Вы находитесь на странице: 1из 20

KINERJA KEBIJAKAN SWASEMBADA DAGING SAPI NASIONAL

Performance of National Beef Self-Sufficiency Policy

Ening Ariningsih

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian


Jl. A. Yani No. 70, Bogor 16161
E-mail: ening.ariningsih@yahoo.com

Naskah diterima: 14 Agustus 2014; direvisi: 20 Oktober 2014; disetujui terbit: 30 Oktober 2014

ABSTRACT

Meat Self-Sufficiency Program (PSDS) since 2000 has been launched three times. This paper aims to assess
implementation, achievement, constraints and problems of National PSDS as well as the solution proposed. The
study shows that meat self-sufficiency achievement is dynamic and in general there are some improvement on
concept, policy instrument, and program management of PSDS 2014. Nevertheless, many constraints are found
from upstream to downstream including bad management of cows’ distribution and import. All of these constraints
lead to unrealized target of meat self-sufficiency in 2014. Cows and their derivative products import are still
required to sustain cows’ population growth in Indonesia and to stabilize domestic meat price. In order to
accelerate the achievement of the target, besides production aspect improvement, distribution system of cows
and meat including its infrastructure also needs perfection. Another important issue is data accuracy on domestic
supply and demand such that the government can estimate accurate required volume of meat import.
Administration, bureaucracy and transparency enhancement on meat import implementation are urgent to avoid
disorder of cows, meat and its derivative products import. Support from related institutions is needed for the
achievement of national meat self-sufficiency.

Keywords: self-sufficiency, beef, import control, distribution system

ABSTRAK

Program Swasembada Daging Sapi telah dicanangkan sejak tahun 2000 dan hingga kini program tersebut telah
tiga kali dicanangkan. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji pelaksanaan dan pencapaian Program Swasembada
Daging Sapi Nasional beserta kendala dan permasalahan yang dihadapinya, dan alternatif strategi peme-
cahannya. Hasil kajian menunjukkan bahwa upaya pencapaian swasembada mengalami dinamika dari waktu ke
waktu dan secara umum telah terjadi perbaikan baik dari sisi konsep, instrumen kebijakan, maupun tata kelola
program/manajemen pada PSDS 2014. Walaupun demikian, berbagai kendala dan permasalahan yang dihadapi,
mulai dari hulu hingga hilir, termasuk dalam sistem distribusi dan impor sapi dan daging sapi yang masih belum
tertata dengan baik, menyebabkan swasembada daging sapi masih belum dapat diwujudkan sesuai target, yaitu
paling lambat pada tahun 2014. Dengan demikian, impor sapi dan produknya masih dibutuhkan untuk menjaga
agar terjadi pertumbuhan populasi sapi potong di Indonesia di samping menjaga agar harga daging sapi tetap
terjangkau oleh masyarakat. Dalam upaya mempercepat pencapaian target, selain perbaikan dari sisi produksi,
upaya pembenahan sistem distribusi sapi maupun daging sapi beserta infrastruktur pendukungnya mutlak untuk
dilakukan. Hal lain yang penting untuk diperhatikan adalah keakuratan data, baik ketersediaan pasokan domestik
maupun permintaan domestik, sehingga akan diperoleh data keperluan impor yang juga akurat. Pembenahan
dalam administrasi dan birokrasi serta transparansi dalam pelaksanaan impor sangat diperlukan untuk
menghindari kekisruhan impor sapi hidup maupun daging sapi dan produk-produk sapi lainnya. Dukungan dari
berbagai institusi terkait sangat diperlukan untuk terwujudnya swasembada daging sapi nasional.

Kata kunci: swasembada, daging sapi, pengendalian impor, sistem distribusi

PENDAHULUAN kebutuhan nutrisi asal ternak, di samping juga


menyerap tenaga kerja, terutama di
perdesaan. Kebutuhan permintaan daging
Sapi potong mempunyai peran penting secara nasional semakin meningkat seiring
sebagai penghasil daging untuk memenuhi dengan laju pertumbuhan ekonomi yang

KINERJA KEBIJAKAN SWASEMBADA DAGING SAPI NASIONAL Ening Ariningsih

137
semakin baik, laju pertumbuhan penduduk, persen dari kebutuhan (Boediyana, 2009).
pembangunan pendidikan yang lebih maju, Masih tetap dengan tujuan kemandirian
dan meningkatnya kesadaran akan pentingnya pangan, pemerintah kembali melanjutkan
mengonsumsi nutrisi asal ternak. program swasembada daging sapi dengan
Saat ini, pemenuhan kebutuhan target pencapaian pada tahun 2014. Tujuh
daging sapi nasional masih bergantung pada langkah operasional yang pernah dirumuskan
impor. Kondisi ini berbeda dengan era tahun dievaluasi kembali dan diperbaharui sehingga
70-an ketika Indonesia menjadi negara peng- kemudian muncul tiga belas langkah
eskpor sapi. Pada tahun 1972, misalnya, operasional.
Indonesia mengekspor sekitar 15 ribu sapi dan Seiring dengan harapan pencapaian
kerbau ke Singapura dan Hongkong target PSDS 2014, pemerintah mulai tahun
(Daryanto, 2011). Salah satu penyebab keter- 2011 menata impor dengan memangkas
gantungan Indonesia pada daging sapi impor jumlah impor sapi bakalan dan daging beku
adalah ketidakseimbangan antara laju produk- (Daryanto, 2011). Dalam hal ini, bukan hanya
si daging sapi dengan laju konsumsinya. jumlah impor daging sapi yang dibatasi,
Konsumsi daging sapi di Indonesia yang melainkan juga jumlah importirnya. Dengan
semakin meningkat dari tahun ke tahun tidak harga daging sapi yang menarik, kuota impor
diimbangi dengan peningkatan produksi menjadi perebutan para importir daging sapi,
daging yang signifikan di dalam negeri. Ber- sehingga terjadi skandal impor daging sapi
bagai upaya telah ditempuh oleh pemerintah (Dimyati, 2013). Dampak yang terjadi
untuk mengatasi masalah tersebut; salah kemudian adalah kelangkaan jumlah pasokan
satunya adalah dengan menetapkan Program daging sapi di pasar yang menyebabkan
Swasembada Daging Sapi (PSDS). Menurut melambungnya harga daging sapi di pasaran
Ditjennak (2010), dengan berswasembada sejak Juli 2013, hingga mencapai Rp90.000–
daging sapi tersebut akan diperoleh ke- Rp100.000/kg; padahal harga daging sapi
untungan dan nilai tambah yaitu: (1) mening- rata-rata pada tahun sebelumnya kurang dari
katnya pendapatan dan kesejahteraan peter- Rp80.000/kg. Mahalnya harga daging di
nak, (2) penyerapan tambahan tenaga kerja Indonesia mengakibatkan hanya masyarakat
baru, (3) penghematan devisa negara, (4) menengah ke atas saja yang mampu
optimalisasi pemanfaatan potensi ternak sapi mengonsumsi daging sapi.
lokal, dan (5) semakin meningkatnya
penyediaan daging sapi yang Aman, Sehat, Berbagai kendala dan permasalahan
Utuh dan Halal (ASUH) bagi masyarakat, yang dihadapi dalam upaya pencapaian
sehingga ketentraman lebih terjamin. swasembada daging sapi menyebabkan
berbagai kalangan pesimis atau bahkan yakin
Program pencapaian swasembada
bahwa target swasembada daging sapi tahun
daging sapi di Indonesia telah dicanangkan
2014 tidak akan tercapai. Sampai saat ini, total
sejak tahun 2000 dengan nama Program
kebutuhan daging sapi domestik mencapai
Kecukupan Daging Sapi. Pada waktu itu
484 ribu ton, sementara total produksi daging
pemerintah menargetkan Indonesia mencapai
sapi dalam negeri hanya mencapai 399 ribu
swasembada daging sapi pada tahun 2005.
ton. Dengan demikian, masih terdapat
Pada kenyataannya program tersebut lebih
banyak bersifat rencana dan sama sekali tidak kekurangan 85 ribu ton atau 17,5 persen dari
didukung oleh anggaran yang memadai total kebutuhan dalam negeri yang harus
sehingga lebih banyak bersifat wacana dari dipenuhi dari impor. Padahal, syarat untuk
rapat ke rapat atau dari seminar ke seminar, swasembada daging sapi (on-trend) adalah
sehingga target tersebut tidak dapat terpenuhi minimal 90 persen konsumsi daging sapi
(Daryanto, 2011). Setelah itu, program dipasok dari sapi domestik, sementara 10
swasembada daging sapi dicetuskan lagi persen sisanya dipenuhi melalui impor, baik
menjadi Program Percepatan Pencapaian dalam bentuk sapi bakalan maupun daging
Swasembada Daging Sapi (P2SDS) 2008- sapi beku (Junaidi, 2013).
2010. Namun, strategi yang telah disusun Berdasarkan latar belakang yang telah
tersebut belum juga mampu mengantarkan diuraikan di atas, tulisan ini bertujuan untuk
Indonesia mencapai target swasembada mengevaluasi kinerja kebijakan Swasembada
daging sapi (Arif et al., 2011). Pada saat itu, Daging Sapi Nasional beserta kendala dan
pemenuhan kebutuhan daging sapi dalam permasalahan yang dihadapinya. Sistematika
negeri masih ditutup dengan impor sebesar 30 penulisan adalah sebagai berikut: Bab I

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 32 No. 2, Desember 2014: 137 – 156

138
Pendahuluan, Bab II Kinerja Kebijakan Swa- baru kawasan. Kedua, peningkatan populasi
sembada Daging Sapi, Bab III Permasalahan ternak melalui langkah-langkah sebagai berikut:
dalam Mencapai Swasembada Daging Sapi, (1) pengendalian pemotongan betina produktif,
Bab IV Upaya Mempercepat Tercapainya (2) pengendalian penyakit reproduksi, dan (3)
Swasembada Daging Sapi, dan Bab V penyediaan bibit ternak bermutu dan jika
Penutup. diperlukan dapat melakukan impor bibit.
Ketiga, substitusi dan diversifikasi produk, agar
terjadi substitusi daging ternak besar dengan
KINERJA KEBIJAKAN SWASEMBADA daging ternak lain, khususnya daging ternak
DAGING SAPI unggas (pergeseran dari red meat ke white
meat), sehingga tidak terlalu tergantung pada
Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) pasokan daging ternak besar semata.
merupakan salah satu bagian dari program Keempat, pembinaan dan pengembangan
pemerintah dalam rangka mewujudkan ke- kelembagaan dengan melakukan beberapa
mandirian pangan nasional. Pengertian swa- langkah operasional antara lain: (1) secara
sembada daging sapi di sini merupakan konsisten memperbaiki kinerja unit pelaksana
swasembada on-trend, yaitu minimal 90 teknis (UPT) pembibitan ternak ke arah
persen kebutuhan daging sapi dipenuhi dari komersialisasi, sehingga menghasilkan bibit
produksi domestik, sementara 10 persen berkualitas; (2) mengembangkan kelembaga-
sisanya dipenuhi dari impor, termasuk yang an penangkar bibit rakyat ke arah semacam
berasal dari impor sapi bakalan (Ditjennak, Village Breeding Center (VBC); (3) desentra-
2010). lisasi Balai Inseminasi Buatan (BIB); (4)
pembentukan satu unit organisasi eselon dua
di pusat, yaitu Pusat Pelayanan IB dan
Pelaksanaan dan Pencapaian Program Transfer Embrio Nasional (Puspinak); dan (5)
Swasembada Daging Sapi 2005 promosi dan pengembangan ekspor produk
pendukung dan pengamanan ternak yang
PSDS pertama kali dicanangkan pada tahun
2000 dengan target pencapaian swasembada dilakukan UPT maupun swasta. Kelima,
peraturan perundangan. Peraturan ini terkait
daging sapi pada tahun 2005. Untuk men-
dukungnya, pemerintah melalui Direktorat dengan upaya mempercepat pulihnya industri
Jenderal Peternakan menetapkan beberapa perunggasan nasional, sehingga lebih cepat
kebijakan strategis sebagai berikut: (1) pe- mendorong substitusi konsumsi daging sapi.
ngembangan wilayah berdasarkan komoditas Program Swasembada Daging 2005
ternak unggulan; (2) pengembangan kelembaga- ternyata tidak dapat berjalan sesuai harapan.
an peternak; (3) peningkatan usaha dan Banyak permasalahan yang dihadapi, ter-
industri peternakan; (4) optimalisasi pemanfaat- utama dukungan maupun komitmen pihak-
an pengamanan, dan perlindungan sumber pihak terkait belum sempat terbangun secara
daya alam lokal; (5) pengembangan kemitraan baik. Beberapa seminar dan lokakarya telah
yang saling menguntungkan; dan (6) mengem- diselenggarakan, namun masih terbatas pada
bangkan teknologi tepat guna. Tiga sasaran konsepsi tanpa operasional yang jelas di
utama program tersebut adalah peningkatan lapangan. Demikian pula lima program operasi-
populasi, penurunan impor sapi bakalan, dan onal yang disampaikan belum menunjukkan
peningkatan pemotongan sapi lokal (Saptana suatu hal yang baru, di samping dukungan
dan Daryanto, 2013). anggaran untuk swasembada daging juga
masih sangat kurang (Ilham et al., 2011)
Secara lebih terperinci, dalam Renstra
Ditjen Produksi Peternakan berupa Kebijakan Menurut Yusdja et al. (2004), paling
Pembangunan Peternakan Tahun 2000-2005 tidak terdapat lima penyebab ketidak-
terdokumentasi program operasional sebagai berhasilan pencapaian PSDS yang ditargetkan
upaya terobosan swasembada daging sapi tercapai pada tahun 2005, yaitu: (1) kebijakan
(Ditjennak, 2000), yaitu: Pertama, peningkatan program yang dirumuskan tidak disertai
produktivitas sapi melalui: (1) peningkatan dengan rencana operasional yang rinci; (2)
kegiatan embrio transfer (ET) dan IB secara program-program yang dibuat bersifat top
terpadu dan terkonsentrasi, diikuti dengan down dan berskala kecil dibandingkan dengan
program penggemukan; (2) upaya persilangan sasaran atau target yang ingin dicapai; (3)
ternak ke arah dual purpose (ternak pedaging strategi implementasi program disamaratakan
dan perah); dan (3) pengembangan sentra dengan tidak memperhatikan wilayah unggulan,

