Вы находитесь на странице: 1из 10

KEDUDUKAN FATWA DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN

HUKUM POSITIF (ANALISIS YURIDIS NORMATIF)

M. Erfan Riadi1

e-mail : erfanriadi@yahoo.ac.id

ABSTRACT

The recent phenomena showed many organization and law institution with syari’ah
based did its activities according to law in a fatwa product from Islamic Scholar
Association of Indonesia, then the fatwa product also caused controversy among
society, in this case, our country was a law country who has arranged and legal
regulation base. The research purposes: to find out how is the fatwa concept in Islamic
law according to the Islamic Scholar’s perspective? And also to find out how the fatwa
position in Islamic Law and Positive Law in Indonesia? The research used normative
legal research with normative juridical approach, which seen law as developed norms
and existed in society. Law material used was primary law material, that was law source
with direct relation with the research did; secondary law, that was supporting primary
law and tertiary law which gave direction and explanation about primary and secondary
law source. Law source collection technique used literatures. Then law source analysis
used was comparative analysis, which compared the fatwa existence in Islamic Law and
Positive law. The exact result showed that fatwa was not a tight law product, so it has
no position in Islamic Law and positive law, so it never be a law base, since fatwa only
unbinding advice (legal opinion).

Kata-kata Kunci :
Fatwa (Islamic Instruction), Fatwa Position, Islamic Law, Positive Law

PENDAHULUAN masalah tersebut tidak ada dasar yang jelas di


dalam al-Qur’an maupun di dalam sunnah Nabi,
Setiap zaman selalu melahirkan masalah. sehingga menuntut para ulama untuk
Di sinilah Islam menunjukkan kelebihannya. menemukan dalil yang selaras dengan syari’at
Islam mampu menyesuaikan diri pada segala Islam untuk menciptakan sebuah kemaslahatan.
zaman dan tempat. Allah menjadikan Berawal dari hal di atas, para cendekiawan
kemampuan manusia itu beragam. yang ahli di muslim di Indonesia secara kolektif semakin
bidang fiqh, hadits, ilmu sosial, psikologi dan termotifasi, dan berkeinginan untuk menyatukan
bidang ilmu lainnya. Dalam keragaman inilah gerak dan langkah umat Islam di dalam
manusia saling melengkapi dengan kelebihan mewujudkan cita-cita bersama dalam konteks
dan kekurangannya masing-masing, manusia Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
saling menerima dan memberi. Dalam berdaulat, maka para cendekiawan muslim
keragaman itu pula, kemampuan manusia dalam tersebut membentuk lembaga besar yang
memahami hukum Allah SWT pun bertingkat. berwenang untuk memberikan respons atau
Di sinilah mereka saling membutuhkan untuk menentukan sikap terhadap permasalahan
memecahkan masalah masing-masing kepada kontraversial. Lembaga besar ini dikenal dengan
yang lebih ahli. nama Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan
Pada titik puncaknya respons dari para mengenai sikap atau respons yang
ulama dianggap sangat penting dalam dikeluarkannya dinamakan fatwa. Lembaga
menemukan jalan keluar atas masalah-masalah tersebut didirikan pada tanggal 07 Rajab 1395
kontraversial yang terjadi. Dimana masalah-

