry,
tumpang sari, dan pertanian terpadu; (2) Penerapan pola pertanian organik ramah
lingkungan dalam menjaga kesuburan tanah; dan (3) Penerapan konsep pengendalian
hama terpadu merupakan usaha-usaha yang harus kita lakukan untuk menjamin
keberlanjutan usaha pertanian kita dan jika kita ingin menjadi pewaris yang baik.
 Tingkat kesuburan tanah.
Erosi tanah merupakan faktor utama penyebab ketidak-berlanjutan kegiatan
usahatani di wilayah hulu. Erosi yang intensif di lahan pertanian menyebabkan
semakin menurunnya produktivitas usahatani karena hilangnya lapisan tanah bagian
atas yang subur dan berakibat tersembul lapisan cadas yang keras. Penurunan
produktivitas usahatani secara langsung akan diikuti oleh penurunan pendapatan petani
dan kesejahteraan petani. Disamping menyebabkan ketidak-berlanjutan usahatani di
wilayah hulu, kegiatan usahatani tersebut juga menyebabkan kerusakan sumberdaya
lahan dan lingkungan di wilayah hilir, yang akan menyebabkan ketidak-berlanjutan
beberapa kegiatan usaha ekonomi produktif di wilayah hilir akibat terjadinya
pengendapan sedimen, kerusakan sarana irigasi, bahaya banjir dimusim penghujan dan
kekeringan dimusim kemarau.
Penggunaan pupuk kimia yang berkonsentrasi tinggi dan dengan dosis yang
tinggi dalam kurun waktu yang panjang menyebabkan terjadinya kemerosotan
kesuburan tanah karena terjadi ketimpangan hara atau kekurangan hara lain, dan
semakin merosotnya kandungan bahan organik tanah. Misalnya petani menggunakan
23
urea (hanya mengandung hara N) dalam dosis tinggi secara terus menerus, sementara
tanaman mengambil unsur hara tidak hanya N (nitrogen) dalam jumlah yang banyak,
maka akan terjadi pengurasan hara lainnya. Unsur hara pokok yang dibutuhkan tanaman
semuanya ada 16 unsur, sehingga apabila tidak ditambahkan akan terjadi pengurasan
hara lainnya (15 hara) dan pada saatnya akan terjadi kemerosotan kesuburan karena
terjadi kekurangan hara lain. Dilaporkan dipersawahan yang intensif missal Delanggu
diduga kekurangan hara mikro Zn dan Cu. Memang seyogyanya semua hara yang
dibutuhkan tanaman perlu ditambahkan, namun yang demikian sulit dilakukan. Kecuali
dengan penambahan pupuk organik secara periodik yang mengandung hara lengkap
yang sekarang semakin jarang dilakukan petani.
Penanaman varietas padi unggul secara mono cultur tanpa adanya pergiliran
tanaman, akan mempercepat terjadinya pengusan hara sejenis dalam jumlah tinggi
dalam kurun waktu yang pendek. Hal ini kalau dibiarkan terus menerus tidak menutup
kemungkinan terjadinya defisiensi atau kekurangan unsur hara tertentu dalam tanah.
Akibat dari ditinggalkannya penggunaan pupuk organik berdampak pada
penyusutan kandungan bahan organik tanah, bahkan banyak tempat-tempat yang
kandungan bahan organiknya sudah sampai pada tingkat rawan, sekitar 60 persen areal
sawah di Jawa kadungan bahan organiknya kurang dari 1 persen. Sementara, sistem
pertanian bisa menjadi sustainable (berkelanjutan) jika kandungan bahan organik tanah
lebih dari 2 %. Bahan oraganik tanah disamping memberikan unsur hara tanaman yang
lengkap juga akan memperbaiki struktur tanah, sehingga tanah akan semakin remah.
Namun jika penambahan bahan organik tidak diberikan dalam jangka panjang
kesuburanfisiknya akan semakin menurun.
Tingkat kesuburan lahan pertanian produktif terus menurun; revolusi hijau dengan
mengandalkan pupuk dan pestisida memiliki dampak negatif pada kesuburan tanah yang
berkelanjutan dan terjadinya mutasi hama dan pathogen yang tidak diinginkan. Sebagai
contoh lahan yang terus dipupuk dengan Urea (N) cenderung menampakkan respon
kesuburan tanaman seketika, tetapi berdampak pada cepat habisnya bahan organik tanah
karena memacu berkembangnya dekomposer dan bahan organik sebagai sumber
makanan mikroba lain habis (< 1%). Pemakaian pupuk kimia, alkali dan pestisida yang
terus menerus menyebabkan tumpukan residu yang melebihi daya dukung lingkungan
yang jika tidak terurai akan menjadi “racun tanah” dan tanah menjadi “Sakit”.
Akibatnya disamping hilangnya mikroba pengendali keseimbangan daya dukung
kesuburan tanah, ketidak-seimbangan mineral dan munculnya mutan-mutan Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT) yang kontra produktif. Di lahan sawah/irigasi dengan
berbagai upaya program revolusi hijau yang telah ada tidak lagi memberikan kontribusi
pada peningkatan produktivitas karena telah mencapai titik jenuh (Levelling Off) dan
produktivitas yang terjadi justru cenderung menurun.
Upaya yang harus dilakukan adalah melakukan Soil Management untuk
mengembalikan kesuburan tanah dengan memasukkan berbagai ragam mikroba
pengendali yang mempercepat keseimbangan alami dan membangun bahan organik
tanah, kemudian diikuti dengan pemupukan dengan jenis dan jumlah yang tepat dan
berimbang serta teknik pengolahan tanah yang tepat. Telah diketahui bahwa mikro-
24
organisme unggul berguna dapat diintroduksikan ke tanah dan dapat diberdayakan agar
mereka berfungsi mengendalikan keseimbangan kesuburan tanah sebagaimana
mestinya. Selain itu, sekumpulan mikro-organisme diketahui menghuni permukaan
daun dan ranting. Sebagian dari mereka ada yang hidup mandiri, bahkan dapat
menguntungkan tanaman (Mashar, 2000). Prinsip-prinsip hayati yang demikian telah
diungkapkan dalam kaidah-kaidah penerapan pupuk hayati (misal : Bio P 2000 Z).
Untuk mendapatkan performa hasil maksimal dari tanaman unggul baru yang
diharapkan memerlukan persyaratan-persyaratan khusus “Presisi” dalam budidayanya
seperti kesuburan lahan, pemupukan, mengamankan dari OPT (Anonim, 2003)dan/atau
perlakuan spesifik lainnya. Pada kenyataannya baik tanaman unggul seperti padi VUB,
Hibrida dan PTB; dan kedelai serta Jagung hibrida akan mampu berproduksi tinggi jika
pengawalan manajemen budidayanya dipenuhi dengan baik, tetapi jika tidak justru
terjadi sebaliknya. Hasilnya lebih rendah dari varietas lokal. Hal ini berarti bakal calon
penerapan varietas unggul berproduktivitas tinggi harus dilakukan pengawalan dan
manajemen teknologi penyerta dengan baik dan diterapkan secara paripurna. Untuk hal
tersebut petani harus diberikan dampingan dan memanejemen budidaya secara intensif.

d. Analisis Daya Dukung Wilayah Pedesaan


Konsep daya dukung lingkungan meliputi tiga faktor utama, yaitu :
kegiatan/aktivitas manusia, sumberdaya alam dan lingkungan. Kualitas lingkungan
dapat terjaga dan terpelihara dengan baik apabila manusia mengelola daya dukung pada
batas antara minimum dan optimim. Daya dukung kualitas yang dikelola antara 30 % -
70 % memberikan kualitas yang cukup baik. Angka ini diperoleh berdasarkan konsep
tata ruang arsitektur bangunan yang harus memperhitungkan “arsitektur alam” antara
1/3 - 2/3 dari seluruh ruang yang dirubah/dikelola manusia harus dikelola untuk
berkembang secara alami (Zoer’aini, 1997). Batas ini dianggap baik karena jika
penggunaan sumberdaya alam melebihi 70 % sampai 100 % akan berdampak pada
menurunnya kualitas lingkungan dan keadaan akan menjadi semakin buruk. Dalam hal
ini perhitungan didasarkan pada besarnya luasan penggunaan lahan (Soerjani, 1987 : 10
– 12).
Dalam menerapkan konsep daya dukung lingkungan perlu dilakukan analisis
mengenai daya dukung yang membandingkan kebutuhan antara tata guna lahan dengan
lingkungan alam atau sistem lingkungan buatan. Hal ini bertujuan untuk mempelajari
dampak dari pertumbuhan penduduk dan sistim pembangunan kota, sistim fasilitas
umum, dan pengamatan lingkungan. Daya dukung lingkungan terkait dengan kapasitas
ambang batas sebagai dasar untuk membatasi rekomendasi pertumbuhan. Prosedur
analisis daya dukung lingkungan meliputi : melihat faktor pembatas/ambang batas atau
mengidentifikasikan kualitas lingkungan dan geografi. Sedangkan variabel pokok yang
harus diketahui dalam analisis daya dukung lingkungan adalah potensi lahan dan jumlah
penduduk (Kaiser, 1995).
Pesatnya perkembangan di sektor industri dan pemukiman berdampak pada
berkurangnya lahan–lahan yang subur sehingga pembangunan pertanian khususnya
pelestarian swasembada pangan menghadapi tantangan yang cukup berat, terutama
25
terhadap ketersedian sumberdaya lahan. Tantangan tersebut dapat kita lihat puluhan ribu
hektar lahan pertanian yang produktif setiap tahun beralih fungsi menjadi sektor non
pertanian. Masalah lahan lebih nyata terlihat di daerah perdesaan karena kurang lebih 80
persen penduduk tinggal di perdesaan, dengan sumber mata pencaharian utama di
bidang pertanian. Dengan demikian di perdesaan sangat potensil terjadi konflik sosial
atau fisik masalah lahan .
Konversi lahan pertanian yang semakin meningkat akhir-akhir ini merupakan
salah satu ancaman terhadap keberlanjutan pertanian dipedesaan. Salah satu pemicu alih
fungsi lahan pertanian ke penggunaan lain adalah rendahnya isentif bagi petani dalam
berusaha tani dan tingkat keuntungan berusahatani relatif rendah. Selain itu, usaha
pertanian dihadapkan pada berbagai masalah yang sulit diprediksi dan mahalnya biaya
pengendalian seperti cuaca, hama dan penyakit, tidak tersedianya sarana produksi dan
pemasaran. Alih fungsi lahan banyak terjadi justru pada lahan pertanian yang
mempunyai produktivitas tinggi menjadi lahan non-pertanian. Dilaporkan dalam
periode tahun 1981-1999, sekitar 30% (sekitar satu juta ha) lahan sawah di pulau Jawa,
dan sekitar 17% (0,6 juta ha) di luar pulau Jawa telah menyusut dan beralih ke non-
pertanian, terutama ke areal industri dan perumahan.
Banyak areal lumbung beras nasional kita yang beralih guna seperti dipantura
dan seperti pusat pembangunan di dalam pinggir perkotaan. Daerah pertanian ini
umumnya sudah dilengkapi dengan infrastruktur pengairan sehingga berproduksi tinggi.
Alih guna lahan sawah ke areal pemukiman dan industri sangat berpengaruh pada
ketersedian lahan pertanian, dan ketersediaan pangan serta fungsi lainnya.
Pembangunan nasional yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi
mengabaikan pemerataan dan menjadikan pendekatan keamanan (stabilitas politik)
sebagai pengawalnya telah menggerakkan ekonomi nasional. Namun gagal menjadikan
gerak ekonomi nasional tersebut sebagai pendorong laju perkembangan desa. Beberapa
masalah yang merupakan hasil dari suatu proses pembangunan yaitu 1) Kemiskinan,
dari tahun ke tahun jumlah penduduk miskin terus bertambah, 2) Kesenjangan,
kesenjangan yang terjadi merupakan cermin bias dari pembangunan yang lebih
mengarah ke kota.
Daya dukung lahan dihitung dari kebutuhan lahan per kapita.Daya dukung lahan
dapat diketahui melalui perhitungan daya tampung lahan.Nilai yang didapat dari hasil
perhitungan daya tampung dapat digunakan sebagai acuan untuk mengetahui kawasan
mana saja yang berada pada kondisi ambang batas yang masih dapat dimanfaatkan.
Daya dukung lahan berdasarkan daya tampung, dihitung dengan menggunakan variabel
luasan fungsi lahan dibagi dengan jumlah penduduk eksisting, dengan rumus sebagai
berikut :
A = L/P
A = Daya dukung lahan
L = Luas Lahan (ha)
P = Populasi Penduduk (jiwa)
Apabila nilai daya dukung lahan tersebut melebihi nilai yang ditentukan maka
dikatakan populasi penduduk pada wilayah tersebut sudah melebihi daya dukung
26
lingkungannya (di luar ambang batas). Nilai daya dukung lahan yang ditunjukkan
dengan konsumsi lahan per kapita untuk berbagai ukuran populasikota menurut Yeates
et al (1980) sebagai berikut :
Tabel 2.1 Konsumsi Lahan Per Kapita
Konsumsi lahan
No. Populasi Penduduk (jiwa)
(ha/jiwa)
1. 10.000 0,100
2. 25.000 0,091
3. 50.000 0,086
4. 100.000 0,076
5. 250.000 0,070
6. 500.000 0,066
7. 1.000.000 0,061
8. 2.000.000 0,057
Sumber : Yeates et al, 1980
Tabel 2.1 menunjukkan bahwa ukuran penggunaan lahan di wilayah perkotaan
untuk ukuran jumlah populasi penduduk tertentu membutuhkan konsumsi lahan dengan
luasan tertentu. Semakin besar jumlah penduduk kota maka semakin kecil konsumsi
lahan per ha per kapitanya.
Hubungan antara manusia dengan lingkungan fisik dapat mencerminkan daya
dukung lingkungan, sejumlah ahli biologi mendefinisikan daya dukung lingkungan
sebagai jumlah populasi dari mahluk yang dapat didukung oleh tempat hidup (habitat).
Kormody (1969) dalam Hadi (2001 : 11) menyebutkan bahwa populasi seharusnya
selalu berada pada titik keseimbangan di mana lingkungan dapat mendukung. Batas di
antara titik keseimbangan tersebut yang dinamakan daya dukung lingkungan. Menurut
Soemarwoto (1985 dan 1990) dalam Hadi (2001 : 12) menjelaskan bahwa semakin
tinggi tingkat kepadatan penduduk semakin tinggi pula tingkat permintaan terhadap
lahan. Jika ketersediaan lahan tidak mencukupi maka respon yang muncul di antaranya
adalah membuka hutan dan menanami daerah rawan erosi, dan hal yang demikian ini
menunjukkan kondisi lapar lahan.

e. Daya Dukung dalam Kaitannya dengan Pemanfaatan SDAdan Lingkungan


Lingkungan hidup dalam pengertian ekologi tidak mengenal batas wilayah, baik
wilayah negara maupun wilayah administratif. Akan tetapi, lingkungan hidup yang
berkaitan dengan pengelolaan harus jelas batas wilayah wewenang pengelolaannya.
Yang dimaksud dengan lingkungan hidup berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Berdasarkan definisi maka dapat diketahui komponen yang ada di dalam lingkungan
hidup antara lain adalah ruang, manusia dan aktivitas.
Sunu (2001 : 10) menjelaskan bahwa ruang merupakan sesuatu di mana berbagai
komponen lingkungan hidup menempati dan melakukan proses sehingga antara ruang
27
dan komponen lingkungan merupakan satu kesatuan. Lingkungan hidup merupakan
ekologi terapan/applied ecology dengan tujuan agar manusia dapat menerapkan prinsip
dan konsep pokok ekologi dalam lingkungan hidup.
Lingkungan hidup sebagai suatu ekosistem terdiri atas berbagai subsistem, yang
mempunyai aspek sosial, budaya, ekonomi dan geografi dengan corak ragam yang
berbeda yang mengakibatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang
berlainan. Keadaan yang demikian memerlukan pembinaan dan pengembangan
lingkungan hidup yang didasarkan pada keadaan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup akan meningkatkan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan
subsistem, yang berarti juga meningkatkan ketahanan subsistem itu sendiri. Pembinaan
dan pengembangan subsistem yang satu akan mempengaruhi ketahanan ekosistem
secara keseluruhan. Oleh karena itu, pengelolaan lingkungan hidup menuntut
dikembangkannya suatu sistem dengan keterpaduan sebagai ciri utamanya.
Upaya pembangunan di berbagai sektor yang semakin meningkat menyebabkan
akan semakin meningkat pula dampaknya terhadap lingkungan hidup. Keadaan ini
mendorong makin diperlukannya upaya pengendalian dampak lingkungan hidup
sehingga risiko terhadap lingkungan hidup dapat ditekan sekecil mungkin. Dalam UU
No. 32 Tahun 2009 selanjutnya dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengelolaan
lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup
yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan,
pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup.
Pembangunan berkelanjutan menurut World Commission on Environmental and
Development diartikan sebagai pembangunan yang ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan
datang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri (Hadi, 2001 : 2). Dalam hal ini
terdapat dua konsep utama yang dikemukakan, yaitu kebutuhan dan keterbatasan
kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan yang akan
datang. Dengan demikian diperlukan pengaturan agar lingkungan tetap mampu
mendukung kegiatan pembangunan dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia.
Emil Salim dalam Hadi (2001 : 3) menjelaskan hal yang harus diperhatikan dalam
konsep pembangunan berkelanjutan :
1. Pembangunan berkelanjutan menghendaki penerapan perencanaan tata ruang
(spasial planning).
2. Perencanaan pembangunan menghendaki adanya standar lingkungan.
3. Penerapan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Pembangunan nasional perlu memperhatikan aspek berkelanjutan secara seimbang.
Hal ini sesuai dengan hasil Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup yang diadakan
di Stockholm tahun 1972 dan Deklarasi Lingkungan Hidup KTT Bumi di Rio de Janeiro
tahun 1992, yang keduanya menyepakati prinsip bahwa pembangunan harus
memperhatikan dimensi lingkungan dan manusia. Demikian pula pada KTT
Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg tahun 2002, membahas dan mengatasi
kemerosotan kualitas lingkungan hidup dunia.

