Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
secara signifikan dan masih belum dapat diobati, dan untuk sebagian orang
berakibat fatal. HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan, yang secara
melawan infeksi dan penyakit. Angka estimasi penderita HIV dan AIDS di seluruh dunia
adalah 36.9 juta sampai saat ini, dengan perkiraan 2 juta kasus baru dan 1.2 kematian per
Saat terjadi epidemi, infeksi HIV menyebabkan vonis kematian yang cepat.
Penanganan infeksi oportunistik dan perawatan pasien stadium terminal merupakan fokus
utama tatalaksana penyakit HIV. Tahun 1996, era highly active antiretroviral therapy
(HAART) dimulai dengan mengenalkan kekuatan obat protease inhibitor (PI) yang
aktif melawan HIV dan secara signifikan memperlambat perjalanan penyakit. Sejak saat
itu, secara cepat terjadi perubahan dimana mulai dikembangkan regimen dengan pil
bentuk kecil yang dapat diterima oleh pasien; dan sampai saat ini terdapat lebih dari
35 obat-obatan dalam 5 kategori agen antiretroviral, umumnya dengan dosis satu kali
per hari, dan terdapat obat dengan formulasi kombinasi (Cherny, N., et al., 2015).
Perubahan cepat ini mengakibatkan pasien HIV yang mengetahui diagnosisnya, mau
melakukan perawatan dan konsisten minum antiretroviral therapy (ART) dapat menjalani
mendapatkan data yang mengindikasikan angka harapan hidup penderita HIV meningkat
1
dari 10.5-22.5 tahun. Satu studi menemukan pasien usia 20 tahun yang mulai
mengkonsumsi ART dapat hidup lebih dari 43 tahun, sedangkan pasien usia 35 tahun
dengan ART dapat hidup lebih dari 32 tahun. Namun, peningkatan angka harapan hidup
stadium terminal metode lama berubah menjadi metode manajemen tambahan dalam
fisik, fisiologis, sosial, dan spiritual pada mereka yang menderita penyakit serius.
Perawatan paliatif diberikan pada pasien HIV untuk memperbaiki kualitas hidup pasien
penilaian dan terapi nyeri dan masalah lainnya, fisik, psikososial dan spiritual.
baru perawatan sangat diperlukan, meliputi akses kepada dokter spesialis HIV,
jantung dan ginjal, gangguan metabolik dan tulang, malignansi, gangguan psikiatri,
perawatan paliatif pada pasien HIV yang sedang menjalani perawatan (Cherny, N.,
et al., 2015).
2
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini adalah bagaimana perawatan terminal illness pasien
dengan HIVAIDS?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
memahami tentang asuhan keperawatan pada pasien terminal illness (palliative care)
2. Tujuan Khusus
dengan HIVAIDS
c. Mahasiswa mampu menetapkan tujuan dan kriteria hasil pasien terminal illness
D. Sistematika Penulisan
3
BAB II
PEMBAHASAN
Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu sindrom yang timbul
akibat infeksi Human Imunodeficiency Virus (HIV). Terdapat 2 jenis HIV yaitu, HIV-1
dan HIV-2 yang ditransmisikan dengan cara yang sama dan terkait infeksi oportunistik.
HIV-1 merupakan penyebab terbanyak infeksi HIV di dunia, sedangkan HIV-2 jarang,
namun dikatakan seseorang bisa terinfeksi kedua jenis virus secara bersamaan. Pola
penularan HIV saat ini berkembang jauh berbeda, terutama 19 tahun terakhir. beberapa
cara penularan HIV melalui: 1) Kegiatan seksual yang tidak aman pada kelompok
heteroseksual dan homoseksual. 2) Terpapar darah dan cairan tubuh klien, misalnya
melalui penggunaan jarum suntik bergantian, transfusi darah dan transplantasi organ. 3)
Secara vertikal dari ibu kepada bayi yang dikandungnya yang dapat terjadi selama
kehamilan, proses melahirkan per-vaginam, dan periode menyusui (Collein, I., 2010).
Proses patofisiologi secara umum terjadi karena aktivasi sel CD-4 yang akan memicu
ekspresi virus HIV yang akan menghasilkan protein yang akan mengalami eksositosis,
dimana pada fase ini CD4 dapat dihancurkan. Terjadi defisiensi sel T berat, sehingga
tubuh semakin tidak berdaya terhadap patogen yang seharusnya tidak berbahaya. Proses
pada stadium awal biasanya asimptomatis dan ada pembesaran kelenjar getah bening
persisten. Disusul penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, infeksi
4
saluran nafas ringan berulang, demam persisten tanpa penyebab yang jelas sampai pada
Penegakkan diagnosis dilakukan dengan berbagai rangkaian tes. Proses menjalani tes
ini merupakan proses yang menjadi beban pada pasien, terutama efek samping obat
antiretroviral yang pasien HIV konsumsi, yang bisa menimbulkan ketidaknyamanan pada
B. Terapi Antiretroviral
Dua alat ukur utama yang digunakan untuk memantau pasien HIV adalah jumlah
CD4+ limfosit T, sebuah pengukuran fungsi imun dan jumlah virus HIV dalam darah
pasien. Tujuan pemberian ART adalah untuk menekan replikasi HIV sehingga jumlah
virus menurun sampai kadar yang tidak terdeteksi (umumnya < 50 atau 25 kopi RNA
virus/mL, tergantung alat uji). Hal ini menyebabkan imunitas disusun kembali, ditunjukan
dengan peningkatan jumlah CD4+ dan menurunnya morbiditas serta mortalitas terkait
HIV. Di negara maju, pedoman yang ada saat ini menyarankan pemberian ART pada
semua pasien yang terinfeksi HIV, khususnya mereka yang jumlah CD4 nya kurang dari
500 sel/mm3, dan pada semua pasien dengan kondisi tertentu (misalnya hamil, hepatitis C,
faktor-faktor lain untuk membuat keputusan mengenai pemberian ART, termasuk faktor-
faktor yang mempengaruhi kepatuhan terapi seperti keinginan pasien untuk memulai terapi
dan adanya kelainan psikiatri, seperti penyalahgunaaan zat atau masalah psikososial
Faktor kunci yang berhubungan dengan meningkatnya harapan hidup pasien terinfeksi
HIV mencakup diagnosis awal, retensi dalam pemberian pelayanan kesehatan, dan
kepatuhan terhadap regimen Anti Retroviral Therapy (ART). Data terakhir dari Amerika
5
Serikat menyatakan 28% orang dengan infeksi HIV yang mendapatkan supresi virus dan
mengetahui diagnosis HIV-nya, 69% terhubung dengan pelayanan kesehatan dan hanya
59% yang bertahan menjalani pengobatan. Pedoman dari Asosiasi Dokter Internasional
dalam hal Fokus Pemberian Pelayanan AIDS pada intervensi multidisiplin meliputi alat
dan pedoman khusus untuk populasi rentan (wanita hamil, tuna wisma, anak-anak dan
remaja, pasien masalah penyalahgunaan zat dan gangguan kesehatan mental). Tujuannya
Fatigue merupakan gejala paling umum dan membuat distres pada pasien HIV/AIDS,
sekedar merasa lelah; sangat lelah. Pasien HIV dengan fatigue mengeluh lemah,
istirahat yang cukup, dimana semua gejala mempengaruhi kualitas hidup. Penyebab
potensial HIV-related fatigue meliputi anemia, kurang istirahat dan gangguan tidur, diet
abnormalitas kelenjar tiroid, hipogonadism, infeksi, efek samping obat, dan demam.
Penyebab fisiologik lainnya adalah rendahnya jumlah sel hitung CD4, gangguan fungsi
terjadinya fatigue. Tatalaksana keluhan ini antara lain program pelatihan aerobik
(treadmill), strategi perawatan diri (suplemen nutrisi, vitamin, dan perubahan diet, istirahat
Penelitian dari era sebelum dan awal terapi HAART mendokumentasikan level nyeri
yang tinggi pada pasien AIDS (29-76%), sama tinggi dengan gejala non-nyeri lainnya (10-
6
91% dari berbagai studi penelitian). Studi lain Studi lain Era sebelum HAART, etiologi
nyeri dan gejala lain pada HIV/AIDS seringnya disebabkan oleh infeksi oportunistik,
malignansi terkait AIDS, dan efek sistemik dari infeksi HIV yang progresif dan tidak
tertangani. Pasien pada era HAART juga mengalami nyeri dan gejala lain dari berbagai
penuaan, dan efek paparan kronik obat antiretroviral. Semua faktor ini menunjukan
pentingnya intervensi pelayanan paliatif yang efektif untuk pengelolaan nyeri dan gejala
lain pada pasien HIV/AIDS (Cherny, N., et al., 2015; Jones , S.G., 2017; Engels, J., 2009).
Sejak awal epidemik HIV, nyeri neuropati telah dilaporkan pada pasien HIV.
