ABSTRACT
Antibiotics administration in intensive care unit (ICU) should
considerate several factors like the general guide lines namely de-
escalation strategies, individual critically ill condition of patient,
organs function especially liver and kidney, microbial global and
local maps, and possibility to become resistance. The de-escalation
strategies require the use of an empiric broad spectrum of antibiotic
and then the spectrum should be narrowed after sensitivity test
of the microbial culture. The most ICU patients come from various
specific or special health services around a hospital, and the patients
have been given an empiric antibiotic and then get worse. One of
the possibilities is that the causative microbial growth to resistance
against to the given antibiotic, and the patients then become more
severe illness. In other side, the most ICU patients have disturbances
of respiration, hemodynamic performance, fluids and metabolic
regulations, subsequently the peripheral perfusion become decreased
and then the distribution of antibiotic in peripheral tissue in the body
is not enough to over the minimal inhibitory concentration (MIC). So,
there is an high potential to growth a strain which resistance to the
given antimicrobial drugs.
22
ABSTRAK
Pemberian antibiotikk di intensive care unit (ICU) harus memper-
timbangkan banyak hal, seperti strategi deeskalasi, pasien dengan
kondisi kritis, fungsi organ utamanya hepar dan ginjal, peta mikroba
global dan lokal, dan kemungkinan untuk terjadinya resistensi
mikroba. Strategi deeskalasi memerlukan penggunaan antibiotik
spektrum luas empirik untuk kemudian dilakukan penyempitan
spektrum setelah didapatkan hasil bikkan mikroba dan ujia kepekaan
terhadap atibiotik. Sebagian besar pasien yang dirawat di ICU berasal
dari berbagai pusat layanan kesehatan di sekitar rumah sakit. Pasien ini
telah mendapatkan antibiotik empiris namun kondisinya memburuk.
Salah satu kemungkinan penyebab kejadian ini adalah terjadinya
resistensi pada mikroba penyebab terhadap antibiotik empirik yang
telah diberikan. Sementara itu sebagian besar pasien yang dirawat
di ICU mengalami gangguan pada sistem respirasi, hemodinamik,
regulasi cairan dan metabolik. Hal ini menyebabkan terjadinya
penurunan perfusi perifir yang mengakibatkan gangguan distribusi
antibiotika di jaringan perifer dan konsentrasi antibiotik tidak dapat
mencapai minimal inhibitory concentration (MIC). Dengan demikian
terjadi peningkatan potensi pertumbuhan strain bakteri yang resisten
terhadap antimikroba tertentu.
A. PENDAHULUAN
Antibiotika merupakan obat yang mempunyai peran penting
dalam pengelolaan medis pasien-pasien kritis di Intensive Care
Unit (ICU). Penentuan pilihan suatu antibiotika tertentu untuk
seseorang pasien banyak yang harus dipertimbangkan. Panduan dari
Kementerian Kesehatan untuk penggunaan antibiotika (Permenkes
No : 2406/MENKES/PER/2011) menyebutkan dalam Tabel 20. Strategi
Pendukung Antimicrobial Stewardship. Strategi : Streamlining atau
23
terapi deeskalasi, dengan cara pelaksanaannya : setelah tersedia hasil
pemeriksaan mikrobiologi dan test kepekaan terapi empiris antibiotik
diubah menjadi: (1.) lebih sensitif; (2.) spektrum lebih sempit; (3.)
lebih aman; dan (4.) lebih murah1.
Antibiotika empiris mungkin sesuai untuk pemberian antibiotika
awal atau yang diberikan pertama pada layanan/dokter primer (di
fasilitas kesehatan pratama maupun rujukan pada masing-masing
spesialisasi), sedangkan pasien-pasien di ICU sebagian besar
merupakan rujukan pasien-pasien yang telah mendapatkan terapi
empiris tersebut dan tidak membaik, walaupun perburukan kondisi
pasien tidak mesti oleh karena kuman penyebab infeksinya yang tidak
tereradikasi.
Untuk meningkatkan efektivitas bacterisidal antibiotika empiris
bisa dilakukan dengan mengkombinasikan dengan antibiotika
golongan lain seperti makrolide 2 atau mengkombinasikan dengan
inhibitor β-laktamase untuk bakteri yang sudah dikenal memproduksi
β-laktamase (ESBLs bacteria, seperti Enterobacteriaceae termasuk
E. coli dan Klebsiella pneumoniae), misalnya kombinasi dengan
sulbactam atau penggunaan Carbapenem3. Mungkin diperlukan
suatu “empiris” khusus ICU yang mempertimbangkan “local evidence
base” ICU di tempat pasien berada. Peta kuman dan antibiotika yang
sensitif lokal setiap ICU harus tersedia, untuk digunakan sebagai
mempertimbangkan dalam penentuan pilihan antibiotik empiris
khusus. Pemberian antibiotika selanjutnya mengikuti panduan
dari Kemenkes tersebut di atas sesuai dengan hasil kultur dan test
sensitivitas.
