Вы находитесь на странице: 1из 4

Beri kesempatan kepada budak itu untuk merubah nasibnya yang akhirnya menjadi merdeka.

2. untuk do’a (‫) للدعاء‬


misalnya:
        
Artinya: “ Wahai Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat”.
(Al-Baqarah : 201 )
Maksud kata amar itu bukan menunjukkan kepada wajib atau sunnah, tetapi sebagai pernyataan
permohonan dari bawahan kepada atasan. Permintaan manusia kepada Allah dinamakan “do’a”.
jadi, makna ayat tersebut di atas ialah kita memohon kepada Allah agar diberikan kebaikan dunia
dan akhirat.
Kalau permintaan itu ditujukan kepada yang setingkat, yaitu manusia dengan manusia, maka
dinamakan “iltimas” ‫) )التماس‬, yaitu mengharap, misalnya: “silahkan duduk”.

3. untuk mengancam ( ‫) للتهديد‬


Misalnya:
     
ِArtinya: “kerjakanlah sekehendak hatimu”
(Fushshilat : 40)
Perintah ini bukan menunjukkan wajib atau bebas berbuat, tetapi menunjukkan ancaman terhadap
orang yang tidak taat kepada Allah yang berbuat sekehendaknya sendiri, dengan ancaman siksa di
akhirat.

4. untuk menghormat
Misalnya:

Artinya: “masuklah kamu ke dalamnya (surga) dengan sejahtera lagi aman”


(Al-Hijr : 46)
Perintah ini menunjukkan penghormatan kapda ahli surga. Sebab walaupun tidak ada perintah
semacam ini, mereka ini pun pasti masuk. Sebab mereka dalah ahli surga yang berhak masuk ke
dalamnya.

5. Untuk melemahkan
Misalnya:

Artinya: “buatlah satu surat (saja) yang semisal dengan Al-Qur’an itu”
(Al-Baqarah : 23)
Perintah ini bukan menunjukkan wajib, tetapi untuk menunjukkan kelemahan. Sungguhpun ada
perintah ini mereka (kaum kafir) dan siapa saja tak akan sanggup membuat walau satu ayat yang
sepadan dengan Al-Qur’an, baik isinya maupun keindahan bahasanya.

6. Untuk Menyerah
Misalnya:

Artinya: “putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan”


(Thaha : 72)
Perintah ini tidak menunjukkan wajib, tetapi menunjukkan menyerah, ahli sihir raja Fir’aun setelah
kalah dengan Nabi Musa AS, mereka beriman kemudian menyerahkan perkaranya kepada Fir’aun
dan rela menanggung resikonya, walaupun mereka akan disiksa oleh Fir’aun.

7. Agar Menyesal
Misalnya:

Artinya: “matilah kamu karena kemarahanmu itu”


(Ali Imran : 119)
Perintah ini menunjukkan agar menyesal, karena perbuatannya yang tidak pantas dilakukan, maka
lebih baik mati saja daripada hidup, jadi, perintah ini sebagai tanda penyesalan.
8. Untuk Membolehkan
Misalnya:
Artinya: “dan makan minumlah kamu,sehingga terlihat olehmu benang yang putih dari benang
yang hitam, yaitu fajar (yaitu sampai terbit fajar)”
(Al-Baqarah : 187)
Perintah ini menunjukkan membolehkan makan dan minum dan tidak menunjukkan wajib,
sebaliknya puasa yang diwajibkan, sebab bila makan dan minum dihukumi wajib, sedang puasa itu
wajib, maka terdapat satu hokum di dalam dua perkara yang bertentangan. Yang demikian ini
mustahil. Maka jelas perintah makan dan minum hukumnya mubah.

9. Untuk menyuruh memilih


Misalnya:

Artinya: “barang siapa mau beriman, hendaklah ia beriman, dan siapa mau kufur, hendaknya ia
kufur”
Perintah ini mengandung maksud bahwa Allah memberi kebebasan kepada umat manusia untuk
memilih antara beriman dan kufur, karena dia di akhirat nanti akan memikul tanggung jawab
masing-masing.

10. Untuk mempersamakan


Misalnya:

Artinya: “masuklah ke dalamnya (neraka), maka boleh kamu sabar dan boleh kamu tidak sabar
(ini) sama saja begitu”
(Ath-Thur : 16)
Perintah ini ditujukan kepada ahli neraka, dan amar di sini mengandung pengertian taswiyah, yaitu
sama saja rasa panasnya api neraka sebagai azab dari Allah atas orang-orang yang menjadi ahli
neraka, baik mereka itu sabar atau tidak.

