Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
MATERI DASAR
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................................................ iii
TIM PENYUSUN.......................................................................................................................... v
iii
IV. METODE..................................................................................................................... 41
V. MEDIA DAN ALAT BANTU..........................................................................................41
VI. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN....................................................................41
VII. URAIAN MATERI.........................................................................................................42
A. Pengkajian Keperawatan dalam Pengerahan dan Seleksi Pendonor Darah serta
Pengambilan Darah.................................................................................................42
B. Diagnosis Keperawatan Dalam Pengerahan Dan Seleksi Pendonor Darah Serta
Pengambilan Darah.................................................................................................43
C. Rencana Dan Implementasi Keperawatan Dalam Pengerahan Dan Seleksi
Pendonor Darah Serta Pengambilan Darah............................................................44
D. Evaluasi Keperawatan Dalam Pengerahan Dan Seleksi Pendonor Darah Serta
Pengambilan Darah.................................................................................................45
E. Dokumentasi Keperawatan Dalam Pengerahan Dan Seleksi Pendonor Darah
Serta Pengambilan Darah.......................................................................................45
VIII. REFERENSI................................................................................................................ 47
iv
TIM PENYUSUN
KONTRIBUTOR:
Edy Suprapto, S.Si., M.Si.; Sutarno, SAP; Prapti Setyaningsih, S.Farm., Apt., MKK.; Ns.
Suriyanti Marasaoly, S.Kep.; dr. Rita Inastuti.
v
MATERI DASAR 1. KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGERAHAN DAN
SELEKSI PENDONOR DARAH SERTA PENGAMBILAN DARAH
I. DESKRIPSI SINGKAT
Pelayanan darah merupakan bagian penting dari pelayanan kesehatan yang sampai
saat ini, untuk beberapa kasus, masih menjadi satu-satunya upaya untuk
menyelamatkan nyawa atau memperbaiki kondisi kesakitan. Walaupun dapat
menyelamatkan nyawa, transfusi darah membawa berbagai risiko baik untuk pasien
penerima transfusi darah, donor yang menyumbangkan darah ataupun petugas
penyediaan dan pemberian darah untuk transfusi.
Pelayanan darah dilaksanakan oleh Unit Transfusi Darah yang selanjutnya disebut UTD.
Pelayanan darah di UTD merupakan rangkaian kegiatan dimulai dengan rekrutmen
pendonor darah, seleksi donor, pengambiilan darah, uji saring infeksi menular lewat
transfusi darah (IMLTD), pengolahan komponen darah, pengujian pra transfusi,
penyimpanan dan diatribusi. Setiap kegiatan harus tercatat dan terdokumentasikan.
Pelayanan darah yang dilaksanakan oleh UTD harus mengacu pada kebijakan
pemerintah, yakni Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2011 tentang Pelayanan Darah,
Peraturan Menteri Kesehatan No. 83 Tahun 2014 tentang UTD, Bank Darah Rumah
Sakit (BDRS) dan Jejaring Pelayanan Darah, Peraturan Menteri Kesehatan No. 91
Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Darah, Pedoman Cara Pembuatan Obat yang
baik (CPOB) untuk UTD dan BDRS dan Petunjuk Operasional Pelaksanaan Pedoman
(POPP) CPOB untuk UTD dan BDRS. Khusus terkait kegiatan rekrutmen pendonor
darah, seleksi donor dan pengambilan darah dilakukan oleh tenaga perawat yang
terlatih.
Lebih lanjut, dalam melaksanakan rekrutmen, seleksi dan pengambilan darah setiap
perawat UTD hendaklah taat pada etika profesi sebagai tenaga perawat dalam bidang
pelayanan darah. Pelayanan darah hendaklah dilaksanakan dengan menghormati,
menghargai dan menjaga keamanan serta keselamatan darah sebagai bagian dari
organ manusia, pendonor sebagai penyumbang darah dan pasien sebagai penerima
darah melalui transfusi. Setiap kegiatan pelayanan darah yang melanggar etika profesi
tentunya dapat berdampak pada tuntutan hukum.
1
III. POKOK BAHASAN
Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan berikut:
1. Kebijakan Pemerintah dalam pengerahan dan seleksi pendonor darah serta
pengambilan darah
2. Indikator mutu terkait pengerahan dan seleksi pendonor darah serta pengambilan
darah
IV. METODE
1. Ceramah tanya jawab
2. Curah pendapat
2
Langkah Uraian Kegiatan Langkah-langkah Pembelajaran Waktu
(menit)
3
pelestarian pendonor dinyatakan pada pasal 8 bahwa (1) Pemerintah mengatur
pengerahan dan pelestarian donor; (2) Pengerahan dan pelestarian donor
dilakukan oleh pemerintah, PMI dan UTD. Lebih lanjut pada pasal 9 dinyatakan
bahwa (1) Pengambilan darah yang dilakukan di UTD dilaksanakan oleh tenaga
kesehatan; (2) Pengambilan darah didahului oleh pemeriksaan kesehatan dan
disetujui oleh pendonor; (3) Pendonor harus diberi informasi tentang risiko
pengambilan darah serta hasil pemeriksaan darahnya; dan (4) Jika hasil
pemeriksaan reaktif, dianjurkan tidak mendonorkan darah dan dilakukan
pemeriksaan konfirmasi.
4
serta teknis kegiatan rekrutmen pendonor darah, seleksi donor dan pengambilan
darah. Secara detai hal tersebut akan diuraikan pada materi inti.
4. Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) di UTD dan Pusat
Plasmaferesis terkait rekrutmen dan seleksi donor serta pengambilan
darah.
Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) di UTD dan Pusat
Plasmaferesis terkait rekrutmen pendonor darah, seleksi donor dan pengambilan
darah disusun sebagai pedoman bagi UTD yang produk plasmanya (yang tidak
digunakan untuk transfusi) dapat dijadikan sebagai bahan pembuatan produk
obat derivat plasma. Pemenuhan persyaratan Pedoman CPOB di UTD dan Pusat
Plasmaferesis dibuktikan dengan sertifikat CPOB. Pelanggaran terhadap
ketentuan dalam peraturan Kepala Badan ini dapat dikenakan sanksi
administrative berupa (1) peringatan; (2) peringatan keras; (3) penghentian
sementara kegiatan; (3) pembekuan sertifikat CPOB; (4) pencabutan sertifikat
CPOB; dan (6) rekomendasi pencabutan izin operasional.
Aspek-aspek terkait rekrutmen dan seleksi donor serta pengambilan darah yang
diatur di dalam pedoman CPOB ini meliputi menajemen mutu, personalia
(organisasi dan tanggung jawab, pelatihan dan higiene personal); dokumentasi
(pengendalian, penyimpanan dan pengarsipan catatan) serta bangunan, fasilitas
dan peralatan (termasuk di dalamnya validasi dan kualifikasi), penanganan
bahan dan reagen, serta teknis rekrutmen dan seleksi donor serta pengambilan
darah. Pengaturan semua aspek tersebut diarahkan pada penjaminan mutu dari
darah dan komponen darah untuk keselamatan pasien penerima transfusi dan
produk obat derivat plasma, pendonor darah serta petugas UTD dan Pusat
Plasmaferesis.
