Вы находитесь на странице: 1из 109

7

KORELASI INDEKS MASSA TUBUH DENGAN


TINGKAT KECEMASAN PADA KLIEN
DIABETES MELITUS TIPE 2

SKRIPSI

Oleh :

ARDAMAN MENDROFA
NIM. 14010008

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


8

STIKES AUFA ROYHAN


PADANGSIDIMPUAN
2018
KORELASI INDEKS MASSA TUBUH DENGAN
TINGKAT KECEMASAN PADA KLIEN
DIABETES MELITUS TIPE 2

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh


Gelar Sarjana Keperawatan

Oleh :

ARDAMAN MENDROFA
NIM. 14010008
9

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


STIKES AUFA ROYHAN
PADANGSIDIMPUAN
2018
KORELASI INDEKS MASSA TUBUH DENGAN
i
TINGKAT KECEMASAN PADA KLIEN
DIABETES MELITUS TIPE 2

HALAMAN PENGESAHAN
(Skripsi)

Laporan peneliti ini telah diseminarkan dihadapan


tim penguji Program Studi Ilmu Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Auf Royhan Padangsidimpuan

Padangsidimpuan, Agustus 2018

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

(Ns. Adi Antoni, M. Kep) (Yanna Wari Harahap, S.KM, M.PH )


10

Ketua Penguji Anggota Penguji

(Ns. Nanda Masraini Daulay, M.kep) (Ns. Hotma Royani Siregar, M.kep)

IDENTITAS
ii PENULIS

Nama : Ardaman Mendrofa

Nim : 14010008

Tempat/Tgl Lahir : Gunung Sitoli, 23 Januari 1995

Jenis Kelamin : Laki - Laki

Alamat : Bange

Riwayat Pendidikan :

1. SD Negeri 100690 Bange : Lulus Tahun 2008

2. SMP Negeri 2 batang anggkola : Lulus Tahun 2011

3. SMK swasta kesehatan sidimpuan husada : Lulus Tahun 2014


11

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa , karena atas berkat dan

rahmatn-NYA peneliti dapat menyusun Skripsi penelitian dengan judul

“Korelasi Indeks Massa Tubuh Dengan Tingkat Kecemasan Pada Klien

Diabetes Melitus Tipe 2”, sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana

keperawatan di Progran Studi Ilmu Keperawatan STIKes AUFA ROYHAN

Padangsidimpuan.

Dalam proses penyusunan Skripsi ini peneliti banyak dapat bantuan dan

bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti

menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-

tingginya kepada yang terhormat :

1. Ns. Sukri Herianto Ritonga M. Kep, selaku Ketua STIKes AUFA ROYHAN

Padangsidimpuan.

2. Ns. Nanda Masraini Daulay, M. Kep, selaku Ketua Program studi ilmu

keperawatan STIKes AUFA ROYHAN Padangsidimpuan dan ketua peguji

yang telah meluangkan waktu dalam penyelesaian skripsi ini.


12

3. Ns. Adi Antoni, M.kep, selaku Pembimbing utama, yang telah meluangkan

waktu untuk membimbing dalam menyelesaikan skripsi penelitian ini.

4. Yanna Wari Harahap, S.Km, M.Ph selaku Pembimbing pendamping, yang

telah meluangkan waktu untuk membimbing dalam menyelesaikan skripsi

penelitian ini.

5. drg. Susanti selaku kepala UPTD Puskesmas Batunadua yang telah

memberikan ijin untuk melakukan penelitian di lingkungan pukesmas yang

ibu pimpin. iv

6. Seluruh Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan STIKes AUFA ROYHAN

Padangsidimpuan.

7. Kepada teristimewa Ayahanda dan Ibunda serta keluarga saya yang sangat

saya sayangi yang telah memberikan dorongan dan bantuan moril, materi,

dan do’a restu selama saya menjalani pendidikan.

8. Kepada teman atau pun sahabat Khairul Anwar, Defri Saputra, Ramlan

Sinaga yang telah bersama-sama saling membantu untuk terselesaikan

proposal penelitian ini.

Kritik dan saran yang bersifat membangun peneliti harapkan guna perbaikan

dimasa mendatang. Mudah-mudahan skripsi penelitian ini bermanfaat bagi

peningkatan kualitas pelayanan keperawatan. Amin.

Padangsidimpuan, Agustus 2018

Peneliti
13

ARDAMAN MENDROFA
NIM. 14010008

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


v
STIKES AUFA ROYHAN PADANGSIDIMPUAN
Laporan Penelitian, Agustus 2018
Ardaman Mendrofa

KORELASI INDEKS MASSA TUBUH DENGAN TINGKAT KECEMASAN


PADA KLIEN DIABETES MELITUS TIPE 2

ABSTRAK
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit metabolik akibat gangguan sekresi
insulin, gangguan kerja insulin, maupun keduanya. Prevalensi DM di Indonesia
adalah 10 juta orang mengidap diabetes (Dinkes, 2016). Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui adanya korelasi indeks massa tubuh dengan tingkat kecemasan
pada klien diabetes melitus tipe 2. Desain penelitian ini adalah Deskriptif
Korelasional dengan pendekatan Cross sectional. Penelitian ini dilakukan di
Puskesmas Batunadua Kota Padangsidimpuan. Jumlah responden penelitian ini
sebanyak 46 orang dengan teknik pengambilan secara total sampling. Alat ukur yang
digunakan indeks massa tubuh rumus metrik dan tingkat kecemasan HARS dengan
kuisioner 14 pertanyaan. Hasil penelitian ini mengenai Indeks massa tubuh yang
mengalami diabetes melitus tipe 2 mayoritas (obesitas 1) sebanyak 33 orang (72%)
sedangkan tingkat kecemasan mayoritas (berat) sebanyak 28 orang (61%). Dari hasil
uji Pearson di dapatkan hasil p= .754 (p-value > 0,05). Hasil penelitian ini
menunjukkan tidak ada Korelasi Indeks Massa Tubuh dengan Tingkat Kecemasan
pada Klien Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Batunadua Kota Padangsidimpuan.
Pemberian informasi untuk meningkatkan pengetahuan khususnya tentang masalah
indeks massa tubuh yang terkait kecemasan agar dapat mengatasi pederita diabetes
melitus.
14

Kata Kunci : Indeks massa tubuh, tingkat kecemasan, diabetes melitus tipe 2
Daftar Pustaka : 2009-2017 (37)

vi
STUDY OF NURSING PROGRAM
AUFA ROYHAN HEALTH SCHOOL PADANGSIDIMPUAN

Research Report, August 2018


Ardaman Mendrofa

CORRELATION OF BODY MASS INDEX WITH LEVEL OF ANXIETY ON


CLIENT DIABETES MELITUS TYPE 2

ABSTRACT
Diabetes Mellitus (DM) is a metabolic disease caused by insulin secretion, insulin
disruption, or both. Prevalence of DM in Indonesia is 10 million people suffering
from diabetes (Dinkes, 2016). This study aims to determine the correlation of body
mass index with anxiety level in the client diabetes melitus type 2. The design of this
research is descriptive correlational with Cross sectional approach. This research
was conducted at the Batunadua Health Center in Padangsidimpuan City. The
number of respondents of this study as many as 46 people with the sampling
technique in total sampling. A gauge that is a body mass index and metric. HARS
with a questionnaire of 14 questions. The results of this study on body mass index
who experienced diabetes mellitus type 2 majority (obesity 1) as many as 33 people
(72%) whereas (weight) majority anxiety level 28 people (61%). From result of
Pearson test get result p = .754 (p-value> 0,05). The results of this study indicate
that there is no Correlation of Body Mass Index with Anxiety Levels in Type 2
Diabetes Mellitus Clients in Batunadua Health Center in Padangsidimpuan City.
Providing information to increase knowledge especially about the problem of body
mass index related to anxiety in order to overcome the sufferers of diabetes mellitus.
15

Keywords : body mass index, anxiety level, type 2 diabetes mellitus


References : 2009-2017 (37)

DAFTAR ISI
vii
halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii
IDENTITAS PANULIS ................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... iv
ABSTRAK ........................................................................................................ vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ x
DAFTAR SKEMA ........................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xii

BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................. 1


1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ....................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 7


2.1 Indeks Massa Tubuh ...................................................................... 7
2.2 Tingkat Kecemasan ........................................................................ 10
2.3 Diabetes Melitus Tipe 2 ................................................................ 17
2.4 Kerangka Konsep ........................................................................... 47
16

2.5 Hipotesis Penilitian ........................................................................ 47

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 49


3.1 Desain Penelitian .............................................................................. 49
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... 49
3.2.1 Lokasi Penelitian .............................................................. 49
3.2.2 Waktu Penelitian .............................................................. 48
3.3 Populasi dan Sampel ........................................................................ 50
3.3.1 Populasi Penelitian .......................................................... 50
3.3.2 Sampel penelitian ............................................................ 50
3.4 Etika Penelitian ................................................................................ 51
3.5 Alat Pengumpulan Data ................................................................... 52
3.6 Prosedur Pengumpulan Data ............................................................ 53
3.7 Defenisi Operasional ........................................................................ 54
3.8 Analisa Data ..................................................................................... 55

BAB 4 HASIL PENELITIAN ......................................................................... 58


4.1 Hasil Penelitian ................................................................................ 58
4.1.1 Analisis Univariat ............................................................ 58
4.1.2 Analisis Bevariat.............................................................. 59

BAB 5 PEMBAHASAN ................................................................................... 64


5.1 Analisis Univariat............................................................................. 64
5.2 Analisis Bevariat .............................................................................. 66

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 71


6.1 Kesimpulan ......................................................................................
viii 71
6.2 Saran ................................................................................................. 71

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
17

DAFTARixTABEL

Halaman

Tabel 2.1 Definisi Kategori Indeks Massa Tubuh (Imt) .................................... 8


Tabel 2.2 Klasifikasi Etiologi Kelainan Glikemia (Diabetes Mellitus) ............. 25
Tabel 2.3 Profil Obat Antihiperglikemia Oral Yang Tersedia Di Indonesia ..... 44
Tabel 3.1 Rencana Kegiatan Dan Waktu Penelitian .......................................... 50
Tabel 3.2 Defenisi Operasional .......................................................................... 55
18

DAFTAR
x SKEMA

Halaman

Skema 2.1 Rentang Respons Ansietas ............................................................... 13


Skema 2.1 Kerangka konsep Penelitian ............................................................. 47
19

DAFTAR LAMPIRAN
xi

Lampiran 1 : Permohonan Jadi Responden


Lampiran 2 : Persetujuan Menjadi Responden
Lampiran 3 : Kuesioner Penelitian
Lampiran 4 : Lembar Observasi
Lampiran 5 : Surat Ijin suvey Penelitian Dari Stikes Aufa Royhan
Lampiran 6 : Surat Balasan Survey Penelitian Dari Puskesmas Batunadua
Lampiran 7 : Surat Ijin Penelitian Dari Stikes Aufa Royhan
20

Lampiran 8 : Surat Balasan Ijin Penelitian Dari Puskesmas Batunadua


Lampiran 9 : Hasil Analisa Data
Lampiran 10 : Master Tabel
Lampiran 11 : Lembar Konsultasi

xii I
BAB

PENDAHULUAN
21

1.1 Latar Belakang

Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit metabolik akibat gangguan

sekresi insulin, gangguan kerja insulin, maupun keduanya American Diabetes

Association ADA (2014). Menurut American Diabetes Association (ADA),

klasifikasi etiologis DM dibagi menjadi empat yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM

tipe lain dan DM gestasional ADA (2015).

Sesuai dengan data dari Internasional Diabetes Federation (IDF) yang

menunjukkan bahwa jumlah penderita DM di dunia pada tahun 2015 telah

mencapai 415 juta orang dengan proporsi kejadian DM Tipe 2 adalah 98% dari

populasi dunia yang menderita DM (IDF, 2015). Menurut World Health Organization

(WHO) memperkirakan bahwa secara global 422 juta orang dewasa berusia

diatas 18 tahun menderita diabetes pada tahun 2014 WHO (2016).

Prevalensi DM di Indonesia adalah 10 juta orang mengidap diabetes.

Diabetes tipe 1 yang sering diderita anak-anak dan tipe 2 merupakan bentuk

umum yang banyak ditemukan, ungkap Surjantini di dampingi Sekretaris Dinkes

Sumut Afwan Lubis, Kabid penanggulangan masalah kesehatan drg Hikmed

dan Kabid pelayanan kesehatanan dr Retno Dinkes (2016).

Menurut Kemenkes RI (2016) prevalensi DM terjadi pada orang dewasa

ada sekitar 422 juta orang penyandang diabetes yang berusia 18 tahun di

seluruh dunia atau 8,5% dari penduduk dunia. Namun 1 dari 2 orang dengan

1
Diabetes tidak tahu bahwa dia penyandang diabetes. Oleh karena itu, sering

ditemukan penderita Diabetes pada tahap lanjut dengan komplikasi seperti;


22

serangan jantung, stroke, infeksi kaki yang berat dan berisiko amputasi, serta

gagal ginjal stadium akhir.

Penderita penyakit Diabetes Mellitus (DM) di Sumatera Utara setiap tahun

mengalami peningkatan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinkes Sumut

disebutkan, sejak Januari 2015 sampai April 2016 jumlah penderita DM tipe 1

sebanyak 18.358 orang dan tipe 2 berjumlah 54.843 orang. Padahal penyakit ini

berdampak kepada penyakit lain seperti ginjal Dinkes (2016). Kunjungan

penderita DM di Rumah Sakit Sari Mutiara Medan, selama 3 bulan pertama

tahun 2017 selalu mengalami peningkatan tiap bulannya. Jumlah penderita DM

pada bulan Januari sebanyak 172 pasien, Februari sebanyak 177 pasien, dan

Maret sebanyak 212 pasien Simanjuntak (2017).

Menurut International Diabetes Federation tahun 2015, dalam metabolisme

tubuh hormone insulin bertanggung jawab dalam mengatur kadar glukosa

darah. Hormon ini diproduksi dalam pancreas kemudian dikeluarkan untuk

digunakan sebagai sumber energi. Apabila di dalam tubuh kekurangan hormone

insulin maka dapat menyebabkan hiperglikemi IDF (2015).

Diabetes melitus merupakan penyebab hiperglikemi. Hiperglikemi

disebabkan oleh berbagai hal, namun hiperglikemi paling sering disebabkan

oleh diabetes melitus. Pada diabetes melitus gula menumpuk dalam darah

sehingga gagal masuk ke dalam sel. Kegagalan tersebut terjadi akibat hormone

insulin jumlahnya kurang atau cacat fungsi. Hormon insulin merupakan hormon

yang membantu masuknya gula darah WHO (2016).


23

Diabetes melitus tipe 2 merupakan golongan diabetes dengan prevalensi

tertinggi. Hal ini disebabkan karena berbagai faktor diantaranya faktor lingkungan

dan faktor keturunan. Faktor lingkungan disebabkan karena adanya urbanisasi

sehingga mengubah gaya hidup seseorang yang mulanya konsumsi makanan yang

sehat dan bergizi dari alam menjadi konsumsi makanan yang cepat saji. Makanan

cepat saji berisiko menimbulkan obesitas sehingga seseorang berisiko DM

tipe 2. Orang dengan obesitas memiliki risiko 4 kali lebih besar mengalami DM

tipe 2 dari pada orang dengan status gizi normal WHO (2017).

Orang dengan DM memiliki tingkat kecemasan 20% lebih tinggi

dibandingkan dengan orang tanpa DM. Gangguan kecemasan memiliki

hubungan dengan hiperglikemia pada orang DM Tsenkova (2013). Kondisi

hiperglikemia dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan kerusakan

berbagai macam organ Nindyasari (2010). Tingginya kadar gula darah serta

resiko komplikasinya membuat setiap penderita DM mengalami kecemasan

Semiardji (2013).

Mengukur obesitas atau tidaknya seseorang (lemak tubuh) secara

lansung sangat sulit dan sebagai pengganti dipakai Body Mass Index (BMI)

atau Indek Massa Tubuh (IMT) yaitu perbandingan berat badan (dalam kilogram)

dengan kuadrat tinggi badan (dalam meter) Justitia (2012). Angka obesitas yang

diukur dengan IMT berkaitan erat dengan intoleransi glukosa pada populasi

perkotaan maupun pedesaan Gibney (2009).

Menurut penelitian Roupa (2009) menyatakan hasil partisipan perempuan

sebesar 56%, sedangkan persentase laki-laki adalah 44%. Persentase gejala


24

kecemasan pada wanita tiga kali lebih tinggi dibandingkan pria 62%. Wanita

ditunjukkan dengan HADS-A>8 berbeda dengan 21% pria (p<0,001).