 468 ULUMUDDIN, Volume VI, Tahun IV, Januari – Juni 2010


H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 M di perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, dan
Jakarta. penggadaian syari’ah. Fenomena yang terjadi
Fakta menarik yang pernah terjadi yakni banyak lembaga perbankan, lembaga asuransi,
pada Pemilu 2009 yang lalu, dimana masyarakat dan lembaga gadai konvensional menyediakan
dihadapkan pada pemilihan anggota legislatif layanan yang berbasis syariah. Namum setelah
dan pemilihan presiden. Sekian persen dicermati ternyata dasar hukum yang digunakan
masyarakat menentukan pilihan untuk tidak oleh para pelaku ekonomi syari’ah ini adalah
memilih wakil-wakilnya di Dewan Perwakilan sebuah fatwa MUI dan bukan undang-undang,
Rakyat (DPR) dan tidak pula memilih presiden. padahal Negara kita adalah Negara hukum.
Karena mereka menganggap calon-calon yang Peristiwa lain yang bisa kami ungkap
akan maju pada pemilihan anggota legislatif dan yakni peristiwa main hakim sendiri yang
presidan tidak pantas dipilih. Sikap yang seperti dilakukan sekelompok orang dan Front Pembela
ini sering dikenal dengan istilah golongan putih Islam (FPI) terhadap kelompok jama’ah
(golput). Ahmadiyah. FPI membubarkan secara paksa
Fakta yang terjadi diatas menimbulkan jama’ah Ahmadiyah, melakukan pengerusakan
keresahan dikalangan aktivis partai politik. terhadap tempat jama’ah Ahmadiyah melakukan
Keresahan ditunjukan oleh salah aktifis Partai kegiatannya. Setelah dicermati pula ternyata
Keadilan Sejahtera (PKS) dengan mendesak dasar hukum yang dipakai oleh sekelompok
Majelis Ulama Indonesia untuk segera orang dan FPI adalah fatwa MUI Nomor:
mengeluarkan fatwa keharaman golongan putih. 11/MUNAS VII/MUI/15/2005 tentang aliran
Menurut Partai Keadilan Sejahtera, golongan Ahmadiyah yang memutuskan bahwa Aliran
putih bisa menimbulkan mudharat bagi Ahmadiyah adalah aliran sesat dan berada diluar
keberlangsungan kehidupan dalam masyarakat, Islam.
dan pada akhirnya MUI mengeluarkan fatwa Saat ini, dikalangan masyarakat kita
keharaman golput pada tanggal 13 Februari terdapat kecenderungan untuk meletakkan fatwa
2009. sebagai dasar hukum, hal ini terjadi karena
Fenomena lain yang juga menarik untuk ketidakfahaman masyarakat terhadap fatwa dan
dikemukakan di sini adalah menculnya fatwa sumber hukum positif dalam sistem hukum
nomor 287 tahun 2001 tentang pornoaksi dan nasional serta sumber hukum dalam hukum
pornografi, fatwa tanggal 16 Desember 2003 Islam. Berdasarkan fenomena di atas peneliti
tentang haramnya bunga bank konvensional, tertarik untuk lebih jauh membahas kedudukan
fatwa nomor 7 tahun 2005 tentang pluralism, fatwa dalam hukum Islam maupun kedudukan
liberalism, dan sekulerisme, fatwa nomor 4 fatwa dalam hukum positif.
tahun 2005 tentang perkawinan beda agama,
fatwa pada tanggal 7 Februari 2009 tentang PEMBAHASAN
keharaman rokok, dan akhir-akhir ini MUI juga
mengeluarkan fatwa tentang keharaman Pandangan para ulama tentang fatwa
facebook pada tanggal 21 Mei 2009, yakni Dalam meneliti tentang konsep fatwa
sebuah jejaring social di dunia maya yang dalam hukum Islam menurut pandangan para
keberadaannya sangat popular, dan banyak ulama, maka penelitian ini diorientasikan pada
menimbulkan pro dan kontra dikalangan pandangan para ulama yag menjadikan al-
masyarakat. Hal ini membuktikan bahwa tidak Qur’an dan al-Hadist sebagai landasan hukum
semua umat Islam mematuhi isi dari Fatwa MUI dan pedoman hidup. Penelitian ini juga
yang notabene hasil dari kesepakatan para mengkhususkan diri pada pandangan para ulama
cendekiawan muslim tersebut. salaf dan ulama khalaf tentang fatwa.
Pada tingkatan yang lebih jauh, fatwa Fatwa menempati kedudukan strategis dan
sudah masuk pada tataran hukum pidana dan sangat penting, karena mufti (pemberi fatwa),
hukum perdata. Salah satu contoh yang bisa sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy-
dikemukakan adalah pemberlakuan sistem Syathibi, berkedudukan sebagai khalifah dan
ekonomi Islam atau ekonomi syari’ah seperti ahli waris Nabi SAW, sebagaimana hadits yang

M. Erfan Riadi, Kedudukan Fatwa Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif (Analisis Yuridis 469
Normatif)
diriwayatkan oleh Abud Daud dan Tirmidzi permasalahan yang terjadi, agar apa yang
bahwa “ulama merupakan ahli waris para mereka fatwakan tidak terjadi kesalahan. Ibnu
Nabi” dalam menyampaikan hukum syariat, Mas’ud juga menegaskan bahwa seseorang yang
mengajar manusia, dan memberi peringatan sering memberikan fatwa, padahal ia tidak
kepada mereka agar sadar dan berhati-hati. menguasai bahkan ia tidak dimintai fatwa oleh
(Qardhawi, 1997:13) orang lain, maka ia termasuk kategori orang
Secara hakikat, fatwa menurut pandangan gila.
Ibnu Taimiyah pada dasarnya tidak terkait “Barang siapa memberi fatwa tanpa
kepada sesuatu apapun (fatwa tidak mengenal berdasarkan ilmu, maka dosanya ditanggung
sistem paket/sponsor) kecuali hanya oleh orang yang memberi fatwa kepadanya.”
mendasarkan diri pada dalil-dalil nash syari’ah (HR. Ibnu Majah)
(al-Qur’an dan al-Hadist) serta aqidah-aqidah Pada umumnya ulama salaf menolak
yang umum (ushul fiqih dan qawaidul fiqh). secara tegas terhadap fatwa yang dikeluarkan
Pada umumnya ulama salaf tidak oleh orang yang kurang luas pengetahuan dasar
berlebihan dalam mengeluarkan fatwa, akan agamanya atau dengan kata lain fatwa tersebut
tetapi demi kehati-hatian ulama salaf seringkali dikeluarkan oleh orang-orang yang bukan
menyatakan bahwa mereka tidak tahu tentang ahlinya. Ulama salaf berpandangan bahwa
permasalahan yang terjadi. Hal ini merupakan orang yang bukan ahlinya dan tidak memenuhi
ungkapan dari seorang ulama salaf terhadap syarat sebagai mufti dan ia mengeluarkan fatwa,
sesuatu yang memang mereka belum paham dan maka wajib ditolak dan diingkari agar tidak
belum mengetahui secara pasti. (Ensiklopedi menyesatkan ummat. (Rohadi, 1991:25)
Islam, 1994:117) Para ulama salaf telah menetapkan bahwa
Pernah seorang laki-laki bertanya kepada seseorang yang mengeluarkan fatwa, sedang ia
Imam Malik tentang suatu masalah, lalu ia belum termasuk kategori seseorang yang ahli
berkata, ‘Ilmu itu lebih luas dari sekedar dalam berfatwa, maka orang tersebut sebetulnya
masalah ini.” Lalu seorang berkata, ‘Kalau telah melakukan dosa dan bermaksiat kepada
engkau Ayah Abdullah, mengatakan tidak tahu, Allah SWT, Rasul-Nya dan juga berdosa kepada
maka siapa siapakah yang tahu?” Maka Imam ummat manusia. Dengan demikian sudah
Malik balik bertanya, “ aduh kasihan engkau, barang tentu fatwa yang ia keluarkan batal dan
apa yang engkau ketahui tentang aku ini? Dan orang tersebut termasuk orang yang durhaka.
bagaimana sebenarnya aku ini? Dan bagaimana Ibnu Qayyim berpendapat bahwa:
kedudukanku sehingga aku harus mengetahui “Mereka (yang memberi fatwa padahal tidak
segala sesuatu yang kalian tidak berkelayakan untuk memberi fatwa) sama
mengetahuinya?” Kemudian dia berargumentasi halnya dengan orang yang menunjukan arah
dengan hadits Ibnu Umar yang menyatakan: perjalanan padahal dia sendiri tidak mengetahui
“Aku tidak tahu.” Maka, katanya selanjutnya” jalannya, atau seperti orang yang tidak mengerti
Siapakah aku? Sesungguhnya yang merusak ilmu kedokteran tetapi nekat melakukan praktik
manusia itu adalah sikap ujub (bangga diri) dan kedokteran. Bahkan mufti yang demikian itu
mencari popularitas, sedang sedikit sekali orang lebih jelek keadaannya dari pada mereka”.
yang tidak bersikap seperti itu.” Pada Ibnu Qayyim juga berpendapat bahwa
kesempatan lain Imam Malik berkata, “Umar ketetapan seorang pemimpin/ seorang yang
Ibnul Khattab pernah diuji dengan pertanyaan- memiliki kekuasaan cenderung ditolak oleh
pertanyaan semaccam ini, lalu ia tidak orang banyak (kebanyakan pimpinan yang
menjawabnya. Ibnu Zubeir juga mengatakan, kurang dan tanpa didasari oleh nilai-nilai agama
‘Aku tidak tahu.’ Demikian pula Ibnu Umar dianggap kurang mantap dan kurang
mengatakan,’Aku tidak tahu.” bertanggungjawab, maka fatwanya cenderung
Ulama salaf lebih menekankan kepada ditinggalkan oleh masyarakat). Kondisi di atas
kemampuan seseorang untuk mengeluarkan menunjukan bahwa seseorang yang berani
fatwa, orang yang mengeluarkan fatwa harus memberikan fatwa, namun tidak memiliki
memiliki pengetahuan dan kemampuan terhadap pengetahuan agama dan pengetahuan umum

