Вы находитесь на странице: 1из 16

Wuri Handoko & Muhammad Al Mujabuddawat, Situs Kampung Tua Kao

DOI: 10.24832/jpnk.v2i2.653

SITUS KAMPUNG TUA KAO:


Identitas Asal Usul dan Jejak Peradaban Islam
di Wilayah Pedalaman Halmahera Utara

OLD SETTLEMENT SITE IN KAO:


The Origin Identity and Traces of Islamic Civilization
in The Hinterland of North Halmahera

Wuri Handoko dan Muhammad Al Mujabuddawat


Balai Arkeologi Maluku
Jl. Namalatu-Latuhalat, Ambon 97118
e-mail: wuri_balarambon@yahoo.com, mujab@kemdikbud.go.id

Naskah diterima tanggal: 12-9-2017, disetujui tanggal: 28-9-2017

Abstract: Tanah Kao as part of Ternate’s Islamic rule is not mentioned in many historical
literatures which is dominated by sources about Tobelo in relation to the history of Hibualamo
and the Moro Kingdom. However, based on the people’s folklore, it is said that the identity
of the origin of North Halmahera community derives from Telaga Lina in Tanah Kao. Based
on the folklore, this research was conducted in the Kampung Tua Kao (Old Settlement Site
in Kao). This research reveals the identity of the people who inhabit the Kampung Tua Kao
and the traces of Islamic civilization on Kampung Tua Kao by using literature study, field
survey, and archaeological excavation. Based on the results of literature studies and previous
research there are theories that explain the identity of the origin of the Kao people but
entirely derived from Telaga Lina in the Tanah Kao. Based on archaeological survey and
excavation in the Kampung Tua Kao, it was found a number of archaeological remains in
the form of artifacts and features. The remaining artifacts were found in various fragments
of earthenware and foreign ceramics, while the remaining features encountered including a
number of ancient tombs, grave tombs, lutur, and mosque poles. Based on these data, this
study proves the existence of the Muslim community who has lived and inhabited the
Kampung Tua Kao in the past and there are various cultural interactions within the
community.

Keywords: Archaeology, Islamic civilization, old settlement, Kao, North Halmahera

Abstrak: Hubungan Tanah Kao dengan kekuasaan Islam Ternate di Halmahera Utara tidak
banyak disebutkan dalam berbagai literatur. Sebagian besar literatur menyebut tentang
Tobelo dalam kaitannya dengan sejarah Hibualamo dan Kerajaan Moro. Namun, berdasarkan
tradisi tutur masyarakat menyebutkan bahwa identitas asal-usul komunitas orang
Halmahera Utara berasal dari Telaga Lina di Tanah Kao. Atas dasar tradisi tutur itulah yang
menjadi dasar penelitian di Situs Kampung Tua Kao. Penelitian ini mengungkap penelusuran
identitas komunitas yang mendiami situs Kampung Tua Kao pada masa lalu dan jejak-
jejak peradaban Islam di situs Kampung Tua Kao dengan menggunakan metode penelusuran
kepustakaan, survei lapangan, dan ekskavasi arkeologi. Hasil penelitian ini mengungkapkan
berdasarkan hasil penelusuran pustaka dan penelitian terdahulu terdapat sejumlah teori
yang menjelaskan identitas asal-usul komunitas Kao. Namun, apabila dirunut ke belakang
semuanya berasal dari Telaga Lina di Tanah Kao. Berdasarkan survei dan ekskavasi arkeologi
di situs Kampung Tua Kao ditemukan sejumlah tinggalan arkeologis berupa artefak dan
fitur. Tinggalan artefak yang ditemukan antara lain beragam fragmen gerabah dan keramik
asing, sedangkan tinggalan fitur yang dijumpai antara lain sejumlah makam kuno, nisan

150 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 2, Desember 2017


Wuri Handoko & Muhammad Al Mujabuddawat, Situs Kampung Tua Kao

makam, lutur, dan umpak-umpak masjid. Berdasarkan data-data tersebut, penelitian ini
membuktikan keberadaan komunitas muslim pernah hidup dan mendiami situs Kampung
Tua Kao di masa lalu dan terjadi berbagai interaksi budaya di dalam komunitas tersebut.

Kata kunci: Arkeologi, peradaban Islam, perkampungan tua, Kao, Halmahera Utara

PENDAHULUAN menyebut tentang Tobelo dalam kaitannya


Wilayah Kecamatan Kao yang disebut dengan dengan sejarah Hibualamo dan Kerajaan Moro.
Tanah Kao merupakan bagian dari wilayah Pada beberapa literatur, peneliti lebih
Kabupaten Halmahera Utara, yang beribukota banyak mengangkat Tobelo yang sangat identik
di Tobelo dan dikenal dengan sebutan Bumi dengan kawasan jazirah Halmahera Utara dan
Hibualamo (Naping, 2013). Tanah Kao dalam menghubungkannya dengan Telaga Lina yang
berbagai literatur sejarah I slam di bumi secara geografis berada di wilayah Kao. Terlepas
Halmahera Utara selama ini tampaknya dibahas dari penulisan sejarah yang ada, dalam perspektif
dalam porsi yang terbatas dan tidak utuh arkeologi justru terlihat bukti yang valid tentang
sebagai bagian dari penelusuran sejarah yang peran dan kedudukan Kao dalam konteks
lengkap dalam historiografi lokal di wilayah sejarah peradaban Islam dan jaringan per-
Halmahera Utara. Selama ini penulisan tentang dagangan di wilayah Halmahera Utara dengan
sejarah dan budaya di Tanah Kao dan wilayah lainnya tanpa menafikan peran wilayah
hubungannya dengan kekuasaan Islam Ternate, lainnya seperti Tobelo dan Galela dalam konteks
ditulis menjadi bagian dari Kerajaan Moro dan eksistensi Kerajaan Moro.
Tobelo yang lebih populer. Menyangkut wilayah
Tobelo, banyak sumber menuliskan bahwa suku
bangsa Tobelo merupakan suku bangsa yang
banyak dijumpai di sejumlah wilayah karena
adanya proses migrasi yang luas. Orang Tobelo
dijumpai di sekitar Teluk Kao, bagian utara Pulau
Morotai, di daerah Weda, Maba, dan Gane,
Kepulauan Bacan, bahkan di Pulau Obi (Naping,
2013). Sedangkan suku yang beragama Islam
yaitu Pagu, Tololiku, dan Modole tinggal ke arah
pedalaman Kao. Namun, jika berdasarkan sejarah
terbentuknya komunitas di Halmahera Utara,
maka posisi Tanah Kao sangat penting karena
dari wilayah inilah sesungguhnya cikal bakal
tumbuh dan menyebarnya komunitas di
Halmahera Utara. Asal komunitas penduduk
Halmahera Utara berasal dari Telaga Lina, yang
terletak di daratan Tanah Kao. Kurangnya
informasi yang utuh tentang wilayah Tanah Kao
dapat dipahami mengingat minimnya sumber
sejarah yang menuliskan tentang Tanah Kao.
Beberapa sumber sejarah menuliskan atau
memberi informasi tentang Kao sekadarnya.
Catatan tentang sejarah Halmahera lebih banyak
didominasi oleh sumber-sumber sejarah yang
Gambar 1 Lokasi Tanah Kao

