Вы находитесь на странице: 1из 13

CASE REPORT

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA SERTA EDUKASI PEMAKAIAN


DIAZEPAM SUPPOSITORIA PADA ANAK DENGAN EPILEPSI DI
INSTALASI GAWAT DARURAT RUMAH SAKIT PASAR REBO

Disusun oleh:
ELVIRA RESSA
1102015066

Kelompok 2
Bidang Kepeminatan Kegawatdaruratan
Blok Elektif

Dosen Pembimbing:
dr. Indra Kusuma, M. Biomed

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2018
DIAGNOSE, TREATMENT, AND EDUCATION OF DIAZEPAM
SUPPOSITORIA USE IN CHILDREN WITH EPILEPSY IN
EMERGENCY ROOM, RUMAH SAKIT PASAR REBO

ABSTRACT

Background : Epilepsy is a manifestation of brain dysfunction with various etiologies, and a


spesific symptom, which is recurrent seizures due to excessive release of brain neurons and
paroxymal electrical charges.

Case Report : A 14-month-old child is brought by his parents to Pasar Rebo Hospital with a
major complaint of seizures 1.5 hours before entering the hospital, yesterday the fever wasn’t
high. There is a history of relapsing seizures 6 hours ago for 1 minute with stiff seizures in the
hands and feet, also eyes glared up.

Discussion : Seizures are a temporary electrical manifestation of the cerebral cortex. The
most frequent type of seizure is tonic-clonic. The diagnosis of epilepsy can be made from the form
and duration of the attack, symptoms during the attack, risk factors, physical and neurological
examinations, lab tests and radiological examinations. Management of epilepsy patients with per
rectal diazepam. Treatment for epilepsy patients is by giving per rectal diazepam parents need to
be educated on how to administer diazepam at home.

Conclusion : The diagnosis can be made by anamnesis (shape, length of attacks, symptoms
before and after the attack, precipitating factors, history of trauma, and risk factors) and clinical
examination (general physical and neurological examination) with EEG or radiological
examination. Initial treatment of epilepsy at home is by giving rectal diazepam at a dose of 5 mg.
Parents need to be educated on how to administer diazepam at home.

Keyword : epilepsy, diagnose, treatment

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA SERTA EDUKASI PEMAKAIAN


DIAZEPAM SUPPOSITORIA PADA ANAK DENGAN EPILEPSI DI
INSTALASI GAWAT DARURAT RUMAH SAKIT PASAR REBO

ABSTRAK

Pendahuluan : Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai


etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik
neuron otak secara berlebihan dan paroksimal

Deskripsi Kasus : Seorang anak berusia 14 bulan dibawa oleh orang tua ke RSUD Pasar Rebo
dengan keluhan utama kejang 1.5 jam lalu sebelum masuk kerumah sakit, demam tidak tinggi 1
hari yang lalu.Terdapat riwayat kejang berulang 6 jam yang lalu selama 1 menit dengan kejang
kaku pada tangan dan kaki, juga mata mendelik keatas.
Diskusi : Kejang adalah manifestasi elektrik sementara dari korteks serebri. Jenis kejang yang
paling sering tonik-klonik. Diagnosis epilepsi dapat ditegakkan dari bentuk dan lama serangan,
gejala saat serangan, faktor resiko, pemeriksaan fisik dan neurologis, pemeriksaan lab serta
pemeriksaan radiologis. Tatalaksana pada pasien epilepsi dengan diazepam per rektal. Penggunaan
diazepam per rektal di rumah perlu diberikan edukasi kepada orang tuanya.

Kesimpulan : Penegakkan diagnosis dapat dilakukan dengan anamnesis (bentuk, lama serangan,
gejala sebelum dan sesudah serangan, faktor pencetus, riwayat trauma,dan faktor resiko) dan
pemeriksaan klinis ( pemeriksaan fisik umum dan neurologis) dengan hasil pemeriksaan EEG atau
radiologis. Tatalaksana pertolongan pertama epilepsi dirumah dengan diazepam per rektal dengan
dosis 5 mg. Orang tua perlu diberikan edukasi mengenai cara pemberian diazepam di rumah.