 470 ULUMUDDIN, Volume VI, Tahun IV, Januari – Juni 2010


yang komprehensif, maka cenderung fatwanya yang jelas dan tegas sesuai nilai-nila yang ada
akan ditinggalkan oleh masyarakat. dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Kondisi di atas sering terjadi pada saat ini, Sedangkan ulama salaf sendiri pada
seseorang yang kurang paham terhadap al- umumnya sangat berhati-hati dalam
Qur’an, as-Sunnah, dan tidak mengetahui secara mengeluarkan/memberikan fatwa, karena para
persis tentang ilmu fiqih dengan segala ulama salaf sadar bahwa mereka adalah penerus
persoalannya, kemudian ia dimintai untuk dan ahli waris Nabi SAW, yang memiliki
memberikan fatwa, maka sudah barang tentu kewajiban untuk membimbing ummat.
fatwanya salah. Melihat kondisi tersebut Ibnu Dari penjelasan di atas, dapat dijelaskan
Taimiyah memprotes atau menentang terhadap bahwa ulama salaf menyoroti pada integritas
orang yang belum ahli memberikan fatwa, dan kemampuan seorang mufti dalam
kemudian dia ambisi untuk mengeluarkan mengeluarkan fatwa, hal ini disebabkan
fatwa, padahal fatwanya benar-benar keliru atau pengetahuan mereka terhadap fatwa. Fatwa
salah, maka akibat yang ditimbulkan akan fatal memiliki kedudukan yang mulia dan agung di
dalam kehidupan masyarakat muslim. dalam agama Allah SWT dan kehidupan
Dalam kaitannya dengan hal ini, Imam manusia, sehingga apa yang diperbuat oleh
Abu Hanifah juga berpendapat bahwa orang- ulama salaf dapat dijelaskan sebagai berikut:
orang yang tidak mempunyai pendirian yang pertama, ulama salaf sangat berhati-hati dalam
kuat, sedangkan mereka suka memberikan fatwa memberikan fatwa, mereka tidak berani
keagamaan, orang tersebut oleh Abu Hanifah mengeluarkan fatwa apabila mereka memang
digambarkan seperti orang mufti yang bodoh benar-benar tidak mengetahui tentang masalah
dan main-main (mempermainkan) hukum yang dipertanyakan oleh mustafti (peminta
syari’ah, sebagaimana mereka mempermainkan fatwa); kedua, para ulama salaf sangat
nilai-nilai dan kepentingan ummat Islam yang mengingkari orang yang berani mengeluarkan
semestinya harus dijunjung tinggi tetapi justru fatwa yang tidak didasari oleh ilmu, ulama salaf
mereka merendahkannya. Dan merekapun tidak menganggap bahwa seseorang yang berfatwa
mampu mempertahankan dalam kebebasan tanpa didasari oleh ilmu pengetahuan maka
berpendapat dan bertindak. mereka berdosa dan telah berbuat maksiat;
Sedangkan menurut Abdullah bin Mas’ud ketiga, ulama salaf juga memberikat syarat yang
(ahli hadit dan tafsir al-Qur’an) sampai cukup ketat bagi seorang mufti sehingga dirinya
bersumpah diri secara tegas dengan dapat mengeluarkan, salah satunya adalah mufti
mengagetkan bahwa sesungguhnya orang yang harus memiliki pengetahuan umum yang
suka memberikan atau mengeluarkan fatwa berhubungan dengan kehidupan alam semesta,
tentang segala sesuatu yang ditanyakan oleh mengerti perjalanan sunnah Allah SWT pada
orang lain, padahal ia sendiri sebetulnya belum masyarakat manusia, sehingga ia tidak hidup
memahami secara jelas masalah itu, maka orang dalam kehidupan tetapi jauh dari Allah SWT
tersebut termasuk kategori orang gila. Sekalipun dan tidak mengerti persoalan-persoalannya.
mereka sampai bersumpah tentang dirinya
menganggap mampu, namun sumpahnya Kedudukan fatwa menurut hukum Islam
dianggap palsu. Fatwa seringkali menjadi medan wacana
Menurut pengematan Dr. Yusuf Al para ulama ushul fiqh dalam karya-karya
Qardlawi bahwa sebagai orang ahli fatwa masa monumental. Dalam perspektif para ulama
sekarang ini pada umumnya bertindak gila, ushul fiqh, fatwa dimaknai sebagai pendapat
sebab sekarang kita mengetahui secara persis yang dikemukakan mujtahid sebagai jawaban
bahwa hampir semua masalah yang ditanyakan, atas pertanyaan yang diajukan mustafti pada
jawabannya kurang mantap, bahkan sering suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat.
membingungkan ummat. Seringkali menambah Mustafti bisa bersifat individual, institusi atau
keresahan pada masyarakat, padahal yang kelompok masyarakat. Produk fatwa tidak mesti
masyarakat kehendaki adalah solusi hukum diikuti oleh mustafti, karenanya fatwa tidak
memiliki daya ikat.

