Вы находитесь на странице: 1из 251

SUSTAINABLE PEDAGOGY IN MATHEMATICS EDUCATION

Munirah Ghazali
School of Educational Studies, UniversitiSains Malaysia, 11800 Penang, Malaysia

Abstrak. Education is an essential tool for achieving sustainability. People around the
world recognize that current economic development trends are not sustainable and that
public awareness, education, and training are key to moving society toward
sustainability. This paper will discuss part of bigger project aimed at integrating issues
in energy efficiency and early mathematics with special focus on numbers.
Specifically this paper will discuss issues in the teaching of number concepts in
mathematics, issues surrounding energy efficiencies and how those issues are
integrated in order to model a sustainable pedagogy in mathematics education

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
SUSTAINABLE PEDAGOGY IN MATHEMATICS EDUCATION

Fatimah Saleh
Universiti Sains Malaysia Pulau Pinang

Abstrak. Sustainable Pedagogy is about the establishment of collaborative learning


cultures that encourage risk-taking. Sustainable pedagogy offers radically different
ways of comprehending learning, teaching and human interaction with the
environment. Teachers should be prepared for transformative education with
theaccompanying personal transformation where the development of creativity and
expression are important in addition to the central elements of identity, values and
beliefs and classroom practice. Sustainable pedagogy involves a wide range of
methods and tools to address affective, spiritual, manual, and physical needs as well
as cognitive skills and creative inquiry(Sterling, 2001). Learners are thus empowered
to develop their own learning priorities, to construct their own meaning, and, through
application and dialogue, subject it to the scrutiny of their teachers, peers, and the
community. Three key elements to be focused on are teachers’knowledge, values and
belief system and their classroom practice in accordance to the mathematics teaching
philosophy.

Keywords: sustainable pedagogy, pedagogy in mathematics, mathematics education

16
17
18
19
20
21
22
23
24
MODEL-MODEL PEMBELAJARAN BERDASARKAN KURIKULUM 2013
UNTUK MENGEMBANGKAN KOMPETENSI MATEMATIS
DAN KARAKTER SISWA

Rahmah Johar
Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
Email: rahmahjohar@fkip.unsyiah.ac.id

Abstrak. Salah satu dasar perubahan kurikulum di Indonesia menjadi kurikulum 2013 adalah
karena tuntutan untuk megembangkan kompetensi dan karakter siswa. Oleh karena itu guru perlu
merancang tahap-tahap pembelajaran yang mengacu pada model pembelajaran inovatif, seperti
Discovery Learning (DL), Problem-Based Learning (PBL), dan Project-Based Learning (PjBL).
Namun hal ini tidak mudah bagi sebagian besar guru karena sudah terbiasa menerapkan tahap-
tahap pembelajaran langsung (Direct instruction), sehingga kompetensi matematis dan karakter
siswa kurang berkembang. Makalah ini membahas model Discovery Learning (DL), Problem-
Based Learning (PBL), dan Project-Based Learning (PjBL), contoh penerapannya dalam
pembelajaran matematika, untuk mengembangkan kompetensi matematis dan karakter siswa.

Kata kunci : Discovery Learning (DL), Problem-Based Learning (PBL), dan Project-Based
Learning (PjBL), kurikukulm 2013, kompetensi matematis, karakter

1. Pendahuluan

Kurikulum merupakan salah satu unsur yang memberikan kontribusi untuk mewujudkan proses
berkembangnya kualitas potensi peserta didik tersebut. Kurikulum 2013 dikembangkan berbasis pada
kompetensi sangat diperlukan sebagai instrumen untuk mengarahkan peserta didik menjadi: (1) manusia
berkualitas yang mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah; (2) manusia
terdidik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri; dan (3) warga negara yang demokratis, bertanggung jawab. Dengan demikian,
aspek karakter religious, karakter sosial, pengetahuan, dan keterampilan menjadi fokus dari kurikulum
2013 (Kemendikbud, 2014).

Untuk mencapai tujuan kurikulum 2013 di atas, Permendikbud No. 81A tahun 2013 mengatur bahwa
proses pembelajaran pada kurikulum 2013 hendaknya terdiri atas lima pengalaman belajar yaitu
mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan, yang
disingkat dengan 5M. Pengalaman belajar ini dikenal dengan pendekatan saintifik. Kemendikbud
(2014) memperjelas bahwa model pembelajaran yang diterapkan untuk melaksanakan pendekatan
saintifik diantaranya adalah Discovery Learning (DL), Problem-Based Learning (PBL), dan Project-
Based Learning (PjBL).

Berdasarkan pengalaman penulis memberikan kuliah dan memberikan pelatihan, banyak mahasiswa
dan guru menyampaikan bahwa mereka kesulitan merancang perangkat pembelajaran yang
menerapkan DL apalagi PBL dan PjBL. Bahkan diantara mereka tidak yakin bahwa PBL dan PjBL
cocok diterapkan dalam pembelajaran matematika karena matematika itu abstrak sehingga PBL dan
PjBL akan membuang-buang waktu.

