Вы находитесь на странице: 1из 14

PERDAGANGAN BUDAK DI BALI PADA ABAD KE XVII-XIX:

EKSPLOITASI, GENEALOGI, DAN PELARANGANNYA

BALI SLAVE TRADE IN THE 17TH – 19TH CENTURY:


THE EXPLOITATION, GENEALOGY, AND ITS PROHIBITIONS

I Wayan Pardi
Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi
iwayanpardi65@gmail.com

Abstract
This article aims to analyze the slave trade in Bali in the XVII-XIX century, trace the genealogy or origins of
Balinese slaves, and examine the efforts to ban and abolish slave trade in Bali. This study employs historical
writing approach. The findings indicate that the history of slavery in the island of Bali lasted for the XVII-XIX
century led by the VOC, the Dutch East Indies government, and local kings. Balinese slaves were generally sold
in Batavia, and other areas of the archipelago, in South Africa, and islands in the Pacific Ocean and Indian
Ocean. In the context of quality, they were most in demand among other slaves traded in the archipelago. This
happened because, in the case of Balinese female slaves, they were known for their beauty, kindness, musical
skills, and good knowledge of health, so that Balinese women slaves were ideally employed as housemaids to
take care of the kitchen (cooking matter), well (washing dishes/clothes matter), and mattress (having sexual
intercourse matter). Meanwhile, the menwere known to be well built, obedient and adaptable, so it was suitable
to for them do work as house keepers, soldiers, and porters at government-owned plantations. Balinese slaves
come from captives captured in battlefields, widows without children, debtors, and criminals. During Thomas
Stamford Raffles’ period, there was an attempt to eliminate the slave trade in the archipelago. Then, it was
resumed during the Dutch East Indies government in 1860 which issued regulations to abolish the system of
slavery in the Indies and in Bali in particular.
Keywords: Trade, Slave, Concubinage, Bali, Netherlands Indies, Archipelago

Abstrak
Tujuan penulisan artikel ini adalah menganalisis perdagangan budak di Bali pada abad ke XVII-XIX,
melacakgenealogi atau asal-usul budak Bali, dan mengkaji upaya-upaya pelarangan dan penghapusan
perdagangan budak di Bali.Adapun metode yang digunakan adalah metode penulisan sejarah. Temuan
menunjukkan bahwa sejarah perbudakan di Pulau Bali berlangsung selama abad ke XVII-XIX yang dimotori
oleh VOC, pemerintah Hindia Belanda, serta raja-raja lokal. Budak asal Bali pada umumnya di jual di Batavia,
dan daerah-daerah lainnya di Nusantara, di Afrika Selatan, dan pulau-pulau di Samudera Pasifik dan Samudera
Hindia.Secara kualitas, mereka paling diminati di antara budak-budak lainnya yang diperjualbelikan di pasaran
Nusantara. Hal tersebut terjadi dikarenakan misalnya pada kasus budak perempuan Bali, perempuannya dikenal
dengan kecantikannya, kebaikan hatinya, keterampilannya memainkan musik, dan pengetahuan yang baik
tentang kesehatan, sehingga budak perempuan Bali sangat ideal dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga
untuk mengurusi urusan dapur, sumur, dan kasur tuannya. Sedangkan, laki-lakinya dikenal bertubuh kekar,
patuh dan mudah beradaptasi, sehingga sangat cocok diperkerjakan sebagai penjaga rumah, tentara, dan kuli-
kuli diperkebunan milik pemerintah.Budak Bali dapat berasal dari para tawanan yang tertangkap di medan
perang, janda-janda tanpa anak, para penghutang, dan penjahat atau pelaku kriminal. Pada masa kepemimpin
Thomas Stamford Raffles, ada upaya untuk menghapuskan perdagangan budak di Nusantara. Kemudian,
dilanjutkan lagi pada masa pemerintah Hindia Belanda yang pada tahun 1860 mengeluarkan peraturan-peraturan
untuk menghapus sistem perbudakan di Hindia Belanda dan di Bali pada khususnya.
Kata kunci: Perdagangan, Budak, Pergundikan, Bali, Hindia Belanda, Nusantara

Pendahuluan telah berlangsung perdagangan dengan orang-


orang luar (vreemdelingen). Di sana telah terjadi
Sejak abad ke-17, Bali dapat dikatakan
perdagangan secara teratur mengikuti angin
termasuk dalam jaringan lalu lintas perdagangan
musim. Saat itu, hasil-hasil dari Pulau Bali yang
Internasional. Di pantai-pantai dan pesisir Bali
laku diperdagangkan ke luar adalah bahan

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 1 Tahun 2018 61


pakaian dari katun (kapas), dan minyak kelapa ke XVII-IXX terjadi perdagangan budak
(Ardika, dkk., 2015: 309). Pada abad itu juga berskala nasional bahkan internasional di Pulau
datang orang-orang Belanda pertama (tahun Bali. Penggambaran keagungan Pulau Bali
1597) turun di Kuta dan bertemu dengan banyak dewasa ini hanya berpusat pada berbagai sebutan
penduduk yang membawa barang dagangan megah yang disandangnya, seperti Pulau Seribu
(Nordholt, 1980: 34), atau satu tahun setelah Pura (The Island of Thousand Temples) (Pitana,
mendaratnya kapal pertama Belanda yang 1994: 5), atau Pulau Sorga di Bumi (The
dipimpin oleh Cornelius de Houtman pada tahun Paradise Island) (Hasibuan, 2002: 244), atau
1596 di Banten (Sudoyo, 2002: 8). julukan yang diberikan oleh Nehru sebagai The
Morning of The World, ataupun Gregory Bateson
Namun, dalam perkembangan selanjutnya
menyebutnya dengan nama The Steady State
tidak hanya hasil-hasil pertanian dan hasil-hasil
(Pitana, 1994: 5), tampaknya berbanding terbalik
kerajinan dari Bali yang banyak diminati oleh
dengan realita kehidupan masyarakat Bali pada
pedagang, akan tetapi para pedagang juga
abad ke XVII-XIX yang identik sebagai
tertarik untuk membeli budak-budak Bali. Hal
penghasil budakdi Nusantara atau bisa dikatakan
ini berlangsung terutama ketika terjadi kontak
sebagaiPulau Seribu Budak.
perdagangan antara penduduk Bali dengan para
pedagang Belanda. Bahkan, Sutaba, dkk. (1983: Perbudakan adalah suatu bentuk kontrol
15) menjelaskan sebagai berikut. kerja beberapa orang yang secara legal memiliki
“Perkenalan masyarakat Bali dengan Belanda dan menguasai hidup individu atau sekelompok
dan orang-orang Eropa pada umumnya pada manusia yang dipaksa bekerja untuk mereka, dan
abad ke-17 dan ke-18 terutama terjadi karena umumnya kehilangan semua atau sebagian besar
perdagangan budak Bali. Budak-budak Bali kebebasannya atau hak-haknya (Sanderson,
banyak dikirim ke berbagai daerah seperti 2003: 359). Praktik perbudakan dapat diartikan
Batavia, Maluku, dan sebagainya. juga sebagai bentuk ketidakberdayaan pihak
Sumber-sumber sejarah mencatat bahwa yang dieksploitasi karena ia (budak) tidak punya
budak-budak Bali banyak dicari sejak abad ke- pilihan lain saat berada dalam posisi tersebut
17 karena didasari oleh kepentingan penguasa (Mariana, 2015: 16).
kolonial Belanda (Ardika, dkk., 2015: 310). Narasi perbudakan di Bali pada abad ke
Menurut Ricklefs (2008: 292) dan Atmadja XVII-XIX jarang sekali dianalisis oleh sejarawan
(2010: 156) pemerintah VOC dan Hindia dan diketahui oleh masyarakat, sehingga
Belanda sangat membutuhkan Bali karena Pulau pengetahuan masyarakat tentang sejarah Bali
Bali adalah pemasok budak yang sangat terkenal hanya terpusat pada narasi-narasi besar
sebagai tenaga pelayan dan prajurit. Setiap tahun ketokohan raja-raja dan peristiwa-peristiwa besar
Bali mengirimkan budak ke Batavia rata-rata yang membanggakan. Ruang yang diberikan
sebanyak 1.000 orang (Nordholt, 2009: 52). dalam buku sejarah tentang perbudakan bisa
Bahkan, menurut Robinson (2006: 34) budak dikatakan dipersempit atau bahkan dihilangkan
Bali tidak hanya dijual di Batavia, tetapi juga di sama sekali dalam panggung sejarah Bali,
daerah-daerah lainnya di Nusantara, di Afrika mengingat hal ini dari perspektif manusia
Selatan, dan di penjuru pulau-pulau di Samudera modern merupakan aib yang dapat mencoreng
Pasifik dan Samudera Hindia. keagungan manusia dan pulau Bali. Namun,
Dalam hubungan itu, VOC juga tidak sebagai manusia masa kini dan manusia masa
ketinggalan berperan dalam perdagagan budak. depan yang tidak bisa hadir tanpa adanya
Pada tahun 1620 di Badung (Bali Selatan), manusia masa lalu, menghadirkan kembali setiap
sebuah loji dibangun oleh VOC sebagai pos peristiwa-peristiwa sejarah merupakan proyek
untuk pembelian budak. Kemudian, disebutkan penting untuk senantiasa dilakukan. Hal tu agar
lima bulan setelah pendirian Batavia (1619), J.P. setiap manusia masa kini maupun manusia masa
Coen menulis kepada Dewan 17 bahwa loji itu depan dapat belajar dari peristiwa masa lalu.
sibuk dikunjungi oleh Raja Bali, yang mungkin Apa yang terjadi di Bali tentu saja bukan
menawarkan budak untuk dijual (Nordholt, fenomena khusus yang hanya dialami masyarakat
1980: 34). Bali, melainkan daerah-daerah lainnya di
Penulisan artikel ini menjadi menarik Nusantara juga mengalami hal serupa. Selain itu,
untuk dilakukan mengingat belum banyaknya secara historis perbudakan juga sebenarnya juga
masyarakat yang mengetahui bahwa pada abad sudah ada sejak zaman Yunani Kuno dan

