Вы находитесь на странице: 1из 80

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Acquired immunodefiency syndrome (AIDS) merupakan penyakit kronik progresif

yang disebabkan human immunodeficiency virus (HIV), menyebabkan morbiditas

secara signifikan dan masih belum dapat diobati, dan untuk sebagian orang

berakibat fatal. HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan, yang secara

alami dimiliki tubuh manusia, sehingga melemahkan kemampuan tubuh untuk

melawan infeksi dan penyakit. Angka estimasi penderita HIV dan AIDS di seluruh dunia

adalah 36.9 juta sampai saat ini, dengan perkiraan 2 juta kasus baru dan 1.2 kematian per

tahun (Collein, I., 2010; Souza P.N., et al., 2016).

Saat terjadi epidemi, infeksi HIV menyebabkan vonis kematian yang cepat.

Penanganan infeksi oportunistik dan perawatan pasien stadium terminal merupakan fokus

utama tatalaksana penyakit HIV. Tahun 1996, era highly active antiretroviral therapy

(HAART) dimulai dengan mengenalkan kekuatan obat protease inhibitor (PI) yang

aktif melawan HIV dan secara signifikan memperlambat perjalanan penyakit. Sejak saat

itu, secara cepat terjadi perubahan dimana mulai dikembangkan regimen dengan pil

bentuk kecil yang dapat diterima oleh pasien; dan sampai saat ini terdapat lebih dari

35 obat-obatan dalam 5 kategori agen antiretroviral, umumnya dengan dosis satu kali

per hari, dan terdapat obat dengan formulasi kombinasi (Cherny, N., et al., 2015).

Perubahan cepat ini mengakibatkan pasien HIV yang mengetahui diagnosisnya, mau

melakukan perawatan dan konsisten minum antiretroviral therapy (ART) dapat menjalani

hidup mendekati normal. Studi pengawasan nasional di Amerika (1996-2005)

mendapatkan data yang mengindikasikan angka harapan hidup penderita HIV meningkat

1
dari 10.5-22.5 tahun. Satu studi menemukan pasien usia 20 tahun yang mulai

mengkonsumsi ART dapat hidup lebih dari 43 tahun, sedangkan pasien usia 35 tahun

dengan ART dapat hidup lebih dari 32 tahun. Namun, peningkatan angka harapan hidup

tersebut jugadapat meningkatkan morbiditas dengan penyakit kronis dan komplikasi

(Cherny, N., et al., 2015; Green, K., Horne, C., 2012).

Perubahan perjalanan penyakit HIV menyebabkan kebutuhan perawatan paliat if

stadium terminal metode lama berubah menjadi metode manajemen tambahan dalam

paket perawatan stadium terminal. World Health Organisation (WHO) mendefinisikan

perawatan paliatif merupakan suatu pendekatan yang bertujuan mengurangi penderitaan

fisik, fisiologis, sosial, dan spiritual pada mereka yang menderita penyakit serius.

Perawatan paliatif diberikan pada pasien HIV untuk memperbaiki kualitas hidup pasien

dan keluarganya dalam menghadapi masalah penyakitnya melalui identifikasi awal,

penilaian dan terapi nyeri dan masalah lainnya, fisik, psikososial dan spiritual.

Kebutuhan perawatan paliatif primer yang kompleks mengalami peningkatan, model

baru perawatan sangat diperlukan, meliputi akses kepada dokter spesialis HIV,

koordinator perawatan, dan perawatan subspesialis komorbiditas umum (penyakit hati,

jantung dan ginjal, gangguan metabolik dan tulang, malignansi, gangguan psikiatri,

penyalahgunaan zat). Perawatan paliatif sangat penting dimasukkan sebagai integrasi

perawatan paliatif pada pasien HIV yang sedang menjalani perawatan (Cherny, N.,

et al., 2015).

2
B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada makalah ini adalah bagaimana perawatan terminal illness pasien

dengan HIVAIDS?

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Dengan tersusunnya makalah ini diharapkan mahasiswa dapat mengetahui dan

memahami tentang asuhan keperawatan pada pasien terminal illness (palliative care)

dengan HIV AIDS.

2. Tujuan Khusus

a. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pasien terminal illness (palliative care)

dengan HIVAIDS

b. Mahasiswa mampu menentukan diagnosa keperawatan pasien terminal illness

(palliative care) dengan HIV AIDS

c. Mahasiswa mampu menetapkan tujuan dan kriteria hasil pasien terminal illness

(palliative care) dengan HIV AIDS

d. Mahasiswa mampu menyusun rencana keperawatan pasien terminal illness

(palliative care) dengan HIV AIDS

e. Mahasiswa mampu mengevaluasi asuhan keperawatan pasien terminal illness

(palliative care) dengan HIV AIDS

D. Sistematika Penulisan

BAB I : Membahas tentang latar belakang masalah, tujuan umum, tujuan


khusus, manfaat dan sistematika penulisan

BAB II : Membahas tentang tinjauan pustaka yang konsep dasar terminal


illness dan asuhan keperawatan HIV AIDS
BAB III : Membahas tentang kesimpulan dan saran

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum HIV/AIDS

Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu sindrom yang timbul

akibat infeksi Human Imunodeficiency Virus (HIV). Terdapat 2 jenis HIV yaitu, HIV-1

dan HIV-2 yang ditransmisikan dengan cara yang sama dan terkait infeksi oportunistik.

HIV-1 merupakan penyebab terbanyak infeksi HIV di dunia, sedangkan HIV-2 jarang,

namun dikatakan seseorang bisa terinfeksi kedua jenis virus secara bersamaan. Pola

penularan HIV saat ini berkembang jauh berbeda, terutama 19 tahun terakhir. beberapa

cara penularan HIV melalui: 1) Kegiatan seksual yang tidak aman pada kelompok

heteroseksual dan homoseksual. 2) Terpapar darah dan cairan tubuh klien, misalnya

melalui penggunaan jarum suntik bergantian, transfusi darah dan transplantasi organ. 3)

Secara vertikal dari ibu kepada bayi yang dikandungnya yang dapat terjadi selama

kehamilan, proses melahirkan per-vaginam, dan periode menyusui (Collein, I., 2010).

Proses patofisiologi secara umum terjadi karena aktivasi sel CD-4 yang akan memicu

ekspresi virus HIV yang akan menghasilkan protein yang akan mengalami eksositosis,

dimana pada fase ini CD4 dapat dihancurkan. Terjadi defisiensi sel T berat, sehingga

tubuh semakin tidak berdaya terhadap patogen yang seharusnya tidak berbahaya. Proses

patofisiologi ini menimbulkan bermacam-macam gejala dalam tubuh seseorang, namun

pada stadium awal biasanya asimptomatis dan ada pembesaran kelenjar getah bening

persisten. Disusul penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, infeksi

4
saluran nafas ringan berulang, demam persisten tanpa penyebab yang jelas sampai pada

stadium yang berat dengan penyakit-penyakit serius.

Penegakkan diagnosis dilakukan dengan berbagai rangkaian tes. Proses menjalani tes

ini merupakan proses yang menjadi beban pada pasien, terutama efek samping obat

antiretroviral yang pasien HIV konsumsi, yang bisa menimbulkan ketidaknyamanan pada

pasien (Collein, I., 2010).

B. Terapi Antiretroviral

Dua alat ukur utama yang digunakan untuk memantau pasien HIV adalah jumlah

CD4+ limfosit T, sebuah pengukuran fungsi imun dan jumlah virus HIV dalam darah

pasien. Tujuan pemberian ART adalah untuk menekan replikasi HIV sehingga jumlah

virus menurun sampai kadar yang tidak terdeteksi (umumnya < 50 atau 25 kopi RNA

virus/mL, tergantung alat uji). Hal ini menyebabkan imunitas disusun kembali, ditunjukan

dengan peningkatan jumlah CD4+ dan menurunnya morbiditas serta mortalitas terkait

HIV. Di negara maju, pedoman yang ada saat ini menyarankan pemberian ART pada

semua pasien yang terinfeksi HIV, khususnya mereka yang jumlah CD4 nya kurang dari

500 sel/mm3, dan pada semua pasien dengan kondisi tertentu (misalnya hamil, hepatitis C,

HIV nefropati). Ini merupakan pedoman, namun klinisi biasanya mempertimbangkan

faktor-faktor lain untuk membuat keputusan mengenai pemberian ART, termasuk faktor-

faktor yang mempengaruhi kepatuhan terapi seperti keinginan pasien untuk memulai terapi

dan adanya kelainan psikiatri, seperti penyalahgunaaan zat atau masalah psikososial

(Cherny, N., et al., 2015).

C. Harapan Hidup Pasien HIV

Faktor kunci yang berhubungan dengan meningkatnya harapan hidup pasien terinfeksi

HIV mencakup diagnosis awal, retensi dalam pemberian pelayanan kesehatan, dan

kepatuhan terhadap regimen Anti Retroviral Therapy (ART). Data terakhir dari Amerika

5
Serikat menyatakan 28% orang dengan infeksi HIV yang mendapatkan supresi virus dan

mengetahui diagnosis HIV-nya, 69% terhubung dengan pelayanan kesehatan dan hanya

59% yang bertahan menjalani pengobatan. Pedoman dari Asosiasi Dokter Internasional

dalam hal Fokus Pemberian Pelayanan AIDS pada intervensi multidisiplin meliputi alat

ukur kepatuhan, edukasi, konseling, sistem kesehatan, pemberian pelayanan intervensi,

dan pedoman khusus untuk populasi rentan (wanita hamil, tuna wisma, anak-anak dan

remaja, pasien masalah penyalahgunaan zat dan gangguan kesehatan mental). Tujuannya

meningkatkan keikutsertaan dan bertahan dalam pengobatan serta kepatuhan

mengkonsumsi ART (Cherny, N., et al., 2015; Souza, P.N., 2016).

D. Tatalaksana Gejala Umum pada HIV

Fatigue merupakan gejala paling umum dan membuat distres pada pasien HIV/AIDS,

mempengaruhi sekitar 20-60% pasien. HIV-related fatigue didefinisikan “lebih dari

sekedar merasa lelah; sangat lelah. Pasien HIV dengan fatigue mengeluh lemah,

kehilangan energi, mengantuk, mudah lelah, kehausan, dan ketidakmampuan mendapat

istirahat yang cukup, dimana semua gejala mempengaruhi kualitas hidup. Penyebab

potensial HIV-related fatigue meliputi anemia, kurang istirahat dan gangguan tidur, diet

inadekuat, stres psikologis (depresi, kecemasan), penggunaan zat sifatnya rekreasi),

abnormalitas kelenjar tiroid, hipogonadism, infeksi, efek samping obat, dan demam.

Penyebab fisiologik lainnya adalah rendahnya jumlah sel hitung CD4, gangguan fungsi

hati, dan abnormalitas kortisol. Depresi dikatakan penyebab psikologis potensial

terjadinya fatigue. Tatalaksana keluhan ini antara lain program pelatihan aerobik

(treadmill), strategi perawatan diri (suplemen nutrisi, vitamin, dan perubahan diet, istirahat

cukup, terapi alternatif dan komplementer) (Engels, J., 2009).

Penelitian dari era sebelum dan awal terapi HAART mendokumentasikan level nyeri

yang tinggi pada pasien AIDS (29-76%), sama tinggi dengan gejala non-nyeri lainnya (10-

6
91% dari berbagai studi penelitian). Studi lain Studi lain Era sebelum HAART, etiologi

nyeri dan gejala lain pada HIV/AIDS seringnya disebabkan oleh infeksi oportunistik,

malignansi terkait AIDS, dan efek sistemik dari infeksi HIV yang progresif dan tidak

tertangani. Pasien pada era HAART juga mengalami nyeri dan gejala lain dari berbagai

sumber, termasuk komorbiditas kronik, kelemahan, penyakit tulang, proses terkait

penuaan, dan efek paparan kronik obat antiretroviral. Semua faktor ini menunjukan

pentingnya intervensi pelayanan paliatif yang efektif untuk pengelolaan nyeri dan gejala

lain pada pasien HIV/AIDS (Cherny, N., et al., 2015; Jones , S.G., 2017; Engels, J., 2009).

Sejak awal epidemik HIV, nyeri neuropati telah dilaporkan pada pasien HIV.

Polineuropati sensori distal (DSP) HIV, yang merupakan penyebab paling umum nyeri

neuropati pada pasien HIV, terjadi karena degenerasi serabut saraf perifer yang besar dan

kecil. Etiologinya meliputi paparan terhadap ART regimen lama (seperti stavudine (d4T),

didanosine (ddI), dan zalcitabine (DDC), atau regimen yang lebih kontemporer seperti PI

dan infeksi HIV sederhana. Meskipun prevalensi diperkirakan lebih rendah dibandingkan

era sebelum HAART, DSP masih mempengaruhi banyak pasien terinfeksi HIV yang hidup

lama, berkisar antara 4,3-21,8%, dan insiden mungkin meningkat seiring berjalannya

waktu. Pasien HIV yang mengalami DSP umumnya mengeluhkan gejala sensori dengan

distribusi seperti stocking-glove. Pemeriksaan awal meliputi tes untuk mengetahui

penyebab neuropati lain yang umum (seperti diabetes, defisiensi vitamin B12, penggunaan

alkohol). Terapi yang diberikan adalah terapi simtomatis. Obat yang terbukti efektif pada

pasien HIV adalah gabapentin dan capsaicin topikal dosis tinggi. Meskipun tidak spesifik

terbukti efektif, obat lain sering dicoba berdasarkan efikasinya pada neuropati perifer tipe

lain; yaitu berbagai antidepresan, khususnya antidepresan trisiklik dan duloxetine

(serotonin-norepinephrine (noradrenaline) reuptake inhibitor); opioid terbukti efektif

(Gwyther, L., et al., 2006).

7
E. Kondisi Komorbid

Kondisi komorbid yang sebelumnya belum pernah dihubungkan dengan HIV atau

yang menjadi lebih umum terjadi pada pasien yang kondisinya bertahan lama, seperti

penyakit kardiovaskular, paru-paru, penyakit hati, dan penyakit ginjal, keganasan bukan

akibat AIDS, kerapuhan dan penyakit tulang, sekarang prevalensinya meningkat pada

pasien terinfeksi HIV. Masing-masing kondisi komorbid ini membutuhkan penanganan

utama dan sekaligus berkontribusi terhadap meningkatnya beban nyeri dan gejala pasien

terinfeksi HIV (Cherny, N., et al., 2015).

1. Penyakit Kardiovaskular dan Paru-Paru

Terdapat bukti bahwa penyakit kardiovaskular, khususnya aterosklerosis dan gagal

jantung kongestif, terjadi lebih awal pada populasi terinfeksi HIV dan dengan jumlah

lebih banyak dibandingkan pada individu negatif HIV. Merokok dilaporkan terdapat

pada 40-70% pasien terinfeksi HIV, 2-3 kali lipat lebih tinggi dibandingkan jumlah

pada populasi umum, dan pasien terinfeksi HIV lebih mungkin mengalami dislipidemi

yang ditandai dengan peningkatan trigliserida dan LDL, penurunan HDL serta

kolesterol total. Infeksi HIV terbukti meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular

aterosklerosis; kombinasi dari jumlah virus HIV, faktor imunologis, dan inflamasi

mungkin terlibat (Cherny, N., et al., 2015;

Pasien terinfeksi HIV juga dapat mengalami berbagai komplikasi pulmonal.

Beberapa infeksi oportunistik paru-paru seperti Pneumocystis jirovecii, hampir selalu

hanya terdapat pada pasien HIV dengan jumlah CD4 rendah (umumnya < 200

sel/mm3); lainnya seperti pneumonia bakterial, khususnya pneumonia pneumokokal

dan tubekulosis umum pada pasien HIV dan mungkin juga terdapat pada pasien dengan

8
jumlah CD4 lebih tinggi (umunya < 400 sel/mm3). Terdapat bukti di era terapi saat ini

bahwa komorbiditas paru-paru tertentu, seperti penyakit paru obstruktif kronis,

hipertensi pulmonal, dan kanker paru-paru mungkin relatif lebih banyak ditemukan

pada pasien HIV. Apakah ini dikarenakan faktor risiko yang lebih banyak seperti

merokok atau karena infeksi HIV itu sendiri, masih belum diketahui. Gejala respirasi

yang dialami oleh pasien HIV dengan komorbiditas pulmonal menyerupai yang dialami

oleh pasien tanpa infeksi HIV, dan strategi penanganan yang digunakan juga mirip

(Cherny, N., et al., 2015; Engels, J., 2009).

2. Penyakit Hati dan Ginjal

Penyakit hati stadium akhir juga merupakan penyebab morbiditas yang signifikan

pada pasien HIV. Terdapat sekitar 4-5 juta orang dengan ko-infeksi HIV dan virus

hepatitis C (HCV) di seluruh dunia. Pasien dengan ko-infeksi mengalami progresi

fibrosis yang lebih cepat, meningkatnya jumlah virus HCV dan jumlah persistensi

virus, penyakit hati stadium akhir, serta jumlah kematian yang lebih banyak. Ada juga

bukti yang menyatakan bahwa pasien ko-infeksi HIV/HCV mengalami gangguan

neurokognitif, neuropati perifer, penyakit ginjal terkait HIV, resistensi insulin,

intoleransi glukosa, dan diabetes yang lebih banyak. Penelitian menunjukan

peningkatan nyeri abdomen, perubahan status mental, dan risiko perdarahan dapat

terbantu dengan pemberian intervensi paliatif (Cherny, N., et al., 2015; Jones, S.G.,

2017). Pada era sebelum HAART, kelainan ginjal yang umum akibat gangguan ginjal

sekunder HIV meliputi nefropati terkait HIV, penyakit ginjal kompleks imun terkait

HIV, dan mikroangiopati trombotik. Kelainan ini menjadi masalah bagi mereka yang

terlambat terdiagnosis mengalami infeksi atau bagi mereka yang tidak menerima terapi.

