Вы находитесь на странице: 1из 52

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai


tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif
pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya
dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang
harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik
pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari
operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa
anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi. 1,2
Endometriosis adalah suatu penyakit yang lazim menyerang wanita di usia
reproduksi. Penyakit ini merupakan kelainan ginekologis yang menimbulkan
keluhan nyeri haid, nyeri saat senggama, pembesaran ovarium dan infertilitas.
Endometriosis terjadi ketika suatu jaringan normal dari lapisan uterus yaitu
endometrium menyerang organ-organ di rongga pelvis dan tumbuh di sana.
Penanganan endometriosis baik secara medikamentosa maupun operatif tidak
memberikan hasil yang memuaskan disebabkan patogenesis penyakit tersebut
belum terungkap secara tuntas. Keberhasilan penanganan endometriosis hanya
dapat dievaluasi saat ini dengan mempergunakan laparoskopi. Laparoskopi
merupakan tindakan yang minimal invasif tetapi memerlukan keterampilan
operator, biaya tinggi dan kemungkinan dapat terjadi komplikasi dari yang ringan
sampai berat.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny D
Umur : 24 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Ma Bulian
Ruangan : Kelas I
Diagnosis : Kista Endometriosi
Tindakan : Laparaskopi
BB/TB/IMT : 53 kg/ 156 cm/ 21,8
Golongan Darah :O

B. HASIL KUNJUNGAN PRA ANESTESI


I. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Nyeri perut kiri bawah sejak 5 hari yang lalu

B. Riwayat Penyakit Sekarang


5 bulan yang lalu pasien mengatakan merasakan nyeri hebat saat haid.
Nyeri menganggu aktifitas sehari-hari. Nyeri terus berulang saat haid di
bulan-bulan berikutnya. Nyeri seperti ditusuk-tusuk. Menstruasi tidak
teratur (-), perdarahan di luar siklus menstruasi (-). Menstruasi yang
banyak jumlahnya (-), saat haid ganti pembalut 3 kali/hari. Nyeri saat
berhubungan (-), BAB dan BAK tidak ada keluhan, KB (-), keputihan (-).

C. Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat hipertensi (-)
- Riwayat Asma (-)
- Riwayat DM (-)

2
- Riwayat Batuk lama (-)
- Riwayat Alergi Obat (-)
- Riwayat Operasi (+) Appendiktomi
- Riwayat keguguran (+) 2 kali

D. Riwayat Kebiasaan

Merokok (-), Minum Alkohol (-)


E. Pemeriksaan Fisik
1. Tanda Vital
- Kesadaran: composmentis
- TD : 120/80 mmHg
- Suhu : 36,6 C
- RR : 20 x/menit
- Nadi : 80 x/menit
2. Kepala
a. Mata : conjunctiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), Refleks
cahaya (+/+), pupil bulat isokor
b. THT : sekret (-), concha hiperemis (-), deviasi septum (-), nch
(-), faring hiperemis (-), serumen (+/+) minimal
c. Leher : Tidak ada pembesaran KGB, JVP 5 -2 cm H 2O, deviasi
trakea (-), pembesaran tiroid (-)
3. Thorax
Paru
a. Inspeksi: simetris, retraksi dada (-)
b. Palpasi : nyeri tekan (-), krepitasi (-), strem fremitus kanan = kiri
c. Perkusi: sonor (+/+) di kedua lapangan paru
d. Auskultasi: Vesikuler (+/+) menurun, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
a. Inspeksi: Iktus cordis tidak terlihat
b. Palpasi : Iktus cordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra

3
c. Perkusi:
Batas jantung kiri bawah : ICS V linea midclavicula sinistra
Batas jantung kanan bawah : ICS IV linea parasternalis dekstra
Batas kiri atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Batas kanan atas : ICS II linea parasternalis dekstra
Pinggang Jantung : ICS III linea paratsternalis sinistra
d. Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
4. Abdomen
a. Inspeksi : Datar
b. Palpasi : Supel, nyeri tekan (+) perut kiri bawah, hepar dan
lien tidak teraba
c. Perkusi : timpani pada seluruh lapang perut.
d. Auskultasi : bising usus (+) normal
5. Genitalia : Tidak diperiksa
6. Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-)

II. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Darah rutin
WBC : 7,9 x 109/L (4,0-10,0)
RBC : 5,01 x 1012/L (3,50-5,50)
HB : 13,4 g/dl (11,0-16,0)
HCT : 39 % (36,0-48,0)
PLT : 324 x 109/L (150-400)
GDS : 111 g/dl (< 200)
BT : 2,5 menit (1-3)
CT : 3,5 menit (2-6)

2. Kimia darah lengkap


Protein Total : 8,0 g/dl
Albumin : 4,2 g/dl
Globulin : 4,6 g/dl

4
3. Elektrolit
Natrium : 130,64 mmol/L
Kalium : 4,43 mmol/L
Clorida : 100,04 mmol/L
Calsium : 1,18 mmol/L

4. X-ray thorax
Kesan: cor dan pulmo normal

5. CT-scan
Tidak ada

6. Pemeriksaan penunjang lain


EKG :
1. Irama sinus
2. Frekuensi 75 x/menit
3. Ritme : interval P-P reguler
4. Gelombang p: selalu diikuti kompleks QRS
5. PR interval: normal
6. Kompleks QRS normal
7. Interval QRS: normal
8. Segmen ST: isoelektrik, normal
9. Interval QT: normal
10. Gelombang T: normal

5
III. Rencana Tindakan Anestesi
a. Diagnosis Pra Bedah : Kista Endometriosis
b. Tindakan bedah : Laparaskopi
c. Status fisik ASA :12345E
d. Jenis/tindakan Anestesi : General Anestesi
e. Malampati :1

IV. Pra Anestesi


a. Pasien telah diberikan inform consent
b. Pasien rawat inap
c. Pasien dipuasakan sejak jam 02.00 WIB dini hari

C. LAPORAN ANESTESI
Tanggal : 8 Agustus 2018
Diagnosa : Kista
Nama : Ny D
Umur : 24 th Endometriosis
BB : 53 kg Jenis pembedahan Laparaskopi
Jenis kelamin : Perempuan Ahli bedah : dr Paryanto, Sp.OG
Ahli Anestesi: dr Sulistiawati, Sp.An
Ruang : Kelas 1
I. Keterangangan Pra Bedah
1. Keadaan Umum : Sedang
2. Kesadaran : Composmentis
TD : 120/80 mmHg RR : 20 x/menit
Suhu : 36,6 C Nadi : 82 x/menit

6
3. Pemeriksaan penunjang
EKG : Sinus rhytm
Foto thorax : Cor dan Pulmo normal

V. Tindakan Anestesi
Mulai anestesi 09.30, mulai pembedahan 09.40, akhir pembedahan 12.45.
akhir anestesi 13.05.
1. Metode : General Anestesi
2. Premedikasi : As Tranexamat 100 mg IV, ranitidin 50 mg IV,
ondansetron 4 mg IV, Fentanyl 100 mcg IV.
3. Medikasi :
- Propofol 100 mg
- Atracurium 30 mg + 10 mg menit ke 60
- Ketorolac 30 ml
- Maintenance : Sevofluran MAC 1,8-2 % + N2O : O 2
(1:1)
4. Tekanan darah : Cenderung stabil 110-120/70-80 selama operasi
5. Ekstubasi : setelah pasien sadar penuh

7
II. Keadaan Selama Operasi
1. Letak penderita : Terlentang
2. Intubasi : tidak dilakukan
3. Penyulit intubasi : tidak ada
4. Penyulit waktu anestesi : tidak ada

III. Monitoring Perioperatif


Waktu TTV Keterangan
13.10 TD 120/80 mmhg
Nadi 70 x/menit
RR 18 x/menit
SpO2 99 %
13.25 TD 120/80 mmhg
Nadi 81 x/menit
RR 20 x/menit
SpO2 99 %
13.30 TD 120/80 mmhg Aldrete score 10
Nadi 80 x/menit Turun ke ruangan
RR 22 x/menit
SpO2 99 %

IV. Instruksi Anestesi


1. Observasi Keadaan umum dan TTV post op
2. Terapi sesuai instruksi dokter Sp.OG
3. TIdur terlentang tanpa memakai bantal 1x24 jam post operasi
4. Puasa sampai sadar penuh dan bising usus positif
5.

8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Endometriosis yaitu suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang
masih berfungsi berada di luar kavum uteri. Jaringan ini terdiri atas kelenjar dan
stroma, terdapat di dalam endometrium ataupun di luar uterus. Bila jaringan
endometrium terdapat di dalam miometrium disebut adenomiosis, bila brada di
luar uterus disebut endometriosis. Pembagian ini sudah tidak dianut lagi, karena
secara patologik, klinik, ataupun etiologic adenomiosis berbeda dengan
endometriosis. Adenomiosis secara klinis lebih banyak persamaan dengan mioma
uteri. Adenomiosis sering ditemukan pada multipara dalam masa premenopause,
sedangkan endometriosis terdapat pada wanita yang lebih muda dan yang
infertile (Sarwono.2007). Terdapat kurang lebih 15% wanita reproduksi dan
pada 30% dari wanita yang mengalami infertilitas. Implantasi endometriosis bisa
terdapat pada ovarium, ligamentum sakrouterina, kavum dauglasi, ligamentum
latum dan ligamentum rotundum, tuba fallopi, dan pada tempat-tempat ekstra
peritoneal ( serviks, vagina, vulva, dan kelenjar-kelenjar limfe).
Penampakan kasarnya bisa dalam bentuk luka berupa sebuah peninggian
atau kista yang berisi darah baru, merah atau biru-hitam. Karena termakan waktu,
luka tersebut berubah menjadi lebih rata dan berwarna coklat tua. Ukuran luka
dapat berkisar dari luka kecil dari 10 cm.
(Rayburn, F. William.2001)
1. Etiologi
Beberapa ahli mencoba menerangkan kejadian endometriosis yaitu berupa
beberapa teori,antara lain:
a. Teori Implantasi dan Regurgitasi.
Teori ini menerangkan adanya darah haid yang dapat menjalar dari kavum
uteri melalui tuba Falopii, tetapi teori ini tidak dapat menerangkan kasus
endometriosis di luar pelvis.
b. Teori Metaplasia.
Teori ini menerangkan terjadinya metaplasia pada sel-sel coelom yang
berubah menjadi endometrium.

9
Perubahan ini dikatakan sebagai akibat dari iritasi dan infeksi atau
hormonal pada epitel coelom. Secara endokrinologis hal ini benar karena
epitel germinativum dari ovarium, endometrium dan peritoneum berasal
dari epitel coelom yang sama.
c. Teori Hormonal.
Telah lama diketahui bahwa kehamilan dapat menyembuhkan
endometriosis. Rendahnya kadar FSH, LH, dan E2 dapat menghilangkan
endometriosis. Pemberian steroid seks dapat menekan sekresi FSH, LH,
dan E2. Pendapat yang sudah lama dianut mengemukakan bahwa
pertumbuhan endometriosis sangat tergantung dari kadar estrogen di
dalam tubuh.
d. Teori Imunologik.
Secara embriologis, sel epitel yang membungkus peritoneum parietal dan
permukaan ovarium sama asalnya, oleh karena itu sel endometriosis
sejenis dengan mesotel. Banyak peneliti berpendapat bahwa
endometriosisn adalah suatu penyakit autoimun karena memiliki criteria
cenderung lebih banyak pada wanita, bersifat familiar, menimbulkan
gejala klinik, melibatkan multiorgan, menunjukkan aktivitas sel B-
poliklonal.
( Baziad,Ali dkk.1993)
3.2 Faktor-faktor resiko
Factor-faktor resiko untuk endometriosis :
a. Nuliparitas
b. Infertilitas
c. Usia 25-40 tahun
(Rayburn, F. William.2001)
3.3 Jenis- jenis endometriosis
Berdasarkan lokasi tempat endometriosis dibagi menjadi :
a. Endometriosis Interna (adenomiosi uteri)
Fokus Endometriosis berada multilokuler di dalam otot uterus. Akan terjadi
penebalan atau pembesaran uterus. Gejala yang timbul hampir tidak ada. Ada
dua gejala yang khas buat adenomiosis uterus, yaitu:
- Nyeri saat haid.
- Perdarahan haid yang banyak atau haid yang memanjang.
b. Endometriosis Tuba.
Yang paling sering terkena adalah bagian proksimal tuba.Akibatnya adalah:
- Saluran tuba tertutup,terjadi infertilitas.