62 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 1 Tahun 2018


Romawi Kuno (Sanderson, 2003: 359). Namun, populasi total budaknya kira-kira 18.000 jiwa
akan menjadi sangat menarik ketika ditelusuri dan sekitar separuhnya adalah orang Bali
penyebab budak-budak Bali menjadi sangat (Robinson, 2006: 34).
diminati bahkan paling diminati untuk
Budak-budak Bali pada umumnya tinggal
diperjualbelikan oleh para pedagang, dibandingkan
di rumah-rumah bangsawan atau birokrat Eropa,
budak-budak lainnya dari daerah lain di
dan istana raja-raja, sebagai penjaga-penjaga dan
Nusantara. Selain itu, artikel ini juga akan
pesuruh, pelayan, serta dalam kasus lainnya
menelusuri genealogis (asal-usul) munculnya
budak-budak tersebut juga dijadikan serdadu-
budak di Bali dan berusaha mengungkap peran
serdadu Belanda. Mereka termasuk orang-orang
dari pemerintah VOC, Hindia Belanda dan
yang melakukan pekerjaan berat, menjual, dan
Inggris,serta raja-raja lokal dalam perdagangan
mengerjakan pekerjaan kasar yang tidak mampu
budak di Bali.
dilakukan oleh suku-suku lainnya atapun oleh
Ruang lingkup temporal yang dipilih orang Eropa sendiri. Orang yang termasuk
dalam penelitian ini adalah dari abad ke XVII- golongan budak tidak hanya terdiri dari kaum
XIX. Pemilihan ini berdasarkan pertimbangan laki-laki tetapi juga kaum perempuan (Poesponegoro,
karena pada abad ke XVII dimulainya kontak 2008: 299).
intensif antara orang-orang Bali (dalam hal ini
Perahu-perahu Belanda datang ke
raja-raja lokal) dengan orang-orang Belanda
bandar-bandar budak di Bali untuk mengangkut
(VOC) dalam perdagangan budak, bahkan
budak-budak yang akan dijual ke pulau lain
selama abad ke XVII jumlah budak yang
(Poesponegoro, 2008: 90). Meski yang umumnya
diekspor dari Bali mencapai 2.000 orang
teribat dalam tahap akhir transaksi budak adalah
pertahunnya. Sementara itu, pada abad ke XIX
orang Belanda dan Cina, para Raja Bali dan
intensitas perdagangan budak Bali mulai
kepala distrik bertanggung jawab memanen hasil
mengalami kelesuan karena adanya kebijakan-
yang paling menguntungkan ini (Robinson,
kebijakan dari Thomas Stamford Raffles dan
2006: 33-34).
dilanjutkan oleh pemerintah Hindia Belanda
yang mengeluarkan peraturan-peraturan untuk Budak-budak Bali yang sudah terjual
menghapus sistem perbudakan di Hindia dipasaran harus taat kepada majikannya, mereka
Belanda. Oleh karena itu, pada peridode ini harus menurut kepada kemauan pemiliknya
dapat dikatakan perdagangan budak Bali meraih untuk melakukan apa saja. Jelas bahwa nasib
popularitasnya tertingginya, sekaligus juga mereka tergantung kepada pemiliknya, kalau
menjadi akhir dari perdagangan budak di tidak disenangi suatu waktu dapat dijual lagi
Nusantara. Walaupun demikian eksistensi budak kepada orang lain (Poesponegoro, 2008: 302).
Bali sebenarnya sudah ada dan sudah Fenomena tersebut menandakan bahwa
diperdagangkan jauh sebelum abad ke XVII, hal permintaan besar dari pedagang swasta dan
ini dibuktikan dengan adanya prasasti Sukawana pemerintah Belanda telah merangsang praktik
AI (804 Saka/882 Masehi) yang mencatat perdagangan budak di Bali.
tentang adanya “budak”. Harga-harga budak di pasar pelelangan
terutama ditentukan oleh usia, kekuatan mereka,
Perdagangan Budak di Bali Abad ke XVII- dan juga asal-usul mereka. Namun, pada akhir
XIX abad ke-18 harga beli seorang budak perempuan
Pada abad ke XVII sampai abad ke muda tiga kali lipat dari laki-laki. Penyebabnya
XVIII Bali sudah menjadi pusat perdagangan semakin banyak imigran Cina dan lalu juga
budak (Tim Peneliti dan Pencatatan Kebudayaan orang-orang Belanda yang datang ke Batavia dan
Daerah Bali, 1978: 68). Lebih menariknya lagi, mengawini para budak (Shahab, 2002: 25).
dalam geliat perdagangan di Nusantara justru Menurut Raffles (2014: 876), harga umum dari
intensitas pardagangan budak berhasil melampaui seorang budak laki-laki Bali adalah sepuluh
perdagangan hasil bumi dan kerajinan Bali hingga tiga puluh dolar, dan seorang budak
lainya. Oleh karena itu, dapat dimengerti sejak perempuan seharga limapuluh hingga seratus
abad ke-17 hingga abad ke-19, ekspor utama dolar. Sementara itu, Medhurst (dalam Robinson,
Bali adalah budak. Jumlah budak yang diekspor 2006: 34-35) menjelaskan mengacu pada sebuah
dari Bali mencapai 2.000 orang pertahunnya kontrak Belanda tahun 1830 tentang pembelian
selama abad ke-17 (Robinson, 2006: 33). Bahkan, 1.000 laki-laki dengan harga 20 dolar per kepala.
di Batavia pada pertengahan abad ke-17, Dia juga menyebut kedatangan kaum pedagang