5
1. Menggambarkan 6 Dimensi Mutu WHO, yakni aksessibilitas, efektifitas
(effectivity), efisiensi (efficiency), keselamatan dan keamanan (safety),
kesinambungan pelayanan dan berorientasi pada pasien (patient centered)..
2. Dipilih dari indikator yang high problem, high cost, high volume dan problem
prone.
3. Konsensus, berdasarkan kesepakatan bersama antara pelayanan darah dan
Kementerian Kesehatan.
4. Sederhana, Indikator yang terpilih disusun dengan kalimat yang mudah
dimengerti dan dipahami.
5. Terukur, Indikator yang terpilih dapat diukur dengan metode yang sama antar di
pelayanan darah.
6. Terbuka, indikator yang terpilih dapat diakses oleh seluruh pelayanan darah.
7. Terjangkau, indikator yang terpilih dapat dicapai dengan menggunakan Sumber
daya dan dana yang tersedia di pelayanan darah.
8. Akuntabel, indikator terpilih dapat dipertanggunggugatkan kepada publik.
9. Bertahap, indikator terpilih dapat ditambah atau direvisi sesuai perkembangan
10. Kebutuhan, kemampuan keuangan, kelembagaan dan personil dalam
pencapaian indikator.
Indikator terkait rekrutmen dan seleksi donor serta pengambilan darah meliputi: (1)
Persentase pemenuhan kebutuhan darah di UTD; (2) Donasi dari pendonor sukarela;
dan (3) Persentase hasil pemeriksaan golongan darah pendonor yang berbeda
dengan uji konfirmasi golongan darah. Indikator persentase pemenuhan kebutuhan
darah di UTD mencerminkan upaya rekrutmen dan seleksi donor darah serta
pengambilan darah. Jika kegiatan rekrutmen donor tidak dilakukan berdasarkan
perencanaan kebutuhan darah dan tidak sesuai standar maka masyarakat yang
termotivasi menjadi donor darah akan rendah. Hal ini mengakibatkan rendahnya
calon donor darah. Selanjutnya jika seleksi donor darah tidak dilakukan dengan
benar mengacu pada standar maka dapat terjadi reaksi penyumbangan darah atau
tidak dapat dijaminnya keamanan darah. Lebih jauh lagi jika pengambilan darah
tidak dilakukan sesuai standar dapat berakibat pada tingginya kegagalan
pengambilan darah. Ke tiga hal tersebut pada akhirnya berdampak pada tidak
tercapainya pemenuhan kebutuhan darah di UTD. Indikator donasi dari pendonor
sukarela mencerminkan upaya rekrutmen donor. Semakin baik upaya rekrutmen
donor yang dilakukan, dengan menggunakan media komunikasi, informasi dan
edukasi sesuai tingkat pendidikan, budaya dan social masyarakat maka jumlah
pendonor sukarela akan semakin tinggi. Dan selanjutnya indikator persentase hasil
pemeriksaan golongan darah pendonor yang berbeda dengan uji konfirmasi
golongan darah menunjukan upaya seleksi donor darah. Semakin kompeten tenaga
yabg melakukan seleksi donor dan terjaminnya mutu peralatan dan bahan serta
reagen yang digunakan di dalam seleksi donor berdampak pada semakin rendahnya
persentase hasil pemeriksaan golongan darah pendonor yang berbeda dengan uji
konfirmasi golongan darah.
VIII. REFERENSI
1. Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 2011 tentang Pelayanan Darah.
6
2. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 83 Tahun 2014 tentang UTD, BDRS dan
Jejaring Pelayanan Transfusi Darah.
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 91 Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan
Transfusi Darah
4. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor 10 Tahun 2017
tentang Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik di UTD dan Pusat
Plasmaferesis
7
MATERI DASAR 2. KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA
I. DESKRIPSI SINGKAT
Kesehatan dan keselamatan kerja yaitu tindakan pengendalian infeksi yang dilakukan
oleh seluruh tenaga kesehatan untuk mengurangi risiko penyebaran infeksi dan
didasarkan pada prinsip bahwa darah dan cairan tubuh dapat berpotensi menularkan
penyakit, baik berasal dari pasien maupun petugas kesehatan. Epidemi HIV/AIDS
berpengaruh pada tumbuhnya strategi baru untuk mengurangi risiko penyebaran
penyakit melalui darah di tempat kerja yang direkomendasikan oleh CDC Atlanta pada
tahun 1985. Strategi ini menitik beratkan pada upaya pencegahan infeksi melalui darah
dan cairan tubuh secara universal tanpa memandang status infeksi pasien. Ditekankan
pula tentang pengelolaan limbah yang tepat termasuk limbah benda tajam.
Alasan dasar penerapan kesehatan dan keselamatan kerja adalah karena HIV/AIDS
telah menjadi ancaman global. Ancaman penyebarannya menjadi lebih tinggi karena
pengidap tidak menampakkan gejala. Di Indonesia peningkatan kasus HIV/AIDS sangat
bermakna. Selain HIV/AIDS, Hepatitis B, Hepatitis C dan Siphilis adalah penyakit yang
dapat ditularkan lewat transfusi darah. Risiko tertular dapat terjadi pada resipien maupun
petugas kesehatan atau siapapun yang terlibat pada penyiapan darah untuk transfusi.
UTD sebagai unit yang bertanggung jawab terhadap ketersediaan darah untuk transfusi
harus menerapkan tindakan keselamatan dan kesehatan ditempat kerjanya sehingga
diharapkan penularan infeksi melalui darah dapat dicegah.
Dokter, teknisi transfusi darah, teknisi laboratorium dan perawat sebagai petugas
kesehatan yang melaksanakan pelayanan penyediaan darah untuk memenuhi
kebutuhan pasien akan kontak langsung dengan darah donor atau sampel donor dan
pasien. Hal ini sangat berisiko untuk terjadinya paparan infeksi yang secara potensial
membahayakan jiwanya. Selain itu jika petugas kesehatan di UTD mengalami penularan
infeksi, akan berdampak pada penyebaran infeksi lebih luas kepada keluarga atau
masyarakat disekitarnya. Oleh karena itu tindakan keselamatan dan kesehatan kerja
sangat penting dilakukan.
8
2. Menjelaskan identifikasi risiko perawat dalam seleksi dan pengambilan darah
3. Menjelaskan langkah pengendalian risiko perawat dalam seleksi dan
pengambilan darah
4. Menjelaskan perlindungan kesehatan dan keselamatan bagi pendonor darah
IV. METODE
1. Ceramah tanya jawab
2. Curah pendapat
9
Langkah Uraian Kegiatan Langkah-langkah Pembelajaran Waktu
(menit)
b. Identifikasi risiko perawat dalam
seleksi dan pengambilan darah
c. Langkah pengendalian risiko
perawat dalam seleksi dan
pengambilan darah
Pengertian K3
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) adalah upaya perlindungan yang ditujukan agar
tenaga kerja dan orang lain di tempat kerja/perusahaan selalu dalam keadaan selamat
dan sehat, serta agar setiap sumber produksi dapat digunakan secara aman dan
efisien (Kepmenaker Nomor 463/MEN/1993). Pengertian lain menurut OHSAS
18001:2007, keselamatan dan kesehatan kerja (K3) adalah kondisi dan faktor yang
mempengaruhi keselamatan dan kesehatan kerja serta orang lain yang berada di
tempat kerja.
