Вы находитесь на странице: 1из 20

Jurnal Antikorupsi INTEGRITAS, 5 (1), 55-74

e-ISSN/p-ISSN: 2615-7977/2477-118X
DOI: https://doi.org/10.32697/integritas.v5i1.413
©Komisi Pemberantasan Korupsi

Politik Uang dan New Normal


dalam Pemilu Paska-Orde Baru
Burhanuddin Muhtadi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah

burhanuddin.muhtadi@uinjkt.ac.id

Abstract
How many voters sell their votes in Indonesia, and how effective is it? Elaborated from a
wide range of survey methods —whether individual, observational, or derived from the list-
experiment, the proportion of voters participating in vote-buying in the 2019 election was
between 19,4% and 33,1%. This range is comparatively high by international standards,
with Indonesia’s level of vote buying being the third largest in the world. Given that the list-
experiment and the straight-forward survey questions result inconsistent findings, it can be
concluded that vote buying is less likely to be stigmatized, and such practice has become a
new normal during the election. This study also finds that Indonesia’s open-list proportional
system shapes the supply-side of vote buying. Under such an electoral system, candidates
are forced to compete against co-partisans for personal votes. And because, according to
the open-list system, a seat (or seats) secured by a party must be allocated to that party’s
candidates who obtained the most individual votes, candidates only need to win a small
slice of the votes to defeat their co-partisans. To do so, they need to differentiate themselves
from their party peers, including by buying votes.

Keywords: Vote Buying, Intra-Party Competition, Open-List Proportional System

Abstrak
Seberapa banyak politik uang di Indonesia, dan seberapa efektif mempengaruhi pilihan?
Tulisan ini coba menjawab dua pertanyaan penting yang selama ini menghantui para ahli
tentang Indonesia. Dengan menggunakan banyak metode, baik individual, observasional
dan teknik eksperimental, proporsi pemilih yang terlibat politik uang dalam Pemilu 2019
di kisaran 19,4% hingga 33,1%. Kisaran politik uang ini sangat tinggi menurut standar
internasional, dan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan peringkat politik
uang terbesar nomor tiga sedunia. Desain eksperimen juga menghasilkan temuan yang
konsisten dengan pertanyaan langsung, sehingga bisa disimpulkan bahwa politik uang
telah menjadi praktik normal baru dalam pemilu kita. Studi ini menegaskan bahwa
sistem proporsional terbuka berkontribusi atas maraknya politik uang karena caleg
dipaksa bertarung antarsesama caleg dalam satu partai untuk mengejar personal vote.
Kemudian karena kursi yang diperoleh partai diberikan kepada kandidat dengan suara
terbanyak, maka mereka hanya memerlukan “sedikit” suara untuk mengalahkan rival
separtainya. Politik uang merupakan mekanisme diferensiasi seorang caleg dalam rangka
memberi nilai lebih di mata pemilih dibanding pesaing internal.

Kata Kunci: Politik Uang, Persaingan Internal, Sistem Proporsional Terbuka

55
Burhanuddin Muhtadi

Pendahuluan sikap dan perilaku terhadap nilai-nilai


Secara kuantitas, Indonesia adalah tertentu dalam tingkat individu yang
negara demokrasi terbesar ketiga setelah dilakukan dengan penuh komitmen
India dan Amerika Serikat. Namun secara secara konsisten.”2 Pemilu yang
administrasi elektoral, Indonesia lebih berintegritas terjadi pada dua level
kompleks ketimbang India dan Amerika sekaligus: pemilih dan politisi. Jika
Serikat. Di India dan Amerika, pemilu pemilih berintegritas, maka ia akan
tidak diselenggarakan dalam waktu memilih calon presiden dan wakil
bersamaan. Di India, pemilu dilaksanakan presiden maupun calon anggota
berminggu-minggu, sementara di Amerika DPD/DPR/DPRD I/DPRD II yang tidak
mengenal istilah pemilu sela yang melakukan praktik politik uang,
dilakukan di luar jadwal pemilihan penggelapan pajak, korupsi, tindakan
presiden. Indonesia menyelenggarakan asusila/etika, dan tindakan SARA.
pemilu legislatif dan pemilu presiden Demikian juga politisi yang berintegritas
secara serentak dalam satu hari pada tentu takkan menggunakan cara-cara
tanggal 17 April 2019. Total haram di atas dalam meraih suara dalam
penyelenggara pemilu mencapai lebih pemilu.3
dari 7,3 juta orang dengan total daftar Terwujudnya politik elektoral yang
pemilih tetap mencapai 192 juta. berintegritas menjadi pintu masuk
Meskipun masih banyak kekurangan, keberhasilan pemberantasan korupsi di
rekam jejak penyelenggaraan pemilu Indonesia. Namun sayangnya, studi
secara umum baik. Hasil Exit Poll menunjukkan bahwa agenda peningkatan
Indikator Politik Indonesia menunjukkan integritas politik elektoral kita dihambat
sebanyak 93,8% responden yang oleh maraknya politik uang (Muhtadi,
diwawancarai setelah mencoblos pada 2019; Aspinall dan Berenschot, 2019).
April 2019 mengatakan bahwa pemilu Kasus mutakhir adalah Operasi Tangkap
telah dilaksanakan secara demokratis.1 Tangan terhadap Bowo Sidik Pangarso
Namun itu bukan berarti pemilu dimana KPK juga menemukan 400 ribu
kita jauh dari masalah. Rendahnya amplop dengan total 8 miliar rupiah yang
integritas pemilu masih menjadi agenda siap digunakan Bowo untuk “serangan
yang belum terselesaikan. Komisi fajar” pemilu (Detik.com, 29/03/2019).
Pemberantasan Korupsi (KPK) Stokes (2005) mengingatkan ancaman
mendefinisikan integritas sebagai politik uang terhadap munculnya
“kesatuan dan keselarasan akan pikiran, akuntabilitas terbalik (perverse
accountability).4 Demokrasi adalah
1
Populasi Exit Poll adalah seluruh pemilih mekanisme kontrol masyarakat terhadap
yang datang ke TPS dalam pemilihan umum negara dan pencarian tanggung jawab
2019. Sampel dipilih dengan metode pejabat publik oleh masyarakat
stratified systematic two-stage random
sampling. Margin of error (MoE) Exit Poll (accountability). Namun mekanisme
diperkirakan ±2% pada tingkat kepercayaan
95%, asumsi simple random sampling. 2
Laporan Hasil Penelitian, “Survei Persepsi
Responden terpilih diwawancarai lewat tatap Masyarakat Terhadap Integritas Pemilu
muka oleh pewawancara yang telah dilatih. 2013,” Direktorat Penelitian dan
Dari 3000 TPS yang direncanakan, sebanyak Pengembangan KPK, h. V.
3
25 TPS tidak bisa dijangkau dalam durasi Ibid.
yang ditentukan, terutama di wilayah Papua. 4
Stokes, S.C (2005), “Perverse
Dengan demikian total sampel yang dianalisis Accountability: A Formal Model of Machine
sebanyak 2975 responden, yang berasal dari Politics with Evidence from Argentina,”
2975 TPS. American Political Science Review 99 (3).

