Вы находитесь на странице: 1из 55

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Keluarga

2.1.1 Pengertian Keluarga

Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak,

tempat anak belajar dan mengatakan sebagai makhluk sosial. Dalam

keluarga umumnya anak melakukan interaksi yang intim. Keluarga

adalah sekumpulan orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan,

adopsi, kelahiran yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan

budaya yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental,

emosional dan sosial dari tiap anggota keluarga (Duval, 1972 dalam

Setiadi 2008). Menurut Slameto (2006) keluarga adalah lembaga

pendidikan yang pertama dan utama bagi anak-anaknya baik pendidikan

bangsa, dunia, dan negara sehingga cara orang tua mendidik anak-

anaknya akan berpengaruh terhadap belajar. Sedangkan menurut

Mubarak, dkk (2009) keluarga merupakan perkumpulan dua atau lebih

individu yang diikat oleh hubungan darah, perkawinan atau adopsi, dan

tiap-tiap anggota keluarga selalu berinteraksi satu dengan yang lain.

Berdasarkan keanggotaannya, keluarga dapat dibagi dalam 3 jenis,

yaitu:

a. Nuclear family, sering disebut dengan keluarga inti, yaitu keluarga

yang anggotanya terdiri dari ayah, ibu dan anak yang belum

menikah.

9
b. Extended family, atau keluarga besar, yaitu keluarga yang

anggotanya terdiri dari ayah, ibu, serta family dari kedua belah

pihak.

c. Horizontal extended family, yaitu keluarga yang anggotanya

terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang telah menikah dan masih

menumpang pada orang tuanya. (Duval, 1985 dalam Setiadi

2008)

Dalam keluarga modern sekalipun, pengaruh orang tua terhadap

anaknya masih sangat kuat. Nampaknya adanya kecenderungan

pembentukan perilaku anak sebagai hasil interaksi antara orang tua

dengan anaknya. Sebagaimana diungkapkan oleh Setiadi (2008)

bahwa kebanyakan sikap dan perilaku anak akan ditentukan oleh salah

satu faktor penting, yaitu kualitas hubungan diantara orang tua dengan

anak.

2.1.2 Tugas Perkembangan Keluarga dengan Anak Usia Remaja

Sejalan dengan model fungsi keluarga McMaster, the procces of

family functioning, dikembangkan dari teori sistem yang menjelaskan

bahwa fungsi keluarga merupakan kemampuan keluarga dalam

menyelesaikan tugas dasar seperti makan dan rumah, tugas krisis seperti

cara keluarga dalam menangani masalah, dan tugas perkembangan yang

terjadi selama tahap perkembangan hidup keluarga. Model proses

keberfungsian keluarga mengidentifikasi tujuh objek yang dapat

menunjukkan berhasilnya keluarga dalam menyelesaikan tugas dasar,


krisis, dan perkembangan. Tujuh objek tersebut adalah penyelesaian

tugas, peran yang jelas, komunikasi, interkasi langsung dalam keluarga,

keterlibatan, pengawasan, serta nilai dan norma (Setiadi, 2008). Duvall

(1985) menyebutkan model siklus hidup keluarga merupakan cetak biru

peran dan tugas keluarga yang senantiasa mengalami pergerakan

melewati tiap tahap perkembangan keluarga, hal ini berarti transisi

keluarga dari tahap ke tahap terdapat tanda-tanda yang dapat diprediksi

secara normal. Keluarga dengan anak usia remaja dimulai ketika anak

pertama berumur 13 tahun hingga 18 tahun dan berakhir sampai anak

tersebut menikah, bekerja atau wajib militer, sebagai seorang dewasa

muda(Olson & DeFrain, dalam Walcheski & Bredehoft, 2003; Duvall,

1985).

Masa remaja adalah masa penuh tekanan untuk individu maupun

keluarga dimana keduanya dituntut menyesuaikan diri terhadap

perubahan besar individu dan sistem keluarga. Fase ini keluarga dengan

anak remaja menghadapi kesulitan masalah finansial, masalah intra-

family, work-family, dan transisi serta pergerakan anggota keluarga yang

masuk-keluar dalam unit keluarga yang sudah dapat di prediksi. Ini

merupakan tahap paling menegangkan dari sikus hidup keluarga.

(Duvall, 1971;Mc Cubbin et al, 1988). Pernyataan ini didukung hasil

penelitian yang menyebutkan bahwa ketika anak memasuki masa

remaja, mayoritas (60%) keluarga merasa renggang dan terpisah. Hal ini
bukan hanya ekspektasi melainkan kenyataan karena remaja mulai

mengembangkan autonominya (Day et al, 1995).

Tugas perkembangan keluarga dengan anak usia remaja secara

umum meliputi: 1) Menyediakan fasilitas untuk individu yang berbeda

dan kebutuhan anggota keluarga; 2) Bertanggung jawab terhadap sistem

keuangan keluarga; 3) Menetapkan pembagian tanggung jawab dalam

keluarga; 4) Membangun kembali hubungan pernikahan yang saling

memuaskan; 5) Mempererat jarak komunikasi dalam keluarga; 6)

memperbaiki hubungan dengan saudara, teman dan kerabat; 7)

Memperluas cakrawala dari remaja dan orang tua; 8) Merumuskan

filsafat hidup yang bisa diterapkan dalam keluarga (Duvall & Miller

1985).

Sementara itu, Gunarsa dan Gunarsa (2008) menjelaskan bahwa

orangtua memiliki peran penting untuk mempersiapkan anak memasuki

usia remaja dalam hal:

1. Pertumbuhan fisik anak

Memberikan perlakuan pengasuhan yang baik, lingkungan sehat,

pengetahuan praktis mengenai kadar gizi, pengetahuan kebutuhan

dasar dan minimal (istirahat, bermain, belajar) sesuai kebutuhan

pribadi patokan umum dan masa perkembangan anak serta

memberikan aturan sesuai dengan kondisi anak.

2. Perkembangan sosial anak

Orang tua harus mengerti bahwa pergaulan sebagai kebutuhan, tak


terkecuali bagi remaja. Bergaul dengan teman sebaya yang secara

langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kepribadian anak.

Oleh karena itu orang tua perlu memperhatikan siapa atau dengan

kelompok mana anak boleh, dianjurkan atau menghindari.

3. Perkembangan mental

Memperbaiki proses komunikasi verbal orang tua dengan anak,

berbicara sambil membimbing, penyediaan sarana dan fasilitas

sesuai kebutuhan anak.

4. Perkembangan spiritual

Membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku anak sesuai

dengan ajaran agama, mengikutsertakan dalam kegiatan keagamaan

serta menciptakan suasana keluarga yang harmonis. Kemudian,

memberikan pengertian nilai dan norma hukum seperti pelanggaran,

tata tertib, penyesuaian diri,

5. Mengembangkan minat dan bakat anak

Memberi kesempatan untuk berkembang, kerjasama orang tua -

keluarga besar - sekolah dengan mendorong anak memiliki kegiatan

lain yang produktif selain belajar. Ali dan Asrori (2010) berpendapat

bahwa amat penting bagi remaja diberikan bimbingan agar

keingintahuan yang tinggi dapat terarah kepada kegiatan-kegiatan

yang positif, kreatif dan produktif.


2.2 Konsep Dasar Remaja

2.2.1 Pengertian Remaja

Remaja adalah periode perkembangan selama dimana individu

mengalami perubahan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa,

biasanya antara usia 13 dan 20 tahun. Istilah adolescens biasanya

menunjukkan maturasi psikologis individu, ketika pubertas

menunjukkan titik dimana reproduksi mungkin dapat terjadi.

Perubahan hormonal pubertas mengakibatkan perubahan

penampilan pada orang muda, dan perkembangan mental

mengakibatkan kemampuan untuk menghipotesis dan berhadapan

dengan abstraksi (Potter & Perry, 2005).

Menurut Purwanto (1999), tingkat-tingkat perkembangan dalam

masa remaja dapat dibagi dengan berbagai cara. Salah satu pembagian

yang dilakukan oleh Stolz adalah sebagai berikut:

a. Masa prapuber: satu atau dua tahun sebelum masa remaja yang

sesungguhnya. Anak menjadi gemuk, pertumbuhan tinggi badan

terhambat sementara.

b. Masa puber atau masa remaja: perubahan-perubahan sangat nyata dan

cepat. Dimana anak wanita lebih cepat memasuki masa ini dari pada

pria. Masa ini lamanya berkisar antara 2,5 – 3,5 tahun.

c. Masa postpuber: pertumbuhan yang cepat sudah berlalu, tetapi masih

nampak perubahan-perubahan tetap berlangsung pada beberapa

bagian badan.
d. Masa akhir puber: melanjutkan perkembangan sampai mencapai tanda-

tanda kedewasaan.