Berdasarkan survey awal yang dilakukan peneliti di Puskesmas Batunadua

Kota Padangsidimpuan pada tanggal 1 Februari 2018 yang memiliki penyakit

diabetes melitus pada bulan Agustus sampai dengan Desember 2017 adalah

sebanyak 46 orang. Dan hasil wawancara dengan 10 orang dari 46 orang

tersebut 8 orang yang indeks massa tubuhnya tidak normal dan tingkat

kecemasan yang berat karena gula darah yang tidak normal, aktivitas yang

kurang, pola makan yang tidak teratur dan faktor keturun keluarga yang

mengalami diabetes melitus, klien mengatakan masih kurang tahu apa penyebab

terjadinya diabetes melitus dan cara mengatasinya maka peneliti tertarik

melakukan penelitian dengan judul Korelasi Indeks Massa Tubuh dengan

Tingkat Kecemasan Pada Klien Diabetes Melitus Tipe 2.

Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik melakukan

penelitian dengan judul Korelasi Indeks Massa Tubuh dengan Tingkat

Kecemasan Pada Klien Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Batunadua Kota

Padangsidimpuan.

1.2 Perumusan masalah

Adapun perumusan masalah yaitu berdasarkan prevalensi Diabetes

Melitus terdapat peningkatan tiap tahunnya. Dari hasil survey yang dilakukan

peneliti di Puskesmas Batunadua pada bulan Agustus sampai dengan Desember

2017 terdapat 46 orang yang mengalami Diabetes Melitus, dalam penelitian ini
25

adalah apakah ada Korelasi Indeks Massa Tubuh Dengan Tingkat Kecemasan

Pada klien Diabetes Melitus Type 2.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui Korelasi Indeks Massa Tubuh dengan Tingkat Kecemasan

Pada klien Diabetes Melitus Type 2.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui karakteristik sampel pada klien diabetes melitus type 2.

2. Mengetahui tingkat kecemasan pada klien diabetes melitus type 2.

3. Mengetahui Indeks Massa Tubuh pada klien diabetes melitus type 2.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Responden

Untuk memberikan informasi Korelasi Indeks Massa Tubuh dengan

Tingkat Kecemasan Pada klien Diabetes Melitus Type 2 sehingga mampu mandiri

dalam masalah kesehatan serta dapat mengambil sikap upa-upaya yang harus

dilakukan dalam mengurangin kecemasan dan IMT pada pasien Diabetes

Melitus type 2.

1.4.2 Bagi Puskesmas

Sebagai masukan dalam penyusunan program khususnya diabetes mellitus

tipe 2 dalam mengatasi Korelasi Indeks Massa Tubuh dengan Tingkat Kecemasan

Pada klien Diabetes Melitus Type 2.

1.4.3 Bagi Masyarakat


26

Sebagai masukan pada masyarakat khususnya yang mengalami penyakit

Diabetes Melitus Tipe 2 dan serta yang mengelami Indeks Massa Tubuh dengan

Tingkat Kecemasan yang merupakan faktor terjadinya Diabetes Melitus Tipe 2.

1.4.4 Bagi Pendidikan Keperawatan

Sebagai bahan kajian bagi institusi pendidikan dalam membimbing

mahasiswa berkaitan dengan ilmu kesehatan khususnya Korelasi Indeks Massa

Tubuh dengan Tingkat Kecemasan Pada klien Diabetes Melitus Type 2.

1.4.5 Bagi Peneliti Selajutnya

Untuk menerapkan ilmu pengetahuan selama mengikuti pendidikan serta

dapat menambah wawasan dan pengetahuan informasi yang dapat dijadikan

pelajaran untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan juga sebagai penyelesaian

tugas program study keperawatan dan dapat lebih menekankan pada Korelasi

Indeks Massa Tubuh dengan Tingkat Kecemasan Pada klien Diabetes Melitus

Type 2.

BAB 2
27

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Indeks Massa Tubuh (IMT)

2.1.1 Defenisi Indeks Massa Tubuh

Metode terdahulu untuk menentukan berat badan ideal untuk individu

menggunakan rumus matimatika atau membandingkan berat badan dan tinggi

badan dengan tabel asuransi kehidupan. Berdasarkan beberapa penelitian

independen, indeks massa tubuh (IMT) desepakati sebagai standar yang

diterima untuk menentukan barat badan yang diinginkan. IMT menstandarkan

berat badan dengan tinggi badan. Rentang IMT normal yang dikehendaki

untuk kesehatan berkisar 19 sampai dengan 24,9. IMT kurang dari 18,5

dikategorikan sebagai underweight (berat badan kurang) atau kurang dari

yang diinginkan untuk berat badan atas tinggi badan. IMT antara 25 sampai

30 desebut sebagai overweight. IMT lebih dari 30 ditanyakan sebaga obese

Hawks (2014).

2.1.2 Perhitungan Indeks Massa Tubuh

Indeks massa tubuh dihitung sebagai berat badan dalam kilogram (kg)

dibagi tinggi badan dalam meter dikuadratkan (m2) dan tidak terkait dengan

jenis kelamin. Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa yang

berusia 18 tahun ke atas. IMT tidak diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu

hamil dan olahragawan, serta tidak dapat diterapkan dalam keadaan khusus

(penyakit lainnya), seperti edema, asites, dan hepatomegali Supariasa (2012).

7
28

Rumus untuk mengetahui nilai IMT dapat dihitung dengan rumus metrik

berikut:

Berat badan (Kg)

IMT =

[Tinggi badan (m)]2

Keterangan:

IMT : Indeks Massa Tubuh

BB : Berat badan dalam satuan kilogram

TB : Tinggi badan dalam satuan meter

2.1.3 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh

Orang dewasa yang berusia 20 tahun keatas indeks massa tubuh (IMT)

diinterpretasi menggunakan kategori status berat badan standar yang sama untuk

semua umur bagi laki-laki dan perempuan. Berdasarkan PERKENI (2011) maka

pembagian IMT dapat dibagi sebagai berikut:

Tabel 2.1 Definisi kategori indeks massa tubuh (IMT)


Kategori Kg/m2
Berat badan kurang (underweight <18,5
Berat normal 18,5-22,9
Berat berlebih (overweight) ≥23,0
Dengan risiko 23,0-24,9
Obes derajat I 25,0-29,9
Obes derajat II >30
Sumber: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia
PERKENI, 2011.

2.1.4 Kekurangan dan Kelebihan Indeks Massa Tubuh

Indeks massa tubuh (IMT) merupakan salah satu indikator yang dapat

dipercayai untuk mengukur lemak tubuh. Walau bagaimanapun terdapat


29

beberapa kekurangan dan kelebihan dalam mnggunakan IMT sebagai indikator

pengukuran lemak tubuh Ginting (2016).

2.1.4.1 Kekurangan indeks massa tubuh

a. Pada olahragawan

Tidak akurat pada olahragawan (terutama atlet bina) yang cenderung

berada pada kategori obesitas dalam IMT disebabkan mereka mempunyai massa

otot yang berlebihan walaupun presentase lemah tubuh mereka dalam kadar

yang rendah. Sedangkan dalam pengukuran berdasarkan berat badan dan

tinggi badan, kenaikan nilai IMT adalah disebabkan oleh lemak tubuh Ginting,

(2016).

b. Pada anak-anak

Tidak akurat karena jumlah lemak tubuh akan berubah seiringan dengan

pertumbuhan dan perkembangan tubuh badan seseorang. Jumlah lemak tubuh

pada lelaki dan perempuan juga berbeda selama pertumbuhan. Oleh itu, pada

anak-anak dianjurkan untuk mengukur berat badan berdasarkan nilai persentil

yang dibedakan atas jenis kelamin dan usia Ginting (2016).

c. Pada kelompok bangsa

Tidak akurat pada kelompok bangsa tertentu karena harus dimodifikasi

mengikut kelompok bangsa tertentu. Sebagai contoh IMT yang melebihi 23,0

adalah berada dalam kategori kelebihan berat badan dan IMT yang melebihi

27,5 berada dalam kategori obesitas pada kelompok bangsa seperti Cina, India,

dan Melayu Ginting (2016).


30

2.1.4.2 Kelebihan indeks massa tubuh adalah:

a. Biaya yang diperlukan tidak mahal.

b. Untuk mendapat nilai pengukuran, hanya diperlukan data berat badan dan

tinggi badan seseorang.

c. Mudah dikerjakan dan hasil bacaan adalah sesuai nilai standar yang telah

dinyatakan pada tabel IMT Ginting (2016).

2.2 Tingkat Kecemasan

2.2.1 Defenisi Tingkat Kecemasan

Kecemasan adalah suatu sinyal yang menyadarkan ia memperingatkan

adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil

tindakan untuk mengatasi ancaman. Kecemasan memperingatkan adanya

ancaman eksternal dan internal dan memiliki kualitas menyelamatkan hidup

Nindyasari (2010). Namun orang-orang dengan kecemasan merupakan konsumen

yang banyak menggunakan pelayanan perawatan kesehatan karena mereka

mencari pengobatan untuk berbagai gejala yang disebabkan oleh kecemasan,

seperti nyeri dada, palpitasi, pusing dan sesak nafas Stuart (2016).

2.2.2 Karakteristik Kecemasan

Kecemasan merupakan keadaan emosi dan pengalaman subjektif individu.

Keduanya adalah energi dan tidak dapat diamati secara langsung. Seorang

perawat menilai klien ansietas berdasarkan perubahan perilaku tertentu. Perawat

perlu memvalidasi kesimpulannya pada klien Stuart (2016).


31

2.2.2.1 kecemasan adalah keadaan emosi tanpa objek tertentu.

Hal ini dipicu oleh hal yang tidak ketahui dan menyertai semua pengalaman

baru, seperti masuk sekolah, memulai pekerjaan baru atau melahirkn anak.

Karakteristik kecemasan ini yang membedakan dari ras takut. Ketakutan memiliki

sumber atau objek tertentu di mana seseorang dapat mengidentifikasi dan

menjelaskan. Rasa takut melibatkan penilaian kognitif dari stimulus yang

mengancam, kecemasan adalah respons emosional terhadap penilaian tersebut.

Takut disebabkan oleh paparan fisik atau psikologis dari situasi yang mengancam

Stuart (2016).

2.2.2.2 Kecemasan dikomunikasikan secara interpersonal.

Jika seorang perawat berbicara dengan klien yang kecemasan dalm waktu

singkat perawat juga akan mengalami perasaan kecemasan. Demikian pula jika

mengalami kecemasan dalam situasi tertentu, kecemasan ini akan dikomunikasikan

kepada klien. Kecemasan bersifat menular dapat memiliki efek positif dan

negatife pada hubungan teraupetik. Perawat harus hati-hati memonitor efek ini

Stuart (2016).

2.2.2.3 Kecemasan adalah tentang pemeliharaan diri.

Hal ini terjadi sebagian akibat dari ancaman terhadap kepribadian

seseorang, harga diri, atau identitas. Kecemasa dalah hasil dari ancaman

terhadap sesuatu yang merupakan pusat kepribadian seseorang dan penting bagi

keberadaan dan keamanan seseorang. Kecemasan dapat dihubungkan dengan

rasa takut akan hukum, ketidak setujuan, penarikan cinta, gangguan hubungan,

isolasi atau kehilangan fungsi tubuh. Budaya terkait dengan kecemasan, karena
32

budaya dapat mememgaruhi nilai-nilai yang dianggap paling penting Gwynn

et al, 2008; Westermeyer et al (2010).

2.2.3 Tingkat Kecemasan

Menurut Stuart (2016), Peplau (1963) mengidentifikasi empat tingkat

kecemasan dengan penjelasan efeknya.

2.2.3.1 Kecemasan ringan

terjadi saat ketegangan hidup sehari-hari. Selama tahap ini seseorang

waspada dan lapang persepsi meningkat. Kemampuan seseorang untuk melihat,

mendengar, dan menangkap lebih dari sebelumnya. Jenis kecemasan ringan

dapat memotivitas belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas Stuart

(2016).

2.2.3.2 Kecemasan sedang

Dimana seseorang hanya berfokus pada hal yang penting saja lapang

persepsi menyempit sehingga kurang melihat, mendengar, dan menangkap.

Seseorang memblokir area tertentu tetapi masih mampu mengikuti perintah

jika diarahkan untuk melakukannya Stuart (2016).

2.2.3.3 Kecemasan berat

Ditandai dengan penurunan yang signifikan di lapang persepsi. Cenderung

memfokuskan pada hal yang detail dan tidak berpikir tentang hal ini. Semua

perilaku ditujukan untuk mengurangi kecemasan, dan banyak arahan yang

dibutuhkan untuk fokus pada area lain Stuart (2016).


33

2.2.3.4 Panik

Dikaitkan dengan rasa takut dan terror, sebagian orang yang mengalami

kepanikan tidak dapat melakukan hal-hal behkan dengan arahan. Gejala panik

adalah paningkatan aktivitas motorik, penurunan kemampuan untuk berhubungan

dengan orang lain, persepsi yang menyempit, dan kehilangan pemikiran rasional.

Orang panik tidak mampu berkomunikasi atau berfungsi secara efektif. Tingkat

kecemasan ini tidak dapat bertahan tanpa batas waktu, karena tidak kompatibel

dengan kehidupan. Kondisi panik yang berpanjangan akan mengakibatkan

kelelahan dan kematian. Tapi panik dapat diobati dengan aman dan afektif

Stuart (2016).

2.2.4 Rentang Respons Kecemasan

Kecemasan adalah rasa takut yang tidak jelas disertai dengan perasaan

ketidak pastian, ketidak berdayaan, isolasi dan ketidak amanan. Seorang merasa

diri sedang terancam. Pengalaman kecemasan dimulai pada masa bayi dan

berlanjut sepajang hidup. Pengalaman seseorang diketahui berakhir dengan rasa

takut terbesar pada kematian Stuart (2016).

RENTANG RESPONS ANSIETAS

Respons adaptif Respons maladaptive

Antisipasi Ringan Sedang Berat panik

Skema 2.1 Rentang respons ansietas


34

2.2.5 Respons Fisiologis Terhadap Kecemasan

a. Kardiovaskuler yaitu: Palpitasi, jantung berdebar-debar, peningakatan tekanan

darah, pingsan, penurunan tekanan darah dan penurunan denyut nadi.

b. Respirasi yaitu: Napas cepat, sesak napas, tekanan pada dada, pernapasan

dangkal, tenggorokan tersumbat, sensasi tersedak dan terengah-engah.

c. Gastrointestinal yaitu: Nafsu makan menurun, jijik terhadap makanan, perut

tidak nyaman, nyeri perut, mual, rasa panas seperti terbakar, dan diare.

d. Neuromuskuler yaitu: Peningkatan reflex, reaksi kejut, kelopak mata berkedut,

insomnia, tremor , gelisah, mondar-mandir, wajah tegang, kelemahan umum,

kaki goyang dan gerakan kaku.

e. Seluran kemih yaitu: keinginan buang air kecil dan sering bung air kecil.

f. Kulit yaiu: Wajah merah atau pucat, berkeringat loka misalnya telapak

tangan, gatal, panas, dingin dan berkeringat seluruh tubuh.

g. Perilaku yaitu: Kegelisahan, ketengangan fisik atau tremor, reaksi kejut,

berbicara cepat, kurangnya koordinasi, rawan kecelakaan dan penarikan

interpersonal.

h. Kognitif yaitu: Gangguan perhatian, konsetrasi yang buruk atau lupa,

kesalahan penilaian, lapang persepsi menurun, kreativitas atau produktivitas

berkurang, kebingungan atau malu, takut cedera atau kematian dan mimpih

buruk.

i. Afektif yaitu: Ketidak sabaran, rasa gelisah, ketengangan atau gugup,

ketakutan atau frustasi, ketidak berdayaan atau mati rasa dan perasaan

bersalah Stuart (2016).


35

2.2.6 Alat Pengukuran Tingkat Kecemasan

Menurut Saseno (2013) Alat atau instrumen penelitian ini adalah skala

pengukuran tingkat kecemasan dari Hamilton Anxiety Rating Scale untuk

mengukur tingkat kecemasan. Instrumen terdiri dari 14 kelompok gejala dan

berbentuk tabel terdiri dari 3 kolom, yaitu nomor urut, gejala kecemasan dan

nilai atau skor. Adapun cara penilaian tingkat kecemasan menggunakan skala

HARS yang terdiri dari 4 kelompok gejala, masing-masing kelompok diberi

bobot nilai 0, 1, 2, 3, dan 4. Selanjutnya masing-masing nilai score kelompok

gejala tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui

derajat kecemasan seseorang dengan menggunakan pengukuran tingkat

kecemasan HARS yaitu :

< 14 = Tidak ada kecemasan.

14 – 20 = Kecemasan ringan.

21 – 27 = Kecemasan sedanng.

28 – 41 = Kecemasan berat.

42 – 56 = Kecemasan berat sekali (panik).

