Вы находитесь на странице: 1из 160

PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE BERBASIS

MINAWANA (STUDI KASUS: KAWASAN MANGROVE RPH


TEGAL-TANGKIL KPH PURWAKARTA, BLANAKAN,
SUBANG, JAWA BARAT)

AHMAD MUHTADI RANGKUTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul Pengelolaan
Ekosistem Mangrove Berbasis Minawana (Studi Kasus: Kawasan Mangrove RPH
Tegal-Tangkil KPH Purwakarta, Blanakan, Subang, Jawa Barat) adalah hasil karya
saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2013

Ahmad Muhtadi Rangkuti


NIM C252100031
ABSTRACT

AHMAD MUHTADI RANGKUTI. Mangrove Ecosystem Management Based on


Silvofishery (The Case of RPH-Tegal Tangkil, KPH Purwakarta, Blanakan Subang,
West Java). Under direction of KADARWAN SOEWARDI and TARYONO.

Mangrove ecosystem management based on silvofishery has been already known and
practiced widely, both in Indonesia and abroad. However, today it’s difficult to find
silvofishery application that comply the right principles, even on biotechnical,
ecologies, and institutions aspect. The aims of this research were: 1) to know ecology
status, biotechnical, and economics of silvofishery system at RPH Tegal-Tangkil; 2)
to formulate silvofishery management at RPH Tengal-Tangkil, Blanakan, Subang.
The data were collected related to ecology, economic, and social-institution aspect.
Results of this research were: 1) mangrove ecosystem has given significant
contribution on shrimp catches; 2) water quality condition still suitable for fish
aquaculture activities, even though there was indication of heavy metal content, so
that need to improve tendon system for better water quality; 3) as biotechnical, many
of the farmers still use traditional aquaculture and not implement good standards and
aquaculture principles. 4) as economics, silvofishery system still can be developed to
increase peoples income. Good silvofishery application can increase peoples income
up to 509. 60%; 5) institute management of silvofishery was still deficient. It’s
showed from fact condition in the field. Improvement the silvofishery management
must be focus on organization system and rules of the game.

Key words: biotechnical, institutional, silvofishery, RPH Tegal-tangkil


RINGKASAN

AHMAD MUHTADI RANGKUTI. Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis


Minawana (Studi Kasus: Kawasan Mangrove RPH Tegal-Tangkil KPH Purwakarta,
Blanakan Subang Jawa Barat). Dibimbing oleh KADARWAN SOEWARDI dan
TARYONO.

Pengelolaan ekosistem mangrove berbasis minawana ini sudah banyak


dikenal dan dipraktekkan baik di dalam maupun di luar negeri. Namun, penerapan
pola minawana yang memenuhi prinsip-prinsip yang benar, baik dari segi bioteknis,
ekologi maupun kelembagaan belum terwujud. Minawana pertama kali
diperkenalkan di Burma dan di Indonesia. Minawana yang diterapkan di Indonesia
diperkenalkan oleh Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Penerapan
minawana ini dengan maksud, masyarakat diberikan kesempatan untuk
memanfaatkan ekosistem mangrove. Pemanfaatan ini ditujukan untuk usaha
perikanan tanpa merusak ekosistem mangrove. Sehingga, diharapkan kesejahteraan
masyarakat meningkat. Pada saat yang sama ekosistem mangrove tetap lestari.
Namun dalam penerapannya di lapangan, pola minawana yang telah diterapkan oleh
Departemen Kehutanan RI maupun yang dipraktekkan oleh masyarakat belum dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bahkan, ekosistem mangrove cenderung
rusak (contoh; di pesisir Blanakan). Penelitian ini mengambil kasus di Perairan
Pesisir Blanakan, dimana sudah ada percontohan tambak pola minawana yang dibuat
oleh Perhutani. Namun ternyata tidak diacu oleh masyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui kondisi ekologis, bioteknis, dan
ekonomis sistem minawana RPH Tegal-Tangkil dan 2) Merumuskan pola
pengelolaan kawasan minawana di RPH Tegal-Tangkil. Penelitian ini diharapkan
dapat menjadi model pengelolaan kawasan pesisir berbasis minawana yang dapat
diterapkan di tempat lain. Lokasi penelitian difokuskan pada kawasan minawana di
Desa Jayamukti, Blanakan dan Langensari, Kecamatan Blanakan, Kabupaten
Subang, Provinsi Jawa Barat. Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan
penelitian ini adalah 8 bulan (Agustus 2011 – Maret 2012).
Analisa yang dilakukan terhadap penelitian ini, terdiri dari analisa ekologis,
bioteknik, ekonomis dan sosial kelembagaan. Analisa status ekologis dilakukan
dengan mempelajari kondisi ekosistem mangrove baik dari pengamatan langsung di
lapangan maupun penelusuran hasil penelitian sebelumnya yang terkait dengan
lokasi kajian. Analisa status ekologis dengan melihat hubungan antara penutupan
mangrove dengan keberadaan udang (hasil tangkapan udang harian) menggunakan
analisa ragam (anara) rancangan acak lengkap. Analisa kualitas air bagi budidaya
dilakukan secara deskriptif berdasarkan hasil pengamatan dan hasil penelitian
sebelumnya. Analisa bioteknik kawasan dilakukan dengan kajian penerapan
minawana berdasarkan kondisi existing tambak dengan menggunakan analisa
deskriptif. Analisa ekonomi dilakukan dengan menganalisa kelayakan usaha
minawana. Analisa sosial, dilakukan dengan mengidentifikasi kondisi dan persepsi
masyarakat petambak terhadap penerapan sistem minawana yang dinyatakan dalam
satuan persentase. Analisa kelembagaan dilakukan dengan mengidentifikasi kondisi
kelembagaan saat ini meliputi seluruh aktor yang terkait dalam pengelolaan
ekosistem mangrove. Analisa kelembagaan dalam penelitian ini dilakukan secara
deskriptif berdasarkan Ostrom (2011). Selanjutnya dilakukan analisa pengelolaan
mangrove berdasarkan Ruddle (1998). Pengelolaan tersebut nantinya diharapkan
dapat menjadi acuan dalam pengelolaan mangrove di lokasi tersebut dan di tempat
lain.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa penutupan mangrove
memberikan kontribusi yang nyata terhadap hasil tangkapan udang harian (Selang
kepercayaan 99%). Hasil pengukuran kualitas air insitu tahun 2012 didapatkan
bahwa kondisi perairan masih layak untuk kegiatan budidaya. Akan tetapi adanya
kandungan logam berat yang terdeteksi pada air, maka diperlukan sistem tandon
untuk mengurangi/memperkecil kandungan logam berat sebelum masuk ke tambak
(minawana). Sistem budidaya yang dilaksanakan penggarap minawana di RPH
Tegal-Tangkil saat ini tradisional. Pengisian air pada tambak tergantung pasang-
surut, sehingga ada kemungkinan air laut yang masuk pada saat pasang adalah
salinitas rendah. Hal ini dikarenakan air laut yang bersalinitas lebih tinggi berada
dibagian dasar perairan. Dengan demikian, terdapat perbedaan salinitas di kawasan
pertambakan antara bagian hilir (dekat dengan laut), tengah dan hulu. Pada bagian
hulu tingkat salinitas lebih rendah dibanding bagian tengah maupun bagian hilir.
Pada kondisi ini seharusnya komoditas yang dibudidayakan tidak sama antara bagian
hulu maupun hilir. Akan tetapi, komoditas yang dibudidayakan cenderung sama baik
pada salinitas tinggi maupun rendah.
Konsep minawana di Blanakan saat ini, belum benar dan tidak layak. Hal ini
dilihat dari kondisi pengelolaan tambak yang tidak sesuai prosedur standar. Untuk
itu, perlu perbaikan pengelolaan minawana baik ekologi, bioteknik dan kelembagaan.
Perbaikan minawana dimulai dari perbaikan desain minawana terkait proporsi
mangrove dan tambak. Berdasarkan studi pustaka, diperoleh bahwa perbandingan
empang parit 60% mangrove dan 40% cukup ideal untuk peningkatan produksi
perikanan baik budidaya maupun non budidaya. Langkah selanjutnya berikutnya
adalah perbaikan/penerapan tata cara budidaya perikanan yang baik (Good
Aquaculture Practices). Oleh karena itu, berdasarkan hasil perhitungan ekonomi
pengembangan minawana di RPH Tegal-Tangkil dapat meningkatkan pendapatan
penggarap maupun sekitarnya. Peningkatan pendapatan masyarakat mencapai
509.60% pada sistem polikultur antara udang dan bandeng serta meningkat hingga
449.72% pada sistem polikultur antara bandeng dan mujaer.
Perbaikan pengelolaan minawana setidaknya fokus terhadap kelembagaan
yakni sistem organisasi dan aturan main. Perbaikan dalam struktur organisasi
pengelolaan minawana menjadi langkah pertama dalam perbaikan pengelolaan. Oleh
karena itu, Perhutani tentunya perlu memberikan kewewenangan terhadap LMDH
sebagai organisasi resmi yang mengatur pengelolaan di lapangan. Langkah
selanjutnya adalah perbaikan pengelolaan minawana dengan perbaikan aturan main
dalam pengelolaan. Selanjutnya, mempertegas penegakan hukum dan penerapan
sanksi menjadi point penting dalam pengelolaan minawana. Oleh karena itu
pencabutan hak garap akan memberikan efek jera bagi pelaku pelanggaran.
Kata kunci: bioteknik, kelembagaan, RPH Tegal-tangkil, minawana.
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2013

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber
a. Pengutip hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penulisan kritik atau tinjauan masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE BERBASIS
MINAWANA (STUDI KASUS: KAWASAN MANGROVE RPH
TEGAL-TANGKIL KPH PURWAKARTA, BLANAKAN,
SUBANG, JAWA BARAT)

AHMAD MUHTADI RANGKUTI

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Isdradjat Setyobudiandi, M.Sc.
Judul Tesis : Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berbasis Minawana (Studi
Kasus: Kawasan Mangrove RPH Tegal-Tangkil KPH
Purwakarta, Blanakan Subang Jawa Barat).
Nama : Ahmad Muhtadi Rangkuti
NIM : C252100031
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Kadarwan Soewardi Taryono, S.Pi., M.Si.


Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

Tanggal Ujian:16 Januari 2013 Tanggal Lulus: 20 Maret 2013


KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT atas selesainya


penulisan tesis yang berjudul Pengelolaan Sumberdaya Ekosistem Mangrove
Berbasis Minawana (Studi Kasus: Kawasan Mangrove RPH Tegal-Tangkil KPH
Purwakarta, Blanakan Subang Jawa Barat).
Pengelolaan suatu kawasan akan efektif jika pemangku kepentigan
(pemerintah, perhutani dan masyarakat) merasakan pentingnya suatu organisasi
(kelembagaan) berjalan sesuai peraturan demi tujuan bersama. Penelitian ini
mengkaji aspek biofisik (ekologi) sebagai pondasi awal bagaimana kondisi suatu
ekosistem (sumberdaya) apakah masih baik atau masih layak digunakan atau
dikembangkan. Aspek lainnya yaitu aspek bioteknik yang dikembangkan dalam
pengembangan minawana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adapun
aspek ekonomi dikaji untuk mengetahui untung rugi suatu pemanfaatan sumberdaya
dalam konteks minawana. Aspek terakhir yang mendukung kelanjutan sumberdaya
adalah bagaimana sistem kelembagaan (tata aturan) yang berlaku di dalam
masyakarat. Pesan yang ingin disampaikan adalah pentingnya sinergisitas ekologi,
ekonomi dan sosial dalam pemanfaatan suatu sumberdaya agar lestari.
Penyusunan tulisan ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, untuk itu
penulis dengan setulus hati mengucapkan terima kasih kepada:
1) Prof. Dr. Ir. Kadarwan Soewardi, sebagai ketua komisi pembimbing atas
kepercayaan yang diberikan kepada penulis untuk memimpin tim penelitian ini
serta motivasi yang diberikan dan kesabarannya dalam membimbing penulis
2) Bapak Taryono Kodiran, S.Pi, M.Si, sebagai anggota komisi pembimbing atas
segala masukan, kritikan, saran dan motivasi demi penyempurnaan tesis ini baik
dari segi substansi maupun penulisan
3) Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA, sebagai Ketua Prodi SPL atas segala
masukan, kritikan dan saran demi penyempurnaan dari mulai proposal penelitian
hingga penulisan tesis ini
4) Dr. Ir. Isdradjat Setyobudiandi, M.Sc sebagai penguji luar komisi atas segala
pengetahuan, motivasi, masukan, dan saran-saran yang telah diberikan baik pada
saat perkuliahan maupun ujian pada ujian tesis
5) Keluarga besar Rangkuti (ayah/ibu, abang/kakak, adik-adikku dan bouk) di
Tanah Mandailing atas dukungan dan doanya
6) Saudara Armansyah Rangkuti di Malaysia atas bantuan finansialnya
7) KPH Purawakarta dan Kesbang Linmas kabupaten Subang atas izin penelitian di
Blanakan
8) Keluarga Yayan di Jayamukti atas tumpangan hidup dan bantuannya selama
penulis melakukan penelitian
9) Tim penelitian silvo (Agoy, Oci, Deo, Jhon, Tyson dan Yona serta Popy) atas
bantuan penelitian di lapangan dan laboratorium
10) Keluarga Harsono dan ibu di Bogor atas tumpangan hidup sealam penulis tinggal
di Bogor
11) Dr. Yonvitner, Ali Mashar, M.Si dan Mujio, M.Si serta teman-teman perjuangan
lantai 5 (mbak Dewi, mbak Desti, dan Helmi), atas segala masukan dan
dukungannya
12) Sahabat-sahabatku SPL angkatan 17 (2010) dan SDP 2010, terutama teman
terbaikku Anir dan Aay atas kerjasama dan persahabatannya yang tulus
13) Gadis kecilku Ennie Setyani Rahayu, yang selalu memberikan dukungan moril
dan spritual
Penulis menyadari adanya keterbatasan pemikiran, sehingga memungkinkan
terjadinya kesalahan dan kekeliruan dalam penyusunan tesis ini. Untuk itu kritik,
saran dan masukan adalah hal yang paling berarti untuk penyempurnaan penulisan
tesis ini. Akhirnya semoga tesis ini bermanfaat, terutama bagi penulis dan kampus
untuk pengembangan ilmu serta bagi pihak-pihak yang bersedia menerapkan hasil
penelitian ini, Amin

Bogor, Maret 2013

Ahmad Muhtadi Rangkuti


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanah Mandailing, pada tanggal 04 Juni 1985 dari ayah
H. Muhammad Yunus Rangkuti dan Ibu (alm) Sarianun Pulungan. Penulis
merupakan putra keempat dari enam bersaudara. Pada umur empat tahun ibunda
penulis meninggal dunia, sehingga selama 2 tahun penulis hanya diasuh oleh ayah
seorang diri. Pada umu 6 tahun ayah penulis kemudian menikah lagi dengan Hj.
Masdalima Pulungan. Sehingga, sejak umur 6 tahun sampai saat ini penulis
merasakan kembali kasih sayang seorang ibu. Walaupun ibu pengganti, akan tetapi
sudah seperti ibu kandung sendiri.
Menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1998 di SD Negeri
144454 Rumbio Kecamatan Panyabungan Kabupaten Tapanuli Selatan, SLTP Negeri
5 Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal pada tahun 2001, SMA Negeri 1
Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal pada tahun 2004. Pada Tahun 2009,
penulis berhasil menyelesaikan pendidikan strata satu (S-1) pada Program Studi
Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut
Pertanian Bogor.
Pada tahun 2008, penulis pernah bekerja sebagai dosen asisten pada Program
Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya, Program Diploma IPB.
Kemudian pada tahun 2009, penulis bekerja pada perusahaan PT. Karsa Buana
Lestari sebagai Asisten Tenaga Ahli penyusunan Analisis Mengenai Dampak
lingkungan (AMDAL) di DKI Jakarta. Sejak tahun 2010 sampai sekarang penulis
bekerja sebagai tenaga lepas pada berbagai konsultan di Bogor maupun di Jakarta.
Pada tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan strata dua (S-2) pada Program
Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Selama menempuh pendidikan strata dua (S-2) ini penulis
mendapatkan bantuan dana dari saudara Armansyah Rangkuti (saudara penulis yang
bekerja di Malaysia).
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xvii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xix
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xxi
1. PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2. Kerangka Pikir dan Perumusan Masalah ............................................... 2
1.3. Tujuan dan Manfaat ............................................................................... 5

2. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 7
2.1. Ekosistem Mangrove.............................................................................. 7
2.1.1. Habitat Mangrove....................................................................... 7
2.1.2. Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove................................. 8
2.1.2.1. Mangrove dan Produktivitas Serasah .......................... 8
2.1.2.2. Asosiasi Mangrove dengan Biota Terestrial ............... 8
2.1.2.3. Mangrove dan Produktivitas Perikanan ...................... 9
2.2. Kualitas Perairan .................................................................................... 9
2.3. Minawana............................................................................................... 9
2.4. Sosial-Ekonomi Masyarakat .................................................................. 13
2.4.1. Karakteristik Masyarakat Pesisir................................................ 13
2.4.2. Aspek Ekonomi dan Analisa Kelayakan Minawana .................. 13
2.5. Kelembagaan dan Pola Pengelolaan Pesisir ......................................... 14

3. METODOLOGI ......................................................................................... 17
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................. 17
3.2. Rancangan Penelitian............................................................................. 17
3.3. Pengumpulan Data ................................................................................. 18
3.3.1. Alat dan Bahan ........................................................................... 18
3.3.2. Metode pengumpulan Data ........................................................ 18
3.4. Analisa Data........................................................................................... 20
3.4.1. Analisa Status Ekologis dan Kualitas Air Bagi Budidaya ........ 20
3.4.1.1. Analisa status ekologis................................................ 20
3.4.1.2. Analisa kualitas air ..................................................... 21
3.4.2. Analisa Bioteknik Pengelolaan Budidaya Ikan dan Udang ....... 21
3.4.3. Analisa Usaha dan Kelayakan Usaha......................................... 21
3.4.3.1. Analisa Pendapatan Usaha .......................................... 22
3.4.3.2. Analisa Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C) ....... 23
3.4.3.3. Break Event Point (BEP) ........................................... 23
3.4.3.4. Analisa Kriteria Investasi............................................ 24
3.4.4. Analisa Kelembagaan Pengelolaan Minawana .......................... 25

4. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN......................................... 27


4.1. Letak Geografis...................................................................................... 27

xiii
xiv

4.2. Ekosistem Mangrove .............................................................................. 28


4.2.1. Vegetasi Mangrove ..................................................................... 28
4.2.1. Pembagian Blok.......................................................................... 29
4.2.3. Tambak Milik ............................................................................. 29
4.2.4. Tambak Tumpangsari/Minawana ............................................... 30
4.3. Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat............................................... 33
4.3.1. Kependudukan ............................................................................ 33
4.3.2. Pendidikan Penduduk ................................................................. 33
4.3.3. Mata pencaharian Penduduk....................................................... 34

5. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................... 37


5.1. Analisa Ekologis Ekosistem Minawana ................................................. 37
5.1.1. Fauna Perairan ............................................................................ 37
5.1.2. Hubungan Luas Tutupan Mangrove Terhadap Produksi
Perikanan.................................................................................... 38
5.1.2.1. Mangrove dan Keberadaan Udang Harian .................. 38
5.1.2.2. Mangrove dan Produksi Udang Windu ....................... 38
5.1.2.3. Mangrove dan Produksi Ikan Bandeng ....................... 39
5.1.2.4. Mangrove dan Keberadaan Kepiting Dan Wideng ..... 39
5.1.2.5. Mangrove dan Keberdaan Belut .................................. 40
5.1.3. Kualitas perairan ......................................................................... 41
5.2. Analisa Bioteknik Sistem Minawana ..................................................... 41
5.2.1. Kondisi Eksisting ....................................................................... 41
5.2.2. Pemulihan Kawasan Minawana.................................................. 44
5.2.2.1. Perbaikan Pola Minawana ........................................... 44
5.2.2.2. Perbaikan Jalur Hijau................................................... 45
5.2.2.3. Pembuatan Bak Penampung Air (Tandon).................. 47
5.2.2.4. Perbaikan Akses Jalan ................................................. 48
5.2.2.5. Perbaikan Saluran ........................................................ 48
5.2.2.6. Pengembangan Sistem Budidaya ................................ 48
5.2.2.3. Pengembangan Pengelolaan Budidaya Perikanan ...... 49
5.3. Analisa Ekonomi Sistem Minawana....................................................... 51
5.3.1. Analisa Ekonomi Eksisting ........................................................ 51
5.3.1.1. Analisa Usaha .............................................................. 51
5.3.1.2. Analisa Kelayakan Usaha............................................ 52
5.3.2. Analisa Pengembangan Ekonomi Minawana ............................. 53
5.3.2.1. Analisa Usaha .............................................................. 53
5.3.2.1.1. Struktur biaya ............................................... 53
5.3.2.1.2. Penerimaan ................................................... 55
5.3.2.1.3. Keuntungan................................................... 54
5.3.2.2. Analisa kelayakan usaha.............................................. 57
5.3.2.2.1. Net Present Value ......................................... 57
5.3.2.2.2. Net benefit Cost Ratio (Net B/C) .................. 57
5.3.2.2.3. Internal Rate Of Return (IRR)...................... 58
5.3.3. Perbandingan Sistem Minawana Eksisting dan Setelah
Dikembangkan ........................................................................... 58
5.4. Analisa Kelembagaan Sistem Minawana ............................................... 59
5.4.1. Kondisi Kelembagaan Saat Ini .................................................. 59
5.4.1.1. Tata aturan pengelolaan kawasan minawana .............. 59
5.4.1.2. Arena Aksi Dalam Pengelolaan Kawasan Minawana. 60
5.4.1.3. Pola Interaksi Antar Aktor Dalam Pengelolaan
Minawana di RPH Tegal-Tangkil ............................... 63
5.4.1.4. Luaran/Dampak Dalam Terhadap Sumberdaya.......... 64
5.4.2. Persepsi Masyarakat Dalam Pengelolaan Minawana RPH
Tegal-tangkil ............................................................................ 64
5.5. Perbaikan Pengelolaan Minawana ......................................................... 67
5.5.1. Format Lembaga ........................................................................ 67
5.5.2. Mekanisme Pengambilan Keputusan ........................................ 71
5.5.3. Kewenangan LMDH .................................................................. 72
5.6. Perbaikan Pengelolaan Kawasan Minawana ......................................... 73
5.6.1. Kewenanngan Pengelolaan (authority)...................................... 74
5.6.2. Sistem Tata Aturan (rules) ........................................................ 77
5.6.3. Sistem Hak (right)...................................................................... 80
5.6.4. Sistem Monitoring dan.Evaluasi ................................................ 82
5.6.5 Sistem Sanksi (sanctions) ........................................................... 84

6. SIMPULAN DAN SARAN........................................................................ 89


6.1. Simpulan ................................................................................................ 89
6.2. Saran ...................................................................................................... 90

7. DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 91

xv
DAFTAR TABEL

Halaman
1. Keuntungan dan kerugian pada masing-masing pola minawana ............... 12
2. Uraian bagian-bagian penelitian dan pengumpulan data ........................... 19
3. Anara dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) ...................................... 20
4. Luas wilayah studi di RPH Tegal-tangkil .................................................. 27
5. Kondisi saluran/kalen di lokasi penelitian ................................................. 31
6. Jumlah penduduk menurut jenis kelamin .................................................. 33
7. Klasifikasi umur penduduk Kecamatan Blanakan ..................................... 33
8. Klasifikasi tingkat pendidikan formal penduduk Kecamatan Blanakan.... 34
9. Fasilitas pendidikan Kecamatan Blanakan ................................................ 34
10. Mata pencaharian penduduk di lokasi penelitian....................................... 35
11. Jenis ikan dan udang yang ditemukan di ekosistem minawana ................. 37
12. Hasil tangkapan udang harian di lokasi penelitian..................................... 38
13. Jumlah hasil tangkapan kepiting dan wideng serta rata-rata pendapatan/
Orang.......................................................................................................... 40
14. Jumlah hasil tangkapan belut serta rata-rata pendapatan/orang................. 40
15. Sistem budidaya dan pengelolaan tambak di lokasi penelitian.................. 42
16. Hasil panen udang di lokasi penelitian ...................................................... 43
17. Hasil panen ikan bandeng di lokasi penelitian........................................... 43
18. Hasil ikan mujaer/nila di lokasi penelitian................................................. 43
19. Estimasi hasil produksi dan nilai produksi tambak minawana di
RPH Tegal-tangkil (polikultur ikan bandeng dan nila/mujaer) ................. 50
20. Estimasi hasil produksi dan nilai produksi tambak minawana di
RPH Tegal-tangkil (polikultur ikan bandeng dan udang).......................... 51
21. Analisa usaha tambak eksisting ................................................................. 52
22. Analisa kelayakan usaha tambak eksisting ................................................ 52
23. Keuntungan dari perbaikan sistem minawana ........................................... 57
24. Identitas pemangku kepentingan dan peranannya ..................................... 61
25. Persentase pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang mangrove,
empang, PHBM dan LMDH ...................................................................... 65
26. Persentase pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap fungsi dan
manfaat KUD, LMDH dan Kelompok Cinta Mangrove ........................... 66
27. Perolehan hak garapan empang di RPH Tegal-Tangkil............................. 76

xvii
xviii

28. Kondisi dan persepsi penggarap terhadap system aturan main di RPH
Tegal-Tangkil ............................................................................................. 78
29. Kondisi dan persepsi penggarap terhadap sistem hak di RPH Tegal-Tangkil 81
30. Kondisi dan persepsi penggarap terhadap pemantauan yang
dilakukan oleh mandor di lapangan............................................................ 84
31. Kondisi dan persepsi penggarap terhadap pelaksanaan sistem sanksi ....... 86
32. Permasalahan kelembagaan, kondisi ideal dan usaha yang diperlukan
untuk mengurangi kesenjangan ................................................................ 87
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Bagan alir kerangka pemikiran penelitian ................................................. 5
2. Tipe atau model tambak pada sistem minawana........................................ 12
3. Kerangka pikir kelembagaan ..................................................................... 16
4. Lokasi penelitian ........................................................................................ 17
5. Tahapan kegiatan pengelolaan tambak ...................................................... 22
6. Kondisi umum mangrove di minawana lokasi penelitian;(a) mangrove
dibiarkan, (b) mangrove di tebang untuk memperluas areal tambak......... 28
7. Kondisi umum mangrove di dekat laut (sempadan pantai) di lokasi
penelitian; (a) mangrove dibiarkan (ketebalan 10 – 20 m),
(b) sempaadan pantai jadi tambak.............................................................. 29
8. Salah satu contoh kondisi tambak murni di lokasi penelitian.................... 30
9. Kondisi minawana saat ini (a) sistem minawana di penangkaran buaya
(konsep lama) (b) penutupan sekitar 75%; (c) penutupan mangrove 50%;
(d) penutupan mangrove hanya 30% ......................................................... 31
10. Kondisi Kali Malang (kanan) dan kalen/saluran (kiri) .............................. 32
11. Tampilan petak minawana pola 60% mangrove dan 40% tambak ............ 45
12. Pola tanam banjar secara merata................................................................ 46
13. Tampilan pemulihan kawasan minawana di RPH Tegal-tangkil............... 46
14. Ilustrasi sistem tandon dalam mengairi tambak......................................... 47
15. Buku anggota penggarap empang di RPH Tegal-tangkil .......................... 60
16. Arena aksi dalam pengelolaan kawasan minawana RPH Tegal-tangkil.... 63
17. Kegiatan wawancara terhadap responden .................................................. 65
18. Struktur organisasi LMDH ....................................................................... 71
19. Organisasi pengelolaan kawasan minawana .............................................. 73

xix
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1. Peta titik pengambilan contoh................................................................... 95
2. Prosedur pengambilan contoh................................................................... 96
3. Pengukuran/perhitungan kualitas air ........................................................ 97
4. Kuisioner pengumpulan data .................................................................... 98
5. Gambaran umum kawasan minawana ...................................................... 104
6. Foto jenis flora dan fauna yang ditemukan di kawasan minawana .......... 105
7. Foto alat tangkap kepiting, wideng, belut, dll........................................... 107
8. Foto kegiatan di lapangan ......................................................................... 108
9. Hasil tangkapan udang harian................................................................... 109
10. Hasil uji Anara hubungan kerapatan mangrove dengan udang ................ 110
11. Hasil tangkapan kepiting dan wideng....................................................... 111
12. Hasil tangkapan belut................................................................................ 113
13. Kualitas air hasil pengukuran ................................................................... 114
14. Kondisi umum responden ........................................................................ 116
15. Tahapan budidaya ramah lingkungan ....................................................... 118
16. Analisa ragam R/C tambak eksisting........................................................ 123
17. Analisa kelayakan usaha tambak pengembangan minawana ................... 124

xxi
1

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Ekosistem mangrove merupakan wilayah yang berfungsi sebagai jembatan
antara daratan dan lautan. Ekosistem mangrove sangat penting sebagai tempat
untuk berlindung, mencari makan dan berkembang biak bagi berbagai berbagai
jenis ikan, udang dan moluska. Hal ini karena lingkungan mangrove menyediakan
perlindungan. Ekosistem mangrove juga merupakan pemasok bahan organik,
sehingga dapat menyediakan makanan untuk organisme yang hidup pada perairan
sekitarnya (Mann 2000). Dengan demikian, penurunan kualitas dan kuantitas
ekosistem mangrove dapat mengancam kelestarian mangrove sebagai habitat flora
dan fauna. Selanjutnya akan mengancam kehidupan fauna yang menggantungkan
kehidupannya pada ekosistem mangrove. Pemanfaatan mangrove yang tidak
memperhatikan kelestarian lingkungan akan mengakibatkan kemunduran terhadap
fungsi-fungsi dari ekosistem mangrove.
Kegiatan penebangan mangrove untuk diambil kayu bagi pembuatan arang
atau pembukaan untuk areal tambak dapat mengurangi atau bahkan akan merusak
fungsi ekosistem mangrove. Oleh karena itu, dalam rangka pemanfaatan
ekosistem mangrove diperlukan suatu pengelolaan ekosistem mangrove yang baik
dan benar. Salah satu pengelolaan wilayah pesisir di kawasan mangrove adalah
dengan konsep minawana. Pengelolaan sumberdaya mangrove berbasis minawana
ini sudah banyak dikenal dan dipraktekkan baik di dalam maupun di luar negeri.
Namun, penerapan pola minawana yang memenuhi prinsip-prinsip yang benar,
baik dari segi bioteknis, ekologi maupun kelembagaan belum terwujud.
Minawana pertama kali diperkenalkan di Burma dan di Indonesia.
Minawana yang diterapkan di Indonesia diperkenalkan oleh Departemen
Kehutanan Republik Indonesia. Minawana yang diperkenalkan di Indonesia, pada
awalnya dikenal dengan istilah tambak tumpangsari, tambak empang parit, atau
hutan tambak (Primavera 2000). Saat ini konsep minawana ini dikenal luas
dengan istilah silvofishery. Pada awalnya pengembangan minawana didasari oleh
adanya konversi ekosistem mangrove secara ilegal menjadi tambak sejak tahun
1970-an. Untuk mengurangi potensi konflik antara pembangunan tambak dan
2

konservasi mangrove, Departemen Kehutanan RI melalui Perum Perhutani


kemudian mengembangkan program Kehutanan Sosial (Social Forestry) pada
tahun 1976. Program tersebut kemudian dikenal dengan minawana. Pada program
ini, masyarakat diberikan kesempatan untuk memanfaatkan ekosistem mangrove.
Pemanfaatan ini ditujukan untuk usaha perikanan tanpa merusak ekosistem
mangrove. Sehingga, diharapkan kesejahteraan masyarakat meningkat. Pada saat
yang sama ekosistem mangrove tetap lestari.
Namun dalam penerapannya di lapangan, pola minawana yang telah
diterapkan oleh Departemen Kehutanan RI maupun yang dipraktekkan oleh
masyarakat belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bahkan,
ekosistem mangrove cenderung rusak, contohnya di pesisir Blanakan. Penelitian
ini dengan maksud untuk mencari sebab-sebab kegagalan penerapan minawana
baik dari segi ekologi, bioteknis budidaya perikanan, sosial ekonomi, dan
kelembagaan. Sehingga nantinya diperoleh rumusan pola pengelolaan minawana
yang tepat dan benar.
Penelitian ini mengambil studi kasus di Perairan Pesisir Blanakan. Pada
areal ini sudah terdapat percontohan tambak pola minawana yang di buat oleh
Perum Perhutani. Namun diduga tidak diaplikasikan oleh masyarakat dengan
benar. Hasil akhir dari penelitian ini adalah berupa rumusan pola pengelolaan
pesisir berbasis minawana yang berlaku umum dan dapat diterapkan di tempat
lain

1.2. Kerangka Pikir dan Perumusan Masalah


Wilayah pesisir Kabupaten Subang memiliki potensi ekosistem mangrove.
Wilayah ini merupakan hutan negara yang pengelolaannya dalam otoritas Perum
Perhutani, Kesatuan Pemangkuan Hutan Purwakarta (KPH Purwakarta). Luas
hutan mangrove di wilayah KPH Purwakarta mencapai 14,535.08 ha. Agar hutan
tersebut lestari dan mampu meningkatkan kesejahtraan masyarakat, maka
kemudian dikembangkan pola pemanfaatan minawana. Pola pemanfaatan ini
diperoleh dari KPH Purwakarta, sebagai pemegang otoritas wilayah.
Pada awalnya model minawana tersebut dikenal dengan empang parit
tradisional dengan komposisi 80 % mangrove dan 20 % tambak. Sejak krisis
moneter melanda Indonesia pada tahun 1997, mangrove tersebut ditebang oleh
3

masyarakat sekitar, sehingga luasan tambak lebih besar proporsinya dibanding


luasan mangrovenya. Penebangan mangrove di tambak (modifikasi empang)
bertujuan untuk memperluas areal budidaya dan diharapkan produksi ikan
meningkat. Akan tetapi yang terjadi adalah semakin rusaknya ekosistem
mangrove. Selain itu, produksi perikanan pun menurun, baik hasil budidaya
maupun non budidaya (hasil tangkapan udang harian).
Berdasarkan uraian diatas, untuk mengembalikan fungsi dan tujuan awal
dikembangkannya pola minawana, maka perlu perbaikan sistem minawana.
Perbaikan ini harus dilakukan secara menyeluruh baik dari aspek ekologi,
bioteknik maupun aspek kelayakan ekonomi. Dengan demikian, akan didapatkan
pola minawana yang dapat meningkatkan kesejahtraan masyarakat dan ekosistem
mangrove tetap lestari. Perbaikan sistem ini nantinya diharapkan dapat menjadi
pola pengelolaan minawana yang berkelanjutan. Untuk itu, perbaikan sistem
kelembagaan mutlak dilakukan, agar pola minawana berjalan sesuai dengan
aturan yang ditetapkan.
Berdasarkan uraian diatas, diperlukan penelitian pengelolaan ekosistem
mangrove berbasis minawana. Penelitian ini nantinya diharapkan mampu
mengidentifikasi faktor-faktor kegagalan penerapan minawana baik dari segi
ekologi, bioteknis budidaya perikanan, sosial ekonomi, dan kelembagaan.
Pemecahan permasalahan akan diuraikan sebagai berikut: Pertama, untuk
mengetahui penurunan produksi perikanan dari kegiata non budidaya, maka aspek
yang dilihat adalah hubungan antara mangrove (kerapatan/penutupan mangrove)
dengan hasil tangkapan udang harian. Penelitian ini akan membandingkan hasil
tangkapan udang harian pada berbagai rasio minawana yang berbeda. Selain itu,
melakukan pengamatan terhadap hasil tangkapan kepiting, wideng dan belut di
kawasan minawana untuk mendukung kontribusi mangrove terhadap produksi
minawana dari non budidaya.
Kedua, untuk melihat produksi perikanan dari budidaya ada 2 hal yang
dilakukan yaitu: 1) mengukur sebaran salinitas di kawasan pertambakan
minawana; 2) mengukur kualitas air di tambak. Pengukuran sebaran salinitas
dengan maksud untuk melihat apakah komoditas yang dibudidayakan sudah tepat
atau belum. Pengukuran kualitas air tambak meliputi kualitas air in situ dan logam
4

berat. Pengukuran kualitas air ini dengan maksud mengetahui apakah kondisi
perairan masih layak atau tidak untuk kegiatan budidaya. Selain itu, untuk
mendapatkan hasil produksi yang optimal baik hasil budidaya maupun non
budidaya, perlu dilakukan kajian terhadap proporsi mangrove dan tambak serta
prosedur standar budidaya yang layak dan berlaku umum. Kajian terhadap
proporsi mangrove dan tambak ini akan dilakukan studi literatur terhadap hasil
penelitian yang relevan. Untuk prosedur standar budidaya akan dilakukan dengan
prosedur standar yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui instansi yang terkait.
Ketiga, untuk melihat atau mengukur fungsi dan manfaat mangrove
terhadap produksi perikanan, dilakukan perhitungan aspek biaya (cost) dan
penerimaan (revenue) dari kegiatan minawana. Perhitungan biaya dan penerimaan
ini mencakup hasil budidaya maupun hasil tangkapan udang harian. Sehingga
dapat dibandingkan bagaimana kontribusi nilai ekonomi mangrove secara
langsung. Selain itu, dilakukan perhitungan kelayakan ekonomi tangkap kondisi
eksisting dan kondisi mendatang dengan berbagai perbaikan teknis.
Keempat, untuk melihat alasan atau latar belakang mengapa masyarakat
berani melakukan penebangan maupun modifiksasi minawana untuk memperluas
areal budidaya, maka dilakukan analisis terhadap aturan main yang berlaku.
Sistem aturan main ini dengan menganalisis terhadap kondisi eksisting dan
kondisi ideal yang seharusnya dijalankan.
Setelah, menganalisis permasalahan ekologi, bioteknik, sosial ekonomi
dan kelembagaan serta solusinya, langkah selanjutnya dengan memperbaiki
pengelolaan minawana secara sistemik yang menitik beratkan pada disain
pengelolaan minawana. Dengan demikian diperlukan desain kelembagaan yang
adaptif didasarkan pada karakteristik sumberdaya, lingkungan maupun
pengelolaannya. Perbaikan dalam struktur organisasi pengelolaan minawana
menjadi langkah pertama dalam perbaikan pengelolaan. Langkah selanjutnya
dalam perbaikan pengelolaan minawana adalah perbaikan dalam aturan main
pengelolaan (Taryono 2009). Kerangka pemikiran kajian Pengelolaan Ekosistem
Mangrove Berbasis Minawana (studi kasus ekosistem mangrove di RPH Tegal-
Tangkil, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat) disajikan pada Gambar 1.
5

Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian

1.3. Tujuan dan Manfaat


Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui kondisi ekologi, bioteknik, dan ekonomi sistem minawana RPH
Tegal-Tangkil
2. Merumuskan pola pengelolaan kawasan minawana di RPH Tegal-Tangkil.

Penelitian ini diharapkan menjadi contoh pengelolaan kawasan pesisir


berbasis minawana yang dapat diterapkan di tempat lain.
6
7

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekosistem Mangrove


Tomlinson (1986) dan Wightman (1989) in Giesen et al. (2006)
mendefinisikan mangrove baik sebagai tumbuhan yang terdapat di daerah pasang
surut. Mangrove juga didefinisikan sebagai formasi tumbuhan daerah litoral yang
khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindung (Saenger et al. 1983 in
Giesen et al. 2006). Menurut Nybakken (1992) mangrove atau mangal adalah
sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu jenis komunitas
pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau
semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dan berkembang pada
perairan asin. Secara ringkas mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe
tanaman yang tumbuh dan berkembang di daerah pasang surut (terutama di pantai
yang terlindung, laguna, dan muara sungai). Ekosistem mangrove merupakan
suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi
dengan faktor lingkungan di dalam suatu habitat mangrove (Nybakken 1992).
Sejauh ini di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove,
meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44
jenis epifit, dan 1 jenis paku. Sebanyak 43 jenis, dari 202 jenis tersebut
(diantaranya 33 jenis pohon dan beberapa jenis perdu) ditemukan sebagai
mangrove sejati (true mangrove). Sementara jenis lain ditemukan di sekitar
mangrove dan dikenal sebagai jenis mangrove ikutan (associate mangrove)
(Giesen et al. 2006).

2.1.1. Habitat Mangrove


Sebagian besar jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah
berlumpur (Chapman 1977 in Giesen et al. 2006; Nybakken 1992). Hogarth
(2007) menyebutkan bahwa mangrove tumbuh pada daerah pantai berlumpur,
yang dapat beradaptasi terhadap pasang surut, perubahan salinitas, oksigen
rendah, dan suhu yang tinggi (daerah tropis). Ekosistem mangrove umumnya
berkembang di daerah intertidal (daerah pasang surut) sehingga daerahnya
tergenang air laut secara berkala (setiap hari maupun saat pasang purnama),
menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat, terlindung dari gelombang
8

besar dan arus pasang surut yang kuat. Mangrove banyak ditemukan di pantai-
pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung.