10
- Resiko terjadinya kehamilan ektopik.
- Hematosalping
c. Edometriosis Ovarium
Akibat adanya endometriosis pada ovarium akan terbentuk kista coklat. Kista
coklat ini sering mengadakan perlekatan dengan organ-organ di sekitarnya dan
membentuk suatu konglomerasi.
d. Endometriosis Retroservikalis.
Pada rectal toucher sering teraba benjolan yang nyeri pada cavum Douglas.
Benjolan-benjolan ini akan melekat dengan uterus dan rectum, akibatnya
adalah:
- Nyeri pada saat haid.
- Nyeri pada saat senggama.

Diagnosa banding yang perlu diperhatikan adalah:


- Karsinoma ovarium.
- Metastasis di kavum Douglas.
- Mioma multiple.
- Karsinoma rectum.
e. Endometriosis Ekstragenital.
Setiap nyeri yang timbul pada organ tubuh tertentu pada organ tbuh tertentu
bersamaan dengan datangnya haid harus dipikirkan adanya endometriosis.
( Baziad,Ali dkk.1993)
3.4 Patologi
Dimanapun lokasinya, endometrium ektopik, yang dikelilingi stroma ,
mengadakan implantasi dan membentuk kista kecil, yang berespon terhadap
sekresi estrogen dan progesterone secara siklik, sama seperti yang terjadi di
dalam endometrium uteri. Selama menstruasi, terjadi perdarahan di dalam kista.
Darah, jaringan endometrium dan cairan jaringan terperangkap di dalam kista
tersebut. Pada siklus berikutnya , cairan jaringan dan plasma darah diabsorpsi,
sehingga meninggalkan darah kental berwarna coklat. Ukuran maksimal kista
tergantung lokasinya. Kista kecil mungkin tetap kecil atau diserang makrofag dan
menjadi luka fibrotic kecil. Kista cenderung lebih besar dari pada kista lainnya,
tetapi biasanya tidak lebih besar daripada jeruk berukuran sedang. Ketika kista
tumbuh, tekanan internal mungkin merusak dinding endometrium yang aktif,
sehingga kista tida berfungsi lagi.

11
Tidak jarang terjadi rupture dari kista yang kecil. Darah kental yang keluar
sangat iritatif dan mengakibatkan perlengketan multiple disekeliling kista. (
Jones. Derek Llewellyn,2001).
3.5 Gejala- Gejala
Penderita endometriosis bisa datang dengan keluhan nyeri panggul, terutama
bila datang haid, infertilitas, disparenia, perdarahan uterus abnormal, rasa nyeri
atau berdarah ketika kencing atau pada rectum dalam masa haid. Gejala-gejala
endometriosisi datangnya berkala dan bervariasi sesuai datangnya haid tetapi
bisa menetap. Banyak penderita endometriosis yang tidak bergejala, dan terdapat
sedikit korelasi antara hebatnya gejala dengan beratnya penyakit.
Adapun gambaran klinis endometriosis menurut Sarwono yaitu :
a. Nyeri perut bawah yang progresif dan dekat paha yang terjadi pada dan selama
haid (dismenore)
Dismenorea pada endometriosis biasanya merupakan rasa nyeri waktu haid
yang semakin lama semakin hebat. Sebab dari dismenorea ini tidak diketahui
secara pasti tetapi mungkin ada hubungannya dengan vaskularisasi dan
perdarahan di dalam kista endometriosis pada waktu sebelum dan semasa haid.
Jika kista endometriumnya besar dan terdapat perlengketan ataupun jika lesinya
melibatkan peritoneum usus, keluhan dapat berupa nyeri abdomen bawah atau
pelvis yang konstan dengan intensitas yang berbeda-beda. (Derek Llewellyn-
Jones.2002)
b. Dispareunia
Merupakan keadaan yang sering dijumpai disebabkan oleh karena adanya
endometriosis di kavum douglasi.

c. Nyeri pada saat defekasi

Defekasi yang sukar dan sakit terutama pada waktu haid disebabkan oleh
karena adanya endometriosis pada dinding rektosigmoid.
d. Gangguan Haid (Polimenorea dan hipermenorea)

Gangguan haid dan siklusnya terjadi apabila kelainan pada ovarium demikian
luasnya sehingga fungsi ovarium terganggu.Menstruasi tidak teratur terdapat
pada 60% wanita penderita. Pasien mungkin mengeluhkan bercak merah

12
premenstruasi, perdarahan menstruasi dalam jumlah banyak (menoragia), atau
frekuensi menstruasi yang lebih sering dan banyak mengeluarkan darah.
(Jones. Derek Llewellyn.2001)
e. Infertilitas

Ada korelasi yang nyata antara endometriosis dan infertilitas. 30%-40% wanita
dengann endometriosis menderita infertilitas. Factor penting yang
menyebabkan infertilitas pada endometriosis adalah apabila mobilitas tuba
terganggu karena fibrosis dan perlekatan jaringan di sekitarnya. Pada
pemeriksaaan ginekologik khususnya pemeriksaan vagina-rekto-abdominal,
ditemukan pada endometriosis ringan benda-benda padat seperti butir beras
sampai butir jagung di kavum douglas dan pada ligamentum sakrouterinum
dengan uterus dalam posisi retrofleksi dan terfiksasi. (Wiknjosastro,
hanifa.2007.)

3.6 Tanda
Tanda-tanda fisik dari endometriosis yaitu rahim yang terfiksasi ke belakang,
terdapat benjolan pada ligamentum sakrouterina dan dalam kavum douglasi,
massa adneksa yang asimetris, dan nyeri pada pemeriksaan bimanual. Luka yang
terlihat pada pemeriksaan speculum adalah sangat menunjukan endometriosis, dan
jika ada harus dilakukan pemeriksaan biopsy. (Rayburn, F. William.2001)
3.7 Diagnosis
Secara klinis endometriosis sering sulit dibedakan dari penyakit radang pelvis
atau kista ovarium lainnya. Visualisasi endometriosis diperlukan untuk
memastikan diagnosis. Cara yang biasa dilakukan untuk menegakan diagnose
yaitu dengan melakukan pemeriksan laparoskopi untuk melihat luka dan
mengambil specimen biopsy. Pemeriksaan ultrasonografi pelvis bias membantu
untuk menilai massa dan bisa menduga adanya endometriosis. Kadar antigen
kanker 125 (CA-125) tinggi pada penderita endometriosis.
(Rayburn, F. William.2001)
Adapun Pemeriksaan Penunjang yang dilakukan yaitu :
a. Laparoskopi

13
Bila ada kecurigaan endometriosis panggul , maka untuk menegakan
diagnosis yang akurat diperlukan pemeriksaan secara langsung ke rongga
abdomen per laparoskopi. Pada lapang pandang laparoskopi tampak
pulau-pulau endometriosis yang berwarna kebiruan yang biasanya
berkapsul. Pemeriksaan laparoskopi sangat diperlukan untuk
mendiagnosis pasti endometriosis, guna menyingkirkan diagnosis
banding antara radang panggul dan keganasan di daerah pelviks. Moeloek
mendiagnosis pasien dengan adneksitis pada pemeriksaam dalam,
ternyata dengan laparoskopi kekeliruan diagnosisnya 54%, sedangkan
terhadap pasien yang dicurigai endometriosis, kesesuaian dengan
pemeriksaan laparoskopi adalah 70,8%.
b. Pemeriksaan Ultrasonografi
Secar pemeriksaan, USG tidak dapat membantu menentukan adanya
endometriosis, kecuali ditemukan massa kistik di daerah parametrium,
maka pada pemeriksaan USG didapatkan gambaran sonolusen dengan
echo dasar kuat tanpa gambaran yang spesifik untuk endometriosis.
3.8 Penanganantalaksanaan

Peendometriosis terdiri atas pencegahan, observasi, terapi hormonal,


pembedahan dan radiasi.
a. Pencegahan
Bila disminorea yang berat terjadi pada seorang pasien muda, kemungkinana
bermacam-macam tingkat sumbatan pada aliran haid harus
dipertimbangkan.kemungkinan munculnya suatu tanduk rahim yang tumpul
pada rahimbikornuata atau sebuah sumbatan septum rahim atau vaginal
harus diingat.dilatasi serviks untuk memungkinkan pengeluaran darah haid
yang lebih mudah pada pasien dengan tingkat disminorea yang hebat.
( Moore, Hacker.2001)
Kemudian, adapula pendapat dari Meigs. Meigs berpendapat bahwa
kehamilan adalah pencegahan yang paling baik untuk endometriosis. Gejala-
gejala endometriosis memang berkurang pada waktu dan sesudah kehamilan
karena regresi endometrium dalam sarang-sarang endometriosis. Maka dari

14
itu perkawinan hendaknya jangan ditunda terlalu lama dan diusahakan
secepatnya memiliki anak yang diinginkan dalam waktu yang tidak terlalu
lama. Sikap demikian tidak hanya merupaka profilaksis yang baik untuk
endometriosis, melainkan juga mrnghindari terjadinya infertilitas sesudah
endometrium timbul.selain itu juga jangan melakukan pemeriksaan yang
kasar atau kerokan saat haid, karena dapat mengalirkan darah haid dari
uterus ke tuba fallopi dan rongga panggul.
(Wiknjosastro, hanifa.2007.)

b.Observasi
pengobatab ini akan berguna bagi wanita dengan gejala dan kelainan fisik
yang ringan. Pada wanita yang agak berumur, pengawasan ini bisa
dilanjutkan sampai menopause, karena sesudah itu gejala-gejala
endometriosis hilang sendiri. Dalam masa observasi ini dapat diberi
pengobatan paliatif berupa pemberian analgetik untuk mengurangi rasa
nyeri. (Wiknjosastro, hanifa.2007.)
c.Pengobatan Hormonal
Prinsip pertama pengobatan hormonal ini adalah menciptakan ingkungan
hormone rendah estrogen dan asiklik. Kadar estrogen yang rendah
menyebabkan atrofi jaringan endometriosis. Keadaan yang asiklik mencegah
terjadinya haid, yang berarti tidak terjadi pelepasan jaringan endometrium
yang normal ataupun jaringan endometriosis. Dengan demikian dapat
dihindari timbulnya sarang endometriosis yang baru karena transport
retrograde jaringan endometrium yang lepas serta mencegah pelepasan dan
perdarahan jaringan endometriosis yang menimbulkan rasa nyeri karena
rangsangan peritoneum.
Prinsip kedua yaitu menciptakan lingkungan tinggi androgen atau tinggi
progesterone yang secara langsung dapat menyebabkan atrofi jaringan
endomeetriosis.
(Wiknjosastro, hanifa.2007.)
d.Pembedahan

15
adanya jaringan endometrium yang berfungsi merupakan syarat mutlak
tumbuhnya endometriosis. Oleh krarena itu pada waktu pembedahan,harus
dapat menentukan apakah ovarium dipertahankan atau tidak. Pada
andometriosis dini , pada wanita yang ingin mempunyai anak fungsi ovarium
harus dipertahankan. Sebaliknya pada endometriosis yang sudah menyebar
luas pada pelvis, khususnya pada wanita usia lanjut. Umumnya pada terapi
pembedahan yang konservatif sarang endometriosis diangkat dengan
meninggalkan uterus dan jaringan ovarium yang sehat, dan perlekatan
sedapatnya dilepaskan. Pada operasi konservatif, perlu pula dilakukan
suspensi uterus, dan pengangkatan kelainan patologik pelvis. Hasil
pembedahan untuk infertile sangat tergantung pada tingkat endometriosis,
maka pada penderita dengan penyakit berat, operasi untuk keperluan infertile
tidak dianjurkan. (Wiknjosastro, hanifa.2007)
e.Radiasi
pengobatan ini bertujuan menghentikan fungsi ovarium, tapi sudah tidak
dilakukan lagi, kecuali jika ada kontraindikasi terhadap pembedahan.
(Wiknjosastro, hanifa.2007.)