Program keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dilaksanakan karena tiga faktor
penting sebagai berikut :
1. Berdasarkan perikemanusiaan. Pencegahan kecelakaan kerja harus
dilaksanakan atas dasar perikemanusiaan yang sesungguhnya. Hal tersebut
berkaitan dengan upaya untuk mengurangi sebanyak-banyaknya dampak
merugikan terhadap tenaga kerja, keluarga atau lingkungannya.
2. Berdasarkan peraturan. Alasan mengadakan program keselamatan dan
kesehatan kerja bisa berdasarkan peraturan yang diberlakukan oleh suatu negara
tentang keselamatan dan kesehatan kerja dimana jika tidak dilakukan maka
dianggap suatu pelanggaran dan akan dijatuhi hukuman denda.
10
3. Berdasarkan ekonomi. Alasan ekonomi untuk sadar keselamatan kerja karena
biaya kecelakaan dampaknya sangat besar bagi perusahaan.
Tujuan K3
Berdasarkan Undang-undang No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, bahwa
tujuan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang berkaitan dengan mesin,
peralatan, landasan tempat kerja dan lingkungan tempat kerja adalah mencegah
terjadinya kecelakaan dan sakit akibat kerja, memberikan perlindungan pada sumber-
sumber produksi sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas.
Lebih lanjut dari beberapa sumber tujuan keselamatan dan kesehatan kerja (K3)
secara terinci adalah sebagai berikut:
1. Melindungi tenaga kerja atas hak dan keselamatannya secara fisik, sosial, dan
psikologis dalam melakukan pekerjaannya untuk kesejahteraan hidup dan
meningkatkan kinerja.
2. Menjamin keselamatan orang lain yang berada di tempat kerja.
3. Menjamin produk (dalam hal ini adalah darah yang disumbangkan oleh pendonor)
aman dan efisien.
4. Agar setiap perlengkapan dan peralatan kerja digunakan sebaik-baiknya.
5. Agar meningkatnya kegairahan, keserasian kerja, dan partisipasi kerja.
6. Agar terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan atas
kondisi kerja.
7. Agar setiap pegawai merasa aman dan terlindungi dalam bekerja.
11
Faktor-faktor yang mempengaruhi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah
sebagai berikut :
1. Beban kerja. Beban kerja berupa beban fisik, mental dan sosial, sehingga upaya
penempatan tenaga yang sesuai dengan kemampuannya perlu diperhatikan.
2. Kapasitas kerja. Kapasitas kerja yang banyak tergantung pada pendidikan,
keterampilan, kesegaran jasmani, ukuran tubuh, keadaan gizi dan sebagainya.
3. Lingkungan kerja. Lingkungan kerja yang berupa faktor fisik, kimia, biologik,
ergonomik, maupun psikososial.
Prinsip-prinsip yang harus dijalankan oleh suatu unit kerja yang menghasilkan produk
dalam menerapkan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) adalah sebagai berikut:
1. Adanya APD (Alat Pelindung Diri) di tempat kerja.
2. Adanya buku petunjuk penggunaan alat dan atau isyarat bahaya.
3. Adanya peraturan pembagian tugas dan tanggung jawab.
4. Adanya tempat kerja yang aman sesuai standar SSLK (syarat-syarat lingkungan
kerja) antara lain tempat kerja steril dari debu, kotoran, asap rokok, uap gas,
radiasi, getaran mesin dan peralatan, kebisingan, tempat kerja aman dari arus
listrik, lampu penerangan cukup memadai, ventilasi dan sirkulasi udara seimbang,
adanya aturan kerja atau aturan keprilakuan.
5. Adanya penunjang kesehatan jasmani dan rohani ditempat kerja.
6. Adanya sarana dan prasarana yang lengkap ditempat kerja.
7. Adanya kesadaran dalam menjaga keselamatan dan kesehatan kerja.
Mengapa
Semua spesimen darah berpotensi menularkan penyakit
Keamanan
sehinggga kewaspadaan diperlukan untuk melindungi petugas
Penting?
dan pendonor terhadap infeksi.
Siapa saja yang Selain petugas dan pendonor, kita perlu melindungi orang lain
Membutuhkan dari infeksi.
Perlindungan
Jangan pernah meninggalkan tumpahan darah yang
dapat menginfeksi orang lain
Jangan pernah meninggalkan blood lancet/alat tajam
yang sudah dipakai di sekitar tempat kerja sehingga,
sewaktu orang lain yang mengambilnya dapat tertusuk
lanset yang mungkin telah terkontaminasi.
Petugas harus selalu membungkus sampah infeksius
dengan kantong plastik berlabel infeksius dan dikirim ke
tempat pembuangan sampah akhir untuk dimusnahkan.
Penting melindungi lingkungan dari bahan berbahaya dan
hindari mengirim bahan terkontaminasi keluar ruang
pemeriksaan
12
Kewaspadaan Setiap spesimen darah harus diperlakukan sebagai bahan yang
Standar infeksius. Kita harus mengikuti prosedur kewaspadaan dalam
setiap proses pemeriksaan
13
B. Identifikasi risiko perawat dalam seleksi dan pengambilan darah
Seleksi pendonor dilakukan untuk menentukan apakah calon pendonor memenuhi
persyaratan untuk menjadi pendonor darah atau tidak. Seleksi calon pendonor darah
penting dilakukan untuk menjamin kesehatan dan keselamatan pendonor, resipien dan
petugas. Salah satu kegiatan di dalam seleksi pendonor darah yang dapat berisiko
untuk tenaga perawat di UTD adalah pemeriksaan golongan darah dan pemeriksaan
kadar hemoglobin. Kegiatan pelayanan darah lainnya yang berisiko untuk perawat di
UTD adalah pengambilan darah.
Risiko perawat dalam seleksi pendonor darah dan pengambilan darah dapat terjadi
saat melakukan:
1. Kegiatan penusukan jari lengan pendonor menggunakan blood lancet untuk
mengambil contoh darah untuk pemeriksaan golongan darah dan kadar
hemoglobin.
2. Menutup kembali blood lancet (yang seharusnya tidak dilakukan).
3. Melakukan penekanan pada jari lengan pendonor setelah penusukan yang
berdampak pada keluarnya darah yang berlebihan.
4. Pengambilan darah pendonor.
5. Menutup kembali jarum kantong darah setelah pengambilan darah.
6. Membuang limbah infeksius kegiatan seleksi dan pengambilan darah.
Risiko tersebut diatas dapat berupa bahaya luka akibat kelalaian penusukan jari
lengan pendonor karena konsentrasi kerja yang terganggu misalnya karena kelelahan,
suasana bekerja yang kurang kondusif. Risiko lainnya yang lebih mengkhawatirkan
adalah paparan infeksi pada perawat oleh karena walaupun pendonor darah telah
lolos seleksi melalui kuesioner pendonor dan tampak sehat tetapi darah donor belum
melewati pemeriksaan uji saring infeksi melalui transfusi darah.
14
perlu diperhatikan akses naik dan turunnya pendonor darah untuk
menjamin keamanan pendonor.
15
Kotak Mengapa penting memelihara lokasi bersih dan teratur?
Menjaga lokasi kerja bersih – Sehingga kecelakaan dapat
informasi dikurangi.
Mendesinfeksi tempat setiap hari– Hanya karena lokasi
kerja dibersihkan kemarin, tidak menjamin bebas kuman
penyakit hari ini.