2.1.2. Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove


Secara fisik, vegetasi mangrove berperan dalam melindungi pantai tetap
stabil. Selain itu mangrove juga berperan sebagai perangkap zat-zat pencemar dan
limbah (Naamin 1991). Mangrove mampu mengikat sedimen yang terlarut dari
sungai dan memperkecil erosi atau abrasi pantai. Mangrove juga mampu dalam
menekan laju intrusi air laut ke arah daratan (Sukresno dan Anwar 1999 in Anwar
dan Gunawan 2006). Kajian lain yang berkaitan dengan polutan dilaporkan oleh
Anwar dan Gunawan (2006) yang menemukan bahwa tambak tanpa mangrove
mengandung bahan pencemar berbahaya merkuri (Hg) 16 kali lebih tinggi dari
perairan ekosistem mangrove alami dan 14 kali lebih tinggi dari tambak yang
masih bermangrove (minawana).

2.1.2.1. Mangrove dan Produktivitas Serasah


Peranan mangrove dalam menunjang kegiatan perikanan pantai dapat
disimpulkan dalam dua hal. Pertama, mangrove berperan penting dalam siklus
hidup berbagai jenis ikan, udang dan moluska (Giessen et al. 2006). Hal ini
karena lingkungan mangrove menyediakan tempat perlindungan. Kedua,
mangrove merupakan pemasok bahan organik, sehingga dapat menyediakan
makanan untuk organisme yang hidup pada perairan sekitarnya.

2.1.2.2. Asosiasi Mangrove dengan Biota Teresterial


Hubungan ekosistem mangrove dengan biota teresterial juga sangat
penting termasuk burung (lokal maupun burung migran), mamalia, reptil, amphibi
maupun hewan lainnya. Keberadaan mangrove menjadi sangat penting terhadap
biota teresterial karena umumnya sebagai tempat mencari makan maupun
persinggahan (burung migrasi) ataupun mangrove adalah tempat hidupnya.
Adapun berbagai jenis satwa liar yang dapat dijumpai pada mangrove Blanakan di
RPH Tegal-Tangkil sebelum meluasnya petak lokasi tambak meliputi berbagai
burung, mamalia, dan reptil (Perhutani 1995).
9

2.1.2.3. Mangrove dan Produktivitas Perikanan


Banyak jenis ikan yang bernilai ekonomi tinggi menghabiskan sebagian
siklus hidupnya pada habitat mangrove (Burhanuddin 1993 in Giessen et al.
2006). Kakap (Lates calcacifer) dan kepiting mangrove (Scylla serrata)
merupakan jenis ikan dan krustase yang secara langsung bergantung kepada
habitat mangrove (Griffin 1985 in Giessen et al. 2006). Menurut Djamali (1991)
beberapa jenis udang penaeid di Indonesia sangat tergantung pada ekosistem
mangrove. Lebih lanjut Djamali (1991) mengemukakan adanya hubungan linier
positif antara luas ekosistem mangrove dengan produksi udang, dimana makin
luas ekosistem mangrove makin tinggi produksi udangnya dan demikian
sebaliknya.

2.2. Kualitas Perairan


Parameter kualitas air laut merupakan faktor penting bagi kelangsungan
hidup organisme. Adanya perubahan kualitas air di laut dapat menyebabkan
perubahan komposisi komunitas (komposisi dan kelimpahan) organisme di
perairan. Perairan yang ideal adalah perairan yang dapat mendukung kehidupan
organisme dengan optimal. Kualitas lingkungan perairan adalah suatu kelayakan
lingkungan perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme air
yang nilainya dinyatakan dalam suatu kisaran tertentu. Penentuan kualitas air
dapat ditentukan dengan melihat faktor fisik, kimia, biologi maupun kandungan
logam beratnya (Effendi 2003).

2.3. Minawana
Kegiatan minawana berupa empang parit pada kawasan ekosistem
mangrove, terutama di areal Perum Perhutani telah dimulai sejak tahun 1976.
Pada tahun 1977 di kawasan mangrove di Cilacap, minawana sudah mulai
dikembangkan sebagai upaya reboisasi dan memberikan lapangan kerja bagi
masyarakat. Sementara itu sejak tahun 1986 BPKH Ciasem Pamanukan telah
menerapkan strategi Perhutanan Sosial (PS) yang pelaksanaannya dilakukan
dengan melibatkan masyarakat secara aktif sebagai penggarap tambak dan udang
serta wajib memelihara ekosistem mangrove. Pola ini kemudian disempurnakan
pada tahun 1988 dengan program minawana (Perhutani 1984).
10

Definisi istilah minawana atau silvofishery atau tambak sistem tumpang sari
bermacam-macam, akan tetapi menunjukkan pengertian yang sama. Sukardjo
(1989) mendefinisikan tambak tumpang sari sebagai pendekatan dengan menjaga
keberadaan mangrove untuk mendukung produksi perikanan yang dibuat berupa
kolam di sekitar mangrove tersebut. Nugroho et al. (1990) mengemukakan
minawana dalam gagasan Coupled Ecosystem Silvosishery (CES) yang mengacu
pada gagasan Coupled Ecosystem Agroforestry (CEA) adalah penggunaan lahan
dimana kedua ekosistem hutan dan pertanian (termasuk perikanan) baik dalam
skala mikro maupun makro saling berpasangan dan menguntungkan (mutually
complement). Pada kondisi tersebut ekosistem hutan dan pertanian dapat saling
mempertukarkan energi dan unsur hara untuk saling mendukung dan melindungi.
Lebih lanjut Salim (1986) in Nugroho et al. (1990) mengemukan penerapan CES
didasarkan pada prinsip pokok: (1) kesinambungan fungsi ekosistem mangrove,
(2) terpeliharanya jaringan kehidupan ekosistem mangrove, (3) terpeliharanya
kemungkinan keanekaragaman kehidupan, (4) diindahkannya kedudukan
mangrove sebagai “milik bersama”, dan (5) diindahkannya prinsip pengendalian
dampak negatif pembangunan.
Soewardi (1994) mendefinisikan minawana atau sering disebut sebagai
silvofishery adalah suatu bentuk kegiatan yang terintegrasi (terpadu) antara
budidaya perikanan dan konservasi mangrove. Konsep minawana ini
dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya perikanan berkelanjutan
dengan input yang rendah. Pendekatan antara konservasi dan pemanfaatan
kawasan mangrove ini memungkinkan untuk mempertahankan keberadaan
mangrove yang secara ekologi memiliki produktivitas relatif tinggi dengan
keuntungan ekonomi dari kegiatan budidaya perikanan. Berdasarkan Fitzgerald
(1997); Sofiawan (2000); Suryadiputra dan Telly (2006), minawana merupakan
sebuah kombinasi antara kolam/tambak budidaya ikan dengan ekosistem
mangrove secara berdampingan.
Sualia et al. (2010) mendefinisikan minawana sebagai suatu rangkaian
kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan/udang dengan kegiatan
penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian ekosistem
mangrove. Menurut Sualia et al. (2010) minawana merupakan konsep tambak
11

ramah lingkungan dan merupakan bagian dari penerapan jalur hijau (green belt).
Beberapa manfaat tambak ramah lingkungan (minawana) menurut Sualia et al.
(2010) diantaranya :
1) Biaya dan resiko produksi jauh lebih rendah dan dapat dikelola dalam skala
kecil.
2) Menghasilkan produksi sampingan dari hasil tangkapan alam seperti udang
alam, kepiting, dan ikan liar.
3) Lingkungan terpulihkan dan meningkatnya daya dukung (carrying capacity)
tambak.
4) Produk udang berkualitas baik dan bernilai jual tinggi.
5) Lebih tahan terhadap serangan penyakit, akibat kemampuan mangrove dalam
menyerap limbah dan menghasilkan zat antibakteri
6) Petambak dapat mengunakan daun mangrove terutama jenis Rhizophora sp,
sebagai pakan kambing
7) Mencegah erosi pantai dan intrusi air laut ke darat sehingga pemukiman dan
sumber air tawar dapat dipertahankan
8) Terciptanya sabuk hijau di pesisir (coastal green belt) serta ikut mendukung
program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global.
9) Mangrove akan mengurangi dampak bencana alam, seperti badai dan
gelombang air pasang
Adapun bentuk minawana menurut Perum Perhutani Unit III Jawa Barat &
Banten (2009) adalah penanaman tumpangsari dengan sistem banjar harian tetapi
dikombinasikan dengan kegiatan pertambakan. Penanaman selain pada jalur
tanam juga dapat dilakukan di pelataran tambak dengan jarak tanam yang
disesuaikan dengan kondisi lapangan. Pada umumnya jarak tanam yang
digunakan adalah 5 x 5 m dengan jumlah bibit per hektar 320 batang. Menurut
Sofiawan (2000) in Puspita et al. (2005), bentuk tambak minawana memiliki 5
macam pola, yaitu empang parit tradisonal, komplangan, empang parit terbuka,
kao-kao, serta tipe tasik rejo (Gambar 2). Keuntungan dan kerugian dari pola
minawana disajikan pada Tabel 1.
12

Gambar 2. Tipe atau model tambak pada sistem minawana.


Keterangan: A. Saluran air, B. Tanggul/pematang tambak, C. Pintu air, D. Empang, X.
Pelataran tambak. (Sumber: Sofiawan 2000 in Puspita et al. 2005)

Tabel 1 Keuntungan dan kerugian pada masing-masing pola minawana


Model/pola Keuntungan Kerugian
Empang parit - Tanaman terintegrasi - Tempat pemeliharaan ikan kurang
- Parit pemeliharaan ikan memperoleh terintegrasi
cukup sinar matahari - Tanaman perlu dijarangi
- Penyempurnaan parit dapat dilakukan
setiap saat
Komplangan - pelaksanaan panen lebih mudah - Tanaman bakau perlu dijarangi setelah
dilakukan umur 3 tahun dan diremajakan setelah
- Parit pemeliharaan ikan memperoleh 5 tahun
sinar matahari yang cukup
- Penyempurnaan parit lebih mudah
dilakukan
Empang - Parit pemeliharaan ikan memperoleh - Penanaman yang dilakukan terlalu
terbuka sinar matahari yang cukup rapat dengan pematang
- Panen lebih mudah dilakukan - Pemangkasan cabang perlu dilakukan
agar tidak mengganggu operasional
parit
Kao-kao - Ruang pemeliharaan ikan cukup lebar - Pembersihan serasah tanaman harus
- Lapukan serasah tanaman dapat sering dilakukan
meningkatkan kesuburan tambak - Panen harus dilakukan dengan
- Intensitas matahari cukup tinggi menggiring ikan pada satu sudut
tambak
Tasikrejo -Pelataran tambak dapat dimanfaatkan - Tempat pemeliharaan ikan sempit
sebagai tempat untuk budidaya - Pelaksanaan panen harus dilakukan
tanaman semusim/perkebunan dengan pengeringan parit pemelihara
Sumber: Yuliarsana (2000) in Puspita (2005)
13

2.4. Sosial-Ekonomi Masyarakat


2.4.1. Karakteristik Masyarakat Pesisir
Menurut Nikijuluw (2001) masyarakat pesisir didefinisikan sebagai
kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan
perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut
dan pesisir. Definisi ini bisa juga dikembangkan lebih jauh karena pada dasarnya
banyak orang yang hidupnya bergantung pada sumberdaya laut. Mereka terdiri
dari nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan dan organisme laut
lainnya, pedagang ikan, pengolah ikan, dan penyedia sarana produksi perikanan.
Dalam bidang non-perikanan, masyarakat pesisir bisa terdiri dari penjual jasa
pariwisata, penjual jasa transportasi, serta kelompok masyarakat lainnya yang
memanfaatkan sumberdaya non-hayati laut dan pesisir untuk menyokong
kehidupannya.

2.4.2. Aspek Ekonomi dan Analisis Kelayakan Minawana


Menurut Gittinger (2008), untuk mengetahui kelayakan suatu usaha pertu
dilakukan pengujian melalui analisis finansial. Analisis finansial dilakukan
dengan tujuan untuk mengetahui kelayakan suatu kegiatan usaha. Analisis
finansial dapat dilakukan melalui analisis usaha dan analisis kriteria investasi.
Analisis finansial yang dimaksud terdiri dari (Gittinger 2008):
1. Analisis pendapatan usaha bertujuan untuk mengetahui besarnya keuntungan
yang diperoleh dari suatu kegiatan usaha yang dilakukan (Soekartawi 1995).
2. Revenue Cost Ratio (RC) merupakan perbandingan nisbah antara pendapatan
dengan biaya yang dikeluarkan.
3. Payback period merupakan nilai yang menunjukkan tingkat kemampuan
seorang pengusaha untuk mengembalikan modal investasi yang ditanamnya.
4. Break Event Point (BEP) merupakan suatu nilai dimana hasil penjualan
produksi (penerimaan) sama dengan biaya produksi, sehingga pada saat itu
pengusaha mengalami titik impas.
5. Net Present Value (NPV) adalah selisih nilai sekarang investasi dengan nilai
sekarang penerimaan (operasional maupun terminal cash flow) dimasa yang
akan datang.
14

6. Net B/C Ratio (Net B/C) adalah merupakan perbandingan antara benefit bersih
dari tahun-tahun yang bersangkutan yang telah dinilai sekarang (pembilang
yang bersifat positif) dengan biaya bersih dalam tahun (penyebut yang bersifat
negatif) yang telah dinilai sekarang yaitu benefit bersih > benefit kotor.
7. Internal Rate of Return (IRR) merupakan tingkat bunga yang menggambarkan
bahwa antara keuntungan yang telah dinilai sekarang sama dengan nol.

2.5. Kelembagaan dan Pola Pengelolaan Pesisir


Pemanfaatan sumberdaya secara lestari dalam jangka panjang, tidak hanya
terkait dengan analisis teknik, tetapi memerlukan analisis sosial ekonomi.
Dukungan masyarakat dalam program menjadi prasyarat penting untuk menjamin
keberlanjutan program di masa mendatang. Keterlibatan masyarakat dalam
pengelolaan sumberdaya sangat penting, karena mereka juga mempunyai
pengetahuan ekologi lokal (LEK =local ecological knowlegde) yang berperan
dalam usaha pengelolaan sumberdaya alam (Joshi et al. 2004), termasuk
sumberdaya mangrove. Perhutanan Sosial yang dilakukan oleh Perum Perhutani
(sebagai contoh) merupakan program pembangunan, pemeliharaan, dan
pengamanan hutan dengan cara mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan
hutan. Program ini diharapkan untuk meningkatkan fungsi-fungsi hutan secara
optimal, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus perbaikan
lingkungan dan kelestariannya. Perhutanan Sosial merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari agroforestry termasuk minawana (Perhutani 1995).
Program pelibatan masyarakat dalam pengelolaan mangrove (kawasan
pesisir) dapat dilakukan dalam bentuk kelembagaan yang dibangun berbasis
masyarakat. Masyarakat yang terkait secara langsung dengan pembangunan dan
pengamanan ekosistem mangrove diajak untuk berpartisipasi aktif dalam
melestarikan ekosistem mangrove. Peran langsung masyarakat lokal dalam
pengelolaan perikanan diperkuat sesuai budaya setempat. Setiap daerah dapat
memiliki sistem pengelolaan yang berbeda-beda sesuai dengan budaya masing-
masing daerah. Ruddle (1998) menyebutkan agar suatu pengelolaan pesisir
berjalan dan berlangsung sesuai dengan yang dikehendaki setidaknya beberapa
komponen yang harus dimiliki dan dijalankan, yaitu: authority (kewenangan),
rules (norma/peraturan yang mengikat), right (hak), monitoring (pemantauan),
15

accountability (tanggung jawab/kewajiban), enforcement (penegakan


peraturan/hukum), dan sanctions (sanksi).
Kelembagaan merupakan satu konsepsi yang kompleks yang mengkaitkan
antar elemen-elemen secara komprehensif. Sebagai sebuah konsepsi,
kelembagaan menggambarkan adanya interaksi antar individu dalam mencapai
tujuan bersama serta usaha-usaha untuk menjamin bahwa harapan-harapan atau
kepentingan mereka tetap terpenuhi. Jadi ada usaha kolaboratif menggabungkan
beberapa kepentingan serta representasi dari nilai-nilai yang disepakati antar
anggotanya. Sehingga secara sederhana, kelembagaan dapat berupa organisasi
atau wadah (players of the game) dan aturan main (rules of the game) yang
mengatur kelangsungan organisasi maupun kerjasama antara anggotanya untuk
mencapai tujuan bersama (Taryono 2009).
Untuk itu kelembagaan merupakan representasi dari tiga hal penting dalam
masyarakat (Taryono 2009), yaitu (a) kelanjutan dari proses-proses sosial
masyarakat; (b) menggambarkan power sharing antara para pihak yang
berinteraksi; dan (c) merefleksikan adanya yang dirasakan oleh masyarakat atas
kelembagaan tersebut. Ada beberapa yang perlu diperhatikan dalam memahami
kelembagaan, yaitu (Djogo et al. 2003):
1. Memperhatikan prilaku, norma, etika dan nilai perorangan dan organisasi
2. Dapat dituangkan dalam peraturan
3. Memerlukan instrumen atau perangkat tertentu untuk melaksanakannya
4. Memerlukan wadah berupa pranata atau organisasi untuk menjalankannya.
5. Menjadi landasan yang fundamental untuk pembangunan.
6. Implementasi memerlukan tindakan kolektif yang memerlukan solidaritas.
Konsepsi kelembagaan dalam pengelolaan dan pemanfataan sumberdaya
pesisir di kawasan minawana RPH Tegal-Tangkil mempergunakan Framework
Institutional Analysis and Development (IAD). IAD ini dapat digunakan untuk
menganalisis performa dan struktur aransemen kelembagaan dalam pengelolaan
sumberdaya pesisir. Framework IAD dapat dilihat pada Gambar 3.
16

Gambar 3 Kerangka pikir kelembagaan


(Sumber: dimodifikasi dari Ostrom 2011)
17

3. METODOLOGI

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian


Lokasi penelitian difokuskan pada kawasan minawana di Desa Jayamukti,
Blanakan dan Langensari, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang, Provinsi
Jawa Barat. Kawasan penelitian ini merupakan wilayah pengelolaan dari Resort
Polisi Hutan (RPH) Tegal-Tangkil (petak 3-8), Kesatuan Pemangkuan Hutan
(KPH) Purwakarta, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten. Lokasi
pengambilan contoh dibagi dalam 3 wilayah. Wilayah pertama adalah daerah Kali
Malang 2 dengan jarak sekitar 3 – 3.5 km dari laut. Wilayah kedua adalah daerah
Kali Malang 2 dengan jarak sekitar 2 – 2.5 km dari laut. Wilayah ketiga adalah
Kali Malang 3 dengan jarak sekitar 0.5 – 1 km dari laut. Waktu yang dibutuhkan
untuk melaksanakan kegiatan penelitian ini adalah 8 bulan (Agustus 2011 – Maret
2012). Peta lokasi penelitian di sajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Peta lokasi penelitian (Sumber: Hasil olahan 2012)


18

3.2. Rancangan Penelitian


Untuk melihat adanya pengaruh dan hubungan kerapatan mangrove pada
sistem minawana dengan produksi perikanan dirancang sebuah penelitian berupa
rancangan percobaan satu faktor (rancangan acak lengkap). Adapun yang menjadi
perlakuan adalah kerapatan mangrove, yaitu: kerapatan tinggi (penutupan
mangrove >75%), kerapatan sedang (penutupan mangrove 40-60%), dan
kerapatan rendah (penutupan mangrove 10-30%). Adapun sebagai kontrol adalah
tambak murni yang tidak terdapat tanaman mangrove (penutupan mangrove 0%).
Ulangan dilakukan masing-masing 6 kali ulangan. Titik pengambilan contoh
dapat dilihat pada Lampiran 1.

3.3. Pengumpulan Data


3.3.1. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam tahap penelitian ini adalah peralatan
pengambilan contoh, alat ukur parameter fisik-kimia air, peralatan pengambilan
contoh vegetasi mangrove dan kuisioner untuk kebutuhan data sosial-ekonomi,
dan kelembagaan serta alat tulis. Bahan-bahan yang dibutuhkan adalah air contoh
dan vegetasi mangrove. Secara ringkas, data-data yang akan dikumpulkan dan
prosedur pengumpulan data pada kajian ini disajikan pada Lampiran 2 – 4.

3.3.2. Metode Pengumpulan Data


Penelitian ini dibagi atas 4 bagian. Pada bagian I, dilakukan kajian tentang
aspek biofisik (ekologi) kawasan minawana maupun perairan sekitarnya. Pada
bagian II, dilakukan pengkajian tentang aspek bioteknis budidaya di kawasan
empang-parit. Pada Bagian III dilakukan analisis usaha dan kelayakan usaha
tambak dengan sistem minawana (aspek ekonomi). Pada bagian IV akan
dilakukan kajian terhadap aspek sosial dan kelembagaan terkait pengelolaan
kawasan minawana. Uraian dari tiap bagian penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.
Data yang dikumpulkan dalam kajian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer dikumpulkan melalui identifikasi (pengamatan lapang)
dalam bentuk pengamatan, pengukuran dan pengambilan contoh serta wawancara
langsung dengan penduduk, tokoh masyarakat, pihak Perhutani, koperasi, dan
aparat pemerintah serta key person setempat di sekitar lokasi studi. Pengamatan
19

lapang dilakukan untuk mendapatkan data biofisik, meliputi kualitas air insitu,
vegetasi perairan pesisir, biota perairan serta data sosial ekonomi dan
kelembagaan.

Tabel 2 Uraian bagian-bagian penelitian dan pengumpulan data

Bagian Aspek Uraian Titik/Jumlah Titik


Kualitas air  Pengukuran parameter fisika kimia Tambak dengan
tambak/ lingkungan, yang meliputi; suhu, kriteria penutupan
kanal salinitas, pH air, kedalaman, kecerahan, mangrove yang
dan DO, serta logam berat. berbeda (62 titik)
Kualitas air  Pengukuran sebaran suhu dan salinitas Pada setiap
Saluran dan pada waktu pasang kalen/sungai (3 titik)
sungai
Kualitas air  Pengukuran parameter fisika kimia Pasang dan surut (3
laut Lingkungan, yang meliputi; suhu, titik)
I
salinitas, pH air, DO, serta logam berat.
(Ekologi)
Vegetasi  Pengukuran luasan mangrove terhadap Pada 62 tambak yang
tambak (rasio mangrove dan tambak) berbeda
serta jenis mangrove
Hubungan  Melakukan wawancara dengan Masyarakat pengumpul
udang dan penggarap tambak terkait dengan hasil di 3 desa kajian
mangrove hasil sampingan
 Melakukan wawancara dengan
masyarakat penangkap ikan dan biota
lainnya (non tambak)
Konstruksi  Mengkaji konstruksi tambak, tanggul, Pada 62 tambak yang
pintu air, dan ukuran tambak berbeda
Komoditas  Mengkaji komoditas yang Pada 62 tambak yang
II
dibudidayakan di lokasi studi berbeda
(Bioteknik)
Sistem  Mengkaji sistem budidaya yang Pada 62 tambak yang
budidaya dilaksanakan oleh masyarakat mulai dari berbeda
persiapan sampai panen
Produksi  Mengambil data produksi dari KUD Ada 3 KUD yang
perikanan minimal 5 tahun terakhir (data sekunder) masuk dalam wilayah
III
 Melakukan wawancara dengan kajian
(Ekonomi)
penggarap tambak terkait dengan hasil
produksi dari tambak
Analisis usaha  Melakukan wawancara dengan Pada 62 pemilik
dan kelayakan penggarap tambak terkait dengan tambak yang berbeda
usaha permodalan mulai dari tahap persiapan –
panen
Sosial  Pengambilan data (primer dan sekunder) Ada 3desa yang masuk
IV tentang karakteristik masyarakat dalam wilayah kajian
(Sosial – penggarap tambak dan sekitarnya,
kelembagaan) seperti: jumlah penduduk, rasio kelamin,
pendidikan, agama, sarana prasarana, dll.
Kelembagaan  Pengambilan data (primer dan sekunder) Ada 3desa yang masuk
tentang aspek kelembagaan baik formal dalam wilayah kajian
maupun informal.
 Interaksi: antar warga, penggarap
tambak – pihak Perhutani dan aparat
 Adat istiadat, tata aturan daerah, dll.
20

Data sekunder dikumpulkan melalui studi pustaka, berupa laporan-laporan


kajian yang berhubungan dengan kajian ini. Laporan tersebut berasal dari
BAPPEDA, BPS, Dinas Kehutanan, Dinas Perikanan dan Kelautan, Badan
Lingkungan Hidup, perguruan tinggi, Perhutani, dan Koperasi. Laporan tersebut
didapatkan langsung dari instansi ataupun melalui laman (internet).

3.4. Analisis Data


3.4.1. Analisis Status Ekologi dan Kualitas Air Bagi Budidaya
3.4.1.1. Analisis Status Ekologi
Analisis status ekologi dan kualitas air bagi budidaya dilakukan secara
deskriptif berdasarkan hasil pengamatan dan hasil penelitian sebelumnya. Analisis
status ekologi dengan melihat hubungan antara penutupan mangrove dengan
keberadaan udang (hasil tangkapan udang harian) dengan menggunakan Analisis
ragam (Anara) Rancangan Acak Lengkap (RAL). Analisis ini digunakan untuk
menguji perbedaan antar nilai tengah contoh dan antar gabungan nilai tengah.
Anara RAL di modelkan dengan (Mattjik dan Jaya 2006):
Yij=  + i+ ij
dimana:
Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j
 = Rataan umum;
i Pengaruh perlakuan ke-i
ij = galat percobaan
Hipotesis yang dapat diuji dari rancangan diatas yaitu:
H0: 1=2= = i= 0 (perlakuan tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati)
H1: Paling sedikit ada satu perlakuan dimana i ≠ 0
Untuk perhitungan Anara dibantu oleh perangkat lunak Microsoft Excel
2010 pada Anova single factor. Hasil analisis Anara seperti Tabel 3.

Tabel 3 Anara dengan rancangan acak lengkap (RAL)

Sumber keragaman db JK KT F-Hit


Perlakuan t-1 JKP KTP KTP/KTS
Galat t(r-1) JKS KTS
Total tr-1 JKT
Sumber: Mattjik dan Jaya (2006)
21

Jika hasilnya menunjukkan berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan Uji


Beda Nyata Terkecil (Mattjik dan Jaya 2006). Kriteria Uji BNT adalah:
തi*-‫ݕ‬
d = │‫ݕ‬ തj*│
dimana ‫ݕ‬
തi* adalah rataan perlakuan ke-i dan ‫ݕ‬
തj* merupakan rataan perlakuan ke-j
Hipotesis dari perbandingan Uji BNT adalah:
H0: µi=µj vs H1: µi≠µj
Kaidah keputusannya adalah jika:
ଶ௄்ௌ
d≤BNT = tdb sisa) √ , maka gagal tolak H0

ଶ௄்ௌ
d> BNT = tdb sisa) √ , tolak H0

3.4.1.2. Analisis Kualitas Air


Analisis kualitas air mempelajari kondisi kualitas air bagi peruntukan
pengembangan budidaya ikan/udang di kawasan mangrove yang dibandingkan
dengan baku mutu menurut SNI 7310-2009 (budidaya udang windu). Analisis
kualitas air ini mempelajari kondisi kualitas air di dalam tambak.

3.4.2. Analisis Bioteknik Pengelolaan Budidaya Ikan dan Udang


Analisis bioteknik dilakukan dengan menganalisis data bioteknik kawasan
pada kegiatan pengelolaan pertambakan yang ada saat ini. Pengelolaan
pertambakan ini mengacu pada panduan pengelolaan tambak ramah lingkungan
yang dikeluarkan oleh Wetlands International Indonesia Programme (Sualia et al.
2010) dan penerapan minawana di pantai timur surabaya . Selanjutnya membuat
rencana teknik penerapan minawana yang meliputi layout kawasan, menyusun
desain konstruksi, membuat/menerapkan prosedur budidaya yang tepat dan
sederhana yang dapat dengan mudah diterapkan oleh masyarakat. Standar tahapan
kegiatan budidaya yang diamati dapat dilihat pada Gambar 5.

3.4.3. Analisis Usaha dan Kelayakan Usaha


Menurut Gittinger (2008), analisis finansial dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui kelayakan suatu kegiatan usaha. Analisis finansial dilakukan melalui
analisis usaha dan analisis kriteria investasi.
22

Gambar 5 Tahapan kegiatan pengelolaan tambak


(Sumber: Sualia et al. 2010)

3.4.3.1. Analisis Pendapatan Usaha


Analisis pendapatan usaha bertujuan untuk mengetahui besarnya
keuntungan yang diperoleh dari suatu kegiatan usaha yang dilakukan (Soekartawi
1995). Secara matematis analisis pendapatan usaha minawana dapat dirumuskan
sebagai berikut:
  TR  TC
keterangan :
п = pendapatan (keuntungan) (Rp)
TR = total revenue (penerimaan total) (Rp)
TC = total cost (biaya pengeluaran total) (Rp) yang terdiri dari FC
dan VC
FC (fixed cost) = biaya tetap (Rp) dan
VC (variable cost) = biaya tidak tetap (Rp)
maka:
TR > TC, usaha minawana menguntungkan
TR = TC, usaha minawana pada titik impas
TR < TC, usaha minawana rugi
23

Biaya tetap merupakan biaya yang dikeluarkan dalam usahatani yang


nilainya tidak dipengaruhi oleh besarnya penerimaan, misalnya sewa lahan dan
penyusutan investasi. Sedangkan biaya tidak tetap merupakan biaya yang
dikeluarkan dalam usahatani yang nilainya tergantung pada penerimaan,
misalnya: sarana produksi dan tenaga kerja (Soekartawi 1995).

3.4.3.2. Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C)


Analisis revenue-cost ratio dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh
setiap nilai rupiah (biaya) yang digunakan dalam kegiatan usaha dapat
memberikan sejumlah nilai penerimaan sebagai manfaatnya (Soekartawi 1995).
Rumus yang digunakan adalah:
TR
R /C 
TC
maka:
RIC > 1, usaha minawana menguntungkan
RIC = 1, usaha minawana pada titik impas
RIC < 1, usaha minawana rugi
Secara teoritis jika nilai R/C = 1 maka usaha tersebut dikatakan tidak
untung dan tidak rugi. Tetapi karena dalam usahatani sering terjadi kesulitan
dalam menghitung tenaga kerja yang dilakukan oleh keluarga sendiri, maka dalam
menentukan tingkat kelayakan peneliti dapat menggunakan nilai R/C minimal 1.5
atau 2, untuk menyatakan bahwa usahatani tersebut layak dilakukan.

3.4.3.3. Break Event Point (BEP)


BEP merupakan suatu nilai dimana hasil penjualan produksi (penerimaan)
sama dengan biaya produksi, sehingga pada saat itu pengusaha mengalami titik
impas. Dalam usahatani tambak ini nilai BEP menunjukan pendapatan minimum
pertahun yang harus diperoleh oleh petani sehingga petani dapat mengembalikan
modal produksinya. Secara matematis nilai BEP dapat dihitung dengan rumus
(Soekartawi 1995): BEP 
FC
VC
1 
GI

Keterangan:
FC = fixed cost (biaya tetap)
VC = variable cost (biaya tidak tetap)
GI = gross income (pendapatan kotor sebelum dipotong pajak)
24

3.4.3.4. Analisis Kriteria Investasi


Prospek pengembangan usaha tambak dapat diketahui dengan melakukan
analisis kriteria investasi (Gittinger 2008). Analisis yang dilakukan meliputi Net
Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) dan Internal Rate of
Return (lRR).
1) Net Present Value (NPV)
Net present value merupakan selisih antara total present value dari benefit dan
present value dari biaya pada tingkat suku bunga tertentu (Gittinger 2008).
Rumus yang digunakan:
n
Bt  Ct
NPV  
t 1 (1  i ) t
Dimana :
NPV = Net present value (nilai bersih
Bt = benefit kotor dari suatu proyek pada tahun ke-t
Ct = biaya kotor dari suatu proyek pada tahun ke-t
i = tingkat suku bunga yang berlaku
n = tahun
t = waktu
2) Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)
Net benefit cost ratio merupakan perbandingan antara NPV total dari benefit
bersih terhadap total dari biaya bersih. Rumus yang digunakan (Gittinger 2008)
adalah:
n
Bt  Ct
 (1  i)t
NPV  t1
n
Ct  Bt
t1 (1  1)t

Kriteria :
Net B/C ratio > 1, pengusahaan minawana layak diusahakan
Net B/C ratio < 1, pengusahaan minawana tidak layak untuk diusahakan
3) Internal rate of return (IRR)
IRR adalah tingkat suku bunga yang menunjukkan jumlah nilai sekarang netto
(NPV) sama dengan jumlah seluruh ongkos investasi proyek atau NPV sama
dengan nol (Gittinger 2008). Rumus yang digunakan adalah :
NPV '
IRR  i '  ( i" i ' )
NPV '  NPV "
25

Keterangan :
i’ = Tingkat bunga yang rendah yang menyebabkan NPV masih positif
mendekati nol
i” = Tingkat bunga yang tinggi yang menyebabkan NPV negative mendekati nol
NPV’ = NPV positif mendekati nol
NPV” = NPV negatif mendekati nol

Kriteria :
IRR > i : maka pengusahaan minawana layak diusahakan
IRR < i : maka pengusahaan minawana tidak layak diusahakan
IRR = i : maka pengusahaan minawana mengembalikan modal persis sebesar tingkat
modal

3.4.4. Analisis Kelembagaan Pengelolaan Minawana


Kelembagaan dapat berupa organisasi atau wadah (players of the game) dan
aturan main (rules of the game) yang mengatur kelangsungan organisasi maupun
kerjasama antara anggotanya untuk mencapai tujuan bersama (Taryono 2009).
Oleh karena itu pengembangan kelembagaan pengelolaan minawana di RPH
tegal-Tangkil mencakup perbaikan organisasi pengelolaan dan aturan main
pengelolaan. Perbaikan organisasi pengelolaan dengan melihat kondisi organisasi
pengelolaan eksisting dan melihat kesenjangan dengan kondisi yang seharusnya.
Kemudian merumuskan organasisasi untuk mengoptimalkan koordinasi dan
komando antar pihak yang terlibat.
Untuk aturan main pengelolaan kawasan pesisir mengacu pada konsep
pengelolaan yang dikembangkan oleh Ruddle (1998). Seperti halnya organisasi
pengelolaan dengan melihat kondisi eksisting terhadap aturan main yang ada saat
ini yang disbanding dengan kondisi yang seharusnya dilakukan. Selanjutnya
merumuskan/memodifikasi aturan main peneglolaan sesuai dengan kebutuhan
saat ini dan dimasa yang akan datang. Pola pengelolaan dari Ruddle (1998)
mengacu pada struktur kelembagaan yang terdiri dari:
1) Kewenangan (authority) hal ini akan terkait dengan wilayah kekuasan dan
bagaimana sistem pinjam dari Perum Perhutani kepada penggarap tambak.
2) Tata aturan (rules) hal ini akan berkaitan dengan norma/peraturan yang
mengikat antara Perum Perhutani dan penggarap tambak, terkait apa dan
bagaimana perjanjian terhadap pemanfaatan sumberdaya (minawana).
3) Hak (right) hal ini berkaitan dengan hak-hak dari kedua belah pihak yang
berhubugan dengan perjanjian pemanfaatan sumberdaya
26

4) Pemantauan dan kontrol (monitoring) hal ini berkaitan dengan bagaimana


pemantauan dari pihak Perhutani terhadap pelaksanaan terhadap semua
aturan, norma, perjanjian maupun sanksi yang disepakati. Selain itu
keterlibatan masyarakat (lembaga lokal) terhadap moniring juga perlu di
analisis apakah perlu dilibatkan ataupun tidak.
5) Sanksi (sanctions) hal ini berkaitan dengan sanksi yang ditetapkan dan
bagaimana pelaksanaannya.
27

4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Letak Geografis

Lokasi penelitian, khususnya ekosistem mangrove masuk dalam wilayah


pengelolaan Resort Polisi Hutan (RPH) Tegal-Tangkil, BKPH Ciasem-
Pamanukan. Secara administrasi terletak di Kecamatan Blanakan. Luas wilayah
Kecamatan Blanakan adalah 7,839.37 ha (Profil Kecamatan Blanakan 2011).
Luas ekosistem mangrove di RPH Tegal-Tangkil secara keseluruhan adalah
2,858.74 ha sedangkan luas wilayah di 3 desa kajian adalah 1,513.59 ha (KPH
Purwakarta 2010). Lokasi penelitian ini difokuskan pada 3 desa yaitu Desa
Jayamukti, Blanakan, dan Langensari. Luas wilayah per kelurahan/desa disajikan
pada Tabel 4.

Tabel 4 Luas wilayah studi di RPH Tegal-Tangkil

Luas wilayah (ha)


Desa Petak**
Desa* Perhutani**
Jayamukti 1,547.90 735.25 2;3;4;5
Blanakan 980.46 576.34 6;7
Langensari 786.90 202.00 8
Jumlah 3,315.26 1,513.59
Sumber: *Anonimous (2011) **KPH Purwakarta (2010)

Pada umumnya topografi di lokasi penelitian adalah berupa dataran, pantai


dengan ketinggian 0 – 10 m dpl. Adapun batas wilayah penelitian ini adalah:
Utara : Laut Jawa
Selatan: Kec. Ciasem
Timur : Desa Muara Ciasem
Barat : Desa Rawameneng
Berdasarkan peta tinjau tanah Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten
(skala 1:200,000) di dalam laporan Kelas Perusahaan Mangrove (KPH Purwakarta
2010), jenis batuan dan tanah yang terdapat di lokasi penelitian adalah jenis tanah
alluvial hidromorf, alluvial dengan warna tanah kelabu, kelabu tua dan coklat.
Batuan tersebut berasal dari bahan endapan liat dan pasir dengan fisiografi
daratan.
28

4.2. Ekosistem Mangrove


4.2.1. Vegetasi Mangrove
Berdasarkan dokumen Kelas Perusahaan Mangrove (KPH Purwakarta
2010), luas kawasan ekosistem mangrove yang masuk dalam wilayah RPH Tegal-
Tangkil adalah 1,731.50 ha. Kawasan yang bervegetasi adalah 964.65 ha (55.71
%), sedangkan yang tidak bervegetasi adalah seluas 766.35 ha (44.29 %).
Vegetasi di lokasi penelitian empang-parit merupakan hutan tanaman dengan jenis
bakau-bakau (R. mucronata) dan api-api (A. officinalis). Jenis-jenis tersebut
ditanam dengan jarak 2 m x 2 m dan 5 m x 5 m, sehingga kerapatannya adalah
400 – 2,500 pohon/ha. Dalam perkembangannya telah terjadi penebangan atau
mati, sehingga kerapatannya sudah menurun. Bahkan ada kawasan yang sudah
tidak ada mangrove sama sekali (Gambar 6).

(a) (b)
Gambar 6 Kondisi umum mangrove di minawana lokasi penelitian; (a)
mangrove dibiarkan, (b) mangrove di tebang untuk memperluas
areal tambak (sumber: Dokumentasi pribadi 2012)

Dari 56 petak contoh yang diamati, pohon mangrove yang ditemukan


umumnya adalah jenis A. officinalis. Keliling rata-rata pohon A. officinalis
berkisar antara 13 - 60 cm dan R. mucronata berkisar antara 13 - 30 cm. Masing-
masing tinggi kedua jenis pohon berkisar antara 2 - 6 m. Di samping itu juga
terdapat tanaman baru hasil rehabilitasi di tambak-tambak yang sudah tidak
bermangrove. Untuk vegetasi mangrove di pinggir pantai pada umumnya
didominasi oleh jenis anakan dari mangrove jenis A. officinalis dengan keliling
berkisar antara 4 – 12 cm dengan tinggi 1 - 2 m dan kerapatan mencapai 5 ind/m2
(Gambar 7) .
29

(a) (b)
Gambar 7 Kondisi umum mangrove di dekat laut (sempadan pantai); (a)
mangrove dibiarkan (ketebalan 10 – 20 m), (b) sempadan pantai
jadi tambak (sumber: Dokumentasi pribadi 2012)

4.2.2. Pembagian Blok


Berdasarkan pembagian Blok KP Mangrove di RPH Tegal-Tangkil yang
masuk di dalam BKPH Pamanukan terbagi dalam 3 blok, yaitu 1) Blok
Perlindungan sebesar 17.31 % (2,752.40 ha), 2) Blok Pemanfaatan73.48 %
(11,681.93 ha), dan 3) Blok Lainnya sebesar 9.20 % (460.08 ha). Blok
perlindungan merupakan zona yang difokuskan utuk kegiatan perlindungan dan
konservasi. Blok perlindungan yang ideal memiliki lebar 200 m dari bibir pantai
dan 50 m dari tepi sungai. Akan tetapi saat ini mengalami penurunan akibat
konversi menjadi lahan tambak.
Pada Blok Pemanfaatan merupakan kawasan pemanfaatan empang parit
(minawana) dengan pola Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat dan
pemanfaatan jasa lingkungan berupa wisata. Pada Blok ini masyarakat diberikan
kesempatan untuk menggarap empang. Untuk zona pemanfaatan jasa lingkungan
terdapat Wanawisata dan Penangkaran Buaya Blanakan. Luas areal penangkaran
tersebut adalah 6 ha. Pada Blok lainnya diperuntukan tempat saluran pipa oleh PT
Pertamina.

