Вы находитесь на странице: 1из 9

Pemberian ARV pada Ibu Hamil dengan Infeksi HIV

Merujuk pada pedoman muktahir, semua ibu hamil dengan HIV diberi terapi ARV,
tanpa harus memeriksakan jumlah CD4 dan viral load terlebih dahulu, kehamilan itu
sendiri merupakan indikasi pemberian ARV yang dilanjutkan seumur hidup.
Pemeriksaan CD4 dilakukan untuk memantau pengobatan – bukan sebagai acuan
untuk memulai terapi.

Paduan ART pada ibu hamil sama dengan paduan ART pada orang dewasa lainnya.
Efavirenz (EFV) yang dulu tidak boleh diberikan pada trimester pertama, belakangan
tidak terbukti menunjukkan efek teratogenik dibandingkan bayi yang tidak terpajan
EFV, sehingga sejak Juli 2012 WHO mengeluarkan kebijakan membolehkan
penggunaan EFV pada ibu hamil. Pemberian ARV dapat segera dimulai setelah ibu
didiagnosis HIV berapapun usia kehamilan. Ibu yang sudah mendapat ARV sebelum
kehamilan, ARV dapat diteruskan tanpa perlu diganti. ARV tetap diteruskan setelah
melahirkan hingga seterusnya.

Untuk memulai terapi ARV perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:

i. Persiapan klien secara fisik/mental untuk menjalani terapi melalui edukasi


prapemberian ARV
ii. Bila terdapat infeksi oportunistik, maka infeksi tersebut perlu diobati terlebih
dahulu. Terapi ARV baru bisa diberikan setelah infeksi oportunistik diobati
dan stabil (kira-kira setelah dua minggu sampai dua bulan pengobatan)
iii. Profilaksis kotrimoksazol diberikan pada stadium klinis 2, 3, 4 dan atau CD4
< 200. Untuk mencegah PCP, Toksoplasma, infeksi bacterial (pneumonia,
diare) dan berguna juga untuk mencegah malaria pada daerah endemis
iv. Pada ibu hamil dengan tuberkulosis: OAT selalu diberikan mendahului ARV
sampai kondisi klinis pasien memungkinkan (kira-kira dua minggu sampai
dua bulan) dengan fungsi hati baik untuk memulai terapi ARV.

Algoritma rekomendasi ARV pada ibu hamil dan menyusui dapat dilihat pada bagan
berikut ini.
Syarat pemberian ARV pada ibu hamil dikenal dengan singkatan SADAR, yaitu
sebagai berikut:

1. Siap : menerima ARV, mengetahui dengan benar efek ARV


terhadap infeksi HIV
2. Adherence : kepatuhan minum obat
3. Disiplin : minum obat dan kontrol ke dokter
4. Aktif : menanyakan dan berdiskusi dengan dokter mengenai terapi
5. Rajin : memeriksakan diri jika timbul keluhan.

Protokol pemberian terapi antiretroviral (ARV) untuk ibu hamil dengan HIV

 Secara umum, yang direkomendasikan untuk ibu hamil HIV positif adalah
terapi menggunakan kombinasi tiga obat (2 NRTI + 1 NNRTI). Perlu
dihindari penggunaan “triple nuke” (3 NRTI).
 Paduan obat ARV Kombinasi Dosis Tetap / Fixed Dose Combination (FDC):
TDF (300mg) + 3TC (300mg) + EFV (600mg).
 Untuk ibu yang status HIV-nya diketahui sebelum kehamilan dan sudah
mendapatkan ARV, maka ARV tetap diteruskan dengan paduan obat yang
sama seperti saat sebelum hamil.
 Untuk ibu hamil yang status HIV diketahui saat kehamilan, segera diberikan
ARV tanpa melihat umur kehamilan, berapapun nilai CD4 dan stadium
klinisnya.
 Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui dalam persalinan, segera
diberikan ARV. Pilihan Paduan obat ARV sama dengan ibu hamil dengan
HIV lainnya.
Ibu hamil juga membutuhkan antibiotik profilaksis terhadap infeksi oportunistik yang
dideritanya. Apabila CD4 <200/ml, profilaksis pilihan untuk PCP adalah
Trimetrophine/sulfamethoxazole (TMX/SMX). Pada trimester pertama, sebaiknya
obat ini diganti dengan pentamidine aerosol karena obat berpotensi teratogenik.
TMX/SMX juga digunakan untuk mencegah toksoplasmik ensefalitis dan diberikan
saat level CD4 <100/ml. Azithromycin menggantikan clarithromycin sebagai
profilaksis MAC. Dosis seminggu sekali jika jumlah CD4 <50/ml. Wanita yang
sebelumnya mengkonsumsi obat-obatan tersebut sebelum hamil sebaiknya tidak
menghentikan pengobatannya

Perencanaan Persalinan Aman bagi Ibu dengan HIV

Cara persalinan harus ditentukan sebelum umur kehamilan 38 minggu untuk


meminimalkan terjadinya komplikasi persalinan. Tujuan persalinan aman bagi ibu
dengan HIV adalah menurunkan risiko penularan HIV dari ibu ke bayi, serta risiko
terhadap ibu, tim penolong (medis/non-medis) dan pasien lainnya.