Data hasil skala pengukuran tingkat kecemasan selanjutnya dianalisis

dengan cara deskriptif dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi dari

variabel yang diukur dan dikonfirmasikan dalam bentuk angka frekuensi. Sebelum

dilakukan analisis bivariat, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data tingkat

kecemasan.
36

2.2.7 Kecemasan Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2

Menurut Roupa dkk (2009) menyatakan kecemasan dan gangguan depresi

termasuk gangguan kejiwaan yang paling umum di seluruh dunia dan biasanya

terjadi pada individu yang menderita penyakit kronis, seperti diabetes mellitus

tipe 2, penyakit menyebar dengan cepat ke seluruh dunia dengan kecemasan

dan depresi. Penelitian keperawatan telah menunjukkan bahwa risiko diabetes

melitus lebih tinggi saat BMI meningkat dan bila kedua faktor ini berdampingan

dengan kejadian depresi orang tersebut bahkan terbebani lagi dengan terjadinya

kecemasan dan depresi yang lebih berat sesuai dengan yang bersangkutan studi

sekarang.

Menurut Nindyasari (2010) menyatakan Penderita DM memiliki tingkat

depresi dan kecemasan yang tinggi, yang berkaitan dengan pengobatan yang

harus dijalani dan terjadinya komplikasi serius. Kecemasan yang dialami

penderita berkaitan dengan pengobatan yang harus dijalani seperti diet atau

pengaturan makan, pemeriksaan kadar gula darah, konsumsi obat dan juga olah

raga. Selain itu, resiko komplikasi penyakit yang dapat dialami penderita juga

menyebabkan terjadinya kecemasan. Seseorang yang menderita penyakit DM

memerlukan banyak sekali penyesuaian di dalam hidupnya, sehingga penyakit

DM ini tidak hanya berpengaruh secara fisik, namun juga berpengaruh secara

psikologis pada penderita. Gangguan kecemasan adalah perasaan yang tidak

menyenangkan yang meliputi perasaan khawatir, takut, was-was yang ditimbulkan

oleh pengaruh ancaman atau gangguan terhadap sesuatu yang belum terjadi dan

dapat mempengaruhi aktivitas. Penderita DM merupakan suatu gangguan


37

metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi

berupa hilangnya toleransi karbohidrat, sehingga didapati hiperglikemi dan

glukosuria Nindyasari (2010).

2.3 Diabetes Melitus Tipe 2

2.3.1 Defenisi Diabetes Melitus Tipe 2

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes

mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau

kedua-duanya PERKENI (2011). Diabetes melitus (DM) adalah penyakit

kronis progresif yang ditandaidengan ketidak mampuan tubuh untuk melakukan

metabolism karbohidrat, lemak dan protein, mengarah ke hiperglikemia (kadar

glukosa darah tinggi). DM tipe 2, sebelumnya disebut NIDDM atau diabetes

mellitus onset-dewasa, adalah gangguan yang melibatkan, baik genetik dan

faktor lingkungkan DM tipe 2 adalah tipe DM umum, mengenai 90% orang

yang memiliki penyakit. DM tipe 2, biasanya terdignosis setelah usia 40 tahun

dan lebih umum di antara dewasa tua, dewasa obesitas, dan etnik serta populasi

ras tertentu. Namun diagnosis DM tipe 2 pada anak-anak dan remaja meningkat,

terutama pada Amerika –Afrika dan Amerika Hispanik/Latin Hawks (2014).

DM tipe 2 merupakan bentuk DM yang paling sering di temukan dan

ditandai oleh gangguan pada sekresi serta kerja insulin. Kedua defek ini

terdapat pada DM klinis. Penyebab yang jumlahnya banyak dan bervariasi.

DM tipe 2 juga memiliki perubahan multifaktorial. Mayoritas pasien DM tidak

bergantung pada insulin dan kebanyakan di antara mereka menderita diabetes


38

pada usia dewasa. Pada DM tipe 2 sering terdapat resistensi insulin dengan

insulinopenia relatif yang kadang-kadang pada saat stress memerlukan insulin.

Obesitas dan obesitas pada bagian perut umumnya terlihat pada pasien-

pasien DM tipe 2. Ketoasidosis jarang ditemukan dan jika terlihat, keadaan ini

berhubungan dengan stres atau penyakit lain yang menjangkiti pasien DM.

pasien DM juga cenderung mengalami komplikasi mikrovaskular dan

makrovaskular. Factor ginetik, usia, obesitas, dan kurangnya aktivitas fisik

Gibney (2013).

2.3.2 Etiologi Diabetes Melitus tipe 2

DM tipe 2 tidak berhubungan dengan tipe jaringan HLA, dan sirkulasi

ICAs jarang ada. Keturunan memainkan peran utama di dalam ekspresi dari

DM tipe 2. DM tipe 2 lebih umum pada kembar identik (insidensi 58-75%)

disebanding populasi umum. Obesitas adalah factor resiko mayor, dengan 85%

dari seluruh orang dengan DM tipe 2. Hal ini tidak jelas apakah kegagalan

sensitivitas jaringan (otot dan hati) terhadap insulin atau kegagalan sekresi

insulin merupakan defek primer DM tipe 2. Selain itu. Prevalensi penyakit

pembuluh koroner pada orang DM tipe 2 adalah 2 kali dibanding populasi

nondiabetes, dan kardiovaskular dan angka kematian total adalah 2-3 kali lebih

tinggi dibanding populasi nondiabetes. Isu-isu ini dijajaki dalam menerjemahkan

bukti ke dalam Praktik Hawks (2014).

Diabetes yang dikarenakan oleh adanya kelainan sekresi insulin yang

progresif dan adanya resistensi insulin. Pada pasien-pasien dengan Diabetes

Melitus tak tergantung insulin (NIDDM), penyakitnya mempunyai pola familial


39

yang kuat. NIDDM ditandai dengan adanya kelainan dalam sekresi insulin

maupun dalam kerja insulin. Pada awalnya kelihatan terdapat resistensi dari sel-

sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada

reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselular

yang meningkatkan transport glukosa menembus membrane sel. Pada pasien-

pasien dengan NIDDM terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan

reseptor. Ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor yang

responsive insulin pada membrane sel. Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal

antara kompleks reseptor insulin dengan sistem transport glukosa. Kadar glukosa

normal dapat dipertahankan dalam waktu yang cukup lama dengan meningkatkan

sekresi insulin, tetapi pada akhirnya sekresi insulin menurun, dan jumlah insulin

yang beredar tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia. Sekitar 80%

pasien NIDDM mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi

insulin, maka kemungkinan besar gangguan toleransi glukosa dan diabetes melitus

yang pada akhirnya terjadi pada pasien-pasien NIDDM merupakan akibat dari

obesitasnya. Pengurangan berat badan seringkali dikaitkan dengan perbaikan

dalam sensitivitas insulin dan pemilihan toleransi glukosa Rakhmadany (2010).

2.3.3 Faktor Resiko Terjadinya Diabetes Melitus

Diabetes mellitus tipe 2 merupakan penyakit multifaktorial dengan

komponen genetik dan lingkungan yang memberikan kontribusi sama kuatnya

terhadap proses timbulnya penyakit tersebut. Sebagai faktor ini dapat dimodifikasi

melalui perubahan gaya hidup, sementar sebagai lainnya tidak dapat diubah

Gibney (2013).
40

2.3.3.1 Faktor genetik

Bukti adanya komponen genetic berasal dari koefisien keselarasan

(corcodance) DM yang meningkat kepada kembar monozigot, prevalansi DM

yang tinggi pada anak-anak dari orang tua yang menderita diabetes, dan

prevalansi DM yang tinggi pada kelompok etnis tertentu. DM tipe 2 merupakan

kelainan poligenik dan tidak memiliki hubungan yang jelas dengan gen human

leucocytes antigen (HLA). Munculnya diabetes yang biasa muncul ketika dewasa

pada usia muda (MODY, maturity-onset diabetes in the young) merupakan bentuk

monogenik DM tipe 2 dengan usia onset yang dini, yaitu kurang dari usia 25

tahun Gibney (2013).

2.3.3.2 Faktor risiko lingkungan

Sejumlah penelitian epidemiologi dari berbagai dunia memperlihatkan

bahwa faktor-faktor risiko lingkungan yang utama untuk terjadi DM meliputi

Gibney (2013):

a. Usia

Pertambahan usia merupakan factor risiko yang penting untuk DM.

dalam semua penelitian epidemiologi pada berbagai populasi, prevalensi DM

memperlihatkan peningkatan yang spesifik menurut usia. Pada populasi Eropa,

usia pada saat onset DM umumnya berkisar antara 50-60 tahun, namun usia

ini secara signifikan lebih rendah pada penduduk asli Amerika dan India

yang angka prevalensi DM-nya tinggi Gibney (2013).


41

b. Obesitas dan obesitas pada bagian perut

Obesitas merupakan factor risiko utama terjadinya DM. hubungannya

dengan DM tipe 2 sangat kompleks. Adipositas tubuh bagian atas (upper-

body adiposity) yang diukur melalui resio pinggang atau panggul (WHR,

waist-hip ratio) memiliki keterkaitan yang lebih arat dengan DM pada

sejumlah penelitian cross-sectional dan prospektif. Beberapa hasil penilitian

dari india secara konsisten memperlihatkan sekalipun angka obesitas umum

(general obesity) lebih rendah, namun rata-rata orang India memiliki adipositas

bahan atas (upeper-body adiposity) yang lebih tinggi Gibney (2013).

c. Faktor diet

Pola makan atau diet merupakan diterminan penting yang menemukan

obesitas dan juga memengaruhi resitensi insulin. Dengan demikian pola

makan memainkan peranan yang penting dalam proses terjadinya DM tipe

2. Diet tinggi kalori, tinggi lemak dan rendah karbohidrat berkaitan dengan

DM tipe 2. Diet yang kaya akan energy dan rendah serat akan meningkatkan

kenaikan berat badan dan resistensi insulin kendati pada populasi berisiko

rendah Gibney (2013).

d. Kurangnya aktivitas fisik

Dampak kurangnya aktivitas fisik memperlihatkan manifestasi yang lebih

nyata pada populasi yang terbiasa untuk melakukan aktivitas fisik yang

berat. Perkembangan TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) menjadi DM dapat

dicegah melalui peningkatan aktivitas fisik yang memberikan perlindungan

terhadap timbulnya DM tipe 2 secara langsung maupun melalui pengaruhnya


42

pada obesitas dan metabolism lemak. Latihan fisik juga memberikan efek

yang menguntungkan bagi metabolism lemak dan berperan dalam penurunan

berat badan Gibney (2013).

e. Stress

Stress kronis cenderung membuat seseorang mencari makanan yang

manis-manis dan berlemak tinggi untuk meningkatkan kadar serotonin otak.

Serotonin ini memiliki efek penenang sementara untuk meredakan stress,

tetapi gula dan lemak itulah yang berbahaya bagi mereka yang beresiko terkena

diabetes mellitus Rakhmadany (2010).

f. Merokok

Sebuah universitas di Swiss membuat suatu analisis 25 kajian yang

menyelidiki hubungan antara merokok dan diabetes yang disiarkan antara

1992 dan 2006, dengan sebanyak 1,2 juta peserta yang ditelusuri selama 30

tahun. Mereka mendapati resiko bahkan lebih tinggi bagi perokok berat.

Mereka yang menghabiskan sedikitnya 20 batang rokok sehari memiliki

resiko terserang diabetes 62% lebih tinggi dibandingkan dengan orang

yang tidak merokok. Merokok dapat mengakibatkan kondisi yang tahan terhadap

insulin, kata para peneliti tersebut. Itu berarti merokok dapat mencampuri cara

tubuh memanfaatkan insulin. Kekebalan tubuh terhadap insulin biasanya

mengawali terbentuknya diabetes tipe 2 Rakhmadany (2010).

g. Hipertensi

Pada orang dengan diabetes mellitus, hipertensi berhubungan dengan

resistensi insulin dan abnormalitas pada sistem renin-angiotensin dan konsekuensi


43

metabolik yang meningkatkan morbiditas. Abnormalitas metabolik berhubungan

dengan peningkatan diabetes melitus pada kelainan fungsi tubuh atau disfungsi

endotelial. Sel endotelial mensintesis beberapa substansi bioaktif kuat yang

mengatur struktur fungsi pembuluh darah Rakhmadany (2010).

2.3.4 Klasifikasi Diabetes

Menurut American Diabetes Association DM diklasifikasikan menjadi 4

tipe menurut Rachmawani (2017) antara lain:

2.3.4.1 Diabetes Melitus Tipe 1 (DM Tipe 1).

Penyebab timbulnya DM TIPE 1 ini ialah karena adanya infeksi atau

toksik lingkungan kemudian menyerang sistem imun seseorang yang secara

genetis merupakan predisposisi terjadinya respon autoimun kuat yang menyerang

sel ß pankreas. Diabetes melitus tipe 1 biasanya terjadi pada anak remaja

tetapi beberapa kasus ditemukan diabetes ini juga terjadi pada orang dewasa,

khususnya yang non obesitas. Keadaan tersebut ditandai dengan gangguan

katabolisme yang disebabkan tidak terdapat insulin dalam sirkulasi dan sel-

sel ß pankreas gagal merespon semua stimulus insulinogenik. Sekresi glucagon

yang berlebih juga ditemukan pada pasien DM tipe 1, dimana normalnya,

keadaan hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon. Namun pada kasus

DM tipe 1, sekresi glukagon tetap tinggi, sehingga memperparah kondisi

hiperglikemia. Biasanya terapi untuk pasien DM tipe 1 adalah diberi insulin

eksogen untuk memperbaiki katabolisme, menurunkan kadar glukosa darah,

mencegah ketoasidosis, dan menurunkan hiperglukagonemia Rachmawani (2017).


44

2.3.4.2 Diabetes Melitus Tipe 2 (DM tipe 2).

DM tipe 2 dikarenakan ketidakmampuan tubuh untuk merespon dengan

normal aktivitas insulin yang dihasilkan oleh pankreas (resistensi insulin). Pasien

biasanya memiliki pankreas yang masih berfungsi namun relatif menunjukkan

defisiensi, sehingga tubuh kehilangan kemampuan untuk memanfaatkan insulin

secara efektif. Selain itu, terjadi pula defisiensi respon sel ß pankreas terhadap

glukosa. Penyebab kerusakan sel beta pankreas pada DM tipe 2 disebabkan

oleh adanya oksidasi radikal bebas, yang menyebabkan penurunan sekresi

hormon insulin. Diabetes jenis ini biasanya timbul pada umur lebih dari 40

tahun, kebanyakan pasien DM jenis ini bertubuh gemuk. Diabetes melitus

tipe 2 merupakan jenis kasus DM yang paling sering ditemukan diperkirakan

90% dari seluruh pasien DM di Indonesia. Sebagian besar gaya hidup yang tidak

sehat adalah faktor predisposisi terjadinya DM tipe 2, seperti konsumsi junk

food, minuman beralkohol, dan jarang berolahraga. Pasien DM tipe 2 tidak

membutuhkan insulin untuk pengobatan Rachmawani (2017).

2.3.4.3 Diabetes Melitus Gestasional (DMG).

Diabetes melitus gestasional ialah DM dalam masa kehamilan. Diabetes

ini umumnya dijumpai pada trimester kedua atau ketiga dengan keadaan

kehamilan normal yang disertai peningkatan resistensi insulin. Faktor genetik

dan obesitas merupakan faktor risiko GDM yang utama. Bagi wanita dengan

riwayat keluarga positif DM, dianjurkan untuk menjalani skrining pada minggu

24-48 usia kehamilannya. Deteksi awal ini sangat penting dilakukan karena
45

dapat membantu mengurangi angka kelahiran bayi abnormal dan angka kematian

bayi Rachmawani (2017).

2.3.4.4 Diabetes Melitus Bentuk Lain.

Diabetes melitus bentuk lain ialah diabetes yang berkaitan dengan

penyakit-penyakit lain seperti penyakit eksokrin pankreas, defek genetik fungsi

sel beta, defek genetik fungsi insulin, endokrinopati, penyakit akibat obat atau

zat kimia, infeksi, imunologi, dan sindrom genetic Rachmawani (2017).

Klasifikasi yang ada sekarang ini meliputi berbagai stadium klinis

dan tipe etiologi penyakit DM serta kategori hiperglikemia lainnya. Istilh DM

yang tergantung insulin (IDDM, insulin-dependent diabetes mellitus) dan tidak

tergantung insulin (NIDDM, non-insulin-dependent diabetes mellitus) kini sudah

tidak digunakan lagi. Klasifikasi etiologi DM diperlihatkan dalam Tabel 2.2

Gibney (2013).

Tabel 2.2 klasifikasi etiologi kelainan glikemia (diabetes mellitus)


Tipe 1 Ditandai dengan kegagalan produksi insulin yang parsial
atau total oleh sel-sel pankreas. Factor penyebab masih
belum dimengerti dengan jelas tetapi beberapa virus
tertentu, penyakit autoimun, dan faktor-faktor genetik
mungkin turut berperan.
Tipe 2 Ditandai dengan resistensi insulin ketika horman insulin
diproduksi dengan jumlah yang tidak efektik. Ada korelasi
genetik yang kuat pada tipe diabetes ini dan proses
terjadinya berkaitan erat dengan obesitas.
Tipe spesifik lainnya Defek genetik pada fungsi sel-sel
Defek genetik pada kerja insulin
Penyakit pada kelenjar eksokrin pankreas
Endokrinopati
Ditimbulkan oleh obat-obatan atau zat kimia
Infeksi
Bentuk immune-mediate diabetes yang langka
Kadang-kadang sindrom genetik lain yang disertai diabetes
46

Diabetes gestasional Bentuk diabetes yang terjadi selama kehamilan.


