Вы находитесь на странице: 1из 55

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyebab utama

kesakitan dan kematian di dunia. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO)

melaporkan bahwa pada tahun 2002 PPOK menempati urutan kelima sebagai

penyebab utama kematian di dunia dan diperkirakan pada tahun 2030 akan

menjadi penyebab kematian ketiga di seluruh dunia. Menurut perkiraan WHO,

terdapat 80 juta orang menderita PPOK derajat sedang-berat. Lebih dari 3 juta

meninggal karena PPOK pada tahun 2005, sekitar 5% dari jumlah semua

kematian secara global.(1)

Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, PPOK

bersama asma bronkial menduduki peringkat kematian kelima di Indonesia.

Prevalensi bronkitis kronik dan PPOK berdasarkan SKRT tahun 1995 adalah 13

per 1000 penduduk, dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 3

banding 1. Menurut SKRT tahun 2001, penyakit saluran napas menduduki

peringkat ketiga penyebab kematian utama di Indonesia setelah sistem sirkulasi,

infeksi, dan parasit. Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal

PPM & PL di 5 Rumah Sakit Propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah,

Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan

PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti

asma bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%).(1)

1
Salah satu karakteristik PPOK adalah kecenderungannya untuk eksaserbasi.

Definisi eksaserbasi PPOK adalah kondisi perburukan yang bersifat akut dari

kondisi sebelumnya yang stabil dan dengan variasi harian normal dan

mengharuskan perubahan dalam pengobatan yang biasa diberikan pada pasien

PPOK. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti polusi

udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi. Menurut Anthonisen dkk. (1987),

kriteria PPOK eksaserbasi akut ditandai oleh meningkatnya jumlah dan

konsistensi sputum dan bertambahnya gejala sesak napas. Eksaserbasi pada pasien

PPOK harus dapat dicegah dan ditangani secara maksimal karena dapat

menurunkan fungsi paru dan kualitas hidup pasien.(1)

Nishimura dkk. (2009) meneliti efek eksaserbasi pada status kesehatan

pasien PPOK. Status kesehatan diukur dengan Chronic Respiratory Disease

Questionnaire (CRQ) dan St. George's Respiratory Questionnaire (SGRQ).

Eksaserbasi akut akan menurunkan status kesehatan pasien PPOK. Untuk

memperkecil timbulnya gangguan status kesehatan maka pasien PPOK harus

mencegah eksaserbasi ulangan dan mengurangi frekuensi eksaserbasi. Llor dkk.

(2008) juga mendapatkan hasil bahwa eksaserbasi pada pasien PPOK akan

mempengaruhi kualitas hidup dalam 2 tahun ke depan. Pengukuran kualitas hidup

juga menggunakan St. George's Respiratory Questionnaire (SGRQ).(1)

Walaupun pasien PPOK banyak yang berobat jalan dan masih dapat

beraktivitas, namun terdapat kecenderungan pasien akan mengalami eksaserbasi

ulangan. Hal ini tergantung dari derajat penyakit dan faktor-faktor risiko

eksaserbasi. Almagro dkk. (2006) meneliti faktor-faktor risiko dalam eksaserbasi

2
sehingga menyebabkan pasien PPOK dirawat inap kembali dalam jangka waktu 1

tahun. Prediktor terbaik yang ditemukan adalah kombinasi kualitas hidup yang

diukur dengan St. George's Respiratory Questionnaire, adanya riwayat pasien

PPOK dirawat inap pada tahun lalu dan adanya hiperkapnea pada saat pasien

pulang dari rumah sakit. Cao dkk. (2006) mendapatkan faktor yang menyebabkan

kecenderungan pasien PPOK eksaserbasi akut sering dirawat inap berulang.

Kecenderungan ini dihubungkan dengan keparahan penyakit dan stres psikososial

serta kurangnya penggunaan vaksinasi. Bahadori dkk. (2007) melalui systematic

review menemukan beberapa faktor risiko yang menyebabkan pasien PPOK

eksaserbasi akut dirawat inap kembali, yaitu peningkatan PaCO2, riwayat dirawat

inap sebelumnya, dyspnea, penggunaan kortikosteroid oral, terapi oksigen jangka

panjang, Indeks Massa Tubuh (IMT) yang rendah, aktivitas fisik kurang, dan usia

tua. Dengan mengidentifikasi faktor-faktor tersebut maka dapat mengurangi

jumlah dan keparahan eksaserbasi.(1)

Angka mortalitas yang tinggi pada PPOK merupakan masalah yang sedang

dihadapi di berbagai Negara, termasuk Indonesia. Kebanyakan pasien PPOK

mempunyai prognosis yang buruk karena menurunnya fungsi fisiologis tubuh.

Groenewegen dkk. (2003) menjelaskan bahwa pasien yang dirawat inap karena

PPOK mempunyai prognosis yang jelek. Faktor-faktor yang diidentifikasi

berhubungan dengan tingginya angka mortalitas adalah pemakaian kortikosteroid

oral jangka panjang, PaCO2 yang tinggi, dan usia pasien yang tua.(1)

Akhir-akhir ini penyakit ini semakin menarik dibicarakan karena prevalensi

dan angka mortalitasnya yang terus meningkat. Karakteristik umum PPOK

3
penting untuk diketahui dalam hal pertimbangan diagnosis, pengobatan,

prognosis, dan kualitas hidup pasien.(1)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka diperlukan suatu penelitian untuk

menjawab pertanyaan yaitu “Bagaimanakah Karakteristik Pasien PPOK di RS

Ibnu Sina Yayasan Wakaf UMI Makassar Periode Januari – Desember 2011?”

1.3. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui gambaran Karakteristik Pasien PPOK di RS Ibnu Sina Yayasan

Wakaf UMI Makassar Periode Januari – Desember 2011.

2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui gambaran pasien PPOK berdasarkan sosiodemografi

(usia, jenis kelamin dan pekerjaan)

2. Mengetahui gambaran pasien PPOK berdasarkan gejala klinis

3. Mengetahui gambaran jenis pengobatan yang diberikan pada pasien PPOK

4
1.4. Manfaat Penelitian

1. Bagi Rumah Sakit

Memberikan informasi atau masukan kepada pihak Rumah Sakit dalam

upaya peningkatan pelayanan pasien PPOK.

2. Bagi Masyarakat

Memberikan informasi tentang PPOK sehingga masyarakat dapat

memahami dan mengetahui karakteristik penderita PPOK.

3. Bagi Peneliti

Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan peneliti di bidang penelitian

dan mengasah daya analisa peneliti.