4.2 Laparaskopi
Bedah laparoskopi, disebut juga bedah minimally invasive, atau
keyhole surgery merupakan teknik bedah modern dimana operasi abdomen
melalui irisan kecil (biasanya 0,5-1 cm) dibandingkan dengan prosedur bedah
tradisional yang memerlukan irisan yang lebih besar, dimana tangan ahli
bedah masuk ke badan pasien.
Pemanfaatan laparoskopi untuk diagnostik maupun terapeutik dengan
menggunakan insufflator otomatis diawali pada tahun 1970. Semm pada
tahun 1983, memulai melakukan apendektomi. Saat ini telah dipergunakan
charge-couple device (CCD), three chip camera, video monitor, high-
definition camera, true color image, sehingga diperoleh gambaran lapangan
operasi yang makin jelas (Soper et al., 2004).

16
Instrumen Laparoskopi Elemen kunci pada laparoskopi adalah
penggunaan laparoskop. Ada dua tipe laparoskop yaitu: (1) sistem teleskop
batang, yang biasanya dihubungkan dengan kamera video (single chip atau
three chip); (2) laparoskop digital dimana charge-couple device ditempatkan
pada ujung laparoskop. Laparoskopi juga menggunakan lampu yang dingin
seperti halogen atau xenon. Lapangan operasi dilihat dengan hand instrument
yang dimasukkan abdomen melalui trokar 5 mm atau 10 mm. Gas
karbondioksida dimasukkan ke dalam abdomen sehingga menaikkan dinding
abdomen di atas organ intraabdomen menjadi seperti kubah untuk
menghasilkan ruang bekerja. Penggunaan gas karbondioksida karena gas ini
terdapat di dalam tubuh manusia dan dapat diserap oleh jaringan dan dibuang
melalui sistem pernafasan. Selain itu, karbondioksida juga tidak mudah
terbakar, sehingga tidak mengganggu alat kauter selama prosedur laparoskopi.
Ruang laparoskopi modern dapat dilihat pada Gambar 1a. Adapun
perlengkapan yang dibutuhkan dalam laparoskopi menurut Scott-Conner
(2006) adalah sebagai berikut: meja operasi elektrik (bila tersedia), dua video
monitor, suction irrigator, electrosurgical unit dengan bantalan ground,
ultrasonically activated scissors, scalpel, perlengkapan laparoskop lain:
sumber cahaya, insufflator, video cassette recorder (VCR), color printer,
monitor on articulating arm, camera-processor unit (Gambar 1b), c-arm x-ray
unit (jika direncanakan cholangiography), meja mayo yang dilengkapi
instrumen laparoskopi, antara lain: scalpel nomor 11 dan 15 beserta
pegangannya, towel clips, Veress needle (Gambar 1c), pipa insufflator dengan
micropore filter, kabel fiberoptik dihubungkan ke laparoskop dengan sumber
cahaya, video kamera dengan kabelnya, kabel yang dihubungkan instrumen
laparoskopi ke electrosurgical unit, curved hemostatic forceps, retraktor kecil
untuk umbilikus, trokar (Gambar 1c dan 1d), laparoscopic instruments, antara
lain: atraumatic graspers; Locking toothed jawed graspers; needle holders;
dissectors: curved, straight, right-angle; bowel grasping forceps; babcock
clamp; scissors: metzenbaum, hook, microtip; fan retractors: 10mm, 5mm;

17
specialized retractors, seperti endoscopic curved retractors; biopsy forceps;
tru-Cut biopsy-core needle, monopolar electrocautery dissection tools, yang
terdiri dari: L-shaped hook dan spade-type dissector/coagulator (Gambar 1e),
ultrasonically activated scalpel, antara lain: scalpel, ball coagulator, hook
dissector, dan scissors dissector/coagulator/transector (Gambar 1d),
endocoagulator probe, basket yang terdiri dari: clip appliers, endoscopic
stapling devices, pretied suture ligatures, endoscopic suture materials, dan
extra trocars (Gambar 1f)

Prosedur laparoskopi dapat dipergunakan untuk bermacam-macam


pembedahan seperti laparoscopic cholecystectomy, laparoscopic common bile

18
duct surgery, laparoscopic fundoplication for GERD, laparoscopic Nissen and
Toupet fundoplication, laparoscopic gastric banding for morbid obesity,
laparoscopic Heller esophagomyotomy for achalazia, laparoscopic
splenectomy, laparoscopic appendectomy, laparoscopic left colectomy,
laparoscopic right colectomy, laparoscopic total colectomy, laparoscopic
rectopexy for rectal prolapse, laparoscopic hernia repair, dan lain-lain
(Dulucq, 2005).

4.3 General Anastesia


Klasifikasi ASA
Klasifikasi ini penting untuk menilai keadaan penderita sebelum operasi :
ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang
ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat hingga aktifitas rutin terbatas.
ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktifitas
rutin penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.

4.3.1 Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dilakukan,
dengan tujuan melancarkan induksi, rumatan, dan ketika pasien bangun dari anestesi.
Tujuan Premedikasi sangat beragaman, diantaranya :
- Mengurangi kecemasan dan ketakutan
- Memperlancar induksi dan anesthesia
- Mengurangi sekresi ludah dan broncus
- Meminimalkan jumlah obat anesthetic
- Mengurangi mual dan muntah pada pasca bedah
- Menciptakan amnesia

19
- Mengurangi isi cairan lambung
- Mengurangi reflek yang membahayakan

4.3.2 Induksi Anestesi


Induksi anestesia adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesia dan
pembedahan. Sebelum memulai induksi anestesia sebaiknya disiapkan
peralatan dan obat-obatan yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi
keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat dan lebih baik.
Persiapan alat
- Scope : Laringoscope dan Stetoscope
- Tubes : Pipa trakea yang diplih sesuai usia
- Airway : Orotracheal airway, untuk menahan lidah pasien saat pasien tidak
sadar, untuk menjaga agar lidah tidak menutup jalan nafas.
- Tape : Plaster untuk memfiksasi orotracheal airway.
- Introducer: Mandrain atau stilet dari kawat untuk memandu agar pipa trakea
mudah untuk dimasukkan.
- Conector : Penyambung antara pipa dan alat anesthesia
- Suction : Penyedot lendir.

Induksi Intravena :
Induksi intravena hendaknya dikerjakan dengan hari-hati, perlahan-
lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan dengan dalam
kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesia, pernapasan pasien,
nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberi oksigen.

4.3.3. Rumatan Anestesi


Rumatan anestesi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi dan
campuran keduanya. Rumatan anestesia bertujuan menciptakan keadaan
hypnotis, anelgesia cukup dan relaksasi otot lurik yang baik.

20
Pembahasan :
Pada pasien ini rumatan anestesi dipilh secara inhalasi, yaitu
menggunakan N2O : O2 dengan 1 :1 dan ditambah sevoflurance 1 – 2 vol%.

4.3.4 Intubasi Trakea


Indikasi Intubasi :
- Menjaga jalan nafas dari gangguan apapun.
- Mempermudah ventilasi dan oksigenisasi
- Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
Kesulitan Intubasi :
- Leher pendek berotot
- Mandibula Menonjol
- Maksila menonjol
- Uvula tidak terlihat (malampati 3 atau 4)
- Gerakan sendi temporo mandibula terbatas
- Gerakan vertebra cervical terbatas
Komplikasi Intubasi
Selama Intubasi :
- Trauma gigi geligi
- Laserasi bibir, gusi dan laring
- Merangsang simpatis
- Aspirasi
- Spasme bonchus
Selama Extubasi :
- Spasme laring
- Aspirasi Gangguan fonasii
- Edema glottis-subglotis
- Infeksi laring, faring, trakea.
Kriteria Malampati :

21
Gradasi Pilar Faring Uvula Palatum Mole
1 + + +
2 - + +
3 - - +
4 - - -

4.3.5 Ekstubasi
- Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika :
- Intubasi kembali akan menemukan kesulitan
- Adanya resiko Aspirasi
- Ekstubasi umumnya dikerjakan pada keadaan anestesi sudah ringan, dengan
catatan tidak akan terjadi spasme laring.
- Sebelum tindakan hendaknya rongga mulut, laring, faring dibersihkan dari
sekret dan cairan.

4.3.6 Medikasi
- Atropin
o Atropin memblok asetilkolin endogen maupun eksogen
o Saluran nafas → mengurangi sekret hidung, hidung, mulut, faring
dan bronkus
o Saluran cerna → Antispasmodik ( menghambat peristaltik
lambung dan usus)
o ESO : Mulut kering, gangguan miksi, meteorismus, retensio urin
dan muka merah.
o Dosis Atropin : 0,01-0,04 mg
Indikasi : Parkinsonisme, antispasmodik, mengurangi sekresi lendir
saluran nafas (rinitis), dan medikasi preanestetik (mengurangi lendir
saluran nafas)
- Petidin
Pemberian petidin bertujuan untuk mengurangi rangsang nyeri pada saat
operasi.

22
- Propofol adalah obat induksi intavena yang memiliki efek depresi nafas
lebih sedikit, dan memiliki efek menurunkan tekanan darah.
- Atrakurium
Termasuk pelumpuh otot nondepolarisasi dengan susunan molekul
steroid, dan bersifat intermediate acting. Dengan dosis awal 0,6 – 1 mg/
kg BB dan efek samping aktifasi histamine dan hipotensi. Namun baik
pada ginjal dan hepar. Obat ini bekerja dengan menghalangi asetilcholine
menempati reseptornya dan tidak menyebabkan depolarisasi, sehingga
tidak terjadi fasikulasi
- Neostigimin
Merupakan penawar dari pelumpuh otot. Bekerja pada sambung saraf otot,
mencegah asetilcholine-esterase bekerja, sehingga asetilcholine dapat
bekerja. Dosis yang digunakan adalah 0,04 – 0,08 mg/kgBB. Obat ini
bersifat muskarinik sehingga menyebabkan hipersalivasi , keringatan,
bradikardi, untuk itu pemberiannya harus disertai obat vagolitik yaitu
atropin dengan dosis 0,01-0,04 mg/kgBB.
- Ketorolac
Cara kerja ketrolac ialah menghambat sintesis prostaglandin di perifer
tanpa menganngu reseptor opoid di sistem saraf pusat. Ketorolac dapat
diberikan secara oral, im, atau iv. Dosis awal 10- 30 mg dan dapat diulang
setiap 4-6 jam sesuia kebutuhan. Untuk pasien normal dosis sehari-hari
dapat dibatasi maksimal 90 mg dan untuk berat < 50kg, manila atau
gangguan faal ginjal dibtasi maksimal 60 mg.
- Tramadol
Adalah analgetik sentral dengan afinitas rendah pada reseptor mu. Dan
kelemahan analgesinya 10-20% dibandingkan morfin. Tramadol dapat
diberikan im atau iv dengan dosis 50-100 mg dn dapat diulang tip 4-6jam.
Dengan dosis maksimal 400 mg perhari.
4.3 Anestesi pada Laparaskopi
4.3.1 Efek Fisiologi

23
Dampak fisiologi laparoskopi berkaitan dengan kombinasi beberapa
efek meliputi insuflasi karbon dioksida (CO2) intra peritoneum yang
menimbulkan pneumoperitonium, perubahan posisi pasien, efek absorpsi
sistemik CO2 dan juga pengaruh refleks peningkatan tonus vagus yang dapat
berkembang menjadi aritmia. Efek fisiologi dari laparoskopi ini meliputi:

4.3.2 Efek Kardiovaskular


Prinsip terjadinya respon fisiologis ini adalah peningkatan resistensi
vaskular sistemik (SVR), tekanan pengisian miokardium, bersama – sama
dengan penurunan awal cardiac index (CI), dengan perubahan yang kecil dari
frekuensi denyut jantung (HR).
Karakteristik respons hemodinamik dijelaskan sebagai berikut :
diawali dengan terjadinya penurunan cardiac index setelah insuflasi gas
CO2 intra peritoneum dan selanjutnya diikuti dengan pemulihan. Joris dkk.
menemukan penurunan yang signifikan dari cardiac index (30 – 40%) setelah
induksi anestesi dan kebalikan posisi trendelenburg (head-up position),
selanjutnya terjadinya penurunan cardiac index sampai 50% setelah insuflasi
intra peritoneum. Kembalinya cardiac index secara bertahap setelah terjadinya
penurunan SVR. Fraksi ventrikel kiri menurun sesaat setelah insuflasi
intraperitoneum dan kembali ke nilai awal setelah 30 menit
pneumoperitoneum.
Respon hemodinamik terhadap insuflasi intraperitoneum tergantung
pada interaksi beberapa faktor :
1. Faktor penderita
Faktor yang berasal dari penderita yang mempengaruhi hemodinamik adalah ststus
kardiorespirasi pasien yang ada dan kondisi intravaskular sebelum dimulainya
prosedur laparoskopi. Pada pasien penyakit jantung yang menjalani laparoskopi,
pneumoperitoneum menyebabkan perubahan hemodinamik yang lebih besar karena
meningkatnya SVR sehingga meningkatkan afterload, akhirnya akan menurunkan
cardiac output yang lebih besar.

24
Pada pasien dengan penyakit paru berat terjadi gangguan ventilasi –
difusi, dengan adanya pneumoperitoneum CO2 akan menyebabkan penurunan
cardiac output. Pasien ini juga membutuhkan ventilasi semenit yang lebih
besar dan peak airway pressure yang lebih tinggi untuk mencapai
normokarbia sehingga akan menyebabkan penurunan cardiac output yang
lebih besar. Pada pasien dengan volume intravaskular yang kurang
(hipovolemik) sebelum pneumoperitoneum memiliki cardiac output yang
sudah kecil dan SVR yang tinggi serta tekanan arteri rata – rata (MAP) yang
tinggi. Dengan pneumoperitoneum akan terjadi peningkatan SVR dan
penurunan cardiac output yang lebih besar.
2. Tekanan intra abdomen (pneumoperitoneum)
Insuflasi ruang intra peritoneum dengan dengan gas CO2 menghasilkan
pneumoperitoneum, efek sistemik dari absorbsi CO2 dan peningkatan refleks tonus
vagal yang bisa berkembang menjadi aritmia.
Peningkatan tekanan intra abdomen berhubungan dengan penekanan
pembuluh darah vena yang awalnya menyebabkan peningkatan preload sesaat
diikuti secara perlahan dengan penurunan preload. Penekanan pembuluh darah
arteri meningkatkan afterload dan biasanya secara nyata mengakibatkan
peningkatan SVR. Cardiac Index biasanya menurun dan besarnya penurunan
ini sebanding dengan besarnya tekanan intraabdominal. Pada pasien sehat
yang akan menjalani laparoskopi organ intra abdomen, Dexter dkk. dengan
menggunakan Doppler transesophagus menemukan bahwa cardiac output
menurun maksimal yaitu 28% saat tekanan insuflasi peritoneum 15 mmHg
tetapi dapat dipelihara pada tekanan insuflasi 7 mmHg. Sebagian besar
peneliti mendapatkan terjadinya penurunan cardiac output sebesar 10 – 30%
selama insuflasi peritoneum baik pada posisi head down atau head up.
Ishizaki dkk. merekomendasikan batas tekanan intraabdomen selama insuflasi
oleh CO2 dengan efek hemodinamik yang minimal adalah ≤ 12 mmHg.
Pada tekanan insuflasi sedang biasanya frekuensi denyut jantung,
tekanan vena sentral, dan cardiac output tidak berubah atau hanya meningkat

25
ringan. Hal ini diakibatkan oleh peningkatan pengisian jantung, karena darah
cenderung dipaksa keluar dari abdomen masuk kedalam thoraks.
Tekanan insuflasi yang lebih tinggi (>25 cmH2O/18 mmHg) cenderung
membuat kolaps vena besar abdomen (khususnya vena cava inferior) yang
akan menurunkan aliran darah balik vena dan menyebabkan penurunan cepat
preload dan cardiac output pada beberapa pasien.
Penurunan venous return dan cardiac output dapat dikurangi dengan
cara meningkatkan volume sirkulasi sebelum dilakukan pneumoperitoneum.
Peningkatan tekanan pengisian dapat dicapai dengan pemberian cairan atau
memposisikan pasien sedikit head down sebelum insuflasi peritoneum,
dengan mencegah pengumpulan darah dengan pneumatic compression device,
atau dengan pembalutan kaki dengan elastic bandages. Fraksi ejeksi ventrikel
kiri tidak mengalami penurunan yang signifikan ketika tekanan intraabdomen
meningkat sampai 15 mmHg. Peningkatan SVR bisa dikoreksi dengan
pemakaian obat anestesi yang menyebabkan vasodilatasi seperti isofluran atau
obat vasodilatasi langsung seperti nitrogliserin atau nikardipin.
Penggunaan agonis α2-adrenergik seperti klonidin dan deksmedetomidin dan obat
penghambat β mengurangi perubahan hemodinamik dan kebutuhan obat anestesi
secara signifikan. Pengunaan dosis tinggi remifentanil hampir secara komplit bisa
mencegah perubahan hemodinamik.

3. Efek dari posisi pasien


Insuflasi intra peritoneum dengan gas CO 2 pada laparoskopi organ
intra abdomen dilakukan dengan pasien pada posisi horizontal atau 15 - 20º
trendelenburg. Posisi pasien kemudian berubah keposisi kebalikan posisi
trendelenburg (head up position) dengan ditekan kelateral kiri untuk
memfasilitasi retraksi fundus kandung empedu dan meminimalkan disfungsi
diafragma. Perubahan posisi pada pasien dengan pneumoperitonium
menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan.

26
Pada posisi anti trendelenburg (head up position) terjadi penurunan
tekanan akhir diastolic ventrikel kiri, hal ini menunjukkan adanya penurunan
aliran darah balik vena (venous return) atau preload, cardiac output, dan
tekanan arteri rata – rata. Fraksi ejeksi ventrikel kiri tetap terpelihara pada
pasien sehat. Pola perubahan cardiac output dan tekanan arteri pada pasien
dengan penyakit jantung ringan sampai berat mirip dengan pasien sehat.
Namun secara kuantitatif perubahan ini tampak lebih jelas. Peningkatan
tekanan intraabdomen dan posisi head-up mengakibatkan penurunan aliran
darah vena femoralis, stasis pada vena – vena tungkai bawah, diperburuk
dengan posisi litotomi dengan fleksi pada lutut merupakan predisposisi
terjadinya tromboemboli.
Walaupun posisi trendelenburg meningkatkan tekanan vena sentral
(preload), namun MAP dan cardiac output tidak berubah atau menurun. Hal
ini merupakan respon paradoksikal yang dijelaskan dengan mediasi refleks
karotis dan baroreseptor aortic yang menyebabkan vasodilatasi sistemik dan
bradikardia. Perubahan volume vena sentral dan perubahan tekanan yang
lebih besar pada pasien dengan penyakit arteri koroner (CAD), khususnya
yang disertai dengan fungsi ventrikel yang jelek menyebabkan perburukan
secara potensial dan meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. Posisi
trendelenburg ini juga mempengaruhi sirkulasi serebral, khususnya pada
pasien dengan komplians intrakranial yang rendah dan mengakibatkan
peningkatan tekanan intraokular yang bisa menyebabkan perburukan pada
pasien dengan glaucoma akut.
4. Efek Absorbsi Sistemik gas CO2
Hiperkapni dan asidosis yang terjadi selama laparoskopi karena
absorbs CO2. Hiperkapni menyebabkan penurunan kontraktilitas miokardium
dan menurunkan nilai ambang aritmia. Efek antisipasi langsung vaskular
terhadap hiperkapni adalah terjadinya dilatasi arterioler dan penurunan SVR,
yang dimodulasi oleh respon mekanik dan neuro humoral dengan pengeluaran
katekolamin.

27
Hiperkarbia akan menstimulasi system syaraf simpatis yang akan
menyebabkan peningkatan tekanan darah, frekuensi denyut jantung, dan
resiko aritmia. Usaha untuk mengkompensasi dengan meningkatkan volume
tidal atau frekuensi nafas akan meningkatkan tekanan intrathoraks,
selanjutnya menurunkan aliran darah balik vena dan peningkatan tekanan rata
– rata arteri pulmonalis. Efek ini merupakan kendala pada pasien dengan
penyakit restriktif paru, gangguan fungsi jantung dan kurangnya volume
intravaskular.
5. Respon neurohumoral
Mediator – mediator potensial yang dapat meningkatkan SVR selama
pneumoperitoneum adalah vassopresin dan katekolamin. Hiperkapnea dan
pneumoperitoneum dapat menyebabkan stimulasi system syaraf simpatis dan
menstimulasi pengeluaran katekolamin. Beberapa penelitian melaporkan
adanya aktivasi system renin angiotensin dengan produksi vasopressin. Joris
dkk. menemukan menemukan peningkatan vassopresin plasma segera setelah
insuflasi peritoneum. Peningkatan 4 kali lipat pada konsentrasi rennin dan
aldosteron berhubungan dengan peningkatan MAP.
Katekolamin, system renin angiotensin dan khususnya vasopressin
semua dikeluarkan selama pneumoperitoneum dan mempunyai andil dalam
meningkatkan afterload. Stimulasi mekanik reseptor peritoneum juga
mengakibatkan peningkatan pengeluaran vasopressin.

Efek Respirasi
1. Efek Mekanik
Insuflasi intraperitoneum oleh CO2 untuk membuat
pneumoperitoneum pada laparoskopi, mengakibatkan perubahan pada
ventilasi dan respirasi yang dapat menyebabkan 4 komplikasi respirasi :
empisema subkutis CO2, pneumothoraks, intubasi endobronkial, dan emboli
gas.