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 1 Tahun 2018 63


budak Perancis Mauritius, yang membeli sekitar kualifikasi-kualifikasi yang menjadi pertimbangan
500 perempuan Bali, dengan membayar 150 utama. Di sini para budak dinilai karena
rupee untuk perempuan muda dan montok, dan kecantikan mereka, keterampilan mereka
50 rupee untuk perempuan paruh baya. dalam memainkan alat musik siter, dan suara
merdu mereka. Kekhasan Asia ini begitu
Harga budak Bali memang lebih mahal dijunjung tinggi, sehingga dibeberapa rumah-
daripada harga budak lainnya, baik itu laki- rumah orang kaya Eropa, juga di rumah
lakinya ataupun perempuannyadi pasaran orang-orang kaya pribumi, bisa ditemukan
Nusantara.Hal ini terjadi misalnya pada kasus belasan budak perempuan yang mempesona,
budak wanita Bali,wanitanya sangat diminati seolah-olah sang pemilik ingin mewujudkan
janji surga di dunia ini seperti yang
orang-orang Eropa sebab budak wanita orang digambarkan agama Islam”.
Bali dikenal karena kecantikannya, kebaikan
hatinya, dan pengetahuan yang baik tentang Laris manisnya perdagangan budak
kesehatan (Ardika, dkk., 2015: 310). Alasan perempuan Bali yang dijadikan sebagai pembantu
lainnya dijelaskan oleh Raffles (2014: 35) rumah tangga juga kemungkinan tidak dapat
karena“di Pulau Bali, beban wanita yang bekerja dilepaskan dari adanya fenomena “pergundikan”
sebagai petani tidak terlalu berat sehingga di Nusantara. Hidayani (2016: 100) menyatakan
menampakkan paras yang lebih cantik dan para gundik ini biasanya berasal dari para budak
terawat”.Sementara itu, keadaan fisik wanita- yang berasal dari lapisan masyarakat yang paling
wanita Jawa menurut penjelasan Raffles (2015: miskin, yaitu mereka yang tidak berada pada
35) yaitu, “…menurut orang-orang Eropa yang posisi negosiasi atau dapat mengajukan tuntutan
telah lama tinggal di sana (Jawa), wanitanya apa pun. Baay (2010: 2) juga berpendapat bahwa
kurang menarik. Hal ini dipengaruhi oleh beban perempuan yang dijadikan gundik adalah para
kerja mereka di sawah dan karena seringnya budak perempuan di rumah tangga Eropa yang
terbakar sinar matahari”. kebanyakan melakukannya dengan terpaksa.
Fungsinya yaitu all in, selain mengurusi rumah
Perbedaan penggambaran fisik wanita- tangga, para perempuan itu juga mengurusi
wanita Bali dengan Jawa oleh Thomas Stamford kebutuhan nafsu ranjang para tuannya. Mereka
Raffles, seorang Gubernur Jenderal Inggris di ini memang bukan pelacur yang memungut atas
Hindia Belanda dari tahun 1811-1816 tersebut
jasa yang telah diberikannya, tetapi mereka juga
menyebabkan para budak wanita Bali lebih
bukan istri yang sebenarnya, karena tak pernah
disukai dan diminati oleh orang-orang Eropa menikah “secara resmi” (Hidayani, 2016: 100).
untuk diperkerjakan sebagai pembantu untuk
mengurusi rumah mereka. Di tambah lagi, Praktik pergundikan sebenarnya didorong
“orang Jawa pada umumnya terlalu lamban oleh adanya kebijakan VOC (Verenigde Oost-
untuk pekerjaan itu, dan disamping itu mereka IndischeCompagnie) pada pertengahan abad ke
enggan untuk menjadi pembantu rumah tangga. XVII yang membatasi imigrasi perempuan
Orang Cina lebih benci lagi dengan pekerjaan Belanda ke Nusantara (Hera, 2014: 50), sehingga
itu” seperti yang dipaparkan oleh Mayor William menyebabkan jumlah wania Belanda lebih
Thorn (2015: 270). Bahkan, lebih lanjut sedikit daripada laki-lakinya. Kebijakan ini jelas
dijelaskan oleh Raffles (2014: 47) bahwa apabila menimbulkan dampak psikologi bagi para pegawai-
orang Jawa asli pada suatu saat ditangkap dan pegawai VOC beserta serdadunya karena tidak
dijual oleh Bajak Laut, kemudian terbukti bahwa memiliki tempat untuk memuaskan hawa
mereka berasal dari Jawa, maka dapat nafsunya, sehingga memperbudak perempuan
menyebabkan pembelian mereka batal. lokal untuk dijadikan gundik merupakan solusi
untuk mengatasi permasalah seks tersebut.
Ada beberapa kriteria-kriteria yang Namun, fenomena ini sebenarnya tidak hanya
digunakan oleh orang-orang Eropa untuk terjadi di Hindia Belanda, tetapi juga terjadi di
memilih budak wanita yang akan dibeli dan koloni Inggris, Portugis, Perancis, dan Spanyol
dipekerjakan di rumah-rumah mereka, seperti (Hidayani, 2016: 99).
yang dijelaskan oleh Thorn (2015: 270) sebagai
berikut. Oleh karena itu, jika berangkat dari
penjelasan di atas, masuk akal jika beberapa
“Dalam memilih budak wanita untuk
mengerjakan tugas-tugas rumah tangga, yang kriteria utama yang menjadi pertimbangan dalam
menjadi perhatian utama adalah penampilan pemilihan budak perempuan Bali adalah karena
mereka dan kemampuan musiknya, serta kecantikannya, tampilannya yang mempesona,

64 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 1 Tahun 2018


keterampilanya memainkan musik dan pertimbangan kedudukannya menjadi lebih baik karena
umur. Hal ini disebabkan karena selain harus mempunyai ikatan dengan salah seseorang
mengerjakan tugas di dapur, para budak tersebut anggota golongan yang berkuasa. Dengan
(baca: gundik) juga harus melayani tuannya di melepaskan kebebasannya menjadi budak-budak
kasur. Dengan demikian, perjalanan jauh orang- itu, ia mendapat perlindungan, hidupnya boleh
orang Belanda ke Pulau Bali untuk membeli dikatakan baik, dekat kepada sumber kekuasaan,
budak sebenarnya hanya merupakan kamuflase, bebas dari kerja berat, bebas dari membayar apa-
tujuannya utamanya adalah untuk mencari apa yang harus dibayar oleh sesamanya sebagai
gundik untuk dijadikan pelayan seksual. Bila pajak.
para gundik ini jatuh ke tangan serdadu dan
Sementara itu, budak laki-laki Bali
kelasi (golongan pangkat paling rendah dalam
dikenal sangat loyal dan memiliki keinginan
angkatan laut) yang bukan keturunan terdidik di
untuk memperlajari hal baru dan cocok untuk
kalangan Eropa, maka mereka akan diperlakukan
kegiatan ketentaraan (Ardika, dkk., 2015: 310).
sewenang-wenang, dan tidak ada saling pengertian
Lekkerkerker (1923) misalnya menyebutkan
di antara kedua belah pihak. Namun sebaliknya,
bahwa selama periode VOC dan Herman Willem
jika para gundik ini jatuh ke tangan para pejabat
Daendels (dalam Ramstedt, 1998: 28) banyak
VOC, umumnya keduanya akan memiliki
orang Bali merupakan bagian dari tentara
hubungan yang erat, baik sebagai istri ataupun
Belanda yang dikenal sangat pemberani di
gundik (Hidayani, 2016: 100).
medan perang.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat
Selanjutnya, menurut Robinson (2006:
dimengerti alasan pemerintah VOC dan
35) alasan kenapa budak laki-laki Bali begitu
pemerintah Hindia Belanda sebagai bangsa yang
diminati Belanda karena lelaki Bali mempunyai
beradab memperbolehkan atau melegalkan dan
reputasi sebagai serdadu yang garang. Para
ikut berperan aktif dalam bisnis haram perbudakan
perwira militer Belanda pernah mendapat
di Nusantara. Namun, selain pergundikan marak
pelajaran berharga tentang kualitas prajurit Bali
dilakukan oleh orang-orang Belanda (Eropa),
dalam tiga ekspedisi militernya (tahun 1846,
para raja-raja lokal di Bali juga turut serta
1848, dan 1849). Setelah menderita kekalahan
mengkonsumsi budak perempuan untuk dijadikan
pada 1846 dan 1848, Belanda menyerang
gundik. Hal ini terekam dalam catatan John
Buleleng pada 1849 dengan sekitar 15.000
Crawfurd (1820) salah seorang mantan residen
pasukan dan sejumlah kapal perang, dan saat itu
Inggris di Yogyakarta, yang menjelaskan bahwa
pun hanya meraih kemenangan tipis setelah
di Bali lazim terjadi pengorbanan para janda
mengantongi bantuan para kolaborator Bali dari
ketika suami mereka meninggal dunia dengan
Sangsit, kerajaan tetangga Bangli, dan kerajaan
cara membakar dirinya. Menurut Crawfurd,
Mataram di Lombok. Serangan berikutnya
(2017: 210) “ketika seorang permaisuri mengorbankan
terhadap Klungkung pada 1849 terbukti gagal,
dirinya, praktik ini disebut “satya”. (Namun)
yang mengakibatkan kematian komandan militer
ketika seorang gundik, budak, atau abdi lainnya,
Belanda. Sebuah uraian kontemporer tentang
praktik ini disebut “bela” atau “pembalasan”.
ekspedisi 1849 menggambarkan orang Bali
Pergundikan atau perbudakan seksual sebagai lawan militer paling tangguh yang
merupakan bentuk eksploitasi atas tubuh perempuan pernah dihadapi tentara kolonial Belanda di
yang tidak didasarkan atas suka sama suka dan Hindia (Robinson, 2006: 35).
tidak ada sedikitpun imbalan yang diterima
Thorn (2015: 341-342) juga menjelaskan
gundik dalam bentuk materi. Para gundik berkerja
mengenai karakter orang Bali yang sangat kuat,
di bawah paksaan dan ancaman, serta kekerasan
tangguh, dan mudah beradaptasi pada lingkungan
yang dilakukan oleh pihak yang superior (laki-
barunya, yaitu sebagai berkut.
laki) untuk menjadi pemuas nafsu seks penjabat
pemerintahan, kalangan sipil, ataupun militer. “Penduduk Bali bertubuh kekar, sehingga
perekrutan prajurit untuk militer kolonial di
Pekerjaan sebagai seorang budak Jawa dan pulau-pulau di kawasan Timur,
pembantu rumah tangga (gundik) tidak serta jika dikelola dengan baik, kemungkinan
merta selalu berdampak negatif, karena menurut besar akan berhasil di tempat ini. Orang Bali
Steinberg (1983: 10) bagi para budak itu sendiri tampaknya paling mudah beradaptasi, di
ada untungnya juga. Dalam teori ini, ia tetap antara suku-suku bangsa di kawasan timur,
orang bebas, bukan budak, kadang-kadang untuk menjadi tentara-tentara yang handal,