4. Bagi Peneliti Lainnya

Dapat digunakan sebagai bahan informasi dan masukan bagi peneliti

lainnnya untuk melakukan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan

penelitian yang telah dilakukan penulis.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Umum Penyakit Paru Obstruktif Kronis

2.1.1. Anatomi dan Fisiologi Paru-Paru

Saluran penghantar udara yang membawa udara ke dalam paru-paru

adalah hidung, faring, laring, trakea, bronkus, dan bronkiolus. Saluran pernapasan

dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa bersilia. Ketika

masuk rongga hidung, udara disaring, dihangatkan, dan dilembabkan. Ketiga

proses ini merupakan fungsi utama dari mukosa respirasi yang terdiri dari epitel

toraks bertingkat, bersilia, dan bersel goblet. Permukaan epitel diliputi oleh

lapisan mukus yang disekresi oleh sel goblet dan kelenjar mukosa. Partikel debu

yang kasar disaring oleh rambut-rambut yang terdapat dalam lubang hidung,

sedang partikel yang halus akan terjerat dalam lapisan mukus. Gerakan silia

mendorong lapisan mukus ke posterior di dalam rongga hidung, dan ke superior di

dalam sistem pernapasan bagian bawah menuju faring. Dari sini partikel halus

akan tertelan atau dibatukkan keluar. Lapisan mukus memberikan air untuk

kelembaban, dan banyaknya jaringan pembuluh darah di bawahnya akan

menyuplai panas ke udara inspirasi. Jadi udara inspirasi telah disesuaikan

sedemikian rupa sehingga udara yang mencapai faring hampir bebas debu,

bersuhu mendekati suhu tubuh, dan kelembabannya mencapai 100%.(2)

6
6
Udara mengalir dari faring menuju laring atau kotak suara. Laring terdiri

dari rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan otot-otot dan mengandung

pita suara. Ruang berbentuk segitiga diantara pita suara (yaitu glotis) bermuara ke

dalam trakea dan membentuk bagian antara saluran pernapasan atas dan bawah.

Glotis merupakan pemisah antara saluran pernapasan bagian atas dan bawah.

Meskipun laring terutama dianggap berhubungan dengan fonasi, tetapi fungsinya

sebagai organ pelindung jauh lebih penting. Pada waktu menelan, gerakan laring

ke atas, penutupan glotis, dan fungsi seperti pintu dari epiglotis yang berbentuk

daun pada pintu masuk laring, berperan untuk mengarahkan makanan dan cairan

masuk ke dalam esofagus. Jika benda asing masih mampu masuk melampaui

epiglotis, fungsi batuk yang dimiliki laring akan membantu menghalau benda dan

sekret keluar dari saluran pernapasan bagian bawah.(2)

Trakea disokong oleh cincin tulang rawan berbentuk seperti sepatu kuda

yang panjangnya kurang lebih 12,5 cm (5 inci). Struktur trakea dan bronkus

dianalogkan dengan sebuah pohon, dan oleh karena itu dinamakan pohon

trakeobronkial. Permukaan posterior trakea agak pipih dibandingkan sekelilingnya

karena cincin tulang rawan di daerah itu tidak sempurna, dan letaknya tepat di

depan esofagus. Akibatnya jika suatu pipa endotrakea (ET) bulat yang kaku

dengan balon yang digembungkan dimasukkan selama ventilasi mekanik, dapat

timbul erosi di posterior membran tersebut, dan membentuk fistula

trakeoesofageal. Erosi bagian anterior menembus cincin tulang rawan dapat juga

timbul tetapi tidak sering. Pembengkakan dan kerusakan pita suara juga

merupakan komplikasi dari pemakaian pipa ET. Tempat trakea bercabang menjadi

7
bronkus utama kiri dan kanan dikenal sebagai karina. Karina memiliki banyak

saraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk berat jika dirangsang.(2)

Bronkus utama kiri dan kanan tidak simetris. Bronkus utama kanan lebih

pendek dan lebih lebar dibandingkan dengan bronkus utama kiri dan merupakan

kelanjutan dari trakea yang arahnya hampir vertikal. Sebaliknya, bronkus utama

kiri lebih panjang dan lebih sempit dibandingkan dengan bronkus utama kanan

dan merupakan kelanjutan dari trakea dengan sudut yang lebih tajam. Bentuk

anatomi yang khusus ini mempunyai keterlibatan klinis yang penting. Satu pipa

ET yang telah dipasang untuk menjamin patensi jalan udara akan mudah meluncur

ke bawah, ke bronkus utama kanan, jika pipa tidak tertahan dengan baik pada

mulut atau hidung. Jika terjadi demikian, udara tidak dapat memasuki paru kiri

dan akan menyebabkan kolaps paru (atelektasis). Namun demikian, arah bronkus

kanan yang hampir vertikal tersebut memudahkan masuknya kateter untuk

melakukan pengisapan yang dalam. Selain itu, benda asing yang terhirup lebih

sering tersangkut pada percabangan bronkus kanan karena arahnya vertikal.(2)

Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronkus

lobaris dan kemudian bronkus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus

menjadi bronkus yang ukurannya semakin kecil sampai akhirnya menjadi

bronkiolus terminalis, yaitu saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli

(kantong udara). Bronkiolus terminalis memiliki garis tengah kurang lebih 1 mm.

Bronkiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan, tetapi dikelilingi oleh otot

polos sehingga ukurannya dapat berubah. Seluruh saluran udara ke bawah sampai

8
tingkat bronkiolus terminalis disebut saluran penghantar udara ke tempat

pertukaran gas paru.(2)

Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit

fungsional paru, yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari :(2)

1. Bronkiolus respiratorius, yang terkadang memiliki kantong udara kecil

atau alveoli pada dindingnya

2. Duktus alveolaris, seluruhnya dibatasi oleh alveolus

3. Sakkus alveolaris terminalis, yaitu struktur terakhir paru.

Asinus atau kadang-kadang disebut lobulus primer memiliki garis tengah

kira-kira 0,5-1,0 cm. Terdapat sekitar 23 kali percabangan mulai dari trakea

sampai sakus alveolaris terminalis. Alveolus (dalam kelompok sakus alveolaris

menyerupai anggur, yang membentuk sakus terminalis) dipisahkan dari alveolus

di dekatnya oleh dinding tipis disebut septum. Lubang kecil pada dinding ini

dinamakan pori-pori Kohn. Lubang ini memungkinkan hubungan atau aliran

udara antar sakus alveolaris terminalis. Alveolus hanya memiliki satu lapis sel

yang diameternya lebih kecil dibandingkan dengan diameter sel darah merah.

Dalam setiap paru terdapat sekitar 300 juta alveolus dengan luas permukaan

seluas sebuah lapangan tenis.(2)

Terdapat dua tipe lapisan sel alveolar: pneumosit tipe I, merupakan lapisan

tipis yang menyebar dan menutupi lebih dari 90% daerah permukaan, dan

pneumosit tipe II, yang bertanggung jawab terhadap sekresi surfaktan. Alveolus

pada hakekatnya merupakan suatu gelembung gas yang dikelilingi oleh jaringan

9
kapiler sehingga batas antara cairan dan gas membentuk tegangan permukaan

yang cenderung mencegah pengembangan saat inspirasi dan cenderung kolaps

pada waktu ekspirasi. Tetapi, untunglah alveolus dilapisi oleh zat lipoprotein

(disebut surfaktan) dan dapat mengurangi tegangan permukaan dan mengurangi

resistensi terhadap pengembangan pada waktu inspirasi, dan mencegah kolaps

alveolus pada waktu ekspirasi. Pembentukan dan pengeluaran surfaktan oleh sel

lapisan alveolus (tipe II) bergantung beberapa faktor, yaitu kematangan sel-sel

alveolus dan sistem enzim biosintetik, kecepatan pergantian surfaktan yang

normal, ventilasi yang memadai, dan aliran darah ke dinding alveolus. Surfaktan

relatif lambat terbentuk pada kehidupan fetal; sehingga bayi yang lahir dengan

jumlah surfaktan yang sedikit (biasanya pada kelahiran permatur) dapat

berkembang menjadi sindrom gawat napas pada bayi. Surfaktan disintesis secara

cepat dari asam lemak yang diekstraksi dari darah, dengan kecepatan

pergantiannya yang cepat. Sehingga bila aliran darah ke daerah paru terganggu

(misalnya karena emboli paru), maka jumlah surfaktan pada daerah tersebut akan

berkurang. Produksi surfaktan dirangsang oleh ventilasi aktif, volume tidal yang

memadai, dan hiperventilasi periodik (cepat dan dalam) yang dicegah oleh

konsentrasi O2 tinggi pada udara yang diinspirasi. Sehingga pemberian O2

konsentrasi tinggi dalam waktu yang lama atau kegagalan untuk bernapas cepat

dan dalam pada seorang pasien yang menggunakan ventilasi mekanik akan

menurunkan produksi surfaktan dan menyebabkan kolaps alveolar (atelektasis).