Menurut Depkes RI (1999) dalam Purwanto (1999) dijelaskan

bahwa perkembangan psikososial remaja dibagi menjadi tiga bagian, yaitu

perkembangan psikososial remaja awal (10-14 tahun), remaja pertengahan

(15-16 tahun), dan remaja akhir (17-19 tahun).

1. Remaja Awal (10 -14 tahun)

Masa remaja awal merupakan masa transisi dari masa anak-anak

yang biasanya tidak menyenangkan, dimana dengan meningkatnya

kesadaran diri (self consciousness) terjadi juga perubahan secara

fisik, psikis maupun sosial pada remaja sehingga remaja mengalami

perubahan emosi ke arah yang negatif menjadi mudah marah,

tersinggung bahkan agresif. Selain hal tersebut, remaja juga

menjadi sulit bertoleransi dan berkompromi dengan lingkungan

sekitar sehingga cenderung memberontak dan terjadi konflik.

Masa remaja awal ini juga remaja senang bereksperimen

dalam pakaian, gaya yang dianggap tidak ketinggalan zaman dan

senang membentuk kelompok sebaya yang sesuai dengan mereka.

Rasa keterikatan dengan kelompoknya ini sangat penting bagi

remaja, sehingga cenderung mengikuti apa yang dipakai oleh

kelompoknya karena keinginan untuk tampak sama dan dianggap

dalam kelompok pergaulan. Konsumsi obat (narkoba) juga dapat

berkaitan dengan alasan sosial, yang membantu remaja merasa


lebih nyaman dan menikmati kebersamaan dengan orang lain (Ksir,

Hart, & Ray dalam Santrock, 2007).

2. Remaja Pertengahan (15 – 16 tahun)

Remaja pertengahan terjadi pada usia 15-16 tahun, pada

tahap ini biasanya remaja lebih mudah untuk diajak bekerjasama

karena mampu berkompromi, tenang, sabar, lebih toleran untuk

menerima pendapat orang lain.

Saat ini remaja lebih belajar untuk berfikir independen dan

menolak campur tangan orang lain termasuk orang tua. Remaja

juga mulai terfokus pada diri sendiri, mudah bersosialisasi, tidak

lagi pemalu dan mulai membutuhkan lebih banyak teman bersifat

solidaritas bahkan mulai membina hubungan dengan lawan jenis

sehingga lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan teman-

teman dibandingkan keluarga (Santrock, 2007).

3. Remaja Akhir (17 – 19 tahun)

Masa remaja akhir ini, remaja lebih berkembang dalam

intelektualitasnya sehingga mulai menggeluti masalah sosial,

politik, agama. Remaja yang tumbuh dengan baik dan tanpa

masalah akan mulai belajar mandiri baik secara finansial maupun

emosional dengan lebih baik mengatasi stress sehingga pada tahap

ini remaja ingin diakui sudah menjadi seseorang yang dewasa dan

dapat menentukan keputusan hidupnya sendiri.


2.2.2 Ciri-Ciri Masa Remaja

Menurut Hurlock (1998), masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu

yang membedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri

tersebut antara lain:

a. Masa remaja sebagai periode yang penting

Periode remaja dianggap sangat penting dari pada beberapa periode

lainnya, karena akibatnya yang langsung terhadap sikap dan perilaku.

Akibat fisik dan psikologis mempunyai persepsi yang sangat penting.

Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya

perkembangan mental yang cepat, terutama pada awal pada masa

remaja. Semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian

mental dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat baru (Hurlock, 1998).

b. Masa remaja sebagai periode peralihan

Peralihan tidak berarti terputus atau berubah dari apa yang terjadi

sebelumnya, tetapi peralihan yang dimaksud adalah dari satu tahap

perkembangan ke tahap berikutnya. Artinya, apa yang terjadi

sebelumnya akan meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi

sekarang dan akan datang. Bila anak beralih dari masa kanak-kanak ke

masa dewasa, anak harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat

kekakak-kanakan dan juga harus mempelajari pola perilaku dan sikap

baru untuk menggantikan perilaku dan sikap yang sudah ditinggalkan

(Hurlock, 1998).

c. Masa remaja sebagai periode perubahan


Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja

sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal masa remaja,

ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat maka perubahan perilaku

dan sikap juga berlangsung pesat. Jika perubahan fisik menurun maka

perubahan sikap dan perilaku menurun juga. Ada empat perubahan

yang sama dan hampir bersifat universal. Pertama, meningginya emosi

yang intensitasnya tergantung pada tingkat perubahan fisik dan

psikologis. Kedua, perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan

oleh kelompok. Ketiga, dengan berubahnya minat dan pola perilaku

d. Masa remaja sebagai usia bermasalah

Masalah pada masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi

baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Terdapat dua alasan

bagi kesulitan itu, yaitu sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-

anak sebagian diselesaikan oleh orang tua dan guru-guru, sehingga

kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah,

serta para remaja merasa mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi

masalahnya sendiri, menolak bantuan orang tua dan guru.

Ketidakmampuan remaja untuk mengatasi sendiri masalahnya,

maka memakai menurut cara yang mereka yakini. Banyak remaja

akhirmya menemukan bahwa penyelesaian tidak selalu sesuai dengan

harapan mereka (Hurlock, 1998).

e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa
dirinya, apa peranannya dalam masyarakat, apakah ia seorang anak atau

dewasa, apakah ia mampu percaya diri sekalipun latar belakang ras atau

agama atau nasionalnya membuat beberapa orang merendahkannya.

Secara keseluruhan, apakah ia akan berhasil atau akan gagal (Hurlock,

1998).

f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

Anggapan stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak

rapih, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan

berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus

membimbing dan mengawasi kehidupan remaja yang takut bertanggung

jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang

normal (Hurlock, 1998).

g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistic

Remaja cenderung memandang kehidupan melalui kaca berwarna

merah jambu. Ia melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana

adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Cita-cita yang tidak realistik ini,

tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi keluarga dan teman-

temannya, menyebabkan meningkatnya emosi yang merupakan ciri dari

awal masa remaja. Semakin tidak realistik cita-citanya semakin ia

menjadi marah. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain

mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang

ditetapkannya sendiri (Hurlock, 1998).


h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja

menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk

memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Berpakaian

dan bertindak seperti orang dewasa ternyata belumlah cukup. Oleh

karena itu, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang

dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, minum minuman

keras, menggunakan obat-obatan, dan terlibat dalam perbuatan seks.

Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang

mereka inginkan (Hurlock, 1998)

2.2.3 Tugas Perkembangan pada Masa Remaja

a. Menerima citra tubuh

Seringkali sulit bagi remaja untuk menerima keadaan fisiknya bila sejak

kanak-kanak mereka telah menggunakan konsep mereka tentang

penampilan diri pada waktu dewasa nantinya. Diperlukan cara

memperbaiki penampilan diri sehingga lebih esuai dengan apa yang

dicita – citakan ( Hurlock, 1998)

b. Menerima identitas seksual

Menerima peran seks dewasa yang diakui masyarakat tidaklah

mempunyai banyak kesulitan bagi anak laki-laki, mereka telah didorong

dan diarahkan sejak awal masa kanak-kanak. Tetapi berbeda bagi anak

perempuan, mereka didorong untuk memainkan peran sederajat


sehingga usaha untuk mempelajari peran feminim dewasa memerlukan

penyesuaian diri selama bertahun-tahun (Hurlock, 1998).

c. Mengembangkan sistem nilai personal

Remaja megembangkan sistem nilai yang baru misalnya remaja

mempelajari hubungan baru dengan lawan jenis berarti harus mulai dari

nol dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana harus bergaul dengan

mereka (Hurlock, 1998).

d. Membuat persiapan untuk hidup mandiri

Bagi remaja yang sangat mendambakan kemandirian, usaha untuk mandiri

harus didukung oleh orang terdekat (Hurlock, 1998).

e. Menjadi mandiri atau bebas dari orang tua

Kemandirian emosi berbeda dengan kemandirian perilaku. Banyak remaja

yang ingin mandiri, tetapi juga membutuhkan rasa aman yang diperoleh

dari orang tua atau orang dewasa lain. (Hurlock, 1998).

