Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
LAPORAN KASUS
Juni Kurniawaty
Departement of Anesthesiology, Gadjah Mada University
ABSTRAK
Hernia diafragmatika kongenital disebabkan oleh defek penutupan canalis pericardioperitoenal. Merupakan
suatu tantangan tersendiri bagi dokter anestesi selama manajemen perioperasi pasien dengan hernia
diafragmatika seperti komplikasi intraoperasi termasuk hipoksia dan hiperkarbia. Mortalitas tetap tinggi
karena hipoplasia pulmonal dan hipertensi pulmonal.
Kita akan membahas kasus seorang bayi laki-laki usia 7 hari dengan diagnosis hernia diafragmatika
kongenital telah menjalani operasi laparotomi repair tutup defek diafragma. Pasien datang dengan sesak
nafas dan terdiagnosa sebagai pneumonia. Pasien kemudian dilakukan intubasi dan dari pemeriksaan
rontgen dada ditemukan hernia diafragmatika. Penilaian preoperatif menunjukkan pasien masih dalam
kondisi yang optimal. Dilakukan anestesi teknik GA intubasi nafas kendali. Monitoring dilakukan dengan
NIBP, EKG, SpO2. Operasi berlangsung 2 jam. Durante operasi hemodinamik stabil. Pasca operasi pasien
masih terintubasi dan dirawat di NICU. Pasca operasi pasien tetap stabil dan uji laborat menunjukkan hasil
dalam batas normal.
ABSRACT
Congenital diaphragmatic hernia results from the anomalous closure of pericardioperitoneal canal. There are
various challenges faced by anesthesiologists during management of such cases which include intraoperative
complications including hypoxia and hypercarbia. Mortality remains high because of associated pulmonary
hypoplasia and pulmonary hypertension.
Here, we describe anesthetic management of a 7-days-old child with difficulty in breathing since birth, due
to congenital diaphragmatic hernia who underwent diaphragmatic hernia repair. Patient came to hospital
with breathing problem and was diagnosed as pneumonia. Patient was then intubated and from x-ray it
was found that the patient has congenital diaphragmatical hernia. Preoperative assessment shows that
the patient was in normal condition. A general anesthesia procedure was conducted to the patient with
controlled breath intubation. A monitoring was held with NIBP, ECG, SpO2. The surgery lasted 2 hours.
Durante surgery, the haemodynamic was stable. Post surgery the patient was still intubated and taken care
in NICU. He was still stable and laboratory test shows normal result.
27
Jurnal Komplikasi Anestesi ~ Volume 1 Nomor 3, Agustus 2014
28
Manajemen Anestesi pada Pasien dengan Hernia ...
thorax (babygram) menunjukkan gambaran udara alat anestesi STATICS (laringoskop, stetoskop,
usus di hemithorax dekstra yang mendorong endotrakheal tube no.2,5, 3 dan no. 3,5, mayo,
mediastinum dan jalan nafas ke kiri, ujung ET di VTh plester, stilet dan suction), obat-obat anestesi,
4. Sedangkan rontgen abdomen menunjukkan Pre dan alat-alat monitor pasien telah dipersiapkan
peritoneal fat line tegas, tampak dilatasi gaster, tak sebelumnya.
tampak bayangan udara usus di cavum abdomen. Setelah semuanya siap, orogastric tube
Pasien kita nilai sebagai status fisik ASA II diaspirasi untuk mengosongkan lambung. bayi
diberikan oksigen 100% dengan menghubungkan
Jackson rees dengan ET, cek kembali ET (simetris
kanan kiri dan pengembangan dada simetris serta
suction ET sampai bersih), premedikasi dengan
Sulfas Atropin 0.1 mg sambil memasang monitor
saturasi (SpO2), elektrokardiogram (EKG) dan
stetoskop prekordial di kiri. Induksi pasien dengan
O2, dan sevoflurane. Fentanyl 5 ug (2 ug/kg)
diberikan untuk analgesia dan diberikan pelumpuh
otot atrakurium 1 mg secara intravena. Setelah
stadium pembedahan tercapai, operasi dimulai.