28
Dalam era otonomi daerah, pengelolaan lingkungan hidup selain mengacu pada
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, juga pada
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu, Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup menetapkan kewajiban pemerintah untuk menerapkan sustainable development
sebagai solusi untuk memperbaiki kerusakan lingkungan tanpa mengorbankan
kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Undang-undang ini memandang
dan menghargai arti penting hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi warga
negara. Landasan filosofi tentang konsep pembangunan berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan dalam rangka pembangunan ekonomi adalah sangat penting bagi
pembangunan ekonomi nasional, karena persoalan lingkungan ke depan akan semakin
kompleks. Persoalan lingkungan adalah persoalan semua, baik pemerintah, dunia usaha
maupun masyarakat pada umumnya.
Dalam mengatasi berbagai permasalahan, telah ditetapkan perangkat hukum
perlindungan dan pengelolaan terhadap lingkungan hidup, yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Dalam Undang-undang ini, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi
kebijakan : (1) Kebijakan Perencanaan; (2) Kebijakan Pemanfaatan; (3) Kebijakan
Pengendalian; (4) Kebijakan Pemeliharaan; (5) Kebijakan Pengawasan; (6) Penegakan
Hukum.
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang RPJMN Tahun 2010 – 2014
menyatakan bahwa untuk pengembangan kapasitas pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan hidup perlu dilakukan berbagai upaya seperti menyusun, menyempurnakan,
dan mengkaji peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup, meratifikasi
konvensi internasional di bidang lingkungan hidup dan instrumennya, mengalokasikan
Dana Alokasi Khusus (DAK) dan dana dekonsentrasi lingkungan, meningkatkan peran
serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup untuk menciptakan check and
balances melalui pola kemitraan, kegiatan adiwiyata, kegiatan aliansi strategis
masyarakat peduli lingkungan, mengembangkan Debt for Nature Swaps (DNS) bidang
lingkungan hidup, menyusun panduan ekonomi ekosistem lahan basah, melakukan
kajian ekonomi ekosistem terumbu karang dan ekosistem padang lamun; program
insentif lingkungan; kerangka Indonesia Environment Fund Stategy; dan proposal
pendanaan lingkungan dari luar negeri dan integrasi instrumen lingkungan dalam
perbankan nasional, serta menyusun buku panduan penyusunan PDRB Hijau.
Perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan melalui
tahapan inventarisasi lingkungan hidup, penetapan wilayah ekoregion, dan penyusunan
RPPLH.
a. Inventarisasi Lingkungan Hidup
Kegiatan inventarisasi lingkungan hidup dilakukan dengan tujuan lebih mengetahui
potensi sumber alam di darat, laut maupun di udara berupa tanah, air, energi, flora,
fauna dan lain sebagainya serta produktifitasnya yang diperlukan bagi pembangunan.
Inventarisasi lingkungan hidup dilaksanakan untuk memperoleh data dan informasi
29
mengenai sumberdaya alam : (1) Potensi dan ketersediaan; (2) Jenis yang dimanfaatkan;
(3) Bentuk penguasaan; (4) Pengetahuan pengelolaan; (5) Bentuk kerusakan; (6)
Konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan. Contoh kegiatan dalam
inventarisasi ini adalah antara lain : (1) pemetaan dasar wilayah darat dan wilayah laut,
(2) pemetaan geologi dan hidrogeologi, (3) pemetaan agroekologi, (4) pemetaan
vegetasi dan kawasan hutan, (5) pemetaan kemampuan tanah, (6) penatagunaan sumber
daya alam seperti hutan, tanah dan air, (7) inventarisasi dan pemetaan tipe ekosistem
dan (8) kegiatan-kegiatan pendidikan dan latihan, penelitian dan pengembangan
teknologi. Inventarisasi lingkungan hidup di tingkat wilayah ekoregion dilakukan untuk
menentukan daya dukung dan daya tampung serta cadangan sumberdaya alam.
b. Penetapan Wilayah Ekoregion
Penetapan wilayah ekoregion dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesamaan :
(1) karakteristik bentang alam; (2) daerah aliran sungai; (3) iklim; (4) flora dan fauna;
(5) sosial budaya; (6) ekonomi; (7) kelembagaan masyarakat; dan (8) hasil inventarisasi
lingkungan hidup.
c. Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(RPPLH)
RPPLH disusun oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya
dan secara hierarkhis. Acuan penyusunan RPPLH adalah : (1) RPJMN (nasional); (2)
RPJMD (Prov, Kab/Kota). RPPLH diatur dengan Peraturan Pemerintah (nasional) atau
Peraturan Daerah (provinsi dan kabupaten/kota).

Gambar 2.4 Tahapan Penyusunan RPPLH

Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan RPPLH.Mengenai


pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan dalam
rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup. Apabila RPPLH belum tersusun,
pemanfaatan sumberdaya alam dilakukan berdasarkan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup dengan mempehatikan : (1) keberlanjutan proses dan fungsi
lingkungan hidup; (2) keberlanjutan produktifitas lingkungan hidup; dan (3)
keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat. Daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup ditetapkan oleh Menteri/Gubernur/Bupati/Walikota sesuai
dengan kewenangannya.

30
Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan dalam
rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup. Adapun tahapannya adalah sebagai berikut
: (1) Pencegahan; (2) Penanggulangan; (3) Pemulihan.
a. Pencegahan, Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup
Instrumen pencegahan kerusakan lingkungan hidup terdiri atas : (1) KLHS; (2) Tata
ruang; (3) Baku mutu lingkungan hidup; (4) Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
(5) Amdal; (6) UKL-UPL; (7) Perizinan; (8) Instrumen ekonomi lingkungan hidup; (9)
Peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup; (10) Anggaran berbasis
lingkungan hidup; (11) Analisis risiko lingkungan hidup; (12) Audit lingkungan hidup;
(13) Instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.
b. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)
Untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan
terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau
program, maka sesuai amanat UU No. 32 tahun 2009 bahwa Pemerintah dan Pemerintah
Daerah diwajibkan untuk membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
Adapun dalam KLHS sedikitnya harus memuat :
(1) Kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
(2) Perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup;
(3) Kinerja layanan/jasa ekosistem;
(4) Efisiensi pemanfaatan sumberdaya alam;
(5) Tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim;
(6) Tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
Penanggulangan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup adalah upaya untuk
menghentikan meluas dan meningkatnya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan
hidup serta dampaknya.

Gambar 2.5 Tahapan Pengendalian Pencemaran dan


Kerusakan Lingkungan Hidup

Pemulihan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup adalah upaya untuk
mengembalikan fungsi hutan dan atau lahan yang berkaitan dengan kebakaran hutan

31
dan atau lahan sesuai dengan daya dukungnya, adapun upaya pemulihan dilakukan
dengan tahapan sebagai berikut:

Gambar 2.6 Tahapan Pemulihan Pencemaran dan


Kerusakan Lingkungan Hidup

Pemeliharaan lingkungan hidup adalah upaya yang dilakukan untuk menjaga pelestarian
fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya penurunan atau kerusakan
lingkungan hidup yang disebabkan oleh perbuatan manusia.Pemeliharaan lingkungan
hidup dilaksanakan melalui konservasi dan pencadangan sumberdaya alam serta
pelestarian fungsi atmosfer.Konservasi sumberdaya alam meliputi kegiatan
pencadangan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari sumberdaya
alam.Pencadangan sumberdaya alam merupakan sumberdaya alam yang tidak dapat
dikelola dalam kurun waktu tertentu.Pelestarian sumberdaya alam meliputi upaya
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, perlindungan lapisan ozon, dan perlindungan
terhadap hujan asam (Mawardi, 2010).

32
Pertemuan 7
Teori Teknik Sampling Air

Pengelolaan Lingkungan yang baik dan benar membutuhkan Data Lingkungan.


Data Lingkungan diperoleh dari Pengukuran/ Pengujian.Untuk melakukan pengukuran /
pengujian dibutuhkan sampel. Untuk memperoleh sampel dibutuhkan sampling.

a. Pengertian sampling dan tujuan sampling Air :


Sampling berasal dari kata SAMPEL yang berarti Bahan / spesimen untuk
pemeriksaan.
SAMPLING AIR berarti melakukan pengambilan sejumlah volume suatu badan
air yang akan diteliti, dengan jumlah sekecil mungkin, tapi masih mewakili , yaitu
masih mempunyai sifat-sifat yang sama dengan badan air tersebut.
Tujuan umum sampling Air :
- Pengumpulan data / Rona Lingkungan awal .
- Pemantauan
- Pengawasan
- Penelitian dan
- Penegakan Hukum Lingkungan.
Untuk mencapai tujuan diatas maka sampling harus dikerjakan agar :
1. Mendapatkan sampel yang representatif ( mewakili kumpulannya), Obyektif (
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya ), teliti dan tepat ( terjamin
kebenarannya ), tepat waktu ( sesuai dengan kebutuhan saat tertentu ) dan
Relevan ( menunjang persoalan yang dihadapi ).
2. Menghindari kontaminasi sampel
3. Mencegah Degradasi Analit / perubahan kondisi analit sebelum sampel sampai
di laboratorium.
Langkah-langkah yang harus diambil dalam sampling :
b. Perencanaan sampling :
Seluruh aktifitas pengambilan sampel Air harus direncanakan dengan baik
sebelum pergi menuju tempat pengambilan sampel.
Langkah pertama perencanaan adalah menentukan secara jelas tujuan perjalanan
pengambilan sampel Air.
Contoh : apakah sampel digunakan untuk memenuhi persyaratan tertentu, atau
pemeriksaan mutu air secara umum atau penentuan jumlah analit asal sebelum proses
dimulai.
Bila obyek program pengambilan sampel sudah jelas maka faktor seperti lokasi
pengambilan sampel, tipe sampel yang dibutuhkan, jumlah sampel yang dibutuhkan,
lama dan frequensi pengambilan sampel harus dipertimbangkan. Tata kerja pelaksanaan
yang menguraikan hal apa saja yang harus dilakukan di lapangan staf lapangan harus
dibuat dan didokumentasikan dengan baik. Metode Jaminan Mutu ( Quality Assurance )
harus dibuat dan diterapkan. Staf lapaangan harus terlatih dan terbiasa dengan tata kerja
dan peralatan yang digunakan.
33
Setelah program pengambilan sampel dibuat, langkah berikutnya adalah
mempersiapkan wadah sampel dan peralatan pengambilan sampel yang diperlukan
dalam pelaksanaan program.

c. Perencanaan Sampling ( Aspek Administrasi dan Teknis ) :


1. Tujuan Sampling.
2. Biaya .
3. Administrasi sampling meliputi : format lapangan, surat tugas, surat perintah
perjalanan dinas, surat ijin bandara ( bila pengambilan dilakukan dengan
transportasi pesawat ).
4. Petugas sampling
5. Metode analisis
6. Tipe sampel
7. Pengedalian Mutu
8. Frequensi sampling
9. Jumlah , volume dan wadah
10. Parameter dan lokasi
11. Pengawetan sampel
12. Penyimpanan dan waktu simpan.

d. Persiapan Sampling :
1. Persiapan wadah sampel :
Untuk menghindari kontaminasi sampel lapangan, seluruh wadah sampel harus benar-
benar dibersihkan di laboratorium sebelum berangkat ke lokasi pengambilan sampel.
Jenis wadah sampel dan tingkat pembersihan yang diperlukan tergantung dari jenis
sampel yang akan diambil.
• Parameter lapangan :
Untuk kepentingan pengujian parameter lapangan kita menyiapkan wadah sampel
berupa beckerglass volume 500 ml yang sebelumnya sudah dicuci dengan deterjen yang
bebas fosfat, kemudian dibilas dengan air biasa dan selanjutnya dibilas dengan
Aquabidest.
• Parameter COD, BOD dan Nutrien ( PO4, NO2, NO3, SO4 dll )
Wadah : Gunakan botol plastik atau gelas lengkap dengan tutupnya. Kapasitas minimal
botol adalah 1 liter untuk analisa BOD, 50 ml untuk COD dan 250 ml untuk nutrien.
Tata kerja pembersihan : cuci botol dan tutupnya dengan deterjen bebas fosfat ( tipol)
dan bilas dengan air bersih. Setelah itu cuci dengan asam HCl 1:1 . kemudian bilas
dengan air bebas analit ( aquabidest ) sebanyak 3 kali dan biarkan mengering. Saat telah
kering tutup botol dengan rapat.
Pengawetan : BOD awetkan pada suhu dingin 4º C , akan tahan selama 48 jam.
sedangkan COD diawetkan dengan H2SO4 hingga pH < 2 lalu didinginkan pada suhu
4ºC, akan tahan selama 28 hari.

34
• Logam ( Total & Terlarut )
Wadah : Botol Polyethylene lengkap dengan tutupnya. Kapasitas minimum untuk
keperluan analisa adalah 200 ml.
Tatakerja pembersihan : cuci botol dengan tutupnya dengan deterjen bebas fosfat dan
bebas logam. Bilas dengan air bersih. Setelah itu cuci botol dengan asam dengan
memasukkan HCl 1:1 kedalam botol, putar tutup botol hingga kencang dan kemudian
kocok. Kemudian botol bilas dengan air bersih dan uci kembali dengan asam, kali ini
menggunakan asam HNO3 1:1. Akhirnya bilas botol dengan air bebas analit (
aquabidest ) sebanyak 3 kali dan biarkan mengering. Setelah kering, tutup botol dengan
rapat.
Pengawetan logam dengan HNO3 hingga pH < 2

Catatan :
Pengawetan sampel harus segera dilakukan setelah pengambilan sampel. Bila dalam
penggunaan alat pengambil sampel otomatik tidak memungkinkan dilakukannya
pengawetan untuk masing-masing sampel kimia tersebut dapat diawetkan dengan
dengan pendinginan pada suhu 4ºC hingga proses pengkopositan dan pemisahan selesai.
Bila sampel hendak dikirim dengan menggunakan penerbangan umum atau melalui pos,
maka hal ini harus memenuhi persyaratan dari Departemen Transportasi tentang
Peraturan atas barang – barang beracun. Biro Transportasi Barang, Departemen
Transportasi telah menetapkan bahwa Peraturan Barang Beracun tidak berlaku terhadap
barang-barang berikut ini : Asam klorida ( HCl) dalam larutan air dengan konsentrasi
0,04 % berat atau kurang dari itu (pH sekitar 1,96 atau lebih; Asam Nitrat (HNO3 )
dalam air pada konsentrasi 0,15 % berat atau kurang ( pH kira-kira 1,62 atau lebih );
Asam Sulfat (H2SO4)dalam lautan air dengan konsentrasi 0,35 % berat atau kurang (
pH kira-kira 1,15 atau lebih ); dan Natrium Hidroksida (NaOH) dalam larutan air
dengan konsentrasi 0,080 % berat atau kurang ( pH kira-kira 12,30 atau lebih ).
Sampel harus segera disaring sebelum diberi pengawet untuk kandungan logam terlarut.
2. Pembuatan Daftar Peralatan Pengambilan sampel :
Karena lokasi pengambilan sampel air biasanya jauh dari laboratorium , maka
pembuatan daftar peralatan akan sangat penting, dimana didalamnya tercantum seluruh
keperluan untuk sampling.
Peralatan – peralatan itu meliputi :
• Alat pengambil sampel
• Wadah sampel
• Pengawet sampel
• Peralatan Pengukur Parameter Lapangan
• Label
• Form Lapangan
• Pena
• Buku Catatan
• Alat Pengukur Panjang, Lebar, Kedalaman
• Es
35
• Kamera dan film.
3. Kalibrasi peralatan lapangan :
Sebelum peralatan untuk pengukuran di lapangandipergunakan, terlebih dulu harus di
kalibrasi :
• pH meter : Buffer pH 4, pH 7 dan 9. Atur koreksi temperatur,bersihkan probe setiap
akan digunakan dan cek kondisi KCl dalam probe.
• DO meter : Sodium Sulfat, oksigen jenuh, bersihkan probe setiap akan digunakan dan
cek kondisi KCl dalam probe.
• Turbidimeter : Larutan standar, bersihkan rumah instrumen dan bersihkan cells.
• Konduktometer : KCl dan NaCl, bersihkan probe setiap akan digunakan.