56
Politik Uang dan New Normal dalam Pemilu Paska-Orde Baru

akuntabilitas ini berubah arah jika politisi setelah dukungan itu diberikan. Kedua,
telah membeli suara. Bukan politisi yang strategi politik uang grosiran, kolektif dan
berhak untuk dimintai lebih bersifat jangka panjang dengan
pertanggungjawaban atas suara yang menyalahgunakan kebijakan programatik
diberikan pemilih, tapi pemilihlah yang seperti bantuan sosial atau hibah maupun
justru dimintai pertanggungjawabannya dana pork barrel untuk kepentingan
karena mereka sudah menukar mandat elektoral.
demokratik yang mereka miliki dengan Secara teoretik, ada beberapa faktor
harga yang murah. yang diduga mempengaruhi tinggi
Fokus tulisan ini adalah praktik rendahnya politik uang. Salah satu faktor
politik uang yang melibatkan politisi dan penting yang dipercaya menyumbang
pemilih dalam pemilu legislatif. Jika insiden politik uang adalah desain
menggunakan estimasi paling tinggi, lebih institusi politik, termasuk sistem
dari sepertiga pemilih pada Pemilu 2019 multipartai ekstrem (van de Walle, 2007).
lalu terpapar praktik jual-beli suara, Sebagaimana kita tahu, Indonesia paska-
sehingga menempatkan Indonesia berada Soeharto, memasuki era multipartai. Pada
di peringkat tiga besar negara yang paling Pemilu Legislatif 2019, 16 partai nasional
banyak melakukan politik uang di dunia. berkompetisi memperebutkan 575 kursi
Politik uang bukan lagi sesuatu yang tabu di tingkat pusat, naik dari 12 partai yang
dalam pemilu dan telah menjadi berlaga di 2014, 38 partai di 2009, 24
normalitas baru (new normal) dalam partai pada 2004 dan 48 partai pada
pemilu paska-Orde Baru. Desain institusi, 1999. Pada saat yang sama, sebagian
terutama sistem proporsional terbuka, besar partai relatif baru tanpa kredibilitas
terbukti menyumbang maraknya insiden politik yang memadai (Vlaicu, 2016).
politik uang. Tulisan ini Secara umum, partai juga tidak memiliki
merekomendasikan evaluasi menyeluruh diferensiasi ideologis, sehingga pemilih
terhadap sistem proporsional terbuka sulit membedakan satu partai dengan
agar praktik politik uang tidak lagi partai yang lain. Akibatnya, perilaku
menjadi rutinitas biasa dalam pemilu- pemilih lebih ditentukan strategi
pemilu di Indonesia ke depan. kampanye personal yang dijalankan calon
ketimbang platform partai.
Penjelasan Institusional. Desain kelembagaan politik lainnya
Secara umum, politik uang dapat yang dianggap berkontribusi terhadap
dipahami sebagai bentuk mobilisasi maraknya jual beli suara adalah sistem
elektoral dengan cara memberikan uang, pemilu. Hicken (2007a: 49) misalnya
hadiah atau barang kepada pemilih agar berpendapat, “all else being equal, where
dicoblos dalam pemilu. Sejumlah studi electoral systems limit voters to a single
merujuk politik uang pada teori distribusi choice among parties, as in closed-list
politik yang dapat dibedakan dalam dua proportional representation systems,
bentuk (Muhtadi, 2018a). Pertama, politik candidates are more likely to rely on party-
uang yang spesifik menunjuk pada centred strategies.” Dalam sistem
strategi retail jual beli suara (vote buying). proporsional tertutup dimana pemilih
Dari segi waktu biasanya dilakukan jelang hanya berhak memilih partai, kandidat
pemilu atau apa yang kita kenal dengan cenderung menggunakan strategi
“serangan fajar.” Kadang dilakukan kampanye berbasis partai. Inilah yang
prabayar sebelum hari-H pemilihan, terjadi pada pemilu 1999 ketika kita
kadang juga dilakukan paska-bayar memakai proporsional tertutup. Agar

57
Burhanuddin Muhtadi

terpilih, caleg harus mengampanyekan insentif kuat kepada calon untuk


program partai selain juga fokus pada melakukan politik uang (Hicken, 2007a).
nomor urut. Mereka ramai-ramai Kompetisi antarcalon di internal partai
memperebutkan “nomor topi” karena makin sengit. Namun, berhubung MK
nomor urut atas dianggap memperbesar memutuskan suara terbanyak menjelang
peluang lolos ke Senayan. Pada Pemilu Pemilu 2009, banyak caleg yang tidak
2004 sistem pemilu berubah menjadi punya waktu cukup mengubah strategi
semi-proporsional terbuka berdasarkan kampanye dari party-based ke
UU Pemilu No. 12/2003. Meskipun personality-centred campaign.
pemilih mulai dibolehkan mencoblos Lain halnya dengan Pemilu 2014.
nama kandidat, secara umum aturan main Jauh-jauh hari caleg sudah menyiapkan
masih memprioritaskan caleg yang strategi dan amunisi menghadapi pemilu
menempati nomor urut atas (Sherlock, yang murni menggunakan sistem
2009). Sebagaimana ditunjukkan oleh proporsional terbuka (Aspinall dan
Tabel 1, pada tahun 2004, suara partai Sukmajati, 2016). Akibatnya, tekanan
dan nomor urut topi menjadi faktor caleg mengejar suara personal meningkat,
determinan lolosnya caleg ke DPR. sehingga taktik kampanye termasuk
dengan menggunakan jual beli suara
Tabel 1. Nomor Urut Caleg DPR Terpilih pada sebagai bagian diferensiasi dengan caleg
2004, 2009, dan 2014 sesama partai makin menjadi pilihan.
No Periode Periode Periode Maka untuk membuktikan bahwa pemilu
urut 2004-2009 2009-2014 2014-2019 di Indonesia makin mengarah ke
Total % Total % Total %
candidate-centric, penulis
1 405 73,6 360 64,4 348 62,14
membandingkan total suara yang masuk
2 104 19 104 18,6 95 16,96
berdasarkan pilihan kepada partai murni
3 32 5,8 40 7,2 25 4,46
dan suara yang diberikan kepada caleg
4 9 1,6 55 9,8 92 16,44
atau
(candidate votes) pada Pemilu 2004, 2009,
lebih dan 20145.
Sumber: diolah dari data KPU terkait hasil pemilu legislatif Survei nasional International
2004, 2009, dan 2014.
Republican Institute (Mei–Juni 2008)
menemukan bahwa pada Pemilu 2004,
Namun, jelang Pemilu 2009
47,2% responden mengaku memilih
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan
caleg, 35,4% mencoblos gambar partai
uji materi yang memungkinkan caleg yang
saja, dan 17,4% lupa apakah partai atau
terpilih berdasarkan suara terbanyak.
caleg yang mereka pilih. Pada 2009,
Sistem proporsional terbuka inilah yang
ketika sistem proporsional terbuka
mengubah strategi kampanye dari
pertama kali diintrodusir, data Komisi
berbasis partai menjadi candidate-centred
Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan
dimana caleg ramai-ramai mengejar suara
bahwa sebanyak 69% dari total
personal (personal vote) tanpa terlalu
104,099,785 suara sah mencoblos
mengandalkan nomor urut (Carey dan
kandidat atau memilih partai dan caleg
Shugart, 1995: 417). Akibatnya, caleg
yang terpilih, meskipun ditempatkan di
5
nomor urut bawah, makin meningkat Untuk lebih jelasnya, lihat Burhanuddin
Muhtadi, “Buying Votes in Indonesia:
proporsinya (Tabel 1). Dibanding Partisans, Personal Networks, and Winning
proporsional tertutup, sistem Margins,” A PhD thesis for the degree of
proporsional terbuka juga memberi doctor of philosophy, The Australian
National University (2018a), hal. 22-24.

58
Politik Uang dan New Normal dalam Pemilu Paska-Orde Baru

dalam satu partai. Berdasarkan Exit Poll dan DPRD Kabupaten/Kota, proporsi
LSI pada Pemilu 2009, dari 3685 pemilih yang mencoblos nama kandidat
responden yang diwawancarai secara saja bahkan lebih tinggi, yakni masing-
acak setelah mereka keluar dari TPS, masing mencapai 47,5% dan 52,1%
38,1% responden mencoblos caleg saja (Tabel 2). Jadi semakin rendah level
dan 34,7% memilih partai dan nama pemilu legislatif, caleg cenderung makin
caleg dalam satu partai, sehingga total menggunakan strategi personal vote dan
pemilih yang menunjukkan preferensinya semakin besar kecenderungan pemilih
kepada caleg mencapai 72,8%.6 Pada mencoblos nama caleg ketimbang partai.
Pemilu 2014 yang juga menggunakan Jadi terdapat bukti empiris yang kuat
sistem pemilu yang sama dengan 2009, bahwa penerapan sistem proporsional
KPU menemukan 70% dari total terbuka sejak Pemilu 2009 hingga
124,972,491 suara sah menunjukkan sekarang berkontribusi atas naiknya
preferensinya kepada kandidat dan hanya pengaruh kandidat dalam menentukan
30% yang mencoblos gambar partai saja. hasil akhir pemilu. Naiknya pengaruh
Singkat kata, data menunjukkan tren kandidat dalam merebut suara ini
naiknya preferensi pemilih dalam berkorelasi dengan meningkatnya insiden
mencoblos nama kandidat ketimbang politik uang dari pemilu ke pemilu,
partai saja. seperti yang akan diulas di bagian lain
Survei masif yang dilakukan tulisan ini.
Indikator Politik Indonesia di 56 daerah
pemilihan (dapil) pada Februari 2014 Tabel 2. Personal Votes pada Pemilu Legislatif
dengan total responden mencapai 43510 2014 (%)
juga menunjukkan peran kandidat yang Cara Pemilih DPR DPRD DPRD
makin besar dalam menyumbang suara. Mencoblos Surat Pusat Provinsi Kab/Kota
Survei LSI dan La Trobe University di Suara

Sulawesi Utara dan Maluku pada Oktober


Partai saja 27,3 23,7 16,8
2012 juga menyimpulkan hal yang sama Nama caleg saja 44,5 47,5 52,1
bahwa pemilih makin tertarik untuk Partai dan caleg 22,5 21,0 23,1
memilih ketokohan caleg ketimbang dalam satu
partai sang caleg itu sendiri. Survei paska- partai
pemilu 2014 yang dilaksanakan LSI Lebih dari satu 0,1 0,1 0,1
partai dan caleg
memberikan potret yang lebih detail
Sengaja 0,1 0,2 0,2
kecenderungan pemilih dalam mencoblos mencoblos
kandidat ketimbang partai. Pada secara tidak sah
pemilihan DPR Pusat, sebanyak 44,5% Menolak 1,9 2,7 2,0
responden mengaku mencoblos nama menjawab
Lupa 3,6 4,7 5,6
kandidat saja dan 22,5% menandai
gambar partai dan nama kandidat
Kerangka institusional yang
sekaligus. Pada Pemilihan DPRD Provinsi
menjadi bahan bakar yang menyuburkan
praktik politik uang tersebut di atas
6
Data ini awalnya tidak masuk dalam laporan berkorelasi dengan makin berkurangnya
Exit Poll Lembaga Survei Indonesia (LSI) akar kepartaian kita di masyarakat. Hal ini
pada 2009
(http://www.lsi.or.id/riset/357/efek-
ditandai oleh makin merosotnya identitas
kampanye-terbuka-menjelang-pemilu- pemilih terhadap partai (party ID) dan
legislatif-2009), kemudian penulis analisis keanggotaan dalam partai (party
untuk kepentingan studi ini.