KINERJA KEBIJAKAN SWASEMBADA DAGING SAPI NASIONAL Ening Ariningsih

139
tetapi lebih berorientasi pada komoditas Upaya percepatan tersebut difokuskan
unggulan; (4) implementasi program-program di 18 provinsi, yaitu Nanggroe Aceh
tidak memungkinkan untuk dilaksanakan Darussalam, Sumatera Barat, Sumatera Utara,
evaluasi dampak program; dan (5) program- Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat,
program tidak secara jelas memberikan Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta
dampak pada pertumbuhan populasi secara Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa
nasional. Tenggara Timur, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo.
Pelaksanaan dan Pencapaian Program Kedelapan belas provinsi tersebut dikelompok-
Swasembada Daging Sapi 2010 kan menjadi tiga daerah prioritas, yaitu: (1)
Pada tahun 2008 pemerintah kembali daerah prioritas IB: Jawa Barat, Jawa Tengah,
mencanangkan Program Percepatan Pencapai- Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur dan
an Swasembada Daging Sapi (P2SDS) yang Bali; (2) daerah campuran IB dan KA:
ditargetkan untuk dicapai pada tahun 2010. Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat,
Pada tahun tersebut diharapkan 90-95 persen Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung,
kebutuhan daging dapat dipenuhi dari sumber Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan,
daya domestik serta secara bertahap me- Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan dan
ngurangi impor. Pelaksanaan kegiatan ini Gorontalo; dan (3) daerah prioritas KA: Nusa
diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian No. Tenggara Timur, Sulawesi Tengah dan
59/Permentan/HK.060/8/2007 tentang Pedo- Sulawesi Tenggara.
man Percepatan Pencapaian Swasembada
Seiring dengan berjalannya waktu,
Daging Sapi.
pada tahun 2009 Kementerian Pertanian
Program P2SDS ini tersurat dalam mengumumkan bahwa target pencapaian
tujuh langkah operasional (Ditjennak, 2008), swasembada daging tahun 2010 dalam
yaitu: (1) optimalisasi akseptor dan kelahiran, realisasinya belum juga dapat tercapai. Hal ini
sehingga dapat meningkatkan laju pertumbuh- dibuktikan dengan data yang menyebutkan
an kelahiran; (2) pengembangan Rumah bahwa selama periode 2005-2009 Indonesia
Potong Hewan (RPH) dan pengendalian masih mengimpor 40 persen dari total
pemotongan betina produktif, sehingga me- kebutuhan daging sapi yang pada tahun 2009
ngendalikan atau tunda potong terhadap mencapai 322,1 ribu ton. Kebutuhan sapi
betina produktif; (3) penyediaan bibit bermutu, potong nasional tahun 2009 telah mencapai
sehingga dapat meningkatkan produktivitas 2,1 juta ekor sapi. Sebesar 1,1 juta ekor sapi
hasil atau daging sapi per satuan waktu; (4) dipasok dari dalam negeri, sedangkan 700 ribu
penanganan gangguan reproduksi dan ekor sapi masih impor. Jika diasumsikan
kesehatan hewan agar ternak tetap sehat dan jumlah penduduk Indonesia adalah 240 juta
produktif; (5) pengembangan pakan lokal, jiwa dengan konsumsi daging rata-rata 1,8 kg
sehingga meningkatkan ketersediaan pakan per kapita per tahun, maka dibutuhkan 432
secara lokal dan mengurangi ketergantungan juta kg daging sapi atau setara dengan 2,5 juta
terhadap bahan baku pakan impor; (6) ekor sapi. Jika konsumsi daging sapi oleh
intensifikasi Kawin Alam (INKA), sehingga masyarakat meningkat menjadi sebesar 10 kg
meningkatkan tingkat kelahiran secara alami; per kapita per tahun, maka perlu tersedia 10
dan (7) pengembangan SDM melalui juta ekor sapi per tahun (Arif et al., 2011).
kelembagaan, sehingga dapat mengembang-
kan aspek manajerial usaha ternak sapi Evaluasi terhadap ketidakberhasilan
potong dan meningkatkan kinerja kelembaga- program swasembada daging 2010 beserta
an, baik pemerintah maupun kelembagaan permasalahan teknis dan nonteknis telah
peternak. Swasembada ini sepenuhnya di- dilakukan. Salah satu hal penting yang
upayakan untuk mengangkat pendapatan dan dihasilkan dari evaluasi tersebut adalah tidak
kesejahteraan peternakan rakyat. Untuk itu, efektifnya Peraturan Menteri Pertanian No.
upaya-upaya pemberdayaan lebih diarahkan 59/Permentan/HK.060/8/2007 yang diberlaku-
kepada kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan kan sejak tahun 2008 dalam mengimplemen-
dayasaing, promosi, dan partisipasi masyarakat tasikan program swasembada daging sapi
(Arif et al., 2011). Di samping langkah teknis, karena kurangnya dukungan anggaran bagi
juga dilakukan pendekatan ekonomis berupa pelaksanaan tujuh langkah operasional
pengendalian impor daging sapi/bakalan Program Percepatan Swasembada Daging
(Ilham et al., 2011). Sapi (P2SDS) Tahun 2010. Namun, kontribusi

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 32 No. 2, Desember 2014: 137 – 156

140
yang dihasilkan dari pelaksanaan tujuh tiga kegiatan yaitu: (9) penguatan wilayah
langkah operasional tersebut sampai akhir sumber bibit dan kelembagaan usaha pem-
tahun 2009 adalah: (1) optimalisasi akseptor bibitan, (10) pengembangan usaha pembibitan
dan Intensifikasi Kawin Alam (INKA) dapat sapi potong melalui village breeding center
memberikan kontribusi daging sebesar 79,8 (VBC), dan (11) penyediaan sapi bibit melalui
ribu ton, sapi betina produktif 448,6 ribu ekor, subsidi bunga (KUPS). Kelima, pengaturan
dan kelahiran 58,3 persen dari 1,46 juta stok daging sapi dalam negeri, yang terdiri dari
akseptor; (2) INKA saja memberikan kontribusi dua kegiatan yaitu: (12) pengaturan stok sapi
17,3 ribu ton daging dan sapi betina produktif bakalan dan daging sapi, dan (13) pengaturan
sebanyak 97,2 ribu ekor; (3) kegiatan distribusi dan pemasaran sapi dan daging.
pengendalian pemotongan betina produktif Terkait dengan hal ini, Permentan Nomor 19/
memberikan kontribusi penyelamatan 18,9 ribu Permentan/OT.140/2/2010 tentang Pedoman
ekor sapi betina produktif dan kelahiran 14,5 Umum Program Swasembada Daging Sapi
ribu ekor; dan (4) kegiatan penanganan 2014 menetapkan Pedoman Umum Program
gangguan reproduksi dapat memberikan Swasembada Daging Sapi 2014 sebagai dasar
kontribusi penyediaan daging sebesar 1,3 ribu dalam pelaksanaan program dan kegiatan
ton (Ditjennak, 2010). swasembada daging sapi 2010-2014.
Menurut Ilham et al. (2011), PSDS
Pelaksanaan dan Pencapaian Program 2014 telah mengalami penyempurnaan dan
Swasembada Daging Sapi 2014 lebih komprehensif dibandingkan program
serupa di tahun-tahun sebelumnya. Sebagai
Seiring dengan belum tercapainya target contohnya adalah dokumentasi PSDS yang
pencapaian swasembada daging tahun 2010 jauh lebih tertib dengan acuan yang lebih jelas.
pemerintah kemudian mencanangkan dan Berbeda dengan sebelumnya, pada PSDS
mensosialisasikan program swasembada 2014 disusun sebuah Blue Print PSDS yang
daging sapi yang ditargetkan dicapai pada sangat bermanfaat sebagai payung dan
tahun 2014. Melalui sejumlah program, guidance bagi pelaksanaan operasional
penyediaan daging sapi dalam negeri ditarget- program. Blue Print tersebut juga telah
kan meningkat dari 67 persen pada tahun dijabarkan secara baik dengan penyusunan
2010 menjadi 90 persen pada tahun 2014. Pedum dan Juknis, sehingga diharapkan lebih
Untuk mencapai Program Swasembada memudahkan pelaksanaan pada tahap
Daging Sapi Tahun 2014, pemerintah dalam implementasi di lapangan. Di samping itu,
hal ini Direktorat Jenderal Peternakan dan terdapat perbaikan yang cukup signifikan
Kesehatan Hewan mengimplementasikan tiga dalam organisasi PSDS 2014.
belas kegiatan operasional, yang dikelompok-
kan menjadi lima kegiatan pokok sebagai Hasil kajian Ilham et al. (2011) atas
berikut (Ditjennak, 2010): keragaan, permasalahan, dan upaya men-
dukung akselerasi program swasembada
Pertama, penyediaan sapi bakalan/ daging sapi menyimpulkan sebagai berikut:
daging sapi lokal secara berkelanjutan, yang Pertama, dari ke-13 kegiatan ada 2 kegiatan
terdiri dari empat kegiatan: (1) pengembangan menjadi prasyarat dan 4 kegiatan memiliki
usaha pembiakan dan penggemukan sapi dampak langsung. Dua kegiatan yang menjadi
lokal, (2) pengembangan pupuk organik dan prasyarat adalah kegiatan: (1) penyediaan dan
biogas, (3) pengembangan integrasi ternak pengembangan pakan dan air, dan (2)
sapi dan tanaman, dan (4) pemberdayaan dan pengaturan stok sapi bakalan dan daging di
peningkatan kualitas Rumah Potong Hewan antaranya melalui pengendalian impor,
(RPH). Kedua, peningkatan produktivitas dan sedangkan empat kegiatan yang memiliki
reproduktivitas sapi lokal, yang terdiri dari tiga dampak langsung adalah kegiatan: (1)
kegiatan yaitu: (5) optimalisasi inseminasi pengembangan usaha pembiakan dan
buatan (IB) dan kawin alam (INKA), (6) penggemukan sapi lokal, (2) optimalisasi IB
penyediaan dan pengembangan pakan dan dan INKA, (3) penanggulangan gangguan
air, dan (7) penanggulangan gangguan repro- reproduksi dan peningkatan pelayanan
duksi dan peningkatan pelayanan kesehatan keswan, dan (4) penyelamatan sapi betina
hewan. Ketiga, pencegahan pemotongan sapi produktif. Kedua, pelaksanaan PSDS 2014
betina produktif, dengan kegiatan: (8) penye- sebagai kelanjutan PSDS 2010 di beberapa
lamatan sapi betina produktif. Keempat, daerah terasa gaungnya dan output yang
penyediaan bibit sapi lokal, yang terdiri dari dicapai oleh berbagai stakeholder sudah