Kata Kunci : epilepsi, diagnosis, tatalaksana

I. PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan


berbagai etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang
akibat lepasnya muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan
paroksimal (Setiaji , 2014 ). Insidens epilepsi pada anak dilaporkan dari
berbagai negara dengan variasi yang luas, sekitar 4-6 per 1000 anak,
tergantung pada desain penelitian dan kelompok umur populasi (Suwarba,
2011). Epilepsi lebih sering terjadi pada anak dan lansia. Puncak insidensi
epilepsi terdapat pada kelompok usia 0-1 tahun, kemudian menurun pada
masa kanak-kanak, dan relatif stabil sampai usia 65 tahun (Rudolph,
2007). Etiologi dari epilepsi masih belum diketahui pastinya. Sekitar 0,5 –
12% kejang demam berulang merupakan faktor predisposisi terjadinya
epilepsi di kemudian hari (Lumbantobing, 2002).
Untuk menegakkan diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis
(bentuk, lama serangan, gejala sebelum dan sesudah serangan, faktor
pencetus, riwayat trauma,dan faktor resiko) dan pemeriksaan klinis
(pemeriksaan fisik umum dan neurologis) dengan hasil pemeriksaan EEG
atau radiologis. Namun demikian bila secara kebetulan melihat serangan
yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan
(Setiaji, 2014 ). Pengobatan epilepsi pada anak digunakan diazepam rektal,
tetapi diazepam memiliki efek samping depresi pernafasan. Oleh karena
itu, penggunaan diazepam rektal yang diberikan di rumah perlu diberikan
edukasi kepada orang tua (Pusponegoro, 2006).
Tujuan dari pembuatan laporan kasus ini adalah mengetahui
bagaimana mendiagnosis, penatalaksanaan, dan edukasi penggunaan obat
diazepam dirumah.

II. PRESENTASI KASUS

Seorang anak berinisal D berusia 14 bulan dengan berat badan 8,3 kg


dibawa oleh orang tua ke RSUD Pasar Rebo dengan keluhan utama kejang
1.5 jam lalu sebelum masuk kerumah sakit, demam tidak tinggi 1 hari
yang lalu.Terdapat riwayat kejang berulang 6 jam yang lalu selama 1
menit dengan kejang kaku pada tangan dan kaki, juga mata mendelik
keatas. Kemudian orang tua memberikan diazepam suppositoria, kejang
berhenti. Pasien memiliki riwayat epilepsi dengan pengobatan valopsi 1 x
1,5cc 1 mg dan 2 minggu yang lalu baru pulang di rawat karena kejang
berulang. Riwayat keluarga: kakaknya menderita epilepsi. Riwayat
kelahiran normal, imunisasi lengkap, kehamilan ibu normal, nafsu makan
baik dan asupan gizi baik

Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan keadaan umum baik,


komposmentis, frekuensi nafas: 22x/menit, frekuensi nadi: 100x/menit,
suhu: 37OC. Pada pemeriksaan fisik, turgor baik, akral hangat, ubun ubun
tidak cekung, tidak ada sesak,

Pada pemeriksaan lab ditemukan kadar trombosit 179000/mikrolt


(N=217000-497000/mikrolt), kadar limfosit 61% (N=25-50%), monosit
0% (N=1-6%). Diagnosis sementara pasien adalah observasi kejang pada
epilepsi. Berdasarkan konsul dokter jaga ke dokter spesialis anak, pasien
dipasang infus ringer asetat, paracetamol sirup 3x1 5ml, dan dilanjutkan
diazepam rektal suppositoria 5mg.
III. DISKUSI