Kebanyakan, tapi tidak semuanya, akan sembuh setelah
melahirkan

2.3.5 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2

Proses patofisiologi kedua dalam DM tipe 2 adalah resistansi terhadap

aktivitas insulin biologis, baik di hati maupun jaringan perifer, keadaan ini

disebut sebagai resistansi insulin. Orang denagn DM tipe 2 memiliki penurunan

sensitivitas insulin terhadap kadar glukosa, yang mangakibatkan produksi glukosa

hepatik berlanjut, bahkan sampai dengan kadar glukosa darah tinggi. Hal

ini bersamaan dengan ketidak mampuan otot dan jaringan lemak untuk

meningkatkan ambilan glukosa. Mekanisme penyebab resistansi insulin perifer

tidak jelas namun ini tampak terjadi setelah insulin berikatan terhadap reseptor

pada permukaan sel Hawks (2014).

Pada sebagian orang kepekaan jaringan terhadap kerja insulin tetap

dapat dipertahankan sedangkan pada sebagian orang lain sudah terjadi resistensi

insulin dalam beberapa tingkatan. Pada seorang penderita dapat terjadi respons

metabolik terhadap kerja insulin tertentu tetap normal, sementara terhadap satu

atau lebih kerja insulin yang lain sudah terjadi gangguan. Resistensi insulin

merupakan sindrom yang heterogen, dengan faktor genetik dan lingkungan

berperan penting pada perkembangannya. Selain resistensi insulin berkaitan

dengan kegemukan, terutama gemuk di perut, sindrom ini juga ternyata dapat

terjadi pada orang yang tidak gemuk. Faktor lain seperti kurangnya aktifitas fisik,
47

makanan mengandung lemak, juga dinyatakan berkaitan dengan perkembangan

terjadinya kegemukan dan resistensi insulin Indraswari (2010).

Insulin adalah hormon pembangun (anabolic). Tanpa insulin 3 masalah

metabolik mayor terjadi Hawks (2014).

2.3.5.1 Penurunan pemenfaat glukosa

Sel-sel yang memerlukan insulin sebagai pembawa glukosa dapat hanya

mengambil kira-kira 25% dari glukosa yang sel-sel perlukan untuk bahan bakar.

Jaringan saraf, eritrosit, serta sel-sel- saluran pencernaan, hati, dan tubulus ginjal

tidak memerlukan insulin untuk transpor glukosa. Namun demikian, jaringan

lemak, sepanjang otot jantung dan tulang, memerlukan insulin untuk teranspor

glukosa. Tanpah jumlah insulin yang adekuat, banyak dari glukosa yang

dimakan tidak dapat digunakan. Dengan jumlah insulin yang tidak adekuat, kadar

glukosa meningkat. Peningkatan ini berlnjut karena hati tidak dapat menyiman

glukosa sebagai glikogen tanpa kadar insulin yang cukup. Di dalam upaya

mengembalikan keseimbangan dan mengembalikan kadar glukosa darah menjadi

normal, ginjal mengeluarkan glukosa berlebihan. Glukosa muncul dalam urine

(glukosuria). Glukosa dikeluarkan dalam uriner bertindak sebagai diuresis

osmotik dan menyebabkan pengeluaran jumlah air meningkat, mengakibatkan

deficit volume cairan Hawks (2014).

2.3.5.2 Peningkatan mobilisasi lemak

DM tipe 1 kadang-kadang dengan stress berat pada DM tipe 2, tubuh

mengubah simpanan lemak untuk produksi energy ketika glukosa tidak tersedia.

Metabolisme lemak menyebabkan pemecahan produk yang disebut keton


48

terbentuk. Keton terakumulasi dalam darah dan dikeluarkan melalui ginjal dan

paru-paru. Kadar keton dapat diukur di dalam darah dan uriner; kadar tinggi

mengindikasikan tidak terkontrolnya DM. Keton mengganggu keseimbangan

asam basa tubuh dengan menghasilkan ion hydrogen. elain itu, ketika keton

dieskresikan, natrium juga keluar, mengakibatkan kehabisan natrium serta

asidosis. Pengeluaran keton juga meningkatkan tekanan osmotic, mengarah

kepada peningkatan kehilangan cairan. Juga, ketika lemak merupakan sumber

primer energy, kadar lemak tubuh dapat meningkat menjadi 5 kali normal,

mengarah kepada peningkatan aterosklerosis Hawks (2014).

2.3.5.3 Peningkatan penggunaan protein

Kekurangan insulin mengarah kepada pemborosan protein. Pada orang

sehat, protein akan dipecah dan dibangun ulang. Pada orang dengan DM tipe 1,

tanpa insulin untuk menstimulasi sintensi protein, keseimbangan berubah,

mengarah kapada peningkatan katabolisme (pembokaran). Asam amino di ubah

menjadi glukosa di dalam hati, sehingga meningkatkan kadar glukosa. Jika

kondisi ini tidak diobatin. Klien dengan DM tipe 1 tampak kurus. Proses

patofisiologis DM berlanjut, mengarah ke komplikasi akut dan kronis yang

akan dibahas kemudian Hawks (2014).

2.3.6 Manifestasi Klinis Diabetes Melitus Tipe 2

Peningkatan kadar glukosa darah, disebut hiperglikemia, mengarah kepada

manifestasi klinis umum yang berhubungan dengan DM. pada DM tipe 1, onset

manifestasi klinis mungkin tidak kentara dengan kemungkinan situasi yang

mengancam hidup yang biasanya terjadi (misal, ketoasidosis diabetikum). Pada


49

DM tipe 2, onset manifestasi klinis mungkin berkembang secara bertahap yang

klien mungkin mencatat sedikit atau tanpa manifestasi klinis selama beberapa

tahun. Manifestasi klinis DM adalah peningkatan frekuensi buang air kecil

(poliuria), peningkatan rasa haus dan minum (polidipsi) dank arena penyakit yang

berkembang, penurunan berat badan meskinpun lapar dan peningkatan makan

(polifagi) Hawks (2014).

2.3.6.1 Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik Fatimah (2015).

a. Gejala akut diabetes melitus yaitu : Poliphagia (banyak makan) polidipsia

(banyak minum), Poliuria (banyak kencing atau sering kencing di malam

hari), nafsu makan bertambah namu berat badan turun dengan cepat (5-10

kg dalam waktu 2-4 minggu) dan mudah lelah Fatimah (2015).

b. Gejala kronik diabetes melitus yaitu : Kesemutan, kulit terasa panas atau

seperti tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah

mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas,

kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada

ibu hamil sering terjadi keguguran atau kematian janin dalam kandungan

atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4kg Fatimah (2015).

Keadaan dimana terdapat kumpulan gejala yang timbul pada seseorang

yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat

kekurangan insulin baik absolut maupun relatif disebut penyakit diabetes

melitus. Diabetes Melitus (DM) atau yang dikenal sebagai kencing manis

didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis

dikarenakan insufisiensi fungsi insulin yang ditandai dengan tingginya kadar


50

glukosa darah disertai gangguan metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein.

Insufisiensi fungsi insulin ini sendiri disebabkan oleh gangguan atau defisiensi

produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans, atau disebabkan oleh kurang

responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin Rachmawani (2017).

2.3.7 Komplikasi Diabetes Melitus Tipe 2

DM tipe 2 dan hipertensi merupakan dua keadaan yang umumnya

saling berkaitan. Keberadaan kedua keadaan tersebut secara bersama-sama

akan memperbesar resiko kardiovaskular, komplikasi rena dan retina pada DM.

pemeriksaan skrining untuk retinopatik dan mikroalbuminuria harus dilakukan

pada saat diagnosis DM tipe 2 dibuat dan sesudah itu dilakukan, setiap tahun

sekali. Dua buah penelitian landmark yang dilakukan akhir-akhir ini yaitu

The Diabetes Control and Complication trial (DCCT) pada DM tipe 1 dan The

Unite Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) pada DM tipe 2, secara

konklusif memperlihatkan bahwa pengendalian kadar glukosa darah dan

tekanan darah yang ketet akan mengurangi komplikasi vascular secara

signifikan pada DM. beberapa faktor yang turut menyebabkan terjadinya DM

dan penyakit jantung koroner seperti obesitas, kekurangnya aktivitas fisik dan

diet yang tidak tepat merupakan unsur-unsur yang dapat di ubah. Saat sudah

tersedia pedoman untuk mengubah faktor-faktor resiko ini berdasarkan pada

beberapa hasil penelitian prospektif jangka panjang Gibney (2013).

Diabetes melitus yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan

komplikasi akut dan kronis. Menurut PERKENI komplikasi DM dapat dibagi

menjadi dua kategori yaitu Fatimah (2015).


51

2.3.7.1 Komplikasi akut

Hipoglikemia adalah kadar glukosa darah seseorang di bawah nilai normal

(< 50 mg/dl). Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita DM tipe 1 yang

dapat dialami 1-2 kali per minggu, Kadar gula darah yang terlalu rendah

menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak

berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan. hiperglikemia adalah apabila

kadar gula darah meningkat secara tiba-tiba, dapat berkembang menjadi

keadaan metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik, Koma

Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) dan kemolakto asidosis Fatimah (2015).

2.3.7.2 Komplikasi Kronis

Komplikasi makrovaskuler yang umum berkembang pada penderita

DM adalah trombosit otak (pembekuan darah pada sebagian otak), mengalami

penyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung kongetif, dan stroke. Komplikasi

mikrovaskuler terutama terjadi pada penderita DM tipe 1 seperti nefropati,

diabetik retinopati (kebutaan), neuropati, dan amputasi Fatimah (2015)

2.3.8 Pemeriksaan Diagnostik Diabetes Melitus

Pemeriksaan fisik, riwayat medis dan uji laboratorium dilakukan untuk

mengkaji klien DM Hawks (2014).

2.3.8.1 Kadar glukosa darah puasa

Sampel glukosa darah puasa diambil saat klien tidak makan makanan

selain minum air selama paling tidak 8 jam. Sampel darah ini secara umum

mencerminkan kadar glukosa dari produksi hati. Jika klien mendapatkan

cairan dekstrosa intervena (IV), hasil pemriksaan harus dianalisis dengan


52

hati-hati. Pada klien yang diketahui memiliki DM, makanan dan insulin tidak

diberikan sampai setelah sampel diperoleh. Diagnosis DM dibuat ketika kadar

glukosa darah klien >126 mg/dl. Nilai diantara 110-125 mg/dl mengindekasikan

intoleransi glukosa puasa. Pengukuran kadar glukosa darah puasa memberikan

indikasi paling baik dari keseluruhan homeostasis glukosa dan metode terpilih

untuk mendiagnosis Hawks (2014).

2.3.8.2 Kadar glukosa darah sewaktu

Klien mungkin juga didiagnosis DM berdasarkan manifestasi klinis dan

kadar glukosa darah sewaktu >200 mg/dl. Sampel glukosa darah sewaktu diambil

sewaktu-waktu tanpa puasa. Peningkatan kadar glukosa darah mungkin terjadi

setelah makan, situasi penuh stress, dan dalam sampel yang diambil dari lokasi

IV atau dalam kasus DM Hawks (2014).

2.3.8.2 Kadar glukosa darah setelah makan

Kadar glukosa darah setelah makan dapat juga diambil dan digunakan

untuk mendiagnosis DM. kadar glukosa darah setelah makan diambil setelah

2 jam makan standar dan mencerminkan efisiensi ambilan glukosa yang

diperantarai insulin oleh jaringan perifer. Secara normal, kadar glukosa darah

seharusnya kembali ke kadar puasa didalam 2 jam. Kadar glukosa darah 2 jam

setelah makan >200 mg/dl selama tes toleransi glukosa oral (OGTT) memperkuat

diangnosis DM. Pada lansia, kadar glukosa setelah makan lebih tinggi, secara

spesifik meningkat 5-10 mg/dl per dekade setelah usia 50 tahun karena

penurunan normal toleransi glukosa berhubungan dengan usia. Merokok dan

minum kopi dapat mengarah kepada peningkatan nilai palsu saat 2 jam,
53

sedangkan stress olahraga dapat mengarah kepada penurunan nilai palsu

Hawks (2014).

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan

adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah

ini PERKENI (2011).

a. Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan

berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

b. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan

disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring.

Uji diagnostik dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala DM, sedangkan

pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak

bergejala, tetapi punya resiko DM (usia > 45 tahun, berat badan lebih, hipertensi,

riwayat keluarga DM, riwayat abortus berulang, melahirkan bayi > 4000 gr,

kolesterol HDL <= 35 mg/dl, atau trigliserida ≥ 250 mg/dl). Uji diagnostic

dilakukan pada mereka yang positif uji penyaring. Pemeriksaan penyaring

dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar

glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral

(TTGO) standar Fatimah (2015).

2.3.9 Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas

hidup penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan Soelistijo (2015) meliputi:


54

a. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas

hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.

b. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit

mikroangiopati dan makroangiopati.

c. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa

darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien

secara komprehensif.

2.3.9.1 Langkah-langkah Penatalaksanaan Umum

Perlu dilakukan evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama

Soelistijo (2015) yang meliputi:

1. Riwayat Penyakit

a. Usia dan karakteristik saat onset diabetes.

b. Pola makan, status nutrisi, status aktifitas fisik, dan riwayat perubahan berat

badan.

c. Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak atau dewasa muda.

d. Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk

terapi gizi medis dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan

DM secara mandiri.

e. Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan, perencanaan

makan dan program latihan jasmani.

f. Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar hiperglikemia,

hipoglikemia).
55

g. Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus urogenital.

h. Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik pada ginjal, mata, jantung

dan pembuluh darah, kaki, saluran pencernaan, dll.

i. Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah.

j. Faktor risiko merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner, obesitas,

dan riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan endokrin lain).

k. Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM.

l. Karakteristik budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi.

2. Pemeriksaan Fisik

a. Pengukuran tinggi dan berat badan.

b. Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi

berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik.

c. Pemeriksaan funduskopi.

d. Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid.

e. Pemeriksaan jantung.

f. Evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop.

g. Pemeriksaan kaki secara komprehensif (evaluasi kelainan vaskular,

neuropati, dan adanya deformitas).

h. Pemeriksaan kulit (akantosis nigrikans, bekas luka, hiperpigmentasi,

necrobiosis diabeticorum, kulit kering, dan bekas lokasi penyuntikan

insulin).

i. Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain Soelistijo

(2015).
56

3. Evaluasi Laboratorium

a. Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam setelah TTGO dan

Pemeriksaan kadar HbA1c.

4. Penapisan Komplikasi

Penapisan komplikasi harus dilakukan pada setiap penderita yang baru

terdiagnosis DM tipe 2 melalui pemeriksaan Soelistijo (2015) yaitu :

a. Profil lipid pada keadaan puasa: kolesterol total, High Density Lipoprotein

(HDL), Low Density Lipoprotein (LDL), dan trigliserida.

b. Tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, tes urin rutin dan albumin urin kuantitatif.

c. Rasio albumin-kreatinin sewaktu.

d. Elektrokardiogram.

e. Foto Rontgen thoraks (bila ada indikasi: TBC, penyakit jantung kongestif).

f. Pemeriksaan kaki secara komprehensif.

Penapisan komplikasi dilakukan di Pelayanan Kesehatan Primer. Bila

fasilitas belum tersedia penderita dirujuk ke Pelayanan Kesehatan Sekunder atau

Tersier.

2.3.9.2 Langkah-langkah Penatalaksanaan Khusus

Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat

(terapi nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis

dengan obat anti hiperglikemia secara oral atau suntikan. Obat anti hiperglikemia

oral dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau kombinasi. Pada keadaan

emergensi dengan dekompensasi metabolik berat, misalnya: ketoasidosis, stres

berat, berat badan yang menurun dengan cepat, atau adanya ketonuria yang harus
57

segera dirujuk ke Pelayanan Kesehatan Sekunder atau Tersier. Pengetahuan tentang

pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus

diberikan kepada pasien. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tersebut

dapat dilakukan setelah mendapat pelatihan khusus Soelistijo (2015).

1. Edukasi

Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlumselalu dilakukan

sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat

penting dari pengelolaan DM secara holistik. Materi edukasi terdiri dari materi

edukasi tingkat awal dan materi edukasi tingkat lanjutan Soelistijo (2015).

a. Materi edukasi pada tingkat awal dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan

Primer yang meliputi:

1) Materi tentang perjalanan penyakit DM.

2) Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara berkelanjutan.

3) Penyulit DM dan risikonya.

4) Intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta target pengobatan.

5) Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat antihiperglikemia

oral atau insulin serta obat-obatan lain.

6) Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin

7) mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia).

8) Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia.

9) Pentingnya latihan jasmani yang teratur dan perawatan kaki.

10) Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan Soelistijo (2015).


58

b. Materi edukasi pada tingkat lanjut dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan

Sekunder yang meliputi:

1) Mengenal dan mencegah penyulit akut DM.

2) Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM.

3) Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain.

4) Rencana untuk kegiatan khusus (contoh: olahraga prestasi).

5) Kondisi khusus yang dihadapi (contoh: hamil, puasa, hari-hari sakit).

6) Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir tentang

DM Soelistijo (2015).

c. Elemen edukasi perawatan kaki yaitu:

1) Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir dan di air.

2) Periksa kaki setiap hari, dan dilaporkan pada dokter apabila kulit terkelupas,

kemerahan, atau luka.

3) Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya.

4) Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, tidak basah, dan mengoleskan

krim pelembab pada kulit kaki yang kering.

5) Potong kuku secara teratur.

6) Keringkan kaki dan sela-sela jari kaki secara teratur setelah dari kamar mandi.

7) Gunakan kaos kaki dari bahan katun yang tidak menyebabkan lipatan pada

ujung-ujung jari kaki.

8) Kalau ada kalus atau mata ikan, tipiskan secara teratur.

9) Jika sudah ada kelainan bentuk kaki, gunakan alas kaki yang dibuat khusus.

10) Sepatu tidak boleh terlalu sempit atau longgar, jangan gunakan hak tinggi.
59

11) Hindari penggunaan bantal atau botol berisi air panas/batu untuk

menghangatkan kaki Soelistijo (2015).

d. Perilaku hidup sehat bagi penyandang Diabetes Melitus adalah memenuhi

anjuran:

1) Mengikuti pola makan sehat dan meningkatkan kegiatan jasmani dan latihan

jasmani yang teratur.

2) Menggunakan obat DM dan obat lainya pada keadaan khusus secara aman dan

teratur.

3) Melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan memanfaatkan

hasil pemantauan untuk menilai keberhasilan pengobatan.

4) Melakukan perawatan kaki secara berkala dan memiliki kemampuan untuk

mengenal dan menghadapi keadaan sakit akut dengan tepat.

5) Mempunyai keterampilan mengatasi masalah yang sederhana, dan mau

bergabung dengan kelompok penyandang diabetes serta mengajak keluarga

untuk mengerti pengelolaan penyandang DM.

6) Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada Soelistijo

(2015).

e. Prinsip yang perlu diperhatikan pada proses edukasi DM adalah:

1) Memberikan dukungan dan nasehat yang positif serta hindari terjadinya

kecemasan dan memberikan informasi secara bertahap dimulai dengan hal-

hal yang sederhana dan dengan cara yang mudah dimengerti.

2) Melakukan pendekatan untuk mengatasi masalah dengan melakukan simulasi.


60

3) Mendiskusikan program pengobatan secara terbuka, perhatikan keinginan

pasien. Berikan penjelasan secara sederhana dan lengkap tentang program

pengobatan yang diperlukan oleh pasien dan diskusikan hasil pemeriksaan

laboratorium.

4) Melakukan kompromi dan negosiasi agar tujuan pengobatan dapat diterima.

5) Memberikan motivasi dengan memberikan penghargaan.

6) Melibatkan keluarga atau pendamping dalam proses edukasi dan Perhatikan

kondisi jasmani dan psikologis serta tingkat pendidikan pasien dan

keluarganya.

7) Gunakan alat bantu audio visual Soelistijo (2015).

2.3.9.3 Terapi Nutrisi Medis (TNM)

TNM merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DM tipe 2 secara

komprehensif Kunci keberhasilannya adalah keterlibatan secara menyeluruh

dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan

keluarganya). Guna mencapai sasaran terapi TNM sebaiknya diberikan sesuai

dengan kebutuhan setiap penyandang DM Soelistijo (2015).

1. Komposisi Makanan yang Dianjurkan terdiri dari:

a. Karbohidrat

1) Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi. Terutama

karbohidrat yang berserat tinggi.

2) Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan.

3) Glukosa dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat

makan sama dengan makanan keluarga yang lain.


61

4) Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.

5) Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti glukosa, asal tidak

melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake/ADI).

6) Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat diberikan makanan

selingan seperti buah atau makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan

kalori sehari Soelistijo (2015).

b. Lemak

1) Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori, dan tidak

diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.

2) Komposisi yang dianjurkan: lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori, lemak

tidak jenuh ganda < 10 % dan selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.

3) Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung

lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu

fullcream.

4) Konsumsi kolesterol dianjurkan < 200 mg/hari Soelistijo (2015).

c. Protein

1) Kebutuhan protein sebesar 10 – 20% total asupan energi.

2) Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak,

ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan

tempe.

3) Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan asupan protein

menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi, dengan

65% diantaranya bernilai biologik tinggi. Kecuali pada penderita DM


62

yang sudah menjalani hemodialisis asupan protein menjadi 1-1,2 g/kg

BB perhari Soelistijo (2015).

d. Natrium

1) Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama dengan orang sehat

yaitu <2300 mg perhari.

2) Penyandang DM yang juga menderita hipertensi perlu dilakukan

pengurangan natrium secara individual.

3) Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan

pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit Soelistijo (2015).

e. Serat

1) Penyandang DM dianjurkan mengonsumsi serat dari kacang-kacangan,

buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat.

2) Anjuran konsumsi serat adalah 20-35 gram/hari yang berasal dari berbagai

sumber bahan makanan Soelistijo (2015).

f. Pemanis Alternatif

1) Pemanis alternatif aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman

(Accepted Daily Intake/ADI).

2) Pemanis alternatif dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis

tak berkalori.

3) Pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai

bagian dari kebutuhan kalori, seperti glukosa alkohol dan fruktosa.

4) Glukosa alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol

dan xylitol.
63

5) Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang DM karena dapat

meningkatkan kadar LDL, namun tidak ada alasan menghindari makanan

seperti buah dan sayuran yang mengandung fruktosa alami.

6) Pemanis tak berkalori termasuk: aspartam, sakarin, acesulfame potassium,

sukralose dan neotame Soelistijo (2015).

g. Kebutuhan Kalori

Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan

penyandang DM, antara lain dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal

yang besarnya 25-30 kal/kg BB ideal. Jumlah kebutuhan tersebut ditambah atau

dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu: jenis kelamin, umur, aktivitas,

berat badan, dan lain-lain Soelistijo (2015).

2.3.9.4 Jasmani

Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe

2 apabila tidak disertai adanya nefropati. Kegiatan jasmani sehari-hari dan

latihan jasmani dilakukan secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama

sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit perminggu. Jeda antar latihan tidak

lebih dari 2 hari berturut-turut Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan

glukosa darah sebelum latihan jasmani. Apabila kadar glukosa darah <100

mg/dL pasien harus mengkonsumsi karbohidrat terlebih dahulu dan bila >250

mg/dL dianjurkan untuk menunda latihan jasmani. Kegiatan sehari-hari atau

aktivitas sehari-hari bukan termasuk dalam latihan jasmani meskipun dianjurkan

untuk selalu aktif setiap hari. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran

juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin,


64

sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang

dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang

(50-70% denyut jantung maksimal) seperti: jalan cepat, bersepeda santai,

jogging, dan berenang Soelistijo (2015).

2.3.9.5 Terapi Farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan

latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral

dan bentuk suntikan Soelistijo (2015) yaitu:

Tabel 2.3 Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia


Golongan Obat Cara Kerja Utama Efek Samping Penurunan
Utama HbA1c
Sulfonilurea Meningkatkan sekresi BB naik 1,0-2,0%
insulin hipoglikemia
Glinid Meningkatkan sekresi BB naik 0,5-1,5%
insulin hipoglikemia
Metformin Menekan produksi Dispepsia, diare, 1,0-2,0%
glukosa hati & asidosis laktat
menambah
sensitifitas terhadap
insulin
Penghambat Menghambat absorpsi Flatulen, tinja 0,5-0,8%
Alfa-Glukosidase glukosa lembek
Tiazolidindion Menambah Edema 0,5-1,4%
sensitifitas terhadap
insulin
Penghambat Meningkatkan sekresi Sebah, muntah 0,5-0,8%
DPP-IV insulin, menghambat
sekresi glukagon
Penghambat Menghambat Dehidrasi, 0,8-1,0%
SGLT-2 penyerapan kembali infeksi saluran
glukosa di tubuli distal kemih
ginjal
65

2.3.10 Pencegahan Diabetes Melitus

Pencegahan penyakit diabetes melitus dibagi menjadi empat bagian

Fatimah (2015).yaitu:

2.3.10.1 Pencegahan Premordial

Pencegahan premodial adalah upaya untuk memberikan kondisi pada

masyarakat yang memungkinkan penyakit tidak mendapat dukungan dari

kebiasaan, gaya hidup dan faktor risiko lainnya. Prakondisi ini harus diciptakan

dengan multimitra. Pencegahan premodial pada penyakit DM misalnya adalah

menciptakan prakondisi sehingga masyarakat merasa bahwa konsumsi makan

kebarat-baratan adalah suatu pola makan yang kurang baik, pola hidup santai

atau kurang aktivitas, dan obesitas adalah kurang baik bagi kesehatan Fatimah

(2015).

2.3.10.2 Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang

termasuk kelompok risiko tinggi, yaitu mereka yang belum menderita DM, tetapi

berpotensi untuk menderita DM Fatimah (2015) diantaranya :

a. Kelompok usia tua (>45tahun)

b. Tekanan darah tinggi (>140/90mmHg)

c. Riwayat keluarga DM

d. Riwayat kehamilan dengan BB bayi lahir > 4000 gr.

e. Disiipidemia (HvL <35 mg/dl dan atau Trigliserida >250 mg/dl).

f. Pernah TGT atau glukosa darah puasa tergangu (GDPT)


66

Untuk pencegahan primer harus dikenai faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap timbulnya DM dan upaya untuk menghilangkan faktor-faktor tersebut.

Oleh karena sangat penting dalam pencegahan ini. Sejak dini hendaknya telah

ditanamkan pengertian tentang pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan

jenis makanan yang sehat menjaga badan agar tidak terlalu gemuk dan risiko

merokok bagi kesehatan.

2.3.10.3 Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya

penyulit dengan tindakan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal

penyakit. Dalam pengelolaan pasien DM, sejak awal sudah harus diwaspadai

dan sedapat mungkin dicegah kemungkinan terjadinya penyulit menahun. Pilar

utama pengelolaan DM Fatimah (2015) meliputi:

a. penyuluhan

b. perencanaan makanan

c. latihan jasmani

d. obat berkhasiat hipoglikemik.

2.3.10.4 Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier adalah upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih

lanjut dan merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut

menetap. Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi antar disiplin terkait

sangat diperlukan, terutama dirumah sakit rujukan, misalnya para ahli sesama

disiplin ilmu seperti ahli penyakit jantung, mata, rehabilitasi medis, gizi dan

lain-lain Fatimah (2015).


67

2.4 Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah suatu uraian dan visualisasi tentang hubungan

atau kaitan antara konsep-konsep atau variabel-variabel yang akan diamati atau

diukur melalui penelitian yang akan dilakukan Notoatmodjo (2012). Adapun

kerangka konsep penelitian tentang Korelasi Indeks Massa Tubuh Dengan

Tingkat Kecemasan Pada klien Diabetes Melitus Type 2 adalah sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

IMT pada klien DM type 2 Tingkat Kecemasan pada


klien DM type 2
(<18.5) Kurang
<14= Tidak ada
(18.6-22.9) Ideal
14-20= Ringan
(23.0-24.9) Overwaigh
21-27= Sedang
(25.0- 29.9) Obesitas I
(>30) Obesitas II 28-41= Berat

42-56= Berat sekali

Skema 2.1 Kerangka konsep Penelitian

2.5 Hipotesis

Istilah hipotesis berasal dari bahasa yunani yang mempunyai dua kata

“hupo” artinya sementara dan “thesis” artinya pernyataan atau teori. Menurut

Dantes (2012) hipotesis adalah praduga atau asumsi yang harus diuji melalui

data atau fakta yang di peroleh melalui penelitian. Selanjutnya Dantes (2012)

menyatakan bahwa hipotesis merupakan penuntun bagian peneliti dalam

menggali data yang diinginkan. Hipotesis dalam penelitian ini adalah:


68

1. Ho : Tidak ada korelasi dengan antara Indeks Massa Tubuh dengan Tingkat

Kecemasan pada klien Diabetes Melitus Type 2.

2. Ha : Ada Korelasi dengan antara Indeks Massa Tubuh dengan Tingkat

Kecemasan pada klien Diabetes Melitus Type 2.


69

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenisdan Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan desain

descriptif corelational yaitu penelitian yang dilakukan untuk mengetahui jenis tingkat

hubungan antara dua variabel atau lebih, tanpa melakukan perubahan tambahan, atau

manipulasi terhadap data yang memang sudah ada. Penelitian ini menggunakan

desain penelitian cross sectional yaitu penelitian observasional analitik yang

dilakukan dan diamati dalam satu waktu Notoadmodjo (2010).

3.2 Lokasidan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini akan dilakukan di Puskesmas Batunadua Kelurahan

Batunadua Julu Kecematan Padangsidimpuan. Adapun dasar alasan memilih tempat

penelitian ini berdasarkan survey pada tanggal 1 Februari 2018 yang memiliki

penyakit diabetes melitus pada bulan Agustus sampai dengan Desember 2017

adalah sebanyak 46 orang. Dan hasil wawancara dengan 10 orang dari 46 orang

tersebut 8 orang yang indeksmassa tubuhnya tidak normal dan tingkat kecemasan

yang berat karena gula darah yang tidak normal, aktivitas yang kurang,

polamakan yang tidak teratur dan faktor keturun keluarga yang mengalami

diabetes melitus, klien mengatakan masih kurang tahu apa penyebab terjadinya

diabetes melitus dan cara mengatasinya.

49
70

3.2.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2018 s/d Maret 2018.

Rencana tahapan penelitian akan dilaksanakan mulai dari survey pendahuluan,

pembuatan proposal penelitian, dan konsultasi dengan pembimbing.

Tabel 3.1 Rencana Kegiatan Dan Waktu Penelitian

Kegiatan Waktu Penelitian


Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags
Perumusan Masalah
Penyusunan Proposal
Seminar Proposal
Pelaksanaan Penelitian
Pengolahan Data
Seminar

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti disebut populasi

Notoatmodjo (2010). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita diabetes

mellitus type 2 di Puskesmas Batunadua Kelurahan Batunadua Julu Kecematan

Padangsidimpuan berdasarkan survey dari bulan Agustus sampai dengan Desember

2017 yaitusebanyak 46 orang yang mengalami diabetes melitus.

3.3.2 Sampel

Sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap

mewakili seluruh populasi disebut sampel Notoatmodjo (2010). Jika Jumlah sampel

kurang dari 100 orang maka keseluruhan populasi dijadikan sampel, dan jika populasi

lebih dari 100 orang maka pengambil sampel sebesar 10–15% atau20–25% dari
71

jumlah populasi Arikunto (2011). Penentuan jumlah sampel dilakukan dengan total

sampling, karena jumlah populasi kecil yaitu sebanyak 46 orang yang menderita

diabetes melitus di Puskesmas Batunadua Kelurahan Batunadua Juluh Kecamatan

Padangsidimpuan.

3.4 Etika Penelitian

Etika penelitian Notoatmodjo (2010), terdiri dari:

a. Informed consent

Yaitu peneliti memberi lembar permohonan menjadi responden dan

persetujuan menjadi responden pada penderita hipertensi. Dan diberikan kebebasan

untuk menentukan apakah bersedia atau tidak untuk mengikuti penelitian.

b. Anonymity

Anonimity digunakan untuk menjaga kerahasiaan. Peneliti tidak akan

mencantumkan nama pasien, tetapi pada lembar kuisoner peneliti menggantinya

dengan kode responden.

c. Confidentiality

Informasi yang telah dikumpulkan dari responden yang berasal dari lembar

kuisoner dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya digunakan untuk

pengembangan ilmu.
72

3.5 Alat Pengumpulan Data

3.5.1 Alat Pengukuran Indeks Massa Tubuh

Indeks massa tubuh dihitung sebagai berat badan dalam kilogram (kg)

dibagi tinggi badan dalam meter dikuadratkan (m2) dan tidak terkait dengan jenis

kelamin. Rumus untuk mengetahui nilai IMT dapat dihitung dengan rumus metrik

berikut:

Berat badan (Kg)

IMT =

[Tinggi badan (m)]2

Keterangan:

IMT : Indeks Massa Tubuh

BB : Berat badan dalam satuan kilogram

TB : Tinggi badan dalam satuan meter

3.5.2 Alat Pengukuran Tingkat Kecemasan

Menurut Saseno (2013) Alat atau instrumen penelitian ini adalah skala

pengukuran tingkat kecemasan dari Hamilton AnxietyRating Scale untuk mengukur

tingkat kecemasan. Instrumen terdiri dari 14 kelompok gejala dan berbentuk tabel

terdiri dari 3 kolom, yaitu nomor urut, gejala kecemasan dan nilai atau skor. Adapun

cara penilaian tingkat kecemasan menggunakan skala HARS yang terdiri dari4

kelompok gejala, masing-masing kelompok diberi bobot nilai 0, 1, 2, 3, dan 4 yaitu:

0 = Tidak ada gejala


1 = Hanya 1 gejala
2 = ½ gejala
73

3 = ¾ gejala
4 =Semua gejala

Selanjutnya masing-masing nilai score kelompok gejala tersebut dijumlahkan

dan dari hasil penjum lahan tersebut dapat diketahui derajat kecemasan seseorang

dengan menggunakan pengukuran tingkat kecemasan HARS yaitu:

< 14 = Tidak ada kecemasan.