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 2, Desember 2017 151


Wuri Handoko & Muhammad Al Mujabuddawat, Situs Kampung Tua Kao

Bernard HM Viekke dalam Nusantara a (2009) mengatakan arkeologi merupakan salah


History of Indonesia, yang dikutip oleh Diense satu ilmu yang sangat dekat dengan sejarah,
& Thaib (2008), disebutkan bahwa sejak abad karena tujuannya sama, yakni mengungkap
ke-10 telah ada struktur negara yang modern kehidupan manusia pada masa lalu. Perbedaan
di kawasan Moloku Kie Raha. Semua ini terjadi keduanya lebih banyak pada penggunaan
karena relasi multietnik akibat jalinan perda- sumber, yaitu sejarah lebih banyak bersandar
gangan rempah-rempah yang terbentuk jauh pada sumber tertulis, sedangkan arkeologi pada
sebelum era Kristen. Rute perdagangan rempah- sumber berupa benda atau artefak yang antara
rempah itu merupakan bentuk dominasi dari lain diperoleh melalui ekskavasi.
Kepulauan Ternate yang dikuasai oleh Kesul- Kajian sejarah Islam sebelum abad ke-15
tanan Ternate (Nomay, 2014). Dalam beberapa sangat memerlukan dukungan bukti-bukti
literatur, selain wilayah Kepulauan Maluku bagian arkeologis. Sejarah masuk dan berkembangnya
Selatan, Kesultanan Ternate juga melakukan Islam di Indonesia sekitar abad ke-13 hingga
ekspansi ke wilayah-wilayah di bagian Maluku abad ke-15 masih menyisakan banyak per-
Utara, terutama daratan Pulau Halmahera. tanyaan yang memerlukan jawaban atas dasar
Wilayah Kesultanan Ternate meliputi Pulau berbagai bukti, khususnya arkeologi. Hasil
Ternate, Moti-Makian, Pulau-pulau Kayoa, penelitian arkeologi menjadi domain yang penting
Jailolo, Ibu, Loloda, Tobelo, Galela, Morotai, untuk mengungkap sejarah budaya, terutama
Gane Timur, Gane Barat, Kepulauan Sula, soal bagaimana perkembangan Islam dalam
Tobuku, dan Banggai (Asyhari, 2008). Penelitian periode tertentu yang kurang terangkat dalam
arkeologi di wilayah pesisir utara Pulau studi sejarah. Misalnya, tentang dinamika Islam
Halmahera tampaknya masih minim, terutama dan budaya lokal melalui analisis serangkaian
yang berkaitan dengan arkeologi sejarah. Sejauh data artefaktual maupun situs yang dapat
ini, penelitian arkeologi di wilayah ini berfokus membantu melengkapi informasi sejarah
pada penelitian arkeologi prasejarah yang (Handoko, 2014; Mujabuddawat, 2016). Oleh
beberapa diantaranya dilakukan oleh peneliti karena itu, penggunaan data dan bukti arkeologi
asing. Selain itu, penelitian yang fokus pada untuk pengungkapan sejarah Islam Indonesia
penelitian sejarah Islamisasi di Halmahera Utara menjadi sangat penting.
yang berkaitan dengan sejarah Kesultanan di Dalam proses pencarian dan pengumpulan
Maluku Utara masih sangat terbatas. data diperlukan pengetahuan atau sekurang-
Penelitian arkeologi yang bertumpu pada kurangnya mengerti apa yang disebut arkeologi
budaya kebendaan membantu kita menemukan dan atau sejarah (Tjandrasasmita, 1998;
informasi dari berbagai peninggalan budaya masa Tjandrasasmita, 2009). Tjandrasasmita selan-
lampau, baik yang berbentuk artefaktual jutnya menjelaskan baik arkeologi maupun
maupun fitur-fitur bangunan monumental yang sejarah terdapat sedikit perbedaan definisi.
masih bisa disaksikan saat ini, serta berbagai Arkeologi dalam studinya lebih menitikberatkan
makna simbolik dibalik benda budaya itu. Konteks kepada benda-benda atau artefak yang tidak
penelitian ini tergolong ke dalam kategori perlu ada tulisan, sedangkan sejarah dalam
pendekatan arkeologi sejarah (historical studinya lebih mengutamakan data-data
archaeology). Termasuk di dalamnya arkeologi tertulis, seperti arsip dan dokumen. Keduanya
Islam (Islamic archaeology), yaitu arkeologi bertujuan sama, yakni untuk merekonstruksi
yang mempelajari masyarakat Islam masa kehidupan masyarakat masa lampau. Sumber
lampau melalui artefak, fitur, dan ekofak yang peninggalan arkeologis dapat berupa artefak
dihasilkan dari masyarakat masa lampau pada maupun fitur yang keduanya dapat mengandung
masa sejarah, yakni masa ketika sudah tulisan. Benda atau bangunan dari masa sejarah
mengenal tulisan (Tjandrasasmita, 2009). Azra yang tidak mengandung tulisan pun masuk

152 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 2, Desember 2017


Wuri Handoko & Muhammad Al Mujabuddawat, Situs Kampung Tua Kao

dalam kategori arkeologi sejarah. Dalam mencari yang ada dalam Alquran, sehingga menarik hati
dan mengkajinya dapat menggunakan data Sultan Marhum dan orang-orang Maluku.
tekstual seperti arsip, dokumen-dokumen, Mereka tidak hanya diajarkan tulisan Arab yang
naskah-naskah kuno tentang hikayat, babad, indah saja, tetapi juga diajarkan tentang agama
bahkan dongeng ataupun legenda karena Islam (Poesponegoro & Notosusanto, 2008).
mengandung kebenaran atau kenyataan (de Raja pertama yang benar-benar muslim adalah
Graaf, 1956; Tjandrasasmita, 2009). Menurut Zainal Abidin (1486-1500) yang mendapat
Tjandrasasmita (2009), proses Islamisasi suatu ajaran agama dari Madrasah Giri. Zainal Abidin
wilayah diperlukan refleksi mengingat banyaknya ketika di Jawa terkenal sebagai Raja Bulawa,
pertanyaan tentang kelompok asal-usul yang artinya Raja Cengkeh karena membawa cengkeh
membawa dan memperkenalkan Islam, termasuk dari Maluku untuk persembahan. Tokoh yang
jaringan yang digunakan. Jangka waktu antara mengantar raja Zainal Abidin ke Giri yang
kedatangan dan penyebaran Islam, khususnya pertama adalah Jamilu dari Hitu. Ketika ia kembali
kemunculan kerajaan-kerajaan Islam merupakan dari Jawa, Zainal Abidin membawa mubalig yang
proses panjang bertahun-tahun. Proses bernama Tuhubabahul sehingga hubungan
Islamisasi terjadi lewat jaringan yang beragam, Ternate, Hitu dengan Giri di Jawa Timur menjadi
yang secara alamiah menguntungkan masing- sangat erat.
masing pihak, yaitu baik bagi orang Muslim yang Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri
datang dan menyebarkan Islam ke berbagai jejak Islamisasi di wilayah pedalaman Halmahera
tempat dan bagi orang-orang yang menerima Utara, dengan menempatkan wilayah Kao
atau beralih ke Islam di wilayah tersebut. Penye- sebagai posisi sentral dalam jaringan Islamisasi
baran Islam beserta prosesnya dapat dilakukan tersebut. Penelitian arkeologi tahun 2014 di
melalui jalur yang beragam seperti perdagangan, wilayah pesisir timur Halmahera Utara dan
perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan dilanjutkan pada tahun 2016, menemukan
politik (Ghofur, 2011). indikasi permukiman di daerah aliran sungai
Islam dianggap telah masuk ke Maluku Utara (DAS) Akejodo, Kecamatan Kao. Dari hasil
pada sekitar abad ke-14, seperti yang ter- wawancara dengan penduduk Desa Kao,
kandung dalam tradisi lisan yang menyebutkan diperoleh informasi bahwa permukiman tua
bahwa Raja Ternate XII akrab dengan para tersebut adalah bekas kampung masyarakat Kao
pedagang Arab (Ambary, 1996; Mansyur, 2007). sebelum tinggal di pesisir pantai sekarang ini.
Kedatangan Islam ke Indonesia bagian Timur Pada wilayah ini ditemukan situs permukiman
yaitu ke Maluku, tidak dapat dipisahkan dari komunitas Islam yang sekaligus di dalamnya juga
jalan perdagangan yang terbentang antara ditemukan kompleks sebaran makam kuno Islam.
pusat lalu lintas pelayaran Internasional di Permukiman tua tersebut selanjutnya disebut
Malaka, Jawa, dan Maluku. Diceritakan bahwa Situs Kampung Tua Kao.
pada abad ke-14 Raja Ternate XII, Molomateya, Penelitian ini menitikberatkan peran wilayah
(1350-1357) bersahabat baik dengan orang Arab Tanah Kao dalam kedudukannya sebagai wilayah
yang memberikan petunjuk bagaimana strategis bagian dari kekuasaan Islam Kesul-
pembuatan kapal-kapal, bukan dalam hubungan tanan Ternate, sekaligus sebagai salah satu titik
agama. Menurut tradisi setempat, sejak abad sentral penyebaran Islam di Bumi Halmahera.
ke-14 Islam sudah datang di daerah Maluku. Penjelasan menyangkut perkembangan Islam
Pengislaman di daerah Maluku dibawa oleh selama ini banyak membahas tentang Islamisasi
Maulana Husayn. Hal ini terjadi pada masa dan perkembangannya di wilayah-wilayah yang
pemerintahan Sultan Marhum di Ternate (Yatim, dianggap sebagai pusat peradaban. Sementara
2006). Maulana Husayn pada mulanya hanya itu, peran daerah lain sebagai wilayah satelit
menunjukan kemahiran dalam menulis huruf Arab dari kekuasaan Islam jarang diangkat dalam