Pasien D datang dengan keluhkan kejang berulang 1,5 jam yang lalu
dengan demam 1 hari yang lalu. Terdapat riwayat kejang berulang 6 jam
yang lalu selama 1 menit dengan kejang kaku pada tangan dan kaki, juga
mata mendelik keatas. Menurut literatur, kejang adalah manifestasi
elektrik sementara dari korteks serebri. Suatu kejang terjadi apabila
ketidakseimbangan antara kekuatan eksitatorik dan inhibitorik di dalam
jaringan neuron korteks yang menyebabkan hasil bersih berupa eksitasi
mendadak. Manifestasi klinis yang terjadi tergantung dari jaringan korteks
yang terangsang.
Klasifikasi dan manifestasi klinik kejang dibagi menjadi tiga :
(a) Kejang Umum
Kejang dimulai apabila cetusan epileptik terjadi secara
bersamaan di kedua hemisfer serebri. Kejang umum
diklasifikasikan lebih lanjut menjadi (Chris, 2014 ).: (1)
tonik-klonik (Grand mal) merupakan jenis kejang yang
paling dikenal. Diawali dengan hilangnya kesadaran dan
sering penderita akan menangis. Jika berdiri, orang akan
terjatuh, tubuh menegang (tonik) dan diikuti sentakan otot
(klonik). Kejang biasanya berlangsung sekitar dua menit
atau kurang. Hal ini sering diikuti dengan periode
kebingungan, agitasi dan tidur. Sakit kepala dan nyeri juga
biasa terjadi setelahnya . (2) absans terjadi diawali
mendadak ditandai dengan menatap, hilangnya ekspresi,
tidak ada respon, menghenti-kan aktifitas yang dilakukan.
Durasi kurang lebih 10 detik dan berhenti secara tiba-tiba.
(3) tonik dapat terjadi mendadak. Kekakuan singkat pada
otot seluruh tubuh, menyebabkan orang menjadi kaku dan
terjatuh jika dalam posisi berdiri.. Kejang tonik dapat terjadi
pula saat tertidur. (4) atonik biasanya terjadi cedera dan luka
pada kepala. Tidak ada tanda kehilangan kesadaran dan
cepat pemulihan kecuali terjadi cedera (Kristanto, 2017)
(b) Kejang Parsial / Fokal
60 % penderita epilepsi merupakan kejang parsial dan
kejang ini terkadang resisten terhadap terapi antiepileptik
(Kristanto, 2017). Kejang Dimulai dari cetusan epileptik di
suatu area fokal di korteks. Kejang fokal diklasifikasikan
menjadi : (a) parsial sederhana diistilahkan “aura” atau
“warning” dan terjadi sebelum kejang parsial kompleks
atau kejang tonik klonik. Tidak ada penurunan kesadaran,
dengan durasi kurang dari satu menit. Jika terjadi > 30
menit, dinamakan status epilepticus fokal sederhana.
(b) parsial kompleks dapat berlangsung dari 30 detik sampai
tiga menit. Setelah kejang, penderita sering bingung dan
mungkin tidak ingat apa-apa tentang kejang. Berdasarkan
konsensus ILAE 2014, epilepsi dapat ditegakkan pada tiga
kondisi, yaitu: terdapat dua kejadian kejang tanpa provokasi
yang terpisah lebih dari 24 jam, terdapat satu kejadian
kejang tanpa provokasi, namun resiko kejang selanjutnya
sama dengan resiko rekurensi umum setelah dua kejang
tanpa provokasi dalam 10 tahun mendatang, serta sindrom
epilepsi (berdasarkan pemeriksaan EEG) (Kristanto, 2017).
(c) Tidak Terklasifikasi
Pasien D memiliki riwayat epilepsi dan 2 minggu yang lalu baru
pulang di rawat karena kejang berulang. Salah satu anggota keluargannya
yaitu kakaknya menderita epilepsi. Dokter juga menganamnesis ibu nya,
kehamilan ibu normal, pasien D riwayat kelahiran normal, imunisasi
lengkap, nafsu makan baik dan asupan gizi baik. Menurut literatur, faktor
resiko epilepsi antara lain asfiksia neonatorium, riwayat demam tinggi,
riwayat ibu yang memiliki faktor resiko tinggi (wanita dengan latar
belakang susah melahirkan atau penggunan obat-obatan, hipertensi), pasca
trauma kelahiran, riwayat ibu yang menggunakan obat anti konvulsan
selama kehamilan, riwayat intoksikasi obat-obatan maupun alkohol,
adanya riwayat penyakit pada masa anak-anak (campak, mumps),
riwayat gangguan metabolisme nutrisi dan gizi, riwayat keturunan epilepsi
(Kristanto,2017).