4. Pelaksanaan sampling di lapangan :


1) Frequensi dan waktu pengambilan sampel Air :
Frequensi dan waktu sampling tergantung beberapa faktor yaitu perubahan beban
pencemar dan debit air serta harus disesuaikan dengan keperluan.

Frequensi dan waktu untuk pengambilan sampel air limbah :


• Pemantauan pH dan debit : harian
• Pemantauan : bulan sekali.
• Pengawasan : saat dilakukan pengawasan.
• Kasus : saat terjadi laporan pencemaran
• Pemantauan wajib ( swapantau ) : 1 bulan sekali.

Frequensi dan waktu sampling untuk sumber air (sampel air permukaan) :
• Pemantauan 6 bulan sekali.

Tata kerja Pengambilan sampel Air :


1. Pengambilan sampel Air Tanah :
Air tanah adalah air yang berada di bawah permukaan atau air yang mengalir dibawah
tanah. Badan air ini sering disebut Akuifer yaitu aliran air dalam batuan
berpori.Kecepatan aliran dalam batuan ini ditentukan oleh gravitasi, ukuran pori,
tekanan dll. Terdapat 2 jenis pokok akuifer yaitu tertutup dan terbuka. Akuifer tertutup
adalah lapisan batuan yang terletak diantara dua lapisan batuan yang tidak berpori. Hal
ini mengakibatkan tingginya tekanan dalam sistim dan air seringkali keluar dengan
sendirinya akibat tekanan hidrostatik melalui sumur yang berhubungan dengan lapisan
akuifer tersebut. Akuifer ini biasanya disebut pula sebagai akuifer artesis. Akuifer
terbuka adalah lapisan batuan berpori yang dibawahnya terikat dengan batuan kedap.
Hal ini berarti akuifer memiliki tekanan atmosfer yang mengakibatkan tinggi
permukaan airnya naik turun. Akuifer terbuka ini yang menetukan tinggi muka air tanah
( water table ).

36
Sampel air tanah diambil melalui sumur yang di bor pada beberapa titik lokasi akuifer.
Titik pengambilan ini biasanya dibuat sedemikian rupa sehingga paling tidak sebuah
titik mewakili lokasi hulu, diatas sumber kontaminasi- seperti lokasi landfill (
pembuangan sampah ). Titik ini berperan sebagai titik sampel dasar ( background level
sample ). Sumur lsinnys diletakkan pada posisi tepat setelah lokasi pencemaran,
ditengah aliran (plume ) kontaminan. Sumur lainnya diletakkan dalam posisi melintang
terhadap aliran untuk mengukur lebar aliran. Selain itu , disetiap sumur dipasang 2 atau
3 pipa yang kedalamannya berbeda untuk mengukur pergerakan vertikal kontaminan.
Sumur pengambilan sampel dibangun dengan cara mengebor lubang , kemudian
memasang “casing” penguat dinding lubang. Seringkali, beberapa casing dimasukkan
kedalam sebuah lubang dengan kedalaman berbeda untuk untuk memantau kualitas air
di kedalaman tersebut. Didasar casing dipasang saringan yang yang memungkinkan air
masuk ke dalam sumur pada kedalaman tertentu dan untuk menghindari tersumbatnya
sumur. Bahan casing dapat terbuat dari teflon atau stainless steel untuk memberikan
hasil yang optimum. Namun karena pertimbangan biaya , casing PVC sering digunakan.
Yang perlu diingat adalah casing PVC akan mengabsorpsi bahan organik yang dapat
menimbulkan masalah. Bagian puncak casing biasanya ditutup dan diberi pelindung
besiyang dapat dikunci untuk mencegah kerusakan atau kontaminasi sumur.
Pengambilan sampel harus dimulai dari sumur yang lokasinya diperkirakan paling tidak
tercemari ( biasanya sumur di hulu ) hingga lokasi yang paling terkontaminasi ( sumur
berlokasi tepat di bagian hilir lokasi yang terkontaminasi ).

37
a) Mempersiapkan peralatan
Pertama-tama bersihkan area sekitar bagian atas sumursn. Lembaran plastik atau kain
dengan lubang di bagian tengah diletakkan pada bagian atas pelindung sumur sehingga
kotoran, rumput dll tidak dapat masuk kedalam mulut sumur. Bila mengambil sampel
untuk analisa organik , jangan meletakkan peralatan pengambil sampel secara langsung
diatas plastik.
Selanjutnya persiapkan dan kalibrasi alat uji lapangan sesuai dengan petunjuk
pemakaian alat. Seluruh kalibrasi harus dicatat dan ditandatangani pada lembar data. Uji
lapangan harus mencakup pH, suhu, konduktivitas dan kandungan Oksigen Terlarut (
DO ).
b) Menentukan volume sumur
Menentukan volume air dalam sumur adalah untuk menghitung volume air yang perlu
dikuras dari dalam sumur sebelum sampel diambil. Tinggi muka air dalam sumur diukur
dengan alat elektronik pengukur muka air. Alat ini pada dasarnya merupakan kabel
yang telah diberi tanda setiap jarak 1 meter dimasukkan kedalam sumur. Saat ujung
kabel menyentuh air akan terdengar bunyi atau lampu yang menyala. Kedalaman air
dapat dibaca pada skala yang telah ditandai di kabel. Meteran pita digunakan untuk
mengukur jarak antara tanda skala terakhir di kabel ke permukaan sumur. Kedalaman
dan diameter sumur dapat dihitung dari data yang ada saat sumur di buat.

Volume sumur dihitung sebagai berikut :


r2
Vw = (dwell – dwater ) X π X
1000
Vw = Volume sumur dalam liter
dwell = kedalaman sumur dalam meter
dwater = kedalaman muka air dalam meter
r = diameter dalam casing – dalam meter.

c) Penggunaan “ Bailer “
“ Bailer” terdiri dari tabung teflon atau stinless steel yang ujung atasnya terbuka dan
ujung bawahnya tertutup dilengkapi dengan katup – “ ball – value” . terikat dengan
bailer sebuah tali yang dugunakan untuk menurunkan bailer ke dalam sumur . Tali itu
harus terbuat dari bahan stainless steel untuk mencegah kontaminasi dari sumur. Saat
bailer masuk kedalam air, katup – ball-value dibuka. Saat bailer diangkat dari dalam air,
gaya gravitasi dan berat air dalam bailer akan membuat katup tetap tertutup.
Memindahkan sampel dari bailer kedalam wadah sampel harus dilakukan secara hati-
hati untuk menghindari bertambahnya kandungan oksigen terlarut ke dalam sampel.

38
Gambar 2 : Teflon Bailer

d) Pengurasan sumur
Karena air dalam sumur mungkin sudah cukup lama, maka kondisi kimiawi airnya akan
berbeda dengan yang ada dalam akuifer. Oleh karena itu suur perlu dikuras untuk
mengeluarkan air yang telah lama diam di dalam sumur dan membuat air dari akuifer
mengalir kedalam sumur.
Untuk memastikan kondisi air, air yang dikuras harus paling tidak tiga kali volume
sumur. Suhu, konduktivitas, pH dan DO air harus dipantau saat pengurasan dilakukan.
Bila pengukuran ini tidak menjadi stabil setelah tiga kali lipat volume sumur dikurs
maka teruskan pengurasan hingga kondisi stabil tercapai. Gunakan gelas jar yang bersih
untuk mengukur parameter-parameter ini dari sampel yang telah ditangani dengan hati-
hati. Agar kandungan DO tidak bertambah saat dipindahkan. Saat pengukuran lapangan
telah stabil, catat hasilnya pada lembar data.
Untuk mencegah sampel terkontaminasi selalu gunakan sarung tangan lateks saat
pengambilan sampel air tanah dilakukan.

39
e) Pengambilan sampel :
• Logam dan Logam Terlarut
Ambil sampel menggunakan bailer. Bilas botol sampel polyethylene dan tutupnya
dengan sampel yang akan dianalisa. Buang air pembilas dan isi botol dengan sampel .
Botol harus diberi label yang jelas. Lengkapi data lapangan yang terkait , sebelum
sampel disaring , simpan pada suhu dingin .
Bila logam terlarut dan tersuspensi perlu diperiksa secara terpisah maka sampel harus
disaring melalui saringan 0,45 µm untuk menghilangkan padatan. Saringan ini harus
dibilas terlebih dahulu dengan air bebas analit, baru setelah itu sampel disaring.Hasil
penyaringan adalah sampel logam terlarut. Masukkan sampel kedalam labu ukur 50 ml,
lalu masukkan bahan pengawet sampel yaitu HNO3 1:1 hingga pH < 2 dan tutup botol
dengan baik. Sampel ini tidak perlu disimpan pada suhu dingin.

• BOD, COD
Ambil sampel dengan menggunakan bailer . bilas botol sampel dengan dan tutupnya
dengan sampel yang akan dianalisa. Buang bilasan dan isi botol dengan sampel yang
akan dianalisa. Tambahkan bahan pengawet H2SO4 pekat hingga pH < 2. Simpan
sampel yang sudah diawetkan pada suhu dingin ( 4⁰C ).

2. Sampling Air Permukaan :


Istilah “Air Permukaan” mengacu pada badan air di permukaan seperti sungai, danau,
bendungan dan estuarin. Tujuan pengambilan sampel air permukaan adalah untuk
memeriksa mutu air apakah memenuhi persyaratan yang telah dibuat untuk memeriksa
mutu air apakah memenuhi persyaratan yang telah dibuat untuk tujuan pemakaian
tertentu ( misalnya : air mium, irigasi, dll ) atau untuk mengkaji dampak buangan
terhadap badan air tersebut.
Seperti pengambilan sampel air tanah, sampel air permukaan harus diambil dari daerah
yang tidak tercemar hingga ysng psling tercemar ( dekat dengan titik pembuangan. Bila
sampel diambil dari badan air yang mengalir , sampel harus diambil dari hilir hingga
hulu agar kontaminasi yang mungkin terjadi pada sampel berasal dari tempat yang
kurang tercemardan bukan sebaliknya.Bila sampel diambil dari perahu, sampel harus
diambil dari ujung depan perahu dimana perahu mengarah ke hulu.
Hal ini untuk memastikan tidak terjadi kontaminasi dari motor perahu.Sampel tidak
boleh diambil dari lokasi dekat dengan jembatan, dermaga, bendungan atau bangunan
buatan manusia lainnya karena tidak beraturannya aliran air disekeliling bangunan ini
akan menyebabkan sampel tidak representatif.
Bila sampel diambil dari lokasi dekat dasar badan air, pengambilan harus dilakukan
hati-hati agar sedimen tidak terambil. Bila sedimen terambil maka sampel air harus
diambil dahulu sebelum terkontaminasi sedimen yang teraduk.
Bila sejumlah titik pengambilan sampel telah ditentukan, titik pengambilan sampel
tersebut harus ditandai dalam peta sebagai data acuan dimasa mendatang.

40
Peralatan dan botol sampel yang harus dipersiapkan sama seperti untuk pengambilan
sampel air tanah.

Tata Kerja pengambilan sampel air permukaan :


Bila sampel diambil dari permukaan badan air , tenggelamkan botol sampel dibawah
muka air., arahkan mulut botol kearah hulu dan biarkan botol terisi. Keluarkan botol
sampel dan perlakukan sampel sama seperti sampel air tanah.
Bila air tidak tercampur merata, mutu air dapat berbeda untuk kedalaman yang berbeda.
Sampel harus paling tidak diambil dari 2 kedalaman yang berbeda untuk setiap titik
pengambilan sampel ( biasanya di tengah dan dekat permukaan ). Alat yang digunakan
biasanya alat pengambil sampel untuk kedalaman, seperti Van Dorn .

41
Alat ini pada dasarnya adalah wadah pada kedalaman tertentu ( biasanya ditandai
dengan tali yang digunakan ) dan kemudian menutup wadah pada kedalaman tersebut
dengan menurunkan pegas ( Messenger weight ) yang akan menekan tombol penahan
tutup wadah. Alat ini diangkat ke permukaan kembali dan isinya dituang ke dalam botol
sampel. Perlakuan sampel sama seperti perlakuan untuk sampel tanah.
Dalam menggunakan alat pengambil sampel harus diperhatikan benar-benar agar alat
yang digunakan sesuai dengansampel yang akan diambil. Misalnya alat pengambil
sampel yang mengandung unsur karet atau PCV tidak dapat digunakan untuk
mengambil sampel organik.
Bila alat ini tidak tersedia maka penggunaan bailer sudah cukup memadai untuk
mengambil sampel yang lokasinya dalam.
Bila diperlukan sampel sedimen dapat diambil bersamaan dengan sampel air
permukaan. Sedimen dapat diambil dengan sekop bila terdapat ditepi sungai atau danau,
namun bila sampel harus diambil dari tengah badan air dan lokasinya dalam, alat
pengambil sampel – pengeruk Ekman dapat digunakan.
3. Pengambilan sampel Air Limbah .
Air limbah mengacu pada air yang dibuang dari berbagai proses industri atau
pemukiman seperti air yang dibuang dari pabrik setelah digunakan dalam proses
produksi atau air yang dibuang dari saluran limbah kota . Mutu air buangan biasanya
dipantau untuk menjamin bahwa air limbah telah diolah untuk menghilangkan berbagai
jenis pencemar yang dapat berdampak negatif terhadap badan air yang menerima
buangan limbah.

42
Tingkat pencemar yang dapat diterima ditetapkan dalam surat perijinan yang
dikeluarkan oleh pihak berwenang . Perijinan ini juga akan menetapkan titik
pengambilan sampel dimana sampel harus diambil.
Bila titik pengambilan sampel tidak ditentukan maka petugas pengambil sampel harus
bisa menentukan dimana titik terbaik untuk pengambilan sampel. Lokasi titik
pengambilan sampel dan alasan dipilihnya tempat itu harus dicatat dengan baik.
Sampel harus diambil dari daerah aliran yang dekat dengan titik pembuangan limbah.
Daerah aliran turbulen merupakan tempat yang yang baik untu mengambil sampel
karena adanya proses pengadukan.

Tata kerja Pengambilan Sampel :


Terdapat dua jenis pokok sampel air limbah yaitu sampel sesaat (“ grab”) dan sampel
komposit. Sampel sesaat ( “ grab” ) harus dikumpulkan dalam waktu 15 menit dan
hanya menunjukkan kondisi air pada saat sampel diambil saja. Sampel komposit
merupakan kombinasi sampel sesaat (“grab”) yang diambil pada lokasi yang sama
dalam waktu yang berlainan. Sampel sesaat (“Grab”) harus sama volumenya dan
diambil dalam rentang waktu yang tetap ( misalnya 100 ml setiap jam selama 8 jam ).
Sampel dicampur dan dianalisa sebagai satu sampel. Sampel komposit mewakili kondisi
rata-rata air dalam rentang waktu pengambilan waktu yang tertentu. Alasan utama
pengambilan sampel secara komposit adalah mengurangi jumlah sampel yang
dimasukkan ke laboratorium analitik. Hal ini akan menghemat waktu dan uang.