4.2.3. Tambak Milik


Tambak milik saat ini pada umumnya adalah tambak murni. Luas tambak
milik di 3 desa kajian mencapai 591.25 ha. Batas antara tambak milik dengan
tambak Perum (minawana) adalah Kali Malang I. Kali tersebut membentang dari
timur (S. Ciasem) sampai barat (S. Cilamaya). Sementara itu, antara tambak milik
30

dengan pemukiman terdapat hamparan sawah milik masyarakat desa. Saat ini
pasaran harga tambak milik mencapai Rp 100 juta/ha, lebih tinggi dari pasaran
tambak perum (minawana) yang berkisar antara Rp 30 – 75 juta/ha. Akan tetapi
harga tambak ini masih lebih rendah dibanding harga sawah (padi) yang mencapai
Rp 250 juta/ha tergantung lokasi. Tambak milik tersebut pada umumnya
dikenakan pajak desa yang berkisar antara Rp 200,000.00 – Rp 300,000.00.

Gambar 8 Salah satu contoh kondisi tambak milik di lokasi penelitian


(Sumber: Dokumentasi pribadi 2012)

4.2.4. Tambak Tumpangsari/Minawana


Tambak tumpang sari dilaksanakan dengan pola empang parit, yaitu
tambak yang dibuat berupa parit yang mengelilingi hutan bakau dalam satu petak.
Pada awalnya luas parit maksimum 20% dari luas anak petak. Akan tetapi
semakin lama luas parit semakin meningkat karena pembukaan lahan mangrove
untuk tambak. Luas anak petak berkisar antara 0.5 – 3 ha sehingga masing-masing
penggarap tambak memiliki luas garapan yang berbeda. Pada awalnya luas
garapan yang boleh digarap oleh petani tambak adalah maksimum 2 Ha, dengan
tujuan pemerataan empang garapan. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu
banyak penggarap tambak memiliki garapan lebih dari 2 ha. Bahkan ada yang
mencapai 10 – 15 ha terutama yang memiliki modal. Kondisi minawana pada saat
ini dapat dilihat pada Gambar 9 dan Lampiran 5
Pada setiap petak tambak (minawana) terdapat 1 saluran yang menuju laut
yang dinamakan kalen. Setiap kalen memiliki nama sesuai dengan pemilik tambak
didaerah tambak milik. Panjang kalen di Desa Jayamukti mencapai 3.5 km
sedangkan kalen di Desa Blanakan-Langensari mencapai 2.5 km. Lebar kalen di
Desa Jayamukti dan Blanakan berkisar antara 2.5 – 3 m dengan tinggi 1,5 m,
31

sedangkan lebar kalen di Desa Langensari mencapai 4.83 –5.67 m dengan


kedalaman 1.5 m. Secara umum kondisi saluran/kalen di lokasi penelitian
disajikan pada Tabel 5

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 9 Kondisi minawana saat ini (a) sistem minawana di Penangkaran


buaya (konsep lama) (b) penutupan sekitar 75%; (c) Penutupan
mangrove 50%; (d) penutupan mangrove hanya 30% (Sumber:
Dokumentasi pribadi 2012)

Tabel 5 Kondisi saluran/kalen di lokasi penelitian


Kalen/Saluran
Desa Jumlah Panjang Lebar Atas Lebar Dasar Tinggi Luas Tambak
Jayamukti 22 3.5 3.98 2.40 1,38 735.25
Blanakan 6 2.5 4.00 2.50 1,50 576.34
Langensari 5 2.0 5.67 4.83 1,50 202.00
Sumber: Hasil pengamatan (2012) dan KUD Karya Bukti Sejati (2012)

Selain itu terdapat saluran besar yang melintang dari arah timur sampai
barat yang dinamakan Kali Malang. Kawasan minawana di Desa Jayamukti
terdapat 3 Kali Malang yang melintang dari Sungai Blanakan (timur) sampai
Sungai Gangga (barat) sepanjang 5 km. Adapun di Desa Blanakan dan Langensari
hanya terdapat 1 Kali Malang yang melintang dari desa Muara (S. Ciasem) di
32

sebelah timur dan sampai di S. Blanakan di sebelah barat sepanjang 5 km. Kali
Malang II dan III di Desa Jayamukti memiliki panjang sekitar 2.5 – 4.0 km. Lebar
Kali Malang pada umumnya adalah 6 m dengan tinggi 2 m, akan tetapi banyak
mengalami pendangkalan di lokasi tertentu terutama pada kali Malang II dan III.
Baik saluran/kalen maupun kali seharusnya minimal setiap 5 tahun dilakukan
pengerukan karena terjadi pendangkalan di lokasi tertentu. Kebijakan untuk
pengerukan biasanya tergantung pada kebijakan desa terutama pengurus KUD.

Gambar 10 Kondisi Kali Malang (kanan) dan kalen/saluran (kiri)


(sumber: dokumentasi pribadi 2012)

Setiap penggarap tambak diikat dengan suatu perjanjian kerjasama perum


perhutani unit III yang berisikan hak dan kewajiban penggarap tambak. Hak
penggarap tambak adalah hak pengelolaan tambak dan hasil tambaknya. Adapun
kewajiban penggarap tambak adalah diharuskan membayar:
1. Ganti rugi penggunaan kawasan ekosistem mangrove, yaitu sebesar Rp
75,000.00/ha/thn untuk lahan hutan kelas I, Rp 45,000.00/ha/thn untuk lahan
hutan kelas II dan Rp 30,000.00/ha/thn untuk lahan kelas III
2. Iuran desa dan LMDH sebesar Rp 25,000.00/ha/th
3. Menanam, memelihara, dan menjaga keamanan hutan
4. Ijin usaha tambak sebesar Rp 5,000.00/ha/thn
5. Administrasi sebesar Rp 7,500.00/ha/thn
6. Dana pelestarian lingkungan sebesar Rp 30,000.00/ha/thn untuk lahan kelas I
dan II, serta Rp 25,000.00/ha/thn untuk lahan kelas III
33

4.3. Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat


4.3.1. Kependudukan
Penduduk di Kecamatan Blanakan yang terdistribusi di 9 desa pemukiman
pada tahun 2011 berjumlah 64,431 jiwa (21,463 KK) yang terdiri dari 32,227 laki-
laki dan 32,214 perempuan. Adapun jumlah penduduk yang masuk ke dalam
wilayah penelitian di 3 desa pengamatan terdiri dari 11,015 laki-laki dan 10,689
perempuan dengan total jumlah penduduk 21.680 jiwa (33.65% dari jumlah
penduduk Kecamatan Blanakan). Untuk lebih jelas jumlah penduduk di lokasi
penelitian disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin

Jumlah Penduduk (jiwa)


Desa Jumlah KK
Laki-Laki Perempuan Total
Blanakan 3,447 5,879 5,584 11,463
Jayamukti 2,103 3,484 3,417 6,901
Langensari 1,120 1,652 1,688 3,340
Jumlah 6,670 11,015 10,689 21,704
Kecamatan Blanakan 21,463 32,227 32,214 64,431
Sumber: Anonimous (2011)

Umur sangat berpengaruh terhadap kemampuan fisik bekerja dan cara


berpikir. Umur penduduk di lokasi penelitian pada umumnya didominasi oleh
kelompok umur 22-59 tahun (57.24%). Kelompok umur 22-59 ini merupakan
kelompok umur produktif. Secara lebih lengkap distribusi kelompok umur di
lokasi penelitian disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Klasifikasi umur penduduk Kecamatan Blanakan

Kelompok umur (tahun)


Desa
0-15 16-21 22-59 >60
Blanakan 2,878 974 5,071 2,017
Jayamukti 1,812 649 3,536 904
Langensari 882 309 1,585 564
Jumlah 5,572 1,932 10.192 3,485
Kecamatan Blanakan 12,147 6,837 37,136 6,404
Sumber: Anonimous (2011)

4.3.2. Pendidikan Penduduk


Tingkat pendidikan formal penduduk Kecamatan Blanakan tergolong
masih rendah, ada sekitar 2,719 jiwa kepala keluarga yang tidak tamat Sekolah
34

Dasar (SD) (36.00%) dan 3927 jiwa kepala keluarga yang hanya tamat SD
(52.00%). Sedangkan penduduk yang pernah mengenyam pendidikan SLTA
hanya 690 jiwa (9.14%) dan Perguruan tinggi hanya 216 jiwa (2.86%). Dari
kondisi pendidikan seperti itu dapat berpengaruh terhadap pengetahuan yang
bersifat teknis dan keahlian dalam melakukan kegiatan usaha yang produktif.
Selain itu akan berpengaruh juga terhadap daya serap dari program-program yang
akan dikembangkan oleh pemerintah. Tingkat pendidikan penduduk Kecamatan
Blanakan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Klasifikasi tingkat pendidikan formal penduduk di lokasi penelitian

Tidak Tamat Tamat Tamat


Desa
Tamat SD SD/SLTP SLTA AK/PT
Blanakan 1,583 2,286 385 142
Jayamukti 708 1023 181 56
Langensari 428 618 124 18
Jumlah 2,719 3,927 690 216
Kecamatan Blanakan 7,951 11,583 2,091 459
Sumber: Anonimous (2011)

Sarana pendidikan di lokasi penelitian terdiri dari: TK sebanyak 16 unit,


SD sederajat sebanyak 27, SLTP sederajat sebanyak 3 unit, dan 3 unit SLTA
sederajat (Tabel 9). Di Kecamatan Blanakan tidak terdapat perguruan tinggi, jadi
penduduk yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi
umumnya harus ke daerah lain, seperti Karawang, Purwakarta, Subang, Cirebon,
Bandung hingga ke Yogyakarta.

Tabel 9 Fasilitas pendidikan Kecamatan Blanakan

Fasilitas Pendidikan
Desa
TK SD/MI SLTP/MTs SLTA/MA
Blanakan 2 9 2 3
Jayamukti 8 3
Langensari 1 2 1
Jumlah 11 14 2 3
Kecamatan Blanakan 16 27 3 3
Sumber: Anonimous (2011) dan Pengamatan (2012)

4.3.3. Mata Pencaharian Penduduk


Masyarakat yang bekerja di bidang pertanian (termasuk perikanan dan
peternakan) baik pemilik lahan maupun buruh di lokasi penelitian mencapai
35

29.61%. Kawasan minawana di RPH Tegal-Tangkil, bagi masyarakat Desa


Jayamukti, Blanakan, dan Langensari adalah merupakan sumber kehidupan
masyarakat sekitar. Masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada kawasan
minawana berprofesi sebagai penggarap tambak/empang, buruh, penangkap
kepiting, penangkap wideng, penangkap udang, penangkap belut, penangkap ular,
penangkap burung, penangkap biawak dan pencari kayu dari luar Kecamatan
Blanakan. Kelompok penangkap ini nantinya disebut dengan kelompok
penangkap ikan dan biota lainnya. Keberadaan mangrove bagi penggarap tambak
memberikan nilai tambah dengan adanya udang harian yang dapat dipanen setiap
hari. Secara rinci mata pencaharian masyarakat di lokasi penelitian disajikan pada
Tabel 10.

Tabel 10 Mata Pencaharian Penduduk di Lokasi Penelitian

Desa (Jiwa)
Jenis Mata Pencaharian Persentase
Blanakan Jayamukti Langensari
Petani sawah dan tambak 1,535 384 128 9.43
Buruh tani sawah dan tambak 2,050 1,091 763 17.99
Buruh migran (TKI/TKW) - 42 97 0.64
Nelayan 340 26 5 1.71
Peternak 10 73 22 0.48
Pegawai Negeri Sipil (PNS) 30 12 18 0.28
Pensiunan PNS/TNI/POLRI 9 5 - 0.06
Pedagang keliling 47 97 42 0.86
Petugas kesehatan (perawat, dokter, bidan,
6 12 4 0.10
mantri, dll)
Seniman lokal - 5 - 0.02
Montir (bengkel) 9 6 4 0.09
Karyawan perusahaan swasta - 375 42 1.92
Pembantu Rumah tangga 34 34 124 0.88
Pengrajin 3 12 - 0.07
Pengusaha kecil dan menengah 10 5 - 0.07
Tidak bekerja 2,878 1,669 882 25.01
Lainnya 4,502 3,053 1,209 40.38
Jumlah 11,463 6,901 3,340 100.00
Sumber: Anonimous (2011)

Masyarakat yang tidak memiliki sawah ataupun empang, sebagian bekerja


sebagai buruh di empang/tambak ketika sawah tidak dalam masa tanam dan
panen. Buruh tersebut terdiri dari buruh harian (keduk teplok) dan buruh panen
(khusus panen musiman ikan/udang). Masyarakat yang menjadi buruh, biasanya
36

sudah memiliki pelanggan sendiri. Mereka yang mempekerjakan buruh biasa


disebut dengan istilah “bos”.
Masyarakat penangkap ikan dan biota lainnya, yang hidup di sekitar
mangrove, menjadikan kawasan minawana sebagai bagian dari lahan mata
pencaharian sehari-hari. Menangkap kepiting misalnya telah menjadi alternatife
pekerjaan selain menjadi buruh. Bahkan penggarap tambak pun ada yang menjadi
penangkap kepiting saat musim panen sedikit. Menangkap kepiting bakau
merupakan pekerjaan yang paling banyak dilakukan karena harganya tinggi.
Penangkapan kepiting dilakuan pada siang hari dan malam hari. Penangkapan
kepiting pada siang hari menggunakan alat pancing dan bubu, sedangkan pada
malam hari menggunakan bantuan cahaya senter dan atau aki.
Selain menangkap ikan dan kepiting, ada juga yang mencari ular, wideng,
dan burung. Penangkapan belut biasanya dilakukan pada pagi hari sebelum terik
matahari. Berdasarkan hasil wawancara terhadap masyarakat penangkap kepiting,
wideng, dan belut, diperoleh informasi bahwa semakin banyak mangrove di
kawasan minawana, peluang untuk mendapatkan hasil tangkapan menjadi lebih
besar. Hasil tangkapan akan lebih banyak pada kawasan minawana dengan
penutupan yang tinggi.
Kondisi sumberdaya ekosistem mangrove dalam sistem minawana saat ini
cukup memprihatinkan. Luasan mangrove semakin rendah akibat penebangan
oleh penggarap tambak atau orang luar. Penebangan mangrove pada kawasan
sekitar pantai yang merupakan bagian dari sempadan (green belt), semakin
merusak system ekologi mangrove. Walaupun demikian, secara ekologi dan
ekonomi masih memberikan manfaat langsung yang nyata bagi masyarakat
sekitar.
37

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Analisis Ekologi Ekosistem Minawana


5.1.1. Fauna Perairan
Pada ekosistem mangrove di lokasi penelitian ditemukan ikan, udang dan
kepiting, baik yang khusus dibudidayakan maupun yang hidup secara liar. Jenis
fauna yang ditemukan di lokasi penelitian ditemukan 15 jenis ikan, 3 jenis udang,
dan 2 jenis kepiting. Secara detail jenis ikan dan udang ditemukan di lokasi
penelitian disajikan pada Tabel 11. Foto jenis flora dan fauna yang ditemukan di
kawasan minawana RPH Tegal-Tangkil disajikan pada Lampiran 7.

Tabel 11 Jenis ikan dan udang yang ditemukan di ekosistem minawana

Nama Nama ilmiah Mangrove Minawana Tambak Keterangan


lokal/umum murni
Ikan
Bandeng Chanos chanos x x Budidaya
Belut Synbranchus x x x Liar
bengalopsis
Betok Anabas testudineus x x Liar
Blanak Mugil cephalus x x x Liar
Blodok Periophthalmus x x Liar
koelreuteri
Boso Ophiocara x x Liar
porocephala
Gabus Channa striata x Liar
Kakap/pelak Lates calcalifer x x x Liar
Kerong-kerong Terapon jarbua x x Liar
Kipper Scatophagus argus x x Liar
Lundu/keting Mystus wickii x x Liar
Mujair Oreochromis x x Budidaya
mosambicus
Nila Oreochromis x x Budidaya
niloticus
Udang
Api Penaeus x x x Liar
plebejushess
Bago/windu Penaeus monodon x x Budidaya
Peci/putih Penaeus penicillatus x x x Liar
Kepiting
Kepiting Bakau Scylla serrata x x Liar
Wideng Sesarma spp. X x Liar
Sumber: Hasil pengamatan (2012) x menunjukkan kehadiran (ditemukan)
38

5.1.2. Hubungan Luas Tutupan Mangrove Terhadap Produksi Perikanan


5.1.2.1. Mangrove dan Keberadaan Udang Harian
Hasil analisis dengan Anara Rancangan Acak Lengkap (Anara RAL) pada
hasil tangkapan harian menunjukan bahwa penutupan mangrove memberikan
kontribusi yang nyata terhadap tangkapan harian udang (selang kepercayaan
99%). Setelah dilakukan uji lanjut dengan uji BNT (Beda Nyata Terkecil)
menunjukkan ada perbedaan yang nyata antara penutupan mangrove yang tinggi
dengan tambak murni. Hasil perhitungan juga didapatkan adanya perbedaan nyata
antara penutupan mangrove yang tinggi dengan yang lebih rendah (sedang dan
rendah) pada selang kepercayaan 99%. Untuk lebih jelas hasil uji Anara RAL dan
uji lanjut BNT di sajikan pada Tabel 12 dan Lampiran 9-10.

Tabel 12 Hasil tangkapan udang harian di lokasi penelitian.

Hasil Tangkapan Harian (kg/ha/hari)


Kerapatan Mangrove
Minimal Maksimal Rata-Rata
Tinggi 1.10 2.20 1.55a
Sedang 1.03 1.67 1.19 b
Rendah 0.53 1.05 0.83 c
Tambak murni 0.17 0.60 0.31 d
Total 2.83 5.52 3.88
a,b, c, d
Keterangan: huruf menunjukkan ada perbedaan nyata
Sumber: Hasil analisis (2012)

Hal yang sama diperoleh oleh Saladin (1995); Pradana (2012) dan Maifitri
(2012) menunjukkan bahwa hasil tangkapan udang penaeid pada tambak dengan
penutupan tinggi (70-80%) di RPH Pamanukan dan Tegal-Tangkil menghasilkan
udang tangkapan harian yang lebih tinggi dibanding penutupan yang lebih rendah.

5.1.2.2. Mangrove dan Produksi Udang Windu


Hasil produksi udang pada tambak bervariasi pada setiap tingkat salinitas,
begitu juga terdapat variasi hasil produksi pada setiap tutupan mangrove yang
berbeda. Perbedaan hasil produksi udang windu pada setiap tambak dipengaruhi
oleh banyak hal, diduga perbedaan hasil produksi udang windu salah satunya
dipengaruhi oleh letak tambak terhadap laut (perbedaan nilai salinitas) dan luas
tutupan mangrove. Pradana (2012) dan Maifitri (2012) menyebutkan luasan
mangrove berpengaruh terhadap hasil produksi budidaya. Selanjutnya dijelaskan
bahwa pengaruh tutupan mangrove terhadap hasil produksi tidak secara langsung.
39

Akan tetapi melalui siklus bahan organik, yang akan meningkatkan populasi
plankton sebagai makanan ikan. Berdasarkan hasil penelitian Halidah et al. (2007)
menyebutkan bahwa populasi plankton paling tinggi ditemukan pada tambak
minawana dengan proporsi 60% mangrove dan 40% tambak.

5.1.2.3. Mangrove dan Produksi Ikan Bandeng


Hasil produksi ikan bandeng tertinggi terdapat pada tambak dengan luas
tutupan mangrove sedang yaitu senilai 101.75 kg/ha/musim. Luas tutupan
mangrove yang paling cocok bagi kelangsungan hidup ikan bandeng adalah luas
tutupan mangrove sedang yaitu sekitar 30 – 60 % dari luas tambak. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian dari Nur (2002) Halidah et al. (2007) dan Hastuti (2010)
didapatkan bahwa kondisi optimum bagi produksi ikan bandeng dengan sistem
minawana adalah 60% mangrove dan 40% tambak.

5.1.2.4. Mangrove dan Keberadaan Kepiting dan Wideng


Hasil tangkapan kepiting di lokasi penelitian per orang mencapai 2 – 3
kg/hari. Secara umum total hasil tangkapan kepiting di lokasi penelitian mencapai
400 kg/hari dengan rata-rata 130 kg/hari. Hasil tangkapan wideng di lokasi
penelitian mencapai 800 kg/hari dengan rata-rata 400 kg/hari, lebih tinggi
dibanding dengan kepiting bakau. Hasil wawancara dengan penangkap kepiting
didapatkan informasi, pada saat musim penangkapan kepiting pada tambak
minawana mencapai 1 kg/ha. Selain itu, para penangkap kepiting lebih memilih
tambak minawana dengan penutupan mangrove yang lebih tinggi. Hal ini karena
keterikatan kepiting bakau pada mangrove. Hasil penelitian Sihannenia (2008)
mendapatkan bahwa kepadatan kepiting bakau lebih tinggi ditemukan pada
mangrove yang lebih padat dibanding dengan mangrove yang jarang. Jumlah hasil
tangkapan kepting dan wideng serta pendapatan disajikan pada Tabel 13 dan
secara rinci disajikan pada Lampiran 11.
40

Table 13 Jumlah hasil tangkapan kepiting dan wideng serta rata-rata


pendapatan/orang
Uraian Satuan Penangkap Kepiting Penangkap Wideng
Jumlah penangkapan Orang 15 10
Jumlah hasil tangkap Kg/Tahun 13,056.00 49,104.00
Harga Rp/Kg 15,000.00 1,500.00
Nilai Rp/Tahun 195,840,000.00 73,656,000.00
Biaya operasional Rp/Tahun 56,736.000.00 24,516,000.00
Biaya investasi Rp/Tahun 6,850,000.00 1,160,000,00
Pendapatan Rp/Tahun 132,940,666.67 48,033,333.33
Rata-rata pendapatan/orang Rp/Tahun 8,862,711.11 4,803,333.33
Sumber: Hasil analisis 2012

5.1.2.5. Mangrove dan Keberadaan Belut


Hasil tangkapan belut di kawasan minawana mencapai 160.00 kg/hari
dengan rata-rata 70 kg/hari. Rata-rata hasil tangkapan penangkap belut perhari
mencapai 3 kg. Jika dilihat dari nilai hasil tangkapan menunjukan bahwa rata-rata
pendapatan penangkap belut mencapai Rp 7,493,644.44 /tahun. Secara umum
hasil tangkapan dan pendapatan penangkap belut di lokasi penelitian disajikan
pada Tabel 14 dan Lampiran 12.

Tabel 14 Jumlah hasil tangkapan belut serta rata-rata pendapatan/orang

Uraian Satuan Penangkap Belut


Jumlah penangkapan Orang 15
Jumlah hasil tangkap Kg/Tahun 15,378.00
Harga Rp/Kg 15,000.00
Nilai Rp/Tahun 169,158,000.00
Biaya operasional Rp/Tahun 55,380,000.00
Biaya investasi Rp/Tahun 1,440,000.00
Pendapatan Rp/Tahun 112,404,666.67
Rata-rata pendapatan/orang Rp/Tahun 7,493,644.44
Sumber: Hasil analisis 2012

Berdasarkan hasil diskusi dengan penangkap belut didapatkan informasi


bahwa, penangkap belut lebih menyukai tambak yang memiliki tegakan mangrove
dari pada yang sedikit (jarang). Hal ini dikarenakan belut menyukai daerah
dengan kandungan bahan organik tinggi dan banyak terdapat pembusukan
serasah. Foto alat tangkap disajikan pada Lampiran 7, foto komoditas (fauna)
yang ditangkap disajikan pada Lampiran 6, dan foto kegiatan di lapangan
disajikan pada Lampiran 8.
41

5.1.3. Kualitas Perairan


Hasil pengukuran beberapa kualitas air in situ di kawasan tambak
minawana di lokasi penelitian memperlihatkan bahwa kondisi kualitas air di
minawana (baik yang berpenutupan tinggi, sedang maupun rendah) dan tambak
murni secara umum tidak jauh berbeda. Hal ini karena air yang masuk ke
pertambakan berasal dari sumber yang sama. Secara umum pengelolaan kualitas
air oleh penggarap tambak hampir sama yaitu dengan sistem sirkulasi terbuka
sehingga air laut bebas keluar-masuk dari tambak. Hasil penelitian terhadap
parameter logam berat (kadmium, tembaga, dan timbal) baik pada air maupun
pada biota menunjukkan bahwa logam berat terdeteksi di semua lokasi
pengamatan baik di air laut, sungai maupun di tambak. Secara detail hasil
pengukuran kualitas air disajikan pada Lampiran13.
Walaupun hasil pengukuran beberapa kualitas air in situ di kawasan
tambak minawana di lokasi penelitian memperlihatkan masih baik dan layak, akan
tetapi hasil pengukuran terhadap logam berat baik pada air, sedimen dan biota
didapatkan bahwa di lokasi penelitian telah terkontaminasi logam berat. Oleh
karena itu perlu adanya sistem tandon untuk memperbaiki kualitas air sebelum
masuk ke kawasan pertambakan. Sistem tandon ini akan memperbaiki kualitas air
untuk budidaya sehingga mengurangi tingkat kematian dan keamanan pangan
(komoditas budidaya terhindar dari kontaminasi logam berat).

5.2. Analisis Bioteknik Sistem Minawana


5.2.1. Kondisi Eksisting
Pada umumnya tahapan budidaya ikan dan udang yang dilakukan oleh
masyarakat masih sederhana dengan input teknologi yang sangat rendah. Keduk
teplok merupakan kegiatan persiapan sebelum benih/benur di tebar tanpa di
lakukan pengeringan dan atau pemberian kapur. Setelah benih/benur ditebar,
kegiatan yang dilakukan adalah pemberian katalis/perangsang. Jenis perangsang
yang umum diberikan antara lain: Lodan, Linex, Ursal, dan raja bandeng.
Saat ini umumnya budidaya yang dilakukan adalah polikultur antara udang
windu, bandeng dan nila/mujair (3 komoditas), polikultur antara udang windu
dengan bandeng (2 komoditas), dan polikultur antara bandeng dengan nila/mujair.
Komoditas yang dibudidayakan tersebut menyebar diseluruh kawasan. Padahal
42

sebaran salinitas di lokasi penelitian tidak merata. Oleh karena itu perlu
perwilayahan komoditas budidaya di kawasan minawana sesuai dengan salinitas
yang cocok bagi pertumbuhan dan perkembangan organisme (komoditas)
perairan.Secara umum teknis budidaya yang dilakukan oleh penggarap tambak
saat ini disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15 Sistem budidaya dan pengelolaan tambak di lokasi penelitian

Komponen Kondisi saat ini Kondisi yang seharusnya dilakukan


A. Sistem Budidaya
1. Sirkulasi Terbuka Tertutup
2. Pengisian Air Mengikuti pasang – surut Sesuai siklus hidup ikan/udang
3. Ketersediaan Tidak ada Adanya sistem penampungan sebelum ke
Pengolahan Air tempat pembesaran (sistem tendon)
4. Ketersediaan Kincir Tidak ada Tidak ada atau 1 kincir air untuk
Air meningkatkan kandungan oksigen
5. Sistem tendon Tidak ada Harus dibuat sistem tandon
B. Komoditas
1. Polikultur/ Polikultur Monokultur/polikultur (disesuaikan dengan
Monokultur kondisinya)
2. Perwilayahan Tidak ada Harus disesuaikan dengan salinitas tambak
Komoditas
C. Pengelolaan Tambak
1. Pemilihan Lokasi Disamakan Disesuaikan dengan kondisinya
2. Konstruksi Tambak Banyak mangrove ditebang Mangrove dipertahankan
3. Persiapan Lahan dan Pengangkatan lumpur Pengeringan, pengangkatan lumpur,
Air pemberian kapur dan pemupukan
4. Pemilihan dan Tidak dilakukan pemilihan Dilakukan pemilihan benur/nener
Penebaran benih benur/nener
5. Pengelolaan Kualitas - Pemantauan kualitas air - Pemantauan kualitas air dilakukan tiap
Air dan Pakan jarang dilakukan hari bahkan malam
- Tidak diberikan pakan - Pemberian pakan dilakukan sesuai
siklus hidup
6. Pengelolaan Tidak dilakukan Dilakukan pengecekan kondisi ikan/udang,
Kesehatan terutama malam hari
7. Panen Dan Paska Panen dilakukan pada pagi Panen dilakukan pada pagi hari dan
Panen hari sesegera mungkin dikirim ke penampungan
8. Laporan Harian Tidak ada Harus dibuat laporan kegiatan harian
Sumber: Hasil analisis (2012)

Hasil panen udang windu (udang bago) di lokasi penelitian, menunjukkan


bahwa hasil panen pada tambak murni lebih tinggi (83.50 kg/ha/musim panen)
dibanding pada tambak minawana (hanya mencapai 49.42 kg/ha/musim panen).
Hasil panen ikan bandeng pada sistem minawana menunjukkan produksi yang
lebih tinggi dibanding tambak murni. Hasil produksi tambak murni hanya sekitar
116.67 kg/ha/musim panen, sedangkan pada sistem minawana mencapai 176.15
kg/ha/musim panen (penutupan sedang). Secara umum hasil panen di lokasi
43

penelitian disajikan pada Tabel 16, 17, dan 18. Kondisi umum responden
disajikan pada Lampiran

Tabel 16 Rata-rata hasil panen udang windu di lokasi penelitian

Minawana dengan penutupan


Kompoenen Satuan Tambak murni
Tinggi Sedang Rendah
Produksi Kg/ha 49.42 40.28 38.50 83.50
Size panen ekor/kg 29.33 30.00 28.30 28.75
Jumlah ekor/
ekor 1,454.89 1,232.50 1,165.15 2,660.34
panen
Survival rate % 10.67 8.29 9.42 16.11
Harga udang Rp/Kg 65,000.00 65,000.00 65,000.00 65,000.00
Nilai jual Rp/panen 3,212,300.00 2,618,200.00 2,502,500.00 5,427,500.00
Sumber: Hasil analisis (2012)

Tabel 17 Rata-rata hasil ikan bandeng di lokasi penelitian

Minawana dengan penutupan Tambak


Kompoenen Satuan
Tinggi Sedang Rendah murni
Produksi Kg/ha 146.11 176.15 123.84 111.67
Size panen ekor/kg 6.28 5.59 8.65 8.86
Jumlah ekor/
ekor/ha 943.10 948.28
panen 917.22 734.52
Survival rate % 40.43 42.01 46.42 36.07
Harga bandeng Rp/Kg 15,000.00 15,000.00 15,000.00 15,000.00
Nilai jual Rp/panen 2,191,650.00 2,642,250.00 1,857,600.00 1,675,050.00
Sumber: Hasil analisis (2012)

Tabel 18 Rata-rata hasil panen ikan mujair/nila di lokasi penelitian

Minawana dengan penutupan Tambak


Kompoenen Satuan
Tinggi Sedang Rendah murni
Produksi Kg/ha 650.00 216.67 103.75 167.95
Size panen ekor/kg 10.00 15.00 15.00 7.80
Jumlah
ekor/ha 6,500.00 3,250.00 1,556.00 1,021.19
ekor/panen
Survival rate % 311.11 325.00 368.75 72.42
Harga Rp/Kg 8,000.00 8,000.00 8,000.00 8,000.00
Nilai jual Rp/panen 5,200,000.00 1,733,360.00 830,000.00 1,343,600.00
Sumber: Hasil analisis (2012)

Hasil panen ikan nila/mujair pada tambak sistem minawana rata-rata


mencapai 650.00 kg/ha/musim panen (penutupan tinggi). Hasil panen ikan
nila/mujair pada tambak murni sekitar 167.65 kg/ha/musim panen. Jika
dibandingkan dengan hasil pengamatan dari Primavera (2000) pada system
minawana di pesisir utara Jawa Barat didapatkan produksi ikan mujair/tilapia
mencapai 750 kg/ha/musim panen, ikan bandeng 250 – 350 kg/ha/musim panen
dan udang windu mencapai 125 – 1,000 kg/ha/musim panen.
44

5.2.2. Pemulihan Kawasan Minawana


Untuk meningkatkan dan mengoptimalkan hasil perikanan di kawasan
minawana, maka perlu dilakukan perbaikan sistem minawana. Perbaikan tersebut
mencakup pola minawana, perbaikan jalur hijau, pembuatan tendon, perbaikan
akses jalan, perbaikan saluran, perwilayahan komoditas,dan pengembangan
pengelolaan budidaya perikanan.

5.2.2.1. Perbaikan Pola Minawana


Pola minawana yang awalnya digunakan adalah pola empang parit. Untuk
itu, perlu dilakukan pola dan konstruksi minawana untuk mengembalikan fungsi
mangrove. Dengan demikian, produksi perikanan dapat meningkat terutama hasil
tangkapan udang harian. Adapun yang menjadi permasalahan adalah
perbandingan luasan antara mangrove dan tambak yang tepat, apakah 80 : 20; 70 :
30 atau 50 : 50.
Hasil penelitian didapatkan bahwa tutupan mangrove optimal bagi
pertumbuhan udang windu dan ikan bandeng adalah luas tutupan mangrove
sedang yaitu sekitar 40-60 % dari luas tambak. Selanjutnya semakin tinggi
tutupan mangrove hasil produksi akan menurun. Sementara itu, hasil tangkapan
udang harian akan semakin tinggi seiring dengan semakin tingginya penutupan
mangrove. Dengan demikian, proporsi tambak dan mangrove ditetapkan adalah
60% mangrove dan 40% tambak/empang. Proporsi ini juga sesuai dengan hasil
penelitian Nur (2002) yang mendapatkan bahwa perbandingan empang parit 60%
mangrove dan 40% tambak/empang dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Selain itu, dengan perbandingan 60:40 ekosistem mangrove tetap
terjaga. Hasil penelitian Halidah et al. (2007) dan Hastuti (2010) juga
memperoleh perbandingan mangrove 60% dan 40% tambak didapatkan
pertumbuhan yang optimal bagi ikan bandeng.
Jadi, perbaikan minawana di RPH Tegal-Tangkil pola empang parit
dengan perbandingan 60:40 dapat dijadikan dasar untuk pengembangan kawasan
minawana. Dengan demikian, penggarap tambak diwajibkan menanam kembali
mangrove di tambak yang sudah gundul atau dapat menebang (mengurangi
mangrove) hingga mencapai 60% mangrove dan 40% tambak. Adapun mangrove
yang ditanam sebaiknya adalah jenis Avicennia sp. karena lebih sesuai untuk
45

dijadikan tambak disekelilingnya. Jarak tanam 3 m x 2 m, dengan harapan 4-5


tahun, tajuk tanaman sudah saling menutup. Setelah tanaman membesar, dapat
dijarangkan menjadi 3 x 3 meter, 2 x 4 meter atau 4 x 3 meter. Jumlah pohon total
mangrove pada luas 6.000 m2 (60%) adalah 1.000 pohon. Nantinya jika pohon
tersebut sudah besar dapat dipangkas dan bukan ditebang. Tampilan perbaikan
pola minawana disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11 Tampilan petak minawana pola 60% mangrove dan 40% tambak
(Sumber: Modifikasi pribadi 2012)

5.2.2.2. Perbaikan Jalur Hijau


Perbaikan jalur hijau (sempadan pantai dan sungai) perlu dilakukan untuk
menjaga kestabilan pantai dan sungai. Selain itu, adanya sempadan pantai dan
sungai sebagai habitat berbagai organisme. Hingga saat ini sempadan pantai dan
sempadan sungai tidak ada di lokasi penelitian. Menurut Keputusan Presiden
Republik Indonesia No. 32 Tahun 1990 tentang sempadan pantai sebaiknya lebar
130 m dari bibir pantai dan 50 m untuk sungai. Oleh karena itu perlu diatur untuk
kawasan sempadan pantai dan sempadan sungai. Untuk itu rencana
pengembangan kawasan minawana terkait perbaikan jalur hijau di RPH Tegal-
Tangkil yang harus dilakukan adalah :
1. Pembuatan sempadan pantai minimal selebar 130 m dari bibir pantai,
sepanjang 8 km. Luas untuk sempadan pantai 130 m x 8,000 m =
1,040,000.00 m2 atau 104 ha
46

2. Pembuatan sempadan sungai minimal selebar 50 m dari bibir Sungai Blanakan


dan Sungai Gangga, sepanjang 3.5 km. Luas sempadan sungai adalah 50 m x
3,500 m x 4 = 700,000.00 m2 atau 70 ha.
Adapun penanaman mangrove pada jalur hijau sebaiknya dengan sistem
banjar harian (Gambar 12). Jenis mangrove yang ditanam adalah jenis
Rhizophora. Jarak tanamnya adalah 1 x 1 meter dengan jumlah bibit 5.500/ha.
Jadi jumlah bibit yang dibutuhkan adalah 572,000 bibit untuk sempadan pantai
dan 385,000 untuk sempadan sungai. Adapun nantinya, penanaman dan
pemeliharaan mangrove pada jalur hijau ini diserahkan pada anggota LMDH
kelompok ikan dan biota lainnya. Pola Tampilan perbaikan jalur hijau di kawasan
minawana di RPH Tegal-Tangkil dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 12 Pola tanam banjar secara merata


(sumber: Permenhut no. 3 Tahun 2004)

greenbelt

100 m

Muara
sungai

50 m 50 m
Saluran sejajar sungai Saluran sejajar pantai

Gambar 13 Tampilan perbaikan jalur hijau di kawasan minawana di RPH Tegal-


Tangkil (Sumber: Modifikasi pribadi 2012)
47

5.2.2.3. Pembuatan Bak Penampung Air (Tandon)


Sistem budidaya yang dilaksanakan penggarap tambak minawana di RPH
Tegal-Tangkil saat ini adalah tradisional. Sumber air langsung masuk ke pelataran
tambak tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu. Oleh karena itu, untuk
memperbaiki kualitas air yang masuk ke pelataran harus dibuat sistem tandon
(kolam penampungan). Air yang masuk seluruhnya ditampung sementara di
kolam penampungan untuk paling tidak satu minggu, sebelum dialirkan ke kolam
pembesaran. Bila kolam penampungan ini hanya tersedia satu saja, sebaiknya
dibagi menjadi dua bagian yang bisa dipakai bergantian. Pada kolam
penampungan inilah salinitas air dapat dikontrol dan disesuaikan. Kolam
penampungan juga membantu mengurangi, kalaupun tidak menghilangkan sama
sekali, adanya inang dan pembawa penyakit dari jenis udang-udangan. Air yang
dimasukkan dari kolam penampungan ke kolam pembesaran melewati bak
saringan untuk mencegah spesies lain masuk.
Luas kolam penampungan ini paling sedikit 25% dari kolam pembesaran. .
Tandon air terdapat pada setiap 2 ha tambak dengan ukuran 25 x 100 m (2500
m2). Dengan demikian luas mangrove pada masing-masing 1 ha tambak mnjadi
75x70 m (5250 m2) dan pelataran tambaknya menjadi 3500 m2. Pembuatan dan
perawatan tandon menjadi tanggung jawab penggarap tambak.

Gambar 14 Ilustrasi sistem tandon dalam mengairi tambak


(Sumber: Modifikasi pribadi 2012)
48

5.2.2.4. Perbaikan Akses Jalan


Pengadaan dan perbaikan akses jalan diperlukan sehingga memudahkan
dalam kegiatan pemanfaatan kawasan minawana. Jalan dibuat 10% dari luas lahan
sehingga untuk jalan ini disediakan lahan seluas 262.60 ha. Perbaikan jalan ini
mencakup jalan primer dan sekunder. Jalan primer yang dibuat setidaknya dapat
dilalui oleh kenderaan roda 4. Jalan primer tersebut dibuat dengan lebar minimal 3
m, sedangkan jalan sekunder dengan lebar 2 m. Jalan primer yang dibutuhkan
minimal 4 jalur. Jalan primer ini yakni 2 jalur sejajar garis pantai dan 2 jalur
sejajar sungai yang ditempatkan ditengah pelataran tambak.

5.2.2.5. Perbaikan Saluran


Pembuatan/perbaikan kanal air yang baik sehingga air yang masuk ke
tambak dapat dipantau dengan baik. Menurut Setiawan dan Sidabutar (2007)
untuk perbedaan pasang surut yang kurang dari 1,5 m maka lebar salurannya
adalah 5-7 m per 20 ha. Jadi jumlah saluran yang dibutuhkan adalah 131 saluran
yang dibagi kedalam 3 saluran sejajar pantai dan 44 saluran sejajar sungai. Luas
saluran keseluruhan adalah 93.80 ha.
Jadi luas keseluruhan yang dikembangkan menjadi tambak minawana
RPH Tegal-Tangkil setelah dikurangi untuk sempadan pantai, sempadan sungai,
saluran, jalan dan tandon adalah 1,513.04 ha. Adapun penanggung jawab
perbaikan saluran dan akses jalan adalah LMDH. Dana untuk
perbaikan/pembuatan saluran dan jalan serta prasarana lainnya adalah dari iuran
anggota dan atau bantuan dari Perum Perhutani. Selain itu, dana tersebut dapat
berasal dari pihak lain yang ingin berkontribusi, baik dalam bentuk dana hibah
ataupun dana sosial dari perusahaan.