KINERJA KEBIJAKAN SWASEMBADA DAGING SAPI NASIONAL Ening Ariningsih

141
konvergen dengan arah yang digariskan dalam pendukung, maupun sistem pendanaan seperti
program. Namun, dalam implementasi masih disajikan pada Tabel 1. Dibandingkan pro-
dijumpai permasalahan baik dari sisi faktor gram-program serupa sebelumnya, PSDS
pendukung berupa pendanaan, organisasi dan 2014 telah mengalami penyempurnaan dan
SDM, dan sosialisasi dokumen mendukung lebih komprehensif, baik dalam dokumentasi
program. PSDS yang jauh lebih tertib dengan acuan
Ketiga, peningkatan populasi dan yang lebih jelas, unit manajemen yang lebih
produksi ternak dan daging sapi melalui terorganisir dan operasional, maupun dukung-
berbagai program pada kelompok peternak an anggaran yang relatif lebih memadai.
termasuk Sarjana Membangun Desa (SMD) Kenyataan bahwa PSDS 2014 masih belum
diperkirakan akan berpengaruh positif. mencapai target swasembada daging sapi
Demikian pula potensi BUMN dan pihak yang telah ditetapkan menunjukkan masih
swasta skala menengah untuk berinvestasi banyaknya kendala yang harus dibenahi.
pada sektor sapi potong dinilai cukup baik. Walaupun demikian, sejak tahun 2012
Keempat, kegiatan integrasi sawit-sapi Indonesia telah berhasil swasembada semen
merupakan potensi besar untuk meningkatkan beku dan mengekspor ke berbagai negara;
populasi dan produksi ternak serta daging demikian pula pada tahun 2013 swasembada
sapi, namun pihak pengelola perkebunan sawit sapi pejantan penghasil semen beku (bull)
masih banyak yang belum terlibat. Kelima, juga telah dicapai.
kegiatan penjaringan betina produktif sudah
memberikan keturunan dengan kualitas yang
Pengendalian Impor Sapi dan Daging Sapi
baik, namun skim penjaringan dan distribusi
dana dari Dinas Peternakan di daerah masih Ilham et al. (2011) menunjukkan bahwa pada
belum optimal. Keenam, Pengendalian impor tiga belas kegiatan PSDS 2014 tidak tertulis
ternak dan daging sapi pada akhir 2010 telah secara eksplisit “perlu dilakukan pengendalian
mampu mendorong meningkatnya volume impor ternak dan daging sapi”. Pada kenyata-
pemasaran dari sentra produksi terutama di annya pemerintah, dalam hal ini Kementerian
Jawa ke sentra konsumsi di Jawa Barat. Pertanian, melakukan pengendalian impor sapi
Data Kementerian Pertanian (2012) melalui mekanisme kuota impor. Dengan
menunjukkan bahwa peningkatan produksi mekanisme kuota, impor daging sapi dibatasi
daging sapi lokal telah dapat menekan hanya sejumlah tertentu untuk periode tertentu
proporsi daging impor dari semula 53,0 persen berdasarkan kebutuhan impor yang ditetapkan
terhadap total konsumsi daging sapi nasional oleh Kementerian Pertanian. Sebagai contoh,
pada tahun 2010 menjadi hanya 34,9 persen pada tahun 2013 Kementerian Pertanian
pada tahun 2011. Untuk akselerasi peningkat- menetapkan kuota impor sebesar 80 ribu ton,
an produksi daging sapi pada tahun 2011 telah dengan 60 persen berupa sapi bakalan dan 40
diterbitkan Peraturan Menteri Pertanian No. persen berupa daging beku.
25/Permentan/OT.140/4/2011 tentang Unit
Pengendalian impor daging sapi
Manajemen Program Swasembada Daging
Sapi dan Kerbau 2014. Namun demikian, diatur berdasarkan Peraturan Menteri
nampaknya sampai saat ini target Pertanian (Permentan) No. 50/2011 tentang
swasembada daging sapi yang telah Rekomendasi Persetujuan Pemasukan Karkas,
dicanangkan masih belum tercapai. Tahun Daging, Jeroan dan/atau Olahannya ke dalam
2013 Indonesia masih harus mengimpor Wilayah Indonesia. Berdasarkan peraturan
daging sapi sekitar 85 ribu ton atau 17,5 tersebut, perusahaan atau importir harus
persen dari total kebutuhan dalam negeri. mendapat Rekomendasi Persetujuan Pemasuk-
Sementara, untuk tahun 2014 Suswono (2014) an (RPP) yang merupakan keterangan tertulis
menyebutkan bahwa Indonesia nampaknya yang diberikan oleh Menteri Pertanian atau
masih harus mengimpor daging sapi dengan pejabat yang ditunjuk olehnya untuk pelaku
jumlah masih di atas 10 persen dari total usaha yang akan melakukan pemasukan
kebutuhan daging sapi nasional. karkas, daging, dan olahan ke Indonesia.
Sejak dicanangkan tahun 2000, upaya Sementara, pembagian jatah kuota per
pencapaian swasembada daging sapi nasional importir ditentukan Kementerian Perdagangan
telah mengalami dinamika mulai dari konsep untuk horeka (hotel, restoran, katering) dan
program, organisasi pelaksana, dokumen Kementerian Perindustrian untuk industri.

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 32 No. 2, Desember 2014: 137 – 156

142
Tabel 1. Deskripsi Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) 2005, 2010, dan 2014

Uraian/ Item PSDS 2005 P2SDS 2010 PSDS 2014

Kegiatan Program operasional Tujuh langkah operasional: Lima kegiatan pokok, 13 kegiatan operasional:
• Peningkatan produktivitas melalui: • Optimalisasi akseptor dan • Penyediaan bakalan/daging sapi lokal:
1) Kegiatan ET dan IB diikuti IB kelahiran IB/KA 1) Pengembangan usaha
terpadu, • Pengembangan RPH dan pembiakan/penggemukan sapi lokal,
2) Upaya persilangan ke arah pengendalian pemotongan sapi 2) Pengembangan pupuk organik dan biogas,
dual purposes dan betina produktif/bunting
3) Pengembangan integrasi ternak dan
3) Pengembangan sentra baru • Perbaikan mutu bibit tanaman dan
kawasan. • Penanganan gangguan 4) Pemberdayaan dan peningkatan kualitas
• Peningkatan populasi ternak reproduksi dan penyakit hewan RPH
dengan cara: • Pengembangan pakan lokal • Peningkatan produktivitas dan reproduktivitas sapi
4) Pengendalian pemotongan • INKA lokal:
betina produktif, 5) Optimalisasi IB dan INKA,
• Pengembangan SDM dan
5) Pengendalian penyakit kelembagaan ditambah kegiatan 6) Penyediaan dan pengembangan pakan dan
reproduksi dan pendukung. air,
6) Penyediaan bibit ternak 7) Penanggulangan gangguan reproduksi dan
bermutu/impor bibit ternak.
+ Pendekatan ekonomis: peningkatan layanan keswan
• Substitusi dan diversifikasi produk Pengendalian impor daging • Pencegahan pemotongan sapi betina produktif:
• Pembinaan dan pengembangan sapi/bakalan
8) Penyelamatan sapi betina produktif
kelembagaan melalui:
• Penyediaan bibit sapi lokal:
7) Perbaikan kinerja UPT
pembibitan, 9) Penguatan wilayah sumber bibit dan
kelembagaan usaha pembibitan,
8) Pengembangan kelembagaan
penangkar bibit ternak rakyat 10) Pengembanan usaha pembibitan sapi potong
(oleh rakyat sendiri) semacam melalui VBC,
VBC, 11) Penyediaan sapi bibit melalui subsidi bunga
9) Desentralisasi BIB, • Pengaturan stok daging sapi DN:
10) Pembentukan Puspinak dan 12) Pengaturan stok sapi bakalan dan daging,
11) Promosi dan pengembangan 13) Pengaturan distribusi dan pemasaran
ekspor produk dan sapi/daging
pengamanan ternak.
Dokumen • Renstra Ditjennak 2000-2005 • Permentan Nomor • BP PSDS 2014
59/Permentan/HK.060/2007
• Makalah akademis • Permentan No. 19/Permentan/OT.140/2/2010
• MoU dengan 11 gubernur (18 Tentang Pedum PSDS 2014
lokasi program)
• Pedoman teknis PSDS 2014
Unit manajemen Tidak terorganisir (organisasi pelaksana Terorganisir, organisasi pelaksana Terorganisir, lebih operasional. Berjenjang dari
tidak dibentuk) dibentuk sebagai Tim Teknis, tingkat pusat, prov, kab/kota, kec.
tetapi tidak bersifat operasional
Dukungan dana Sangat kurang Kurang Relatif memadai
Sumber: Ilham et al. (2011)

Dalam Peraturan Menteri Pertanian 24/M-DAG/Per/9/2011 tentang Ketentuan


No. 50/2011 tentang Rekomendasi Per- Impor dan Ekspor Produk Hewan disebutkan,
setujuan Pemasukan Karkas, Daging, Jeroan selain kinerja impor sebelumnya (past
dan/atau Olahannya ke dalam Wilayah performance) dan IKHS, juga disebutkan
Indonesia disebutkan bahwa pembagian kuota bahwa pembagian kuota impor daging
impor daging per perusahaan dilakukan berdasarkan loading capacity maximum (daya
berdasarkan kemampuan merealisasikan tampung gudang). Dua peraturan ini
produk hewan, daya tampung Instalasi menunjukkan ketidakjelasan kriteria mana
Karantina Hewan Sementara (IKHS), dan yang digunakan dalam pembagian kuota impor
ketaatan dalam melaksanakan peraturan daging di antara importir, sehingga ada
dalam pemasukan dan pengeluaran produk perusahaan yang mempunyai kinerja baik dan
hewan. Sementara, pada Permendag No. kapasitas besar tetapi mendapat kuota sedikit,

KINERJA KEBIJAKAN SWASEMBADA DAGING SAPI NASIONAL Ening Ariningsih

143
sebaliknya ada perusahaan yang mempunyai keran impor daging dibuka selebar-lebarnya.
kinerja kurang baik, tetapi mempunyai daya Demikian pula, jika biasanya pemerintah
tampung besar, mendapat jatah cukup besar. memberi izin impor sapi bakalan untuk
Akibatnya, para importir merasa diperlakukan digemukkan di Indonesia, saat itu pemerintah
tidak adil. membuka impor untuk sapi hidup siap potong,
Harga daging yang sejak Januari 2013 sehingga begitu tiba di Indonesia bisa
terus membumbung tinggi menyebabkan langsung dipotong. Terkait dengan hal ini,
pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kementerian Perdagangan menerbitkan
Perdagangan (Kemendag), menetapkan jatah Keputusan Menteri Perdagangan Nomor
impor daging sapi untuk Badan Urusan 699/M-DAG/KEP/7/2013 tentang Stabilisasi
Logistik (Perum Bulog) sebanyak 3 ribu ton Harga Daging Sapi. Dengan Kepmendag
atau sekitar tujuh persen dari perkiraan tersebut stabilisasi harga daging sapi
kebutuhan total. Bulog diharapkan mampu diupayakan dicapai dengan menambah
berperan menstabilisasi harga daging sapi pasokan sapi dengan mengimpor sapi dalam
yang masih tinggi. Impor yang dilakukan Bulog jumlah yang cukup, yang dilakukan secara
merupakan langkah untuk operasi pasar agar bertahap. Impor sapi tersebut dilakukan oleh
harga daging sapi yang ada di pasaran bisa industri pemotongan hewan, feedlotter yang
stabil pada tingkat harga Rp75.000/kg dan terintegrasi, dan Rumah Potong Hewan.
kuota sebanyak 3 ribu ton tersebut diharapkan Melalui Paket Kebijakan Penyelamat-
mampu menstabilkan harga daging sapi di an Ekonomi (PKPE) butir ke-9 pemerintah
pasar hingga bulan Desember 2013. kemudian mengubah mekanisme impor sapi
Pada kenyataannya, Bulog tidak dan daging sapi dari kuota impor menjadi
berhasil menjamin harga pada tingkat yang mekanisme impor berdasarkan harga
telah ditargetkan dan harga daging sapi pada referensi. Terkait dengan hal ini, Kementerian
saat Lebaran “stabil” pada kisaran harga di Perdagangan menerbitkan Permendag Nomor
atas Rp100.000/kg. Kegagalan Bulog dalam 46/M-DAG/KEP/8/2013 tentang Ketentuan
menstabilisasi harga daging sapi pada target Impor dan Ekspor Hewan dan Produk Hewan.
harga yang ditetapkan tersebut disebabkan Dalam peraturan tersebut ditetapkan bahwa
Bulog tidak berpengalaman dalam mengurusi mekanisme importasi daging sapi ditetapkan
tata niaga daging, sementara pada saat yang dengan harga referensi. Yang dimaksud harga
sama Bulog harus menghadapi “keroyokan” referensi di sini adalah harga daging sapi yang
importir daging yang tidak rela Bulog masuk menjadi acuan pembanding dengan harga
dalam bisnis ini. Sebelumnya, sejak Bulog daging sapi yang terjadi di pasaran. Harga
dibentuk tanggal 10 Mei 1967, Bulog berperan referensi daging sapi jenis potongan sekunder
sebagai lembaga stabilisasi harga pangan (secondary cuts) ditetapkan sebesar
dengan tugas pokok melaksanakan pengen- Rp76.000/kg. Jika harga daging sapi jenis
dalian harga beras, gabah, gandum, dan potongan sekunder di pasaran adalah 10
bahan pokok lainnya guna menjaga kestabilan persen di bawah harga referensi, impor sapi
harga, baik bagi produsen maupun konsumen dan daging sapi akan ditunda sementara
sesuai dengan kebijaksanaan umum sampai harga kembali mencapai harga
pemerintah. Memasuki Era Reformasi, melalui referensi. Keran impor kembali dibuka apabila
Keppres RI No. 45 tahun 1997 tugas pokok harga daging sapi di pasaran naik 15 persen
Bulog hanya dibatasi untuk komoditas beras dari harga referensi. Penentuan harga
dan gula pasir. Tugas ini lebih diciutkan lagi referensi ini dilakukan secara berkala agar
dengan Keppres RI No. 19 tahun 1998 di mendapat harga keseimbangan yang
mana peran Bulog hanya mengelola menguntungkan peternak, namun juga tidak
komoditas beras. Dengan demikian, tugas membebani konsumen.
Bulog dalam stabilisasi harga daging sapi Dengan berlakunya mekanisme
merupakan hal yang baru bagi Bulog. tersebut, pemerintah juga secara otomatis
Harga daging yang tidak kunjung turun menghentikan impor sapi siap potong yang
menyebabkan pada pertengahan Juli 2013 sebelumnya diterapkan untuk stabilisasi harga
Menteri Pertanian mengumumkan bahwa daging saat Lebaran. Evaluasi dilakukan oleh
pasokan daging dalam keadaan darurat dan Tim Pemantau Harga Daging Sapi yang