M. Erfan Riadi, Kedudukan Fatwa Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif (Analisis Yuridis 471
Normatif)
Fatwa menempati kedudukan penting Pendekatan ini seiring dengan berkembangnya
dalam hukum Islam, karena fatwa merupakan kajian perbandingan antara mazhab. Adapun
pendapat yang dikemukakan oleh ahli hukum fatwa-fatwa yang terjadi saat ini, ada yang
Islam (fuqaha) tentang kedudukan hukum suatu merupakan fatwa fardiah (individual), tetapi
masalah baru yang muncul di kalangan lebih banyak yang bersifat konsultatif,
masyarakat. Ketika muncul suatu masalah baru koneksitas atau kadang bersifat kolektif dan
yang belum ada ketentuan hukumnya secara melembaga seperti fatwa organisasi
eksplisit (tegas), baik dalam al-Qur’an, as- kemasyarakatan. Kemudian untuk mengetahui
Sunnah dan ijma’ maupun pendapat-pendapat kedudukan fatwa dalam sumber hukum Islam,
fuqaha terdahulu, maka fatwa merupakan salah khususnya fatwa organisasi kemasyarakatan
satu institusi normatif yang berkompeten maka ada beberapa hal yang perlu untuk
menjawab atau menetapkan kedudukan hukum dijelaskan, sebagai berikut:
masalah tersebut. Karena kedudukannya yang
dianggap dapat menetapkan hukum atas suatu a. Korelasi Fatwa dan Ijtihâd
kasus atau masalah tertentu, maka para sarjana Ijtihâd merupakan pengerahan segala
Barat ahli hukum Islam mengkategorikan fatwa kesanggupan seorang faqih (ahli hukum Islam)
sebagai jurisprudensi Islam. untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum
Sehubungan dengan hal di atas, maka sesuatu melalui dalil syara’ (agama). Dalam
fatwa bisa diartikan sebagai penjelasan hukum istilah inilah, ijtihâd lebih banyak dikenal dan
syariat atas persoalan tertentu, sehingga kaedah digunakan bahwa banyak para fuqaha yang
pengambilan fatwa tidak ubahnya dengan menegaskan bahwa ijtihâd itu bisa dilakukan di
kaedah menggali hukum-hukum syariat dari bidang hukum Islam. Ijtihâd dapat diartikan
dalil-dalil syariat (ijtihâd). Pasalnya, satu- juga sebagai usaha yang sungguh-sungguh
satunya cara untuk mengetahui hukum syariat (beberapa orang) ulama tertentu, yang memiliki
dari dalil-dalil syariat adalah dengan ijtihâd, syarat-syarat tertentu, untuk merumuskan
dan tidak ada cara lain. Oleh karena itu, seorang kepastian atau penilaian hukum mengenai
mufti (pemberi fatwa) tidak ubahnya dengan sesuatu atau beberapa perkara, yang tidak
seorang mujtahid yang mencurahkan segala terdapat kepastian hukumnya secara eksplisit
kemampuannya untuk menemukan hukum dari dan positif, baik dalam al-Qur’an maupun al-
sumber hukum Islam, yakni al-Qur’an dan Hadits. Fungsi ijtihâd sebagai salah satu sumber
Hadist. hukum Islam adalah sebagai dinamisator.
Secara fungsional, fatwa memiliki fungsi Dengan kata lain, ijtihâd adalah
tabyîn dan tawjîh. Tabyîn artinya menjelaskan pengerahan segala kesanggupan seorang faqih
hukum yang merupakan regulasi praksis bagi (ahli hukum Islam) untuk memperoleh
masyarakat, khususnya masyarakat yang pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui
memang mengharapkan keberadaannya. Taujîh, dalil syara’ (agama). Dalam istilah inilah,
yakni memberikan guidance (petunjuk) serta ijtihâd lebih banyak dikenal dan digunakan
pencerahan kepada masyarakat luas tentang bahwa banyak para fuqaha yang menegaskan
permasalahan agama yang bersifat kontemporer. bahwa ijtihâd itu bisa dilakukan di bidang
Fungsi tabyin dan tawjih fatwa terikat hukum Islam.
dalam fungsi keulamaan, sehingga fatwa Berbicara tentang fatwa, tidak terlepas
syar’iyah yang telah dikeluarkan sejak generasi dari bahasan dan keberadaan ijtihâd dengan
sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in dan generasi segala perangkatnya yang ada. Hal ini
sesudahnya hingga generasi ulama sekarang. disebabkan karena fatwa diberikan untuk
Karakteristik fatwa klasik lebih bersifat kepentingan masyarakat umum, setelah
individual dan mandiri, kemudian dalam era memenuhi syarat-syarat yang terkait dengan
mazhab fatwa-fatwa yang dibuat berada dalam fatwa. Fatwa dikeluarkan oleh para ulama/ahli
lingkup mazhab fiqh tertentu. Sedangkan fatwa hukum Islam yang mampu mengangkat
kontemporer sering bersifat lintas mazhab atau permasalahan tentang keagamaan maupun
paduan (taufîq) antar mazhab-mazhab. tentang non keagamaan (seperti kedokteran, dan