Polineuropati sensori distal (DSP) HIV, yang merupakan penyebab paling umum nyeri
neuropati pada pasien HIV, terjadi karena degenerasi serabut saraf perifer yang besar dan
kecil. Etiologinya meliputi paparan terhadap ART regimen lama (seperti stavudine (d4T),
didanosine (ddI), dan zalcitabine (DDC), atau regimen yang lebih kontemporer seperti PI
dan infeksi HIV sederhana. Meskipun prevalensi diperkirakan lebih rendah dibandingkan
era sebelum HAART, DSP masih mempengaruhi banyak pasien terinfeksi HIV yang hidup
lama, berkisar antara 4,3-21,8%, dan insiden mungkin meningkat seiring berjalannya
waktu. Pasien HIV yang mengalami DSP umumnya mengeluhkan gejala sensori dengan
penyebab neuropati lain yang umum (seperti diabetes, defisiensi vitamin B12, penggunaan
alkohol). Terapi yang diberikan adalah terapi simtomatis. Obat yang terbukti efektif pada
pasien HIV adalah gabapentin dan capsaicin topikal dosis tinggi. Meskipun tidak spesifik
terbukti efektif, obat lain sering dicoba berdasarkan efikasinya pada neuropati perifer tipe
7
E. Kondisi Komorbid
Kondisi komorbid yang sebelumnya belum pernah dihubungkan dengan HIV atau
yang menjadi lebih umum terjadi pada pasien yang kondisinya bertahan lama, seperti
penyakit kardiovaskular, paru-paru, penyakit hati, dan penyakit ginjal, keganasan bukan
akibat AIDS, kerapuhan dan penyakit tulang, sekarang prevalensinya meningkat pada
utama dan sekaligus berkontribusi terhadap meningkatnya beban nyeri dan gejala pasien
jantung kongestif, terjadi lebih awal pada populasi terinfeksi HIV dan dengan jumlah
lebih banyak dibandingkan pada individu negatif HIV. Merokok dilaporkan terdapat
pada 40-70% pasien terinfeksi HIV, 2-3 kali lipat lebih tinggi dibandingkan jumlah
pada populasi umum, dan pasien terinfeksi HIV lebih mungkin mengalami dislipidemi
yang ditandai dengan peningkatan trigliserida dan LDL, penurunan HDL serta
aterosklerosis; kombinasi dari jumlah virus HIV, faktor imunologis, dan inflamasi
hanya terdapat pada pasien HIV dengan jumlah CD4 rendah (umumnya < 200
dan tubekulosis umum pada pasien HIV dan mungkin juga terdapat pada pasien dengan
8
jumlah CD4 lebih tinggi (umunya < 400 sel/mm3). Terdapat bukti di era terapi saat ini
hipertensi pulmonal, dan kanker paru-paru mungkin relatif lebih banyak ditemukan
pada pasien HIV. Apakah ini dikarenakan faktor risiko yang lebih banyak seperti
merokok atau karena infeksi HIV itu sendiri, masih belum diketahui. Gejala respirasi
yang dialami oleh pasien HIV dengan komorbiditas pulmonal menyerupai yang dialami
oleh pasien tanpa infeksi HIV, dan strategi penanganan yang digunakan juga mirip
Penyakit hati stadium akhir juga merupakan penyebab morbiditas yang signifikan
pada pasien HIV. Terdapat sekitar 4-5 juta orang dengan ko-infeksi HIV dan virus
fibrosis yang lebih cepat, meningkatnya jumlah virus HCV dan jumlah persistensi
virus, penyakit hati stadium akhir, serta jumlah kematian yang lebih banyak. Ada juga
peningkatan nyeri abdomen, perubahan status mental, dan risiko perdarahan dapat
terbantu dengan pemberian intervensi paliatif (Cherny, N., et al., 2015; Jones, S.G.,
2017). Pada era sebelum HAART, kelainan ginjal yang umum akibat gangguan ginjal
sekunder HIV meliputi nefropati terkait HIV, penyakit ginjal kompleks imun terkait
HIV, dan mikroangiopati trombotik. Kelainan ini menjadi masalah bagi mereka yang
terlambat terdiagnosis mengalami infeksi atau bagi mereka yang tidak menerima terapi.
Penyakit ginjal terkait HIV itu sendiri merupakan indikasi untuk dimulainya terapi
ART (Cherny, N., et al., 2015; Green, K., Horne, C., 2012).
9
3. Penyakit Tulang Metabolik dan Osteonekrosis
Penyakit tulang telah menjadi masalah yang semakin berat pada pasien HIV.
langsung HIV, ART (khususnya tenofovir), defisiensi vitamin D, dan berat badan yang
rendah. Pasien HIV dengan osteoporosis memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami
60% lebih tinggi pada pasien HIV dibandingkan dengan pasien tanpa HIV. Deteksi dini
dan terapi awal osteoporosis dapat mengurangi beban fraktur. Terapi osteoporosis pada
pasien HIV sama dengan pada pasien tanpa HIV, mencakup latihan beban, penguatan
otot, pemberhentian rokok, pembatasan asupan alkohol, dan asupan kalsium serta
vitamin D yang adekuat. Vitamin D yang rendah secara khusus telah dihubungkan
Osteonekrosis atau nekrosis avaskular, juga lebih sering pada pasien HIV dari pada
dengan terganggunya aliran darah yang dapat menyebabkan instabilitas, dan yang
paling serius, kolaps. Faktor risiko pada pasien HIV meliputi penggunaan
lemak, suplementasi testosteron, angkat berat atau pembentukan otot tubuh, antibodi
rendah, durasi paparan ART lama, pankreatitis, dan alkoholisme. Osteonekrosis dapat
melibatkan semua tulang, kepala tulang paha paling umum dan penyakitnya mungkin
10
unilateral atau bilateral. Pasien biasanya datang dengan keluhan nyeri sekitar
selangkangan, namun nyeri juga bisa dirasakan di bokong atau paha. Keluhan nyeri
yang dirasakan bisa menjadi beban penderitaan pasien (Engels, J., 2009; Souza, P.N.,
2016).
4. Malignansi
Pasien HIV mengalami peningkatan malignansi terkait HIV dan yang tidak terkait
HIV. Malignansi yang mendeskripsikan AIDS seperti sarkoma kaposi, limfoma non-
Hodgkin (termasuk limfoma Burkitt dan limfoma sistem saraf pusat primer), dan
kanker leher rahim invasif masih terjadi, namun jumlahnya telah sangat menurun pada
era terapi saat ini. Namun, malignansi yang tidak terkait AIDS seperti limfoma
Hodgkin, multipel myeloma, leukemia, kanker hati, kanker paru-paru, kanker prostat,
karsinoma anus invasif, dan kanker usus besar, sering terjadi dan meningkat pada
populasi ini. Faktanya, penelitian menunjukan risiko 2 kali lipat terjadinya malignansi
non-HIV pada pasien HIV dibandingkan pada populasi umum. Pasien terinfeksi HIV
juga memiliki prevalensi faktor risiko kanker yang lebih tinggi, seperti merokok,
konsumsi alkohol, dan ko-infeksi dengan infeksi HCV atau human papilloma virus
(HPV). Tantangan klinis yang timbul adalah meningkatnya prevalensi malignansi non-
HIV pada pasien HIV ditambah seriusnya penyakit ini. Sebuah penelitian menemukan
jika dibandingkan dengan pasien yang tidak terinfeksi HV dengan malignansi yang
demensia HIV, ensefalopati dan gangguan neurokognitif HIV, tetap menjadi beban
berat bagi pasien HIV. HIV adalah virus yang bersifat neuroinvasif dan regimen
11
HAART yang berbeda-beda memiliki kemampuan melakukan penetrasi sistem saraf
pusat. Jumlah pasien dengan kelainan neurokognitif HIV, temasuk demensia dan
gangguan neurokognitif ringan diduga meningkat 5-10 kali lipat pada tahun 2030.
neurokognitif ringan lebih sulit untuk diterapi, khususnya pada populasi usia lanjut
yang dipersulit adanya gangguan komorbid fungsi otak, seperti penyakit Alzheimer
Kelainan psikiatri juga relatif lebih umum pada populasi terinfeksi HIV. Sebuah
penelitian menemukan prevalensi gangguan psikiatri pada pasien HIV lebih dari 2 kali
lipat dari pasien yang tidak terinfeksi HIV (63% vs 30,5%). Gangguan psikiatri paling
umum pada pasien HIV adalah gangguan depresi mayor, prevalensi diperkirakan
mencapai 36%, dibandingkan dengan 4,9% pada populasi umum. Gangguan cemas
menyeluruh juga umum terjadi pada pasien HIV, sekitar 16%. Penelitian epidemiologi
memiliki risiko lebih tinggi mendapatkan infeksi HIV. Depresi telah dihubungkan
dengan kepatuhan yang buruk terhadap terapi ART. Selain itu, penelitian terakhir dari
198 pasien HIV yang mulai diberikan HAART di sebuah pusat akademi kedokteran
lebih tinggi berhubungan dengan supresi virus yang lebih lambat dan kegagalan
virologikal yang lebih cepat. Akses ke pelayanan kesehatan mental merupakan bagian
penting dari terapi HIV dan penelitian telah menunjukan bahwa pasien depresi yang
dengan yang tidak diterapi. Semua hal ini menunjukan pentingnya masalah psikososial
dan pelayanan kesehatan mental dalam pengobatan pasien HIV/AIDS dan intervensi
12
tim pelayanan paliatif yang multidisiplin dalam pelayanan rutin populasi ini (Cherny,
N., et al., 2015; Green, K., Horne, C., 2012; Souza, P.N., 2016).
Penelitian melaporkan sekitar 40-74% pasien memiliki atau pernah komorbid dengan
psikiatri lain, dan perkiraan terakhir menyatakan penyalahgunaan zat dan gangguan
kesehatan mental terjadi bersamaan pada setidaknya seperempat dari semua pasien
HIV. Pasien dengan penyalahgunaan zat dan gangguan psikiatri memiliki jumlah CD4
yang lebih rendah dan supresi virus HIV yang lebih buruk, serta kepatuhan terapi ART
dengan jeleknya kepatuhan, bukti yang ada juga menunjukan pengguna obat dapat
mental dan penggunaan zat ini memberikan tantangan khusus dan kesempatan untuk
intervensi pelayanan paliatif pada pasien HIV/AIDS (Cherny, N., et al., 2015; Gwther,
6. Kelemahan Prematur
Kelemahan telah didefinisikan dalam berbagai cara dan yang paling banyak diterima
adalah menggunakan parameter fisik, yaitu sedikitnya 3 dari 5 kriteria (penurunan berat
badan yang tidak diinginkan > 4,5 kg dalam 1 tahun terakhir, keletihan, aktivitas fisik
yang sedikit, kekuatan genggaman yang lemah, dan waktu berjalan yang lambat).
Peneliti HIV menyatakan bahwa representasi kelemahan yang lebih akurat pada pasien
pasien HIV dapat mencapai 20%, bisa terjadi dalam populasi pasien usia 40-an dan 50-
an, sedikitnya 1 dekade lebih muda dibandingkan pada pasien tanpa infeksi HIV.
13
Kelemahan dini pada pasien HIV berhubungan dengan riwayat memiliki AIDS dan
infeksi oportunistik di masa lalu, jumlah CD4+ sel T yang rendah, viremia yang tidak
terkendali, dan komorbiditas medis. Patofisiologi sindrom ini masih belum dimengerti,
latihan mungkin dapat memperbaiki fungsi fisik (Cherny, N., et al., 2015, Souza, P.N.,
2016).