5. Kontrol Mutu Utama untuk Pekerjaan Lapangan :


Untuk menjamin kelayakan sampel maka kemampuan melacak seluruh kejadian selama
pelaksanaan pengambilan sampel harus dijamin. Hal ini dapat dicapai dengan
melakukan tata kerja pelaksanaan yang baku ( SOP = standard operating procedures ),
lembar data jaminan mutu (Quality assurance data sheets), dan pemberian label pada
sampel. Pentingnya kontrol mutu bagi keberhasilan program pengambilan sampel tidak

43
akan terasa sebelum permasalahan hukum diberlakukan , seperti terpenuhinya
persyaratan perijinan.
SOP harus dilaksanakan dimana hal ini mungkin dilaksanakan. Bila untuk beberapa
alasan, penyimpangan terhadap SOP terpaksa dilakukan maka sifat penyimpangan dan
alasannya harus dicatat dengan baik.
Lembar data jaminan mutu harus diisi untuk setiap parameter yang diukur dan sampel
yang diambil.

Lembar data parameter yang diukur di lapangan harus memiliki informasi sebagai
berikut : Form Isian Data Pengambilan Sampel
• Tanggal Pengambilan sampel : .......................................................
• Waktu Pengambilan sampel : ......................................................
• Nama Petugas Pengambil Sampel : ......................................................
• Acuan Metode Pengambilan Sampel : ......................................................
• Jenis Sampel yang diambil : ......................................................
( mis, mata air/Sungai/Danau/Sumur dll )
• Jumlah sampel yang diambil : .........................................................
• Pengawetan : .........................................................
• Identifikasi Sampel ( Nomor Label ) : .........................................................
• Lokasi Pengambilan sampel : .........................................................
• Nama Sumber Air : .........................................................
• Kab/Kota : ........................................................
• Kec/Kelurahan/Desa : ........................................................
• Hasil Pengamatan Lapangan : ........................................................
 Keadaan cuaca ( mendung/cerah/hujan/dll ) : ............................................
 Keadaan Fisik Air : - warna : ............................................
Bau : ............................................
Lapisan Minyak : ............................................
 Kedalaman contoh yang diambil : .......................cm.
 Hasil Pemeriksaan Lapangan:
pH : ........................... Resistivity (Ώ.cm ) : ..........................
Suhu Air : ........................... mV : ..........................
Suhu Udara : ........................... Kecepatan Aliran : ...................m/detik
TDS : .......................... Kedalaman pinggir 1 : .......................m
Konduktivitas/DHL (S/cm):................. Kedalaman Tengah : .......................m
Salinity : .......................... Kedalaman Pinggir 2 : .......................m
DO : ..........................
% O2 : ..............................

44
Diagram /Sketsa Lokasi dan Titik Pengambilan sampel
U

Koordinat : S =...................................

E = ..................................

Rincian dari kondisi Lingkungan selama pengambilan sampel yang dapat


mempengaruhi interpretasi hasil pengujian ( mis : aktifitas penduduk yang
berlangsung sekitar sumber air ) :

Catatan lain-lain ( mis : Wawancara singkat dengan penduduk ) :

Saksi – saksi

No Nama Instansi Tanda Keterangan


Tangan
1. Petugas Pengambil
Sampel
2.
3.

Informasi ini harus dimasukkan dalam label pada botol sampel.


Permasalahan kontrol mutu lainnya adalah menggunakan sampel split, duplikat, blanko
dan sampel spike.
Sampel split digunakan untuk menguji kinerja laboratorium analitik. Sampel
dikumpulkan dalam satu wadah, diaduk secara baik, dan dibagi menjadi dua sub-sampel
dan diawetkan seperti sampel normal. Sampel ini identik dan dapat dikirim ke sebuah
laboratorium untuk diuji ketelitiannya atau dikirim ke dua laboratorium yang berbeda
untuk membanding ketelitiannya.
45
Sampel Duplikat adalah sampel yang diambil dari titik pengambilan yang sama dengan
rentang waktu antar pengambilan yang sekecil mungkin. Duplikat digunakan untuk
menguji ketelitian tata kerja pengambilan sampel. Sampel duplikat harus diambil paling
sedikit satu dari sepuluh sampel yang diambil dari lokasi pengambilan sampel.
Sampel Blanko digunakan untuk menguji apakah sistem terkontaminasi. Paling tidak
sampel blanko harus dilakukan di setiap akhir tatakerja pengambilan sampel ( yaitu satu
untuk setiap jenis sampel yang diambil ). Blanko dibuat dengan mengisi wadah sampel
yang berisi air bebas analit dan diawetkan seperti sampel biasa yang lain.
Sampel Spike adalah sampel yang diambil dengan cara seperti sampel lainnya namun
telah berisi analit yang diinginkan dengan konsentrasinya telah diketahui. Sampel ini
untuk mengevaluasi validitas metoda yang dipakai untuk mengirim sampel ke
laboratorium dan metoda analisa sampel. Contohnya : sampel spike akan menunjukkan
apakah analit tertentu itu telah ‘hilang’ selama proses pengangkutan atau apakah metoda
analitik yang digunakan mengalami gangguan dari matriks sampel. Paling tidak
dibutuhkan sebuah sampel spike untuk setiap kelompok analit yang sampelnya diambil
dan sebuah untuk setiap jenis matriks sampel dimana sampel tersebut diambil.

46
Pertemuan 8
Metode dan teknik sampling analisis lingkungan
a. METODE SAMPLING
Secara umum pendekatan cara sampling dilakukan dengan dua cara, yaitu ;
Direct reading (real time sampling)
Sampling inegerated (sampling medium).
Media sampling merupakan bahan yang digunakan untuk mengukur kontaminan
melalui proses penganalisaan di laboratorium untuk menentukan kosentarsi konta-minan
yang ada dalam udara
1. Teknik Sampling Kulaitas Udara
Teknik sampling kualitas udara dilihat lokasi pemantauannya terbagi dalam dua
kategori yaitu 1. teknik sampling udara emisi ,dan 2. teknik sampling udara ambien.
Sampling udara emisi adalah teknik sampling udara pada sumbernya seperti cero-bong
pabrik dan saluran knalpot kendaraan bermotor. Teknik sampling kualitas udara ambien
adalah sampling kualitas udara pada media penerima polutan udara/emisi udara. Untuk
sampling kualitas udara ambien, teknik pengambilan sampel kualitas udara ambien saat
ini terbagi dalam dua kelompok besar yaitu pemantauan kualitas udara secara aktif
(konvensional) dan secara pasif. Dari sisi parameter yang akan diukur, pemantauan
kualitas udara terdiri dari pemantauan gas dan partikulat.
2. METODE ANALISA
a) Teknik Adsorpsi dan Desorbsi
Teknik pengumpulan gas yang umum digunakan untuk menangkap gas pencemar di
udara adalah dengan teknik adsorpsi, desorbsi, pendinginan dan pengumpulan pada
kantong udara (bag sampler atau tube sampler).
b) Teknik Adsorpsi
Teknik adsorpsi adalah teknik pengumpulan gas berdasarkan kemampuan gas pencemar
terabsorpsi/bereaksi dengan larutan pereaksi spesifik (larutan absorben). Pereaksi kimia
yang digunakan harus spesifik artinya hanya dapat bereaksi dengan gas pencemar
tertentu yang akan di analisis. Efisiensi pengumpulan nya sangat dipengaruhi oleh :
Karakteristik dari gas pencemar, yaitu kemampuan/kecepatan absorpsi zat pencemar
pada larutan spesifik
Waktu kontak antara gas pencemar dengan pereaksi spesifik

Luas permukaan bidang kontak/ukuran gelembung. Untuk menangkap kadar gas-gas


berbahaya secara konvensional, menggunakan sampling udara dengan impinger
(Gambar 4.2) yang langkah-Langkah kerjanya yaitu:
– Menarik udara dengan pompa hisap ke dalam tabung impinger yang berisi larutan
penangkap.
– Mengukur kontaminan yang tertangkap atau bereaksi dengan larutan pe-nangkap baik
dengan metoda konvensional maupun instrumental.
– Menghitung kadar kontaminan dalam udara berdasarkan jumlah udara yang dipompa
dan hasil pengukuran.
https://www.scribd.com/doc/313409584/Teknik-Sampling-Udara
47
Pertemuan 9
Metode dan teknik sampling analisis lingkungan makanan

a. Teknik Pengambilan Sampel


Teknik pengambilan sampel makanan harus dilakukan dengan benar. Tidak tepat
dalam pengambilan sampel, hasil analisis kimia yang diperoleh tidak dapat
menggambarkan kondisi yang representatif atau mewakili keseluruhan dari bahan
yang akan dianalisis. Untuk mencapai tujuan tersebut maka dalam pengambilan sampel
perlu diperhatikan beberapa parameter sebagai berikut :
1. Homogenitas Sampel
Efek ukuran dan berat partikel sangat berpengaruh terhadap homogenitas bahan,
dimana bagian yang berukuran dan berat lebih besar cenderung akan berpisah dengan
bagian yang lebih kecil dan ringan (segregasi). Oleh karena itu sebelum sampel diambil,
bahan harus dicampur secara merata atau sampel diambil secara acak dari beberapa
bagian baik bagian dasar, tengah maupun bagian atas sehingga diperoleh sampel yang
representatif. Demikian juga pada tanaman disuatu lahan, kualitas pada tiap bagian
tanaman atau lahan mempunyai kualitas yang berbeda.
2. Cara Pengambilan Sampel
Sampel dari bahan dapat diambil secara non-selektif atau selektif. Non-selektif
adalah pengambilan sampel secara acak dari keseluruhan bahan tanpa memperhatikan
atau memisahkan bagian dari bahan tersebut. Misalnya dalam pengambilan sampel
rumput gajah, sampel diambil dari seluruh bagian rumput, baik daun maupun batang,
kemudian dipotong-potong dan dicampur secara merata agar diperoleh bahan yang
homogen. Selektif artinya pengambilan sampel secara acak dari bagian tertentu suatu
bahan. Misalnya sampel rumput gajah tadi dipisahkan pengambilan sampel batang dan
daun.
3. Jumlah Sampel
Jumlah sampel yang diambil akan sangat berpengaruh terhadap tingkat representatif
sampel yang diambil. Jumlah sampel yang diambil tergantung dari kebutuhan untuk
evaluasi dan jumlah bahan yang diambil sampelnya. Sebagai pedoman jumlah sampel
yang diambil adalah 10 persen dari jumlah bahan.
4. Penanganan Sampel
Sampel yang telah diambil harus segera diamankan agar tidak rusak atau berubah
sehingga mempunyai sifat yang berbeda dari mana sampel tersebut diambil. Misalnya
terjadi penguapan air, pembusukan ataupun tumbuhnya jamur. Sampel yang
mempunyai kadar air rendah (kurang dari 15 persen) kemungkinan terjadinya kerusakan
sampel kecil sekali. Sampel demikian dapat langsungdimasukkan ke kantong plastik
dan dibawa ke laboratorium. Sampel dengan kadar air tinggi seperti silase, maka
kemungkinan terjadinya penguapan air sangat besar. Sehingga untuk mengontrol
penguapan air, maka sampel yang telah diambil harus segera ditimbang, dimasukkan ke
dalam kantong plastik kedap udara, dibawa ke laboratorium dan segera dianalisis kadar
bahan keringnya. Jika tidak dianalisis segera maka sampel yang telah diambil segera

48
timbang, dikeringkan atau dijemur sampai beratnya konstan. Kemudian baru dibawa ke
laboratorium.
5. Prosesing Sampel
Untuk tujuan evaluasi terutama evaluasi secara mikroskopis, kimia dan biologis, semua
sampel harus digiling sehingga diperoleh sampel yang halus.
6. Penentuan Kadar Air Sampel Segar
Sampel dapat berasal dari tumbuh-tumbuahan seperti rumput-rumputan, biji-bijian,
buah-buahan, hasil produksi pertanian dan pangan maupun yang berasal dari hewan.
Sebelum dikeringkan bahan segar dipotong-potong untuk mendapatkan partikel yang
leih kecil agar cepat kering. Aplikasinya seperti di bawah ini:
Sejumlah sampel ditimbang sebanyak A gram kemudian dijemur sampai kering di
bawah sinar matahari atau dikeringkan dalam oven dengan temperature 50 - 60°C
sekitar ±24 jam. Setelah kering, sampel tadi ditimbang yaitu sebesar B gram didapatkan,
kemudian digiling atau diperhalus lagi bentuknya untuk analisis lebih lanjut. Selisih
antara bobot sampel sebelum dan sesudah dikeringkan merupakan kadar air(KA) sampel
segar dan selanjutnya dapat ditentukan bahan kering (BK) udara sampel. Untuk
mengetahui bahan kering sesungguhnya untuk mengetahui bahan kering sesungguhnya,
maka bahan kering udara dikali dengan bahan kering oven.
b. Tahap preparasi
Preparasi sampel adalah pengurangan massa dan ukuran dari gross sampel sampai
pada massa dan ukuran yang cocok untuk analisa di laboratorium.
Tahap-tahap preparasi sampel adalah sebagai berikut :
1. Pengeringan udara/air drying
Pengeringan udara pada gross sampel dilakukan jika sampel tersebut terlalu basah
untuk diproses tanpa menghilangnya moisture atau yang menyebabkan timbulnya
kesulitan pada crusher atau mill. Pengeringan udara dilakukan pada suhu ambient
sampai suhu maksimum yang dapat diterima yaitu 400oC. waktu yang diperlukan untuk
pengeringan ini bervariasi tergantung dari typical batubara yang akan dipreparasi, hanya
prinsipnya batubara dijaga agar tidak mengalami oksidasi saat pengeringan.
2. Pengecilan ukuran butir
Pengecilan ukuran butir adalah proses pengurangan ukuran atas sampel tanpa
menyebabkan perubahan apapun pada massa sampel.
Contoh alat mekanis untuk pengecilan ukuran butir adalah :
- Jaw Crusher
- Rolls Crusher
- Swing Hammer Mills
Jaw Crusher atau Roll Crusher biasa digunakan untuk mengurangi ukuran butir dari 50
mm sampai 11,2 mm ; 4,75 mm atau 2,36 mm. roll Crusher lebih direkomendasikan
untuk jumlah/massa sampel yang besar. Swing Hammer Mill digunakan untuk
menggerus sampel sampai ukuran 0.2 mm yang akan digunakan untuk sampel yang
akan dianalisa di Laboratorium.

49
3. Mixing atau Pencampuran
Mixing/pencampuran adalah proses pengadukan sampel agar diperoleh sampel yang
homogen.
Pencampuran dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu :
a) Metode manual : menggunakan riffle atau dengan membentuk dan membentuk
kembali timbunan berbentuk kerucut.
b) Metode mekanis : menggunakan alat Alat Rotary Sampel Divider (RSD)
4. Pembagian atau Dividing
Proses untuk mendapatkan sampel yang representative dari gross sampel tanpa
memperkecil ukuran butir.

c. Metode
Untuk menentukan suatu kadar mineral dalam suatu sampel makanan tentunya
penggunaan dari metode tidak sama antar satu sampel dengan sampel yang lainnya. Hal
ini dikarenakan :
1. Bentuk fisik yang berbeda (Padatan atau Cairan, bahkan Gas)
2. Kandungan matriks sampel yang berbeda
Maka dari itu digunakan suatu metode yang tepat untuk menganalisis suatu sampel
makanan tersebut. Untuk saat ini dapat digunakan metode standar dari SNI (STANDAR
NASIONAL INDONESIA) sebagai acuan dalam menentukan kadar mineral dalam
sampel makanan. Kemudian dari setiap metode terdapat perbedaan-perbedaan baik
dalam teknik :
Pengambilan sampel
Preparasi sampel
Pengujian/analisis sampel

d. Metode Kjeldahl
Metode Kjeldahl merupakan metode yang sederhana untuk penetapan nitrogen total
pada asam amino, protein dan senyawa yang mengandung nitrogen. Sampel didestruksi
dengan asam sulfat dan dikatalisis dengan katalisator yang sesuai sehingga akan
menghasilkan amonium sulfat. Setelah pembebasan dengan alkali kuat, amonia yang
terbentuk disuling uap secara kuantitatif ke dalam larutan penyerap dan ditetapkan
secara titrasi.Metode ini telah banyak mengalami modifikasi.Metode ini cocok
digunakan secara semi-mikro, sebab hanya memerlukan jumlah sampel dan pereaksi
yang sedikit dan waktu analisa yang pendek.Metode ini kurang akurat bila diperlukan
pada senyawa yang mengandung atom nitrogen yang terikat secara langsung ke oksigen
atau nitrogen. Tetapi untuk zat-zat seperti amina, protein,dan lain – lain hasilnya cukup
baik. Cara Kjeldahl digunakan untuk menganalisis kadar protein total dalam bahan
makanan secara tidak langsung, karena yang dianalisis dengan cara ini adalah kadar
nitrogennya. Dengan mengalikan hasil analisis tersebut dengan angka konversi 6.25,
maka diperoleh nilai protein dalam bahan makanan itu. Untuk beras, kedelai, dan
gandum angka konversi berturut-turut sebagai berikut: 5,95, 5,71, dan 5,83. Angka 6,25
berasal dari angka konversi serum albumin yang biasanya mengandung 16% nitrogen.
50
Prinsip cara analisis Kjeldahl yaitu mula-mula bahan didestruksi dengan asam sulfat
pekat menggunakan katalis selenium oksiklorida atau butiran Zn. Amonia yang terjadi
ditampung dan dititrasi dengan bantuan indikator. Cara Kjeldahl pada umumnya dapat
dibedakan atas dua cara, yaitu cara makro dan semimikro.
1. Cara makro Kjeldahl digunakan untuk contoh yang sukar dihomogenisasi dan dalam
ukuran besar (1-3 gram)
2. Cara semimikro Kjeldahl dirancang untuk contoh ukuran kecil yaitu kurang dari 300
mg dari bahan yang homogen.
Cara analisis tersebut akan berhasil baik dengan asumsi nitrogen dalam bentuk ikatan
N-N dan N-O dalam sampel tidak terdapat dalam jumlah yang besar. Kekurangan cara
analisis ini ialah bahwa purina, pirimidina, vitamin-vitamin, asam amino besar, kreatina,
dan kreatinina ikut teranalisis dan terukur sebagai nitrogen protein. Walaupun demikian,
caraini kini masih digunakan dan dianggap cukup teliti untuk pengukuran kadar protein
dalam bahan makanan.
Analisa protein cara Kjeldahl pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga tahapan yaitu
proses destruksi, proses destilasi dan tahap titrasi.

