Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Ahmadi Husain
STIT Syamsul Maarif, Bontang
Bontang, Samarinda Kalimantan Timur
Email: ahmadihusain@gmail.com
Abstract;
This article discusses the polemic streams in the classical Islamic concept of
faith, kufr, reason and revelation. The authors conclude that flow Khawarij said
that people who receive tahkim are infidels, while the most extreme flow said
anyone who did not emigrate into place, then he infidels and must be killed.
While Flow Murji'ah said that people who receive tahkim not a pagan, but a
believer, because he justified God in his heart and diiqrarkan with oral. Another
with the flow Mu'tazilah, they say people who commit major sins is not a
believer nor infidel, but fasiq. Flow Asha'ira said that anyone who sins is a big
believer fasiq, and punishment in the hereafter, it is up to the will of God. Flow
Maturidiyyah say that the great sin, not eternal hell. While the problem of
reason and revelation, the authors came to the conclusion that the flow
Mu'tazila give a great sense role rather than revelation. While Flow Asha'ira
provide reasonable role that small and more emphasis on revelation.
Maturidiyyah flow Samarkand say that knowing Allah, the obligation to know
God, and knowing good and bad, all of which can be known by reason. While
revelation can only know the obligation to do good and bad. Maturidiyyah flow
Bukhara argued that reason and revelation gets the same portion. Intellect can
know God and knows to do good and bad. While revelation can know the
obligation to know God and the obligation to do good and bad.
Keywords;
Faith – Kufr – Reason - Revelation
Abstrak;
Artikel ini membahas polemik aliran-aliran klasik dalam Islam tentang konsep
iman, kufur, akal dan wahyu. Penulis menyimpulkan bahwa aliran Khawarij
mengatakan bahwa orang yang menerima tahkim adalah kafir, sedangkan aliran
yang paling ekstrem mengatakan barang siapa yang tidak berhijrah ke
tempatnya, maka ia kafir dan wajib di bunuh. Sementara Aliran Murji’ah
mengatakan bahwa orang yang menerima tahkim bukanlah kafir, tetapi
mukmin, karena ia membenarkan Allah dalam hatinya dan diiqrarkan dengan
lisan. Lain lagi dengan Aliran Mu’tazilah, mereka mengatakan orang yang
berbuat dosa besar bukanlah kafir dan bukan pula mukmin, tetapi fasiq. Aliran
Asy’ariyyah mengatakan bahwa orang yang berbuat dosa besar adalah
mukmin yang fasiq, dan hukumannya di akhirat kelak, terserah kepada
Kata Kunci;
Iman – Kafir – Akal - Wahyu
I. PENDAHULUAN
M
unculnya aliran-aliran teologi dalam Islam tidaklah dapat dilepaskan
dari pertikaian politik. Ini dapat kita lacak ketika terbunuhnya
Khalifah Usman bin Affan r. a., banyak kalangan yang tidak
menerima kematian beliau. Olehnya itu, kebanyakan para sahabat menuntut
kepada pemerintahan Ali bin Abi Thalib untuk segera menghukum pelaku
pembunuhan Usman bin Affan. Puncaknya, terjadinya perang Jamal (tahun 35
H/656 M) antara pasukan Ali dengan pasukan ‘Aisyah, Thalhah, dan Zubair,
kemudian di susul dengan perang Shiffin (tahun 36 H/657 M) antara pihak Ali
dan Muawiyah1. Dari peristiwa inilah, maka mulai munculnya kelompok
Khawarij yang tidak sepakat dengan arbitrase tersebut. Kelompok ini
mengatakan bahwa tidak beriman orang yang menerima keputusan arbitrase,
karena siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang telah di
turunkan Allah adalah kafir. Dari pernyataan kelompok Khawarij inilah,
menimbulkan reaksi dari berbagai kelompok yang tidak setuju dengan
pendapat tersebut, seperti Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah, Maturidiyyah
Samarkand dan Maturidiyyah Bukhara.