 472 ULUMUDDIN, Volume VI, Tahun IV, Januari – Juni 2010


penemuan-penemuan baru di bidang ilmu seluruh kemampuan untuk menggali hukum-
pengetahuan dan teknologi, dan sebagainya). hukum syariat dari dalil-dalil dzanni hingga
batas tidak ada lagi kemampuan melakukan
b. Perbedaan Fatwa dan Ijtihâd usaha lebih dari apa yang telah dicurahkan. Ifta
Pada hakikatnya antara fatwa dan ijtihâd hanya dilakukan ketika ada kejadian secara
memiliki perbedaan. Menurut Rifyal Ka’bah, nyata, lalu ulama ahli hukum Islam berusaha
sebagaimana dikutip oleh H. Uyun mengetahui hukumnya, sehingga fatwa lebih
Kamilududdin bahwa fatwa merupakan usaha spesifik dibandingkan dengan ijtihâd
untuk memberikan penjelasan tentang hukum
syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum c. Perbedaan Fatwa dan Ijma’
mengetahui. Kemudian menurut Shiddieq Secara harfiyah ijma sendiri berarti
Amien, fatwa adalah “pendapat di bidang sepakat, artinya ijma’ merupakan kesepakatan
hukum” atau official legal opinion. Sehingga kelompok mujtahid. Karena itu dimungkinkan
fatwa lebih spesifik dari pada ijtihâd karena adanya ijma’ yang dibuat oleh seorang saja.
ijtihâd adalah istinbath hukum, baik ada maupun Kesepakatan atau penetapan suatu hukum harus
tidak ada persoalan atau pertanyaan. Fatwa lebih dicapai oleh sejumlah kelompok dan memiliki
bersifat kasuistik karena ia merupakan respon persamaan pendapat. Intinya kesepakatan ini
atas pertanyaan yang diajukan oleh peminta harus disepakati oleh seluruh mujtahid Islam.
fatwa. Seperti telah diungkapkan di atas fatwa Pengertian ijma’ menurut istilah ulama ushul
tidak memiliki daya ikat sehingga masyarakat adalah “kesepakatan seluruh mujtahid dari kaum
maupun orang yang meminta fatwa tidak harus Muslimin pada suatu masa setelah Rasulullah
melaksanakan rumusan hukum yang diberikan SAW, atas suatu hukum syara’ dalam suatu
kepadanya. Meskipun fatwa cenderung dinamis kasus tertentu”. Suatu kaum dikatakan telah ber-
karena ia merupakan respon terhadap ijma’ bila mereka bersepakat terhadap sesuatu
perkembangan isu yang sedang dihadapi hal tertentu.
masyarakat, tetapi isi fatwa tidak selamanya Secara umum, para ulama saat ini tidak
dinamis dan responsif. Munculnya fatwa sangat memiliki kemampuan yang memadai untuk
bergantung pada visi hukum dan sosial para mengeluarkan fatwa secara individual, masih
ulama pemberi fatwa. memerlukan keterlibatan para ahli dari berbagai
Menurut Amir Syarifuddin, ada pakar disiplin ilmu dan tidak mungkin dilakukan oleh
ushul fiqih yang membandingkan antara fatwa seseorang spesialis pada satu bidang saja,
dengan ijtihâd yang menurut maknanya bahwa sehingga untuk mengeluarkan fatwa pada masa
fatwa lebih khusus dari pada ijtihâd. sekarang dilakukan melalui ijtihâd jama’i
Kekhususan itu adalah fatwa dilakukan setelah (ijtihâd kolektif) sebagaimana yang dilakukan
ada seseorang bertanya, sedang ijtihâd oleh ulama-ulama yang tergolong dalam
dilakukan tanpa menunggu adanya pertanyaan organisasi kemasyarakatan selama ini, mereka
dari pihak manapun. Amir Syarifuddin melakukan ijtihâd secara bersama-sama sebagai
menentang pendapat yang menyamakan antara representasi dari para ahli hukum Islam bersama
ijtihâd dengan fatwa tersebut. Menurutnya, dengan para ahli di bidang tertentu yang terkait
keduanya berbeda karena subjek yang memang dengan masalah yang akan difatwakan agar
berbeda. Ijtihâd adalah usaha menggali hukum tingkat presisinya dapat dipertanggungjawab-
dari sumber dan dalil, sedangkan fatwa adalah kan.
usaha menyampaikan hasil penggalian melalui Hasil ijtihâd jama’i (ijtihâd kolektif) ini
ijtihâd kepada orang lain yang bertanya. Fatwa menurut Muhtar yahya dan Fathurrahman juga
adalah salah satu cara untuk menyampaikan tidak serta merta dapat dipersamakan dengan
hasil dari ijtihâd kepada orang melalui ucapan. Ijma’ karena para ulama yang berperan dalam
Dan cara penyampaian lainnya yakni melalui ijtihâd tersebut tidak meliputi seluruh ulama
perbuatan. yang menjadi persyaratan bagi suatu ijma’,
Al-Amidi dan an-Nabhani juga karena kegiatan ijtihâd jama’i (ijtihâd kolektif)
berpendapat bahwa ijtihâd adalah mencurahkan ini dimungkinkan untuk dilakukan beberapa kali