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 32 No. 2, Desember 2014: 137 – 156

144
dibentuk oleh Menteri Perdagangan yang PERMASALAHAN DALAM MENCAPAI
keanggotaannya terbentuk dari unsur instansi SWASEMBADA DAGING SAPI
terkait. Dengan demikian, ketentuan impor
sapi tersebut memberikan relaksasi bagi
Ketersediaan Pakan dan Bibit
masuknya sapi siap potong dan daging sapi.
Walaupun gagal dalam menstabilkan harga Ketersediaan Pakan
daging sapi di pasaran, dalam Permendag Pakan merupakan salah satu komponen
tersebut Bulog masih ditetapkan sebagai penting dalam usaha peternakan sapi,
Importir Terdaftar (IT) Hewan dan Produk khususnya usaha penggemukan sapi potong,
Hewan. karena mempengaruhi 70 persen produksi
ternak. Walaupun potensi genetik ternak tinggi,
Sistem periodisasi pengajuan per-
tanpa pakan yang cukup ternak tidak dapat
mohonan impor sapi dan daging sapi
memberikan hasil yang optimal (Siregar,
dilakukan per triwulan sesuai dengan masa
1994). Hal itu karena ternak memerlukan
berlaku persetujuan impor. Mekanisme ini
pakan yang kualitas maupun kuantitasnya
disusun dengan tujuan memudahkan
terjamin untuk memacu peningkatan produk-
penyesuaian volume impor berbasis harga tivitas dan reproduktivitas (Ginting, 1995).
(price reference). Permendag juga mengatur Akan tetapi, usaha sapi potong yang
kewajiban bagi importir merealiasasikan impor diperuntukkan menghasilkan daging ber-
hewan dan produk hewan khususnya sapi dan kualitas baik pada umumnya dihadapkan pada
daging sapi paling sedikit 80 persen dari masalah ketersediaan pakan, baik berupa
akumulasi persetujuan impor selama 1 tahun hijauan maupun konsentrat.
dengan sanksi IT-nya akan dicabut jika
importir tidak melaksanakan aturan ini. Ke- Di daerah pertanian ekstensif di mana
tentuan lain yang diubah adalah penghapusan lapangan penggembalaan umum tersedia luas
pelabuhan tujuan impor daging prime cuts seperti di Kawasan Timur Indonesia, ternak
sapi umumnya cukup digembalakan, sehingga
yaitu Bandara Soekarno-Hatta Jakarta,
rumput alam merupakan satu-satunya sumber
Bandara Ngurah Rai Bali, dan Bandara
pakan ternak. Akan tetapi, persaingan
Polonia Medan. Selain itu, mekanisme
penggunaan lahan akibat pertambahan pen-
verifikasi atau penelusuran teknis di negara
duduk menyebabkan lahan penggembalaan
asal muat barang untuk impor juga
terkonversi menjadi area pertanian atau lahan
dihapuskan.
untuk pemukiman, dan pembangunan
Baik kebijakan pemberlakuan pem- subsektor lainnya, sehingga produksi hijauan
batasan daging sapi melalui instrumen kuota terbatas dan daya tampung padang peng-
impor maupun harga referensi terbukti tidak gembalaan tidak lagi seimbang dengan
efektif menstabilkan harga daging sapi karena kebutuhan per satuan ternak (Hadi dan
kedua instrumen kebijakan tersebut rentan Purwantini, 1999; Boer dan Kasryno, 2005;
terhadap permainan pedagang/mafia impor. Hendri, 2013). Konsumsi hijauan yang tidak
Kebijakan pemberlakuan pembatasan daging sesuai kebutuhan akan menekan pertumbuhan
sapi melalui penerapan kuota impor yang ternak sehingga kinerja produksi berada di
dilakukan oleh pemerintah tidak konsisten bawah potensi genetiknya. Dengan demikian,
dengan (melanggar) aturan World Trade ketersediaan ladang penggembalaan telah
Organization (WTO) (GATT 1994). Selain itu, menjadi salah satu sumber masalah dalam
menurut Erwidodo (2014a), instrumen kuota simpul agribisnis sektor peternakan, yaitu di
impor hanya menguntungkan pencari rente subsistem pengadaan sarana produksi dan
(segelintir importir dan pedagang), tetapi budi daya.
membebani konsumen dan perekonomian. Di Sebaliknya, di daerah pertanian inten-
sisi lain, walaupun tidak melanggar aturan sif umumnya digunakan sistem kereman
WTO, Erwidodo (2014b) menyatakan bahwa dengan jenis pakan yang berbeda, yaitu terdiri
kebijakan harga referensi impor yang atas hijauan dan konsentrat, walaupun
diterapkan pemerintah (Kemendag) atas dasar sebagian besar berupa pakan hijauan, ter-
perhitungan tingkat keuntungan petani (30- utama pada usaha pembibitan. Pakan hijauan
40% di atas BEP) yang diusulkan Kementan yang merupakan sumber serat kasar berasal
cenderung ‘overestimasi’ sehingga berakibat dari rumput segar (rumput raja) yang ditanam
harga eceran daging sapi terlalu tinggi. pada pematang sawah atau lahan lainnya,

KINERJA KEBIJAKAN SWASEMBADA DAGING SAPI NASIONAL Ening Ariningsih

145
serta sisa-sisa tanaman, seperti jerami padi, (6) UPT terkait belum mampu memproduksi
jerami jagung atau jerami kacang-kacangan dan mendistribusikan ternak dalam jumlah
(Hadi dan Ilham, 2000), atau bahkan limbah yang memadai, dan kurang responsif terhadap
rumah tangga (Yusdja dan Ilham, 2004). meningkatnya minat peternak akan semen
Sementara pakan konsentrat, terutama untuk sapi unggul jenis tertentu; dan (7) pihak
penggemukan, terbuat dari bahan padat swasta belum ada yang tertarik pada usaha
energi, seperti bekatul, jagung, ubi kayu, pembibitan karena kurang menguntungkan
ampas ubi kayu, dan ampas tahu. dibanding usaha penggemukan (Hadi dan
Menurut Mayulu et al. (2010) potensi Ilham, 2002).
bahan baku pakan lokal seperti limbah Masalah minimnya tenaga penyuluh
pertanian dan perkebunan belum diman- pertanian, tenaga medis, dan paramedis
faatkan secara optimal, dan sebagian besar veteriner yang menangani reproduksi dan
digunakan sebagai bahan bakar, pupuk kesehatan hewan serta belum optimalnya
organik atau bahan baku industri, padahal di peran Balai Pembibitan Ternak Unggul
sisi lain salah satu kendala dalam usaha sebagai pusat pembibitan sapi secara nasional
ternak sapi potong adalah produktivitas ternak juga diungkapkan oleh Junaidi (2013).
yang rendah karena pakan yang diberikan Sementara, Arif et al. (2011) menyatakan
berkualitas rendah. Sebagai contoh, jerami bahwa pola pembibitan yang kurang intensif
padi merupakan limbah pertanian yang dan pengetahuan peternak untuk melakukan
tersedia dalam jumlah cukup banyak dibanding pembibitan yang masih rendah merupakan
dengan limbah pertanian lainnya, serta mudah kendala pencapaian PSDS dari aspek
diperoleh untuk dimanfaatkan sebagai pakan pembibitan.
ternak. Namun, hambatan pemanfaatan jerami
padi secara luas sebagai sumber pakan ternak
Permasalahan Teknis Budi Daya dan Sosio-
adalah rendahnya nilai nutrisi bila
Budaya
dibandingkan dengan pakan hijauan. Untuk
mengatasi hal tersebut, maka perlu diperbaiki Struktur industri sapi potong di Indonesia
dengan teknologi untuk meningkatkan nilai gizi didominasi oleh peternakan rakyat (lebih dari
jerami padi. 90 persen), yang memiliki ciri sebagai berikut
(Eni et al., 2006): (1) skala usaha relatif kecil,
berkisar antara 1-5 ekor; (2) merupakan usaha
Ketersediaan Bibit rumah tangga; (3) pemeliharaan bersifat
Pembibitan sapi potong merupakan sumber tradisional; (4) ternak sering digunakan
utama sapi bakalan bagi usaha penggemukan sebagai sumber tenaga kerja; dan (5) ternak
sapi potong di Indonesia, di samping sapi asal sebagai penghasil pupuk kandang dan
impor dari Australia yang juga menjadi sumber tabungan yang memberikan rasa aman pada
sapi bakalan, walaupun peranannya masih musim paceklik. Menurut Junaidi (2013)
relatif kecil. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku usaha peternakan
sumber utama daging sapi bagi konsumsi adalah petani kecil dengan tingkat pendidikan
nasional masih tergantung pada usaha peternak yang rendah, di mana sekitar 25
pembibitan dalam negeri yang berupa pe- persen tidak tamat SD dan 37 persen lulusan
ternakan rakyat. Akan tetapi, pengembangan SD. Ilham et al. (2009) menyebutkan bahwa
usaha pembibitan di dalam negeri menghadapi peternak kecil umumnya membudidayakan
beberapa masalah yaitu: (1) di daerah sentra sapi lokal dengan jumlah pemilikan sedikit dan
produksi pertanian usaha pembibitan menurun jauh dari skala usaha optimal. Demikian pula
karena berkurangnya permintaan tenaga kerja peternak masih mengerjakannya dengan pola
ternak untuk mengolah tanah sebagai tradisional.
konsekuensi dari semakin tingginya intensitas Kondisi demikian menyebabkan
tanam terutama padi; (2) upaya IB masih rendahnya produktivitas sapi lokal karena
kekurangan tenaga inseminator, semen bangsa manajemen pemeliharaan belum efisien dan
sapi unggul dan fasilitas IB; (3) skala usaha tingkat kematian ternak yang tinggi, terutama
kecil karena tenaga kerja keluarga yang akibat kekurangan pakan pada musim
terbatas; (4) areal padang penggembalaan kemarau. Masalah lain yang juga sering
semakin sempit karena terjadi konversi ke muncul dalam usaha ternak sapi potong
penggunaan lain; (5) adanya penyakit adalah kawin berulang (S/C>2) dan rendahnya
reproduksi pada sistem pembibitan ekstensif; angka kebuntingan (<60%) sehingga jarak

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 32 No. 2, Desember 2014: 137 – 156