Saling kafir-mengkafirkan pun menjadi sebuah realitas yang tak dapat di
sangkal pada masa ini, bahkan banyak nyawa kaum muslimin melayang dalam
mempertahankan konsep dan pendirian tersebut. Di dalam sejarah tercatat
kaum Khawarij melakukan tindak kekerasan kepada siapapun yang tidak
bersama mereka, baik dalam konsep dan tindakannya. Secara akal manusiawi,
tindakan yang dilakukan oleh kelompok Islam terhadap sesama muslim adalah
hal yang di luar batas. Yang berlalu, biarlah berlalu. Kita tidak bisa
menyalahkan, mana kelompok yang benar dan mana yang salah. Yang penting
bagi kita sekalian adalah bagaimana kita dapat memahami sejarah masa lalu,
II. PEMBAHASAN
Dengan ayat inilah, mereka mengambil simbol la hukma illa lillah, maka
orang-orang yang tidak mengambil hukum dari Allah Swt, termasuk orang
yang berdosa besar dan kafir. Atas peristiwa arbitrase inilah, aliran Khawarij
mulai memunculkan persoalan teologi yakni berkaitan dengan pelaku dosa
besar dan stigma yang diperolehnya.
2. Aliran Murji’ah
ستكؤن فتن القاعد فيها خير من الماشي و الماشي فيها خير من ا لساعي االفا ذا نزلت او وقت فمن كان له
يارسول هللا من لم:ابل فليلحق بابله ومن كان له غنم فليلحق بنغنمه ومن كان له ارض فليلحق بارضه – فقال رجل
يعمد الى سيفه فيدق علي حده بحجر ثم لينج ان اسطاع: قال عليه الصالة والسالم- تكن له ابل والغنم والارض؟
النجاة
(Nanti akan timbul berbagai fitnah, dimana orang yang duduk lebih baik daripada
yang berjalan; yang berjalan lebih baik daripada yang berlari. Jika peristiwa itu tiba,
maka orang yang memiliki unta hendaklah memegang untanya; yang memiliki kambing
hendaklah memegang kambingnya, dan yang memiliki tanah hendaklah bertahan di
tanahnya. Seorang laki-laki bertanya: “Ya Rasulullah, bagaimana orang yang tidak
memiliki unta, kambing, ataupun tanah?” Jawab Nabi, “Hendaklah ia mengambil
pedangnya dan meletakkannya ke batu, kemudian hendaklah ia menyelamatkan diri,
jika mampu untuk itu)7
3. Aliran Mu’tazilah
Aliran ini muncul pada masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi baru
pada masa pemerintahan ‘Abbasiyyah, khususnya pada masa Khalifah al-
Ma’mun, menghebohkan pemikiran Islam. Tetapi pada umumnya, ulama
berpendapat bahwa tokoh Washil ibn ‘Atha’ (lahir di Madinah, 81 H dan wafat
pada tahun 131 H) sebagai pencetus aliran ini. Beliau menolak pendapat
Khawarij yang menetapkan hukum terhadap pelaku dosa besar sebagai kafir,
dan tidak sepakat dengan pendapat Murji’ah yang menyatakan orang tersebut
sebagai mukmin, dan juga keluar dari majelis gurunya Hasan al-Basri11 yang
menyatakan bahwa pelaku dosa besar sebagai orang munafik. Ia pun
mengambil tempat dan mengeluarkan pendapat bahwasanya pelaku dosar itu
adalah fasiq (Manzilah bain al-Manzilatain). Washil ibn ‘Atha’ berpendapat
bahwa kata mukmin merupakan sifat baik dan nama pujian yang tak dapat
diberikan kepada fasiq (orang mukmin, tetapi sudah jauh dalam agama),
dengan dosa besarnya. Begitu pula dengan predikat kafir tidaklah dapat
disandangkan kepadanya, karena ia masih mengucapkan syahadat dan
mengerjakan perbuatan-perbuatan baik12. Orang serupa ini, kalau meninggal
dunia tanpa taubat, akan kekal dalam neraka, hanya saja siksaannya lebih
ringan dari siksaan yang diterima orang kafir.
4. Aliran Asy’ariah
Peletak dasar aliran ini adalah Abu Hasan al-Asy’ari (Lahir di Basrah,
260 H/873 M, dan wafat di Bagdad, 324 H/935 M), setelah melakukan diskusi
dengan gurunya dari kalangan Mu’tazilah, Abu ‘Ali al-Jubba’I yang berkaitan
Aliran ini lahir sebagai reaksi cepat melawan Mu’tazilah dan lebih luas
melawan Syi’ah14. Di dalam ajaran-ajarannya Abu Hasan al-Asy’ari banyak
mengikuti jejak Imam Ahmad ibn Hanbal, beliau mengatakan:
Dari kutipan ini, kita dapat melihat bahwasanya posisi Imam al-Asy’ari
mengikuti jejak tradisi yang dikembangkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal dan
kembali menghidupkan metode berpikirnya. Tetapi KH. Said Aqil Sirajd
mengatakan bahwa lahirnya aliran ini sebagai jalan tengah antara pemikiran
Mu’tazilah yang sangat liberal dan paham ahlul hadits yang terlalu tekstual16.