59
Burhanuddin Muhtadi

membership). Afiliasi pemilih terhadap kita? Studi politik uang di Indonesia


partai turun drastis selama hampir dua sebelumnya banyak yang memakai
dekade terakhir. Pada 1999 ketika kita pendekatan kualitatif (Choi, 2007; Hadiz,
masih menggunakan proporsional 2010; Aspinall dan Sukmajati, 2016).
tertutup, 86% pemilih merasa dekat Meskipun studi ini berjasa meningkatkan
dengan partai.7 Pada Mei 2019, survei LSI pemahaman kita tentang praktik
menunjukkan hanya 12% pemilih yang klientelistik, pendekatan kualitatif kurang
memiliki party ID. Hal ini paralel dengan mampu menjelaskan secara memuaskan
tren merosotnya keanggotaan partai sejak sekup politik uang, pola maupun efeknya
tahun 2004-2014, seperti yang dicatat LSI terhadap pilihan (Gonzalez-Ocantos et
dan Indikator Politik Indonesia. Grafik 1 al., 2012: 203). Selain itu literatur
menunjukkan pada Agustus 2004, masih tentang politik uang di Indonesia banyak
ada 10% pemilih yang mengaku bagian yang mengandalkan data anekdotal yang
dari anggota aktif atau pasif partai kadang berbau rumor dan klaim
tertentu. Namun proporsi ini tinggal 1,5% (Corstange, 2012: 483). Akibatnya,
pada pertengahan 2014. Penurunan sedikit yang kita ketahui berapa
tingkat party ID dan party membership ini sebenarnya warga yang menerima politik
membuktikan bahwa pemilu kita makin uang? Seberapa besar efek elektoral
mengarah ke personalisasi (candidate- politik uang? Kalaupun toh ada studi
centred), dan makin memberikan insentif politik uang yang menggunakan metode
bagi kandidat untuk melakukan taktik kuantitatif, banyak diantaranya yang
klientelistik dalam merebut suara pemilih. memakai metodologi dan pengukuran
yang berbeda-beda, sehingga tidak bisa
dibandingkan secara internasional.
Survei nasional yang penulis
lakukan paska-pemilu 2014 dan 2019
sengaja didesain untuk menjawab secara
sistematik berapa banyak pemilih di
Indonesia yang terpapar politik uang
dengan metodologi dan pertanyaan yang
bisa dibandingkan dengan negara-negara
lain. Namun demikian, berhubung insiden
Sumber: Data survei nasional Lembaga Survei Indonesia
politik uang lebih banyak terjadi di pemilu
(LSI), Indikator Politik Indonesia, dan Saiful Mujani
Research and Consulting (SMRC) legislatif (Muhtadi, 2018a; Muhtadi,
2019), tulisan ini akan lebih banyak
Grafik 1. Tren keanggotaan partai in menampilkan data-data politik uang yang
Indonesia, 2004–2014 (%)
terjadi di pemilihan anggota parlemen
ketimbang jenis pemilu yang lain. Studi ini
Prevalensi Politik Uang di Pemilu
banyak mengandalkan data survei paska-
2019.
pemilu 2019 yang dilaksanakan di
Lantas, pertanyaan pertama yang
lapangan tanggal 11–17 Mei 2019. Dalam
harus dijawab adalah seberapa besar
survei tersebut, LSI bekerjasama dengan
insiden politik uang terjadi dalam pemilu
Australian National University (ANU)
telah mewawancarai 1210 responden
7
Lebih jauh soal party ID, lihat Burhanuddin yang dipilih melalui metode multistage
Muhtadi, Vote Buying in Indonesia The
random sampling, dengan margin of error
Mechanics of Electoral Bribery, (Singapore:
Springer), h. 138-141. ± 2.9% pada tingkat derajat kepercayaan

60
Politik Uang dan New Normal dalam Pemilu Paska-Orde Baru

95% confidence level. Studi ini juga Kedua, pertanyaan dalam tiga skala
menggunakan data pembanding dari yang juga tanpa menyebut eksplisit
survei post-election 2014 yang penulis Pemilu 2019. Pertanyaan yang digunakan:
laksanakan pada 22-26 April 2014 dengan “Kejadian-kejadian berikut ini kadang
metodologi dan pertanyaan yang sama.8 terjadi pada setiap penyelenggaran
Berhubung politik uang selalu pemilu di tanah air. Apakah Ibu/Bapak
diasosiasikan dengan stigma negatif, pernah ditawari uang atau barang agar
maka studi yang penulis lakukan memilih partai atau calon anggota DPR?”
mengikuti metode yang dikembangkan Jawaban yang tersedia adalah “tidak,” “ya,
Brusco dan kawan-kawan (2004: 69), hanya sekali atau dua kali,” atau “ya,
yakni dengan memotret malpraktik beberapa kali.” Sebanyak 17% menjawab
tersebut melalui berbagai macam menerima tawaran politik uang “satu atau
pengukuran. Pertama, pertanyaan dengan dua kali,” 7% menjawab “beberapa kali
empat skala tanpa menyebut secara ditawari,” 73% mengaku tidak pernah
langsung Pemilu Legislatif 2019: “Dalam ditawari, dan 3% tidak menjawab. Jadi
beberapa tahun belakangan, berkaitan berdasarkan survei paska-pemilu 2019,
dengan kampanye pemilihan calon total 24% pemilih mengakui sesekali atau
anggota DPR, seberapa sering calon atau beberapa kali ditawari uang. Dengan
orang dari partai politik tertentu yang wording dan skala yang sama, proporsi ini
pernah menawari Ibu/Bapak barang, sedikit turun dibandingkan temuan pada
uang atau hadiah agar calon tersebut Pemilu 2014 yang menemukan angka
dipilih dalam pemilu?” Jawaban 29%.
responden dalam empat skala Likert Dua pengukuran terakhir memakai
(sangat sering, cukup sering, jarang, dan dua skala yang secara eksplisit
tidak pernah). Harapannya, pertanyaan menanyakan praktik politik uang di
ini mampu memotret seluruh pengalaman Pemilu Legislatif 2019. Karena
menerima tawaran politik uang, termasuk pertanyaan dikemas dalam jawaban “ya”
berdasarkan pemilu 2019 yang baru atau “tidak” (dikotomis atau binary
berlangsung. Dengan tidak menyebut response) menerima tawaran uang, dan
secara eksplisit Pemilu 2019, responden menyebut Pemilu 2019 yang baru saja
tidak merasa “diinterogasi” karena berlangsung, maka responden tidak bisa
bagaimanapun politik uang bersifat ilegal. mengelak. Karenanya terbuka
Total mereka yang menjawab “sangat kemungkinan mereka tidak sepenuhnya
sering, sering, dan jarang” mencapai menjawab jujur. Jadi pertanyaan ketiga
33,1%. Dengan wording yang sama, post- menanyakan politik uang pada tingkat
election survei pada April 2014 juga individual: “Menjelang pemilu tanggal 17
menemukan kisaran yang sama, 33% April 2019 yang lalu, apakah ada partai
responden menjawab “sangat sering, politik atau calon anggota legislatif atau
sering, dan jarang” ditawari uang atau anggota tim sukses mereka yang
barang atau hadiah sebagai imbalan atas menawarkan Ibu/Bapak uang, sembako,
suara yang mereka berikan. peralatan rumah tangga atau barang
lainnya (selain topi, kaos, kalender, stiker
atau barang-barang peraga kampanye
8
Lebih jauh mengenai pengukuran dan hasil lainnya)?” Sebanyak 19,4% mengakui
survei post-election 2014, lihat Burhanuddin ditarget politik uang. Dengan pertanyaan
Muhtadi, Vote Buying in Indonesia: The
dan format yang sama, temuan lima tahun
Mechanics of Electoral Bribery (Singapore:
Springer). lalu sedikit lebih besar dibanding 2019.