5.2.2.6. Pengembangan Sistem Budidaya


Sistem budidaya yang dilaksanakan penggarap tambak minawana di RPH
Tegal-Tangkil saat ini adalah sistem polikultur. Ikan yang dibudidayakan
cenderung sama baik pada salinitas tinggi maupun rendah. Berdasarkan hasil
penelitian tahun 2011 didapatkan bahwa terdapat perbedaan salinitas di kawasan
pertambakan Jayamukti. Adanya perbedaan salinitas tersebut, maka apabila ingin
49

meningkatkan produksi tambak perlu penyesuain terhadap biota yang dipelihara


(Rahmadya 2012).
Untuk pengembangan sistem minawana di RPH Tegal-Tangkil di buat
perwilayahan komoditas yakni ikan nila/mujair dan ikan bandeng pada wilayah
hulu dan tengah. Pada wilayah dekat laut komoditas yang dibudidayakan adalah
ikan bandeng dan udang windu (bago). Hasil estimasi pengembangan budidaya
didapatkan bahwa luas wilayah untuk budidaya ikan bandeng dan nila/mujair
mencapai 1,009.06 ha dan untuk komoditas bandeng dan udang hanya 504.53 ha.
Selain itu, didalam tambak juga dapat dibudidayakan jenis kerang (seperti
Anadara sp.) sesuai dengan perwilayahan komoditas yang ditetapkan. Kerang ini
nantinya dapat meningkatkan relung ekologi dan harapannya menjadi tambahan
bagi petambak karena bernilai ekonomi.

5.2.2.6. Pengembangan Pengelolaan Budidaya Perikanan


Pengelolaan budidaya di kawasan minawana masih tergolong tradisional.
Untuk persiapan saja banyak masyarakat yang tidak melakukan tahapan kegiatan
budidaya untuk mendapatkan hasil yang optimal. Oleh karena itu, selain
perbaikan konstruksi tambak, perlu juga perbaikan pengelolaan tambak mulai dari
tahap persiapan sampai tahap pemasaran. Hal yang perlu diperhatikan juga adanya
pencatatan data setiap kegiatan untuk dapat dievaluasi secara tepat. Pengelolaan
budidaya tambak seharusnya mengikuti standar baku "Tata cara budidaya
perikanan yang baik“ (Good Aquaculture Practices/GAP). GAP dicirikan dengan:
menggunakan teknologi yang dianjurkan, ramah lingkungan, dan produk yang
dihasilkan berkualitas baik. Dengan demikian, pedoman ini diharapkan menjadi
arahan tertatanya proses penerapan pengembangan budidaya tambak udang yang
terencana, maju, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
Tahapan budidaya ini juga nantinya diharapkan untuk mendapatkan
produksi optimal sistem minawana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
di kawasan minawana RPH Tegal-Tangkil. Oleh karena itu, pengelolaan tahapan
budidaya yang seharusnya dijalankan di kawasan minawana RPH Tegal-Tangkil
ini mengacu pada Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor 28 Tahun
2004 tentang Pedoman Umum Budidaya Udang di Tambak. Selain itu, Wetland
International Indonesia Programme juga mengeluarkan buku Pedoman Praktis
50

Pengelolaan Tambak Ramah Lingkungan. Secara rinci uraian tahapan pengelolaan


budidaya ditambak ini disajikan pada Lampiran 15.
Penerapan budidaya secara polikultur secara tepat diharapkan
meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sekitar. Hal ini sesuai pendapat Fitzgerald dan William
(2002) in Shilman (2012), bahwa penerapan sistem tambak minawana harus
berdasarkan pada alasan yang tepat. Prinsip dasarnya adalah keberlanjutan
pembangunan dan pertimbangan manajemen harus menjadi utama dalam
pembangunan. Selain budidaya ikan dan udang di kawasan minawana, budidaya
kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan hal yang dapat dikembangkan kedepan
karena tersedianya lahan mangrove yang berada pada pelataran tambak.
Penerapan minawana dengan baik diharapkan juga berkorelasi positif
terhadap peningkatan hasil usaha tangkap saat ini. Berdasarkan hasil wawancara
dengan beberapa nelayan dan pengepul/pengumpul hasil perikanan bahwa telah
terjadi penurunan hasil tangkap sejak terjadi kerusakan terhadap ekosistem
mangrove. Selain itu dengan semakin baiknya mangrove di kawasan RPH Tegal-
tangkil dapat juga meningkatkan hasil tangkap kerang dan udang di laut. Estimasi
pengembangan minawana di RPH Tegal-Tangkil disajikan pada Tabel 19 dan
Tabel 20.
Tabel 19 Estimasi Hasil produksi dan nilai produksi tambak minawana di RPH
Tegal-Tangkil (polikultur ikan bandeng dan Nila/Mujair)
Kondisi Satuan Estimasi pengembangan minawana
Komoditas C. chanos Oreochromus sp.
Luas Kawasan Tambak ha 961.39
Jumlah Petak Unit 480.70
Jumlah Petambak Orang 481
Luas Tambak yang Operasional ha 961.39
Persentase Tambak Operasional % 100.00
Total Produksi Kg/thn 1,538,229.33 1,311,778.00
Rata-rata Produksi pertahun Kg/thn/ha 1,600.00 1.300.00
Rata-rata Produksi persiklus Kg/ha 800.00 650.00
Harga Jual Rata-rata Rp/kg 15,000.00 10.000.00
Nilai Produksi Rp/tahun 23,073,440,000.00 13,117,780.000.00
Penerimaan dari retribusi 1,5% Rp/tahun 346,101,600.00 196,766,700.00
Total Produksi (Rp/tahun) 35,571.553,333.33
Total penerimaan retribusi (Rp/tahun) 533,573,300.00
Keterangan: 30% dari luas total kawasan RPH Tegal tangkil pada daerah dekat laut dangan
sebaran salinitas 21‰-30‰ sehingga cocok dibudidayakan udang dan bandeng
Sumber: Hasil perhitungan 2012
51

Tabel 20 Estimasi Hasil produksi dan nilai produksi tambak minawana di RPH
Tegal-Tangkil (polikultur ikan bandeng dan udang)
Kondisi Satuan Estimasi pengembangan minawana
Komoditas P. monodon C. chanos
Luas Kawasan Tambak ha 480.70
Jumlah Petak Unit 240.35
Jumlah Petambak Orang 240
Luas Tambak yang Operasional ha 480.70
Persentase Tambak Operasional % 100.00
Total Produksi Kg/tahun 127,865.31 769,114.67
Rata-rata Produksi pertahun Kg/tahun/ha 266.00 1,600.00
Rata-rata Produksi persiklus Kg/ha 133.00 800.00
Harga Jual Rata-rata Rp/kg 65,000.00 15,000.00
Nilai Produksi Rp/tahun 8,311,245,366.67 11,536,720,000.00
Penerimaan Dari Retribusi 1,5% Rp/tahun 124,668,680.50 173,050,800.00
Total Produksi (Rp/tahun) 19,847,965,366.67
Total penerimaan retribusi (Rp/tahun) 297,719,480.50
Keterangan: 30% dari luas total kawasan RPH Tegal tangkil pada daerah dekat laut dangan
sebaran salinitas 21‰-30‰ sehingga cocok dibudidayakan udang dan bandeng
Sumber: Hasil perhitungan 2012

5.3. Analisis Ekonomi Sistem Minawana


5.3.1. Analisis Ekonomi Eksisting
5.3.1.1. Analisis Usaha
Hasil analisis usaha pada kegiatan tambak di kawasan minawana
menunjukkan bahwa usaha tambak di kawasan tersebut layak diusahakan. Akan
tetapi dilihat dari hasil R/C didapatkan bahwa kegiatan budidaya pada sistem
minawana dengan penutupan sedang-tinggi merupakan usaha yang paling layak
arena R/C lebih dari 1,50. Pada sistem minawana dengan modal yang rendah
didapatkan keuntungan yang lebih besar dibanding dengan sistem tambak murni.
Pada tambak murni untuk mencapai titik impas diperlukan minimal pendapatan
Rp 3,567,921.59 Rp/Ha/tahun. Hasil analisis usaha pada tambak murni dan
minawana di kawasan RPH Tegal-tangkil dapat dilihat pada Tabel 21 dan secara
rici pada Lampiran 16.
Hasil pengujian dengan ANARA RAL terhadap perbedaan R/C antara
tambak murni dan sistem minawana diperoleh bahwa ada pengaruh mangrove
terhadap nilai BCR pada taraf 95%. Uji lanjut dengan uji BNT didapat bahwa ada
perbedaan nyata antara tambak dengan penutupan tinggi dengan rendah dan
tambak murni pada selang kepercayaan 95%. Berdasarkan uraian tentang tentang
kondisi ekologi dan ekonomi kawasan minawana, menunjukkan bahwa konsep
52

minawana memberikan nilai ekologi dan ekonomis yang dapat meningkatkan


kesejahteraan masyarakat.

Tabel 21 Analisis usaha tambak eksisting

Minawana Tambak murni


Komponen Penutupan Penutupan Penutupan
tinggi sedang Rendah
Keuntungan bersih
(Rp/Ha/tahun) 53,979,380.82 30,561,733.67 22,544,718.77 15,446,994.67
R/C 11.41 11.23 4.86 2.65
Break Even Point
(Rp/Ha/tahun) 906,731.63 693,321.25 1,090,421.29 3,567,921.59
Sumber: Hasil analisis (2012)

5.3.1.2. Analisis Kelayakan Usaha


Hasil perhitungan kelayakan usaha terhadap kegiatan tambak murni
didapatkan bahwa secara umum kegiatan budidaya tambak murni layak
dijalankan. Hal ini dapat dilihat dari BCR dari kegiatan tambak murni berkisar
antara 1.26 – 6,41, dengan rata-rata 2.93. Masa pengembalian modal sangat
bervariasi mulai 0.70 tahun - 22.24 dengan rata-rata 5.81 tahun. Akan tetapi jika
dibandingkan dengan kegiatan usaha dari sistem wanamian terutama pada
penutupan tinggi dan sedang lebih baik dibanding sistem tambak murni. Hal ini
dapat dilihat dari masa pengembalian modalnya yang lebih cepat berkisar antara
1.24 tahun – 5.46 tahun. Analisis kelayakan usaha pada tambak murni dan
minawana disajikan pada Tabel 22.

Tabel 22 Analisis kelayakan usaha pada tambak murni dan sistem minawana

Minawana
Komponen Penutupan Penutupan Penutupan Tambak murni
tinggi sedang Rendah
Keuntungan bersih 53,979,380.82 30,561,733.67 22,544,718.77 15,446,994.67
Discount factor 0.87 0.87 0.87 0.87
Cash flow 54,039,103.05 30,583,863.29 22,544,718.77 25,355,262.11
Net Present Value 46,938,592.02 26,575,420.58 19,604,103.28 13,432,169.28
PV Revenue 80,383,120.20 58,541,304.35 48,418,206.52 99,795,652.17
PV Cost 33,955,803.17 24,329,883.61 21,535,896.74 34,583,333.33
PV of Net Benefit 46,427,317.03 34,211,420.73 26,882,309.78 65,212,318.84
Internal Rate of Return 110.82% 91.59% 69.95% 148.08%
Benefit-Cost Ratio 2.40 2.24 1.99 2.93
Payback Period 1.24 2.33 5.46 5.81
Sumber: Hasil analisis (2012)
53

5.3.2. Analisis Pengembangan Ekonomi Minawana


Berdasarkan uraian kondisi ekosistem mangrove dan manfaat ekonomi
tambak (sistem wanammina) seperti dijelaskan di atas, maka adanya analisis
kelayakan pengembangan kegiatan minawana menjadi sangat penting karena
analisis ini akan mengasumsikan pelaksanaan tambak sistem konvensional yang
telah dilaksanakan saat ini. Perhitungan ini diharapkan meningkatkan motivasi
petambak yang telah sepakat secara persepsi, dan membuktikan bahwa penerapan
sistem ini secara ekonomi tetap menguntungkan.
Berdasarkan uraian di atas tentang bioteknis dimana ada perwilayahan
komoditas berdasarkan sebaran salinitas, maka ada beberapa skenario yang akan
dibuat terhadap pengembangan minawana di RPH Tegal-Tangkil terkait dengan
jenis/komoditas yang akan dibudidayakan. Pada bagian hulu dan tengah
komoditas yang dibudidayakan adalah ikan bandeng dan nila/mujair, dan pada
bagian dekat dengan laut adalah udang windu dengan ikan bandeng. Masing-
masing dari skenario budidaya ini akan dihitung analisis usaha dan kelayakan
usahanya. Pada penelitian ini estimasi pengembangan minawana mengacu pada
hasil penelitian Shilman (2012). Secara rinci pada analisis usaha dan kelayakan
usaha pengembangan ekonomi minawana Lampiran 17.
Berdasarkan hasil perhitungan nilai ekonomi baik langsung maupun lansung
yang dihitung oleh Fahrudin (1996) didapatkan bahwa nilai eknomi kawasan
mangrove di RPH Tegal-Tangkil adalah Rp 15,030,595.76/ha. Jika kawasan
mangrove dijadikan tambak minawana dengan proporsi tambak 40% maka nilai
manfaat mangrove yang akan hilang adalah Rp 6,012,238.30. Pada saat yang
sama biaya pengelolaan hutan mangrove adalah Rp 698,250.00/ha, maka nilai
manfaat mangrove yang hilang adalah Rp 5,732,938.30 atau nilai tersebut pada
tahun 2012 adalah Rp 9,543,082.77 .

5.3.2.1. Analisis Usaha


5.3.2.1.1. Struktur Biaya
Biaya yang digunakan dan manfaat yang diperoleh dalam usaha tambak
sistem minawana RPH Tegal-Tangkil dikelompokkan ke dalam beberapa bagian
yaitu: modal investasi, biaya penambahan investasi, biaya perawatan, nilai sisa
investasi, biaya operasional, dan penerimaan. Pada penelitian ini analisis ekonomi
54

dilakukan untuk 20 (duapuluh) tahun periode analisis, yaitu berdasarkan nilai


ekonomi dari investasi yang dilakukan. Dalam usaha tambak udang dan ikan
bandeng yang akan dilaksanakan RPH Tegal-Tangkil, nilai investasi yang cukup
besar adalah pembangunan konstruksi kolam yaitu sebesar Rp 21,810,000.00
berupa kegiatan rehabilitasi kolam dan pembuatan bangunan pendukung. Umur
ekonomis konstruksi tambak ini sekitar 20 (tujuh) tahun. Sedangkan investasi
lainnya berupa pengadaan peralatan pendukung dengan nilai investasi sebesar Rp
6,050,000.00 dan umur ekonomis berkisar 4 sampai 5 tahun.
1) Modal investasi
Modal investasi yang digunakan dalam usaha tambak sistem minawana
adalah sama dengan tambak konvensional yang ada. Investasi dilakukan dengan
cara revitalisasi/ pembangunan kembali tambak yang sudah ada, serta dilakukan
pembelian beberapa peralatan untuk proses produksi. Penanaman bibit mangrove
sebanyak 5,000 batang untuk tiap petak pada pelataran tambak merupakan bentuk
investasi yang khas pada sistem minawana, komponen investasi ini sebagai bagian
dari upaya rehabilitasi ekosistem mangrove. Penanaman mangrove ini dilakukan
dengan jarak tanam 5 x 5 m. Luasan untuk tambak berdasarkan hasil penelitian
Nur (2002) agar budidaya dan hasil tangkapan cukup untuk keberlanjutan sistem
ekologi di minawana adalah 60% mangrove dan 40% tambak. Oleh karena itu
luasan tambak dari 2 ha tambak adalah 8,000 m2 dan mangrove 12,000 m2.
Jumlah investasi tambak sistem minawana adalah Rp 27,820,000.00. Mengenai
jenis investasi tambak sistem minawana secara rinci dapat dilihat pada Lampiran
17.
2) Nilai sisa (residual value)
Seringkali pada akhir suatu periode proyek diperkirakan adanya nilai sisa,
yaitu tidak semua modal investasi habis digunakan selama periode proyek
sehingga tersisa suatu nilai yang disebut “nilai sisa” (residual value). Oleh karena
itu nilai sisa dari suatu perincian kapital dianggap sebagai “manfaat” proyek
selama tahun terakhir dari periode analisis (Gittinger et al. 2008). Jumlah nilai
sisa yang terjadi pada tahun terakhir periode analisis dapat dilihat pada Lampiran
17.
55

3) Biaya perawatan
Menurut Gittinger et al (2008), untuk memudahkan perhitungan biaya
perawatan bangunan dan peralatan, maka dapat digunakan pedoman biaya
perawatan konstruksi sebesar 1%/tahun dari nilai investasi dan biaya perawatan
mesin sebesar 5 %/tahun dari nilai investasi. Yang digolongkan kedalam
konstruksi adalah semua bangunan dan peralatan yang tidak menggunakan mesin.
Rincian biaya perawatan konstruksi dan peralatan dapat dilihat pada Lampiran
17.
4) Biaya pengganti
Pada pelaksanaan proyek ada beberapa jenis investasi yang harus diganti
sebelum periode proyek selesai. Oleh karena itu diperlukan biaya penggantian
investasi pada saat proyek membutuhkannya. Perlakuan terhadap biaya
penggantian investasi adalah dengan memasukkan biaya-biaya tersebut dalam
perincian biaya modal pada tahun bersangkutan dalam analisis proyek.
Penyusutan hanya merupakan persoalan pembukuan dan bukan merupakan
persoalan nilai ekonomi. Penggantian investasi terjadi seperti disajikan pada
Lampiran 17.
5) Biaya operasional
Terjadi perbedaan satuan harga pada aspek finansial dan aspek ekonomi
untuk harga bahan bakar dan upah tenaga kerja. Secara aspek ekonomi biaya
operasional tambak adalah Rp 10,563,666.67/siklus atau sebesar Rp
21,127,333/33/tahun pada polikultur udang dan badeng. Pada polikultur bandeng
dan nila biaya operasional mencapai Rp 17,341,250.00 /tahun atau Rp
8,670,625.00/siklus tanam. Asumsi harga bahan bakar tanpa subsidi dan upah
tenaga kerja yang riil dikeluarkan. Secara aspek ekonomi jumlah biaya
operasional tambak minawana dapat dilihat pada Lampiran 17.

5.3.2.1.2. Penerimaan
Nilai penerimaan pada tambak sistem minawana yang akan diperoleh
merupakan suatu estimasi berdasarkan data rata-rata penerimaan tambak yang
dilakukan secara baik berdasarkan pedoman umum budidaya. Penerimaan tersebut
merupakan hasil perkalian antara jumlah produksi dikalikan harga jual rata-rata
yang berlaku. Harga jual rata-rata diperoleh sebesar Rp 65,000.00/kilogram
56

udang, Rp 15,000.00/kg bandeng, dan Rp 10,000.00/kg ikan nila/mujair. Jumlah


penerimaan bersih adalah penerimaan setelah dikurangi persentase retribusi yang
tepat diberlakukan di lokasi penelitian, pajak yang berlaku adalah 1,5 %. Rata-rata
penerimaan setelah pajak pada polikultur bandeng dan nila/mujair adalah Rp,
34,059,073.90/tahun atau Rp 17,029,536.95/sklus. Pada polikultur udang dan
bandeng rata-rata penerimaan bersih dikurangi pajak adalah Rp
40,713,333.33/tahun atau Rp 20,356,666.67/siklus. Estimasi nilai penerimaan
hasil budidaya tambak pengembangan minawana secara lengkap dapat dilihat
pada Lampiran 17.
Selain penerimaan dari komoditas yang dibudidayakan tambak sistem
minawana juga menghasilkan panen komoditas sampingan berupa jenis udang
alami, ikan, dan kepiting. Dengan penerapan tambak sistem minawana lebih
memberikan potensi untuk menghasilkan komoditas sampingan jika dibandingkan
tambak sistem konvensional, karena pada sistem ini tersedia ekosistem mangrove
sebagai habitat pada pelataran tambak. Pada penelitian ini jumlah penerimaan dari
hasil sampingan diasumsikan minimal adalah sama dengan kondisi rata-rata
penerimaan tambak saat ini. Penerimaan dari hasil sampingan merupakan
perkalian antara jumlah panen dari hasil sampingan dikalikan harga jual masing-
masing komoditas. Estimasi nilai penerimaan dari hasil sampingan adalah Rp
15,200,000.00/siklus atau Rp 30,400,000.00/tahun. Jenis dan estimasi nilai
penerimaan hasil sampingan tambak minawana secara lengkap dapat dilihat pada
Lampiran 17.

5.3.2.1.3. Keuntungan
Adanya perbaikan terhadap sistem minawana baik dari segi teknik
budidaya maupun manajemen budiadaya dapat meningkatkan penerimaan
penggarap tambak (petambak). Peningkatan penerimaan ini tentunya akan
meningkatkan keuntungan bagi penggarap tambak. Keuntungan penggarap
tambak dari perbaikan sistem minawana mencapai Rp 43,259,517.52 pada
komoditas bandeng dan mujair dan Rp 57,849,666.67 pada komoditas udang dan
windu.
57

Adanya peningkatan keuntungan ini diharapkan akan meningkatkan


kesejahteraan penggarap tambak (petambak). Secara rinci keuntungan petambak
dapat dilihat pada Tabel 23.

Tabel 23 Keuntungan dari perbaikan sistem minawana

Komoditas (Rp)
Komponen
Bandeng dan mujair Udang dan Bandeng
Penerimaan
Hasil budidaya 34,531,184.18 44,981,666.67
Hasil sampingan 30,400,000.00 30,400,000.00
Total penerimaan 64,931,184.18 75,381,666.67
Modal operasional 21,671,666,67 17,532,000.00
Keuntungan 43,259,517.52 57,849,666.67
Sumber: Hasil analisis 2012

5.3.2.2. Analisis Kelayakan Usaha


5.3.2.2.1. Net Present Value
Adapun nilai net benefit setelah masing-masing didiskoun pada tingkat
discount rate sebesar 12% diperoleh nilai NPV sebesar Rp 279,249,745.83 pada
polikultur udang dan bandeng serta sebesar Rp 114,147,877.30 pada polikultur
bandeng dan nila/mujair. Dengan kara lain nilai NPV positif sehingga syarat yang
menyatakan NPV harus bernilai positif, dapat diterima.

5.3.2.2.2. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)


Dari hasil perhitungan pada tahun pertama bernilai negatif dan pada tahun
ke dua sampai tahun terakhir periode analisis bernilai positif. Nilai-nilai tersebut
didiskon dengan discount rate sebesar 12% untuk memperoleh nilai Present Value
Net Benefit (PVNB) setiap tahun dari tahun 2012 sampai dengan dua puluh tahun
kedepan, dimana akan diperoleh nilai PVNB yang bersifat negatif dan positif.
Nilai net B/C dapat dihitung dengan lebih dahulu menjumlahkan nilai PVNB yang
bernilai positif kemudian dibagi dengan jumlah PVNB yang bernilai negatif. Net
B/C pada polikultur udang dan bandeng adalah 37.4. Sedangkan Net B/C pada
polikultur udang dan bandeng adalah 7.40. Nilai-nilai Net B/C ini lebih besar dari
satu sehingga dapat dinyatakan proyek diterima bila nilai net B/C≥ 1 dapat
dipenuhi. Analisis Cash flow, NPV, dan Net B/C secara lebih rinci dapat dilihat
pada Lampiran 17.
58

5.3.2.2.3. Internal Rate Of Return (IRR)


Setelah dilakukan interpolasi dengan menggunakan discount rate percobaan
pertama (i’) sebesar 92% pada polikultur udang dan bandeng diperoleh NPV’
sebesar Rp 21,319,309.22 dan percobaan kedua (i”) sebesar 93% diperoleh NPV”
sebesar Rp 20,933,454.06. Pada polikultur bandeng dan mujair discount rate
percobaan pertama (i’) sebesar 92% didapatkan NPV’ sebesar Rp 1,784,812.66
dan percobaan kedua (i”) sebesar 93% diperoleh NPV” sebesar Rp 1,649,401.92.
Dengan demikian nilai IRR dari dua kondisi tadi didapatkan sebesar 147.25 %
pada polikultur udang dan bandeng serta 105,18 pada polikultur bandeng dan
mujair.
Nilai IRR lebih besar dari tingkat discount rate (12%,) dengan demikian
proyek dinyatakan diterima bila nilai IRR lebih besar atau sama dengan tingkat
discount rate terpenuhi. Analisis IRR secara lebih rinci dapat dilihat pada
Lampiran 17. Dari hasil analisis kelayakan diketahui bahwa penerapan sistem
minawana akan diterima dengan baik oleh masyarakat, karena secara ekonomi
sistem ini akan layak untuk dilaksanakan dengan kriteria sebagai berikut: Nilai
NPV Positif; Nilai Net B/C≥ 1 dan Nilai IRR≥ discount rate.

5.3.3. Perbandingan Sistem Minawana Pada Kondisi Eksisting dan Setelah


Dikembangkan
Berdasarkan hasil perhitungan analisis usaha dan kelayakan usaha
pengembangan minawana di RPH Tegal-Tangkil menunjukkan bahwa konsep
minawana masih dan layak untuk dikembangkan. Selain itu, revitalisasi minawana
dapat meningkatkan pendapatan penggarap tambak maupun kelompok masyarakat
lainnya. Peningkatan pendapatan masyarakat dari kondisi saat ini dibanding
dengan kondisi ideal (pengembangan) mencapai 509.60% pada sistem polikultur
antara udang dan bandeng serta meningkat hingga 449.72% pada sistem polikultur
antara bandeng dan mujair. Hal ini ini menandakan revitalisasi minawana ini akan
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan penggarap
tambak pada khususnnya.
Berdasarkan uraian tentang tentang kondisi ekologi dan ekonomi kawasan
minawana, menunjukkan bahwa konsep minawana memberikan nilai ekologi dan
ekonomis yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, perlu
59

suatu konsep pengelolaan agar kelestarian sumberdaya berjalan sesuai kondisi dan
keinginan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan suatu disain kelembagaan
pengelolaan sumberdaya mangrove yang selanjutnya diuraikan pada sub bab
berikutnya.

5.4. Analisis Kelembagaan Sistem Minawana


5.4.1. Kondisi Kelembagaan Saat Ini
5.4.1.1. Tata Aturan Pengelolaan Kawasan Minawana
1) Batas Yurisdiksi
Batas yurisdiksi pengelolaan kawasan minawana masuk dalam
pengelolaan RPH Tegal-Tangkil, BKPH Ciasem Pamanukan, KPH Purwakarta
Perum Unit III Jawa-Barat Banten. Secara administrasi masuk dalam daerah
Kecamatan Blanakan dengan batas:
Utara : Laut Jawa
Timur : RPH Pamanukan
Selatan: Kali Malang I
Timur : Sungai Cilamaya, Karawang
Hal lain yang perlu diperhatikan terhadap batas yurisdiksi ini adalah pada
batas di utara. Berdasarkan peraturan yang ada, menyebutkan bahwa setiap
lahan/tanah timbul yang berbatasan langsung dengan milik Perhutani menjadi hak
perhutani. Oleh karena itu, luas wilayah RPH Tegal-Tangkil semakin bertambah
tiap tahun karena adanya sedimentasi di Teluk Ciasem. Tanah timbul inilah yang
menjadi sengketa oleh pihak Desa yang sebagian mengklaim tanah tersebut adalah
tanah desa. Saat ini seperti dikemukakan di atas tanah timbul tersebut sudah
menjadi tambak.
2) Hak dan Kewajiban Penguasaan
Sejak tahun 1986, melalui program Perhutanan Sosial kawasan yang
dulunya hutan menjadi kawasan minawana dimana 80% adalah mangrove dan
20% untuk budidaya dalam 1 petak ha tambak. Pada awalnya hak pengelolaan
minawana adalah maksimum 2 ha/KK. Berdasarkan perjanjian awal yang tertuang
dalam buku anggota pemegang hak garap disebutkan bahwa setiap penggarap
tambak memiliki hak garap tambak dan hasilnya. Hak garap ini pada awalnya
adalah 1 tahun dan diperpanjang setiap tahun.
60

Pada buku anggota pemegang hak garap juga disebutkan bahwa, setiap
penggarap tambak memiliki kewajiban untuk membayar hak garapan yang
dibayar setiap tahun dan akan diperpanjang jika masih berniat dan mampu untuk
menggarap. Jika tidak mampu menggarap lagi maka, penggarap tambak wajib
mengembalikan hak garapan ke Perhutani dan Perhutani akan memberikan kepada
pihak lain. Hal yang menjadi masalah saat ini adalah telah terjadi penjualan hak
garapan antar anggota tanpa sepengetahuan Perhutani (diketahui namun terkesan
dibiarkan). Harga tambak minawana yang diperjualkan saat ini berkisar antara Rp
30 juta/ha – Rp 70 juta/ha.

Gambar 15 Buku anggota penggarap tambak di RPH Tegal – tangkil


(sumber: Dokumentasi pribadi 2012)

3) Aturan/Peraturan dan Sanki


Berdasarkan perjanjian awal pada saat pemberian hak garap oleh
Perhutani, disebutkan bahwa tidak boleh menebang/memodifikasi tambak yang
sudah ada. Bahkan disebutkan bahwa penggarap tambak wajib menjaga
kelestarian hutan. Pada awalnya penggarap tambak tidak berani melakukan
penebangan/modifikasi karena sanksi yang jelas yakni hak garap dicabut bahkan
sampai dipenjara. Akan tetapi seiring dengan perubahan waktu penerapan aturan
dan sanksi yang tidak jelas menyebabkan masyarakat berani untuk melakukan
penebangan/modifikasi.

5.4.1.2. Arena Aksi Dalam Pengelolaan Kawasan Minawana


Hasil identifikasi aktor dalam pengelolaan kawasan minawana di RPH
Tegal-Tangkil dikenal 5 pemangku kepentingan dengan berbagai peran (Tabel
24). Secara garis besar identifikasi aktor dikelompokkan dalam peran
61

pemanfaatan dan peran pengaturan. Peran pemanfaatan dilakukan oleh


masyarakat anggota Kelompok Penggarap tambak dan Penangkap ikan dan biota
lainnya. Sementara peran pengaturan dan kontrol dilakukan oleh Perhutani
(sebagai pemilik kawasan). Berdasarkan hasil pemetaan pemangku kepentingan
dalam pengelolaan minawana di RPH Tegal-Tangkil maka dapat diketahui aktor
pemangku kepentingan yang berperan dalam pengelolaan minawana, yaitu :
1) Subyek; ditempati oleh masyarakat anggota penggarap tambak, buruh,
penangkap ikan dan biota lainnya, KUD, dan pengepul. Kelompok ini
menunjukkan kelompok yang memiliki kepentingan yang tinggi terhadap
kegiatan tetapi rendah pengaruhnya dalam perumusan kebijakan.
Ketergantungan tinggi disini terkait dengan proses hasil budidaya dan hasil
tangkapan serta pemasaran hasil produksi perikanan.
2) Pemain; ditempati oleh Perhutani, yang merupakan kelompok aktor yang
memiliki derajat pengaruh dan kepentingan yang tinggi untuk mensukseskan
kegiatan melalui perumusan berbagai kebijakan. Perhutani berhak mengatur
pemanfaatan tradisional (budidaya).
3) Penonton; ditempati oleh aparat desa. Keberadaan mereka dinilai tidak telalu
tergantung terhadap sumberdaya perikanan dan juga tidak terlalu
berpengaruh terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan. Aparat desa
mempunyai fleksibilitas yang tinggi dalam mencari sumber perekonomian
desa selain kegiatan pemanfaatan minawana di Kecamatan Blanakan.
4) Aktor; ditempati oleh LMDH dan Dinas Kelautan dan Perikanan, yang
merupakan aktor yang berpengaruh tetapi rendah kepentingannya dalam
pencapaian tujuan dan hasil kebijakan.

Tabel 24 Identitas pemangku kepentingan dan peranannya

Pemangku kepentingan Peranan/Pemanfaatan


Perhutani (RPH Tegal- Penentu kebijakan (pengelola sumberdaya), pengamanan peraturan
Tangkil) dan kontrol
Penggarap tambak Lokasi budidaya / usaha
Penangkap ikan dan biota Lokasi penangkapan / usaha
lainnya
Dinas Kelautan Perikanan Penyuluh budidaya/peningkatan produksi
LMDH Kontrol dan pembayaran iuran
KUD/KPD Penampungan hasil produksi tambak dan wadah peningkatan
produksi
Sumber: Hasil analisis 2012
62

Secara hukum pengelolaan kawasan minawana RPH tegal-Tangkil


menjadi tanggung jawab Perum Perhutani, KPH Purwakarta. Berdasarkan
peraturan yang ada, Perhutani diwajibkan memberikan pemanfaatan kepada
masyarakat untuk berbagi peran dalam pemanfaatan dan pengelolaan hutan
(mangrove). Untuk itu, pada tahun 2005 Perhutani membentuk Lembaga
Masyarakat Desa Hutan (LMDH) pada masing-masing desa administrasi di KPH
Purawakarta. LMDH merupakan pengganti dari Kelompok Tani Hutan (KTH)
yang dibubarkan pada akhir tahun 2004. LMDH saat ini tidak lebih sebagai
perpanjangan tangan dari Perhutani, terutama pada saat pengambilan retribusi
(sewa lahan) dari penggarap tambak. anggota LMDH adalah masyarakat yang
memiliki hak garapan di Perum Perhutani. Selain itu, pembentukan pengurus
ditunjuk oleh pihak Perhutani.
Sementara itu, penggarap tambak memiliki hak garapan. Hak garapan
tersebut diperoleh dari Perum Perhutani. Selain itu, banyak juga hak garapan
diperoleh dari warisan orang tua, gadai, maupun jual beli hak garapan. Hasil
produksi ikan dari tambak dijual di KUD. Persyaratan menjadi anggota KUD
adalah memiliki tambak (milik maupun perum/minawana) di desa yang menjadi
wilayah administrasi tambak. KUD selain tempat pemasaran ikan/udang juga
berperan dalam kegiatan perbaikan jembatan atau saluran/kalen di kawasan
minawana. KUD juga menyediakan unit Simpan Pinjam bagi anggota.
Untuk peningkatan produksi dan kesejahtraan dari anggota, KUD sering
bekerjasama dengan DKP Kabupaten Subang. Kerjasama tersebut adalah
penyuluhan tentang budidaya mupun pengolahan ikan. Selain itu, DKP Kabupaten
Subang seringkali juga memberikan bantuan bibit kepada penggarap tambak
melalui KUD.
Sebenarnya di kawasan minawana, selain penggarap tambak ada
kelompok masyarakat yang memanfaatkan kawasan tersebut. Kelompok ini
adalah penangkap ikan dan biota lainnya. Kelompok ini memang tidak terdaftar di
Perum Perhutani dan bukan juga anggota LMDH maupun KUD. Mereka
memanfaatkan kawasan ini baik sebagai pekerjaan utama maupun pekerjaan
sampingan. Kelompok ini boleh melakukan penangkapan di dalam tambak selain
ikan atau udang yang dibudidayakan oleh penggarap tambak. Secara ringkas arena
63

aksi dalam pemanfaatan dan pengelolaan kawasan minawana RPH Tegal-Tangkil


kondisi eksisting disajikan pada Gambar 16.

Gambar 16 Arena aksi dalam pengelolaan kawasan minawana RPH Tegal-


Tangkil kondisi eksisting (sumber: Hasil analisis 2012)

5.4.1.3. Pola Interaksi Antar Aktor Dalam Pengelolaan Minawana di RPH


Tegal-Tangkil
Berdasarkan aksi dan situasi yang ada saat ini terhadap pengelolaan
minawana terdapat pola interaksi yang sinergis maupun kontradiktif. Pola
interakasi yang sinergis adalah antara penggarap tambak dengan KUD dan DKP
Subang. Penggarap tambak sangat mengharapkan produksi yang semakin
meningkat, sehingga memperluas areal budidaya, dengan harapan produksi akan
meningkat. KUD dan DKP Subang memberikan bantuan berupa bantuan modal
maupun bibit kepada penggarap tambak.
Sementara itu, pola interaksi yang kontradiktif adalah antara penggarap
tambak dengan Perhutani dan kelompok penangkap ikan dan biota lainnya. Pihak
Perhutani sebagai aktor yang memiliki wawasan menginginkan mangrove yang
semakin banyak (konservasi). Disisi lain penggarap tambak menginginkan luasan
tambak untuk meningkatkan produksinya. Selain itu kelompok masyarakat
penangkap ikan dan biota lainnya berharap mangrove tetap luas karena
berpengaruh terhadap tangkapan mereka.
Sebenarnya, pihak Perum Perhutani memiliki hak untuk mencabut hak
garapan dari penggarap tambak jika terbukti melakukan pelanggaran. Akan tetapi,
rendahnya pelaksanaan aturan dan sanksi dari pihak Perhutani sebagai pemegang
64

kekuasaan menyebabkan penggarap tambak berani untuk melakukan penebangan.


Demikian juga dengan peranan LMDH yang seharusnya membantu Perum
Perhutani untuk melindungi mangrove. Akan tetapi karena kewenangan dan
fungsi LMDH yang tidak jelas sehingga tidak memiliki kekuatan untuk
menegakkan peraturan.

5.4.1.4. Luaran/Dampak Dalam Terhadap Sumberdaya


Berdasarkan pola interaksi yang terjadi antar pemangku kepentingan di
RPH Tegal-Tangkil menunjukkan bahwa pola interaksi kontradiktif yang paling
menonjol. Dengan demikian, hasil akhir yang terjadi adalah tingginya penebangan
mangrove untuk memperluas areal budidaya. Kondisi menyebabkan semakin
rusaknya ekosistem mangrove.

5.4.2. Persepsi Masyarakat Dalam Pengelolaan Minawana RPH Tegal-


Tangkil
Pada pengelolaan ekosistem mangrove bagian yang sangat penting dalam
keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove adalah bagaimana perilaku
masyarakat dalam memanfaatkan ekosistem tersebut terutama penggarap tambak.
Perilaku masyarakat ini juga sangat berkaitan dengan persepsi atau pemahaman
masyarakat terhadap ekosistem mangrove. Hal ini disebabkan oleh aktivitas
masyarakat setempat yang tergantung dengan potensi dan kondisi sumberdaya
yang ada di ekosistem mangrove. Adanya aktivitas masyarakat di sekitar kawasan
mangrove akan memberikan dampak pada ekosistem mangrove. Dengan kata lain
keberlanjutan pengelolaan mangrove sangat tergantung dari peran serta
masyarakat. Persentase persepsi dan pemahaman masyarakat terhadap
pengelolaan ekosistem mangrove dan persepsi penerapan minawana di lokasi
penelitian disajikan dalam angka antara 0 % sampai 100 % yang menunjukan
pandangan sangat buruk (0 %) sampai dengan sangat baik (100 %).

Berdasarkan hasil wawancara, 100 % responden menyatakan bahwa


mereka mengetahui dan memahami arti dan maksud mangrove dan empang.
Selanjutnya 96.77% responden menyatakan mengetahui dan memahami fungsi
dan manfaat fungsi dan manfaat mangrove. Akan tetapi masyarakat yang
mengetahui dan memahami hutan lindung hanya sebesar 32.26%. Sementara itu
65

pengetahuan dan pemahaman responden terhadap LMDH dan PHBM pun sangat
rendah yakni hanya 11.29%. Secara rinci persepsi masyarakat dan pengetahuan
masyarakat (petambak) terkait mangrove disajikan pada Tabel 25.