Adapun pendapat Imam al-Asy’ari berkaitan dengan iman dan kufur
adalah bahwa orang Mukmin yang mengesakan Allah tetapi ia fasik, maka
pahala atau siksanya tergantung kepada kehendak Allah. Jika Allah
menghendaki, maka ia diampuni dan dimasukkan ke dalam surga; dan jika
Allah menghendaki, maka ia disiksa karena kefasikannya, kemudian
dimasukkan ke dalam neraka. Dan Rasulullah Saw, mempunyai syafa’at yang
dikabulkan oleh Allah berkaitan dengan orang-orang Mukmin yang mendapat
siksaan. Rasulullah Saw, akan memberikan syafa’at kepada mereka atas
perintah dan izin Allah. Beliau tidak akan memberikannya kecuali kepada
orang-orang yang diridhai-Nya sebagaimana para Rasul lainnya.
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni
segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa
yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.
“Tidak kekal di dalam neraka, orang yang di dalam hatinya ada iman meskipun
seberat dzarrah”
5. Aliran Maturidiah
Peletak dasar aliran ini adalah Abu Mansur Muhammad ibn
Muhammad ibn Mahmud atau yang biasa kita kenal dengan nama Abu
Manshur al-Maturidi (lahir + 248 H/862 M dan wafat 333 H/944 M). Di dalam
sejarah dicatat bahwa ia banyak menimba ilmu dari ilmu fiqh dari mazhab
Hanafi dan ilmu kalam dari Nashr ibn Yahya al-Balkhi (w. 268 H). Karena
itulah, ulama menetapkan bahwa pendapat-pendapat Abu Hanifah dalam
bidang ‘aqidah merupakan akar yang menjadi landasan pemikiran al-
Maturidi17
Adapun persoalan iman dan kufr menurut aliran Maturidiah adalah
Iman itu tashdiq di dalam hati dan diikrarkan dengan lidah. Barangsiapa yang
percaya akan keberadaan Allah Swt, kemudian “kepercayaannya” itu
diikrarkan dengan hati, maka orang tersebut telah dinyatakan sebagai orang
beriman. Walaupun perbuatan dan tindakannya tidak sejalan dengan apa yang
diyakini dan diikrarkannya. Al-Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar
kekuasaan secara paksa oleh Bani Umayyah dari Hasan Ali ibn Abi Thalib. Dan
untuk melanggengkan kekuasaannya, maka “dicarilah” alat legalitas-
doktrinalnya, seperti dalil-dalil yang berkaitan bahwasanya perbuatan dan
tindakan manusia adalah kehendak Allah Swt semata. Oleh karena itu,
manusia hanya menjadi wayang yang digerakkan ke kiri dan ke kanan oleh
sang dalang. Akhirnya, pemahaman ini terus-menerus berkembang dan
menjadi sebuah sikap beragama, walaupan tak sedikit orang menganggapnya
sebagai sebuah aliran, yang biasa kita kenal dengan aliran Jabariyyah, dengan
tokoh sentralnya al-Ja’d Ibn Dirham (w. 160 H)18.
Dalam perkembangan selanjutnya, muncullah aliran Qadariyyah yang
pencetusnya Ma’bad al-Juhani (w. 80 H) dan Ghaylan al-Dimasyqi (w. 99 H),
yang mengkritik doktrin legalitas Bani Umayyah dengan mengatakan bahwa
perbuatan dan tindakan manusia, bukanlah kehendak Allah Swt semata, akan
tetapi kehendak manusia sendiri. Olehnya itu, pertanggungjawaban manusia di
akhirat kelak, menjadi penting adanya.