f. Mengembangkan ketrampilan mengambil keputusan

Ketrampilan mengambil keputusan dipengaruhi oleh perkembangan

ketrampilan intelektual remaja itu sendiri, misal dalam mengambil

keputusan untuk menikah di usia remaja

g. Mengembangkan identitas seseorang yang dewasa

Remaja erat hubungannya dengan masalah pengembangan nilai- nilai yang

selaras dengan dunia orang dewasa yang akan dimasuki, adalah tugas untuk

mengembangkan perilaku sosial yang bertanggung jawab (Hurlock,

1998).
2.3 Konsep NAPZA; Ganja

2.3.1 Pengertian NAPZA; Ganja

NAPZA adalah singkatan dari narkotika, psikotropika, dan

bahan adiktif lainnya, meliputi zat alami atau sintetis yang bila

dikonsumsi menimbulkan perubahan fungsi fisik dan psikis, serta

menimbulkan ketergantungan (BNN, 2004)

Ganja (Cannabis) adalah nama singkatan untuk tanaman

Cannabis sativa. Istilah ganja umumnya mengacu kepada pucuk daun,

bunga dan batang dari tanaman yang dipotong, dikeringkan dan

dicacah dan biasanya dibentuk menjadi rokok. Nama lain untuk

tanaman ganja adalah marijuana, grass, weed, pot, tea, Mary jane dan

produknya hemp, hashish, charas, bhang, ganja, dagga dan sinsemilla

(Camellia, 2010).

Tanaman semusim ini tingginya dapat mencapai dua meter.

Berdaun menjari dengan bunga jantan dan betina ada di tanaman

berbeda. Ganja hanya tumbuh di pegunungan tropis dengan elevasi di

atas 1.000 meter di atas permukaan air laut (BNN, 2015).

Ada tiga jenis ganja yaitu Cannabis sativa, Cannabis indica,

dan Cannabis ruderalis. Ketiga jenis ganja ini memiliki kandungan

tetrahidrokanabinol (THC) berbeda-beda (BNN, 2015). Kandungan

THC didalam Charas dan hashish sekitar 7-8% dalam rentang sampai

14%. Ganja dan Sinsemilla berasal dari bahan kering dan ditemukan
pada pucuk tanaman betina, dimana kandungan THC rata-rata sekitar

4-5% (jarang diatas 7%). Bhang sediaan tingkat rendah diambil dari

tanaman sisa kering, kandungan THC sekitar 1%. Minyak hashish,

suatu cairan pekat dari penyulingan hashish, mengandung THC sekitar

15-70% (Camellia, 2010).

Penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan NAPZA yang

bersifat patologis, paling sedikit telah berlangsung satu bulan lamanya

sehingga menimbulkan gangguan dalam pekerjaan dan fungsi sosial.

Sebetulnya NAPZA banyak dipakai untuk kepentingan pengobatan,

misalnya menenangkan klien atau mengurangi rasa sakit. Tetapi

karena efeknya “enak” bagi pemakai, maka NAPZA kemudian dipakai

secara salah, yaitu bukan utnuk pengobatan tetapi untuk mendapatkan

rasa nikmat. Penyalahgunaan NAPZA secara tetap ini menyebabkan

pengguna merasa ketergantungan pada obat tersebut sehingga

menyebabkan kerusakan fisik (Sumiati, 2009).

Menurut Pasal 1 UU RI No.35 Tahun 2009 Ketergantungan

adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan

Narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar

menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi

dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan

psikis yang khas.

Penyalahgunaan narkoba dapat dikategorikan sebagai

kejahatan tanpa korban (crime without victim). Pengertian kejahatan


tanpa korban berarti kejahatan ini tidak menimbulkan korban sama

sekali, akan tetapi si pelaku sebagai korban (Jimmy, 2015).

2.3.2 Golongan NAPZA

a. Narkotika

Narkotika dibedakan ke dalam golongan-golongan:

- Narkotika Golongan I

Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu

pengetahuan, dan tidak ditujukan untuk terapi serta

mempunyai potensi sangat tinggi menimbulkan

ketergantungan (contoh: heroin/putauw, kokain, ganja)

- Narkotika Golongan II

Narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai

pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi atau

tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai

potensi tinggi mengakibatan ketergantungan (contoh:

morfin, petidin).

- Narkotika Golongan III

Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak

digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi ringan

mengakibatkan ketergantungan (contoh: kodein)


b. Psikotropika

Psikotropika dibedakan dalam golongan-golongan sebagai

berikut:

- Psikotropika Golongan I

Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk

kepentingan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam

terapi serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan

sindroma ketergantungan (contoh: ekstasi, shabu, LSD)

- Psikotropika Golongan II

Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat

digunakan dalam terapi, dan/atau tujuan ilmu pengetahuan

serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindrom

ketergantungan. (Contoh: Amfetamin, Metilfenidat atau

Ritalin)

- Psikotropika Golongan III

Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak

digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi sedang

mengakibatkan sidnrom ketergantungan (Contoh:

Pentobarbital, Flunitrazepam)

- Psikotropika Golongan IV

Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas

serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindrom


ketergantungan (Contoh: Diazepam, Nitrazepam, Seperti

Pil KB, Pil Koplo, Rohip, Dum, MG)

c. Zat Adiktif

Zat adiktif adalah suatu bahan atau zat yang apabila

digunakan dapat menimbulkan kecanduan atau ketergantungan.

Contohnya : rokok, kelompok alkohol dan minuman lain yang

memabukkan dan menimbulkan ketagihan, thinner dan zat-zat

lain (lem kayu, penghapus cair, aseton, cat, bensin, yang bisa

dihisap, dihirup, dan dicium, dapat memabukkan)

d. Zat Psikoaktif

Golongan zat yang bekerja secara selektif, terutama pada

otak sehingga dapat menimbulkan perubahan pada: perilaku, emosi,

kognitif, persepsi.

1. Rentang Respon

Rentang respon ini berfluktuasi dari kondisi yang ringan sampai

dengan yang berat. Indikator dari rentang respon berdasarkan peilaku

yang ditampakkan oleh remaja dengan gangguan penggunaan zat

adiktif.

Gambar 2.1 Rentang Respon

Respon adaptif Respon Maladaptif

Eksperimental Rekreasional Situasional Penyalahgunaan Ketergantungan


(Sumber: Yusuf, dkk)
Ada beberapa tahapan pemakaian NAPZA yaitu sebagai berikut:

1. Tahap pemakaian coba-coba (eksperimental use)

Karena pengaruh kelompok sebaya sangat besar, remaja ingin tahu atau

coba-coba. Biasanya mencoba mengisap rokok, ganja, atau minum-

minuman beralkohol. Jarang yang langsung mencoba memakai putaw

atau minum pil ekstasi.

2. Tahap pemakaian sosial (social/recreational use)

Tahap pemakaian NAPZA untuk pergaulan (saat berkumpul atau pada

acara tertentu), ingin diakui/diterima kelompoknya. Mula-mula NAPZA

diperoleh secara gratis atau dibeli dengan murah. Ia belum secara aktif

mencari NAPZA.

3. Tahap pemakaian situasional (sitiational use)

Tahap pemakaian karena situasi tertentu, misalnya kesepian atau stres.

Pemakaian NAPZA sebagai cara mengatasi masalah. Pada tahap ini

pemakai berusaha memperoleh NAPZA secara aktif.

4. Tahap habituasi/kebiasaan (abuse)

Tahap ini untuk yang telah mencapai tahap pemakaian teratur (sering),

disebut juga penyalahgunaan NAPZA, terjadai perubahan pada faal tubuh

dan gaya hidup. Teman lama berganti dnegan teman pecandu. Ia menjadi

sensitif, mudah tersinggung, pemarah, dan sulit tidur atau berkonsentrasi,

sebab narkoba mulai menjadi bagian dari kehidupannya. Minat dan cita-

citanya semula hilang. Ia sering membolos dan prestasi sekolahnya

merosot. Ia lebih suka menyendiri daripada berkumpul bersama keluarga.


5. Tahap ketergantungan (dependence use)

Ia berusaha agar selalu memperoleh NAPZA dengan berbagai cara.

Berbohong, menipu, atau mencuri menjadi kebiasaannya. Ia sudah tidak

dapat mengendalikan penggunaannya. NAPZA telah menjadi pusat

kehidupannya. Hubungan dengan keluarga dan teman-teman rusak.