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 1 Tahun 2018 65


karena mereka sudah biasa tunduk pada Jawa, budak dari Bali, dan cendana dari Timor
kedisiplinan”. diperdagangkan diseluruh jaringan kepulauan
Dengan ciri-ciri fisik seperti yang yang berpusat di Malaka”.
digambarkan oleh Thorn (2015) di atas, orang Oleh karena itu, masuk akal bagaimana
Bali sangatlah cocok digunakan sebagai penjaga- pelbagai bagian perdagangan membantu mengikat
penjaga rumah-rumah orang Eropa, ataupun wilayah menjadi satu sesuai dengan kepentingan
sebagai prajurit-prajurit yang handal di medan masing-masing. Kepentingan ekonomi masing-
pertempuran. Disini dapat ketahui bahwa orang masing daerah telah menjadi benang merah
Bali secara lahiriah tidaklah hanya memiliki penghubung antara Jawa, Bali, dan daerah-
karakter lemah lembut seperti yang dikenal daerah lainnya di Timur dan Barat Nusantara
sekarang, tetapi di masa lalu sanggup melakukan pada masa prakolonial. Mereka bertukar barang
kekerasan fisikdan daya tahan tubuh yang baik. atas dasar saling menguntungkan dan membutuhkan.
Kebutuhan mempunyai budak laki-laki Bali pada Hubungan perdagangan tersebut, selain melahirkan
khususnya didasari atas tuntutan akan terjadinya sebuah jaringan ekonomi yang berhubungan
perang yang berlangsung antara Belanda dan antara satu dengan yang lainnya juga akan
Mataram di Jawa Tengah atau lebih dikenal melahirkan jaringan kultural antardaerah (Ricklefs,
dengan istilah “Perang Diponegoro” atau 2008: 38-39).
“Perang Jawa” (Ardika, dkk., 2015: 310).
Selain untuk tenaga militer dan Asal Usul Budak Bali
pembantu rumah tangga ataupun kuli, kompeni Perdagangan Budak Bali meraih
Belanda juga memerlukan tenaga budak dalam popularitasnya pada abad ke XVII-XIX, namun
usahanya, misalnya untuk perkebunan di Banda yang perlu digarisbawahi bahwa istilah
yang diduduki VOC sejak tahun 1621. Setelah (eksistensi) “budak” di Bali sebenarnya sudah
praktis melenyapkan penduduk di Pulau Banda, ada jauh sebelum bangsa Barat menginjakkan
VOC lalu menyatakan bahwa kebun-kebun pala kakinya di Nusantara. Dalam prasasti Sukawana
menjadi miliknya. Masalahnya adalah bagaimana AI yang berangka tahun 804 Saka/882 Masehi
membuat kebun-kebun itu menjadi produktif. disebutkan sebagai berikut.
Jalan keluar yang ditempuh VOC adalah dengan
IIb.1 “…ana krangan 2. Ampung ya marang
memberi hak pakai atas kebun-kebun itu kepada
hadan padangayana Habana maruna ditu,
bekas tentara dan pagawai VOC. Tenaga kerja di mas, pirak, kangsabhajana tanbrabhajana,
kebun-kebun itu diusahakan oleh VOC melalui hulu rbwang, karembo, sampi, mulya ma- 3.
tenaga budak yang dikumpulkan dari segenap Saka 4 alapen marhantwangna sesan ya
penjuru tanah air. Budak-budak ini kemudian alapna marhantuangna paneken di hyang
menjadi penduduk “asli” Banda. Seperti api kajadyan atithi, anada huma, parlak,
diketahui, penduduk asli yang sebenarnya sudah padang, ngma- 4.1 kajadyan tmuan hyang
diangkut ke Batavia sebagai budak, dan yang tanda……” (Goris, 1954a: 53).
dapat lolos melarikan diri dari ke pulau-pulau Artinya:
sekitarnya di antaranya ada yang mendirikan
kampung-kampung Banda di Kepulauan Kei IIb.1 “…bila ada pasangan suami istri 2.
tidak mempunyai keturunan semua harta
(Poesponegoro, 2008: 137). miliknya yang dibawa bertempat tinggal di
Dengan demikian dapat dilihat peran sana seperti mas, perak, bejana dari logam,
orang Bali dalam aktivitas perdagangan dan bejana dari tembaga, budak, kerbau, sapi,
perdagangan budak penting pada abad ke-XVII- diambil sejumlah 3.4 masaka untuk biaya
upacara kematiannya. Sisa yang diambil dari
XIX. Terlepas dari stigma negatif mengenai
biaya kematiannya dipersembahkan kepada
budak, perdagangan budak Bali secara umum Hyang Api sebagai persembahan. Bila ada
telah membantu menyatukan wilayah-wilayah sawah, ladang, tegalan, 4. kebun dipersembahkan
kepulauan Indonesia, seperti yang diungkapkan sebagai ‘milik’ Hyang Tanda…” (Ardika,
oleh Ricklefs (2008: 294), yaitu bahwa “jaringan dkk., 2015: 180).
perdagangan telah menyatukan kepulauan Indonesia
dalam cara yang mencerminkan keunggulan Prasasti di atas memberikan penjelasan
komparatif daerah masing-masing. Dengan bahwa pada abad ke-9 di Bali sudah ada
demikian, kapur barus dari Sumatera, berlian masyarakat yang telah memiliki budak dan
dari Kalimantan Selatan, beras dan tekstil dari memposisikan budak sebagai “barang” yang
memiliki nilai ekonomis. Dalam budaya

