Вы находитесь на странице: 1из 21

MAKALAH FILSAFAT

ONTOLOGI

Oleh:
LAILATUL FITRIA
NIM. 16630034

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2019
KATA PENGANTAR

‫السالم عليكم ورحمةهللا وبركاتة‬

Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan kegiatan praktik
kerja lapangan dan dapat menyelesaikan makalah filsafat ilmu yang membahas
salah satu cabangnya yaitu ontology dengan baik.
Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan terimakasih pada
berbagai pihak yang telah turut serta membantu dalam penyelesaian tugas dan
penyusunan makalah ini.
Penulis memohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat
kesalahan dan semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi penulis, para pembaca,
maupun berbagai pihak.
‫والسالم عليكم ورحمةهللا وبركاتة‬

Malang, 8 Oktober 2019

Penyusun ,

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ································································· i


KATA PENGANTAR ······························································· ii
DAFTAR ISI ·········································································· iii

BAB I PENDAHULUAN ··························································· 1


1.1 Latar Belakang ·································································· 1
1.2 Rumusan Masalah ······························································ 2
1.3 Tujuan Penulisan································································ 2
BAB II PEMBAHASAN ···························································· 3
2.1 Pengertian Ontologi ····························································
2.2 Istilah-istilah yang Digunakan dalam Ontologi ····························
2.3 Karakteristik Ontologi ·························································
2.4 Aliran-aliran dalam Ontologi ·················································
2.5 Asumsi Dasar Ontologi ························································
2.6 Obyek Ontologi ·································································
2.7 Ontologi dalam Prespektif Islam ·············································

BAB III PENUTUP ··································································


3.1 Kesimpulan ······································································

DAFTAR PUSTAKA ································································

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah filsafat berasal dari bahasa Arab “falsafah” yang diarabisasi dari
bahasa Yunani “philosphia” yang terdiri dari “philo” yang artinya cinta atau “philia”
yang artinya persahabatan atau tertarik dan “shopia” yang artinya kebijaksanaan,
pengetahuan, keterampilan, atau intelegensi. Artinya filsafat adalah sebuah cinta
pada suatu kebijakan atau kebenaran atau keinginan yang mendalam untuk menjadi
bijak. Bijaksana memiiki arti tidak saja pandai dalam bidang intelektual, tetapi
meliputi apasaja yang menggambarkan intelegensia.
Pada awalnya, istilah filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimilki
manusia. Mereka membagi filsafat menjadi dua bagian yaitu filsafat teoritis dan
filsafat praktis. Filsafat teoritis mencakup ilmu pengetahuan alam (seperti kimia,
fisika, biologi), ilmu eksakta dan matematika, serta ilmu tentang ketuhanan dan
metafisika. Sedangkan filsafat praktis meliputi norma-norma atau akhlak, urusan
rumah tangga, sosial, dan politik.
Secara umum, filsafat berarti upaya manusia untuk memahami segala sesuatu
secara sistematis, radikal, dan kritis. Maka filsafat merupakan sebuah proses bukan
sebuah produk. Artinya filsafat mengajak untuk berfikir kritis, aktif, sistematis, dan
mengikuti prinsip-prinsip logika untuk mengerti dan mengevaluasi suatu informasi
dengan tujuan menentukan apakah informasi tersebut diterima atau ditolak. Dengan
demikian, filsafat akan terus berubah dan berkembang hingga satu titik tertentu.
Filsafat memiliki beberapa permasalahan. Masalah utama yang perlu untuk
dibahas lebih lanju adalah sebuah realitas atau kenyataan. Ontologi merupakan
salah satu cabang filsafat yang membahas tentang hakikat ilmu pengetahuan ilmiah.
Ontologi ilmu membatasi diri pada suatu ruang kajian keilmuan yang dapat
dipikirkan manusia secara rasional dan dapat diamati oleh panca indera manusia.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis akan menjelaskan tentang salah satu
cabang filsafat, yaitu ontologi.

1
2

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah pada makalah ini adalah:
1. Apa pengertian ontologi?
2. Apa saja istilah-istilah yang digunakan dalam ontologi?
3. Bagaimana karakteristik ontologi?
4. Apa saja aliran-aliran dalam ontologi?
5. Bagaimana asumsi dasar ontologi?
6. Apa saja obyek ontologi?
7. Bagaimana ontologi dalam prespektif Islam?