2.3.3 Etiologi

Faktor kepribadian seseorang mempengaruhi apakah ia akan

tergantung pada suatu obat atau tidak. Orang yang merasa tidak mantap

serta mempunyai sifat tergantung dan pasif lebih cendrung menjadi

tergantung pada obat. Faktor sosial budaya juga mempengaruhi seseorang

dalam masalah ketergantungan obat. Di Indonesia banya penderita

ketergantungan obat berasal dari golongan sosio-ekonomi menengah

(karena perkembangan golongan ini yang sangat pesat sehingga lebih

menganggu kestabilan individu dan keluarga. Faktor fisik atau badaniah

sesorang menentukan efek fisik obat, seperti hilangnya rasa nyeri, dorongan

seksual, rasa lapar dan mengantuk atau justru berkurangnya hambatan

terhadap dorongan – dorongan.

Menurut Soetjiningsih (2004), faktor risiko yang menyebabkan

penyalahgunaan NAPZA antara lain faktor genetik, lingkungan keluarga,

pergaulan (teman sebaya), dan karakteristik individu.

1. Faktor Genetik Risiko faktor genetik didukung oleh hasil penelitian

bahwa remaja dari orang tua kandung alkoholik mempunyai risiko 3-4

kali sebagai peminum alkohol dibandingkan remaja dari orang tua

angkat alkoholik.
Penelitian lain membuktikan remaja kembar monozigot mempunyai

risiko alkoholik lebih besar dibandingkan remaja kembar dizigot.

2. Lingkungan Keluarga

Ketidakharmonisan yang terus berlanjut sering berakibat

perceraian. Kalau pun keluarga ini tetap dipertahankan, maka yang ada

sebetulnya adalah sebuah rumah tangga yang tidak akrab dimana anggota

keluarga tidak merasa betah. Orangtua sering minggat dari rumah atau

pergi pagi dan pulang hingga larut malam. Ke mana anak harus

berpaling? Kebanyakan diantara penyalahguna NAPZA mempunyai

hubungan yang biasa-biasa saja dengan orang tuanya. Mereka jarang

menghabiskan waktu luang dan bercanda dengan orang tuanya (Jehani,

dkk, 2006).

3. Pergaulan (teman sebaya)

Di dalam mekanisme terjadinya penyalahgunaan NAPZA, teman

kelompok sebaya (peer group) mempunyai pengaruh yang dapat

mendorong atau mencetuskan penyalahgunaan NAPZA pada diri

seseorang. Menurut Hawari (2006) perkenalan pertama dengan NAPZA

justru datangnya dari teman kelompok. Pengaruh teman kelompok ini

dapat menciptakan keterikatan dan kebersamaan, sehingga yang

bersangkutan sukar melepaskan diri.

4. Karakteristik Individu

a. Umur

Berdasarkan penelitian, kebanyakan penyalahguna NAPZA


adalah mereka yang termasuk kelompok remaja. Pada umur ini

secara kejiwaan masih sangat labil, mudah terpengaruh oleh

lingkungan, dan sedang mencari identitas diri serta senang

memasuki kehidupan kelompok. Hasil temuan Tim Kelompok Kerja

Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba Departemen Pendidikan

Nasional menyatakan sebanyak 70% penyalahguna NAPZA di

Indonesia adalah anak usia sekolah (Jehani, dkk, 2006).

b. Pendidikan

Menurut Friedman (2005) belum ada hasil penelitian yang

menyatakan apakah pendidikan mempunyai risiko penyalahgunaan

NAPZA. Akan tetapi, pendidikan ada kaitannya dengan cara

berfikir, kepemimpinan, pola asuh, komunikasi, serta pengambilan

keputusan dalam keluarga.

c. Pekerjaan

Hasil studi BNN dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas

Indonesia tahun 2009 di kalangan pekerja di Indonesia diperoleh

data bahwa penyalahguna NAPZA tertinggi pada karyawan swasta

dengan prevalensi 68%, PNS/TNI/POLRI dengan prevalensi 13%,

dan karyawan BUMN dengan prevalensi 11% (BNN, 2010)

2.3.4 Tanda dan Gejala

1. Perubahan Fisik :

- Pada saat menggunakan NAPZA : jalan sempoyongan, bicara

pelo ( cadel ), apatis ( acuh tak acuh ), mengantuk, agresif.


- Bila terjadi kelebihan dosis ( Overdosis ) : nafas sesak, denyut

jantung dan nadi lambat, kulit teraba dingin, bahkan

meninggal.

- Saat sedang ketagihan ( Sakau ) : mata merah, hidung berair,

menguap terus, diare, rasa sakit seluruh tubuh, malas mandi,

kejang, kesadaran menurun.

- Pengaruh jangka panjang : penampilan tidak sehat, tidak

perduli terhadap kesehatan dan kebersihan, gigi keropos, bekas

suntikan pada lengan.

2. Perubahan sikap dan perilaku :

- Prestasi di sekolah menurun, tidak mengerjakan tugas sekolah,

sering membolos, pemalas, kurang bertanggung jawab.

- Pola tidur berubah, begadang, sulit dibangunkan pagi hari,

mengantuk di kelas atau tempat kerja

- Sering berpergian sampai larut malam, terkadang tidak pulang

tanpa ijin.

- Sering mengurung diri, berlama – lama di kamar mandi,

menghidar bertemu dengan anggota keluarga yang lain.

- Sering mendapat telpon dan didatangi orang yang tidak

dikenal oleh anggota keluarga yang lain.

- Sering berbohong, minta banyak uang dengan berbagai alasan

tapi tidak jelas penggunaannya, mengambil dan menjual

barang berharga milik sendiri atau keluarga, mencuri, terlibat


kekerasan dan sering berurusan dengan polisi.

- Sering bersikap emosional, mudah tersinggung, pemarah,

kasar, bermusuhan pencurigaan, tertutup dan penuh rahasia.

2.3.5 Dampak Penyalahgunaan NAPZA

1. Terhadap kondisi fisik

a. Akibat zat itu sendiri

Termasuk di sini gangguan mental organik akibat zat,

misalnya intoksikasi yaitu suatu perubahan mental yang terjadi

karena dosis berlebih yang memang diharapkan oleh

pemakaiannya. Sebaliknya bila pemakaiannya terputus akan

terjadi kondisi putus zat.

Contohnya :

1) Ganja : pemakaian lama menurunkan daya tahan sehingga

mudah terserang infeksi. Ganja juga memperburuk aliran

darah koroner.

2) Kokain : bisa terjadi aritmia jantung, ulkus atau perforasi

sekat hidung, jangka panjang terjadi anemia dan turunnya

berat badan.

3) Alkohol : menimbulkan banyak komplikasi, misalnya :

gangguan lambung, kanker usus, gangguan hati, gangguan

pada otot jantung dan saraf, gangguan metabolisme, cacat

janin dan gangguan seksual.


b. Akibat bahan campuran/pelarut : bahaya yang mungkin

timbul : infeksi, emboli.

c. Akibat cara pakai atau alat yang tidak steril

Akan terjadi infeksi, berjangkitnya AIDS atau hepatitis.

d. Akibat pertolongan yang keliru

Misalnya dalam keadaan tidak sadar diberi minum.

e. Akibat tidak langsung

Misalnya terjadi stroke pada pemakaian alkohol atau malnutrisi

karena gangguan absorbsi pada pemakaian alkohol.

f. Akibat cara hidup pasien

Terjadi kurang gizi, penyakit kulit, kerusakan gigi dan penyakit

kelamin.

2. Terhadap kehidupan mental emosional

Intoksikasi alkohol atau sedatif-hipnotik menimbulkan

perubahan pada kehidupan mental emosional yang bermanifestasi

pada gangguan perilaku tidak wajar. Pemakaian ganja yang berat

dan lama menimbulkan sindrom amotivasional. Putus obat golongan

amfetamin dapat menimbulkan depresi sampai bunuh diri.

3. Terhadap kehidupan social

Gangguan mental emosional pada penyalahgunaan obat akan

mengganggu fungsinya sebagai anggota masyarakat, bekerja atau

sekolah. Pada umumnya prestasi akan menurun, lalu


dipecat/dikeluarkan yang berakibat makin kuatnya dorongan untuk

menyalahgunakan obat.