e. Pengabuan
Abu merupakan zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.
Kandungan abu dan komposisinya bergantung pada macam bahan dan cara pengabuan
yang digunakan. Kandungan abu dari suatu bahan menunjukkan kadar mineral dalam
bahan tersebut. Ada dua macam garam mineral yang terdapat dalam bahan, yaitu:
1. Garam organik : garam asam malat, oksalat, asetat, pektat
2. Garam anorganik : garam fosfat, karbonat, klorida, sulfat, nitrat
Pengabuan dilakukan untuk menentukan jumlah mineral yang terkandung dalam bahan.
Penentuan kadar mineral bahan secara asli sangatlah sulit sehingga perlu dilakukan
dengan menentukan sisa hasil pembakaran atas garam mineral bahan tersebut.
Pengabuan dapat menyebabkan hilangnya bahan-bahan organik dan anorganik sehingga
terjadi perubahan radikal organik dan terbentuk elemen logam dalam bentuk oksida atau
bersenyawa dengan ion-ion negatif (Anonim, 2008).
Penentuan abu total dilakukan dengan tujuan untuk menentukan baik tidaknya suatu
proses pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, serta dijadikan parameter
nilai gizi bahan makanan.
Dalam proses pengabuan suatu bahan, ada dua macam metode yang dapat dilakukan,
yaitu cara kering (langsung) dan cara basah (tidak langsung). Cara kering dilakukan
dengan mengoksidasikan zat-zat organik pada suhu 500-600oC kemudian melakukan
penimbangan zat-zat tertinggal. Pengabuan cara kering digunakan untuk penentuan total
abu, abu larut, tidak larut air dan tidak larut asam. Waktu pengabuan lama, suhu yang
diperlukan tinggi, serta untuk analisis sampel dalam jumlah banyak. Ada beberapa hal
yang harus diperhatikan dalam melakukan pengabuan cara kering, yaitu mengusahakan
suhu pengabuan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi kehilangan elemen secara
mekanis karena penggunaan suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan terjadinya
penguapan beberapa unsur, seperti K, Na, S, Ca, Cl, dan P.
51
Sedangkan cara basah dilakukan dengan menambahkan senyawa tertentu pada bahan
yang diabukan sepeti gliserol, alkohol asam sulfat atau asam nitrat. Pengabuan cara
basah dilakukan untuk penentuan elemen mineral. Waktu pengabuan relatif cepat, suhu
yang dibutuhkan tidak terlalu tinggi, untuk analisis sampel dalam jumlah sedikit,
memakai reagen kimia yang sering berbahaya sehingga perlu koreksi terhadap reagen
yang digunakan.
Jumlah sampel yang akan diabukan bergantung pada keadaan bahannya. Dalam hal ini,
kandungan abunya dan kadar air bahan. Bahan-bahan yang kering biasanya 2-5 gram,
seperti biji-bijian dan pakan ternak. Untuk bahan yang kandungan airnya tinggi, jumlah
bahan yang diabukan adalah cukup tinggi sekitar 10-50 gram karena saat dipanaskan
maka air dalam bahan akan menguap dan bahan menjadi mengalami susut berat
sehingga apabila sampel yang dianalisis terlalu sedikit, kemungkinan sisa zat tertinggal
yang akan ditimbang tidak ada sehingga analisis bisa terganggu.
Bahan yang mengandung kadar air tinggi perlu dioven terlebih dahulu sebelum
diabukan agar proses pengabuan tidak berlangsung terlalu lama. Bahan yang berlemak
banyak dan mudah menguap harus diabukan menggunakan suhu mula-mula selama
beberapa saat lalu baru dinaikkan ke suhu pengabuan agar komponen volatil bahan tidak
cepat menguap dan lemak tidak rusak karena teroksidasi. Sedangkan untuk bahan yang
dapat membuih perlu dikeringkan dalam oven terlebih dahulu dan ditambahkan zat
antibuih, seperti olive atau parafin lalu bisa mulai diabukan. Hal ini dilakukan karena
timbulnya banyak buih dapat menimbulkan potensi ledakan yang cukup membahayakan
(Apriantono, 1989).
Bahan yang akan diabukan dimasukkan ke dalam wadah yaitu harus baik dari porselen,
quartz, silika ataupun nikel. Penggunaan wadah bergantung pada jenis bahan dan cara
pengabuan yang digunakan. Ukuran wadah mulai dari 15mL sampai 100mL.
Dengan demikian, bahan-bahan yang banyak mengandung senyawa-senyawa
yang bersifat asam sangat dianjurkan menggunakan wadah yang terbuat dari porselen
yang dilapisi silika bagian pernukaan dalam wadah, seperti saat menganalisis kadar
abu buah-buahan.

http://hanyakimia.blogspot.com/2013/03/teknik-preparasi-sampel-untuk-bahan.html

52
Pertemuan 10
Pengenalan dan penilaian parameter tempat-tempat umum

a. Pengertian Sanitasi Tempat Tempat Umum


Definisi sanitasi menurut WHO adalah usaha pencegahan/ pengendalian semua
faktor lingkungan fisik yang dapat memberikan pengaruh terhadap manusia terutama
yang sifatnya merugikan/ berbahaya terhadap perkembangan fisik , kesehatan dan
kelangsungan hidup manusia.
Definisi Tempat-Tempat Umum (TTU) adalah suatu tempat dimana umum (semua
orang) dapat masuk ke tempat tersebut untuk berkumpul mengadakan kegiatan baik
secara insidentil maupun terus menerus, (Suparlan 1977).

Suatu tempat dikatakan tempat umum bila memenuhi kriteria:


1. Diperuntukkan masyarakat umum.
2. Mempunyai bangunan tetap/ permanen.
3. Tempat tersebut ada aktivitas pengelola,pengunjung/ pengusaha.
4. Pada tempat tersebut tersedia fasilitas :
a. Fasilitas kerja pengelola.
b. Fasilitas sanitasi, seperti penyediaan air bersih, bak sampah, WC/ Urinoir, kamar
mandi, pembuangan limbah.
Jadi sanitasi tempat-tempat umum adalah suatu usaha untuk mengawasi dan mencegah
kerugian akibat dari tempat-tempat umum terutama yang erat hubungannya dengan
timbulnya atau menularnya suatu penyakit. Untuk mencegah akibat yang timbul dari
tempat-tempat umum.
Usaha-usaha yang dilakukan dalam sanitasi tempat-tempat umum dapat berupa :
1. Pengawasan dan pemeriksaan terhadap factor lingkungan dan factor manusia yang
melakukan kegiatan pada tempat-tempat umum.
2. Penyuluhan terhadap masyarakat terutama yang menyangkut pengertian dan
kesadaran masyarakat terhadap bahaya-bahaya yang timbul dari tempat-tempat umum.
Peran sanitasi tempat-tempat umum dalam kesehatan masyarakat adalah usaha untuk
menjamin :
1. Kondisi fisik lingkungan TTU yang memenuhi syarat :
a. Kualitas kesehatan.
b. Kualitas sanitasi.
2. Psikologis bagi masyarakat :
a. Rasa keamanan (security) : bangunan yang kuat dan kokoh sehingga tidak
menimbulkan rasa takut bagi pengunjung.
b. Kenyamanan (confortmity) : misalnya kesejukkan.
c. Ketenangan (safety) : tidak adanya gangguan kebisingan, keramaian kendaraan.
B. Dasar Pengawasan Tempat-Tempat Umum
Pelaksanaan pengawasan tempat-tempat umum mengacu pada Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, terutama pada pasal-pasal berikut :

53
1. Pasal 22 ayat 2, menyebutkan bahwa kesehatan lingkungan dilaksanakan terhadap
tempat-tempat umum, lingkungan pemukiman, lingkungan kerja, angkutan umum dan
lingkungan lainnya.
2. Pasal 22 ayat 3 tentang lingkup kesehatan lingkungan, disebutkan bahwa kesehatan
lingkungan meliputi penyehatan air, udara, pengamanan limbah padat, limbah cair,
limbah gas, radiasi dan kebisingan, pengendalian vector penyakit dan penyehatan atau
pengamanan lainnya.
3. Pasal 22 ayat 4, menyebutkan bahwa yang wajib menyelenggarakan lingkungan
yang sehat antara lain :
a. Tempat yang dikelola secara komersial
b. Memiliki resiko bahaya kesehatan yang tinggi
c. Tempat pelayanan yang memiliki jumlah tenaga kerja tertentu
d. Tempat yang mudah terjangkit penyakit
e. Tempat yang intensites jumlah dan waktu kunjungan tinggi
C. Macam-macam Tempat Umum
1. Masjid
2. Gereja
3. Pasar
4. Salon kecantikan
5. Rumah Makan
6. Terminal
7. Sekolah dasar
8. Hotel, dll.

http://rahmakesling.blogspot.com/2014/03/sanitasi-tempat-tempat-umum-ttu.html

54
Pertemuan 11
Analisis kualitas lingkungan tempat pembuangan akhir sampah

Sampah merupakan material sisa yang sudah tidak dipakai, tidak disenangi atau
sesuatu yang harus dibuang, yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh
manusia tetapi bukan untuk kegiatan biologis. Sampah sampai saat ini selalu menjadi
masalah; sampah dianggap sebagai sesuatu yang kotor dan harus dibuang. Bila dibuang
sembarangan akan menjadi sumber pencemaran lingkungan dan sumber penyakit bagi
manusia. Dalam hal ini keberadaan tempat pembuangan akhir (TPA) sangat diperlukan
oleh suatu daerah, karena sampah senantiasa diproduksi oleh penduduk dalam segala
aktivitasnya. Selama penduduk terus berkembang maka produksi sampah akan semakin
besar. Sesuai dengan standar kota sedang, yaitu tingkat timbulan sampah sebanyak
3liter/orang/hari, Kota Bengkulu dengan jumlah penduduk 360.772 jiwa,
menghasilkan1.082,32 m3/hr timbulan sampah. Jumlah ini didapatkan dari jumlah
penduduk dikalikan 3/1000 (m3/hr). Data ini menggambarkan banyak sampah yang ada
dikota Bengkulu. Sampah inilah yang nantinya akan menumpuk di TPA yang ada di
Bengkulu. Sampah yang tidak terkelola dengan baik akan menimbulkan masalah bagi
lingkungan dan masyarakat. Oleh karena itu, dalam menentukan dan pembangunan
sebuah TPA sampah perlu diperhatikan dampak potensial yang dari keberadaan TPA
tersebut.

a. Pendahuluan
Sampah adalah sesuatu yang sering kita jumpai di sekeliling kita banyak sampah
berhamburan ataupun tercecer di jalan-jalan, sekeliling rumah, pasar semua itu sudah
tidak asing lagi bagi kita rasakan. Jika mendengar istilah sampah, pasti yang terlintas
dalam benak kita adalah setumpuk barang-barang atau pun benda-benda yang tak layak
guna dan menimbulkan aroma bau busuk yang sangat menyengat. Sampah diartikan
sebagai material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses. Secara
singkat Chandra (2007) mengemukakan, Sampah adalah sesuatu yang tidak digunakan,
tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang berasal dari kegiatan manusia
dan tidak terjadi dengan sendirinya. Dalam kehidupan manusia, sampah dalam jumlah
besar datang dari aktivitas industri, misalnya pertambangan, manufaktur, dan konsumsi.
Hampir semua produk industri akan menjadi sampah pada suatu waktu, dengan jumlah
sampah yang kira- kira mirip dengan jumlah konsumsi. Laju pengurangan sampah lebih
kecil dari pada laju produksinya. Hal inilah yang menyebabkan sampah semakin
menumpuk di setiap penjuru kota.
Besarnya timbunan sampah yang tidak dapat ditangani tersebut akan menyebabkan
berbagai permasalahan baik langsung mau pun tidak langsung bagi penduduk kota
apalagi daerah di sekitar tempat penumumpukan. Dampak langsung dari penanganan
sampah yang kurang bijaksana diantaranya adalah timbulnya berbagai penyakit menular
maupun penyakit kulit serta gangguan pernafasan, sedangkan dampak tidak langsung
diantaranya adalah bahaya banjir yang disebabkan oleh terhambatnya arus air di sungai
karena terhalang timbunan sampah yang dibuang ke sungai. Selain penumpukan di
55
tempat pembuangan sementara (TPS), jumlah sampah pun akan semakin meningkat di
tempat pembuangan akhir (TPA).
Tempat pembuangan akhir (TPA) atau tempat pembuangan sampah (TPS) ialah tempat
untuk menimbun sampah dan merupakan bentuk tertua perlakuan sampah. TPA dapat
berbentuk tempat pembuangan dalam (di mana pembuang sampah membawa sampah
dari tempat produksi), begitupun tempat yang digunakan oleh produsen. Adapun
dampak-dampak yang diperkirakan timbul akibat adanya TPA sampah sangat beragam,
baik persoalan pra atau pasca berdirinya TPA tersebut. Dampak tersebut digambarkan
pada tabel berikut:

b. Isi Tulisan
Kota Bengkulu terdiri dari 4 kecamatan yaitu Kecamatan Gading Cempaka, Teluk
Segara, Bengkahulu, dan Selebar seluas 14.482 Ha dengan jumlah penduduk
keseluruhan sejumlah 360.772 jiwa. (Bappeda Kota Bengkulu (Data Usulan DAU th.
2004). Dengan asumsi timbulan sampah untuk kota sedang sebesar 3 liter/orang/hari,
maka kebutuhan komponen persampahan Kota Bengkulu disajikan dalam tabel berikut.
Data di atas menggambarkan perbandingan jumlah sampah yang dihasilkan
penduduk dengan jumlah sampah yang dapat ditangani oleh dinas kebersihan. Terlihat
masih begitu banyak sampah yang belum tertangani. Tidak hanya sampai disitu, dari
data tersebut kita bisa berkesimpulan, begitu banyak penumpukan sampah pada TPA.
Ini menggambarkan bahwa daya tampung TPA kota Bengkulu sudah over capacity.
Data tahun 2013 menyebutkan kota Bengkulu menghasilkan sekitar 875 meter kubik
sampah organik perhari.

c. Kondisi TPA kota Bengkulu


Lokasi TPA merupakan tempat pembuangan akhir sampah yang akan menerima
segala resiko akibat pola pembuangan sampah terutama yang berkaitan dengan
kemungkinan terjadinya pencemaran lindi (leachate) ke badan air maupun air tanah,
pencemaran udara oleh gas dan efek rumah kaca serta berkembang biaknya vector
penyakit seperti lalat (Judith, 1996). Menurut Qasim (1994) dan Thobanoglus (1993),
potensi pencemaran leachate maupun gas dari suatu landfill kelingkungan sekitarnya
cukup besar mengingat proses pembentukan leachate dan gas dapat berlangsung dalam
waktu yang cukup lama yaitu 20-30 tahun setelah TPA ditutup.
Saat ini kota Bengkulu memiliki satu TPA di daerah Air Sebakul dengan luas 11
hektare. TPA ini terletak di Kecamatan Selebar, dengan jarak ke pemukiman penduduk
4 km. sistem TPA ini berupa sistem open dumping yaitu penimbunan sampah secara
terbuka pada areal terbuka sehingga menyerupai gunungan sampah (Menurut
Abijuwono dalam Nandi, 2005)

d. TPA open dumping di Kota Bengkulu


Dampak Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah di Kota Bengkulu Terhadap
Lingkungan Sekitar

56
Keberadaan TPA ini tentunya sangat mempengaruhi lingkungan disekitar TPA tersebut.
Dampak tersebut ada yang negatif dan ada juga yang positif .