M. Erfan Riadi, Kedudukan Fatwa Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif (Analisis Yuridis 473
Normatif)
oleh pelaku yang berbeda pada waktu dan dipertanyakan oleh peminta fatwa (mustafti) dan
tempat yang berlainan pula sehingga hasil kemudian akan ditetapkan sebuah hukum secara
temuan hukumnya dimungkinkan ada perbedaan bersama-sama, dan tidak dilakukan secara
antara satu kegiatan ijtihâd jama’i (ijtihâd individual.
kolektif) dengan yang lainnya, meskipun Berdasarkan sumber hukum yang berlaku
terhadap masalah-masalah yang sama. Akan dalam sistem hukum nasional, yakni dalam
tetapi sebaliknya ijma’ tidak memberikan sistem hukum nasional secara formal terdapat
kesempatan untuk berbeda pendapat karena lima sumber hukum, adapun sumber hukum
semua ulama telah sepakat (Fathurrahman, tersebut sebagai berrikuti: undang-undang,
1997:40). kebiasaan, putusan hakim (yurisprudensi),
traktat, serta doktrin (pendapat pakar pakar/ahli
Kedudukan fatwa menurut hukum positif hukum). Kemudian untuk dapat mengetahui tata
Indonesia urutan peraturan perundang-undangan yang
Fatwa dalam bab sebelumnya telah berlaku di Indonesia, maka bisa dilihat dalam
dijelaskan bahwa fatwa menurut arti bahasa undang-undang no 10 tahun 2004 tentang
(lughawi) adalah suatu jawaban dalam suatu peraturan perundang-undangan, tepatnya dalam
kejadian (memberikan jawaban yang tegas pasal 7 sebagai berikut: Undang-Undang Dasar
terhadap segala peristiwa yang terjadi dalam 1945, undang-undang/peraturan pemerintah
masyarakat). Menurut Imam Zamahsyari dalam pengganti undang-undang, peraturan
bukunya “al-kasyaf” pengertian fatwa adalah pemerintah, peraturan presiden, peraturan
suatu jalan yang lapang/lurus. Dalam bahasa daerah, yang meliputi: peraturan daerah
arab al-fatwa; jamaknya fatâwa artinya petuah, provinsi, peraturan daerah, kabupaten/
nasehat, jawaban atas pertanyaan yang bertalian kota, peraturan desa.
dengan hukum Islam. Dalam ilmu ushul fiqh, Sumber hukum positif dalam sistem
fatwa itu berarti pendapat yang dikemukakan hukum nasional di atas dan dalam tata urutan
seorang mujtahid atau fiqih (mufti) sebagai peraturan perundang-undangan, sebagaimana
jawaban atas permintaan yang diajukan oleh telah disebutkan dalam Undang-Undang No 10
peminta fatwa (mustafti) dalam suatu kasus Tahun 2004 tentang peraturan perundang-
yang sifatnya tidak mengikat, maksudnya undangan, tidak menyebutkan fatwa sebagai
adalah pihak yang meminta fatwa tersebut baik bagian dari dasar hukum di negara ini, sehingga
pribadi, lembaga, maupun kelompok, fatwa tidak dapat dijadikan sebagai landasan
masyarakat , tidak mesti harus mengikuti fatwa hukum.
tersebut, karena fatwa tersebut tidak mempunyai Fatwa hanya sebagai suatu pendapat atau
daya ikat. Sedangkan fatwa menurut arti syari’at nasehat yang disampaikan oleh para ahli hukum
ialah suatu penjelasan hukum syar’iyah dalam Islam yang tergabung dalam suatu wadah
menjawab suatu perkara yang diajukan oleh organisasi, seperti MUI, Muhammadiyah, NU,
seseorang yang bertanya, baik penjelasan itu Persis, dan lembaga lainnya. Sehingga fatwa
jelas/terang atau tidak jelas (ragu-ragu) dan dapat dikorelasikan dengan sumber hukum
penjelasan itu mengarah pada dua kepentingan formal dalam sistem hukum nasional, yakni
yakni kepentingan pribadi dan kepentingan kedudukan fatwa sama dengan doktrin yang
masyarakat banyak. merupakan pendapat pakar atau pendapat para
Dari hal di atas dapat digambarkan bahwa ahli di bidang hukum positif.
fatwa adalah sebuah pendapat atau nasehat dari Dalam praktik, doktrin (pendapat ahli
seorang mujtahid atau mufti, sebagai jawaban hukum) banyak mempengaruhi pelaksanaan
atas pertanyaan dan permintaan yang diajukan administrasi Negara, demikian juga dalam
oleh peminta fatwa (mustafti) terhadap suatu proses pengadilan. Seorang hakim diperkenan-
kasus yang sifatnya tidak mengikat. Dalam kan menggunakan pendapat ahli untuk dijadikan
memberikan fatwa, para ulama melakukan sebagai pertimbangan hakim dalam memutus
langkah secara kolektif, melakukan musyawarah sebuah perkara, kemudian bagi seorang
untuk menyoroti permasalahan yang pengacara/pembela yang sedang melakukan