Penyakit ginjal terkait HIV itu sendiri merupakan indikasi untuk dimulainya terapi

ART (Cherny, N., et al., 2015; Green, K., Horne, C., 2012).

9
3. Penyakit Tulang Metabolik dan Osteonekrosis

Penyakit tulang telah menjadi masalah yang semakin berat pada pasien HIV.

Etiologinya multifaktorial meliputi hipogonadisme, merokok/alkohol, efek inflamasi

langsung HIV, ART (khususnya tenofovir), defisiensi vitamin D, dan berat badan yang

rendah. Pasien HIV dengan osteoporosis memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami

fraktur. Penelitian terakhir menemukan bahwa prevalensi fraktur terkait osteoporosis

60% lebih tinggi pada pasien HIV dibandingkan dengan pasien tanpa HIV. Deteksi dini

dan terapi awal osteoporosis dapat mengurangi beban fraktur. Terapi osteoporosis pada

pasien HIV sama dengan pada pasien tanpa HIV, mencakup latihan beban, penguatan

otot, pemberhentian rokok, pembatasan asupan alkohol, dan asupan kalsium serta

vitamin D yang adekuat. Vitamin D yang rendah secara khusus telah dihubungkan

dengan etiologi osteoporosis pada pasien HIV (Cherny, N., 2015).

Osteonekrosis atau nekrosis avaskular, juga lebih sering pada pasien HIV dari pada

populasi umum. Prevalensi diperkirakan mencapai 4,4% berdasarkan penelitian

pencitraan (radiologi), meskipun banyak yang asimtomatis. Patogensisnya masih

kontroversial; ketika melibatkan kepala tulang paha, patogenesisnya mungkin berkaitan

dengan terganggunya aliran darah yang dapat menyebabkan instabilitas, dan yang

paling serius, kolaps. Faktor risiko pada pasien HIV meliputi penggunaan

kortikosteroid sistemik seumur hidup, hiperlipidemia, penggunaan obat penurun kadar

lemak, suplementasi testosteron, angkat berat atau pembentukan otot tubuh, antibodi

antikardiolipin, penyakit yang mendeskripsikan AIDS sebelumnya, sel SD4+ yang

rendah, durasi paparan ART lama, pankreatitis, dan alkoholisme. Osteonekrosis dapat

melibatkan semua tulang, kepala tulang paha paling umum dan penyakitnya mungkin

10
unilateral atau bilateral. Pasien biasanya datang dengan keluhan nyeri sekitar

selangkangan, namun nyeri juga bisa dirasakan di bokong atau paha. Keluhan nyeri

yang dirasakan bisa menjadi beban penderitaan pasien (Engels, J., 2009; Souza, P.N.,

2016).

4. Malignansi

Pasien HIV mengalami peningkatan malignansi terkait HIV dan yang tidak terkait

HIV. Malignansi yang mendeskripsikan AIDS seperti sarkoma kaposi, limfoma non-

Hodgkin (termasuk limfoma Burkitt dan limfoma sistem saraf pusat primer), dan

kanker leher rahim invasif masih terjadi, namun jumlahnya telah sangat menurun pada

era terapi saat ini. Namun, malignansi yang tidak terkait AIDS seperti limfoma

Hodgkin, multipel myeloma, leukemia, kanker hati, kanker paru-paru, kanker prostat,

karsinoma anus invasif, dan kanker usus besar, sering terjadi dan meningkat pada

populasi ini. Faktanya, penelitian menunjukan risiko 2 kali lipat terjadinya malignansi

non-HIV pada pasien HIV dibandingkan pada populasi umum. Pasien terinfeksi HIV

juga memiliki prevalensi faktor risiko kanker yang lebih tinggi, seperti merokok,

konsumsi alkohol, dan ko-infeksi dengan infeksi HCV atau human papilloma virus

(HPV). Tantangan klinis yang timbul adalah meningkatnya prevalensi malignansi non-

HIV pada pasien HIV ditambah seriusnya penyakit ini. Sebuah penelitian menemukan

pasien dengan malignansi non-AIDS mengalami pengurangan waktu hidup 24 bulan

jika dibandingkan dengan pasien yang tidak terinfeksi HV dengan malignansi yang

sama (Cherny, N., et al., 2015).

5. Kelainan Neurokognitif, Gangguan Psikiatri dan Penyalahgunaan Zat

Meskipun dengan penggunaan HAART, kelainan kognitif terkait HIV seperti

demensia HIV, ensefalopati dan gangguan neurokognitif HIV, tetap menjadi beban

berat bagi pasien HIV. HIV adalah virus yang bersifat neuroinvasif dan regimen

11
HAART yang berbeda-beda memiliki kemampuan melakukan penetrasi sistem saraf

pusat. Jumlah pasien dengan kelainan neurokognitif HIV, temasuk demensia dan

gangguan neurokognitif ringan diduga meningkat 5-10 kali lipat pada tahun 2030.

Meskipun HAART dapat mengurangi jumlah gangguan neurokognitif, gangguan

neurokognitif ringan lebih sulit untuk diterapi, khususnya pada populasi usia lanjut

yang dipersulit adanya gangguan komorbid fungsi otak, seperti penyakit Alzheimer

(Cherny, N., et al., 2015).

Kelainan psikiatri juga relatif lebih umum pada populasi terinfeksi HIV. Sebuah

penelitian menemukan prevalensi gangguan psikiatri pada pasien HIV lebih dari 2 kali

lipat dari pasien yang tidak terinfeksi HIV (63% vs 30,5%). Gangguan psikiatri paling

umum pada pasien HIV adalah gangguan depresi mayor, prevalensi diperkirakan

mencapai 36%, dibandingkan dengan 4,9% pada populasi umum. Gangguan cemas

menyeluruh juga umum terjadi pada pasien HIV, sekitar 16%. Penelitian epidemiologi

menunjukan pasien psikiatri dengan gangguan mental kronik seperti skizofrenia

memiliki risiko lebih tinggi mendapatkan infeksi HIV. Depresi telah dihubungkan

dengan kepatuhan yang buruk terhadap terapi ART. Selain itu, penelitian terakhir dari

198 pasien HIV yang mulai diberikan HAART di sebuah pusat akademi kedokteran

besar di Amerika Serikat menemukan kemungkinan semua gangguan psikiatri yang

lebih tinggi berhubungan dengan supresi virus yang lebih lambat dan kegagalan

virologikal yang lebih cepat. Akses ke pelayanan kesehatan mental merupakan bagian

penting dari terapi HIV dan penelitian telah menunjukan bahwa pasien depresi yang

diberikan terapi antidepresan memiliki tingkat kepatuhan lebih baik dibandingkan

dengan yang tidak diterapi. Semua hal ini menunjukan pentingnya masalah psikososial

dan pelayanan kesehatan mental dalam pengobatan pasien HIV/AIDS dan intervensi

12
tim pelayanan paliatif yang multidisiplin dalam pelayanan rutin populasi ini (Cherny,

N., et al., 2015; Green, K., Horne, C., 2012; Souza, P.N., 2016).

Gangguan penyalahgunaan zat sangat banyak pada populasi terinfeksi HIV.

Penelitian melaporkan sekitar 40-74% pasien memiliki atau pernah komorbid dengan

penyalahgunaan zat. Penyalahgunaan zat berhubungan dengan adanya penyakit

psikiatri lain, dan perkiraan terakhir menyatakan penyalahgunaan zat dan gangguan

kesehatan mental terjadi bersamaan pada setidaknya seperempat dari semua pasien

HIV. Pasien dengan penyalahgunaan zat dan gangguan psikiatri memiliki jumlah CD4

yang lebih rendah dan supresi virus HIV yang lebih buruk, serta kepatuhan terapi ART

yang lebih jelek. Tinjauan terakhir menemukan penyalahgunaan zat berhubungan

dengan jeleknya kepatuhan, bukti yang ada juga menunjukan pengguna obat dapat

dengan efektif mematuhi pengobatan jika mereka menerima pengobatan yang

terstruktur termasuk akses ke terapi kesehatan mental. Semua permasalahan kesehatan

mental dan penggunaan zat ini memberikan tantangan khusus dan kesempatan untuk

intervensi pelayanan paliatif pada pasien HIV/AIDS (Cherny, N., et al., 2015; Gwther,

L., et al., 2006; Engels, J., 2009; Jones, S.G., 2017).

6. Kelemahan Prematur

Kelemahan telah didefinisikan dalam berbagai cara dan yang paling banyak diterima

adalah menggunakan parameter fisik, yaitu sedikitnya 3 dari 5 kriteria (penurunan berat

badan yang tidak diinginkan > 4,5 kg dalam 1 tahun terakhir, keletihan, aktivitas fisik

yang sedikit, kekuatan genggaman yang lemah, dan waktu berjalan yang lambat).

Peneliti HIV menyatakan bahwa representasi kelemahan yang lebih akurat pada pasien

HIV juga mencakup komorbiditas neuropsikiatri. Prevalensi kelemahan dini pada

pasien HIV dapat mencapai 20%, bisa terjadi dalam populasi pasien usia 40-an dan 50-

an, sedikitnya 1 dekade lebih muda dibandingkan pada pasien tanpa infeksi HIV.

13
Kelemahan dini pada pasien HIV berhubungan dengan riwayat memiliki AIDS dan

infeksi oportunistik di masa lalu, jumlah CD4+ sel T yang rendah, viremia yang tidak

terkendali, dan komorbiditas medis. Patofisiologi sindrom ini masih belum dimengerti,

namun mungkin berhubungan dengan disregulasi imun. Meskipun buktinya terbatas,

latihan mungkin dapat memperbaiki fungsi fisik (Cherny, N., et al., 2015, Souza, P.N.,

2016).

7. Wasting

Wasting berhubungan dengan nutrisi yang adekuat pada pasien HIV. Wasting

syndrome pada pasien HIV jauh lebih sedikit ditemukan pada era terapi HIV saat ini,

karena lebih sedikit pasien dengan penyakit stadium lanjut dan infeksi oportunistik

yang aktif. Identifikasi individu dengan penurunan berat badan yang bermakna klinis,

the Nutrition for Healthy Living Cohort mendefinisikan penyusutan sebagai (1)

penurunan berat badan yang tidak dikehendaki lebih dari 10%, (2) indeks massa tubuh

(IMT) sama dengan atau di bawah 20, atau (3) hilangnya berat badan lebih dari 5%

yang tidak dikehendaki dalam 6 bulan yang bertahan hingga setidaknya 1 tahun.

Etiologi wasting biasanya multifaktorial, meliputi asupan nutrisi yang tidak adekuat

akibat masalah mulut atau saluran pencernaan atas, malabsorbsi, nafsu makan yang

menurun, batasan ekonomi, perubahan metabolisme akibat HIV atau infeksi

oportunistik, dan/atau kelainan hormonal seperti hipogonadisme atau hipertiroidisme.

Pengelolaan wasting dipertimbangkan untuk berkonsultasi pada spesialis HIV dan

inisiasi ART pada pasien yang belum menerimanya. Latihan beban telah terbukti

meningkatkan jaringan otot pada pasien HIV (Cherny, N., 2015).

8. Hipogonadisme

Telah diketahui, kadar testosteron yang rendah akibat hipogonadisme, khususnya

hipogonadisme sekunder adalah masalah umum pada pria yang terinfeksi HIV.

14
Meskipun jumlah prevalensi lebih rendah saat ini, 6% dari pria terinfeksi HIV memiliki

kadar testosteron rendah. Testosteron yang relatif rendah juga mungkin terjadi pada

wanita terinfeksi HIV, namun standar normatif dan pedoman untuk diagnosis dan terapi

masih belum jelas untuk pasien-pasien ini. Bertambahnya usia populasi yang terinfeksi

HIV, konsekuensi terjadinya hipogonadisme pada pria menjadi masalah pengobatan

utama. Pasien dengan kadar testosteron rendah akan mengeluhkan letih, depresi, libido

menurun; massa otot menurun dan densitas mineral tulang yang rendah. Respon klinis

terhadap masalah ini dimulai dengan pengukuran kadar testosteron bebas dan total.

Pengukuran testosteron bebas penting karena kadar total mungkin dapat normal pada

pasien HIV karena memproduksi kadar globulin pengikat hormon yang lebih sedikit.

Terapi dengan pengganti testosteron, tersedia dalam sediaan topikal, transdermal, dan

injeksi, diindikasikan pada pasien dengan libido sangat rendah, densitas mineral tulang

dan massa otot yang rendah (Cherny, N., et al., 2015).

F. Pengelolaan Gejala Nyeri dan Non-Nyeri pada Pasien HIV

Pengelolaan nyeri pada populasi HIV mungkin memiliki tantangan tersendiri terkait

fakta bahwa baik HIV dan nyeri kronik memiliki hubungan dengan penyakit psikiatri dan

penyalahgunaan zat. Konsep pentingnya adalah:

1. Nyeri kronik merupakan sesuatu yang subjektif. Keluhan nyeri seorang pasien harus

dianggap serius dan ditelusuri; selain itu, tidak ditemukannya sesuatu yang objektif dari

patologi fisik tidak menyingkirkan intervensi pengelolaan nyeri.

2. Pasien dengan gangguan psikiatri yang sedang berlangsung dan dengan

penyalahgunaan zat, banyak diantaranya komorbid dengan gangguan kepribadian, akan

mengekspresikan nyeri dan konsekuensinya serta meminta pengelolaan nyeri, dengan

cara yang dapat menyebabkan karyawan menjadi frustasi dan marah. Penting untuk

15
mengenali reaksi diri terhadap situasi yang terjadi dan tidak membiarkan

mempengaruhi pelayanan pada pasien.

3. Perilaku menyimpang terkait opioid, seperti sering menelpon ke klinik untuk meminta

opioid, fokus terhadap opioid selama kunjungan, pola hilang/dicurinya resep, memiliki

diagnosis banding. Meliputi kecanduan, pseudoadiksi (perilaku bermasalah akibat nyeri

yang tidak terkendali), gangguan psikiatri selain kelainan penggunaan zat (termasuk

gangguan kepribadian, gangguan cemas, dan lainnya), dan kriminal. Diagnosis

potensial ini dapat muncul bersamaan, penting pemeriksaan detail (Engels, J., 2009).

Kompleksitas nyeri kronik pada populasi HIV mendukung pertimbangan pendekatan

multimodal (multidisiplin) pada setiap kasus. Terapi farmakologi mungkin melibatkan

beberapa jenis obat, seperti opioid, non-opioid, dan analgesik antidepresanantiko,

antikonvulsan, terapi non-farmakologis seperti pendekatan rehabilitatif (terapi fisik dan

latihan fisik), dan pendekatan psikologis seperti terapi kognitif perilaku. Meskipun

terdapat bukti terbatas untuk mendukung efektivitas terapi opioid jangka panjang dalam

populasi apapun, sebagian besar klinisi setuju obat-obat ini bermanfaat pada terapi

jangka panjang untuk beberapa pasien yang dipilih dan dimonitor dengan hati-hati.

Risiko dan keuntungan dari terapi opioid kronik harus dipertimbangkan pada beberapa

pasien, termasuk mereka yang aktif mengkonsumsi akohol dan menyalahgunakan zat,

risikonya mungkin terlalu tinggi untuk memilih terapi ini (Gwyther, L., et al., 2006;

Souza, P.N., 2016).

G. Gejala dan Kepatuhan

Peningkatan beban gejala pada pasien HIV/AIDS mungkin berdampak pada

kepatuhan dengan terapi ART dan pengobatan lain yang sedang berlangsung. Tingginya

kepatuhan jangka panjang terhadap ART sangat penting untuk keberhasilan terapi, dan

ketidakpatuhan pada ART dibawah level 90%, secara signifikan dapat meningkatkan

16
risiko terbentuknya resistensi obat. Sebuah penelitian prevalensi gejala pada sebuah klini

HIV rawat jalan menemukan pada analisis multivariat bahwa kepatuhan pada terapi ART

yang buruk secara signifikan berhubungan dengan beban gejala psikologis. Intervensi

pengobatan paliatif pada pasien HIV/AIDS menjadi kunci penting dalam memfasilitasi

keberhasilan terapi ART (Cherny, N., et al., 2015).