2.2 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui pengertian ontologi.
2. Untuk mengetahui istilah-istilah yang digunakan dalam ontologi
3. Untuk mengetahui karakteristik ontologi
4. Untuk mengetahui aliran-aliran dalam ontologi
5. Untuk mengetahui asumsi dasar ontologi
6. Untuk mengetahui obyek ontologi
7. Untuk mengetahui ontologi dalam prespektif Islam
3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ontologi


Secara bahasa, Kata ontologi berasal dari bahasa Yunani “Ontos” yang
artinya berada dan “logos” yang artinya ilmu atau pengetahuan (Firth, 1972: 105).
Sedangkan secara istilah, ontologi merupakan ilmu hakekat yang menyelidiki
tentang alam yang nyata ini dan bagaimana keadaan yang sebenarnya (Jalaluddin
dan Abdullah, 1998: 69). Ontologi merupakan ilmu yang membahas tentang
hakekat yang ada, yang merupakan ultimate reality, baik dalam bentuk jasmani atau
kongkret maupun rohani atau abstrak. Dengan demikian, ontologi merupakan ilmu
yang meneliti segala sesuatu yang ada.
Wilayah ontologi ilmu terbatas pada jangkauan pengetahuan ilmiah manusia.
Sementara kajian obyek penelaahan yang berada dalam batas prapengalaman
(seperti penciptaan manusia) dan pascapengalaman (seperti surga dan neraka)
menjadi ontologi dari pengetahuan lainnya diluar ilmu (Sudibyo, dkk, 2014: 46).
Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologi adalah Thales,
Plato, adan Aristoteles. Salah satu contohnya, Thales melalui perenungannya
terhadap air yang terdapat dimanapun, sehingga ia berkesimpulan bahwa air
merupakan “substansi terdalam” yang merupakan asal mula dari kehidupan. Thales
ini merupakan orang pertama yang berpendirian sangat berbeda ditengah-tengah
pandangan umum yang berlaku pada saat itu (Buhanuddin, 2018: 50).
Menurut Muhajir (2001), ontologi merupakan cabang salah satu filsafat yang
membahas tentang yang ada yaitu yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu.
Ontologi membahas sesuatu yang ada yang sifatnya universal, dengan
menampilkan pemikiran-pemikiran semesta universal. Ontologi berusaha mencari
inti yang termuat di dalam setiap kenyataan yang ada. Ontologi membahas tentang
apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin mengetahui dengan kata lain,
suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada” (Muhajir, 2001: 57).
4

Pembahasan tentang ontologi akan besar kaitannya dengan metafisika.


Istilah metafisika berasal dari bahasa Yunani “ta meta physica” yang artinya adalah
ada setelah fisika. Dengan kata lain, metafisika adalah dasar atau landasan
pandangan mengenai alam dan manusia sebagai makhluk hidup (termasuk zat dan
pikiran yang dimilikinya).
Berikut adalah beberapa penafsiran yang diberikan manusia mengenai alam
ini.
1. Supranaturalisme
Tafsiran manusia kepada alam bahwa alam terdiri dari hal-hal supranatural
atau wujud-wujud ghaib dan lebih berkuasa dibandingkan dengan kuasa alam
nyata. Animism merupakan kepercayaan yang menganut pemikiran
supranatural ini. Mereka mempercayai bahwa terdapat roh yang sifatnya
ghaib terdapat dalam benda-benda.
2. Naturalisme
Tafsiran ini bertolak belakang dengan supranaturalisme. Kepercayaan ini
menolak wujud-wujud supranatural atau wujud-wujud ghaib. Kelompok yang
berdasar pada kepercayaan ini menyatakan bahwa gejala-gejala yang ada di
alam merupakan kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri, yang
keberadaannya dapat dipelajari dan diketahui. Terdapat beberapa kelompok
yang menganut pemikiran naturalisme, diantaranya adalah 1) kelompok
mekanistik yang menyatakan bahwa gejala alam (termasuk makhluk hidup)
hanya gejala kimia fisika semata, 2) kelompok vitalistik yang menyatakan
bahwa proses kimia fisika sebagai gejala alam yang dapat diterapkan, tetapi
hanya meliputi unsur dan zat mati saja, tidak untuk makhluk hidup. 3)
kelompok naturalis yang berasal dari aliran monoistik yang menyatakan
bahwa tidak ada bedanya antara zat dan pikiran, keduanya hanya berbeda
dalam gejala yang disebabkan oleh proses berlainan, namun memiliki
substansi yang sama. 4) kelompok dari dualistik yang berpendapat bahwa zat
dan pikiran berbeda secara substansif, artinya apa yang ditangkap oleh pikiran
manusia termasuk penginderaan dari hasi pengalaman manusia adalah
bersifat mental. Yang bersifat nyata hanyalah fikiran, karena dengan berfikir
maka sesuatu itu akan menjadi ada.
5

2.2 Istilah-istilah dalam Ontologi


Istilah-istilah yang terdapat dalam bidang ontologi adalah (Kattsoff, 2004:
185-186) :
1. Yang ada (being)
2. Kenyataan atau realitas (reality)
3. Eksistensi (existence)
4. Esensi (essence)
5. Substansi (substance)
6. Perubahan (change)
7. Tunggal (one)
8. Jamak (many)