66 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 1 Tahun 2018


masyarakat Bali (baca: Agama Hindu) juga juga memberikan penjelasan penting bahwa pada
dikenal adanya catur kasta yang mengelompokkan Masa Bali Kuno budak telah diposisikan sebagai
masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial “barang dagangan” yang memiliki nilai jual/
berdasarkan keturunannya di masyarakat, yakni berharga atau diperjualbelikan oleh masyarakat,
kasta Brahmana, Ksatriya, Waisya, dan Sudra. sehingga ketika pemiliknya meninggal ataupun
Istilah catur kasta pertama kali ditemukan pada mengalami kesulitan keuangan, budak tersebut
masa pemerintahan Anak Wungsu (971-999 dapat ditukarkan dengan uang. Begitu juga
Saka atau 1049-1077 Masehi) di Bali, seperti sebaliknya, ketika ada seseorang yang ingin
dalam prasasti Bila yang berangka tahun 995 membeli budak maka ia harus membayar
Saka atau 1074 Masehi menyatakan tentang sejumlah uang kepada penjual budak.
adanya catur kasta dalam masyarakat dari
Eksistensi kelas budak pada masa Bali
lapisan sosial teratas hingga lapisan sosial
Kuno juga terekam dalam prasasti Jaya Pangus,
terbawah yang terdiri dari kasta Brahmana,
yang menyatakan:
Ksatriya, Waisya, dan Sudra (Ardika, dkk.,
2015: 158). Selain empat kasta di atas, juga “bila ada anak budak (rare kawula)
dinyatakan secara eksplisit tentang adanya kelas pergi mengungsi ke desa Buyan-
sosial di bawah kelas Sudra, yakni budak. Secara Sanding-Tamblingan, maka anak itu
lebih lengkap isi prasasti tersebut adalah sebagai tidak boleh ditangkap, ditahan atau
berikut. dipukul dengan “duru walatung (?)” dan
dilukai tubuhnya. Jika memukulinya
“apabila orang-orang jahat yang tidak
memperhatikan anugerah raja kepada desa dengan “duru walatung”, penduduk desa
Bila sewilayahnya, kaum brahmana, ksatria, boleh merebutnya dalam hal ini tidak
wesya, sudra, budak tua muda, laki-laki, menyebabkan dosa dan menimbulkan
perempuan, kepala rumah tangga, pendeta, hukuman gana-gana” (Raharjo, dkk.,
nayaka, pengawas dan para sandhibisa, yang 1998: 39).
mengubah-ubah anugerah paduka raja,
sampai akhir jaman, akan selalu diberitakan Isi prasasti di atas dapat memberikan
dengan kematianmu…” (Raharjo, dkk., keterangan bahwa status anak budak dilindungi
1998: 38). oleh raja. Meskipun demikian, pelanggaran/
kejahatan terhadap budak oleh empat kasta
Isi prasasti di atas menjelaskan bahwa lainnya tidak mendapatkan sanksi hukum. Dari
struktur masyarakat Bali pada masa pemerintahan beberapa prasasti pada masa Bali Kuno di atas
Anak Wungsu dibedakan ke dalam empat kasta juga dapat disimpulkan bahwa struktur
dan ditambah kelas budak. Oleh karena itu, pada masyarakat Bali Kuno tidak hanya terdiri dari
dasarnya kelas budak lebih rendah/paling rendah empat kasta, yakni kasta Brahmana, Ksatriya,
dari empat kasta yang dikenal masyarakat. Waisya, dan Sudra, tetapi juga terdapat kelas
Prasasti Srokodan D = Sukawati C berangka budak yang tidak termasuk di dalam empat kasta
tahun 999 Saka juga memberikan keterangan yang dikenal oleh masyarakat Bali pada
tentang keberadaan budak, yang berbunyi: umumnya.Pengelompokan masyarakat secara
“kunang ya tan aharp ya sumahwa vertikal tersebut juga menyebabkan kelas budak
hutangnya crakaknanya ikang rarai tidak mendapatkan perlindungan hukum, sehingga
hulu, irikang pradana” (Artinya: Adapun siapapun (utamanya catur kasta) dapat berbuat
andaikata seseorang tidak sanggup semena-mena terhadapnya. Selain itu, dapat
membayar hutangnya, agar menyerahkan diketahui juga bahwa kelas budak pada masa
budak miliknya, kepada orang yang mau Bali Kuno juga sudah diperjualbelikan di dalam
memberikan pinjaman) (Tim Proyek masyarakat.
Peneliti dan Pencatatan Kebudayaan Asal-usul timbulnya kelas budak pada
Daerah, 1978: 41). masa Bali Kuno tidak terekam secara jelas di
Hal yang menarik dari isi prasasti dalam prasasti-prasasti yang ada.Namun, pada
Srokodan D = Sukawati Cyang dikeluarkan pada masa kolonialisme dan imperialisme Belanda di
masa pemerintahan Anak Wungsu di atas adalah Nusantara, timbulnya kelas budak dapat
kelompok catur kasta dapat berbuat semena- disebabkan oleh berbagai faktor. Budak,menurut
mena terhadap budak yang dimilikinya. Selain konvensi, sah untuk dijual dalam perbudakan
itu, isi prasasti Sukawana AI (804 Saka/882 termasuk para tawanan yang tertangkap di
Masehi) dan Prasasti Srokodan D = Sukawati C medan perang, janda-janda tanpa anak, para

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 1 Tahun 2018 67


penghutang, dan kriminal lainnya (Robinson, melunasi denda dijadikan budak, tidak
2006: 33-34). Hal tersebut relevan dengan dipenjarakan. Jika hal itu menyangkut soal
penjelasan Poesponegoro (2008: 299-300) yang pencurian atau penikaman, atau utang yang
menyatakan adanya golongan budak disebabkan dibayar kepada pihak lainnya, si penjahat akan
oleh beberapa faktor, misalnya karena seseorang menjadi budaknya sampai utangnya lunas. Jika
tidak dapat membayar utang sehingga anak atau denda yang dibayar itu maksudnya untuk raja,
kerabatnya diberikan sebagai pembayaran penjahatnya bisa dijual untuk melunasinya atau
hutang, karena menjadi tawanan perang dan dijadikan budak istana.
perdagangan budak.
Dalam kasus budak Bali, Poesponegoro
Pendapat tersebut juga sejalan dengan (2008: 90) memberikan gambaran mengenai asal
penjelasan David J. Steinberg (1983: 10) yang usul budak Bali tersebut, yaitu sebagai berikut.
menguraikan sebagai berikut.
“Dipandang dari segi kasta, mereka
“Menjelang akhir abad ke-18 lazim sekali termasuk golongan bawah. Dalam
orang mengabdi karena tidak sanggup hubungannya dengan perbudakan di Bali
membayar hutang, lebih umum daripada perlu diketahui bahwa tidak semua
perbudakan sepenuhnya, di mana ekonomi budak dari golongan rendah. Tawanan-
dusun makin banyak menggunakan uang.
tawanan perang atau hasil tawan karang
Seorang petani yang mengalami kesukaran
ekonomi dan memerlukan uang kontan untuk adakalanya berasal dari kasta atas.
perkawinan atau membayar kekalahannya Budak-budak yang memang berasal dari
dalam berjudi, bisa mencari pertolongan atau kelas rendah dalam pandangan masyarakat
mendesak diberi pertolongan oleh tetangga berbeda dengan budak-budak karena
atau kepalanya setempat, sehingga diperolehnya tawanan perang. Umumnya mereka yang
uang atau sesuatu barang. Apa yang disebut belakangan lebih dihargai.
dipinjamkannya itu harus dikembalikannya Budak-budak, baik yang laki-laki (sepangan)
dalam masa tertentu. Jika tidak, maka dia maupun yang perempuan (sepangan
serta orang-orang yang dihidupinya menjadi luh), hidup dirumah tuannya dijamin
budak hutang sampai hutangnya itu dilunasi.
kebutuhan pangannya”.
Selama membudak itu, ia boleh tinggal di
dusunnya, bekerja buat kreditornya atau Lebih lanjut, seorang misionaris Inggris
memberi barang sesuatu kepadanya sebagai (dalam Robinson, 2006: 34) yang mengunjungi
uang bunga, boleh juga ia bekerja di rumah Bali pada awal abad ke-19, menjelaskan latar
kreditornya itu dengan diberi makan, belakang muncul budak di Bali, yaitu sebagai
pakaian dan perlindungan. Ia tidak digaji
sedikitpun, maka beratlah cara membayar
berikut.
hutang yang demikian”. “Sasarannya tidak selalu orang yang bersalah
…tapi mereka yang kebetulan tidak memiliki
Banyak budak hutang yang seumur teman yang berpihak kepadanya (juga ikut)
hidupnya tidak dapat membebaskan dirinya. ditangkap dan dijual, barangkali karena
Budak hutang itu amat lazim di daerah yang kesalahan yang amat sepele, atau bahkan
kekurangan tenaga manusia. Mereka amat atas alasan palsu atau ngawur. Betapapun,
menguntungkan kaum kreditor karena merupakan kenyataan harga tertentu yang ditawarkan
tenaga yang murah, dapat dipergunakan sebagai per kepala, untuk pemuda yang kekar, akan
kekuatan dalam peperangan atau dalam usaha menggoda para raja untuk lebih cepat
mendapatkan kekuasaan politik (Steinberg, menghukum (orang-orang) semacam itu
1983: 10). Selain itu, oleh tuannya budak juga supaya bisa dijual, atau terdorong memerangi
tetangganya yang lebih lemah, hanya demi
dimanfaatkan sebagai pelindung, seperti yang di
tujuan agar punya bahan untuk memasok
jelaskan oleh Anthony (2014: xxiv) “di Asia pasar Belanda”.
Tenggara tidak mungkin seseorang mengumpulkan
modal tanpa membeli loyalitas dari sejumlah Sebuah kuliah pada tahun 1909 yang
budak, karena yang terakhir ini diperlukan untuk disampaikan oleh G.F. de Bruyn Kops, Residen
melindungi kekakayaannya”. Bali dan Lombok (1905-1909) dikutip dalam
Robinson (2006: 40) memaparkan tentang
Seorang penjahat atau kriminal yang penyebab adanya budak Bali, yaitu “jika
tertangkap juga berpeluang menjadi budak, seseorang mati tanpa meninggalkan anak lelaki,
seperti yang dijelaskan oleh Reid Anthony maka bukan saja hartanya menjadi milik raja,
(2014: 163) bahwa penjahat yang tidak sanggup tetapi janda dan anak perempuannya pun