Sebagai penganut Qadariyyah, Hasan al-Bashri mulai menjadikan akal
sebagai sandaran berpikirnya. Dari sinilah kita menemukan Hasan al-Bashri
dan Wasil ibn ‘Atha “duduk” dalam satu pengajian, walaupun akhirnya
berbeda dalam memberikan posisi terhadap pelaku dosa besar. Dengan
statemennya itulah, Hasan al-Bashri memperkenalkan metode pendekatannya
dengan mengajukan argument akal, bagaimana mungkin Allah menyuruh
hamba-Nya beribadah kepada-Nya namun sekaligus memaksanya untuk
melakukan perbuatan kemaksiatan dan pelanggaran? Manusialah yang berbuat
dan dia pula yang mempertanggungjawabkan sendiri amal perbuatannya19.
Dengan metode pendekatannya inilah mulai merambah ke segala penjuru
aspek, seperti Abu Hanifah (w. 150 H) dalam bidang fiqh dan Mu’tazilah dalam
bidang kalam.
1. Mu’tazilah
Menurut Nashr Hamid Abu Zaid, kaum Mu’tazilah menjadikan akal
sebagai posisi sentral dalam mengetahui Allah, Kewajiban mengetahui Allah,
mengetahui baik dan jahat, dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan
kewajiban menjauhi perbuatan jahat, karena terdorong untuk merombak sistem
pemerintahan Bani Umayyah yang penuh dengan nepotisme, kolusi, harta
warisan, dan keturunan. Kaum Mu’tazilah menjadikan ilmu pengetahuan
sebagai nilai keistemewaan manusia sebanding dengan kehormatan, harta
warisan dan keturunan20. Dengan penghargaan akal dan ilmu pengetahuan,
maka secara tidak langsung mengurangi kebanggaan atas keturunan,
kelompok dan golongan. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa
kebanyakan pengikut kaum Mu’tazilah berasal dari budak21 yang tidak pernah
dihargai, bahkan sangat terpinggirkan baik dalam akses sosial, ekonomi
maupun politik pada masa dinasti Umayyah. Seperti “Washil bin ‘Atha’ dan
‘Amr ibn ‘Ubaid, pendiri mazhab yang terkenal dengan ketakwaan dan
kesalehannya, berasal dari budak. Abu al-Hudzail al-‘Allaf dan Syaikh
Mu’tazilah dari Basrah, berasal dari budak. ‘Abd al-Qais, Ibrahim Ibn Sayyar al-
Nizhzam juga budak keluarga Ziyad. Tsumamah ibn Asyras, Syaikh Mu’tazilah
dari Basrah, budak Bani Namir, dan al-Jahizh, seorang alim Mu’tazilah yang
terkenal mempunyai perdaban dan eksiklopedi, juga budak dari Basrah.”
Terlepas dari wacana di atas, Mu’tazilah memberikan proporsi lebih
terhadap akal dibandingkan wahyu dalam pemahaman ke-Islaman, khususnya
dalam masalah ‘aqidah, seperti akal dapat mengetahui Allah, Kewajiban
mengetahui Allah, mengetahui baik dan jahat, dan kewajiban mengerjakan
perbuatan baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat. Abu Huzail al-Allaf
menegaskan bahwa seseorang telah wajib mengetahui Allah, sebelum turunnya
wahyu dan jika ia tidak berterima kasih kepada Allah, orang yang demikian
akan mendapatkan hukuman. Begitu pula dengan perbuatan baik wajib
dikerjakan dan perbuatan buruk, wajib dihindari.
Tetapi, kelompok ini tidaklah menafikan wahyu, mereka berpendapat
bahwa tidak semua hal dapat diketahui oleh akal. Kelompok ini, menjadikan
wahyu sebagai alat konfirmasi dan informasi, yakni alat pembuktian dan
pembenaran bahwasanya apa yang diketahui oleh akal adalah benar adanya,
dan juga menerangkan apa-apa yang belum diketahui akal. Olehnya itu,
kelompok ini membagi ( قبائح عقليةperbuatan-perbuatan baik menurut akal) dan
(مناكير عقليةperbuatan-perbuatan buruk menurut akal) dan ( قبائح شرعيةperbuatan-
perbuatan baik menurut syar’iyyah) dan ( مناكيرشرعيةperbuatan-perbuatan
buruk menurut syar’iyyah). Dan juga mereka membedakan antara واجبات عقلية
(kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh akal) dan ( واجبات شرعيةkewajiban-
kewajiban yang ditentukan oleh syar’iyyah). Dan juga ( تكليف عقليpembebanan
secara akal) dan ( تكليف سمعيpembenanan secara wahyu). Qadi Abdul Jabbar,
seorang tokoh Mu’tazilah menjelaskan lebih jauh bahwa, jika berkaitan dengan
persoalan halal dan haram, maka akal harus tunduk pada naqal, wahyu; jika di
luar halal dan haram, akal wajib didahulukan daripada wahyu. Sebab dalam
kasus ini, teks mempunyai keterbatasan, sedang akal sebagai anugerah Allah
dapat menyelesaikan kasus inderawi serumit apapun. Inilah tempat di mana
silogisme, penalaran, dan otoritas akal beraksi
2. Asy’ariyyah
Aliran Asy’ariyyah menyanggah pendapat Mu’tazilah tersebut.