Membatasi atau melarang orang masuk ketika sedang
bekerja– Penting mencegah orang lain dari risiko terinfeksi,
juga kerahasiaan pasien. Membatasi akses juga mencegah
gangguan dari luar.
Menjaga peralatan terkunci– Mencegah orang yang tidak
berizin mempunyai akses untuk mengambil benda-benda
berbahaya seperti lanset.
Membuang
Benda-Benda
Tajam Bekas
Pakai (blood
lancet dan jarum
kantong darah) di
Wadah Khusus
16
‘Dilakukan’ dan Jangan mematahkan, membengkokkan blood lancet atau jarum
’Jangan kantong. Anda dapat terluka jika berusaha membengkokkan
Dilakukan’: blood lancet atau jarum kantong.
Benda-benda Jangan pernah menggoyang-goyang wadah benda-benda tajam
Tajam dan Wadah untuk mencari tempat karena dapat memberntuk aerosol.
Sampah Aerosol merupakan droplet sangat kecil yang tidak kelihatan di
udara yang dapat membawa kuman penyakit.
Hal apa yang salah dengan gambar di bawah bagian kiri. Lihat
sekarang gambar di sebelah kanannya. Hal apa yang benar
tentang gambar ini? Tulislah jawaban Anda di bawah ini:
__________________________________________________________________
__________________________________________________________________
__________________________________________________________________
__________________________________________________________________
17
Jawaban:
Jangan Pernah
Menaruh blood
lancet dan jarum
kantong darah
atau benda-benda
tajam lain di
Wadah Sampah
Kantor
18
Kebijakan Peraturan penting dalam menangani benda-benda tajam:
Menangani Petugas bertanggung jawab terhadap pembuangan
Benda-benda benda-benda tajam
tajam Harus membuang benda-benda tajam setelah setiap kali
tes
Harus menaruh benda-benda tajam di dalam wadah
benda-benda tajam
Jangan membuang benda-benda tajam di lantai atau
kotak sampah kantor
Menaruh wadah benda-benda tajam di dekat tempat
kerja
Menutup dan membuang wadah ketika sudah ¾ penuh
Insenerasi semua sampah
Desinfeksi Meja Untuk menjaga meja kerja pemeriksaan golongan darah dan
Kerja dengan kadar haemoglobin bersih dan teratur, desinfeksi meja kerja
Pemutih setiap hari. Hal ini merupakan langkah pengamanan yang harus
diikuti. Ingatlah, desinfeksi:
Membunuh kuman patogen
Menjaga ruangan kerja bersih
Mencegah infeksi silang
Menurunkan risiko infeksi
Ketika terjadi Ikuti langkah berikut jika terjadi tumpahan atau percikan:
Percikan atau Memakai sarung tangan disposabel baru
Tumpahan Mencuci kulit yang tekena percikan darah dengan
segera
Tumpahan yang banyak - Tutupi dengan kain dan
basahi dengan larutan pemutih 10% dan biarkan selama
5 menit
Tumpahan sedikit – Gosok dengan kain yang sudah
dibasahii dengan larutan pemutih
Buang kain yang tekontaminasi ke wadah sampah
terinfeksi
Anda jangan pernah meninggalkan tumpahan tanpa
dibersihkan.
19
Waspada Kecelakaan tertusuk jarum dapat membahayakan karena
terhadap darah dapat mengandung kuman patoegen yang bisa
Kecelakaan ditularkan ke orang dan menyebabkan infeksi.
Tertusuk Jarum
Kecelakaan tertusuk jarum dapat terjadi karena kurang
konsentrasi, kurang perhatian, atau pembuangan benda-
benda tajam yang tidak tepat. Untuk mencegah
kecelakaan tertusuk jarum, Anda harus fokus dimana
meletakkan jarum suntik, juga memperhatikan tangan
Anda dan pasien. Jangan biarkan konsentrasi terganggu.
Hanya petugas terlatih yang boleh melakukan penusukan
jarum.
Selalu mengikuti prosedur yang tepat dalam membuang
jarum suntik dan benda-benda tajam bekas pakai.
Sebagai contoh:
Letakkan blood lancet di dalam wadah
pembuangan benda-benda tajam.
Jangan meninggalkan blood lancet atau jarung
kantong darah bekas pakai sembarangan.
20
Rencana Tindakan Rencana tindakan harus mencakup:
untuk Mengidentifikasi bahan berbahaya
Mengimplementa- Menentukan dan mengimplementasikan prosedur dan
sikan kebijakan kewaspadaan
Kewaspadaan Melakukan pelatihan tentang kewaspadaan. Pelatihan
harus menjadi prioritas dan berkomunikasi adalah
kuncinya.
Melakukan pemeriksaan atau pengkajian rutin
Setiap orang bertanggung jawab mengimplementasikan
kewaspadaan.
Diskusikan Penting untuk mengikuti SPO. Jika SPO tersedia, tinjau bagian
Pedoman dan yang terkait dengan prosedur kewaspadaan. Apakah SPO
Kebijakan mencakup prosedur tersebut?
Kewaspadaan Perawatan rumah
Perlindungan pribadi
Tanggung jawab Petugas
Dekontaminasi & Pembuangan sampah
Prosedur kegawat daruratan
Penanganan di lab
Kecelakaan
Profilaksis pasca pajanan
Kontak
21
22
PEDOMAN PROFILAKSIS PASCA PAJANAN (PPP)
Petugas harus melaporkan terjadinya pajanan kerja terhadap HIV segera setelah terjadi
pajanan. Petugas yang berisiko terinfeksi HIV (1) Kulit tertusuk dengan jarum suntik atau
lanset atau benda tajam lain yang terkontaminasi dengan darah atau cairan lain yang
mengandung darah (2) Membran mukosa atau kulit tidak intak kontak dengan darah atau
cairan lain yang mengandung darah.
Tes HIV dilakukan ke sumber pajanan (pasien yang terlibat dengan kecelakaan) dapat
membantu menentukan tindakan PPP yang diambil dan apakah memerlukan obat anti-
retroviral (ARV), yang mempunyai efek samping. Jika perlu, PPP segera diberikan setelah
terjadi pajanan, idealnya dalam 2 jam.
Staf yang berisiko terpajan dengan darah perlu diedukasi tentang prinsip PPP selama
orientasi dan sewaktu bekerja. Sekarang tidak ada rejimen PPP yang mengandung 1atau 2
obat tetapi menggunakan tiga obat.
23
Memastikan Tes HIV dilakukan sewaktu memulai dan setelah menyelesaikan PPP.
Memastikan tes HIV jika gejala sesuai dengan sindrom antiretroviral akut.
Sebagai bagian konseling, dorong petugas terpapar untuk melakukan kewaspadaan
standar untuk mencegah penularan kedua selama PPP.
Mengevaluasi petugas terpapar yang mengambil PPP dalam 72 jam dan mengawasi
efek samping obat paling sedikit 2 minggu.
Mengisi lembar pajanan kerja.
Mengedukasi petugas untuk melaporkan kecelakaan kerja sehingga mereka bisa
tercatat di lembar pajanan kerja.