7. Wasting
Wasting berhubungan dengan nutrisi yang adekuat pada pasien HIV. Wasting
syndrome pada pasien HIV jauh lebih sedikit ditemukan pada era terapi HIV saat ini,
karena lebih sedikit pasien dengan penyakit stadium lanjut dan infeksi oportunistik
yang aktif. Identifikasi individu dengan penurunan berat badan yang bermakna klinis,
the Nutrition for Healthy Living Cohort mendefinisikan penyusutan sebagai (1)
penurunan berat badan yang tidak dikehendaki lebih dari 10%, (2) indeks massa tubuh
(IMT) sama dengan atau di bawah 20, atau (3) hilangnya berat badan lebih dari 5%
yang tidak dikehendaki dalam 6 bulan yang bertahan hingga setidaknya 1 tahun.
Etiologi wasting biasanya multifaktorial, meliputi asupan nutrisi yang tidak adekuat
akibat masalah mulut atau saluran pencernaan atas, malabsorbsi, nafsu makan yang
inisiasi ART pada pasien yang belum menerimanya. Latihan beban telah terbukti
8. Hipogonadisme
hipogonadisme sekunder adalah masalah umum pada pria yang terinfeksi HIV.
14
Meskipun jumlah prevalensi lebih rendah saat ini, 6% dari pria terinfeksi HIV memiliki
kadar testosteron rendah. Testosteron yang relatif rendah juga mungkin terjadi pada
wanita terinfeksi HIV, namun standar normatif dan pedoman untuk diagnosis dan terapi
masih belum jelas untuk pasien-pasien ini. Bertambahnya usia populasi yang terinfeksi
utama. Pasien dengan kadar testosteron rendah akan mengeluhkan letih, depresi, libido
menurun; massa otot menurun dan densitas mineral tulang yang rendah. Respon klinis
terhadap masalah ini dimulai dengan pengukuran kadar testosteron bebas dan total.
Pengukuran testosteron bebas penting karena kadar total mungkin dapat normal pada
pasien HIV karena memproduksi kadar globulin pengikat hormon yang lebih sedikit.
Terapi dengan pengganti testosteron, tersedia dalam sediaan topikal, transdermal, dan
injeksi, diindikasikan pada pasien dengan libido sangat rendah, densitas mineral tulang
Pengelolaan nyeri pada populasi HIV mungkin memiliki tantangan tersendiri terkait
fakta bahwa baik HIV dan nyeri kronik memiliki hubungan dengan penyakit psikiatri dan
1. Nyeri kronik merupakan sesuatu yang subjektif. Keluhan nyeri seorang pasien harus
dianggap serius dan ditelusuri; selain itu, tidak ditemukannya sesuatu yang objektif dari
cara yang dapat menyebabkan karyawan menjadi frustasi dan marah. Penting untuk
15
mengenali reaksi diri terhadap situasi yang terjadi dan tidak membiarkan
3. Perilaku menyimpang terkait opioid, seperti sering menelpon ke klinik untuk meminta
opioid, fokus terhadap opioid selama kunjungan, pola hilang/dicurinya resep, memiliki
yang tidak terkendali), gangguan psikiatri selain kelainan penggunaan zat (termasuk
potensial ini dapat muncul bersamaan, penting pemeriksaan detail (Engels, J., 2009).
latihan fisik), dan pendekatan psikologis seperti terapi kognitif perilaku. Meskipun
terdapat bukti terbatas untuk mendukung efektivitas terapi opioid jangka panjang dalam
populasi apapun, sebagian besar klinisi setuju obat-obat ini bermanfaat pada terapi
jangka panjang untuk beberapa pasien yang dipilih dan dimonitor dengan hati-hati.
Risiko dan keuntungan dari terapi opioid kronik harus dipertimbangkan pada beberapa
pasien, termasuk mereka yang aktif mengkonsumsi akohol dan menyalahgunakan zat,
risikonya mungkin terlalu tinggi untuk memilih terapi ini (Gwyther, L., et al., 2006;
kepatuhan dengan terapi ART dan pengobatan lain yang sedang berlangsung. Tingginya
kepatuhan jangka panjang terhadap ART sangat penting untuk keberhasilan terapi, dan
ketidakpatuhan pada ART dibawah level 90%, secara signifikan dapat meningkatkan
16
risiko terbentuknya resistensi obat. Sebuah penelitian prevalensi gejala pada sebuah klini
HIV rawat jalan menemukan pada analisis multivariat bahwa kepatuhan pada terapi ART
yang buruk secara signifikan berhubungan dengan beban gejala psikologis. Intervensi
pengobatan paliatif pada pasien HIV/AIDS menjadi kunci penting dalam memfasilitasi
Penting untuk diingat bahwa banyak orang terinfeksi HIV yang meninggal di negara
maju pada saat ini mungkin tidak meninggal akibat AIDS, namun akibat salah satu
komorbiditas yang dialami. Sebuah penelitian dengan 230 pasien HIV dalam program
pelayanan paliatif di Amerika Serikat menemukan, dari 120 kematian, 36% diantaranya
meninggal akibat AIDS stadium akhir, 19% akibat kanker non-AIDS, 18% akibat
pneumonia bakterial dan sepsis, 13% akibat gagal hati dan/atau sirosis, 8% akibat penyakit
jantung dan paru-paru, 3% akibat penyakit ginjal stadium akhir, 2% akibat amyotropik
lateral sklerosis (ALS), dan 2% tidak diketahui penyebabnya. Namun, meskipun adanya
perkembangan dalam terapi HIV, orang-orang tetap meninggal akibat penyebab yang
berkaitan dengan AIDS di Amerika Serikat dan di luar negeri lainnya. Meskipun ART
sudah tersedia luas di Amerika Serikat, hanya 25% pasien HIV yang memiliki kadar virus
tidak terdeteksi. Alasan untuk ini adalah multifaktorial dan meliputi masalah pada
kepatuhan, retensi, dan akses pada pelayanan bagi populasi yang rentan (Cherny, N., et al.,
2015; Engels, J., 2009). Di era ini, pasien yang benar-benar meninggal akibat AIDS
meliputi salah satu dari 3 kategori: (1) terlambat terdiagnosis dan tidak pernah menerima
ART atau menggunakan ART hanya dalam jangka waktu pendek namun terus mengalami
perburukan akibat keparahan penyakit saat datang berobat; (2) terdiagnosis saat penyakit
masih stadium awal, namun akibat berbagai faktor medis dan psikososial tidak pernah
menggunakan ART secara konsisten dan telah berkembang menjadi ireversibel dan
17
menjadi stadium akhir; dan (3) seseorang dengan HIV bertahun-tahun dengan berbagai
kegagalan regimen terapi, yang sekarang memiliki virus resisten terhadap semua regimen
obat yang ada saat ini. Seorang pasien HIV datang dengan manifestasi AIDS stadium akhir
akan dirujuk ke rumah perawatan tanpa dicoba pemberian ART. Hal ini dapat terjadi
apabila pasien baru terdiagnosis HIV dan langsung ditemukan dengan AIDS stadium
akhir. Hal ini juga mungkin dapat terjadi pada pasien yang telah memiliki kesulitan
persisten dengan retensi pada pelayanan HIV primer, ketidakpatuhan terhadap terapi ART,
dan/atau dengan penyakit psikiatri atau penyalahgunaan zat. Rujukan ke rumah perawatan
mungkin sesuai berdasarkan keparahan penyakit pasien, penting untuk pasien pasien-
pasien tersebut dievaluasi oleh seorang dokter spesialis HIV. Beberapa klinisi pada
fasilitas perawatan paliatif telah menyaksikan apa yang disebut ‘sindrom Lazarus’, dimana
pasien AIDS yang hampir meninggal diberikan ART adekuat untuk pertama kalinya, dapat
segera kembali ke kondisi fungsionalnya secara dramatis (Cherny, N., et al., 2015).
Perencanaan pelayanan lebih lanjut sangat penting dalam penanganan pasien HIV.
Seperti halnya penyakit kronik lain, tujuan pengobatan sebaiknya sesuai perjalanan
penyakit dan tidak hanya pada waktu eksaserbasi atau krisis. Sebuah survei potong lintang
di Amerika Serikat menemukan pasien AIDS lebih jarang memiliki waktu berdiskusi
dengan dokter mereka dibandingkan dengan populasi penyakit kronik lainnya. Percakapan
akhir hidup sebaiknya lebih sering dilakukan dan tujuan mungkin dapat berubah selama
proses berjalannya penyakit akibat progresifitas ke arah AIDS stadium lanjut yang tidak
linier. Terdapat beberapa bukti yang mendukung pendapat bahwa dokter pada terapi HIV
mungkin tidak nyaman menyampaikan masalah ini dengan pasien HIV stadium akhir dan
membuatkan batasan yang tidak perlu bagi diri mereka sendiri terhadap percakapan efektif
18
Pembuatan prognosis juga sangat signifikan dipengaruhi oleh ART di era saat ini.
Sejak dimulainya pemberian HAART, prognosis bagi mereka yang hidup dengan HIV
tidak hanya sekedar mengenai jumlah virus, jumlah sel CD4+, dan riwayat infeksi
oportunistik spesifik. Sebuah penelitian mortalitas pada pasien di sebuah program paliatif
HIV di pusat kesehatan Amerika Serikat menemukan pasien AIDS stadium akhir, usia dan
penanda status fungsional lebih memberikan prediksi dibandingkan dengan jumlah CD4+
dan jumlah virus. Penelitian ini juga menemukan setengah dari jumlah kematian
disebabkan oleh penyebab spesifik non-AIDS seperti kanker dan gagal organ. Terdapat
menginformasikan lebih lanjut kepada dokter mengenai kapan waktu yang tepat merujuk
ke rumah perawatan dan bagaimana memprediksi serta mengantisipasi kapan akhir hidup
pasien AIDS (Green., K., Horne, C., 2012; Cherny, N., et al., 2015).
Di Amerika Serikat, perawatan rumah sakit untuk sebagian besar pasien merupakan
perawatan di akhir kehidupan. Kelayakan program ini membutuhkan dua klinisi yang
memastikan harapan hidup pasien 6 bulan atau kurang bila penyakit terus berlanjut sesuai
yang diperkirakan. Perkiraan tentu saja tidak selalu tepat dan klinisi mengandalkan
karakteristik prediktif pasien yang disesuaikan dengan data dan pengalaman yang terbatas.