Asy’ariyyah berpendapat bahwa hanya wahyulah segala kewajiban manusia
dapat diketahui, bukan dengan akal. Menurut aliran ini, akal manusia hanya
mampu mengetahui Allah, sedangkan kewajiban terhadap Allah, mengetahui
baik dan jahat, dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan kewajiban
menjauhi perbuatan jahat, diperoleh hanya melalui wahyu.
Tentang pemikiran Al-Asy’ari mengenai kedudukan akal dan wahyu, al-
Bagdadi menjelaskannya bahwa akal dapat mengetahui Allah, tetapi tidak
dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Allah, karena segala
kewajiban dapat diketahui hanya melalui wahyu. Olehnya itu, seseorang tidak
wajib menjalankan kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan, sebelum
Dengan demikian, peranan akal dan wahyu mendapat porsi yang sama,
akan tetapi banyak dari pemikir teolog Islam menyatakan bahwa Maturidiyyah
Bukhara lebih cenderung ke Asy’ariyyah.
III. PENUTUP
Terkait dengan polemik tentang iman dan kufur, maka dapat disimpulkan
bahwa aliran Khawarij mengatakan bahwa orang yang menerima tahkim adalah
kafir, sedangkan aliran yang paling ekstrem mengatakan barang siapa yang
tidak berhijrah ke tempatnya, maka ia kafir dan wajib di bunuh. Dari sejarah
Khawarij itu kita dapat mengambil pelajaran bahwa persoalan-persoalan sosial
politik kalau dibungkus dengan agama bisa mendatangkan bahaya yang lebih
Endnotes
1
Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian Teologis Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, (Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 9
2
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI
Press, 1986), h. 6
3
Departemen Agama, Al-Qur’an dan terjemahannya.
4
Lih, Toshihiko Izutsu. The Concept of Belief in Islamic Theology: A Semantical Analysis of
Iman anda Islam, diterjemahkan oleh Agus Fahri Husein dengan judul Konsep Kepercayaan dalam
Teologi Islam: Analisis Semantik Iman dan Islam,( Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana. 1994), h. 12
5
Ibid, h. Sekte ini dikenal sebagai ekstremis khawarij. Kelompok ini mempunyai tiga ciri khas
yakni pertama, semua orang muslim yang tidak mengikuti pendapat mereka sampai yang sekecil-kecilnya
adalah Musyrik. Kedua, semua orang sekalipun setuju dengan Azariqah secara teori, namun tidak
berhijrah ke perkampungan mereka adalah Musyrik. Ketiga, istri-istri dan anak-anak dari orang Musyrik
tersebut juga Musyrik. Dan kesemuanya ini secara sah dapat di bunuh dan hartanya di rampas.
6
Harun Nasution, Op. Cit, h.
7
Imam Muhammad Abu Zahrah. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, diterjemahkan oleh Abd.