24
BAHAN BACAAN
PENANGANAN KECELAKAAN KERJA
AKIBAT TUSUKAN BENDA TAJAM
Pendahuluan
Petugas kesehatan dalam melaksanakan pekerjaannya banyak menggunakan berbagai
benda tajam ataupun benda yang terbuat dari bahan kaca, misalnya jarum, pisau bedah,
lanset, pipet, kaca objek, kaca tutup, cawan petri, tabung reaksi dan lain sebagainya. Setiap
penggunaan benda tajam tersebut menimbulkan kemungkinan terjadinya luka akibat
tertusuk.
Luka akibat tusukan benda tajam yang terkontaminasi dihubungkan dengan terjadinya
transmisi patogen melalui darah (bloodborne pathogen). Lebih dari 20 jenis patogen dapat
ditransmisikan, di antaranya yang tersering adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV),
virus hepatitis B (HBV) dan virus hepatitis C (HCV).
Pada umumnya tusukan jarum terjadi pada saat pengumpulan dan pembuangan jarum yang
telah digunakan untuk prosedur, pemberian obat suntikan, pengambilan darah, penutupan
jarum (needle recapping) dan pembuangan sampah.
Jarum yang berlumen (hollow bore needle), misalnya jarum untuk memberikan obat suntikan
atau mengambil darah sering dihubungkan dengan peningkatan risiko transmisi bloodborne
pathogen. Hal ini disebabkan setelah jarum digunakan, jumlah darah yang tersisa pada
bagian dalam lumen hollow bore needle relatif lebih banyak dibandingkan jumlah darah yang
tersisa pada bagian luar jarum yang padat (solid core needle), misalnya jarum jahit sehingga
hollow bore needle dianggap mengandung virus yang lebih banyak.
Pencegahan
Pencegahan kecelakaan kerja akibat tusukan jarum atau benda tajam harus diperhatikan
mulai dari penggunaan, pembersihan dan pembuangannya. Ada beberapa hal yang harus
diwaspadai saat menangani jarum dan benda tajam, misalnya jangan menutup kembali
jarum, jangan membengkokkan atau mematahkan jarum yang melekat pada syringe, jangan
memindahkan jarum dari syringe. Jarum dan benda tajam harus dibuang dalam wadah yang
bertanda khusus dan tahan terhadap tusukan. Bila jarum harus ditutup kembali maka jarum
ditutup dengan menggunakan satu tangan saja. Caranya, letakkan penutup jarum pada
permukaan yang bersih dan masukkan jarum ke dalamnya menggunakan metode scoop
25
dengan hati-hati. Jangan memegang benda tajam yang pecah dengan tangan, tapi
usahakan untuk menggunakan alat mekanik seperti forsep atau sikat dan penampung.
Untuk hepatitis B, sebaiknya diberikan vaksinasi serial hepatitis B kepada semua petugas
yang bekerja di bidang kesehatan. Petugas yang menolak divaksinasi harus
menandatangani surat penolakan yang kemudian dimasukan dalam arsip.
Setelah vaksinasi serial lengkap diberikan, kadar anti-HBs diperiksa kembali. Mereka yang
tidak berespon pada pemberian vaksinasi serial pertama memiliki kesempatan 30% sampai
50% untuk berespon setelah diberikan vaksinasi serial ulangan. Bila setelah pemberian
vaksinasi ulangan tetap tidak berespon dan HBsAg negatif maka petugas kesehatan perlu
diberikan konseling dan imunoglobulin hepatitis B (HBIG) dengan dosis 0,06 mL/kg berat
badan secara intramuskular untuk mencegah infeksi. Bila pada evaluasi didapatkan HBsAg
positif maka petugas kesehatan diberikan konseling dan pengobatan.
Penanganan
Penanganan paparan kerja meliputi penanganan luka, pemberian postexposure prophylaxis
(PEP) dan konseling. Postexposure prophylaxis sudah tersedia untuk infeksi HBV dan HIV,
sedangkan untuk HCV belum tersedia. Walaupun PEP sudah tersedia, pencegahan tusukan
oleh benda tajam tetap merupakan pendekatan terbaik untuk mencegah penularan penyakit
akibat bloodborne pathogen.
Petugas kesehatan yang terpapar harus melaporkan kejadian secepat mungkin karena
pemberian HBIG, vaksinasi hepatitis B dan pemberian PEP HIV paling efektif jika diberikan
segera setelah paparan terjadi. Kejadian dan penatalaksanaan terhadap paparan yang
terjadi dicatat dalam catatan medis. Catatan tersebut meliputi tanggal dan jam terjadinya
paparan, perincian prosedur yang sedang dilakukan, di mana, kapan dan bagaimana
kejadiannya. Dalam catatan itu dijelaskan pula jenis, jumlah bahan dan beratnya paparan.
Misalnya untuk paparan percutaneous perlu dijelaskan mengenai dalamnya tusukan dan
apakah bahan ikut tersuntik. Untuk paparan terhadap kulit atau membran mukosa
diperkirakan volume bahan, lamanya kontak dan keadaan kulit. Bahan paparan perlu dicatat
apakah mengandung HIV atau virus lainnya. Jika sumber paparan diketahui menderita
infeksi HIV maka data tentang stadium penyakit, riwayat pengobatan antiretroviral dan viral
load dicatat.
26
Luka dan permukaan kulit yang terpapar dengan darah atau cairan tubuh harus segera
dicuci dengan sabun dan air. Membran mukosa harus diirigasi dengan air. Penggunaan
antiseptik tidak terbukti mengurangi risiko transmisi HIV, namun penggunaannya bukan
kontraindikasi. Penggunaan bahan yang kaustik, menyuntikkan antiseptik atau desinfektan
ke dalam luka tidak diperbolehkan.
Sumber paparan harus dievaluasi. Jika sumber paparan diketahui maka sumber diperiksa
HBsAg, anti-HCV dan anti-HIV. Pemeriksaan dasar ataupun lanjutan untuk orang yang
terpapar tidak diperlukan bila sumber paparan tidak terinfeksi bloodborne pathogen. Pada
kondisi status infeksi tidak diketahui, misalnya sumber menolak untuk diperiksa maka
diagnosis medis, keluhan klinis dan adanya riwayat perilaku yang berisiko dapat dijadikan
pertimbangan untuk menentukan perlu tidaknya pemberian PEP. Bila sumber paparan tidak
diketahui maka harus dievaluasi ada tidaknya kecenderungan terjadinya paparan dengan
sumber yang berisiko tinggi, misalnya dengan memperhatikan lingkungan tempat terjadinya
paparan.
Jika petugas kesehatan terpapar dengan sumber paparan yang menderita HIV atau
cenderung menderita HIV maka direkomendasikan untuk mendapatkan PEP. Ada 3 kelas
obat antiretroviral HIV yang tersedia untuk PEP, yaitu nucleoside reverse transcriptase
inhibitor (NRTI), non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI) dan protease
inhibitor (PI). Semua obat antiretroviral tersebut mempunyai efek samping yang toksik (tabel
1).