68 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 1 Tahun 2018


menjadi budak atau selir raja”.Berdasarkan dominan) untuk mengembangkan kultur hegemoni,
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa yakni sistem kasta yang diselenggarakan dari
penyebab yang melatarbelakangi munculnya penjabaran ajaran kitab suci (agama). Hagemoni
budak Bali yaitu para tawanan yang tertangkap budaya (ideologi dominan) “kasta” menggariskan
di medan perang, janda-janda tanpa anak, para bahwa tiap individu telah ditakdirkan pada
penghutang, dan penjahat atau pelaku kriminal. kedudukan tertentu. Hal tersebut tentu membuat
sistem kehidupan berada dalam tatanan sistem
Dalam struktur sosial masyarakat Bali,
sosial tertutup.
adanya fenomena membudak dan memper-
dagangkan kelas budak sudah dilakukan
Pelarangan dan Penghapusan Perdagangan
sejakjaman Bali Kuno hingga mencapai
Budak Bali
puncaknya ketika para penguasa-penguasa lokal
bersentuhan secara langsung dengan Belanda, Perdagangan budak di Bali adalah
sehingga kebiasaan raja-raja lokal mengeruk perdagangan dengan kesuksesan terbesar
keuntungan ekonomi dari memperjualbelikan (Raffles, 2014: 876). Bali di abad ke XVII bebas
manusia (budak) bukanlah menjadi hal yang dari campur tangan VOC, tetapi tetap
baru dan tabu dalam kehidupan masyarakat Bali. berpengaruh atas kehadiran VOC. Kira-kira
Adanya sistem kasta (warna) dan sistem sebelum 1650, Bali masih merupakan wilayah
stratifikasi sosial tertutup yang hidup subur pada jajahan Raja Gelgel. Bali tidak terlalu terlibat
masyarakat Bali mulai dari jaman Bali Kuno dalam perdagangan laut dibandingkan negara-
hingga periode kolonialisme dan imperislisme negara lain di Indonesia, tetapi merupakan
Belanda di Bali juga telah memberikan pengekspor sejumlah besar kapas, beras, babi,
sumbangan besar terhadap kehidupan membudak ternak, dan unggas. Namun kemudian, otoritas
dan termasuk perdagangan budak. Gelgel runtuh dan Bali menjadi sekumpulan
kerajaan kecil dan saling berperang satu sama
Dalam masyarakat Bali, mobilitas sosial
lain. Pada saat yang sama, kehadiran VOC di
secara vertikal berdasarkan kasta agak sulit
Batavia setelah 1619 menciptakan pasar baru
terjadi, apalagi pada kasus budak. Bahkan, pada
yang besar untuk perbudakan. Ekspor manusia
masa Bali Kuno (juga pada masa setelahnya)
ini memperkaya raja-raja di Bali dengancara
pemerintah menerapkan aturan adanya larangan
menjual tahanan-tahanan, dan terutama tawanan
bagi golongan masyarakat lapisan bawah
perang mereka kepada VOC dan selanjutnya
(terutama yang laki-laki) melakukan perkawinan
kepada pemerintah Belanda. Maka, perdagangan
dengan golongan lapisan masyarakat atas
budak telah ikut andil dalam menciptakan
(Ardika, dkk., 2015: 158). Raharjo, dkk. (1998:
disintegrasi politik di Bali dengan menyediakan
42-43) memberikan uraian mengenai hal
sumber daya ekonomi untuk perang dan
tersebut, yaitu sebagai berikut.
mengonsumsi tawanan perang antara kerajaan
“Perkawinan campur, khususnya antara laki- satu dengan kerajaan lainnya.
laki sudra dengan perempuan dari kasta
yang lebih tinggi sangat dihindari. Hukuman Dinamika perdagangan budak Bali pada
bagi perempuan adalah dimasukkan ke abad ke-17 melahirkan seorang tokoh sejarah
dalam api “labuh geni” atau ditusuk dengan yang menyita perhatian kerajaan-kerajaan di
keris, sedangkan bagi laki-laki ditenggelamkan Jawa dan penguasa VOC di Batavia selama
ke dalam laut dengan cara dibebani di dalam hampir 3 dasawarsa. Pada tahun 1684, mulai
laut (labuh batu)”. dipertimbangkan tindakan yang lebih keras
Adanya aturan tegas yang melarang ketika di sana datang seorang budak yang kelak
mobilitas sosial secara vertikal (perkawinan) dan menjadi musuh yang paling dibenci VOC
disertai dengan sanksi yang menyertainya ketimbang musuh manapun. Orang itu adalah
memungkinkan status budak (dan berlaku pada Surapati, seorang budak Baliyang telah menetap
kasus kasta) menjadi ajeg melekat pada diri di Batavia (Ricklefs, 2008: 181). “…Surapati
seseorang. Aturan diskriminatif tersebut begitu adalah seorang budak yang berasal dari Bali
dipertahankan oleh kelas sosial yang diuntungkan, yang pernah diangkat sebagai Luitenant oleh
seperti yang diungkapkan oleh Ari Dwipayana VOC”, seperti yang dijelaskan oleh Poesponegoro
(dalam Ardika, dkk., 2015: 318), bahwa dalam (2008: 227).
masyarakat berkasta, para aristokrat tuan tanah Seperti kebanyakan budak lainnya,
berkolaborasi dengan kaum rokhaniawan (kelas Surapati melarikan diri ke dataran tinggi di

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 1 Tahun 2018 69


sebelah selatan Batavia dan menjadi pemimpin perbudakan di Nusantara (Thosibo, 2002: 15).
segerobolan perampok. Pada tahun 1683, secara Setelah dikeluarkannya kebijakan tentang
tidak terduga dia menyerah dan masuk dinas pelarangan perdagangan budak di wilayah yang
militer VOC. Dia kemudian membantu menangkap dikuasasi Inggris, pemerintah mulai menangkap
seorang putra Sultan Ageng dari Banten yang kapal-kapal yang membawa budak, sehingga
melarikan diri. Namun, pada Januari 1684, dia populasi budak secara bertahap mulai berkurang.
menyerang sebuah pasukan VOC, membunuh 20 Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Major
dari 39 serdadu bekebangsaan Eropa, kemudian Willam Thorn yang menyatakan “sejak
melarikan diri ke arah timur setelah terjadi penaklukan Jawa, UU Inggris mengenai penghapusan
serangan balasan VOC yang menimbulkan perdagangan budak telah dibuat dan diberlakukan di
banyak korban di kalangan anak buahnya perairan ini, akibatnya beberapa kapal yang
(Ricklefs, 2008: 181). mengangkut budak ditangkap oleh kapal patroli
kita (Baca: Inggris), dan ini berpengaruh besar
Pada saat Herman Willem Deandels
menaikkan harga budak yang sudah berada di
berkuasa di Hindia Belanda, ia mengirim Van
pulau (Nusantara)” (Thorn, 1815: 271). Jika
den Bahl ke Bali untuk mendapatkan calon-calon
menyimak penjelasan di atas, maka salah satu
prajurit. Boleh dikatakan ia berhasil membuat
dampak dari diterapkannya kebijakan pelarangan
suatu perjanjian dengan Raja Badung, I Gusti
perdagangan budak adalah melonjaknya harga
Ngurah Pemecutan, pada tanggal 28 Oktober
budak yang telah sampai di tempat tujuannya.
1808. Di samping bertugas sebagai utusan, ia
Tentu naiknya harga budak tersebut merupakan
juga bertugassebagai konsul atau subandar yang
hal yang wajar karena dengan semakin
bertugas mengawasi pembesar-pembesar orang
sedikitnya orang yang berani menjual-belikan
asing, sebagai importer tunggal yang menentukan
budak maka jumlah budak dipasaran akan
jenis-jenis barang yang diimpor (Sutaba, dkk.,
semakin sedikit, sedangkan permintaan akan
1983: 15)
budak tetap stabil.
Pada tahun 1811, pemerintahan Deandels
Kebijakan ituakhirnya juga sampai di
berakhir, kemudian digantikan oleh Thomas
Bali. Namun, larangan-larangan perdagangan
Stamford Raffles. Di bawah pemerintahan
budak oleh pemerintahan Raffles sangat
Raffles timbul perubahan besar dalam bidang
ditentang oleh Raja Buleleng dan Karangasem,
kebijakan pemerintahannya. Salah satu diantaranya
terbukti pada tahun 1814 tentara kedua kerajaan
adalah usaha Raffles untuk menghapuskan
ini menyerang orang-orang Sepoy (Inggris) yang
perdagangan budak di Nusantara, yang dalam
berdiam di Banyuwangi. Pada tahun itu juga
kepustakaan dikenal dengan istilah pandelingschap
Thomas Stamford Raffles mengutus Jenderal
(Thosibo, 2002: 15). Hal tersebut sesuai dengan
Nightingale ke Bali untuk membalas dendam
penjelasan Thomas Stamford Raffles dalam
atas tindakan-tindakan raja Buleleng dan
bukunya berjudul “The History of Java”, yaitu
Karangasem. Walaupun pada akhirnya Raja
sebagai berikut.
Buleleng tunduk kepada Nightingale, rupanya
“Pendudukan pulau ini oleh Inggris tahun masalah perdagangan budak di Bali masih ada
1811 menyebabkan masalah budak menjadi yang melakukan,terutama oleh orang-orang Cina
perhatian utama, meskipun kita tidak bisa (Sutaba, dkk., 1983: 15; Tim Peneliti dan Pencatatan
langsung melarang perbudakan atau
Kebudayaan Daerah Bali, 1978: 93-94). Hal
membebaskan para budak yang ada, namun
kita bisa sedikit memperbaiki dan mengubah
tersebut ditekankan juga oleh Ricklefs (2008:
peraturan menyangkut praktik ini sehingga di 292) bahwa “pemerintah Inggris di Jawa telah
masa depan seluruh budak dapat dibebaskan. berperang dengan raja-raja Buleleng dan
Langkah-langkah darurat diambil untuk Karangasem pada tahun 1814 dalam usaha
mencegah pengiriman budak lebih lanjut, mengakhiri perdagangan budak. Pihak Bali
dan setelah dikeluarkannya peraturan yang menyerah, tetapi perdagangan budak berjalan
menganggap perbudakan sebagai praktek terus”.
kejahatan, maka sejak saat itu wilayah yang
dikuasai Inggris akan melarang adanya perbudakan. Penghapusan resmi perdagangan budak
Praktik perbudakan di Jawa dianggap sia-sia selama masa peralihan pemerintahan Inggris
dan bodoh” (Raffles, 2014: 47). (1811-1816) menyebabkan pukulan ekonomi
yang serius kepada para raja Bali (Robinson,
Raffles dianggap sebagai orang yang
2006: 34). Setelah terjadinya perpindahaan
paling berjasa dalam usaha penghapusan
kekuasaan dari pemerintah Inggris ke pemerintah