2.3 Karakteristik Ontologi


Menurut A.R. Lacey, ontologi diartikan sebagai ”a central part of
methaphisics”, sedangkan metafisika diartikan sebagai “that which comes after
physics” atau “the study of nature in general”. Ontologi merupakan salah satu
bagian filsafat yang merupakan bagian dari metafisika, sedangkan metafisika
merupakan salah satu bab dari bahasan filsafat. Obyek telaah ontologi adalah yang
tidak terikat pada suatu perwujudan tertentu, sehingga ontologi membahas tentang
sesuatu secara umum atau universal, yaitu dengan mencari inti dari semua yang
dimuat disetiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua bentuknya
( Syafii, 2004: 9). Metafisika membahas tentang segala sesuatu yang dianggap ada
dan mempersoalkan tentang hakekat. Sedangkan hakekat ini tidak dapat dijangkau
oleh panca indera manusia karena tidak berbentu, berupa, berwaktu, dan bertempat.
Namun, dengan mempelajari sebuah hakekat, kita dapat memperoleh pengetahuan
dan dapat menjawab pertanyaan tentang apa hakekat ilmu itu (Bahrum, 2013: 37).
Beberapa karakteristik ontologi sebagaimana yang diungkapkan oleh Loren
Bagus adalah sebagai berikut (Burhanuddin, 2018: 52):
1. Ontologi adalah kajian tentang arti “ada” dan “berada”, tentang ciri-ciri
esensial dari yang ada dalam dirinya sendiri, menurut bentuknya yang paling
abstrak.
6

2. Ontologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tata dan struktur realitas
dalam arti seluas mungkin, dengan menggunakan kategori-kategori seperti
ada atau menjadi, aktualitas atau potensialitas, nyata atau penampakan, esensi
atau eksistensi, kesempurnaan, ruang dan waktu, perubahan, dan sebagainya.
3. Ontologi adalah cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat terahir
yang ada, yaitu yang satu, yang absolut, bentuk abadi, sempurna, dan
keberadaan segala sesuatu yang mutlak bergantung padanya.
4. Cabang filsafat yang mempelajari tentang status realitas apakah nyata atau
semu, apakah pikiran itu nyata, dan sebagainya.

2.4 Aliran-aliran dalam Ontologi


Terdapat dua pendekatan yang dilakukan oleh para filsuf untuk melihat
hakikat realitas, yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif
adalah suatu realitas yang ditampilkan dalam bentuk kuantitas atau jumlah.
Sedangkan pendekatan kualitatif adalah suatu realitas yang ditampilkan tidak dalam
bentuk jumlah melainkan dalam bentuk kualitas (Suhartono, 2005: 111)
Pendekatan kuantitatif tentang ontologi adalah sebagai berikut.
1. Monoisme
Monoisme menganggap bahwa sebuah hakekat yang berasal dari
seluruh kenyataan itu adalah satu saja baik berupa materi maupun rohani,
tidak mungkin dua atau bahkan lebih, dan tidak mungkin ada hakekat masing-
masing bebas dan berdiri sendiri. Salah satunya harus menjadi sumber pokok
dan dominan sehingga dapat menentukan perkembangan yang lainnya
(Burhanuddin, 2018: 53).
2. Paralelisme atau dualisme
Paham ini adalah kebalikan dari paham monoisme yaitu menyatakan
bahwa setiap benda terdiri dari dua macam hakekat sebagai asal sumbernya
yaitu materi dan rohani. Keduanya sama-sama bebas dan dapat berdiri sendiri.
Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini (Burhanuddin,
2018: 54).
7

3. Pluralisme
Paham ini berpendapat bahwa segala bentuk merupakan kenyataan.
Paham ini menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur,
lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh Yunani dalam paham ini adalah
Anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang
terdapat di alam ini terbentuk dan terdiri atas empat unsur, yaitu tanah, air,
api, dan udara. Sedangkan tokoh modern paham ini adalah berasal dari New
York yaitu William James yang menyatakan bahwa tiada kebenaran yang
mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang sendiri-sendiri, lepas
dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus, dan segala
yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa
berubah, karena dalam praktiknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi
oleh pengalaman berikutnya (Burhanuddin, 2018: 54).
4. Naturalisme
Paham ini berpendapat bahwa kategori pokok untuk memberikan
keterangan mengenai kenyataan ialah kejadian. Kejadian dalam ruang dan
waktu merupakan satuan-satuan penyusun kenyataan yang ada, dan
senantiasa dapat dialami oleh manusia biasa. Artinya, sesuatu yang terdapat
di luar ruang dan waktu tidak mungkin merupakaan kenyataan. Dan apapun
yang dianggap tidak mungkin untuk ditangani dengan menggunakan metode-
metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu alam, tidak mungkin merupakan
kenyataan (Burhanuddin, 2018: 55).
5. Materialisme
Paham ini pada zaman dahulu memandang bahwa alam semesta ini
tersusun dari zat-zat renik yang terdalam tersebut dan memandang alam
semesta dapat diterangkan berdasarkan hukum-hukum dinamika. Dengan
pendapat tersebut, kelompok yang menganut paham ini mengenal rumus yang
mengejutkan didalam fisika yaitu E= MC2, dimana E kedudukannya dapat
ditukarkan dengan massa M (Kattsoff, 2004: 212).
6. Idealisme
Paham ini merupakan lawan dari paham materialism. Paham ini
berpendapat bahwa hakekat kenyataan yang beraneka ragam itu semua
8