Dalam posisi demikian hubungan anggota keluarga dan

kawan dekat pada umumnya terganggu. Pemakaian yang lama akan

menimbulkan toleransi, kebutuhan akan zat bertambah. Akibat

selanjutnya akan memungkinkan terjadinya tindak kriminal,

keretakan rumah tangga sampai perceraian. Semua pelanggaran,

baik norma sosial maupun hukumnya terjadi karena kebutuhan akan

zat yang mendesak dan pada keadaan intoksikasi yang bersangkutan

bersifat agresif dan impulsif (Alatas, dkk, 2006).

4. Terhadap Tingkah Laku

Menurut Prabowo, Eko 2014 menyatakan dampak narkoba

sebagai berikut :

a. Tingkah Laku Klien Pengguna Zat Sedatif Hipnotik

Menurunnya sifat menahan diri, jalan tidak stabil, koordinasi

motorik kurang, bicara cadel, bertele-tele, sering datang ke

dokter untuk minta resep, kurang perhatian, sangat gembira,

berdiam, (depresi), dan kadang bersikap bermusuhan, gangguan

dalam daya pertimbangan, dalam keadaan yang over dosis,

kesadaran menurun, koma dan dapat menimbulkan kematian,

meningkatkan rasa percaya diri


b. Tingkah Laku Klien Pengguna Ganja

Kontrol diri menurun bahkan hilang, menurunnya motivasi

perubahan diri, ephoria ringan.

c. Tingkah Laku Klien Pengguna Alcohol

Sikap bermusuhan, kadang bersikap murung, berdiam, kontrol

diri menurun, suara keras, bicara cadel,dan kacau, agresi, minum

alcohol pagi hari atau tidak kenal waktu, partisipasi di

lingkungan social kurang, daya pertimbangan menurun,

koordinasi motorik terganggu, akibat cenerung mendapat

kecelakaan, dalam keadaan over dosis, kesadaran menurun

bahkan sampai koma.

d. Tingkah Laku Klien Pengguna Opioda

Terkantuk-kantuk, bicara cadel, koordinasi motorik terganggu,

acuh terhadap lingkungan, kurang perhatian, perilaku

manipulatif, untuk mendapatkan zat adiktif, kontrol diri kurang.

e. Tingkah Laku Klien Pengguna Kokain

Hiperaktif, euphoria, agitasi, dan sampai agitasi, iritabilitas,

halusinasi dan waham, kewaspadaan yang berlebihan, sangat

tegang, gelisah, insomnia, tampak membesar –besarkan sesuatu,

dalam keadaan over dosis: kejang, delirium, dan paranoid.

f. Tingkah Laku Klien Pengguna Halusinogen

Tingkah laku tidak dapat diramalkan, tingkah laku merusak diri

sendiri, halusinasi, ilusi, distorsi (gangguan dalam penilaian,


waktu dan jarak), sikap merasa diri benar, kewaspadaan

meningkat, depersonalisasi, pengalaman yang gaib/ ajaib

2.3.6 Pohon Masalah

Risiko Bunuh Diri

Risiko perilaku kekerasan

Halusinasi Efek

Intoksikasi Core

Penyalahgunaan Zat Cause

Harga Diri Rendah

Gangguan Konsep
Diri

Koping individu
tidak efektif
Gambar 2.2 Pohon Masalah Remaja Penyalahgunaan NAPZA

2.3.7 Penatalaksanaan NAPZA

1. Pencegahan
Pencegahan penyalahgunaan NAPZA, meliputi (BNN, 2004) :

a. Pencegahan primer

Pencegahan primer atau pencegahan dini yang ditujukan kepada

mereka, individu, keluarga, kelompok atau komunitas yang memiliki


risiko tinggi terhadap penyalahgunaan NAPZA, untuk melakukan

intervensi agar individu, kelompok, dan masyarakat waspada serta

memiliki ketahanan agar tidak menggunakan NAPZA. Upaya

pencegahan ini dilakukan sejak anak berusia dini, agar faktor yang dapat

menghabat proses tumbuh kembang anak dapat diatasi dengan baik.

b. Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder ditujukan pada kelompok atau komunitas

yang sudah menyalahgunakan NAPZA. Dilakukan pengobatan agar

mereka tidak menggunakan NAPZA lagi.

c. Pencegahan tersier

Pencegahan tersier ditujukan kepada mereka yang sudah pernah

menjadi penyalahguna NAPZA dan telah mengikuti program terapi dan

rehabilitasi untuk menjaga agar tidak kambuh lagi. Sedangkan

pencegahan terhadap penyalahgunaan NAPZA yang kambuh kembali

adalah dengan melakukan pendampingan yang dapat membantunya

untuk mengatasi masalah perilaku adiksinya, detoksifikasi, maupun

dengan melakukan rehabilitasi kembali.

2. Pengobatan

Terapi pengobatan bagi klien NAPZA misalnya dengan

detoksifikasi. Detoksifikasi adalah upaya untuk mengurangi atau

menghentikan gejala putus zat, dengan dua cara yaitu:


a. Detoksifikasi Tanpa Subsitusi

Klien ketergantungan berhenti menggunakan zat yang

mengalami gajala putus zat tidak diberi obat untuk

menghilangkan gejala putus zat tersebut. Klien hanya dibiarkan

saja sampai gejala putus zat tersebut berhenti sendiri.

b. Detoksifikasi dengan Substitusi

Putau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan

jenis opiat misalnya kodein, bufremorfin, dan metadon.

Substitusi bagi pengguna sedatif-hipnotik dan alkohol dapat

dari jenis anti ansietas, misalnya diazepam. Pemberian

substitusi adalah dengan cara penurunan dosis secara bertahap

sampai berhenti sama sekali. Selama pemberian substitusi dapat

juga diberikan obat yang menghilangkan gejala simptomatik,

misalnya obat penghilang rasa nyeri, rasa mual, dan obat tidur

atau sesuai dengan gejala yang ditimbulkan akibat putus zat

tersebut (Purba, 2008).

3. Rehabilitasi

Rehabilitasi adalah upaya memulihkan dan mengembalikan kondisi

para mantan penyalahguna NAPZA kembali sehat dalam arti sehat

fisik, psikologik, sosial, dan spiritual. Dengan kondisi sehat tersebut

diharapkan mereka akan mampu kembali berfungsi secara wajar

dalam kehidupannya sehari-hari.

Menurut Hawari (2006) jenis-jenis rehabilitasi antara lain :


a. Rehabilitasi Medik

Rehabilitasi medik ini dimaksudkan agar mantan

penyalahgunaan NAPZA benar-benar sehat secara fisik.

Termasuk dalam program rehabilitasi medik ini ialah

memulihkan kondisi fisik yang lemah, tidak cukup diberikan

gizi makanan yang bernilai tinggi, tetapi juga kegiatan olahraga

yang teratur disesuaikan dengan kemampuan masing-masing

yang bersangkutan.

b. Rehabilitasi Psikiatrik

Termasuk rehabilitasi psikiatrik ini adalah

psikoterapi/konsultasi keluarga yang dapat dianggap sebagai

“rehabilitasi” keluarga terutama bagi keluarga-keluarga broken

home. Konsultasi keluarga ini penting dilakukan agar keluarga

dapat memahami aspek-aspek kepribadian anaknya yang terlibat

penyalahgunaan NAPZA, bagaimana cara menyikapinya bila

kelak ia telah kembali ke rumah dan upaya pencegahan agar

tidak kambuh.

c. Rehabilitasi Psikososial

Dengan rehabilitasi psikososial ini dimaksudkan agar peserta

rehabilitasi dapat kembali adaptif bersosialisasi dalam

lingkungan sosialnya, yaitu di rumah, di sekolah/kampus dan di

tempat kerja. Program ini merupakan persiapan untuk kembali

ke masyarakat. Oleh karena itu, mereka perlu dibekali dengan


pendidikan dan keterampilan misalnya berbagai kursus ataupun

balai latihan kerja yang dapat diadakan di pusat rehabilitasi.

Dengan demikian diharapkan bila mereka telah selesai

menjalani program rehabilitasi dapat melanjutkan kembali ke

sekolah/kuliah atau bekerja.

d. Rehabilitasi Psikoreligius

Rehabilitasi psikoreligius memegang peranan penting.