1. Sampah sebagai bahan pencemar lingkungan


Sampah yang tidak dikelola dengan baik akan menjadi penyebab gangguan dan ketidak
seimbangan lingkungan. Sampah padat yang menumpuk ataupun yang berserakan
menimbulkan kesan kotor dan kumuh. Sehingga nilai estetika pemukiman dan kawasan
di sekitar sampah terlihat sangat rendah. Bila di musim hujan, sampah padat dapat
memicu banjir; maka di saat kemarau sampah akan mudah terbakar. Kebakaran sampah,
selain menyebabkan pencemaran udara juga menjadi ancaman bagi pemukiman.
a. Pencemaran udara
Sampah (organik dan padat) yang membusuk umumnya mengeluarkan gas seperti
methan (CH4) dan karbon dioksida (CO2) serta senyawa lainnya. Secara global, gas-gas
ini merupakan salah satu penyebab menurunnya kualitas lingkungan (udara) karena
mempunyai efek rumah kaca (green house effect) yang menyebabkan peningkatan suhu,
dan menyebabkan hujan asam. Sedangkan secara lokal, senyawa-senyawa ini, selain
berbau tidak sedap / bau busuk, juga dapat mengganggu kesehatan manusia. Sampah
yang dibuang di TPA pun masih tetap berisiko; karena bila TPA ditutup atau ditimbun
terutama dengan bangunan akan mengakibatkan gas methan tidak dapat keluar ke udara.
Gas methan yang terkurung, lama kelamaan akan semakin banyak
sehingga berpotensi menimbulkan ledakan. Hal seperti ini telah terjadi di sebuah TPA
di Bandung, sehingga menimbulkan korban kematian.
b. Pencemaran air
Proses pencucian sampah padat oleh air terutama oleh air hujan merupakan sumber
timbulnya pencemaran air, baik air permukaan maupun air tanah. Akibatnya, berbagai
sumber air yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari (sumur) di daerah pemukiman
telah terkontaminasi yang mengakibatkan terjadinya penurunan tingkat kesehatan
manusia / penduduk. Pencemaran air tidak hanya akibat proses pencucian sampah padat,
tetapi pencemar terbesar justru berasal dari limbah cair yang masih mengandung zat-zat
kimia dari berbagai jenis pabrik dan jenis industri lainnya. Air yang tercemar tidak
hanya air permukaan saja, tetapi juga air tanah; sehingga sangat mengganggu dan
berbahaya bagi manusia.
c. Penyebab banjir
Fisik sampah (sampah padat), baik yang masih segar maupun yang sudah membusuk;
yang terbawa masuk ke got / selokan dan sungai akan menghambat aliran air dan
memperdangkal sungai. Pendangkalan mengakibatkan kapasitas sungai akan berkurang,
sehingga air menjadi tergenang dan meluap menyebabkan banjir. Banjir tentunya akan
mengakibatkan kerugian secara fisik dan mengancam kehidupan manusia (hanyut /
tergenang air). Tetapi yang paling meresahkan adalah akibat lanjutan dari banjir yang
selalu membawa penyakit ( Tobing, 2005).
2. Sampah sebagai sumber penyakit
Sampah merupakan sumber penyakit, baik secara langsung maupun tak langsung.
Secara langsung sampah merupakan tempat berkembangnya berbagai parasit, bakteri
57
dan patogen; sedangkan secara tak langsung sampah merupakan sarang berbagai vektor
(pembawa penyakit) seperti tikus, kecoa, lalat dan nyamuk. Sampah yang membusuk;
maupun kaleng, botol, plastik; merupakan sarang patogen dan vektor penyakit. Berbagai
penyakit yang dapat muncul karena sampah yang tidak dikelola antara lain adalah,
diare, disentri, cacingan, malaria, kaki gajah (elephantiasis) dan demam berdarah.
Penyakit penyakit ini merupakan ancaman bagi manusia, yang dapat menimbulkan
kematian. “Warga Air Sebakul lokasi TPA menyatakan resah dengan makin banyaknya
lalat didekat pemukiman warga akibat dekatnya lokasi dengan pemukiman
warga.”(http://www.bengkulu-online.com/j0/index.php/beritabengkulu/2288-kota-
bengkulu-hasilkan-sampah-875-kubik-per-hari,diakses tanggal 19 Maret 2014).

Konsepsi Pengelolaan TPA sampah Kota Bengkulu yang Berkelanjutan


Dalam rangka mengurangi terjadinya dampak potensial yang mungkin terjadi selama
kegiatan pembuangan akhir berlangsung diperlukan pengamanan lingkungan TPA
(dampak potensial dapat dilihat pada tabel 1). Upaya tersebut meliputi :
􀂄 Penentuan lokasi TPA yang memenuhi syarat (SNI No. 03-3241-1997 tentang Tata
Cara Pemilihan Lokasi TPA).
􀂄 Pembangunan fasilitas TPA yang memadai, pengoperasian TPA sesuai dengan
persyaratan dan reklamasi lahan bekas TPA sesuai dengan peruntukan lahan dan tata
ruang .
􀂄 Monitoring pasca operasi terhadap bekas lahan TPA.
Selain itu perlu juga dilakukan perbaikan manajemen pengelolaan TPA secara lebih
memadai terutama ketersediaan SDM yang handal serta ketersediaan biaya operasi dan
pemeliharaan TPA. Menurut Tobing (2005) Pengelolaan sampah, tidak harus dilakukan
dengan memperbanyak tempat pembuangan sampah, tetapi akan lebih efektif dengan
memanfaatkannya kembali. Sampah an-organik telah banyak dimanfaatkan dengan
mendaur ulang dan memanfaatkannya kembali, dan sampah organik juga sangat
potensial untuk diolah dan dimanfaatkan kembali.

e. Kesimpulan
Sampah pada dasarnya merupakan suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari
suatu sumber hasil aktivitas manusia maupun proses-proses alam yang tidak mempunyai
nilai ekonomi bahkan dapat mempunyai nilai ekonomi yang negatif karena dalam
penanganannya baik untuk membuang atau membersihkannya memerlukan biaya yang
cukup besar.
Tempat pembuangan akhir (TPA) Sampah Air Sebakul yang merupakan satu-
satunya TPA di kota Bengkulu, pada kenyataannya sudah menerapkan system Open
Dumping, pada kenyataannya masih memberikan dampak negatif pada lingkungan,
sehingga secara operasional diperlukan penyempurnaan melalui proses monitoring dan
evaluasi secara berkala. Dampak negatif yang perlu menjadi perhatian serius adalah
berkembangnya berbagai parasit, bakteri dan patogen; sedangkan secara tak langsung
sampah merupakan sarang berbagai vektor (pembawa penyakit) seperti tikus, kecoa,
lalat dan nyamuk. Dimana sudah dirasakan lansungakibatnya oleh penduduk sekitar
58
lokasi TPA. Strategi pengelolaan sistem lama ini perlu di ubah, karena disamping
memerlukan biaya operasioanl dan lahan bagi pembuangan akhir yang besar juga
menimbulkan banyak dampak yang kurang menguntungkan bagi masyarakat serta akan
menumbuhkan masyarakat yang kurang peduli terhadap lingkungan.

Aboejuwono,A. 1985. Pengelolaan Sampah Menuju ke Sanitasi Lingkungan dan


Permasalahannya;Wilayah DKI Jakarta Sebagai Suatu Studi Kasus. Jakarta
Aspek_lingkungan_tpa. diakses tanggal 19 Maret 2014
Bappeda Kota Bengkulu (Data Usulan DAU th. 2004).

59
Pertemuan 12
Survei Vektor
a. Dasar Hukum
Didalam keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 374/ Menkes/ Per/ III/ 2010
tentang Pengendalian vektor yang menyebutkan bahwa untuk mengetahui jenis vektor
yang beresiko menularkan penyakit maka perlu dilakukan survey vektor.
Survey vektor merupakan semua kegiatan atau tindakan yang ditujukan untuk
mengidentifikasi jenis vektor sehingga dapat diketahui resiko untuk terjadinya
penularan penyakit tular vektor di suatu wilayah dan menghindari kontak masyarakat
dengan vektor sehingga penularan penyakit dapat dicegah. Survey vektor dapat
dilakukan dengan metode penangkapan nyamuk, perlakuan dan identifikasi.

b. Gambaran Umum Singkat


Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) merupakan salah satu daerah endemis
malaria yang ada di Provinsi Sumatera Selatan. Berdasarkan laporan penemuan kasus
malaria tahun 2014 ditemukan 5.778 kasus klinis dengan jumlah positif sebanyak 515
kasus (API 1,5 per 1000 pddk). Kecamatan Pengandonan sebagai bagian dari Kab.OKU
termasuk wilayah dengan kasus malaria sedang (Medium Case Incidence) dengan API
1,7 per 1000 pddk. Dari wilayah kecamatan tersebut, Desa Gunung Kuripan termasuk
desa mempunyai riwayat endemis merah pada tahun 2013 dengan API = 22 per 1000
penduduk.
Kondisi geografis Desa Gunung Kuripan di Kecamatan Pengandonan yang terdiri dari
persawahan, perkebunan dan hutan merupakan habitat alami dari vektor nyamuk
Anopheles. Dengan kondisi geografis tersebut dan ditemukannya kasus malaria di desa
setempat, maka perlu dilakukan survey vektor sebagai salah satu upaya peningkatan
informasi dan data terbaru tentang keberadaan vektor yang kemungkinan dapat
menimbilkan penularan malaria setempat.

c. Tujuan
1. Tujuan Umum
- Mendapatkan informasi dan data vektor nyamuk potensial penular penyakitdi Desa
Kuripan, Kecamatan Pengandonan, Kab.OKU, Prov.Sumsel
2. Tujuan Khusus
- Menurunkan populasi vektor hingga ke batas yang tidak berisiko bagi manusia.
- Memudahkan pelaksanaan pemberantasan penyakit di lokasi yang mempunyai
vektor potensial

d. Pengertian dan Ruang Lingkup


1. Pengertian
a. Vektor adalah artropoda yang dapat menularkan, memindahkan dan atau menjadi
sumber penular penyakit terhadap manusia.

60
b. Survey vektor adalah semua kegiatan atau tindakan yang ditujukan untuk
mengidentifikasi genera vektor di suatu wilayah untuk menghindari kontak masyarakat
dengan vektor sehingga penularan penyakit dapat dicegah
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup kegiatan meliputi kegiatan Survey vektor.

e. Metode dan Langkah-langkah


1. Metode
a. Malam hari
Kegiatan lapangan penangkapan nyamuk Anopheles dewasa dilakukan dengan 1 lokasi
(rumah) 2 orang penangkap nyamuk :
- 1 orang di luar rumah dengan waktu penangkapan 40 menit umpan badan di luar
rumah, 10 menit di sekitar kandang, 10 menit istrihat.
- 1 orang penangkapan nyamuk dengan umpan badan di dalam rumah selama 40
menit, 10 menit di dinding dalam rumah, 10 menit istirahat.
b. Pagi hari
Dilakukan penangkapan nyamuk dewasa yang istirahat (resting) di sekitar rumah dan
penangkapan nyamuk di sekitar kandang. Penangkapan larva dilakukan di sekitar
pemukiman warga berupa kolam dan persawahan, serta kubangan air di sekitar kandang
ternak kerbau/sapi.

2. Langkah-langkah
a. Persiapan pelaksana, bahan dan alat
Pelaksana
- 1 orang Staf Subdit Vektor Dirjen PP&PL Kemenkes RI
- 1 orang Staf BTKL Palembang
- 1 orang Pengelola Program Malaria Dinkes Prov.Sumsel
- 2 orang Petugas Dinkes Kab.OKU
- 2 orang Petugas Puskesmas Pengandonan
- 2 orang penangkap nyamuk (collector)
Alat /bahan yang digunakan :
- Mikroskop stereo
- Aspirator
- Paper cup
- Kain kasa
- Karet gelang
- Kapas
- Alcohol
- Chloroform
- Petridish
- Pinset
- Jarum seksio
- Cryo tube
61
- Botol larva
- Senter
- Cidukan larva
- lembar hasil penangkapan nyamuk.
b. Penentuan lokasi penangkapan nyamuk
Lokasi penangkapan larva dan nyamuk dewasa terdiri 2 (dua) lokasi dimana terdapat
ternak di sekitar pemukiman.
c. Pelaksanaan survey
Penangkapan larva dilakukan pada pagi hari, sedangkan penangkapan nyamuk
dilakukan pada malam hari dari pukul 19.00 sd 24.00 WIB.
d. Identifikasi nyamuk
Identifikasi dilakukan menggunakan mikroskop stereo.

62
f. Hasil Penangkapan Nyamuk
Kondisi geografis Desa Gunung Kuripan di Kecamatan Pengandonan yang terdiri
dari persawahan, perkebunan dan hutan merupakan habitat alami dari vektor nyamuk
Anopheles. Adanya ternak di sekitar pemukiman dapat menimbulkan keberadaan
nyamuk Anopheles. Selain itu, keberadaan kolam dan genangan di sekitar kandang
ternak juga dapat menjadi tempat perindukan nyamuk.

Berdasarkan hasil penangkapan nyamuk yang dilakukan di Desa Gunung Kuripan pada
malam dan pagi hari telah didapatkan beragam jenis nyamuk, berupa Aedes, Culex dan
Anopheles. Untuk jenis Anopheles dengan beragam spesies, diantaranya : An.vagus,
An.barbirostris, An.kochi,An.anularis, An.separatus dan An.nigerrimus. Larva
Anopheles juga ditemukan di genangan air/ kolam di sekitar kandang ternak dan
pemukiman warga.

63
Dengan banyaknya larva dan nyamuk Anopheles dewasa yang ditemukan di sekitar
pemukiman serta adanya kasus malaria pada warga setempat, maka dikhawatirkan
terjadinya penularan malaria setempat. Hal ini perlu ,mendapatkan perhatian dari warga
setempat melalui perangkat desa dan pemerintah daerah setempat.

g. Rekomendasi
Sehubungan dengan ditemukannya larva dan nyamuk Anopheles di Desa Gunung
Kuripan, maka dapat diusulkan beberapa rekomendasi upaya pencegahan penularan
malaria sebagai berikut ;
1. Modifikasi Lingkungan
Dilakukan dengan menimbun genangan air, mengalirkan air kolam ke parit yang
mengalir dan membersihkan rumput/ tanaman air di sekitar pemukiman warga.
2. Pengendalian Biologis
Jika tidak memungkinkan untuk menimbun genangan air/ kolam, maka dapat dilakukan
dengan menebar ikan pemakan larva yaitu ikan lokal (sepat,betok), ikan gupi, nila atau
mujair.
3. Pengendalian Kimia

Merupakan pilihan terakhir dari pengendalian, yaitu dengan menabur larvasida


pembasmi jentik Anopheles. Larvasida yang digunakan berupa Altosid
(metophrene1,5%).

http://diditharyanto1981.blogspot.com/2015/12/survey-vektor-malaria-2015.html

64
Pertemuan 13
Biomonitoring dan Indikator perubahan lingkungan
a. Biomonitoring
Secara umum istilah biomonitoring dipakai sebagai alat atau cara yang penting
dan merupakan metode baru untuk menilai suatu dampak pencemaran lingkungan
(Mukono, 2006). Berbagai ahli lingkungan telah memberikan pendapatnya tentang apa
itu biomonitoring. Berikut ini diungkapkan pengertian biomonitoring :
1. Biomonitoring merupakan teknik evaluasi lingkungan berdasarkan analisis pada
jaringan dan molekul organisme yang terpapar logam berat (Zhou et al, 2008
dalam Rumahlatu,
2011).