berasal dari roh atau sukma ataupun yang sejenis dengannya, yaitu sesuatu
yang tidak terbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu
jenis daripada penjelmaan rohani. Alesan mereka menganggap bahwa benda
merupakan rohani adalah 1) nilai roh lebih tinggi daripada badan,lebih tinggi
nilainya dari materi bagi kehidupan manusia, sehingga roh dianggap sebagai
hakikat yang sebenarnya, sedangkan materi hanyalah badannya, bayangan,
atau penjelmaan. 2) manusia dapat memahami dirinya daripada dunia luar
dirinya. 3) materi adalah kumpulan energy yang menempati ruang. Benda
tidak ada, yang ada energi itu saja. Tokoh yang menganut paham ini adalah
Plato. Dia beranggapan bahwa tiap-tiap yang ada di alam mesti ada idenya,
yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Kemudian ada Aristoteles yang
beranggapan bahwa alam ide itu sebagai suatu tenaga yang berada dalam
benda-benda itu sendiri dan menjalankan pengaruhnya dari dalam benda itu
(Burhanuddin, 2018: 56).
Secara umum, terdapat dua macam kelompok idealisme. Pertama
adalah kelompok spiritualis yang beranggapan bahwa segenap tatanan alam
dapat dikembalikan kepada sekumpulan roh yang beraneka ragam dan
berbeda-beda derajatnya. Mereka menganggap bahwa alam sebagai
keseluruhan yang bertingkat-tingkat dan diri kita masing-masing sebagai
pusat-pusat rohani yang berkesinambungan dengan tingkat-tingkat yang lain.
Kemudian kelompok kedua adalah kelompok idealis (Burhanuddin, 2018: 56).
7. Agnotisisme
Paham ini menyatakan bahwa suatu nilai kebenaran dari suatu klaim
tertentu yang umumnya berkaitan dengan teologi, metafisika, keberadaan
Tuhan, dewa, dan lainnya yang tidak dapat diketahui dengan akal pikiran
manusia yang terbatas. Artinya mereka menganggap bahwa walaupun
perasaan secara subyektif dimungkinkan, namun secara obyektif pada
dasarnya mereka tidak memiliki informasi yang dapat diverifikasi. Sehingga
dalam paham ini muncul sikap skeptisme. Agnoitisisme tidak sama dengan
ateisme. (Kattsoff, 2004:216). Paham ini hanya mengingkari kesanggupan
manusia untuk mengetahui hakikat benda, baik hakikat materi maupun rohani.
9

Tokoh-tokoh yang menganut paham ini antara lain adalah Soren Kierkegaar,
Heidegger, Sarter, dan Jaspers (Burhanuddin, 2018: 58).
8. Hylomorphisme
Paham ini dianut pertama kali oleh Aristoteles dalam bukunya yang
berjudul “De Anima”. Para ahli memahami sebagai upaya mencari alternatif
bukan dualism, tetapi menampilkan aspek materialism dari mental
(Burhanuddin, 2018: 58).
9. Nihilisme
Paham ini tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Tokoh ynag
menganut paham ini adalah Gorgias. Ia memberikan tiga proporsi tentang
realitas. Pertama, tidak ada sesuatu pun yang eksis atau realitas itu sebenarnya
tidak ada. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui, sebab
penginderaan itu tidak dapat dipercaya atau hanya ilusi. Ketiga, sekalipun
realitas dapat diketahui, ia tidak akan dapat kita beritahu kepada orang lain.
Tokoh lain yang menganut paham ini adalah Friedrich Nietzche dengan teori
monumentalnya dalam dunia kristiani yaitu “Tuhan sudah mati”
(Burhanuddin, 2018: 59).

2.5 Asumsi Dasar Ontologi


Ontologi membahas tentang yang ada dan universal. Menurut Anton Bakker
(1992) merupakan ilmu pengetahuan yang paling universal dan paling menyeluruh.
Berikut ini aspek ontologi selain dari sifat universal dan menyeluruh, yaitu
(Poedjawijatna, 2004: 24):
1. Metodis
Menggunakan cara ilmiah, berarti dalam proses menemukan dan mengolah
pengetahuan menggunakan metode tertentu, serta tidak serampangan.
2. Sistematis
Saling berkaitan satu sama lain secara teratur dalam suatu keseluruhan.
Artinya, dalam usaha menemukan kebenaran dan menjabarkan pengetahuan
yang diperoleh, menggunakan langkah-langkah tertentu yang teratur dan
terarah sehingga menjadi suatu keseluruhan yang terpadu.
10

3. Koheren
Unsur-unsurnya harus bertautan, tidak boleh mengandung uraian yang
bertentangan. Setiap bagian dari jabaran ilmu pengetahuan itu merupakan
rangkaian yang saling terkait dan berkesesuaian (konsisten).
4. Rasional
Harus berdasar pada kaidah berfikir yang benar atau logis.
5. Komprehensif
Melihat obyek tidak hanya dari satu sudut pandang, melainkan secara
multidimensional atau holistik.
6. Radikal
Diuraikan sampai akar persoalannya, atau esensinya.
7. Universal
Muatan keberadaannya sampai tingkat umum yang berlaku dimana saja.