Unsur agama dalam rehabilitasi bagi para pasien penyalahguna

NAPZA mempunyai arti penting dalam mencapai

penyembuhan. Unsur agama yang mereka terima akan

memulihkan dam memperkuat rasa percaya diri, harapan dan

keimanan. Pendalaman, penghayatan dan pengamalan

keagamaan atau keimanan ini akan menumbuhkan kekuatan

kerohanian pada diri seseorang sehingga mampu menekan risiko

seminimal mungkin terlibat kembali dalam penyalahgunaan

NAPZA.

e. Forum Silaturahmi

Forum silaturahmi merupakan program lanjutan (pasca

rehabilitasi) yaitu program atau kegiatan yang dapat diikuti oleh

mantan penyalahguna NAPZA (yang telah selesai menjalani

tahapan rehabilitasi) dan keluarganya. Tujuan yang hendak

dicapai dalam forum silaturahmi ini adalah untuk memantapkan

terwujudnya rumah tangga/keluarga sakinah yaitu keluarga yang


harmonis dan religius, sehingga dapat memperkecil kekambuhan

penyalahgunaan NAPZA

f. Program Terminal

Pengalaman menunjukkan bahwa banyak dari mereka

sesudah menjalani program rehabilitasi dan kemudian mengikuti

forum silaturahmi, mengalami kebingungan untuk program

selanjutnya. Khususnya bagi pelajar dan mahasiswa yang karena

keterlibatannya pada penyalahgunaan NAPZA di masa lalu

terpaksa putus sekolah menjadi pengangguran; perlu menjalani

program khusus yang dinamakan program terminal (re-entry

program), yaitu program persiapan untuk kembali melanjutkan

sekolah/kuliah atau bekerja

2.4 Konsep Asuhan Keperawatan Keluarga Pada Remaja Penyalahgunaan


Napza; Ganja

2.4.1 Pengkajian

Format pengkajian keluarga model Friedman yang diaplikasikan ke

kasus dengan masalah utama Penyalahgunaan NAPZA menurut

Friedman (2015) meliputi:

a. Data Umum

Menurut Friedman (2015), data umum yang perlu dikaji adalah:

1) Nama kepala keluarga dan anggota keluarga, alamat, jenis

kelamin, umur, pekerjaan dan pendidikan. Pekerjaan yang

terlalu sibuk bagi orang tua mengakibatkan perhatian orang

tua terhadap tumbuh kembanga anak tidak ada dan keadaan


rumah juga tidak terurus jika orang tua terlalu sibuk dengan

pekerjaannya.

2) Tipe keluarga

Menjelaskan mengenai jenis tipe keluarga beserta kendala atau

masalah yang terjadi dengan jenis tipe keluarga tersebut

(Padila, 2012)

3) Status sosial ekonomi

Status sosial keluarga ditentukan oleh pendapatan baik dari

kepala keluarga maupun anggota keluarga lainnya. Selain itu

status sosial ekonomi keluarga ditentukan pula oleh

kebutuhan-kebutuhan yang dikeluarkan oleh keluarga serta

barang-barang yang dimiliki oleh keluarga (Padila, 2012).

b. Riwayat dan tahap perkembangan keluarga

1) Tahap perkembangan keluarga saat ini

Tahap perkembangan keluarga ditentukan dengan anak

tertua dari keluarga inti.

2) Tahap perkembangan keluarga yang belum terpenuhi

Menjelaskan tugas perkembangan yang belum terpenuhi

oleh keluarga serta kendala mengapa tugas tersebut belum

terpenuhi.

3) Riwayat keluarga inti

Menjelaskan mengenai riwayat kesehatan pada keluarga inti,

dijelaskan mulai lahir hingga saat ini yang meliputi riwayat

penyakit keturunan, riwayat kesehatan masing-masing


anggota keluarga, perhatian terhadap pencegahan penyakit

(status imunisasi), sumber pelayanan kesehatan yang biasa

digunakan keluarga serta pengalaman-pengalaman terhadap

pelayanan kesehatan (Candra, 2014).

c. Pengkajian Lingkungan

1) Karakteristik rumah

Karakteristik rumah diidentifikasi dengan melihat luas

rumah, tipe rumah, jumlah ruangan, jumlah jendela,

pemanfaatan ruangan, peletakan perabot rumah tangga, jenis

septic tank, jarak septic tank dengan sumber air minum yang

digunakan serta denah rumah.

2) Karakteristik tetangga dan komunitas RW

Menjelaskan mengenai karakteristik dari tetangga dan

komunitas setempat, yang meliputi kebiasaan, lingkungan

fisik, aturan/kesepakatan penduduk setempat, budaya

setempat yang mempengaruhi kesehatan.

3) Mobilitas geografis keluarga

Mobilitas geografis keluarga ditentukan dengan kebiasaan

berpindah tempat.

4) Perkumpulan keluarga dan interaksi dengan masyarakat

Menjelaskan mengenai waktu yang digunakan keluarga

untuk berkumpul serta perkumpulan keluarga yang ada dan

sejauh mana keluarga interaksinya dengan masyarakat.


5) Sistem pendukung keluarga

Jumlah keluarga yang sehat, fasilitas-fasilitas yang dimiliki

keluarga untuk menunjang kesehatan. Fasilitas mencakup

fasilitas fisik, fasilitas psikologis, atau dukungan dari

anggota keluarga dan fasilitas sosial atau dukungan dari

masyarakat setempat.

d. Fungsi keluarga

1) Fungsi afektif

Hal yang perlu dikaji seberapa jauh keluarga saling asuh dan

saling mendukung, hubungan baik dengan orang lain,

menunjukkan rasa empati, perhatian terhadap perasaan

(Friedman, 2015).

2) Fungsi sosialisasi

Dikaji bagaimana interaksi atau hubungan dalam keluarga,

sejauh mana anggota keluarga belajar disiplin, penghargaan,

hukuman, serta memberi dan menerima cinta (Friedman,

2010).

3) Fungsi perawatan kesehatan

a) Keyakinan, nilain dan prilaku kesehatan menjelaskan

nilai yang dianut keluarga, pencegahan, promosi

kesehatan yang dilakukan dan tujuan kesehatan keluarga

(Friedman, 2010). Biasanya keluarga tidak mengetahui


pencegahan yang harus dilakukan agar nak tidak

menyalahgunakan NAPZA.

b) Status kesehatan keluarga dan keretanan terhadap sakit

yang dirasa keluarga mengkaji status kesehatan, maslah

kesehatan yang membuat keluarga rentan terkena sakit

dan jumlah control kesehatan (Friedman, 2010). Biasanya

keluarga tidak mampu mengkaji status kesehatan

keluarga.

c) Praktik diet keluarga : keluarga mengetahui sumber

makanan yang dikonsumsi, cara menyiapkan makanan,

banyak makanan yang dikonsumsi perhari dan kebisaan

mengkonsumsi makanan kudapan (Friedman, 2010).

Biasanya keluraga tidak terlalu memperhatikan menu

makanan, sumber makanan dan banyak makanan tersedia.

d) Peran keluarga dalam praktik keperawatan diri : tindakan

yang dilakukan dalam memperbaiaki ststus kesehatan,

pencegahan penyakit, perawatan keluarga dirumah dan

keyakinan keluarga dalam perawatn dirumah (Friedman,

2015). Biasanya keluarga dengan remaja penyalahgunaan

NAPZA tidak tau cara pencegahannya.

e) Tindakan pencegahan secara medis : status imunisasi

anak, kebersuahan gigi setelah makan, dan pola keluarga

dalam mengkonsusmsi makanan ( Friedman, 2010).


Biasnya keluraga tidak membawa anaknya imunisasi ke

posyandu.

4) Fungsi reproduksi

Hal yang perlu dikaji mengenai fugsi reproduksi keluarga

adalah berapa jumlah anak, apa rencana keluarga berkaitan

dengan jumlah anggota keluarga, metode yang digunakan

keluarga dalam upya mengendalikan jumlah anggota

keluarga (Padila, 2012)

5) Fungsi ekonomi

Data ini menjelaskan mengenai kemampuan keluarga dalam

memenuhi sandang, pangan, papan, menabung, kemampuan

peningkatan ststus kesehatan ( Candra, 2014). Biasanya

keluarga belum bisa memenuhi kebutuhan sandang, panagn,

dan papan anggota keluarga.

b. Pemeriksaan fisik

1) Status kesehatan umum

Meliputi keadaan penderita, kesadaran,, suara bicara, tinggi

badan, berat badan dan tanda – tanda vital. Biasanya anggota

kluarga meempunyai BB rendah dan pernafasan cepat, klien

dengan pengguna napza biasanya akan dijumpai kondisi

yang disebut intoksikasi (teler) yang menyebabkan

perubahan memori, perilaku, kognitif, alam perasaan dan

kesadaran.
2) Kepala dan leher

Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran

pada leher, telinga kadang – kadang berdenging, adakah

pendenagaran, gigi mudah goyang, gusi mudah bengkak dan

berdarah. Biasanya anggota keluarga dengan

penyalahgunaan NAPZA terlihat pucat karena penurunan

nafsu makan.