H. Pengobatan pada Akhir Hidup

Penting untuk diingat bahwa banyak orang terinfeksi HIV yang meninggal di negara

maju pada saat ini mungkin tidak meninggal akibat AIDS, namun akibat salah satu

komorbiditas yang dialami. Sebuah penelitian dengan 230 pasien HIV dalam program

pelayanan paliatif di Amerika Serikat menemukan, dari 120 kematian, 36% diantaranya

meninggal akibat AIDS stadium akhir, 19% akibat kanker non-AIDS, 18% akibat

pneumonia bakterial dan sepsis, 13% akibat gagal hati dan/atau sirosis, 8% akibat penyakit

jantung dan paru-paru, 3% akibat penyakit ginjal stadium akhir, 2% akibat amyotropik

lateral sklerosis (ALS), dan 2% tidak diketahui penyebabnya. Namun, meskipun adanya

perkembangan dalam terapi HIV, orang-orang tetap meninggal akibat penyebab yang

berkaitan dengan AIDS di Amerika Serikat dan di luar negeri lainnya. Meskipun ART

sudah tersedia luas di Amerika Serikat, hanya 25% pasien HIV yang memiliki kadar virus

tidak terdeteksi. Alasan untuk ini adalah multifaktorial dan meliputi masalah pada

kepatuhan, retensi, dan akses pada pelayanan bagi populasi yang rentan (Cherny, N., et al.,

2015; Engels, J., 2009). Di era ini, pasien yang benar-benar meninggal akibat AIDS

meliputi salah satu dari 3 kategori: (1) terlambat terdiagnosis dan tidak pernah menerima

ART atau menggunakan ART hanya dalam jangka waktu pendek namun terus mengalami

perburukan akibat keparahan penyakit saat datang berobat; (2) terdiagnosis saat penyakit

masih stadium awal, namun akibat berbagai faktor medis dan psikososial tidak pernah

menggunakan ART secara konsisten dan telah berkembang menjadi ireversibel dan

17
menjadi stadium akhir; dan (3) seseorang dengan HIV bertahun-tahun dengan berbagai

kegagalan regimen terapi, yang sekarang memiliki virus resisten terhadap semua regimen

obat yang ada saat ini. Seorang pasien HIV datang dengan manifestasi AIDS stadium akhir

akan dirujuk ke rumah perawatan tanpa dicoba pemberian ART. Hal ini dapat terjadi

apabila pasien baru terdiagnosis HIV dan langsung ditemukan dengan AIDS stadium

akhir. Hal ini juga mungkin dapat terjadi pada pasien yang telah memiliki kesulitan

persisten dengan retensi pada pelayanan HIV primer, ketidakpatuhan terhadap terapi ART,

dan/atau dengan penyakit psikiatri atau penyalahgunaan zat. Rujukan ke rumah perawatan

mungkin sesuai berdasarkan keparahan penyakit pasien, penting untuk pasien pasien-

pasien tersebut dievaluasi oleh seorang dokter spesialis HIV. Beberapa klinisi pada

fasilitas perawatan paliatif telah menyaksikan apa yang disebut ‘sindrom Lazarus’, dimana

pasien AIDS yang hampir meninggal diberikan ART adekuat untuk pertama kalinya, dapat

segera kembali ke kondisi fungsionalnya secara dramatis (Cherny, N., et al., 2015).

Perencanaan pelayanan lebih lanjut sangat penting dalam penanganan pasien HIV.

Seperti halnya penyakit kronik lain, tujuan pengobatan sebaiknya sesuai perjalanan

penyakit dan tidak hanya pada waktu eksaserbasi atau krisis. Sebuah survei potong lintang

di Amerika Serikat menemukan pasien AIDS lebih jarang memiliki waktu berdiskusi

dengan dokter mereka dibandingkan dengan populasi penyakit kronik lainnya. Percakapan

akhir hidup sebaiknya lebih sering dilakukan dan tujuan mungkin dapat berubah selama

proses berjalannya penyakit akibat progresifitas ke arah AIDS stadium lanjut yang tidak

linier. Terdapat beberapa bukti yang mendukung pendapat bahwa dokter pada terapi HIV

mungkin tidak nyaman menyampaikan masalah ini dengan pasien HIV stadium akhir dan

membuatkan batasan yang tidak perlu bagi diri mereka sendiri terhadap percakapan efektif

mengenai tujuan pengobatan (Green, K., Horne, C., 2012).

18
Pembuatan prognosis juga sangat signifikan dipengaruhi oleh ART di era saat ini.

Sejak dimulainya pemberian HAART, prognosis bagi mereka yang hidup dengan HIV

tidak hanya sekedar mengenai jumlah virus, jumlah sel CD4+, dan riwayat infeksi

oportunistik spesifik. Sebuah penelitian mortalitas pada pasien di sebuah program paliatif

HIV di pusat kesehatan Amerika Serikat menemukan pasien AIDS stadium akhir, usia dan

penanda status fungsional lebih memberikan prediksi dibandingkan dengan jumlah CD4+

dan jumlah virus. Penelitian ini juga menemukan setengah dari jumlah kematian

disebabkan oleh penyebab spesifik non-AIDS seperti kanker dan gagal organ. Terdapat

kebutuhan segera untuk melakukan penelitian berhubungan dengan prognosis, untuk

menginformasikan lebih lanjut kepada dokter mengenai kapan waktu yang tepat merujuk

ke rumah perawatan dan bagaimana memprediksi serta mengantisipasi kapan akhir hidup

pasien AIDS (Green., K., Horne, C., 2012; Cherny, N., et al., 2015).

I. Kelayakan Masuk Rumah Sakit

Di Amerika Serikat, perawatan rumah sakit untuk sebagian besar pasien merupakan

program pendukung pemerintah dalam pelayanan komprehensif berbasis keluarga, untuk

perawatan di akhir kehidupan. Kelayakan program ini membutuhkan dua klinisi yang

memastikan harapan hidup pasien 6 bulan atau kurang bila penyakit terus berlanjut sesuai

yang diperkirakan. Perkiraan tentu saja tidak selalu tepat dan klinisi mengandalkan

karakteristik prediktif pasien yang disesuaikan dengan data dan pengalaman yang terbatas.

Kriteria perawatan rumah sakit bagi pasien HIV/AIDS di Amerika Serikat, bersama

dengan pasien lain dengan diagnosis non-kanker, dijabarkan oleh National Hospice and

Palliative Care Organization (NHPCO, sebelumnya dikenal dengan NHO) di tahun 1996.

Mencakup: jumlah CD4+ kurang dari 25sel/mm3 atau viral load lebih besar dari 100.000

kopi/mL, limfoma SSP, wasting yang tidak tertangani atau refrakter, disseminated MAC,

PML, limfoma sistemik, sarcoma Kaposi viseral, gagal ginjal tanpa dialisis, infeksi

19
cryptosporidium, atau toxoplasmosis serebri refrakter. Selain memenuhi salah satu kriteria

di atas, pasien harus memiliki skor kurang dari 50% pada Palliative Performance Scale.

Sejak dimulainya pemberian ART, beberapa kriteria tersebut ditinggalkan, menyebabkan

pasien dengan prediktor harapan hidup pendek tidak dianggap memenuhi syarat untuk

perawatan di rumah sakit kecuali bila terdapat penyakit yang berlangsung progresif

dengan pemberian ART (Cherny, N., et al., 2015; Fausto, J.A., Selwyn, P.A., 2011).

J. Pemberhentian ART dan Profilaksis Infeksi Oportunistik

Pedoman yang ada saat ini banyak yang memaparkan kapan harus memulai ART pada

pasien HIV, namun tidak ada pedoman yang memberikan informasi bagi klinisi dan pasien

mengenai kapan harus menghentikan ART atau profilaksis rutin untuk infeksi oportunistik

pada pasien HIV di akhir masa hidupnya. Penting untuk mengingat bahwa sebagian besar

pasien HIV yang meninggal tidak secara langsung karena AIDS, melainkan karena kondisi

komorbid serius. Hal ini menyebabkan penentuan keputusan penghentian ART dan

profilaksis infeksi oportunistik menjadi lebih rumit (Cherny, N., et al., 2015).

Secara umum, proses pengambilan keputusan sama seperti pengobatan lainnya –

seperti, beban masing-masing pasien dibandingkan dengan analisa keuntungan – harus

diaplikasikan untuk menentukan ART dan profilaksis. Terdapat manfaat potensial untuk

melanjutkan HAART pada penyakit stadium lanjut, berdasar asumsi bahwa viremia yang

berkelanjutan dapat dikaitkan dengan peningkatan beban gejala. Pada salah satu studi

cohort, lebih dari sepertiga pasien yang berhenti menggunakan ART mengalami gejala

yang berkaitan dengan penghentian pengobatan. Pada penyakit stadium lanjut, regimen

yang tersedia mungkin hanya aktif sebagian, namun ada pendapat bahwa pengobatan

tersebut mungkin dapat menargetkan pada virus yang lebih lemah meskipun terdapat

peningkatan viral loads. Mempertahankan jumlah CD4+ pada kadar yang lebih tinggi

diperkenankan, karena hal tersebut memberikan perlindungan dari infeksi oportunistik.

20
Diketahui juga bahwa viral load perifer tidak selalu berhubungan dengan viral load SSP,

dan kemungkinan melanjutkan HAART dapat membantu melindungi fungsi kognitif dan

menghindari ensefalopati yang berhubungan dengan HIV atau demensia. Menjaga status

mental dapat memiliki efek mendalam dengan cara mempersilahkan pasien dengan

penyakit stadium akhir untuk tetap memahami kondisinya dan menjadi bagian dalam

pengambilan keputusan klinis (Engels, J., 2009; Cherny, N., et al., 2015; Gwyther, L., et

al., 2006).

Terdapat juga alasan untuk mempertimbangkan pemberhentian ART. Apabila

kepatuhan pasien merupakan suatu kendala sebelum penyakit berada pada stadium akhir,

maka melanjutkan ART mungkin tidak memiliki manfaat terapeutik dan bisa

memunculkan kecemasan karena pengobatan tersebut. Peningkatan beban karena

konsumsi pil juga berhubungan dengan penurunan kualitas hidup. Melanjutkan ART

dengan menyadari kesia-siaannya membuat kebingungan dalam terapi, hal tersebut

mengalihkan klinisi dan/atau pasien dari rencana perawatan lanjutan yang penting serta

perawatan pada masa akhir kehidupan. Biaya ART mungkin juga menjadi masalah

(Cherny, N., et al., 2015).

K. Perawatan Akhir Hidup

Serupa dengan penyakit kronis lainnya, pergeseran ke arah paliatif masa akhir

kehidupan merupakan keputusan yang membutuhkan banyak pertimbangan dan kolaborasi

antar pasien, keluarga, dan pendamping. Terapi pada HIV secara spesifik baik terhadap

penyakit dan gejala, saat digunakan bersamaan, dapat membantu mengendalikan gejala

serta secara signifikan berkontribusi terhadap kenyamanan pasien. Sebagai contoh,

melanjutkan terapi untuk pneumonia dapat mengatasi dyspneu, disamping terapi gejala

spesifik lainnya seperti oksigen, opioid, dan benzodiazepin. Pada beberapa kasus,

intervensi yang disesuaikan dengan penyakit mungkin tidak memiliki manfaat

21
memperpanjang kehidupan secara langsung namun dapat membantu memberikan kualitas

hidup pada pasien yang akan meninggal (seperti valganciclovir dapat mempertahankan

pengelihatan pada pasien dengan retinitis CMV); pada individu lain, hal tersebut mungkin

juga dapat meringankan penderitaan dengan segera, serta memperpanjang kehidupan

(seperti fluconazole atau amphotericin B, dengan analgesik kuat, untuk mengobatan

odynophagia kadidiasis esofagus, atau nyeri kepala yang berhubungan dengan meningitis

cryptococcal) (Cherny, N., et al., 2015).

L. Peluang Integrasi\

Menurut Jan Stjernsward seorang pionir metode perawatan paliatif terintegrasi, yang

bekerja di WHO, definisi integrasi dalam konteks perawatan paliatif dilihat dari tiga

perspektif berbeda, dari sistem pelayanan kesehatan, dari perawatan paliatif patient-

centered dan dari perspektif klien setelah mengalami kesuksesan implementasi. Tujuan

dari integrasi adalah untuk memungkinkan seseorang dengan HIV mendapat akses ke

berbagai bidang yang berbeda namun melalui akses pelayanan perawatan kesehatan dan

psikososial satu pintu. Cara seperti ini menyebankan pekerja-pekerja pelayanan kesehatan

HIV dapat menjadi lebih baik dalam memperbaiki outcome pasien dengan efisien baik

untuk pasien maupun sistem pelayanan perawatan kesehatan. Secara umum integrasi

adalah organisasi, koordinasi, dan manajemen dari berbagai aktivitas dan sumber untuk

menjamin pelayanan yang lebih efisien dan sesuai dalam hal biaya, luaran, efek, dan

penggunaan (pelayanan kesehatan) ( Green, K., Horne, C., 2012).

Perawatan pasien dengan HIV tergolong rumit seperti pengobatan gejala saat virus

terkontrol atau membantu dengan perencanaan perawatan lebih lanjut pada masa akhir

kehidupan, tim perawatan paliatif berperan penting dalam mendukung pasien dan dokter

melalui proses ini. Hal ini menjadi alasan perawatan paliatif dianjurkan sebagai terapi

pendamping bagi pasien HIV. Menyadari efek potensial dari integrasi perawatan paliatif

22
ke dalam perawatan rutin, World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa

“perawatan paliatif sebaiknya tergabung dalam setiap stadium penyakit HIV”. Hal serupa

tertera dalam pedoman UNAIDS yang menyatakan bahwa seluruh individu yang hidup

dengan HIV sebaiknya diberi perawatan paliatif yang efektif selama pengobatannya.

Program yang ada yang menggabungkan perawatan paliatif ke dalam perawatan HIV

beragam, menawarkan berbagai layanan, termasuk perawatan paliatif berbasis rumah sakit

dan rawat inap (Souza, P.N., 2016).

Perawatan paliatif bukanlah pengganti untuk pemberian ART, dipandang sebagai

terapi tambahan bila digabungkan dalam proses penyakit HIV dapat meningkatkan hasil

luaran. Keterlibatan perawatan paliatif secara dini tidak hanya meningkatkan kualitas

kehidupan, namun juga dapat memberikan keuntungan dampak kepatuhan terhadap

pengobatan. Sehingga penting untuk kualitas kehidupan dan hasil luaran penyakit serta

kelangsungan hidup untuk memprioritaskan integrasi perawatan paliatif ke dalam

perawatan HIV rutin. Terdapat beberapa pendekatan untuk mengganti paradigma

perawatan klinis HIV pada umumnya yang menjamin eksplorasi lebih lanjut. Pertama, uji

klinis yang dirancang uuntuk membandingkan perawatan paliatif HIV terintegrasi dengan

perawatan klinis HIV biasa harus diuji untuk menentukan dampak layanan terintegrasi

pada hasil luaran terapi, kepuasan pasien, dan biaya. Kedua, pendekatan untuk

memastikan akses awal terhadap ahli perawatan paliatif dalam perawatan HIV perlu

ditinjau. Terakhir, penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk menilai keterlibatan perawatan

paliatif secara dini dalam diskusi mengenai arahan awal dan tujuan perawatan pada

populasi yang terinfeksi HIV (Jones, S.G., 2017).

Bukti-bukti penelitian mengindikasikan integrasi perawatan paliatif pada pasien

HIV/AIDS menghasilkan:

1. Pengalaman dan distresing terhadap gejala fisik lebih sedikit.

23
2. Lebih patuh terhadap terapi antiretroviral.

3. Memiliki fungsi kekebalan yang lebih baik dan mengurangi mortalitas.

4. Mau bertahan dalam perawatan.

5. Sedikit mengalami masalah psikologis.

6. Kualitas umum menjadi lebih baik.

Komponen-komponen perawatan paliatif pada pasien HIV/AIDS adalah:

1. Penilaian kebutuhan fisik, emosional, sosial dan spiritual pasien maupun keluarga,

meliputi: skrining nyeri dan gejala fisik lain (termasuk efek samping obat antiretroviral)

dan skrining kesehatan mental serta kebutuhan dukungan sosial.

2. Mengobati gejala berdasarkan temuan medis.

3. Memberikan kebutuhan kesehatan mental dan dukungan sosial berdasarkan kapasitas

pelayanan.

4. Mendiskusikan dengan pasien dan keluarga mengenai kebutuhan dalam keahlian

perawatan diri dan jangka panjang.

5. Melakukan follow-up dan membantu membuat rujukan apabila dibutuhkan. Daftar

ilustrasi yang disediakan oleh komponen perawatan paliatif yang terintegrasi dengan

pelayanan HIV terlihat pada tabel di bawah ini.

Kapan sebaiknya perawatan paliatif diberikan pada pasien HIV tidak ada disebutkan

dalam buku-buku pedoman khusus paliatif, namun disarankan sebaiknya sejak pasien

mendapat informasi mengenai diagnosis HIV, karena beberapa studi menunjukkan saat

ini merupakan periode untuk kebutuhan paliatif segera. Selama periode memulai terapi

antiretroviral, pasien akan mengalami ketidaknyamanan psikologis sebagai hasil koping

terhadap keberadaan penyakit ini, bersamaan dengan mengalami penderitaan fisik yang

disebabkan infeksi oportunistik, inflamasi oleh HIV, atau oleh penyakit komorbid

(Engels, J., 2009).

24
Beberapa studi mengenai implementasi perawatan paliatif pada beberapa klinik HIV

menyimpulkan terdapat lima langkah proses integrasi perawatan paliatif-HIV (Green,

K., Horne, C., 2012; Engels, J., 2009) :

1. Membentuk tim dan menilai keuntungan dan keterbatasan integrasi perawatan.

Tim meliputi kepala klinik/rumah sakit atau kepala subdivisi, klinisi dari

berbagai disiplin ilmu, perawat, dan klien atau pasien. Tugas tim adalah menjamin

bahwa proses integrasi sesuai dan efisien. Tujuan primer tim adalah melakukan

penilaian kebutuhan perawatan paliatif pasien dan memutuskan langkah yang harus

diambil dalam rangka memenuhi kebutuhan pasien. selanjutnya akan dipandu dan

dimonitor implementasinya. Pembentukan tim disesuaikan di masing-masing tempat

pelayanan.

2. Membuat perencanaan integrasi

Tujuan perencanaan integrasi adalah untuk memudahkan tim integrasi

mengambil langkah yang dibutuhkan dalam menyediakan perawatan paliatif bagi

pasien. Perencanaan sebaiknya dibuat secara kolaboratif dengan bidang disiplin lain,

dan disusun secara spesifik mengenai apa yang dibutuhkan, kapan dan oleh siapa.