Makalah ini membahas hakikat belajar matematik, penerapan DL, PBL, dan PjBL dalam pembelajaran
matematika dan kaitannya dengan pengembangan kompetensi matematis dan karakter siswa.

25
2. Tinjauan Pustaka
Hakikat Belajar Matematika
Van de Walle (2007) menjelaskan bahwa matematika adalah ilmu tentang pola dan urutan. Oleh karena
itu mengerjakan matematika artinya menemukan dan mengungkap keteraturan atau urutan. Pola tidak
hanya terdapat pada bilangan dan persamaan, tetapi juga berada pada setiap sesuatu di sekeliling kita.
Dunia penuh dengan pola dan urutan: di alam, dalam seni, dalam bangunan, dalam music, dan lain-lain.
Pola dan urutan juga ditemukan dalam perdagangan, sains, obat-obatan, pabrik, dan sosiologi.
Matematika menyelidiki pola ini, member arti, dan emnggunakannya dalam berbagai cara yang
menarik, untuk memperbaiki dan memperluas kehidupan kita. Sekolah harus membantu anak-anak
dalam proses penyelidikan tersebut.

Dikaitkan dengan ide Freudenthal sebagai tokoh Pendidikan Matematika Realistik, dia menjelaskan
bahwa dalam pendekatan realistik, matematika dipandang sebagai aktivitas manusia. Maksudnya,
matematika dipandang sebagai aktivitas menyelesaikan masalah, mencari masalah, dan aktivitas dalam
mengorganisasikan materi pelajaran. Masalah ini bisa berasal dari realitas yang telah
diatur/diorganisasikan sesuai dengan pola-pola matematika. Dapat juga berasal dari diri sendiri atau
orang lain, baru atau lama yang telah diorganisasikan menurut ide baru untuk pemahaman yang lebih
baik dalam konteks yang lebih luas (dalam Gravemeijer, 1994). Jadi, belajar matematika dimaksudkan
sebagai mengerjakan matematika, dimana menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari sebagai
bagian utamanya. Variasi dari masalah kontekstual ini diintegrasikan dalam kurikulum dari awal. Oleh
karena itu, fokus utama pendidikan matematika bukan hanya hasil (produk), tetapi juga proses
memperoleh hasil (Johar, 2006).

Untuk mengetahui sejauh mana siswa dapat menggunakan matematika dalam berbagai konteks,
asesemen internasional, yaitu PISA Program for International Student Assessment) menilai
kemampuan siswa berkaitan dengan literasi matematika (mathematics literacy), sebagai akibat dari
belajar matematiks. Literasi atau melek matematika didefinisikan sebagai kemampuan seseorang
individu merumuskan, menggunakan, dan menafsirkan matematika dalam berbagai konteks. Termasuk
di dalamnya bernalar secara matematis dan menggunakan konsep, prosedur, fakta, dan alat matematika
dalam menjelaskan serta memprediksi fenomena. Dengan demikian literasi matematika membantu
seseorang untuk mengenal peran matematika dalam dunia dan membuat pertimbangan maupun
keputusan yang dibutuhkan sebagai warga negara (OECD, 2010).

Dengan demikian pengetahuan dan pemahaman tentang konsep matematika sangatlah penting, tetapi
lebih penting lagi adalah kemampuan untuk mengaktifkan literasi matematika itu untuk memecahkan
permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari (Johar 2013).

Salah satu cara mewujudkan tujuan belajar matematika di atas adalah dengan menerapkan model-model
pembelajaran seperti yang disarankan oleh kurikulum 2013, yaitu Discovery Learning (DL), Problem-
Based Learning (PBL), dan Project-Based Learning (PjBL).

Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning/DL)

Istilah discovery learning (belajar penemuan) diungkapkan pertama kali oleh Bruner yang berlawanan
dengan reception learning (belajar penerimaan). Baik discovery learning maupun rote learning bisa
bermakna atau hafalan tergantung pada dikaitkan atau tidaknya pengetahuan baru dengan struktur
kognitif siswa (Kirschner, Sweller, and Clark (2004). Alfieri et. al (2011) menjelaskan bahwa ‘many
literature suggests that discovery learning occur whenever the learner is not provided with the target
information or conceptual understanding and must find it independently and with only provided
materials’. Maksudnya, banyak literatur menjelaskan bahwa discovery learning terjadi ketika siswa
bukan sebagai target informasi atau pemahaman konseptual melainkan siswa yang menemukannya
secara independen dengan menggunakan material yang disediakan.

Kemendikbud (2014) menjelaskan bahwa prinsip belajar yang nampak jelas dalam Discovery Learning
adalah materi atau bahan pelajaran yang akan disampaikan tidak disampaikan dalam bentuk final akan
tetapi siswa sebagai siswa didorong untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui dilanjutkan dengan

26
mencari informasi sendiri kemudian mengorgansasi atau membentuk (konstruktif) apa yang mereka
ketahui dan mereka pahami dalam suatu bentuk akhir. Syah (2004) menjelaskan fase (syntax) model
discovery learning adalah sebagai berikut.
1. Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan)
2. Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah)
3. Data collection (pengumpulan data)
4. Data processing (pengolahan data)
5. Verification (pembuktian)
6. Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi)

Contoh peneapan discovery learning berikut dikembangkan dari Buku Matematika Kelas VII edisi
revisi (Kemendikbud, 2014), sebagai berikut.