27
NNRTI
Nevirapine (ViramuneTM, NVP) Rash (termasuk kasus sindrom Steven Johnson),
demam, mual, sakit kepala, hepatitis dan peningkatan
tes fungsi hati
Delavirdine (RescriptorTM, DLV) Rash (termasuk kasus sindrom Steven Johnson),
mual, diare, sakit kepala, cepat lelah, dan peningkatan
tes fungsi hati
Efavirenz (SustivaTM, EFV) Rash (termasuk kasus sindrom Steven Johnson),
insomnia, somnolen, pusing, sulit berkonsentrasi dan
mimpi aneh
PI
Indinavir (CrixivanTM, IDV) Mual, nyeri abdomen, nefrolitiasis dan
hiperbilirubinemia
Nelvinavir (ViraceptTM, NVF) Diare, mual, nyeri abdomen, lemah dan rash
Ritonavir (NorvirTM, RTV) Lemah, diare, mual, parestesi sekitar mulut,
perubahan rasa makanan, peningkatan kadar
kolesterol dan trigliserida
Saquinavir (FortovaseTM, SQV) Diare, nyeri abdomen, mual, hiperglikemia, dan
peningkatan tes fungsi hati
Amprenavir (AgeneraseTM, AMP) Mual, diare, rash, parestesi sekitar mulut, perubahan
rasa makanan dan depresi
Lopinavir/ Ritonavir (KaletraTM) Diare, cepat lelah, sakit kepala, mual, peningkatan
kadar kolesterol dan trigliserida
Dikutip dari Beltrami EM
Paparan terhadap HIV akibat pekerjaan umumnya tidak menimbulkan transmisi HIV
sehingga pemberian PEP dan efek samping yang ditimbulkannya harus dipertimbangkan
dengan baik. Efek samping dapat diatasi dengan memberikan obat simtomatik seperti
antimotilitas dan antiemetik tanpa mengubah regimen serta dapat pula dilakukan modifikasi
interval pemberian dan dosis obat.
Efek toksik akibat pemberian PEP perlu dimonitoring dengan cara melakukan pemeriksaan
laboratorium yang meliputi pemeriksaan hitung sel darah lengkap, tes fungsi hati dan ginjal
pada saat baseline dan 2 minggu setelah pengobatan. Jenis pemeriksaan laboratorium
dapat disesuaikan dengan kondisi medis orang yang terpapar dan efek samping regimen
PEP.
Regimen PEP untuk HIV ada 2 macam, yaitu regimen dasar dan regimen lanjutan (tabel 2).
Regimen dasar terdiri dari 2 obat dan sebaiknya diberikan untuk setiap paparan dengan
bahan dari sumber yang menderita HIV atau cenderung menderita HIV. Regimen lanjutan
terdiri dari 3 obat dan sebaiknya diberikan untuk paparan dengan risiko transmisi tinggi.
28
Regimen Dosis
Regimen dasar
ZDV + 3TC ZDV: 600 mg/ hari dibagi dalam 2-3 dosis
3TC: 2x150 mg/ hari
ddI + d4T ddI: 400 mg/ hari sebelum makan, dikunyah (jika berat
badan < 60 kg diberikan 2x125 mg/ hari)
d4T: 2x40 mg/ hari (jika berat badan < 60 kg diberikan 2x30
mg/ hari)
Regimen lanjutan: regimen dasar + 1 obat berikut
IDV 800 mg/ 8 jam sebelum makan
NFV 3x750 mg/ hari atau 2x1250 mg/ hari bersama makanan
EFV 600 mg/ hari sebelum tidur
ABC 2x300 mg/ hari
Dikutip dari Beltrami EM
Center for Disease Control and Prevention merekomendasikan pemberian PEP akibat
paparan HIV yang terjadi akibat percutaneous injury maupun akibat paparan pada membran
mukosa dan kulit yang tidak intak. Paparan percutaneous injury dibagi menjadi paparan
ringan dan berat. Paparan ringan misalnya terjadi akibat tusukan jarum yang solid atau luka
superfisial. Paparan berat misalnya terjadi akibat tusukan hollow bore needle yang besar,
tusukan dalam, tusukan dengan peralatan yang tampak mengandung darah dan tusukan
dengan alat yang dipasang dalam arteri atau vena pasien.
Status infeksi sumber paparan turut menentukan pemberian PEP. Status sumber infeksi
dibedakan menjadi HIV positif kelas 1, HIV positif kelas 2, status HIV tidak diketahui, sumber
tidak diketahui dan HIV negatif. Sumber yang terinfeksi HIV dengan gejala asimtomatik atau
viral load rendah, yaitu <1.500 kopi ribonucleic acid (RNA)/ mL dikelompokkan dalam status
infeksi HIV positif kelas 1. Sumber yang terinfeksi HIV dengan simtomatik, berada pada
stadium Acquired Immunodeficiency Virus (AIDS), mengalami serokonversi akut atau viral
load tinggi dikelompokkan dalam status infeksi HIV positif kelas 2. Sumber infeksi dengan
status tidak diketahui misalnya bila sumber meninggal atau tidak tersedia bahan untuk
29
pemeriksaan HIV. Sumber tidak diketahui misalnya bila tertusuk jarum yang berada di
wadah pembuangan.
Pada paparan percutaneous injury dengan bahan yang berasal dari sumber dengan status
infeksi HIV positif kelas 1 dan jenis paparan ringan, dianjurkan pemberian PEP dasar.
Pemberian PEP lanjutan dianjurkan bila terpapar bahan yang berasal dari sumber dengan
status infeksi HIV positif kelas 1 dan jenis paparannya berat serta bila terpapar oleh bahan
yang berasal dari sumber dengan status infeksi HIV positif kelas 2. Bila status HIV tidak
diketahui maka pemberian PEP umumnya tidak diperlukan akan tetapi dapat pula
dipertimbangkan pemberian PEP (consider PEP) dasar bila sumber memiliki faktor risiko
terinfeksi HIV. Pertimbangan pemberian PEP diputuskan bersama oleh orang yang terpapar
dan dokternya. Bila sumber paparan tidak diketahui maka pemberian PEP umumnya tidak
diperlukan akan tetapi dapat dipertimbangkan pemberian PEP dasar bila paparan dianggap
terjadi pada lingkungan yang berisiko. Bila bahan berasal dari sumber dengan status HIV
negatif maka PEP tidak perlu diberikan (tabel 3).
30
Keterangan:
HIV positif kelas 1: infeksi HIV asimtomatik atau diketahui viral load rendah (<1.500 kopi
RNA/mL)
HIV positif kelas 2: infeksi HIV simtomatik, AIDS, serokonversi akut atau diketahui viral
load tinggi.
Sumber dengan status HIV tidak diketahui, misalnya sumber meninggal atau tidak
tersedia bahan untuk pemeriksaan HIV
Sumber tidak diketahui, misalnya tertusuk jarum yang berada di wadah pembuangan
benda tajam.