3) Sistem pulmonal

Biasanya batuk (produktif/nonproduktif) dan anak biasanya

cengeng

4) Sistem kardiovaskuler

Biasanya anak mengalami sakit kepala, denyut nadi

meningkat, takikardi dan disritmia

5) Sistem neurosensori

Biasanya anak gelisah, terkadang ada yang mengalami

penurunan kesadaran, kejang, reflex menurun, letargi

6) Sistem genitourinaria

Bianya produksi urin meningkat

7) Sistem digestif

Biasanya mengalami mual, kadang muntah,, konsistensi

feces normal

8) Sistem muskuloskletal
Biasanya lemah, cepat lelah, tonus otot menurun, nyeri otot,

retraksi paru, penggunaan otot aksesoris pernafasan

9) Sistem integument

Biasanya anggota keluarga mempunyai turgor kulit

menurun, kulit pucat, sianosis, banyak keringat, suhu tubuh

meningkat.

2.4.2 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan keluarga merupakan perpanjangan

diagnosis ke sistem keluarga dan sub sistemnya serta

merupakan hasil pengkajian keperawatan. Diagnosis

keperawatan keluarga termasuk masalah kesehatan actual dan

potensial dengan perawat keluarga yang memiliki kemampuan

dan mendapatkan lisensi untuk menaganinya berdasarkan

pendidikan dan pengalaman (Friedman, 2015) Tipologi dari

diagnosa keperawatan adalah:

a. Diagnosa keperawatan keluarga actual (terjadi

deficit/gangguan kesehatan)

b. Diagnosa keperawatan keluarga resiko (ancaman)

dirumuskan apabila sudah ada data yang menunjang

namun belum terjadi gangguan

c. Diagnosa keperawatan sejahtera (potensial) merupakan

suatau keadaan diamana keluarga dalam kondisi sejahtera

sehingga kesehatan keluarga dapat ditingkatkan


Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada pasien

dengan penyalahgunaan NAPZA menurut problem NANDA

(2015-2017) adalah :

1. Risiko Bunuh Diri berhubungan dengan perilaku

kekerasan

2. Perilaku kekerasan berhubungan dengan halusinasi sensori

persepsi

3. Halusinasi persepsi sensori berhubungan dengan

intoksikasi akibat penyalahgunaan zat

4. Harga diri rendah

Kemungkinan diagnosa yang muncul pada keluarga dengan

penyalahgunaan NAPZA mengacu pada problem NANDA

(2015-2017) dan etiologi ( Friedman, 2015) adalah:

1. Ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan di keluarga

2. Kurang efektifnya koping keluarga

3. Kurang efektifnya pengelolaan kesehatan dalam keluarga

2.4.3 Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan keluarga dibuat berdasarkan pengkajian,

diagnosa keperawatan, pernyataan keluarga, dan perencanaan keluarga,

dengan merumuskan tujuan, mengidentifikasi strategi intervensi

alternative dan sumber, serta menentukan prioritas, intervensi tidak

bersifat rutin, acak atau standar, tetapi dirancang bagi keluarga tertentu

dengan siapa perawat keluarga sedang bekerja (Friedman, 2010).


Tabel 2.1 Rencana Keperawatan Keluarga Pada Remaja Penyalahgunaan
NAPZA ; Ganja

No Diagnosa Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)


keperawatan
1 Ketidakefektifan Keluarga mampu Keluarga mampu
pemeliharaan kesehatan mengenal masalah mengenal masalah
di keluarga tentang penetahuan fisiologis dan perubahan
kesehatan dan prilaku gaya hidup
- Pengetahuan - Pendidikan
manajemen kesehatan
Penyalahgunaan pengajaran proses
NAPZA penyakit yang
- Pengetahuan dialaminya
trikregment - Pendidikan proses
penyakit
- Pendidikan tentang
pengobatan
Keluarga mampu Keluarga mampu
memutuskan untuk memutuskan untuk
meningkatakan atau membantu diri sendiri
memeperbaiakia membangu kekuatan
kesehatan beradaptasi dengan
- Berpartisispasi perubahan fungsi, atau
dalam memutuskan mencapai fungsi yang
perawatan kesehatan lebih tinggi
- Dukung membuat
keputusan
- Membangun harapan
Keluarga mampu Keluarga mampu
merawat anggota keluarga merawat anggota
untuk meningkatkan atau keluarga yang sakit
memperbaiaki kesehatan - Dukungan pemberi
- Kemampuan keuarga keperawatan
memberikan - Membangaun
perawatan langsung hubungan saling
percaya
Keluarga mampu Keluarga mampu
memodfikasi lingkungan memodifiaksi lingkungan
control resiko dan dalam hal
keamanan - Identifikasi resiko
- Mengenali keampuan biologis, lingkungan,
untuk merubah dan prilaku seta
prilaku hubungan timbal
- Memodifikasi gaya balik
hidup untuk - Instruksikan factor
mengurangi resiko resiko dan rencana
untuk mengurangi
factor resiko
Keluarga mampu Keluarga mampu
memanfaatkan fasilitas memanfaatkan fasilitas
kesehatan kesehatan
- Pengetahuan sumber - Panduan pelayanan
kesehatan kresehatan
- Prilaku mencari - Mengunjungi fasilitas
peayanan kesehatan kesehatan
- Partisipasi keluarga - Manajemen informasi
dalam perawatan
keluarga
2` Kurang efektifnya Setelah dilakukan Setelah dilakukan
koping keluarga intervensi keperawatan intervensi keperawatan
keluarga mampu keluarga mampu
mengenal masalah mengenal masalah
- Pengelolaan stress - Teaching individual
- Pengelolaan - Teaching group
penyalahgunaan
NAPZA
- Pencegahan
penyalahgunaan
NAPZA
- Regimen pengobatan