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 2, Desember 2017 153


Wuri Handoko & Muhammad Al Mujabuddawat, Situs Kampung Tua Kao

diskusi akademis. Argumentasi yang mengemuka tidak dapat dilepaskan dari serangkaian
menyebutkan bahwa pusat kekuasaan Islam penelitian tentang asal-usul manusia yang
membutuhkan daerah-daerah penyangga untuk menghuni Pulau Halmahera. Pulau Halmahera
memperkuat eksistensi kekuasaan dan sekaligus merupakan bagian dari wilayah Maluku yang
eksistensi Islam itu sendiri. Berdasarkan merupakan daerah persebaran budaya Austro-
argumentasi, ada dua rumusan masalah dalam nesia yang dibawa oleh suku bangsa atau ras
tulisan ini. Pertama, bagaimana sejarah asal- Austro Melanesia (Handoko, 2007b). Dari masa
usul komunitas yang mendiami Situs Kampung yang sangat lampau, telah ditemukan indikasi
Tua Kao pada masa lalu? yaitu di masa pra dan hunian awal manusia, bahkan temuan purbakala
awal kedatangan Islam. Kedua, bagaimana jejak di daerah Doro dan Tanjung Luari (Kao dan
peradaban Islam di Situs Kampung Tua Kao Tobelo) dihubungkan dengan teori tentang tanah
berdasarkan hasil penelitian arkeologi? asal penduduk berbahasa Austronesia, seba-
gaimana hipotesis yang diajukan oleh Richard
METODE Shutler (Soegondho, 1995; Amal, 2010). Meski
Tulisan ini menggunakan metode penelusuran demikian, dalam berbagai catatan penelitian,
pustaka dan penelitian lapangan. Dalam bahasa yang berkembang di wilayah Halmahera
menganalisis sejarah dan identitas asal-usul Utara saat ini merupakan pertemuan Bahasa
komunitas yang mendiami kampung tua Kao, Austronesia dan Non-Austronesia. Disebutkan
penelitian ini merujuk pada penelusuran pustaka bahwa Halmahera bagian utara pada sekitar
dan penelitian terdahulu terkait sejarah Islam tahun 3.300 SM s.d. 2.300 SM telah dihuni oleh
di Halmahera Utara. Dalam memperoleh data bangsa Non-Austronesia yang membangun
jejak peradaban di Situs Permukiman Tua Kao, permukiman dan mengembangkan budaya
selain melakukan survei lapangan, dilakukan neolitik. Bangsa Austronesia datang dengan
penelitian dengan metode ekskavasi pada Maret membawa unsur-unsur budaya baru. Per-
2016. Pada konteks penelitian metode ekskavasi mukiman bangsa Non-Austronesia dan Austro-
ini dilakukan tespit, yakni melakukan penggalian nesia dibangun berdekatan. Terjadi interaksi
pada areal situs yang dianggap potensial untuk budaya antara dua jenis bangsa tersebut. Pada
mengungkap data arkeologi di bawah tanah yang fase berikutnya, antara tahun 2.300 SM s.d.
dapat mengungkap sejarah budaya masa lampau 1.000 SM bangsa Austronesia semakin menguat
Situs Kampung Tua Kao. D ata ekskavasi sehingga mendesak eksistensi bangsa Non-
digunakan untuk mengetahui kepadatan temuan Austronesia. Bangsa Non-Austronesia terdesak
di bawah tanah dan mengetahui intensitas dan ke pedalaman dan sebagian ke arah timur
kronologi hunian. Berdasarkan layer-layer tanah kepulauan Maluku bagian utara sehingga
yang digali maka dapat diidentifikasi lapisan terbangunlah jaringan pelayaran dan perda-
budaya atau kronologi hunian dan perkem- gangan di wilayah kepulauan Maluku bagian
bangan pada masyarakat pendukungnya di masa utara (Wimbish, 1991).
lampau. Ekskavasi atau tespit dilakukan di area- Dengan demikian, Halmahera bagian utara
area yang diidentifikasi sebagai lokasi hunian. merupakan perlintasan yang sangat penting
dalam proses kolonisasi bangsa Austronesia dan
HASIL DAN PEMBAHASAN non-Austronesia. Fase-fase perkembangan
Sejarah dan Identitas Asal Usul migrasi-koloni bangsa-bangsa Austronesia dan
Komunitas Orang Kao Non-Austronesia dapat direkonstruksi dalam lima
Wilayah Tanah Kao sebagai wilayah adat dari fase. Fase 1, migrasi koloni bangsa non-
pulau besar Halmahera, memiliki posisi penting Austronesia. Pantai timur dari Halmahera bagian
khususnya di wilayah Halmahera Utara. Dalam utara merupakan bagian jalur migrasi bangsa
beberapa catatan hasil penelitian, wilayah Kao Non-Austronesia. Pada periode tertentu

154 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 2, Desember 2017


Wuri Handoko & Muhammad Al Mujabuddawat, Situs Kampung Tua Kao

diperkirakan sebagian dari bangsa non- saja. Dari sembilan hoana atau soa yang
Austronesia membangun koloni di kawasan bersumber dari cikal bakal mereka di Telaga Lina,
pantai timur tersebut. Fase 2, migrasi Bangsa empat di antaranya eksodus ke Tobelo dan lima
Austronesia. Persebaran bangsa Austronesia di lainnya ke Kao. Mereka yang di Tobelo adalah:
wilayah kepulauan Maluku bagian utara di Gura, Mumulati, Huboto, dan Lina. Sedangkan
antaranya melalui jalur pantai timur Halmahera, yang menetap di Kao adalah Togehoro, Tuguis,
terjadi kontak antara bangsa non-Austronesia Kanaba, Modole, dan Pagu.
dengan bangsa Austronesia di kawasan ter- Putuhena (1995) dan Amal, (2010), yang
sebut. Fase 3, terjadi interaksi budaya bangsa telah mengutip catatan Sarasin Bersaudara
Austronesia dan bangsa non-Austronesia. Pada bahwa orang-orang Kao, Tobelo, Ibu, Sahu,
periode tertentu bangsa Austronesia mem- Galela dan lain-lainnya kemungkinan merupakan
bangun permukiman berdampingan dengan rangkaian dari gelombang datangnya orang
permukiman bangsa non-Austronesia di kawasan Melayu ke Maluku Utara. Sarasin mengung-
pantai timur Halmahera bagian utara. Fase 4, kapkan, setelah orang Negroid, datang pula
terjadi eksodus ke pedalaman. Bencana besar orang Melayu ke Maluku dalam dua gelombang.
yang berdampak global diduga telah terjadi, Gelombang pertama disebut proto-Melayu dan
sehingga memaksa komunitas-komunitas yang gelombang kedua doutro-Melayu. Setelah
berada di pesisir melakukan perpindahan ke kedatangan gelombang kedua, proto-Melayu
pedalaman, baik dengan melewati jalur darat terdesak. Untuk mempertahankan eksistensinya,
maupun sungai. Fase 5, membangun koloni baru. mereka menyingkir ke daerah pedalaman serta
Pada saat eksodus tersebut interaksi antara dua membentuk komunitas tersendiri. Orang-orang
bangsa semakin intensif dan bersama-sama Alifuru di pedalaman Halmahera dan suku-suku
membentuk komunitas baru. Komunitas baru terasing lainnya diperkirakan berasal dari
tersebut kemudian berhenti di Telaga Lina dan kelompok yang tersingkir ini. Mereka lazimnya
membangun koloni baru di tempat tersebut mendiami tepian danau atau hulu sungai serta
(Wimbish, 1991). terdiri dari beberapa suku yaitu suku Tobaru di
Leluhur penduduk yang sekarang disebut Galela, Wayoli di Sahu, Boenge di Ibu, Pagu di
Kabupaten Halmahera Utara adalah campuran Kao, Kusuri di Tobelo, dan suku-suku lainnya
antara orang dengan latar kebudayaan dan yang terdapat di Halmahera Timur serta
bahasa Austronesia dan non-Austronesia. kepulauan Sula. Walaupun bagian terbesar dari
Sekalipun terbagi atau dapat dibedakan dalam suku-suku ini telah dimukimkan kembali, sisa-
sejumlah etnik, semuanya mempercayai bahwa sisanya masih dapat ditemukan terutama di
komunitas Telaga Lina merupakan leluhur atau Halmahera Utara dan Halmahera Timur
cikal bakal mereka. Telaga Lina ini berada di (Putuhena, 1995; Amal, 2010).
pedalaman, di lereng Gunung Rau dan terletak Pada beberapa sumber tentang sejarah dan
tepat pada titik tengah Halmahera bagian Utara. peradaban di Halmahera Utara, selalu di-
Bila berpatokan pada batas-batas daerah, maka hubungkan dengan Tobelo dan sedikit menyebut
Telaga Lina terletak di sebelah barat daya Kao. Padahal, tanah asal tentang komunitas-
Tobelo; di sebelah selatan Galela; di sebelah komunitas yang berkembang di Halmahera Utara
tenggara Loloda; dan di sebelah timur daerah sesungguhnya berawal dari Telaga Lina di
Ibu; sedangkan di sebelah utara ada daerah pedalaman Tanah Kao. Dalam catatan sejarah,
Jailolo dan di sebelah barat laut terletak daerah rekonstruksi sejarah awal masyarakat yang kini
Kao (Puasa, 2013). Bahasa-bahasa antara mendiami Kabupaten Halmahera Utara mengacu
mereka berbeda tetapi dapat saling mengerti pada tradisi lisan yang berkembang di masya-
dan memahami bahasa tersebut. Perbedaan rakat. Pada umumnya, periodisasi kisah dalam
bahasa bisa dikatakan sebagai perbedaan dialek tradisi lisan tidak jelas karena tidak adanya