2.6 Obyek Ontologi


1. Objek Materi
Secara antologis, artinya metafisis umum, objek materi yang dipelajari dalam
plural ilmu pengetahuan, bersifat monistik pada tingkat yang paling abstrak.
Seluruh objek materi pluralitas ilmu pengetahuan, seperti manusia, binatang,
tumbuh-tumbuhan dan zat kebendaan berada pada tingkat abstrak tertinggi, yaitu
dalam kesatuan dan kesamaannya sebagai makhluk. Kenyataan itu mendasari dan
menentukan kesatuan pluralitas ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, prulalitas ilmu
pengetahuan berhakikat satu, yaitu dalam kesatuan objek materinya.
Kesatuan ilmu pengetahuan tersebut menjadi semakin jelas jika ditinjau dari
sumber asal seluruh perbedaan objek materi itu. Semua makhluk, sebagai objek
materi pluralitas ilmu pengetahuan, secara sistematis berhubungan dengan proses
kausalistik.
Keberadaan manusia didahului dengan keberadaan binatang; keberadaan
binatang didahului keberadaan tumbuh-tumbuhan; dan keberadaan tumbuh-
tumbuhan didahului oleh zat kebendaan. Secara sistematis, masing-masing berada
dalam sistem saling bergantung ( interdependence ), dan zat kebendaan terkecil
(atom) secara eksistensial berfungsi sebagai sumber ketergantungan makhluk-
11

makhluk lain sesudahnya. Tetapi secara substansial, keberadaan atom sebagai zat
kebendaan terkecil itu bukanlah dalam tingkat kesempurnaan (berdiri sendiri),
melainkan berada pada tingkat aksidental, artinya berada dengan cara ditentukan.
Keberadaan zat kebendaan demikian ditentukan oleh penyebab terdahulu,
sekaligus sebagai penyebab pertama dan terakhir, yang disebut ‘causa prima’. Oleh
karena itu, pada tingkat substansi tertinggi, seluruh pluralitas ilmu pengetahuan,
sebagai akibat prulalitas objeknya, berada dalam satu kesatuan di dalam diri causa
prima-nya.
2. Obyek Forma
Objek ontologi adalah yang ada, yaitu ada individu, ada umum, ada terbatas,
ada tidak terbatas, ada universal, ada mutlak, termasuk metafisika dan ada sesudah
kematian maupun segala sumber yang ada yaitu tuhan yang maha esa. Objek forma
ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan realitas tampil dalam
kuantitas atau jumlah, akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-
aliran materialisme, idealisme, naturalisme.
Menurut Lorens Bagus, metode dalam ontologi dibagi menjadi tiga tingkatan
abstraksi yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metafisik. Abstraksi
fisik mendeskripsikan keseluruhan sifat khas suatu objek, sedangkan abstraksi
bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi ciri semua sesuatu yang sejenis.
Abstraksi metafisik mendeskripsikan tentang prinsip umum yang menjadi dasar
dari semua realita. Untuk ontologi ini metode yang sering digunakan adalah
abstraksi metafisik karena dalam ontologi menerangkan teori-teori tentang realitas
(Hamersa, 2012: 25).
Menurut Lorens Bagus, metode pembuktian dibagi menjadi dua yaitu :
pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori (Anwar, 2007: 120). Pembuktian
a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu dari predikat
dan kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan, sedangkan
pembuktian a posteriori disusun dengan term tengah ada sesudah realitas
kesimpulan, dan term tengah menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam
kesimpulan hanya saja cara pembuktiannya disusun dengan tata silogistik, dimana
term tengah dihubungkan dengan subjek sehingga term tengah menjadi akibat dari
realitas kesimpulan (Mustansyir dan Munir, 2001: 49).
12