Pasien D dilakukan alloamnanesis dari orang tua tentang berapa


lama kejangnya, gejala apa saat kejang, ada atau tidaknya penurunan
kesadaran dan lain nya. Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan dalam
batas normal, komposmentis, turgor baik, akral hangat, ubun ubun tidak
cekung, tidak ada sesak. Pada pemeriksaan lab ditemukan penurunan
kadar trombosit, peningkatan kadar limfosit, dan penurunan kadar
monosit. Menurut literatur, untuk menegakkan diagnosis epilepsi, yaitu
dimulai dari anamnesis. Anamnesis meliputi yaitu bentuk dan lama
serangan, gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan, frekuensi
serangan, faktor pencetus, ada / tidaknya penyakit lain yang diderita
sekarang, usia saat terjadinya serangan pertama, riwayat kehamilan,
persalinan, dan perkembangan, riwayat penyakit, penyebab, dan terapi
sebelumnya, riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga. (2) Pada
pemeriksaan fisik umum dan neurologis, dapat dilihat adanya tanda-tanda
dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma kepala,
gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, infeksi telinga
atau sinus (Setiaji,2014). (3) Pemeriksaan laboratorium dapat mencakup
pemeriksaan hematologi yaitu hemoglobin, leukosit, dan hitung jenis,
hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit, kadar gula darah
sewaktu, fungsi hati (SGOT/SGPT), ureum, kreatinin, dan albumin
(Budikayanti, 2014). Pemeriksaan laboratorium dilakukan pada saat: awal
pengobatan sebagai salah satu acuan dalam menyingkirkan diagnosis
banding dan pemilihan OAE, dua bulan setelah pemberian OAE untuk
mendeteksi efek samping OAE, dan rutin diulang setiap tahun sekali untuk
memonitor samping OAE, atau bila timbul gejala klinis akibat efek
samping OAE (Budikayanti, 2014). Pemeriksaan lainnya yang dapat
dilakukan namun tidak rutin yaitu pungsi lumbal dan EKG (Budikayanti,
2014).(4) Pemeriksaan penunjang dapat berupa EEG dan neuroimaging.

Menurut Abdul (2010), penatalaksanaan dalam epilepsi ada dua yaitu:


(a) Tatalaksana fase akut (saat kejang)
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan
oksigenasi otak yang adekuat, mengakhiri kejang sesegera
mungkin, mencegah kejang berulang, dan mencari faktor
penyebab. Serangan kejang umumnya berlangsung singkat dan
berhenti sendiri. Pengelolaan pertama untuk serangan kejang
dapat diberikan diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila
berat badan anak < 10 kg atau 10 mg bila berat badan anak >
10 kg. Apabila setelah pemberian diazepam per rektal kejang
masih belum berhenti, dapat diulang setelah selang waktu 5
menit dengan dosis dan obat yang sama. Bila setelah dua kali
pemberian diazepam per rektal masih belum berhenti, maka
penderita dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit
(b) Pengobatan epilepsi
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat
penderita epilepsi terbebas dari serangan epilepsinya. Serangan
kejang yang berlangsung mengakibatkan kerusakan sampai
kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus
menerus maka kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas dan
mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita.
Keberhasilan pengobatan epilepsi dan penderita dinyatakan
sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau di kontrol
dengan obat-obatan sampai pasien tersebut 2 tahun bebas
kejang. Pengobatan yang diberikan untuk pasien yang baru
terdiagnosa epilepsi adalah obat golongan fenitoin,
karbamazepin, fenobarbital dan asam valproate. Prinsip
pemberian obat dimulai dengan obat tunggal dan
menggunakan dosis terendah yang dapat mengatasi kejang.
Edukasi pada orang tua:
Meyakinkan bahwa kejang umumnya prognosis baik,
memberitahukan cara penanganan kejang, memberikan informasi
mengenai kemungkinan kejang kembali, dan pemberian obat untuk
efektif mencegah rekurensi tetapi harus diingat adanya efek
samping obat (Pusponegoro, 2006).
Obat diazepam memiliki efek samping yaitu somnolen, ataksia
dan depresi pernafasan (Setyabudhy, 2011). Penggunaan diazepam
perlu pemantauan ketat dikarenakan efek samping nya depresi
pernafasan. Dokter terlebih dahulu mengedukasi penggunaan obat
diazepam per rektal dirumah kepada orang tua. Apabila saat pasien
mengalami kejang kemudian orang tua telah memberikan
diazepam per rektal di rumah dan kejang tidak berhenti dianjurkan
langsung membawa pasien ke rumah sakit.
Tahap-tahap dalam pertolongan pertama saat kejang antara lain
jauhkan penderita dari benda-benda berbahaya, jangan pernah
meninggalkan penderita, berikan alas lembut dibawah kepala dan
kendorkan pakaian ketat atau kerah baju di leher, miringkan tubuh
penderita ke salah satu sisi supaya cairan dari mulut dapat mengalir
keluar dengan lancar dan menjaga aliran udara atau pernapasan,
saat penderita mengalami kejang jangan menahan gerakan pasien,
jangan masukkan benda apapun ke dalam mulut pasien dan setelah
selesai kejang, tetaplah menemani penderita jangan meninggalkan
penderita sebelum kesadarannya pulih total (Setiaji, 2014).