70 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 1 Tahun 2018


kolonial Belanda pada tahun 1816, pemerintah bahwa penjualan budak-budak di muka umum
kolonial Belanda melakukan berbagai usaha telah dilarang oleh pemerintah Hindia Belanda
untuk membujuk raja-raja Bali (yang pada tahun dalam tahun 1854, sedangkan dalam tahun 1860
1839 berjumlah sepuluh orang) agar bersedia telah dikeluarkan peraturan-peraturan untuk
menerima kekuasaan Belanda akan tetapi tidak menghapus sama sekali sistem perbudakan di
berhasil. Walaupun Raja Badung setuju untuk Hindia Belanda.
menyediakan prajurit-prajurit untuk angkatan
Di lain pihak, selama abad ke XIX, Bali
perang kolonial, tetapi tetap saja Belanda tidak
mengalami serangkaian tragedi alam, budaya,
memiliki pengaruh besar di Pulau Bali (Ricklefs,
ekonomi, dan politik yang telah mengubah arah
292-293).
kebijakan raja-raja lokal mengenai perdagangan
“Pada tahun 1824 pemerintah Belanda budak. Dramanya bermula dari ledakan alam
mengutus seorang keturunan Arab bernama terbesar yang pernah diketahui umat manusia,
pangeran Said Hasan al Habeschi untuk yang akibatnya dirasakan oleh Bali bersama
mengadakan perundingan dalam hal sewa- pulau-pulau tetangganya. Dari April hingga Juli
menyewa budak untuk masuk tentara. Tetapi
1815, Gunung Tambora di Pulau Sumbawa
raja-raja Bali tidak terpikat oleh bujukan-
bujukan tersebut, hanya raja Badung yang meletus, menewaskan lebih banyak orang dari
mau menerima. Oleh karena kegagalan ini, letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883 yang
pada tahun 1826 pemerintah mengirim lebih terkenal. Sepuluh ribu nyawa melayang,
Kapten J.S. Wetters. Dia tinggal untuk 38.000 orang diperkirakan mati akibat kelaparan
sementara waktu di Kuta, satu-satunya yang menyusul letusan tersebut, dan total korban
tempat perdagangan yang ramai di Bali yang meninggal mungkin mencapai 117.000
Selatan pada waktu itu. Pada tahun 1827 dia orang di Sumbawa, Bali, dan Lombok. Sedikitnya,
berhasil mengadakan kontrak dengan raja 25.000 orang mati di Bali. Pulau ini ditutupi oleh
Badung untuk mendapatkan calon-calon abu gunung berapi setebal 20 cm atau lebih,
tentara” (Tim Peneliti dan Pencatatan
yang menghancurleburkan lahan persawahan.
Kebudayaan Daerah Bali, 1978: 94).
Tragedi ini disertai oleh sejumlah penyakit pes,
Kebutuhan tentara yang begitu banyak yang merusak pasokan makanan, dan kelaparan
dari budak-budak Bali pada awal abad ke dan wabah cacar datang mengamuk pada tahun
XIXjuga didasari oleh adanya perang yang 1828. Antara tahun 1850 dan 1888 muncul 7 kali
berlarut-larut antara Belanda dengan Pangeran wabah cacar, 5 kali wabah kolera, 4 kali pes,
Diponogoro, dan Belanda dengan kaum Padri. beberapa kali disentri, dan akhirnya pada tahun
Oleh karena itu, ketika Perang Diponogoro 1888 sebuah gempa bumi. Korban tewas
berakhir dengan kemenangan mutlak Belanda terburuk terjadi dalam wabah cacar tahun 1871,
pada tahun 1830, Belanda merasa tidak perlu menghabiskan 15.000-18.000 orang (Ricklefs,
lagi mencari calon tentara (Sutaba, dkk., 1983: 2008: 293).
16). Hal ini tentu saja berdampak pada lesunya
Pada awal abad ke XIX, ekonomi Bali
perdagangan budak setelah berakhirnya Perang
masih sangat tergantung pada ekspor budak.
Diponegoro.
Sekitar 2.000 orang dijual oleh para bangsawan
Sebenarnya pada tahun 1665 Belanda Bali setiap tahunnya. Sebaliknya, raja-raja lokal
pernah mengeluarkan sebuah regulasi yang Bali mengimpor terutama koin-koin tembaga,
melarang perdagangan budak kepada pegawai senjata, dan khususnya candu, yang dikonsumsi
VOC, tetapi hanya diperkenankan kepada orang luas oleh masyarakat Bali. Sejak masa
asing (Ardika, dkk., 2015: 311). Selain itu, pemerintahan sementara Inggris (1811-1816),
pemerintah Inggris bahkan mengadakan pemilihan pemerintah Belanda di Batavia berusaha membatasi
untuk membuat perdagangan budak illegal yaitu dan akhirnya menghapuskan perdagangan budak.
berdasarkan Slave Act tahun 1807. Oleh karena Hal ini tentu saja akan mengancam pendapatan
itu, dapat dikatakan bahwa Inggris memainkan para bangsawan Bali, tepat ketika gunung
peranan penting dalam munculnya perbudakan Tambora sedang melancarkan aksi penghancurannya
dan perdagangan budak, dan Inggris sendiri atas ekonomi pertanian Bali (Ricklefs, 2008:
akhirnya melarang perdagangan budak di 293).
wilayah Kerajaan Inggris dengan dilaksanakannya
Tetapi, perkembangan ekonomi dan
The Slavery Abolition Act pada tahun 1833
ekologi yang lebih kondusif kemudian menghasilkan
(Ardika, dkk., 2015: 311). Menurut Virginia
suatu transformasi ekonomi. Timbunan abu
Thompson (dalam Poesponegoro, 2008: 394)