11. Untuk Pelajaran


Misalnya:

Artinya: “persaksikanlah (piutang itu) dengan dua orang saksi laki-laki diantaramu”
(Al-Baqarah : 282)
Perintah ini menunjukkan sebagai pelajaran, bahwa sebagai wajib, sebab tanpa saksi pun utang
piutang itu cukup sah, karena syarat sahnya utang-piutang itu ialah atasw dasar rela sama rela, oleh
karena itu, poerintah agar mendatangkan dua orang saksi laki-laki itu hanyalah sebagai pelajaran
saja untuk menjaga ketertiban agar jangan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.
Adapun perbedaan antara mandub dengan irsyad ialah: kalau mandub adalah untuk mencari pahala
di akhirat, sedangkan irsyad adalah untuk kebaikan dan kepentingan duniawi saja.

12. Untuk menyebut nikmatnya sesuatu


Misalnya:

Artinya: “maka makanlah kamu dari rizki yang telah Allah berikan kepadamu yang halal lagi baik”
(Al-Nahl : 114)
Perintah di sini memngandung pengertian imtinan, yakni menunjukkan nikmatnya memakan rizki
yang halal lagi yang baik, karena rizki yang halal lagi baik itu merupakan nikmat daripada Allah,
dan itulah yang harus menjadi makanan orang-orang yang hanya menyembah kepada-Nya.

13. Untuk penghinaan


Misalnya:

Artinya: “jadilah kamu kera yang hina”


(Al-Baqarah : 65)
Perintah ini mengandung maksud merendahkan (penghinaan) Allah terhadap Bani Israil yang
melanggar peraturan-Nya, tidak mewajibkan kepada mereka supaya menjadi kera, tetapi karena
begitu rendahnya kemanusiaan mereka itu sehingga soelah-olah mereka itu tak ubahnya bagaikan
kera.

14. untuk penciptaan


Misalnya:

Artinya: “jadilah kamu, maka terjadilah dia”


(Yasin : 82)

Ayat ini menyatakan, bahwa apabila Allah menghendaki terciptanya sesuatu, maka cukup dengan
mengatakan: “jadilah”, dan pasti terjadi apa yang Allah kehendaki, tidak akan terhalang atau
terpengaruh dengan sesuatu apapun, jadi perintah di sini sebagai symbol saja, sebab walaupun
tidak memakai kata-kata “jadilah”, kalau Allah sudah menghendaki tentu terjadi.

KAIDAH KEDUA

“Pada dasarnya, suruhan itu tidak menghendaki berulang-ulang (berulang-ulangnya pekerjaan yang
dituntut)”.
Artinya: jika perintah itu sudah dikerjakan sekali saja, berarti sudah cukup memenuhi tuntutan itu,
kecuali apabila terdapah qarinah yang menunjukkan harus berulang-ulang. Inilah ketentuan amar yang
sebenarnya, karena maksud daripada amar itu adalah terwujudnya perbuatan yang diperintahkan.
Dalam hal ini menurut jumhur cukup dilakukan satu kali saja asal telah dilakukan dengan sempurna
(memenuhi syarat dan rukunnya), yang kemudian seseorang bebas dari kewajiban. Hal ini berdasarkan
kaidah:
“Asalnya manusia iti bebas daripada tanggungan lebih dari kewajiban yang sebenarnya”.
Artinya, tidak ada kewajiban lebih dari tanggungan yang sebenarnya. Contohnya:firman Allah SWT:

Artinya: “dan sempurnakanlah ibadah haji serta umrah karena Allah”


(Al-Baqarah : 196)

Artinya: “dan bagi Allah wajib atas manusia berhaji ke Baitullah (Makkah) bagi orang yang kuasa
menjalankannya”
(Ali Imran : 97).
Ayat ini menunjukkan bahwa ibadah haji itu hukumnya wajib. Dan oleh karena amar ini tidak ada
qarinah yang mempengaruhinya, maka ibadah haji itu cukup dujalani satu kali saja, asal telah
memenuhi syarat dan rukunnya maka hajinya dianggap telah sempurna, yang kemudian dia bebas dari
kewajiban.
Adapun bila menjalankan haji beberapa kali, maka yang wajib hanya satu kali, adapun yang lainnya
hanya sunnah saja karena tidak ada qarinah yang menunjukkan berulang-ulang. Jadi yang kedua dan
ketiga dan seterusnya itu tidaklah wajib.
Tetapi ada pula yang berpendapat bahwa:
“Pada dasarnya suruhan itu menghendaki berulang-ulangnya perbuatan yang diminta, selagi masih ada
kesanggupan selama hidup”.
Dalam hal ini alasan mereka, bahwa nahi adalah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan yang dilarang
berulang-ulang setiap waktu. Maka berulang-ulangnya tuntutan tersebut, berlaku pula pada amar,
karena kudua-duanya (larangan dan suruhan) sama-sama tuntutan.
Alasan pendapan kedua ini tidak tepat, sebab walaupun amar dan nahi kedua-duanya menghendaku
tuntutan, tetapi tujuannya berbeda. Kalau amar menghendaki terwujudnya perbuatan yang diperintah,
sedang nahi menghendaki ditinggalnya perbuatan tersebut. Tuntutan amar itu dapat terlaksana dengan
mengerjakan sekali saja, sedang dalam nahi tuntutan itu tidak dapat terpenuhi kecuali dengan
meninggalkan perbuatan itu selamanya. Karena itu mempersamakan amar dengan nahi yang berbeda
tujuannya itu tidak benar.