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 2, Desember 2017 155


Wuri Handoko & Muhammad Al Mujabuddawat, Situs Kampung Tua Kao

penanggalan dalam kisahnya. Awal mula tertentu dengan penguasa negeri Gamkonora
masyarakat Halmahera Utara dituturkan berasal seperti halnya sebagian dari masyarakat
dari Tanah Semenanjung, tepatnya Johor. Halefuru lainnya di Jazirah Utara (Leirissa, 1990).
Mereka berjumlah tiga orang. Dalam pelayaran Sejak sekitar abad ke-18, Ternate mengangkat
meninggalkan negerinya itu, dua orang singgah seorang pemimpin dalam suku Lina yang telah
di Pulau Jawa yakni Sarjamin dan Gajadea, beragama Islam kemudian disahkan sebagai
sementara satu orang lainnya bernama Waljamin Bobato untuk orang-orang Tobelo. Sekitar masa
yang meneruskan pelayarannya ke kawasan itu pula suatu kelompok dari orang-orang Tobelo
Timur. Dengan menggunakan perahu juanga, memisahkan diri dan berpindah ke wilayah Kao
Waljamin kemudian tiba di sebuah pulau yang dimana mereka juga membagi diri menjadi empat
terletak di bagian barat Pulau Halmahera, Bacan, suku, yaitu Boeng, Tunai, Seleruru, dan Madang.
setelah sebelumya diterpa angin topan di Ketika itulah rupanya oleh Ternate mereka
tengah samudera. Tempat berlabuhnya perahu dianggap sebagai bagian dari kekuasaan distrik
tersebut kemudian dinamakan dengan Juanga Kao (Amal, 2010; Naping, 2013).
Ruba-ruba (Naping, 2013). Dari pulau itu, dia Para penguasa negeri menggunakan gelar
kembali berlayar menuju daratan besar sampai jabatan Sangaji, sedangkan para kepala
akhirnya tiba di Kao, bagian selatan selatan kampung menggunakan gelar Kimelaha ataupun
Halmahera Utara, tepatnya di daerah Bori yang Nqofamanyira. Terkait kekuasaan menjadi jelas,
sekarang termasuk dalam wilayah Kao Utara. bahwa di Halmahera dan di wilayah-wilayah
Perjalanan diteruskan ke pedalaman, sampai tiba lainnya di Maluku Utara, para sangaji adalah
di Danau Lina (Telaga Lina). Di Danau Lina inilah penguasa suatu “distrik” (landschap) yang terdiri
terbentuk dan berkembang masyarakat yang atas satu negeri induk dan berbagai permukiman
tinggal bersama pada sebuah rumah besar yang (kampung) lainnya. Dengan demikian sangaji di
kelak dinamakan Hibualamo. Pola tinggal macam Halmahera adalah semacam “Raja” yang
ini sangat strategis dalam mempertahankan diri kedudukannya mempunyai otonom dari Sultan,
di tengah ancaman lingkungan, terutama terutama di Halmahera Timur. Hal itu terutama
binatang buas yang sewaktu-waktu dapat terlihat dari istilah soasiu yang juga digunakan
mengancam keselamatan hidup mereka. untuk negeri induk setiap distrik di Halmahera
Menurut legenda-legenda yang dicatat (Leirissa, 1990). Asal-usul komunitas Tobelo
berbagai pejabat di abad ke-19, orang Tobelo yang juga berasal dari wilayah Kao, Leirissa
berasal dari sekitar Danau Lina di kaki Gunung menuliskan bahwa pada abad ke-19 di distrik
Tolo. Struktur sosialnya yang masih sangat Weda banyak berdiam diri orang Tobelo yang
sederhana berupa kolektivitas hoana (keluarga) daerah asalnya adalah Distrik Kao di Halmahera
yang membentuk empat komunitas yang masing- Utara, yang termasuk dalam wilayah kekuasaan
masing berintikan satu suku, yaitu suku-suku Ternate (Leirissa, 1990; Naping, 2013). Pen-
Lina, Hubato, Momulate, dan Gura. Oleh sebab jelasan Leirissa tersebut sebagaimana yang
itu, orang Ternate menamakan mereka “manusia dikutip oleh Naping, yang menegaskan bahwa
soa raha” (orang dari empat rumah atau empat wilayah distrik Kao merupakan wilayah yang
keluarga). Sekitar abad ke-17 mereka mulai sangat penting dalam kekuasaan Islam Ternate.
meninggalkan daerah asal dan pindah ke pantai Bahkan di wilayah distrik Tobelo di bagian tengah
dan sejak itulah mereka mulai dikenal sebagai Halmahera banyak dihuni oleh orang-orang
bajak laut. Sekitar masa itu pula kekuasaan Tobelo yang asal usulnya berasal dari distrik
Ternate yang sudah tertanam antara lain di Kao.
Gamkonora, Loloda, dan Jailolo mulai menjangkau Setelah sekian lama bermukim di kawasan
ke permukiman-permukiman Tobelo. Orang Telaga Lina, sebagian dari mereka memutuskan
Tobelo sejak itu mempunyai hubungan politik mencari kehidupan di tempat lain dan sebagian