Pemeliharaan anestesi menggunakan oksigen,
sevofluran, fentanyl dan pelumpuh otot atrakurium
intermitten.
Pembedahan berlangsung selama 2 jam.
Selama pembedahan, denyut jantung (HR) stabil
antara 110 – 150 x/menit dan saturasi oksigen
Gambar 1 : Rontgent thorax (babygram) antara 95 – 99%, gambaran EKG normal sinus
menunjukkan gambaran udara usus di hemithorax rhytme. Cairan diberikan selama operasi KAEN
dekstra yang mendorong mediastinum dan jalan 1 B ± 180 ml dengan buret mikrodrip disesuaikan
nafas ke kiri dengan kebutuhan ± 30 cc/jam, jumlah perdarahan
± 20 ml, dengan urine output ± 20 ml/2 jam.
Manajemen anestesi
Sebelumnya pasien telah dipersiapkan di Perawatan Post Operasi
ruang NICU, masih dalam keadaan terintubasi kita Setelah operasi berakhir, dengan napas tetap
cek ET pada pasien (simetris kanan-kiri, kemudian dikontrol, pasien dikembalikan ke ruang NICU
ET dibersihkan), jalur vena telah terpasang di dalam inkubator dan oksigen untuk perawatan
tangan kanan dengan cairan infus KAEN 1B. Pasien pasca operasi. Mode ventilator yang digunakan
di NICU mendapat parenteral nutrisi dengan adalah synchronized intermittent mechanical
asam amino : 2,5 g/hr (0,5 – 2,5 g/kgBB/hr). Energi ventilation (SIMV) dengan fraksi konsentrasi
yang dibutuhkan : 75 kkal (10-40 kkal/kgBB/hr), oksigen inspirasi (FiO2) 50%. Tekanan inspirasi
karbohidrat (glukosa) : 48,75 kkal (65%), lipid (asam puncak (Peak Inspiratory Pressure /PIP) 15 cmH2O.
lemak) : 26,25 kkal (35%). Rontgen thorax post operasi menunjukkan
Pasien dibawa ke ruang operasi dengan kedua paru mengembang. Pasien tetap on
inkubator dan oksigen melalui ET bantuan napas ventilator sampai 4 hari untuk memberikan waktu
menggunakan ambu bag. Di kamar operasi, pada penyembuhan luka diafragma dan ventilasi yang
meja operasi terpasang selimut penghangat adekuat selama periode yang krusial post operasi.
(warm blanket) dengan setting temperature 37o C, Pasien diekstubasi pada hari keempat post operasi
mesin anestesi dengan sirkuit Jackson–Rees, alat- dan selanjutnya dikembalikan ke bangsal
29
Jurnal Komplikasi Anestesi ~ Volume 1 Nomor 3, Agustus 2014
Pemeriksaan
Hr / Jam Pemeriksaan Fisik Program Tindakan
Penunjang
15/9 A: ETT 3,5 OGT Babygram Headup 45º Heater
16.00 B: on ventilator SIMV 45, FiO2 50, PIP/ Pulmo kolaps Termoregulasi dinyalakan,
PEEP 15/5, RR 47x/m, ves+/+ Rh-/-, Wh-/- ringan TPN Suction melalui
Retraksi – sianosis - Infiltrat dx TX : ETT,
C: HR 138x/m, SaO2 98% ET VTh4 Ampisilin sulb 2x140 OGT dialirkan.