Pemberian PEP yang dipertimbangkan (consider PEP) menunjukkan pemberian PEP
dapat dipilih boleh atau tidak berdasarkan keputusan individual antara orang yang
terpapar dengan dokternya
Pada consider PEP, jika PEP diberikan dan ternyata hasil pemeriksaan sumber paparan
dinyatakan HIV negatif maka PEP tidak diberikan lagi
Paparan ringan, misalnya jarum yang solid dan luka superfisial
Paparan berat, misalnya hollow bore needle besar, tusukan yang dalam, peralatan yang
tampak mengandung darah atau jarum yang digunakan dalam arteri atau vena pasien
Paparan pada membran mukosa atau kulit yang tidak intak dibedakan berdasarkan volume
paparan. Volume kecil misalnya bila terpapar dengan beberapa tetes darah. Volume banyak
misalnya bila terpapar dengan percikan darah dalam jumlah yang banyak. Bila terpapar
bahan yang berasal dari sumber dengan status infeksi HIV positif kelas 1 dalam volume
kecil maka dapat dipertimbangkan pemberian PEP dasar. Pemberian PEP dasar dianjurkan
bila terpapar bahan yang berasal dari sumber dengan status infeksi HIV positif kelas 2
dalam volume kecil dan bahan yang berasal dari sumber dengan status infeksi HIV positif
kelas 1 dalam volume banyak. PEP lanjutan dianjurkan bila terpapar bahan yang berasal
dari sumber dengan status infeksi HIV positif kelas 2 dalam volume banyak. Bila status
infeksi sumber paparan tidak diketahui, sumber paparan tidak diketahui dan status infeksi
HIV negatif maka rekomendasi pemberian PEP diberikan sama seperti pada kejadian
paparan akibat percutaneous injury (tabel 4).
Tabel 4. Rekomendasi pemberian PEP HIV akibat paparan pada membran mukosa dan
kulit yang tidak intak
Jenis Status infeksi sumber paparan
paparan HIV positif HIV Sumber dengan Sumber tidak HIV negatif
kelas 1 positif status HIV tidak diketahui
kelas 2 diketahui
Volume Dipertimbangka Dianjurka Umumnya tidak Umumnya tidak Tidak
kecil n PEP n PEP diperlukan PEP, diperlukan PEP, diperlukan
(consider PEP) dasar 2 namun dapat namun dapat PEP
dasar 2 obat obat dipertimbangkan dipertimbangkan
PEP dasar 2 obat PEP dasar 2 obat
(consider PEP) jika terjadi pada
untuk sumber tempat di mana
dengan faktor paparan dengan
risiko HIV orang terinfeksi
31
HIV mungkin
terjadi
Keterangan:
Untuk paparan pada kulit, tindak lanjut hanya dilakukan bila kulit tidak intak (misalnya
dermatitis, lecet atau luka terbuka)
HIV positif kelas 1: infeksi HIV asimtomatik atau diketahui viral load rendah (<1.500
kopi RNA/mL)
HIV positif kelas 2: infeksi HIV simtomatik, AIDS, serokonversi akut atau diketahui viral
load tinggi.
Sumber dengan status HIV tidak diketahui, misalnya sumber meninggal atau tidak
tersedia bahan untuk pemeriksaan HIV
Sumber tidak diketahui, misalnya tertusuk jarum yang berada di wadah pembuangan
benda tajam.
Pemberian PEP yang dipertimbangkan (consider PEP) menunjukkan pemberian PEP
dapat dipilih boleh atau tidak berdasarkan keputusan individual antara orang yang terpapar
dengan dokternya
Pada consider PEP, jika PEP sudah diberikan dan ternyata hasil pemeriksaan sumber
paparan dinyatakan HIV negatif maka PEP tidak diberikan lagi
Volume kecil, misalnya beberapa tetes
Volume banyak, misalnya percikan darah yang banyak
32
antiretroviral dan trauma emosional yang berat selama menunggu hasil pemeriksaan.
Petugas kesehatan yang terpapar HIV diberikan konseling untuk mengatasi pengaruh
emosional dan diberikan edukasi mengenai pengobatan yang akan diberikan. Mereka
diminta untuk mencegah terjadinya transmisi sekunder terutama selama 6 sampai 12
minggu pertama setelah terpapar. Hal ini disebabkan untuk pembentukan anti-HIV
diperlukan waktu yaitu sekitar 6 sampai 12 minggu setelah terpapar.
Penanganan Setelah Pemaparan Terhadap Hepatitis B
Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan untuk pemberian profilaksis hepatitis B,
misalnya status HBsAg sumber paparan, riwayat vaksinasi hepatitis B dan status respon
vaksinasi hepatitis B orang yang terpapar. Bila petugas kesehatan yang tidak divaksinasi
terpapar bahan dengan HBsAg negatif, HBsAg tidak diketahui atau tidak mungkin diperiksa
maka vaksinasi serial hepatitis B harus mulai diberikan, sedangkan bila HBsAg positif maka
selain diberikan vaksinasi serial hepatitis B juga harus diberikan HBIG 1 dosis.
Petugas kesehatan yang telah divaksinasi dan berespon serta mereka yang sebelumnya
diketahui terinfeksi HBV dan kebal terhadap reinfeksi tidak memerlukan profilaksis. Bila
petugas kesehatan yang terpapar sedang dalam proses vaksinasi tetapi belum lengkap,
maka vaksinasi harus dilengkapi sesuai jadual dan HBIG dapat diitambahkan jika ada
indikasi.
Bila petugas kesehatan yang tidak berespon terhadap vaksinasi hepatitis B terpapar bahan
dengan HBsAg positif maka diberikan HBIG dosis tunggal dan dimulai kembali pemberian
vaksinasi serial hepatitis B. Alternatif lainnya, diberikan HBIG 2 dosis. Dosis pertama
diberikan sesegera mungkin dan dosis kedua diberikan 1 bulan kemudian. Pemberian HBIG
dan vaksinasi ulangan umumnya diberikan kepada mereka yang tidak berespon terhadap
vaksinasi hepatitis B dan vaksinasi serial hepatitis B kedua belum lengkap diberikan.
Pemberian 2 dosis HBIG lebih ditujukan kepada mereka yang telah mendapat vaksinasi
serial hepatitis B kedua lengkap namun tetap tidak berespon.
Bila petugas kesehatan tidak berespon terhadap vaksinasi terpapar bahan dengan status
HBsAg tidak diketahui atau tidak mungkin diperiksa maka dinilai apakah sumber berisiko
tinggi. Bila sumber berisiko tinggi maka penanganannya sama seperti pada kejadian
paparan bahan dengan HBsAg positif. Bila petugas kesehatan yang telah divaksinasi akan
tetapi respon antibodinya tidak diketahui terpapar bahan dengan HBsAg positif, HBsAg tidak
diketahui atau tidak mungkin diperiksa maka dianjurkan untuk memeriksa anti-HBs orang
yang terpapar terlebih dahulu. Bila respon antibodi adekuat maka tidak perlu
penatalaksanaan lebih lanjut. Bila respon antibodi tidak adekuat maka diberikan HBIG 1
dosis dan booster vaksinasi.7
Paparan bahan dengan HBsAg negatif terhadap petugas kesehatan yang sudah divaksinasi
tidak memerlukan penatalaksanaan lebih lanjut (tabel 5).