Defisiensi surfaktan dianggap sebagai faktor penting pada patogenesis sejumlah

penyakit paru, termasuk sindrom gawat napas akut (ARDS).(2)

10
Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronis ( PPOK )

PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronis) merupakan penyakit yang dapat

dicegah dan dirawat dengan beberapa gejala ekstrapulmonari yang signifikan,

yang dapat mengakibatkan tingkat keparahan yang berbeda pada tiap individual.

Penyakit paru kronik ini ditandai dengan keterbatasan aliran udara di dalam

saluran napas yang tidak sepenuhnya reversible, bersifat progresif, biasanya

disebabkan oleh proses inflamasi paru yang disebabkan oleh pajanan gas

berbahaya yang dapat memberikan gambaran gangguan sistemik. Gangguan ini

dapat dicegah dan dapat diobati. Penyebab utama PPOK adalah rokok, asap polusi

dari pembakaran, dan partikel gas berbahaya.(3)

PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik) adalah penyakit paru kronik

ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya

reversible atau irreversible. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan

berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang

beracun atau berbahaya.(3)

2.1.2. Etiologi

Setiap orang dapat terpapar dengan berbagai macam jenis yang berbeda

dari partikel yang terinhalasi selama hidupnya, oleh karena itu lebih bijaksana jika

kita mengambil kesimpulan bahwa penyakit ini disebabkan oleh iritasi yang

berlebihan dari partikel-partikel yang bersifat mengiritasi saluran pernapasan.

Setiap partikel, bergantung pada ukuran dan komposisinya dapat memberikan

konstribusi yang berbeda, dan dengan hasil akhirnya tergantung kepada jumlah

dari partikel yang terinhalasi oleh individu tersebut.(3)

11
Asap rokok merupakan satu-satunya penyebab terpenting, jauh lebih

penting dari faktor penyebab lainnya. Faktor resiko genetik yang paling sering

dijumpai adalah difisiensi alfa-1 antitripsin, yang merupakan inhibitor sirkulasi

utama dari protease serin.(4)

Faktor resiko PPOK bergantung pada jumlah keseluruhan dari partikel-

partikel iritatif yang terinhalasi oleh seseorang selama hidupnya:(5)

 Asap Rokok

Perokok aktif memiliki pervalensi lebih tinggi untuk memiliki gejala

respiratorik, abnormalitas fungsi paru dan mortalitas yang lebih tinggi dari pada

orang yang tidak merokok. Resiko untuk menderita PPOK bergantung pada dosis

merokoknya, seperti umur orang tersebut memulai merokok, jumlah rokok yang

dihisap perhari dan berapa lama orang tersebut merokok.

Enviromental Tobacco Smoke (ETS) atau perokok pasif juga dapat

mengalami gejala-gejala respiratorik dan PPOK dikarenakan oleh partikel-partikel

iritatif tersebut terinhalasi sehingga mengakibatkan paru-paru terbakar.

Merokok selama masa kehamilan juga dapat mewariskan faktor resiko

kepada janin, mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan paru-paru dan

perkembangan janin dalam kandungan, bahkan mungkin juga dapat mengganggu

sistem imun dari janin tersebut.

 Polusi Tempat Kerja (bahan kimia, zat iritan, gas beracun)

 Polusi di dalam Ruangan

12
Hampir 3 milyar orang di seluruh dunia menggunakan batubara, arang,

kayu bakar ataupun bahan bakar biomass lainnya sebagai penghasil energi untuk

memasak, pemanas dan untuk kebutuhan rumah tangga lainnya. Sehingga polusi

di dalam ruangan memiliki tanggungjawab yang besar jika dibandingkan dengan

polusi di luar ruangan seperti gas buang kendaraan bermotor. Polusi di dalam

ruangan diperkirakan membunuh 2 juta wanita dan anak-anak setiap tahunnya.

 Polusi di luar Ruangan

Seperti gas buang kendaraan bermotor dan debu jalanan

 Infeksi Saluran Napas Berulang

 Status Sosio ekonomi dan Status Nutrisi

 Asma

 Usia (onset usia dari PPOK ini adalah pertengahan)

2.1.3. Patogenesis

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa faktor resiko utama dari PPOK

ini adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok ini merangsang perubahan-

perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus dan silia. Selain itu, silia yang

melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia.

Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan sel-sel penghasil silia ini

mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus

kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus

berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan

13
menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema dan

pembengkakan jaringan. Ventilasi, terutama ekspirasi terhambat. Timbul

hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat

mukus yang kental dan adanya peradangan.(5)

Komponen-komponenasap rokok tersebut juga merangsang terjadinya

peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara prograsif

merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas salurang

udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps

terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan

(recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi

recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara

kolaps.(5)

Ada beberapa karakteristik inflamasi yang terjadi pada pasien PPOK,

yakni: peningkatan jumlah neutrofil (di dalam lumen saluran napas), makrofag

(lumen saluran napas, dinding saluran napas, dan parenkim), limfosit CD 8+

(dinding saluran napas dan parenkim). Yang mana hal ini dapat dibedakan dengan

inflamasi yang terjadi pada penderita asma.(6)

2.1.4. Klasifikasi

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease

(GOLD) 2007, dibagi atas empat derajat:(5)

14
1. Derajat I: PPOK ringan

Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum). Keterbatasan

aliran udara ringan (VEP1/ KVP < 70%; VEP1 > 80% Prediksi). Pada

derajat ini, orang tersebut mungkin tidak menyadari bahwa fungsi

parunya abnormal.

2. Derajat II: PPOK sedang

Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1/ KVP < 70%; 50% <

VEP1 < 80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam bernapas.

Dalam tingkat ini pasien biasanya mulai mencari pengobatan oleh karena

sesak napas yang dialaminya.

3. Derajat III: PPOK berat

Ditandai dengan keterbatasan/ hambatan aliran udara yang semakin

memburuk (VEP1/ KVP < 70%; 30%; VEP1 < 50% prediksi). Terjadi

sesak napas yang semakin memberat, penurunan kapasitas latihan dan

eksaserbasi yang berulang yang berdampak pada kualitas hidup pasien.

4. Derajat IV: PPOK sangat berat

Keterbatasan/ hambatan aliran udara yang berat (VEP1/ KVP < 70%; VEP1

< 30% prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan adanya gagal

napas kronik dan gagal jantung kanan.