Kriteria perawatan rumah sakit bagi pasien HIV/AIDS di Amerika Serikat, bersama
dengan pasien lain dengan diagnosis non-kanker, dijabarkan oleh National Hospice and
Palliative Care Organization (NHPCO, sebelumnya dikenal dengan NHO) di tahun 1996.
Mencakup: jumlah CD4+ kurang dari 25sel/mm3 atau viral load lebih besar dari 100.000
kopi/mL, limfoma SSP, wasting yang tidak tertangani atau refrakter, disseminated MAC,
PML, limfoma sistemik, sarcoma Kaposi viseral, gagal ginjal tanpa dialisis, infeksi
19
cryptosporidium, atau toxoplasmosis serebri refrakter. Selain memenuhi salah satu kriteria
di atas, pasien harus memiliki skor kurang dari 50% pada Palliative Performance Scale.
pasien dengan prediktor harapan hidup pendek tidak dianggap memenuhi syarat untuk
perawatan di rumah sakit kecuali bila terdapat penyakit yang berlangsung progresif
dengan pemberian ART (Cherny, N., et al., 2015; Fausto, J.A., Selwyn, P.A., 2011).
Pedoman yang ada saat ini banyak yang memaparkan kapan harus memulai ART pada
pasien HIV, namun tidak ada pedoman yang memberikan informasi bagi klinisi dan pasien
mengenai kapan harus menghentikan ART atau profilaksis rutin untuk infeksi oportunistik
pada pasien HIV di akhir masa hidupnya. Penting untuk mengingat bahwa sebagian besar
pasien HIV yang meninggal tidak secara langsung karena AIDS, melainkan karena kondisi
komorbid serius. Hal ini menyebabkan penentuan keputusan penghentian ART dan
profilaksis infeksi oportunistik menjadi lebih rumit (Cherny, N., et al., 2015).
diaplikasikan untuk menentukan ART dan profilaksis. Terdapat manfaat potensial untuk
melanjutkan HAART pada penyakit stadium lanjut, berdasar asumsi bahwa viremia yang
berkelanjutan dapat dikaitkan dengan peningkatan beban gejala. Pada salah satu studi
cohort, lebih dari sepertiga pasien yang berhenti menggunakan ART mengalami gejala
yang berkaitan dengan penghentian pengobatan. Pada penyakit stadium lanjut, regimen
yang tersedia mungkin hanya aktif sebagian, namun ada pendapat bahwa pengobatan
tersebut mungkin dapat menargetkan pada virus yang lebih lemah meskipun terdapat
peningkatan viral loads. Mempertahankan jumlah CD4+ pada kadar yang lebih tinggi
20
Diketahui juga bahwa viral load perifer tidak selalu berhubungan dengan viral load SSP,
dan kemungkinan melanjutkan HAART dapat membantu melindungi fungsi kognitif dan
menghindari ensefalopati yang berhubungan dengan HIV atau demensia. Menjaga status
mental dapat memiliki efek mendalam dengan cara mempersilahkan pasien dengan
penyakit stadium akhir untuk tetap memahami kondisinya dan menjadi bagian dalam
pengambilan keputusan klinis (Engels, J., 2009; Cherny, N., et al., 2015; Gwyther, L., et
al., 2006).
kepatuhan pasien merupakan suatu kendala sebelum penyakit berada pada stadium akhir,
maka melanjutkan ART mungkin tidak memiliki manfaat terapeutik dan bisa
konsumsi pil juga berhubungan dengan penurunan kualitas hidup. Melanjutkan ART
mengalihkan klinisi dan/atau pasien dari rencana perawatan lanjutan yang penting serta
perawatan pada masa akhir kehidupan. Biaya ART mungkin juga menjadi masalah
Serupa dengan penyakit kronis lainnya, pergeseran ke arah paliatif masa akhir
antar pasien, keluarga, dan pendamping. Terapi pada HIV secara spesifik baik terhadap
penyakit dan gejala, saat digunakan bersamaan, dapat membantu mengendalikan gejala
melanjutkan terapi untuk pneumonia dapat mengatasi dyspneu, disamping terapi gejala
spesifik lainnya seperti oksigen, opioid, dan benzodiazepin. Pada beberapa kasus,
21
memperpanjang kehidupan secara langsung namun dapat membantu memberikan kualitas
hidup pada pasien yang akan meninggal (seperti valganciclovir dapat mempertahankan
pengelihatan pada pasien dengan retinitis CMV); pada individu lain, hal tersebut mungkin
odynophagia kadidiasis esofagus, atau nyeri kepala yang berhubungan dengan meningitis
L. Peluang Integrasi\
Menurut Jan Stjernsward seorang pionir metode perawatan paliatif terintegrasi, yang
bekerja di WHO, definisi integrasi dalam konteks perawatan paliatif dilihat dari tiga
perspektif berbeda, dari sistem pelayanan kesehatan, dari perawatan paliatif patient-
centered dan dari perspektif klien setelah mengalami kesuksesan implementasi. Tujuan
dari integrasi adalah untuk memungkinkan seseorang dengan HIV mendapat akses ke
berbagai bidang yang berbeda namun melalui akses pelayanan perawatan kesehatan dan
psikososial satu pintu. Cara seperti ini menyebankan pekerja-pekerja pelayanan kesehatan
HIV dapat menjadi lebih baik dalam memperbaiki outcome pasien dengan efisien baik
untuk pasien maupun sistem pelayanan perawatan kesehatan. Secara umum integrasi
adalah organisasi, koordinasi, dan manajemen dari berbagai aktivitas dan sumber untuk
menjamin pelayanan yang lebih efisien dan sesuai dalam hal biaya, luaran, efek, dan
Perawatan pasien dengan HIV tergolong rumit seperti pengobatan gejala saat virus
terkontrol atau membantu dengan perencanaan perawatan lebih lanjut pada masa akhir
kehidupan, tim perawatan paliatif berperan penting dalam mendukung pasien dan dokter
melalui proses ini. Hal ini menjadi alasan perawatan paliatif dianjurkan sebagai terapi
pendamping bagi pasien HIV. Menyadari efek potensial dari integrasi perawatan paliatif
22
ke dalam perawatan rutin, World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa
“perawatan paliatif sebaiknya tergabung dalam setiap stadium penyakit HIV”. Hal serupa
tertera dalam pedoman UNAIDS yang menyatakan bahwa seluruh individu yang hidup
dengan HIV sebaiknya diberi perawatan paliatif yang efektif selama pengobatannya.
Program yang ada yang menggabungkan perawatan paliatif ke dalam perawatan HIV
beragam, menawarkan berbagai layanan, termasuk perawatan paliatif berbasis rumah sakit
terapi tambahan bila digabungkan dalam proses penyakit HIV dapat meningkatkan hasil
luaran. Keterlibatan perawatan paliatif secara dini tidak hanya meningkatkan kualitas
pengobatan. Sehingga penting untuk kualitas kehidupan dan hasil luaran penyakit serta
perawatan klinis HIV pada umumnya yang menjamin eksplorasi lebih lanjut. Pertama, uji
klinis yang dirancang uuntuk membandingkan perawatan paliatif HIV terintegrasi dengan
perawatan klinis HIV biasa harus diuji untuk menentukan dampak layanan terintegrasi
pada hasil luaran terapi, kepuasan pasien, dan biaya. Kedua, pendekatan untuk
memastikan akses awal terhadap ahli perawatan paliatif dalam perawatan HIV perlu
ditinjau. Terakhir, penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk menilai keterlibatan perawatan
paliatif secara dini dalam diskusi mengenai arahan awal dan tujuan perawatan pada
HIV/AIDS menghasilkan:
23
2. Lebih patuh terhadap terapi antiretroviral.
1. Penilaian kebutuhan fisik, emosional, sosial dan spiritual pasien maupun keluarga,
meliputi: skrining nyeri dan gejala fisik lain (termasuk efek samping obat antiretroviral)
pelayanan.
ilustrasi yang disediakan oleh komponen perawatan paliatif yang terintegrasi dengan
Kapan sebaiknya perawatan paliatif diberikan pada pasien HIV tidak ada disebutkan
dalam buku-buku pedoman khusus paliatif, namun disarankan sebaiknya sejak pasien
mendapat informasi mengenai diagnosis HIV, karena beberapa studi menunjukkan saat
ini merupakan periode untuk kebutuhan paliatif segera. Selama periode memulai terapi
terhadap keberadaan penyakit ini, bersamaan dengan mengalami penderitaan fisik yang
disebabkan infeksi oportunistik, inflamasi oleh HIV, atau oleh penyakit komorbid
24
Beberapa studi mengenai implementasi perawatan paliatif pada beberapa klinik HIV
Tim meliputi kepala klinik/rumah sakit atau kepala subdivisi, klinisi dari
berbagai disiplin ilmu, perawat, dan klien atau pasien. Tugas tim adalah menjamin
bahwa proses integrasi sesuai dan efisien. Tujuan primer tim adalah melakukan
penilaian kebutuhan perawatan paliatif pasien dan memutuskan langkah yang harus
diambil dalam rangka memenuhi kebutuhan pasien. selanjutnya akan dipandu dan
pelayanan.
pasien. Perencanaan sebaiknya dibuat secara kolaboratif dengan bidang disiplin lain,
dan disusun secara spesifik mengenai apa yang dibutuhkan, kapan dan oleh siapa.
pelayanan pasien HIV, sehingga langkah pertama yang penting adalah memberikan
pelatihan dasar pada mereka. Pelatihan dasar bisa diselesaikan dalam waktu
a) Mengapa perawatan paliatif penting bagi kualitas hidup pasien dan keluarganya.