Keluarga mampu Keluarga mampu


memutuskan untuk memutuskan
meningkatkan atau - Dukungan membuat
memperbaiki kesehatan keputusan
- Berpartisispasi dalam - Membangun harapan
memutuskan
perawatan kesehatan
Keluarga mampu Keluarga mampu
merawat: merawat
- Koping keluarga - Peningkatan koping
- Fungsi keluarga - Konseling
- Status kesehatan - Krisi intervensi
keluarga
- Suasana lingkungan
keluarga
Keluarga mampu Keluarga mampu
memodifikasi lingkungan memodifikasi lingkungan
- Komunikasi - Mendengar aktif
- Pengambilan - Mediasi konflik
keputusan
- Proses informasi
Keluarga mampu Keluarga mampu
memanfaatkan fasilitas memanfaatkan fasilitas
pelayanan kesehatan pelayanan kesehatan
- Pengetahuan tentang - Konsultasi
sumber kesehatan - Rujukan
- Perilaku mencari
pelayanan kesehatan
- Partisipsi keluarga
dalam perawatan
keluarga
3 Kurang efektifnya Setelah dilakukan Setelah dilakukan
pengelolaan kesehatan intervensi keperawatan intervensi keperawatan
dalam keluarga keluarga mampu keluarga mampu
mengenal masalah mengenal masalah
- Pengetahuan - Teaching individual
pengobatan - Teaching group
- Pengetahuan prosedur
pengobatan
Keluarga mampu Keluarga mampu
memutuskan : memutuskan
- Berpartisipasi dalam - Dukungan membuat
memutuskan perawat keputusan
kesehatan - Membangaun harapan
Keluarga mampu Keluarga mampu
merawat : merawat :
- Perilaku patuh - Penjelasan program
terhadap pengobatan pengobatan
- Peningkatan kualitas
tidur
Keluarga mampu Keluarga mampu
memodifikasi lingkungan memodifikasi
- Komunikasi lingkungannya:
- Pengambilan - Mendengar aktif
keputusan - Mediasi konflik
- Proses informasi
Keluarga mampu Keluarga mampu
memanfaatkan fasilitas memanfaatkan fasilitas
pelayanan kesehatan: pelayanan kesehatan:
- Pengetahuan tentang - Konsultasi
sumber kesehatan - Rujukan
- Perilaku mencari
pelayanan kesehatan
- Partisipasi keluarga
dalam perawatan
keluarga
4 Risiko Perilaku - Klien tidak ˗ Beri salam/panggil
Mencederai diri mencederai diri nama
berhubungan dengan sendiri,orang lain dan ˗ Sebut nama perawat
perilaku kekerasan lingkungan sambil jabat tangan
- Klien dapat membina ˗ Jelaskan maksud
hubungan saling hubungan interaksi
percaya ˗ Jelaskan tentang
- Klien dapat kontak yang akan
mengidentifikasi dibuat
penyebab perilaku ˗Beri rasa aman dan
kekerasan sikap empati
- Klien dapat˗ Lakukan kontak
mengidentifikasi singkat tetapi sering
tanda dan gejala ˗ Beri kesempatan
perilaku kekerasan untuk
- Klien dapat mengungkapkan
mengidentifikasi perasaannya
perilaku kekerasan ˗ Bantu klien untuk
yang bias dilakukan mengungkapkan
- Klien dapat penyebab perasaan
mengidentifikasi jengkel/kesal
akibat perilaku˗ Anjurkan klien
kekerasan mengungkapkan apa
yang dialami dan
dirasakannya saat
jengkel/marah
˗ Observasi tanda dan
gejala perilaku
kekerasan pada klien
˗ Simpulkan bersama
klien tanda dan gejala
jengkel /kesal yang
dialami klien
5 Harga Diri Rendah - Setelah 2x interaksi, Bina hubungan saling
klien menunjukkan percaya dengan
ekspresi wajah menggunakan prinsip
bersahabat, komunikasi terapeutik:
menunjukkan rasa Beri salam setiap
senang, ada kontak berinteraksi.
mata, mau berjabat Perkenalkan nama, nama
tangan, mau panggilan perawat dan
menyebutkan nama, tujuan perawat
mau menjawab salam, berkenalan
klien mau duduk Tanyakan dan panggil
berdampingan dengan nama kesukaan klien
perawat, mau a. Jelaskan tujuan
mengutarakan pertemuan
masalah yang b. Jujur dan menepati
dihadapi janji
c. Tunjukkan sikap
empati dan
menerima klien
apa adanya
- Beri perhatian dan
perhatikan kebutuhan
dasar klien
- Diskusikan dengan
klien tentang :
a. Aspek positif yang
dimiliki klien,
keluarga,
lingkungan
b. Kemampuan yang
dimiliki klien
- Bersama klien buat
daftar tentang
a. aspek positif
klien, keluarga,
lingkungan
b. kemampuan yang
dimiliki klien

2.4.4 Implementasi Keperawatan


Implementasi keperawatan keluarga adalah suatu proses

aktualisasi rencana intervensi yang memanfaatkan berbagai sumber di

dalam keluarga dan memandirikan keluarga dalam bidang kesehatan.

Keluarga dididik untuk dapat menilai potensi yang dimiliki mereka dan

mengembangkannya melalui implementasi yang bersifat memampukan

keluarga untuk mengenal masalah kesehatannya, mengambil keputusan

berkaitan dengan persoalan kesehatanyang dihadapi, merawat dan

membina anggota keluarga sesuai kondisi kesehatannya, memodifikasi

lingkungan yang sehat bagi setiap anggota keluarga, serta

memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan terdekat (Sugiharto, 2012)

Tindakan yang dilakukan perawat kepada keluarga berdasarkan

perencanaan yang mengacu pada diagnosa yang telah ditegakkan dan

dibuat sebelumnya. Tindakan keperawatan terhadap keluarga mencakup

hal-hal dibawah ini (Muhlisin, 2012):

a. Menstimulasi kesadaran atau penerimaan keluarga mengenai

masalah dan kebutuhan kesehatan.


b. Menstimulasi keluarga untuk memutuskan cara perawatan yang

tepat.

c. Memberikan kepercayaan diri dalam merawat anggota keluarga

yang sakit.

d. Membangun keluarga untuk menemukan cara bagaimana membuat

lingkungan menjadi sehat.

e. Memotifasi keluarga untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan yang

ada

2.4.5 Evaluasi Keperawatan

Evaluasi didefenisikan sebagai keputusan dari efektifitas asuhan

keperawatan antara dasar tujuan keperawatan klien yang telah

ditetapkan dengan respon prilaku klien yang tampil (Mura, 2011).

Evaluasi disusun dengan metode SOAP dengan keterangan antara lain

yang pertama subjektif (S) adalah hal-hal yang ditemukan keluarga

secara subjektif setelah dilakukan intervensi keperawatan. Kedua

objektif (O) adalah hal-hal yang ditemukan oleh perawat secara

objektif setelah dilakukan intervensi keperawatan, ketiga analisa (A)

adalah hasil yang telah dicapai dengan mengacu kepada kepada tujuan

terkait dengan diagnosa keperawatan, yang terakhir adalah

perencanaan (P) adalah perencanaan yang akan datang setelah melihat

respon dari keluarga pada tahap evaluasi (Muhlisin, 2012)


DAFTAR PUSTAKA

Ali, M., & Asrori, M. (2010). Psikologi remaja: Perkembangan peserta didik.
Edisi ke-6. Jakarta: Media Grafika.

Alwisol. (2006). Psikologi Kepribadian (Edisi Revisi). Malang: UMM Press.

Camellia, V., (2010). Gangguan Sehubungan Kanabis. Medan: Departemen


Psikiatri FK USU.

Chandra, B. (2009). Metodelogi Penelitian Kesehatan, Jakarta : EGC.

Depkes. (2002). Keputusan Menteri kesehatan RI tentang pedoman


penyelenggaraan sarana pelayanan rehabilitasi penyalahgunaan dan
ketergantungan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA).
Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Depkes. (2001). Buku pedoman tentang masalah medis yang dapat terjadi di tempat
rehabilitasi pada pasien ketergantungan NAPZA. Jakarta: Direktorat
Kesehatan Jiwa Masyarakat

Duvall, E & Miller, C. M. (1985). Marriage and family development. 6th Ed. New
York: Harper & Row Publisher.

Fatimah, E. ( 2006). Psikologi Perkembangan. Bandung: Pustaka Setia Bandung

Friedman. (2015). Buku ajar : Keperawatan Keluarga Riset, Teori & Praktik.
Jakarta : EGC.

Gunarsa & Gunarsa. (2008). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Jakarta:
Gunung Mulia.

Hawari, D. (2006). Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAZA (Narkotika,


alkohol dan zat adiktif). Jakarta : FKUI.

Hurlock, E. B (1998). Development psychology: a life span approach. 5th Ed.


London: McGraw Hill Inc.

Joewana, S. (2004). Gangguan Mental dan Prilaku Akibat Penggunaan Zat


Psikoaktif. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Kemenkes RI. (2014). Buletin Jendela Data dan informasi Kesehatan. Jakarta
Mubarak, dkk. (2009). Ilmu keperawatan komunitas: Konsep dan aplikasi.
Jakarta: Salemba Medika.

NANDA (2015). Diagnosa Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi


10. (Budi Anna Keliat dkk, penerjemah). Jakarta : EGC.

Padila. (2012). Buku ajar : Keperawatan Keluarga. Yogyakarta : Nuha Medika.

Potter, P. A & Perry, A. G. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: konsep,


proses dan praktik. Jakarta: EGC.

Purba. (2008). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Masalah Psikososial dan
Gangguan Jiwa. Medan : USU Press.

Purwanto, H. (1999). Pengantar perilaku manusia untuk keperawatan. Jakarta:


EGC.

Prabowo, Eko. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Nuha
Medika: Yogyakarta

Rima Melati.(2014). Perilaku Sosial Remaja Putri Penyalah Guna Narkoba Di


Perumahan BTN Manggar Balikpapan Timur. Kalimantan Timur,
Universitas Mulawarman.

Santrock, J. W. (2007). Perkembangan anak edisi kesebelas jilid 2. Jakarta:


Erlangga

Setiadi. (2008). Konsep dan proses keperawatan keluarga edisi pertama.


Yogyakarta: Graha ilmu.

Soetijiningsih. (2004). Buku Ajar : Tumbuh Kembang Remaja dan


Permasalahannya. Jakarta : Sagung Seto.

Suprajitno. (2004). Asuhan keperawatan keluarga. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Sumiati, dkk. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien Penyalahgunaan dan


Ketergantungan NAPZA. Jakarta : Trans Info Media

Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, 2009.


Asa Mandiri. Jakarta.

Yusuf, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Salemba Medika:
Jakarta
10
11
12
13
10

Вам также может понравиться