61
Burhanuddin Muhtadi

Pertanyaan terakhir ditujukan untuk 40 33,1


memotret politik uang di tingkat warga di 29,5
sekitar responden tinggal: “Menjelang 30 22,0
21,2
pemilu tanggal 17 April 2019 yang lalu, 20
apakah Ibu/bapak tahu
(menyaksikan/melihat/mendengar) ada 10
partai politik atau calon anggota legislatif
0
atau anggota tim sukses mereka yang Des'18 Feb'19 Mrt'19 Mei'19
menawarkan uang, sembako, peralatan
Sumber: Survei Desember 2018, Februari 2019 dan Maret
rumah tangga atau barang lainnya (selain 2019 dilakukan Indikator sedangkan survei paska-pemilu
topi, kaos, kalender, stiker atau barang- pada Mei 2019 oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI)

barang peraga kampanye lainnya) kepada


Grafik 2. Penetrasi politik uang jelang pemilu (%)
warga atau tetangga di lingkungan sekitar
tempat tinggal Ibu/Bapak?” Karena Hasil sigi menunjukkan bahwa
format pertanyaan tidak langsung insiden politik uang terjadi secara masif
ditujukan kepada responden, maka dalam Pemilu 2019. Dilihat dari berbagai
proporsi yang menjawab adanya politik macam metode pengukuran, politik uang
uang sedikit lebih besar, yakni sebanyak berkisar antara 19,4% hingga 33,1%
24%. Meskipun demikian, politik uang di tergantung pertanyaan dan jumlah
tingkat warga berdasarkan temuan 2019 skalanya. Pada Pemilu 2019, Daftar
ini sedikit rendah dibanding 2014 yang Pemilih Tetap (DPT) kita mencapai
mencapai 28,9%. sekitar 192 juta orang. Kisaran antara
Temuan tentang politik uang di 19% dan 33,1% berarti diperkirakan
Pemilu Legislatif 2019 maupun 2014 antara 37,3 juta hingga 63,5 juta pemilih
memiliki pola yang sama, yakni semakin terpapar praktik haram politik uang. Jika
mendekati pemilu, insiden politik uang kita memakai estimasi yang paling tinggi,
semakin besar. Pada survei nasional satu dari tiga orang di Indonesia menjadi
Desember 2018, 21,2% pemilih mengaku sasaran empuk jual beli suara. Ini jelas
“sangat sering”, “cukup sering” atau bukan angka yang kecil, meskipun dari
“jarang” ditawari uang, lalu meningkat empat pengukuran yang dipakai baik
menjadi 29,5% di Februari 2019. Mereka pada survei paska-pemilu 2019 maupun
yang menjadi sasaran malpraktik 2014, tiga diantaranya menunjukkan tren
elektoral ini sedikit turun di Maret 2019 politik uang yang sedikit menurun
menjadi sekitar 22%. Namun demikian, dibanding lima tahun sebelumnya.
responden yang mengaku ditarget politik Setidaknya ada dua hipotesis yang
uang kembali naik tajam hingga 33,1% patut diajukan mengapa terjadi tren
pada survei paska-pemilu 2019 (lihat penurunan tersebut. Pertama, pada
Grafik 2). tingkat supply-side antusiasme caleg yang
memiliki kapasitas dan sumberdaya
dalam melakukan politik uang menurun
dibanding 2014 (Komunikasi informal
dengan seorang elit partai, 9 Mei 2018).
Banyak caleg yang habis-habisan pada
Pemilu 2014 kapok bertarung lagi di
2019. Akibatnya, banyak partai yang
terpaksa menambah jadwal pendaftaran

62
Politik Uang dan New Normal dalam Pemilu Paska-Orde Baru

caleg karena turunnya minat caleg makin vulgar dan masif dan modus
veteran untuk berkompetisi di Pemilu operandinya juga kian lama kian canggih
2019. Kedua, meningkatnya partisipasi dan variatif (Aspinall dan Sukmajati,
dalam pemilu serentak membuat pemilih 2016). Politik uang telah menjadi bahasa
banyak yang berduyun-duyun komunikasi politik yang mempertemukan
menggunakan hak pilihnya tanpa harus relasi antara politisi dan pemilih di
diiming-imingi insentif material. Tingkat Indonesia.
partisipasi pada pemilu legislatif 2014
mencapai 75%. Karena antusiasme Perspektif Perbandingan.
pemilih yang tinggi dalam pemilu Lantas, seberapa signifikan temuan
serentak presiden dan anggota di atas jika dibandingkan dengan data dari
DPR/DPD/DPRD, tingkat partisipasi negara-negara lain? Untuk itu, selain
mencapai 81,69% untuk pemilu legislatif memakai metodologi survei yang sama,
dan 81,97% (Pramono Ubaid, Komisioner pertanyaan yang dipakai sebagai
KPU, status di akun Twitter pribadi, perbandingan harus sama atau mirip.
29/5/2019). Pada saat yang sama, total Diantara empat pengukuran politik uang
jumlah DPT juga meningkat dari 187 juta yang sudah penulis jelaskan di atas,
di Pemilu 2014 menjadi 192 juta di pengukuran politik uang dengan empat
Pemilu 2019. Secara kasar, pada Pemilu skala yang menghasilkan proporsi 33%
Legislatif 2014 total pemilih yang yang paling mendekati dengan
menggunakan hak suara sekitar 140 juta pengukuran politik uang yang dipakai
(75% dari 187 juta), sedangkan pada secara internasional. Sekadar
2019 sekitar 156 juta pemilih mencoblos mengingatkan kembali, pertanyaan survei
di TPS. Artinya, ada 15 juta lebih pemilih- yang kami gunakan adalah: “Dalam
entah disebabkan oleh antusiasme beberapa tahun belakangan, berkaitan
mereka dalam pemilu serentak, terutama dengan kampanye pemilihan calon
pilpres-datang ke bilik suara mungkin anggota DPR, seberapa sering calon atau
tanpa digerakkan uang. Intinya, perlu orang dari partai politik tertentu yang
studi lanjut efek pemilu serentak pernah menawari Ibu/Bapak barang,
terhadap politik uang. Data anekdotal uang atau hadiah agar calon tersebut
menunjukkan sulitnya para kandidat dipilih dalam pemilu?” Pertanyaan ini
mencari sponsor pendanaan kampanye mirip dengan yang digunakan LAPOP
dalam pemilu serentak 2019 kemarin. Americas Barometer dan Afrobarometer.
Karena pemilu serentak, para pengusaha Data politik uang di Amerika Latin dan
yang biasa menjadi donatur kampanye Afrika didasarkan oleh dua asosiasi survei
harus membagi sumberdaya yang terkemuka ini.
terbatas kepada banyak kandidat dan tim Tabel 3 jelas menunjukkan bahwa
sukses yang membantunya. tingkat politik uang di Asia, Amerika Latin
Terlepas dari tren penurunan itu, dan Afrika beragam dalam dekade
kisaran politik uang yang terjadi di Pemilu terakhir. Rata-rata insiden politik uang di
Legislatif 2019 antara 19% hingga 33% dunia mencapai 14,22%. Malpraktik
bukanlah angka yang kecil. Harus diingat, elektoral ini banyak terjadi di Uganda
meskipun sedikit menurun, tingkat politik (41%), Benin (37%), Indonesia (33%),
uang kita masih menempati peringkat Kenya (32%), Liberia (28%), Swaziland
terbesar ketiga sedunia, seperti akan (27%), Mali (26%) dan Niger (24%).
dijelaskan di bagian berikut tulisan ini. Ironisnya, tingkat politik uang di
Praktik politik uang juga makin lama Indonesia-dengan pengukuran

63
Burhanuddin Muhtadi

menggunakan empat skala yang social desirability ini, dan sekaligus


menghasilkan estimasi politik uang lebih menunjukkan bahwa praktik jual beli
tinggi dibanding pengukuran yang lain- suara sangat umum terjadi di Indonesia
lebih dari dua kali lipat rata-rata dunia. tanpa khawatir responden bohong ketika
Sebaliknya, jual beli suara relatif kecil di ditanya dengan format pertanyaan
Lesotho (2%), Mauritius (1%), and langsung, penulis menyajikan hasil survei
Tunisia (1%). Intinya, politik uang telah eksperimen yang penulis lakukan pada
menjadi virus yang merusak kompetisi survei post-election 2014.9
elektoral kita. Indonesia bahkan Pertama-tama, sampel dibagi ke
menempati peringkat terbesar ketiga di dalam empat kelompok, dan masing-
dunia yang paling banyak terpapar masing dipilih secara acak. Karena total
praktik suap dalam pemilu. Indonesia sampel dalam survei nasional ini 1200
hanya kalah dibandingkan Uganda (41%) responden, maka masing-masing
dan Benin (37%). kelompok terdiri dari 300 responden
yang dipilih secara acak. Setiap
Tabel 3. Tingkat politik uang negara-negara kelompok diberikan pertanyaan yang
di dunia berbeda-beda secara acak: pada
kelompok pertama diajukan pertanyaan
pertama (non-treatment/kontrol), pada
kelompok kedua dibacakan pertanyaan
kedua (treatment 1), dan pada kelompok
ketiga dibacakan pertanyaan ketiga
(treatment 2), dan pada kelompok
keempat disodorkan pertanyaan keempat
(treatment 3). Pada kelompok kontrol,
ditanyakan berikut ini: “Penulis akan
Sumber: The Latin American Public Opinion Project bacakan beberapa kegiatan kampanye di
(LAPOP) Americas Barometer 2010 dan the Afrobarometer bawah ini. Kemudian tolong Ibu/Bapak
Round 5, 2011–2012. Data dari Malaysia diambil dari
Meredith Weiss, “General Election 2013 Survey Results”
sebutkan berapa jumlah kegiatan yang
(2013), sedangkan data politik uang dari Filipina diambil telah dilakukan oleh partai politik, calon
dari Pulse Asia, “On the 2013 Elections: Observations and atau tim sukses dari calon atau partai
Select Survey Results” (2013).
menjelang pemilu tanggal 9 April 2014
yang lalu. Jangan sebutkan kegiatannya
Teknik Eksperimen, Daulat Uang dan
secara spesifik, cukup sebutkan
Praktik Normal Baru.
jumlahnya saja.”
Meskipun data di atas jelas
1. Memasang spanduk/baliho/poster di
menunjukkan tingginya kasus jual beli
desa/kelurahan/kampung/dusun
suara di Indonesia, format pertanyaan
tempat tinggal Ibu/Bapak
survei secara langsung atau obtrusif
2. Mengunjungi rumah Ibu/Bapak
memungkinkan responden untuk
3. Memasang iklan kampanye di
menyembunyikan jawaban sesungguhnya.
televisi/koran/radio
Harus diingat politik uang bukan hanya
memiliki stigma negatif di mata publik,
tapi juga berimplikasi pada tindak pidana
9
Sayangnya, pada survei paska-pemilu 2019
pemilu yang bisa berakhir di penjara
kami tidak memakai desain eksperimen,
(Hicken, 2007b; Gonzalez-Ocantos et al., sehingga dalam sub-bagian ini kami hanya
2012). Maka untuk meminimalisir potensi mengandalkan survei eksperimen paska-
pemilu 2014.