25
b) Prevalensi nyeri, gejala lain dan gangguan kesehatan mental yang bisa terjadi
Langkah lain adalah menggunakan alat ukur untuk deteksi gejala dan perawatan paliatif
yang dibutuhkan. Terdapat beberapa alat ukur untuk penilaian pasien yang dapat
digunakan pada perawatan pasien HIV, antara lain Palliative Care Outcome Scale (POS)
dan Memorial Symptom Assesment Scale. Pusat perawatan HIV dapat menggunakan alat
ukur tersebut atau membuat sendiri alat ukurnya. Contoh alat ukur yang dikembangkan
oleh suatu klinik HIV di Vietnam adalah alat ukur singkat yang menggambarkan
bermacam-macam gejala dan masalah. Alat ukur ini bertujuan melihat masalah atau
gejala yang ada pada pasien di klinik HIV mereka dan dibuat tingkat keparahannya,
seperti terlihat pada gambar di bawah ini (Gwyther, L., et al., 2006; Engels, J., 2009;
Berikut contoh tabel untuk mencatat perubahan gejala yang dilakukan petugas:
perawatan paliatif yang dapat digunakan untuk membantu klinisi menangani nyeri,
gejala lain dan gangguan mental, namun masing-masing pusat pelayanan HIV akan
tinjauan ulang menggunakan daftar pendek yang dapat dibuat dan divalidasi sendiri
untuk mengukur kualitas (Green, K., Horne, C., 2012; Engels, J., 2009).
26
B. Pengertian Perawatan Paliatif
kronis telah menjadi semakin umum selama beberapa tahun terakhir. Gerakan ini
dimulai tak lama setelah Organisasi Kesehatan Dunia pertama kali mengusulkan
Model PCS awal yang sama ini direkomendasikan secara khusus untuk
penyakit seperti HIV / AIDS dalam Buletin 2004 mereka tentang Perawatan Paliatif.2
Program Gabungan PBB untuk HIV / AIDS (UNAIDS) juga menekankan pendekatan
ini ketika mencoba untuk mengklarifikasi kesalahpahaman bahwa PCS terbatas untuk
perawatan rumah sakit (Wilkie DJ, 2010) Definisi UNAIDS menyatakan bahwa
perawatan paliatif (PC) '' dapat diterapkan pada awal perjalanan penyakit, bersamaan
dengan terapi lain yang dimaksudkan untuk memperpanjang hidup. '' 3 Sebuah studi
mani oleh Temel et al pada 2010 yang melibatkan PC awal secara nonsmall kanker
paru-paru sel menunjukkan peningkatan kualitas hidup, penurunan rawat inap, dan
pasien dengan berbagai penyakit kronis telah mulai menggunakan PCS bersamaan
beban gejala yang tinggi terkait dengan penyakit HIV tidak dapat diremehkan dan
27
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas
hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan
penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui
identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-
masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual (KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007).
keadaan pasien yang dipersepsikan terhadap keadaan pasien sesuai konteks budaya
dan sistem nilai yang dianutnya, termasuk tujuan hidup, harapan, dan niatnya
Pasien terminal illness adalah pasien yang sedang menderita sakit dimana
tingkat sakitnya telah mencapai stadium lanjut sehingga pengobatan medis sudah
tidak mungkin dapat menyembuhkan lagi. Oleh karena itu, pasien terminal illnes
bahwa pasien terminal illness adalah orang-orang sakit yang diagnosis dengan
penyakit berat yang tidak dapat disembuhkan lagi dimana prognosisnya adalah
kematian.
atau penyakit yang tidak mempunyai harapan untuk sembuh dan menuju pada proses
kematian dalam 6 bulan atau kurang. Kematian sebagai wujud kehilangan kehidupan
dan abadi sifatnya, baik bagi yang telah menjalani proses kematian maupun bagi yang
28
Kematian adalah sebuah rahasia Tuhan. Namun, sebab-sebab kematian
dinamika perubahan manusia sebab kematian adalah akhir dari tahapan tugas-tugas
perkembangan hidup manusia. Manusia bias mati karena sakit, kecelakaan, terbunuh,
bunuh diri, euthanasia atau mungkin mati tanpa sebab apa-apa. Manusia yang mati
secara mendadak tanpa melalui proses menuju kematian atau sekarat dalam jangka
waktu yang relative pendek pasti tidak menunjukan dinamika sebagaimana yang
dikemukakan oleh Kubbler Rose (1998) atau Pattison dalam Papalia (1977);
sedangkan mereka yang mati melalui proses menuju kematian dalam jangka waktu
yang relatif panjang seperti pasien erminal illness akan menunjukan dinamika yang
sangat kompleks.
Saat kematian itu datang, maka berhentilah semua aktivitas organ-organ yang
mendominasi kematian. Semua makhluk yang pernah hidup pasti akan mati, termasuk
manusia. Hanya saja kapan waktu tibanya kematian itulah yang tidak pasti. Ketakutan
dan kecemasan akan suatu kematian merupakan fenomena yang umum dialami oleh
semua manusia. Ketakutan dan kecemasan itu dapat muncul karena waktu tibanya
yang tidak diketahui dan belum adanya kesiapan untuk menghadapi kematian itu
meninggalkan dunia yang mungkin penuh dengan kenikmatan, dan menuju suatu
Hal ini berarti bahwa waktu kematiannya lebih jelas diketahui dan menjadi
suatu hal yang pasti. Meskipun waktu kematian yang sudah dapat dilihat dengan lebih
pasti, namun rasa tidak terima, takut, marah, cemas, dan sedih menghinggapi pasien
29
terminal illness setelah ia didiagnosis seperti itu. Diagnosis terminal illness dapat
Menurut komunitas AIDS Indonesia (2010), gejala klinis terdiri dari 2 gejala
yaoitu gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi) :
1. Gejala mayor
e. Demam/HIV ensefalopati
2. Gejala minor
b. Dermatitis generalisata
d. Kandidas orofaringeal
f. Limfadenopati generalisata
30
Menurut Anthony (Fauci dan Lane, 2008), gejala klinis HIV/AIDS dapat dibagikan
mengikut fasenya.
1. Fase akut
Sekitar 50-70% penderita HIV/AIDS mengalami fase ini sekitar 3-6 minggu
selepas infeksi primer. Gejala-gejala yang biasanya timbul adalah demam, faringitis,
muncul bersama dengan ledakan plasma viremia. Tetapi demam, ruam kulit,
faringitis dan mialgia jarang terjadi jika seseorang itu diinfeksi melalui jarum suntik
narkoba daripada kontak seksual. Selepas beberapa minggu gejala-gajala ini akan
hilang akibat respon sistem imun terhadap virus HIV. Sebanyak 70% dari penderita
HIV akan mengalami limfadenopati dalam fase ini yang akan sembuh sendiri.
2. Fase asimptomatik
Fase ini berlaku sekitar 10 tahun jika tidak diobati. Pada fase ini virus HIV
akan bereplikasi secara aktif dan progresif. Tingkat pengembangan penyakit secara
langsung berkorelasi dengan tingkat RNA virus HIV. Pasien dengan tingkat RNA
virus HIV yang tinggi lebih cepat akan masuk ke fase simptomatik daripada pasien
3. Fase simptomatik
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah
terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir
B. Tahap Berduka
31
Dr.Elisabeth Kublerr-Ross telah mengidentifikasi lima tahap berduka yang dapat
1. Denial ( pengingkaran )
Dimulai ketika orang disadarkan bahwa ia akan meninggal dan dia tidak dapat
2. Anger ( Marah )
Terjadi ketika pasien tidak dapat lagi mengingkari kenyataan bahwa ia akan
meninggal.
3. Bergaining ( tawar-menawar )
Merupakan tahapan proses berduka dimana pasien mencoba menawar waktu untuk
hidup.
4. Depetion ( depresi )
Tahap dimana pasien datang dengan kesadaran penuh bahwa ia akan segera mati.ia
sangat sedih karna memikirkan bahwa ia tidak akan lama lagi bersama keluarga dan
teman-teman.
5. Acceptance ( penerimaan)
Merupakan tahap selama pasien memahami dan menerima kenyataan bahwa ia akan
terselesaikan.
1. Kematian yang pasti dengan waktu yang diketahui, yaitu adanya perubahan yang
32
2. Kematian yang pasti dengan waktu tidak bisa diketahui, baisanya terjadi pada
3. Kematian yang belum pasti, kemungkinan sembuh belum pasti, biasanya terjadi
4. Kemungkinan mati dan sembuh yang tidak tentu. Terjadi pada pasien dengan sakit
adalah studi dan manajemen pasien dengan penyakit aktif, progresif, jauh lanjut
untuk siapa prognosisnya terbatas dan fokus perawatan adalah kualitas hidup. [Ini]
perawatan total aktif pasien yang penyakitnya tidak responsif terhadap pengobatan
kuratif. Kontrol rasa sakit, gejala lain, dan masalah psikologis, sosial, dan spiritual,
adalah yang terpenting. Tujuan dari perawatan paliatif adalah pencapaian kualitas
hidup terbaik untuk pasien dan keluarga mereka. Banyak aspek perawatan paliatif
yang berlaku lebih awal dalam perjalanan penyakit, bersamaan dengan perawatan.
Perawatan paliatif:
33
Singkatnya, perawatan paliatif secara komprehensif mengatasi dampak fisik,
emosional, dan spiritual dari penyakit yang mengancam jiwa pada seseorang, tidak
semua gejala dan masalah yang dialami oleh mereka. Banyak penyedia layanan
perawatan semua pasien mereka, tidak hanya mereka yang sakit parah, menawarkan
jenis perawatan yang kita semua ingin terima ketika kita sakit.
Meskipun bidang tersebut berkembang dari gerakan rumah sakit tahun 1960-
HIV / AIDS di seluruh rangkaian proses penyakit, apakah gejalanya disebabkan oleh
infeksi oportunistik, virus HIV yang mendasarinya, atau efek yang tidak diinginkan
perawatan paliatif ke dalam sistem perawatan HIV / AIDS, orang perlu melihat
melampaui dikotomi tradisional “salah satu / atau” yang sering ada antara perawatan
kuratif dan paliatif (lihat Gambar 1) dan merangkul konsep “keduanya” Perawatan
paliatif meningkatkan perawatan HIV — itu bukan pengganti perawatan medis atau
34
Perawatan paliatif merupakan komponen penting dalam merawat orang yang
hidup dengan HIV, terlepas dari tahap penyakit mereka. Bagian pertama
menjelaskan layanan yang terdiri dari perawatan paliatif; yang kedua menjelaskan
elemen-elemen penting yang harus ada agar program perawatan paliatif berhasil; dan
yang ketiga menyajikan berbagai model yang digunakan untuk menyusun program
oleh orang yang hidup dengan HIV dan keluarga mereka. Komponen perawatan
terlatih dalam pendekatan ini mendengarkan dengan seksama pasien dan keluarga
35
bekerja dengan pasien dan keluarga sampai masalah ini diselesaikan sebaik
mungkin.