Idealnya perencanaan tersebut harus melalui proses validasi.

3. Membangun sistem dan keahlian, memungkinkan integrasi perawatan paliatif.

Perawatan paliatif masih tergolong baru dikenal oleh pekerja kesehatan

pelayanan pasien HIV, sehingga langkah pertama yang penting adalah memberikan

pelatihan dasar pada mereka. Pelatihan dasar bisa diselesaikan dalam waktu

beberapa hari atau kurang, informasi yang diberikan meliputi:

a) Mengapa perawatan paliatif penting bagi kualitas hidup pasien dan keluarganya.

25
b) Prevalensi nyeri, gejala lain dan gangguan kesehatan mental yang bisa terjadi

pada pasien HIV.

c) Intervensi utama pada pelayanan pasien HIV yang dapat

diimplementasikan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.

Langkah lain adalah menggunakan alat ukur untuk deteksi gejala dan perawatan paliatif

yang dibutuhkan. Terdapat beberapa alat ukur untuk penilaian pasien yang dapat

digunakan pada perawatan pasien HIV, antara lain Palliative Care Outcome Scale (POS)

dan Memorial Symptom Assesment Scale. Pusat perawatan HIV dapat menggunakan alat

ukur tersebut atau membuat sendiri alat ukurnya. Contoh alat ukur yang dikembangkan

oleh suatu klinik HIV di Vietnam adalah alat ukur singkat yang menggambarkan

bermacam-macam gejala dan masalah. Alat ukur ini bertujuan melihat masalah atau

gejala yang ada pada pasien di klinik HIV mereka dan dibuat tingkat keparahannya,

seperti terlihat pada gambar di bawah ini (Gwyther, L., et al., 2006; Engels, J., 2009;

Green, K., Horne, C., 2012).

Berikut contoh tabel untuk mencatat perubahan gejala yang dilakukan petugas:

4. Implementasi perencanaan pada fase pendekatan.

Setelah melakukan pelatihan dasar pada pekerja dan melakukan penilaian

menggunakan alat ukur, pelayanan dapat dimulai. Terdapat sejumlah panduan

perawatan paliatif yang dapat digunakan untuk membantu klinisi menangani nyeri,

gejala lain dan gangguan mental, namun masing-masing pusat pelayanan HIV akan

mengikuti panduan nasional masing-masing.

5. Monitoring dan evaluasi perencanaan implementasi.

Efektivitas pelayanan integrasi dapat dipantau dengan melakukan evaluasi dan

tinjauan ulang menggunakan daftar pendek yang dapat dibuat dan divalidasi sendiri

untuk mengukur kualitas (Green, K., Horne, C., 2012; Engels, J., 2009).

26
B. Pengertian Perawatan Paliatif

Integrasi awal layanan perawatan paliatif (PCS) ke dalam manajemen penyakit

kronis telah menjadi semakin umum selama beberapa tahun terakhir. Gerakan ini

dimulai tak lama setelah Organisasi Kesehatan Dunia pertama kali mengusulkan

model baru ini pada tahun 1990 (WHO, 1990)

Model PCS awal yang sama ini direkomendasikan secara khusus untuk

penyakit seperti HIV / AIDS dalam Buletin 2004 mereka tentang Perawatan Paliatif.2

Program Gabungan PBB untuk HIV / AIDS (UNAIDS) juga menekankan pendekatan

ini ketika mencoba untuk mengklarifikasi kesalahpahaman bahwa PCS terbatas untuk

perawatan rumah sakit (Wilkie DJ, 2010) Definisi UNAIDS menyatakan bahwa

perawatan paliatif (PC) '' dapat diterapkan pada awal perjalanan penyakit, bersamaan

dengan terapi lain yang dimaksudkan untuk memperpanjang hidup. '' 3 Sebuah studi

mani oleh Temel et al pada 2010 yang melibatkan PC awal secara nonsmall kanker

paru-paru sel menunjukkan peningkatan kualitas hidup, penurunan rawat inap, dan

kelangsungan hidup yang berkepanjangan.4 Sementara PC secara tradisional

dikaitkan dengan perawatan kanker, praktisi yang menyediakan perawatan untuk

pasien dengan berbagai penyakit kronis telah mulai menggunakan PCS bersamaan

dengan etiologi khusus. pengobatan.(Kurella Tamura M, 2010)

Tidak diragukan lagi kombinasi terapi antiretroviral (ART) adalah landasan

perawatan HIV; Namun, tantangan psikososial terkait, kekhawatiran spiritual, dan

beban gejala yang tinggi terkait dengan penyakit HIV tidak dapat diremehkan dan

harus ditangani untuk mengoptimalkan perawatan. (Simms V,2011)

27
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas

hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan

penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui

identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-

masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual (KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007).

Menurut KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007 kualitas hidup pasien adalah

keadaan pasien yang dipersepsikan terhadap keadaan pasien sesuai konteks budaya

dan sistem nilai yang dianutnya, termasuk tujuan hidup, harapan, dan niatnya

Pasien terminal illness adalah pasien yang sedang menderita sakit dimana

tingkat sakitnya telah mencapai stadium lanjut sehingga pengobatan medis sudah

tidak mungkin dapat menyembuhkan lagi. Oleh karena itu, pasien terminal illnes

harus mendapatkan perawatan paliatif yang bersifat meredakan gejala penyakit,

namun tidak lagi berfungsi untuk menyembuhkan.

Jadi fungsi perawatan paliatif pada pasien terminal illnes adalah

mengendalikan nyeri yang dirasakan serta keluhan-keluhan lainnya dan

meminimalisir masalah emosi, sosial dan spiritual. Penjelasan tersebut mengindikasi

bahwa pasien terminal illness adalah orang-orang sakit yang diagnosis dengan

penyakit berat yang tidak dapat disembuhkan lagi dimana prognosisnya adalah

kematian.

Kondisi Terminal adalah suatu kondisi dimana seseorang mengalami sakit

atau penyakit yang tidak mempunyai harapan untuk sembuh dan menuju pada proses

kematian dalam 6 bulan atau kurang. Kematian sebagai wujud kehilangan kehidupan

dan abadi sifatnya, baik bagi yang telah menjalani proses kematian maupun bagi yang

ditinggalkan, kematian ini dapat bermakna berbeda bagi setiap orang.

28
Kematian adalah sebuah rahasia Tuhan. Namun, sebab-sebab kematian

merupakan fenomena yang selalu mengalami dinamika perubahan sesuai dengan

dinamika perubahan manusia sebab kematian adalah akhir dari tahapan tugas-tugas

perkembangan hidup manusia. Manusia bias mati karena sakit, kecelakaan, terbunuh,

bunuh diri, euthanasia atau mungkin mati tanpa sebab apa-apa. Manusia yang mati

secara mendadak tanpa melalui proses menuju kematian atau sekarat dalam jangka

waktu yang relative pendek pasti tidak menunjukan dinamika sebagaimana yang

dikemukakan oleh Kubbler Rose (1998) atau Pattison dalam Papalia (1977);

sedangkan mereka yang mati melalui proses menuju kematian dalam jangka waktu

yang relatif panjang seperti pasien erminal illness akan menunjukan dinamika yang

sangat kompleks.

Saat kematian itu datang, maka berhentilah semua aktivitas organ-organ yang

menyokong kehidupan. Suasana berkabung dan emosi sedihlah yang biasa

mendominasi kematian. Semua makhluk yang pernah hidup pasti akan mati, termasuk

manusia. Hanya saja kapan waktu tibanya kematian itulah yang tidak pasti. Ketakutan

dan kecemasan akan suatu kematian merupakan fenomena yang umum dialami oleh

semua manusia. Ketakutan dan kecemasan itu dapat muncul karena waktu tibanya

yang tidak diketahui dan belum adanya kesiapan untuk menghadapi kematian itu

sendiri. Kesiapan akan meninggalkan orang-orang yang disayangi, kesiapan untuk

meninggalkan dunia yang mungkin penuh dengan kenikmatan, dan menuju suatu

tempat atau kehidupan lain yang berbeda.

Hal ini berarti bahwa waktu kematiannya lebih jelas diketahui dan menjadi

suatu hal yang pasti. Meskipun waktu kematian yang sudah dapat dilihat dengan lebih

pasti, namun rasa tidak terima, takut, marah, cemas, dan sedih menghinggapi pasien

29
terminal illness setelah ia didiagnosis seperti itu. Diagnosis terminal illness dapat

menyebabkan trauma bagi pasien dan keluarganya.

A. Tanda dan Gejala

Menurut komunitas AIDS Indonesia (2010), gejala klinis terdiri dari 2 gejala

yaoitu gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi) :

1. Gejala mayor

a. Berat badan menurun leih dari 10% dalam 1 bulan

b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan

c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan

d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis

e. Demam/HIV ensefalopati

2. Gejala minor

a. Batuk menetap lebih dari satu bulan

b. Dermatitis generalisata

c. Adanya herpeszoster multisegmental dan herpes zoster berulang

d. Kandidas orofaringeal

e. Herpes simpleks kronis progresif

f. Limfadenopati generalisata

g. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita

h. Retinitis virus sitomegalo

30
Menurut Anthony (Fauci dan Lane, 2008), gejala klinis HIV/AIDS dapat dibagikan

mengikut fasenya.

1. Fase akut

Sekitar 50-70% penderita HIV/AIDS mengalami fase ini sekitar 3-6 minggu

selepas infeksi primer. Gejala-gejala yang biasanya timbul adalah demam, faringitis,

limpadenopati, sakit kepala, arthtalgia, letargi, malaise, anorexia, penurunan berat

badan, mual, muntah, diare, meningitis, ensefalitis, periferal neuropati, myelopathy,

mucocutaneous ulceration, dan erythematous maculopapular rash. Gejala-gejala ini

muncul bersama dengan ledakan plasma viremia. Tetapi demam, ruam kulit,

faringitis dan mialgia jarang terjadi jika seseorang itu diinfeksi melalui jarum suntik

narkoba daripada kontak seksual. Selepas beberapa minggu gejala-gajala ini akan

hilang akibat respon sistem imun terhadap virus HIV. Sebanyak 70% dari penderita

HIV akan mengalami limfadenopati dalam fase ini yang akan sembuh sendiri.

2. Fase asimptomatik

Fase ini berlaku sekitar 10 tahun jika tidak diobati. Pada fase ini virus HIV

akan bereplikasi secara aktif dan progresif. Tingkat pengembangan penyakit secara

langsung berkorelasi dengan tingkat RNA virus HIV. Pasien dengan tingkat RNA

virus HIV yang tinggi lebih cepat akan masuk ke fase simptomatik daripada pasien

dengan tingkat RNA virus HIV yang rendah.

3. Fase simptomatik

Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah

terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir

pada penyakit yang disebut AIDS.

B. Tahap Berduka

31
Dr.Elisabeth Kublerr-Ross telah mengidentifikasi lima tahap berduka yang dapat

terjadi pada pasien dengan penyakit terminal :

1. Denial ( pengingkaran )

Dimulai ketika orang disadarkan bahwa ia akan meninggal dan dia tidak dapat

menerima informasi ini sebagai kebenaran dan bahkan mungkin mengingkarinya.

2. Anger ( Marah )

Terjadi ketika pasien tidak dapat lagi mengingkari kenyataan bahwa ia akan

meninggal.

3. Bergaining ( tawar-menawar )

Merupakan tahapan proses berduka dimana pasien mencoba menawar waktu untuk

hidup.

4. Depetion ( depresi )

Tahap dimana pasien datang dengan kesadaran penuh bahwa ia akan segera mati.ia

sangat sedih karna memikirkan bahwa ia tidak akan lama lagi bersama keluarga dan

teman-teman.

5. Acceptance ( penerimaan)

Merupakan tahap selama pasien memahami dan menerima kenyataan bahwa ia akan

meninggal. Ia akan berusaha keras untuk menyelesaikan tugas-tugasnya yang belum

terselesaikan.

D. Tipe-tipe Perjalanan Menjelang Kematian

Ada 4 type dari perjalanan proses kematian, yaitu:

1. Kematian yang pasti dengan waktu yang diketahui, yaitu adanya perubahan yang

cepat dari fase akut ke kronik.

32
2. Kematian yang pasti dengan waktu tidak bisa diketahui, baisanya terjadi pada

kondisi penyakit yang kronik.

3. Kematian yang belum pasti, kemungkinan sembuh belum pasti, biasanya terjadi

pada pasien dengan operasi radikal karena adanya kanker.

4. Kemungkinan mati dan sembuh yang tidak tentu. Terjadi pada pasien dengan sakit

kronik dan telah berjalan lama.

E. Paliatif untuk Orang yang Hidup dengan HIV / AIDS1


Sebagaimana didefinisikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Obat paliatif

adalah studi dan manajemen pasien dengan penyakit aktif, progresif, jauh lanjut

untuk siapa prognosisnya terbatas dan fokus perawatan adalah kualitas hidup. [Ini]

perawatan total aktif pasien yang penyakitnya tidak responsif terhadap pengobatan

kuratif. Kontrol rasa sakit, gejala lain, dan masalah psikologis, sosial, dan spiritual,

adalah yang terpenting. Tujuan dari perawatan paliatif adalah pencapaian kualitas

hidup terbaik untuk pasien dan keluarga mereka. Banyak aspek perawatan paliatif

yang berlaku lebih awal dalam perjalanan penyakit, bersamaan dengan perawatan.

Perawatan paliatif:

1. Menegaskan hidup dan menganggap mati sebagai proses normal,

2. Tidak terburu-buru, atau menunda, kematian,

3. Memberikan bantuan dari rasa sakit dan gejala-gejala menyedihkan lainnya,

4. Mengintegrasikan aspek psikologis dan spiritual dari perawatan pasien,

5. Menawarkan sistem pendukung untuk membantu pasien hidup seaktif mungkin

hingga kematian, dan

6. Menawarkan sistem pendukung untuk membantu keluarga mengatasi penyakit

pasien dan dengan kehilangan mereka sendiri.

33
Singkatnya, perawatan paliatif secara komprehensif mengatasi dampak fisik,

emosional, dan spiritual dari penyakit yang mengancam jiwa pada seseorang, tidak

peduli tahap penyakitnya. Ini menempatkan orang sakit dan keluarganya,

bagaimanapun didefinisikan, di pusat perawatan dan secara agresif menangani

semua gejala dan masalah yang dialami oleh mereka. Banyak penyedia layanan

kesehatan menerapkan elemen-elemen tertentu dari pendekatan perawatan perawatan

paliatif - seperti perawatan komprehensif dan manajemen gejala agresif - untuk

perawatan semua pasien mereka, tidak hanya mereka yang sakit parah, menawarkan

jenis perawatan yang kita semua ingin terima ketika kita sakit.

Meskipun bidang tersebut berkembang dari gerakan rumah sakit tahun 1960-

an — yang tujuannya adalah untuk meringankan penderitaan seseorang dengan

penyakit yang tak dapat disembuhkan, daripada sekadar memperpanjang hidupnya

— perawatan paliatif mencakup tujuan tambahan untuk meningkatkan kualitas orang

tersebut. hidup (C.S. Alexander, 2001)

Pendekatan perawatan paliatif dapat digunakan untuk merawat orang dengan

HIV / AIDS di seluruh rangkaian proses penyakit, apakah gejalanya disebabkan oleh

infeksi oportunistik, virus HIV yang mendasarinya, atau efek yang tidak diinginkan

dari perawatan antiretroviral. Dalam memutuskan bagaimana memasukkan

perawatan paliatif ke dalam sistem perawatan HIV / AIDS, orang perlu melihat

melampaui dikotomi tradisional “salah satu / atau” yang sering ada antara perawatan

kuratif dan paliatif (lihat Gambar 1) dan merangkul konsep “keduanya” Perawatan

paliatif meningkatkan perawatan HIV — itu bukan pengganti perawatan medis atau

terapi antiretroviral (ART).

34
Perawatan paliatif merupakan komponen penting dalam merawat orang yang

hidup dengan HIV, terlepas dari tahap penyakit mereka. Bagian pertama

menjelaskan layanan yang terdiri dari perawatan paliatif; yang kedua menjelaskan

elemen-elemen penting yang harus ada agar program perawatan paliatif berhasil; dan

yang ketiga menyajikan berbagai model yang digunakan untuk menyusun program

perawatan paliatif khusus untuk pasien dengan HIV / AIDS.

Layanan Perawatan Paliatif

Penyedia perawatan paliatif peduli dengan berbagai masalah yang dihadapi

oleh orang yang hidup dengan HIV dan keluarga mereka. Komponen perawatan

termasuk manajemen gejala, terutama pengendalian nyeri; dukungan psikososial dan

spiritual; dan, bila dibutuhkan, konseling akhir hidup dan berkabung.

Landasan penting perawatan paliatif adalah mendengarkan. Dokter yang

terlatih dalam pendekatan ini mendengarkan dengan seksama pasien dan keluarga

mereka. Mereka membantu mengidentifikasi dan memprioritaskan masalah dan

35
bekerja dengan pasien dan keluarga sampai masalah ini diselesaikan sebaik

mungkin.

Manajemen gejala

Fokus utama perawatan paliatif adalah manajemen gejala. Para ahli perawatan

paliatif telah belajar bahwa bahkan rasa sakit yang melemahkan biasanya dapat

dikontrol dan bahwa orang-orang dengan rasa sakit dari penyebab yang sulit

ditangani dapat memperoleh bantuan jika diberikan dengan intervensi yang sesuai.