64
Politik Uang dan New Normal dalam Pemilu Paska-Orde Baru

Diantara kegiatan-kegiatan Tabel 4. Analisis Deskriptif


tersebut, ada berapa kegiatan yang
pernah dilakukan para calon anggota Treatment n Mean
DPR/DPRD atau tim suksesnya? Kontrol 272 1,393
1. Ada satu Treatment I 263 1,574
2. Ada dua (Intimidasi)
3. Ada tiga (semuanya) Treatment II 283 1,668
4. Tidak ada satupun (Politik uang)
Sedangkan pada setiap kelompok Treatment III 267 1,416
treatment, yang mengandung isu-isu (Tawaran pekerjaan)
sensitif, penulis tempatkan pada pilihan
kegiatan keempat (diselipkan di posisi Maka untuk mengestimasi proporsi
ketiga dari pilihan jawaban-jawaban di pemilih yang mendapat tawaran politik
atas): uang dapat dilakukan dengan
1. Ada yang memaksa atau mengancam membandingkan mean pada setiap
Ibu/Bapak agar memilih calon tertentu kelompok. Tabel 5 menunjukkan
2. Ada yang memberi uang atau barang perbedaan dari treatment dan non-
3. Ada yang menawarkan pekerjaan treatment. Mari kita lihat dulu proporsi
Karena responden tidak diminta kelompok treatment pertama yang
menyebut kegiatan secara spesifik, tapi menguji berapa banyak pemilih yang
hanya menyebut berapa jumlah kegiatan mengalami intimidasi dalam memilih.
kampanye yang mereka alami, maka Karena mean dari kelompok kontrol
responden tidak perlu khawatir surveyor adalah 1,393 dan nilai rata-rata kelompok
akan mengetahui aktivitas politik uang treatment pertama adalah 1,574, maka
atau hal-hal sensitif lainnya. Tabel 4 kita bisa simpulkan 18,1% responden
menampilkan mean pada setiap situasi mengalami koersi (1,574 – 1,393 = 0,181
eksperimental yang diuji. Mean dari and 0,181 × 100 = 18,1%). Perbedaan ini
ketiga kegiatan kampanye yang dilakukan secara statistik signifikan (sig. < 0,05).
partai, caleg atau timses (baca: memasang Adapun, mean pada kelompok
spanduk/baliho/poster, mengunjungi treatment kedua yang mengalami politik
rumah, atau memasang iklan kampanye di uang adalah 1,668, sehingga 1,668 – 1,393
televisi/koran/radio), sebagaimana = 0,274 and 0.274 × 100 = 27,4%. Jadi
dilaporkan responden yang berada di diperkirakan ada 27,4% pemilih yang
kelompok kontrol adalah 1,393. menerima politik uang pada Pemilu
Sementara itu, mean atau rata-rata dari Legislatif 2014, jauh lebih tinggi
jumlah item kegiatan yang ditanyakan dibanding proporsi pemilih yang
pada kelompok treatment pertama, di mengalami koersi (18,1%). Perbedaan
mana responden mendapatkan pilihan antara treatment dengan kontrol sangat
tambahan “diintimidasi oleh partai, caleg signifikan (sig. < 0,05). Sebaliknya, praktik
atau timsesnya” sebesar 1,574. Mean pada klientelisme yang berbentuk tawaran
kelompok treatment kedua, dimana pekerjaan tidak signifikan: hanya 2,2%
responden mendapat opsi tambahan perbedaan antara kontrol dengan
“menerima uang, barang atau hadiah” treatment. Dengan demikian, tawaran
adalah 1,668. Terakhir, nilai rata-rata pekerjaan sebagai kompensasi dukungan
kelompok treatment ketiga yang memuat adalah praktik yang sangat jarang terjadi
opsi tambahan “tawaran pekerjaan” di Indonesia.
sebesar 1,416.

65
Burhanuddin Muhtadi

Tabel 5. Persentase Responden yang kepanjangan dari Nomor Pokok Wajib


Menerima Politik Uang pajak ramai diplesetkan publik menjadi
Nomer Piro, Wani Piro (nomor urut
Uraian Estimasi SE Sig. berapa caleg di kertas suara dan berapa
% (%)
rupiah dia berani membayar). Istilah
Responden 18,1 7,6 0,018
mengalami intimidasi GOLPUT yang awalnya berarti Golongan
(Treatment I − Putih diplesetkan menjadi Golongan
Control) Penerima Uang Tunai. Intinya, pemilu tak
Responden diberi 27,4 7,5 0,000
lagi dilihat pemilih sebagai mekanisme
uang atau hadiah
(Treatment − Control)
demokrasi untuk memilih pejabat publik
yang akuntabel, tapi dibaca sebagai
Responden ditawari 2,2 7,6 0,769
“transaksi normal” antara politisi dan
pekerjaan (Treatment warga, atau meminjam istilah Corstange
III − Control) (2012: 483), pemilu sebagai ‘panen uang.’
Dalam penelitian lapangan penulis pada
Menariknya, desain eksperimen tahun 2014, banyak pemilih yang
yang penulis pakai di atas menemukan menganggap politik uang sebagai
hasil yang konsisten dengan estimasi rutinitas dalam pemilu. Pemilu adalah
berdasarkan teknik bertanya secara kesempatan yang jarang orang biasa
langsung. Temuan penulis ini berbeda miliki untuk “menghukum” dan
dengan Gonzalez-Ocantos dan kawan- mengambil kembali hak atau dana publik
kawan (2012), dimana pemilih di yang dicuri oleh politisi (Kerkvliet, 1991:
Nicaragua cenderung mengakui praktik 231). Penerima politik uang, dalam
politik uang ketika dideteksi melalui bahasa Schaffer dan Schedler (2007: 26),
survei eksperimen ketimbang ketika menganggap uang atau hadiah yang
ditanya secara langsung. Corstange mereka terima sebagai “amends for
(2012) dalam studinya di Lebanon pada [politicians’] wrongdoings [committed
tahun 2009 dan De Jonge (2015) pada against them] in the past.” Karena politik
pemilu tahun 2009 di Honduras juga uang sudah dianggap lumrah, maka
menemukan kesimpulan yang sama politisi menolak untuk dijadikan sebagai
bahwa survei eksperimen lebih berhasil satu-satunya kambing hitam. Seorang
mengorek pengakuan pemilih ketimbang anggota DPR pernah menantang penulis
survei observasional. untuk memotong jarinya jika penulis
Tidak adanya perbedaan signifikan menemukan seorang caleg yang terpilih
antara survei eksperimen dengan survei tanpa melakukan politik uang sama sekali.
secara langsung menunjukkan bahwa Bahkan banyak tokoh agama sekalipun
malpraktik yang berbentuk jual beli suara yang menjustifikasi politik uang dengan
sudah menjadi sesuatu yang lazim dalam memakai dalil:
pemilu di Indonesia. Pemilih tak segan-
segan mengakui meskipun ditanya secara ‫الرشوة حرام وخرج عن ذلك ألجل عدل‬
langsung dalam survei. Ini menunjukkan
bahwa politik uang tidaklah setabu yang Menurut sang kiai yang
dibayangkan sebelumnya. Daulat uang merupakan salah satu pimpinan partai,
menjadi praktik normal baru (new dalil tersebut diartikan bahwa menyuap
normal) yang menentukan irama pemilih pada hakikatnya haram. Namun,
permainan dalam kompetisi elektoral di karena masifnya praktik jual beli suara,
Indonesia. Istilah NPWP yang awalnya atas dasar keadilan bagi seluruh caleg,