Gambar 17 Kegiatan wawancara terhadap responden


(sumber: Dokumentasi pribadi 2012)

Tabel 25 Persentase pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang mangrove,


empang, PHBM dan LMDH
Komponen % responden
Pengetahuan tentang mangrove 100.00
Pengetahuan tentang empang 100.00
Pengetahuan tentang fungsi dan manfaat mangrove 96.77
Pengetahuan tentang hutan lindung 32.26
Pengetahuan tentang PHBM 11.29
Pengetahuan tentang LMDH 11.29
Sumber: Hasil analisis 2012

Berdasarkan Tabel 25 didapatkan suatu informasi bahwa masyarakat


terutama penggarap tambak di sekitar RPH Tegal-Tangkil memiliki pengetahuan
dan pemahaman tentang PHBM dan LMDH sangat rendah. Hal ini dapat
disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan masyarakat (Tabel 8) ataupun
karena kurangnya sosialisasi dari pihak Perum Perhutani akan PHBM dan LMDH.
Hal ini juga memungkinkan karena pembentukan LMDH sendiri bukan atas
inisiatif masyarakat, tetapi dibentuk oleh Perum Perhutani. Lebih parah lagi
pengurus LMDH diangkat dan diberhentikan oleh Perum Perhutani. Padahal,
seharusnya pengurus diangkat dan diberhentikan oleh anggota LMDH sendiri.
Rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap PHBM dan
LMDH secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap
66

keberhasilan program-program yang dibuat oleh Perum Perhutani. Keberhasilan


program Perhutani dalam rangka menjaga kelestarian hutan mangrove menjadi
tidak berhasil. Hal ini terbukti dengan semakin maraknya penebangan hutan
mangrove untuk memperluas areal budidaya. Rendahnya pengetahuan dan
pemahaman masyarakat terhadap PHBM dan LMDH juga menyebabkan
rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan fungsi dan manfaat
LMDH. Hasil wawancara dengan masyarakat diperoleh informasi bahwa hanya
4.84% masyarakat yang mengetahui akan fungsi dan manfaat LMDH yaitu
sebagai fungsi penanaman dan pemeliharaan mangrove (Tabel 26). Hal ini karena
peran LMDH yang tidak melakukan pendekatan secara rutin terhadap anggota
dalam himbauan untuk menjaga kelestarian hutan.
Melihat peran LMDH yang sangat rendah akan kelestarian mangrove,
sehingga ada beberapa kelompok masyarakat membentuk Kelompok Pecinta
Mangrove. Kelompok ini bertujuan untuk melakukan rehabilitasi mangrove di
kawasan minawana maupun di kawasan tambak milik. Walaupun baru berumur 2
tahun kelompok ini cukup dikenal masyarakat karena malakukan aksi langsung
rehabilitasi mangrove di tambak milik (bukan milik Perum Perhutani). Saat ini
kelompok ini memiliki tambak percontohan rehabilitasi mangrove di tambak
milik. Dengan demikian, Kelompok Cinta Mangrove ini lebih dikenal masyarakat
dibanding LMDH karena aksi nyata dilapangan dan adanya sosialisasi rutin dari
masyarakat (Tabel 26).

Tabel 26 Persentase pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap fungsi


dan manfaat KUD, LMDH dan Kelompok Cinta Mangrove
Organisasi % responden
LMDH
- Penanaman mangrove 4.84
- Pengawasan mangrove 4.84
Kelompok Cinta Mangrove
- Penanaman mangrove 20.97
- Pengawasan mangrove 20.97
KUD
- simpan pinjam 75.81
- pemasaran 100.00
- perbaikan jalan/jembatan 100.00
- santunan 100.00
- komisi 100.00
Sumber: Hasil analisis 2012
67

Berdasarkan Tabel 26 dapat diketahui bahwa hampir seluruh masyarakat


mengetahui dan memahami akan fungsi dan keberadaan KUD. Hal ini tidak
terlepas dari fungsi dan manfaat yang sangat besar terhadap masyarakat terutama
penggarap tambak sebagai tempat menampung dan memasarkan hasil panen
anggota (harian maupun musiman). KUD selain tempat pemasaran ikan/udang
juga berperan dalam kegiatan perbaikan jembatan atau saluran/kalen di kawasan
minawana. KUD juga menyediakan unit Simpan Pinjam bagi anggota dan
santunan bagi anggota jika sakit ataupun mengalami musibah.

5.5. Perbaikan Pengelolaan Minawana


Perbaikan ekologi dan penerapan (improvement) bioteknis pengelolaan
minawana merupakan hal yang harus dilaksanakan untuk meningkatkan
kesejahtraan masyarakat dan menjaga kelestarian sumberdaya ekosistem
mangrove. Untuk menjamin perbaikan ekologi dan penerapan bioteknis
diperlukan perbaikan pengelolaan minawana. Dengan demikian diperlukan desain
kelembagaan yang adaptif didasarkan pada karakteristik sumberdaya, lingkungan
maupun pengelolaannya. Dengan demikian, untuk mewadahi kepentingan
masing-masing pemangku kepentingan yang terlibat, maka perlu diperbaiki
kelembagaan yang ada. Setidaknya ada tiga hal penting yang harus mendapatkan
kesepakatan dari para pemangku kepentingan tersebut yaitu format lembaga,
mekanisme pengambilan keputusan, dan kewenangan lembaga (Rudiyanto 2011):
Berdasarkan uraian diatas, maka perlu disusun suatu pola pengelolaan
(kelembagaan) kawasan minawana yang diharapkan dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumberdaya. Perbaikan dalam struktur
organisasi pengelolaan minawana menjadi langkah pertama dalam perbaikan
pengelolaan. Organisasi pengelolaan ini terkait dengan pihak/lembaga apa saja
yang terlibat dalam pengelolaan. Selain itu, masing-masing pihak yang terlibat
memiliki fungsi dan peran masing-masing di dalam pengelolaan.

5.5.1. Format Lembaga


Sesuai Keputusan Ketua Dewan Pengawas Perum Perhutani
No.136/KPTS/DIR/2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis
Masyarakat (PSDHBM). Pada program PSDHBM ini masyarakat desa hutan
68

(MDH) dan Perum Perhutani diberikan kesempatan untuk melakukan pengelolaan


sumberdaya hutan. PSDHBM ini kemudian diperbaharui dengan program
Pengelolaan Hutan Bersama Masyrakata. PHBM ini berdasarkan Keputusan
Direksi Perum Perhutani No.682/KPTS/DIR/2009 tentang Pedoman Pengelolaan
Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat. LMDH dan Perhutani bekerjasama
dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang diikat dengan akta kerjasama yang
diaktenotariskan. Oleh karena itu, LMDH memiliki peran penting dalam
pelaksanaan pengelolaan di lapangan (operasional) yang tentunya anggota dan
pengurusnya diangkat oleh masyarakat.
LMDH adalah satu lembaga yang dibentuk oleh masyarakat desa yang
berada didalam atau disekitar hutan untuk mengatur dan memenuhi kebutuhannya
melalui interaksi terhadap hutan dalam konteks sosial, ekonomi, politik dan
budaya (Awang et al. 2008). Selain itu, LMDH mangrove berbeda dengan LMDH
yang lainnya yang berbasis daratan. LMDH mangrove ini memiliki keunikan
sumberdaya yang akan dikelola, yaitu hutan mangrove dan sumber daya perairan
(tambak). Keunikan ini didasarkan pada, keterikatan yang kuat antar satu lokasi
dengan lokasi lainnya. Misalnya, jika terjadi pencemaran di satu tempat, maka
kemungkinan besar akan berdampak ditempat lainnya. Dengan demikian, jika
salah satu yang rusak maka akan sangat berdampak ke lokasi yang lain.
Selama ini (di lokasi kajian) anggota LMDH adalah terbatas pada anggota
masyarakat yang memiliki hak garapan di RPH Tegal-Tangkil. Demikian juga
dengan pengurus diangkat dan diberhentikan oleh Perhutani. Hal ini berbeda
dengan konsep yang diajukan oleh Awang et al. (2008) bahwa keanggotaan
LMDH seharusnya melibatkan berbagai pihak yang baik secara langsung
berhubungan dengan pemanfaatan hutan (mangrove) ataupun tidak. Pihak yang
terlibat menurut Awang et al. (2008) antara lain: Masyarakat Desa Hutan,
Pemerintah Desa, Perum Perhutani, dan Dinas/instansi terkait. Untuk itu, selain
perbaikan struktur organisasi pengelolaan, perbaikan LMDH mutlak diperlukan.
Langkah-langkah dalam perbaikan LMDH RPH Tegal-Tangkil adalah:
1) Seleksi Masyarakat Pengguna Hutan
Penyeleksian terhadap masyarakat pengguna hutan penting dilakukan untuk
mengetahui kelompok masyarakat yang memiliki ketergantungan hidup
69

terhadap ekosistem mangrove. Masyarakat yang memanfaatkan ekosistem


mangrove di RPH tegal-tangkil dibagi kedalam 2 kelompok yaitu: kelompok
penggarap tambak dan kelompok penangkap ikan dan biota lainnya.
Kelompok penggarap tambak merupakan masyarakat yang memiliki hak
garapan empang yang diperoleh baik langsung dari Perum Perhutani maupun
hak yang diturunkan dari orang tua ataupun penggadaian dan bahkan dari
proses jual beli. Kelompok penangkap ikan dan biota lainya terdiri dari
kelompok penangkap kepiting, penangkap wideng, penangkap belut,
penangkap ular, penangkap burung dan lain-lain. Selama ini anggota LMDH
adalah kelompok penggarap tambak.
2) Perbaikan Visi dan Misi Bersama
Perbaikan visi dan misi diperlukan untuk menyatukan tujuan bersama dalam
pengelolaan minawana RPH Tegal-tangkil. Dengan demikian, masyarakat
(anggota LMDH) memiliki visi dan tujuan yang sama terhadap pemanfaatan
dan pengelolaan minawana
3) Perbaikan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART).
Sebagai organisai yang sah dan memiliki aspek kekuatan hukumdalam
pengelolaan minawana maka perlu adanya Anggaran Dasar (AD) dan
Anggaran Rumah Tangga (ART). Perbaikan AD/ART ini diperlukan untuk
menjamin dan menetapkan peranan masing-masing anggota terhadap
pengelolaan minawana. Selain itu, didalam AD/ART diatur hal-hal yang
mendasar dalam sebuah organisasi, termasuk keanggotaan dan kepengurusan
LMDH serta hak dan kewajiba masing-masing anggota dan pengurus.
4) Penataan Administrasi
Penataan administrasi sangat penting, sehingga organisasi berjalan sesuai
dengan AD dan ART serta program-program yang dibuat. Dengan penataan
administrasi ini, diharapakan LMDH ini akan memiliki tata administrasi yang
baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
5) Membangun Pusat Informasi
Pusat informasi sangat penting sebagai media untuk menyebarluaskan
program yang terkait dengan pengelolaan mangrove. Saat ini pusat informasi
pada masing-masing LMDH di RPH Tegal-Tangkil tidak ada. Bahkan, kantor
70

ataupun papan informasi tentang LMDH tidak ada. Untuk itu, perlu
membangun pusat informasi pada masing-masing LMDH di RPH Tegal-
Tangkil yang berupa pembangunan/pembuatan:
a) Saung LMDH. Saung ini nantinya sebagai tempat untuk melakukan
diskusi, penyuluhan atau kegiatan lain terkait dengan pengelolaan kawasan
minawana. Saung dapat dibangun dimasing-masing petak tambak tempat
biasa para masyarakat berkumpul.
b) Papan informasi, berisi: monografi LMDH, foto kegiatan, data potensi,
informasi dan agenda kegiatan LMDH, papan pengumuman, dll.
c) Poster, berisi foto dan slogan
d) Kalender lembaga, berisi: profil, kegiatan internal, peran para pihak,
potensi pangkuan, kegiatan ekonomi produktif, kontribusi LMDH. Pada
kalender juga ditulis visi dan lambang LMDH.
e) Leaflet, berisi: profil LMDH dan perjalanan LMDH
6) Pendidikan dan Latihan Organisasi
Pendidikan dan latihan (diklat) merupakan satu bentuk pelatihan untuk
mengetahui pemahaman anggota tentang manajemen organisasi. Diklat
dilakukan dalam berbagai permainan yang memuat nilai atau aspek dalam
manajemen organisasi. Diklat menjadi penggambaran aktivitas pengelolaan
LMDH yang dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan individu ataupun
kelompok.
7) Pengembangan Ekonomi
Pengembangan ekonomi LMDH adalah suatu usaha pengembangan yang
dilakukan dalam rangka meningkatkan ekonomi lembaga dan masyarakat.
Manfaatnya untuk mendorong peningkatan kekayaan lembaga dan
meningkatkan kesejahtraan masyarakat. Mengingat, di RPH tegal-Tangkil
sudah ada KUD pada masing-masing desa, maka LMDH memerlukan
kerjasama yang baik dengan KUD.
Berdasarkan uraian diatas, maka perbaikan organisasi LMDH juga perlu
diperbaiki. Perbaikan Organisasi LMDH disajikan pada Gambar 18.
71

Rapat Anggota

Pemerintah Desa Perhutani/KPH Purwakarta


Ketua
FK PHBM Desa Instansi/lembaga terkait

Sekretaris Bendahara

Sie Perencanaan Sie Humas dan


Sie Bagi Hasil Sie Keamanan Sie Budidaya
Program Organisasi

Anggota
komando

koordinasi

Gambar 18. Struktur organisasi LMDH


(Sumber: modifikasi Awang et al. 2008)

5.5.2. Mekanisme Pengambilan Keputusan


LMDH sebagai sebuah lembaga yang melibatkan banyak orang, tentu
memiliki kepentingan masing-masing. Untuk itu, perlu ditetapkan mekanisme
pengambilan keputusan dan dicantumkan dalam AD/ART. Mekanisme
pengambilan keputusan dapat berupa musyawarah-mufakat, pemungutan suara
atau kombinasi keduanya. Pengambilan keputusan diusahakan secara musyawarah
mufakat dan jika tidak dicapai kemufakatan maka keputusan diambil dengan suara
terbanyak. Jika, suara seimbang keputusan diserahkan kepada kebijaksanaan
pimpinan sidang.
Selain itu, ada hal lain yang perlu dijelaskan sejak awal bahwa siapa
sajakah yang dapat mengambil keputusan dan hal-hal apa saja yang dapat
diputuskan. Dengan demikian, pengambilan keputusan dibagi kedalam 3
kelompok yaitu: Rapat Umum Anggota (RUA), pengurus dan ketua. RUA
merupakan pertemuan antara anggota, pengurus, pembina dan undangan.
Pengambilan keputusan pada tingat RUA adalah:
1) perubahan AD/ART,
72

2) pemilihan ketua dan pertanggung jawaban ketua


3) iuran anggota.
4) meninjau dan mengevaluasi jalannya program kerja pengurus
5) menetapkan program kerja yang dibuat oleh pengurus
6) RUA dilaksanakan sesuai dengan yang ditetapkan dalam AD/ART.
Pengambilan keputusan pada tingkat pengurus adalah:
1) Pembuatan/perbaikan saluran, jalan, jembatan, dan prasarana lainnya
2) Pegangkatan dan pemberhentian anggota
3) Penanaman mangrove atas persetujuan Perum Perhutani

Sementara itu, pengambilan keputusan pada ketua LMDH terkait dengan:


1) Susunan dan tugas pengurus
2) Kerjasama dengan pihak asing, seperti pengadaan benih/benur, pupuk dan
atau kegiatan penyuluhan yang terkait dengan pengelolaan/pemanfaatan
minawana
3) Penyediaan bibit mangrove

5.5.3. Kewenangan LMDH


Sebagai pemilik penuh kawasan minawana, Perhutani tentunya memiliki
otoritas penuh terhadap kebijakan pengelolaan. Untuk itu, Perhutani melalui KPH
Purwakarta memiliki kekuasaan penuh untuk mengambil dan menetapkan
kebijakan pengeloaan sesuai amanat PP No.72 Tahun 2010 pada pasal 3. Akan
tetapi, melalui peraturan pemerintah tersebut Perhutani juga memiliki kewajiban
untuk melibatkan masyarkat untuk ambil bagian dalam pengelolaan yang
ditetapkan oleh Perhutani (Pasal 7 ayat 6). Oleh karena itu, hal yang perlu
diperhatikan adalah adanya pemberian wewenang (delegasi kekuasaan) terhadap
Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Pemberian kewenangan ini
seharusnya dituangkan dalam struktur organisasi pengelolaan yang jelas antara
Perhutani dengan LMDH sebagai organisasi resmi yang mengatur pengelolaan di
lapangan.
Walaupun LMDH yang memiliki kewenangan pengelolaan di RPH Tegal-
Tangkil, akan tetapi kekuatan lokal sepenuhnya yang akan diikuti penggarap
tambak adalah anjuran dari KUD. Hal ini dikarenakan ketergantungan masyarakat
terutama penggarap tambak terhadap KUD. Hal ini didasarkan pada peran KUD
73

yang sangat besar terhadap peningkatan ekonomi penggarap tambak. Hal ini
terkait dengan peran KUD yang menampung hasil produksi dari kegiatan
minawana. Selain itu, KUD juga merupakan wadah untuk kegiatan simpan
pinjam, perbaikan jalan, pemberian santunan dan komisi yang didapatkan oleh
penggarap tambak pada setiap tahun. Akan tetapi, kedepan KUD hanya memiliki
kewenangan terhadap kegiatan pemasaran dari hasil produksi minawana. Terkait
dengan perbaikan jalan ataupun saluran dan bahkan penyediaan penyuluhan
kegiatan budidaya menjadi tanggung jawab LMDH. Untuk itu, penulis
mengusulkan skematik organisasi pengelolaan kawasan minawana RPH Tegal-
Tangkil seperti terlihat pada Gambar 17.

Gambar 19 Organisasi pengelolaan kawasan minawana


(sumber: Hasil analisis 2012).

5.6. Perbaikan Pengelolaan Kawasan Minawana


Perbaikan pengelolaan kawasan minawana adalah perbaikan dalam aturan
main pengelolaan. Aturan main ini terkait dengan apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan terhadap pengelolaan minawana. Selain itu, tentunya sanksi atau
imbalan apa yang diperoleh jika melanggar aturan yang ditetapkan. Berdasarkan
studi kasus pola pengelolaan perikanan yang berbasisi masyarakat di Vietnam,
maka pola pengelolaan yang baru ini mengadopsi dari Ruddle (1998). Pola
pengelolaan ini sendiri terdiri dari 5 komponen pola pengelolaan pesisir, yaitu:
kewenangan (authority), tata aturan (rules), hak (right), pemantauan dan kontrol
(monitoring), kewajiban dan tanggung jawab (accountability), pelaksanaan
74

(enforcement), dan sanksi (sanctions). Secara rinci kelima komponen tersebut


akan diuraikan pada pembahasan berikut ini.

5.6.1. Kewenangan Pengelolaan (authority)


Pada pengelolaan suatu sumberdaya alam, diperlukan suatu kejelasan
pihak atau lembaga yang memiliki kewenangan dalam pemanfataan atau
perlindungan sumberdaya alam agar tetap lestari termasuk pengelolaan mangrove.
Hutan mangrove di kawasan pantai Subang bagian utara berada di bawah otoritas
pengelolaan RPH Tegal-Tangkil BKPH Ciasem-Pamanukan, KPH Purwakarta,
Perum Perhutani Unit III Jawa Barat - Banten. Sejak tahun 1986 BPKH Ciasem
Pamanukan telah menerapkan strategi Perhutanan Sosial (PS). Pelaksanaan
Perhutanan Sosial dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara aktif sebagai
penggarap tambak. Disisi lain penggarap tambak wajib memelihara ekosistem
mangrove. Pola ini kemudian disempurnakan pada tahun 1988 dengan program
minawana (Perum Perhutani 1984). Sejak tahun 2001, sebagai keberlanjutan dari
program Perhutanan Sosial dilanjutkan dengan program Pengelolaan Hutan
Bersama Masyarakat (PHBM). PHBM adalah suatu sistem pengelolaan
sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan Masyarakat
Desa Hutan maupun dengan pihak lain yang berkepentingan (stakeholder). PHBM
ini dengan maksud berbagai peran antara Perum Perhutani dengan LMDH.
Dengan demikian, kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan
manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional.
Dasar Hukum Perum Perhutani sendiri ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 15 Tahun 1972 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
1978, kemudian disempurnakan/diganti berturut-turut dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 36 Tahun 1986, Peraturan Pemerintah No 53 Tahun 1999,
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2001, dan terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 2003. Saat ini pengelolaan perusahaan Perum
Perhutani dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010
tentang tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara. Beradasarakan
Peraturan Pemerintah ini, Pemerintah melanjutkan penugasan kepada Perusahaan
untuk melakukan Pengelolaan Hutan di Hutan Negara yang berada di Provinsi
Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten,
75

kecuali hutan konservasi, berdasarkan prinsip pengelolaan hutan lestari dan


prinsip tata kelola perusahaan yang baik (pasal 3 ayat 1).
Pada pasal 7 PP No 72 Tahun 2010 ayat (1) disebutkan Perusahaan
menyelenggarakan kegiatan Pengelolaan Hutan sebagai ekosistem sesuai dengan
karakteristik wilayah untuk mendapatkan manfaat yang optimal dari segi ekologi,
sosial, dan ekonomi, bagi perusahaan dan masyarakat. Hal ini sejalan dengan
tujuan nasional dan daerah, yang dituangkan dalam Rencana Pengaturan
Kelestarian Hutan (RPKH) yang disusun oleh Perusahaan dan disetujui oleh
Menteri Teknis atau pejabat yang ditunjuk. Upaya melibatkan masyarakat sekitar
hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dilakukan dengan cara :
a) memberikan dan menyelenggarakan penyuluhan, bimbingan, pendampingan,
pelayanan, bantuan teknik, pendidikan, dan/atau pelatihan;
b) menyebarluaskan informasi mengenai proses pengelolaan hutan kepada
masyarakat secara terbuka; dan
c) masyarakat dilibatkan pada pelaksanaan pengelolaan hutan, sesuai dengan
prinsip tata kelola perusahaan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun
2010 Tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara, maka pengelolaan
hutan merupakan kegiatan yang meliputi tata hutan dan penyusunan rencana
pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, rehabilitasi, dan reklamasi hutan, serta
perlindungan hutan dan konservasi alam. Oleh karena itu, ekosistem mangrove
(hutan bakau) di wilayah pantai utara Subang (termasuk RPH Tegal-Tangkil)
menjadi wilayah pengelolaan Perum Perhutani dalam hal ini KPH Purwakarta,
BKPH Ciasem-Pamanukan.
Hasil wawancara tentang pemahaman dan pengetahuan petambak terhadap
kewenangan pengelolaan kawasan minawana RPH Tegal-Tangkil sepenuhnya
dibawah kewenangan Perhutani/BKPH Ciasem-Pamanukan (100%). Akan tetapi
walaupun masyarakat mengakui bahwa kawasan minawana merupakan
kewenangan Perhutani, boleh melakukan kegiatan budidaya (bagi yang memiliki
hak garapan) dan melakukan penangkapan kepiting, wideng, belut, ular dan
burung. Bahkan penggarap tambak banyak yang melakukan penebangan dan
76

modifiksi terhadap tambak. Selain itu, banyak terjadi jual beli hak garapan diluar
sepengetahuan pihak Perhutani. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
1) Pada awalnya empang dijadikan sebagai jaminan oleh penggarap tambak
kepada orang lain (penggadai) untuk meminjam uang. Akan tetapi jika tidak
terbayar empang tersebut menjadi hak garapan pihak penggadai yang tidak
dilaporkan kepada pihak Perhutani
2) Penggarap tambak dengan sengaja menjual hak garapan kepada pihak lain
tanpa sepengetahuan oleh pihak Perhutani

Pada umumnya penggarap tambak memperoleh hak garapan tambak


berasal dari jual beli (44.44%) dan hak yang diturunkan oleh orang tua (37.04%).
Penggarap tambak yang langsung memperoleh izin garapan dari Perhutani hanya
11.11%% sedangkan sisanya diperoleh melalui hasil gadaian dari pihak lain
(7.41%). Untuk selengkapnya perolehan hak garapan disajikan pada Tabel 27.

Tabel 27 Perolehan hak garapan empang di RPH Tegal-Tangkil

Perolehan empang % responden


Langsung dari Perhutani 11.11
Hak yang diturunkan dari orang tua 37.04
Jual-beli empang 44.44
Gadai 7.41
Total 100.00
Sumber: Hasil analisis 2012

Perolehan hak garapan dari pembelian ataupun warisan memberikan


dampak yang berbeda jika diperoleh langsung dari Perhutani. Penggarap tambak
yang memperoleh hak garapan dari Perhutani pada umumnya berkomitmen untuk
tetap mempertahankan mangrove dibanding dengan jika didapatkan dari warisan
atau dari proses jual-beli. Oleh karena itu, penebangan atau modifikasi empang
biasanya dilakukan oleh penggarap tambak yang memperoleh empang dari jual
beli. Hal ini dikarenakan mereka merasa empang tersebut adalah miliknya,
walaupun masih mengakui tanah tersebut milik Perhutani. Selain itu, maraknya
penebangan dan modifikasi empang adalah ketidaktahuan masyarakat tentang
fungsi dan peranan Perhutani terhadap pengelolaan hutan Negara. Oleh karena itu,
melihat permasalahan yang terjadi saat ini, hal yang perlu dilakukan oleh pihak
Perhutani antara lain:
77

1) Sosialisasi mengenai fungsi dan peranan Perhutani terhadap kelestarian


mangrove.
2) Sosialisasi bagaimana peranan (kontribusi) masyarakat terhadap
pengelolaan/pemanfaatan sumberdaya mangrove.
3) Sosialisasi fungsi dan peranan LMDH terhadap pengelolaan ekosistem
mangrove.
4) Pemberian kewenangan kepada LMDH sebagai mitra Perhutani dalam
pengelolaan minawana di RPH Tegal-Tangkil mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi bersama Perhutani (Kep. Dir Perum
Perhutani N0. 682/KPTS/DIR/2009).
5) Perbaikan organisasi LMDH baik dari keaggotaan, AD/ART, visi/misi atau
hal lainnya sesuai standar organisasi yang memiliki badan hukum.
6) Pengangkatan pengurus LMDH oleh masyarakat bukan oleh Perhutani.
Perhutani hanyalah kontrol terhadap kinerja pengurus LMDH terkait dengan
kelestarian mangrove.

Jika misalnya suatu kawasan mangrove adalah bukan milik Negara, maka
kewenangan pengelolaan seharusnya diserahkan kepada kelompok masyarakat.
Pemberian kewenangan kepada kelompok masyarakat tersebut harus dituangkan
(dilegalkan) dalam peraturan. Pada dalam peraturan tersebut harus dituangkan
dengan jelas fungsi dan peranan kelompok masyarakat terhadap pengelolaan.
Selain itu, dituangkan kontrol (peranan) pemerintah terhadap pengelolaan
sumberdaya tersebut. Hal ini untuk memperkuat posisi kelompok pengelola
terhadap pengelolaaan sumberdaya mangrove.

5.6.2. Sistem Tata Aturan (rules)


Aturan/regulasi merupakan salah satu sistem kelembagaan yang sangat
penting dalam pengelolaan sumberdaya pesisir di kawasan minawana RPH Tegal-
Tangkil. Pada kasus penelitian ini aturan main dalam pengelolaan/pemanfaatan
sumberdaya mangrove (minawana) adalah aturan yang yang dibuat oleh Perhutani
sebagai pihak yang memiliki kewenangan penuh terhadap kawasan minawana.
Tentunya aturan tersebut juga disosialisasikan dan disepakati dengan masyarakat
(LMDH). Masyarakat sebagai rekanan perhutani dalam memanfaatkan kawasan
78

minawana hanya dapat memanfaatkan kawasan sesuai dengan peruntukannya.


Masyarakat tidak dilibatkan dalam pembuatan sistem aturan karena wilayah
minawana tersebut adalah tanah Negara yang dikuasakan pengelolaannya kepada
Perhutani. Jadi masyarakat penggarap tambak wajib untuk mengikuti aturan yang
ada baik suka maupun tidak jika ingin memperoleh hak garapan.
Berdasarkan perjanjian awal pada saat pemberian hak garap oleh
Perhutani, disebutkan bahwa tidak boleh menebang/memodifikasi tambak yang
sudah ada. Bahkan disebutkan bahwa penggarap tambak wajib menjaga
kelestarian hutan. Pada buku anggota pemegang hak garap juga disebutkan bahwa
setiap penggarap tambak memiliki kewajiban untuk membayar hak garapan.
Pembayaran dilakukan setiap tahun dan akan diperpanjang jika masih berniat dan
mampu untuk menggarap. Jika tidak mampu menggarap lagi maka, penggarap
tambak wajib mengembalikan garapan ke Perhutani dan Perhutani akan
memberikan kepada pihak lain.
Hal yang menjadi masalah saat ini adalah telah terjadi penjualan hak
garapan antar anggota tanpa sepengetahuan Perhutani (diketahui namun terkesan
dibiarkan). Harga tambak minawana yang diperjualkan saat ini berkisara antara
Rp 30 juta/ha – Rp 70 juta/ha. Selain itu terjadi penebangan tanaman mangrove
baik sengaja maupun tidak sengaja oleh penggarap. Sebanyak 66.67 % responden
mengakui melakukan penebangan mangrove. Penebangan ini terkait dengan
memperluas areal budidaya dengan harapan meningkatkan produksi perikanan.
Penggarap tambak yang melakukan modifikasi dan jual-beli masing-masing
mencapai 66.67% dan 44,44%. Kondisi dan persepsi penggarap tambak terhadap
sistem aturan main di RPH Tegal-Tangkil disajikan pada Tabel 28.

Tabel 28 Kondisi dan persepsi penggarap terhadap sistem aturan main di RPH
Tegal-Tangkil
Aturan main Kondisi lapangan %responden
Pembayaran iuran Pembayaran iuran dilakukan oleh penggarap tambak 100.00
setiap tahun
Tidak boleh melakukan Beberapa penggarap tambak melakukan penebangan 66.67
penebangan mangrove untuk memperluas areal budidaya
Tidak boleh melakukan Beberapa penggarap tambak melakukan modifikasi 66.67
modifikasi empang untuk memperluas areal budidaya
Tidak boleh melakukan Beberapa penggarap tambak melakukan jual-beli empang 44.44
jual-beli untuk mendapatkan hak garapan tanpa sepengetahuan
pihak Perhutani
Sumber: Hasil analisis 2012
79

Berdasarkan uraian diatas untuk mencapai hasil yang diharapkan dalam


keberlanjutan pengelolaan mangrove antara lain dapat dilakukan dengan:
1) Mempertegas penegakan hukum dan penerapan sanksi
2) Perbaikan terhadap proporsi luasan mangrove terhadap tambak. Proporsi yang
ditetapkan adalah perbandingan empang parit 60% mangrove dan 40%
tambak/empang. Perbaikan proporsi mangrove dan tambak menjadi tanggung
jawab masing-masing penggarap tambak, yang dikoordinasikan oleh LMDH
masing-masing. Adapun bibit mangrove disediakan oleh LMDH yang
bekerjasama dengan Perum Perhutani. Untuk itu, penggarap tambak wajib
memlihara mangrove tersebut dan hanya diperbolehkan untuk memangkas
bukan untuk menebang. Penebangan pohon dapat dilakukan setelah umur 25
tahun dan wajib ditanam kembali.
3) Penetapan kawasan jalur hijau. Adapun jalur hijau pada sempadan pantai
adalah minimal 130 m dari bibir pantai dan sempadan sungai minimal 50 m
dari bibir sungai. Penanaman mangrove pada jalur hijau diserahkan kepada
kelompok penangkap ikan dan biota lainnya yang dikoordinasikan oleh
LMDH. Dengan demikian, kelompok penangkap ikan dan biota lainnya wajib
untuk memlihara mangrove dan berhak untuk memanfaatkan hasil
perikanannya seperti udang, kepiting, ular, belut, dll. Untuk mempermudah
koordinasi seharusnya dibuat kelompok kecil sesuai dengan petak tambak dan
masing-masing sub kelompok memiliki koordinator kelompok. Adapun bibit
mangrove disediakan oleh LMDH yang bekerjasama dengan Perum Perhutani.
4) Perbaikan kanal air, jalan, jembatan dan prasarana lainnya menjadi tanggung
jawab LMDH. Perbaikan kanal air, hendaknya dilakukan minimal sekali
dalam 5 tahun. Perbaikan jalan, jembatan dan prasarana lainnya tergantung
kondisi dan kebutuhan. Dana untuk perbaikan/pembuatan saluran dan jalan
serta prasarana lainnya adalah dari iuran anggota dan atau bantuan dari Perum
Perhutani. Selain itu, dana tersebut dapat berasal dari pihak lain yang ingin
berkontribusi, baik dalam bentuk dana hibah ataupun dana sosial dari
perusahaan
5) Pembuatan bak penampungan air (tandon), penerapan GAP dan perwilayahan
komoditas harus dilakukan untuk meningkatkan produksi. Pembuatan bak
80

penampungan air (tandon) serta perawatannnya, penerapan GAP dan


perwilayahan komoditas menjadi tanggung jawab masing-masing penggarap
tambak. LMDH memiliki hak untuk memaksakan pembuatan tandon,
penetapan GAP dan penerapan perwilayahan komoditas. LMDH juga
memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan/mengadakan penyuluhan
(bimtek/diklat) terkait peningkatan produksi perikanan. Segala kegiatan yang
berhubungan dengan penyuluhan (bimtek/diklat) terhadap anggota LMDH
harus diketahui/disetujui oleh pengurus LMDH
6) Pelibatan masyarakat terhadap program kelestarian mangrove. Mangrove yang
ditanam di sekitar empang menjadi tanggung jawab masing-masing penggarap
tambak. Mangrove yang ditanam pada sempadan pantai dan sungai (green
belt) menjadi tanggung jawab penangkap ikan dan biota lainnya. Masing-
masing penggarap tambak dan penangkap ikan dan biota lainnya dibuat dalam
kelompok petak tambak yang dibawah koordinasi LMDH.
7) Segala kegiatan yang dilakukan oleh pihak asing terhadap kegiatan di kawasan
minawana harus seijin dari pengurus LMDH. Selanjutnya harus disampaikan
kepada Perhutani
8) Tidak boleh melakukan jual-beli dan penggadaian hak garapan. Jika sudah
tidak sanggung untuk mengelola tambak diserahkan ke Perhutani, kemudian
Perhutani yang menentukan siapa yang berhak untuk mengelola tambak. Jika
pemindahan hak garapan karena meninggal harus sepengetahuan dan
persetujuan Perhutani.
9) Tidak boleh melakukan penebangan, modifikasi dan kegiatan yang merusak
mangrove dan perairan sekitarnya.
10) Setiap masyarakat yang memanfaatkan kawasan minawana dikenakan
biaya/pajak, kecuali kegiatan penelitian. Nilai dan besaran biaya/pajak
ditentukan oleh rapat anggota. Dalam hal ini, Perhutani juga menetapkan
biaya sewa sesuai keputusan dewan direksi.

5.6.3. Sistem Hak (right)


Kawasan minawana RPH Tegal-Tangkil merupakan sumberdaya yang
dikuasai oleh pemerintah (Negara). Oleh karena itu, kawasan ini merupakan
sumberdaya yang dimiliki oleh Negara dalam hal ini hak pengelolaannya
81

diserahkan pada Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten. Seperti yang diungkapkan
oleh Nikijuluw (2002), kawasan yang dikelola oleh pemerintah akan
memunculkan berbagai konflik di masyarakat, seperti terjadinya kerusakan
sumberdaya, konflik antar kelas sosial masyarakat, kemiskinan yang terus
dirasakan oleh masyarakat pesisir, dan lain-lain. Melihat hal tersebut sejak tahun
1986 oleh Perhutani, kawasan yang dulunya hutan mangrove dijadikan tambak
yang berdampingan dengan hutan yang disebut empang-parit (minawana).
Sejak saat itu, masyarakat di sekitar hutan diberikan hak garap untuk
memanfaatkan empang parit dimana masyarakat dapat melakukan budidaya tanpa
merusak hutan (mangrove). Pada awalnya hak pengelolaan minawana (hak garap)
adalah maksimum 2 ha/KK. Berdasarkan perjanjian awal yang tertuang dalam
buku anggota pemegang hak garap disebutkan bahwa setiap penggarap tambak
memiliki hak garap tambak dan hasilnya. Hak garap ini pada awalnya adalah 1
tahun dan diperpanjang setiap tahun. Dengan demikian masyarakat dapat
memanfaatkan empang dengan tidak merusak mangrove. Hasil wawancara
dengan penggarap tambak didapatkan bahwa 100 % penggarap tambak mengakui
memperoleh hak garapan berupa hasil perikanan baik budidaya maupun udang
harian. Kondisi dan persepsi masyarakat terhadap sistem hak disajikan pada
Tabel 29.

Tabel 29 Kondisi dan persepsi penggarap tambak terhadap sistem hak di RPH
Tegal-Tangkil
Hak Kondisi lapangan %responden
Memperoleh hasil Penggarap tambak memperoleh hasil perikanan dari 100.00
perikanan kegiatan budidaya dan udang harian
Luas garapan maksimal 2 Banyak penggarap tambak yang memiliki luas 48.15
ha garapan lebih dari 2 ha, yang diperoleh dari proses
jual beli hak garapan tanpa sepengetahuan Perhutani
Hak garapan diperoleh Banyak penggarap tambak yang berasal dari luar 30.00
oleh penduduk domisili desa terdekat
desa terdekat
Sumber: Hasil analisis 2012

Pada saat ini, ada beberapa penggarap tambak yang memiliki tanah
garapan hingga 20 ha. Hal ini terjadi karena penggarap tambak
menjual/menggadaikan tanah garapannya kepada pihak lain tanpa sepengetahuan
pihak Perhutani. Selain itu, tanah timbul di pantai (hasil sedimentasi) sudah
dijadikan tambak yang seharusnya menjadi sempadan pantai. Oleh karena itu,
82

dilakukan upaya perbaikan oleh Perhutani terkait dengan hak-hak masyarakat


terhadap wilayah mangrove, antara lain:
1) Melakukan pendataan terhadap penggarap tambak terkait kondisi dan luasan
lahan garapan.
2) Pembatasan hak guna garap dan domisili penggarap tambak. Seperti konsep
awal masing-masing penggarap tambak hanya dapat tanah garapan maksimal
2 ha dan berdomisili pada desa administrasi lahan minawana.
3) Masyarakat penggarap tambak berhak melakukan budidaya ikan/udang sesuai
dengan perwilayahan komoditas dan GAP yang telah ditetapkan. Penggarap
tambak juga berhak untuk hasil tangkapan udang harian dari tambak yang
dikelolanya.
4) Masyarakat non penggarap tambak berhak melakukan penangkapan kepiting,
wideng, belut, ular, burung, dan biawak. Penangkapan terhadap kepiting,
wideng, belut, ular, burung, dan biawak dengan cara yang tidak merusak
lingkungan, baik mangrove maupun perairan sekitarnya. Khusus penangkapan
terhadap burung adalah burung yang tidak dilindungi. Masyarakat yang boleh
melakukan penangkapan adalah anggota LMDH yang terdaftar pada masing-
masing wilayah LMDH.
5) Penampungan dan pemasaran hasil produksi dan hasil tangkapan dilakukan di
KUD masing-masing administrasi LMDH. Hal ini dengan tujuan
mengendalikan harga pada saat panen maupun paceklik. Selain itu, untuk
mempermudah evaluasi terhadap hasil produksi dan hasil tangkapan di
kawasan minawana setempat.
6) Pengurus dan anggota LMDH berhak untuk menegur, melaporkan ke pihak
yang berwajib dan mencegah pihak-pihak yang akan melakukan perusakan
mangrove dan perairan sekitarnya.

5.6.4. Sistem Monitoring dan Evaluasi


Monitoring dan evaluasi merupakan aktivitas pengamatan yang dilakukan
secara terus-menerus terhadap pelaksanaan aturan yang telah dibuat. sistem
monitoring akan memberikan kontrol yang berkualitas dalam pelaksanaan
pengelolaan suatu sumberdaya, mengidentifikasi tantangan operasional dan
melaporkan keberhasilan atau kegagalan dari intervensi pengelolaan untuk
83

menyelesaikan masalah (Ostrom 2011). Pemanfaatan sumberdaya pesisir biasanya


dikontrol oleh kewenangan tradisi yang secara alami mencerminkan organisasi
masyarakat dan pemilik hak (ownership). Agar hak-hak dapat diterapkan perlu
adanya monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan aturan. Sedangkan bagi
yang melanggar akan terkena sanksi hukumnya. Selanjutnya Ostrom (2011)
mengemukakan bahwa pemantauan haruslah bertujuan menciptakan kepastian
hukum dan alat kendali pelaksanaan kegiatan. Lebih lanjut Ruddle (1998)
mengemukakan bahwa pemantauan merupakan kontrol terhadap pelaksanaan
sistem aturan yang ditetapkan.
Pelaksanaan pemantauan terhadap aturan di kawasan RPH Tegal-Tangkil
dilaksanakan oleh Perhutani sebagai pemegang otoritas dan hak pengelolaan.
Pemantauan ini dilakukan oleh Asisten Perhutani (Asper) yang ditempatkan
disetiap BKPH. Pada dasarnya pemantauan ini dilakukan terhadap kegiatan yang
merusak mangrove, terutama kegiatan penebangan baik dari penggarap tambak
maupun masyarakat pencari kayu di sekitar hutan. Petugas lapangan yang
melakukan pemantauan, terdiri dari 3 orang mandor yaitu mandor tanam, mandor
tebang dan mandor keuangan. Ketiga mandor tersebut dibantu oleh pengurus
LMDH yang ditunjuk oleh Perhutani
Mandor tanam bertugas mengawasi/memantau terhadap program
rehabilitasi mangrove yang dilakukan oleh Perhutani maupun penggarap tambak
termasuk pihak luar/swasta (perorangan maupun kelompok) yang bersedia
berkontribusi terhadap rehabilitasi mangrove. Mandor tebang berfungsi untuk
memantau/mengawasi masyarakat terhadap kegiatan penebangan mangrove.
Mandor keuangan lebih fokus pada pengambilan uang sewa garapan lahan
minawana. Pada awalnya pemantauan dilakukan hampir setiap hari dan
bekerjasama dengan KTH (LMDH zaman dulu). Akan tetapi seiring dengan
perubahan waktu hingga saat ini pemantauan sangat jarang dilakukan oleh mandor
sehingga sangat sering terjadi pelanggaran di lapangan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan penggarap tambak terhadap kegiatan
pemantauan yang dilakukan oleh pihak Mandor, menyebutkan bahwa tidak ada
responden (0.00%) yang melihat mandor melakukan pemantauan langsung
dilapangan setiap hari ataupun setioap minggu. Responden hanya melihat mandor
84

melakukan pemantauan sesekali tiap bulan dan itupun hanya 5,56 % yang
menyatakan melihat mandor melakukan pemantuan. Pemantauan yang rutin
dilakukan oleh para mandor adalah setiap tahun, ketika akan mengambil retribusi
dari penggarap tambak. Kondisi dan persepsi penggarap tambak terhadap
pemantauan yang dilakukan oleh mandor di lapangan disajikan pada Tabel 30.