Tabel 1. Tahap Pembelajaran Discovery Learning


TAHAP
KEGIATAN PEMBELAJARAN
PEMBELAJARAN
1. Stimulation Pendahuluan
(stimulasi/pembe 1. Membuka pelajaran dengan salam pembuka dan berdo’a
rian rangsangan) 2. Memeriksa kehadiran siswa sebagai sikap disiplin

Apersepsi :
Mengingat kembali materi tentang bilangan ganjil, bilangan genap, siswa
diminta menyebutkan ciri-cirinya

Motivasi :
 Memotivasi siswa dengan cara menunjukkan gambar berkaitan dengan
susunan benda-benda ciptaan Tuhan dan buatan manusia yang giat
menuntut ilmu.

 Guru mendemonstrasikan pengelompokan gelas di meja, siswa diminta


melanjutkan kelompok berikutnya

???

(Ada lebih dari satu jawaban)


 Guru menayangkan video barisan Fibonacci dan siswa diminta
membaca riwayat Fibonacci di buku siswa
3. Menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai\
4. Menyampaikan langkah pembelajaran dengan discovery learning

27
2. Problem Kegiatan Inti
statemen Mengamati
(pertanyaan/iden Guru memberi kesempatan kepada siswa dalam kelompok untuk
tifikasi masalah) mengidentifikasi masalah yang relevan dengan pola bilangan, seperti
gambar bola berikut

- Diberikan kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi bola di atas


yang berwarna biru
- Guru menyampaikan permasalahan, yaitu tuliskan banyaknya bola biru
pada gambar di atas.
Menanya:
Minta siswa untuk mengajukan pertanyaan tentang pola banyak bola biru
pada gambar.
Contoh pertanyaan: Apakah 3 bola biru dapat ditulis sebagai ½ x 2 x 3 atau
3 = 2+1?
3. Data collection Mengumpulkan informasi
(pengumpulan Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengumpulkan
data) informasi sebanyak-banyaknya yang relevan sebagai bahan menganalisis
dalam rangka menjawab pertanyaan atau hipotesis di atas.
Alternatif kegiatan pembelajaran yang bisa dilakukan antara lain:
- Guru membimbing siswa dalam kelompok untuk mengumpulkan
informasi dari susunan gambar tersebut.

Pola ke Banyaknya bola


1 1
2 3
3 6
4 10
5 ...
6 ...

28
4. Data processing Mengasosiasi:
(pengolahan Siswa mengolah data atau informasi yang telah diperoleh para siswa
data) melalui pengamatan. Alternatif kegiatan pembelajaran yang bisa dilakukan
oleh guru antara lain meminta siswa melengkapi tabel beriktu:

Pola bilangan
Pola ke Banyaknya bola
1
x1x2
1 1 2
1
x2x3
2 3 2
1
x3x4
3 6 2
...
4 ...
...
5 ...

5. Verification Tuliskan dugaanmu tentang banyak bola, lalu diskusikan, mengapa banyak
(pembuktian) bola pada pola ke-n adalah Un = ½ x n x (n+1) dengan mengisi tabel pada
LKS
6. Generalization Siswa menarik kesimpulan tentang banyak bola pada suku ke-n
(menarik
kesimpulan/
generalisasi)

n+1

n
1
Pola ke- n adalah 𝑈𝑛 = × 𝑛 × (𝑛 + 1)
2
Dengan menggunakan rumus pola yang sudah ditemukan diatas, kita dapat
1
menentukan pola ke-10, yaitu 𝑈10 = 2 × 10(11) = 55
Mengkomunikasikan
 Beberapa kelompok mempresentasikan hasil kerja mereka, kelompok
lain menanggapi
 Siswa mengerjakan soal tes individu
Penutup
 Guru membimbing siswa menyimpulkan tentang pola bilangan
 Setiap kelompok diberikan penghargaan berdasarkan keberhasilan
belajar kelompoknya.
 Guru mengajukan pertanyaan refleksi, misalnya
- Bagaimana komentarmu tentang pelajaran hari ini?
- Aktivitas mana yang sudah dan belum kuasai?
- Bagaimana saranmu tentang proses pembelajaran berikutnya?
 Guru menginformasikan bahwa pertemuan selanjutnya akan membahas
tentang menentukan pola bilangan lanjutan

29

Siswa mengerjakan tugas projek halaman 81 buku siswa (di rumah)

Pembelajaran diakhiri dengan penyampaian pesan moral berkaitan
dengan pola bilangan
Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning/PBL)