2. Biomonitoring is the use of living material to confirm or validate that


previously established quality control conditions important to living systems are
being me (Cairns, 2005 dalam Rumahlatu, 2011).
3. Biomonitoring sebagai spesies-spesies yang dapat memberikan informasi terkait
dengan status pencemaran lingkungan oleh polutan tertentu (Ayeni et al, 2010
dalam Rumahlatu,2011).
Biomonitoring adalah metode pemantauan kualitas air dengan menggunakan
indikator biologis (Bioindikator). Metode ini telah banyak dikembangkan di beberapa
negara. Bioindikator adalah kelompok atau komunitas organisme yang keberadaannya
atau perilakunya di alam berhubungan dengan kondisi lingkungan, apabila
terjadi perubahan kualitas air maka akan berpengaruh terhadap keberadaaan dan
perilaku organisme tersebut, sehingga dapat digunakan sebagai penunjuk kualitas
lingkungan.
Kelompok organisme petunjuk yang umum digunakan dalam pendugaan
kualitas air adalah:
1. Plankton: mikroorganisme yang hidup melayang-layang di dalam air.
2. Periphyton: alga, cyanobacter, mikroba dan detritus yang hidup di dalam air.
3. Mikrobentos: mikroorganisme yang hidup di dalam atau di permukaan
air.
4. Makrobentos: makroinvertebrata yang hidup di dalam atau di permukaan
air.
5. Makrophyton: tumbuhan air
6. Nekton: ikan

Kelompok tersebut digunakan dalam pendugaan kualitas air karena dapat


mencerminkan pengaruh perubahan kondisi fisik dan kimia yang terjadi di perairan
dalam selang waktu tertentu (Rahayu,dkk, 2009).
Metode biomonitoring dengan memanfaatkan respon biologis secara
sistematis, dengan tujuan untuk mengetahui perubahan lingkungan yang digunakan
sebagai bioindikator, salah satunya adalah makroinvertebrata.

65
b. Makroinvertebrata Sebagai Bioindikator Dalam Penentuan Status Kualitas
Air Sungai
Makroinvertebrata adalah hewan tidak bertulang belakang yang dapat dilihat
dengan mata telanjang. Makroinvertebrata air merupakan komponen biotik pada
ekosistem perairan yang dapat memberikan gambaran mengenai kondisi fisik, kimia
dan biologi suatu perairan, sehingga digunakan sebagai indikator kualitas air sungai
(Rahayu,dkk,

2009). Selain itu, makroinvertebrata air memiliki sifat-sifat sebagai berikut:

1. Sangat peka terhadap perubahan kualitas air tempat hidupnya, sehingga akan
mempengaruhi komposisi dan kelimpahannya,
2. Ditemukan hampir di semua perairan,
3. Jenisnya cukup banyak dan memberikan respon yang berbeda akibat
gangguan yang berbeda,
4. Pergerakannya terbatas, sehingga dapat sebagai penunjuk keadaan lingkungan
setempat,
5. Tubuhnya dapat mengakumulasi racun, sehingga dapat sebagai petunjuk
pencemaran,
6. Mudah dikumpulkan dan diidentifikasi paling tidak sampai tingkat famili,
7. Pengambilan contoh mudah dilakukan, karena memerlukan peralatan
sederhana, murah dan tidak berpengaruh terhadap makhluk hidup lainnya.

Keuntungan lain dari menggunakan makroinvertebrata sebagai bioindikator


pencemaran adalah makroinvertebrata hidup melekat pada tanah atau di dalam tanah
dan motilitasnya rendah sehingga dia tidak mudah bergerak dan berpindah. Selain
itu juga penentuan kualitas air berdasarkan makroinvertebrata sudah pernah diterapkan
untuk kualitas Sungai Surabaya. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah
BBI atau FBI dimana dengan metode ini menunjukkan kualitas sungai Surabaya
dan Eropa (Rini. Ecoton, 2011).

Jenis-jenis makroinvertebrata yang tersebar diseluruh dunia mencapai 2000


spesies yang dapat dijadikan sebagai bioindikator. Dimana setiap makroinvertebrata
memiliki respon yang berbeda-beda adalah sebagai berikut :

66
Gambar 2.1.4 Makroinvertebrata sebagai bioindikator

Apabila terdapat bahan pencemar dalam perairan, maka hewan yang


sangat peka akan hilang karena tidak mampu bertahan hidup.
Jenis-jenis makroinvertebrata yang sangat peka terhadap bahan pencemar antara lain
larva lalat batu (Plecoptera) dan larva ulat kantong (Trichoptera). Karena kepekaannya
terhadap pencemar, maka jenis-jenis tersebut hanya dapat ditemukan pada air
berkualitas sangat baik atau belum tercemar. Bila kedua makroinvertebrata di atas
masih ditemukan berarti kualitas perairan tersebut masih sangat baik.

Jenis makroinvertebrata lain seperti larva kumbang (Coleoptera), nimfa capung


(Odonata), keong, siput dan udang memiliki kepekaan sedang. Apabila pada perairan
ditemukan jenis-jenis tersebut ada indikasi bahwa telah ada bahan pencemar.
Sementara itu, jenis makroinvertebrata seperti cacing rambut dan lintah termasuk jenis
yang tidak peka terhadap bahan pencemar. Oleh karena itu hewan tersebut masih
mampu bertahan pada perairan yang sudah banyak tercemar atau dalam kondisi
kualitas yang buruk. Dengan demikian, apabila pada perairan hanya ditemukan cacing
rambut dan lintah, berarti perairan tersebut sudah sangat tercemar (Laporan
Pengolahan data PPLH, 2009). Setiap makroinvertebrata memiliki tingkat
kepekaan yang berbeda-beda, sehingga dapat diketahui status kualitas air dengan
melihat keberadaan makroinvertebrata. Via- Norton, A. Maher and D. Hoffman (2002)
berdasarkan kualitas perairan, khususnya perairan tawar, dapat ditemukan spesies
indikator sebagai berikut :

c. Indikator untuk perairan yang berkualitas baik :


1. Kelas serangga
Stonefly Nymphs (Order Plecoptera)
Common Stonefly Nymph (Family Perlidae)

Roach-like Stonefly Nymph (Family Peltoperlidae) Slinder winter


Stonefly Nymph (Family Capniidae)
Mayfly Nymphs (Order Ephemeroptera)

Brush-Legged Mayfly Nymph (Family Oligoneuridae) Flatheaded Mayfly


Nymph (Family Heptageniidae) Burrowing Myfly Nymph (Family
Ephemeridae)

67
Caddisfly Larvae (Order Trichoptera)
Net-Spinning Caddis Larva (Family Philopotamidae) Fingernet Caddis
Larva (Family Philopotamidae) Case-making Caddis Larva (Various
Families)
Free-living Caddis Larva (Family Ryacophilidae) Dobsonfly (Order
Megaloptera, Family Corydalidae) Warter Penny (Order Coleoptera,
Family Psephenidae) Riffle Beetle (Order Coleoptera, Family Elmidae)
2. Kelas lain
Gilled Snail (Order Gastropoda, Family Viviparidae) B.
Indikator untuk perairan berkualitas sedang (moderat) :

1. Kelas Serangga

Dragonfly Nymph (Order Odonata, Suborder Anisoptera) Damsefly


Nymph (Order Odonata, Suborder Zygoptera) Watersnipe Fly Larvae
(Order Diptera, Family Athericidae) Alderfly Larvae (Order
Megaloptera, Family Sialidae) Cranefly Larvae (Order Diptera, Family
Tipulidae)

Beetle Larvae (Order Coleoptera)

Whirligig Beetle Larva (Family Gyrinidae) Predaceous Diving Beetle


Larva (Family Dytiscidae) Crawling Water Beetle Larva (Family
Haliplidae)
2. Kelas lain

Scuds (Order Amphipoda, Family Gammaridae) Sowbugs


(Order Isopoda, Family Asellidae) Crayfish (Order
Decapoda, Family Cambaridae)
C. Indikator untuk perairan berkualitas buruk

1. Kelas Serangga

Midge Larva (Order Diptera, Family Chironomidae) Blackfly


Larva (Order Diptera, Family Simulidae)
2. Kelas lain

Pouch Snail (Order Gastropoda, Family Physidae) Planorbid Snail


(Order Gastropoda, Family Planorbidae) Leech (Class Hirudinea)
Aquatic Worm (Class Oligochaeta)

Makroinvertebrata dapat memberikan hasil yang akurat, mudah dilakukan, dan


tidak membutuhkan peralatan yang rumit dan mahal seperti halnya
68
pemantauan kualitas air dengan mengukur parameter fisika kimia. Hal ini menjadi
keunggulan utama pemantauan makroinvertebrata, sehingga berpotensi sebagai
perangkat pemantauan partisipatif yang dapat dilakukan oleh berbagai kelompok
masyarakat yang peduli pada kelestarian sungai, baik yang berusia tua maupun muda.
Metode biomonitoring dengan memanfaatkan respon biologis secara
sistematis, dengan tujuan untuk mengetahui perubahan lingkungan yang digunakan
sebagai bioindikator, salah satunya adalah makroinvertebrata.

69
Permuan 14
Strategi Dan Implementasi Dalam Penanganan Masalah Kualitas Lingkungan

STRATEGI PENGELOLAAN LINGKUNGAN


a. Pendekatan Kapasitas Daya Dukung
Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk
mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Penentuan daya dukung
lingkungan hidup dilakukan dengan cara mengetahui kapasitas lingkungan alam dan
sumber daya untuk mendukung kegiatan manusia/penduduk yang menggunakan ruang
bagi kelangsungan hidup. Besarnya kapasitas tersebut di suatu tempat dipengaruhi oleh
keadaan dan karakteristik sumber daya yang ada di hamparan ruang yang bersangkutan.
Kapasitas lingkungan hidup dan sumber daya akan menjadi faktor pembatas dalam
penentuan pemanfaatan ruang yang sesuai.
Daya dukung lingkungan hidup terbagi menjadi 2 (dua) komponen, yaitu
kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas tampung limbah (assimilative
capacity). Dalam pedoman ini, telaahan daya dukung lingkungan hidup terbatas pada
kapasitas penyediaan sumber daya alam, terutama berkaitan dengan kemampuan lahan
serta ketersediaan dan kebutuhan akan lahan dan air dalam suatu ruang/wilayah. Oleh
karena kapasitas sumber daya alam tergantung pada kemampuan, ketersediaan, dan
kebutuhan akan lahan dan air, penentuan daya dukung lingkungan hidup dalam
pedoman ini dilakukan berdasarkan 3 (tiga) pendekatan, yaitu:
a) Kemampuan lahan untuk alokasi pemanfaatan ruang.
b) Perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan lahan.
c) Perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan air.
Agar pemanfaatan ruang di suatu wilayah sesuai dengan kapasitas lingkungan
hidup dan sumber daya, alokasi pemanfaatan ruang harus mengindahkan kemampuan
lahan. Perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan akan lahan dan air di suatu
wilayah menentukan keadaan surplus atau defisit dari lahan dan air untuk mendukung
kegiatan pemanfaatan ruang. Hasil penentuan daya dukung lingkungan hidup dijadikan
acuan dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah. Mengingat daya dukung
lingkungan hidup tidak dapat dibatasi berdasarkan batas wilayah administratif,
penerapan rencana tata ruang harus memperhatikan aspek keterkaitan ekologis,
efektivitas dan efisiensi pemanfaatan ruang, serta dalam pengelolaannya memperhatikan
kerja sama antar daerah.
Status daya dukung lahan diperoleh dari pembandingan antara ketersediaan
lahan (SL) dan kebutuhan lahan (DL).Penentuan daya dukung lahan dilakukan dengan
membandingkan ketersediaan dan kebutuhan lahan.
A. Bila SL > DL , daya dukung lahan dinyatakan surplus.
B. Bila SL < DL, daya dukung lahan dinyatakan defisit atau terlampaui.
Di dalam Ketentuan Umum UU RI no 23 tahun 1997 Pasal 1 Ayat 6 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, disebutkan bahwa daya dukung lingkungan hidup
adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan
makhluk hidup lain. Konsep tentang daya dukung sebenarnya berasal dari pengelolaan
70
hewan ternak dan satwa liar. Daya dukung itu menunjukkan kemampuan lingkungan
untuk mendukung kehidupan hewan yang dinyatakan dalam jumlah ekorpersatuan luas
lahan.

b. End Of Pipe
Pengolahan limbah (end-of-pipe) pada prinsipnya adalah proses perubahan dari
satu jenis fasa ke fasa yang lain. Misalnya pada pengolahan limbah cair industri,
kandungan pencemar dalam limbah umumnya diupayakan agar mengendap, sehingga
cairan yang keluar dari sistem pengolahan limbah sudah berkurang kandungan
pencemarannya. Namun masalahnya tidak selesai begitu saja. Endapan hasil olahan
tersebut pada dasarnya adalah limbah cair yang lebih kental (konsentrasi pencemarnya
lebih tinggi) yang berbentuk lumpur. Lumpur ini umumnya akan dikurangi kadar airnya
sehingga menghasilkan suatu padatan, yang masih mengandung pencemar dengan
konsentrasi tinggi. Dalam hal ini terjadi proses perubahan dari fasa cair ke fasa padat.
Contoh lain yang lebih menarik adalah pembakaran (inceneration) limbah
padat/sampah. Pembakaran tersebut akan mengubah limbah padat menjadi limbah gas
dan partikulat yang akan dilepaskan ke udara sekitar. Dengan kata lain, proses
insenerasi ini akan menimbulkan permasalahan pencemaran udara, umumnya scrubber.
Scrubber ini akan menyemprotkan air sehingga gas dan partikulat akan melarut.
Larutan, yang mengandung pencemar ini, kemudian ditampung untuk kemudian diolah
dan diperlakukan sebagai limbah cair.
Selain sebagai suatu sistem yang mengubah fasa, pengolahan limbah seringkali
adalah suatu bentuk perpindahan pencemaran dari suatu media ke media lainnya. Pada
contoh pengolahan limbah cair diatas, hasil olahan yang berbentuk padatan harus
dibuang ke landfill. Hal ini berarti memindahkan permasalahan dari pencemaran air ke
media lain, dalam hal ini tanah. Sedangkan pada contoh insinerator, permasalahannya
ternyata lebih kompleks. Insenerasi limbah pada yang bertujuan menghindari terjadinya
pencemaran tanah ternyata memindahkan masalah ke media lain, yaitu udara dan air.
Dari sisi ekonomi, pengolahan limbah juga kurang menguntungkan. Untuk
membangun suatu sistem pengolahan limbah yang baik, diperlukan biaya investasi yang
besar. Pada kasus industri kecil dan menengah, sering terjadi biaya pembangunan
instalasi lebih mahal dari investasi untuk industri itu sendiri. Di sisi lain, pada saat
pengoperasian sistem pengolahan, diperlukan biaya yang cukup besar. Pembelian bahan
kimia, listrik, air bersih, dan operator adalah beban yang harus ditanggung oleh
perusahaan. Celakanya, biaya-biaya ini pada dasarnya adalah waste , karena tidak
memberikan nilai tambah kepada efisiensi dan produktivitas perusahaan. Permasalahan
menjadi bertambah rumit karena pada saat ini di Indonesia sangat sulit ditemukan
pengolahan limbah yang mampu memberikan hasil yang memuaskan dan mampu
mencapai baku mutu secara konsisten yang semakin lama akan semakin ketat.
c. Konsep end-of-pipe treatment
Konsep end-of-pipe treatment menitik beratkan pada pengolahan dan
pembuangan limbah. Konsep ini pada kenyataannya tidak dapat sepenuhnya
memecahkan permasalahan lingkungan yang ada, sehingga pencemaran dan perusakan
71
masih terus berlangsung. Hal ini disebabkan karena dalam prakteknya pelaksanaan
konsep ini menimbulkan banyak kendala. Masalah utama yang dihadapi adalah
peraturan perundangan, masih rendahnya compliance atau pentaatan dan penegakan
hukum, masalah pembiayaan serta masih rendahnya tingkat kesadaran.
Kendala lain yang dihadapi oleh pendekatan end-of-pipe treatment adalah
sebagai berikut:
1. Pendekatan ini bersifat reaktif, yaitu bereaksi setelah limbah terbentuk.
2. Tidak efektif dalam memecahkan permasalahan lingkungan, karena pengolahan
limbah cair, padat atau gas memiliki resiko pindahnya polutan dari satu media ke media
lingkungan lainnya, dimana dapat menimbulkan masalah lingkungan yang sama
gawatnya, atau berakhir sebagai sumber pencemar secara tidak langsung pada media
yang sama.
3. Biaya investasi dan operasi tinggi, karena pengolahan limbah memerlukan biaya
tambahan pada proses produksi, sehingga biaya persatuan produk naik. Hal ini
menyebabkan para pengusaha enggan mengoperasikan peralatan pengolahan limbah
yang telah dimilikinya.
4. Pendekatan pengendalian pencemaran memerlukan berbagai perangkat peraturan,
selain menuntut tersedianya biaya dan sumber daya manusia yang handal dalam jumlah
yang memadai untuk melaksanakan pemantauan, pengawasan dan penegakkan hukum.
Lemahnya kontrol sosial, terbatasnya sarana dan prasarana serta kurangnya jumlah dan
kemampuan tenaga pengawas menyebabkan hukum tidak bisa ditegakkan.
Oleh karena banyaknya kendala yang dihadapi dalam menerapkan konsep ini
sehingga konsep ini bukan cara yang efektif dalam mengelola lingkungan, maka strategi
pengelolaan lingkungan telah dirubah ke arah pencegahan pencemaran yang
mengurangi terbentuknya limbah dan memfasilitasi semua pihak untuk mengelola
lingkungan secara hemat biaya serta memberikan keuntungan baik finansial maupun
non finansial.