28
Perubahan fungsi paru selama insuflasi abdomen meliputi penurunan
volume paru, penurunan komplian paru, dan peningkatan tekanan puncak
jalan nafas (peak airway pressure). Komplian paru menurun 30 – 50% pada
pasien sehat, obesitas, dan ASA III – IV. Penurunan kapasitas residu
fungsional (FRC) dan koplian paru yang berhubungan dengan posisi
terlentang dan induksi anestesi yang selanjutnya diperberat oleh insuflasi
CO2 dan perpindahan ke sefalad diafragma selama posisi trendelenberg dan
perubahan distribusi ventilasi dan perfusi paru yang disebabkan oleh
peningkatan tekanan jalan nafas (airway pressure).
Hipoksemia oleh karena penurunan FRC pada pasien yang sehat
sangat jarang selama laparoskopi. Penurunan oksigenasi arteri (hipoksemia)
disebabkan penurunan FRC, atelektasis, gangguan ventilasi perfusi, dan
pintasan intrapulmoner pada pasien obesitas dengan riwayat merokok yang
lama atau pasien dengan penyakit paru.
Posisi trendelenburg menyebabkan perpindahan organ visceral dan
diafragma. FRC, volume total paru, dan komplians paru akan menurun,
bahkan bisa berkembang menjadi atelektasis. Perubahan ini biasanya dapat
ditoleransi dengan baik oleh pasien sehat, namun pada pasien obesitas, pasien
tua, dan pasien dengan penyakit paru meningkatkan resiko hipoksemia. Posisi
trendelenburg cenderung menyebabkan pergeseran trakea ke atas, sehingga
pipa endotrakea yang terfiksasi dimulut bisa bermigrasi kedalam bronkus
utama kanan. Pergeseran trakeobronkial ini diperbesar oleh insuflasi
abdomen.
2. Efek Pertukaran Gas – Absorbsi CO2
CO2 adalah pilihan gas untuk insuflasi pada bedah
laparoskopi. CO2 tidak mudah terbakarseperti N2O, sehingga dapat digunakan
secara aman untuk diatermi. Dibandingkan dengan helium, kelarutan
CO2 darah lebih tinggi dan ekskresinya lewat paru menurunkan resiko efek
samping emboli gas,CO2juga mudah di eliminasi, dan dosis letal lima kali

29
dari udara. Insuflasi CO2 kedalam ruang peritonem meningkatkan CO2 arteri
(PaCO2), yang akan dikompensasi dengan peningkatan ventilasi semenit.
Absorbsi gas dari ruang peritoneum tergantung pada kemampuan difusinya, luas
daerah absorbsinya, dan vaskularisasi atau perfusi dinding insuflasi. Karena difusi
CO2 tinggi, maka terjadi absorbsi CO2 dalam jumlah besar kedalam darah yang
ditandai dengan peningkatan PaCO2. Absorbsi gas CO2 lebih besar pada insuflasi
ekstraperitoneum (pelvis) daripada innsuflasi intraperitoneum. Dampak dari
peningkatan PaCO2 tidak dapat diprediksi, khususnya pada pasien dengan penyakit
paru berat. Wittgen dkk. meneliti terjadinya penurunan pH darah dan peningkatan
PaCO2 pada pasien ASA III selama pneumoperitoneum dan pasien ini membutuhkan
ventilasi semenit yang lebih tinggi dan airway pressure yang juga lebih tinggi. Nilai
ETCO2 tidak berkorelasi dengan konsentrasi CO2 arteri pada pasien ini. Gradient
PETCO2 masih stabil selama laparoskopi pasien ASA III. ETCO 2 merupakan nilai
yang tidak dapat dipercaya untuk mengetahui PaCO 2 selama insuflasi CO2 pada
pasien dengan penyakit paru berat.
Kelarutan CO2 yang tinggi meningkatkan absorbsi sistemik oleh pembuluh darah
peritoneum, ditambah dengan volume tidal yang lebih rendah karena rendahnya
komplian paru menyebabkan peningkatan kadar CO2 arteri dan penurunan pH.
Peningkatan PaCO2 yang progresif mencapai kondisi konstan 15 – 30
menit setelah mulainya insuflasi CO2 pada pasien dengan kontrol ventilasi
mekanik selama laparoskopi ginekologi dengan posisi trendelenburg atau
laparoskopi organ intra abdomen pada posisi head up. Peningkatan
PaCO2 tergantung pada tekanan intra abdomen. Selama laparoskopi dengan
anestesi lokal, PaCO2 tetap tidak berubah namun ventilasi semenit meningkat.
Pada anestesi umum dengan nafas spontan kompensasi hiperventilasi tidak
mencukupi untuk menghindari hiperkapnea karena anestesi menginduksi
depresi ventilasi dan peningkatan kerja pernafasan yang disebabkan oleh
penurunan komplian torakopulmonal. Oleh karena hal ini terjadi dalam waktu
15 – 30 menit untuk mencapai PaCO2 konstan, teknik anestesi dengan

30
menggunakan nafas spontan harus dibatasi untuk prosedur operasi yang
pendek pada tekanan intraabdomen yang rendah.
Mekanisme utama peningkatan PaCO2 pada pasien sehat selama
pneumoperitoneum CO2 lebih disebabkan oleh absorbsi CO2 daripada efek
ventilasi mekanik akibat peningkatan tekanan intraabdomen. Tetapi pada
pasien dengan masalah kardiorespirasi, perubahan ventilasi juga bertanggung
jawab meningkatkan PaCO2. PaCO2 harus dipertahankan dalam rentang
fisiologis dengan menyesuaikan kontrol ventilasi mekanik, kecuali pada
kondisi khusus seperti emfisema subkutis CO2, koreksi peningkatan
PaCO2 bisa dengan mudah dicapai dengan peningkatan 10 – 25% ventilasi
alveolar.

Efek Pada Sistem Lain


Sistem Gastrointestinal
Pasien-pasien yang menjalani laparoskopi biasanya dianggap beresiko tinggi untuk
terjadinya sindrom aspirasi asam lambung karena regurgitasi gaster akibat
peningkatan tekanan intragastrik karena peningkatan IAP. Namun, selama
pneumoperitoneum, tonus sfinkter esophagus inferior jauh lebih kuat daripada
tekanan intragastrik dan peningkatan tekanan ini membatasi insidensi regurgitasi.

Sirkulasi Hepatoportal
Peningkatan IAP (>20 mmHg) mengakibatkan peningkatan tahanan dan aliran balik
pada pembuluh darah abdominal. Pelepasan hormon (katekolamin, angiotensin, dan
vasopressin) selama pneumoperitoneum akan semakin meningkatkan tahanan
vaskuler mesenteric sehingga mengakibatkan penurunan yang berarti pada volume
darah hepatic dan splanknik. IAP > 20 mmHg menyebabkan penurunan 60% pada
aliran darah vena porta sehingga mengakibatkan disfungsi hepar, yang akan menetap
lebih lama pada periode postoperative. Terdapat penurunan suplai darah secara
menyeluruh ke semua organ, kecuali glandula adrenal.

31
Fungsi Ginjal
Peningkatan IAP mempengaruhi hemodinamik ginjal melalui perubahan pada curah
jantung dan efek langsung aliran darah ginjal. Obstruksi mekanis aliran darah vena
renalis yang disertai peningkatan aktivitas simpatis, peningkatan ADH plasma dan
peningkatan aktivitas rennin-angiotensin plasma akan meningkatkan resistensi
vaskuler ginjal sehingga mengakibatkan penurunan tekanan filtrasi dan produksi
urine.

Tekanan Intrakranial dan Tekanan Intraokuler


Peningkatan IAP akan menekan vena cava inferior dan meningkatkan tekanan spinal
lumbal dengan menurunkan drainase dari pleksus lumbalis, sehingga meningkatkan
tekanan intrakranial dan intraokuler. Hiperkapnia menyebabkan refleks vasodilatasi
pada sistem saraf pusat dan hal ini juga turut meningkatkan tekanan intrakranial.

Evaluasi Pasien Preoperasi Dan Premedikasi


Kontra indikasi medis pembedahan laparoskopi adalah relatif.
Pembedahan laparoskopi telah berhasil dilakukan pada pasien yang mendapat
antikoagulan, wanita hamil, dan obesitas morbid.
Pneumoperitoneum tidak dikehendaki pada pasien dengan peningkatan
tekanan intrakranial (tumor, hydrocephalus, trauma kepala), hipovolumia,
ventrikuloperitoneal shunt, dan peritoneojugular shunt. Pneumoperitoneum
dapat dilakukan secara aman pada pasien dengan shunt ini, dengan melakukan
klem pada shunt sebelum insuflasi peritoneum. Efek terhadap tekanan
intraokuler secara klinis tidak signifikan pada pasien glaucoma. Laparoskopi
tanpa gas dapat menjadi alternatif laparoskopi yang aman untuk semua kasus
ini.
Oleh karena efek samping peningkatan tekanan intraabdominal pada fungsi
ginjal, pasien dengan gagal ginjal harus mendapat perhatian khusus untuk
mengoptimalkan hemodinamik selama pneumoperitoneum, dan menghindari
penggunaan obat – obat nefrotoksik. Pada pasien dengan penyakit respirasi,

32
laparoskopi lebih dipilih dibandingkan dengan laparotomi oleh karena
disfungsi respirasi pasca operasi lebih ringan. Efek positif ini harus
dipertimbangkan dengan resiko terjadinya pneumothorak selama
pneumoperitoneum dan resiko ketidakadekuatan pertukaran gas yang
disebabkan oleh gangguan ventilasi perfusi. Tes fungsi paru preoperasi seperti
volume ekspirasi paksa dan kapasitas vital dan tingginya status ASA mungkin
bisa memprediksi resiko pasien akan mengalami hiperkapnea dan asidosis
selama laparoskopi organ intra abdomen. Hiperkapnea dan asidosis yang
persisten mungkin memerlukan penghilangan insuflasi dari
pneumopertoneum, penurunan tekanan insuflasi ataukonversikan ke prosedur
terbuka.
Karena kemungkinan terjadinya stasis vena pada tungkai bawah
selama laparoskopi, profilaksis untuk thrombosis vena dalam (DVT) dengan
memberikan tromboprofilaksis low-molecular-weight heparin (LMWH)
seperti fragmin heparin sodium 2500 – 5000 IU atau Clexane enoxaparin
sodium 20 – 40 mg subkutan preoperasi dan pasca operasi, knee-length
graduated compression elastic stocking selama perawatan di rumah sakit, dan
intermiten pneumatic calf compression intraoperasi. LMWH diberikan sekali
malam hari sebelum pembedahan dan diteruskan sampai pasien keluar dari
rumah sakit.
Premedikasi harus disesuaikan dengan durasi laparoskopi dan
keperluan untuk pemulihan cepat pada pasien rawat jalan. Pemberian NSAID
dan opioid dapat bermanfaat mengurangi nyeri pasca operasi. Penggunaan
klonidin dan deksmedetomidin menurunkan respon stress intraoperasi dan
mempertahankan stabilitas hemodinamik. Premedikasi anxiolitik
(benzodazepin) biasanya tidak perlu kecuali pasien dengan kecemasan tinggi.
Pada pasien dengan penyakit jantung, fungsi jantung harus dievaluasi
saat terjadi perubahan hemodinamik yang ringan oleh karena
pneumoperitoneum dan posisi pasien, khususnya pada pasien dengan
gangguan fungsi ventrikel. Pasien dengan gagal jantung kongestif yang berat

33
dan insufisiensi katup yang terminal lebih cenderung mengalami komplikasi
kardiak daripada pasien denganpenyakit jantung iskemik selama laparoskopi.
Untuk pasien seperti ini keuntungan laparoskopi pasca operasi harus
dipertimbangkan dengan resiko intraoperasi dalam menentukan pilihan
apakah laparotomi atau laparoskopi.