14 – 20 = Kecemasan ringan.

21 – 27 = Kecemasan sedanng.

28 – 41 = Kecemasan berat.

42 – 56 = Kecemasan berat sekali (panik).

Data hasil skala pengukuran tingkat kecemasan selanjutnya dianalisis dengan

cara deskriptif dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi dari variabel yang

diukur dan dikonfirmasikan dalam bentuk angka frekuensi. Sebelum dilakukan

analisis bivariat, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data tingkat kecemasan.

3.6 Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan langkah awal dalam mendapatkan data

penelitian. Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan tahap sebagai berikut :

3.6.1 Tahap persiapan

Peneliti akan meminta surat izin penelitian dari Program Studi Ilmu

Keperawatan Stikes Aufa Royhan Padangsidimpuan, surat izin penelitian tersebut

akan diberikan di PuskesmasBatunadua.


74

3.6.2 Tahap Pelaksanaan

a. Setelah memperoleh izin penelitian peneliti mendatangi responden di Puskesmas

Batunadua dengan menjelaskan tujuan penelitian.

b. Melakukan wawancara pada responden tentang kesediaannya menjadi responden.

c. Menjelaskan pada responden tentang tujuan, manfaat, akibat menjadi responden.

d. Calon responden yang setuju diminta tanda tangan pada lembar surat pernyataan

kesedian menjadi responden.

e. Mengukur tinggi badan dan berat badan responden dengan menggunakan alat

meter dan kilogram.

f. Kemudian responden menjawab pertanyaan di dalam kuesioner yang telah di

siapakan oleh peneliti.

3.7 Defenisi Operasional

Defenisi operasional adalah defenisi yang didasarkan atas hal yang diamati.

Konsep ini amat penting karena defenisi merupakan suatu variabel dan mungkin

berlainan dengan pengamatan yang dilakukan Notoatmodjo (2010).

Tabel 3.2 Defenisi Operasional

Variabel Defenisi Alat ukur Skala Hasil Ukur


penelitian operasional ukur
IMT Indeks massa tubuh Timbangan Skala (<18.5) Kurang
padaklien pada klien yang Meteran ordinal (18.6-22.9) Ideal
DM type 2 mengalami hasil Lembar (23.0-24.9) Overwaigh
pengukuran berat observasi (25.0-29.9) Obesitas I
badan dengan (>30) Obesitas II
tinggi badan
berdasarkan
standar yang telah
di tetapkan.
75

Tingkat Tingkat kecemasan Kuisoner Skala <14= Tidak ada


Kecemasan pada klien yang ordinal 14-20= Ringan
pada klien mengalami 21-27= Sedang
DM type 2 keadaan emosi dan 28-41= Berat
pengalaman 42-56= Berat sekali
subjektif individu.

3.8 Analisa Data

3.8.1 Pengolahan data

Pengolahan data Notoatmodjo (2010), adalah sebagai berikut:

a. Pengeditan data (data editing)

Yaitu melakukan pemeriksaan terhadap semua data yang telah dikumpulkan

dari kuisoner dan observasi pada responden.

b. Pengkodean data (data coding)

Yaitu penyusunan secara sistematis data mentah yang diperoleh ke dalam

bentuk kode tertentu (berupa angka) sehingga mudah diolah dengan komputer.

c. Pemilihan data (data storting)

Yaitu memilih atau mengklasifikasikan data menurut jenis yang diinginkan,

misalnya menurut waktu diperolehnya data.

d. Pemindahan data ke komputer (entering data)

Yaitu pemindahan data yang telah diubah menjadi kode (berupa angka) ke

dalam komputer, yaitu menggunakan program komputerisasi.

e. Pembersihan data (data cleaning)

Yaitu memastikan semua data yang telah dimasukkan ke komputer sudah

benar dan sesuai sehingga hasil analisa data akan benar dan akurat.
76

f. Penyajian data (data output)

Hasil pengolahan data dalam penelitian ini disajikan data bentuk angka

(berupa tabel).

3.8.2 Analisa data (data analyzing)

a. Analisa univariat

Analisis univariat dilakukan untuk mengidentifikasi variabel karakteristik

responden klien dengan diabetes melitus tipe 2: (usia, jenis kelamin). Semua data

tersebut akan disusun dalam bentuk distribusi frekuensi melalui program

komputerisasi.

b. Analisa bivariat

Analisis bivariat yang dilakukan dengan mengunakan uji spearman, uji ini

memiliki syarat yaitu sumber data harus berasal dari subjek yang berbeda. Uji

spearman merupakan salah satu uji statistic non para metris. Digunakan apa bila

ingin mengetahui kesesuaian antara 2 subjek dimana skala datanya adalah ordinal.

Skala data adalah nominanl dengan interval yang diubah menjadi peringkat.

1. Jika a < 0,05, maka ho ditolak dan ha diterima, ada kolerasi Indeks massa

tubuh dengan tingkat kecemasan pada klien diabetes melitus tipe 2.

2. Jika a > 0,05, maka ha ditolak dan ho diterima, tidak ada kolerasi Indeks

massa tubuh dengan tingkat kecemasan pada klien diabetes melitu stipe 2.

c. Koefesien Korelasi

Koefesien korelasi ialah pengukuran statistik kovarian atau asosiasi antara dua

variabel. Besarnya koefesien korelasi berkisar antara +1 s/d -1. Koefesien korelasi
77

menunjukkan kekuatan (strength) hubungan linear dan arah hubungan dua variabel

acak. Jika koefesien korelasi positif, maka kedua variabel mempunyai hubungan

searah. Artinya jika nilai variabel X tinggi, maka nilai variabel Y akan tinggi pula.

Sebaliknya, jika koefesien korelasi negatif, maka kedua variabel mempunyai

hubungan terbalik. Artinya jika nilai variabel X tinggi, maka nilai variabel Y akan

menjadi rendah dan berlaku sebaliknya. Untuk memudahkan melakukan interpretasi

mengenai kekuatan hubungan antara dua variabel penulis memberikan kriteria

sebagai berikut Sarwono (2006).

1. 0 : Tidak ada korelasi antara dua variabel

2. >0 – 0,25: Korelasi sangat lemah

3. >0,25 – 0,5: Korelasi cukup

4. >0,5 – 0,75: Korelasi kuat

5. >0,75 – 0,99: Korelasi sangat kuat

6. 1: Korelasi sempurna
78

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Hasil Penelitian

Hasil penelitian yang berjudul “Korelasi Indeks Massa Tubuh Dengan

Tingkat Kecemasan Pada Klien Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Batunadua

Tahun 2018”, diperoleh dari kuesioner yang diberikan kepada 46 orang yang

mengalami penyakit Diabetes Melitus Tipe 2.

4.2 Analisis Univariat

4.2.1 Karakteristik Demografi Responden

Penelitian ini berdasarkan karakteristik responden mencakup umur dan jenis

kelamin.

Tabel 4.2.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan karakteristik Diabetes


Melitus Tipe 2 di Puskesmas Batunadua Tahun 2018.
Karakteristik Reponden Frekuensi Persentase (%)
Umur
26-35 (dewasa awal) 1 2%
36-45 (dewasa akhir) 9 20%
46-55 (lansia awal) 19 41%
56-65 (lansia akhir) 13 28%
>66 (masa manula) 4 9%
Total 46 100%
Jenis kelamin
Laki-laki 19 41%
Perempuan 27 59%
Total 46 100%

Berdasarkan tabel 4.2.1 dapat dilihat dari distribusi frekuensi usia yang

mengalami diabetes melitus tipe 2 bermayoritas 46-55 tahun (lansia awal) sebanyak

19 orang (41%). Berdasarkan dari distribusi frekuensi jenis kelamin yang mengalami

58
79

diabetes melitus tipe 2 bermayoritas perempuan sebanyak 27 orang (59%) lebih besar

dari 50%.

4.3 Analisis Univariat

Analisa univariat digunakan untuk mendeskripsikan setiap variabel yang

diteliti dalam penelitian yaitu melihat distribusi frekuensi variabel independen dan

dependen yang disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.

Tabel 4.3.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kadar Gula Darah Pada Klien
Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Batunadua Tahun 2018.
Kadar Gula Darah Frekuensi Persentase (%) Mean
146-199 mg/dl (tinggi) 22 48%
>200 mg/dl (sangat tinggi) 24 52% 5.52
Total 46 100%

Berdasarkan tabel 4.3.1 dapat dilihat dari distribusi frekuensi kadar gula darah

yang mengalami diabetes melitus tipe 2 yang bermayoritas sangat tinggi >200 mg/dl

sebanyak 24 orang (52%) dari pada frekuensi yang lain dan jumlah rata-rata kadar

gula darahnya 5.52.

Tabel 4.3.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Indeks Massa Tubuh Pada Klien
Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Batunadua Tahun 2018.
Variabel Independen Frekuensi Persentase (%) Mean
Indeks Massa Tubuh
23,0-24,9 (overweight) 1 2%
25,0-29,9 (obesitas 1) 33 72% 4.24
>30 (obesitas 2) 12 26%
Total 46 100%

Berdasarkan tabel 4.3.2 dilihat dari distribusi frekuensi indeks massa tubuh

yang mengalami diabetes melitus tipe 2 bermayoritas (obesitas 1) 25,0-29,9 sebanyak


80

33 orang (72%) dari pada frekuensi yang lainnya dan jumlah rata-rata indeks massa

tubuhnya 28,56.

Tabel 4.3.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat Kecemasan Pada Klien


Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Batunadua Tahun 2018.
Variabel Dependen Frekuensi Persentase (%) Mean
Tingkat Kecemasan
21-27 (sedang) 8 17%
28-41 (berat) 28 61% 4.04
42-56 (berat sekali) 10 22%
Total 46 100%

Berdasarkan tabel 4.4.2 dilihat dari distribusi frekuensi tingkat kecemasan

yang mengalami diabetes melitus tipe 2 bermayoritas berat 28-41 sebanyak 28 orang

(61%) dari pada frekuensi yang lainnya dan jumlah rata-rata tingkat kecemasannya

36,24.

4.4 Analisa Bivariat

Berdasarkan uji normalitas Shapiro wilk dasar pengambilan keputusan. Jika

nilai signifikansi >0,05, maka data penelitian berdistribusi normal dan jika nilai

signifikansi <0,05, maka data penelitian tidak berdistribusi normal.

Tabel 4.4.1 Berdasarkan uji normalitas Shapiro-Wilk Indeks Massa Tubuh


Dengan Tingkat Kecemasan Pada Klien Diabetes Melitus Tipe 2 di
Puskesmas Batunadua Tahun 2018.
No Shapiro-Wilk
Statistic df Signifikan
1 Indeks Massa Tubuh .959 46 .106
2 Tingkat kecemasan .960 46 .117
81

Berdasarkan tabel 4.4.1 dilihat dari uji normalitas Shapiro-Wilk indeks massa

tubuh dengan tingkat kecemasan pada klien diabetes melitus tipe 2 terdapat signifikan

nya >0,05 maka data berdistribusi normal.

Koefisiensi korelasi bivariat adalah statistic yang dapat digunakan oleh

peneliti untuk menerangkan keeratan hubungan antara dua variabel atau lebih dan

dimasukkan ke dalam tabel pearson, yaitu salah satu jenis uji komparatif yang

dilakukan pada dua variabel. Dengan derajat kepercayaan 95% (α=0,05), bila P value

< 0,05 menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara variabel independen

dengan variabel dependen.

Tabel 4.4.2 Berdasarkan uji Pearson Indeks Massa Tubuh Dengan Tingkat
Kecemasan Pada Klien Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas
Batunadua Tahun 2018.
IMT Tingkat Kecemasan
IMT Pearson Correlation 1 .047
Sig. (2-tailed) .754
N 46 46
Tingkat Pearson Correlation .047 1
Kecemasan Sig. (2-tailed) .754
N 46 46

Berdasarkan tabel 4.4.2 dilihat dari uji Pearson indeks massa tubuh dengan

tingkat kecemasan pada klien diabetes melitus tipe 2 terdapat signifikan nya P value

>.754 maka menunjukkan bahwa tidak ada korelasi indeks massa tubuh dengan

tingkat kecemasan pada klien diabetes melitus tipe 2 karena P value > 0,05 berarti Ha

ditolak dan Ho diterima. Kekuatan hubungan dapat dilihat dari nilai r = .047 maka

menunjukkan adanya korelasi sangat lemah karena >0 – 0,25 maka kedua variabel

mempunyai hubungan searah.


82

Tabel 4.4.3 Korelasi Indeks Massa Tubuh Dengan Tingkat Kecemasan Pada
Klien Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Batunadua Tahun
2018.
Tingkat kecemasan P-
No Indeks Sedang Berat Berat Total value
Massa sekali
Tubuh F % F % F % F %
1 Overweight 0 0 1 100 0 0 1 100
2 Obesitas 1 6 18 19 58 8 24 33 100 .754
5 Obesitas 2 2 17 8 67 2 16 12 100
Total 8 17 28 61 10 22 46 100

Berdasarkan tabel 4.4.2, dapat disimpulkan bahwa indeks massa tubuh dengan

tingkat kecemasan overweight dan sedang sebanyak 0 orang (0%), indeks massa

tubuh dengan tingkat kecemasan overweight dan berat sebanyak 1 orang (100%),

indeks massa tubuh dengan tingkat kecemasan overweight dan berat sekali sebanyak

0 orang (0%).

Indeks massa tubuh dengan tingkat kecemasan obesitas 1 dan sedang

sebanyak 6 orang (18%), indeks massa tubuh dengan tingkat kecemasan obesitas 1

dan berat sebanyak 19 orang (58%), indeks massa tubuh dengan tingkat kecemasan

obesitas 1 dan berat sekali sebanyak 8 orang (24%).

Indeks massa tubuh dengan tingkat kecemasan obesitas 2 dan sedang

sebanyak 2 orang (17%), indeks massa tubuh dengan tingkat kecemasan obesitas 2

dan berat sebanyak 8 orang (67%), indeks massa tubuh dengan tingkat kecemasan

obesitas 2 dan berat sekali sebanyak 2 orang (16%).


83

Dilihat dari hasil uji statistic pearson di dapat hasil signifikannya P value

=.754 (p-value > 0,05), jadi dapat disimpulkan tidak ada korelasi indeks massa tubuh

dengan tingkat kecemasan pada klien diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Batunadua

Kecematan Padangsidimpuan maka Ha ditolak dan Ho diterima. Kekuatan hubungan

dapat dilihat dari nilai r = .047 maka menunjukkan korelasi sangat lemah karena >0 –

0,25 maka kedua variabel mempunyai hubungan searah.

BAB 5

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 46 responden yang

menjadi sampel penelitian tentang korelasi indeks massa tubuh dengan tingkat

kecemasan pada klien diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Batunadua Tahun 2018.

5.1 Analisis Univariat


84

5.1.1 Karakteristik Demografi Responden

a. Umur

Peningkatan resiko DM seiring dengan umur khususnya pada usia lebih

dari 45 tahun disebabkan karena pada usia tersebut mulai terjadi peningkatan

intolenransi glukosa. Adanya proses penuaan menyebabkan berkurangnya

kemampuan sel β pancreas dalam memproduksi insulin. Selain itu pada individu

yang berusia lebih tua terdapat penurunan aktivitas mitokondria di sel-sel otot

sebesar 35% Suryani (2015).Dari hasil penelitian terdapat usia 46-55 tahun (lansia

awal) sebanyak 19 orang (41%) yang mengalami diabetes melitus tipe 2.

b. Jenis kelamin

Jenis kelamin adalah merupakan salah satu faktor dalam perkembangan

penyakit diabetes melitus tipe 2 karena secara fisik wanita memiliki peluang

peningkatan indeks massa tubuh yang lebih besar. Secara keseluruhan insiden

penyakit diabetes melitus tipe 2 lebih besar terjadi pada perempuan dari pada

laki-laki Suryani (2015).Dari hasil penelitian terdapat lebih banyak jenis kelamin

perempuan yang mengalami diabetes melitus tipe 2 sebanyak 27 orang (59%) dari
64
pada jenis kelamin laki-laki sebanyak 19 orang (41%).