Arends (2008) menyatakan bahwa Problem Based Learning (PBL), berusaha untuk memandirikan
siswa. Tuntutannya adalah guru mendorong dan mengarahkan siswa untuk bertanya dan mencari solusi
sendiri masalah nyata, dan siswa menyelesaikan tugas-tugas dengan kebebasan berpikir dan dengan
dorongan inkuiri terbuka. Problem Based Learning (PBL) juga sering disebut Problem Based
Instruction. Menurut Nur (2011) ciri khas sebagai berikut.
1. Mengajukan pertanyaan atau masalah
PBL menekankan pada mengorganisasikan pembelajaran di sekitar pertanyaan-pertanyaan atau
masalah-masalah yang penting secara sosial dan bermakna secara pribadi bagi siswa. Pelajaran
diarahkan pada situasi kehidupan nyata, menghindari jawaban sederhana, dan memperbolehkan
adanya keragaman solusi beserta argumentasinya.
2. Berfokus pada interdisiplin
Meskipun PBL dapat berpusat pada mata pelajaran tertentu (sains, matematika, IPS) namun
solusinya menghendaki siswa melibatkan banyak mata pelajaran.
3. Penyelidikan otentik
PBL menghendaki siswa menggeluti penyelidikan otentik dan berusaha memperoleh pemecahan
nyata terhadap masalah nyata, seperti mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis dan
membuat prediksi, mengupulkan dan menganalisis informasi, melaksanakan eksperimen (jika
diperlukan), dan membuat kesimpulan.
4. Menghasilkan karya nyata dan memamerkan
PBL menghendaki siswa menghasilkan produk dalam bentuk karya nyata dan memamerkannya.
Produk ini mewakili solusi-solusi mereka, misalnya skrip sinetron, sebuah laporan, modul fisik,
rekaman video, atau program komputer
5. Kolaborasi
Seperti pembelajaran kooperatif, PBL juga ditandai oleh siswa yang bekerja sama dengan siswa lain.

Selain ciri yang di atas, PBL menurut Nur (2011) juga dimaksudkan untuk membantu siswa berkinerja
dalam situasi kehidupan nyata dan belajar peran-peran penting yang biasa dilakukan oleh orang dewasa.

Gallagher, Stephien, Sher & Workman (dalam Chin and Li-Gek, tanpa tahun) menjelaskan bahwa PBL
where students generate their own problems which are often realistic, ill-structured and precede
learning. Maksudnya, dalam PBL siswa membangun masalah mereka sendiri yang realistik, ill-
structured, dan mendahului materi pelajaran. Selanjutnya dijelaskan bahwa ill-structured problems are
those where (a) the initial situations lack all the information necessary to develop a solution, (b) there
is no single right way to approach the task of problem solving, (c) as new information is gathered the
problem definition change, and (d) the students will never be 100% sure that they have made the correct
selection of solution options.
Dalam pembelajaran guru harus terlebih dahulu menetapkan tujuan pembelajaran sehingga tujuan itu
dapat dikomunikasikan dengan jelas kepada siswa. Setelah guru menetapkan tujuan kemudian guru
harus merancang situasi masalah yang sesuai dengan materi. Situasi masalah yang baik seharusnya
autentik, mengandung teka-teki, dan tidak terdefinisikan dengan ketat, memungkinan kerja sama,
bermakna bagi siswa, dan konsisten dengan tujuan kurikulum (Johar, Hanum, dan Nurfadhilah, 2006).

Arends (2001) mengemukakan lima ciri utama pembelajaran berdasarkan masalah yaitu pengajuan
masalah atau pertanyaan, keterkaitannya dengan disiplin ilmu lain, penyelidikan yang autentik,
menghasilkan dan memamerkan hasil karya, dan kolaborasi. Arends (1997) mengemukakan tahapan-
tahapan/fase dalam PBL seperti pada tabel berikut :

Tabel 2. Tahapan Pembelajaran Berdasarkan Masalah


Tahap Tingkah Laku Guru
1. Orientasi siswa kepada Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik
masalah yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat pada aktivitas
pemecahan masalah yang dipilihnya.

30
2. Mengorganisasi siswa untuk Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan
belajar tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut
3. Membimbing penyelidikan Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang
individual maupun kelompok sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan
penjelasan dan pemecahan masalah
4. Mengembangkan dan Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan
menyajikan hasil karya karya yang sesuai seperti laporan, video, model dan membantu
mereka untuk berbagi tugas dengan temannya
5. Menganalisis & mengevaluasi Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi
proses pemecahan masalah terhadap penyelidikan mereka&proses-proses yg mereka
gunakan

Contoh masalah untuk menerapkan PBL dalam pembelajaran matematika:


1. Pembelajaran topik perbandingan dengan tema perayaan “ulang tahun” di SMP
Nassya Catering mendapat pesanan minuman sirup acara untuk ulang tahun. Banyak tamu undangan
adalah 150 orang. Bantulah Nassya Catering menentukan banyak sirup yang akan dibeli dan jumlah
biaya yang diperlukan.
Sumber belajar/alat: satu botol sirup, sendok ukur, air putih, dan brosur harga satu botol sirup.
2. Pembelajaran topik Aritmatika Sosial di SMP
Ibu Sofi akan memanfaatkan bunga di sekitar rumahnya sebagai penghasilan keluarga. Jenis bunga
di sekitar rumah Bu Sofi sudah disesiakan di atas meja.
Apa yang harus dilakukan Bu Sofie agar usaha merangkai bunganya beruntung?