156 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 2, Desember 2017


Wuri Handoko & Muhammad Al Mujabuddawat, Situs Kampung Tua Kao

tetap bermukim di sana. Mereka yang mening- serta Loloda dan pulau-pulau sekitarnya.
galkan Telaga Lina, terbagi dalam sepuluh Kelompok terakhir, kelompok Morodai (Toweka
kelompok kecil yaitu: Modole, Pagu, Towoliku, atau Kadai) umumnya menempati wilayah Galela
Boe, Lina, Momolati, Huboto, Gura, Morodina Kota (sekarang) serta Morotai dan pulau-pulau
dan Morodai (Papilaja, 2011; Naping, 2013). sekitarnya (Naping, 2013).
Empat kelompok pertama (Modole, Pagu, Dari uraian di atas dapat dilihat hubungan
Towiliko, dan Boe) menuju daerah dan bermukim antara komunitas orang Kao dengan komunitas-
di wilayah Kao. Kelompok hoana (perkampungan) komunitas lain yang sekarang bermukim di
Pagu menempati wilayah Kao Selatan sampai wilayah pesisir timur bahkan utara Halmahera
Bobane Igo, termasuk wilayah Malifut dan Kao Utara. Dalam beberapa bagian, komunitas orang
Teluk. Kelompok Boe (Boeng) menempati Kao, dapat dirunut ke belakang sebagai
hamparan Kao Utara meliputi Pediw ang- komunitas cikal bakal dari komunitas-komunitas
Gamlaha. Kelompok ini dianggap sebagai sekaum lainnya seperti Tobelo, Galela dan juga Loloda.
dengan Lina, Huboto, Mumulati dan Gura yang Identitas asal-usul komunitas yang sekarang
sekarang adalah orang Tobelo. Kelompok bermukim di wilayah Halmahera Utara dapat
berikutnya, Tiwilako mendiami kawasan Kao dirunut ke belakang, semuanya berasal di
Pusat (Kao Staat). Kelompok ini menurut tradisi wilayah Telaga Lina, sebuah wilayah yang
lisan penduduk dipandang sebagai Orang Tua termasuk dalam wilayah daratan Tanah Kao
dalam kelompok Tobelo. Maka terikrarlah Sumpah sekarang. Dengan demikian, komunitas Orang
Towiliko sebagai komitmen hidup bersama bahwa Kao yang sekarang menempati wilayah Boeng,
‘terikat menjadi satu, jangan terpisah, hidup Modole, Pagu, dan Tololiko, merupakan komu-
bersama dan makan bersama, dan bila berpisah, nitas suku yang peranannya dalam penjelasan
maka berpisah pun sama-sama (Papilaja, 2011; soal identitas asal-usul komunitas Halmahera
Naping, 2013). Utara, bahkan berhubungan pula dengan
Selain yang meninggalkan Telaga Lina, ada terbentuknya Kerajaan Moro dan Loloda. Oleh
juga kelompok Modole yang masih tetap tinggal. karena itu, dari latar historis yang dikemukakan,
Mereka menempati kawasan Telaga Lina, yang tampaknya penelusuran bukti-bukti sejarah
sekarang tercakup dalam wilayah Kao Barat. harus seimbang dan proporsional untuk
Tobaru, Togehoro, dan Kanaba adalah kelom- menghindari berbagai penulisan sejarah yang
pok-kelompok kecil (disebut Tobaru) selain hoana reduksi. Data-data sejarah baik tutur, sejarah
(perkampungan) Kukumutuk, Tolabit, Torawat, tertulis, dan berbagai fakta arkeologi di
Toboulamo (disebut Togutil) berada dalam lapangan, merupakan data yang komprehensif
ayoman Modole. Kelompok Modole dipandang untuk menjelaskan perjalanan sejarah komunitas
sebagai kelompok awal yang mendiami kawasan Kao tentang asal-usul identitas komunitas suku
Telaga Lina sehingga sering disebut “Sudah Tua” yang bermukim di wilayah Halmahera Utara.
dibandingkan dengan kelompok Tobaru dan Dalam sejarah disebut bahwa wilayah Kao
Togutil. Tiga kelompok berikutnya, (Lina, di Halmahera Utara adalah salah satu distrik
Momoloti, Huboto, dan Gura) menetap di daerah yang sudah tua, dan sangaji Kao sudah dikenal
yang sekarang disebut Tobelo. Kelompok Lina sejak abad ke-16. Pada tahun 1686 di per-
menempati Paca-Pitu yakni Tobelo bagian mukiman utama Kao ada sekitar 140 jiwa yang
tengah, selatan, timur, dan barat. Sebelum semuanya muslim dan sekitar 60 jiwa halifuru.
tersebar di empat lokasi itu, mereka menempati Pada permukiman di Tololiku ada 35 jiwa, Pagu
satu wilayah yang disebut Paca. Kelompok 40 jiwa, dan Modole 30 jiwa. Menurut Campen,
Morodina (Towara dan Kadina) menempati dalam sebuah publikasinya tahun 1883, Distrik
daerah Galela pesisir dan Loloda. Mereka Kao menempati wilayah Kao, Boeng, Pagu dan
bermukim di bagian barat dan selatan Galela, Modole dan setiap wilayah dikepalai oleh sangaji

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 2, Desember 2017 157


Wuri Handoko & Muhammad Al Mujabuddawat, Situs Kampung Tua Kao

yang mengurusi administrasi politik dan sumber daya budaya yang lama tak tersentuh.
komunitas sosial kemasyarakatan (Naping, Sumber daya budaya sebagai domain penting
2013). Wilayah Kao, terbagi lagi menjadi dalam pelacakan bukti-bukti sejarah dan
beberapa permukiman yakni Pesisir Kampung perkembangan peradaban tampaknya masih
Kao, yang pada sekitar 1880 berada di muara terpendam jauh dalam memori kolektif publik.
sungai besar Kao. Di sini bermukim orang Tanah Kao, wilayah yang kaya sumber daya
Ternate, muslim dari Kao, Halefuru, dan alam, namun dilupakan jejak peradabannya. Kao
beberapa orang Cina. Pada tempat ini pula adalah wilayah Halmahera yang dalam literatur
Sangaji Kao bertempat tinggal. Permukiman lain tidak banyak diungkap, padahal jejak peradaban
adalah Soa Tofkange yang merupakan per- masa prasejarah ditemukan di sana. Dalam masa
mukiman utama (Naping, 2013; Amal, 2010). sejarah, Tanah Kao tidak dapat dipisahkan dari
Permukiman utama orang Kao diperkirakan identitas asal-usul komunitas suku di Halmahera.
berhubungan dengan situs arkeologi berupa Namun, namanya kalah kesohor dibanding Tobelo
permukiman kuno Kao, yang biasa disebut juga dan Galela yang dikenal dalam sejarah Kerajaan
Kampung Tua Kao (Tim Penelitian, 2014). Moro. Telaga Lina adalah sebuah lokasi di
Berdasarkan informasi masyarakat setempat, pedalaman Tanah Kao, disebut-sebut sebagai
masyarakat Kao yang sekarang bermukim di tanah asal-usul suku yang bermukim di
pesisir, pada masa lampau bermukim di Situs Halmahera Utara, yang diantaranya suku
Kampung Tua Kao yang terletak di pinggir sungai Tobelo, Galela, Kao, dan suku-suku lainnya.
Air Kalak, yang muaranya terletak di sebelah Asal-usul identitas etnis Halmahera utara adalah
utara. Pada tahun 1904, penduduk Kao lama cikal bakalnya lahir di Tanah Kao. Namun sekali
pindah ke permukiman yang saat ini ditempati lagi, hal ini tidak banyak diungkap dalam
di pesisir pantai. Desa Kao di pesisir pantai berbagai literatur sejarah lokal Halmahera Utara
berbatasan sebelah utara dengan Kao Utara, dan Maluku Utara.
sebelah selatan dengan Kecamatan Malifut, Survei dan ekskavasi arkeologi di wilayah
sebelah timur dengan Teluk Kao, dan sebelah Desa Kao, Kecamatan Kao, adalah upaya
barat dengan Kecamatan Kao Barat. Lokasi situs menelusuri jejak Islamisasi di Halmahera Utara.
kampung lama, termasuk dalam wilayah Pada tradisi tutur masyarakat setempat, situs
Kecamatan Kao Barat, tepatnya 2 km sebelah permukiman kuno atau Situs Kampung Tua Kao
barat Desa Popon (Tim Penelitian, 2014; merupakan wilayah permukiman awal ketika
Handoko dkk., 2016). masuknya Islam di wilayah pesisir pantai Kao
dan Halmahera Utara. Menurut tradisi setempat
Situs Kampung Tua Kao: Jejak Pusat pada masa awal Islam masuk di wilayah ini,
Peradaban Islam di Bumi Hibualamo masyarakat masih ‘tafakur’ atau kondisi berdiam
Jaringan Islamisasi: Ternate dan diri. Pada masa ini adalah masa awal pengenalan
Perluasan Islam di Wilayah Pedalaman Islam yang dibawa oleh seorang penyebar Islam
Wilayah Kao terletak di pesisir timur Halmahera bernama Syekh Al Mansyur, yang dipercaya
Utara adalah satu dari sekian wilayah di bagian datang dari Bagdad, Persia yang menurut
utara Pulau Halmahera yang kaya sumber daya, informasi tutur masyarakat setempat seorang
baik alam maupun sumber daya budaya. Ragam keturunan Bani Hasyim (Hasil percakapan
tinggalan budaya bersinggungan erat dengan dengan Zulfkifli Tukan, Juli 2014) (Tim Penelitian,
kekayaan sumber daya alam, berupa tambang 2014; Handoko, dkk., 2016; Handoko, 2017).
emas. Eksploitasi tambang sudah lama ber- Penelusuran arkeologis menemukan bukti-
langsung, kira-kira sejak pertengahan tahun 90- bukti material, bahwa wilayah Tanah Kao
an. Laju eksploitasi sumber daya alam ternyata peranannya sangat penting dalam perkem-
berbanding terbalik dengan upaya penggalian bangan sejarah lokal di Halmahera Utara.