5.1.2 Kadar Gula Darah

Kadar glukosa darah adalah jumlah ataukonsentrasi glukosa yang terdapat

dalam darah,pengaturan glukosa darah diatur oleh keseimbanganhormon yang

menaikan kadar glukosa darah oleh hormone glukagon, hormon epinefrin, hormon

glukokortikoid, danhormon pertumbuhan Artini (2016). Diabetes melitus atau


85

kencing manis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kerena peningkatan kadar

gula dalam darah (hiperglikemia), yang normal 60-120 mg/dl, akibat kekurangan

hormone insulin baik absolute maupun relative. Absolut berarti tidak ada insulin

sama sekali sedangkan relative berarti jumlahnya cukup atau memang sedikit tinggi

atau daya kerjanya kurang. Hormone insulin dibuat dalam pancreasPratiwi (2010).

Dari hasil penelitian yang mengalami diabetes melitus tipe 2 berdasarkan kadar gula

darah yang sakit tinggi >200 mg/dl sebanyak 24 orang (52%).

5.1.3 Indeks Massa Tubuh

Obesitas dan overweight adalah istilah untuk menyatakan kondisi

badan.Obesitas berarti lemak tubuh yang dapat membahayakan kesehatan, sedangkan

overweightmenggambarkan kelebihan dibandingkan berat badan normal.Kelebihan

berat badan dulu sering dikaitkan dengan kemakmuran.Namun kemudian kelebihan

berat badan lebih berkait dengan penempilan dan akhirnya orang sadar bahwa kondisi

ini terkait dengan banyak penyakit.Overweight dan obesitas diketahui dapat memicu

beberapa penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung koroner, diabetes melitus tipe

2, hipertensi dan dislipidemia Pratiwi (2010). Dari hasil penelitian yang mengalami

diabetes melitus tipe 2 berdasarkan indeks massa tubuh mayoritas 25,0-29,9 (obesitas

1) sebanyak 33 orang (72%).

5.1.4 Tingkat Kecemasan

Kecemasan dapat menyebabkan glikosuria, dan gangguan metabolism

karbohidrat. Pada penderita DMsistem saraf pusat dan pengeluaran epinefrin

dapatmeningkatkan pemecahan glikogen oleh hepar, hal inimembuktikan bahwa

kecemasan dapat menimbulkan terjadinya hiperglikemi. Kecemasan meningkatkan


86

hormone ACTH yang akan mengaktifkan korteks adrenal untukmesekresi hormon

glukokortikosteroid yang akanmeningkatkan glukogenesis sehingga kadar glukosa

darahakan meningkat Artini (2016).Depresi dan kecemasan adalah masalah

komorbiditas yang umum untuk kesehatan pada pasien dengan DM tipe 2. Depresi

dan kecemasan berhubungan dengan kontrol glikemik yang buruk dan akan

mengakibatkan peningkatan risiko komplikasi vaskular dan tingkat kematian lebih

tinggi Ningsih (2014).Dari hasil penelitian yang mengalami diabetes melitus tipe 2

berdasrkan tingkat kecemasan 28-41 (berat) sebanyak 28 orang (61%).

5.2 Analisa Bivariat

5.2.1 Korelasi Indeks Massa Tubuh Dengan Tingkat Kecemasan Pada Klien

Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Batunadua Tahun 2018.

Berdasarkan hasil penelitian bahwa korelasi indeks massa tubuh dengan

tingkat kecemasan pada klien diabetes melitus tipe 2 di puskesmas batunadua tahun

2018 dari 46 responden yang diteliti, indeks massa tubuh dengan tingkat kecemasan

overweight dan sedang sebanyak 0 orang (0%), indeks massa tubuh dengan tingkat

kecemasan overweight dan berat sebanyak 1 orang (100%), indeks massa tubuh

dengan tingkat kecemasan overweight dan berat sekali sebanyak 0 orang (0%).

Indeks massa tubuh dengan tingkat kecemasanobesitas 1 dan sedangsebanyak

6 orang (18%), indeks massa tubuh dengan tingkat kecemasanobesitas 1 dan berat

sebanyak 19 orang (58%), indeks massa tubuh dengan tingkat kecemasan obesitas 1

dan berat sekali sebanyak 8 orang (24%).


87

Indeks massa tubuh dengan tingkat kecemasanobesitas 2 dan sedangsebanyak

2 orang (17%), indeks massa tubuh dengan tingkat kecemasanobesitas 2 dan berat

sebanyak 8 orang (67%), indeks massa tubuh dengan tingkat kecemasan obesitas 2

dan berat sekali sebanyak 2 orang (16%).

Dilihat dari hasil uji statistic pearson di dapat hasil signifikannya p-

value>.754 (p-value > 0,05), jadi dapat disimpulkan tidak ada korelasi indeks massa

tubuh dengan tingkat kecemasan pada klien diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas

Batunadua Kecematan Padangsidimpuan. Karena ada nya faktor penghalang pada

usia dan jenis kelamin, dapat dilihat pada distribusi frekuensi responden berdasarkan

umur masih ada dibawah usia 26-35 tahun (dewasa awal) sebanyak 1 orang (2%) dan

usia 36-45 tahun sebanyak 9 orang (20%).

Berdasarkan pada usia diatas 45 tahun tersebut sesorang lebih sering terkena

DM karena tingkat sensifitas insulin mulai menurun sehingga kadar gula darah yang

seharusnya masuk kedalam sel akan tetap berada di aliran darah yang menyebabkan

kadar gula darah meningkat. DM tipe 2 muncul pada usia diatas 45 tahun karena pada

usia tersebut banyak perubahan terutama pada organ pancreas yang memproduksi

insulin. Setiap bertambahnya umur mengakibatkan semakin berkurang fungsi

pancreas dan kerja insulin. Hasil penelitian di Rumah Sakit Umum Pusat Dr.Kariadi

Semarang membuktikan bahwa pada responden yang berumur lebih dari 45 tahun

mempunyai risiko terkena diabetes tipe 2, 3 kali lebih besar dibandingkan

dengan yang berumur kurang dari 45 tahun begitupun dengan hasil penelitian di RSU

Prof Dr. R. D Kandou Manado (Santosa, 2017).


88

Berdasarkan jenis kelamin laki-laki masih terlihat banyak yang mengalami

diabetes melitus tipe 2 sebanyak 19 orang (41%) atau hampir sama mendekati jenis

kelamin perempuan sebanyak 27 orang (59%). Banyaknya jumlah penderita DM dari

kaum perempuan disebabkan karena perempuan lebih beresiko terkena DM dari pada

laki-laki, hal itu dikarenakan perempuan mempunyai peluang lebih besar pada

peningkatan indeks masa tubuh. Sindroma siklus bulanan (premenstrual syndrome)

pasca menopouse yang membuat distribusi lemak tubuh menjadi mudah terakumulasi

akibat proses hormonal tersebut sehingga wanita beresiko menderita DM tipe 2.

Apabila indeks masa tubuh wanita semakin gemuk maka resiko terkena DM akan

semakin tinggi, dan apabila indeks masa tubuh wanita semakin kurus maka resiko

terkena DM juga semakin berkurang (Santosa, 2017).

Berdasarkan hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Muhammad Arif yang berjudul “hubungan indeks massa tubuh

dengan kadar gula darah puasa pada pegawai secretariat daerah provinsi riau”. Hasil

analisis didapatkan nilai P-value >0,276(p-value >0,05) dari 43 responden yang

diteliti.didapatkan hasil bahwa tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara

indeks massa tubuh dengan kadar gula darah puasa. Dari penelitian yang sama dan

dengan jumlah responden yang sama dilakukan uji untuk mencari hubungan antara

lingkar pinggang dengan kadar gula darah puasa dimana terdapat hubungan yang

bermakna dengan nilai korelasi yang lemah dan dengan arah korelasi positif analisis

menggunakan Uji Spearmant’s.


89

Berdasarkan hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Ika Artini yang berjudul “hubungan tingkat kecemasan dengan kadar

glikosa darah pada pasien diabetes melitus di wilayah kerja puskesmas kelurahan

gedong air bandar lampung tahun 2016”. Hasil analisis didapatkan nilai P-value

<0,012 (<0,05) dari 34 responden yang diteliti. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa terdapat hubungan antara tingkat kecemasan dengan kadar glukosa darah pada

pasien diabetes mellitus, dan di dapatkan nilai kolerasi (0,426), dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa kekuatan kolerasi pada penelitian ini adalah sedang dengan

menggunakan analisis menggunakan Uji Spearmant’s.

Walaupun hasil penelitian ini memperoleh hasil analisis yang tidak signifikan

dan kekuatan korelasi sangat lemah, namun dari data tersebut menunjukkan bahwa

seseorang akan lebih cepat terkena penyakit diabetes melitus apabila seseorang

tersebut memiliki indeks massa tubuh yang lebih dari batas normal dan tingkat

kemasan yang berat sekali atau kadar gula darah yang sangat tinggi hal tersebut

kemungkinan terdiagnosis diabetes melitus.

Keterbatasan Penelitianini adalahsedikitnya jumlah responden yang

melakukan diet, rajinolah raga, dan mengkonsumsi obat anti diabetik. Dankekurangan

pada penelitian dengan tidak dilakukannyapemeriksaan food recalls yang

dikarenakan olehketerbatasan ilmu peneliti.


90

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
91

Dari hasil penelitian yang telah penulisan lakukan dengan Korelasi Indeks

Massa Tubuh Dengan Tingkat Kecemasan pada Klien Diabetes Melitus Tipe 2 di

Puskesmas Batunadua tahun 2018.

Maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Indeks massa tubuh yang mengalami diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas

Batunadua mayoritas 25,0-29,9 (obesitas 1) sebanyak 33 orang (72%).

2. Tingkat kecemasan tubuh yg mengalami diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas

Batunadua mayoritas 28-41 (berat) sebanyak 28 orang (61%).

3. Tidak ada korelasi indeks massa tubuh dengan tingkat kecemasan pada klien

diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Batunadua dimana hasil signifikannya

p=.754 (p-value > 0,05).

6.2 SARAN

Dari hasil penelitian yang telah penulis lakukan antara Korelasi Indeks Massa

Tubuh Dengan Tingkat Kecemasan pada Klien Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas

Batunadua tahun 2018.

Maka penulis mengambil saran sebagai berikut:

1. Bagi Responden

Diharapkan responden lebih meningkatkan pengetahuan khususnya tentang

indeks massa tubuh, tingkat kecemasan dan banyak melakukan kegiatan ke

hal positif sperti berolahraga dan lain-lain untuh menghindari berat badan dan
71
kejenuhan yang bisa mengakibatkan tingkat kecemasan.

2. Bagi Puskesmas
92

Diharapkan agar banyak memberikan informasi khusunya yang mengalami

diabetes melitus tipe 2 dan memberikan pengobatan yang baik dan olahraga

yang sehat.

3. Bagi Pendidikan Keperawatan

Diharapkan penelitian ini dapat menambah referensi bagi ilmu keperawatan

khususnya tentang indeks massa tubuh dan tingkat kecemasan.

4. Bagi Penelitian Selanjutnya

Diharapkan bagi peneliti selanjutnya mengembangkan variabel penelitian

sehingga ini akan berbeda hasil jika variabel-variabel lainnya diteliti dan

didapatkan hasil penelitian yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. (2015). dalam Asmarani 2017 Analisis Faktor Risiko
Obesitas dan Hipertensi dengan Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 di Rumah
93

Sakit Umum Daerah Kota Kendari. E-ISSN: 2443-0218 Volume 4 Nomor 2 ,


322.

American Diabetes Association. (2014). Standards of Medical Care in Diabetes


2011. Volume 34, supplement. 1. Retrieved Oktober 31, 2017, from
diabetesjournals.org/content/34/supplement_1/S11.full.pdf+html.

Arikunton, S. (2011). Prosedur penelitian sosial. Jakarta: Bumi Aksara.

Artini, I. (2016). Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Kadar Glukosa Darah pada
Pasien Diabetes Melitus Tipe-2 di Wilayah Kerja puskesmas Kelurahan
Gedong Air Bandar Lampung Tahun 2016. JURNAL MEDIKA MALAHAYATI
Vol 3, No 1 , 40-41

Dantes. (2012). Hipotesis Penelitian Pendidikan. Retrieved November 23, 2017, from
http://www.karyaku.web.id/2014/12/hipotesis-penelitian-pendidikan.html

Dinkes. (2016). Sumut Alami Peningkatan Penderita Penyakit Diabetes. Retrieved


Februari 8, 2018, from beritasumut.com/Kesehatan/Sumut-Alami Peningkatan
-Penderita-Penyakit-Diabetes

Fatimah, R. N. (2015). Diabetes Melitus Tipe 2. Jurnal Majority | Volume 4 Nomor 5


, 94-100.

Gibney. (2009). Gizi kesehatan masyarakat. Jakarta: EGC.

Gibney, M. J. (2013). Gizi kesehatan masyarakat. Jakarta: EGC.

Ginting, A. (2016). Cara menghitung IMT (Indeks Massa Tubuh, Perawatan


Colostomy, Penyuluhan Tentang Penyakit Sistem Pencernaan. Retrieved
November 24, 2017, from https://www.scribd.com/document/344651115/
Makalah-IMT

Hawks, J. M. (2014). Keperawatan medikal bedah. Singapura: Elsevier.

Tanjung, H. (2016). Hubungan Cacing Perawat Dengan Tingkat Kecemasan Anak


Usia Sekolah Saat Pemasangan Infus Di RSUD Padangsidimpuan. Skripsi
Sarjana. Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Aufa Royhan Padangsidimpuan.

Internasional Diabetes Federation. (2015). dalam Asmarani 2017 Analisis Faktor


Risiko Obesitas dan Hipertensi dengan Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 di
94

Rumah Sakit Umum Daerah Kota Kendari. E-ISSN: 2443-0218 Volume 4


Nomor 2 , 322.

Indraswari. (2010). Hubungan Indeks Glikemik Asupan Makanan Dengan Kadar


Glukosa Darah Pada Pasien Rawat Jalan Diabetes Mellitus Tipe-2 Di Rsup
Dr. Wahidin Sudirohusodo. Skripsi Sarjana. Program Studi Ilmu Gizi ,
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar.
Retrieved November 20, 2017, from https://scholar.google.co.id/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=Hubungan+Indeks+Glikemik+Asupan+Makanan+
Dengan+Kadar+Glukosa+Darah++Pada+Pasien+Rawat+Jalan+Diabetes+Mel
litus+Tipe-2&btnG=

Justitia, N. L. (2012). Hubungan Obesitas dengan Peningkatan Kadar Gula Darah


Pada Guru-Guru SMP Negeri 3 Medan. Skripsi Sarjana. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara Medan Retrieved Oktober 24, 2017, from
https://scholar.google.co.id/scholar?lookup=0&q=++Dalam+skripsi:+Hubung
an+Obesitas+dengan+Peningkatan+Kadar+Gula+Darah+Pada+Guru+Guru+S
MP+Negeri+3+Medan.+Fakultas+Kedokteran+Universitas+Sumatera+Utara+
Medan&hl=id&as_sdt=0,5

Kemenkes, R.I (2016). Mari Kita Cegah Diabetes Dengan Cerdik. Retrieved
Februari 7, 2018, from www.depkes.go.id/article/print/.../menkes-mari-kita-
cegah-diabetes-dengan-cerdik.ht.

Nindyasari, N. D. (2010). Perbedaan Tingkat Kecemasan Pada Penderita Diabetes


Melitus (DM) Tipe I Dengan Diabetes Melitus (DM) Tipe II. Retrieved
November 28, 2017, from https://eprints.uns.ac.id/5333/1/1351209082010093
31.pdf

Ningsih, N. F. (2014). Hubungan antara Tingkat Kecemasan dengan Kadar HbA1c


pada Penyandang Diabetes Melitus Tipe 2 yang Mengikuti Prolanis di Grha
Diabetika Surakarta. Retrieved Mei 9, 2018

Notoadmodjo, S. (2010). Ilmu kesehatan dan ilmu perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo. (2012). BAB III KERANGKA KONSEP. Retrieved November 23, 2017,
from https://plus.google.com/111253574383987346678/posts/EvMc6r3f4aZ

PERKENI. (2011). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2


di Indonesia. Retrieved Oktober 24, 2017, from www.perkeni.org
95

Pratiwi, Y. S. (2010). Diabetes Melitus pada Obesitas. THE INDONESIA JOURNAL


OF HEALTHSSCIENCE, Vol 1, No 1 , 62.

Rachmawani, N. R. (2017). Khasiat Pemberian Buncis (Phaseolus vulgaris L.)


sebagai Terapi Alternatif Diabetes Melitus Tipe 2. Majority | Volume 6 |
Nomor 1 , 73-74.

Rakhmadany. (2010). Makalah diabetes melitus. Jakarta : Universitas Islam Negeri

Roupa. (2009). Anxiety And Depression In Patients With Type 2 Diabetes Mellitus,
Depending On Sex And Body Index. Health Science Journal Volume 3, Issue
1 , 32-37.