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 1 Tahun 2018 71


gunung tambora segera menaikkan kesuburan khususnya pernah mengalami pengalaman pahit
tanah, sementara Singapura menjadi pasar terjerat dalam bisnis perdagangan manusia
ekspor Bali yang baru. Dalam dua dasawarsa, (budak) yang dilakukan oleh penguasa. Dewasa
Bali berubah dari daerah pengekspor budak ini pengalaman-pengalaman tersebut harus
menjadi pengekspor hasil bumi (khususnya beras, mampu dijadikan pelajaran berharga oleh
kopi, nila) dan daging babi. Bukannya menjual generasi muda agar peristiwa tersebut tidak
rakyatnya, para raja Bali sekarang membutuhkan terjadi lagi di Indonesia (Historia Magistra
mereka untuk menggarap lahan-lahan pertanian Vitae).
(Ricklefs, 2008: 294).
Daftar Pustaka
Penutup
Anthony, Reid. (2014). Asia Tenggara dalam
Sejarah perbudakan di Pulau Bali Kurun Waktu Niaga 1450-1680. Penerjemah:
berlangsung selama abad ke XVII-XIX yang Mochtar Pabottingi. Jakarta: Yayasan
dimotori oleh pemerintah VOC, kolonial Belanda, Pustaka Obor.
serta raja-raja lokal. Secara kualitas, budak Bali
Ardika, dkk. (2015). Sejarah Bali: Dari
paling diminati di antara budak-budak lainnya
Prasejarah Hingga Modern. Ed. I Gde
yang diperjualbelikan dipasaran Nusantara. Hal
Parimartha. Denpasar: Udayana University
tersebut terjadi dikarenakan, misalnya pada
Press.
kasus budak perempuan Bali, wanitanya dikenal
dengan kecantikannya, kebaikan hatinya, Atmadja, Nengah Bawa. (2010). Genealogi
keterampilannya memainkan musikdan pengetahuan Keruntuhan Majapahit: Islamisasi,
yang baik tentang kesehatan. Oleh sebab itu, Toleransi, dan Pemertahanan Agama
budak perempuan Bali sangat ideal dipekerjakan Hindu di Bali. Yogyakarta: Pustaka
sebagai pembantu rumah tangga yang mengurusi Pelajar.
urusan dapur, sumur dan kasur tuannya. Baay, Reggie. (2010). Nyai & Pergundikan di
Sementara itu, laki-lakinya dikenal bertubuh Hindia Belanda. Terjemahan Siti Hertini
kekar, patuh dan mudah beradaptasi sehingga Adiwoso. De Njai: Het Concubinaat in
sangat cocok diperkerjakan sebagai penjaga Nederlands-Indië. Jakarta: Komunitas
rumah, tentara, dan kuli-kuli diperkebunan milik Bambu.
VOC dan pemerintah Belanda.
Goris, R. (1954). Prasasti Bali I. Bandung: NV.
Perdagangan budak sebenarnya sudah Masa Baru.
ada sejak zaman Bali Kuno yang dibuktikan
dengan adanya istilah budak yang tercatat di Hasibuan, Hj. Sofia Rangkuti. (2002). Manusia
dalam beberapa prasasti yang ada.Namun, ketika dan Kebudayaan di Indonesia, Teori dan
bangsa-bangsa Barat mulai menginjakkan kaki di Konsep. Jakarta : Dian Rakyat.
Nusantara, perdagangan budak Bali baru Hera, FX. Domini BB dan Daya Negri Wijaya.
menemukan momentumnya untuk berkembang (2014). Terasing Dalam Budaya Barat
ke seluruh penjuru Nusantara dan bahkan ke dan Timur: Potret “Nyai” Hindia
seluruh dunia. Pada abad ke XVII-XIX asal-usul Belanda, Abad XVII-XX. Jurnal Antropologi:
budak Balidapat berasal dari para tawanan yang Isu-Isu Sosial Budaya (JAISB). Vol. 16,
tertangkap di medan perang, janda-janda tanpa No. 1. Halaman 49-55.
anak, para penghutang, dan penjahat atau pelaku
kriminal. Pada masa kepemimpina Thomas Hidayani, Fika dan Isriani Hardini. (2016). Citra
Stamford Raffles ada upaya untuk menghapuskan Kaum Perempuan di Hindia Belanda.
perdagangan budak di Nusantara. Kemudian, Jurnal Muwazah. Vol. 8, No.1. Halaman
dilanjutkan lagi pada masa pemerintah Hindia 98-105.
Belanda yang pada tahun 1860 mengeluarkan Kuntowijoyo. (2005). Pengantar Ilmu Sejarah.
peraturan-peraturan untuk menghapus sistem Yogyakarta: Bentang.
perbudakan di Hindia Belanda.
Mariana, Anna. (2015). Perbudakan Seksual:
Pengalaman historisperbudakan di Pulau Perbandinan Antara Masa Fasisme
Bali yang berlangsung selama adab ke-XVII- Jepang dan Neofasisme Orde Baru. Ed.
XIX memberikan gambaran bahwa pada masa Ninus D. Andatnuswari. Tanggerang:
lalu bangsa Indonesia dan masyarakat Bali pada CV. Marjin Kiri.

72 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 1 Tahun 2018


Nordholt. H.G.S. (1980). Macht, Mensen, en Sanderson, Stephen K. (2003). Makro Sosiologi:
Middelen: Patronen van Dynamiek in de Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas
Balische Politiek, 1700-1840. Tesis Sosial. Jakarta: PT RajaGrafindo.
Doktoral Vrije Universiteit Amsterdam
Shahab, Alwi. (2002). Robinhood Dari Betawi.
(UNPL).
Jakarta: Republika.
Nordholt. H.G.S. (2009). The Spell of Power,
Sudoyo. (2002). Pergerakan Nasional Mencapai
“Sejarah Politik Bali 1650-1940”.
dan Mempertahankan Kemerdekaan.
Penerjemah: Ida Bagus Putrayadnya.
Penerjemah: Farid Wajini dan S. Menno.
Jakarta: KITLV.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Pageh, I Made. (2000). Pengantar Ilmu Sejarah
Sutaba, Made, dkk. (1983). Sejarah Perlawanan
(Buku Ajar). Bali: STKIP N Singaraja.
Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme
Pitana, I Gde. (1994). “Mosaik Masyarakat dan di Daerah Bali. Jakarta: Departemen
Kebudayaan Bali”. Dalam Dinamika Pendidikan dan Kebudayaan.
Masyarakat dan Kebudayaan Bali
Steinberg. (1983). Alam Kehidupan Petani,
(Editor: I Gde Pitana). Denpasar: Ofset
dalam “Elite: Dalam Perspektif Sejarah”.
BP. Halaman: 3-16.
Penyunting: Sartono Kartodirdjo. Jakarta:
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho LP3ES. Halaman 1-23.
Notosusanto. (2008). Sejarah Nasional
Tim Peneliti dan Pencatatan Kebudayaan
Indonesia IV. Edisi Pemutakhiran.
Daerah. (1978). Sejarah Daerah Bali.
Jakarta: Balai Pustaka.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Raffles, Thomas Stamford. (2014). The History Kebudayaan.
of Java. Penyunting: Hamonangan
Thorn, William. (1815). Memories of The
Simanjuntak dan Revianto B. Santosa.
Conquest of Java; with the Subseqent
Yogyakarta: Narasi.
Operations of Britsh Forces in the
Raharjo, Supratikno, dkk. (1998). Sejarah Kebudayaan Oriental Archipelago, “Sejarah Penaklukan
Bali: Kajian Perkembangan dan Dampak Jawa”. 2015. Penerjemah: Asnawi.
Pariwisata. Jakarta: CV. Eka Dharma. Yogyakarta: Indoliterasi.
Ramstedt, Martin. (1998). Weltbild, Heilspragmatik Thosibo, Anwar. (2002). Historiografi Perbudakan:
und Herrschafts legitimationin vorkolonialen Sejarah Perbudakan di Sulawesi Selatan
Bali. Frankfiurt am Main dan Berlin: Abad XIX. Magelang: IndonesiaTera.
Peter Lang.
Widja, I Gede. (1988). Pengantar Ilmu Sejarah :
Ricklefs, M.C. (1994). Sejarah Indonesia Sejarah dalam Perspektif Pendidikan.
Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada Semarang: Satya Wacana.
University Press.
Widja, I Gede. (1991). Sejarah Lokal Suatu
Robinson, Geoffrey. (2006). Sisi Gelap Pulau Perspektif dalam Pengajaran Sejarah.
Dewata: Sejarah Kekerasan Politik. Bandung: Angkasa.
Yogyakarta: LKiS.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 1 Tahun 2018 73


74 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 1 Tahun 2018

Вам также может понравиться