33
Vaksinasi dan HBsAg positif HBsAg negatif HBsAg tidak diketahui
status respon atau tidak mungkin
antibodi petugas diperiksa
kesehatan yang
terpapar
Tidak divaksinasi HBIG x 1 dan mulai Mulai pemberian Mulai pemberian
pemberian vaksinasi vaksinasi serial vaksinasi serial hepatitis
serial hepatitis B hepatitis B B
Sebelumnya telah
divaksinasi
Diketahui Tidak perlu Tidak perlu Tidak perlu
berespon penatalaksanaan penatalaksanaan penatalaksanaan
Diketahui tidak HBIG x 1 dan mulai Tidak perlu Jika sumber berisiko
berespon pemberian vaksinasi penatalaksanaan tinggi, perlakukan seperti
ulang atau HBIG x 2 jika sumber adalah
HBsAg positif
Respon Periksa anti HBs orang Tidak perlu Periksa anti HBs orang
antibodi tidak yang terpapar: penatalaksanaan yang terpapar:
diketahui Jika adekuat, tidak Jika adekuat, tidak
perlu perlu
penatalaksanaan penatalaksanaan
Jika tidak adekuat, Jika tidak adekuat,
berikan HBIG x1 dan berikan HBIG x1 dan
booster vaksinasi booster vaksinasi
Dikutip dari Beltrami EM
Vaksinasi hepatitis B dan HBIG jika diindikasikan harus diberikan segera setelah paparan,
lebih baik dalam waktu 24 jam. Efektivitas HBIG jika diberikan setelah 7 hari tidak diketahui.
Vaksinasi hepatitis B dapat diberikan bersamaan dengan pemberian HBIG pada tempat
yang terpisah.7
Pemberian obat antivirus tidak direkomendasikan untuk PEP setelah terpapar darah dengan
HCV positif. Petunjuk tentang pemberian terapi pada fase akut infeksi hepatitis C tidak ada
34
akan tetapi sejumlah data yang ada menunjukkan terapi antivirus dapat menguntungkan jika
diberikan pada awal perjalanan penyakit hepatitis C.
35
Evaluasi sumber paparan
36
Evaluasi sumber paparan
37
Evaluasi sumber paparan
Negatif: Positif:
HBsAg sumber negatif: HBsAg sumber positif: berikan Status tidak diketahui:
petugas tidak perlu kepada petugas HBIG x 1 dan HBV: jika sumber berisiko
penanganan vaksinasi serial hepatitis B tinggi, berikan kepada
Anti-HIV sumber ulangan atau HBIG x 2 petugas HBIG x 1 dan
negatif: petugas tidak Anti-HIV positif: berikan PEP HIV vaksinasi serial hepatitis B
perlu diberi PEP, anti- dasar atau lanjutan kepada ulangan atau HBIG x 2
HIV dipantau minimal petugas dan pemantauan HIV: petugas tidak perlu
selama 6 bulan serologis minimal selama 6 diberi PEP atau consider
Anti-HCV sumber bulan serta konseling PEP dasar bila sumber
negatif: tidak perlu Anti-HCV sumber positif: berisiko
penanganan lanjut pemantauan anti- HCV dan ALT HCV: pemantauan anti-
pada petugas petugas 4 atau 6 bulan HCV petugas 6 dan 12
kemudian selama 1 tahun bulan kemudian
Skema 4: Paparan pada petugas yang tidak berespon terhadap vaksinasi hepatitis B
Dikutip dan dimodifikasi dari Doebbeling
38
Evaluasi sumber paparan
VIII. REFERENSI
1. Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 2011 tentang Pelayanan Darah.
2. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 83 Tahun 2014 tentang UTD, BDRS dan
Jejaring Pelayanan Transfusi Darah.
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 91 Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan
Transfusi Darah
39
MATERI DASAR 3. ASUHAN KEPERAWATAN DALAM PENGERAHAN DAN
SELEKSI PENDONOR DARAH SERTA PENGAMBILAN DARAH
I. DESKRIPSI SINGKAT
Asuhan keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan keperawatan yang merupakan
bagian integral dari pelayanan kesehatan meliputi kebutuhan biologis, psikologis, sosial
dan spiritual yang diberikan langsung pada klien dengan menggunakan pendekatan
proses keperawatan dimulai dari pengkajian, diagnosis, intervensi, implementasi,
evaluasi dan pendokumentasian. Asuhan keperawatan dapat diberikan diberbagai
tatanan pelayanan kesehatan, pelayanan primer, sekunder dan tertier. Salah satu
pelayanan keperawatan yang dapat diberikan oleh perawat pada tatanan primer dan
sekunder adalah pelayanan di unit transfusi darah.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2014
tentang Unit dan Pelayanan Transfusi Darah, pasal 18 ayat (2) c yang menyatakan
bahwa staf pelaksana teknis Unit Transfusi Darah salah satunya adalah tenaga dengan
latar belakang Diploma Tiga Keperawatan untuk lingkup pekerjaan rekrutmen pendonor,
seleksi pendonor dan pengambilan darah.
40
4. Evaluasi dalam pengerahan dan seleksi pendonor darah serta pengambilan darah
5. Dokumentasi keperawatan dalam pengerahan dan seleksi pendonor darah serta
pengambilan darah
IV. METODE
1. Ceramah tanya jawab
2. Curah pendapat
41
Langkah Uraian Kegiatan Langkah-langkah Pembelajaran Waktu
(menit)
pengambilan darah
e. Dokumentasi keperawatan dalam
pengerahan dan seleksi pendonor
darah serta pengambilan darah
42
Hal hal yang menjadi dorongan atau kekuatan klien
2. Analisis Data
Adalah kemampuan dalam mengembangkan informasi dan berfikir rasional
terhadap informasi yang didapatkan dari klien.
Berdasarkan masalah yang banyak ditemukan di Unit Transfusi Darah, dibawah ini
terdapat kemungkinan diagnosis yang bisa muncul adalah :
43
Rencana keperawatan (intervensi keperawatan) adalah rencana tindakan yang harus
ditetapkan yang akan dilakukan oleh perawat untuk membantu klien beralih dari
status kesehatan saat ini ke status kesehatan yang diharapkan.
Rencana keperawatan harus disusun secara spesifik sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan klien sehingga tindakan keperawatan yang dilakukan dapat memodifikasi
faktor faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien.
Berikut adalah rencana tindakan yang dapat dilakukan sesuai dengan diagnosis
keperawatan yang muncul :
44
Tujuan tercapai, klien menunjukkan kemajuan sesuai kriteria yang diharapkan
Tujuan tercapai sebagian, apabila tujuan tidak tercapai maksimal sehingga perlu
dicari penyebab dan cara mengatasinya.
Tujuan tidak tercapai, apabila klien tidak menunjukkan perubahan/kemajuan sama
sekali bahkan timbul masalah baru, dalam hal ini perawat perlu mengkaji ulang
apakah data, analisis, diagnosis, tindakan atau faktor lain yang tidak sesuai yang
mungkin saja menjadi penyebab tidak tercapainya tujuan.
45
A. Identitas Pasien / Pengkajian
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Alamat :
Keluhan Utama/Keadaan Umum :
………………………………………………………………………….
Riwayat Kesehatan : ………(formulir 3.1)
Tekanan Darah : : Gol Darah :
Berat Badan : Hb :
B. Diagnosa Keperawatan
Nyeri akut b.d agen pencedera fisik :
prosedur pengambilan darah
Ansietas b.d kurang terpapar informasi
,
……………………
Nama/TTd Perawat
( ……………………………………… )
VIII. REFERENSI
1. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 91 Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan
Transfusi Darah
2. Potter, & Perry, (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Konsep, Proses dan
Praktik, Edisi 4. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
46
3. Standar Diagnosis Kepererawatan Indonesia (2017) : Definisi dan Indikator
Diagnostik. Persatuan Perawat Nasional Indonesia
4. Standar intervensi keperawatan indonesia (2018) : definisi dan tindakan
keperawatan. Persatuan Perawat Nasional Indonesia
47