Untuk tujuan ini, opioid sangat penting untuk manajemen nyeri yang tepat dan

program perawatan paliatif tidak lengkap tanpa mereka Tangga Nyeri Analgesik

WHO mengidentifikasi tiga tingkat nyeri; setiap tingkat diobati dengan obat-obatan

yang berpotensi meningkat (lihat Gambar 2) (WHO, 1986)

Langkah 1: Nyeri ringan

Obat-obatan non-opioid, termasuk aspirin, asetaminofen, dan obat

antiinflamasi non-steroid lainnya diberikan, di samping obat adjuvan yang sesuai

(kortikosteroid, antikonvulsan, antidepresan, neuroleptik, anestesi lokal, hidroksizin,

psikostimulan, dll.) Dan perawatan fisik , seperti pijatan atau akupunktur.

36
Langkah 2: Nyeri sedang, atau nyeri ringan yang bertahan atau meningkatkan

obat opioid yang lemah (mis., Kodein) ditambahkan ke rejimen, dan mungkin dosis

obat lain yang lebih tinggi.

Langkah 3: Nyeri hebat, atau nyeri sedang yang bertahan atau meningkatkan

obat-obatan opioid, termasuk morfin, obat nyeri nonopioid, dan obat-obatan ajuvan

digunakan, dalam dosis yang lebih tinggi, lebih sering.

Landasan manajemen nyeri adalah rejimen yang disesuaikan dengan

kebutuhan setiap orang, diberikan dengan rute sesederhana mungkin, dalam dosis

terjadwal pada tingkat yang mencegah kekambuhan, dengan dosis tambahan untuk

rasa sakit "terobosan". Tingkat rasa sakit sekarang dianggap sebagai salah satu tanda

vital tubuh, bersama dengan tekanan darah, denyut nadi, laju pernapasan, dan suhu.

Untuk menstandarkan pengukurannya, alat khusus harus digunakan oleh

semua anggota tim. Skala intensitas nyeri 0-10 adalah alat penilaian sederhana dan

efektif yang tidak memerlukan peralatan apa pun. Pasien diminta untuk menilai

tingkat rasa sakit yang mereka alami dalam skala dari 0 hingga 10, dengan 0 tanpa

rasa sakit dan 10 sebagai rasa sakit terburuk yang bisa dibayangkan. Skor seseorang

dibandingkan dari waktu ke waktu untuk mengevaluasi efektivitas pengobatan dan

untuk mencapai dan mempertahankan kontrol rasa sakit yang optimal. Alat laporan

diri ini dan lainnya telah ditemukan sangat tepat dalam menilai rasa sakit dan

efektivitas pengobatan. Karena opioid adalah obat yang paling efektif untuk

mengurangi atau mengurangi rasa sakit, opioid merupakan andalan penatalaksanaan

nyeri, tetapi banyak dokter yang tidak terlatih tidak menggunakan dosis opioid yang

cukup tinggi untuk meringankan rasa sakit pasien mereka karena mereka takut

menyebabkan kecanduan.

37
Namun, mengobati rasa sakit tidak menyebabkan kecanduan, itu mengurangi

penderitaan dan meningkatkan kualitas hidup Orang dengan HIV menderita berbagai

macam fisik masalah bahkan pada tahap awal infeksi HIV, sehingga manajemen

gejala sangat penting di seluruh rangkaian penyakit. Mengurangi gejala

memungkinkan pasien berfungsi, membebaskan mereka dari pembatasan penyakit

sebanyak mungkin. Beberapa gejala HIV yang paling persisten dan sulit termasuk

kelelahan, dispnea, nyeri umum, penurunan berat badan, anoreksia, kecemasan,

depresi, insomnia, batuk, mual dan muntah, diare, dan sembelit (P.A. Selwyn, 2003)

Mengidentifikasi dan mengobati infeksi seperti kandidiasis oral adalah salah

satu langkah dalam mengendalikan gejala; Namun, itu mungkin bukan satu-satunya.

Seorang dokter perlu terus bekerja dengan pasien jika gejalanya menetap setelah

infeksi telah diobati atau disingkirkan - mencoba yang pertama obat sebelum yang

lain ditemukan. Menerima bahwa pasien mungkin masih menderita bahkan setelah

perawatan yang direkomendasikan telah dicoba dan sedang bersedia untuk terus

bekerja dengan pasien untuk menemukan solusi yang menjadi ciri dokter perawatan

paliatif sejati.

Dukungan psikososial Selain mengatasi penyakit yang mengancam jiwa dan

gejala yang mungkin melemahkan, orang yang hidup dengan HIV harus sering

mengelola perubahan dinamika keluarga, stigma dalam masyarakat, penyakit

anggota keluarga lainnya, kehilangan fungsi fisik mereka sendiri, kehilangan fungsi

fisik mereka sendiri, kehilangan pendapatan , depresi, dan keputusasaan. Bahkan di

komunitas yang secara aktif berkampanye untuk mencegah diskriminasi HIV /

AIDS, orang dengan HIV dan keluarga mereka mengalami stigma. Dalam konteks

ini, dukungan psikososial secara signifikan dapat meningkatkan kualitas hidup

mereka (.R.Montealegre, 2002)

38
Perawatan paliatif yang efektif membutuhkan interdisipliner tim yang

termasuk tidak hanya tenaga medis, tetapi juga orang-orang seperti pekerja sosial,

psikoterapis, dan konselor pastoral yang dilatih untuk memberikan konseling dan

untuk mengatasi masalah kesehatan mental.

Para profesional ini meningkatkan perawatan klinis yang diterima pasien

dengan membantu mereka menangani efek emosional penyakit mereka, serta

lingkungan sosial tempat mereka berfungsi. Dukungan sebaya adalah komponen

vital dari perawatan HIV psikososial. Baik dalam bentuk konseling satu-satu atau

diskusi kelompok, bantuan yang diberikan oleh orang-orang yang diidentifikasi

sendiri yang juga hidup dengan HIV memungkinkan pasien untuk menghilangkan

ketakutan dan stereotip mereka sendiri tentang penyakit ini dan untuk melihat bahwa

orang-orang terus hidup produktif hidup setelah didiagnosis dengan infeksi. Bertemu

seseorang yang hidup dengan HIV secara langsung dapat menjadi pengalaman

positif yang paling penting bagi orang yang baru didiagnosis dan, dalam beberapa

kasus, telah menjadi penyelamat hidup.

Perawatan paliatif tidak dapat diberikan dalam ruang hampa; ketika kebutuhan

dasar seseorang untuk bertahan hidup — keselamatan fisik, perumahan, makanan,

dan pakaian — tidak terpenuhi, semua yang lain menjadi tidak relevan. Seringkali

pekerja sosial tim perawatan paliatif yang memastikan bahwa kebutuhan esensial

pasien ada, berjejaring dengan lembaga masyarakat yang menangani masalah unik

yang dihadapi orang yang rentan.

Program yang menyediakan perawatan paliatif harus dapat bekerja dengan

pemerintah, non-pemerintah (LSM), dan organisasi berbasis agama, serta dengan

komunitas individu dan anggota keluarga, untuk memastikan bahwa pasien aman,

diberi makan, berpakaian, dan ditampung. Di daerah dengan seluruh komunitas

39
orang terlantar atau terpinggirkan secara ekonomi, kebutuhan hidup pasien yang

tidak terpenuhi pada akhirnya dapat merusak kemampuan program untuk

menyediakan komponen lain dari perawatan paliatif.

Banyak orang terinfeksi HIV karena masalah mendasar dengan kecanduan

narkoba, alkoholisme, dan / atau penyakit mental. Penyedia perawatan paliatif perlu

dilatih untuk bekerja dengan orang yang menderita masalah kesehatan perilaku dan

program perawatan paliatif harus siap untuk mengatasi masalah ini, serta untuk

secara aktif berkolaborasi dengan program yang sesuai di masyarakat yang

membantu pasien menangani masalah ini.

Model Perawatan Paliatif

Pada akhirnya, perawatan paliatif hanyalah serangkaian prinsip dan

keterampilan yang dapat disampaikan melalui berbagai model. Beberapa layanan

perawatan paliatif adalah program terpisah dalam suatu komunitas sementara yang

lain bersifat regional atau nasional dan diintegrasikan ke dalam infrastruktur

perawatan primer. Pendekatan paliatif dapat dimasukkan ke dalam program yang

menargetkan populasi tertentu — seperti orang dengan HIV — atau ke dalam

program perawatan kesehatan yang melayani populasi umum. Program perawatan

paliatif dikembangkan untuk melengkapi layanan yang sudah ada dan berfungsi

dalam seluruh sistem perawatan kesehatan.

Kunci keberhasilan program adalah perencanaan yang cermat berdasarkan

penilaian mendalam tentang kebutuhan komunitas atau negara.

Jenis program

Unit perawatan paliatif rawat inap — terletak di rumah sakit akut, fasilitas

perawatan jangka panjang, atau gedung terpisah, kadang-kadang disebut hospice —

adalah salah satu model perawatan. Dalam satu model rawat inap, staf interdisipliner

40
seluruh unit mengkhususkan diri dalam dan menyediakan layanan perawatan paliatif

yang komprehensif, kadang-kadang dengan bantuan keluarga. Model rawat inap

lainnya melibatkan tim penasihat atau konsultasi perawatan paliatif. Di sini, pasien

dirawat di tempat tidur rumah sakit umum oleh dokter perawatan primer mereka,

ahli kanker, atau dokter HIV, dan tim memberikan konsultasi dalam manajemen

nyeri dan gejala, serta paliatif lainnya. kebutuhan perawatan.

Mungkin model yang paling umum, bagaimanapun, adalah program rawat

jalan, berbasis komunitas, di mana tim perawatan paliatif seluler memberikan

layanan kepada pasien di rumah mereka atau saat mereka bergerak dari pengaturan

ke pengaturan.

Integrasi ke dalam perawatan kesehatan primer

Perawatan paliatif diintegrasikan ke dalam perawatan kesehatan primer di

berbagai negara seperti Inggris, Spanyol, dan Uganda.

Pelatihan yang tersebar luas dan penetapan kebijakan dan protokol penting

seperti dijelaskan di atas memungkinkan pendekatan terpadu ini untuk bekerja,

selama ada sumber daya yang memadai, termasuk staf, untuk menyediakan layanan

yang dibutuhkan. Di Spanyol, Program Percontohan Perencanaan dan Implementasi

Perawatan Paliatif Katalonia, sebuah proyek WHO dari tahun 1990-95, telah

mengembangkan jaringan perawatan paliatif luas yang melayani kanker dan pasien

lain yang sakit parah atau kronis. 15

Kapasitas staf dan layanan dalam hal tempat tidur dan jumlah tim perawatan

rumah ditentukan setelah menyelesaikan penilaian kebutuhan yang cermat. Jaringan

ini terdiri dari tim perawatan paliatif yang menyediakan perawatan dan layanan di

rumah, di rumah sakit akut, dan di fasilitas jangka panjang. Berbagai lokasi

perawatan yang tersedia memberi pasien dan keluarganya fleksibilitas untuk

41
memilih pengaturan yang paling sesuai dengan kebutuhan mereka dan kemampuan

untuk bergerak di antara pengaturan ini ketika situasi mereka berubah. Menciptakan

program perawatan paliatif di seluruh pengaturan layanan juga menyelesaikan

masalah komunikasi antara lembaga yang diselenggarakan di bawah otoritas yang

berbeda.

Layanan perawatan paliatif di Eropa Timur

Gerakan perawatan paliatif lambat berkembang di Eropa Timur dan Eurasia,

tetapi pada awal 1990-an hospice dan program perawatan paliatif mulai muncul.

Pada tahun 2002, 23 negara di daerah ini memiliki setidaknya satu rumah sakit atau

layanan perawatan paliatif (D. Clark and M.Wright, 2002). Dengan jumlah total 467

program di wilayah ini. Sebagian besar di antaranya ada di Polandia dan Rusia,

tetapi konsep ini telah menjadi prioritas di banyak negara. Lima program layanan

perawatan paliatif telah diidentifikasi sebagai "suar keunggulan." Terletak di Brasov,

Rumania; Budapest, Hungaria; Poznan dan Warsawa, Polandia; dan St Petersburg,

Rusia, mereka dapat berfungsi sebagai model bagi pembuat kebijakan dan

profesional kesehatan di bagian lain wilayah ini (D. Clark, 2002).

Peran jaringan

Pembentukan asosiasi perawatan rumah sakit paliatif regional atau nasional

dapat berfungsi sebagai katalis penting dan alat komunikasi. Di Spanyol, misalnya,

sejak 1992, Asosiasi Perawatan Paliatif Spanyol (SECPAL; www.secpal.com) telah

memfasilitasi banyak kolaborasi interdisipliner di seluruh negara.18 Ini berfungsi

sebagai direktori sumber daya, menyediakan pelatihan dan pendidikan, dan

membantu orang lain di tingkat nasional. dan tingkat regional untuk

mengembangkan aturan yang tepat untuk meresepkan obat, serta menetapkan

standar dan pedoman untuk mengembangkan perawatan paliatif dan program

42
pendidikan. Selain itu, SECPAL mendidik profesional kesehatan di seluruh negeri

tentang perawatan paliatif. Asosiasi Perawatan Paliatif Hospice Afrika Selatan

(HPCASC) dan Asosiasi Paliatif Perawatan Latvia melayani fungsi yang sama di

masing-masing negara, dan Asosiasi Internasional untuk Perawatan Hospis dan

Paliatif (IAHPC; www.hospicecare.com) menyediakan informasi kontak untuk

nasional dan asosiasi perawatan paliatif regional di seluruh dunia, termasuk banyak

negara Eropa Timur. Semua organisasi ini adalah sumber daya yang baik bagi

masyarakat untuk berubah ketika membangun sistem perawatan paliatif.

E. Pengkajian

Perawat harus memahami apa yang dialami klien dengan kondisi terminal, tujuannya

untuk dapat menyiapkan dukungan dan bantuan bagi klien sehingga pada saat-saat

terakhir dalam hidup bisa bermakna dan akhirnya dapat meninggal dengan tenang dan

damai. Doka (1993) menggambarkan respon terhadap penyakit yang mengancam hidup

kedalam empat fase, yaitu :

1. Fase prediagnostik : terjadi ketika diketahui ada gejala atau factor resiko penyakit

2. Fase akut : berpusat pada kondisi krisis. Klien dihadapkan pada serangkaian

keputusasaan, termasuk kondisi medis, interpersonal, maupun psikologis.

3. Fase kronis : klien bertempur dengan penyakit dan pengobatnnya, Pasti terjadi.

Klien dalam kondisi terminal akan mengalami masalah baik fisik, psikologis

maupun social-spiritual.

Gambaran problem yang dihadapi pada kondisi terminal antara lain :

1. Problem Oksigenisasi : Respirasi irregular, cepat atau lambat, pernafasan cheyne

stokes, sirkulasi perifer menurun, perubahan mental : Agitasi-gelisah, tekanan

darah menurun, hypoksia, akumulasi secret, dan nadi ireguler.

43
2. Problem Eliminasi : Konstipasi, medikasi atau imobilitas memperlambat

peristaltic, kurang diet serat dan asupan makanan jugas mempengaruhi

konstipasi, inkontinensia fekal bisa terjadi oleh karena pengobatan atau kondisi

penyakit (mis Ca Colon), retensi urin, inkopntinensia urin terjadi akibat

penurunan kesadaran atau kondisi penyakit misalnya : Trauma medulla spinalis,

oliguri terjadi seiring penurunan intake cairan atau kondisi penyakit mis gagal

ginjal

3. Problem Nutrisi dan Cairan : Asupan makanan dan cairan menurun, peristaltic

menurun, distensi abdomen, kehilangan BB, bibir kering dan pecah-pecah, lidah

kering dan membengkak, mual, muntah, cegukan, dehidrasi terjadi karena asupan

cairan menurun.

4. Problem suhu : Ekstremitas dingin, kedinginan sehingga harus memakai selimut.

5. Problem Sensori : Penglihatan menjadi kabur, refleks berkedip hilang saat

mendekati kematian, menyebabkan kekeringan pada kornea, Pendengaran

menurun, kemampuan berkonsentrasi menjadi menurun, pendengaran berkurang,

sensasi menurun.

6. Problem nyeri : Ambang nyeri menurun, pengobatan nyeri dilakukan secara

intra vena, klien harus selalu didampingi untuk menurunkan kecemasan dan

meningkatkan kenyamanan.

7. Problem Kulit dan Mobilitas : Seringkali tirah baring lama menimbulkan

masalah pada kulit sehingga pasien terminal memerlukan perubahan posisi yang

sering.

8. Masalah Psikologis : Klien terminal dan orang terdekat biasanya mengalami

banyak respon emosi, perasaaan marah dan putus asa seringkali ditunjukan.

Problem psikologis lain yang muncul pada pasien terminal antara lain

44
ketergantungan, hilang control diri, tidak mampu lagi produktif dalam hidup,

kehilangan harga diri dan harapan, kesenjangan komunikasi atau barrier

komunikasi.

9. Perubahan Sosial-Spiritual : Klien mulai merasa hidup sendiri, terisolasi akibat

kondisi terminal dan menderita penyakit kronis yang lama dapat memaknai

kematian sebagai kondisi peredaan terhadap penderitaan. Sebagian beranggapan

bahwa kematian sebagai jalan menuju kehidupan kekal yang akan

mempersatukannya dengan orang-orang yang dicintai. Sedangkan yang lain

beranggapan takut akan perpisahan, dikuncilkan, ditelantarkan, kesepian, atau

mengalami penderitaan sepanjang hidup.