15
2.1.5. Manifestasi Klinis

PPOK dengan emfisema

Dispnea biasanya adalah gejala pertama; gejala ini muncul secara

perlahan, tetapi progresif. Dada berbentuk tong, dengan ekspirasi yang jelas

memanjang, dan pasien duduk maju dalam posisi membungkuk ke depan,

berupaya memeras udara keluar dari paru setiap kali ekspirasi. Dispnea dan

hiperventilasi tampak jelas sehingga sampai pada stadium lanjut penyakit

pertukaran gas masih adekuat dan nilai gas darah relatif normal. Karena dispnea

menonjol sementara oksigenasi hemoglobin adekuat, para pasien ini kadang-

kadang disebut “pink puffers”.(7)

PPOK dengan bronkitis kronis

Gambaran khas pada bronkitis kronis adalah hipersekresi mukus, yang

dimulai di saluran napas besar. Batuk dan pembentukan sputum dapat

berlangsung terus-menerus tanpa disfungsi ventilasi. Hal ini disertai hiperkapnia,

hipoksemia, dan (pada kasus berat) sianosis.(7)

2.1.6. Diagnosis

a. Anamnesis(8)

- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan

- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja

- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga

16
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/ anak, mis berat badan lahir rendah

(BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara.

- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak

- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi.

b. Pemeriksaan fisis(8)

Inspeksi

- Pursed – lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)

- Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding)

- Penggunaan otot bantu napas

- Pelebaran sela iga

- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis I leher dan

edema tungkai

- Penampilan pink puffer atau blue bloater

Palpasi

Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar

Perkusi

Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah,

hepar terdorong ke bawah

17
Auskultasi

- Suara napas vesikuler normal, atau melemah

- Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi

paksa

- Ekspirasi memanjang

- Bunyi jantung terdengar jauh

Keterangan:(8)

Pink puffer

Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan

pernapasan pursed – lips breathing.

Blue bloater

Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema

tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer.

Pursed – lips breathing

Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang

memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan

retensiCO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi

CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.

18
c. Pemeriksaan penunjang(8)

Pemeriksaan rutin

1. Faal paru

- Spirometri

- Uji bronkodilator

2. Darah rutin

Hb, Ht, leukosit

3. Radiologi

Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain

Pemeriksaan Khusus(8)

1. Faal paru

- Volume Residu (VR), Kapasitas Residu Fungsional (KRF), Kapasitas Paru Total

(KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat

- DLCO menurun pada emfisema

- Raw meningkat pada bronkitis kronik

- Sgaw meningkat

- VariabilitiHarian APE kurang dari 20%

19
2. Uji latihan kardiopulmoner

- Sepeda statis (ergocycle)

- Jentera (treadmill)

- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal

3. Uji provokasi bronkus

Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat

hipereaktiviti bronkus derajat ringan

4. Uji coba kortikosteroid

Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau

metilprednisolon) sebanyak 30-50 mg per hari selama 2 minggu yaitu peningkatan

VEP1 pascabronkodilator > 20% dan minimal 250 ml. Pada umumnya PPOK

umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid

5. Analisis gas darah

Terutama untuk menilai, gagal napas kronik stabil dan gagal napas akut pada

gagal napas kronik

6. Radiologi

- CT-Scan resolusi tinggi

- Mendeteksi empisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula

yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos

20
- Scan ventilasi perfusi, mengetahui fungsi respirasi paru

7. Elektrokardiografi

Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh pulmonal dan hipertrofi

ventrikel kanan

8. Ekokardiografi

Menilai fungsi jantung kanan

9. Bakteriologi

Pemeriksaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi

diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang

tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut

pada penderita PPOK di Indonesia

10. Kadar alfa-1 antitripsin

Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia

muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.

2.1.7. Penatalaksanaan

Adapun tujuan dari penatalaksanaan PPOK ini adalah:(9)

- Mencegah progresifitas penyakit

- Mengurangi gejala

- Meningkatkan tolenransi latihan

21
- Mencegah dan mengobati komplikasi

- Mencegah dan mengobati eksaserbasi berulang

- Mencegah dan meminimalkan efek samping obat

- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru

- Meningkatkan kualitas hidup penderita

- Menurunkan angka kematian

Program berhenti merokok sebaiknya dimasukkan sebagai salah satu

tujuan selama tata laksana PPOK.

a. Terapi Farmakologis

 Bronkodilator

Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan

disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat

diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.

Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau

obat berefek panjang (long acting).(8)

Macam-macam bronkodilator: (8)

- Golongan antikolinergik

Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator

juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).

- Golongan agonis beta-2

Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan

dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan

22
sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat

digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidka dianjurkan untuk penggunaan

jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi

berat.

- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta-2

Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena

keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat

kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.

- Golongan xantin

Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,

terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk

mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi

eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar

aminofilin darah.

 Kortikosteroid

Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi

intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan

metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka

panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat

perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.(8)

 Antibiotika

Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan: (8)

Lini I: amoksisilin

23
Makrolid

Lini II: amoksisilin dan asam kluvanat

Sefalosporin, kuinolon, makrolid baru

 Antioksidan

Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup, digunakan N-

asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering,

tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin. (8)

 Mukolitik

Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat

perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang

viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak

dianjurkan sebagai pemberian rutin. (8)

 Antitusif

Diberikan dengan hati-hati(8)

b. Terapi non-farmakologis

 Terapi oksigen

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan

kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat

penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel

baik di otot maupun organ-organ lainnya. Manfaat oksigen: (8)

- Mengurangi sesak

- Memperbaiki aktiviti

24
- Mengurangi hipertensi pulmonal

- Mengurangi vasokonstriksi

- Mengurangi hematokrit

- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri

- Meningkatkan kualitas hidup

Indikasi:(8)

Pao2 < 60 mmHg atau Sat O2 < 90%

Pao2 diantara 55-59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan

Pulmonal, Ht > 55% dan tanda-tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit

paru lain.

 Ventilasi mekanik

Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas

akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat

berat dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di

ruang ICU atau di rumah. Ventilasi mekanik dapat digunakan dengan cara: (8)

- Ventilasi mekanik dengan intubasi

Digunakan pada PPOK dengan gagal napas kronik dan dapat digunakan

selama di rumah.

- Ventilasi mekanik tanpa intubasi

Bentuk ventilasi mekanik tanpa intubasi adalah Noninvasive Intermitten

Positif Pressure (NIPPV) atau Negative Pressure Ventilation (NPV).

25
 Nutrisi

Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya

kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena

hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadinya hipermetabolisme.

Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan

derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah.(8)

Malnutrisi dapat dievaluasi dengan: (8)

- Penurunan berat badan

- Kadar albumin darah

- Antropometri

- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)

- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)

 Rehabilitasi

Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan

memperbaiki kualitas hidup pendita PPOK. Program rehabilitasi terdiri dari 3

komponen yaitu: (8)

- Latihan fisik

- Latihan pernapasan dan latihan endurance

- Rehabilitasi psikososial

2.1.8. Prognosa

Dubia, tergantung dari stage/ derajat, penyakit paru komorbid, penyakit

komorbid lain.(10)

26
2.2. Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti

Penyakit Paru Obstruksi Kronik yang biasa disebut PPOK merupakan

penyakit kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara di dalam saluran

napas yang tidak sepenuhnya reversible. Gangguan yang bersifat progresif ini

disebabkan karena terjadinya inflamasi kronik akibat perjalanan partikel atau gas

beracun yang terjadi, seperti asap rokok, asap polusi dari sisa pembakaran dan

Alpha-1 kekurangan antitrypsin. Fenomena inilah yang menjadi dasar untuk

mengetahui karakteristik pasien PPOK yang dirawat di rumah sakit Ibnu Sina

Makassar.