Teknik Anestesi
Pendekatan anestesi untuk operasi laparoskopi meliputi : infiltrasi
anestesi lokal dengan sedatif intravena, anestesi epidural dan spinal, dan
anestesi umum. Pemilihan teknik anestesi tidak merupakan penentu dalam
outcome pasien.
Tidak ada teknik anestesi yang secara klinis lebih superior dari pada teknik
lain, anestesi umum dengan ventilasi terkontrol tampaknya merupakan teknik
yang paling aman untuk operasi laparoskopi.
Anestesi lokal dibatasi untuk prosedur laparoskopi ginekologi singkat
(sterilisasi tuba perlaparoskopi, transfer intrafallopi) pada orang muda, sehat
dan punya motivasi. Walaupun pemulihan pasca operasi cepat, namun
perasaan tidak enak/nyaman pada pasien, dan visualisasi organ – organ
intraabdomen yang tidak optimal merupakan pengecualian penggunaan teknik
anestesi lokal ini untuk laparoskopi organ intra abdomen.
Alternatif anestesi regional untuk operasi laparoskopi adalah anestesi
epidural dan spinal. Anestesi regional ini tidak dianjurkan sebagai teknik
anestesi tunggal karena pada operasi laparoskopi membutuhkan level blok
yang tinggi, perubahan posisi yang ekstrem, dan adanya pneumoperitoneum
yang bisa menyebabkan gangguan mekanik respirasi. Laparoskopi ini
membutuhkan blok pada level yang tinggi untuk mendapat relaksasi otot yang
lengkap dan untuk mencegah iritasi diafragma yang disebabkan oleh insuflasi
gas dan manipulasi pembedahan.
Pada anestesi umum dengan intubasi endotrakea dan pemberian pelumpuh
otot disertai pemberian ventilasi tekanan positif lebih disukai karenan

34
beberapa alasan : adanya resiko regurgitasi yang disebabkan peningkatan
tekanan intraabdominal saat insuflasi; perlunya ventilasi terkontrol untuk
mencegah hiperkapnea, dibutuhkan tekanan inspirsi yang tinggi secara relatif
karena pneumoperitoneum; kebutuhan relaksasi otot selama pembedahan
karena tekanan insuflasi yang rendah, menyediakan visualisasi yang lebih
baik, mencegah pergerakan pasien yang tidak diinginkan.
Pada saat induksi anestesi penting untuk menghindari inflasi lambung
selama ventilasi karena hal ini akan meningkatkan resiko trauma lambung saat
insersi trokars. Pemasangan pipa nasogastrik dan dekompresi lambung untuk
meminimalkan resiko perforasi organ visceral saat insersi trokar dan
mengoptimalkan visualisasi. Intubasi memberikan keuntungan pada pasien
obesitas untuk mengurangi hipoksemia, hiperkarbia, dan aspirasi. Penggunaan
teknik ventilasi spontan tidak dianjurkan dalam perspektif adanya
pneumoperitoneum intraoperasi dan posisi pasien.
Selama pneumoperitoneum kontrol ventilasi disesuaikan untuk
mempertahankan PETCO2 kira – kira 35 mmHg, untuk ini membutuhkan tak
lebih dari 15 – 25% peningkatan ventilasi semenit, kecuali bila terjadi
emfisema subcutis. Peningkatan frekuensi nafas lebih dpilih daripada
peningkatan volume tidal pada pasien dengan PPOK dan pada pasie dengan
pneumothorak spontan atau emfisema bulosa untuk menghindari peningkatan
inflasi alveolar dan menurunkan resiko pneumothorak. Pemberian obat –
obatan vasodilator seperti nikardipin, agonis α2-adrenergik dan remifentanil
mengurangi dampak hemodinamik pneumoperitoneum dan dapat
memfasilitasi manajemen anestesi pada pasien dengan penyakit jantung.
Tekanan intraabdomen harus dimonitor, dipertahankan serendah mungkin
untuk mengurangi perubahan hemodinamik dan respirasi, dan tidak boleh
lebih dari 20 mmHg. Peningkatan tekanan intraabdomen dapat dihindari
dengan menjaga kedalaman anestesi. Karena kecenderungan terjadi refleks
peningkatan tonus vagus selama laparoskopi, atropine harus disediakan untuk
injeksi jika diperlukan.

35
Teknik anestesi untuk prosedur laparoskopi pembedahan umum
intraabdomen dan ginekologi sering dilakukan dengan anestesi umum.
Beberapa prosedur pendek seperti sterilisasi perlaparoskopi bisa dilakukan
tanpa pelumpuh otot tergantung dari ketrampilan ahli bedah dan pasiennya
tidak obesitas.
Manajemen jalan nafas
Teknik anestesi dilakukan dengan intubasi endotrakeal dan kontrol
ventilasi mekanik untuk mengurangi peningkatan PaCO2 dan menghindari
gangguan ventilasi akibat pneumoperitoneum dan posisi trendelenburg saat
awal operasi. Laryngeal mask airway (LMA) telah digunakan dalam
laparoskopi pelvis secara luas. LMA, khususnya LMA pro seal berhasil
digunakan untuk insersi ETT, pada prosedur yang pendek untuk pasien one
day care (ODC). Pemantauan kontinyu terhadap pH esophagus dan kondisi
klinis gagal mendeteksi refluk esophageal pada pasien yang menjalani
laparoskopi ginekologi dengan menggunakan LMA. Untuk laparoskopi
abdomen atas dan laparoskopi organ intra abdomen dengan dengan tekanan
intraabdomen yang tinggi, refluk esophageal tidak bisa diperkirakan dan
meningkatkan resiko regurgitasi pasif isi lambung. Penggunaan ballon pipa
endotrakeal mengurangi resiko aspirasi asam lambung karena refluk isi
lambung.

Pelumpuh otot
Pemilihan obat – obat pelumpuh otot tergantung pada lamanya operasi dan
profil efek samping obat secara individual. Reverse terhadap obat pelumpuh
otot dengan neostigmin meningkatkan terjadinya mual muntah pasca operasi
(PONV) setelah laparoskopi dibandingkan dengan pemulihan secara spontan,
dan beberapa klinisi menghindari reverse ini. Namun penelitian yang lain
menemukan tidak ada efek pada insiden PONV berkaitan dengan penggunaan
neostigmin, khususnya pasien yang menjalani laparoskopi ginekologi yang
direncanakan rawat jalan, penggunaan neostigmin dan glikopirolat tidak

36
meningkatkan insiden atau beratnya PONV. Bahkan adanya residu pelumpuh
otot yang sedikit menyebabkan gejala dan tanda distress yang harus dihindari.
Selanjutnya keuntungan tidak memakai neostigmin harus diseimbangkan
dengan resiko ketidakadekuatan reverse pelumpuh otot.

Nitrous Oxide (N2O)


Penggunaan N2O selama prosedur laparoskopi masih kontroversi karena
kemampuan N2O untuk berdifusi kedalam lumen usus yang menyebabkan
distensi, gangguan lapangan pembedahan, dan meningkatkan mual muntah
pasca operasi, namun secara klinis tidak signifikan pada prosedur pendek dan
sedang. N2O lebih mudah larut (30X) dari pada Nitrogen (N 2), ruang udara
tertutup akan mengakumulasi N2O lebih cepat dari eliminasi N2. Edger dkk.
mendapatkan adanya peningkatan lebih dari 200% ukuran lumen usus setelah
4 jam pernafasan dengan N2O. keamanan dan efikasi N2O khususnya selama
laparoskopi organ intra abdomen diteliti oleh tailor dkk. mendapatkan bahwa
N2O berdifusi kedalam CO2 pneumoperitoneum dan fraksi N2O lebih dari
29%, level seperti ini dapat menyebabkan luka bakar pada operasi lebih dari 2
jam.
N2O biasanya memberikan kontribusi terhadap PONV. Lomie dan Harper
dalam studi randomized prospective pada 87 pasien yang menjalani prosedur
laparoskopi ginekologi, mendapatkan penurunan mual muntah pasca operasi
dari 49% menjadi 17% bila tidak menggunakan N2O.

Obat Induksi
Propofol merupakan obat induksi pilihan karena non emetogenik dan
pemulihannya yang baik. Propofol memberikan efek samping pasca operasi
yang lebih kecil.

Obat Anestesi Inhalasi

37
Halotan meningkatkan insiden aritmia pada prosedur laparoskopi,
khususnya bila terjadi hiperkarbia penggunaan halotan sudah digantikan oleh
obat – obat inhalasi yang baru seperti isofluran, desfluran, dan sevofluran
yang mempunyai efek depresi miokardium lebih rendah dan kurang
aritmogenik.

Analgesia
Opioid masih merupakan komponen penting untuk teknik balans anestesi
umum untuk prosedur laparoskopi. Opioid kerja pendek seperti fentanyl,
alfentanyl dan remifentanyl bisa digunakan intraoperatif untuk mencegah
stimulus pembedahan yang hebat. Kesalahan interpretasi hasil kolangiografi
intraoperasi selama laparoskopi organ intra abdomen dapat terjadi karena
penggunaan opioid dapat menyebabkan spasme spinkter oddi. Spasme
spinkter oddi yang disebabkan oleh opioid bisa dilawan dengan beberapa obat
seperti glucagon dan nalokson.
Walaupun laparoskopi organ intra abdomen merupakan prosedur invasif
yang minimal, namun tetap berhubungan dengan nyeri intraabdomen, nyeri
insisional, dan nyeri bahu setelah operasi. Obat – obat analgesia multimodal
kombinasi dengan opioid, NSAID dan anestesi lokal infiltrasi sangat efektif
mengurangi dosis opioid untuk meminimalkan efek samping. Pemberian obat
anestesi lokal melalui jalur intraperitoneum sangat sederhana dan tidak
melibatkan blok neuroaksial, khususnya untuk pasien anestesi rawat jalan.
Pemberian obat anestesi lokal bupivakain 0,25% 50 – 200mg dalam volume
10 – 100 ml, signifikan mengurangi nyeri yang terjadi. Efek samping atau
tanda – tanda toksisitas anestesi lokal yang diberikan melalui jalur
intraperitoneum ini belum pernah dilaporkan. Joris dkk. mendapatkan nyeri
visceral berupa rasa tidak enak setelah laparoskopi organ intra abdomen tidak
berkurang dengan pemberian 80 ml bupuvakain 0,125% intraperitoneum.

Mual dan Muntah Pasca Operasi (PONV)

38
PONV merupakan salah satu keluhan utama yang umum terjadi juga
merupakan gejala yang sangat mencemaskan setelah prosedur laparoskopi (40
– 75% pasien) dan merupakan faktor yang paling penting yang menyebabkan
lamanya perawatan rumah sakit setelah anestesi. Penggunaan opioid
intraoperasi secara signifikan meningkatkan insiden PONV masih
kontroversial. Drainase isi lambung juga mengurangi insiden PONV.
Pengurangan dosis opioid dengan obat – obatan analgesia multimodal bisa
menurunkan insiden PONV. Selektif reseptor antagonis 5 HT, ondansetron
dengan dosis 4 mg efektif sebagai profilaksis terhadap emesis pasca operasi
laparoskopi. Penelitian yang lain mendapatkan tidak ada perbedaan antara
ondansetron 4 mg dan siklizin 50 mg sebagai antiemesis pada pasien yang
menjalani laparoskopi rawat jalan. Waktu yang tepat pemberian ondansetron
ditemukan lebih signifikan sebagai antiemesis pada akhir pembedahan
dibandingkan pemberian saat preinduksi. Pendekatan multimodal untuk
mencegah PONV bisa dilakukan dengan menggunakan obat kombinasi
droperidol 0,625 – 1 mg, antagonis 5 HT3 (ondansetron 4 mg atau dolasetron
2.5 – 5 mg), dan deksamethason 4 – 8 mg, disertai dengan hidrasi yang cukup,
penggunaan dosis minimal opioid.

Monitoring
Pemantauan intraoperasi standar dianjurkan untuk semua pasien yang
menjalani prosedur dengan akses yang minimal. Monitor standar yang
digunakan : pulse rate, kontnyu ECG, Intermiten NIBP, Pulse oximetry
(SpO2), Capnography (EtCO2), suhu, tekanan intraabdominal, pulmonary
airway pressure. Pemantauan hemodinamik invasif sesuai pada pasien ASA III
– IV untuk memonitor respon kardiovaskular terhadap pneumoperitoneum,
perubahan posisi dan untuk memberikan terapi. Kapnografi dan pulse
oximetri merupakan monitor PaCO2 dan saturasi oksigen arteri yang dapat
dipercaya pada pasien sehat tanpa gangguan intraoperasi akut. PaCO 2 dan Δa-
ETCO2 meningkat lebih besar pada pasien ASA II – III daripada pasien ASA I.