Objek forma ini sering dipahami sebagai sudut atau titik pandang, yang
selanjutnya menenentukan ruang lingkup. Berdasarkan ruang lingkup studi inilah
selanjutnya ilmu pengetahuan berkembang menjadi prular, berbeda-beda dan
cenderung saling terpisah antara satu dengan yang lain.
Dibandingkan dengan pengetahuan pada umumnya atau filsafat. Ilmu
pengetahuan pada umumnya atau filsafat, ilmu pengetahuan mempersoalkan
kebenaran secara khusus, konkret dan objektif, yang selanjutnya desebut kebenaran
objektif, yang selanjutnya disebut kebenaran objektif. Kebenaran demikian tingkat
kepastiannya lebih kuat, karena didukung oleh fakta-fakta konkret dan empirik
objektif. Dalam hubunganya dengan perilaku, kebernaran objektif memberikan
landasan stabil dan es tabil sehingga suatu perilaku dapat diukur nilai
kebenarannya, dan bisa dipakai sebagai pedoman bagi semua pihak. Sedangkan
objektifitas suatu objek materi, apapun jenisnya, bukan terletak pada keseluruhan
tetapi pada bagian-bagian kecil dari objek itu. Mengingat di dalam diri objek materi
terdapat bagian-bagian yang prular, dan mengingat keterbatasan subjek, maka
dalam kegiatan ilmiah, subjek prular memilah-milah objek studi ke dalam bagian-
bagian, dan kemudian memilih salah satu bagian sebagai lapangan studi. Lapangan
studi inilah yang dimaksud dengan objek forma

2.7 Ontologi dalam Prespektif Islam


Secara ontologis, ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya
pada daerah-daerah yang berada pada jangkauan pengalaman manusia. Dengan
demikian, objek penelaahan yang berada dalam daerah pra pengalaman (seperti
penciptaan manusia) atau pasca pengalaman (seperti hidup sesudah mati) tidak
menjadi pembahasan dalam ontology (Sriasumantri, 1983: 105-106).
M. Quraish Shihab, dalam buku Membumikan al-Qur’an, menyatakan bahwa
ada realitas lain yang tidak dapat dijangkau oleh panca indra, sehingga terhadapnya
tidak dapat dilakukan observasi atau eksperimen. Hal ini sebagaimana ditegaskan
oleh firman Allah swt. dalam Q.S. al-Haqqah [69]: 38-39, yang artinya, “Maka, aku
bersumpah dengan apa-apa yang kamu lihat, dan dengan apa yang tidak kamu lihat.”
“Apa-apa” tersebut sebenarnya ada dan merupakan satu realitas, tetapi tidak ada
dalam dunia empiris (Shihab, 1994: 64).
13

Problema alam yang diwarisi filsuf-filsuf Muslim dari filsafat Yunani adalah
bahwa alam itu qadim (azali). Hal ini sebagaimana tegas dinyatakan oleh
Aristoteles, dan kurang tegas dinyatakan oleh Plato dan Plotinus. Plato mengatakan
bahwa alam ini qadim, tetapi Tuhanlah yang mengaturnya. Sementara itu, Plotinus
menampilkan teori pancaran (pelimpahan) dalam hal kejadian alam, yang
mengandung unsur panteisme (wahdah al-wujud). Semua teori tersebut jelas
bertentangan dengan ajaran Islam, yang dengan tegas menetapkan bahwa Tuhan
adalah pencipta alam dari ketiadaan (Creator ex Nihilo), berlainan sama sekali
dengan alam, Maha Tinggi dari segala sesuatu, dan bebas dalam perbuatan-Nya
menciptakan alam ini. Dalam hal ini, para filsuf Muslim juga berbeda pendapatnya,
meskipun secara umum mereka telah mengambil jalan tengah (pemaduan) antara
ajaran agama dengan filsafat Yunani (Mufid, 2013: 278).
Al-Kindi secara radikal menyatakan bahwa alam ini tidak kekal. Sebab,
menurutnya, semua benda fisik terdiri atas materi dan bentuk, yang bergerak di
dalam ruang dan waktu. Jadi, materi, bentuk, ruang, dan waktu merupakan unsur
dari setiap fisik dan karenanya terbatas, meskipun fisik ini adalah wujud dunia. Oleh
karena terbatas, maka tak kekal, dan hanya Allah jualah yang kekal (Sharif, 1998:
24).
Al-Farabi menafsirkan alam ini berasal dari al-Awwal (Yang Maha Pertama)
melalui proses emanasi (faid). Dari “Yang Pertama” melimpah “Pertama” yang lain
(akal pertama), karena apa yang berasal dari “satu” harus “satu” juga, seperti
keluarnya cahaya dari matahari. Kemudian dari akal pertama (pertama yang lain,
wujud kedua) memancar akal kedua (wujud ketiga), dan begitu seterusnya sampai
muncul akal kesepuluh (wujud kesebelas), dan dari padanya muncullah bumi serta
roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur alam, yaitu api,
air, udara, dan tanah. Jadi, dari akal kesepuluh (akal fa‘a l) inilah keluar alam (bumi)
yang ditempati manusia serta seisinya dan merupakan jiwa yang mengaturnya.
Walaupun materi itu makhluk, tetapi itu tercipta tanpa mempunyai permulaan
dalam waktu, yakni qadim (Nasution, 1992: 28).
Teori emanasi ini ternyata diterima juga oleh Ibnu Sina, dengan sedikit
perbedaan tentang rincian objek pemikiran bagi akal-akal. Al-Farabi hanya
menyebut dua objek pemikiran bagi akal-akal, yaitu Tuhan dan diri-Nya sendiri.
14