Asap Rokok

Inhalasi Gas Beracun

Polusi Udara

Defisiensi alfa-1 antitripsin

Faktor Resiko PPOK


ISPA Berulang

Status Sosial-Ekonomi

Asma

Usia

Grafik 2.1 Kerangka Teori

27
2.3. Kerangka Konsep

- Usia
- Jenis kelamin
PPOK - Pekerjaan
.
- Gejala Klinis
- Jenis Pengobatan

Keterangan:

= Variabel independen

= Variabel dependen

Grafik 2.2 Kerangka Konsep

2.4. Definisi Operasional dan Karakteristik Objektif

1. Usia

Definisi: lamanya penderita hidup sejak lahir sampai penderita menjalani proses

pemeriksaan dan pengobatan di RS tersebut sesuai dengan yang tercatat dalam

rekam medis.

Kriteria objektif: 1. <50 tahun

2. 50-60 tahun

3. >60 tahun

28
2. Jenis kelamin

Definisi: yang dimiliki oleh penderita sesuai dengan yang tercatat dalam rekam

medis.

Kriteria objektif: 1. Laki-laki

2. Perempuan

3. Pekerjaan

Definisi: aktivitas utama yang dilakukan oleh pasien sesuai yang tercatat pada

rekam medis

Kriteria objektif: 1. Petani

4. PNS

5. Pensiunan PNS

6. Ibu Rumah Tangga

7. Pekerja Lepas

8. Tidak Bekerja

6. Gejala Klinis

Definisi: gejala yang dikeluhkan pasien PPOK selama di rawat di rumah sakit

sesuai yang tercatat pada rekam medis.

Kriteria objektif: 1. Sesak Napas+Batuk Berdahak

2. Demam

3. Nyeri Dada

7. Jenis Pengobatan

Definisi: tindakan pengobatan yang diberikan pada pasien PPOK selama dirawat

di rumah sakit sesuai yang tercatat pada rekam medis.

29
Kriteria objektif: 1. Bronkodilator+O2 3. Mukolitik

2. Kortikosteroid

30
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang akan menggambarkan

karakteristik pasien ppok. Pendekatan yang digunakan pada desain penelitian ini

adalah retrospective study dimana akan dilakukan pengumpulan data berdasarkan

rekam medis.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di rumah sakit Ibnu Sina Yayasan Wakaf

UMI Makassar.

3.2.2. Waktu Penelitian

Pengambilan sampel penelitian akan dimulai dari tanggal 28 Mei – 5 Juni

2012.

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Seluruh penderita ppok yang dirawat inap di rumah sakit Ibnu Sina yang

tercatat dalam rekam medik rumah sakit Ibnu Sina Yayasan Wakaf UMI Makassar

Periode Januari – Desember 2011 yang berjumlah 32.

31
3.3.2. Sampel

Semua penderita PPOK yang dirawat inap selama kurun waktu ≤ 8 hari di

rumah sakit Ibnu Sina yang tercatat dalam rekam medik rumah sakit Ibnu Sina

Makassar Periode Januari – Desember 2011 dan termasuk dalam kriteria inklusi.

No. Bulan Rawat Inap Rawat Inap ≤ 8 hari

1 Januari 4 3

2 Februari 1 1

3 Maret 2 2

4 April 3 2

5 Mei 2 2

6 Juni 1 1

7 Juli 4 2

8 Agustus 3 3

9 September 2 1

10 Oktober 6 4

11 November -

12 Desember 4 3

Jumlah 32 24

Tabel daftar populasi jumlah pasien yang dirawat inap dengan diagnosis ppok
di RS Ibnu Sina Makassar Periode Januari – Desember 2011.

3.3.3. Besarnya Sampel dan Cara Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan metode

accidental sampling yaitu pengambilan data rekam medik secara kebetulan sesuai

32
dengan sumber data yang diinginkan dan semua yang memenuhi kriteria inklusi

dijadikan sampel.

Perkiraan besar sampel diperoleh dengan menggunakan rumus :

n= N

1 + N (d2)

Keterangan :

N : Besar Populasi

n : Besar Sampel

d : Tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan (0,1)

n= 24

1 + 24 (0,12)

n = 19,35 sampel dibulatkan menjadi 19

Keterangan: dari 19 sampel, peneliti mengambil 20 yang dijadikan sampel

karena dilakukan secara accidental sampling dengan pemilihan sesuai

kriteria inklusi yang ada.

3.3.3. Kriteria

1. Kriteria inklusi:

a. Data rekam medik pasien dengan diagnosa PPOK yang dirawat inap dalam

kurun waktu ≤ 8 hari di RS Ibnu Sina yang tercatat dalam rekam medik RS

Ibnu Sina Makassar Periode Januari - Desember 2011.

b. Data rekam medik yang memenuhi kriteria penelitian, yaitu tercantumnya

usia, jenis kelamin, pekerjaan, agama, status perkawinan, gejala klinis dan

jenis pengobatan yang diberikan

33
2. Kriteria eksklusi:

a. Data rekam medik pasien dengan diagnosa saat keluar rumah sakit bukan

PPOK

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah data sekunder diperoleh dari data rekam

medik yang tercatat di rumah sakit Ibnu Sina Yayasan Wakaf UMI Makassar

Periode Januari – Desember 2011 yang diperlukan dalam menggambarkan

karakteristik pasien dicatat dan diuaraikan berdasarkan kebutuhan peneliti.

3.5. Pengolahan dan Penyajian Data

Pengolahan data akan dilakukan dengan menggunakan sistem Excel,

metode statistik yang akan digunakan adalah distribusi frekuensi dan hasilnya

akan disajikan dalam bentuk tabel disertai penjelasan.

34
BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Sejarah

RS. Ibnu Sina UMI merupakan Rumah Sakit Umum Swasta yang

merupakan eks RS. 45, yang didirikan pada tahun 1988 berdasarkan keputusan

Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan No. 6783/DK-

1/SK/TV.1/X/88, tanggal 05 Oktober 1988. Dan pada hari Senin tanggal 16 Juni

2003 telah dilakukan penyerahan kepemilikan dari Yayasan Andi Sose yaitu Dr.

H. Andi Sose dan ketua Yayasan Wakaf UMI Bapak Almarhum Prof. Dr. H.

Abdurrahman A. Basalamah, SE, M. Si. Berdasarkan atas hak kepemilikan baru

ini, maka nama RS. 45 oleh Yayasan Wakaf UMI diubah menjadi RS. Ibnu Sina

UMI.

RS. Ibnu Sina YW. UMI dibangun di atas tanah 18.008 m2 dengan luas

bangunan 12.052 m2 , beralamatkan jalan Letnan Jenderal Urip Sumoharjo Km. 5

No. 264 Makassar. Berdasarkan surat permohonan dari Yayasan Wakaf UMI,

Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan, memberikan surat ijin uji

coba penyelenggaraan operasional RS. Ibnu Sina YW. UMI pada tanggal 23

September 2003 No. 6073A/DK-1V/PTS-TK/2/IX/2003. Dan pada hari Senin

tanggal 17 Mei 2004, RS. Ibnu Sina YW. UMI diresmikan oleh Gubernur

Sulawesi Selatan, Bapak H. M. Amin Syam, serta RS. Ibnu Sina memperoleh

surat ijin penyelenggaraan Rumah Sakit dari Departemen Kesehatan Republik

35
Indonesia, berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

YM.02.04.3.5.4187, tanggal 26 September 2005.