Manajemen gejala
Fokus utama perawatan paliatif adalah manajemen gejala. Para ahli perawatan
paliatif telah belajar bahwa bahkan rasa sakit yang melemahkan biasanya dapat
dikontrol dan bahwa orang-orang dengan rasa sakit dari penyebab yang sulit
ditangani dapat memperoleh bantuan jika diberikan dengan intervensi yang sesuai.
Untuk tujuan ini, opioid sangat penting untuk manajemen nyeri yang tepat dan
program perawatan paliatif tidak lengkap tanpa mereka Tangga Nyeri Analgesik
WHO mengidentifikasi tiga tingkat nyeri; setiap tingkat diobati dengan obat-obatan
36
Langkah 2: Nyeri sedang, atau nyeri ringan yang bertahan atau meningkatkan
obat opioid yang lemah (mis., Kodein) ditambahkan ke rejimen, dan mungkin dosis
Langkah 3: Nyeri hebat, atau nyeri sedang yang bertahan atau meningkatkan
obat-obatan opioid, termasuk morfin, obat nyeri nonopioid, dan obat-obatan ajuvan
kebutuhan setiap orang, diberikan dengan rute sesederhana mungkin, dalam dosis
terjadwal pada tingkat yang mencegah kekambuhan, dengan dosis tambahan untuk
rasa sakit "terobosan". Tingkat rasa sakit sekarang dianggap sebagai salah satu tanda
vital tubuh, bersama dengan tekanan darah, denyut nadi, laju pernapasan, dan suhu.
semua anggota tim. Skala intensitas nyeri 0-10 adalah alat penilaian sederhana dan
efektif yang tidak memerlukan peralatan apa pun. Pasien diminta untuk menilai
tingkat rasa sakit yang mereka alami dalam skala dari 0 hingga 10, dengan 0 tanpa
rasa sakit dan 10 sebagai rasa sakit terburuk yang bisa dibayangkan. Skor seseorang
untuk mencapai dan mempertahankan kontrol rasa sakit yang optimal. Alat laporan
diri ini dan lainnya telah ditemukan sangat tepat dalam menilai rasa sakit dan
efektivitas pengobatan. Karena opioid adalah obat yang paling efektif untuk
nyeri, tetapi banyak dokter yang tidak terlatih tidak menggunakan dosis opioid yang
cukup tinggi untuk meringankan rasa sakit pasien mereka karena mereka takut
menyebabkan kecanduan.
37
Namun, mengobati rasa sakit tidak menyebabkan kecanduan, itu mengurangi
penderitaan dan meningkatkan kualitas hidup Orang dengan HIV menderita berbagai
macam fisik masalah bahkan pada tahap awal infeksi HIV, sehingga manajemen
sebanyak mungkin. Beberapa gejala HIV yang paling persisten dan sulit termasuk
depresi, insomnia, batuk, mual dan muntah, diare, dan sembelit (P.A. Selwyn, 2003)
satu langkah dalam mengendalikan gejala; Namun, itu mungkin bukan satu-satunya.
Seorang dokter perlu terus bekerja dengan pasien jika gejalanya menetap setelah
infeksi telah diobati atau disingkirkan - mencoba yang pertama obat sebelum yang
lain ditemukan. Menerima bahwa pasien mungkin masih menderita bahkan setelah
perawatan yang direkomendasikan telah dicoba dan sedang bersedia untuk terus
bekerja dengan pasien untuk menemukan solusi yang menjadi ciri dokter perawatan
paliatif sejati.
gejala yang mungkin melemahkan, orang yang hidup dengan HIV harus sering
anggota keluarga lainnya, kehilangan fungsi fisik mereka sendiri, kehilangan fungsi
AIDS, orang dengan HIV dan keluarga mereka mengalami stigma. Dalam konteks
38
Perawatan paliatif yang efektif membutuhkan interdisipliner tim yang
termasuk tidak hanya tenaga medis, tetapi juga orang-orang seperti pekerja sosial,
psikoterapis, dan konselor pastoral yang dilatih untuk memberikan konseling dan
vital dari perawatan HIV psikososial. Baik dalam bentuk konseling satu-satu atau
sendiri yang juga hidup dengan HIV memungkinkan pasien untuk menghilangkan
ketakutan dan stereotip mereka sendiri tentang penyakit ini dan untuk melihat bahwa
orang-orang terus hidup produktif hidup setelah didiagnosis dengan infeksi. Bertemu
seseorang yang hidup dengan HIV secara langsung dapat menjadi pengalaman
positif yang paling penting bagi orang yang baru didiagnosis dan, dalam beberapa
Perawatan paliatif tidak dapat diberikan dalam ruang hampa; ketika kebutuhan
dan pakaian — tidak terpenuhi, semua yang lain menjadi tidak relevan. Seringkali
pekerja sosial tim perawatan paliatif yang memastikan bahwa kebutuhan esensial
pasien ada, berjejaring dengan lembaga masyarakat yang menangani masalah unik
komunitas individu dan anggota keluarga, untuk memastikan bahwa pasien aman,
39
orang terlantar atau terpinggirkan secara ekonomi, kebutuhan hidup pasien yang
narkoba, alkoholisme, dan / atau penyakit mental. Penyedia perawatan paliatif perlu
dilatih untuk bekerja dengan orang yang menderita masalah kesehatan perilaku dan
program perawatan paliatif harus siap untuk mengatasi masalah ini, serta untuk
perawatan paliatif adalah program terpisah dalam suatu komunitas sementara yang
paliatif dikembangkan untuk melengkapi layanan yang sudah ada dan berfungsi
Jenis program
Unit perawatan paliatif rawat inap — terletak di rumah sakit akut, fasilitas
adalah salah satu model perawatan. Dalam satu model rawat inap, staf interdisipliner
40
seluruh unit mengkhususkan diri dalam dan menyediakan layanan perawatan paliatif
lainnya melibatkan tim penasihat atau konsultasi perawatan paliatif. Di sini, pasien
dirawat di tempat tidur rumah sakit umum oleh dokter perawatan primer mereka,
ahli kanker, atau dokter HIV, dan tim memberikan konsultasi dalam manajemen
layanan kepada pasien di rumah mereka atau saat mereka bergerak dari pengaturan
ke pengaturan.
Pelatihan yang tersebar luas dan penetapan kebijakan dan protokol penting
selama ada sumber daya yang memadai, termasuk staf, untuk menyediakan layanan
Perawatan Paliatif Katalonia, sebuah proyek WHO dari tahun 1990-95, telah
mengembangkan jaringan perawatan paliatif luas yang melayani kanker dan pasien
Kapasitas staf dan layanan dalam hal tempat tidur dan jumlah tim perawatan
ini terdiri dari tim perawatan paliatif yang menyediakan perawatan dan layanan di
rumah, di rumah sakit akut, dan di fasilitas jangka panjang. Berbagai lokasi
41
memilih pengaturan yang paling sesuai dengan kebutuhan mereka dan kemampuan
untuk bergerak di antara pengaturan ini ketika situasi mereka berubah. Menciptakan
berbeda.
tetapi pada awal 1990-an hospice dan program perawatan paliatif mulai muncul.
Pada tahun 2002, 23 negara di daerah ini memiliki setidaknya satu rumah sakit atau
layanan perawatan paliatif (D. Clark and M.Wright, 2002). Dengan jumlah total 467
program di wilayah ini. Sebagian besar di antaranya ada di Polandia dan Rusia,
tetapi konsep ini telah menjadi prioritas di banyak negara. Lima program layanan
Rusia, mereka dapat berfungsi sebagai model bagi pembuat kebijakan dan
Peran jaringan
dapat berfungsi sebagai katalis penting dan alat komunikasi. Di Spanyol, misalnya,
42
pendidikan. Selain itu, SECPAL mendidik profesional kesehatan di seluruh negeri
(HPCASC) dan Asosiasi Paliatif Perawatan Latvia melayani fungsi yang sama di
nasional dan asosiasi perawatan paliatif regional di seluruh dunia, termasuk banyak
negara Eropa Timur. Semua organisasi ini adalah sumber daya yang baik bagi
E. Pengkajian
Perawat harus memahami apa yang dialami klien dengan kondisi terminal, tujuannya
untuk dapat menyiapkan dukungan dan bantuan bagi klien sehingga pada saat-saat
terakhir dalam hidup bisa bermakna dan akhirnya dapat meninggal dengan tenang dan
damai. Doka (1993) menggambarkan respon terhadap penyakit yang mengancam hidup
1. Fase prediagnostik : terjadi ketika diketahui ada gejala atau factor resiko penyakit
2. Fase akut : berpusat pada kondisi krisis. Klien dihadapkan pada serangkaian
3. Fase kronis : klien bertempur dengan penyakit dan pengobatnnya, Pasti terjadi.
Klien dalam kondisi terminal akan mengalami masalah baik fisik, psikologis
maupun social-spiritual.
43
2. Problem Eliminasi : Konstipasi, medikasi atau imobilitas memperlambat
konstipasi, inkontinensia fekal bisa terjadi oleh karena pengobatan atau kondisi
oliguri terjadi seiring penurunan intake cairan atau kondisi penyakit mis gagal
ginjal
3. Problem Nutrisi dan Cairan : Asupan makanan dan cairan menurun, peristaltic
menurun, distensi abdomen, kehilangan BB, bibir kering dan pecah-pecah, lidah
kering dan membengkak, mual, muntah, cegukan, dehidrasi terjadi karena asupan
cairan menurun.
sensasi menurun.
intra vena, klien harus selalu didampingi untuk menurunkan kecemasan dan
meningkatkan kenyamanan.
masalah pada kulit sehingga pasien terminal memerlukan perubahan posisi yang
sering.
banyak respon emosi, perasaaan marah dan putus asa seringkali ditunjukan.