10. Aktivitas / istirahat

Gejala: Mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap aktivitas biasanya,

progresi kelelahan / malaise, Perubahan pola tidur Tanda: Kelemahan otot,

menurunnya massa otot Respon fisiologis terhadap aktivitas seperti perubahan

dalam TD, frekuensi jantung, pernapasan

11. Sirkulasi

Gejala: Proses penyembuhan luka yang lambat (bila anemia); perdarahan lama

pada cedera (jarang terjadi) Tanda: Takikardia, perubahan TD postural,

Menurunnya volume nadi perifer, Pucat atau sianosis: perpanjangan kapiler

12. Integritas ego

Gejala: Faktor stres yang berhubungan dengan kehilangan, mis: dukungan

keluarga, hubungan dengan orang lain Penghasilan, gaya hidup tertentu dan

stres spiritual Mengkuatirkan penampilan: alopesia, lesi cacat dan menurunnya

BB Mengingkari diagnosa, merasa tidak berdaya, putus asa, tidak berguna, rasa

bersalah Kehilangan kontrol diri dan depresi Tanda: Mengingkari, cemas,

45
defresi, takut, menarik diri Perilaku marah, postur tubuh mengelak, menangis,

dan kontak mata kurang Gagal menepati janji atau banyak janji untuk periksa

dengan gejala yang sama

13. Eliminasi

Gejala: Diare yang intermitten, terus menerus, sering dengan atau tanpa disertai

kram abdominal, Nyeri panggul, rasa terbakar saat miksi Tanda: Feces dengan

atau tanpa disertai mukus dan marah, sering diare pekat, nyeri tekan abdominal,

Lesi atau abses rectal, personal, Perubahan dalam jumlah, warna dan

karakteristik urin

14. Makanan / cairan

Gejala: Anoreksia, perubahan dalam kemampuan mengenali makanan / mual /

muntah Disfagia, nyeri retrostenal saat menelan Penurunan berat bada:

perawakan kurus, menurunnya lemak subkutan / massa otot, turgor kulit buruk,

Lesi pada rongga mulut, adanya selaputnya putih dan perubahan warna

Kesehatan gigi / gusi yang buruk, adanya gigi yang tanggal Edema (umum,

dependen)

15. Higiene

Gejala: Tidak dapat menyelesaikan aktivitas Tanda: Memperlihatkan penampila

yang kurang rapi, Kekurangan dalam banyak atau perawatan diri, aktivitas

perawatan diri

16. Neurosensori

Gejala: Pusing, pening / sakit kepala, perubahan status mental. Kehilangan

ketajaman atau kemampuan diri untuk mengatasi masalah, tidak mampu

mengingat dan konsentrasi menurun, Kerusakan sensasi atau indera posisi dan

getaran Klemahan otot, tremor dan perubahan ketajaman penglihatan Kebas,

46
kesemutan pada ekstremitas (kaki tampak menunjukkan perubahan paling awal)

Tanda: Perubahan status mental dan rentang antara kacau mental sampai

dimensia, lupa, konsentrasi buruk, tingkat kesadaran menurun, apatis, retardasi

psikomotor / respon melambat Ide paranoid, ansietas yang berkembang bebas,

harapan yang tidak realistis Timbul refleksi tidak normal, menurunnya kekuatan

otot dan gaya berjalan ataksia Tremor pada motorik kasar / halus, menurunnya

motorik 8 Vocalis: hemi paresis; kejang Hemoragi retina dan eksudat

17. Nyeri / kenyamanan

Gejala: Nyeri umum atau local, sakit, rasa terbakar pada kaki Sakit kepala

(keterlibatan ssp) Nyeri dada pleuritis Tanda: Pembengkakan pada sendi, nyeri

pada kelenjar, nyeri tekan Penurunan rentang gerak, perubahan gaya berjalan /

pincang Gerak otot melindungi bagian yang sakit

18. Pernapasan

Gejala: Isksering, menetap Napas pendek yang progresif Batuk (sedang sampai

parah), produktif / non produktif sputum (tanda awal dari adanya PCP mungkin

batuk spasmodic saat napas dalam) Bendungan atau sesak dada Tanda:

Takipnea, distres pernapasan Perubahan pada bunyi napas / bunyi napas

adventisius Sputum: kuning (pada pneumonia yang menghasilkan sputum)

19. Keamanan

Gejala: Riwayat jatuh, terbakar, pingsan, luka yang lambat proses

penyembuhannya Riwayat menjalani transfusi darah yang sering atau berulang

(mis: hemofilia, operasi vaskuler mayor, insiden traumatis) Riwayat penyakit

defisiensi imun, yakni kanker tahap lanjut Riwayat / berulangnya infeksi dengan

PHS Demam berulang; suhu rendah, peningkatan suhu intermitten / memuncak;

berkeringat malam Tanda: Perubahan integritas kulit: terpotong, ruam mis:

47
ekzema, eksantem, psoriasis, perubahan warna / ukuran mola; mudah terjadi

memar yang tidak dapat dijelaskan sebabnya Rektum, luka-luka perianal atau

abses Timbulnya nodul-nodul, pelebaran kelenjar limfe pada 2 area tubuh atau

lebih (mis: leher, ketiak, paha) Menurunnya kekuatan umum, tekanan otot,

perubahan pada gaya berjalan

20. Seksualitas

Gejala: Riwayat perilaku beresiko tinggi yakni mengadakan hubungan seksual

dengan pasangan yang positif HIV, pasangan seksual multipel, aktivitas seksual

yang tidak terlindung dan seks anal Menurunnya libido, terlalu sakit untuk

melakukan hubungan seks Penggunaan kondom yang tidak konsisten

Menggunakan pil pencegah kehamilan (meningkatkan kerentanan terhadap virus

pada wanita yang diperkirakan dapat karena peningkatan kekurangan (pribilitas

vagina) Tanda: Kehamilan atau resiko terhadap hamil.

21. Genetalia:

Manifestasi kulit (mis: herpes, kulit); rabas.

22. Interaksi sosial

Gejala: Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis, mis: kehilangan kerabat /

orang terdekat, teman, pendukung, rasa takut untuk mengungkapkannya pada

orang lain, takut akan penolakan / kehilangan pendapatan Isolasi, kesepian,

teman dekat ataupun pasangan seksual yang meninggal akibat AIDS

Mempertanyakan kemampuan untuk tetap mandiri, tidak mampu membuat

rencana Tanda: Perubahan pada interaksi keluarga / orang terdekat Aktivitas

yang tidak terorganisasi, perubahan penyusunan tujuan

48
23. Penyuluhan / pembelajaran

Gejala: Kegagalan untuk mengikuti perawatan, melanjutkan perilaku beresiko

tinggi (mis: seksual ataupun penggunaan obat-obatan IV) Penggunaan /

penyalahgunaan obat-obatan IV, saat ini merokok, penyalahgunaan alkohol.

Pertimbangan rencana pemulangan: Memerlukan bantuan keuangan, obat-

obatan / tindakan, perawatan kulit / luka, peralatan / bahan; trasportasi, belanja

makanan dan persiapan perawatan diri, prosedur keperawatan teknis, tugas

perawatan / pemeliharaan rumah, perawatan anak, perubahan fasilitas hidup.

Faktor-faktor yang perlu dikaji :

1. Faktor Fisik

Pada kondisi terminal atau menjelang ajal klien dihadapkan pada berbagai

masalah pada fisik. Gejala fisik yang ditunjukan antara lain perubahan pada

penglihatan, pendengaran, nutrisi, cairan, eliminasi, kulit, tanda-tanda vital,

mobilisasi, nyeri.

Perawat harus mampu mengenali perubahan fisik yang terjadi pada klien,

klien mungkin mengalami berbagai gejala selama berbulan-bulansebelum terjadi

kematian. Perawat harus respek terhadap perubahan fisik yang terjadi pada klien

terminal karena hal tersebut menimbulkan ketidaknyamanan dan penurunan

kemampuan klien dalam pemeliharaan diri.

2. Faktor Psikologis

Perubahan Psikologis juga menyertai pasien dalam kondisi terminal. Perawat

harus peka dan mengenali kecemasan yang terjadi pada pasien terminal, harus bisa

mengenali ekspresi wajah yang ditunjukan apakah sedih, depresi, atau marah.

Problem psikologis lain yang muncul pada pasien terminal antara lain

49
ketergantungan, kehilangan harga diri dan harapan. Perawat harus mengenali

tahap-tahap menjelang ajal yang terjadi pada klien terminal.

3. Faktor Sosial

Perawat harus mengkaji bagaimana interaksi pasien selama kondisi terminal,

karena pada kondisi ini pasien cenderung menarik diri, mudah tersinggung, tidak

ingin berkomunikasi, dan sering bertanya tentang kondisi penyakitnya.

Ketidakyakinan dan keputusasaan sering membawa pada perilaku isolasi. Perawat

harus bisa mengenali tanda klien mengisolasi diri, sehingga klien dapat

memberikan dukungan social bisa dari teman dekat, kerabat/keluarga terdekat

untuk selalu menemani klien.

4. Faktor Spiritual

Perawat harus mengkaji bagaimana keyakinan klien akan proses kematian,

bagaimana sikap pasien menghadapi saat-saat terakhirnya. Apakah semakin

mendekatkan diri pada Tuhan ataukah semakin berontak akan keadaannya. Perawat

juga harus mengetahui disaat-saat seperti ini apakah pasien mengharapkan

kehadiran tokoh agama untuk menemani disaat-saat terakhirnya.

5. Konsep dan prinsip etika, norma, budaya dalam pengkajian Pasien Terminal

Nilai, sikap, keyakinan, dan kebiasaan adalah aspek cultural atau budaya yang

mempengaruhi reaksi klien menjelang ajal. Latar belakang budaya mempengaruhi

individu dan keluarga mengekspresikan berduka dan menghadapi kematian atau

menjelang ajal. Perawat tidak boleh menyamaratakan setiap kondisi pasien

terminal berdasarkan etika, norma, dan budaya, sehingga reaksi menghakimi harus

dihindari.

6. Keyakinan spiritual mencakup praktek ibadah, ritual harus diberi dukungan.

Perawat harus mampu memberikan ketenangan melalui keyakinan-keyakinan

50
spiritual. Perawat harus sensitive terhadap kebutuhan ritual pasien yang akan

menghadapi kematian, sehingga kebutuhan spiritual klien menjelang kematian

dapat terpenuhi.

F. Saat Memulai Terapi ARV

Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4

(bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut

adalah untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi

antiretroviral atau belum. Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi

ARV pada ODHA dewasa.

a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4

Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV adalah

didasarkan pada penilaian klinis.

b. Tersedia pemeriksaan CD4

Rekomendasi :

1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3

tanpa memandang stadium klinisnya.

2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan

koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.

3. Memulai Terapi ARV pada Keadaan Infeksi Oportunistik (IO) yang Aktif

Infeksi oportunistik dan penyakit terkait HIV lainnya yang perlu

pengobatan atau diredakan sebelum terapi ARV dapat dilihat dalam tabel

di bawah ini.
51
Tabel 7. Tatalaksana IO sebelum memulai terapi ARV

Jenis Infeksi Opportunistik Rekomendasi

Progresif Multifocal

Leukoencephalopathy, ARV diberikan langsung setelah

Sarkoma Kaposi, Mikrosporidiosis,

CMV, diagnosis infeksi ditegakkan

Kriptosporidiosis

ARV diberikan setidaknya 2 minggu

setelah pasien mendapatkan

Tuberkulosis, PCP, Kriptokokosis, MAC

pengobatan infeksi opportunistik

Paduan ARV Lini Pertama yang Dianjurkan

Pemerintah menetapkan paduan yang digunakan dalam pengobatan ARV

berdasarkan pada 5 aspek yaitu:

• Efektivitas

• Efek samping / toksisitas

• Interaksi obat

• Kepatuhan

• Harga obat

Prinsip dalam pemberian ARV adalah

52
1.Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan berada

dalam dosis terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin efektivitas

penggunaan obat.

2.Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan mendekatkan

akses pelayanan ARV .

3.Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan

manajemen logistik yang baik.

1. Anjuran Pemilihan Obat ARV Lini Pertama

Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah:

2 NRTI + 1 NNRTI

Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari paduan di bawah ini:

AZT + 3TC + NVP (Zidovudine + Lamivudine + ATAU

Nevirapine)

AZT + 3TC + EFV (Zidovudine + Lamivudine + ATAU

Efavirenz)

TDF + 3TC (atau FTC) + (Tenofovir + Lamivudine (atau ATAU

NVP Emtricitabine) + Nevirapine)

TDF + 3TC (atau FTC) + (Tenofovir + Lamivudine (atau

53
Emtricitabine) + Efavirenz)

EFV

Paduan Lini Pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa yang

belum pernah mendapat terapi ARV (treatment-naïve)

Pilihan yang

Populasi Target Catatan

Direkomendasikan

Dewasa dan anak AZT atau TDF + 3TC Merupakan pilihan paduan yang sesuai

(atau FTC) + EFV atau untuk sebagian besar pasien

NVP Gunakan FDC jika tersedia

AZT + 3TC + EFV

Perempuan hamil atau Tidak boleh menggunakan EFV pada

NVP trimester pertama

TDF bisa merupakan pilihan

Ko-infeksi

HIV/TB AZT atau TDF + 3TC Mulai terapi ARV segera setelah terapi

(FTC) + EFV TB dapat ditoleransi (antara 2 minggu

hingga 8 minggu)

54
Gunakan NVP atau triple NRTI bila

EFV

tidak dapat digunakan

TDF + 3TC (FTC) +

Ko-infeksi EFV Pertimbangkan pemeriksaan HBsAg

terutama bila TDF merupakan paduan

HIV/Hepatitis B atau NVP lini

pertama. Diperlukan penggunaan 2

kronik aktif ARV

yang memiliki aktivitas anti-HBV

Berbagai pertimbangan dalam penggunaan dan pemilihan Paduan

terapi ARV

1. Memulai dan Menghentikan Non-Nucleoside Reverse

Transcriptase Inhibitor (NNRTI)

Nevirapine dimulai dengan dosis awal 200 mg setiap 24 jam selama 14 hari

pertama dalam paduan ARV lini pertama bersama AZT atau TDF + 3TC. Bila

tidak ditemukan tanda toksisitas hati, dosis dinaikkan menjadi 200 mg setiap 12

jam pada hari ke-15 dan selanjutnya. Mengawali terapi dengan dosis rendah

tersebut diperlukan karena selama 2 minggu pertama terapi NVP menginduksi

metabolismenya sendiri. Dosis awal tersebut juga mengurangi risiko terjadinya

ruam dan hepatitis oleh karena NVP yang muncul dini.

55
Bila NVP perlu dimulai lagi setelah pengobatan dihentikan selama lebih

dari 14 hari, maka diperlukan kembali pemberian dosis awal yang rendah

tersebut.

Cara menghentikan paduan yang mengandung NNRTI

Hentikan NVP atau EFV

Teruskan NRTI (2 obat ARV saja) selama 7 hari setelah penghentian

Nevirapine dan Efavirenz, (ada yang menggunakan 14 hari setelah

penghentian Efavirenz) kemudian hentikan semua obat. Hal tersebut guna

mengisi waktu paruh NNRTI yang panjang dan menurunkan risiko resistensi

NNR

56
Penggunaan NVP dan EFV

NVP dan EFV mempunyai efikasi klinis yang setara

Ada perbedaan dalam profil toksisitas, potensi interaksi

dengan obat lain, dan harga

NVP berhubungan dengan insidensi ruam kulit, sindrom

Steven-Johnson dan hepatotosksisitas yang lebih tinggi

dibanding EFV.

Dalam keadaan reaksi hepar atau kulit yang berat maka NVP

harus dihentikan dan tidak boleh dimulai lagi

Gunakan NVP atau PI untuk ibu hamil trimester 1 atau triple

NRTI jika NVP dan PI tidak dapat digunakan. Triple NRTI

hanya diberikan selama 3 bulan lalu dikembalikan kepada

paduan lini pertama

Perlu kehati-hatian penggunaan NVP pada perempuan dengan

CD4 >250 sel/mm3 atau yang tidak diketahui jumlah CD4-nya

dan pada laki-laki dengan jumlah CD4 >400 sel/mm3 atau

yang tidak diketahui jumlah CD4-nya.

Perlu dilakukan lead-in dosing pada penggunaan NVP, yaitu

diberikan satu kali sehari selama 14 hari pertama kemudian

dilanjutkan dengan 2 kali sehari.

EFV dapat digunakan sekali sehari dan biasanya ditoleransi

dengan baik, hanya saja biayanya lebih mahal dan kurang

banyak tersedia dibandingkan NVP

57
Toksisitas utama EFV adalah berhubungan dengan sistem

saraf pusat (SSP) dan ada kemungkinan (meski belum terbukti

kuat) bersifat teratogenik bila diberikan pada trimester 1

(tetapi tidak pada triemester dua dan tiga) dan ruam kulit yang

biasanya ringan dan hilang sendiri tanpa harus menghentikan

obat. Gejala SSP cukup sering terjadi, dan meskipun biasanya

hilang sendiri dalam 2-4 minggu, gejala tersebut dapat

bertahan beberapa bulan dan sering menyebabkan penghentian

obat oleh pasien

EFV perlu dihindari pada pasien dengan riwayat penyakit

psikiatrik berat, pada perempuan yang berpotensi hamil dan

pada kehamilan trimester pertama.

EFV merupakan NNRTI pilihan pada keadaan ko-infeksi

TB/HIV yang mendapat terapi berbasis Rifampisin.