Santosa, A. (2017). Hubungan Riwayat Garis Keturunan dengan Usia Terdiagnosis


Diabetes Melitus Tipe II. URECOL , 3.

Saseno. (2013). Efektifitas Relaksasi Terhadap Tingkat Kecemasan pada Lansia di


Posyandu Lansia Adhi Yuswa RW.X Kelurahan Kramat Selatan. Jurnal
Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume 9 No.3.

Semiardji, G. (2013). Stres Emosional Pada Penyandang Diabetes dalam: Soegondo,


S., Soewondo, P., Subekti, I., Editor. Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Terpadu. Jakarta: FKUI

Simanjuntak, G. V. (2017). Pengaruh Latihan Relaksasi Otot Progresif Terhadap


Kadar Gulah Darah Dan Ankle Brachial Index pad Pasien Diabetes Melitus
Tipe II. Idea Nursing Journal Vol. VIII No. 1 , 46.

Soelistijo, S. A. (2015). Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2.


Indonesia: PERKENI.

Stuart, G. W. (2016). Keperawatan kesehatan jiwa stuart. Singapura: Elsevier.

Supariasa. (2012). Penilaian status gizi. Jakarta: EGC.

Suryani, N. (2016). Diet dan Olahraga Sebagai Upaya Pengendalian Kadar Gula
Darah pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Poliklinik Penyakit Dalam
RSUD Ulin Banjarmasin Tahun 2015. Jurkessia, Vol. VI, No. 2 , 4.

Tsenkova, V. (2013). Trait Anxiety and Glucose Metabolism in People Without


Diabetes. Vulnerabilites Among Black Women. Diabet Med. 24(6) , 803.

World Health Organization. (2016). Global Report on Diabetes. Retrieved November


16, 2017, from apps.who.int/iris/bitstream/.../1/9789241565257_eng.pdf
96

World Health Organization. (2016). Global Report on Diabetes. France: World


Health Organization. Retrieved Januari 29, 2018, http://www.who.int/diabetes
/global-report/en/.

World Health Organization. (2017). dalam Lathifah 2017 Hubungan Durasi Penyakit
dan Kadar Gula Darah Dengan Keluhan Subyektif Penderita Diabetes
Melitus. Jurnal Berkala Epidemiologi, Volume 5 Nomor 2, Mei 2017, hlm.
231-239 , 232.

PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN


97

Kepada Yth,
Calon Responden Penelitian
Di Puskesmas Batunadua
Dengan Hormat,
Saya yang bertanda tanagn dibawah ini adalah mahasiswa STIKes Aufa
Royhan Padangsidimpuan program studi ilmu keperawatan:
Nama : Ardaman Mendrofa
Nim : 14010008
Dengan ini menyampaikan bahwa saya akan mengadakan penelitian dengan
judul “Korelasi Indeks Massa Tubuh Dengan Tingkat Kecemasan Pada Klien
Diabetes Melitus Tipe 2”.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan proses gambaran yang
dilakukan melalui kuesioner. Data yang diperoleh hanya digunakan untuk keperluan
peneliti Kerahasiaan data dan identitas saudara tidak akan disebarluaskan.
Saya sangat menghargai kesediaan saudara untuk meluangkan waktu
menendatangani lembar persetujuan yang disediakan ini. Atas kesediaan dan kerja
samanya saya ucapakan terima kasih.

Hormat Saya Responden

(Ardaman Mendrofa) ( )

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN


(Informed Consent)
98

Saya yang bertanada tangan dibawah ini :


Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Agama :
Pendidikan :

Dengan ini menyatakan bersedia untuk menjadi responden penelitian yang


dilakukan oleh Ardaman Mendrofa, Mahasiswa S1 Keperawatan Program Studi Ilmu
Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Aufa Royhan Padangsidimpuan yang
berjudul “Korelasi Indeks Massa Tubuh Dengan Tingkat Kecemasan Pada Klien
Diabetes Melitus Tipe 2”

Saya mengerti dan memahami bahwa penelitian ini akan berakibat negatif
terhadap saya, oleh karena itu saya bersedia untuk menjadi responden pada penelitian
ini.

Padangsidimpuan, Januari 2018


Responden

( )

KUESIONER
99

Kolerasi Indeks Massa Tubuh Dengan Tingkat Kecemasan pada klien Diabetes

Melitus Tipe 2 Di Puskesmas Batunadua Tahun 2017.

Islah pertanyaan dibawah ini sesuai dengan pengetahuan anda, terima kasih atas

pertisipasi anda:

Petunjuk Pengisian:

1. Jawablah pertanyaan di bawah ini sesuai dengan pengetahuan anda. Berilah

tanda silang (X) pada kotak Ya atau Tidak.

2. Jawab dengan jujur yang sesuai hati nurani anda.

3. Kerahasiaan jawaban dijaga oleh peneliti

Nomor responden :

Umur :

1. Jenis kelamin

( ) Laki-laki ( ) Perempuan

2. Riwayat keluarga dengan DM

( ) Ya ( ) Tidak

3. Pengukuran Faktor Resiko

a. Berat badan : kg

b. Tinggi badan : cm

c. Kadar gula darah : gr/dl

d. IMT :

KUESIONER PENELITIAN
100

Kolerasi Indeks Massa Tubuh Dengan Tingkat Kecemasan pada klien Diabetes

Melitus Tipe 2 Di Puskesmas Batunadua Tahun 2017.

Pentujukan Pengisian:

1. Bacalah dengan teliti setiap item

2. Baca kembali setelah anda menjawab semua item agar tidak ada pertanyaan

yang terlewatkan untuk dijawab.

3. Setelah diisi mohon kembalikan kepada peneliti.

4. Terimakasi dan selamat menjawab.

Indentitas Responden

a. Umur :

b. No Responden :

Skor : 0 = Tidak ada gejala


1 = Hanya 1 gejala
2 = ½ gejala
3 = ¾ gejala
4 = Semua gejala

Total Skor : kurang dari 14 = Tidak ada kecemasan


14 – 20 = Kecemasan ringan
21 – 27 = Kecemasan sedang
28 – 41 = Kecemasan berat
42 – 56 = Kecemasan berat sekali

Tingkat Kecemasan pada klien Diabetes Melitus Tipe 2


101

No Pertanyaan 0 1 2 3 4
1 Perasaan Ansietas
- Cemas
- Firasat Buruk
- Takut Akan Pikiran Sendiri
- Mudah Tersinggung
2 Ketegangan
- Merasa Tegang
- Lesu
- Tak Bisa Istirahat Tenang
- Mudah Terkejut
- Mudah Menangis
- Gemetar
- Gelisah
3 Ketakutan
- Pada Gelap
- Pada Orang Asing
- Ditinggal Sendiri
- Pada Binatang Besar
- Pada Keramaian Lalu Lintas
- Pada Kerumunan Orang Banyak
4 Gangguan Tidur
- Sukar Masuk Tidur
- Terbangun Malam Hari
- Tidak Nyenyak
- Bangun dengan Lesu
- Banyak Mimpi-Mimpi
- Mimpi Buruk
- Mimpi Menakutkan
5 Gangguan Kecerdasan
- Sukar Konsentrasi
- Daya Ingat Buruk
6 Perasaan Depresi
- Hilangnya Minat
- Berkurangnya Kesenangan Pada Hobi
- Sedih
- Bangun Dini Hari
- Perasaan Berubah-Ubah Sepanjang Hari
102

7 Gejala Somatik (Otot)


- Sakit dan Nyeri di Otot-Otot
- Kaku
- Kedutan Otot
- Gigi Gemerutuk
- Suara Tidak Stabil
8 Gejala Somatik (Sensorik)
- Tinitus
- Penglihatan Kabur
- Muka Merah atau Pucat
- Merasa Lemah
- Perasaan ditusuk-Tusuk
9 Gejala Kardiovaskuler
- Takhikardia
- Berdebar
- Nyeri di Dada
- Denyut Nadi Mengeras
- Perasaan Lesu/Lemas Seperti Mau Pingsan
- Detak Jantung Menghilang (Berhenti
Sekejap)
10 Gejala Respiratori
- Rasa Tertekan atau Sempit Di Dada
- Perasaan Tercekik
- Sering Menarik Napas
- Napas Pendek/Sesak
11 Gejala Gastrointestinal
- Sulit Menelan
- Perut Melilit
- Gangguan Pencernaan
- Nyeri Sebelum dan Sesudah Makan
- Perasaan Terbakar di Perut
- Rasa Penuh atau Kembung
- Mual
- Muntah
- Buang Air Besar Lembek
- Kehilangan Berat Badan
- Sukar Buang Air Besar (Konstipasi)
12 Gejala Urogenital
103

- Sering Buang Air Kecil


- Tidak Dapat Menahan Air Seni
- Amenorrhoe
- Menorrhagia
- Menjadi Dingin (Frigid)
- Ejakulasi Praecocks
- Ereksi Hilang
- Impotensi
13 Gejala Otonom
- Mulut Kering
- Muka Merah
- Mudah Berkeringat
- Pusing, Sakit Kepala
- Bulu-Bulu Berdiri
14 Tingkah Laku Pada Wawancara
- Gelisah
- Tidak Tenang
- Jari Gemetar
- Kerut Kening
- Muka Tegang
- Tonus Otot Meningkat
- Napas Pendek dan Cepat
- Muka Merah
Skor Total =

LEMBAR OBSERVASI
104

NO TANDA KECEMASAN YA TIDAK


1 Nadi meningkat
2 Akral teraba dingin
3 Pernapasan meningkat
4 Wajah pucat
5 Diaporesis
6 Palpitasi

MASTER TABEL
105

Jenis
Umur kelamin IMT Tingkat kecemasan Kadar gula darah
3 2 4 4 6
4 2 4 4 5
3 2 5 4 6
3 2 5 4 5
4 2 4 4 6
4 2 4 3 5
2 2 4 3 5
3 2 4 4 5
4 2 3 4 5
3 2 4 4 6
3 2 4 4 6
3 2 4 4 6
2 2 5 4 5
3 2 4 4 5
2 1 4 5 6
5 1 4 5 6
4 2 4 5 6
3 1 4 5 5
4 2 4 4 6
3 1 4 4 6
2 2 4 4 5
3 1 4 4 6
4 1 4 4 5
2 2 4 4 5
4 2 5 5 6
2 1 4 4 5
5 2 5 4 6
5 1 5 4 5
2 2 5 4 5
2 2 5 4 5
2 2 4 4 6
4 1 4 4 6
3 2 4 3 5
3 1 4 5 6
4 2 5 3 6
1 1 4 3 5
3 1 5 3 5
3 2 5 5 6
106

5 2 5 4 6
4 1 4 4 6
3 1 4 3 5
4 1 4 5 6
3 1 4 3 5
3 1 4 5 6
3 1 4 4 5
4 1 4 5 6
1= 26-35 (dewasa 1= < 14 (tidak ada 1= <40 mg/dl (sangat
awal) 1= laki-laki 1= 18.5 (kurang) kecemasan) rendah)
2= 36-45 (dewasa
akhir) 2= perempuan 2= 18,6-22,9 (ideal) 2= 14-20 ( kecemasan ringan) 2= 40-59 mg/dl (rendah)
3= 23,0-24,9
3= 46-55 (lansia awal) (overweight) 3= 21-27 (kecemasan sedang) 3= 60-125 mg/dl (normal)
4= 25,0-29,9 4= 126-145 mg/dl
4= 56-65 (lansia akhir) (obesitas 1) 3= 28-41 (kecemasan berat) (normal/tinggi)
4= 42-56 (kecemasan berat
5= >66 (masa manula) 5= >30 (obesitas 2) sekali) 5= 146-199 mg/dl (tinggi)
6= >200 mg/dl (sangat
tinggi)
107

Indeks Massa Tubuh Tingkat Kecemasan


27.02 38
25.33 38
30.22 40
30.61 39
28.13 41
27.27 22
25 24
26.78 39
23.36 32
28.85 40
26.22 37
29.77 32
30.87 33
25.51 39
27.39 43
27.81 48
28.19 49
28.3 44
29.55 37
27.35 39
28.76 33
26.44 36
29.75 28
27.3 41
30.7 45
29.76 33
31.59 41
30.1 39
32.89 31
30.33 31
28.36 38
26.37 36
27.11 23
26.92 45
33.2 27
26.07 24
108

33.16 26
34.17 43
34.24 37
28.73 38
26.5 25
28.12 46
27.3 25
27.68 49
26.44 31
28.35 42

HASIL ANALISA DATA


109

Frequencies

Statistics

Umur Jenis kalamin IMT Tingkat kadar gula


kecemasan darah

Valid 46 46 46 46 46
N
Missing 0 0 0 0 0

Mean 3.22 4.24 4.04 5.52

Median 3.00 4.00 4.00 6.00

Mode 3 4 4 6

Skewness .043 .616 -.031 -.090

Std. Error of Skewness .350 .350 .350 .350

Kurtosis -.317 -.109 -.349 -2.085

Std. Error of Kurtosis .688 .688 .688 .688

Minimum 1 3 3 5

Maximum 5 5 5 6

Sum 148 195 186 254

Frequency Table

Umur
110

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

26-35 (dewasa awal) 1 2.2 2.2 2.2

36-45 (dewasa akhir) 9 19.6 19.6 21.7

46-55 (lansia awal) 19 41.3 41.3 63.0


Valid
56-65 (lansia akhir) 13 28.3 28.3 91.3

>66 (masa manula) 4 8.7 8.7 100.0

Total 46 100.0 100.0

Jenis kalamin

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

LK 19 41.3 41.3 41.3

Valid PR 27 58.7 58.7 100.0

Total 46 100.0 100.0

IMT

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

23,0-24,9 (ideal) 1 2.2 2.2 2.2

Valid 25,0-29,9 (obesitas1) 33 71.7 71.7 73.9

>30 (obesitas 2) 12 26.1 26.1 100.0


111

Total 46 100.0 100.0

Tingkat kecemasan

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

21-27 (Kecemasan sedang) 8 17.4 17.4 17.4

28-41 (kecemasan berat) 28 60.9 60.9 78.3


Valid
42-56 (kecemasan berat sekali) 10 21.7 21.7 100.0

Total 46 100.0 100.0

kadar gula darah

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

146-199 mg/dl (tinggi) 22 47.8 47.8 47.8

Valid >200 mg/dl (sangat tinggi) 24 52.2 52.2 100.0

Total 46 100.0 100.0

Crosstabs

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent


112

IMT * Tingkat kecemasan 46 100.0% 0 0.0% 46 100.0%

IMT * Tingkat kecemasan Crosstabulation

Tingkat kecemasan

21-27 28-41 42-56 Total


(Kecemasan (kecemasan (kecemasan
sedang) berat) berat sekali)

Count 0 1 0 1
23,0-24,9
(Overweight)
% within IMT 0.0% 100.0% 0.0% 100.0%

Count 6 19 8 33
IMT 25,0-29,9
(obesitas1)
% within IMT 18.2% 57.6% 24.2% 100.0%

Count 2 8 2 12
>30
(obesitas 2)
% within IMT 16.7% 66.7% 16.7% 100.0%

Count 8 28 10 46

Total % within IMT 17.4% 60.9% 21.7% 100.0%

Explore

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

IMT 46 100.0% 0 0.0% 46 100.0%

Tingkat kecemasan 46 100.0% 0 0.0% 46 100.0%

kadar gula darah 46 100.0% 0 0.0% 46 100.0%


113

Descriptives

Statistic Std. Error

Mean 4.24 .071

Lower Bound 4.10


95% Confidence Interval for
Mean
Upper Bound 4.38

5% Trimmed Mean 4.23

Median 4.00

Variance .230

IMT Std. Deviation .480

Minimum 3

Maximum 5

Range 2

Interquartile Range 1

Skewness .616 .350

Kurtosis -.109 .688

Mean 4.04 .093

Lower Bound 3.86


95% Confidence Interval for
Mean
Upper Bound 4.23
Tingkat kecemasan
5% Trimmed Mean 4.05

Median 4.00

Variance .398
114

Std. Deviation .631

Minimum 3

Maximum 5

Range 2

Interquartile Range 0

Skewness -.031 .350

Kurtosis -.349 .688

Mean 5.52 .074

Lower Bound 5.37


95% Confidence Interval for
Mean
Upper Bound 5.67

5% Trimmed Mean 5.52

Median 6.00

Variance .255

kadar gula darah Std. Deviation .505

Minimum 5

Maximum 6

Range 1

Interquartile Range 1

Skewness -.090 .350

Kurtosis -2.085 .688

Tests of Normality
115

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

IMT .120 46 .096 .959 46 .106

Tingkat Kecemasan .129 46 .055 .960 46 .117

Correlations

Correlations

IMT Tingkat
Kecemasan

Pearson Correlation 1 .047

IMT Sig. (2-tailed) .754

N 46 46

Pearson Correlation .047 1

Tingkat Kecemasan Sig. (2-tailed) .754

N 46 46

Вам также может понравиться