Pembelajaran Berbasis Proyek (Project-Based Learning/PjBL)


Project Based Learning is a teaching and learning model (curriculum development and instructional
approach) that emphasizes student-centered instruction by assigning projects. It allows students to work
more autonomously to construct their own learning, and culminates in ealistic, student-generated
products (Moursund, 2002; Thomas et al., 1999 dalam http://edutechwiki.unige.ch/en/Project-
based_learning).

Kemendikbud (2014) menjelaskan bahwa Pembelajaran Berbasis Proyek (Project-Based


Learning/PjBL) adalah model pembelajaran yang menggunakan proyek/kegiatan sebagai inti
pembelajaran. Siswa melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi, sintesis, dan informasi untuk
menghasilkan berbagai bentuk hasil belajar. Pembelajaran Berbasis Proyek merupakan model belajar
yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan
pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dalam beraktifitas secara nyata. Pembelajaran Berbasis
Proyek dirancang untuk digunakan pada permasalahan komplek yang diperlukan siswa dalam
melakukan insvestigasi dan memahaminya. Melalui PjBL, proses inquiry dimulai dengan memunculkan
pertanyaan penuntun (a guiding question) dan membimbing siswa dalam sebuah proyek kolaboratif
yang mengintegrasikan berbagai subjek (materi) dalam kurikulum.

Pembelajaran Berbasis Proyek memiliki karakteristik sebagai berikut:


1. siswa membuat keputusan tentang sebuah kerangka kerja,
2. adanya permasalahan atau tantangan yang diajukan kepada siswa,
3. siswa mendesain proses untuk menentukan solusi atas permasalahan atau tantangan yang
diajukan,
4. siswa secara kolaboratif bertanggungjawab untuk mengakses dan mengelola informasi untuk
memecahkan permasalahan,
5. proses evaluasi dijalankan secara kontinyu,
6. siswa secara berkala melakukan refleksi atas aktivitas yang sudah dijalankan,
7. produk akhir aktivitas belajar akan dievaluasi secara kualitatif,
8. situasi pembelajaran sangat toleran terhadap kesalahan dan perubahan

Schneiderman et al dalam Edu Tech Wiki, membedakan PBL dengan PjBL sebagai berikut, “project-
based learning focuses mostly on a production model. Students start by defining the purpose of creating
the end-product, identify their audience, they research the topic, design the product, do the project
management, solve the problems that arise and finish the product followed by a self-evaluation and
reflection. So, the driving force is the end-product, but the key to success is the skills acquired during
it’s production. In that sense, Project-Based Learning is a broader category than the Problem-based

31
Learning. DEngan demikian dapat disimpulkan bahwa PjBL lebih focus pada menghasilkan produk,
sehingga PjBL lebih luas dari PBL.
Lebih jelas, persamaan dan perbedaan Problem-based Learning dan Project-based Learning dapat
dilihat pada gambar berikut.

Gambar 1. Persamaan dan Perbedaan Problem-based Learning dan Project-based Learning


Contoh penerapan PjBL dalam pembelajaran matematika berikut dirangkum dari Muschla and Muschla
(2006).

1. Debat Heboh (Great Debate)


Pengantar:
Biasanya debat berhubungan dengan bahasa inggris, dan pelajaran sosial lainnya. Debat adalah aktivitas
unik yang menguntungskan siswa dalam pmbelajaran matematika. Untuk mempersiapkan debat siswa
harus mencari topik mereka, memperjelas pemikiran mereka, dan merumuskan argumentasi. Mereka
harus mengerti mengenai topik secara mendalam. Ada unsur kompetisi dalam debat, namun kebanyakan
siswa menemukan kenyaman dalam berdebat.
Petunjuk untuk guru:
a) Mulai projek ini dengan menjelaskan kepada siswa bahwa mereka akan ambil bagian dalam debat
mengenai isu dan masalah matematika
b) Ada banyak topik yang bisa digunakan dalam debat matematika. Beberapa topik tersebut antara
lain sebagai berikut.
 Bolehkah kalkulator digunakan di sekolah dasar?
 Apakah UN dapat dijadikan indikasi yang baik untuk melihat hasil belajar siswa?
 Dapatkah PR dijadikan alat untuk evaluasi?