Dalam keadaan penggantian sementara dari NVP ke EFV

selama terapi TB dengan Rifampisin dan akan mengembalikan

ke NVP setelah selesai terapi TB maka tidak perlu dilakukan

lead-in dosing

58
2. Pilihan pemberian Triple NRTI

Regimen triple NRTI digunakan hanya jika pasien tidak dapat

menggunakan obat ARV berbasis NNRTI, seperti dalam keadaan

berikut:

• Ko-infeksi TB/HIV, terkait dengan interaksi terhadap Rifampisin

• Ibu Hamil, terkait dengan kehamilan dan ko-infeksi TB/HIV

• Hepatitis, terkait dengan efek hepatotoksik karena

NVP/EFV/PI Anjuran paduan triple NRTI yang dapat

dipertimbangkan adalah

AZT+3TC +TDF

Penggunaan Triple NRTI dibatasi hanya untuk 3 bulan

lamanya, setelah itu pasien perlu di kembalikan pada penggunaan lini

pertama karena supresi virologisnya kurang kuat.

3. Penggunaan AZT dan TDF

AZT dapat menyebabkan anemi dan intoleransi gastrointestinal

Indeks Massa Tubuh (IMT / BMI = Body Mass Index) dan

jumlah CD4 yang rendah merupakan faktor prediksi

terjadinya anemi oleh penggunaan AZT

59
Perlu diketahui faktor lain yang berhubungan dengan

anemi, yaitu antara lain malaria, kehamilan, malnutrisi dan

stadium HIV yang lanjut

TDF dapat menyebabkan toksisitas ginjal. Insidensi

nefrotoksisitas dilaporkan antara 1% sampai 4% dan angka

Sindroma Fanconi sebesar 0.5% sampai 2%

TDF tidak boleh digunakan pada anak dan dewasa muda

dan sedikit data tentang keamanannya pada kehamilan

4. TDF juga tersedia dalam sediaan FDC (TDF+FTC) dengan pemberian

satu kali sehari yang lebih mudah diterima ODHA

Perihal Penggunaan d4T

Stavudin (d4T) merupakan ARV dari golongan NRTI yang poten dan

telah digunakan terutama oleh negara yang sedang berkembang dalam

kurun waktu yang cukup lama. Keuntungan dari d4T adalah tidak

membutuhkan data laboratorium awal untuk memulai serta harganya

yang relatif sangat terjangkau dibandingkan dengan NRTI yang lain

seperti Zidovudin (terapi ARV), Tenofovir (TDF) maupun Abacavir

(ABC). Namun dari hasil studi didapat data bahwa penggunaan d4T,

mempunyai efek samping permanen yang bermakna, antara lain

lipodistrofi dan neuropati perifer yang menyebabkan cacat serta laktat

asidosis yang menyebabkan kematian.

60
Efek samping karena penggunaan d4T sangat berkorelasi

dengan lama penggunaan d4T (semakin lama d4T digunakan semakin

besar kemungkinan timbulnya efek samping). WHO dalam pedoman

tahun 2006 merekomendasikan untuk mengevaluasi penggunaan d4T

setelah 2 tahun dan dalam pedoman pengobatan ARV untuk dewasa

tahun 2010 merekomendasikan untuk secara bertahap mengganti

penggunaan d4T dengan Tenofovir (TDF).

Berdasarkan kesepakatan dengan panel ahli, maka pemerintah

memutuskan sebagai berikut:

• Menggunakan AZT atau TDF pada pasien yang baru memulai

terapi dan belum pernah mendapat terapi ARV sebelumnya

• Pada pasien yang sejak awal menggunakan d4T dan tidak dijumpai

efek samping dan/atau toksisitas maka direkomendasikan untuk

diganti setelah 6 bulan

• Jika terjadi efek samping akibat penggunaan AZT (anemia), maka

sebagai obat substitusi gunakan TDF.

• Pada saat sekarang penggunaan Stavudin (d4T) dianjurkan untuk

dikurangi karena banyaknya efek samping. Secara nasional

dilakukan penarikan secara bertahap (phasing out) dan mendatang

tidak menyediakan lagi d4T setelah stok nasional habis.

61
5. Penggunaan Protease Inhibitor (PI)

Obat ARV golongan Protease Inhibitor (PI) TIDAK dianjurkan

untuk terapi Lini Pertama, hanya digunakan sebagai Lini Kedua.

Penggunaan pada Lini Pertama hanya bila pasien benar-benar

mengalami Intoleransi terhadap golongan NNRTI (Efavirenz atau

Nevirapine). Hal ini dimaksudkan untuk tidak menghilangkan

kesempatan pilihan untuk Lini Kedua. mengingat sumber daya yang

masih terbatas

6. Paduan Obat ARV yang Tidak

Dianjurkan

Tabel 9. Paduan ARV yang tidak

dianjurkan

Paduan ARV Alasan tidak dianjurkan

Mono atau dual terapi untuk Cepat menimbulkan resisten

pengobatan infeksi HIV

kronis

d4T + AZT Antagonis (menurunkan khasiat kedua obat)

d4T + ddI Toksisitas tumpang tindih (pankreatitis, hepatitis

62
dan

lipoatrofi)

Pernah dilaporkan kematian pada ibu hamil

Bisa saling menggantikan tapi tidak boleh

3TC + FTC digunakan

secara bersamaan

TDF + 3TC + ABC atau Paduan tersebut meningkatkan mutasi K65R dan

terkait dengan seringnya kegagalan virologi secara

TDF + 3TC + ddI

Dini

TDF + ddI + NNRTI

manapun Seringnya kegagalan virologi secara dini

F. Kepatuhan

Kepatuhan atau adherence pada terapi adalah sesuatu keadaan dimana

pasien mematuhi pengobatannya atas dasar kesadaran sendiri, bukan

hanya karena mematuhi perintah dokter. Hal ini penting karena

diharapkan akan lebih meningkatkan tingkat kepatuhan minum obat.

Adherence atau kepatuhan harus selalu dipantau dan dievaluasi secara

63
teratur pada setiap kunjungan. Kegagalan terapi ARV sering diakibatkan

oleh ketidak-patuhan pasien mengkonsumsi ARV. .

Untuk mencapai supresi virologis yang baik diperlukan tingkat

kepatuhan terapi ARV yang sangat tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa

untuk mencapai tingkat supresi virus yang optimal, setidaknya 95% dari

semua dosis tidak boleh terlupakan. Resiko kegagalan terapi timbul jika

pasien sering lupa minum obat. Kerjasama yang baik antara tenaga

kesehatan dengan pasien serta komunikasi dan suasana pengobatan yang

konstruktif akan membantu pasien untuk patuh minum obat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi atau faktor prediksi kepatuhan:

1. Fasilitas layanan kesehatan. Sistem layanan yang berbelit, sistem

pembiayaan kesehatan yang mahal, tidak jelas dan birokratik adalah

penghambat yang berperan sangat signifikan terhadap kepatuhan, karena

hal tersebut menyebabkan pasien tidak dapat mengakses layanan

kesehatan dengan mudah. Termasuk diantaranya ruanga yang nyaman,

jaminan kerahasiaan dan penjadwalan yang baik, petugas yang ramah dan

membantu pasien.

2.Karakteristik Pasien. Meliputi faktor sosiodemografi (umur, jenis kelamin,

ras / etnis, penghasilan, pendidikan, buta/melek huruf, asuransi kesehatan,

dan asal kelompok dalam masyarakat misal waria atau pekerja seks

komersial) dan faktor psikososial (kesehatan jiwa, penggunaan napza,

64
lingkungan dan dukungan sosial, pengetahuan dan perilaku terhadap HIV

dan terapinya).

3.Paduan terapi ARV. Meliputi jenis obat yang digunakan dalam paduan,

bentuk paduan (FDC atau bukan FDC), jumlah pil yang harus diminum,

kompleksnya paduan (frekuensi minum dan pengaruh dengan makanan),

karakteristik obat dan efek samping dan mudah tidaknya akses untuk

mendapatkan ARV.

4.Karakteristik penyakit penyerta. Meliputi stadium klinis dan lamanya

sejak terdiagnosis HIV, jenis infeksi oportunistik penyerta, dan gejala

yang berhubungan dengan HIV. Adanya infeksi oportunistik atau

penyakit lain menyebabkan penambahan jumlah obat yang harus

diminum.

5.Hubungan pasien-tenaga kesehatan. Karakteristik hubungan pasien-

tenaga kesehatan yang dapat mempengaruhi kepatuhan meliputi:

kepuasan dan kepercayaan pasien terhadap tenaga kesehatan dan staf

klinik, pandangan pasien terhadap kompetensi tenaga kesehatan,

komunikasi yang melibatkan pasien dalam proses penentuan keputusan,

nada afeksi dari hubungan tersebut (hangat, terbuka, kooperatif, dll) dan

kesesuaian kemampuan dan kapasitas tempat layanan dengan kebutuhan

pasien

Sebelum memulai terapi, pasien harus memahami program terapi ARV

beserta konsekuensinya. Proses pemberian informasi, konseling dan

dukungan kepatuhan harus dilakukan oleh petugas (konselor dan/atau

65
pendukung sebaya/ODHA). Tiga langkah yang harus dilakukan untuk

meningkatkan kepatuhan antara lain:

Langkah 1: Memberikan informasi

Klien diberi informasi dasar tentang pengobatan ARV, rencana terapi,

kemungkinan timbulnya efek samping dan konsekuensi ketidakpatuhan.

Perlu diberikan informasi yang mengutamakan aspek positif dari pengobatan

sehingga dapat membangkitkan komitmen kepatuhan berobat.

Langkah 2: Konseling perorangan

Petugas kesehatan perlu membantu klien untuk mengeksplorasi kesiapan

pengobatannya. Sebagian klien sudah jenuh dengan beban keluarga atau

rumah tangga, pekerjaan dan tidak dapat menjamin kepatuhan berobat.

Sebagian klien tidak siap untuk membuka status nya kepada orang lain.

Hal ini sering mengganggu kepatuhan minum ARV, sehingga sering

menjadi hambatan dalam menjaga kepatuhan. Ketidak siapan pasien bukan

merupakan dasar untuk tidak memberikan ARV, untuk itu klien perlu

didukung agar mampu menghadapi kenyataan dan menentukan siapa yang

perlu mengetahui statusnya.

Langkah 3: Mencari penyelesaian masalah praktis dan membuat rencana

terapi.

Setelah memahami keadaan dan masalah klien, perlu dilanjutkan dengan

diskusi untuk mencari penyelesaian masalah tersebut secara bersama dan

66
membuat perencanaan praktis. Hal-hal praktis yang perlu didiskusikan antara

lain:

Di mana obat ARV akan disimpan?

Pada jam berapa akan diminum?

Siapa yang akan mengingatkan setiap hari untuk minum obat?

Apa yang akan diperbuat bila terjadi penyimpangan kebiasaan sehari-hari?

Harus direncanakan mekanisme untuk mengingatkan klien berkunjung

dan mengambil obat secara teratur sesuai dengan kondisi pasien.

Perlu dibangun hubungan yang saling percaya antara klien dan petugas

kesehatan. Perjanjian berkala dan kunjungan ulang menjadi kunci

kesinambungan perawatan dan pengobatan pasien. Sikap petugas yang

mendukung dan peduli, tidak mengadili dan menyalahkan pasien, akan

mendorong klien untuk bersikap jujur tentang kepatuhan makan obatnya.

Kesiapan Pasien Sebelum Memulai Terapi ARV

Menelaah kesiapan pasien untuk terapi ARV. Mempersiapan pasien

untuk memulai terapi ARV dapat dilakukan dengan cara:

1. Mengutamakan manfaat minum obat daripada membuat pasien takut

minum obat dengan semua kemunginan efek samping dan kegagalan

pengobatan.

67
2. Membantu pasien agar mampu memenuhi janji berkunjung ke klinik

3. Mampu minum obat profilaksis IO secara teratur dan tidak

terlewatkan

4. Mampu menyelesaikan terapi TB dengan sempurna.

5. Mengingatkan pasien bahwa terapi harus dijalani seumur hidupnya.

6. Jelaskan bahwa waktu makan obat adalah sangat penting, yaitu kalau

dikatakan dua kali sehari berarti harus ditelan setiap 12 jam.

7. Membantu pasien mengenai cara minum obat dengan menyesuaikan

kondisi pasien baik kultur, ekonomi, kebiasaan hidup (contohnya jika

perlu disertai dengan banyak minum wajib menanyakan sumber air,

dll).

8. Membantu pasien mengerti efek samping dari setiap obat tanpa

membuat pasien takut terhadap pasien, ingatkan bahwa semua obat

mempunyai efek samping untuk menetralkan ketakutan terhadap ARV.

9. Tekankan bahwa meskipun sudah menjalani terapi ARV harus tetap

menggunakan kondom ketika melakukan aktifitas seksual atau

menggunakan alat suntik steril bagi para penasun.

10. Sampaikan bahwa obat tradisional (herbal) dapat berinteraksi dengan

obat ARV yang diminumnya. Pasien perlu diingatkan untuk

komunikasi dengan dokter untuk diskusi dengan dokter tentang obat-

obat yang boleh terus dikonsumsi dan tidak.

11. Menanyakan cara yang terbaik untuk menghubungi pasien agar dapat

memenuhi janji/jadwal berkunjung.

68
12. Membantu pasien dalam menemukan solusi penyebab ketidak

patuhan tanpa menyalahkan pasien atau memarahi pasien jika lupa

minum obat.

13. Mengevaluasi sistem internal rumah sakit dan etika petugas dan aspek

lain diluar pasien sebagai bagian dari prosedur tetap untuk evaluasi

ketidak patuhan pasien.

Unsur Konseling untuk Kepatuhan Berobat

14. Membina hubungan saling percaya dengan pasien

15. Memberikan informasi yang benar dan mengutamakan manfaat postif

dari ARV

16. Mendorong keterlibatan kelompok dukungan sebaya dan membantu

menemukan seseorang sebagai pendukung berobat

17. Mengembangkan rencana terapi secara individual yang sesuai dengan

gaya hidup sehari-hari pasien dan temukan cara yang dapat digunakan

sebagai pengingat minum obat

18. Paduan obat ARV harus disederhanakan untuk mengurangi jumlah pil

yang harus diminum dan frekuensinya (dosis sekali sehari atau dua

kali sehari), dan meminimalkan efek samping obat.

19. Penyelesaian masalah kepatuhan yang tidak optimum adalah

tergantung dari faktor penyebabnya

69
Kepatuhan dapat dinilai dari laporan pasien sendiri, dengan menghitung

sisa obat yang ada dan laporan dari keluarga atau pendamping yang

membantu pengobatan. Konseling kepatuhan dilakukan pada setiap

kunjungan dan dilakukan secara terus menerus dan berulang kali dan perlu

dilakukan tanpa membuat pasien merasa bosan.

F. DiagnosaKeperawatan

1. Biologi :

- ketidakefektifan termogulasi b.d penurunan imunitas Tubuh

- katidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d penurunan

asupan oral

- intoleransi aktivitas b.d keadaan mudah letih, kelemahan,

malnutrisi dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit

2. Psikologi :

- ansietas b.d ancaman nyata terhadap kesejahteraan diri

- harga diri rendah b.d penyakit kronis, krisis stuasional

3. Social :

- isolasi soaial b.d stigma, ketakutan orang lain terhadap

penyebaran infeksi

- Tidak efektifnya mekanisme koping keluarga b.d kemampuan

dalam mengaktualisasi diri

4. Spiritual :

- distress spiritual b.d penyakit infeksi kronis

70
G. IntervensiKeperawatan

NO Diagnosa Tujuan dan criteria hasil Intervensi


keperawatan
1 Ketidakefektifan NOC : NIC :
termoregulasi 1. Hidration Temperature regulation
2. Adherence (pengaturansuhu)
Behavior 1.1 Monitor suhutubuh
3. Immune status minimal tiap 2 jam
4. Risk control 1.2 Rencanakan
5. Risk detection monitor
suhusecara
continue
KriteriaHasil : 1.3 Monitor TD, nadi,
- Keseimbanganantarapr RR
oduksipanas, panas 1.4 Monitor
yang diterima, warnadansuhukulit
dankehilanganpanas. 1.5 Monitor tanda-
- Seimbangantaraproduk tandahipotermidan
sipanas, panas yang hipertermi
diterima, 1.6 Tingkatkan intake
dankehilanganpanas cairandannutrisi
selama 28 1.7 Selimutipasienuntu
haripertamakehidupan. kmencegahhilangn
- Keseimbanganasamba yakehangatantubu
sabayibarulahir h
- Temperature stabil : 1.8 Ajarkanpadapasien
36,5-37 C caramencegahkelet
- Tidakadakejang ihanakibatpanas
- Tidakadaperubahanwa 1.9 Diskusikantentang
rnakulit pentingnyapengatu
- Glukosadarahstabil ransuhudan
- Pengendalianrisiko : kemungkinan efek
hipertermia negative
- Pengendalianrisiko: dankedinginan
hyporthermia 1.10 Beritahutentangind
- Pengendalianrisiko: ikasiterjadinyakele
Proses menular tihandanpenangana
- Pengendianrisiko: n emergency yang
paparansinarmatahari diperlukan
1.11 Ajarkanindikasidar
ihipotermidanpena
nganan yang

71
diperlukan
1.12 Berikan anti
piretikjikaperlu

2 Ketidakseimban Setelahdilakukantindakan 2.1 Kaji adanya alergi


gannutrisikurang keperawatan selama 3x24 makanan
darikebutuhanb.d jam 2.2 Monitor adanya
penurunanasupa diharapkannutrisikurangte penurunan berat badan
n oral ratasi dengan kriteria 2.3 Yakinkan diet yang
hasil: dimakan mengandung
- - tinggi serat untuk
Adanyapeningkatanber mencegah konstipasi
atbadansesuaidengantu 2.4 Berikaninformasitenta
juan ngkebutuhaninformasi
- -Beratbadan ideal 2.5 Kolaborasidenganahli
sesuaidengantinggibad giziuntukmenentukanj
an umlahkaloridannutrisi
- Tidakadatanda- yang
tandamalnutrisi dibutuhkanpasien
- menunjukkanpenigkat
anfungsipengecapanda
nmenelan
- Tidakterjadipenurunan
beratbadan yang
berarti

3 Intoleransi Setelah dilakukan 3.1 Bantu klien untuk


aktivitas b.d tindakan keperawatan mengidentifikasi
keadaan mudah selama 3x24 jam aktivitas yang mampu
letih, kelemahan, diharapkan Pasien dilakukan
malnutrisi bertoleransi terhadap 3.2 Bantu klien untuk
dangan aktivtas dengan kriteria membuat jadwal
gangguan hasil: latihan diwaktu luang.
keseimbangan - Berpartisipasi dalam 3.3 Sediakan penguatan
cairan dan aktivitas fisik tanpa yang positif bagi yang
elektroit disertai peningkatan aktif beraktivitas
tekanan darah, nadi 3.4 Monitor responfisik,
dan RR emosional, social dan
- -Mampu melakukan spiritual.
aktivtas sehari-hari 3.5 Kolaborasi dengan
(ADLs) secara Tenaga Rehabilitasi
mandiri Medik dalam
- Keseimbangan merencanakan
aktivitas dan istirahat program terapi yang

72
tepat.