146
beranak (calving interval) menjadi panjang Terlepas dari masalah akurasi data,
(>18 bulan). Kondisi ini berdampak rendahnya penurunan populasi sapi yang tajam pada
perkembangan populasi sapi per tahun dan tahun 2013 dibandingkan dengan data hasil
menurunnya pendapatan petani dari usaha sensus khusus ternak oleh BPS pada 2011
ternak (Matondang dan Rusdiana, 2013). ditengarai sebagai akibat dari pemotongan
Hadi dan Ilham (2000) menyebutkan sapi secara besar-besaran karena harga
bahwa tenaga keluarga peternak sangat daging sapi yang bertahan relatif tinggi,
terbatas (1-2 orang dewasa) dan kemampuan termasuk sapi betina produktif. Tingginya
peternak membayar tenaga kerja upahan kasus pemotongan betina produktif terjadi
sangat rendah. Di samping itu, usaha karena sulitnya mengontrol pemotongan sapi
memelihara ternak merupakan usaha sambilan betina produktif (Arif et al., 2011; Junaidi,
di samping usahatani utama tanaman pangan. 2013; Saptana dan Daryanto, 2013). Yang
Hal ini menyebabkan kemampuan peternak dimaksud sapi betina produktif di sini adalah
mencari pakan (terutama rumput) sangat sapi betina dalam strata umur produktif yaitu
terbatas, sehingga jumlah ternak yang umur 1 hingga 5 tahun. Strata umur ini
dipelihara menjadi terbatas. Di daerah merupakan kondisi pencapaian laju produksi
pertanian ekstensif, karena ternak sapi dilepas puncak (peak product) sapi betina untuk
maka peternak hampir tidak pernah melakukan menghasilkan produksi terbaik/optimum
pengawasan terhadap kesehatan ternaknya (Soejosopoetro, 2011). Pemotongan sapi
(Hadi dan Purwantini, 1999) betina produktif mengancam kelestarian
populasi ternak sapi, terlebih jika sedang
Sementara itu, menurut Hutabarat et bunting, karena menyebabkan dua kematian
al. (2009) pemeliharaan sapi oleh para yaitu induk dan anaknya.
peternak merupakan usaha backyard farming
yang difungsikan sebagai tabungan. Budaya Hasil kajian Soejosopoetro (2011) di
peternak yang menjadikan sapi sebagai Kabupaten Malang menunjukkan bahwa
‘tabungan hidup’ mempengaruhi pasar. persentase sapi betina produktif yang dipotong
Walaupun harga sapi di pasar bagus dan mencapai 15 persen di RPH Singosari dan 26
secara teknis sudah waktunya dipotong, jika persen di RPH Gadang. Hasil pengamatan
peternak tidak sedang membutuhkan uang, Hafid dan Syam (2000) pada RPH di
maka mereka tidak akan menjualnya. Hal ini Kotamadya Kendari menunjukkan secara
mengakibatkan kesulitan dalam mengukur stok spesifik teramati tingginya (95,1%) intensitas
sapi, sebenarnya berapa yang bisa dipotong. pemotongan sapi betina bunting dengan
indikator ditemukannya embrio/janin pada
uterus (rahim) sapi. Secara nasional
Tingginya Pemotongan Betina Produktif diperkirakan sekitar 150-200 ribu ekor sapi
Data Badan Pusat Statistik terkait hasil betina produktif dipotong setiap tahunnya
rekapitulasi jumlah ternak pemutakhiran untuk (Diwyanto, 2011). Jumlah ini sangat besar dan
Sensus Pertanian (ST) 2013 menyebutkan dapat mengganggu populasi dan produksi
populasi sapi potong dalam negeri hanya daging yang berasal dari sapi lokal.
12,69 juta ekor, di mana dibandingkan dengan Menurut Diwyanto (2011), sebenarnya
Sensus Sapi 2011 (14,8 juta ekor) jumlah ini pemotongan sapi betina produktif sejak zaman
berkurang sebanyak 14,26 persen. Jika Hindia Belanda telah dilarang. Pelarangan
mengacu pada proyeksi Kementerian tersebut juga diatur dalam Undang-Undang
Pertanian dalam cetak biru Swasembada Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
Daging Sapi 2014, populasi sapi potong 2013 ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan
ini seharusnya mencapai 16,6 juta ekor, yang Hewan. Namun, larangan tersebut tidak
berarti naik 2 juta ekor dibandingkan 2011 dikenai sanksi, sehingga implementasinya di
yaitu 14,6 juta ekor karena peningkatan lapang tidak efektif. Selanjutnya, setelah
populasi. Populasi 16,6 juta ekor itu juga diundangkannya Undang-Undang Nomor 18
sudah memperhitungkan pasokan daging sapi Tahun 2009 tentang Peternakan dan
ke pasar dalam negeri yang terus naik setiap Kesehatan Hewan pada tanggal 4 Juni 2009,
tahun (Ditjennak, 2010). Melihat data hasil maka terdapat landasan hukum yang lebih
pemutakhiran populasi sapi pada Sensus 2013 kuat untuk mencegah pemotongan sapi betina
dan membandingkannya dengan proyeksi produktif. Bagi yang melanggar larangan ini
sesuai cetak biru, terjadi selisih populasi diancam sanksi administratif berupa denda
hingga hampir 4 juta ekor. sedikitnya Rp5 juta, dan ketentuan pidana

KINERJA KEBIJAKAN SWASEMBADA DAGING SAPI NASIONAL Ening Ariningsih

147
dengan pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) terdapat di Pulau Jawa dan Sumatera yaitu
bulan (Pasal 85 dan Pasal 86). Akan tetapi, 69,06 persen dari populasi sapi potong
kenyataan di lapang menunjukkan bahwa nasional. Populasi sapi potong di Sulawesi,
pemotongan sapi betina produktif masih Kalimantan, Maluku dan Papua mencapai
banyak terjadi dan sulit dikendalikan. 16,77 persen, sedangkan di Pulau Bali dan
Ilham (2006) menyatakan faktor-faktor Nusa Tenggara sebanyak 14,18 persen dari
yang mendorong pemotongan sapi betina total populasi sapi potong.
produktif adalah: (1) peternak memerlukan Sementara itu, mengacu pada data
dana tunai untuk kebutuhan hidupnya, Sensus Penduduk tahun 2010, jumlah
sehingga menjual sapi betina yang dimiliki; (2) penduduk di Jawa dan Sumatera sebanyak
harga sapi betina lebih murah dibanding sapi 186,7 juta orang atau 78,8 persen dari total
jantan, padahal harga jual dagingnya sama, seluruh penduduk Indonesia. Dengan asumsi
sehingga menarik pembeli; (3) adanya konsumsi daging sapi 2,2 kg per kapita seperti
pemotongan di luar rumah potong hewan yang ditetapkan Kementerian Perdagangan,
(RPH) pemerintah; dan (4) banyak RPH yang maka kebutuhan konsumsi daging sapi di
berorientasi keuntungan semata sehingga Pulau Jawa dan Sumatera diperkirakan
melakukan pemotongan sapi betina produktif. sebanyak 410 juta kg per tahun atau setara
Menurut Diwyanto (2011), lemahnya peng- dengan 2,98 juta ekor sapi potong lokal
awasan oleh petugas serta inkonsistensi (asumsi rata-rata berat sapi potong lokal 350
dalam penegakan peraturan juga merupakan kg dengan berat karkas 54%). Bila
salah satu penyebab tingginya kejadian dibandingkan dengan data populasi sapi
pemotongan sapi betina produktif di Indonesia. potong di Jawa dan Sumatera yang
Selain itu, kebijakan untuk meningkatkan PAD diperkirakan berjumlah 8,6 juta ekor (69,09%
dari setiap RPH juga menjadi alasan petugas dari total populasi sapi potong), semestinya
untuk melakukan pembiaran pemotongan sapi kebutuhan konsumsi daging sapi di kedua
betina produktif. lokasi tersebut dapat dipenuhi sendiri
(Harianto, 2013).
Ketimpangan Distribusi Pasokan Sapi dan Namun kenyataannya, karena peme-
Daging Sapi liharaan ternak di Jawa sebagian besar
bersifat tabungan keluarga dengan jumlah
Mahalnya harga daging sapi di pasar domestik pemilikan sapi rata-rata 1–2 ekor per KK,
memicu terjadinya silang pendapat mengenai maka ketersediaannya untuk memenuhi
ketersediaan pasokan sapi lokal. Dalam hal ini, kebutuhan konsumsi khususnya di Jawa tidak
pemerintah masih berpegangan bahwa dapat dipastikan. Oleh karena itu, masih harus
pasokan sapi lokal sangat cukup namun hanya didatangkan sapi dari kawasan sentra sapi
terkendala distribusi. Menurut Suswono potong seperti Bali dan Nusa Tenggara. Pulau
(2014), secara teoritis menurut hasil Sensus Bali dan Nusa Tenggara yang dihuni 5,5
2011 dengan populasi sapi nasional sebesar persen penduduk Indonesia memiliki 14,18
14,8 juta ekor sebenarnya ternak sapi dapat persen dari populasi sapi potong nasional
dipotong sebanyak 2,5 juta ekor per tahun. (Harianto, 2013).
Akan tetapi, kondisi geografis Indonesia
menyebabkan penyediaan daging terkendala
dengan masalah transportasi antarpulau dan Permasalahan dalam Tataniaga Sapi
sebagainya. Selain biayanya mahal, distribusi Potong
sapi juga tidak mudah dilakukan. Menurut Harianto (2013), pasokan daging sapi
Di Indonesia, wilayah-wilayah yang di Pulau Jawa, terutama di wilayah
merupakan sumber utama ternak sapi potong Jabodetabek tidak menjadi masalah apabila
adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi distribusi sapi dari daerah sentra dapat
Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Teng- dilakukan dengan mudah dan biaya murah.
gara Timur, Lampung, Bali, dan Nanggroe Kelebihan potensi populasi sapi potong di Bali
Aceh Darussalam (Burhani, 2013). Data BPS dan Nusa Tenggara yang cukup besar sulit
menunjukkan bahwa sebaran populasi ternak untuk disalurkan ke Jawa dan Sumatera
sapi dan sebaran penduduk yang merupakan karena tata niaga daging sapi domestik masih
konsumen daging sapi di tanah air tidak mengandalkan pada pengiriman sapi hidup
merata. Mengacu pada data Sensus Pertanian dan masih memiliki hambatan yang cukup
tahun 2013, populasi sapi potong terbesar banyak sehingga belum efisien. Belum

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 32 No. 2, Desember 2014: 137 – 156

148
memadainya jumlah dan kapasitas alat angkut RPH tersebut, sehingga berdasarkan temuan
(truk dan kapal) dan minimnya kualitas sarana KPK ada lima RPH yang dibiarkan
angkutan baik truk maupun kapal yang “menganggur” atau kosong karena tidak
digunakan merupakan penyebab utama dari menerima sapi lokal. Kedua cara tersebut
inefisiensi ini. menyebabkan tingginya harga daging sapi di
Selanjutnya, Harianto (2013) juga pasaran.
menyatakan bahwa sistem bongkar muat
ternak sapi di pelabuhan yang dilakukan Permasalahan dalam Impor Sapi Potong
dengan teknik yang kurang memperhatikan dan Daging Sapi
kenyamanan ternak juga menjadi faktor
penyebab tingginya stress pada ternak. Mafia Impor Daging Sapi
Terlebih lagi, belum semua pelabuhan memiliki Sebagian pihak menduga bahwa tingginya
holding ground untuk tempat pengumpulan harga daging di pasaran tidak semata-mata
ternak dan pemeriksaan karantina sebelum disebabkan karena kelangkaan pasokan.
naik maupun setelah turun dari atas kapal. Wibowo (Republika.co.id, 12 Pebruari 2013)
Kondisi ini diperburuk dengan adanya retribusi mensinyalir adanya permainan kelompok
yang harus dikeluarkan selama proses mafia yang mengatur ketersediaan daging dan
pengangkutan mulai dari desa, kecamatan, yang paling bertanggung jawab atas tingginya
provinsi sampai ke daerah tujuan. Sampai saat harga daging di pasaran. Modus dari kelompok
ini, pengangkutan ternak dari Nusa Tenggara mafia ini antara lain: Pertama, estimasi
masih menggunakan kapal kayu dan kargo kebutuhan komoditas pangan dilebih-lebihkan,
yang berkapasitas kecil yaitu sekitar 300-500 sehingga terdapat gap besar antara supply
ekor per pengiriman. and demand sehingga terkesan impor menjadi
Menurut Harianto (2013), biaya logistik keharusan. Kedua, membuat lonjakan harga
yang tinggi menjadi kendala serius di wilayah komoditas pangan pada bulan-bulan tertentu,
Indonesia Timur. Salah satu penyebabnya sehingga impor pangan terjustifikasi. Salah
adalah tidak adanya jaminan muatan balik dari satu cara yang dilakukan adalah menahan
wilayah timur bagi angkutan kargo (backhaul), stok sapi tidak segera dipotong sehingga
yang menyebabkan ongkos angkut dari dan ke terjadi kelangkaan daging sapi di pasar.
Wilayah Timur Indonesia menjadi lebih tinggi Ketiga, mendorong kemudahan perpajakan
dibandingkan dari dan ke Wilayah Barat sehingga importir mendapat keuntungan besar
Indonesia. Kondisi proses pengangkutan sapi dari pembebasan PPN, bea masuk dan PPh.
seperti itu mengakibatkan pasokan daging sapi Keempat, memainkan berbagai mekanisme
lokal dari wilayah sentra ke wilayah yang pengaturan seperti kuota impor.
membutuhkan menjadi sangat terbatas
dengan biaya angkut yang mahal. Sebaliknya,
daging sapi impor dari Australia jauh lebih Dominasi Australia dan Selandia Baru,
cepat didatangkan dan dengan biaya yang Alternatif Negara Asal Impor Lain dan
lebih murah, sehingga biaya angkutan Resiko PMK
antarpulau seringkali jauh di atas biaya Data BPS tahun 2012 terkait impor sapi hidup
angkutan impor dari negara lain. dan produk-produk sapi menunjukkan bahwa
Di sisi lain, Muqoddas (Republika. 100 persen impor sapi hidup, baik berupa sapi
co.id, 20 Pebruari 2013) juga mengungkapkan bakalan maupun sapi siap potong, berasal dari
adanya kartel dalam perdagangan daging sapi Australia. Sementara itu, 82,6 persen daging
di Indonesia. Salah satu modus dari mafia sapi segar dan beku impor berasal dari
kartel ini adalah memborong sapi potong yang Australia, sedangkan sisanya berasal dari
sudah siap dikirim ke Jakarta atau ke Pulau Selandia Baru (14,3%) dan Amerika Serikat
Jawa (sebagai tengkulak), dan menjualnya di (3,1%). Demikian pula halnya dengan impor
Jakarta dengan harga dua kali lipatnya. jeroan sapi yang didominasi oleh Australia
Kalaupun sapi potong ini telah tiba di Jakarta (68,3%), sementara dari Selandia Baru hanya
tanpa melalui perantaraannya, mafia ini sudah 28,5 persen dan Amerika Serikat 3,2 persen.
membatasinya dengan meminta RPH-RPH Melihat kondisi seperti itu, nyata bahwa
untuk tidak menerima sapi potong. Mafia ini ketergantungan Indonesia terhadap Australia
memberikan fee lebih besar jika RPH hanya dalam hal impor sapi maupun produk-
mau menerima sapi impor untuk dipotong di produknya sangat tinggi, sehingga sangat