Semua ibu hamil dengan HIV positif disarankan untuk melakukan persalinan dengan
seksio sesaria. Infus ZDV diberikan secara intravena selama persalinan elektif seksio
sesaria dengan dosis 2 mg/kg selama 1 jam, diikuti dengan 1 mg/kg sepanjang proses
kelahiran. Pada persalinan ini, infus ZDV dimulai 4 jam sebelumnya dan dilanjutkan
sampai tali pusar sudar terjepit.

Persalinan melalui bedah sesar berisiko lebih kecil untuk penularan terhadap bayi,
namun menambah risiko lainnya untuk ibu. Persalinan ini dinilai dapat
meminimalkan terpaparnya janin terhadap darah maternal, akibat pecahnya selaput
plasenta dan sekresi maternal, saat janin melewati jalan lahir. Indikasi persalinan
dengan elektif seksio sesaria adalah wanita tanpa pengobatan antiviral, wanita yang
mengkonsumsi HAART dengan viral load >50kopi/mL, wanita yang hanya
mengkonsumsi monoterapi ZDV, wanita dengan HIV positif dan koinfeksi virus
hepatitis, termasuk HBV dan HCV.

Persalinan pervaginam yang direncanakan hanya boleh dilakukan oleh wanita yang
mengkonsumsi ARV dengan viral load <50 kopi/mL. Jika pasien ini tidak ingin
melakukan persalinan lewat vagina, seksio sesaria harus dijadwalkan pada umur
kehamilan 39+ minggu, untuk meminimalkan resiko transient tachypnea of the
newborn (TTN).

Risiko penularan pada persalinan per vaginam dapat diperkecil dan cukup aman bila
ibu mendapat pengobatan ARV selama setidaknya enam bulan dan/atau viral load
kurang dari 1000 kopi/mm3 pada minggu ke-36. Berikut merupakan tabel
keuntungan dan kerugian kedua jenis persalinan.
Hal-hal berikut perlu diperhatikan dalam memberikan pertolongan persalinan yang
optimal pada ibu dengan HIV:

1. Pelaksanaan persalinan, baik melalui seksio sesarea maupun per vaginam,


perlu memperhatikan kondisi fisik ibu dan indikasi obstetrik.
2. Ibu hamil dengan HIV harus mendapatkan informasi sehubungan dengan
keputusannya untuk menjalani persalinan per vaginam ataupun melalui seksio
sesarea.
3. Tindakan menolong persalinan ibu dengan HIV, baik per vaginam maupun
seksio sesarea harus memperhatikan kewaspadaan umum yang berlaku untuk
semua persalinan.

Penatalaksanaan Nifas bagi Ibu dengan HIV

Perawatan nifas bagi ibu dengan HIV pada dasarnya sama dengan perawatan nifas
pada ibu nifas normal. Terdapat beberapa hal berikut yang perlu diperhatikan:

1. Bagi ibu yang memilih tidak menyusui dapat dilakukan penghentian produksi
ASI.
2. Pengobatan, perawatan dan dukungan secara berkelanjutan diberikan, di
samping tata laksana infeksi oportunistik terhadap pengidap HIV/AIDS dan
dukungan edukasi nutrisi.
3. Pelayanan kontrasepsi pasca persalinan diutamakan agar tidak terjadi
kehamilan yang tidak terencana dan membahayakan ibu dan janin yang
dikandungnya.
4. Edukasi kepada ibu tentang cara membuang bahan yang berpotensi
menimbulkan infeksi, seperti lokia dan pembalut yang penuh dengan darah.
Pemberian ARV pencegahan pada bayi

Semua bayi lahir dari ibu dengan HIV, baik yang diberi ASI eksklusif maupun susu
formula, diberi Zidovudin dalam 12 jam pertama selama enam minggu. Selengkapnya
ada dalam tabel sebagai berikut:

Bila pada minggu keenam, diagnosis HIV belum dapat disingkirkan, maka diperlukan
pemberian kotrimoksasol profilaksis sampai usia 12 bulan atau sampai dinyatakan
HIV negative / non-reaktif. Keluarga pasien harus diberitahu bahwa kotrimoksazol
tidak mengobati dan menyembuhkan infeksi HIV tetapi mencegah infeksi yang
umum terjadi pada bayi yang terpajan HIV. Profilaksis kotrimoksazol dapat
dihentikan pada bayi yang terpajan HIV sesudah dipastikan TIDAK tertular HIV
(setelah ada hasil laboratorium baik PCR maupun antibodi pada usia sesuai). Pada
anak umur 1 sampai 5 tahun yang terinfeksi HIV, cotrimoksazol profilaksis
dihentikan jika CD4 >25%.
Pemberian Kotrimoksasol pada Bayi dari Ibu dengan HIV

Secara teori, ASI dapat membawa HIV dan dapat meningkatkan transmisi perinatal.
Oleh karena itu, WHO tidak merekomendasikan pemberian ASI pada ibu dengan
HIV positif, meskipun mereka mendapatkan terapi ARV. Menurut penelitian yang
dilakukan di Eropa, semua wanita dengan HIV positif direkomendasikan untuk
mengkonsumsi kabergolin 1 mg oral dalam 24 jam setelah melahirkan, untuk
menekan laktasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Valerian CM, Kemara KP, Maghadana IW. 2013. The Management Of HIV
Infection In Pregnancy. E-jurnal medika udayana: vol 2 no 1 (70:84)
2. Kementrian Kesehatan RI. 2015. Pedoman Penatalaksanaan Pencegahan
Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak Bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI no. 87 tahun 2014 tentang Pedoman
Pengobatan Antiretroviral

Вам также может понравиться