Sementara, Ibnu Sina menyebut tiga objek, yaitu Tuhan, dirinya sendiri sebagai
wajib al-wujud, dan diri-Nya sebagai mumkin al-wujud. Sebenarnya para filsuf
Muslim dengan teori ini ingin menetapkan adanya penciptaan (ibda’ al-khalq)
sebagaimana konsep al-Qur’an, meskipun mereka menggambarkan penciptaan
dengan gambaran spiritual rasional, dan masih sependapat dengan Aristoteles
dengan qadimnya alam (Mufid, 2013: 279).
Adapun Ibnu Rusyd berpendapat bahwa dari satu segi, alam ini adalah baru,
sebab wujudnya membutuhkan sebab dari luar, yakni Tuhan sebagai Pencipta
Pertama. Akan tetapi, dari sisi lain, alam ini qadim, sebab adanya tidak didahului
oleh adam (tiada) dan tidak pula didahului oleh zaman, sebab wujudnya bukan
terjadi secara Creatio ex Nihilo, tetapi bahan-bahannya telah tersedia (Mufid, 2013:
279).
Tasawuf falsafi Suhrawardi yang dikenal dengan “Filsafat Isyraqiyah”
(Iluminatif) yang secara ontologis ataupun epistemologis lahir sebagai alternatifitas
kelemahan-kelemahan pemikiran sebelumnya, khususnya Paripatetik Aristotelian.
Kelemahan filsafat Paripatetik secaravepistemologis menurut Suhrawardi adalah
bahwa penalaran rasional dan silogisme rasional tidak akan bisa menggapai seluruh
realitas wujud, dan pada saat tertentu tidak bisa menjelaskan atau mendefinisikan
sesuatu yang diketahuinya. Memang manusia adalah makhluk berpikir dan
merupakan ciptaan Tuhan yang paling sempurna dibanding dengan makhluk Tuhan
lainnya. Kapasitas berpikir yang dimilikinya menjadikan manusia menempati
kedudukan tertinggi di antara makhluk Tuhan lain. Kemampuan ini pula yang
mendorong manusia menuju ke kondisi yang lebih baik. Manusia diciptakan Tuhan
dengan ciri khusus yang tidak dimiliki oleh makhluk yang lain, yaitu daya berpikir.
Akan tetapi, ada yang lebih spesifik lagi bagi manusia, yaitu intuisi atau daya
batiniah yang oleh Suhrawardi dipadukan dengan daya berpikir tersebut, sehingga
menghasilkan pemikiran Iluminasi atau Hikmah al-Isyraq (Mufid, 2013: 280).
Inti utama filsafat iluminasi Suhrawardi adalah sifat dan penyebaran cahaya.
Cahaya menurutnya bersifat immaterial dan tak dapat didefinisikan. Cahaya seperti
entitas yang paling terang di dunia ini, sehingga tidak membutuhkan definisi.
Adapun mengenai gradasi esensi, menurut Suhrawardi, apa yang disebut eksistensi
hanyalah formulasi abstrak yang diperoleh pikiran dari substansi eksternal.
15

Eksistensilah yang aksiden dan esensilah yang prinsipal. Realitas yang


sesungguhnya atau benar-benar ada hanyalah esensi-esensi yang tidak lain
merupakan bentuk-bentuk cahaya. Cahaya-cahaya ini adalah sesuatu yang nyata
dengan dirinya sendiri karena ketiadaannya berarti kegelapan dan tidak dikenali.
Oleh karena itu, ia tidak membutuhkan definisi. Sebagai realitas yang meliputi
segala sesuatu, cahaya menembus ke dalam susunan setiap entitas, baik yang fisik
maupun non-fisik, sebagai sebuah komponen yang esensial dari cahaya. Menurut
Suhrawardi, ada benda benda yang merupakan cahaya dalam realitasnya sendiri,
dan benda-benda yang bukan cahaya dalam realitasnya sendiri, masing-masing
terjadi dengan sendirinya (aksidensial), tak tergantung atau independen. Meski
semua benda dihasilkan oleh cahaya, namun tidak semua benda adalah cahaya.
Tubuh dan aksidennya yang tidak bercahaya bukanlah cahaya, meskipun penyebab
dasarnya adalah cahaya immaterial. Cahaya, bagaimanapun, adalah prinsip
interrelasi di antara benda-benda. Cahaya adalah sesuatu yang manifes dalam
dirinya sendiri dan memanifeskan yang lain (Walbridge, 2008: 64).
Filsuf yang lain, Mulla Sadra dalam menjelaskan pemikirannya ini
menggunakan perumpamaan cahaya, seperti halnya Suhrawardi dalam menjelaskan
realitas kuiditas. Baginya, wujud seperti halnya level-level cahaya matahari yang
merupakan gambaran Tuhan bagi alam materi, bagaimana dia memancarkan dan
menampilkan warna-warna pada cermin, dan pada saat yang sama cahayacahaya
tersebut merupakan cahaya dirinya sendiri. Tidaklah terjadi perbedaan di antaranya
kecuali pada kepadatan dan ketidakpadatan semata. Manusia yang terpaku hanya
pada cermin dan warna-warna yang ditampilkan dan terhijab dengannya dari
cahaya hakiki dari level-level hakiki yang terpancar turun, menurut Mulla Sadra,
manusia tersebut tidak mampu memahami realitas cahaya-Nya. Sebagaimana
pandangan yang menyatakan bahwa kuiditas adalah persoalan hakiki yang
merealisasikan wujud, sedangkan wujud hanya merupakan persoalan abstraksi
mental. Bagi manusia yang menyaksikan beragam warna cahaya dan memiliki
kesadaran bahwa hal tersebut dimunculkan oleh cermin semata dan warna-warna
tersebut pada substansinya adalah cahaya, maka manusia seperti itu dapat
memahami cahaya yang sesungguhnya dan jelaslah baginya bahwa yang
menampakkan kuiditas dan keragamannya tidak lain adalah level-level wujud itu
16