Perbedaan pendapat tersebut di atas (antara yang menghendaki berulang-ulangnya pekerjaan dan yang
tidak menghendaki) ialah mengenai amar (suruhan) yang tidak disertai illat, sifat dan syarat. Sehingga
pendapat pertamalah yang lebih sesuai dengan keadaan yang kita bicarakan. Apabila amar itu disertai
oleh salah satu diantara illat, sifat dan syarat, maka tidak ada perbedaan pendapat dikalangan Ulama’,
bahwa amar tadi sangat bergantung pada illatnya. Jika illat itu berulang-ulang, maka amar tadi
menunjukkan berulang-ulang mengikuti berulangnya illat, sebagaimana kaidah ushul fiqh menyatakan
“hukum itu selalu mengikuti illatnya, tentang ada dan tidaknya”. Artinya: adanya illat menyebabkan
adanya hukum, tidak adanya illat menyebabkan tidak adanya hukum.
Begitu juga apabila mar itu berhubungan dengan sifat dan syarat, karena sifat dan syarat itu dapan juga
dipandang sebagai illat. Maka dari itu bilas sifat dan syarat itu berulang-ulang, dengan sendirinya amar
itu pun menunjukkan berulang-ulang mengikuti berulangnya sifat dan syarat.
Contoh amar yang dihubungkan dengan illat, Allah SWT:

Artinya: “dirikanlah sholat karena condongnya Matahari”


(Al-Asra’ : 78)
Berulangnya condongnya matahari kearah barat menyebabkan berulangknya shalat dhuhur yang harus
dilakukan pada tiap hari.
Contoh amar yang dihubungkan dengan sifat, firman Allah SWT:

Artinya:”Orang perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera”
(An-Nisa’ : 2)
Contoh amar yang dihubungkan dengan syarat, firman Allah SWT:

Artinya: “dan jika kamu dalam keadaan junub, maka bersucilah”


(Al-Maidah : 6)
Jadi setiap kali berjunub, di sana ada hukum wajib mandi. Maka sebagai syarat melaksanakan mandi
kalau berjunub. Seperti halnya terjadi hukum dera di atas pada setiap kali orang berzina. Karena kata
“yang berzina” adalah sifat bagi seseorang.
Adapun jika amat itu dihubungkan dengan dalil yang lain, seperti fieman Allah SWT:

Artinya: “dan dirikanlah olehmu sholat” (Al-Baqarah : 43)


Perintah shalat di sini adalah wajib dan cukup dilaksanakan satu kali saja. Tetapi oleh karena adanya
qarinah yang berupa dalil lain yang menunjukkan harus dilakukan tiap-tiap hari terus menerus
(berulang-ulang) sesuatu dengan petunjuk qarinah tersebut.
Qarinah tersebut ialah firman Allah SWT:

Artinya: “dan dirikanlah shalat pada antara dua tepinya siang, dan waktu yang dekat dalam malam”
Antara dua tepi siang, yang dimaksud ialah shalat subuh, dhuhur dan ashar. Dan yang dimaksud dekat
dengan malam yakni belum jauh malam. Ialah maghrib dan isya’.”
Ayat tersebit menunjukkan wajibnya shalat lima waktu. Oleh karena perintah shalat ini disandarkan
dengan adanya siang dan malam, maka dari itu shalat lima waktu itu harus dilakukan brulang-ulang.
Menurut berulangnya siang dan malam (mengikuti berulang-ulangnya illat ialah berulang-ulangnya
siang dan malam).
Selain daripada ayat tersebut di atas, daoat kita ketahui qarinah itu daripada hadist Nabi yang
menerangkan bahwa shalat lima waktu itu harus dilakukan tiap hari terus menerus (berulang-ulang)
selama masih hidup.
Artinya, telah dating seorang arab badui, lalu bertanya pada Rasulullah: ya Rasulullah, shalat manakah
yang Allah wajibkan atasku? Nabi menjawab: shalar lima waktu”. (HR. Bukhari).
Hadist ini yang menetapkan, bahwa shalat yang wajib dilaksanakan sehari semalam lima kali. Dan ini
menunjukkan harus berulang-ulang dilaksanakan sesuai dengan datangnya waktu masing-masing
sholat.

KAIDAH KETIGA

Вам также может понравиться