Problem psikologis lain yang muncul pada pasien terminal antara lain
44
ketergantungan, hilang control diri, tidak mampu lagi produktif dalam hidup,
komunikasi.
kondisi terminal dan menderita penyakit kronis yang lama dapat memaknai
11. Sirkulasi
Gejala: Proses penyembuhan luka yang lambat (bila anemia); perdarahan lama
keluarga, hubungan dengan orang lain Penghasilan, gaya hidup tertentu dan
BB Mengingkari diagnosa, merasa tidak berdaya, putus asa, tidak berguna, rasa
45
defresi, takut, menarik diri Perilaku marah, postur tubuh mengelak, menangis,
dan kontak mata kurang Gagal menepati janji atau banyak janji untuk periksa
13. Eliminasi
Gejala: Diare yang intermitten, terus menerus, sering dengan atau tanpa disertai
kram abdominal, Nyeri panggul, rasa terbakar saat miksi Tanda: Feces dengan
atau tanpa disertai mukus dan marah, sering diare pekat, nyeri tekan abdominal,
Lesi atau abses rectal, personal, Perubahan dalam jumlah, warna dan
karakteristik urin
perawakan kurus, menurunnya lemak subkutan / massa otot, turgor kulit buruk,
Lesi pada rongga mulut, adanya selaputnya putih dan perubahan warna
Kesehatan gigi / gusi yang buruk, adanya gigi yang tanggal Edema (umum,
dependen)
15. Higiene
yang kurang rapi, Kekurangan dalam banyak atau perawatan diri, aktivitas
perawatan diri
16. Neurosensori
mengingat dan konsentrasi menurun, Kerusakan sensasi atau indera posisi dan
46
kesemutan pada ekstremitas (kaki tampak menunjukkan perubahan paling awal)
Tanda: Perubahan status mental dan rentang antara kacau mental sampai
harapan yang tidak realistis Timbul refleksi tidak normal, menurunnya kekuatan
otot dan gaya berjalan ataksia Tremor pada motorik kasar / halus, menurunnya
Gejala: Nyeri umum atau local, sakit, rasa terbakar pada kaki Sakit kepala
(keterlibatan ssp) Nyeri dada pleuritis Tanda: Pembengkakan pada sendi, nyeri
pada kelenjar, nyeri tekan Penurunan rentang gerak, perubahan gaya berjalan /
18. Pernapasan
Gejala: Isksering, menetap Napas pendek yang progresif Batuk (sedang sampai
parah), produktif / non produktif sputum (tanda awal dari adanya PCP mungkin
batuk spasmodic saat napas dalam) Bendungan atau sesak dada Tanda:
19. Keamanan
defisiensi imun, yakni kanker tahap lanjut Riwayat / berulangnya infeksi dengan
47
ekzema, eksantem, psoriasis, perubahan warna / ukuran mola; mudah terjadi
memar yang tidak dapat dijelaskan sebabnya Rektum, luka-luka perianal atau
abses Timbulnya nodul-nodul, pelebaran kelenjar limfe pada 2 area tubuh atau
lebih (mis: leher, ketiak, paha) Menurunnya kekuatan umum, tekanan otot,
20. Seksualitas
dengan pasangan yang positif HIV, pasangan seksual multipel, aktivitas seksual
yang tidak terlindung dan seks anal Menurunnya libido, terlalu sakit untuk
21. Genetalia:
48
23. Penyuluhan / pembelajaran
1. Faktor Fisik
Pada kondisi terminal atau menjelang ajal klien dihadapkan pada berbagai
masalah pada fisik. Gejala fisik yang ditunjukan antara lain perubahan pada
mobilisasi, nyeri.
Perawat harus mampu mengenali perubahan fisik yang terjadi pada klien,
kematian. Perawat harus respek terhadap perubahan fisik yang terjadi pada klien
2. Faktor Psikologis
harus peka dan mengenali kecemasan yang terjadi pada pasien terminal, harus bisa
mengenali ekspresi wajah yang ditunjukan apakah sedih, depresi, atau marah.
Problem psikologis lain yang muncul pada pasien terminal antara lain
49
ketergantungan, kehilangan harga diri dan harapan. Perawat harus mengenali
3. Faktor Sosial
karena pada kondisi ini pasien cenderung menarik diri, mudah tersinggung, tidak
harus bisa mengenali tanda klien mengisolasi diri, sehingga klien dapat
4. Faktor Spiritual
mendekatkan diri pada Tuhan ataukah semakin berontak akan keadaannya. Perawat
5. Konsep dan prinsip etika, norma, budaya dalam pengkajian Pasien Terminal
Nilai, sikap, keyakinan, dan kebiasaan adalah aspek cultural atau budaya yang
terminal berdasarkan etika, norma, dan budaya, sehingga reaksi menghakimi harus
dihindari.
50
spiritual. Perawat harus sensitive terhadap kebutuhan ritual pasien yang akan
dapat terpenuhi.
(bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut
antiretroviral atau belum. Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi
Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV adalah
Rekomendasi :
1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3
2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan
3. Memulai Terapi ARV pada Keadaan Infeksi Oportunistik (IO) yang Aktif
pengobatan atau diredakan sebelum terapi ARV dapat dilihat dalam tabel
di bawah ini.
51
Tabel 7. Tatalaksana IO sebelum memulai terapi ARV
Progresif Multifocal
Kriptosporidiosis
• Efektivitas
• Interaksi obat
• Kepatuhan
• Harga obat
52
1.Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan berada
penggunaan obat.
2.Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan mendekatkan
2 NRTI + 1 NNRTI
Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari paduan di bawah ini:
Nevirapine)
Efavirenz)
53
Emtricitabine) + Efavirenz)
EFV
Pilihan yang
Direkomendasikan
Dewasa dan anak AZT atau TDF + 3TC Merupakan pilihan paduan yang sesuai
Ko-infeksi
HIV/TB AZT atau TDF + 3TC Mulai terapi ARV segera setelah terapi
hingga 8 minggu)
54
Gunakan NVP atau triple NRTI bila
EFV
terapi ARV
Nevirapine dimulai dengan dosis awal 200 mg setiap 24 jam selama 14 hari
pertama dalam paduan ARV lini pertama bersama AZT atau TDF + 3TC. Bila
tidak ditemukan tanda toksisitas hati, dosis dinaikkan menjadi 200 mg setiap 12
jam pada hari ke-15 dan selanjutnya. Mengawali terapi dengan dosis rendah
55
Bila NVP perlu dimulai lagi setelah pengobatan dihentikan selama lebih
dari 14 hari, maka diperlukan kembali pemberian dosis awal yang rendah
tersebut.
mengisi waktu paruh NNRTI yang panjang dan menurunkan risiko resistensi
NNR
56
Penggunaan NVP dan EFV
dibanding EFV.
Dalam keadaan reaksi hepar atau kulit yang berat maka NVP
57
Toksisitas utama EFV adalah berhubungan dengan sistem
(tetapi tidak pada triemester dua dan tiga) dan ruam kulit yang
lead-in dosing
58
2. Pilihan pemberian Triple NRTI
berikut:
dipertimbangkan adalah
AZT+3TC +TDF
59
Perlu diketahui faktor lain yang berhubungan dengan
Stavudin (d4T) merupakan ARV dari golongan NRTI yang poten dan
kurun waktu yang cukup lama. Keuntungan dari d4T adalah tidak
(ABC). Namun dari hasil studi didapat data bahwa penggunaan d4T,
60
Efek samping karena penggunaan d4T sangat berkorelasi
• Pada pasien yang sejak awal menggunakan d4T dan tidak dijumpai
61
5. Penggunaan Protease Inhibitor (PI)
masih terbatas
Dianjurkan
dianjurkan
kronis
62
dan
lipoatrofi)
secara bersamaan
TDF + 3TC + ABC atau Paduan tersebut meningkatkan mutasi K65R dan
Dini
F. Kepatuhan
63
teratur pada setiap kunjungan. Kegagalan terapi ARV sering diakibatkan
untuk mencapai tingkat supresi virus yang optimal, setidaknya 95% dari
semua dosis tidak boleh terlupakan. Resiko kegagalan terapi timbul jika
pasien sering lupa minum obat. Kerjasama yang baik antara tenaga
jaminan kerahasiaan dan penjadwalan yang baik, petugas yang ramah dan
membantu pasien.
dan asal kelompok dalam masyarakat misal waria atau pekerja seks
64
lingkungan dan dukungan sosial, pengetahuan dan perilaku terhadap HIV
dan terapinya).
3.Paduan terapi ARV. Meliputi jenis obat yang digunakan dalam paduan,
bentuk paduan (FDC atau bukan FDC), jumlah pil yang harus diminum,
karakteristik obat dan efek samping dan mudah tidaknya akses untuk
mendapatkan ARV.
diminum.
nada afeksi dari hubungan tersebut (hangat, terbuka, kooperatif, dll) dan
pasien
65
pendukung sebaya/ODHA). Tiga langkah yang harus dilakukan untuk
Sebagian klien tidak siap untuk membuka status nya kepada orang lain.
merupakan dasar untuk tidak memberikan ARV, untuk itu klien perlu
terapi.
66
membuat perencanaan praktis. Hal-hal praktis yang perlu didiskusikan antara
lain:
Perlu dibangun hubungan yang saling percaya antara klien dan petugas
pengobatan.
67
2. Membantu pasien agar mampu memenuhi janji berkunjung ke klinik
terlewatkan
6. Jelaskan bahwa waktu makan obat adalah sangat penting, yaitu kalau
dll).
11. Menanyakan cara yang terbaik untuk menghubungi pasien agar dapat
68
12. Membantu pasien dalam menemukan solusi penyebab ketidak
minum obat.
13. Mengevaluasi sistem internal rumah sakit dan etika petugas dan aspek
lain diluar pasien sebagai bagian dari prosedur tetap untuk evaluasi
dari ARV
gaya hidup sehari-hari pasien dan temukan cara yang dapat digunakan
18. Paduan obat ARV harus disederhanakan untuk mengurangi jumlah pil
yang harus diminum dan frekuensinya (dosis sekali sehari atau dua
69
Kepatuhan dapat dinilai dari laporan pasien sendiri, dengan menghitung
sisa obat yang ada dan laporan dari keluarga atau pendamping yang
kunjungan dan dilakukan secara terus menerus dan berulang kali dan perlu
F. DiagnosaKeperawatan
1. Biologi :
asupan oral
2. Psikologi :
3. Social :
penyebaran infeksi
4. Spiritual :
70
G. IntervensiKeperawatan
71
diperlukan
1.12 Berikan anti
piretikjikaperlu
72
tepat.