32
 Apakah masih perlu belajar perkalian menggunakan tabel?
c) Pemilihan topik juga bisa dilakukan dengan curah pendapat (brainstorming) dengan siswa
d) Pastikan setiap kelompok heterogen
e) Minta siswa melakukan studi pustaka yang mendukung topik mereka baik menggunakan buku atau
pun sumber online.
f) Sediakan sarana debat agar siswa merasa suasana debat.
g) Pilih seorang moderator dan pencatat waktu

2. Membuat anggaran (making a budget)


Pengantar:
Banyak siswa mengganggap bahwa uang adalah sesuatu yang tak akan habis. Mereka membeli sesuatu
tanpa mempertimbangkan apakah mereka benar-benar membutuhkannya. Masalahnya adalah mereka
tidak tahu bagaimana cara mereka menghabiskan uang mereka. Untuk beberapa siswa membuat
anggaran bisa bermanfaat. Menyusun anggaran tidak memberi jaminan bahwa uang akan mereka
habiskan secara bijak, tetapi memungkinkan siswa untuk memonitor income dan pengeluaran mereka.
Petunjuk untuk Guru
a) Mulai projek dengan menjelaskan bahwa siswa akan bekerja individu untuk membuat anggran
bulanan yang akan memonitor income dan pengeluaran mereka.
b) Diskusikan kata income, biaya, dan surplus
c) Jika perlu, review perkiraan di kelas
d) Minta siswa menuliskan pemasukan, pengeluaran, sisa uang, dan rencana penggunaan uang

3. Merencanakan kamar sendiri (A floor plan my room)


Pengantar:
Biasanya kamar remaja berantakan. Kadang-kadang perabot di kamar tidak diatur sehingga kamar terasa
sempit. Pengaturan kembali bisa membuat ruangan nyaman dan tidak berantakan. Pengaturan kembali
tata letak perabot adalah sebuah pekerjaan besar, berfikir, apalagi jika perabotnya banyak. Cara yang
baik adalah membuat rancangan di atas kertas tentang tata letak perabotan di kamar.

Petunjuk untuk Guru:


a) mulai projek ini dengan menjelaskan bekerja sendiri-sendiri untuk membuat perencanaan lantai
kamar
b) Mendorong siswa membuat sket kamar mereka beserta ukurannya,
c) Minta siswa mengukur panjang dan lebar furniture
d) siswa menentukan skala dan konsultasi terlebih dahlu bagaimana mennetukan skala
e) Minta siswa menuliskan skala pada gambar
f) siswa bersiap-siap untuk diskusi tentang rancangan lantai kamarnya dan mengapa rancangan
lantainya adalah yang terbaik.

Kompetensi Matematika
Kompetensi matematika yang dimaksud dalam makalah ini adalah kemampuan yang hendaknya
dimiliki oleh siswa berdasarkan prinsip NCTM (2000), yaitu kemampuan memecahkan masalah
(problem solving), bernalar dan membuktikan (reasoning and proof), berkomunikasi (communication),
dan koneksi (connection)

Problem solving-it means solving the non-routine problem or context problem- is a primary goal of
mathematics teaching and learning and is considered to be the essence of mathematics (NCTM,
2000). Maksudnya, problem solving sebagai soal non rutin atau masalah kontekstual merupakan
tujuan utama dalam pembelajaran matematika. Selanjutnya Sumarmo (2012) menjelaskan bahwa
Pemecahan masalah sebagai kegiatan yang meliputi:
a) Mengidentifikasi kecukupan data untuk memecahkan masalah
b) Membuat model matematik dari suatu masalah dan menyelesaikannya.
c) Memilih dan menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah matematika dan atau di luar
matematika
d) Menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal, serta memeriksa kebenaran
hasil atau jawaban
e) Menerapkan matematika secara bermakna

33
However, some students fail in solving problems typically defined as non-routine and teachers
encounter difficulties in supporting the development of the students’ problem-solving competency
(Kolovou, et al. 2009, Johar 2011). Maksudnya, beberapa siswa gagal dalam menyelesaikan masalah
non rutin dan guru berudaha membantu kesulitan siswa dengan memberikan dorongan untuk
mengembangkan kompetensi siswa dalam memecahkan masalah.

The teacher has to play an active role in orchestrating productive whole-class discussions and in
selecting framing mathematics issues - context problem - as topics discussion (Gravemeijer, 2010,
Gravemeijer and Cobb, 2006). The teacher not only asks the student to ‘explain your strategy’ but also
‘show how you got your answer’ (van den Heuvel-Panhuizen, 1996).

Peressini (1999, 156) menyatakan bahwa penalaran matematika memainkan peranan yang sangat
penting dalam proses berpikir meliputi:
- mengumpulkan data
- membuat konjektur
- membangun generalisasi
- membangun argument
- menggambarkan (menvalidasi) konklusi logis tentang sejumlah ide dan keterkaitannya

Sumarmo (2012) menjelaskan bahwa secara garis besar penalaran dapat digolongkan dalam dua jenis
yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif diartikan sebagai penarikan
kesimpulan yang bersifat umum atau khusus berdasarkan data yang teramati. Nilai kebenaran dalam
penalaran induktif dapat bersifat benar atau salah. Beberapa kegiatan yang tergolong pada penalaran
induktif di antaranya adalah:
a) Transduktif: menarik kesimpulan dari satu kasus atau sifat khusus yang satu diterapkan pada yang
kasus khusus lainnya.
b) Analogi: penarikan kesimpulan berdasarkan keserupaan data atau proses
c) Generalisasi: penarikan kesimpulan umum berdasarkan sejumlah data yang teramati
d) Memperkirakan jawaban, solusi atau kecenderungan: interpolasi dan ekstrapolasi
e) Memberi penjelasan terhadap model, fakta, sifat, hubungan, atau pola yang ada
f) Menggunakan pola hubungan untuk menganalisis situasi, dan menyusun konjektur
Pada umumnya penalaran transduktif tergolong pada kemampuan berpikir matematik tingkat rendah
sedang yang lainnya tergolong berpikir matematik tingkat tinggi.