158 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 2, Desember 2017


Wuri Handoko & Muhammad Al Mujabuddawat, Situs Kampung Tua Kao

Terutama dalam lintasan jaringan Islamisasi dan aktivitas yang mengikutinya di sana. Sungai Ake
perkembangan peradaban pada pra-Islam, masa Jodo yang memanjang berkelok dari muara di
Islam, dan setelahnya. Terletak di pertemuan pesisir Kao sekarang adalah pintu masuk bagi
sungai Ake Jodo dan Ake Ngoali, di wilayah para migran dan pedagang asing untuk memasuki
pedalaman Kao yang sekarang ditemukan bukti- wilayah itu. Beberapa diantaranya juga
bukti arkeologi berupa permukiman kuno dan diperkirakan melalui daratan luas, yang terletak
data-data pendukungnya. Jejeran makam- di sebelah barat Kao sekarang.
makam kuno, sebaran artefak-artefak kuno, dan Pada lokasi permukiman kuno atau Kao Lama
lanskap permukiman masa lampau memperkuat ini tersebar makam-makam kuno dengan jumlah
dugaan bahwa situs itu menjadi fakta ber- besar pada areal yang termasuk wilayah
langsungnya peradaban yang cukup maju. permukiman. Namun, tidak semua makam-makam
Sebuah pedalaman terpencil dalam lanskap tersebut dapat diidentifikasi mengingat bentuk
sungai, daratan dengan dataran yang luas, serta dan karakter makam yang tidak bisa dikenali
lahan-lahan basah hutan sagu, orang-orang lagi akibat sebagian ada yang sudah tertanam
memilih lokasi untuk bermukim dengan segala atau terdapat diantara rimbunan vegetasi. Meski

Gambar 2 Sebaran Tinggalan Arkeologis di Situs Kampung Tua Kao

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 2, Desember 2017 159


Wuri Handoko & Muhammad Al Mujabuddawat, Situs Kampung Tua Kao

demikian, beberapa makam dapat diidentifikasi nyebut lokasi makam sebagai Situs Gamsungi.
secara khusus karena bentuk jirat ataupun Selain situs makam tersebut, di seberang sungai
nisannya yang spesifik sehingga dapat ditemukan kompleks makam dengan kuantitas
membedakannya dengan bentuk jirat dan nisan banyak dan tersebar di daerah atau di bantaran
makam lainnya. Sungai Kalak atau Ake Ngoali yang merupakan
percabangan dengan sungai Akejodo. Pada
tengah percabangan Sungai Akejodo dan Air
Kalak inilah situs permukiman kampung tua Kao
berada. Permukiman dan sebaran makam-makam
berada di sepanjang tepian atau bantaran sungai
di atas permukaan tanah dengan kontur tanah
yang variatif (Tim Penelitian, 2014; Handoko
dkk., 2016; Handoko, 2017).

Gambar 3 Ragam Bentuk Nisan Makam


di Situs Kampung Tua Kao

Pada umumnya bentuk makam yakni jirat


dan nisannya merupakan bentuk makam yang Gambar 4 Makam Syekh Al Mansyur dan Muridnya
sederhana, seperti bentuk jirat susunan batu
dan nisan berupa nisan-nisan masif berupa batu Kedatangan Islam menimbulkan pengaruh
menhir dalam berbagai ukuran. Namun, beberapa ekonomi yang cukup besar terhadap pulau-pulau
nisan juga memperlihatkan bentuk yang lebih di wilayah Maluku Utara, termasuk wilayah
kompleks baik dari segi pengerjaan (pahatan), Halmahera Utara. Penyebaran Islam erat
maupun bentuk, ukiran, dan tipologinya. Situs hubungannya dengan perkembangan perda-
makam yang paling populer adalah Makam Syekh gangan internasional. Hal ini terlihat bagaimana
Mansyur yang dipercaya sebagai penyiar Islam perkembangan pos-pos perdagangan di Ternate,
pertama di wilayah tersebut. Selain situs makam Galela, dan Kao. Posisi Kao berdasarkan pene-
Syekh Al Mansyur di pedalaman Desa Kao yang litian ini menempati posisi yang sangat penting
berbatasan dengan Desa Popon, juga terdapat bagi perkembangan peradaban Islam, baik
kompleks makam istri Syekh Al Mansyur beserta hubungannya dengan kekuasaan Ternate
kerabat yang terletak 350 meter sebelah utara maupun posisi wilayah Kao sendiri dalam
dari makam Syekh Al Mansyur. Pada kompleks perkembangan Islam di jazirah Halmahera Utara.
tersebut selain makam Istri Syekh Al Mansyur, Bukti-bukti arkeologis di Kampung Tua Kao
terdapat pula sembilan makam, yakni makam menjelaskan bahwa tanah Kao merupakan salah
kerabat atau pengikutnya. Masyarakat me- satu pusat peradaban Islam di Halmahera Utara

160 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 2, Desember 2017


Wuri Handoko & Muhammad Al Mujabuddawat, Situs Kampung Tua Kao

dan dari sana kemudian Islam semakin ber- anasir-anasir budaya lokal tidak bisa dihilangkan
kembang ke wilayah lainnya di sepanjang pesisir begitu saja. Bentuk-bentuk akomodatif Islam
Halmahera Utara. dengan budaya lokal, dalam berbagai aspek
dapat ditinjau dari karakteristik budaya material
yang dihasilkan baik itu berbentuk bangunan
atau fitur maupun data artefaktual.
Salah satu data arkeologi yang dapat
menggambarkan bagaimana keberagamaan
Islam masyarakat lokal adalah wujud fisik
makam-makam kuno (Handoko, 2014). Sejumlah
nisan kuno dan lokasi situs masjid kuno yang
meninggalkan jejak umpak-umpak tiang masjid,
menjadi bukti peradaban Islam yang ber-
kembang. Situs Kampung Tua Kao tampak
menjadi bukti adanya permukiman muslim di
sana. Jejak-jejak permukiman yang maju dari
Gambar 5 Umpak-umpak Bekas Tiang Masjid
sebaran artefaktual berupa gerabah tanah liat
Secara keseluruhan, kawasan situs per- dan piring-piring impor merupakan tanda
mukiman lama Kao atau Situs Kampung Tua Kao perjumpaan penduduk lokal dengan pedagang
terdiri dari tiga kluster situs, yakni: Situs Makam asing. Bukti-bukti makam kuno Islam dengan
Kuno Syekh Al Mansyur dan muridnya yang ciri tipologi dari wilayah-wilayah seberang,
terletak di daerah bukit di Desa Popon; makam menjadi tanda perjumpaan penduduk lokal
istri Syekh Al Mansyur beserta pengikutnya, dengan para penyiar Islam dari tanah seberang.
yang terletak 500 M di sebelah barat makam Tipologi makam yang tersebar hampir memenuhi
Syekh Mansyur, atau masyarakat menyebut lebih separuh areal situs, menjadi bukti
lokasi tersebut dengan sebutan Kampung intensitas penyebaran Islam di Tanah Kao.
Gamsungi; dan Situs Permukiman Lama, di Tipologi makam kuno Islam, yang berciri makam
sebelah barat Situs Makam Istri Syekh Al Islam Aceh, Jawa dan juga Ternate serta ciri
Mansyur dan pengikutnya yang terletak di lokal, menjadi bukti bahwa masyarakat lokal
seberang Sungai Air Kalak. Pada area lokasi situs berhubungan dengan para pedagang dan
permukiman, selain terdapat banyak sebaran sekaligus penyebar Islam dari wilayah Sumatra,
makam-makam kuno, juga situs atau lokasi Jawa, dan juga kekuasaan Islam di Ternate itu
bekas Masjid Kuno Kao Lama. Hal tersebut di- sendiri.
tandai adanya temuan sebaran umpak-umpak Dalam sejarah lokal, Tanah Kao tidak bisa
yang tertata rapi, tampak menunjukkan pola dilepaskan dari pusat kekuasaan Islam di
keletakan tertentu yang diduga sebagai bekas Ternate. Ternate dikenal sebagai pusat keku-
umpak tiang penyangga Masjid Kao Lama yang asaan Islam yang melebarkan sayap kekuasaan-
berjumlah 12 sesuai dengan konstruksi masjid- nya ke wilayah-wilayah pinggirannya bahkan
masjid kuno pada umumnya di Maluku (Handoko, menyeberang jauh ke wilayah seberang lautan
2013; Handoko, 2016; Handoko, 2017). Situs baik dalam lingkup kawasan kepulauan Maluku
bekas masjid kuno menempati areal yang lebih bahkan ke wilayah yang lebih jauh dari lingkup
tinggi dibanding daerah sekitar yang kemung- kawasan kepulauannya. Para Sangaji di wilayah-
kinan dimanfaatkan sebagai lokasi hunian. wilayah ekspansi Islam Ternate adalah bukti
Masyarakat tradisional di wilayah Maluku ekspansi kekuasaan sekaligus penyebaran Islam
adalah masyarakat yang sangat kuat memper- dari Ternate. Tanah Kao adalah salah satu
tahankan tradisi sehingga ketika Islam masuk, wilayah ekspansi Islam Ternate. Bukti-bukti