66
Politik Uang dan New Normal dalam Pemilu Paska-Orde Baru

maka praktik tersebut dibolehkan agar antara mereka yang menganggap politik
tercipta lapangan permainan yang rata (a uang sebagai wajar atau tidak wajar
level playing field). sebelum dan sesudah penerapan
proporsional terbuka April 2009.
Efek Sistem Pemilu terhadap Politik Namun, perbedaan respon baru
Uang. terlihat nyata ketika mereka yang menilai
Penulis sudah mengindikasikan politik uang wajar diberi pertanyaan
bahwa sistem proporsional terbuka turut lanjutan: apakah mereka akan menerima
bertanggung jawab atas meningkatnya bila ada orang yang memberi uang atau
praktik jual beli suara di Indonesia. Pada hadiah? (Data valid N=210524). Grafik
pemilu pertama kali paska-jatuhnya jelas menunjukkan bahwa 18%
Soeharto, politik uang nyaris tak responden dari gabungan data survei
terdengar karena sistem pemilu yang sejak 2006-April 2009-mengatakan akan
dipakai pada saat itu adalah proporsional menerima dan memilih calon yang
tertutup, dimana pemilih hanya memberi uang atau hadiah. Proporsi jenis
mencoblos partai. Politik uang mulai pemilih ini meningkat berdasarkan
populer sejak Pemilu Legislatif 2009 pada survei-survei paska-April 2009 hingga
saat sistem proporsional terbuka pertama 2015 menjadi 23,7%. Proporsi pemilih
kali digunakan. Benih klientelisme ini yang akan menerima dan memilih
sebenarnya mulai tampak pada saat era tawaran uang yang lebih besar juga
pemilihan kepala daerah secara langsung meningkat paska-penerapan proporsional
dimulai, yakni pada 2005. Namun terbuka. Sebaliknya, pemilih oportunis
berhubung aktor/calon yang maju di yang akan menerima uang tapi soal
pilkada tidak sebanyak di pemilu memilih mereka akan mencoblos sesuai
legislatif, maka prevalensi politik uang hati nuraninya menurun persentasenya
jauh lebih besar di pemilu legislatif dibandingkan sebelum dan sesudah April
ketimbang pilkada. Maka untuk 2009. Hal ini menunjukkan bahwa sistem
mendapatkan bukti empiris, perlu data proporsional terbuka menyumbang
survei sebelum dan sesudah penerapan naiknya perilaku transaksional di
sistem proporsional terbuka pada pemilu kalangan warga.
legislatif April 2009. Oleh karena itu,
penulis menggunakan gabungan data 80
survei pemilukada 2006-2015. 70
66,9
63,5
Akan menerima
dan akan
Analisis data dibobot menurut 60 memilih calon
wilayah kabupaten/kota. Data yang 50
yang memberi
uang atau
dianalisis hanya data yang ada sampel 40 hadiah tersebut
kabupaten/kotanya di kedua periode 30 23,7
18,9
sebelum dan sesudah April 2009 (valid 20
N= 495101). Pertanyaan pertama adalah: 10 5,9 3,9
4,3
6,3 5,1
1,3
“sebagai usaha untuk memenangkan 0
pemilihan umum, ada calon atau orang Sebelum April Setelah April
2009 2009
yang membantunya memberikan uang
Sumber: Data survei nasional Lembaga Survei Indonesia
atau hadiah tertentu agar memilih calon (LSI), Indikator Politik Indonesia, dan Saiful Mujani
tersebut. Menurut Ibu/Bapak, apakah Research and Consulting (SMRC)
pemberian itu dapat diterima sebagai hal
Grafik 3. Politik uang sebelum dan sesudah
yang wajar, atau tidak bisa diterima?”
penerapan proporsional terbuka (%)
Hasilnya, tidak ada perbedaan signifikan

67
Burhanuddin Muhtadi

(winning margins) yang membedakan


Intensitas politik uang yang seorang calon yang lolos dengan yang
meningkat paska-penggunaan sistem tidak hanya 1,65%. Inilah yang
proporsional terbuka ini dimungkinkan menyebabkan para caleg berlomba-lomba
karena perubahan strategi caleg: (1) memakai politik uang karena mereka
Dalam sistem proporsional terbuka, caleg mengejar margin kemenangan yang kecil.
dipaksa bertarung antarsesama caleg Jadi efek politik uang sebesar 10,2% dari
dalam satu partai dalam rangka mengejar total pemilih dianggap lebih dari cukup
personal vote; (2) Karena struktur partai untuk mengantarkan para caleg lolos
diperebutkan antarcaleg dalam satu dengan mengalahkan rival separtainya.
partai, maka mereka mengandalkan Selain teori selisih kemenangan di
jaringan personal atau timses non-partai; atas, sistem proporsional terbuka juga
dan (3) Karena sistem proporsional memicu eskalasi politik uang karena
terbuka mengandaikan kursi yang persaingan yang sengit membuat para
diperoleh oleh satu partai kepada caleg caleg terperangkap dalam dilema tahanan
yang suaranya paling banyak dalam partai (prisoner’s dilemma). Dalam konteks ini,
tersebut, maka mereka hanya semua caleg beruntung jika tidak ada
memerlukan “sedikit” suara untuk satupun diantara mereka yang melakukan
mengalahkan rival separtainya. Politik pembelian suara. Tapi, kalau ada satu saja
uang merupakan mekanisme diferensiasi caleg saja yang memakai strategi politik
seorang caleg dalam rangka memberi nilai uang, maka caleg-caleg lain yang tidak
lebih di mata pemilih dibanding melakukan taktik serupa potensial
kompetitor internal. Kemudian yang mengalami kekalahan (Muhtadi, 2015).
penting bagi seorang caleg adalah Memang strategi elektoral ini tidak
memperoleh suara lebih banyak menjamin kemenangan, tapi jika tidak
dibanding caleg separtai karena inilah membeli suara hampir pasti menuju pintu
yang akan mengantarkan lolos sebagai gerbang kekalahan. Oleh karena itu,
anggota DPR. Aspinall dan kawan-kawan (2015)
Dalam studi sebelumnya (Muhtadi, menyebut politik uang sebagai “entry
2018b; 2019), penulis juga telah ticket” atau tiket masuk dalam gelanggang
menunjukkan bahwa sistem proporsional elektoral dimana setiap peserta kompetisi
terbuka menciptakan insentif kuat untuk yang ketat diharuskan mengikuti
memakai taktik politik uang karena tiga persyaratan (baca: membeli suara) jika
hal: Pertama, meskipun strategi politik ingin kans keterpilihannya tetap terjaga.
uang mengandung banyak kebocoran Semakin dekat dengan jadwal
karena salah strategi dan rentan terkena pemilihan, semakin besar tekanan
malpraktik timses, dan karenanya efeknya psikologis untuk membeli suara. Data
dalam mengubah pilihan “hanya” 10,2%, post-election survey Mei 2019 dan survei-
dalam kompetisi elektoral yang sengit survei pra-pemilu menunjukkan semakin
sebagai akibat proporsional terbuka, dekat pemilu, semakin besar peluang
politik uang dapat membuat perbedaan pemilih menerima amplop ganda. Hal ini
antara caleg yang lolos dan gagal. Bahkan karena dalam survei responden
kalaupun benar efek elektoral hanya dibolehkan menjawab lebih dari satu
10,2%, sistem proporsional terbuka jawaban, maka berapa banyak mereka
menjadikan pemilu sebagai padang yang mendapat tawaran lebih dari satu
kurusetra bagi para caleg. Penulis partai bisa dikalkulasi. Pada survei
menemukan rata-rata selisih kemenangan nasional Desember 2018, dari mereka