Penalaran deduktif adalah penarikan kesimpulan berdasarkan aturan yang disepakati. Nilai kebenaran
dalam penalaran deduktif bersifat mutlak benar atau salah dan tidak keduanya bersama-sama. Penalaran
deduktif dapat tergolong tingkat rendah atau tingkat tinggi. Beberapa kegiatan yang tergolong pada
penalaran deduktif di antaranya adalah:
a) Melaksanakan perhitungan berdasarkan aturan atau rumus tertentu.
b) Menarik kesimpulan logis berdasarkan aturan inferensi, memeriksa validitas argumen,
membuktikan, dan menyusun argumen yang valid
c) Menyusun pembukltian langsung, pembukltian tak langsung dan pem-buktian dengan induksi
matematika.
Kemampuan pada butir a) pada umumnya tergolong berpikir matematik tingkat rendah, dan
kemampuan lainnya tergolong berpikir matematik tingkat tinggi.

NCTM (2000) menjelaskan bahwa komunikasi adalah bagian yang esensial dari matematika dan
pendidikan matematika sebagai suatu cara membagi ide dan mengklarifikasi pemahaman. Kegiatan
yang tergolong pada komunikasi matematik menurut NCTM (2000) dan Sumarmo (2012) diantaranya
adalah:
a) Menyatakan suati situasi, gambar, diagram, atau benda nyata ke dalam bahasa, simbol, idea, atau
model matematik
b) Menjelaskan idea, situasi, dan relasi matematika secara lisan atau tulisan
c) Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika
d) Membaca dengan pemahaman suatu representasi matematika tertulis
e) Mengungkapkan kembali suatu uraian atau paragraf matematika dalam bahasa sendiri

34
Kegiatan yang tergolong pada koneksi matematik menurut NCTM (2000) dan Sumarmo (2012)
diantaranya adalah:
a) Mencari hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur.
b) Memahamai hubungan antar topik matematika.
c) Menerapkan matematika dalam bidang lain atau dalam kehidupan sehar-hari.
d) Memahami representasi ekuivalen suatu konsep.
e) Mencari hubungan satu prosedur dengan prosedur lain dalam represntasi yang ekuivalen.
Menerapkan hubungan antar topik matematika dan antara topik matematika dengan topik di luar
matematika.

Pengembangan Karakter melalui Pembelajaran Matematika

Pendidikan di sekolah merupakan salah satu komponen yang turut mempengaruhi pembentukan
karakter siswa. Namun kondisi pendidikan di sekolah saat ini cenderung mengembangkan aspek
kognitif siswa, dimana aspek selain kognitif seperti afektif kurang mendapat perhatian. Hal ini
disebabkan oleh sistem pendidikan yang lebih berorientasi pada mengejar target kurikulum. Bahkan
terkadang guru menunjukkan sikap yang negatif terhadap pembentukan karakter siswa, seperti kurang
menghargai siswa, jarang memberikan pujian kepada siswa, guru lebih banyak mengkritik siswa.
Akibatnya siswa menjadi kurang percaya diri, kurang menghargai orang lain, dan tidak kreatif (Johar,
2012).

Respon guru sangat penting dalam mengembangkan karakter siswa. Respon yang bersifat kritik yang
merendahkan atau menjatuhkan siswa merupakan suatu hal yang harus dihindari. Pemberian pujian
merupakan suatu pemberian respon yang efektif, tetapi perlu diperhatikan pemberian pujian tersebut
haruslah sungguh-sungguh berarti bagi siswa. Pemberian pujian yang berlebihan dan tidak pada
tempatnya akan membuat pujian itu tidak bermakna bagi siswa (Marliyah dkk, 2004). Pujian yang
diberikan secara tepat akan membuat siswa termotivasi untuk melakukan yang terbaik (Wright, 2002).
Sebagai seorang guru (dalam http://ideguru.wordpress.com/2010/04/11/ tips-menumbuhkan-percaya-
diri-anak/) dijelaskan bahwa guru perlu menahan diri untuk cepat-cepat turun tangan membantu anak
melakukan sesuatu. Membantu boleh-boleh saja, tapi tidak berarti mengambil alih atau langsung ikut
campur tangan tanpa dimintanya. Doronglah dia untuk tidak terlalu gampang mengatakan, “Saya tidak
bisa,” “Saya tak pernah akan bisa,” atau “Saya memang bodoh.” Dengarkan siswa dan dorong dia untuk
berpikir mandiri. Belajar mempertahankan diri sendiri memerlukan kekuatan besar.