B. PASIEN KRITIS
Manajemen pasien kritis (pasien dengan ancaman jiwa)
memprioritaskan tindakan (termasuk pemberian obat) untuk
mempertahankan hidup pasien lebih dahulu, dalam artian
mempertahan fungsi sel-sel yang langsung berhubungan dengan
hidup-mati lebih dulu. Hal ini dapat ditempuh dengan mencukupkan
24
oksigen untuk seluruh sel otak, jantung dan paru-paru dan
memperbaiki fungsinya.
Pada banyak kasus pasien kritis terdapat penurunan fungsi-
fungsi hepar dan ginjal yang harus dipertimbangkan dalam
pemberian antibiotikanya. Pasien dengan fungsi hepar yang rendah,
seperti pasien dengan cirrhosis hepatis yang sangat rentan terhadap
infeksi, harus dipertimbangakan kemampuan metabolismenya yang
rendah dan rentan terhadap overdosis4. Sebagian kasus pasien kritis
mengalami hipoalbuminemia, sehingga antibiotika yang high plasm
protein binding (ikatan dengan protein plasmanya tinggi) berpotensi
menyebabkan over dosis, demikian juga pada pasien dengan
insufisiensi atau bahkan gagal ginjal berpotensi terjadi overdosis
karena ganggguan eliminasinya.
Pada pasien pasien kritis banyak yang mengalami penurunan
perfusi darah ke sel-sel seluruh tubuh termasuk ke otot-otot atau
jaringan sub kutis juga ke saluran pencernaan, sehingga rute
pemberian obat melalui otot (intra muskuler), atau melalui sub
kutis (misalnya insulin), atau melalui saluran pencernaan (per oral
maupun per enteral/NGT) tidak efisien, dan harus menggunakan
rute intra vena. Dengan demikian antibiotika yang dipilih adalah yang
sediaannya untuk pemberian intra vena. Dengan rute pemberian
intra vena pun tidak bisa menjangkau seluruh kompartemen tubuh,
sehingga pada tempat-tempat tertentu (pada organ/tempat dengan
volume distribusi rendah) bisa untuk “bersembunyi” kuman, sehingga
mengakibatkan resistensi terhadap antibiotika.
Pasien kritis dengan “stress ulcer” akibat buruknya perfusi darah
ke mukosa usus, biasanya disertai dengan barier mukosa ususnya juga
buruk, dan terjadilah translokasi bakteri dari lumen usus (sebagian
besar E. coli) masuk ke sirkulasi sistemik menyebabkan sepsis, yang
mungkin bakteri ini tidak sensitif dengan antibiotika empiris yang
diterima pasien. Infeksi bakteri multi drugs resistance (MDR) E. coli
yang tidak mendapat antibiotika yang sesuai dan adekuat mempunyai
prognosis buruk5.
25
Molekul obat antibiotika termasuk besar, sehingga berpotensi
untuk terjadi reaksi anafilaksi atau anafilaktoid (melalui pelepasan
histamin). Apabila ini terjadi pada pasien kritis, maka akan menyulitkan
pengendalian hemodinamik atau menjadi resisten terhadap obat-
obat inotropik positif dan vasokonstriktor. Perburukan pasien bukan
karena tidak berefeknya antibiotika sebagai bakterisid, tetapi karena
shock. Dan terdapat banyak kasus pula perburukan pasien-pasien
kritis di ICU bukan karena infeksi.
Pasien di ICU sudah sulit dibedakan menurut asal primer misal
kasus ortopedi, bedah digesti, penyakit paru-paru, penyakit urologi
dan sebagainya, meskipun demikian pemberian antibiotika empiris
di tempat pelayanan primer (sebelum ICU), akan memperbaiki
outcome6.
26
Tabel 1 . Kuman dan Sensitivitasnya dari Sampel Darah
27
Tabel 3. Kuman dan Sensitivitasnya dari Sampel Urin
Sumber : Pola Kuman dan Kepekaan antibiotika di Ruang ICU RSUP Dr.
Sardjito, Tahun 2014.