D: Sedasi Gentamisin 1x14mg
18.00 Bayi mulai sadar Ranitidine 3x2,7
KaEN1B 270cc/24j
16/9 A: ETT 3,5 OGT Babygram Headup 45º
16.00 B: on ventilator IMV 45, FiO2 50, IP/ Pengembangan 2 Termoregulasi
PEEP 15/5, RR 47x/m, ves+/+ Rh-/-, Wh-/- pulmo cukup NPO
Retraksi + sianosis - Diafragma licin Ampisilin sulb 2x140
C: HR 138x/m, SaO2 98% Gentamisin 1x14mg
D: gerak aktif Ranitidine 3x2,7
KaEN1B 270cc/24j
17/9 A: ETT no.3 Babygram Termoregulasi
10.00 B: on ventilator IMV 54, FiO2 25, PIP/ Pengembangan 2 NPO
PEEP 13/5 RR 40x/m, Rh-/-, Wh -/- pulmo cukup Cefotaxim 2x140 mg
Retraksi + sianosis - Diafragma licin Amikacin 1x40
C: HR 135x/m, SaO2 80% Metro 2x40
D: gerak aktif Ranitidine 3x2,7
E: 360C KaEN1B 270cc/24j
18/9 A: ETT 3,5 OGT Headup 45 Extubasi
16.00 B: on ventilator IMV 40, FiO2 21, PIP/ Termoregulasi
PEEP 13/5, RR 48x/m, ves+/+ Rh-/-, Wh- NPO
/- Retraksi + sianosis - TX :
C: HR 138x/m, SaO2 100% Cefotaxim 2x140 mg
D: S4 Amikacin 1x40
Metro 2x40
Extubasi
Mode CPAP
19/9 A: NK 1 lt/mnt Headup 45
10.00 B: Spontan, RR 50x/m, ves+/+ Rh-/-, Termoregulasi
Wh-/- Retraksi - sianosis - NPO
C: HR 115x/m, SaO2 100% TX :
D: S4 AB stop
20/9 A: NK 1 lt/mnt Headup 45
10.00 B: Spontan, RR 48x/m, ves+/+ Rh-/-, Termoregulasi
Wh-/- Retraksi – sianosis - NPO
C: HR 115x/m, SaO2 100% Pindah ruang
D: S4
30
Manajemen Anestesi pada Pasien dengan Hernia ...
harapan hidup. Harapan hidup nenonatus dengan dibersihkan dan dirawat dengan cara penghisapan
hernia diafragmatika bervariasi luas dari 25% rendah untuk mencegah penggelembungan
sampai 83% pada tahun 1990.4 rongga perut dan dada.
Paru ipsilateral umumnya terganggu dan Operasi emergensi adalah pendekatan
herniasi dari usus dapat menekan dan meretardasi standard hernia diafragmatika selama tahun
maturasi kedua paru. Hernia diafragmatika 1980 karena dipercaya bahwa reduksi hernia akan
biasanya diperberat dengan hipertensi pulmonal meningkatkan status respirasi, membiarkan paru
dan dihubungkan dengan 40-50% mortalitas. untuk mengembang kembali. Dengan penemuan
Terganggunya kardiopulmonal secara umum bahwa paru adalah hipoplastik, bukan atelektasis
disebabkan utamanya oleh hipoplasia dan dan terjadi gangguan arteriolar muskularisasi
hipertensi pulmonal, dibandingkan efek massa yang menyebabkan hipertensi pulmonal maka
dari viscera yang mengalami herniasi. Hipoplasi penundaan operasi mulai diperkenalkan. Miyaska
pulmonal dan hipertensi pulmonal persisten adalah dkk (1984) pertama kali melaporkan infant yang
2 faktor penting yang menentukan keluaran pada mengalami penundaan repair hernia diafragmatika
neonatus dengan hernia diafragmatika. Faktor selama 24 jam berdasarkan rasionalitas bahwa
lainnya adalah abnormalitas kongenital dan resiko hipertensi pulmonal telah diturunkan. Pada
kromosom yang berhubungan.4 tahun 1986, Cartlidge dkk menyimpulkan bahwa
Hernia diafragmatika memiliki angka stabilisasi preoperasi pada 17 pasiennya adalah
mortalitas yang tinggi. Derajat hipoplasia beralasan untuk menurunkan mortalitas dari
pulmonal dan kelainan kongenital yang menyertai 88% menjadi 47%. Sakai dkk (1987) menyatakan
adalah prediktor kelangsungan hidup bayi. Hal bahwa compliance paru masih terganggu setelah
ini juga mempengaruhi perkembangan paru repair.5,6,7,2
restriktif kronik. Diagnosis antenatal awal dengan Namun begitu, perbaikan segera dari hernia
manajemen perioperasi yang tepat adalah hal diafragmatika juga perlu dilakukan. Kerugian
utama yang menentukan prognosis yang baik dari operasi awal adalah stress operasi yang
pada pasien. Nitrous oxide (N2O) seharusnya ditambahkan pada pasien hernia diafragmatika
dihindari karena akan berdifusi ke dalam viscera yang belum stabil akan mempresipitasi atau
dan meningkatkan kompresi paru. memperberat hipertensi pulmonal. Sehingga
Permasalahan yang mungkin muncul pada disarankan bahwa operasi penundaan dengan
pasien dengan hernia diafragmatika adalah : distress periode stabilisasi dapat menguntungkan
respirasi yang berhubungan dengan hipoplasia karena menurunkan resiko hipertensi pulmonal.