4.2. Visi, Misi, Nilai dan Motto RS. Ibnu Sina

Visi dari RS. Ibnu Sina yaitu “Menjadi Rumah Sakit Pendidikan dengan

Pelayanan yang Islami, Unggul dan Tekemuka di Indonesia“.

Misi dari RS. Ibnu Sina, yaitu:

a. Melaksanakan dan mengembangkan pelayanan kesehatan unggul yang

menjunjung tinggi moral dan etika (Misi Pelayanan Kesehatan)

b. Melaksanakan dan mengembangkan pendidikan kedokteran dan

profesional lainnya (Misi Pendidikan)

c. Melangsungkan pelayanan dakwah dan bimbingan spiritual kepada

penderita dan pengelolah Rumah Sakit (Misi Dakwah)

d. Mengupayakan perolehan finansial dari berbagai kegiatan Rumah Sakit

(Misi Finansial)

e. Meningkatkan Kesejahteraan Pegawai (Misi Kesejahteraan).

Nilai dari RS. Ibnu Sina, adalah:

a. Amanah (Kepedulian, jujur, berdedikasi, dan bertanggung jawab)

b. Profesional (Kompetensi dan etika)

c. Akhlaqul Qarimah (Menjaga silaturrahmi, saling membantu, menghargai

dan kebersamaan).

36
Yang menjadi motto rumah sakit ini adalah “Melayani anda merupakan

ibadah dan pengabdian kami”.

4.3. Susunan Organisasi

Sususna organisasi Rumah Sakit Ibnu Sina, meliputi:

a. Badan pembina Rumah Sakit Ibnu Sina

b. Direksi, yang terdiri atas

 Direktur

 Wakil Direktur

1. Wakil Direktur bagian pelayanan medis

2. Wakil Direktur bagian administrasi pendidikan dan pengembangan

3. Wakil Direktur bagian sarana dan promosi.

4.4. Sumber Daya

a. Tenaga

Jumlah tenaga yang tersedia di RS. Ibnu Sina sekarang ini sebesar 348

orang yang terinci sebagai berikut:

1. Dokter Spesialis : 130 orang

2. Dokter Umum : 13 orang

3. Dokter Gigi : 6 orang

4. Perawat lantai I : 20 orang

5. Perawat lantai II : 16 orang

6. Perawat lantai III : 16 orang

37
7. Perawat lantai IV : 15 orang

8. Perawat lantai V : 19 orang

9. Perawat UGD : 24 orang

10 Perawat ICCU : 20 orang

11. Perawat OK : 8 orang

12. Perawat Poliklinik : 11 orang

13. Apoteker : 1 orang

14. Sarjana Farmasi : 8 orang

15. Asisten Apoteker : 3 orang

16. Kesehatan Masyarakat : 10 orang

17. Gizi : 4 orang

18. Terapi Fisik : 2 orang

19. Teknis Medis : 24 orang

b. Potensi RS. Ibnu Sina saat ini

Jenis pelayanan yang dapat diberikan adalah kemampuan pelayanan sub

spelialistik yang meliputi:

1. Pelayanan Sub Spesialistik Bedah

2. Pelayanan Sub Spesialistik Penyakit Dalam

3. Pelayanan Sub Spesialistik Kesehatan Anak

4. Pelayanan Sub Spesialistik Telinga, Hidung dan Tenggorokan

5. Pelayanan Sub Spesialistik Mata

6. Pelayanan Sub Spesialistik Neurologi

38
7. Pelayanan Sub Spesialistik Kulit Kelamin

8. Pelayanan Sub Spesialistik Anatomi

9. Pelayanan Sub Spesialistik Radiologi

10. Pelayanan Sub Spesialistik Jiwa

c. Sarana Penunjang

Sarana RS. Ibnu Sina saat ini, terdiri dari kantor, rawat jalan, rawat

darurat, rawat inap (lantai I-lantai V), laboratorium, farmasi, instalasi gizi,

rahabilitasi medik, apotek, laundry, kamar jenazah, selasar, taman, halaman, jalan

dan tempat parkir, transportasi dan alat komunikasi.

39
BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Distribusi Frekuensi Pasien PPOK berdasarkan usia dan jenis

kelamin

Distribusi Frekuensi Pasien PPOK yang dirawat di RS. Ibnu Sina Yayasan

Wakaf UMI Makassar berdasarkan usia dan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel

5.1 tersebut.

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Pasien PPOK Berdasarkan Usia dan Jenis

Kelamin di RS. Ibnu Sina Yayasan Wakaf UMI Makassar Periode Januari –

Desember 2011

No. Jenis Kelamin f (n=20) %


1. Laki-laki 12 60
2. Perempuan 8 40
Jumlah 20 100,0

No. Umur f (n=20) %


1. <50 tahun 2 10
2. 50-60 tahun 6 30
3. >60 tahun 12 60
Jumlah 20 100,0
Sumber: rekam medik di RS. Ibnu Sina Yayasan Wakaf UMI Makassar

Berdasarkan tabel 5.2 dapat dilihat bahwa frekuensi tertinggi usia pasien

adalah usia diatas 60 tahun, yaitu 60%. Frekuensi terendah usia pasien adalah usia

40
dibawah 50 tahun yaitu 10% sedangkan frekuensi berdasarkan jenis kelamin

dengan frekuensi laki-laki 60% dan perempuan 40%.

Grafik 5.1 Distribusi Frekuensi PPOK Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin

di RS. Ibnu Sina Yayasan Wakaf UMI Makassar Periode Januari –

Desember 2011

100 60
Persen (%)

40
50
Persentase (%)
0
Laki-laki Perempuan
Jenis Kelamin

100
80 60
Persen (%)

60
30
40
10
20
Persentase (%)
0
< 50 50-60 >60 tahun
tahun tahun

Umur

41
5.1.2. Distribusi Frekuensi Pasien PPOK berdasarkan pekerjaan

Distribusi Frekuensi Pasien PPOK yang dirawat di RS. Ibnu Sina Yayasan

Wakaf UMI Makassar berdasarkan pekerjaan dapat dilihat pada tabel 5.2 tersebut.

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Pasien PPOK Berdasarkan Pekerjaan di RS.

Ibnu Sina Yayasan Wakaf UMI Makassar Periode Januari – Desember 2011

No. Pekerjaan f (n=20) %


1. Petani 1 5
2. Pegawai negeri 1 5
3. Pensiunan 2 10
4. Ibu Rumah Tangga 6 30
5. Pekerja lepas 1 5
6. Tidak bekerja 9 45
Jumlah 20 100,0
Sumber: rekam medik di RS. Ibnu Sina Yayasan Wakaf UMI Makassar

Berdasarkan tabel 5.2 dapat dilihat bahwa frekuensi tertinggi pasien

berdasarkan pekerjaan adalah tidak bekerja (45%) dan frekuensi terendah adalah

petani, pegawai negeri dan pekerja lepas dengan frekuensi masing-masing 5%.