KINERJA KEBIJAKAN SWASEMBADA DAGING SAPI NASIONAL Ening Ariningsih

149
riskan dilihat dari sisi ekonomi maupun pintu masuk yang sulit dikendalikan dan paling
ketahanan pangan. berpeluang untuk kembalinya PMK justru
Dilihat dari sisi ekonomi, impor dari melalui daging impor selundupan.
negara alternatif lain memungkinkan untuk
dilakukan, akan tetapi dampak kesehatan UPAYA MEMPERCEPAT TERCAPAINYA
hewan juga harus dijadikan pertimbangan SWASEMBADA DAGING SAPI
(Naipospos, 2014). Satu-satunya penghalang
impor adalah pemberlakuan sistem negara
bebas penyakit dan bukan zona bebas seperti Manajemen Ketersediaan Pakan dan Bibit
tertuang dalam UU No 18/2009 tentang Manajemen Ketersediaan Pakan
Peternakan dan Kesehatan Hewan. Dalam hal
ini, dampak Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) Manajemen ketersediaan pakan dapat dilaku-
telah menyebabkan pasar ternak dan daging kan dengan cara menempatkan lokasi peng-
dunia terbelah menjadi dua, yaitu pasar yang gemukan di daerah sentra produksi tanaman
dimiliki negara bebas PMK dan pasar negara pangan dan sayuran dengan mengadopsi
di mana PMK masih berjangkit, endemik. sistem usahatani tanaman dan ternak secara
Hampir semua negara endemik ada di Asia, terpadu/terintegrasi (Crop-Livestock System/
Afrika, dan Amerika Selatan. Banyak negara CLS) (Hadi dan Ilham, 2000; Kariyasa, 2005;
tidak mengimpor sapi hidup ataupun daging Priyanto, 2011). Menurut Kariyasa (2005),
segar, dingin, atau beku dari negara endemik sistem integrasi tanaman-ternak dapat
PMK. Akibatnya, banyak negara endemik mengatasi masalah ketersediaan pakan,
(terutama negara berkembang dan miskin) sementara menurut Priyanto (2011), pola
tersisih dari perdagangan dunia sebab tersebut merupakan salah satu upaya efisiensi
pasokan ternak dan daging terbatas hanya usaha untuk meningkatkan pendapatan petani.
dari negara maju. Dalam konsep CLS peternak diharapkan
mampu memanfaatkan limbah pertanian,
Menurut Naipospos (2014), tidak limbah industri pertanian, dan tanaman yang
banyak negara maju yang mampu ada di lahan pertanian sebagai bahan baku
mengekspor sapi hidup. Indonesia merupakan pakan ternak yang murah dan mudah
pasar sapi hidup terbesar bagi Australia meski diperoleh di lokasi sehingga menekan biaya
Australia sendiri hanya negara pengekspor produksi usaha ternak. Sebaliknya, kompos
peringkat ketiga dunia. Brasil dan India dari kotoran ternak dimanfaatkan sebagai
berpopulasi sapi terbesar (masing-masing 189 pupuk tanaman. Sistem seperti ini dapat
juta dan 187 juta ekor) diikuti China (lebih dari menekan biaya produksi dan memperbaiki
100 juta ekor), Amerika Serikat (lebih dari 90 kesuburan lahan, sehingga menciptakan
juta ekor), Australia (28,5 juta ekor), dan usaha yang berdayasaing dan berkelanjutan.
Selandia Baru (3,69 juta ekor). Australia, Untuk ternak sapi potong, integrasi usahatani
Brasil, dan AS secara tradisional merupakan tanaman dan ternak bukan hanya dilakukan
negara utama pengekspor daging sapi. dalam usaha penggemukan sapi potong saja,
Selanjutnya Naipospos (2014) juga melainkan juga dilakukan untuk meningkatkan
menyatakan bahwa selain akses pasar, PMK skala usaha pembibitan ternak sapi potong
juga mempengaruhi harga. Harga daging dari (Winarso dan Basuno, 2013).
negara bebas PMK, seperti AS, Kanada, Pada integrasi sapi-sawit bahan pakan
Australia, Jepang, dan Selandia Baru lebih dapat diperoleh dari pelepah sawit, bungkil inti
tinggi daripada negara endemik. Hal ini sawit, lumpur sawit, serabut perasan buah
dikhawatirkan menimbulkan peluang bagi sawit, tandan kosong, cangkang (Umar, 2009),
segelintir pihak yang tidak bertanggung jawab serta tanaman hijauan yang terdapat di lahan
untuk menyelundupkan daging sapi dari perkebunan sawit. Pada integrasi sapi-tebu
negara atau zona yang tidak bebas PMK bahan pakan dapat berupa daun pucuk tebu
ataupun penyakit lain, seperti penyakit sapi dan daun rogesan, ampas tebu (bagase), dan
gila, yang harganya jauh lebih murah demi molase (Khuluq, 2012; Zigrabu, 2013)
kepentingan pribadinya semata tanpa peduli termasuk anakan tebu (Romli et al., 2012).
akan dampak buruk yang akan ditimbul- Sementara, pada integrasi sapi-padi/jagung
kannya. Dengan demikian, risiko masuknya bahan pakan dapat berupa jerami, dedak padi,
PMK tak hanya lewat perdagangan resmi dari tongkol jagung, dan tebon jagung (batang dan
negara atau zona bebas PMK saja, namun daun jagung sisa panen).

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 32 No. 2, Desember 2014: 137 – 156

150
Menurut Diwyanto et al. (2004), limbah dan jagung. Pembuatan silase pucuk tebu
perkebunan sawit mempunyai potensi cukup dengan tambahan urea dan molase
besar untuk menyediakan sumber pakan berpengaruh nyata terhadap kandungan N dan
dengan daya tampung 1-3 ekor per ha kebun rasio C/N.
kelapa sawit. Bila bagase diproses dan Efryantoni (2009) menyebutkan bahwa
ditambahkan dalam pakan, maka tambahan pengembangan program integrasi kelapa-sawit
sekitar 20 ekor sapi lagi dapat dibesarkan. (SISKA) mempunyai peluang pengembangan
Pada perkebunan tebu, Murni et al., 2008 yang sangat prospektif ditinjau dari aspek
menyebutkan bahwa limbah tanaman berupa permintaan sapi nasional, ketersediaan pakan
pucuk tebu mencapai sekitar 30 persen, sapi melalui sinergi dengan kebun sawit dan
sedangkan menurut Romli et al., 2012 limbah hasil samping proses pengolahan hasil kebun,
pucuk tebu mencapai 30,8 ton/ha. Sementara serta pemanfaatan kotoran sapi secara
menurut Kuswandi (2007), dengan hamparan maksimal. Diperkirakan bahwa sekitar 70-80
100 ha kebun tebu diperkirakan dapat persen dari areal perkebunan kelapa sawit
menghasilkan pucuk tebu sebanyak 380 ton dapat dimanfaatkan sebagai sumber hijauan
bahan kering, yang dapat memelihara tidak pakan ternak. Di dalam pola integrasi ini,
kurang dari 347-520 ekor sapi dengan bobot tanaman kelapa sawit sebagai komponen
hidup 200 kg sepanjang tahun bila sapi utama, sedangkan ternak sebagai komponen
mampu mengonsumsi bahan kering 1-1,5 pelengkap. Pada perkebunan kelapa sawit
persen dari bobot hidup. Data Kementerian juga terdapat potensi vegetasi rumput liar dan
Pertanian (2014) menunjukkan luas areal tanaman pengganggu yang dapat dimakan
kelapa sawit tahun 2013 mencapai 10.465 ribu oleh ternak.
ha, sedangkan luas areal tebu adalah 469 ribu
ha, dan luas panen padi dan jagung masing-
masing adalah 13.836 ribu ha dan 3.822 ribu Pengembangan Usaha Pembibitan Sapi
ha yang menunjukkan potensi yang besar Potong
dalam menyediakan sumber pakan sapi Menurut Hadi dan Ilham (2002), dalam jangka
potong. pendek pengembangan pembibitan perlu
Hal yang perlu diperhatikan dalam diprioritaskan di Pulau Jawa. Dalam jangka
pemanfaatan limbah terkait dengan sistem panjang, usaha pembibitan perlu diarahkan ke
integrasi sapi-tanaman adalah kandungan gizi, daerah-daerah luar Jawa yang mempunyai
sifatnya yang kamba (bulky), dan distribusi cukup sumber pakan, terdapat lahan cukup
ketersediaannya selama setahun. Sifat bagase luas untuk membangun “pasture” dan
yang kamba menyebabkan biaya transportasi mempunyai prasarana transportasi yang cukup
dan penggudangan yang tinggi. Terkait baik.
dengan distribusi ketersediaan, Romli et al. Beberapa langkah ke depan yang
(2012) menunjukkan bahwa ketersediaan perlu ditempuh antara lain: Pertama, mengatur
limbah tanaman tebu dapat dimanfaatkan perkawinan melalui teknik IB dengan beberapa
untuk pakan ternak selama bulan Juni- alternatif kombinasi bangsa sapi. Alternatif I:
Desember. Pemanfaatan di luar waktu itu menggunakan semen bangsa sapi potong
dapat dilakukan melalui proses pengawetan unggul (Simmental dan sederajat) dan induk
lebih lanjut, yang sekaligus dapat PFH yang sudah mencapai fase “culling”,
meningkatkan kualitas pakan. khususnya di daerah-daerah pengembangan
Terkait dengan kandungan gizinya, sapi perah. Alternatif II: menggunakan semen
menurut Khuluq (2012), proses pengolahan bangsa sapi potong unggul (Simmental dan
limbah perlu dilakukan untuk meningkatkan sederajat) dan induk bangsa sapi lain yang
nilai nutrisi dan daya cerna pakan limbah tebu. mempunyai kemampuan cukup besar dalam
Sebagai contoh, pengolahan ampas tebu menghasilkan susu, khususnya di daerah-
dengan cara fermentasi menggunakan daerah dengan populasi PFH terbatas.
Phanerochaete chrysosporium (jamur pelapuk) Alternatif III: menggunakan induk PO dengan
15 g/kg ampas tebu mampu meningkatkan semen PO untuk perkawinan pertama dan
kecernaan bahan kering dan bahan organik semen Simmental dan sederajat untuk
pakan (Rayhan et al., 2013). Contoh lain, perkawinan kedua dan seterusnya. Kedua,
kandungan bahan kering pucuk tebu lebih memberikan pelayanan IB sebaik mungkin
rendah dari bahan kering jerami padi, namun kepada peternak melalui peningkatan
protein kasarnya lebih tinggi dari jerami padi keterampilan petugas IB, penyediaan fasilitas