39
Hal ini juga terjadi pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis
(PPOK) dan pada anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik.
Pemeriksaan analisis gas arteri danjurkan bila secara klinis diduga adanya
hiperkapnea bahkan pada pasien tanpa adanya PETCO2 abnormal.
Pemantauan ETCO2 pasca operasi paling sering digunakan sebagai indikator
non invasif dari PaCO2 dalam menilai dan memberikan petunjuk keadekuatan
ventilasi semenit untuk mempertahankan normokarbia selama prosedur
laparoskopi. Penurunan perfusi paru terjadi jika cardiac output menurun
dengan cepat oleh karena tekanan inflasi yang tinggi, perubahan posisi yang
berlawanan dengan posisi trendelenburg, atau terjadi emboli gas. Selanjutnya
distensi abdomen menurunkan komplian paru. Volume tidal yang besar
dihindari karena akan meningkatkan tekanan puncak inspirasi dan
menyebabkan pergerakan/perpindahan lapangan operasi. Pilihan untuk
menghindari hal ini menggunakan volume tidal yang lebih rendah dan
frekuensi nafas yang lebih cepat namun bisa menyebabkan sampel gas
alveolar yang buruk dan kesalahan pengukuran ETCO 2. Nilai ETCO2 tidak
bisa dipercaya khususnya pada pasien dengan penyakit jantung dan paru yang
menjalani laparoskopi. Pemasangan kateter arteri seharusnya dilakukan dan
analisa gas darah penting untuk mendeteksi hiperkarbia. Monitor
PETCO2 juga bermanfaat untuk deteksi dini emboli gas vena (VGE) pada
pasien dengan penyakit kardiopulmoner.
Terjadi peningkatan yang proporsional dari ETCO 2 dan PaCO2 setelah
Insuflasi CO2 pada pasien sehat. Sebaliknya pasien dengan penyakit
kardiopulmoner PaCO2 meningkat secara bertahap selama insuflasi CO2 dan
hal ini tidak mencerminkan paningkatan ETCO2.
Monitor tekanan jalan nafas adalah mutlak pada pasien yang teranestesi
yang diberikan IPPV. Alarm tingginya tekanan jalan nafas dapat membantu
mendeteksi peningkatan berlebihan tekanan intraabdomen, juga mencegah
pergerakan pasien tiba – tiba selama pembedahan yang dapat menyebabkan
trauma organ intraabdomen oleh peralatan laparoskopi.

40
Komplikasi Intraoperasi yang Spesifik
Kompikasi intraoperasi selama prosedur laparoskopi dengan pneumoperitoneum
CO2 meliputi :
1. Trauma vaskular
Trauma vaskular mayor isa terjadi saat insersi alat – alat pembedahan terutama veress
needle atau trokars. Insiden trauma vaskular selama laparoskopi abdomen atas ± 0,03
– 0,06% dan menurun dengan meningkatnya pengalaman pembedahan. Perdarahan
bisa terjadi oleh karena insersi veress needle atau trokar mengenai pembuluh darah
besar intraabdomen atau trauma pada pembuluh darah dinding abdomen, seperti
aorta, vena cava inferior, pembuluh darah iliaka, dan hematom retroperitoneum,
biasanya merupakan trauma vaskular yang terdiagnosa terlambat oleh karena
terbatasnya visualisasi, yang awalnya ditandai dengan terjadinya hipotensi yang tidak
bisa diterangkan.
2. Trauma Gastrointestinal
Trauma abdomen lain yang berhubungan dengan insersi veress needle dan trokar
meliputi perforasi traktus gastrointestinal baik usus besar dan usus halus yang bisa
menyebabkan peritonitis, robekan hepar dan lien dan laserasi mesenterium. Trauma
gastrointestinal yang tidak bisa dikenali mempengaruhi morbiditas dan mortalitas.
Faktor resiko terjadi trauma gastrointestinal meliputi distensi lambung dan adhesi
yang disebabkan oleh operasi abdomen sebelumnya.
3. Aritmia jantung
Aritmia selama prosedur laparoskopi bisa disebabkan oleh berbagai penyebab
meliputi : hiperkapnea sebagai akibat insuflasi CO 2 intraperitoneum dan peningkatan
reflek tonus vagus saat insersi trokar, insuflasi peritoneum, tarikan peritoneum, dan
manipulasi organ visceral, khususnya bila anestesi kurang dalam. Jenis gangguan
aritmia jantung yang pernah dilaporkan adalah bradikardia sampai asistol.
Walaupun aritmia ini bisa membaik dan hilang dengan spontan, namun harus
dipertimbangkan untuk melakukan tindakan: menghilangkan stimulus (pengurangan
insuflasi intraperitoneum) dan pemberian obat vagolitik (sulfas atropine)

41
4. Emfisema Subkutis
Emfisema subkutis bisa disebabkan oleh insuflasi CO 2 ekstraperitoneum yang
disengaja (pada operasi hernia inguinalis, pembedahan ginjal, limfadenektomi pelvis)
dan insuflasi CO2 ekstraperitoneum yang tidak disengaja. Akses keruang peritoneum
pada laparoskopi dicapai dengan cara insersi buta veress needle melalui insisi kecil
subumbilikus. Insuflasi CO2 ekstraperitoneum bisa terjadi jika ujung jarum
ditempatkan di subkutan, jaringan preperitoneum atau retroperitoneum saat insuflasi.
Insiden dari komplikasi insuflasi ekstraperitoneum bervariasi antara 0,4 – 2%.
Emfisema subkutan yang luas bisa mengenai abdomen, dada, leher, dan paha.
Emfisema subkutis ditandai ditandai dengan adanya krepitasi diatas dinding
abdomen. Peningkatan absorbsi CO2 menyebabkan peningkatan tiba – tiba
ETCO2 dan hiperkapnea, dan asidosis respirasi yang berhubungan dengan emfisema
subkutis karena insuflasi ekstraperitoneum. Kehati – hatian teknik pembedahan saat
insersi veress needle dan penilaian lokasi jarum intraperitoneum sebelum insuflasi
mengurangi insiden komplikasi ini.
5. Pneumothorak, Pneumomediastinum dan Pneumoperikardium
Pneumothorak bisa terjadi saat prosedur laparoskopi intraperitoneum
atau ekstraperitoneum, walaupun jarang, komplikasi ini adalah komplikasi
yang mengancam nyawa. Faktor penyebab komplikasi ini berupa defek
embrional, defek diafragma (hiatus aorta/esophagus), robekan pleura, rupture
bulla emfisematus. Pada laparoskopi organ intra abdomen, pneumothorak
dapat terjadi saat insersi veress needle dan trokar, CO2 insuflasi. Diduga
mekanisme terjadinya pneumothorak ini meliputi insuflasi CO2 sekitar aorta
dan hiatus esophagus diafragma kedalam ruang mediastinum yang selanjutnya
terjadi rupture ruang pleura. Perjalanan gas melewati defek anatomi diafragma
atau melalui defek kongenital pada hiatus pleuroperitoneum (paten canalis
pleuroperitoneum). Tension pneumothorak pernah ditemukan selama
laparoskopi organ intra abdomen, dan berhubungan dengan defek diafragma
kongenital. Rupture dari bulla paru dapat menyebabkan tension pneumothorak
terpisah dari pneumoperitoneum.

42
Pneumothorak bisa tidak terdeteksi intraoperasi, atau keberadaannya
bisa dicurigai dengan adanya peningkatan tekanan jalan nafas yang tidak bisa
dijelaskan, hipoksemia – hiperkapnea, emfisema bedah, atau jika tension
pneumothorak terjadi gangguan kardiovaskular dengan gejala hipotensi yang
berat. Jika diduga ada pneumotorak, foto thorak harus dilakukan untuk
mengkonfirmasi diagnosis. Pada keadaan hemodinamik tidak stabil atau
secara klinis nyata menunjukkan pneumothorak tension, segera lakukan
pengempisan abdomen dan pemasangan WSD sebelum dilakukan foto thorak.
Selanjutnya penatalaksanaannya tergantung dari status hemodinamik. Jika
pasien stabil, abdomen bisa diinsuflasi kembali dan prosedur dapat diteruskan.
Pneumothorak kecil yang terdeteksi saat akhir operasi dan tidak menyebabkan
gangguan hemodinamik dapat diterapi secara konservatif. CO 2 dalam ruang
pleura sangat cepat diabsorbsi setelah pengempisan abdomen dan tidak
memerlukan pemasangan WSD.
Pneumomediastinum dan pneumoperikardium juga dapat terjadi saat
prosedur laparoskopi. Tekanan intraabdomen yang tinggi saat insuflasi
memegang peranan terjadinya komplikasi ini. Penatalaksanaan tergantung
pada tingkat gangguan hemodinamik yang terjadi. Pengempisan
pneumoperitoneum dan observasi ketat harus dilakukan pada pasien dengan
komplikasi ini.
6. Emboli Gas CO2
Komplikasi intraoperasi serius berupa terjadinya emboli gas saat
prosedur laparoskopi. Emboli CO2 vena ditandai dengan hipotensi berat,
sianosis, dan asistol setelah tindakan pneumoperitoneum. Kemungkinan
mekanisme emboli gas meliputi penempatan veress needle intravena yang
tidak disengaja, aliran CO2 kedalam pembuluh darah dinding abdomen dan
pembuluh darah peritoneum selama insuflasi, atau ke dalam pembuluh darah
pada permukaan hepar saat diseksi kandung empedu. Tanda dan beratnya efek
emboli CO2meliputi hipotensi dengan kolap kardiovaskular, hipoksemia,
hipertensi pulmoner, edema paru, deteksi dari ‘mill wheel murmur’, tidak

43
seperti emboli udara biasa, pada emboli gas CO2, ETCO2 meningkat
sementara setelah itu baru terjadi penurunan ETCO2 karena penurunan
aliran darah ke paru. Emboli paradoksikal yang melewati defek paten
foramen ovale,defek septum atrium bisa menyebabkan emboli CO2 serebral.
Insiden emboli gas yang dideteksi menggunakan ekhokardiografi
transesofageal sekitar 69% pasien yang menjalani laparoskopi organ intra
abdomen, tetapi tanpa efek kardiopulmoner yang signifikan. Wadhwa dkk.
tidak menemukan emboli gas pada 100 pasien yang menjalani prosedur
laparoskopi ginekologi dengan menggunakan Doppler prekordial. Monitoring
yang baik dan meningkatkan kewaspadaan kita dapat menghasilkan deteksi
dini dan mencegah komplikasi lebih berat dari emboli CO2 ini
Penatalaksanaan emboli gas CO2 ini meliputi :
 Penghentian segera insuflasi dan menghilangkan pneumoperitoneum
 Pasien diposisikan head down dan lateral kiri dekubitus. Pada posisi ini
sejumlah gas yang masuk melalui jantung kanan kesirkulasi pulmonal
berkurang karena busa yang ringan berpindah kebagian lateral dan kaudal
outflow ventrikel kanan.
 Hentikan pemakaian N2O, diikuti dengan ventilasi O2 100% untuk
memperbaiki hipoksemia dan pengurangan ukuran emboli gas dan dampak
emboli gas.
 Hiperventilasi untuk meningkatkan ekskresi CO2 dan dilakukan seperlunya
dengan memperbesar ruang rugi fisiologis.
 Jika cara – cara sederhana ini tidak efektif, dilakukan pemasangan kateter
vena sentral atau kateter arteri pulmonalis untuk mengaspirasi udara.
 Resusitasi kardiopulmoner dimulai jika perlu, kompresi jantung luar mungkin
bermanfaat untuk memecah emboli CO2 menjadi gelembung yang kecil.

Pemulihan Dan Pemantauan Pasca Operasi


Keuntungan pasca operasi laparoskopi meliputi berkurangnya trauma
pembedahan, ukuran luka kecil, berkurangnya nyeri, berkurangnya disfungsi
paru, penyembuhan lebih cepat, dan perawatan rumah sakit lebih pendek.