Sabar, Tawakkal Serta Menyikap Aurat Saat Epilepsi Menurut


Pandangan Islam
Epilepsi atau sering disebut sebagai “penyakit ayan” sudah dikenal
sejak ribuan tahun yang lalu. Pada waktu itu, epilepsi masih dianggap
sebagai penyakit yang disebabkan atau dipengaruhi oleh kekuatan
supranatural. Pemahaman yang keliru tentang penyakit epilepsi
mengakibatkan pengobatan yang diberikan pada penderita didasari oleh
hal-hal berbau mistik. Hal itu terjadi karena mereka mempercayai epilepsi
sebagai “kutukan” yang harus dienyahkan. Sebagai seorang muslim, kita
harus meyakini bahwa tiap penyakit yang diderita oleh seseorang semata-
mata karena takdir Allah, dan bukan karena kutukan atau kekuatan roh
halus. Untuk itulah, kita perlu mengetahui tentang penyakit epilepsi dan
jangan sampai kita memilih pengobatan yang keliru yaitu dengan
mendatangi dukun (paranormal) dan mau melakukan ritual-ritual yang
penuh dengan kesyirikan (Andriyani, 2013).

Penderita epilepsi hendaknya senantiasa bersabar dan meminta


pertolongan pada Allah karena hanya Allah-lah yang menyembuhkan
segala macam penyakit. Bagi keluarga penderita tidak menganggap
penyakit epilepsi sebagai aib tetapi terimalah penyakit tersebut sebagai
ketentuan Allah dengan lapang dada. Dukungan dari keluarga akan sangat
membantu proses kesembuhannya (Andriyani, 2013). Allah memberi
balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik
daripada amalnya dan melipatgandakannya tanpa terhitung. Dalam firman
Allah SWT yang berbunyi:

َ ْ‫صبَ ُروا أَجْ َر ُهم بِأَح‬


َ‫س ِن َما َكانُوا يَ ْع َملُون‬ َ َ‫َولَنَجْ ِزيَ َّن الَّذِين‬

Artinya :“Dan, sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-


orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka
kerjakan”. (An-Nahl : 96)

َ ‫صابِ ُرونَ أَجْ َر ُهم بِغَي ِْر ِح‬


‫ساب‬ َّ ‫نَّ َما ي َُوفَّى ال‬

Artinya: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang


dicukupkan pahala mereka tanpa batas”. (Az-Zumar : 10)

Tentang penyakit epilepsi ini, dikeluarkan oleh Bukhari dan


Muslim dari hadits Atha bin Abi Rabbah, dari Ibnu Abbas diriwayatkan
bahwa Rasulullah saw berkata, “Maukah engkau kuperlihatkan wanita
penghuni surga? Atha menjawab, “ Mau. Beliau berkata,” Ada seorang
wanita berkulit hitam datang menemui Rasulullah saw dan berkata,” Saya
memiliki penyakit epilepsi, dan bila kumat, auratku terbuka. Do’akanlah
aku kepada Allah.” Rasulullah saw berkata,” Kalau engkau bersabar,
engkau akan masuk surga, tetapi kalau engkau mau, aku akan
mendo’akanmu hingga sembuh.” Wanita itu berkata,” Aku akan bersabar,
akan tetapi bila kumat auratku terbuka. Do’akanlah agar auratku tidak
terbuka.” Rasulullah lalu mendo’akannya.

Dari riwayat di atas, Rasulullah saw menjanjikan surga kepada


wanita yang mengidap epilepsi karena kesabarannya terhadap penyakit ini,
bahkan mendo’akan agar auratnya tidak tersingkap bila penyakitnya
kumat.
Rasulullah memberi pilihan kepadanya, antara bersabar dan ia akan
memperoleh surga, atau dido’akan sehingga sembuh, tanpa ada jaminan
masuk surga. Wanita itu akhirnya memilih bersabar dan mendapatkan
jaminan masuk surga (Hanbal, 2016).