d. Produksi Bersih
Di era globalisasi seperti sekarang ini pertumbuhan indusri pada berbagai sekala
menjadi suatu tren di berbagai negara mulai dari industri makanan, hingga indstri kimia.
Keberadaan industry dalam berbagai sekala dan jenis ditujukan sebagai solusi dalam
mengatasi persoaalan ekonomi pada masing-masing Negara.
Perkembangan pembangunan disamping meningkatkan kesejahteraan manusia
juga menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Industrialisasi dan
urbanisasi yang cepat di banyak negara juga telah mengakibatkan pencemaran yang
serius. Untuk mengatasi pencemaran yang dihasilkan, saat ini industri telah menitik
beratkan pada pengolahan limbah sebagai pengelolaan lingkungan pada proses tahap
akhir (end-of-pipe). Namun metoda pengolahan tahap akhir ini sangatlah mahal. Oleh
karena itu timbul pemikiran perlunya konsep pencegahan pencemaran, yang akhirnya
menuju kepada “Produksi Bersih”. Produksi bersih adalah alternatif untuk strategi
manajemen lingkungan. (Suhartini, 2008)

72
Produksi Bersih merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan
pendekatan secara konseptual dan operasional terhadap proses produksi dan jasa,
dimana dampaknya dari keseluruhan daur hidup produk terhadap lingkungan dan
manusia diupayakan sekecil mungkin. Strategi Produksi Bersih mempunyai arti yang
sangat luas karena didalamnya termasuk upaya pencegahan pencemaran dan perusakan
lingkungan melalui pilihan jenis proses, yang akrab lingkungan, minimisasi limbah,
analisis daur hidup dan teknologi bersih.
Produksi bersih adalah suatu program strategis yang bersifat proaktif yang
diterapkan untuk menselaraskan kegiatan pembangunan ekonomi dengan upaya
perlindungan lingkungan. Strategi konvensional dalam pengelolaan limbah didasarkan
pada pendekatan pengelolaan limbah yang terbentuk (end-of pipe treatment).
Pendekatan ini terkonsentrasi pada upaya pengolahan dan pembuangan limbah dan
untuk mencegah pencemaran dan kerusakan lingkungan. Strategi ini dinilai kurang
efektif karena bobot pencemaran dan kerusakan lingkungan terus meningkat.
Kelemahan yang terdapat pada pendekatan pengolahan limbah secara konvensional
adalah :
• Tidak efektif memecahkan masalah lingkungan karena hanya mengubah bentuk
limbah dan memindahkannya dari suatu media ke media lain.
• Bersifat reaktif yaitu bereaksi setelah terbentuknya limbah.
• Karakteristik limbah semakin kompleks dan semakin sulit diolah.
• Tidak dapat mengatasi masalah pencemaran yang sifatnya non-point sources
pollution.
• Inovestasi dan biaya operasi pengolahan limbah relatif mahal dan hal ini sering
dijadikan alasan oleh pengusaha untuk tidak membangun instalasi pengolahan limbah.
• Peraturan perundang-undangan yang ada masih terpusat pada pembuangan
limbah, belum mencakup upaya pencegahan. (Konsep Umum Produksi Bersih )
Dasar Hukum Pelaksanaan Produksi Bersih adalah UU RI No. 23 Tabun 1997
Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 14 dan Pasal 17. Pelaksanaan Produksi
Bersih juga tercantum di dalam Dokumen ISO 14001 Butir 3.13

e. Teknik Penerapan Teknologi Bersih


Secara garis besar pilihan penerapan produksi bersih dapat dikelompokkan
sebagai berikut :
1.Perubahan bahan Baku
a. Mengurangi atau menghilangkan bahan baku yang mengandung bahan berbahaya dan
beracun seperti logam berat dari zat warna pelarut (B3).
b.Menggunakan bahan baku yang kualitasnya baik dan murni untuk menghindari
komtaminan dalam proses.
2. Tata Cara Operasi dan Housekeeping
a. Mencegah kehilangan bahan baku, produk maupun energi dari pemborosan,
kebocoran dan tercecer.
b. Penanganan material untuk mengurangi kehilangan material akibat kesalahan
penanganan, habisnya waktu tinggal bagi bahan yang sensetif terhadap waktu.
73
c. Penjadwalan produksi membentu mencegah pembororsan (energi, material dan air)
dan koordinasi pengelolaan limbah.
d. Segregasi/ memisahkan limbah menurut jenisnya untuk mengurangi volume limbah
B3.
e. Mengembangkan manajemen perawatan sehingga mengurangi kehilangan akibat
kerusakan.
3. Penggunaan Kembali
a. Menggunakan kembali sisa air proses, air pendingin dan material lain didalam pabrik.
b. Mengambil kembali bahan buangan sebagai energi. enciptakan kegunaan limbah
sebagai produk lain yang dapat dimanfaatkan oleh pihak luar.
4. Perubahan Teknologi
a.Merubah peralatan, tata letak dan perpipaan untuk memperbaiki aliran proses dan
meningkatkan efesiensi.
b.Memeperbaiki kondisi proses sehingga meningkatkan kualitas produksi dan
mengurangi jumlah limbah.
5. Perubahan Produk
a. Merubah formulasi produk untuk mengurangi dampak lingkungan pada waktu
digunakan oleh konsumen.
b. Merancang produksi sedemikian rupa sehingga mudah untuk di daur ulang.
c. Mengurangi kemasan yang tidak perlu. (Artiningsih)

f. Prinsip-prinsip Produksi Bersih


• Dirancang secara komprehensif dan pada tahap sedini mungkin. Produksi Bersih
dipertimbangkan pada tahap sedini mungkin dalam pengembangan proyek-proyek baru
atau pada saat mengkaji proses atau aktivitas yang sedang berlangsung.
• Bersifat proaktif, harus diprakarsai oleh industri dan kepentingan-kepentingan yang
terkait.
• Bersifat fleksibel, dapat mengakomodasi berbagai perubahan, perkembangan di bidang
politik, ekonomi, sosial-budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi dan kepentingan
berbagai kelompok masyarakat.
• Perbaikan berlanjut.

g. Konsep Penerapan Produksi Bersih


Konsep Produksi Bersih memiliki 4 (empat) prinsip dasar, yaitu:
1. Prinsip kehati-hatian (precautionary), tanggung jawab yang utuh dari produsen agar
tidak menimbulkan dampak yang merugikan sekecil apapun.
2.Prinsip pencegahan (preventive), penting untuk memahami siklus hidup produk
(product life cycle) dari pemilihan bagan baku hingga terbentuknya limbah.
3. Prinsip demokrasi, komitmen dan keterlibatan semua pihak dalam rantai produksi dan
konsumsi.
4. Prinsip holistic, pentingnya keterpaduan dalam pemanfaatan sumber daya
lingkungan dan konsumsi sebagai satu daur yang tidak dapat dipisahpisahkan.

74
h. Strategi yang digunakan dalam penerapan Produksi Bersih
1. Pencegahan terhadap pencemaran dan perusakan lingkungan
2. Program daur ulang,
3. Pengolahan dan pembuangan limbah tetap diperlukan sehingga dapat saling
melengkapi satu dengan lainnya.
Strategi untuk menghilangkan limbah atau mengurangi limbah sebelum terjadi
(preventive strategy), lebih disukai daripada strategi yang berurusan dengan pengolahan
limbah atau pembuangan limbah yang telah ditimbulkan (treatment strategy). Hal ini
dapat dilakukan dengan menggunakan strategi berikut ini:
1. Eliminasi
Strategi ini dimasukkan sebagai metode pengurangan limbah secara total. Bila
perlu tidak mengeluarkan limbah sama sekali (zero discharge). Didalam konsep
penerapan Produksi Bersih hal ini dimasukkan sebagai metode pencegahan pencemaran.
2. Minimisasi Limbah (mengurangi sumber limbah)
Strategi pengurangan limbah yang terbaik adalah strategi yang menjaga agar
limbah tidak terbentuk pada tahap awal. Pencegahan limbah mungkin memerlukan
beberapa perubahan penting terhadap proses.
3. Daur Ulang
Jika timbulnya limbah tidak dapat dihindarkan dalam suatu proses, maka
strategi-strategi untuk meminimkan limbah tersebut sampai batas tertinggi yang
mungkin dilakukan harus dicari, seperti misalnya daur ulang (recycle) dan/atau
penggunaan kembali (re-use). Jika limbah tidak dapat dicegah, pengolahan limbah dapat
dilakukan.
4. Pengendalian Pencemaran
Strategi yang terpaksa dilakukan mengingat pada proses perancangan produksi
perusahaan belum mengantisipasi adanya teknologi baru yang sudah bebas terjadinya
limbah.
5. Pengolahan dan Pembuangan
Strategi terakhir yang perlu dipertimbangkan adalah metoda-metoda pembuangan
altematif. Pembuangan limbah yang tepat merupakan suatu komponen penting dari
keseluruhan program manajemen lingkungan; tetapi, ini adalah teknik yang paling tidak
efektif.
6. Remediasi
Strategi penggunaan kembali bahan-bahan yang terbuang bersama limbah. Hal ini
dilakukan untuk mengurangi kadar peracunan dan kuantitas limbah yang ada.

i. Esensi dasar dari produksi bersih


• Pencegahan, pengurangan dan penghilangan limbah dari sumbernya.
• Perubahan mendasar pada sikap manajemen dan diperlukan komitmen.
• Pencegahan polusi harus dilaksanakan sedini mungkin, pada setiap tahapan kegiatan
yaitu pada pembuatan peraturan., kebijakan, implementasi proyek, proses produksi dan
desain produk.

75
• Program harus dilaksanakan secara kontinyu dan selaras dengan perkembangan sains
dan teknologi
• Penerapan strategi yang komprehensif dan terpadu, agar produk dapat bersaing di
pasar lokal maupun internasional.
• Produksi bersih hendaknya melibatkan pertimbangan daur hidup suatu produk.
• Program multi media dan multi desain. Diterapkan di seluruh sektor: industri,
pemerintah, pertanian, energi, transportasi, para konsumen.
Pada dasarnya, fokus dari teknik Produksi Bersih adalah tentang “bagaimana
mengurangi limbah dari sumbernya”. Adapun hal-hal yang dapat dilakukan teknik
pengurangan limbah ini adalah:
a.Manajemen inventaris
• Pengendalian inventaris
• Pengendalian bahan
b. Modifikasi proses produksi
• Prosedur operasi dan pemeliharaan
• Perubahan bahan
• Modifikasi peralatan proses
c. Pengurangan volume
• Pemilahan sumber
• Pengentalan
d. Recovery
• Recovery on – site (di lokasi)
• Recovery off – site (diluar lokasi)

j. Aspek-Aspek Dalam Pelaksanaan Produksi Bersih


Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam upaya pelaksanaan Produksi Bersih
adalah:
1. Proses
Mencakup upaya konservasi bahan baku dan energi, menghindari pemakaian
bahan berbahaya dan beracun, mengurangi jumlah dan toksisitas semua limbah dan
emisi yang dikeluarkan sebelum meninggalkan proses.
2. Produk
Menitik beratkan pada upaya pengurangan dampak pada keseluruhan daur hidup
produk, mulai dari ekstraksi bahan baku sampai pembuangan akhir setelah produk tidak
digunakan.
3. Jasa
Menitik beratkan pada upaya penggunaan proses 3R (Reduce, Re-use dan
Recycle) diseluruh kegiatannya, mulai dari penggunaan bahan baku sampai ke
pembuangan akhir.
Penerapan produksi bersih dalam proses produksi dapat dilakukan dengan
mengintegrasikan aspek-aspek tersebut di atas.

76
k. Peluang Penerapan Produksi Bersih
1.Memberi keuntungan ekonomi, sebab didalam Produksi Bersih terdapat strategi
pencegahan pencemaran pada sumbernya (source reduction dan inprocess recycling)
yaitu pencegahan terbentuknya limbah secara dini dengan demikian dapat mengurangi
biaya investasi yang harus dikeluarkan untuk pengolahan dan pembuangan limbah atau
upaya perbaikan lingkungan.
2. Mencegah terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan.
3. Memelihara dan memperkuat pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang melalui
konservasi sumber daya, bahan baku dan energi.
4. Mendorong pengembangan teknologi baru yang lebih efisien dan akrab lingkungan
5. Mendukung prinsip `environmental equity' dalam rangka pembangunan
berkelanjutan.
6. Mencegah atau memperlambat terjadinya proses degradasi lingkungan dan
pemanfaatan sumberdaya alam.
7. Memelihara ekosistem lingkungan.
8. Memperkuat daya saing produk dipasar intemasional.

PENUTUP
a. KESIMPULAN
Menurut UU No. 23 Tahun 1997, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang
dengan semua benda dan kesatuan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan
perilakunya yang melangsungkan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lainnya.
Unsur-unsur lingkungan hidup meliputi unsur hayati (biotik), unsur sosial
budaya (kultur), dan unsur fisik (abiotik). Kerusakan lingkungan akibat peristiwa alam:
letusan gunung berapi, kerusakan akibat gempa gumi, kerusakan akibat siklon (topan),
musim kemarau, erosi dan abrasi. Kerusakan lingkungan akibat ulah manusia:
penebangan hutan secara liar, bangunan liar di daerah aliran sungai (DAS), pemanfaatan
sumber daya alam secara berlebihan, penimbunan rawa-rawa untuk pemukiman, dan
pembuangan sampah di sembarang tempat. Semua manusia harus ikut serta dalam
upaya melestarikan lingkungan karena lingkungan adalah tempat dimana kita hidup.
Dengan melestarikan lingkungan berarti kita telah menyelamatkan beribu bahkan
berjuta juta nyawa. Karena banyak nyawa yang melayang itu banyak disebabkan adanya
kerusakan lingkungan.
Upaya pemerintah untuk mengatasi kerusakan lingkungan yaitu dengan
menyusun, menerbitkan, dan memberlakukan Peraturan Pemerintah dan Undang-
Undang yang berkaitan dengan lingkungan, membentuk Badan Pengendalian
Lingkungan, serta mencanangkan gerakan menanam sejuta pohon Sebagai warga negara
yang baik, masyarakat harus memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kelestarian
lingkungan hidup di sekitarnya sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Strategi pengelolaan lingkungan hidup itu dibagi menjadi 3 yaitu
1. pendekatan kapasitas daya dukung
2. pengelolaan pada limbah yang terbentuk / end of pipe
77
3. produksi bersih
dan dari ketiga strategi ini sangat baik untuk menjaga lingkungan hidup, baik itu
biotik, abiotik, maupun kultur, dan ketiga strategi ini dibuat tentunya untuk menjaga
lingkungan, contohnya seperti produksi bersih yang menerapkan 3R, yaitu, Recycle,
Reuse, dan yang terakhir adalah Reduce

www.blogspot/IGN Wahyu Dwi Payana/kapasitas-daya-dukung


www.Asdep Standtek, KLH/pengelolaan_lingkungan_hidup
http://www.academia.edu/6632372/Makalah_Pengelolaan_Lingkungan_Hidup

78
3.2. SARAN
Dengan disusunnya makalah ini saya mengharapkan pembaca dapat mengetahui
dan memahami strategi pengelolaan lingkungan hidup serta dapat memberikan kritik
dan sarannya agar makalah ini dapat menjadi lebih baik dari sebelumnya. Demikian
saran yang dapat penulis sampaikan semoga dapat membawa manfaat bagi semua
pembaca.

79
Daftar Pustaka

https://ipqi.org/pengertian-dan-karateristik-kualitas-lingkungan-hidup/
https://daniey.wordpress.com/pencemaran-lingkungan/
Achmad Djaeni Sediaoetama,Prof.DR.MSc, Ilmu Gizi,Dian Rakyat, jilid II,
Jakarta,1989
Alan Berg and Robert J. Muscat, Faktor Gizi, Bharata Karya Aksara, Jakarta, 1987
A. Tresna Sastrawijaya, MSc,Pencemaran Lingkungan, Rineka Cipta, Jakarta, 1991
Majalah Kesehatan, edisi III, 1992
https://www.academia.edu/20589630/INSTRUMENTASI_PENGELOLAAN_LINGK
UNGAN

80

Вам также может понравиться