 474 ULUMUDDIN, Volume VI, Tahun IV, Januari – Juni 2010


pembelaannya pada suatu perkara perdata, Sedangkan doktrin yang menjadi fokus
seringkali mengutip pendapat-pendapat ahli pembahasan adalah permasalahan dalam hukum
sebagai penguat pembelaannya. positif. Kedua, dari segi waktunya fatwa berlaku
Begitu pula dengan fatwa, dalam sejarah saat ini juga, sejak fatwa tersebut dikeluarkan
Peradilan Agama di Indonesia, Pengadilan oleh lembaga yang bersangkutan, sedangkan
Agama untuk dapat memeriksa, menangani, dan doktrin berlaku kemudian setelah doktrin
memutus perkara perdata (masalah tersebut dikeluarkan oleh para pakar dan
kekeluargaan, kewarisan, perceraian, dan lain kadangkala juga harus diuji terlebih dahulu
sebagainya), maka Pengadilan Agama memakai untuk dapat dipakai dan diberlakukan. Ketiga,
fatwa sebagai landasan hukum, yakni fatwa fatwa dapat disampaikan secara individual dan
disepakati oleh Mahkamah Agung bersama secara kolektif, akan tetapi untuk saat ini
Pengadilan Agama. Kemudian sebagai contoh seringkali disampaikan secara secara kolektif,
bahwa fatwa juga telah digunakan oleh hakim sedangkan doktrin biasanya dikeluarkan oleh
sebagai pertimbangan dalam memutus perkara seorang ahli atau seorang pakar hukum.
perdata yakni pada undang-undang no. 3 tahun Sehubungan dengan kedudukan fatwa,
2006 tentang Pengadilan Agama disebutkan maka dapat dipersamakan dengan doktrin, dan
bahwa Pengadilan Agama berwenang untuk sudah barang tentu kekuatan dari fatwa itu tidak
menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah, mutlak dan tidak mengikat sebagaimana berlaku
maka dari itu produk fatwa MUI dijadikan pada ketentuan sebuah undang-undang ataupun
sebagai dasar untuk memutus sebelum ada putusan hakim yang sifatnya mengikat,
undang-undang tentang ekonomi syari’ah, sehingga fatwa tersebut tidak harus diikuti baik
misalnya fatwa MUI no 21 tahun 2001 tentang oleh pribadi, lembaga, maupun kelompok
pedoman umum asuransi syari’ah, fatwa MUI masyarakat, karena jelas fatwa tidak
no 3 tahun 2003 tentang zakat penghasilan, dan mempunyai daya ikat yang mutlak. Hal ini juga
fatwa-fatwa lain tentang ekonomi yang berbasis berlaku pada doktrin, doktrin tidak memiliki
syari’ah. daya ikat. Berlakunya sebuah doktrin tergantung
Seorang hakim juga menggunakan pada kewibawaan dari doktrin tersebut,
INPRES no. 1 tahun 1991 yang sering disebut manakala doktrin tersebut sesuai dengan nilai-
sebagai KHI (Kompilasi Hukum Islam) sebagai nilai dan keyakinan yang ada dalam masyarakat,
dasar hukum, padahal dalam sejarah maka masyarakat akan melaksanakan isi doktrin
menyebutkan bahwa KHI merupakan hasil dan begitu juga sebaliknya, jika doktrin tidak
ijtihâd ulama imam mahzab, yakni mahzab sesuai dengan nilai-nilai serta keyakinan
Syafi’i, hal ini menyebutkan bahwa ijtihâd masyarakat, maka masyarakat akan cenderung
ulama sebagai sebuah fatwa telah mewarnai meninggalkan melaksanakan doktrin tersebut.
keberadaan hukum di Indonesia. Fatwa sebagai Doktrin baru akan berlaku mengikat apabila
pendapat ahli dalam hukum Islam dan doktrin telah diatur dalam peraturan perundang-
sebagai pendapat ahli dalam hukum positif undangan, seperti contoh doktrin Pancasila.
dapat dipakai sebagai pertimbangan hakim (Pudjosewojo, 2001:64)
dalam memutus perkara perdata, namun tidak
semua produk fatwa maupun doktrin dipakai KESIMPULAN
oleh hakim, akan tetapi sebagian kecil saja dari
fatwa ulama maupun doktrin (pendapat ahli Fatwa memiliki kedudukan yang sangat
hukum positif). penting dalam hukum Islam, sehingga fatwa
Selain itu, fatwa juga mempunyai menurut pandangan para ulama adalah bersifat
beberapa perbedaan mendasar dengan doktrin. opsional ”ikhtiyariah” (pilihan yang tidak
perbedaan antara fatwa dan doktrin yakni mengikat secara legal, meskipun mengikat
pertama, dilihat dari objek yang menjadi fokus secara moral bagi mustafti (pihak yang
pembahasan, pada fatwa yang menjadi fokus meminta fatwa), sedang bagi selain mustafti
pembahasan adalah berkenaan dengan persoalan bersifat ”i’lâniyah” atau informatif yang lebih
agama, khususnya permasalahan hukum Islam. dari sekedar wacana. Mereka terbuka untuk