42
Grafik 5.2 Distribusi Frekuensi PPOK Berdasarkan Pekerjaan di RS. Ibnu

Sina Yayasan Wakaf UMI Makassar Periode Januari – Desember 2011

100
80
Persen (%)

60 45
30
40
5 5 10 5
20
0
Petani Pegawai Pensiunan Ibu Rumah Pekerja Tidak
negeri Tangga Lepas bekerja

pekerjaan

5.1.3. Distribusi Frekuensi Pasien PPOK berdasarkan gejala klinis

Distribusi Frekuensi Pasien PPOK berdasarkan gejala klinis di RS. Ibnu

Sina Yayasan Wakaf UMI Makassar dapat dilihat pada tabel 5.3 berikut.

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Pasien PPOK Berdasarkan Gejala Klinis di

RS. Ibnu Sina Yayasan Wakaf UMI Makassar Periode Januari – Desember

2011

Jumlah
No. Gejala Klinis
f (n=20) %
1. Sesak Napas+Batuk Berdahak 12 60
2. Nyeri Dada 4 20
3. Demam 4 20
Jumlah 20 100%
Sumber: rekam medik di RS. Ibnu Sina Yayasan Wakaf UMI Makassar

43
Berdasarkan tabel 5.3 dapat dilihat bahwa gejala yang paling banyak

dikeluhkan pasien adalah sesak napas+batuk berdahak (60%), demam (20%),

nyeri dada (20%).

Grafik 5.3 Distribusi Frekuensi PPOK Berdasarkan Gejala Klinis di RS.

Ibnu Sina Yayasan Wakaf UMI Makassar Periode Januari – Desember 2011

100 60
Persen (%)

50 20 20

0
Sesak Nyeri Dada Deman
Nafas+Batuk
Berdahak
Gejala Klinis

5.1.4. Distribusi Frekuensi Pasien PPOK Berdasarkan Jenis Pengobatan

Distribusi Frekuensi Pasien PPOK berdasarkan jenis pengobatan di RS.

Ibnu Sina Yayasan Wakaf UMI Makassar dapat dilihat pada tabel 5.5 berikut.

Tabel 5.4 Pasien PPOK Berdasarkan Jenis Pengobatan di RS. Ibnu Sina

Yayasan Wakaf UMI Makassar Periode Januari – Desember 2011

Jumlah
No. Jenis Pengobatan
f (n=20) %
1. Bronkodilator+O2 16 80
2. Kortikosteroid 2 10
3. Mukolitik 2 10
Jumlah 20 100
Sumber: rekam medik di RS. Ibnu Sina Yayasan Wakaf UMI Makassar

44
Berdasarkan tabel 5.4 dapat dilihat bahwa frekuensi jenis pengobatan

pasien terbanyak adalah Bronkodilator+Oksigen (80%), diikuti Kortikosteroid

(10%) dan Mukolitik (10%).

Grafik 5.5 Distribusi Frekuensi PPOK Berdasarkan Jenis Pengobatan di RS.

Ibnu Sina Yayasan Wakaf UMI Makassar Periode Januari – Desember 2011

100
90 80
80
70
60
Persen (%)

50
40
30
20 10 10

10
0
Bronkodilator+O2 Kortikosteroid Mukolitik

Jenis Pengobatan

5.2. Pembahasan

Setelah melakukan penelitian mengenai usia, jenis kelamin, pekerjaan,

gejala klinis, jenis pengobatan kejadian ppok di RS Ibnu Sina Yayasan Wakaf

45
UMI Makassar Periode Januari - Desember 2011 ditemukan f (n=20) penderita

ppok.

Untuk lebih jelasnya maka secara terperinci hasil penelitian ini akan

dibahas sebagai berikut:

5.2.1. Karakteristik Pasien PPOK Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin

Pasien PPOK paling banyak berusia diatas 60 tahun, yaitu sebesar 60%

dengan proporsi laki-laki 60% dan perempuan 40%. Sex ratio adalah 60:40 ~ 6:4.

Ini sesuai dengan angka prevalensi PPOK di Indonesia, hal ini dikarenakan lebih

banyak perokok pada laki-laki dibandingkan perempuan. Hasil penelitian

Rahmatika (2009) di RSUD Aceh Tamiang dari bulan Januari sampai Mei 2009

mendapatkan proporsi tertinggi usia pasien PPOK adalah pada kelompok usia 60

tahun (57,6%) dengan proporsi laki-laki 43,2% dan perempuan 14,4%.(11)

Hasil penelitian Shinta (2007) di RSU Dr. Soetomo Surabaya pada pasien

PPOK yang menjalani rawat inap dari tanggal 1 Januari 2006 – 30 Juni 2006,

diperoleh 46 pasien dengan 39 pasien laki-laki (84,8%) dan 7 pasien perempuan

(15,2%). Distribusi proporsi usia pasien yaitu usia 31-40 tahun (2,2%), 41-50

tahun (2,2%), 51-60 tahun (10,8%), dan proporsi terbesar berasal dari kelompok

umur diatas 61 tahun (84,8%).(11)

Rata-rata usia pasien 63 tahun. Usia paling muda adalah 41 tahun dan usia

paling tua adalah 84 tahun. Hasil penelitian Setiyanto dkk. (2008) di ruang rawat

inap RS. Persahabatan Jakarta mendapatkan rerata usia pasien PPOK adalah 65,9

46
tahun (SD 9,35). Usia paling muda adalah 40 tahun dan usia paling tua adalah 81

tahun.(11)

5.2.2. Karakteristik Pasien PPOK Berdasarkan Pekerjaan

Berdasarkan sosiodemografi didapatkan bahwa mayoritas pekerjaan pasien

adalah tidak bekerja (45%). Hal ini dapat dikaitkan dengan fungsi rumah sakit

yang melayani askes dan jamkesmas. Selain itu, faktor pekerjaan berhubungan

erat dengan alergi dan hiperaktifitas bronkus, dimana pekerja yang bekerja di

lingkungan berdebu akan lebih berisiko menderita PPOK.

Hasil penelitian Rahmatika (2009) di RSUD Aceh Tamiang mendapatkan

bahwa dari 139 pasien proporsi tertinggi pasien PPOK adalah pada tingkat

pendidikan SLTA (29,6%) dan petani (30,2%).(11)

5.2.3. Karakteristik Pasien PPOK Berdasarkan Gejala Klinis

Gejala klinis yang paling banyak dikeluhkan pasien adalah sesak

napas+batuk berdahak dengan sensitivitas terhadap PPOK yaitu sebesar 60%,

artinya dari 100 pasien PPOK terdapat 60 pasien yang mengalami keluhan sesak

napas+batuk berdahak.

5.2.4. Karakteristik Pasien PPOK Berdasarkan Jenis Pengobatan

Jenis pengobatan yang paling banyak diberikan adalah Bronkodilator+O2

yaitu sebesar 80%. Hal ini dapat dikaitkan dengan gejala utama yang biasanya

dikeluhkan oleh pasien yaitu sesak napas.

47
Hasil penelitian Shinta (2007) di RSU Dr. Soetomo Surabaya pada tahun

2006 mendapatkan bahwa terapi yang diberikan pada pasien PPOK meliputi

bronkodilator, antibiotik, kortikosteroid, dan terapi lain seperti mukolitik, serta

penekan batuk.(11)

48
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Proporsi pasien PPOK berdasarkan sosiodemografi diperoleh proporsi

tertinggi yaitu pada usia diatas 60 tahun dengan proporsi laki-laki 60%

dan perempuan 40%, dan pekerjaan tidak bekerja.