Tabel 30 Kondisi dan persepsi penggarap tambak terhadap pemantauan yang


dilakukan oleh mandor di lapangan
Monitoring Kondisi lapangan % responden
Setiap hari Tidak dilakukan 0.00
Setiap minggu Tidak dilakukan 0.00
Setiap bulan Sangat jarang dilakukan 5.56
Setiap tahun Hal ini dilakukan pada saat pengambilan retribusi 100.00
Sumber: Hasil analisis 2012

Dengan melihat permasalahan diatas, hal-hal yang harus dilakukan oleh


pengelola terkait dengan monitoring antara lain:
1) Pemberian kewenangan kepada LMDH (melibatkan pengurus LMDH) terkait
dengan pemantauan pelaksanaan aturan yang berkaitan dengan kelestarian
mangrove, seperti: reboisasi, penebangan dan modifikasi empang dan
pemindahan hak garap.
2) Pemantauan dan kontrol terhadap pelaksanaan GAP dan perwilayahan
komoditas menjadi tanggung jawab LMDH
3) Pemantauan dan kontrol terhadap penangkapan kepiting, wideng, belut, ular,
dan burung menjadi tanggung jawab LMDH
4) Para mandor hendaknya berkoordinasi dengan LMDH terkait dengan
permasalahan empang dan produksi perikanan.
5) Kegiatan pemantauan dari Asper hendaknya minimal dilakukan seminggu
sekali dan dilakukan diskusi dengan penggarap tambak terkait permasalahan
minawana terutama terhadap kelestarian mangrove
6) Penambahan staff (polisi hutan) untuk meningkatkan pengawasan di kawasan
RPH Tegal-Tangkil

5.6.5. Sistem Sanksi (sanctions)


Menurut Ostrom (2011) sistem sanksi merupakan kontrol sosial terhadap
penegakan hukum atau aturan untuk keberlanjutan kelembagaan/organisasi. Untuk
85

menjaga agar nilai, norma, dan aturan‐aturan itu dapat tetap terpelihara, terjaga
dan dijadikan pedoman berkehidupan bagi masyarakat pendukungnya maka
pelaksanaannya disertai dengan sanksi (baik sanksi positif maupun sanksi
negatif). Akan tetapi menurut Ruddle (1998) sanksi yang paling baik terhadap
penyalahgunaan aturan adalah adanya sanksi moral yang dimiliki oleh
masyarakat, terutama di daerah Asia Timur.
Ketidaktaatan terhadap norma atau perilaku yang tidak sesuai dengan
norma-norma yang berlaku menyebabkan seseorang dikenai sanksi. Bentuk sanksi
terhadap pelanggaran norma dapat berupa tindakan (hukuman) dan bisa berupa
sanksi sosial yang lebih sering ditunjukkan dalam bentuk sikap, seperti penolakan
atau tidak melibatkan seseorang yang melanggar norma untuk terlibat dalam
kegiatan-kegiatan komunitas (Coleman 2010). Penegakan hukum atau aturan
sangat penting, karena pada akhirnya hukum/aturan yang dibuat baru mempunyai
arti jikalau sudah dipraktikkan di lapangan dengan jaminan sistem sanksi yang
dapat dikenakan apabila terjadi pelanggaran terhadapnya.
Berdasarkan perjanjian awal pada saat pemberian hak garap oleh
Perhutani, disebutkan bahwa tidak boleh menebang/memodifikasi tambak yang
sudah ada. Bahkan disebutkan bahwa penggarap tambak wajib menjaga
kelestarian hutan. Pada awalnya penggarap tambak tidak berani melakukan
penebangan/modifikasi karena sanksi yang jelas yakni hak garap dicabut bahkan
sampai dipenjara. Akan tetapi seiring dengan perubahan waktu penerapan aturan
dan sanksi yang tidak jelas, menyebabkan masyarakat berani untuk melakukan
penebangan/modifikasi. Banyak penebang kayu (mangrove) yang ditangkap dan
dipenjarakan yang kemudian dikeluarkan hanya gara-gara uang bisa keluar. Hal
inilah yang menyebabkan masyarakat semakin berani untuk menebang mangrove
karena ketidakjelasan penerapan hukum dan sanksi yang tidak jelas. Apalagi
dengan faktor uang semua bisa diatur sehingga penebangan mangrove semakin
tinggi. Kondisi dan persepsi penggarap tambak terhadap pelaksanaan sistem
sanksi disajikan pad Tabel 31.
Tidak adanya sanksi moral yang berlaku dari masyarakat juga turut
memberikan andil bagi para pelaku untuk menebangi mangrove atau
memodifikasi empang. Selain itu tidak adanya sistem insentif bagi masyarakat
86

yang mempertahankan mangrove juga dapat menurunkan animo masyarakat untuk


tetap mempertahankan mangrove. Padahal dengan adanya sistem insentif dan
disinsentif akan mendorong masyarakat untuk menjaga kelestarian mangrove.
Oleh karena itu, hal-hal yang perlu dilakukan oleh pengelola terkait sistem sanksi
dalam pengelolaan kawasan minawana RPH Tegal-Tangkil antara lain:
1) Jika melakukan penebangan/modifikasi empang diberikan peringatan dan
hukuman harus menanam kembali seperti sedia kala
2) Pencabutan hak garap jika tidak mengindahkan peringatan dan hukuman yang
diberikan. Hendaknya dilakukan terlebih dahulu teguran (peringatan) yang
jika melakukan pelanggaran 2 kali akan dicabut hak garapnya
3) Jika pelanggaran terhadap pindah garap baik jual-beli dan penggadaian adalah
tidak mengakui hak garap yang baru. Perhutani selanjutnya memproses siapa
yang berhak untuk mengelolanya.
4) Tindak tegas terhadap penebang liar atau kegiatan yang dapat merusak
mangrove dan perairan sekitarnya. Sanksi yang diberikan mulai dari
peringatan, denda ataupun atau penjara sesuai dengan tingkat kejahatan yang
dilakukan.
5) Pemberian insentif kepada masyarakat yang secara langsung aktif melakukan
pelestarian mangrove. Misalnya: pemberian beasiswa bagi anak atau berupa
santunan lainnya.

Tabel 31 Kondisi dan persepsi penggarap tambak terhadap pelaksanaan sistem


sanksi
Sistem sanksi Kondisi lapangan %
responden
Teguran Pihak Asper hanya sebatas teguran terhadap pihak-pihak 100.00
yang melakukan pelanggaran
Penjara Hukuman penjara bagi orang yang melakukan penebangan 5.56
liar
Pencabutan hak Pencabutan hak garap bagi yang melakukan pelanggaran 0.00
garap
Sumber: Hasil analisis 2012

Secara singkat pola pengelolaan kawasan minawana RPH Tegal-Tangkil


terkait kondisi saat ini dan saran perbaikan disajikan pada Tabel 32.
87

Tabel 32 Matriks permasalahan kelembagaan, kondisi ideal dan usaha yang diperlukan untuk mengurangi kesenjangan
Komponen Kondisi Aktual Kondisi Ideal Usaha yang perlu dilakukan
kelembagaan
Kewenangan Kewenangan ada di pihak - Kewenangan penuh ada di - Sosialisasi tentang fungsi dan peranan Perhutani sesuai amanat PP No. 72 Tahun 2010
Perhutani (BKPH Ciasem pihak Perhutani (BKPH Ciasem - Sosialisasi peranan masyarakat dalam pengelolaan minawana
Pamanukan), akan tetapi masih Pamanukan) - Sosialisasi fungsi dan peranan LMDH (sejenis) terhadap pengelolaan ekosistem mangrove
banyak masyarakat yang tidak - Pemberian kewenangan kepada - Pemberian kewenangan kepada LMDH sesuai Kep. Dir Perum Perhutani N0.
mengetahui fungsi dan peranan LMDH sesuai Kep. Dir Perum 682/KPTS/DIR/2009
Perhutani dalam pengelolaan Perhutani N0. - Perbaikan organisasi LMDH baik dari keaggotaan, AD/ART, visi/misi atau hal lainnya
hutan negara termasuk hutan 682/KPTS/DIR/2009 sesuai standar organisasi yang memiliki badan hukum
mangrove - Pengurus LMDH dipilih dan diangkat oleh anggota
Aturan - Diperbolehkan memodifikasi - Tidak boleh memodifikasi - Mempertegas penegakan hukum dan penerapan sanksi
empang atas persetujuan empang - Perbaikan terhadap proporsi luasan mangrove terhadap tambak (60% mangrove:40%
pihak Perhutani BKPH - Tidak boleh melakukan jual- tambak)
Ciasem-Pamanukan beli hak garapan - Penetapan kawasan sempadan pantai minimal 130 m bibir pantai
- Melakukan jual-beli hak - Sempadan pantai minimal 130 - Penetapan sempadan sungai minimal 50 m bibir sungai
garapan m dan sempadan sungai - Perbaikan kanal air jalan, jembatan dan prasarana lainnya menjadi tanggung jawab LMDH.
- Sempadan pantai dan minimal 50 m - Pembuatan bak penampungan air (tandon), penerapan GAP dan perwilayahan komoditas
sempadan sungai dijadikan
menjadi tanggung jawab masing-masing penggarap tambak yang diawasi oleh LMDH
tambak
- Pelibatan masyarakat terhadap program kelestarian mangrove. Masing-masing penggarap
tambak dan penangkap ikan dan biota lainnya dibuat dalam kelompok petak tambak yang
dibawah koordinasi LMDH.
- Segala kegiatan yang dilakukan oleh pihak asing terhadap kegiatan di kawasan minawana
harus seijin dari pengurus LMDH
- Tidak boleh melakukan jual-beli dan penggadaian hak garapan..
- Tidak boleh melakukan penebangan, modifikasi dan kegiatan yang merusak mangrove dan
perairan sekitarnya
- Setiap masyarakat yang memanfaatkan kawasan minawana dikenakan biaya/pajak, kecuali
kegiatan penelitian.
Hak - Penggarap tambak mengelola - Mengelola empang termasuk - Melakukan pendataan terhadap penggarap tambak terkait kondisi dan luasan lahan garapan
empang termasuk memanfaatkan hasilnya - Pembatasan hak guna garap maksimal 2 ha/KK
memanfaatkan hasilnya - Masing-masing penggarap - Domisili penggarap tambak seharusnya dari desa administrasi setempat
- Ada beberapa penggarap tambak hanya boleh memiliki - Masyarakat penggarap tambak berhak melakukan budidaya ikan/udang sesuai dengan
tambak memiliki hak garapan hak garapan selus 2 ha perwilayahan komoditas dan GAP yang telah ditetapkan.
seluas 20 ha - Seharusnya penggarap tambak

87
88

88
Tabel 32. Lanjutan….
Komponen Kondisi Aktual Kondisi Ideal Usaha yang perlu dilakukan
kelembagaan
- Ada beberapa penggarap berasal dari domisili terdekat - Penggarap tambak juga berhak untuk hasil tangkapan udang harian dari tambak yang
tambak dari luar wilayah dikelolanya.
adiministrasi desa terdeka t - Masyarakat non penggarap tambak berhak melakukan penangkapan kepiting, wideng, belut,
ular, burung, dan biawak. Masyarakat yang boleh melakukan penangkapan adalah anggota
LMDH yang terdaftar pada masing-masing wilayah LMDH.
- Penampungan dan pemasaran hasil produksi dan hasil tangkapan dilakukan di KUD
masing-masing administrasi LMDH.
- Pengurus dan anggota LMDH berhak untuk menegur, melaporkan ke pihak yang berwajib
dan mencegah pihak-pihak yang akan melakukan perusakan mangrove dan perairan
sekitarnya
Kontrol - Sangat jarang - Minimal sekali seminggu - Para mandor/Asper hendaknya berkoordinasi dengan LMDH dan KUD
- Kurangnya staf Asper - Pengurus LMDH diberi - Kegiatan pemantauan hendaknya minimal dilakukan seminggu sekali dan dilakukan diskusi
dilapangan kesempatan ikut terlibat dalam dengan penggarap tambak
- Rendahnya fungsi dan kontrol - Pemantauan dan kontrol terhadap pelaksanaan GAP dan perwilayahan komoditas menjadi
peranan LMDH dalam kontrol - 1 desa minimal 2 orang petugas tanggung jawab LMDH
dilapangan lapangan - Pemantauan dan kontrol terhadap penangkapan kepiting, wideng, belut, ular, dan burung
menjadi tanggung jawab LMDH
- Para mandor hendaknya berkoordinasi dengan LMDH dan KUD terkait dengan
permasalahan empang dan produksi perikanan.
- Kegiatan pemantauan dari Asper hendaknya minimal dilakukan seminggu sekali dan
dilakukan diskusi dengan penggarap tambak terkait permasalahan minawana terutama
terhadap kelestarian mangrove
- Penambahan staff (polisi hutan) untuk meningkatkan pengawasan di kawasan RPH Tegal-
Tangkil
Sanksi - Hanya sebatas teguran untuk - Pencabuatan hak garap jika - Jika melakukan penebangan diberikan peringatan dan hukuman harus menanam kembali
penebangan mangrove terbukti pelanggaran seperti semula
- Ada beberapa kasus, - Pencabutan hak garap jika tidak mengindahkan peringatan dan hukuman yang diberikan
penebang mangrove - Jika pelanggaran terhadap pindah garap tanpa sepengetahuan pihak Perhutani adalah tidak
dipenjara. Akan tetapi dengan mengakui hak garap tersebut
uang tebusan para pelanggar - Tindak tegas terhadap penebang liar berupa denda atau penjara
tersebut dibebaskan - Pemberian insentif kepada penggarap tambak/masyarakat yang secara langsung aktif
melakukan pelestarian mangrove.
Sumber: Hasil analisis 2012
89

6. SIMPULAN DAN SARAN

6.1. Simpulan

1) Secara ekologi didapatkan bahwa:


a) penutupan mangrove memberikan kontribusi yang nyata terhadap hasil
tangkapan udang harian (Selang kepercayaan 99%).
b) kualitas air insitu masih dapat menunjang kegiatan budidaya. Akan tetapi,
adanya indikasi terdeteksi logam berat, sehingga perlu pembuatan sistem
tandon untuk memperbaiki kualitas air.
2) Secara bioteknis didapatkan bahwa:
a) masyarakat penggarap tambak melakukan budidaya secara tradisional dan
umumnya tidak melakukan standar budidaya yang baik.
b) Tidak ada perwilayahan komoditas sesuai sebaran salinitas di kawasan
minawana RPH Tegal-Tangkil.
3) Perhitungan ekonomi pengembangan minawana di RPH Tegal-Tangkil dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat. Peningkatan pendapatan masyarakat
mencapai
a) 509.60% pada sistem polikultur antara udang dan bandeng
b) 449.72% pada sistem polikultur antara bandeng dan mujair.
4) Perbaikan pengelolaan minawana setidaknya fokus terhadap kelembagaan
yakni sistem organisasi dan aturan main.
a) Perbaikan dalam struktur organisasi pengelolaan minawana menjadi
langkah pertama dalam perbaikan pengelolaan. Oleh karena itu, Perhutani
tentunya perlu memberikan kewewenangan terhadap LMDH sebagai
organisasi resmi yang mengatur pengelolaan dilapangan.
b) Langkah selanjutnya adalah perbaikan pengelolaan minawana adalah
perbaikan dalam aturan main dalam pengelolaan. Aturan main ini terkait
dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan terhadap pengelolaan
minawana. Selain itu, tentunya sanksi atau imbalan apa yang diperoleh
jika melanggar aturan yang ditetapkan.
90

6.2. Saran

1) Perbaikan dalam struktur organisasi pengelolaan minawana menjadi langkah


pertama dalam perbaikan pengelolaan. Oleh karena itu, Perhutani tentunya
perlu memberikan kewenangan terhadap LMDH sebagai organisasi resmi
yang mengatur pengelolaan di lapangan. Langkah selanjutnya adalah
perbaikan aturan main dalam pengelolaan.
2) Mempertegas penegakan hukum dan penerapan sanksi menjadi point penting
dalam pengelolaan minawana. Oleh karena itu pencabutan hak garap akan
memberikan efek jera bagi setiap yang melakukan pelanggaran.
91

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2011. Monografi Kecamatan Blanakan tahun 2011. Kecamatan


Blanakan Kabupaten Subang.
Anwar C, Gunawan H. 2006. Peranan Ekologi Dan Sosial Ekonomis Ekosistem
mangrove Dalam Mendukung Pembangunan Wilayah Pesisir. Makalah
Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi
Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September 2006
Awang, S. A et al. 2008. Panduan Pemberdayaan Lembaga Masyarakat Desa
Hutan (LMDH). Montpellier, France: French Agricultural Research Centre
for International Development (CIRAD), Bogor, Indonesia: Center for
International Forestry Research (CIFOR), dan Yogyakarta, Indonesia:
PKHR Fakultas Kehutanan UGM. [http://www.cifor.org/lpf]
Coleman J. 2010. Dasar-dasar Teori Sosial. Terjemahan dari Foundations of
Sosial Theory, The Belknap Pres of Harvard University Press, 1994;
Penerjemah: Imam Muttqien, Derta Srie W, dan Siwi Purwandari. Bandung.
Penerbit Nusa Media
Djamali A. 1991. Telaah Ekologi Kelimpahan Juwana Udang Jerbung (Penaeus
merquiensis de Haan) di Perairan Sekitar Mangrove Sungai Donan,
Cilacap,Jawa Tengah. Dalam Prosiding Seminar IV Ekosistem Mangrove.
Jakarta.Hal 175.
Djogo T, Suharjito D, Sirait MT. 2003. Kelembagaan dan kebijakan dalam
pengembangan agroforestri. Bahan Ajaran 8. 8. Bogor, Indonesia. World
Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Office. 32 p.
Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya Dan
Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 hlm.
Fahrudin A. 1996. Analisis Ekonomi Pengelolaan Lahan Peisir Kabupaten
Subang Jawa Barat. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Fitzgerald WJ. 1997. Integrated Mangrove Forest and Aquaculture Systems
(Silvofisheries) in Indonesia. Report of the Bangkok FAO Technical
Consultation on Policies for Sustainable Shrimp Culture. Bangkok,
Thailand, 8-11 December 1997. FAO Fisheries Report No. 572. Rome. 31p
Giesen W, Wulffraat S, Zieren M, Schoelten L. 2006. Panduan Pengenalan
Mangrove di Indonesia. Wetlands International - Indonesia Programme.
Bogor. Penerjemah: Noor Yus Rusila, M Khazali, I NN Suryadiputra.
Terjemahan dari: A Field Guide of Indonesian Mangrove.
Gittinger JP. 2008. Analisis Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. Terjemahan dari
Economic Analysis of Agriculture Project. Penerjemah Komet Mangiri dan
Slamet Sutomo. Jakarta. UI Press.
Gunawan H, Anwar C. 2008. Kualitas Perairan Dan Kandungan Merkuri (Hg)
Dalam Ikan Pada Tambak Empang Parit Di Bagian Kesatuan Pemangkuan
Hutan Ciasem-Pamanukan, Kesatuan Pemangkuan Hutan Purwakarta,
92

Kabupaten Subang, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi


Alam; Vol. V No. 1 : 1-10, 2008
Gunawan H, Anwar C, Sawitri R, Karlina E. 2007a. Status Ekologi Minawana
Pola Empang Parit Di Bagian Pemangkuan Hutan Ciasem-Pamanukan,
Kesatuan Pemangkuan Hutan Purwakarta. Jurnal Penelitian Hutan dan
Konservasi Alam; Vol. IV No. 4 : 429-439, 2007
Gunawan H, Anwar C, Sawitri R, Karlina E. 2007b. Peranan Minawana Dalam
Peningkatan Pendapatan masyarakat Dan Konservasi Mangrovedi Bagian
Pemangkuan Hutan Ciasem-Pamanukan,Kesatuan Pemangkuan Hutan
Purwakarta. Info Hutan; Vol. IV No. 2 : 153-163, 2007
Halidah MQ, Anwar C. 2007. Produktivitas Tambak Pada Berbagai Penutupan
Mangrove. Info Hutan: Vol. IV No. 4 : 409-417, 2007
Hastuti RB. 2010. Penerapan Minawana (silvofishery) Berwawasan Lingkungan
Di Pantai Utara Kota Semarang. Lingkungan Tropis, vol.5, no.1, Maret
2011
Hogarth PJ. 2007. The Biology of Mangroves and Seagrasses. Oxford University
Press Inc. New York
[KepMen] Keputusan Menteri Kelautan Perikanan dan Kelautan. 2004. Keputusan
Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor: Kep. 28/Men/2004 Tentang
Pedoman Umum Budidaya Udang Di Tambak. Kementerian Kelautan dan
Perikanan. Jakarta
[KepPres] Keputusan Presiden Republik Indonesia No.32 tahun 1990. Keputusan
Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.
Sekretariat Negara Republik Indonesia. Jakarta
[KPH] Kesatuan Pemangkuan Hutan Purwakarta. 2010. Renstra Pengelolaan
Hutan Lindung Mangrove KPH Purwakarta. Perhutani KPH Purwakarta.
Purwakarta
Maifitri Y. 2012. Keterkaitan Antara Penutupan Hutan Mangrove Dan Salinitas
Dengan Produksi Udang Windu Dan Ikan Bandeng Di Kawasan
Silvofishery, Blanakan, Subang. [Skripsi]. Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Institut
Pertanian Bogor. Bogor
Mattjik AA, Jaya IS. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan
Minitab. Bogor. IPB Press
Naamin N. 1991. Penggunaan lahan mangrove untuk budidaya tambak,
keuntungan dan kerugiannya. Dalam Subagjo Soemodihardjo et al.
Prosiding Seminar IV Ekosistem Mangrove, Bandar Lampung 7-9 Agustus
1990. Panitia Nasional Pangan MAB Indonesia-LIPI 1991. Jakarta.
Nikijuluw VPH. 2001. Populasi dan Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir serta
Strategi Pemberdayaan Mereka Dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir Secara Terpadu. Makalah pada Pelatihan Pengelolaan Pesisir
Terpadu. Usahatani Pesisir, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan,
Institut Pertanian Bogor (IPB).
93

Nugroho SG, Setaiawan A, Harianto SP. 1990. Coupled Ecosystem Silvo-Fishery;


Bentuk Pengelolaan Ekosistem mangrove-Tamnbak yang Saling Mendukung
dan Melindungi. Dalam Prosiding Seminar IV Ekosistem Mngrove, Bandar
Lampung 7-9 Agustus 1990. Panitia Nasional Program MAB Indonesia-
LIPI 1991.
Nur SH. 2002. Pemanfaatan Ekosistem Hutan Mangrove Secara Lestari Untuk
tambak Tumpangsari di kabupaten Indramayu Jawa Barat. [Disertasi].
Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor
Nybakken JW. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologi. Muhammad
Eidman, Dietrich G B, Malikusworo Utomo, Sukristijono Sukardjo. PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Terjemahan dari: Marine Biology: An
Ecological Approach.
Ostrom E. 2011. Background on the Institutional Analysis and Development
Framework. The Policy Studies Journal, Vol. 39, No. 1, 2011
Perhutani. 1984. Pengelolaan Ekosistem mangrove KPH Purwakarta. Prosiding
Seminar II: Ekosistem Mangrove: 53-56. LIPI, Balai Penelitian Hutan,
Perum Perhutani, Biotrop dan Dit. Bina Program Kehutanan, Jakarta.
Perhutani. 1995. Pengelolaan Ekosistem mangrove dengan Pendekatan Sosial
Ekonomi pada Masyarakat Desa Pesisir Pulau Jawa. Prosidings Seminar
V: Ekosistem Mangrove, Jember, 3-6 Agustus 1994: 35-42. Kontribusi
MAB Indonesia No. 72-LIPI, Jakarta.
[PP] Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 tentang tentang Perusahaan
Umum (Perum) Kehutanan Negara.
Pradana Y. 2012. Pengaruh Lingkungan Mangrove Terhadap Produksi Udang
Dan Ikan Bandeng Di Kawasan Silvofishery Blanakan Subang, Jawa
Barat. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas
Perikanan Dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor
Primavera JH. 2000. Integrated Mangrove-Aquaculture System in Asia.
Aquaculture Departement. Southeast Asean Fisheries Development Center.
Tigbauan. Philippines.
Rahmadya A. 2012. Perwilayahan Komoditas Budidaya Berbasis Salinitas Di
Kawasan Mangrove Pola Silvofishery Blanakan, Subang, Jawa Barat.
[Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas
Perikanan Dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor
Ruddle K. 1998. Traditional Community - Based Coastal Marine Fisheries
Management in Viet Nam. Ocean dan Coastal Management. Elsevier
Sciences.
Rudiyanto BY. 2011. Analisis Kelembagaan Dan Biaya Transaksi Dalam
Pengelolaan Sea Farming Di Pulau Panggang Kabupaten
Administrasikepulauan Seribu. [Tesis]. Sekolah Pasca Sarjana Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
94

Saladin A. 1995. Keberdaan dan Hasil Tangkapan Alami Udang Penaeid Di


Silvofishery. [Skripsi]. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan,
FPIK IPB. Bogor
Setiawan H, Sidabutar JL. 2007. Perencanaan Jaringan Irigasi Tambak
Memanfaatkan Pasang Surut Air Laut Di Kali Tenggang Kecamatan Genuk
Kota Semarang. [Tugas Akhir]. Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik,
Universitas Diponegoro
Shilman M.I. 2012. Kajian Penerapan Silvofishery Untuk Rehabilitasi Ekosistem
Mangrove Di Desa Dabong Kecamatan Kubu Kabupaten Kubu Raya
Provinsi Kalimantan Barat.[Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Soewardi K. 1994. Minawana Technology Development In The Northcoast Of
West Java, Indonesia. Paper yang disampaikan pada; Third International
Seminar on Experience of Sustainable Agriculture Development in South
East Asia (ESA III), Univ. Khon Kaen, Khon Kaen, Thailand. 9-11
November 1994
Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Sualia I, Eko BP, Suryadiputra INN. 2010. Panduan Pengelolaan Budidaya
Tambak Ramah Lingkungan di Daerah Mangrove. Wetlands International –
Indonesia Programme. Bogor.
Sukardjo S. 1989. Tumpang Sari Pond As A Multiple Use Concept To Save The
Management Forest in Java. In Simposium on Mangrove management; Its
Ecological and Economic Consideration. Bogor August 9-11, 1988. Biotrop
Special Publication N0.37; SEAMEO-BIOTROP. Bogor
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2009. Produksi udang windu (Penaeus
monodon) di tambak dengan teknologi sederhana. SNI 7310:2009. Badan
Standardisasi Nasional
Taryono. 2009. Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya. Lecture Notes pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir (PS-SPL), Dept. MSP-
FPIK, IPB
Lampiran 1. Peta titik pengambilan contoh
Laut

Pengambilan
contoh sosek
Pengambilan
contoh biofisik
96

Lampiran 2 Prosedur pengumpulan data


A. Prosedur pengumpulan data ekobiologi
Pengkuran parameter fisika dan kimia lingkungan dilakukan langsung di lapangan pada tiap sub stasiun
penelitian (Gambar 12). Pengukuran tiap parameter dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
1) Suhu air permukaan dan DO diukur dengan menggunakan DO meter dengan mencelupkan probe DO
meter kedalam air, yang kemudian di lihat angka yang tercantum pada layar
2)
3) Pengukuran salinitas air dilakukan dengan cara meletakkan beberapa tetes air pada permukaan hand
refraktormeter, tutup dengan kaca penutup, kemudian tempatkan alat di bawah sinar agar skala dapat
terbaca.
4) pH air diukur dengan cara mencelupkan kertas lakmus pada sampel air yang diambil, kemudian
membandingkan warna yang muncul dengan nilai warna yang ada, sedangkan pH substrat diukur dengan
menggunakan pH meter substrat yang ditancapkan langsung ke substrat.
5) Kedalaman air diukur dengan menggunakan tongkat berskala.
6) Kecerahan air diukur dengan menggunakan secchi disc yang ditenggelamkan dan diamati kedalaman air
melalui dengan penampakan disc.
7) Air contoh untuk analisa logam berat diambil dan dimasukkan ke dalam botol dan ditempatkan pada box
yang diberi es dan selanjutnya di analisis di laboratorium
8) Penentuan penutupan dan rasio mangrove terhadap tambak di ukur berdasarkan luasan tambak dan luasan
mangrove yang menutupi tambak
9) Penentuan jenis mangrove dengan melihat ciri pada akar, daun maupun buahnya berdasarkan Giesen et al.
(2006)

B. Prosedur pengumpulan data sosial-ekonomi dan kelembagaan


Untuk kebutuhan data sosial, ekonomi dan kelembagaan akan diambil data primer berdasarkan
wawancara langsung dengan penggarap tambak, tokoh masyarakat, pihak Perhutani, koperasi, dan aparat
pemerintah serta tokoh masyarkat/tokoh agama setempat di sekitar lokasi studi. Selain itu akan diambil data
skunder dari pihak terkait yang berhubungan dengan data sosial ekonomi kegiatan pertambakan. Secara ringkas,
data-data yang akan dikumpulkan pada kajian ini disajikan pada berikut ini.
Tabel Jenis dan metode pengumpulan data ekologi
Lokasi
Jenis Data Metode Pengukuran Keterangan
Pengamatan
Fisika
- Suhu Insitu Termometer Primer
- Salinitas Insitu Refraktometer Primer
- Kecerahan Insitu Secchi disk Primer
Kimia
- pH Insitu pH meter Primer
- DO Insitu DO meter Primer
Logam berat
Cadmium Laboratorium AAS Primer (air dan biota)
Tembaga Laboratorium AAS Primer (air dan biota)
Timbal Laboratorium AAS Primer (air dan biota)
insitu dan Primer dan skunder
Biota Perairan Visualisasi
laboratorium
Vegetasi Pesisir Insitu Visualisasi Primer
97

Tabel Jenis dan metode pengumpulan data sosial-ekonomi dan kelembagaan


Lokasi
Jenis Data Metode Pengukuran Keterangan
Pengamatan
primer dan wawancara dan dari laporan elemen yang terkait dan instansi
Sosial/kependudukan
sekunder dinas terkait
primer dan wawancara dan dari laporan elemen yang terkait dan instansi
Kelembagaan
sekunder dinas terkait
primer dan wawancara dan dari laporan elemen yang terkait dan instansi
Ekonomi
sekunder dinas terkait

Lampiran 3 Pengukuran/perhitungan kualitas air


1) Kecerahan
Kecerahan perairan di hitung dengan menggunakan rumus :
D1  D2
K
2
Keterangan:
K = Kecerahan (m)
D1 = Kedalaman pada saat secchi disc tepat menghilang (m)
D2 = Kedalaman pada saat secchi disc tepat terlihat kembali (m)

2) Logam berat
Terlebih dahulu dilakukan destruksi/ekstraksi/preparasi, seperti uraian berikut:
 Air sampel diambil sebanyak 250 ml
 Selanjutnya ditambahkan HCL sebanyak 2 ml
 Selanjutnya ditambahkan APDC sebanyak 2 ml
 Kemudian dipanaskan selama 1 jam
 Kemudian didinginkan
 Selanjutnya dimasukkan ke dalam Erlenmeyer dan dikocok
 Selanjutnya ditambahkan isobuthyl methylketon sebanyak 10 ml (5 ml+5 ml, diaduk selama 10 menit)
 Kemudia dibuang air laut (endapan dibawah)
 Selanjutnya ditambahkan asam nitrat 25 ml, kemudia encerkan (1:4) dengan cara:
o Masukan aquades 100 ml
o Masukan asam nitrat 25 ml
o Selanjutnya ditambahkan aquades hingga 500 ml (labu takar ukuran 500 ml)
 Kemudian diaduk selama 1 menit
 Kemudian diambil bagian bawah dan dimasukkan ke dalam botol sampel
 Selanjutnya di anaslis dengan AAS
 Logam berat di dapatkan dengan rumus:

Logamberat ( ppm ) 
( Ac  ab )  a x100
bxWx 1000
Keterangan :
Ac = Absorban contoh
Ab = Absorban blanko
A= Intercep dari persamaan regresi standar
b = Slope dari persamaan regresi standar
W = Berat sampel (g)
98

Lampiran 4 Qusioner pengumpulan data


A. Qusioner pengumpulan data penggarap
Kuesioner Penelitian

KUESIONER PENELITIAN
“PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR BERBASIS WANAMINA
(Studi Kasus Kawasan Wanamina RPH Tegal-tangkil Kab. Subang Jawa Barat”)

Assalamu’alaikum Wr, Wb. Kami sedang melakukan penelitian dalam rangka penulisan Tesis:
Nama : Ahmad Muhtadi Rangkuti
NRP : C252100031
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
(IPB)
Kami akan melakukan survai di desa yang masuk dalam kawasan Rencana Pengelolaan Hutan (RPH) Tegal
Tangkil, KPH Purwakarta, Perum Perhutani unit III Jawa Barat-Banten. Secara administrasi termasuk wilayah
Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat.
Penelitian ini mengambil kasus di Perairan Pesisir Blanakan, dimana sudah ada percontohan tambak pola
wanamina yang di buat oleh Perhutani namun ternyata tidak di acu oleh masyarakat. Wanamina pertamakali
diperkenalkan di Burma dan kemudian di Indonesia diperkenalkan oleh Departemen Kehutanan dengan tujuan
memberikan kesempatan pemanfaatan hutan mangrove bagi masyarakat sekitar untuk kegiatan perikanan tanpa
merusak hutan mangrove sehingga diharapkan kesejahteraan masyarakat meningkat dan pada saat yang sama
hutan mangrove tetap lestari. Namun dalam penerapannya di lapangan, ternyata tidak dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan pada umumnya hutan mangrove cenderung rusak. Oleh karena itu penelitian ini
bertujuan untuk mencari sebab-sebab kegagalan penerapan wanamina baik dari segi kondisi ekologis, bioteknis
budidaya perikanan, sosial ekonomi dan kelembagaan untuk mencari rumusan pola pengelolaan wanamina
yang tepat dan benar.
Kami akan mengajukan beberapa pertanyaan kepada Bapak/Ibu/Saudara. Kami sangat berterima kasih jika
Bapak/Ibu/Saudara bersedia menjawab pertanyaan kami.
Kecamatan : Blanakan
Desa/Dusun : ………………………..
Nama Enumerator : ………………………..
Tanggal wawancara : ………………………..
Waktu wawancara : ………………………..
No Quisioner : ………………………..
I. DATA UMUM RESPONDEN
Nama :…………………………
Jenis kelamin :…………………………
Umur : …………………………
Pendidikan terakhir :…………………………
Pekerjaan utama :…………………………
Pekerjaan sampingan :…………………………
Status perkawinan :…………………………
Status sosial :…………………………
Agama :…………………………
II. KONDISI RUMAH TANGGA
1. Jumlah anggota rumah tangga Bapak/Ibu/Saudara? ……orang
a. Laki-laki, ….. orang
b. Perempuan, …..orang
c. Anggota keluarga lainnya…..laki-laki,…… perempuan
99

keterangan
2. Struktur umur anggota keluarga
a. 0 – 14 th,……….. orang
b. 15 – 59 th,………. orang
c. > 60 th,………. Orang
3. Pendidikan terakhir anggota keluarga
a. Tidak sekolah,….. orang e. tamat SMA, …… orang
b. SD tidak tamat,….. orang f. Sarjana, …… orang
c. Tamat SD,…….. orang g. lain-lain,….. orang
d. Tamat SMP, ….. orang
4. Pendapatan (kotor) rumah tangga Bapak/Ibu/saudara secara keseluruhannya setiap bulan
a. Usaha tambak, Rp…………….
b. Non tambak, Rp…………….
c. Total, Rp…………….
5. Pengeluaran rumah tangga Bapak/Ibu secara keseluruhannya setiap bulan?
Rp. ……………………… (total pengeluaran)
No Peruntukan Rp (bulan)
1 Pangan
2 Pendidikan
3 Kesehatan
4 Pakaian
5 Operasional Tambak
6 Lain-lain
III. KARAKTERISTIK FISIK-TEKNIS DAN EKONOMI SUMBERDAYA
1. Apakah tambak yang ada saat ini, sudah ada atau memang bapak/ibu/saudara sendiri yang bangun?
2. Mohon diisikan tabel di bawah ini?
No Bagian Unit/volume Harga satuan (Rp) Total nilai
2
A Luas Tambak/empang (m )
B Biaya Tetap
1 Sewa Tambak (ha/tahun)
2 Biaya pembuatan tambak
4 Iuran/administrasi
5 Ijin usaha
6 Dana pelestarian lingkungan
7 Lain-lain
Total biaya tetap
C Biaya operasional
1 Persiapan (paket)
2 Benih
a. Udang Windu
- Padat tebar (ekor/m2)
- Jumlah tebar (ekor)
b. Bandeng
- Padat tebar (ekor/m2)
- Jumlah tebar (ekor)
c. Nila
- Padat tebar (ekor/m2)
- Jumlah tebar (ekor)
3 Pupuk
a. Pupuk Urea (kg)
100

No Bagian Unit/volume Harga satuan (Rp) Total nilai


b. Phonska (NPK) (kg)
c. TSP (kg)
d. Kapur Tohor (kg)
e. Lain-lain
4 Pestisida
a. HCN (kg)
b. Ursal (liter)
c. Lodan (kg)
d. Raja udang (bks)
e. Saponin (kg)
f. Dolomit (kg)
g. Linex
h. Katalis CNI
i. Raja bandeng
j. Lain-lain
5 Biaya Panen musiman (paket)
6 Biaya panen harian (bubu)
Total Biaya Operasional
D Total Biaya
E PANEN
1 Udang Windu
Kelangsungan Hidup
Size Panen (ekor/kg)
Produksi (kg)
Harga Udang (Rp/kg)
Nilai Jual (Rp)
Size Panen (ekor/kg)
Produksi (kg)
Harga Udang (Rp/kg)
Nilai Jual (Rp)
2 Bandeng
Kelangsungan Hidup
Size Panen (ekor/kg)
Produksi (kg)
Harga Bandeng (Rp/kg)
Nilai Jual (Rp)
3 Nila
Kelangsungan Hidup
Size Panen (ekor/kg)
Produksi (kg)
Harga Bandeng (Rp/kg)
Nilai Jual (Rp)
Sub total
F Tangkapan harian
a. Udang Api
b. Udang Bago
101