4 Ansietas b.d Setelah dilakukan Anxiety Reduction (


ancaman nyata tindakan keperawatan 3 x peneurunan kecemasan)
terhadap 24 jam diharapkan 4.1 Gunakan pendekatan
kesejahteraan diri ansietas dapat teratasi yang menyenagkan
dengan Kriteria Hasil: 4.2 Nyatakan dengan jelas
- Klien mampu harapan terhadap
mengidentifikasi dan pelaku pasien
mengungkapkan ejala 4.3 Jelaskan semua
cemas prosedur dan apa yang
- Mengidentifikasi, dirasakan
mengungkapkan, dan 4.4 Pahami prespektif
menunjukkan teknik pasien terhadap situasi
mengontrol cemas stress
- Vital sign dalam batas 4.5 Temani pasien untuk
normal mengurangi takut
- Postur tubuh, ekspresi 4.6 Dengarkan dengan
wajah, bahasa tubuh penuh perhatian
dan tingkat aktivitas 4.7 Instruksikan pasien
menunjukkan menggunakan teknik
kurangnya kecemasan relaksasi
4.8 Berikan obat untuk
mengurangi
kecemasan

5 harga diri rendah Setelah dilakukan Self extem enhancement


b.d penyakit tindakan keperawatan 3 x 5.1 Tunjukkan rasa
kronis, krisis 24 jam diharapakan percaya diri terhadap
stuasional masalah ahrga diri rendah kemampuan pasien
teratasi dengan Kriteria untuk mengatasi
Hasil : situasi
- Adaptasi terhadap 5.2 Dorong pasien
ketidakdayaan fisik : mengidentifikasikan
respon adaptif klien kekuatan dirinya
terhadap tantangan 5.3 Ajarkan keterampilan
fungsional penting perilaku yang positif
- Menunjukkan melalui
penilaian pribadi 5.4 Buat steatment positif
tentang harga diri terhadap pasien
- Mengungkapkan 5.5 Dukung pasien untuk
penerimaan diri menerima
- Komunikasi terbuka 5.6 Kaji alasan-alasan
- Menggunakan strategi untuk mengkritik atau
menyalahkan diri

73
koping efektif sendiri
5.7 Kolaborasi dengan
sumber-sumber lain (
petugas dinas sosial,
perawat specialis
klinis, dan layanan
keagamaan )
Body image enhancement
counseling
5.8 Mengguakan proses
pertolongan interaktif
yang berfokus pada
kebutuhan, masalah
atau perasaan pasien
dan orang terdekat
untuk meningkatkan
atau mendukung
koping pemecahan
masalah
6 IsolasiSosial NOC : Socialization enhacement
Definisi : kesepian 6. Social interactive 6.1 Fasilitasi dukungan
yang dialami skills. kepada pasien oleh
individu dan 7. Stress level. keluarga, teman
dirasakan saat 8. Social support. dankomunitas.
didorong oleh 9. Post-trauma 6.2 Dukung hubungan
keberadaan orang syndrome. dengan orang lain
lain dan sebagai KriteriaHasil : yang mempunyai
pernyataan - Iklm social keluarga minat dan tujuan yang
negative atau :lingkungan yang sama.
mencengkam. mendukung yang 6.3 Dorong pasien
bercirikanhubunganda melakukan kegiatan
Batasankarakteristi ntujuananggotakeluarg social dan komunitas.
k: a. 6.4 Berikan uji
Objektif : - Partisipasiwaktu pembatasan
1. Tidakadadu luang:menggunakan interpersonal.
kungan aktivitas yang 6.5 Berikanumpanbalikten
orang yang menarik, tangpeningkatandalam
dianggappe menyenangkan, perawatandanpenampil
nting danmenenangkanuntuk andiriatauaktivitas
2. Perilaku meningkatkankesejaht lain.
yang eraan. 6.6 Hadapkanpasienpadah
tidaksesuai - Keseimbanganpada ambatanpenilaian,
denganperk perasaan:mampumeny jikamemungkinkan.
embangan esuaikanemosisebagair 6.7 Dukungpasienuntukme
3. Afektumpu esponterhadapkeadaan ngubahlingkungansepe
l tertentu. rtijalan-jalan

74
4. Buktikecac - Keparahan 6.8 Fasilitasipasien yang
atan kesepian:mengendalik mempunyaipenurunan
(mis:fisik, ankeparahanresponem sensory
mental) osi, social sepertipenggunaankac
5. Ada ataueksistensiterhadapi amatadanalatpendenga
didalam solasi. ran.
subcultural - Penyesuaian yang 6.9 Fasilitasipasienpasienu
6. Sakit, tepatterhadaptekanane ntukberpartisipasidala
tindakantid mosisebagairesponterh mdiskusidengan group
akberarti adapkeadaantertentu. kecil.
7. Tidakadako - Tingkat 6.10 Membantupasienm
ntakmata persepsipositiftentang engembangkanataume
8. Dipenuhide status kesehatandan ningkatkanketerampila
nganpikira status hidupindividu. n social interpersonal.
nsendiri - Partisipasidalamberma 6.11 Kurangi stigma
9. Menunjukk in, isolasidenganmenghor
anpermusu penggunaanaktivitasol matimartabatpasien.
han ehanakusia 1-11 6.12 Galikekuatandanke
10. Tindakanbe tahununtukmeningkatk lamahanpasiendalamb
rulang ankesenangan, erinteraksi social.
11. Afeksedih, hiburan,
inginsendir danperkembangan.
ian - Meningkatkanhubunga
12. Menunjuka n yang
nperilaku efektifdalamperilakupr
yang ibadi, interaksi social
tidakdapatd dengan orang,
iterimaoleh kelompokatauorganisa
kelompokk si.
ultural - Ketersediaandanpenin
yang gkatanpemberian
dominan actual bantuan yang
13. Tidak andaldari orang lain.
komunkati, - Menungkapkanpenuru
menarikdiri nanperasaanataupengal
Subjektif : amandiasingkan.
1. Minat yang
tidaksesuai
dengan
perkemban
gan
2. Mengalami
perasaanbe
rbedadari
orang lain
3. Tidakperca

75
yadirisaatb
erhadapand
engan
public
4. Mengungk
apkanperas
aankesendi
rianyang
didorongol
eh orang
lain.
5. Mengungk
apkanperas
aanpenolak
an.
6. Mengungk
apkannilai
yang
tidakdapatd
iterimakelo
mpok
cultural
dominan.

Factor yang
berhubungan :
1. Perubahan
status
mental
2. Gangguanp
enampilanf
isik
7 Tidak efektifnya Setelah dilakukan Coping Enhancement
ekanisme koping tindakan keperawatan 1 x 7.1 Kaji koping keluarga
keluarga b.d 24 jam diharapakan terhadap sakit pasein
kemampuan Keluarga dapat dan perawatanny
dalam mempertahankansuport 7.2 Biarkan keluarga
mengaktualisasi sistem dan adaptasi mengung -kapkan
diri terhadap perubahan akan perasaan secara verbal
kebutuhannya dengan 7.3 Ajarkan kepada
criteria hasil : keluaraga tentang
- pasien dan keluarga penyakit dan
berinteraksi dengan transmisinya.
cara yang konstruktif
- - keluarga bisa
menerima keadaan

76
klien

8 distress spiritual Setelah dilakukan 1.1 bina hubungan saling


b.d penyakit tindakan keperawatan 3 x percaya dengan
infeksi kronis 24 jam diharapkan masalh pasien
distress spiritual dengan 1.2 kaji factor penyebab
criteria hasil : gangguan spiritual
- -mampu membina pada pasien
hubungan saling 1.3 bantu pasien
percaya dengan mengung -kapkan
perawat perasaan terhadap
- -mampu spiritual yang di
mengungkapkan yakini
penyebab gangguan 1.4 bantu klien mengem -
spiritual bangkan skill untuk
- -mengungkapkan mengatasi perubahan
perasaan dan pikiran spiritual dalam
tentang spiritual yang kehidupan
diyakininya 1.5 fasilitasi pasien
- aktif melakukan dengan alat-alat
kegiatan spiritual atau ibadah sesuai
keagamaan keyakinan atau
- - ikut serta dalam agama yang di anut
keadaan keagamaan oleh pasien
1.6 bantu pasien untuk
ikut serta dalam
kegiatan keagamaan
1.7 bantu pasien
mengevaluasi
perasaan setelah
melakukan kegiatan
ibadah atau kegiatan
spiritual lainnya.

77
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Perawatan paliatif adalah bentuk perawatan medis dan kenyamanan pasien


yang mengontrol intensitas penyakit atau memperlambat kemajuannya,
apakah ada atau tidak ada harapan untuk sembuh.
2. Kondisi Terminal adalah suatu kondisi dimana seseorang mengalami sakit
atau penyakit yang tidak mempunyai harapan untuk sembuh dan menuju
pada proses kematian dalam 6 bulan atau kurang. Kematian sebagai wujud
kehilangan kehidupan dan abadi sifatnya, baik bagi yang telah menjalani
proses kematian maupun bagi yang ditinggalkan, kematian ini dapat
bermakna berbeda bagi setiap orang.
3. Fokus utama perawatan paliatif adalah manajemen gejala. Para ahli
perawatan paliatif telah belajar bahwa bahkan rasa sakit yang melemahkan
biasanya dapat dikontrol dan bahwa orang-orang dengan rasa sakit dari
penyebab yang sulit ditangani dapat memperoleh bantuan jika diberikan
dengan intervensi yang sesuai.
B. Saran
1. Bagi keperawatan, dapat dijadikan sarana pengetahuan dalam pengelolaan
dan pemberian asuhan keperawatan jiwa dengan konsep recovery dan
supportive enviroment.
2. Bagi Pendidikan, dapat dijadikan saran pengetahuan untuk mahasiswa
dalam melakukan asuhan keperawatan jiwa dengan konsep recovery dan
supportive enviroment.

78
DAFTAR PUSTAKA

C.S. Alexander, “Palliative and end-of-life care,” J.R. Anderson, ed., A Guide to
the Clinical Care ofWomen with HIV (Department of Health and Human
Services, Rockville,MD, 2001), p. 349.
Cherny, N., Fallon,M., Kaasa, S., Potenoy,R., David C.C.2015. Issues in
populations with non-cancer illnesses (HIV/AIDS) dalam Oxford Textbook
of Palliative Medicine. Fifth edition, 15 (1), 55-968. Oxford: Oxford
University Press.
Coleein, I., 2010. Makna Spiritualitas pada Pasien HIV/AIDS dalam Konteks
Asuhan Keperawatan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, tesis.
Jakarta: Universitas Indonesia.
D. Clark and M.Wright, Transitions in End of Life Care: Hospice and Related
Developments in Eastern Europe and Central Asia (Open University Press,
Buckingham, 2002).
D. Clark, “Beacons in Eastern Europe,” European Journal of Palliative Care 9, p.
5 (2002).
Doyle, Hanks and Macdonald, 2003. Oxford Textbook of Palliative
Medicine. Oxford Medical Publications ( OUP) 3 rd edn 2003
Engels, J. 2009. Palliative Care Strategy for HIV and Other Disease.
Cambodia: Family Health International.
Except where other references are cited, information for this article is based on A
Clinical Guide to Supportive & Palliative Care for HIV/AIDS, edited by
J.F. O’Neill et al. Funded by the HIV/AIDS Bureau (HAB) of the Health
Resources and Services Administration in the US Department of Health and
Human Services, it is on the HAB Web site (www.hab.hrsa.gov), where
copies can also be ordered free of charge depending on availability.
Fausto JA Jr, Selwyn PA. Palliative care in the management of advanced HIV/
AIDS. Prim Care. 2011;38(2):311-26, ix.
Green, K., Horne, C. 2012. Integrating palliative care into HIV service. A
Practical toolkit for implementers. London: FHI 360 and The Diana
Memorial Fund.
Gwyther, L., et al. 2006. A Clinical Guide to Supportive and Palliative
Care for HIV/AIDS. Cape Town: Hospice Palliative Care Association
of South Africa.
Helen Schietinger, MA, ACRN, is a co-editor of A Clinical Guide to Supportive &
Palliative Care for HIV/AIDS. She can be reached at
h.schietinger@verizon.net.
Jones, S.G., 2017. Symptom Management and Palliative Care in HIV/AIDS.
[cited januari, 7, 2019]. Avalaible at: http://www.medscape.
org/viewarticle/445637 .
Kurella Tamura M, Cohen LM. Should there be an expanded role for palliative
care in end-stage renal disease? Curr Opin Nephrol Hypertens.
2010;19(6):556-560.

79
P.A. Selwyn, “Overcoming the false dichotomy of curative vs palliative care for
late-stage HIV/AIDS,” JAMA 290, pp. 806-14 (2003).
S.R.Montealegre, “From Concepts to Reality: A Consumer’s Perspectives on
Palliative Care,” Palliative Care in Resource-Constrained Settings for
People Living With HIV/AIDS and Other Life-Threatening Illnesses
Presentations, J. Holloway, ed. (from the 14th International Congress on the
Care of the Terminally Ill,Montreal, Canada, October 2002), available at
http://hab.hrsa.gov/publications (accessed 1/04).
Sarah Lofgren, Rachel Friedman. Integrating Early Palliative Care for Patients
With HIV: Provider and Patient Perceptions of Symptoms and Need for
Services. American Journal of Hospice & Palliative Medicine. 2014
Simms V, Higginson IJ, Harding R. Integration of palliative care throughout
HIV disease. Lancet Infect Dis. 2012;12(7): 571-575.
Souza, P.N., et al. (2016). Palliative Care for Patients with HIV/AIDS Admitted
to Intensive Care Units. Rev Bras Intensiva, 28(3): 301-309.
Stigma and HIV/AIDS: A Review of the Literature,”D.L. Brimlow et al., eds.
(Department of Health and Human Services, Rockville,MD, September,
2003)
WHO, Cancer Pain Relief and Palliative Care, WHO Technical Report Series
804, Publication 1100804, Geneva, WHO (1990).
WHO, Cancer Pain Relief, Geneva (1986). R.G. Twycross and S.A. Lack, “Oral
Morphine in Advanced Cancer,” Revised 2nd ed. (Beaconsfield Publishers
Ltd., Beaconsfield, Bucks, England, 1993), p. 18.
Wilkie DJ, Johnson B, Mack AK, Labotka R, Molokie RE. Sickle cell disease: an
opportunity for palliative care across the life span. Nurs Clin North Am.
2010;45(3):375-397.
World Health Organization. Cancer Pain Relief and Palliative Care. Technical
Report Series. Geneva: World Health Organization; 1990:11.
X. G¨umez et al., “WHO Demonstration Project on Palliative Care
Implementation 1990-1995: Results in 1995,” Journal of Pain and Symptom
Management 12 (2), pp. 73-8 (1996).

80

Вам также может понравиться

  • Manajemen Della
    Manajemen Della
    Документ9 страниц
    Manajemen Della
    Al Della Noviana
    Оценок пока нет
  • Litrev
    Litrev
    Документ17 страниц
    Litrev
    Al Della Noviana
    Оценок пока нет
  • Woc KDP 2019
    Woc KDP 2019
    Документ1 страница
    Woc KDP 2019
    Al Della Noviana
    Оценок пока нет
  • Proposal Terapi Modalitas
    Proposal Terapi Modalitas
    Документ9 страниц
    Proposal Terapi Modalitas
    Al Della Noviana
    Оценок пока нет
  • Kritis
    Kritis
    Документ18 страниц
    Kritis
    Al Della Noviana
    Оценок пока нет
  • Pengkajian Lansia
    Pengkajian Lansia
    Документ26 страниц
    Pengkajian Lansia
    Al Della Noviana
    Оценок пока нет
  • Ekg Abnormal
    Ekg Abnormal
    Документ9 страниц
    Ekg Abnormal
    Al Della Noviana
    Оценок пока нет
  • Kerangka Konsep
    Kerangka Konsep
    Документ1 страница
    Kerangka Konsep
    Al Della Noviana
    Оценок пока нет