68
Politik Uang dan New Normal dalam Pemilu Paska-Orde Baru

yang mengaku menerima uang, hanya tidak terlalu besar (Muhtadi, 2018a;
15% yang mengaku menerima amplop Muhtadi 2019). Namun, terlepas dari
ganda. Proporsi penerima amplop ganda efektivitas “obyektif” politik uang “hanya”
meningkat di Februari 2018 menjadi 18% di kisaran 10% dari total pemilih, efek
dari mereka yang ditawari uang. Sebulan elektoral ini secara relatif masih lebih
sebelum pemilu, yakni Maret 2019, baik dan efisien dibanding strategi-
proporsi mereka yang menerima multiple strategi kampanye yang lain. Bahwa
payment meroket menjadi 35%. Jika sistem proporsional terbuka mendorong
pertanyaan yang diajukan bukan hanya kampanye yang berbasis personal tidak
multiple payment dari partai lain, tapi juga secara otomatis menjadikan money
yang berasal dari caleg dalam satu partai, politics sebagai satu-satunya mobilisasi
sangat mungkin persentase penerima elektoral yang bisa dipakai caleg (Hicken,
amplop ganda makin meningkat. Jangan 2007a: 53). Para kandidat bisa saja
lupa dalam sistem proporsional terbuka, menggunakan strategi club goods,10
persaingan antarcaleg bukan hanya intimidasi ke pemilih, mengunjungi
antarpartai, tapi juga caleg dalam satu pemilih (canvassing) atau kampanye via
partai. Intinya, kepanikan melanda media. Perlu dicatat bahwa strategi-
sebagian besar caleg menjelang strategi elektoral ini bisa dijalankan
pemilihan. Mereka merasa para caleg secara bersamaan (Hicken, 2007a).
lainnya makin gencar menyebar uang Terkait club goods, banyak kandidat yang
sehingga harus diantisipasi dengan cara penulis temui yang percaya bahwa
serupa. Saking paniknya, ketika seorang strategi ini mubazir. Menurut mereka,
caleg mendengar informasi lawan banyak pemilih yang menikmati bantuan
melakukan serangan fajar di hari kolektif tersebut (common collective
pemilihan, caleg yang lain meresponnya goods) tapi tidak bisa dipastikan
dengan melakukan “serangan dhuha,” pilihannya sama sekali. Benar bahwa
yakni membagi-bagi uang bahkan di saat penerima politik uang juga tidak
pemilih akan atau sedang mengantri seluruhnya memilih caleg yang menebar
(Caleg PKB, Wawancara, 20 April 2014). amplop, tapi strategi ini dianggap lebih
60 48 45 53 efisien dan menghasilkan suara
50 37 38 35
40 ketimbang club goods. Demikian pula
30 15 18
20 12 intimidasi kepada pemilih. Selain
10
0 membutuhkan sumberdaya besar seperti
Des'18 Feb'19 Mrt'19 mengumpulkan preman dan
1 partai > 1 partai Tidak jawab
Sumber: Survei Desember 2018, Februari 2019 dan Maret membutuhkan dana lebih besar, taktik ini
2019 dilaksanakan oleh Indikator
juga mudah terjerat hukum karena relatif
Grafik 4. Intensitas amplop ganda meningkat
jarang digunakan para caleg. Berbeda
jelang Pemilu 2019 (%)
dengan politik uang yang telah menjadi
Terakhir, politik uang semakin norma baru, sehingga banyak caleg yang
menjadi praktik normal baru karena merasa polisi atau Bawaslu takkan
sistem proporsional terbuka mendorong
para caleg menghalalkan segala cara 10
Club goods adalah taktik elektoral yang
dalam rangka meraih suara terbanyak di biasa digunakan caleg dengan cara memberi
partainya. Seperti dijelaskan di atas, efek bantuan pembangunan kecil-kecilan seperti
elektoral politik uang, baik dalam renovasi sekolah, rumah ibadah atau
sejenisnya atau dalam bentuk donasi kepada
meningkatkan partisipasi pemilih atau organisasi atau komunitas tertentu (Aspinall
mengubah pilihan, memang terkesan dan Sukmajati, 2016).

69
Burhanuddin Muhtadi

menindak pelaku politik uang karena jika pemilu.11 Pusat Kajian Politik Universitas
dilakukan penjara akan penuh oleh para Indonesia (PUSKAPOL UI) mencatat lebih
politisi (Politisi Golkar, Wawancara, 23 dari separuh caleg yang bertarung pada
April 2014). Pemilu 2014 (58.86%) adalah pengusaha
atau professional. Mereka masuk melalui
Rekomendasi Kebijakan. jalur khusus pencalegan dengan
Di atas segalanya, sistem mengorbankan kader yang lama
proporsional terbuka memiliki dampak mengabdi di partai karena dianggap tak
yang lebih luas dari sekadar memiliki pendanaan cukup guna
meningkatnya insiden politik uang. memenangkan persaingan pemilu yang
Pertama, berhubung sistem ini sengit (Budiman Sudjatmiko, Wawancara,
mendorong kandidat untuk menempuh 29 April 2014). PUSKAPOL juga mencatat
strategi personal yang padat modal bahwa 77 dari of 560 caleg terpilih pada
(politik uang, pembentukan jaringan 2014 adalah bagian dari dinasti politik
timses, club goods, dan lain-lain), uang (Republika, 9 Oktober 2014). Tujuh
menjadi kunci kemenangan dalam diantara caleg dinasti tersebut masuk
persaingan. Memang uang tak menjamin kategori 10 caleg yang meraih perolehan
kesuksesan elektoral, tapi kapital akan suara terbanyak pada 2014.
meningkatkan peluang untuk menang Kedua, sebagai akibat proporsional
(Aspinall et al., 2015). Zuhairi Misrawi, terbuka yang membuat pemilu makin
caleg PDIP yang berlatar belakang NU candidate-centric, hubungan partai dan
punya plesetan menarik soal ini, “Kaidah pemilih juga merenggang. Akibatnya,
ushul fiqh politiknya adalah ‘Al-fulus pemilih tak lagi menjadikan partai sebagai
tuhyin nufus, ma fi fulus manfus’ (Uang variabel dalam menentukan pilihan, tapi
akan memperpanjang nafas. Jika tidak mereka justru tertarik iming-iming jangka
punya, maka secara politik kamu mati)” pendek yang ditawarkan kandidat. Sistem
(Komunikasi informal, 2 Juli 2016). proporsional terbuka bertanggung jawab
Pandangan umum yang berkembang atas merosotnya kedekatan pemilih
adalah makin mahalnya pemilu membuat terhadap partai (party ID) dan
hanya caleg yang kaya atau memiliki melemahkan pelembagaan kepartaian
akses terhadap sumberdaya saja yang kita, sebagaimana telah diulas di atas.
bisa kompetitif dalam pemilu. Data survei menunjukkan tingkat party ID
Terlebih lagi partai politik makin kita merosot sejak Indonesia menerapkan
nir-ideologis dan pragmatis, sehingga sistem proporsional terbuka. Data survei
melakukan jalan pintas dengan nasional terakhir yang direkam Mei 2019
mencalonkan caleg non-kader asalkan menemukan hanya 10% pemilih yang
memiliki modal kapital dan popularitas masih memiliki kedekatan dengan partai.
kuat. Forum Masyarakat Peduli Parlemen Akibatnya, kampanye programatik
Indonesia (FORMAPPI) mencatat bahwa berbasis ideologi dan kebijakan partai
hanya 33% caleg yang berlaga pada makin tak laku.
Pemilu 2014 yang bisa dikategorikan Intinya, studi ini
sebagai kader partai. Hampir separuh dari merekomendasikan untuk melakukan
total caleg (3241 dari total 6607) yang evaluasi komprehensif terhadap sistem
maju pada tingkat DPR Pusat memiliki proporsional terbuka yang terbukti
latar belakang pengusaha dan bergabung
ke partai hanya beberapa bulan sebelum 11
FORMAPPI, “Anatomi Caleg Pemilu
2014,” 3 Oktober 2013.

70
Politik Uang dan New Normal dalam Pemilu Paska-Orde Baru

mendorong kandidat menggunakan dalam karung karena wakil rakyat yang


politik uang sebagai jalan keluar untuk mewakili kursi yang diperoleh partai
merebut kemenangan. Sebaliknya, sistem ditentukan oleh nomor urut. Oligarki elit
proporsional tertutup menjadi resep partai menentukan apakah seorang caleg
mujarab mengatasi efek negatif ditempatkan di nomor urut topi ataukah
proporsional terbuka. Dalam sistem sepatu. Tak jarang kabar busuk menyebar
proporsional tertutup, kebijakan partai terkait lelang posisi nomor urut atas
lebih menentukan preferensi pemilih kepada penawar tertinggi (Rich, 2013:
ketimbang ketokohan individu caleg, 75). Terlepas dari kelemahan ini,
kohesi dan disiplin partai meningkat, dan kelebihan sistem proporsional tertutup
konflik internal menurun (Norris, 2006: dalam hal membendung politik uang di
105). Pada situasi dimana personal vote tingkat massa, meningkatkan peran partai
tak lagi menentukan kedipilihan individu dalam mobilisasi elektoral, dan ujungnya
dan kampanye lebih bercorak platform membantu institusionalisasi partai jelas
kepartaian ketimbang reputasi personal tak terbantahkan.
caleg itulah peran kapital dalam Oleh karena itu, sistem
menentukan kemenangan makin proporsional tertutup bisa dibarengi
berkurang. Sebagai eksemplar sukses dengan primary election atau konvensi di
sistem proporsional tertutup dalam internal partai untuk menyaring caleg
mengurangi politik uang adalah Timor- yang kredibel sembari mengurangi
Leste. Pada saat Eleisaun Parlamentar oligarki dan praktik suap di tingkat elit.
TimorLeste (pemilu legislatif) pada 22 Juli Jika sistem proporsional terbuka tetap
2017, Exit Poll LSI dan Timor-Leste dipertahankan, perlu diusahakan
Survey Institute menemukan bahwa pengurangan district magnitude agar
demand-side pemilih terhadap politik politik uang bisa dikurangi. Jika alokasi
uang sangat tinggi. Sebanyak 33% pemilih jumlah kursi yang diperebutkan dalam
yang baru mencoblos di bilik suara sebuah dapil makin besar, maka suara
menganggap wajar praktik politik uang. yang dibutuhkan caleg menjadi tak terlalu
Namun, uniknya, hanya 4% warga yang banyak, dan karenanya mendorong
ditawari politik uang sebagai kompensasi mereka melakukan politik uang (Chang,
atas suara yang mereka berikan. Artinya, 2005; Carey dan Shugart, 1995). Demikian
tuntutan pemilih yang “mata duitan” tidak juga dengan sebaliknya. Intinya, perlu
sepenuhnya diakomodasi karena dalam redesain institusi yang bisa mengurangi
sistem proporsional tertutup yang insentif dalam melakukan politik uang,
digunakan Timor-Leste, aktor utama tapi saat yang sama tidak mengurangi
pemilu hanyalah partai politik. Lain kedaulatan rakyat dalam menentukan
halnya dengan Indonesia: supply-side wakil mereka.
politik uang bukan hanya partai, tapi juga
para caleg sehingga menyumbang Penutup
prevalensi jual beli suara. Studi ini telah berusaha menjawab
Terlepas dari keunggulan sistem pertanyaan yang sudah lama menghantui
proporsional tertutup dalam akademisi tentang berapa banyak warga
membendung politik uang, sistem ini yang pernah terpapar politik uang dalam
bukanlah pilihan sempurna. Sistem ini pemilu-pemilu di Indonesia. Dengan
pernah digunakan pada saat Orde Baru menggunakan data historis berdasarkan
berkuasa hingga pemilu pertama paska- survei yang representatif sejak 2006-
reformasi. Pemilih ibarat memilih kucing 2019, termasuk dengan memanfaatkan