No Bagian Unit/volume Harga satuan (Rp) Total nilai


c. Udang Peci
d. Ikan Mujaer
e. Ikan Bandeng
f. Ikan Blanak
g. Ikan Kakap
h. Ikan Pelak
i. Laian-lain
Sub Total
F Total Nilai Penjualan (Rp)
G Keuntungan (Rp)
H Biaya Hidup (Rp/MT)
I Keuntungan Bersih
1 a. Rp/petak/MT
2 b. Rp/Ha/MT
3. Berapa kali bapak melakukan penangkapan dari hasil sampingan?
4. Penangkapan harian yang dilakukan oleh bapak/ibu/saudara di mulai kapan?
5. Apakah hasil tangkapan sampingan yang Bapak/Ibu/Sdr(i) lakukan, dijual atau dimanfaatkan?
a. Ya di jual (semuanya)
b. Dijual sebagian
c. dimanfaatkan
6. Bagaimana sistem pengisian air?
a. dibiarkan mengikuti pasang-surut
b. dibuka tiap hari
c. tiap bulan pada saat pasang tertinggi
d. 1 kali untuk satu kali tanam
e. lain-lain
7. Permasalahan apa saat ini yang dialami oleh bapak/ibu/saudara terkait dengan pengelolaan/pemanfaatan
empang?
8. Mohon bapak/ibu/sdr uraikan tekhnis (proses-proses) pemanfaatan empang (tambak) mulai dari persiapan
sampai panen dan pemasaran?
IV. PENGETAHUAN/PEMAHAMAN TENTANG MANGROVE DAN WANAMINA (EMPANG
PARIT) DAN YANG TERKAIT
1. Apakah bapak tahu atau pernah mendengar/membaca istilah mangrove/hutan bakau?
a. tidak
b. ya, artinya………………………….
2. Apakah bapak tahu atau pernah mendengar/membaca istilah empang parit?
a. tidak
b. ya, artinya………………………….
3. (kalau tahu) dari mana bapak/ibu tahu kedua istilah tersebut?
a. media (tv, Koran, majalah)
b. dijelaskan dari teman/kerabat/saudara
b. penjelasan dari pihak perhutani
d. lain-lain (sebutkan)
4. Apakah bapak/ibu/sdr juga tahu atau pernah mendengar/membaca istilah rehabilitasi dan konservasi
mangrove?
a. tidak
b. ya, artinya………………………….
5. Apakah bapak/ibu/sdr juga tahu atau pernah mendengar/membaca istilah pengelolaan hutan bersama
masyaraka (PHBM)?
a. tidak
b. ya
102

artinya………………………….
6. Apakah bapak/ibu/sdr juga tahu atau pernah mendengar/membaca istilah lembaga masyarkat desa hutan
(LMDH)?
a. tidak
b. ya, artinya………………………….
7. Apakah bapak/ibu/sdr juga tahu atau pernah mendengar/membaca istilah hutan lindung?
a. tidak
b. ya, artinya………………………….
8. Apakah bapak/ibu/sdr mengetahui manfaat dari hutan bakau? Tolong sebutkan?
9. Adakah bagi bapak/ibu/saudara manfaat dari hutan bakau? Sebutkan?
10. Adakah bagi bapak/ibu/saudara kerugian yang ditimbulkan oleh adanya hutan bakau?
11. Menurut Bapak/Ibu ancaman kegiatan manusia apa saja yang dapat menggangu kelestarian dari fungsi dan
manfaat hutan bagi masyarakat di sini?
12. Seandainya hutan di sini berkurang atau habis, apa yang akan Bapak/Ibu lakukan?
13. Bagaimana caranya agar hutan ini tidak musnah?
V. SOSIAL
1. Sudah berapa lama bapak/ibu tinggal di desa/dusun ini?
2. Sudah berapa lama perkampungan ini ada? Dalam 5 tahun terakhir apakah perkampungan ini mengalami
kemajuan pesat? Mohon bapak/ibu/saudara jelaskan?
3. Dapatkah bapak/ibu/saudara jelaskan kondisi lingkungan komunitas penggarap empang saat ini?
4. Bagaimana sistem kekerabatan di tempat bapak/ibu/saudara? Misal, marga atau dsb?
5. Bagaimana (masih adakah) sistem gotong royong di tempat bapak/ibu/saudara?
6. Jika bapak ada masalah pribadi dan ingin mendapatkan pertolongan (misal: mendapat musibah, meminjam
uang, dst) kepada siapakah yang pertama kali bapak hubungi? Apakah saudara atau tetangga atau ‘toke”?
Mengapa?
7. Norma (sistem nilai) apakah yang masih kuat (masih ada) terkait dengan pemanfaatan/pengelolaan hutan
bakau?
8. Apakah ada peraturan yang berlaku diantara masyarakat yang mengatur tentang pemanfataan/pengelolaan
hutan bakau (empang)?
9. Siapakah di tempat bapak/ibu/saudara yang paling dituakan?
Mengapa?
10. Bagaimana peran antar tokoh agama, tokoh adat dan pemilik modal di tempat saudara?
11. Bagaimana penyelesaian konflik (pengambilan keputusan) yang terjadi di tempat bapak/ibu/saudara?
12. Bagaimana cara menjadi pemimpin informal? Bagaimana pemimpin informal baru tsb terpilih?
13. Apakah ada tempat-tempat yang secara adat dilindungi atau tidak boleh diganggu di tempat
bapak/ibu/saudara?
Mengapa?
14. Apakah di kalangan masyakat di sini masih ada pantangan, kepercayaan, atau aturan adat khusus yang
masih berlaku?
Mengapa?
15. Apakah ada binatang atau tanaman yang khusus dilindungi (tidak boleh diambil/ditangkap)?
Mengapa?
VI. KELEMBAGAAN
1. Sejak kapan bapak//ibu/saudara menjadi penggarap empang?
2. Siapakah pemilik sah, empang parit yang bapak/ibu/saudara garap?
3. Apakah mudah atau sulit untuk mendapatkan empang yang baru? Mengapa?
4. Bagaimana prosesnya supaya empang parit tersebut dapat bapak/ibu/saudara garap?
5. Jika empang parit tersebut dapat digarap dengan sistem sewa, berapa lama jangka waktu pemakaiannya?
6. Jika waktu sewa berakhir, apakah dapat diperpenjang secara otomatis? Atau proses penyewaan mulai dari
awal lagi?
Jika otomatis berapa lama jangka waktu penyewaannya?
7. Apakah bapak/ibu/saudara menyewa empang parit tersebut langsung dari Perhutani? Atau pihak yang lain?
Siapa?
103

8. Bagaimana aturan (perjanjian) dari penyewaan empang parit tersebut baik langsung dari Perhutani ataupun
dari pihak lain? (termasuk modifikasi empang?)
9. Setelah bapak/ibu/saudara dapat ijin untuk menggunakan (menggarap empang parit) tersebut di peroleh,
hak-hak apakah yang dapat bapak peroleh terhadap pemanfaatan empang tersebut?
10. Jika terjadi pelanggaran terhadap hak dan kewajiban terkait dengan pemanfaatan empang, sangsi apa yang
berlaku baik dari Perhutani atau sangsi dari masyarakat (kelompok masyarakat)?
11. Bagaiamana pelaksanaan terhadap penegakan aturan dan atau sangsi jika terjadi pelanggaran dari Perhutani
atau masyarakat (kelompok masyarakat)?
12. Apakah ada monitoring/pemantauan dari Perhutani atau kelompok masyarakat terhadap penegakan aturan
yang ada?
13. Apakah bapak/ibu/saudara telah/akan memodifikasi empang?
14. Jika ya, kenapa bapak/ibu/saudara melakukan hal tersebut? Apakah bapak/ibu/saudara tidak takut dengan
sangsi dari Perhutani/masyarakat?
Mengapa?
15. Jika tidak, kenapa bapak/ibu/saudara tidak melakukan hal tersebut? Jika tetap menjaga empang sesuai
dengan aslinya apakah ada “hadiah” dari pihak Perhutani?
16. Sanksi-sanksi apa yang dikenakan bila seseorang memodifikasi empang?
17. Saat ini banyak empang yang sudah dimodifikasi untuk memperluas areal budidaya dengan alasan
meningkatkan produksi empang. Apakah bapak/ibu/saudara hal tersebut bapak setuju?
Mengapa?
18. Akan tetapi disisi lain hasil tangkapan harian (impes) menurun, selain itu komoditas budidaya mudah mati.
Apakah hal tersebut benar? Menurut bapak/ibu/saudara kenapa?
19. Jika hutannya semakin banyak (tebal) apa yang terjadi dengan budidaya dan hasil tangkapan?
20. Kalau bakaunya sudah lebat apa yang seharusnya dilakukan oleh bapak/ibu/sudara?
21. Jika misalkan suatu saat ada penataan empang di tempat bapak/ibu/saudara untuk memperbaiki kondisi dan
meningkatkan produksi perikanan apakah bapak/ibu/saudara bersedia? Mengapa?
22. Menurut bapak/ibu/sudara empang ini sebaiknya mau di apakan? (terkait: hak milik/hak sewa/hak
guna/keamanan berusaha)
23. Jika ada pilihan pekerjaan antara penggarap empang, bertani, buruh atau pekerjaan lainnya,
bapak/ibu/saudara pilih yang mana? Mengapa??
24. Organisasi apa saja yang masih aktif di daerah bapak/ibu/saudara?
25. Apakah seluruh organisasi tersebut berhubungan langsung dengan pengelolaan/pemanfaatan empang-parit?,
kalau tidak organisasi apa saja yang berhubungan?
26. Bagaimana organisasi tersebut terbentuk (organisasi yang berhubungan dengan pengelolaan empang)?
27. Bagaimana peran dari organisasi/lembaga tersebut terhadap kemajuan penggarap?
28. Bagaimana peran organisasi tersebut terkait dengan pelestarian hutan bakau/mangrove (keberlanjutan
empang-parit)?
104

Lampiran 5 Gambaran umum kawasan wanamina saat ini


a) Kali Malang ditumbuhi semak-semak

b) saluran/kalen terjadi pendangkalan

c) kondisi sempadan pantai/pinggir laut

d) kondisi sempadan sungai


105

Lampiran 6 Foto Jenis Flora dan Fauna yang ditemukan di kawasan wanamina
a) Jenis flora

Api-api Bakau

Semak Semak `

b) Jenis fauna perairan

Udang bago/windu Udang putih/peci

Kepiting bakau Wideng


106

Lampiran 6 Foto Jenis Flora dan Fauna yang ditemukan di kawasan wanamina
(lanjutan…)

Ikan bandeng Ikan mujaer

Ikan kakap Ikan lundu

Ikan betok Ikan kiper

Belut Burung
107

Lampiran 7 Foto alat tangkap kepiting, wideng dan belut.

Alat penangkapan udang harian


Alat penangkapan wideng

Alat penangkapan kepiting Alat penangkapan belut


108

Lampiran 8 Foto Kegiatan di lapangan

Diskusi dengan petugas lapangan Pengukuran kualitas air (in situ)

Pencacatan hasil pengukuran Diskusi dengan pengurus LMDH

Wawancara penggarap Kegiatan pelelangan

Kegiatan panen Kegiatan di rumah


109

Lampiran 9 Hasil tangkapan udang harian (kg/ha)

Posisi Penutupan mangrove tambak


Tinggi Sedang Rendah Murni
KM I
1 1.90 1.11 0.88 0.17
2 2.10 0.70 0.60 0.31
3 1.33 1.20 0.75 0.30
4 1.70 1.10 1.05 0.21
5 1.56 1.10 0.82 0.28
6 1.41 1.03 0.53 0.60
rata-rata 1.67 1.04 0.77 0.31
KMII
1 1.25 1.10 1.07
2 1.43 1.23 1.07
3 1.58 1.12 1.03
4 1.53 1.67 0.95
5 1.40 1.10 0.66
6 1.80 1.05 0.96
rata-rata 1.50 1.21 0.95
KM III
1 1.24 1.05 0.95
2 1.32 1.08 1.00
3 2.00 1.15 0.75
4 2.20 1.13 0.68
5 1.10 1.40 0.90
6 1.25 1.10 0.90
rata-rata 1.52 1.15 0.86
110

Lampiran 10 Analisis ragam acak lengkap mangrove dengan keberadaan udang


Penutupan mangrove tambak
Tinggi sedang Rendah Murni
1.90 1.11 0.88 0.17
2.10 0.70 0.60 0.31
1.33 1.20 0.75 0.30
1.70 1.10 1.05 0.21
1.56 1.10 0.82 0.28
1.41 1.03 0.53 0.60
Anova: Single Factor

SUMMARY
Groups Count Sum Average Variance
Tinggi 6 10.00333333 1.667222222 0.08633963
sedang 6 6.239285714 1.039880952 0.030828656
Rendah 6 4.628333333 0.771388889 0.035444907
Murni 6 1.868452381 0.31140873 0.023096431

ANOVA
Source of Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 5.772969253 3 1.924323084 43.80689084 5.60894E-09 3.098391212
Within Groups 0.878548122 20 0.043927406

Total 6.651517375 23

Uji BNT
sedang Rendah Murni BNT 0,05;4,5 3,5
Tinggi 0.63 0.90 1.36 0.060503 0.22973 0.362353
sedang 0.27 0.73
Rendah 0.46
Lampiran 11a Hasil tangkapan kepiting
No Produksi/ Nilai Biaya Biaya
Responden Trip Trip Produksi/trip tahun penjualan investasi penyusustan Biaya operasional Keuntungan
(kali/bulan) (kali/tahun) (kg) (Rp/thaun) (Rp/thaun) Rp (Rp/tahun) (Rp/tahun) (Rp/tahun) Keterangan

1 30 360 3 1080 16,200,000.00 620,000.00 413,333.33 3,960,000.00 11,826,666.67 bubu

2 20 240 6 1440 21,600,000.00 200,000.00 200,000.00 2,640,000.00 18,760,000.00 kait

3 20 240 1 240 3,600,000.00 80,000.00 80,000.00 2,700,000.00 820,000.00 caduk/ngobor

4 26 312 3 936 14,040,000.00 780,000.00 780,000.00 3,525,600.00 9,734,400.00 pancing

5 26 312 2 624 9,360,000.00 705,000.00 705,000.00 3,619,200.00 5,035,800.00 pancing

6 26 312 2 624 9,360,000.00 780,000.00 780,000.00 4,836,000.00 3,744,000.00 pancing

7 30 360 3 1080 16,200,000.00 620,000.00 413,333.33 6,120,000.00 9,666,666.67 bubu

8 30 360 4 1440 21,600,000.00 820,000.00 546,666.67 6,120,000.00 14,933,333.33 bubu

9 20 240 4 960 14,400,000.00 200,000.00 200,000.00 2,640,000.00 11,560,000.00 kait

10 20 240 5 1200 18,000,000.00 200,000.00 200,000.00 4,080,000.00 13,720,000.00 kait

11 20 240 3 720 10,800,000.00 200,000.00 200,000.00 2,640,000.00 7,960,000.00 kait

12 20 240 2 480 7,200,000.00 80,000.00 80,000.00 2,700,000.00 4,420,000.00 caduk/ngobor

13 20 240 1.5 360 5,400,000.00 80,000.00 80,000.00 2,700,000.00 2,620,000.00 caduk/ngobor

14 26 312 3 936 14,040,000.00 780,000.00 780,000.00 4,836,000.00 8,424,000.00 pancing

15 26 312 3 936 14,040,000.00 705,000.00 705,000.00 3,619,200.00 9,715,800.00 pancing

Jumlah 360.00 4,320.00 45.50 13,056.00 195,840,000.00 6,850,000.00 6,163,333.33 56,736,000.00 132,940,666.67 -

Rata-Rata 24.00 288.00 3.03 870.40 13,056,000.00 456,666.67 410,888.89 3,782,400.00 8,862,711.11
Luas mangrove 1513.59 ha
Rata-rata tangkapan 0.09 kg/ha/hari
Harga jual Rp 25000,00/kg
Lampiran 11b Hasil tangkapan wideng

No Responden Trip Trip Produksi/trip produksi/tahun nilai penjualan Biaya investasi Biaya penyusustan Biaya operasional Keuntungan keterangan
(kali/bulan) (kali/tahun) (kg) (Rp/thaun) (Rp/thaun) Rp (Rp/tahun) (Rp/tahun) (Rp/tahun)
1 20 240 20 4800 7,200,000.00 80,000.00 80,000.00 2,700,000.00 4,420,000.00 caduk/ngobor
2 20 240 15 3600 5,400,000.00 80,000.00 80,000.00 2,700,000.00 2,620,000.00 caduk/ngobor
3 20 240 17 4080 6,120,000.00 80,000.00 80,000.00 2,700,000.00 3,340,000.00 caduk/ngobor
4 26 312 22 6864 10,296,000.00 200,000.00 200,000.00 1,872,000.00 8,224,000.00 caduk/ngobor
5 26 312 20 6240 9,360,000.00 200,000.00 200,000.00 1,872,000.00 7,288,000.00 caduk/ngobor
6 26 312 20 6240 9,360,000.00 200,000.00 200,000.00 1,872,000.00 7,288,000.00 caduk/ngobor
7 20 240 15 3600 5,400,000.00 80,000.00 53,333.33 2,700,000.00 2,646,666.67 caduk/ngobor
8 20 240 17 4080 6,120,000.00 80,000.00 53,333.33 2,700,000.00 3,366,666.67 caduk/ngobor
9 20 240 20 4800 7,200,000.00 80,000.00 80,000.00 2,700,000.00 4,420,000.00 caduk/ngobor
10 20 240 20 4800 7,200,000.00 80,000.00 80,000.00 2,700,000.00 4,420,000.00 caduk/ngobor
Jumlah 218.00 2,616.00 186.00 49,104.00 73,656,000.00 1,160,000.00 1,106,666.67 24,516,000.00 48,033,333.33
Rata-Rata 21.80 261.60 18.60 4,910.40 7,365,600.00 116,000.00 110,666.67 2,451,600.00 4,803,333.33
Luas mangrove 1513.59 ha
Rata-rata tangkapan 0.26 kg/ha/hari
Harga jual Rp 1500 ,00/kg
Lampiran 12 Hasil tangkapan belut
Trip Trip Produksi/Trip Produksi/Tahun Nilai Penjualan Biaya Investasi Biaya Penyusustan Biaya Operasional Keuntungan Keterangan
No
Responden (Kali/Bulan) (Kali/Tahun) (Kg) (Rp/Thaun) (Rp/Thaun) Rp (Rp/Tahun) (Rp/Tahun) (Rp/Tahun)
1 15 180 4.5 810 8,910,000.00 100,000.00 100,000.00 2,340,000.00 6,470,000.00 pancing
2 20 240 4 960 10,560,000.00 90,000.00 90,000.00 3,120,000.00 7,350,000.00 pancing
3 26 312 4.5 1404 15,444,000.00 90,000.00 90,000.00 4,056,000.00 11,298,000.00 pancing
4 30 360 4.5 1620 17,820,000.00 100,000.00 100,000.00 4,680,000.00 13,040,000.00 pancing
5 26 312 3 936 10,296,000.00 100,000.00 100,000.00 4,056,000.00 6,140,000.00 pancing
6 26 312 3 936 10,296,000.00 100,000.00 100,000.00 4,056,000.00 6,140,000.00 pancing
7 30 360 3 1080 11,880,000.00 100,000.00 66,666.67 4,680,000.00 7,133,333.33 pancing
8 30 360 4 1440 15,840,000.00 100,000.00 66,666.67 4,680,000.00 11,093,333.33 pancing
9 20 240 4 960 10,560,000.00 100,000.00 100,000.00 3,120,000.00 7,340,000.00 pancing
10 20 240 3.5 840 9,240,000.00 100,000.00 100,000.00 3,120,000.00 6,020,000.00 pancing
11 20 240 3 720 7,920,000.00 100,000.00 100,000.00 3,120,000.00 4,700,000.00 pancing
12 20 240 3 720 7,920,000.00 90,000.00 90,000.00 3,120,000.00 4,710,000.00 pancing
13 20 240 4.5 1080 11,880,000.00 90,000.00 90,000.00 3,120,000.00 8,670,000.00 pancing
14 26 312 3 936 10,296,000.00 90,000.00 90,000.00 4,056,000.00 6,150,000.00 pancing
15 26 312 3 936 10,296,000.00 90,000.00 90,000.00 4,056,000.00 6,150,000.00 pancing
Jumlah 355.00 4,260.00 54.50 15,378.00 169,158,000.00 1,440,000.00 1,373,333.33 55,380,000.00 112,404,666.67 -
Rata-Rata 23.67 284.00 3.63 1,025.20 11,277,200.00 96,000.00 91,555.56 3,692,000.00 7,493,644.44
luas mangrove 1513.59 ha
rata-rata tangkapan 0.05 kg/ha/hari
harg jual Rp 25,000.00/kg
115

Lampiran 13. Kualitas air hasil pengukuran


A. Tabel Hasil pengukuran kualitas air pada wanamina dan tambak murni di lokasi penelitian

Lokasi Parameter Satuan Wanamina Baku Mutu


Tinggi Sedang Rendah Tambak Murni
Kali Malang I Warna perairan - hijau - kecoklatan hijau - kecoklatan bening - kecoklatan bening - kecoklatan
Kecerahan cm 30-40,67 25-38.33 20-35 20-35
Kedalaman cm 60 -100 50 -100 50 -100 50 -100
Suhu o
C 28,43-35,77 33.68-35.77 27,07 - 35,30 27,18 - 35,27 28,5 - 31,5
Salinitas ‰ 1 -10 1-7 1-8 1-4 15 - 25
pH - 6,35 -7,83 7,23 -7,46 6,75 -8,53 6,35 - 7,83 7,5 - 8,5
Oksigen mg/l 3,3 - 7,9 1,7 - 9,9 1,9 - 8,1 2,8 -7,4 3,0 - 7,5
Kali Malang II Warna perairan - hijau - kecoklatan hijau - kecoklatan bening - kecoklatan
Kecerahan cm 20-41 20-30 21.67-35
Kedalaman cm 50-90 45 - 95 45 - 90
Suhu o
C 27,37 - 34,93 28,77 - 34,07 28,33 - 35,53 28,5 - 31,5
salinitas ‰ 2 - 20 1 - 20 2 - 20 15 - 25
pH - 6,69 - 7,62 6,82 -7,55 6,88 -7,8 7,5 - 8,5
Oksigen mg/l 3,2 - 7,5 3,0 - 7,6 2,0 - 7,8 3,0 - 7,5
Kali Malang III Warna perairan - hijau - kecoklatan hijau - kecoklatan bening - kecoklatan
Kecerahan cm 20-38.67 20-40 20-39,67
Kedalaman cm 50-75 50-70 40-65
o
Suhu C 26,90 - 34,43 27,17 - 35,10 27,87 - 34,60 28,5 - 31,5
salinitas ‰ 6 - 30 10 - 30 6 - 30 15 - 25
pH - 6,96 - 7,57 6,89 -7.46 7,01-7,61 7,5 - 8,5
Oksigen mg/l 3,1 - 7,8 3,0 - 8,5 2,5 - 7,9 3,0 - 7,5
*SNI 7310-2010 (budidaya udang windu)
Sumber: hasil pengamatan, Maret 2012
115

B. Tabel Hasil pengukuran logam berat pada badan air di lokasi penelitian
Parameter (mg/l)
Lokasi
Kadmium Tembaga Timbal
Baku mutu* 0,051 – 0,167 0,001 – 1,157
Sungai Blanakan 0,0002 0,0022 0,0023
Tambak Jayamukti Darat 0,0004 0,0005 0,0011
Tambak Jayamukti Tengah 0,0004 0,0020 0,0015
Tambak Blanakan Darat 0,0002 0,0026 0,0046
Tambak Blanakan Tengah 0,0005 0,0010 0,0048
Muara Kalen Langensari 0,0005 0,0019 0,0006
Muara Sungai Blanakan 0,0003 0,0029 0,0004
Muara Sungai Gangga 0,0003 0,0029 0,0013
*SNI 7310-2010 (budidaya udang windu)
Sumber: hasil pengamatan, Agustus 2011

C. Tabel Hasil pengukuran logam berat pada biota di lokasi penelitian


lokasi
Parameter HS. Tambak MS. Laut
Balanakan Blanakan
Udang
Kadmium 0,0050 0,0050 0,0050 0,0004
Timbal 0,0050 0,1410 0,1445 0,1122
Tembaga 0,2786 0,2599 0,3809 0,2618
Ikan (bandeng dan blanak)
Kadmium 0,0050 0,0050 0,0050 0,0050
Timbal 0,1214 0,0050 0,1962 0,1052
Tembaga 0,0180 0,0516 0,0400 0,0352
Sumber: hasil pengamatan Agustus 2011
115
116

Lampiran 14. Kondisi umum responden

No Luas Model Tambak Teknologi Komoditas Lokasi Penutupan Keterangan


Responden (Ha) Budidaya Budidaya (%)
1 3.00 Tambak murni Tradisional Udang windu, bandeng dan nila Kali Malang I 0 milik sendiri
2 1.75 Tambak murni Tradisional Udang windu, bandeng dan nila 0
3 4.00 Tambak murni Tradisional Udang windu dan nila 0
4 2.00 Tambak murni Tradisional Udang windu, bandeng dan nila 0
5 8.00 Tambak murni Tradisional Udang windu, bandeng dan mujaer 0
6 2.00 Tambak murni Tradisional Udang windu, bandeng dan nila 0
7 3.00 Tambak murni Tradisional Udang windu, bandeng dan mujaer 0
8 2.00 Tambak murni Tradisional Udang windu dan bandeng 0
9 4.00 Empang Parit Tradisional Udang windu dan bandeng 30 Perhutani
10 2.00 Empang Parit Tradisional Udang windu 30
11 4.00 Empang Parit Tradisional Udang windu, bandeng dan nila 25
12 2.00 Empang Parit Tradisional Udang windu, bandeng dan mujaer 30
13 5.00 Empang Parit Tradisional Udang windu, bandeng dan mujaer 10
14 1.50 Empang Parit Tradisional Udang windu dan bandeng 25
15 2.00 Empang Parit Tradisional Udang windu dan bandeng Kali Malang II 30
16 1.50 Empang Parit Tradisional Udang windu dan bandeng 10
17 1.50 Empang Parit Tradisional Udang windu dan bandeng 10
18 2.00 Empang Parit Tradisional Udang windu dan bandeng 30
19 3.50 Empang Parit Tradisional Udang windu dan bandeng 10
20 5.00 Empang Parit Tradisional Udang windu, bandeng dan mujaer 20
21 2.00 Empang Parit Tradisional Bandeng dan Mujaer Kali Malang III 30
22 1.50 Empang Parit Tradisional Udang windu dan bandeng 30
23 2.00 Empang Parit Tradisional Bandeng dan Mujaer 25
24 2.50 Empang Parit Tradisional Bandeng dan Mujaer 30
25 2.00 Empang Parit Tradisional Udang windu, bandeng dan mujaer 30
26 2.00 Empang Parit Tradisional Bandeng dan Mujaer 30
27 3.50 Empang Parit Tradisional Bandeng Kali Malang I 50
28 2.00 Empang Parit Tradisional Udang windu 50
29 2.00 Empang Parit Tradisional Udang windu, bandeng dan nila 50
30 3.00 Empang Parit Tradisional Udang windu, bandeng dan mujaer 50
31 2.00 Empang Parit Tradisional Udang windu dan bandeng 50
32 4.00 Empang Parit Tradisional Udang windu, bandeng dan mujaer 50
33 5.00 Empang Parit Tradisional Udang windu dan bandeng Kali Malang II 50
34 2.00 Empang Parit Tradisional Udang windu dan bandeng 50
35 3.00 Empang Parit Tradisional Bandeng 50
36 1.50 Empang Parit Tradisional Bandeng dan Mujaer 50
37 2.00 Empang Parit Tradisional Bandeng 50
38 4.00 Empang Parit Tradisional Udang windu dan bandeng 50
39 2.00 Empang Parit Tradisional Bandeng Kali Malang III 60
40 2.50 Empang Parit Tradisional Udang windu dan bandeng 50
41 2.00 Empang Parit Tradisional Udang windu dan bandeng 50
117

No Luas Model Tambak Teknologi Komoditas Lokasi Penutupan Keterangan


Responden (Ha) Budidaya Budidaya (%)
42 3.00 Empang Parit Tradisional Udang windu dan bandeng 50
43 1.50 Empang Parit Tradisional Udang windu dan bandeng 50
44 2.00 Empang Parit Tradisional Bandeng dan Mujaer 60
45 2.00 Empang Parit Tradisional Udang windu dan bandeng Kali Malang I 70
46 1.00 Empang Parit Tradisional Udang windu, bandeng dan mujaer 70
47 3.00 Empang Parit Tradisional Udang windu dan bandeng 70
48 4.00 Empang Parit Tradisional Udang windu, bandeng dan nila 75
49 2.50 Empang Parit Tradisional Udang windu, bandeng dan nila 70
50 10.00 Empang Parit Tradisional Udang windu dan bandeng 75
51 2.00 Empang Parit Tradisional Bandeng Kali Malang II 75
52 4.00 Empang Parit Tradisional Bandeng dan Mujaer 70
53 3.00 Empang Parit Tradisional Udang windu, bandeng dan mujaer 75
54 3.00 Empang Parit Tradisional Udang windu dan bandeng 75
55 20.00 Empang Parit Tradisional Udang windu dan bandeng 75
56 2.50 Empang Parit Tradisional Udang windu dan bandeng 75
57 2.50 Empang Parit Tradisional Udang windu dan bandeng Kali Malang III 75
58 2.50 Empang Parit Tradisional Udang windu dan bandeng 75
59 2.00 Empang Parit Tradisional Udang windu dan bandeng 75
60 1.00 Empang Parit Tradisional Bandeng 75
61 3.00 Empang Parit Tradisional Udang windu dan bandeng 75
62 2.00 Empang Parit Tradisional Udang windu dan bandeng 75
Rata-rata Total 3.04
Tambak milik 3.22
Perhutani 3.02
118

Lampiran 14 Tahapan budidaya ramah lingkungan


A. Persiapan Lahan dan Air
Tahap persiapan sering dianggap remeh oleh penggarap tambak (petambak), padahal keberhasilan
produksi tidak bisa terlepas dari kesempurnaan proses persiapan. Tahapan persiapan tersebut dibagi ke dalam
persiapan lahan dan persiapan air sebelum tebar.
1) Persiapan lahan meliputi :
- pengeringan lahan (1-2 minggu),
- perbaikan prasarana produksi seperti pematang, pintu air, jembatan anco, saringan, dll),
- pembajakan atau pembalikan tanah (jika ada),
- pengapuran (jika ada; 50 - 150 kg/ha, tergantung kebutuhan), dan
- pemberantasan hama (menggunakan saponin (20-30 ppm) atau akar tuba (7-10 ppm); dilakukan
setelah beberapa hari (4 hari) sejak pengisian air, untuk menjamin telur dari hama telah menetas,
sehingga meningkatkan efektivitas pemusnahan hama.
2) Persiapan air meliputi:
- pengisian air (mengisi air ke dalam tambak saat air mulai surut dari pasang tertinggi),
- pemupukan (pupuk organik sebanyak 10–30 kg/ha ditebar secara merata di pelataran tambak, jika
urea, TSP atau NPK atau kombinasi diantara ketiganya maka dapat diberikan sebanyak 1-2 ppm/
100-200 kg/ha) dan,
- jika ada, pengapuran susulan.
Dalam beberapa hari, biasanya plankton sudah tumbuh dan warna air sudah berubah (kehijauan atau
kecoklatan). Jika kecerahan sudah mencapai 35-40 cm maka penebaran benih udang atau ikan sudah dapat
dilakukan.

B. Pemilihan dan Penebaran Benur/ Nener


Pemilihan benih sangat penting dilakukan untuk mendapatkan benih yang berkualitas agar memiliki
pertumbuhan yang baik dan tahan terhadap serangan penyakit. Sementara itu, tahapan penebaran benih
memerlukan perlakuan khusus dalam proses manipulasi lingkungan dan aklimatisasi.
1) Pemilihan Benur/Nener
Ciri benur udang yang baik:
a. Seragam dalam panjang dan warna
b. Ukuran panjang sesuai umur (±13 mm untuk PL 15),
c. Anggota tubuh lengkap dan normal, ekor (uropod) sudah membuka sempurna, tidak ada kerusakan kaki
atau rostrum, tidak ada penempelan penyakit pada tubuh
d. Tidak mengalami stress yang ditunjukkan dengan warna kemerahan. Benur yang sehat berwarna
keabuan, coklat atau coklat tua.
e. Berenang melawan arus jika air dalam wadah diputar.
f. Sangat responsif terhadap cahaya dan kejutan
g. Usus penuh berisi makanan, warna usus bergantung pada jenis makanan umumnya berwarna
kecoklatan
h. Lulus test uji formalin 200 ppm selama 1 jam (SR>95%)
2) Transportasi Benur/Nener
Benur/nener umumnya dikemas dalam kantong plastik. Pemanenan benur di hatchery atau nener di panti
pendederan umumnya dilakukan pada malam hingga pagi hari, agar suhu transportasi menjadi rendah dan
benur dapat ditebar pada pagi hari saat suhu air mencapai suhu terendah. Adapun prosedur pengiriman
benur adalah sebagai berikut:
a. Sebelum pengiriman, salinitas air di hatchery/panti pendederan tempat benih berasal semaksimal
mungkin disesuaikan dengan salinitas air tambak di tempat tujuan.
b. Pemanenan dan pengemasan benur/nener harus dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah kerusakan
benur/nener.
c. Jumlah benur dalam satu kantong sebaiknya berkisar antara 1.000-2000 PL per liter air (ukuran PL 15)
atau 500-1.000 PL per liter air (ukuran PL 20). Untuk nener ukuran 5 cm, jumlah per kantong tidak boleh
lebih dari 100 ekor
119

d. Kantong harus diisi oleh air dan oksigen murni dengan perbandingan 1/3 dan 2/3 volume kantong dan
diikat kuat oleh karet.
e. Alat transportasi yang digunakan harus bersih dari sumber pencemaran dan dalam kondisi layak pakai,
tidak digunakan untuk mengangkut bahan-bahan yang berbahaya seperti bahan kimia, bensin, pupuk dan
sebagainya.
f. Pengiriman benur sebaiknya dilakukan pada malam hari saat suhu udara cenderung rendah, terutama jika
jarak tempuhnya jauh, agar dapat tiba di tambak pada pagi hari. Bak pengangkut sebaiknya ditutup
dengan terpal untuk mencegah jatuhnya kantong atau box styrofoam.
3) Penebaran Benur/Nener
Penebaran benur/nener di tambak memerlukan proses manipulasi lingkungan dan aklimatisasi, agar
benur/nener mampu beradaptasi terhadap lingkungan baru. Hal ini dilakukan agar benur/nener tidak mengalami
stress yang dapat menurunkan daya tahan tubuhnya. Stress ini berhubungan dengan perubahan lingkungan
dalam hal ini kualitas air (salinitas, suhu, pH) antara hatchery/panti pendederan dan tambak pembesaran.
Prosedur penebaran benur yang baik adalah:
a. Sebagai syarat tempat hidup yang baru, air tambak harus memiliki cukup pakan alami (warna air
kehijauan atau kecoklatan dan kecerahan air cukup).
b. Penebaran dilakukan di pagi hari untuk mendapatkan suhu air tambak yang rendah agar mencegah stress
pada benur/nener yang ditebar.
c. Dilakukan aklimatisasi atau adaptasi benur/nener terhadap lingkungan baru dengan cara merendam
kantong plastik di dalam air tambak selama 30-60 menit untuk menyesuaikan suhu air di dalam kantong
dengan air di dalam tambak.
d. Setelah proses aklimatisasi suhu, sambil tetap direndam, kantong plastik dibuka sedikit demi sedikit air
tambak dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah dibuka, atau bisa juga dengan perlahan
membalikkan kantong hingga benur/nener akan berenang keluar kantong secara bertahap.
e. Benur/nener harus ditebar secara merata (menyebar) ke seluruh sisi tambak.
f. Kantong plastik dikumpulkan setelah benur/nener di dalam kantong telah keluar semua.
g. Indikasi benur/nener yang kuat (tidak stress) adalah berenang dengan cepat setelah dilepas, indikasi stress
jika benur berenang lambat di permukaan air dan atau warna tubuhnya kemerahan.
4) Pendederan Benur
Pendederan benur umumnya dilakukan petani tambak jika benur yang dibeli bukan ukuran glondongan
atau dekan kata lain benur yang dibeli berumur kurang dari 30 hari atau berat kurang dari 1-2 gram/ekor. Petani
tambak beranggapan benur belum terlalu kuat untuk dilepas ke tambak sehingga perlu diasuh selama beberapa
hari di dalam hapa (waring) atau kolam yang lebih kecil yanfg ada di tambak agar mencapai umur siap mencari
makan sendiri. Proses pendederan benur yang baik dan benar adalah:
a. Kolam pendederan harus dipersiapkan dan diperlakukan sama seperti halnya tambak pembesaran, dalam
arti memerlukan pengeringan lahan, pengapuran dll. Jika menggunakan hapa, maka hapa diletakkan di
tambak pembesaran yang telah dipersiapkan sebelumnya.
b. Kepadatan tebar benur pada pendederan adalah 100-200 ekor/m2. Benur dipelihara selama 15-20 hari.
c. Selama masa pendederan, benur harus diberi makan sesering mungkin (kurang lebih 1 kg/hari untuk
100.000 ekor benur) untuk menjaga tingkat pertumbuhan dan mencegah kanibalisme (saling makan antar
benur).
d. Penggantian air, jika pendederan dilakukan di kolam terpisah, harus dilakukan minimal 2 hari sekali
untuk menjaga kualitas air.

C. Pengelolaan Kualitas Air dan Pakan


Pengelolaan kualitas air dan pakan bertujuan untuk mengelola lingkungan agar media hidup di dalam
tambak sesuai untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang/ikan yang dipelihara. Dikarenakan sifatnya
yang ekstensif maka pengelolaan pakan lebih mengarah kepada pembentukan dan menjaga kelimpahan pakan
alami di dalam tambak.
1) Pengelolaan Kualitas Air
Pengelolaan air setelah tebar lebih diarahkan untuk menjaga agar kualitas air selalu berada pada kisaran
yang baik untuk pertumbuhan udang/ikan. Untuk tambak tradisional di daerah mangrove, parameter yang
120

menjadi perhatian utama biasanya adalah salinitas, pH dan oksigen terlarut. Pengisian air umumnya
dilakukan setiap hari saat air laut mengalami pasang tinggi dan membuang air tambak saat surut. Prosedur
yang digunakan sangat standar dan sederhana:
a. Sebelum memasukkan air, saringan dobel harus sudah terpasang di pintu air untuk mencegah masuknya
hewan liar ke dalam tambak.
b. Air sumber harus memiliki kualitas yang baik, dalam arti tidak keruh, kotor atau berbau. Parameter air
normal untuk pemeliharaan udang adalah salinitas 15-25 ppt, pH 7,5-8,5, DO>4 ppm, dan kecerahan 30-
35 cm.
c. Perubahan salinitas tidak boleh melebihi 3 ppt dalam satu hari di dalam tambak.
d. Pengelolaan air di tambak meliputi pemantauan kedalaman, kecerahan, dan warna air. Kedalaman air
harus dipertahankan untuk mengantisipasi kehilangan air akibat kebocoran atau penguapan.
e. Pada tambak udang, pertumbuhan klekap yang berlebih harus ditangani dengan cara pengangkatan dari
pinggir atau sudut kolam.
f. Pemberian saponin susulan bisa dilakukan jika terdapat banyak hama ikan liar di dalam tambak. Namun
hal ini tidak bisa dilakukan jika bandeng juga dipelihara di dalam tambak (polikultur).
g. Pemberian kapur susulan bisa dilakukan jika fluktuasi pH air harian tidak stabil atau pH air cenderung
rendah selama masa pemeliharaan. Kaptan dan dolomit lebih direkomendasikan dengan dosis yang
disarankan adalah 5-10 kg/hektar setiap 2-3 hari sekali.
h. Pada saat hujan lebat turun, salinitas dan pH air dapat turun secara drastis dan kekeruhan meningkat,
maka penanganan diperlukan dengan cara membuang air permukaan serta pemberian kaptan sebanyak 2-
3 kg/10m2 ke atas pematang. Jika air tambak menjadi keruh maka perlu diberikan kaptan sebanyak 200-
300 kg/ha.
2) Pengelolaan Pakan
Pengelolaan pakan pada usaha tambak ekstensif bertujuan untuk menumbuhkan dan menjaga kelimpahan
pakan alami di dalam tambak. Praktik yang umum dilakukan adalah dengan pemupukan awal dan
susulan, kemudian pada padat penebaran yang agak banyak, kadangkala dilakukan pemberian pakan
pellet dalam jumlah yang sedikit sejak umur tertentu. Beberapa hal penting perlu dicatat jika petani
tambak bermaksud untuk memberikan pakan buatan kepada udang/nener yang dipelihara, diantaranya:
a. Pemberian pakan benur pada kolam dengan tingkat kecerahan air lebih tinggi (pakan alami sedikit)
pemberian pakan harus diberikan lebih awal atau paling lambat pada umur 25 hari sejak tanggal
penebaran.
b. Jumlah (dosis) pakan yang diberikan adalah sekitar 0,5 kg/hari per 10.000 PL benur yang ditebar dan
dibagi ke dalam tiga kali pemberian (masing-masing sepertiga dari jumlah per hari). Untuk pemeliharaan
nener, pemberian pakan dapat dilakukan jika nener sudah merespon pemberian pakan.
c. Pakan untuk udang adalah pellet yang tenggelam (sinking type) sedangkan pellet untuk bandeng adalah
yang mengapung (floating type).
d. Jika umur udang sudah menginjak minimal 50 hari dan sampling telah dilakukan (bobot rataan dan
estimasi populasi diketahui), maka dosis pemberian pakan secara kasar dapat dihitung sebagai berikut:
Tabel Kebutuhan pakan udang pada saat pembesaran
Bobot rataan (gram) Dosis pakan (% bobot biomassa)
3-5 3,0%
5-10 2,5%
10-20 2,0%
>20 1,5%
Sumber: Sualia et al. 2010
Kebutuhan pakan per hari adalah :
Asumsi: Jika luas tambak = 1 hektar (10.000 m2), luas bukaan jala sampling = 5 m2, bobot rataan = 6
gram, dan rata-rata hasil tangkapan udang di jala = 3 ekor, maka populasi udang di tambak adalah =
(10.000/5)*3 = 6.000 ekor, dan jumlah pakan hariannya adalah = (2,5/100)*6.000*6 = 0,9 kg/hari
5) Pengelolaan Kesehatan Udang Windu
Pengelolaan kesehatan udang bertujuan untuk mencegah serangan penyakit terhadap udang yang
dipelihara. Inti dari pengelolaan kesehatan adalah pemeriksaan yang rutin terhadap kualitas air, kondisi
121

udang, mencegah masuknya carrier (kepiting, udang liar), dan jika terjadi wabah, pengetatan prosedur
ganti air dan pengamanan tambak dari kontaminasi (peralatan, burung, dan anjing). Beberapa prosedur
rutin yang harus dilaksanakan adalah:
a. Pemeriksaan udang di malam hari dengan menggunakan senter (jika disorot senter, udang yang sehat
memiliki mata yang cerah/merah dan bereaksi cepat terhadap cahaya dengan berenang menjauh,
sementara udang yang lemah akan memiliki mata yang pucat dan bereaksi lambat terhadap cahaya dan
berenang lemah ke pinggir/sudut tambak).
b. Lakukanlah pengecekan anco atau sampling dengan jala secara berkala jika udang sudah menginjak
usia di atas 45-50 hari untuk melakukan pemeriksaan secara langsung. Udang yang sehat akan ditandai
dengan tubuh dan insang yang bersih, warna tubuh alami, ekor tidak gripis, kaki-kaki tidak patah, dan
ususnya penuh makanan. Udang yang kurang sehat akan ditandai dengan tubuh yang kotor atau insang
yang hitam, warna tubuh merah atau ada bercak putih, ekor bengkak, dan atau ususnya kosong.
c. Hilangnya nafsu makan, yang bukan dikarenakan faktor molting, merupakan indikasi serangan
penyakit atau memburuknya kualitas air. Oleh karena itu segera lakukan penanganan yang semestinya
untuk mencegah masalah menjadi bertambah buruk (cek kualitas/kurangi pakan, cek kualitas/ganti air,
atau lakukan panen jika udang sudah cukup umur).
d. Jika kasus serangan jamur dan parasit sering terjadi (udang lumutan), gunakan formalin sebanyak 100-
150 liter per hektar. Pemberian formalin diberikan maksimal tiga kali selama masa pemeliharaan dan
diberikan setelah udang berumur 40 hari. Pemberian formalin harus diberikan pada siang hari saat
cuaca cerah dan tidak boleh diberikan saat udang molting. Sehari setelah pemberian formalin, air
tambak harus diganti sebanyak 30%, sehingga jika dirasa sulit untuk melakukan penggantian air maka
pemberian formalin dapat ditunda.