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 2, Desember 2017 161


Wuri Handoko & Muhammad Al Mujabuddawat, Situs Kampung Tua Kao

sejarah dan arkeologi yang ditemukan di sana tanah, juga ditemukan dari hasil ekskavasi.
menjadi tanda bahwa Tanah Kao sangat penting Artefak-artefak keramik yang ditemukan antara
di mata Ternate. Selain sebagai pemasok bahan lain diidentifikasi sebagai keramik Eropa abad
kebutuhan pokok ke Ternate, diperkirakan Kao ke-19 hingga abad ke-20, keramik Cina dari
menjadi wilayah konsolidasi penyebaran Islam Dinasti Qing abad ke-17, dan Dinasti Ming abad
di Halmahera Utara. ke-18 hingga abad ke-19. Keramik-keramik Cina
Bukti-bukti arkeologi dan etnografi di dan Eropa, yang dibawa langsung oleh pedagang
wilayah Tanah Kao menjadi bukti perkembangan Cina maupun pedagang-pedagang pengumpul
peradaban Islam di Halmahera Utara yang selama baik dari wilayah Maluku, Jawa, dan Sumatara
ini tidak terungkap di permukaan. Bagaimana (Melayu), menjadi bukti adanya mekanisme
pengaruh budaya dari luar yang masuk ke niaga, yang sekaligus jaringan ekonomi antara
wilayah Kao mengalami proses asimilasi dan pedagang lokal dan pedagang asing, baik di
akulturasi dengan budaya lokal juga merupakan wilayah pesisir maupun wilayah pedalaman
medan penelitian yang selama ini belum (Handoko, 2007). Bentuk wilayah Nusantara
tergarap. Bukti-bukti arkeologi lainnya yang yang berupa kepulauan menjadikan laut, selat,
ditemukan diantaranya ialah alat permainan dan sungai yang saling terhubung membentuk
gacuk, yaitu tembikar berwarna merah, ber- jalur pelayaran dan perdagangan yang ramai
bentuk bundar pipih, selama ini dikenal sebagai (Mujabuddawat, 2015). Keramik asing yang
permainan anak-anak di Pulau Jawa. Temuan di ditemukan di situs-situs arkeologi di wilayah
wilayah pedalaman Kao menjadi bukti intensitas Maluku dapat menandai ramainya aktivitas
hubungan Jawa dan Halmahera Utara, baik perdagangan pada masa lampau (Handoko,
dalam jaringan niaga maupun penyebaran 2007). Bukti-bukti peran penguasa dalam
budaya dan penyebaran Islam. Hal ini juga jaringan ekonomi bisa ditelusuri karenanya.
menjadi bagian dari sejarah perkembangan Selain itu, proses penyebaran Islam, sekaligus
peradaban di Tanah Kao. melalui jalan niaga dan penguasaan ekonomi
Hubungan Kao dengan wilayah lain, baik membuktikan bahwa terjadi mekanisme dan
dalam ekskalasi niaga maupun penyebaran Islam cara-cara Islamisasi yang kompleks, yang
diperlihatkan oleh sebaran temuan artefak- diperkirakan melibatkan para penguasa. Hal ini
artefak keramik. Temuan sejumlah artefak kera- menjadi bukti peradaban yang sangat maju, di
mik selain ditemukan tersebar di atas permukaan samping memberikan pemahaman kepada kita,

Qing abad ke-19 sd. ke-20


Unidentification (5%) Guangdong ware (5%) Ming abad ke-17 non
Swatow (2%)

Ming-Qing abad ke-17


(9%)

Qing abad ke-17


(5%)
Eropa abad ke-19
sd. ke-20 (32%)
Qing abad ke-17
non Swatow (7%)

Qing abad ke-18 (21%)

Qing ware abad ke-19 (14%)

Gambar 6 Diagram Identifikasi Perolehan Artefak Keramik di Situs Kampung Tua Kao

162 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 2, Desember 2017


Wuri Handoko & Muhammad Al Mujabuddawat, Situs Kampung Tua Kao

bahwa penyebaran Islam melalui mekanisme hormatan terhadap arwah leluhur, tanpa
pertumbuhan niaga dan ekonomi serta politik meninggalkan keislamannya. Selama ini, sejarah
ekspansionisme menjadi mata rantai eksistensi peradaban Tanah Kao sebelum pelacakan
Islam itu sendiri. arkeologis sangat tersembunyi dan hanya
diketahui oleh sebagian kecil masyarakat di
Jejak dan Perkembangan Sufisme Islam sana. Hasil pelacakan sejarah dan peradaban
Mayoritas para ahli sepakat bahwa Islam di Islam di Tanah Kao, Halmahera Utara, melalui
wilayah nusantara berkembang sejak awalnya bukti-bukti arkeologi, menunjukkan betapa
dengan corak tasawuf atau sufisme (Azra, dinamisnya budaya dan peradaban di sana.
2009; Idham, 2011). Selain itu, karakteristik Data arkeologi melalui sebaran data
Islam awal yang berkembang juga dapat menjadi artefaktual, terutama keramik asing dapat
bahan interpretasi, bahwa karisma-karisma para menjadi bahan untuk mengidentifikasi per-
penyebar Islam secara individu juga menjadi kembangan permukiman di wilayah itu. Data
daya tarik masyarakat lokal mengkonversi diri persebaran keramik dapat mengkonfirmasi
ke agama Islam. Ketokohan Syekh Mansyur, bagaimana intensitas penggunaan perkakas
dalam berbagai tradisi tutur, memperlihatkan keramik asing sebagai peralatan rumah tangga
penghormatan dan sakralitas sebagai syekh sehari-hari dan menyangkut pertukaran komoditi
atau penyebar Islam yang penuh aura mistik. yang berkembang di wilayah itu. Intensitas
Ketokohannya memperlihatkan bagaimana Islam perdagangan dan mobilitas penduduk, melalui
dipahami dalam cara pandang tradisionalisme jalur sungai menuju pantai, dapat menggam-
sufi. Data arkeologi berupa makam Syekh barkan bahwa permukiman di wilayah tersebut
Mansyur di tempat yang tinggi, menjadi bukti sudah demikian padat. Selain itu, temuan
sakralitasnya. Selain itu, ada tradisi peng- sebaran makam-makam kuno Islam di wilayah
hormatan melalui ritual ziarah makam yang tersebut dapat memberikan keterangan tentang
dikenal ritual tagi jere, yaitu ritual ziarah atau dinamika perkembangan demografi di wilayah
mengunjungi makam keramat yang menjadi itu. Banyaknya temuan makam-makam kuno
tradisi kuat dalam komunitas etnik Kao di Islam memberikan gambaran bahwa Situs
Halmahera Utara. Tradisi ritual tersebut sarat Kampung Tua Kao merupakan situs permukiman
dengan nilai-nilai religius yang dapat dilihat yang cukup padat pada masa itu.
sebagai ciri khusus dan penegasan akan
identitas Muslim mereka dari segi budaya SIMPULAN DAN SARAN
(Manan, 2014). Ritual tagi jere menjadi bukti Simpulan
bahwa perlakuan terhadap orang yang Leluhur penduduk yang sekarang disebut
dimakamkan dengan cara menyucikan atau Kabupaten Halmahera Utara adalah campuran
mengeramatkan makam merupakan bukti antara orang dengan latar kebudayaan dan
berkembangnya sufisme yang menciptakan bahasa Austronesia dan non-Austronesia.
tradisi ziarah keramat. Identitas asal-usul komunitas yang sekarang
Perkembangan tarekat-tarekat sufi lain, bermukim di wilayah Halmahera Utara dapat
yaitu munculnya sejumlah tokoh Syekh, dirunut ke belakang. Semuanya berasal dari
menyebabkan pengeramatan sejumlah besar wilayah Telaga Lina, sebuah wilayah yang
wali-wali yang sudah meninggal dan tokoh-tokoh termasuk dalam wilayah daratan Tanah Kao
itu merupakan sebagian besar dari fenomena sekarang. Dengan demikian, komunitas Orang
ziarah. Hal tersebut menjadi bukti bahwa Kao merupakan komunitas suku yang dapat
perkembangan tradisionalisme sufi adalah salah ditempatkan peranannya dalam penjelasan soal
satu ciri spesifik perkembangan Islam di identitas asal-usul komunitas Halmahera Utara.
masyarakat lokal sebagai bagian dari peng-