44
Pembedahan laparoskopi dapat mengurangi komplikasi pasca operasi
oleh karena tidak adanya pola nafas restriktif yang biasanya terjadi setelah
operasi abdomen bagian atas. Prosedur laparoskopi adalah prosedur dengan
trauma otot dan nyeri insisional yang kurang dibandingkan dengan
pembedahan terbuka. Disfungsi paru dan diafragma masih tetap terjadi setelah
paling tidak dalam 24 jam pasca operasi laparoskopi organ intra abdomen
sehingga PaO2 masih rendah setelah laparoskopi organ intra abdomen.
Peningkatan kebutuhan oksigen terjadi setelah operasi laparoskopi, untuk itu
harus diberikan oksigen pasca operasi bahkan pada pasien sehat. Penyebab
disfungsi ini adalah peregangan diafragma selama pneumoperitoneum.
Disfungsi diafragma oleh karena aferen yang berasal dari kandung empedu
atau aferen somatic yang berasal dari dinding abdomen mendesak aksi inhibisi
dari nervus prenikus. Pada pengukuran spirometri paru, fungsi paru seperti
FRC, FEV1 dan kapasitas vital parumenurun setelah prosedur laparoskopi
sekitar 30 – 38%. Force vital capacity menurun 27% setelah pembedahan
laparoskopi dan menurun 48% setelah pembedahan terbuka.
Selama periode awal pasca operasi laparoskopi, frekuensi nafas dan
PETCO2 dari pasien yang bernafas spontan lebih tinggi dibandinkan pasca
operasi terbuka.
Peningkatan tekanan intraabdomen saat pneumoperitoneum
menyebabkan stasis vena yang dapat meningkatkan potensi DVT dan emboli
paru. Insiden emboli paru yang fatal setelah laparoskopi organ intra abdomen
adalah 0,016% lebih rendah daripada setelah operasi terbuka yaitu 0,8%.
Penggunaan graduated elastic compression stocking dalam periode perioperasi
dapat mengurangi stasis vena. Teknik laparoskopi dengan trauma jaringan
yang minimal bisa memfasilitasi ambulasi lebih awal, sehingga bisa
mengurangi resiko DVT
Mual dan muntah pasca operasi laparoskopi umum terjadi walaupun
rutin dilakukan pengosongan lambung dengan pemasangan pipa nasogastrik,
untuk ini perlu dipertimbangkan untuk memberikan obat profilaksis.

45
46
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien Ny. D 24 tahun yang dirawat d kelas I dengan diagnosa kista


Endometriosis. Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Tatalaksana pada pasien ini
adalah dengan tindakan pembedahan, yaitu laparaskopi. Pada saat kunjungan
pra anastesi, dari anamnesis didapatkan 5 hari yang lalu, pasien mengeluh
nyeri hebat saat haid dan keluhan sudah dirasakan selama 5 bulan terakhir ini.
Kemudian dilakukan pemeriksaan USG dan pasien dicurigai menderita kista
endometrium. Pasien kemudian direncanakan untuk dilakukan laparaskopi.
Riwayat penyakit sistemik disangkal, alergi disangkal, menggunakan
obat-obatn disangkal, riwayat kebiasaan merokok dan alcohol disangkal.
Status fisik pasien ini adalah ASA I, yaitu Pasien sehat organik, fisiologik,
psikiatrik, biokimia.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital dalam batas
normal, status generalisata dalam normal, status lokalisata dalam batas
normal. Hasil pemeriksaan penunjang terutama factor pembekuan dalam batas
normal, hemoglobin darah dalam batas normal. EKG dalam batas normal,
rontgen thorak KP dupleks, namun dari anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak
ditemukan kelainan pada paru. Ini adalah alasan status fisik pasien adalah
ASA I.
Pada pasien ini pemilihan jenis anastesi adalah anastesi umum.
Tindakan premedikasi pada pasien ini yaitu As Tranexamat 100 mg IV,
ranitidin 50 mg IV, ondansetron 4 mg IV, sulfas atropine 0,5 mg IV, tujuannya
adalah untuk mengurangi jumlah perdarahan, mencegah pneumonitis asam,
sebab cairan lambung bersifat asam dengan PH 2,5 dapat menyebabkan
keadaan tersebut. Maka dipilihlah antagonis reseptor H2 histamin. Pada
pasien ini juga diberikan ondansentron 4 mg untuk mengurangi mual dan
muntah pasca pembedaha, dan untuk mencegah hipersalivasi dan mencegah
reflek vagal. Fenthanyl diberikan sebagai obat untuk memudahkan induksi.
Induksi menggunakan propofol 100 mg. Propofol dipilih karena
kelebihan propofol yaitu pasien terlihat lebih segar pada periode pasca bedah,
muntah tidak ditemukan, penderita dapat berjalan lebih cepat.
Rumatan anastesi dilakukan dengan cara inhalasi menggunakan
sevofluran dan N2O dan O2 dengan perbandingan 1:1 ditambah sevofluran 1-2
vol%.
N2O jenis obat inhalasi yang stabil pada tekanan dan suhu kamar.
Sementara sevofluran merupakan jenis obat inhalasi terbaru yang induksi dan

47
pulih dari anastesi lebih cepat dibandingkan isofluran. Baunya tidak
menyengat dan tidak merangsang jalan nafas serta tidak mudah menguap
seperti halotan, isofluran, desfluran, dan metoksifluran. Serta aman
digunakan, tidak berisiko mudah terbakar seperti eter. Sementara klorofom
tidak digunakan karena toksiknya pada hati.
Pada kasus ini, pemberian rumatan anastesi sudah tepat, dimana
dilakukan secara inhalasi dengan perbandingan N2O dan O2 (1:1)
ditambah dengan sevofluran 1-2 vol %.
Sebelum dilakukan intubasi, pasien diberikan obat pelumpuh otot
yaituu salah satunya atracurium besilat yang merupakan obat pelumpuh otot
non depolarisasi yang relative baru yang mempunyai struktur
benzilisoquinolon yang berasal dari tanaman. Kelebihan obat ini dari yang
lain adalah tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang, tidak
menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler secara bermakna. Dosis yang
dapat diberikan untuk dilakukan intubasi adalah 0,5-0,6 mg/kgBB/IV.
Sementara pada kasus ini, atracurium diberikan 30 mg, pemberian
dosis atracurium pada kasus ini sudah tepat karena rentang dosis adalah 0,5-
0,6 mg/kgbb.
Selama operasi, dilakukan pemantauan. Pemantauan yang dilakukan
adalah tekanan darah setiap 15 menit, nadi, RR, saturasi oksigen. Intake cairan
telah diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien. Urin output tidak dapat
dipantau karena tidak dilakukan pemasangan kateter. Perdarahan diperkirakan
sebanyak 80 ml, yang beasal dari luka operasi dan kista..
Intubasi dilakukan dengan tujuan untuk menjaga oatensi jalan nafas,
mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi dan mencegah aspirasi dan
regurgitasi. Pada pasien ini tidak ditemukan penyulit intubasi, dengan grade
malampati.
Pada pukul 12.45 operasi selesai, dilakukan suction pada pasien dan
ETT dicabut setelah terlebih dahulu diberikan VTP untuk memberikan
kesempatan pengeluaran atau secret keluar dari glottis. Ekstubasi ditunda
sampai pasien benar-benar sadar, jika intubasi kembali menimbulkan kesulitan
dan adanya risiko aspirasi. Ekstubasi umumnya dikerjakan pada keadaan
anastesia sudah ringan dengan catatan tidak terjadi spasme laring. Sebelum
ekstubasi bersihkan rongga mulut, laring, faring dari secret dan cairan lainnya.
Pada pasien ini, ekstubasi secara tepat telah dilakukan dimana
ekstubasi dilakukan ketika efek anastesi sudah ringan dan pasien sudah mulai
bernafas spontan, serta tidak ditemukan kesulitan saat ekstubasi.
Pasien masuk ke ruangan pemulihan pukul 13.05 WIB. Keadaan
umum cukup, kesadaran CM, GCS 15. Tanda vital dalam keadaan stabil,

48
pernafasan baik. Skoring Aldrete dengan 10. Pemantauan dilakukan selama 45
menit dan tidak terjadi komplikasi post operasi. Pukul 13.45 os pindah ke
ruang kelas I. Saran dari bagian anastesi yaitu pantau vital sign tiap 15 menit,
tidur terlentang tanpa memakai bantal 1x24 jam post operasi, puasa sampai
sadar penuh dan bising usus positif, serta lanjutkan terapi sesuai instruksi
operator.
Instruksi yang diberikan sudah tepat, perlunya observasi keadaan
umum, vital sign 24 jam pertama post operasi sangat penting untuk menilai
apakah ada komplikasi yang terjadi pasca pembedahan. Pada kasus operasi
besar sering mengalami dehidrasi maka dari itu penting untuk memantau
balans cairan dan output.

49
BAB V
KESIMPULAN

Pemeriksaan pra anastesi memegang peranan penting pada setiap


operasi yang melibatkan anastesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita
mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul
sehingga dapat mengantisipasinya.
Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anastesi umum pada
operasi laparaskopi pada pasien wanita 24 tahun, status fisik ASA 1 dengan
diagnosis kista Endometriosi. Pada pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang saat pra anestesi didapatkan pasien termasuk ASA 1 dengan
menggunaan teknik general anastesi dengan ET no. 7, respirasi terkontrol.
Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang
berarti baik dari segi anastesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di
ruang pemulihan juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius.
Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anastesi berlangsung
dengan baik meskipun ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian.

50
Daftar Pustaka
1. Soenarto, R.F. 2012, Buku Ajar Anestesiologi. Departemen Anestesiologi dan
Intensive Care FKUI. Jakarta. Hal : 197-205
2. Jones. Derek Llewellyn.2001. Dasar-dasar obstetric dan ginekologi. jakarta.
hipokrates
3. Moore, Hacker.2001. Esensial Obstetri dan Ginekologi. Jakarta.Hipokrates
4. Gomel V. Isobaric laparoscopy. Canada J Obstet Gynecol:
JOGC.2007;29(6):493-4 2.
5. Hadisaputra W. Peran laparoskopi operatif pada nyeri pelvis kronis. Indones J
Obstet Gynecol. 2006;30(3):152-5.
6. System, Springer, 47: 911-943.
7. Leo, J., Filipovic, G., Krementsova, J., Norblad, R., and Söderholm, M., 2006,
Open Cholecystectomy for All Patients in the Era of Laparoscopic Surgery –
A Prospective Cohort Study, BMC Surger, 6:1471-82.
8. MacFadyen, V., 2004, Laparoscopic Surgery of the Abdomen, Bruce, 71:115.
9. Schietroma, M., Cartel, F., Franchi, L., Mazzotta, C., Sozio, A., et al., 2004, A
comparison of Serum Interleukin-6 Concentrations in Patients Treated by
Colecystectomy via Laparotomy or Laparoscopy, Hepato-gastroenterology,
51:1595-99.
10. Scott-Conner, C. E.H., 2006, The SAGES Manual Fundamentals of
Laparoscopy,Thoracoscopy, and GI Endoscopy, Springer, 5-6.
11. Soper, N. J., Swanstrom, L. L, and Eubanks, W.S., 2004, Mastery of
Endoscopy and Laparoscopic Surgery, Lippincott Williams & Wilkins, 2-5.
12. Tayeb, M., Raza, S. A., Khan, M. R., and Azami, R., 2005, Conversion from
Laparoscopic to Open Cholecystectomy: Multivariate analysis of preoperative
risk factors, 51:17- 20.
13. Vittimberga, F. J., Foley, D. P., Meyers, W. C., and Caller ,M. P., 1998,
Laparoscopic Surgery and the Systemic Immune Response, Ann Surg, 227:
326–34.
14. Whelan, R. L., 2006, The SAGES Manual Perioperative Care in Minimally
Invasive Surgery, Springer, 69-71.
15. Wikipedia, 2009a, Laparoscopic surgery, The Free Encyclopedia,. Wikipedia,
2009b, Cholecystectomy, The Free Encyclopedia.

51
16. Soenarto RF, Chandra S. Buku ajar anestesiologi. Anestesia umum. Jakarta :
FKUI, hal. 291-300
17. Kamus saku kedokteran Dorland. Edisi ke-25. Jakarta: EGC; 1998.

52

Вам также может понравиться