D. Panen dan Paska Panen


a. Manajemen Panen
Keberadaan kelembagaan formal seperti koperasi petani tambak berperan penting dalam kegiatan usaha
tambak, dimana koperasi umumnya memberikan pinjaman modal dan membantu penyediaan sarana
produksi serta mengatur jadwal panen dan penjualan udang milik petani tambak.Prosedur panen antara lain:
- Mempersiapkan tim panen, peralatan dan bahan yang dibutuhkan seperti box (styrofoam atau plastik)
dan es dengan jumlah yang cukup.
- Semua peralatan yang digunakan (wadah tampungan, dll) telah bersih dan didesinfeksi.
- Waktu panen tidak dilaksanakan saat udang molting.
- Waktu panen dilaksanakan saat surut terendah dalam siklus bulanan, untuk memudahkan dan
mempercepat panen.
- Untuk mencegah kerusakan atau kesegaran, waktu panen dilakukan saat suhu rendah (malam atau
menjelang pagi) dan harus selesai sebelum matahari terik.
- Pemasangan jaring panen pada pintu air (outlet) tambak harus menampung udang/bandeng yang
dipanen dan mencegah kebocoran yang menyebabkan udang/bandeng lolos dari jaring panen.
- Udang yang terkumpul dalam jaring panen harus segera diangkat untuk mencegah kerusakan udang
(mati berlama-lama, patah rostrum atau ekor, atau terkena lumpur).
- Sangat disarankan udang/bandeng yang dipanen segera direndam dalam air es sebelum mati untuk
mempertahankan kesegarannya.
- Udang/bandeng kemudian dicuci dengan air laut bersih kemudian ditempatkan dalam wadah yang telah
dilapisi es dibawahnya.
- Hasil panen harus sesegera mungkin dikirim ke penampungan udang atau koperasi, untuk mencegah
terjadinya kerugian akibat pembusukan.
b. Transportasi Hasil Panen
Prosedur transportasi panen perlu diberikan untuk menjaga kualitas hasil panen dan meningkatkan nilai
jual dan keuntungan dari usaha budidaya dan pemasaran udang/bandeng. Adapun prosedur standar dalam
transportasi panen udang/bandeng adalah:
- Transportasi udang/bandeng hasil panen harus dilaksanakan saat suhu rendah (malam hari) dan
sebaiknya tiba di koperasi saat pagi hari untuk mencegah kerusakan kualitas udang/ikan.
122

- Alat transportasi yang digunakan bersih dari sumber pencemaran (bahan kimia dan obat-obatan) dan
dalam kondisi layak pakai.
- Wadah berisi udang yang sudah siap dikirim dipindahkan ke dalam alat transportasi yang sudah
disiapkan dan ditutup dengan rapi.
- Jika pengiriman tidak menggunakan mobil ice cool box, maka jumlah es yang dipakai harus
disesuaikan dengan jumlah udang dan jarak (lama) perjalanan.
- Lama perjalanan sebaiknya di bawah 10 jam. Jika tidak maka pergantian es perlu dilakukan untuk
mempertahankan kesegaran.

E. Buku Laporan Kegiatan Harian Kegiatan Tambak


Pencatatan menjadi hal yang penting untuk dapat mengoreksi setiap kesalahan dan sebagai perbaikan
untuk produski berikutnya. Oleh karena itu perlu di catat Kegiatan sehari-hari di tambak dalam sebuah
buku. Informasi tersebut terdiri dari
1. Rincian persiapan tambak: lama pengeringan, jumlah kapur dasar, dll
2. Infromasi mengenai benih: nama hatchery, kualitas, hasil test, tanggal penebaran benih, dll
3. Pengelolaan kualitas air: pemberian pupuk/kapur, data kualitas air (salinitas, pH, dll)
4. Penggantian air: waktu, jumlah, warna air, dll
5. Jumlah dan pengamatan terhadap penyakit dan udang mati
6. Pengelolaan pakan: waktu dan jumlah, fluktuasi nafsu makan, dll
7. Panen: umur, jumlah, size, dll
8. Pengeluaran atau belanja yang dikeluarkan untuk produksi
9. Kunjungan tamu ke tambak, tanggal dan asal tamu. Hal ini dapat digunakan untuk penelusuran bila
terdapat wabah penyakit di tambak.
Secara umum foto teknik budidaya ramah lingkungan di sajikan pada Lampiran.
123

Lampiran 16. Analisis ragam R/C tambak eksisting

Tinggi Sedang Rendah Murni


4.36 3.10 4.84 2.07
17.72 8.78 7.17 4.33
10.32 4.79 5.65 1.36
15.61 25.11 4.14 2.62
10.03 12.20 3.13 4.76
4.99 4.48 4.23 2.51
16.96 19.12 5.10 2.29
11.28 12.26 4.60 1.30

Anova: Single Factor

SUMMARY
Groups Count Sum Average Variance
Tinggi 8 91.25482 11.40685 26.04472
Sedang 8 89.85251 11.23156 59.43054
Rendah 8 38.86033 4.857541 1.430452
Murni 8 21.23904 2.65488 1.610997

ANOVA
Source of Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 477.1213 3 159.0404 7.186912 0.001005 2.946685
Within Groups 619.6169 28 22.12918

Total 1096.738 31

Uji BNT

Uji BNT
sedang Rendah Murni BNT 0,05;4,5 3,5
Tinggi 0.18 6.37 8.75 0.060503 0.22973 0.362353
sedang 6.37 8.58
Rendah 2.20
124

Lampiran 17 Analisis kelayakan usaha pengembangan wanamina


A. Jenis dan nilai modal investasi pengembangan tambak sistem wanamina
Jenis Spesifikasi Satuan Jumlah Harga/satuan Total
Investasi Jenis (Rupiah) (Rupiah)
Kontruksi
Perbaikan Kolam Empang Parit ha/unit 2 6,200,000.00 12,400,000.00
Perbaikan Saluran Parit Lurus unit 1 4,200,000.00 4,200,000.00
Perbaikan Pintu Inlet Kayu Belian unit 1 2,750,000.00 2,750,000.00
Penanaman Mangrove Bibit Mangrove batang 480 1,200.00 576,000.00
Perbaikan Rumah Jaga Kayu Papan unit 1 1,800,000.00 1,800,000.00
Jumlah 21,726,000.00
Peralatan
Pompa Air Robin 3 Inch unit 1.0 2,700,000.00 2,700,000.00
Mini Genset 1,5 KVA unit 1.0 2,400,000.00 2,400,000.00
Saringan Pintu Inlet Waring PE unit 1.0 350,000.00 350,000.00
Jaring Penen Waring PE unit 1.0 600,000.00 600,000.00
Keranjang Panen Capacity 50 kg. unit 2.0 150,000.00 300,000.00
Box Simpan Ikan Feber, 200 kg unit 2.0 250,000.00 500,000.00
Gerobak Tarik Roda ganda unit 1.0 600,000.00 600,000.00
Bubu bambu unit 2.0 150,000.00 300,000.00
Jumlah 7,750,000.00
Total A + B 29,476,000.00

B. Umur ekonomi dan biaya perawatan investasi

Jenis Jumlah Umur Sisa Umur Nilai Sisa Biaya Perawatan


Investasi Investasi Ekonomis Ekonomis Ekonomis
(Rupiah) (Tahun) (Tahun) (Rupiah) (Rupiah)
Kontruksi
Tambak 12,400,000.00 20 - - 124,000.00
Saluran 4,200,000.00 5 - - 42,000.00
Pintu Inlet 2,750,000.00 20 - - 27,500.00
Penanaman
Mangrove 576,000.00 - 5,760.00
Rumah Jaga 1,800,000.00 10 - - 18,000.00
Jumlah 21,726,000.00 - 217,260.00
Peralatan
Pompa Air 2,700,000.00 4 - - 135,000.00
Mini Genset 2,400,000.00 5 - - 120,000.00
Saringan Pintu Inlet 350,000.00 4 - - 17,500.00
Jaring Penen 600,000.00 4 - - 30,000.00
Keranjang Panen 300,000.00 5 - - 15,000.00
Box Simpan Ikan 500,000.00 5 - - 25,000.00
Gerobak Tarik 600,000.00 4 - - 30,000.00
Bubu 300,000.00 1 - - 15,000.00
Jumlah 7,750,000.00 - 372,500.00
Total A + B 29,476,000.00 - 589,760.00
Lampiran 17 lanjutan...

C. Penggantian investasi dan nilai sisa investasi


Jenis Umur Jumlah Investasi (Rp) Pengadaan Baru Tahun Ke- (Rp)
Investasi Ekonomis (t 1) (t2) (t3) (t4) (t5) (t6) (t7) (t8)
Tambak 20 12,400,000
Saluran 5 4,200,000 4,200,000
Pintu Inlet 20 2,750,000
Penanaman Mangrove 576,000 288,000
Rumah Jaga 10 1,800,000
Pompa Air 4 2,700,000 2,700,000
Mini Genset 5 2,400,000 2,400,000
Saringan Pintu Inlet 4 350,000 350,000
Jaring Penen 4 600,000 600,000
Keranjang Panen 5 300,000 300,000
Box Simpan Ikan 5 500,000 500,000
Gerobak Tarik 4 600,000 600,000
Bubu 1 300,000 300,000 300,000 300,000 300,000 300,000 300,000 300,000
Penambahan 29,176,000 588,000 300,000 300,000 4,550,000 7,700,000 300,000 300,000

Jenis Pengadaan Baru Tahun Ke- (Rp)


Investasi (t 9) (t10) (t11) (t12) (t13) (t14) (t15) (t16) (t17) (t18) (t19) (t20)
Tambak
Saluran 4,200,000 4,200,000 4,200,000
Pintu Inlet
Penanaman Mangrove
Rumah Jaga
Pompa Air 2,700,000 2,700,000 2,700,000
Mini Genset 2,400,000 2,400,000 2,400,000
Saringan Pintu Inlet 350,000 350,000 350,000
Jaring Penen 600,000 600,000 600,000
Keranjang Panen 300,000 300,000 300,000
Box Simpan Ikan 500,000 500,000 500,000
Gerobak Tarik 600,000 600,000 600,000
Bubu 300,000 300,000 300,000 300,000 300,000 300,000 300,000 300,000 300,000 300,000 300,000 300,000
Penambahan 4,550,000 7,700,000 300,000 300,000 4,550,000 7,700,000 300,000 300,000 4,550,000 7,700,000 300,000 300,000
Lampiran 17 lanjutan Tahun Biaya Operas ional
D. biaya operasional komoditas udang dan bandeng Ke- (Rp)

t(1) 10,835,833.33
Komponen Jumlah Satuan Harga/ Total/Siklus t(2) 21,671,666.67
Satuan t(3) 21,671,666.67
t(4) 21,671,666.67
sewa lahan 1 Rp/Ha 50000 50,000.00
t(5) 21,671,666.67
Pembelian Benur Udang 20,000 ekor 45.00 900,000.00 t(6) 21,671,666.67
Pembelian nener Bandeng 5,000 ekor 120.00 600,000.00 t(7) 21,671,666.67
(t8) 21,671,666.67
Pembelian Pakan Pabrik (Pelet) 118 kg. 11,500.00 1,360,833.33
(t9) 21,671,666.67
Pembelian Kapur 500 kg. 2,500.00 1,250,000.00 (t10) 21,671,666.67
Pembelian Saponin 25 kg. 5,500.00 137,500.00 (t11) 21,671,666.67
Pembelian Probiotik 25 liter 5,500.00 137,500.00 (t12) 21,671,666.67
(t13) 21,671,666.67
Bahan Bakar 100 liter 7,000.00 700,000.00 (t14) 21,671,666.67
Upah karyawan (1org, 6 bln.) 6 orang/bulan 950,000.00 5,700,000.00 (t15) 21,671,666.67
(t16) 21,671,666.67
Total Biaya Operasional/Siklus Rupiah 10,835,833.33
(t17) 21,671,666.67
Total Biaya Operasional/Tahun Rupiah 21,671,666.67 (t18) 21,671,666.67
(t19) 21,671,666.67
(t20) 21,671,666.67

E. biaya operasional komoditas bandeng dan muajaer Tahun Biaya Operas ional
Ke- (Rp)
Komponen Jumlah Satuan Harga/ Total/Siklus
t(1) 8,766,000.00
Satuan t(2) 17,532,000.00
sewa lahan 1 Rp/Ha 50000 50,000.00 t(3) 17,532,000.00
t(4) 17,532,000.00
Pembelian Benur nila/mujaer 4,244 ekor 45.00 191,000.00
t(5) 17,532,000.00
Pembelian nener Bandeng 5,000 ekor 120.00 600,000.00 t(6) 17,532,000.00
Pembelian Pakan Pabrik (Pelet) - kg. 11,500.00 - t(7) 17,532,000.00
(t8) 17,532,000.00
Pembelian Kapur 500 kg. 2,500.00 1,250,000.00
(t9) 17,532,000.00
Pembelian Saponin 25 kg. 5,500.00 137,500.00 (t10) 17,532,000.00
Pembelian Probiotik 25 liter 5,500.00 137,500.00 (t11) 17,532,000.00
(t12) 17,532,000.00
Bahan Bakar 100 liter 7,000.00 700,000.00
(t13) 17,532,000.00
Upah karyawan (1org, 6 bln.) 6 orang/bulan 950,000.00 5,700,000.00 (t14) 17,532,000.00
Total Biaya Operasional/Siklus Rupiah 8,766,000.00 (t15) 17,532,000.00
(t16) 17,532,000.00
Total Biaya Operasional/Tahun Rupiah 17,532,000.00 (t17) 17,532,000.00
(t18) 17,532,000.00
(t19) 17,532,000.00
(t20) 17,532,000.00
Lampiran 17 lanjutan
F. penerimaan dari kegiatan budidaya komoditas udang dan bandeng
Komponen Satuan Komoditas Jumlah
Produksi
udang bandeng
Luas lahan m2. 20,000
Luas parit tambak 40% m2. 8,000
Jumlah Tebar ekor/siklus 20,000 5000
Rata-rata tabar ekor/m2 3 0.63
Survival Rate (SR) % 25 80
Jumlah Populasi ekor 5,000 4,000
Berat Panen (MBW) gram 33 200
Pola tebar siklus/tahun 2 2
Konversi Pakan (FCR) 0.71 0
Jumlah Pakan kilogram 118 -
Hasil Panen kilogram 167 800 967
Harga rupiah/ kg 65,000.00 15000
Penerimaan/siklus Rupiah 10,833,333.33 12,000,000.00 22,833,333.33
Penerimaan setelah pajak/siklus Rupiah 10,670,833.33 11,820,000.00 22,490,833.33
Penerimaan setelah pajak/tahun Rupiah 21,341,666.67 23,640,000.00 44,981,666.67

G. penerimaan hasil sampingan


Jenis Satuan Produksi Harga/ Jumlah
Produksi Per Petak Satuan

Udang Putih Rupiah/kg 360.00 25,000.00 9,000,000.00


Kepiting Rupiah/kg 240.00 25,000.00 6,000,000.00
Ikan Rupiah/kg 10.00 20,000.00 200,000.00

Penerimaan/Siklus Rupiah/siklus 610 15,200,000.00


Penerimaan/Tahun Rupiah/tahun 30,400,000.00
Lampiran 17 lanjutan

H. Rekapitulasi Estimasi Penerimaan/tahun komoditas udang dan bandeng

Tahun Penerimaan Penerimaan Jumlah


Ke- Hasil Budidaya Hasil Sampingan
(Rp) (Rp) (Rp)
t(1) 22,490,833.33 15,200,000.00 37,690,833.33
t(2) 44,981,666.67 30,400,000.00 75,381,666.67
t(3) 44,981,666.67 30,400,000.00 75,381,666.67
t(4) 44,981,666.67 30,400,000.00 75,381,666.67
t(5) 44,981,666.67 30,400,000.00 75,381,666.67
t(6) 44,981,666.67 30,400,000.00 75,381,666.67
t(7) 44,981,666.67 30,400,000.00 75,381,666.67
(t8) 44,981,666.67 30,400,000.00 75,381,666.67
(t9) 44,981,666.67 30,400,000.00 75,381,666.67
(t10) 44,981,666.67 30,400,000.00 75,381,666.67
(t11) 44,981,666.67 30,400,000.00 75,381,666.67
(t12) 44,981,666.67 30,400,000.00 75,381,666.67
(t13) 44,981,666.67 30,400,000.00 75,381,666.67
(t14) 44,981,666.67 30,400,000.00 75,381,666.67
(t15) 44,981,666.67 30,400,000.00 75,381,666.67
(t16) 44,981,666.67 30,400,000.00 75,381,666.67
(t17) 44,981,666.67 30,400,000.00 75,381,666.67
(t18) 44,981,666.67 30,400,000.00 75,381,666.67
(t19) 44,981,666.67 30,400,000.00 75,381,666.67
(t20) 44,981,666.67 30,400,000.00 75,381,666.67
Lampiran 17 lanjutan
I. penerimaan dari kegiatan budidaya komoditas bandeng dan mujaer
Komponen Satuan Jumlah
Komoditas
Produksi
Bandeng Nila
Luas lahan m2. 20,000
Luas parit tambak 40% m2. 8,000
Jumlah Tebar ekor/siklus 5,000 4,244.44
Rata-rata tabar ekor/m2 1 0.53
Survival Rate (SR) % 80 162.82
Jumlah Populasi ekor 4,000 6,911
Berat Panen (MBW) gram 200 100
Pola tebar siklus/tahun 2 2
Konversi Pakan (FCR) 0.71 0
Jumlah Pakan kilogram 568 -
Hasil Panen kilogram 800 691 1,491
Harga rupiah/ kg 15,000.00 8000
Penerimaan/siklus Rupiah 12,000,000.00 5,528,519.89 17,528,519.89
Penerimaan setelah pajak/siklus Rupiah 11,820,000.00 5,445,592.09 17,265,592.09
Penerimaan setelah pajak/tahun Rupiah 23,640,000.00 10,891,184.18 34,531,184.18

J. penerimaan hasil sampingan

Jenis Satuan Produksi Harga/ Jumlah


Produksi Per Petak Satuan

Udang Putih Rupiah/kg 360.00 25,000.00 9,000,000.00


Kepiting Rupiah/kg 240.00 25,000.00 6,000,000.00
Ikan Rupiah/kg 10.00 20,000.00 200,000.00
Penerimaan/Siklus Rupiah/siklus 610 15,200,000.00
Penerimaan/Tahun Rupiah/tahun 30,400,000.00
Lampiran 17 lanjutan
K. Rekapitulasi Estimasi Penerimaan/tahun komoditas bandeng mujaer

Tahun Penerimaan Penerimaan Jumlah


Ke- Hasil Budidaya Hasil Sampingan
(Rp) (Rp) (Rp)
t(1) 17,265,592.09 15,200,000.00 32,465,592.09
t(2) 34,531,184.18 30,400,000.00 64,931,184.18
t(3) 34,531,184.18 30,400,000.00 64,931,184.18
t(4) 34,531,184.18 30,400,000.00 64,931,184.18
t(5) 34,531,184.18 30,400,000.00 64,931,184.18
t(6) 34,531,184.18 30,400,000.00 64,931,184.18
t(7) 34,531,184.18 30,400,000.00 64,931,184.18
(t8) 34,531,184.18 30,400,000.00 64,931,184.18
(t9) 34,531,184.18 30,400,000.00 64,931,184.18
(t10) 34,531,184.18 30,400,000.00 64,931,184.18
(t11) 34,531,184.18 30,400,000.00 64,931,184.18
(t12) 34,531,184.18 30,400,000.00 64,931,184.18
(t13) 34,531,184.18 30,400,000.00 64,931,184.18
(t14) 34,531,184.18 30,400,000.00 64,931,184.18
(t15) 34,531,184.18 30,400,000.00 64,931,184.18
(t16) 34,531,184.18 30,400,000.00 64,931,184.18
(t17) 34,531,184.18 30,400,000.00 64,931,184.18
(t18) 34,531,184.18 30,400,000.00 64,931,184.18
(t19) 34,531,184.18 30,400,000.00 64,931,184.18
(t20) 34,531,184.18 30,400,000.00 64,931,184.18
Lampiran 17 lanjutan

L. Analisis Cash Flow, NPV, dan Net B/C komoditas udang dan bandeng
Jenis Tahun Ke- (Rp)
(t1) (t2) (t3) (t4) (t5) (t6) (t7)
(DF=12%) 0.8929 0.7972 0.7118 0.6355 0.5674 0.5066 0.4523
Inflow (Benefit)
Penerimaan Budidaya 22,490,833.33 44,981,666.67 44,981,666.67 44,981,666.67 44,981,666.67 44,981,666.67 44,981,666.67
Penerimaan Hasil Samping 15,200,000.00 30,400,000.00 30,400,000.00 44,981,666.67 30,400,000.00 30,400,000.00 30,400,000.00
Nilai Sisa
Gross Benefit (A) 37,690,833.33 75,381,666.67 75,381,666.67 89,963,333.33 75,381,666.67 75,381,666.67 75,381,666.67
PVGB 33,652,529.76 60,093,803.15 53,655,181.38 57,173,324.73 42,773,582.10 38,190,698.30 34,098,837.77
Jumlah PVGB
Outflow (Cost)
Investasi Awal 29,476,000.00
Penambahan Investasi 588,000.00 300,000.00 300,000.00 4,550,000.00 7,700,000.00 300,000.00
Biaya Perawatan 589,760.00 1,179,520.00 1,179,520.00 1,179,520.00 1,179,520.00 1,179,520.00 1,179,520.00
Biaya Operasional 10,835,833.33 21,671,666.67 21,671,666.67 21,671,666.67 21,671,666.67 21,671,666.67 21,671,666.67
Bunga Investasi (12%/thn) 3,537,120.00 3,537,120.00 3,537,120.00 3,537,120.00 3,537,120.00 3,537,120.00 3,537,120.00
Gross Cost (B) 44,438,713.33 26,976,306.67 26,688,306.67 26,688,306.67 30,938,306.67 34,088,306.67 26,688,306.67
PVGC 39,677,422.62 21,505,346.51 18,996,209.53 16,960,901.37 17,555,226.07 17,270,197.03 12,072,434.58
Jumlah PVGC
Analisis
Net Benefit (A-B) (6,747,880.00) 48,405,360.00 48,693,360.00 63,275,026.67 44,443,360.00 41,293,360.00 48,693,360.00
PV Net Benefit (6,024,892.86) 38,588,456.63 34,658,971.85 40,212,423.36 25,218,356.02 20,920,501.27 22,026,403.19
Jumlah PVNB (+}
Jumlah PVNB (-}
NPV 309,103,233.87
Net B/C 52.30
Lampiran 17 lanjutan

M. Analisis Cash Flow, NPV, dan Net B/C komoditas udang dan bandeng (lanjutan)
Jenis Tahun Ke- (Rp)
(t8) (t9) (t10) (t11) (t12) (t13) (t14)
(DF=12%) 0.4039 0.3606 0.3220 0.2875 0.2567 0.2292 0.2046
Inflow (Benefit)
Penerimaan Budidaya 44,981,666.67 44,981,666.67 44,981,666.67 44,981,666.67 44,981,666.67 44,981,666.67 44,981,666.67
Penerimaan Hasil Samping 30,400,000.00 30,400,000.00 30,400,000.00 30,400,000.00 30,400,000.00 30,400,000.00 30,400,000.00
Nilai Sisa
Gross Benefit (A) 75,381,666.67 75,381,666.67 75,381,666.67 75,381,666.67 75,381,666.67 75,381,666.67 75,381,666.67
PVGB 30,445,390.86 27,183,384.70 24,270,879.20 21,670,427.85 19,348,596.30 17,275,532.41 15,424,582.51
Jumlah PVGB
Outflow (Cost)
Investasi Awal
Penambahan Investasi 300,000.00 4,550,000.00 7,700,000.00 300,000.00 300,000.00 4,550,000.00 7,700,000.00
Biaya Perawatan 1,179,520.00 1,179,520.00 1,179,520.00 1,179,520.00 1,179,520.00 1,179,520.00 1,179,520.00
Biaya Operasional 21,671,666.67 21,671,666.67 21,671,666.67 21,671,666.67 21,671,666.67 21,671,666.67 21,671,666.67
Bunga Investasi (12%/thn) 3,537,120.00 3,537,120.00 3,537,120.00 3,537,120.00 3,537,120.00 3,537,120.00 3,537,120.00
Gross Cost (B) 26,688,306.67 30,938,306.67 34,088,306.67 26,688,306.67 26,688,306.67 30,938,306.67 34,088,306.67
PVGC 10,778,959.45 11,156,663.54 10,975,522.43 7,672,250.43 6,850,223.59 7,090,261.37 6,975,142.92
Jumlah PVGC
Analisis
Net Benefit (A-B) 48,693,360.00 44,443,360.00 41,293,360.00 48,693,360.00 48,693,360.00 44,443,360.00 41,293,360.00
PV Net Benefit 19,666,431.42 16,026,721.16 13,295,356.77 13,998,177.43 12,498,372.70 10,185,271.03 8,449,439.59
Jumlah PVNB (+}
Jumlah PVNB (-}
Lampiran 17 lanjutan
N. Analisis Cash Flow, NPV, dan Net B/C komoditas udang dan bandeng (lanjutan)
Jenis Tahun Ke- (Rp)
(t15) (t16) (t17) (t18) (t19) (t20)
(DF=12%) 0.1827 0.1631 0.1456 0.1300 0.1161 0.1037

Inflow (Benefit)
Penerimaan Budidaya 44,981,666.67 44,981,666.67 44,981,666.67 44,981,666.67 44,981,666.67 44,981,666.67
Penerimaan Hasil Samping 30,400,000.00 30,400,000.00 30,400,000.00 30,400,000.00 30,400,000.00 30,400,000.00
Nilai Sisa -
Gross Benefit (A) 75,381,666.67 75,381,666.67 75,381,666.67 75,381,666.67 75,381,666.67 75,381,666.67
PVGB 13,771,948.67 12,296,382.74 10,978,913.16 9,802,601.04 8,752,322.35 7,814,573.53
Jumlah PVGB 538,673,492.49
Outflow (Cost)
Investasi Awal
Penambahan Investasi 300,000.00 300,000.00 4,550,000.00 7,700,000.00 300,000.00 300,000.00
Biaya Perawatan 1,179,520.00 1,179,520.00 1,179,520.00 1,179,520.00 1,179,520.00 1,179,520.00
Biaya Operasional 21,671,666.67 21,671,666.67 21,671,666.67 21,671,666.67 21,671,666.67 21,671,666.67
Bunga Investasi (12%/thn) 3,537,120.00 3,537,120.00 3,537,120.00 3,537,120.00 3,537,120.00 3,537,120.00
Gross Cost (B) 26,688,306.67 26,688,306.67 30,938,306.67 34,088,306.67 26,688,306.67 26,688,306.67
PVGC 4,875,853.85 4,353,440.94 4,505,989.28 4,432,829.43 3,098,693.27 2,766,690.42
Jumlah PVGC 229,570,258.62
Analisis
Net Benefit (A-B) 48,693,360.00 48,693,360.00 44,443,360.00 41,293,360.00 48,693,360.00 48,693,360.00
PV Net Benefit 8,896,094.82 7,942,941.80 6,472,923.88 5,369,771.61 5,653,629.09 5,047,883.11
Jumlah PVNB (+} 315,128,126.73
Jumlah PVNB (-} 6,024,892.86
Lampiran 17 lanjutan

O. Analisis Cash Flow, NPV, dan Net B/C komoditas bandeng dan mujaer
Jenis Tahun Ke- (Rp)
(t1) (t2) (t3) (t4) (t5) (t6) (t7)
(DF=12%) 0.8929 0.7972 0.7118 0.6355 0.5674 0.5066 0.4523
Inflow (Benefit)
Penerimaan Budidaya 17,029,536.95 34,059,073.90 34,059,073.90 34,059,073.90 34,059,073.90 34,059,073.90 34,059,073.90
Penerimaan Hasil Samping 15,200,000.00 30,400,000.00 30,400,000.00 30,400,000.00 30,400,000.00 30,400,000.00 30,400,000.00
Nilai Sisa
Gross Benefit (A) 32,229,536.95 64,459,073.90 64,459,073.90 64,459,073.90 64,459,073.90 64,459,073.90 64,459,073.90
PVGB 28,776,372.28 51,386,379.07 45,880,695.59 40,964,906.78 36,575,809.63 32,656,972.88 29,158,011.50
Jumlah PVGB
Outflow (Cost)
Investasi Awal 29,476,000.00
Penambahan Investasi 588,000.00 300,000.00 300,000.00 4,550,000.00 7,700,000.00 300,000.00
Biaya Perawatan 10,513,666.67 21,027,333.33 21,027,333.33 21,027,333.33 21,027,333.33 21,027,333.33 21,027,333.33
Biaya Operasional 8,670,625.00 17,341,250.00 17,341,250.00 17,341,250.00 17,341,250.00 17,341,250.00 17,341,250.00
Bunga Investasi (12%/thn) 3,537,120.00 3,537,120.00 3,537,120.00 3,537,120.00 3,537,120.00 3,537,120.00 3,537,120.00
Gross Cost (B) 52,197,411.67 42,493,703.33 42,205,703.33 42,205,703.33 46,455,703.33 49,605,703.33 42,205,703.33
PVGC 46,604,831.85 33,875,720.13 30,041,185.98 26,822,487.48 26,360,213.67 25,131,793.10 19,091,716.79
Jumlah PVGC
Analisis
Net Benefit (A-B) (19,967,874.72) 21,965,370.57 22,253,370.57 22,253,370.57 18,003,370.57 14,853,370.57 22,253,370.57
PV Net Benefit (17,828,459.57) 17,510,658.93 15,839,509.62 14,142,419.30 10,215,595.95 7,525,179.78 10,066,294.71
Jumlah PVNB (+}
Jumlah PVNB (-}
NPV 114,147,877.30
Net B/C 7.40
Lampiran 17 lanjutan

P. Analisis Cash Flow, NPV, dan Net B/C komoditas bandeng dan mujaer (lanjutan)
Jenis Tahun Ke- (Rp)
(t8) (t9) (t10) (t11) (t12) (t13) (t14)
(DF=12%) 0.4039 0.3606 0.3220 0.2875 0.2567 0.2292 0.2046
Inflow (Benefit)
Penerimaan Budidaya 34,059,073.90 34,059,073.90 34,059,073.90 34,059,073.90 34,059,073.90 34,059,073.90 34,059,073.90
Penerimaan Hasil Samping 30,400,000.00 30,400,000.00 30,400,000.00 30,400,000.00 30,400,000.00 30,400,000.00 30,400,000.00
Nilai Sisa
Gross Benefit (A) 64,459,073.90 64,459,073.90 64,459,073.90 64,459,073.90 64,459,073.90 64,459,073.90 64,459,073.90
PVGB 26,033,938.84 23,244,588.25 20,754,096.65 18,530,443.44 16,545,038.78 14,772,356.06 13,189,603.62
Jumlah PVGB
Outflow (Cost)
Investasi Awal
Penambahan Investasi 300,000.00 4,550,000.00 7,700,000.00 300,000.00 300,000.00 4,550,000.00 7,700,000.00
Biaya Perawatan 21,027,333.33 21,027,333.33 21,027,333.33 21,027,333.33 21,027,333.33 21,027,333.33 21,027,333.33
Biaya Operasional 17,341,250.00 17,341,250.00 17,341,250.00 17,341,250.00 17,341,250.00 17,341,250.00 17,341,250.00
Bunga Investasi (12%/thn) 3,537,120.00 3,537,120.00 3,537,120.00 3,537,120.00 3,537,120.00 3,537,120.00 3,537,120.00
Gross Cost (B) 42,205,703.33 46,455,703.33 49,605,703.33 42,205,703.33 42,205,703.33 46,455,703.33 49,605,703.33
PVGC 17,046,175.70 16,752,392.34 15,971,708.86 12,133,131.17 10,833,152.83 10,646,448.19 10,150,309.72
Jumlah PVGC
Analisis
Net Benefit (A-B) 22,253,370.57 18,003,370.57 14,853,370.57 22,253,370.57 22,253,370.57 18,003,370.57 14,853,370.57
PV Net Benefit 8,987,763.14 6,492,195.91 4,782,387.80 6,397,312.27 5,711,885.96 4,125,907.87 3,039,293.90
Jumlah PVNB (+}
Jumlah PVNB (-}
Lampiran 17 lanjutan

Q. Analisis Cash Flow, NPV, dan Net B/C komoditas bandeng dan mujaer (lanjutan)
Jenis Tahun Ke- (Rp)
(t15) (t16) (t17) (t18) (t19) (t20)
(DF=12%) 0.1827 0.1631 0.1456 0.1300 0.1161 0.1037
Inflow (Benefit)
Penerimaan Budidaya 34,059,073.90 34,059,073.90 34,059,073.90 34,059,073.90 34,059,073.90 34,059,073.90
Penerimaan Hasil Samping 30,400,000.00 30,400,000.00 30,400,000.00 30,400,000.00 30,400,000.00 30,400,000.00
Nilai Sisa -
Gross Benefit (A) 64,459,073.90 64,459,073.90 64,459,073.90 64,459,073.90 64,459,073.90 64,459,073.90
PVGB 11,776,431.81 10,514,671.26 9,388,099.34 8,382,231.55 7,484,135.31 6,682,263.67
Jumlah PVGB 452,697,046.30
Outflow (Cost)
Investasi Awal
Penambahan Investasi 300,000.00 300,000.00 4,550,000.00 7,700,000.00 300,000.00 300,000.00
Biaya Perawatan 21,027,333.33 21,027,333.33 21,027,333.33 21,027,333.33 21,027,333.33 21,027,333.33
Biaya Operasional 17,341,250.00 17,341,250.00 17,341,250.00 17,341,250.00 17,341,250.00 17,341,250.00
Bunga Investasi (12%/thn) 3,537,120.00 3,537,120.00 3,537,120.00 3,537,120.00 3,537,120.00 3,537,120.00
Gross Cost (B) 42,205,703.33 42,205,703.33 46,455,703.33 49,605,703.33 42,205,703.33 42,205,703.33
PVGC 7,710,824.20 6,884,664.47 6,766,010.29 6,450,705.33 4,900,368.18 4,375,328.73
Jumlah PVGC 338,549,168.99
Analisis
Net Benefit (A-B) 22,253,370.57 22,253,370.57 18,003,370.57 14,853,370.57 22,253,370.57 22,253,370.57
PV Net Benefit 4,065,607.60 3,630,006.79 2,622,089.04 1,931,526.22 2,583,767.13 2,306,934.94
Jumlah PVNB (+} 131,976,336.87
Jumlah PVNB (-} 17,828,459.57
Lampiran 17 lanjutan

R. Tabel Interpolasi IRR Pada Usaha komoditas udang dan bandeng


Tahun Net Benefit Percobaan i= 93% Percobaan i= 94%
(Rp) DF' NPV' DF" NPV"
(t1) (6,747,880) 0.5208 (3,514,520.83) 0.5181 (3,496,310.88) IRR = I' + NPV' x (I" - I')
(t2) 48,405,360 0.2713 13,130,794.27 0.2685 12,995,076.38 NPV'-NPV"
(t3) 48,693,360 0.1413 6,879,645.45 0.1391 6,773,261.08
(t4) 63,275,027 0.0736 4,656,154.92 0.0721 4,560,401.72 IRR = I' + 24,711,424.41 x (1 %)
(t5) 44,443,360 0.0383 1,703,337.63 0.0373 1,659,664.64 430,813.61
(t6) 41,293,360 0.0200 824,276.37 0.0193 798,980.85
(t7) 48,693,360 0.0104 506,245.46 0.0100 488,167.18 IRR = 92% + 57.36 %
(t8) 48,693,360 0.0054 263,669.51 0.0052 252,936.36
(t9) 44,443,360 0.0028 125,341.77 0.0027 119,616.50 IRR = 149.36 %
(t10) 41,293,360 0.0015 60,655.19 0.0014 57,584.70
(t11) 48,693,360 0.0008 37,252.57 0.0007 35,183.52
(t12) 48,693,360 0.0004 19,402.38 0.0004 18,229.81
(t13) 44,443,360 0.0002 9,223.40 0.0002 8,621.08
(t14) 41,293,360 0.0001 4,463.37 0.0001 4,150.28
(t15) 48,693,360 0.0001 2,741.27 0.0001 2,535.77
(t16) 48,693,360 0.0000 1,427.74 0.0000 1,313.87
(t17) 44,443,360 0.0000 678.71 0.0000 621.34
(t18) 41,293,360 0.0000 328.44 0.0000 299.12
(t19) 48,693,360 0.0000 201.72 0.0000 182.76
(t20) 48,693,360 0.0000 105.06 0.0000 94.69
Jumlah 24,711,424.41 24,280,610.80
Lampiran 17 lanjutan
S. Tabel Interpolasi IRR Pada Usaha komoditas bandeng dan mujaer
Tahun Net Benefit Percobaan i= 93% Percobaan i= 94%
(Rp) DF' NPV' DF" NPV"
(t1) (19,967,875) 0.5208 (10,399,934.75) 0.5181 (10,346,049.08)
IRR = I' + NPV' x (I" - I')
(t2) 21,965,371 0.2713 5,958,488.11 0.2685 5,896,902.08
NPV'-NPV"
(t3) 22,253,371 0.1413 3,144,069.33 0.1391 3,095,450.57
(t4) 22,253,371 0.0736 1,637,536.11 0.0721 1,603,860.40
IRR = I' + 1,784,812.66 x (1 %)
(t5) 18,003,371 0.0383 689,997.75 0.0373 672,306.45
135,410.74
(t6) 14,853,371 0.0200 296,495.18 0.0193 287,396.29
(t7) 22,253,371 0.0104 231,359.43 0.0100 223,097.47
IRR = 92% + 13.18 %
(t8) 22,253,371 0.0054 120,499.70 0.0052 115,594.54
(t9) 18,003,371 0.0028 50,774.16 0.0027 48,454.94
IRR = 105.18 %
(t10) 14,853,371 0.0015 21,817.89 0.0014 20,713.43
(t11) 22,253,371 0.0008 17,024.81 0.0007 16,079.24
(t12) 22,253,371 0.0004 8,867.09 0.0004 8,331.21
(t13) 18,003,371 0.0002 3,736.27 0.0002 3,492.28
(t14) 14,853,371 0.0001 1,605.49 0.0001 1,492.87
(t15) 22,253,371 0.0001 1,252.79 0.0001 1,158.87
(t16) 22,253,371 0.0000 652.49 0.0000 600.45
(t17) 18,003,371 0.0000 274.94 0.0000 251.70
(t18) 14,853,371 0.0000 118.14 0.0000 107.60
(t19) 22,253,371 0.0000 92.19 0.0000 83.52
(t20) 39,646,241 0.0000 85.54 0.0000 77.10
Jumlah 1,784,812.66 1,649,401.92

Вам также может понравиться