M. Erfan Riadi, Kedudukan Fatwa Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif (Analisis Yuridis 475
Normatif)
mengambil fatwa yang sama atau meminta
fatwa kepada mufti/seorang ahli yang lain. Abdurrahman, Asmuni. (2004). Fatwa Majelis
Adapun kedudukannya dalam sistem Ulama tentang Amaliyah Istisyhadiyah
hukum Islam adalah fatwa saat ini merupakan (Bom Bunuh Diri). Dalam Suara
hasil dari ijtihâd kolektif. Akan tetapi tidak bisa Muhammadiyah No. 03 Thn ke-89, 1-5
serta merta dapat dipersamakan dengan ijma’, Februari.
karena para ulama yang berperan dalam ijtihâd Ade, Maman Suherman. (2004). Pengantar
kolektif tersebut tidak meliputi seluruh ulama Perbandingan Sistem Hukum. Jakarta: PT
yang menjadi persyaratan bagi suatu ijmâ’, RajaGrafindo Persada.
karena kegiatan ijtihâd jama’i (ijtihâd kolektif) Amir , Mu’alim dan Yusdani. (2005). Ijtihâd
ini dimungkinkan untuk dilakukan beberapa kali dan Legislasi Muslim Kontemporer.
oleh pelaku yang berbeda pada waktu dan Yogyakarta: UII Press.
tempat yang berlainan pula sehingga hasil Ash Shiddieqy, Teungku M. Hasbi. (1997).
temuan hukumnya dimungkinkan ada perbedaan Pengentar Hukum Islam. Semarang: PT.
antara satu kegiatan ijtihâd jama’i (ijtihâd Pustaka Rizki Putra.
kolektif) dengan yang lainnya, meskipun Bambang, Sunggono. (1997). Metode Penelitian
terhadap masalah-masalah yang sama. Akan Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo
tetapi sebaliknya ijmâ’ tidak memberikan Persada.
kesempatan untuk berbeda pendapat karena Djazuli dan Aen, Nurol. (2000). Ushul Fiqh:
semua ulama telah sepakat, sehingga fatwa Metodologo Hukum Islam. Jakarta: PT
bukan merupakan ijmâ’, dan dimungkinkan bagi Raja Grafindo Persada.
masyarakat untuk menerima atau tidak sebuah Ensiklopedi Islam jilid II dan VI. (1994).
fatwa. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Sedangkan kedudukannya dalam sistem Fatah, Abdul, dan Rohadi. (1991). Analisis
hukum positif Indonesia adalah bahwa Fatwa Keagamaan Dalam Fiqh Islam.
berdasarkan sumber hukum dalam sumber Bumi Jakarta: Aksara Jakarta.
hukum nasional, yang terdiri dari undang- Hakikat fatwa dalam pandangan ahlus, diakses
undang, kebiasaan, keputusan pengadilan pada tanggal 1 April 2010.
(yurisprudensi), traktat (perjanjian antar negara), http://mkbogor.blogspot.com .
doktrin (pendapat pakar/ahli hukum), dan Hazairin. (1968). Hukum Kekeluargaan
berdasarkan pada pasal 7 undang-undang no 10 Nasional. Jakarta: Tintamas.
tahun 2004 tentang peraturan perundang- Ilham, Bisri. (2001). Sistem Hukum Indonesia
undangan yang menyebutkan bahwa tata urutan Prinsip-prinsip & Implementasi Hukum di
peraturan perundang-undangan adalah undang- Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo
undang dasar 1945, undang-undang/peraturan Persada.
pemerintah pengganti undang-undang, peraturan Ka’bah, Rifyal. (1999). Hukum Islam Di
pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan Indonesia. Jakarta: University Yasri.
daerah yang meliputi: peraturan daerah Manan, Abdul. (2007). Reformasi Hukum Islam
provinsi, peraturan daerah kabupaten/kota, di Indonesia (Tinjauan dari Aspek
peraturan desa. Berdasarkan hal di atas, maka Metodologis, Legalisasi, dan
fatwa tidak memiliki kedudukan sedikitpun Yurisprudensi). Jakarta: PT Raja Grafindo
dalam sumber hukum positif Indonesia maupun Persada.
dalam undang-undang no 10 tahun 2004 tentang Pudjosewojo, Kusumadi (2001). Pedoman
peraturan perundang-undangan. Fatwa hanyalah Pelajaran Tata Hukum Indonesia. Jakarta:
pendapat, nasehat ulama yang tidak mengikat, Sinar Grafika.
dan untuk dapat berlaku mengikat maka fatwa Qardhawi, Yusuf. (1997). Fatwa Antara
harus melewati legislasi terlebih dahulu yang Ketelitian & Kecerobohan. Jakarta: Gema
kemudian menjadi sebuah undang-undang. Insani Press.
Rachmat, Syafe’i. (1999). Ilmu Ushul Fiqih.
DAFTAR PUSTAKA Bandung: Pustaka Setia.

 476 ULUMUDDIN, Volume VI, Tahun IV, Januari – Juni 2010


Rosyada, Dede. (1993). Hukum Islam Dan
Pranata Sosial (Dirasah Islamiyah III),
Jakarta: Rajawali Press.
Sistem Pembinaan Hukum Islam. Diakses pada
tanggal 29 Nopember 2009
http://www.eramuslim.com
Soeroso, R. (2002). Pengantar Ilmu Hukum.
Jakarta: Sinar Grafika.
Sudarsono. (2001). Pokok-Pokok Hukum Islam.
Jakarta: Rineka Cipta.
Sumadi, Suryabrata. (1983). Metode penelitian.
Jakarta: PT. RajagGrafindo Persada.
Yahya, Muhtar dan Fathurrahman. (1997).
Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh
Islam. Bandung: PT. Al-Ma’arif
Zein, Satria Effendi M. (2005). Ushul Fiqh.
Jakarta: Kencana.
Zuhri, Muh. (1997). Hukum Islam dalam Lintas
Sejarah. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Undang-undang nomor 10 tahun 2004 tentang
peraturan perundang-undangan.

M. Erfan Riadi, Kedudukan Fatwa Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif (Analisis Yuridis 477
Normatif)

Вам также может понравиться