71
Burhanuddin Muhtadi

teknik eksperimental, penulis telah


menunjukkan betapa sentralnya politik
uang dalam kompetisi elektoral. Studi ini Referensi
Aspinall, E., dan Berenschot, W. (2019).
juga mengandalkan data orisinal
Democracy for Sale: Elections,
berdasarkan survei nasional terbaru guna Clientelism, and the State in
mendeteksi praktik klientelisme pada Indonesia. Ithaca: Cornell
pemilu serentak 2019. Jika kita University Press.
menggunakan estimasi tertinggi,
sedikitnya sepertiga pemilih atau satu Aspinall, E. dan Sukmajati, M. (2016).
dari tiga pemilih di Indonesia mengaku Electoral Dynamics in
Indonesia: Money Politics,
pernah ditarget langsung oleh politik
Patronage and Clientelism at
uang pada pemilu yang baru berlangsung. the Grassroots. Singapore:
Proporsi ini membuat Indonesia berada di NUS Press.
ranking ketiga negara yang tingkat politik
uangnya paling tinggi di dunia. Teknik Aspinall, E., Davidson, M., Hicken, A., dan
eksperimen yang penulis gunakan pada Weiss, M. (2015).
survei paska-pemilu 2014 juga “Inducement or Entry Ticket?
Broker Networks and Vote
membuktikan bahwa pertanyaan soal
Buying in Indonesia.” Paper
politik uang tidak mengandung bias presented at American
respon. Jawaban antara pertanyaan Political Science Association
langsung atau obtrusif tentang politik Conference, 3–6 September,
uang tidak berbeda signifikan dengan San Francisco.
estimasi berdasarkan desain eksperimen.
Intinya, studi ini telah berhasil Brusco, V., Nazareno, M., dan Stokes, S.
(2004). Vote Buying in
menunjukkan betapa politik uang telah Argentina. Latin American
menjadi praktik normal baru dalam Research Review 39(2): 66–
pemilu paska-Orde Baru. Penerapan 88.
sistem proporsional terbuka turut
bertanggung jawab atas maraknya praktik Carey, J. dan Shugart, M.S. (1995).
klientelisme. Jadi jika sistem pemilu tidak “Incentives to Cultivate a
Personal Vote: A Rank
dievaluasi atau paling tidak dimodifikasi,
Ordering of Electoral
pada tingkat supply-side, caleg akan tetap Formulas.” Electoral Studies
mengandalkan politik uang sebagai 14 (4): 417–435.
senjata pamungkas merebut personal vote
untuk mengalahkan rival separtainya. Chang, E.C.C. (2005). “Electoral Incentives
Akibatnya, pemilu gagal menjadi for Political Corruption under
instrumen dalam melahirkan pejabat Open-list Proportional
Representation.” Journal of
publik yang berintegritas. Dalam sistem
Politics 67(3): 716–730.
proporsional terbuka, pemilu menjadi
arena pertarungan kekuatan finansial dan Choi, N. (2007). “Local Elections and
popularitas personal. Daulat uang akan Democracy in Indonesia: The
menjadi kata kunci kemenangan elektoral. Riau Archipelago.” Journal of
Alih-alih pemilu menjadi sarana Contemporary Asia 37(3):
terwujudnya tata kelola pemerintahan 326–345.
yang baik dan bebas dari korupsi, ia justru Corstange, D. (2012). “Vote Trafficking in
menjadi sumber awal rusaknya integritas Lebanon.” International
politik kita.

72
Politik Uang dan New Normal dalam Pemilu Paska-Orde Baru

Journal Middle East Studies Transition in the Philippines.


44 (2012): 483–505. Honolulu: University of
Hawaii Press.
De Jonge, C.P.K. (2015). “Who Lies about
Electoral Gifts? Experimental Muhtadi, B. (2015). “Money Politics and
Evidence from Latin the Prisoner’s Dilemma.” New
America.” Public Opinion Mandala. 19 November.
Quarterly 79 (3), Fall: 710–
739. _______ (2018a). “Buying Votes in
Indonesia: Partisans, Personal
Direktorat Penelitian dan Pengembangan Networks, and Winning
KPK. (2013). Laporan Hasil Margins.” A PhD thesis for the
Penelitian: Survei Persepsi degree of doctor of
Masyarakat Terhadap philosophy, The Australian
Integritas Pemilu 2013. KPK: National University.
Jakarta.
_______ (2018b). “Komoditas Demokrasi:
Gonzalez-Ocantos, E., de Jonge, C.K., Efek Sistem Pemilu terhadap
Meléndez, C., Osorio, J., dan Maraknya Jual Beli Suara.”
Nickerson, D.W. 2012. “Vote Dalam Mada Sukmajati dan
Buying and Social Desirability Aditya Perdana. Pembiayaan
Bias: Experimental Evidence Pemilu di Indonesia. Jakarta:
from Nicaragua.” American Bawaslu.
Journal of Political Science
56(1) January: 202–217. _______ (2019). Vote Buying in Indonesia
The Mechanics of Electoral
Hadiz, V.R. (2010). Localising Power in Bribery. Singapore: Springer.
Post-authoritarian Indonesia: Norris, P. (2006). “Recruitment.” Dalam
A Southeast Asia Perspective. R.S. Katz and W.J. Crotty (eds)
Stanford: Stanford University Handbook of Party Politics.
Press. London: Sage Publications.

Hicken, A. (2007a). “How Do Rules and Rich, R. (2013). Parties and Parliaments in
Institutions Encourage Vote Southeast Asia: Non-partisan
Buying?” Dalam F.C. Schaffer Chambers in Indonesia, the
(ed) Elections for Sale: The Philippines and Thailand.
Causes and Consequences of London and New York:
Vote Buying. Colorado: Lynne Routledge.
Rienner Publisher, Inc.
Schaffer, F.C. dan Schedler, A. (2007).
——— (2007b). “How Effective are “What is Vote Buying?” Dalam
Institutional Reforms?” Dalam F.C. Schaffer (ed) Elections for
F.C. Schaffer (ed) Elections for Sale: The Causes and
Sale: The Causes and Consequences of Vote Buying.
Consequences of Vote Buying. Boulder: Lynne Reinner.
Colorado: Lynne Rienner
Publisher, Inc. Sherlock, S. (2009). “Indonesia’s 2009
Elections: The New Electoral
Kerkvliet, B.J. (1991). “Understanding System and the Competing
Politics in a Nueva Ecija Rural Parties.” CDI Policy Papers on
Community.” Dalam B. Political Governance.
Kerkvliet and R. Mojares (eds) Canberra: Centre for
From Marcos to Aquino: Local Democratic Institutions.
Perspectives on Political

73
Burhanuddin Muhtadi

Stokes, S.C. (2005). “Perverse


Accountability: A Formal
Model of Machine Politics
with Evidence from
Argentina.” American Political
Science Review 99(3).

Van de Walle, N. (2007). “Meet the New


Boss, Same as the Old Boss?
The Evolution of Political
Clientelism in Africa.” Dalam
H. Kitschelt dan S. Wilkinson
(eds) Patrons, Clients, and
Policies: Patterns of
Democratic Accountability
and Political Competition.
Cambridge, UK: Cambridge
University Press.

Vlaicu, R. (2016). Why Do Politicians Buy


Votes? Ideas Matter. Akses di
https:// blogs.iadb.org/ideas-
matter/en/vote-buying-an-
age-old-political-practice/

74

Вам также может понравиться