2. Proporsi tertinggi pasien PPOK berdasarkan gejala klinis adalah sesak

napas+batuk berdahak.

3. Proporsi tertinggi pasien PPOK berdasarkan jenis pengobatan adalah terapi

bronkodilator+O2.

6.2. Saran

1. Kepada pihak RS. Ibnu Sina YW UMI agar menjaga kelengkapan data

rekam medis.

2. Kepada dokter maupun petugas kesehatan lainnya agar mampu memberi

pengetahuan dan anjuran bagi pasien tentang kebiasaan buruk yang dapat

mencetus ppok.

3. Diharapkan kepada bapak dan ibu yang mengalami gangguan pernapasan

agar segera diperiksa ke dokter ahli penyakit dalam.

49
DAFTAR PUSTAKA

1. Candly. Chapter I.pdf - USU Institutional Repository - Universitas

Sumatera Utara. Di dapat dari:

http:/www. repository.usu.ac.id/.../5/Chapter%20I.pdf

2. Price & Wilson. Vol. 2. PATOFISIOLOGI. Edisi 6. Jakarta:

3. PDPI. PPOK Pedoman Praktis Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia.

Jakarta: 2006. p. 1-18

4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2003. GOLD. Pocket Guide to CPOD

Diagnosis, Manajement and Prevention. USA: 2007. P. 6. [serial online]

2007. [Cited] 20 Juni 2008. Didapat dari :

http://www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp?|1=2&12=1&intld=989

5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2003. GOLD. Global Strategy for the

Diagnosis, Manajement and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary

Disease. USA: 2007. p. 16-19. [serial online] 2007. [Cited] 20 Juni 2008.

Didapat dari :

http://www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp?|1=2&12=1&intld=1116

6. Corwin EJ. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC, 2001. p. 437-8

7. ROBBINS. Buku Ajar Patologi. Volume 2. Edisi 7. Jakarta: 2007

50
8. PEDOMAN DIAGNOSIS & PENATALAKSANAAN DI INDONESIA.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003

9. PDPI. PPOK Pedoman Praktis Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia.

Jakarta: 2006. p. 1-18

10. PB PAPDI. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: Pusat Penerbitan

Departemen IPD FKUI, 2006. p. 105-8

11. Candly. Chapter III-V.pdf - USU Institutional Repository - Universitas

Sumatera Utara. Di dapat dari:

http:/www. repository.usu.ac.id/.../3/Chapter%20III-V.pdf

51
RIWAYAT HIDUP PENULIS

Nama : Nur Farmawati Humayrah Hassani

Tempat/ Tanggal Lahir : Lapeo/ 20 Desember 1988

Agama : Islam

Alamat : Jl. Beringin IV no. 4 Makassar

Pendidikan :

1. SDN 028 INPRES LAPEO, tamat tahun 2001

2. SLTP NEG. 1 CAMPALAGIAN, tamat tahun

2004

3. SMA NEG. 1 CAMPALAGIAN, tamat tahun

2007

4. Diterima di Fakultas Kedokteran UMI, Jurusan

Kedokteran Umum, tahun 2008 sampai sekarang

52
Data Hasil Penelitian Karakteristik Pasien PPOK yang dirawat di RS. Ibnu Sina YW UMI Makassar

Peroide Januari – Desember 2011


Jenis
No. No. RM Tgl. Masuk Nama Pasien Usia Pekerjaan Agama Gejala Klinis Tindakan
Kelamin
Inf. Dextrose, O2,
Sesak napas, nyeri aminofilin,
1 012055 17/01/2011 Halija Perempuan 65 Thn IRT Islam
perut, batuk ranitidin,
ceptezidine, IVFD
Sesak napas, O2, IVFD,
2 007445 31/01/2011 Syarifuddin W.S Laki-laki 55 Thn PNS Islam demam, batuk aminofilin,
berlendir dexametason
Sesak napas, batuk, O2, IVFD,
3 043119 12/02/2011 Ganna Laki-laki 74 Thn Tdk ada Islam
lemas piracefam, bisolvon
Sesak napas, batuk O2, dexametason,
4 044237 05/03/2011 Cangkung Laki-laki 80 Thn Tdk ada Islam
berlendir novalgin
Sesak napas, batuk
IVFD, ambroxol,
5 043905 27/03/2011 Bundu Laki-laki 53 Thn Petani Islam berlendir, nyeri ulu
kodein
hati
Sesak napas, batuk Dexametason,
6 041564 02/04/2011 Basse Perempuan 68 Thn IRT Islam
berlendir IVFD, aminofilin
Sesak napas, batuk
O2, IVFD, codlin,
7 045717 10/04/2011 Dg. Nai Laki-laki 41 Thn Buruh lepas Islam berlendir, keringat
cefadroxil
mlm
Sesak napas,
demam menggigil, IVFD,
8 046999 24/04/2011 Hardiman Laki-laki 60 Thn Tdk ada Islam
batuk berlendir, dexametason
nyari dada
9 047990 13/05/2011 Halima, ST Perempuan 71 Thn Pensiunan Islam Batuk”, mual IVFD
O2, IVFD,
Sesak napas, mual-
dexametason,
10 041564 15/05/2011 Marni Perempuan 54 Thn IRT Islam muntal, batuk,
aminofilin
demam
53
O2, IVFD,
025600 Nyeri dada, sesak Metilprednisolon,
11 27/06/2011 Marthen Pappang Laki-laki 45 Thn Tdk ada Katolik
napas, batuk ambroxol

O2. IVFD,
Sesak napas, batuk,
12 003994 01/07/2011 Jawaria Perempuan 62 Thn IRT Islam dexametason,
pusing, palpitasi
aminofilin
Sesak napas, batuk
13 034836 25/07/2011 Tarring Perempuan 60 Thn IRT Islam IVFD
berlendir
Sesak napas, mual-
O2, IVFD,
14 017032 29/07/2011 Hasna Perempuan 70 Thn IRT Islam muntah, batuk
dexametason
berlendir
Sesak napas, nyeri
15 031986 15/08/2011 Salama Laki-laki 57 Thn Tdk ada Islam dada+ulu hati, batuk Ventolin, IVFD
berlendir
16 044504 06/09/2011 Kebo, ST Laki-laki 70 Thn Pensiunan Islam Sesak napas, IVFD,
O2, Combivent,
Sesak napas, batuk flumycil, medixon,
17 051595 19/09/2011 Amboenlieng Laki-laki 84 Thn Tdk ada Protestan
berlendir zitromax

O2, IVFD,
Sesak napas, mual, metilprednisolon,
18 023253 07/10/2011 A. Darwis Laki-laki 63 Thn Tdk ada Islam
pusing, nyeri dada aminofilin,
combivent
Sesak napas, batuk
19 051706 07/10/2011 Madjo Yahya Laki-laki 70 Thn Tdk ada Islam O2, IVFD, ventolin
berlendir
Sesak napas, batuk
berlendir, demam,
20 053798 06/12/2011 Yusuf Laki-laki 67 Thn Tdk ada Islam IVFD
nyeri pinggang
bawah

54
55

Вам также может понравиться