parenkim paru, hipoksemia, hiperkarbia, asidemia, Shonbogue dkk melaporkan bahwa angka harapan
asidosis metabolik, hipertensi pulmonal, shunting hidup pada neonatus yang sakit kritis dengan
kanan ke kiri, malrotasi (dapat terjadi pada > 50% prediksi kematian 100% menjadi 58% ketika
sampai 100% pasien) serta pertimbangan umum digunakan ECMO. ECMO meningkatkan angka
pada neonatus yaitu terjadinya hipoglikemia dan harapan hidup dengan mengistirahatkan paru
hipotermi. dan kemungkinan menurunkan resiko hipertensi
Berdasarkan pemeriksaan fisik, bayi tidak pulmonal. Shonbogue dkk melaporkan bahwa
menunjukkan kelainan bawaan lain. Pasien segera harapan hidup meningkat dari 12,5% setelah
dilakukan intubasi dengan ET dan dirawat di NICU operasi awal (dilakukan sesegera mungkin setelah
sebelum operasi. Selama perawatan di NICU pasien kelahiran) menjadi 52,9% setelah stabilisasi 4-16
mendapat ventilasi mekanik dengan mode SIMV, jam sebelum operasi. Periode stabilisasi yang
PEEP 4, FiO2 35%, V insp 6,1 dengan analisa gas relatif singkat mungkin tidak adekuat pada pasien
darah dalam batas normal. Bayi dalam keadaan yang secara hemodinamik labil dan hal ini sulit
baik dengan gerak aktif, HR 150-160 kali/menit untuk menerangkan efek dari perbaikan angka
tanpa support inotropik. Saluran pencernaan selalu harapan hidup. Langer dkk (1988) melaporkan
31
Jurnal Komplikasi Anestesi ~ Volume 1 Nomor 3, Agustus 2014
61 neonatus dari Toronto dan menemukan dan OGT, sehingga sebelum dilakukan induksi
mortalitas 58% pada operasi awal (n=31) dan dilakukan aspirasi isi lambung, dilanjutkan induksi
50% pada operasi yang ditunda (n=30). Dari hasil dengan inhalasi.
ini mereka menyimpulkan bahwa repair hernia Anestesi pada bayi baru lahir dengan hernia
diafragmatika seharusnya dilakukan hanya ketika diafragmatika, sangat dianjurkan dengan anestesi
pasien cukup stabil. Evaluasi terus menerus dari umum inhalasi dengan nafas kendali. Pemeliharaan
stabilisasi preoperasi dan operasi penundaan dapat selama anestesi dipakai O2 dengan kombinasi
membawa peningkatan di dalam harapan hidup halotan, isofluran atau sevofluran. Nitrous oksida
dan juga menghindari operasi yang tidak memiliki sebaiknya dihindari untuk mencegah difusi ke
harapan hidup.8,4 dalam lumen usus sehingga pengembangan usus
Idealnya pemantauan sirkulasi menggunakan intra thorax dan intra abdomen dapat dicegah.
pendekatan invasif, namun pada pasien ini Pada sebagian besar kasus, kombinasi pelumpuh
tidak dilakukan karena kondisi pasien stabil otot dan oksigen-opioid akan menjadi optimal.