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 2, Desember 2017 163


Wuri Handoko & Muhammad Al Mujabuddawat, Situs Kampung Tua Kao

Berdasarkan penelitian arkeologi di Situs lebih tepatnya yang mengarah ke aliran sungai
Kampung Tua Kao, ditemukan berbagai bentuk Aer Kalak atau sungai Ake Jodo, mengung-
tinggalan arkeologis yang membuktikan adanya kapkan bahwa permukiman tua di bantaran
permukiman manusia. Tinggalan-tinggalan sungai itu merupakan bekas permukiman
arkeologis yang ditemukan antara lain temuan komunitas muslim. Hal tersebut dapat di-
artefaktual yaitu ragam fragmen gerabah, hubungkan dengan fakta-fakta sejarah yang
keramik, dan artefak lainnya, ada pula tinggalan berhubungan dengan wilayah Halmahera Utara
berupa fitur yaitu makam-makam tua, nisan lainnya.
makam, lutur, dan umpak-umpak masjid tua.
Berdasarkan bukti data-data penelitian arkeologi Saran
dapat menjelaskan bahwa Tanah Kao sudah Penelitian lanjutan terhadap arkeologi di lokasi
menjadi bagian kekuasaan Ternate sejak abad Situs Kampung Tua Kao perlu ditindaklanjuti,
ke-16. Hal ini sesuai dengan informasi tutur yang terutama difokuskan pada penelusuran Sungai
menyebutkan bahwa permukiman kuno Islam di Ake Jodo ke arah utara hingga menemukan hulu
bantaran sungai Aer Kalak berkembang sejak sungai yang diperkirakan adalah situs Telaga
abad itu. Data arkeologi keramik, yang berasal Lina yang merupakan lokasi asal Orang
dari Dinasti Qing dan Ming abad ke-17 hingga Halmahera Utara. Di samping itu, penelitian
ke-18, dapat mengonfirmasikan data sejarah untuk mengetahui kronologi penyebaran
tersebut. Informasi kesejarahan yang penting komunitas Orang Kao dan pencarian data
menyangkut adanya temuan situs permukiman arkeologis yang lebih tua akan menjadi hal yang
Kampung Tua Kao di wilayah pedalaman yakni menarik yang dapat membuka wawasan arkeologi
di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Kao atau di masa yang akan datang.

PUSTAKA ACUAN
Amal, M. A. 2010. Kepulauan Rempah-rempah Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
Ambary, H. M. 1996. Menemukan Peradaban Arkeologi dan Islam di Indonesia. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu.
Asyhari, M. 2008. Status Tanah-tanah Kesultanan Ternate dalam Perspektif Tanah Nasional.
Mimbar Hukum, 20(2),352–366.
Azra, A. 2009. Arkeologi Islam Indonesia: Sebuah Penghargaan untuk Uka Tjandrasasmita. In
Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
de Graaf, H. J. 1956. De Historische Betrouwbaarheid Der Javaanse Overlevering. Bijdragen Tot
de Taal-, Land- En Volkenkunde, 112(1),55–73.
Diense, A. H., & Thaib, R. 2008. Ternate (Sejarah Kebudayaan & Pembangunan Perdamaian
Maluku Utara). Ternate: Lekra-MKR.
Ghofur, A. 2011. Tela’ah Kritis Masuk dan Berkembangnya Islam di Nusantara. Jurnal Ushuluddin,
XVII(2),159–169.
Handoko, W. 2007a. Aktifitas Perdagangan Lokal di Kepualuan Maluku Abad 15 M - 19 M. Kapata
Arkeologi, 3(4),100–120.
Handoko, W. 2007b. Asal-Usul Masyarakat Maluku, Budaya, dan Persebarannya: Kajian Arkeologi
dan Mitologi. Kapata Arkeologi, 3(5),1–27.
Handoko, W. 2013. Karakteristik Arsitektur Masjid Kuno dan Perkembangan Islam di Maluku.
Amerta, 31(1),39–52.

164 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 2, Desember 2017


Wuri Handoko & Muhammad Al Mujabuddawat, Situs Kampung Tua Kao

Handoko, W. 2014. Tradisi Nisan Menhir pada Makam Kuno Raja-raja di Wilayah Kerajaan Hitu.
Kapata Arkeologi, 10(1),33–46.
Handoko, W. 2016. Islam Negeri Kaitetu: Relasi Islam, Adat dan Pemerintahan Lokal. Kota
Ambon: Universitas Pattimura.
Handoko, W. 2017. Ekspansi Kekuasaan Islam Kesultanan Ternate di Pesisir Timur Halmahera
Utara. Kapata Arkeologi, 13(1),95–108. https://doi.org/10.24832/kapata.v13i1.396
Handoko, W., Mujabuddawat, M. Al, Huwae, A., Husni, M., Karolina, J., & Latupapua, S. 2016.
Tanah Kao: Menguak Identitas Asal Usul Komunitas, Sejarah, dan Peradaban Islam di
Halmahera Utara. Ambon: Tidak terbit.
Idham. 2011. Naskah Klasik di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara. Jurnal Manassa,
1(1),79–96.
Leirissa, R. Z. 1990. Masyarakat Halmahera dan Raja Jailolo: Studi tentang Sejarah Masyarakat
Halmahera Utara. Depok: Universitas Indonesia.
Manan, M. A. 2014. Ritual Tagi Jere dalam Komunitas Etnik Kao: Peran Lembaga Dewan Adat dan
Badan Syara’ dan Perkembangannya. Jurnal Masyarakat & Budaya, 16(1),27–50.
Mansyur, S. 2007. Peninggalan Arkeologis di Kepulauan Bacan. Kapata Arkeologi, 3(4),74–99.
Mujabuddawat, M. Al. 2015. Kejayaan Kesultanan Buton Abad Ke-17 & 18 dalam Tinjauan
Arkeologi Ekologi. Kapata Arkeologi, 11(1),21–32.
Mujabuddawat, M. Al. 2016. Simbolisme Kompleks Bangunan Situs Ki Buyut Trusmi Cirebon.
Kapata Arkeologi, 12(2),175–190.
Naping, H. 2013. Halmahera Utara, Sejarah Perkembangan Peradaban di Bumi Hibua Lamo.
Makassar: Universitas Hasanuddin, Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara, dan Yayasan
Bina Generasi.
Nomay, U. 2014. Orang Melayu di Kota Ternate Abad XV-XIV. Jurnal Al-Qalam, 20(2),245–254.
Papilaja, E. J. 2011. Kharisma Hibualamo (Tutur Kearifan Kepemimpinan Budaya). Jakarta: Dinas
Pariwisata dan Budaya Halmahera Utara.
Poesponegoro, M.D. & Notosusanto, N. 2008. Sejarah Nasional Indonesia III. (B. Sumadio, Ed.).
Jakarta: Balai Pustaka.
Puasa, A. 2013. Falsafah Hibualamo Suatu Upaya Membangun Rekonsiliasi di Halmahera Utara.
Jurnal Uniera, 2(1),1–8.
Putuhena, S. M. 1995. Penyebaran Agama Islam di Maluku. Makassar: Balai Penelitian dan
Pengabdian pada Masyarakat IAIN Alauiddin.
Soegondho, S. 1995. Earthenware Traditions in Indonesia: From Prehistory Until the Present
(1st ed.). Jakarta: Ceramic Society of Indonesia.
Tim Penelitian. 2014. Laporan penelitian: Arkeologi Islam di Wilayah Pesisir Timur Kabupaten
Halmahera Utara. Ambon: Tidak terbit.
Tjandrasasmita, U. 1998. Arti Arsitektur Mesjid-mesjid Kuno di Indonesia. Jakarta: Fakultas
Sastra Universitas Indonesia.
Tjandrasasmita, U. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
(KPG).
Wimbish, S. G. 1991. An Introduction to Pagu through the Analysis of Narrative Discourse. The
University of Texas at Arlington.
Yatim, B. 2006. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 2, Nomor 2, Desember 2017 165

Вам также может понравиться