28
diuji misalnya meropenem dan doripenem, sehingga tidak diketahui
sensitif atau resisten.
E. GAMBARAN KLINIS.
Tidak jarang gambaran klinis memberikan petunjuk mengenai
kuman penyebab infeksi, seperti contoh leptospirosis mempunyai
gambaran khas ikterik dan suffocia yang menyertai demam, dan kuman
29
ini masih terbawa terus sampai di ICU, atau infeksi jamur candida
pada saluran urin akan memberikan gambaran wujud kelainan kulit di
sekitar kemaluan, atau TBC dengan sekret dari paru-paru yang khas.
Walaupun demikian biakan kuman dan tes sensitivitas antibiotika
tetap harus dilakukan untuk menentukan antibiotika definitif yang
sesuai dengan kuman penginfeksinya.
30
H. KESIMPULAN
Pemilihan antibiotika empiris untuk pasien-pasien kritis di ICU
memerlukan beberapa pertimbangan, antara lain adalah pola kuman
khusus di ICU, dan kemungkinan kuman penginfeksi telah menjadi
resisten dengan antibiotika empiris yang diberikan sebelumnya. Oleh
karena kondisi kritisnya pasien, efek bakterisidal antibiotika menjadi
kurang efisien dan berpotensi menimbulkan resistensi kuman.
I. DAFTAR PUSTAKA
1. PERMENKES RI No : 2406/MENKES/PER/XII/2011
2. Martínez, J.A., Horcajada, J.P., Almela, M., Marco, F., Soriano,
A., García,E., Marco, M.A., Torres, A.,and Mensa, J., Addition
of a Macrolide to a β-Lactam-Based Empirical Antibiotic
Regimen Is Associated with Lower In-Hospital Mortality
for Patients with Bacteremic Pneumococcal Pneumonia,
Clin Infect Dis, Vol. 36, No. 4 (Feb. 15, 2003), pp. 389-395
Published by: Oxford University Press Stable URL: http://
www.jstor.org/stable/4462322
3. Matteo, B. and Baño, J.R., Should we take into account ESBLs
in empirical antibiotic treatment?, Intensive Care Med
(2016) 42:2059–2062 DOI 10.1007/s00134-016-4599-6,
4. Zuccaro V, et al. Antibiotic stewardship and empirical
antibiotic treatment: How can They get along? Dig Liver Dis
(2017), http://dx.doi.org/10.1016/j.dld.2017.01.157
5. Peralta, G., Sanchez, M.B., Garrido, J.C., De Benito, I., Cano,
M.E., Impact of antibiotic resistance and of adequate
empirical antibiotic treatment in the prognosis of patients
with Escherichia coli bacteraemia, J Antimicrob Chemother
(2007) 60, 855–863 doi:10.1093/jac/dkm279
6. Falcone, M.,• Corrao, S., Licata, G., Serra, P., Venditti, M.,
Clinical impact of broad-spectrum empirical antibiotic
therapy in patients with healthcare-associated pneumonia:
a multicenter interventional study, Intern Emerg Med (2012)
7:523–531 DOI 10.1007/s11739-012-0795-8
31
7. Braykov, N.P., Morgan, D.J., Schweizer, M.L., Uslan, D.Z.,
Kelesidis, T., Weisenberg, S.A., Johannsson, B., Young, H.,
Cantey, J., Srinivasan, A., Perencevich, E., Septimus, E.,
Laxminarayan, R., Assessment of empirical antibiotic therapy
optimisation in six hospitals: An observational cohort study,
Lancet Infect Dis 2014; 14: 1220–27
8. Davis , J.S., McMillan , M., Swaminathan , A., John A., Kelly,
J.A., Piera , K.E., Baird , R.W., Currie , B.J. and Anstey , N.M., A
16-Year Prospective Study of Community -Onset Bacteremic
Acinetobacter Pneumonia Low Mortality With Appropriate
Initial Empirical Antibiotic Protocols, CHEST 2014; 1 46 ( 4)
:1038- 1045.
9. Morice,DR, Williams,DM, Christie, R, Mowbray N, Brown,
TH, Al Sarirah, B., Empirical antibiotic treatment in
infectious necrotizing pabcreatitis : A retrospective analysis,
Pancreatology, 15 (2015) S1-S141.
10. SMF Patologi Klinik dan Kedokteran Instalasi Laboratorium
Klinik, Sub Lab. Mikrobiologi Parasitologi Imunologi RSUP DR
Sardjito, Pola Kuman dan Kepekaan antibiotika di Ruang ICU
RSUP DR. Sardjito, TH 2014.
32