73
koping efektif sendiri
5.7 Kolaborasi dengan
sumber-sumber lain (
petugas dinas sosial,
perawat specialis
klinis, dan layanan
keagamaan )
Body image enhancement
counseling
5.8 Mengguakan proses
pertolongan interaktif
yang berfokus pada
kebutuhan, masalah
atau perasaan pasien
dan orang terdekat
untuk meningkatkan
atau mendukung
koping pemecahan
masalah
6 IsolasiSosial NOC : Socialization enhacement
Definisi : kesepian 6. Social interactive 6.1 Fasilitasi dukungan
yang dialami skills. kepada pasien oleh
individu dan 7. Stress level. keluarga, teman
dirasakan saat 8. Social support. dankomunitas.
didorong oleh 9. Post-trauma 6.2 Dukung hubungan
keberadaan orang syndrome. dengan orang lain
lain dan sebagai KriteriaHasil : yang mempunyai
pernyataan - Iklm social keluarga minat dan tujuan yang
negative atau :lingkungan yang sama.
mencengkam. mendukung yang 6.3 Dorong pasien
bercirikanhubunganda melakukan kegiatan
Batasankarakteristi ntujuananggotakeluarg social dan komunitas.
k: a. 6.4 Berikan uji
Objektif : - Partisipasiwaktu pembatasan
1. Tidakadadu luang:menggunakan interpersonal.
kungan aktivitas yang 6.5 Berikanumpanbalikten
orang yang menarik, tangpeningkatandalam
dianggappe menyenangkan, perawatandanpenampil
nting danmenenangkanuntuk andiriatauaktivitas
2. Perilaku meningkatkankesejaht lain.
yang eraan. 6.6 Hadapkanpasienpadah
tidaksesuai - Keseimbanganpada ambatanpenilaian,
denganperk perasaan:mampumeny jikamemungkinkan.
embangan esuaikanemosisebagair 6.7 Dukungpasienuntukme
3. Afektumpu esponterhadapkeadaan ngubahlingkungansepe
l tertentu. rtijalan-jalan
74
4. Buktikecac - Keparahan 6.8 Fasilitasipasien yang
atan kesepian:mengendalik mempunyaipenurunan
(mis:fisik, ankeparahanresponem sensory
mental) osi, social sepertipenggunaankac
5. Ada ataueksistensiterhadapi amatadanalatpendenga
didalam solasi. ran.
subcultural - Penyesuaian yang 6.9 Fasilitasipasienpasienu
6. Sakit, tepatterhadaptekanane ntukberpartisipasidala
tindakantid mosisebagairesponterh mdiskusidengan group
akberarti adapkeadaantertentu. kecil.
7. Tidakadako - Tingkat 6.10 Membantupasienm
ntakmata persepsipositiftentang engembangkanataume
8. Dipenuhide status kesehatandan ningkatkanketerampila
nganpikira status hidupindividu. n social interpersonal.
nsendiri - Partisipasidalamberma 6.11 Kurangi stigma
9. Menunjukk in, isolasidenganmenghor
anpermusu penggunaanaktivitasol matimartabatpasien.
han ehanakusia 1-11 6.12 Galikekuatandanke
10. Tindakanbe tahununtukmeningkatk lamahanpasiendalamb
rulang ankesenangan, erinteraksi social.
11. Afeksedih, hiburan,
inginsendir danperkembangan.
ian - Meningkatkanhubunga
12. Menunjuka n yang
nperilaku efektifdalamperilakupr
yang ibadi, interaksi social
tidakdapatd dengan orang,
iterimaoleh kelompokatauorganisa
kelompokk si.
ultural - Ketersediaandanpenin
yang gkatanpemberian
dominan actual bantuan yang
13. Tidak andaldari orang lain.
komunkati, - Menungkapkanpenuru
menarikdiri nanperasaanataupengal
Subjektif : amandiasingkan.
1. Minat yang
tidaksesuai
dengan
perkemban
gan
2. Mengalami
perasaanbe
rbedadari
orang lain
3. Tidakperca
75
yadirisaatb
erhadapand
engan
public
4. Mengungk
apkanperas
aankesendi
rianyang
didorongol
eh orang
lain.
5. Mengungk
apkanperas
aanpenolak
an.
6. Mengungk
apkannilai
yang
tidakdapatd
iterimakelo
mpok
cultural
dominan.
Factor yang
berhubungan :
1. Perubahan
status
mental
2. Gangguanp
enampilanf
isik
7 Tidak efektifnya Setelah dilakukan Coping Enhancement
ekanisme koping tindakan keperawatan 1 x 7.1 Kaji koping keluarga
keluarga b.d 24 jam diharapakan terhadap sakit pasein
kemampuan Keluarga dapat dan perawatanny
dalam mempertahankansuport 7.2 Biarkan keluarga
mengaktualisasi sistem dan adaptasi mengung -kapkan
diri terhadap perubahan akan perasaan secara verbal
kebutuhannya dengan 7.3 Ajarkan kepada
criteria hasil : keluaraga tentang
- pasien dan keluarga penyakit dan
berinteraksi dengan transmisinya.
cara yang konstruktif
- - keluarga bisa
menerima keadaan
76
klien
77
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
78
DAFTAR PUSTAKA
C.S. Alexander, “Palliative and end-of-life care,” J.R. Anderson, ed., A Guide to
the Clinical Care ofWomen with HIV (Department of Health and Human
Services, Rockville,MD, 2001), p. 349.
Cherny, N., Fallon,M., Kaasa, S., Potenoy,R., David C.C.2015. Issues in
populations with non-cancer illnesses (HIV/AIDS) dalam Oxford Textbook
of Palliative Medicine. Fifth edition, 15 (1), 55-968. Oxford: Oxford
University Press.
Coleein, I., 2010. Makna Spiritualitas pada Pasien HIV/AIDS dalam Konteks
Asuhan Keperawatan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, tesis.
Jakarta: Universitas Indonesia.
D. Clark and M.Wright, Transitions in End of Life Care: Hospice and Related
Developments in Eastern Europe and Central Asia (Open University Press,
Buckingham, 2002).
D. Clark, “Beacons in Eastern Europe,” European Journal of Palliative Care 9, p.
5 (2002).
Doyle, Hanks and Macdonald, 2003. Oxford Textbook of Palliative
Medicine. Oxford Medical Publications ( OUP) 3 rd edn 2003
Engels, J. 2009. Palliative Care Strategy for HIV and Other Disease.
Cambodia: Family Health International.
Except where other references are cited, information for this article is based on A
Clinical Guide to Supportive & Palliative Care for HIV/AIDS, edited by
J.F. O’Neill et al. Funded by the HIV/AIDS Bureau (HAB) of the Health
Resources and Services Administration in the US Department of Health and
Human Services, it is on the HAB Web site (www.hab.hrsa.gov), where
copies can also be ordered free of charge depending on availability.
Fausto JA Jr, Selwyn PA. Palliative care in the management of advanced HIV/
AIDS. Prim Care. 2011;38(2):311-26, ix.
Green, K., Horne, C. 2012. Integrating palliative care into HIV service. A
Practical toolkit for implementers. London: FHI 360 and The Diana
Memorial Fund.
Gwyther, L., et al. 2006. A Clinical Guide to Supportive and Palliative
Care for HIV/AIDS. Cape Town: Hospice Palliative Care Association
of South Africa.
Helen Schietinger, MA, ACRN, is a co-editor of A Clinical Guide to Supportive &
Palliative Care for HIV/AIDS. She can be reached at
h.schietinger@verizon.net.
Jones, S.G., 2017. Symptom Management and Palliative Care in HIV/AIDS.
[cited januari, 7, 2019]. Avalaible at: http://www.medscape.
org/viewarticle/445637 .
Kurella Tamura M, Cohen LM. Should there be an expanded role for palliative
care in end-stage renal disease? Curr Opin Nephrol Hypertens.
2010;19(6):556-560.
79
P.A. Selwyn, “Overcoming the false dichotomy of curative vs palliative care for
late-stage HIV/AIDS,” JAMA 290, pp. 806-14 (2003).
S.R.Montealegre, “From Concepts to Reality: A Consumer’s Perspectives on
Palliative Care,” Palliative Care in Resource-Constrained Settings for
People Living With HIV/AIDS and Other Life-Threatening Illnesses
Presentations, J. Holloway, ed. (from the 14th International Congress on the
Care of the Terminally Ill,Montreal, Canada, October 2002), available at
http://hab.hrsa.gov/publications (accessed 1/04).
Sarah Lofgren, Rachel Friedman. Integrating Early Palliative Care for Patients
With HIV: Provider and Patient Perceptions of Symptoms and Need for
Services. American Journal of Hospice & Palliative Medicine. 2014
Simms V, Higginson IJ, Harding R. Integration of palliative care throughout
HIV disease. Lancet Infect Dis. 2012;12(7): 571-575.
Souza, P.N., et al. (2016). Palliative Care for Patients with HIV/AIDS Admitted
to Intensive Care Units. Rev Bras Intensiva, 28(3): 301-309.
Stigma and HIV/AIDS: A Review of the Literature,”D.L. Brimlow et al., eds.
(Department of Health and Human Services, Rockville,MD, September,
2003)
WHO, Cancer Pain Relief and Palliative Care, WHO Technical Report Series
804, Publication 1100804, Geneva, WHO (1990).
WHO, Cancer Pain Relief, Geneva (1986). R.G. Twycross and S.A. Lack, “Oral
Morphine in Advanced Cancer,” Revised 2nd ed. (Beaconsfield Publishers
Ltd., Beaconsfield, Bucks, England, 1993), p. 18.
Wilkie DJ, Johnson B, Mack AK, Labotka R, Molokie RE. Sickle cell disease: an
opportunity for palliative care across the life span. Nurs Clin North Am.
2010;45(3):375-397.
World Health Organization. Cancer Pain Relief and Palliative Care. Technical
Report Series. Geneva: World Health Organization; 1990:11.
X. G¨umez et al., “WHO Demonstration Project on Palliative Care
Implementation 1990-1995: Results in 1995,” Journal of Pain and Symptom
Management 12 (2), pp. 73-8 (1996).
80