IV. SIMPULAN

Kejang adalah manifestasi elektrik sementara dari korteks serebri.


Terdapat dua kategori dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal(parsial) dan
kejang umum. Faktor resiko epilepsi antara lain demam tinggi, riwayat ibu
yang memiliki faktor resiko tinggi (wanita dengan latar belakang susah
melahirkan atau penggunan obat-obatan, hipertensi), pasca trauma
kelahiran, riwayat gangguan metabolisme nutrisi dan gizi, riwayat
keturunan epilepsi.

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis (bentuk, lama serangan,


gejala sebelum dan sesudah serangan, faktor pencetus, riwayat trauma,dan
faktor resiko) dan pemeriksaan klinis (pemeriksaan fisik umum dan
neurologis) dengan hasil pemeriksaan EEG atau radiologis.

Tata laksana pertolongan pertama epilepsi dirumah dengan


diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan anak < 10 kg atau
10 mg bila berat badan anak > 10 kg. Apabila kejang belum berhenti,
diulang setelah selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat yang sama,
kemudian jika kejang masih belum berhenti segera di bawa ke rumah
sakit. Orang tua perlu diberikan edukasi mengenai cara pemberian
diazepam di rumah.

V. ACKNOWLEDGEMENT
Puji syukur kepada Allah SWT karena rahmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus ini. Terima kasih kepada Dr. drh. Hj, Titiek
Djannatun selaku Koordinator Penyusun Blok Elektif dan dr. Hj. R.W
Susilowati,M.Kes selaku Koordinator Pelaksana Blok Elektif. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada dr. H. Kamal Anas, Sp.B selaku dosen
pengampu kepeminatan kegawatdaruratan dan dr. Indra Kusuma,
M.Biomed selaku pembimbing kelompok 2 selama blok elektif ini. Juga
terima kasih kepada pihak RS Pasar rebo dan dr. Faiz.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul W. 2010. Difficulties in Treatment and Management of Epilepsy and


Challenges in New Drug Develpoment. Pharmaceuticals

Andriyani, Avie. 2013. Epilepsi Bukan Penyakit Kutukan. Retrieved from


https://kesehatanmuslim.com/epilepsi/

Budikayanti A, Islamiyah WR, Lestari ND. 2014. Diagnosis dan Diagnosis


Banding. In: Kusumastuti K, Gunadharma S, Kustiowati E, editors.
Pedoman Tatalaksana Epilepsi. 4th ed. Surabaya: Pusat Penerbitan dan
Percetakan Unair.p.19-32
Chris tanto, et al.. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Ed IV. Jakarta: Media
Aeskulapius

Hanbal, Ahmad Bin. 2016. Ketika Santriku Epilepsi. Retrieved from


https://ahmadbinhanbal.wordpress.com/2016/04/06/ketika-santriku-
epilepsi/

Ibrahim, Majdi As-Sayyid. 2004. Retrieved from https://almanhaj.or.id/222-


keutamaan-sabar-menghadapi-cobaan.html

Kristanto, Andre. 2017. Epilepsi bangkitan umum tonik-klonik di UGD RSUP


Sanglah Denpasar-Bali. Intisari Sains Medis

Lumbantobing. 2002. Epilepsi pada Anak. Naskah Lengkap Kedokteran


Berkelanjutan. Jakarta: FK UI

Pusponegoro Hardiono D, Widodo Dwi Putro, et al. 2006. Konsensus


Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta: Badan Penerbit IDAI

Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Gangguan kejang pada bayi dan anak.
In : Rudolph AM, Hoffman JIE, editors. Buku Ajar Pediatri Rudolph
Volume 3. Jakarta : EGC; 2007.p.2134-40

Setiaji, Adrian. 2014. Pengaruh Penyuluhan Tentang Penyakit Epilepsi Anak


Terhadap Peningkatan Pengetahuan Masyarakat Umum. Jurnal Media
Medika Muda

Setyabudhy, et al. 2011. Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia

Suwarba, I Gusti Ngurah. 2011. Insidens dan Karakteristik Klinis Epilepsi pada
Anak. Bali: Sari Pediatri

Вам также может понравиться