KINERJA KEBIJAKAN SWASEMBADA DAGING SAPI NASIONAL Ening Ariningsih

151
kerja, dan penyediaan semen sapi unggul produktif secara terkendali (terbatas),
yang diminati peternak. Penyuluhan tentang sementara untuk wilayah kosong ternak harus
tanda-tanda berahi sapi induk, pemberian ada kebijakan untuk pengadaan sapi lokal
pakan dan perawatan perlu diteruskan. Kinerja untuk dikembangbiakkan yang berasal dari
UPT pembibitan dan UPT IB dalam wilayah padat ternak. Untuk merealisir
memberikan pelayanan kepada masyarakat kebijakan ini diperlukan dukungan dana dan
peternak juga perlu ditingkatkan. Ketiga, kelembagaan yang memadai, serta dibarengi
memperpanjang HGU (75-100 tahun) serta dengan pengawalan dan pengawasan yang
memberikan keringanan bunga bank, ketat. Sejauh ini, dukungan dari pemerintah
penundaan cicilan utang, pembebasan daerah berupa pelarangan pemotongan sapi
sementara pajak selama usaha belum betina produktif sangat terbatas. Hingga kini
berproduksi, dan kemudahan izin usaha baru dua provinsi yang mengeluarkan Perda
kepada investor. Keempat, mengintegrasikan larangan pemotongan sapi betina produktif,
daerah pengembangan pembibitan dengan yaitu Jawa Timur dan Bengkulu.
daerah penggemukan dengan memperhatikan
ketersediaan pakan (Hadi dan Ilham, 2002).
Pembenahan Sistem Distribusi dan
Tulang punggung peternakan sapi Tataniaga Sapi Potong
potong di Indonesia adalah peternak sapi
rakyat. Oleh karena itu, dalam program Dalam rangka mengendalikan kenaikan harga
pembibitan sapi potong pemerintah harus daging sapi, Pemerintah telah menunjuk
memprioritaskan pengembangan sapi potong Perum Bulog untuk melakukan impor daging
kepada peternak sapi rakyat. sapi dan menggelar operasi pasar. Menurut
Harianto (2013), langkah ini merupakan
kebijakan jangka pendek yang diambil untuk
Pengendalian Pemotongan Sapi Betina mengatasi permasalahan pasokan daging sapi
Produktif dan tingginya lonjakan harga daging sapi,
Menurut Diwyanto (2011), kebijakan sedangkan untuk jangka menengah–panjang,
penyelamatan sapi betina produktif harus pembenahan sistem distribusi sapi lokal hidup
dimulai dari hulunya, yaitu pada tingkat harus dilakukan secara komprehensif dan
peternak. Pada saat memerlukan uang cash, tidak bersifat sektoral. Penambahan jumlah
peternak akan menjual apa saja yang dan peningkatan kapasitas serta kualitas alat
dimilikinya, termasuk sapi. Oleh karena itu, angkut ternak sapi perlu dilakukan baik untuk
pengembangan ternak lain seperti domba, moda transportasi truk, kereta api, maupun
kambing, babi atau unggas sangatlah perlu kapal.
untuk cadangan bila peternak memerlukan Pembenahan sistem distribusi sapi
uang cash dalam jumlah yang kecil. Selain itu, mutlak dilakukan mengingat berdasarkan hasil
pengembangan koperasi simpan pinjam atau sensus, lokasi sentra produksi besar mayoritas
lembaga keuangan mikro di tingkat perdesaan berada di Daerah Timur Indonesia, sedangkan
sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi terbesar berada di daerah barat.
masyarakat akan uang cash dalam jumlah Sementara, sarana dan prasarana distribusi
yang cukup besar, sekaligus untuk mencegah sangat minim dan diperparah lagi dengan
penjualan sapi betina produktif. Sementara konektivitas yang belum memadai. Menurut
menurut Ilham (2006), perlu dibentuk Badan Harianto (2013), pembenahan sistem distribusi
Layanan Umum (BLU) yang berfungsi membeli sapi hidup lokal dan daging sapi perlu
sapi betina untuk selanjutnya didistribusikan dilakukan mulai dari jumlah dan jenis sarana
kembali ke peternak. angkutan hingga administrasinya. Diperlukan
Diwyanto (2011) juga menyatakan penyediaan angkutan yang didesain khusus
bahwa untuk mencegah pemotongan sapi untuk mengangkut ternak sapi dan daging
betina produktif harus dilakukan dengan sapi, demikian pula dengan teknik proses
berbagai pendekatan, baik yang bersifat teknis bongkar muat dalam pengangkutan sapi hidup
ekonomis maupun sosial budaya. Kebijakan dan daging sapi. Rencana Kementerian
yang sudah ada harus diimplementasikan Perhubungan untuk mengembangkan desain
dengan baik, dan untuk setiap wilayah perlu khusus kapal ternak harus didukung oleh
dilakukan penyesuaian dengan kondisi yang semua pihak terkait, seperti PT PELNI,
ada. Untuk wilayah gudang ternak diperlukan Pemda, dan pengusaha pemilik angkutan lokal
kebijakan untuk mengeluarkan sapi betina antardaerah. Begitu pula, Pemda perlu

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 32 No. 2, Desember 2014: 137 – 156

152
mendorong peran serta pihak swasta ataupun sapi hidup asal Australia yang berlangsung
asosiasi pengusaha daging sapi di daerah sejak 1980-an, Indonesia belum pernah
untuk ikut berperan dalam menyediakan box mengimpor sapi bibit yang mendapatkan
pendingin (cold storage) pada setiap sertifikat pedigree asal Australia, melainkan
pelabuhan atau titik transfer daging sapi. sapi bakalan dan sapi betina bunting yang
bukan kategori betina produktif. Sapi-sapi yang
diekspor Australia untuk keperluan breeding
Strategi Impor Sapi Potong dan Daging sebenarnya bukan sapi bibit, melainkan sapi
Sapi potong.
Meningkatnya jumlah penduduk Indonesia Sistem impor daging sapi hendaknya
dengan pendapatan yang semakin tinggi
dibuat secara menyeluruh dalam satu periode
menyebabkan semakin tingginya kebutuhan
waktu. Sistem ini mencakup kebijakan impor
akan pangan sumber protein hewani, termasuk
sapi yang bukan hanya bertujuan untuk
daging sapi. Di tengah berbagai langkah
mengamankan pasokan dan menstabilkan
proteksi yang dilakukan pemerintah yang
harga saat lebaran, tetapi juga menjaga
bertujuan untuk melindungi peternak rakyat,
pasokan saat bulan-bulan normal
berbagai kajian menunjukkan bahwa peranan
(Krisnamurthi dalam Tempo.co, 8 Agustus
impor masih dibutuhkan untuk memenuhi
2013). Dalam hal ini, pemerintah seharusnya
permintaan daging sapi nasional (Priyanto,
tidak hanya mengandalkan impor berupa
2003; Harianto, 2013; Suswono, 2014). Hal ini
terkait dengan perkembangan usaha ternak daging sapi segar/beku, akan tetapi lebih
sapi potong yang belum mampu memenuhi kepada mengimpor sapi bakalan yang
kebutuhan nasional. Faktor harga daging pun kemudian dikembangbiakkan dan digemukkan
belum mampu membuat kinerja usaha ternak di dalam negeri sehingga akan bisa
sapi potong menjadi lebih produktif. Kebijakan menghasilkan nilai tambah. Demikian pula, izin
peningkatan tarif impor mampu menekan impor daging sapi sebaiknya hanya diberikan
impor daging sapi, tetapi tidak berdampak kepada importir atau pihak-pihak yang
pada usaha pengembangan ternak domestik. berkomitmen untuk mengembangkan
Demikian pula, depresiasi rupiah menimbulkan peternakan sapi karena salah satu persoalan
turunnya impor daging sapi tetapi tidak utama belum tercapainya swasembada daging
menurunkan impor sapi bakalan (Priyanto, sapi adalah kesulitan memperoleh sapi
2003). Dengan demikian, kita dihadapkan bakalan atau anak sapi.
pada kenyataan bahwa Indonesia masih harus Di sisi lain, mengingat dampak
memenuhi kebutuhan daging sapi dari luar ekonomi, sosial, dan lingkungan dari PMK,
(impor), sehingga diperlukan berbagai strategi terutama akibat kehilangan produktivitas
pengaturan impor yang didukung oleh strategi ternak yang tinggi, gangguan sejumlah
pendistribusian sapi lokal dari daerah sentra aktivitas di bidang pertanian, industri, dan
produksi ke daerah sentra konsumsi. sosial, bahkan mengarah pada ancaman
Untuk mewujudkan program daging suplai pangan, maka upaya pemerintah untuk
sapi yang berkelanjutan, pemerintah harus menghilangkan dominansi Australia dan
segera merevisi Blue Print Program Selandia Baru dalam hal impor sapi hidup dan
Swasembada Daging Sapi 2014 dan merevisi daging sapi harus dilakukan secara hati-hati,
pengaturan impor sapi bibit dengan supaya status bebas PMK yang sudah lebih
memasukkan sapi betina produktif dalam dari 22 tahun sejak diakui OIE pada 1990 tidak
Permentan yang baru (Junaidi, 2013). terhapus. Terlebih, konsekuensi biaya
Program jangka pendek adalah pendataan pemberantasan apabila PMK masuk kembali
jumlah betina produktif dan impor sapi bibit ke Indonesia akan sangat mahal (Naipospos,
kategori 1 untuk Pusat Pembibitan Ternak 2014). Namun demikian, jika melihat bahwa
Unggul yang akan digunakan sebagai Australia dan Amerika Serikat yang juga bebas
penyuplai bibit sapi secara nasional, PMK seperti Indonesia, namun juga bisa
sedangkan untuk mempercepat populasi mengimpor daging dari Brasil (tanpa
adalah dengan impor bibit kategori 3 dan 4 mengganggu status bebas kedua negara
untuk peremajaan di kelompok ternak atau tersebut) maka Indonesia dapat belajar dari
integrasi peternakan dengan perkebunan. kedua negara tersebut sebelum melakukan
Menurut Junaidi (2013), dari sejarah impor

KINERJA KEBIJAKAN SWASEMBADA DAGING SAPI NASIONAL Ening Ariningsih

153
impor dari negara yang tercatat terinfeksi PMK tersebut antara lain: (1) dukungan dari
(Talib dan Noor, 2008). Kementerian Perhubungan dan Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
untuk fasilitasi sarana prasarana transportasi
dan distribusi ternak; (2) dukungan dari
PENUTUP
Kementerian Perdagangan dalam hal
kebijakan impor yang mendorong dayasaing
Perjalanan dalam upaya pencapaian peternak lokal; (3) dukungan Kementerian
swasembada telah mengalami dinamika dari Agraria dan Tata Ruang menyangkut regulasi
waktu ke waktu. Secara umum, telah terjadi tata ruang bidang peternakan dan kawasan
perbaikan baik dari sisi konsep, instrumen peternakan; dan (4) dukungan Kementerian
kebijakan, maupun tata kelola program/ Dalam Negeri terkait larangan pemotongan
manajemen pada PSDS 2014. Walaupun sapi betina produktif.
demikian, swasembada daging sapi masih
belum dapat diwujudkan sesuai target, yaitu
DAFTAR PUSTAKA
paling lambat pada tahun 2014. Hal itu
dikarenakan berbagai kendala dan masalah
yang dihadapi, mulai dari hulu hingga ke hilir, Arif, R., Y. Setiorini, dan M. Fitri. 2011. Strategi Oto-
termasuk dalam sistem distribusi sapi masih ritas Veteriner Menurut Undang-Undang
belum tertata dengan baik. Dengan demikian, No. 18 Tahun 2009 dalam Mewujudkan
impor sapi dan produknya masih dibutuhkan Swasembada Daging Sapi Nasional 2014.
untuk menjaga agar terjadi pertumbuhan Program Kreativitas Mahasiswa. Institut
populasi sapi potong di Indonesia. Di samping Pertanian Bogor. Bogor.
itu, upaya yang dilakukan dalam stabilisasi Boediyana, T. 2009. Swasembada Daging Sapi:
harga daging sapi dan menciptakan pasar Perlu Pembenahan Data. Agribisnisnews.
daging domestik agar lebih kompetitif tetap co. 25 Agustus 2009. http://www.agribis
news.com/agribis-sapi-potong/58.html?jos
diperlukan. Hal penting yang harus cclean=1&comment_id=773. Diakses
diperhatikan dalam pelaksanaan impor adalah Tanggal 26 Januari 2014.
ketepatan waktu pelaksanaan dan lokasi
Boer, M. dan F. Kasryno. 2005. Kearifan Lokal: Pola
pemasarannya, sehingga tujuan untuk
Pengandangan Ternak dalam Sistem Inte-
stabilisasi harga tercapai. grasi Tanaman-Ternak di Sumatera Barat.
Hal lain yang penting untuk hlm.145-159. Dalam Integrasi Tanaman-
diperhatikan adalah keakuratan data, baik Ternak di Indonesia. Badan Penelitian dan
ketersediaan pasokan domestik maupun Pengembangan Pertanian. Jakarta.
permintaan domestik, sehingga akan diperoleh Burhani, F.J. 2013. Analisis Volatilitas Harga Daging
data keperluan impor yang juga akurat. Sapi Potong dan Daging Ayam Broiler di
Pembenahan dalam administrasi dan birokrasi Indonesia. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
serta transparansi dalam pelaksanaan impor Bogor.
sangat diperlukan untuk menghindari Daryanto, A. 2011. Penataan Impor Demi Swasem-
kekisruhan impor sapi hidup maupun daging bada Daging Sapi. Trobos edisi Maret 2011.
sapi dan produk-produk sapi lainnya. Selain http://www.trobos.com/show_article.php?ri
d=22&aid=2781. Diakses Tanggal 4
itu, membuka persaingan impor sapi, daging
Januari 2014.
sapi, dan jeroan dari negara-negara lain yang
lebih luas lagi (tidak hanya Australia, New Dimyati, A. 2013. Impor Daging Sapi: Sejauh Mana
keterlibatan Bea dan Cukai? Pusdiklat Bea
Zealand, dan USA) perlu dilakukan selama
dan Cukai. www.bppk.depkeu.go.id/.../
secara hukum di Indonesia memungkinkan index.php?...doc... Diakses Tanggal 26
untuk pelaksanaannya agar produk sapi yang Januari 2014.
dikonsumsi masyarakat dapat lebih murah.
Ditjennak. 2000. Rencana Strategis Direktorat
Alternatif negara sumber impor sapi ini juga
Jenderal Produksi Peternakan 2000-2005.
memerlukan kehati-hatian mengingat masih Ditjen Produksi Peternakan. Jakarta.
adanya ancaman PMK yang bersumber dari
Ditjennak. 2008. Tujuh Langkah Strategis Mewujud-
negara-negara produsen sapi yang belum
kan Swasembada Daging Sapi di Indone-
bebas PMK. sia. Ditjen Peternakan. Jakarta.
Dukungan dari berbagai institusi Ditjennak. 2010. Blue Print Program Swasembada
terkait sangat diperlukan untuk tercapainya Daging Sapi Tahun 2014. Ditjen Peternak-
swasembada daging. Dukungan-dukungan an dan Kesehatan Hewan. Jakarta.