Rahman dan Ahmad Qarib dengan judul Aliran Politik dan’Aqidah dalam Islam, (Jakarta: Logos. 1996),
h. 144
8
Nashr Hamid Abu Zaid, Al-Ittijah Al-‘Aqli fi Al-Tafsir: Dirasah fi Qadhiyyat Al-Majaz fi Al-
Qur’an ‘inda al-Mu’tazilah, diterjemahkan oleh Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan dengan judul
Menalar Firman Allah: Wacana Majaz dalam Al-Qur’an Menurut Mu’tazilah, (Cet. I; Jakarta: Mizan,
2003), h. 31
9
M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1994), h. 157
10
Harun Nasution, Op. Cit., h. 26
11
Hasan al-Bashri, apabila di runut dari status sosialnya, adalah seorang budak dari keluarga
Maisan-golongan budak kaum Anshar. Ibunya bernama Khairah, budak milik Ummu Salamah, Istri
Rasulullah Saw. Serangan Umayyah terhadap Irak mencapai puncaknya di era ‘Abd al-Malik ibn Marwan
dan Gubernur Irak kala itu adalah Hajjaj ibn Yusuf. Kuatnya tekanan dari Hajjaj ketika berinteraksi
dengan Hasan al-Bashri dan para pengikutnya membuat Hasan al-Bashri dan para pengikut-setianya lebih
memilih jalan rekonsiliasi dan menyembunyikan sikap (taqiyyah), minimal di hadapan Al-Hajjaj dan
pejabat yang lainnya. Meskipun demikian, mereka tetap mendeklarasikan pemikirannya pada para
pengikutnya yang lain dengan tegas. Hasan al-Bashri lebih memilih taqiyyah ketika berbicara tentang ‘Ali
r. a., walaupun ia bukan orang Syi’ah. Kecintaannya terhadap ‘Ali r. a. menjadi penyebab Bani Umayyah
menyiksanya. Lih. Nashr Hamid Abu Zaid, Op. Cit, h. 49-55
12
Harun Nasution, Op. Cit, h. 43
13
Imam Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit, h. 190
14
Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam, diterjemahkan oleh Aam Fahmia dengan judul
Gelombang Perubahan dalam Islam: Studi Fundamentalis Islam, (Cet. I. Jakarta: Rajawali Press, 2000),
h. 45. Dan lihat juga Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam
dan Fundamentalisme Neo-liberal. Jakarta: Erlangga, 2006.
15
. Fazlur Rahman, I b I d, h. 194. Dan Ahmad Baso, I b I d, h. 85
16
Mastuki (ed.), Kiai Menggugat: Mengadili Pemikiran Kang Said, (Jakarta: Pustaka Ciganjur,
1999), h. 20
17
Imam Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit, h. 208
18
Mengenai Ja’d al-Dirham, Abu Zahrah seakan-akan ragu memastikan mengenai terlibatnya ia
dalam paham Jabariyyah. Sedangkan Nashr Hamid Abu Zayd menggolongkan Ja’d al-Dirham sebagiai
golongan Qadariyyah, karena ia di bunuh di bawah mimbar setelah shalat ‘id pada masa Dinasti Bani
Umayyah, khalifah Khalid ibn ‘Abdullah al-Qasri.
19
Ahmad Baso, Op. Cit, h. 72
20
Nashr Hamid Abu Zaid, Op. Cit, h. 71
22
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 82-83
23
Al-Ghazali, al-Iqtishad fi l-I’tiqad, Maktabah Syamilah, h. 1
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zaid, Nashr Hamid. Al-Ittijah Al-‘Aqli fi Al-Tafsir: Dirasah fi Qadhiyyat Al-
Majaz fi Al-Qur’an ‘inda AL-Mu’tazilah, diterjemahkan oleh
Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan dengan judul Menalar Firman
Allah: Wacana Majaz dalam Al-Qur’an Menurut Mu’tazilah, Jakarta:
Mizan, 2003
Ahmad, Amin. Yaumul Islam, diterjemahkan oleh Abu Laila dan Muhammad
Tohir dengan judul Islam dari Masa ke Masa, Cet. III; Bandung: Remaja
Rosdakarya. 1993
Asmuni, M. Yusran. Ilmu Tauhid. Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo. 1994
Cawidu, Harifuddin. Konsep Kufr Dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian Teologis Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik. Jakarta: Bulan Bintang. 1991
Hanafi, A. Pengantar Theology Islam. Cet. IV; Jakarta: PT. Al-Husna Zikra. 1995
______________. Akal dan Wahyu Dalam Islam. Cet. II; Jakarta: UI Press. 1986
Mastuki (ed.), Kiai Menggugat: Mengadili Pemikiran Kang Said, Jakarta: Pustaka
Ciganjur. 1999
Rahman, Fazlur. Revival and Reform in Islam, diterjemahkan oleh Aam Fahmia
dengan judul Gelombang Perubahan dalam Islam: Studi Fundamentalis
Islam, Cet. I; Jakarta: Rajawali Press. 2000
Yusuf, M. Yunan. Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar: Sebuah Telaah Atas
Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam. Cet. II; Jakarta: Penamadani. 2003
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Cet. XVI; Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada. 2004.