sendiri. Berdasarkan prinsip ini, Mulla Sadra menyatakan bahwa wujud merupakan
pancaran dari “Wujud Tuhan” seperti cahaya memancarkan warna-warna. Sebagai
pemikir Islam yang elaboris dialektis, Mulla Sadra dalam menerima tesis kaum
eksistensialisme tidak secara keseluruhan persis, demikian pula dalam menolak
gagasan kaum esensialisme juga tidak secara total. Dia melakukan elaborasi dan
harmonisasi antara kedua aliran tersebut dengan meracik secara apik, sehingga
melahirkan wacana baru yang sintesis dan simetris, baik dari segi metodologis
maupun argumentatif. Hanya saja, rumusan pemikiran Mulla Sadra tersebut secara
terminologis condong kepada kaum eksistensialisme sebagaimana terlihat dari
berbagai statemen di atas. Namun, jika dicermati, Mulla Sadra tetap mengakui
bahwa esensi (mahiyah, kuiditas) merupakan realitas penting bagi suatu eksistensi
(Mufid, 2013: 292).
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Ontologi merupakan ilmu yang membahas tentang hakekat yang ada, yang
merupakan ultimate reality, baik dalam bentuk jasmani atau kongkret
maupun rohani atau abstrak.
2. Istilah-istilah dalam ontologi: yang ada (being), kenyataan atau realitas
(reality), eksistensi (existence), esensi (essence), substansi (substance),
perubahan (change), tunggal (one), dan jamak (many).
3. Karakteristik ontologi: Ontologi adalah kajian tentang arti “ada” dan “berada”,
Ontologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tata dan struktur realitas
dalam arti seluas mungkin, Ontologi adalah cabang filsafat yang mencoba
melukiskan hakikat terahir yang ada, ontology adalah cabang filsafat yang
mempelajari tentang status realitas apakah nyata atau semu.
4. Terdapat beberapa aliran ontology:
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Saeful. 2007. Filsafat Ilmu Al-Ghazali; Dimensi Ontologi, dan Aksiologi,
Bandung: Pustaka Setia.

Bahrum. 2013. Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi. Sulesana. Vol. 8 No.2.

Burhanuddin, N. 2018. Filsafat Ilmu. Jakarta: Prenamedia Group.

Firth, Rodric. 1972. Encyclopedia Internasional, Phippines: Gloria Incorperation.

Hamersa, Harry. 2012. Pintu masuk ke Dunia Filsafat. Yogyakarta: Kanius.

Jalaluddin dan Abdullah, I. 1998. Filsafat Pendidikan, Jakarta: Gaya Media


Pratama.

Kattsoff, Louis. O. 2004. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Mufid, Fatkhul. 2013. Perkembangan Ontologi dalam Filsafat Islam. Jurnal


Penelitian. STAIN Kudus, Jawa Tengah Vol. 7 No.2.

17
18

Muhajir, N. 2001. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Mustansyir, R., dan Munir, M. 2001. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nasution, Harun. 1992. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan
Bintang.

Poedjawijatna. 2004. Tahu dan Pengetahuan. Jakarta: Rineka Cipta.

Sharif, M.M. 1998. A History of Moslem Philosophy, Delhi: Low Price


Publication.

Shihab, M. Quraish. 1994. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran


Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan.

Sudibyo, L., Triyanto, B., dan Suswandari, M. 2014. Filsafat Ilmu. Yogyakarta:
Deepublish.

Suhartono, S. 2005. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media

Suriasumantri, Jujun. 1983. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:


Pustaka Sinar Harapan

Syafii, Inu Kencana. 2004. Pengantar Filsafat. Bandung: Refika Aditama.

Walbridge, John. 2008. Mistisisme Filsafat Islam, terj. Hadi Purwanto,


Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Вам также может понравиться