(kardiovaskular tidak terganggu oleh efek massa Obat anestesi yang dapat mendepresi miokard
dari viscera intra thorakal), tanpa support inotropik sebaiknya dihindari sampai dada terdekompresi.12,
10, 13, 14
dan tidak ditemukan tanda hipertensi pulmonal
dengan kemungkinan perdarahan yang minimal. Selama pemeliharaan, dilakukan kontrol
Pemantauan dilakukan dengan tensimeter terhadap arterial carbon dioxide tension (PaCO2)
neonatus dan EKG. Perdarahan yang terjadi dengan menggunakan pelumpuh otot (biasanya
dipantau dengan jumlah kasa yang digunakan dan atracurium maupun pelumpuh otot non
produksi urine digunakan untuk menilai kecukupan depolarisasi lainnya). Atracurium lebih umum
kebutuhan cairan. Kebutuhan cairan durante digunakan pada neonatus. Dosis yang dipakai 0,5
operasi ± 30 cc/jam dan pengganti perdarahan ± mg/kgBB dengan durasi sekitar 25 menit. Untuk
20 cc diberikan dengan cairan KA EN 1B ± 180 cc, dosis kontinyu dipakai 400 g/kgBB/jam (25%
pemberian dilakukan dengan buret mikrodrip. dibawah dosis anak-anak). Obat-obat lainnya
Manajemen intraoperasi harus menjamin seperti rocuronium, vecuronium, mivacurium,
pertukaran gas yang adekuat, monitoring dan dan sebagainya belum ada laporan tentang
penggantian elektrolit yang tepat, pencegahan penggunaannya pada neonatus.15,16
aspirasi dan kontrol nyeri perioperasi. Premedikasi Mengontrol ventilasi dan oksigenasi
yang sering diberikan adalah preemptive dengan hati-hati untuk mencegah peningkatan
analgesia seperti opioid (biasanya fentanyl). tekanan arteri pulmonal yang tiba-tiba (PaCO2
Premedikasi yang hampir selalu diberikan adalah dipertahankan di bawah 40 mm Hg and PaO2
sulfas atropine. Tujuan utamanya adalah untuk di atas 100 mm Hg), dalam hal ini pulse oximetry
menghindari terjadinya bradikardi karena depresi membantu dalam diagnosis episode hipoksemia
zat-zat anestesi. Dosis atropine yang digunakan subklinis. Pada infant mudah terjadi kehilangan
adalah 0.02 mg/kgBB dengan dosis minimal 0.1 mg panas bila berada pada lingkungan yang dingin
dan dosis maksimal 0.5 mg. 10,11 karena luas permukaan tubuh yang relatif lebih
Pada saat induksi, perhatian utamanya adalah besar dan kurangnya lemak subkutan yang
kemungkinan lambung penuh, sehingga perlu berfungsi sebagai penahan panas. Kehilangan
dilakukan pemasangan serta aspirasi oroogastric panas dari permukaan tubuh dapat diminimalkan
tube (OGT) sebelum induksi. Jika infant belum dengan peningkatan suhu kamar operasi,
terintubasi, lakukan rapid sequence induction penggunaan selimut penghangat, menghangatkan
(RSI) atau awake intubation (pada prediksi dan melembabkan gas anestesi.17
kesulitan intubasi) tanpa ventilasi bag dan mask Setelah pembedahan selesai, bersihkan lendir
untuk mencegah overdistensi perut dan herniasi dalam rongga hidung dan mulut. Hentikan obat
melewati midline. Pasien ini sudah terpasang ET anestesi dan berikan oksigen 100% selama 5-15
32
Manajemen Anestesi pada Pasien dengan Hernia ...
33
Jurnal Komplikasi Anestesi ~ Volume 1 Nomor 3, Agustus 2014
34