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 32 No. 2, Desember 2014: 137 – 156

154
Diwyanto, K. 2011. Selamatkan Sapi Betina Pro- Hafid, H. dan A. Syam. 2000. Pengamatan terhadap
duktif. Sinar Tani Edisi 30 Maret–5 April Distribusi dan Intensitas Pemotongan Sapi
2011 No. 3399 Tahun XLI. Badan Litbang Betina Produktif pada Rumah Potong
Pertanian. Jakarta. Hewan di Kota Madya Kendari. Laporan
Diwyanto, K., D.M. Sitompul, I. Manti, IW. Mathius, Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas
dan Soentoro. 2004. Pengkajian Pengem- Haluoleo. Kendari.
bangan Usaha Sistem Integrasi Kelapa Sa- Harianto. 2013. Mengatasi Problema Pasokan Da-
wit-Sapi. Dalam Prosiding Lokakarya ging Sapi. Sekretariat Kabinet Republik
Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit- Indonesia. 18 September 2013. http://www.
Sapi. Pusat Penelitian dan Pengembangan setkab.go.id/artikel-10312-mengatasi-
Peternakan. Bogor. problematika-pasokan-daging-sapi.html.
Efryantoni. 2009. Pola Pengembangan Sistem Inte- Diakses Tanggal 4 April 2014.
grasi Kelapa Sawit-Sapi sebagai Penjamin Hendri, Y. 2013. Dinamika Pengembangan Sapi
Ketersediaan Pakan Ternak. Jurnal Urip Pesisir sebagai Sapi Lokal Sumatera
Santoso. 9 Nopember 2009. http://uripsan
Barat. Jurnal Penelitian dan Pengembang-
toso.wordpress.com/2009/11/09/pola-
an Pertanian 32(1): 39-45.
pengembangan-sistem-integrasi-kelapa-
sawit-sapi-sebagai-ketersedian-pakan- Hutabarat, B., M.H. Sawit, D.H. Azahari, S.K.
ternak/. Diakses Tanggal 6 Juni 2014. Dermoredjo, S. Nuryanti, dan F.B.M.
Dabukke. 2009. Prospek Kerjasama Per-
Eni, S.R., N. Amali, Sumanto, A. Darmawan, dan A.
Subhan. 2006. Pengkajian Integrasi Usaha dagangan Pertanian Indonesia–Australia
Tani Jagung dan Ternak Sapi di Lahan dan Selandia Baru. Laporan Hasil Peneliti-
Kering Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan an. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan
Selatan. Jurnal Pengkajian dan Pengem- Kebijakan Pertanian. Bogor.
bangan Teknologi Pertanian 9(2): 129-139. Ilham, N. 2006. Analisis Sosial Ekonomi dan Stra-
Erwidodo, 2014a. Catatan/Bahasan: Agenda Perun- tegi Pencapaian Swasembada Daging
dingan Perdagangan Internasional. Disam- 2010. Analisis Kebijakan Pertanian 4(2):
paikan pada Workshop Pra-Konferensi 131-145.
PERHEPI yang diselenggaran PERHEPI, Ilham, N., E. Basuno, W.K. Sejati, Ashari, S.
Bogor, 27 Agustus 2014. Nuryanti, F.B.M. Dabukke, dan R. Elizabeth.
Erwidodo, 2014b. Tanggapan Terhadap Materi Pre- 2011. Keragaan, Permasalahan dan Upa-
sentasi Prof. Dr. Achmad Suryana Berju- ya Mendukung Akselerasi Program Swa-
dul: 15 Tahun Dinamika Ketahanan Pangan sembada Daging Sapi. Laporan Hasil Pe-
Indonesia. Disampaikan dalam Acara Dis- nelitian. Pusat Sosial Ekonomi dan
kusi Panel ’15 Tahun Dinamika Ketahanan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Pangan Indonesia’ yang diselenggarakan Ilham, N., Y. Yusdja, A.R. Nurmanaf, B. Winarso,
PERHEPI di Gedung Bulog, Jakarta, 2
dan Supadi. 2009. Perumusan Model Pe-
Oktober 2014.
ngembangan Skala Usaha dan Kelembaga-
Ginting, S.P. 1995. Supplementation on Productive an Usaha Sapi Potong. Laporan Hasil
of Sheep: Principle, Strategy and Utilize. Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi
Wartazoa 4(1-2): 12-17. dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Hadi, P.U. dan N. Ilham. 2000. Peluang Pengem- Junaidi, A. 2013. Menggagas Terwujudnya Swa-
bangan Usaha Pembibitan Ternak Sapi sembada Daging Sapi di Indonesia. Maka-
Potong di Indonesia dalam Rangka Swa- lah disampaikan pada Pidato Ilmiah Dies
sembada Daging 2005. Makalah dipre- Natalis ke-67 Fakultas Kedokteran Hewan
sentasikan dalam Pertemuan Teknis Pe- Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 20
nyediaan Bibit Nasional dan Revitalisasi September 2013.
UPT T.A. 2000. Direktorat Perbibitan, Di-
rektorat Jenderal Bina Produksi Peter- Kariyasa, K. 2005. Sistem Integrasi Tanaman-Ter-
nakan, Jakarta, 11-12 Juli 2000. nak dalam Perspektif Reorientasi Kebijak-
an Subsidi Pupuk dan Peningkatan Pen-
Hadi, P.U. dan N. Ilham. 2002. Problem dan Pros-
dapatan Petani. Analisis Kebijakan Perta-
pek Pengembangan Usaha Pembibitan
nian 3(1): 68-80.
Sapi Potong di Indonesia. Jurnal Penelitian
dan Pengembangan Pertanian 21(4): 148- Kementerian Pertanian. 2012. Laporan Kinerja Ke-
157. menterian Pertanian Tahun 2011. Kemen-
Hadi, P.U. dan T.B. Purwantini. 1999. Kajian Pola terian Pertanian. Jakarta.
Produksi Pertanian Lahan Kering di Kabu- Kementerian Pertanian. 2014. Basis Data Statistik
paten Bima–Nusa Tenggara Barat. Lapor- Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta.
an Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosi- http://aplikasi.pertanian.go.id/bdsp/newkom.
al Ekonomi Pertanian. Bogor. asp. Diakses Tanggal 3 September 2014.

KINERJA KEBIJAKAN SWASEMBADA DAGING SAPI NASIONAL Ening Ariningsih

155
Khuluq. A.D. 2012. Potensi Pemanfaatan Limbah Gula dan Daging. Badan Penelitian dan
Tebu sebagai Pakan Fermentasi Probiotik. Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Buletin Tanaman Tembakau, Serat dan Saptana dan A. Daryanto. 2013. Dinamika Ke-
Minyak Industri 4(1): 37-45. mitraan Usaha Agribisnis Berdayasaing
Kuswandi. 2007. Teknologi Pakan untuk Limbah dan Berkelanjutan. Badan Penelitian dan
Tebu (Fraksi Serat) sebagai Pakan Ternak Pengembangan Pertanian. Jakarta. 293
Ruminansia. Wartazoa 17(2): 82-92. hlm.
Matondang, R.H. dan S. Rusdiana. 2013. Langkah- Siregar, S.B. 1994. Ransum Ternak Ruminansia.
Langkah Strategis dalam Mencapai Swa- Penebar Swadaya. Jakarta.
sembada Daging Sapi/Kerbau 2014. Jurnal Soejosopoetro, B. 2011. Studi Tentang Pemotongan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Sapi Betina Produktif di RPH Malang.
32(3): 131-139. Jurnal Ternak Tropika 12(1): 22-26.
Mayulu, H., Sunarso, C.I. Sutrisno, dan Sumarsono. Suswono. 2014. Berpacu Keras di Tahun 2014. Swa-
2010. Kebijakan Pengembangan Peternak- daya. Volume 4. Edisi 29, Januari 2014.
an Sapi Potong di Indonesia. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Talib, C. dan Y.G. Noor. 2008. Penyediaan Daging
29(1): 34-41. Sapi Nasional dalam Ketahanan Pangan
Indonesia. Seminar Nasional Teknologi
Murni, R., S. Akmal, dan B.L. Ginting. 2008. Buku Peternakan dan Veteriner 2008. Pusat Pe-
Ajar Teknologi Pemanfaatan Limbah untuk nelitian dan Pengembangan Peternakan.
Pakan. Universitas Jambi. Jambi. Bogor.
Naipospos, T.S.P. 2014. Impor Ternak dan Risiko Tempo.co. 8 Agustus 2013. Kemendag Segera
PMK. Kompas Edisi Selasa, 13 Januari Bentuk Sistem Impor Sapi. http://www.tem
2014. http://opinikompas.blogspot.com/ po.co/read/news/2013/08/08/090503149/K
2014/01/impor-ternak-dan-risiko-pmk.html. emendag-Segera-Bentuk-Sistem-Impor-
Diakses Tanggal 26 Januari 2014. Sapi. Diakses Tanggal 26 Januari 2014.
Priyanto, D. 2003. Evaluasi Kebijakan Impor Daging Umar. S. 2009. Potensi Perkebunan Kelapa Sawit
Sapi dalam Rangka Proteksi Peternak Do- Sebagai Pusat Pengembangan Sapi Potong
mestik: Analisis Penawaran dan Perminta- dalam Merevitalisasi dan Mengakselerasi
an. Thesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pembangunan Peternakan Berkelanjutan.
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
Priyanto, D. 2011. Strategi Pengembangan Usaha
Tetap dalam Bidang Ilmu Reproduksi
Ternak Sapi Potong dalam Mendukung
Ternak pada Fakultas Pertanian, Disam-
Program Swasembada Daging Sapi dan
paikan di hadapan Rapat Terbuka Univer-
Kerbau Tahun 2014. Jurnal Litbang
sitas Sumatera Utara Gelanggang Maha-
Pertanian 30(3): 108-116.
siswa, Kampus USU, Medan, 12 Desem-
Rayhan, M., W. Suryapratama, T.R. Sutardi. 2013. ber 2009.
Fermentasi Ampas Tebu (Bagasse) Meng- Winarso, B. dan E. Basuno. 2013. Pengembangan
gunakan Phanerochaete Chrysosporium Pola Integrasi Tanaman-Ternak Merupakan
sebagai Upaya Meningkatkan Kecernaan Bagian Upaya Mendukung Usaha Pembi-
Bahan Kering dan Kecernaan Bahan bitan Sapi Potong Dalam Negeri. Forum
Organik Secara In Vitro. Jurnal Ilmiah Penelitian Agro Ekonomi 31(2): 151-169.
Peternakan 1(2): 583–589.
Yusdja, Y. dan N. Ilham. 2004. Tinjauan Kebijakan
Republika.co.id. 12 Pebruari 2013. Mafia Impor Da- Agribisnis Sapi Potong. Jurnal Analisis
ging Sapi (2): Modus Mafia Impor Daging Kebijakan Pertanian 2(2): 183-203.
Sapi http://www.republika.co.id/berita/ko
lom/fokus/13/02/12/mi3rhm-modus-mafia- Yusdja, Y., R. Sajuti, B. Winarso, I. Sadikin, dan C.
impor-daging-sapi. Diakses Tanggal 26 Muslim. 2004. Pemantapan Program dan
Januari 2014. Strategi Kebijakan Peningkatan Produksi
Daging Sapi. Laporan Hasil Penelitian.
Republika.co.id. 20 Pebruari 2013. Begini Mafia Da- Pusat Penelitian dan Pengembangan
ging Sapi Impor Bekerja. http://www. Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/0
Zigrabu, C. 2013. Menilik Integrasi Sistem Pertanian
2/20/miis7e-begini-mafia-daging-sapi-
Terpadu Tebu-Ternak untuk Mendukung
impor-bekerja. Diakses Tanggal 25 Januari
Swasembada Gula dan Daging Tahun 2014
2014.
di Kediri, Jawa Timur. http://cielbiezig46.
Romli, M., T. Basuki, J. Hartono, Sudjindro dan blogspot.com/2013/01/peranan-pabrik-
Nurindah. 2012. Sistem Pertanian Terpadu gula-dalam-meningkatkan.html. Diakses
Tebu-Ternak Mendukung Swasembada Tanggal 12 Pebruari 2014.

FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Volume 32 No. 2, Desember 2014: 137 – 156

156

Вам также может понравиться