Untuk mendorong kreativitas siswa dalam matematika, guru perlu memberikan soal-soal terbuka/open-
ended (Johar dkk, 2006) dan soal yang berbentuk problem solving (Johar dan Afrina, 2011).

Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Discovery Learning
(DL), Problem-Based Learning (PBL), dan Project-Based Learning (PjBL), sangat berpotensi untuk
mengembangkan kompetensi matematika dan karakter siswa. Karakter yang dimaksud seperti kreatif,
memiliki rasa ingin tau, demokratis, percaya diri, kerjasama, dan tanggung jawab. Selain itu kompetensi
matematis siswa seperti kemampuan memecahkan masalah (problem solving), bernalar dan
membuktikan (reasoning and proof), berkomunikasi (communication), dan koneksi (connection) juga
dapat ditingkatkan.

Untuk itu, guru perlu memfasilitasi siswa dengan cara mendesain permasalahan dan aktivitas agar dapat
menerapkan model Discovery Learning (DL), Problem-Based Learning (PBL), dan Project-Based
Learning (PjBL) untuk meningkatkan

Daftar Pustaka

Arends, Richard I. (1997). Classroom Instruction and Management. New York: Mc Graw-Hill

Arends, Richard L. (2008). Learning to Teach. University of Maryland: Pustaka Pelajar.

Alfieri, L., Brooks, P. J., Aldrich, N. J., and Tenenbaum, H. R. (2011) Does Discovery-Based Instruction
Enhance Learning? Journal of Educational Psychology. Vol. 103. 1 p. 1-18.

35
Chin, C. and Li-Gek, C (without year). Implementing Problem-Based Learning in Biology. Nanyang
Tachnology University. Singapore

Edu Tech Wiki Project-based learning dalam http://edutechwiki.unige.ch/en/Project-based_learning

Gravemeijer, K.P.E and Cobb, P. (2006). Design Research from a Learning Design Perspective. In
Dekker, van den, Gravemeijer, K., Mc Kenny, S., & Nieven, N. (Eds). Educational Design
Research (pp. 17-51). London: Rontledge.

Gravemeijer, K.P.E (2010). Realistic Mathematics Education Theory as a Guideline for Problem-
Centered, Interactive Mathematics Education. In Sembiring, R. K., Hoogland, K., & Dolk, M.,
(Eds), A Decade of PMRI in Indonesia, Bandung, Utrecht: APS International.

Nur, Mohamad (2011) Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: Pusat Sains dan
Matematika Sekolah.

Johar, Rahmah (2006) Pendidikan Matematika Realistik: Pendekatan Baru dalam Pembelajaran
Matematika dalam Jurnal “Wacana” FKIP Unsyiah, ISSN 0853-3571, Vol. 5 No. 1 Tahun 2006.

Johar, Rahmah; Hanum, Latifah; Nurfadhilah, Cut (2006) Strategi Belajar Mengajar. Modul. FKIP
Unsyiah.

Johar, Rahmah and Afrina, Marisa (2011) The Teachers’ Efforts to Encourage the Students’ Strategies
to Find the Solution of Fraction Problem in Banda Aceh. Proceeding of International Congress
for School Effectiveness and Improvement. Cyprus, 4-7 Januari 2011.
Johar, Rahmah (2012). Upaya Guru Mengembangkan Karakter Siswa melalui Pembelajaran
Matematika dengan Pendekatan Realistik. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapan
(SimanTap). Medan, 28-29 November 2012.

Johar, Rahmah (2013). Domain Soal Pisa untuk Literasi Matematika. Jurnal Peluang. Vol 1. No. 1
Oktober 2012.

Kemendikbud (2014). Materi Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta

Kolovou, A., Van den Heuvel-Panhuizen, M., & Bakker, A. (2009) Non-Routine Problem Solving
Tasks in Primary School Mathematics Textbooks – A Needle in a Haystack. Mediterranean
Journal for Research in Mathematics Education 8 (2), 31-69.

Muschla, J. A. and Muschla, G. R. (2006) Hands-on Math Projects with Real-Life Applications. (2nd
Edition) Jossey-Bass A Wiley Imprint. USA

NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston VA: NCTM

OECD (2010). PISA 2012. Mathematics Framework: Draft Subject to Possible revision after the Field
Trial.

Peressini, D. (1999). Analyzing Mathematical Reasoning in Students’ Responses across Multiple


Performance Assessment Tasks. Dalam “Developing Mathematical Reasoning Grades K-12”
by Lee V. Stiff dan Frances R. Curcio (edt), NCTM, Virginia; USA.

Sumarmo, Utari (2012) Pendidikan Karakter serta Pengembangan Berfikir dan Disposisi Matematik
dalam Pembelajaran Matematika. Makalah disajikan dalam Seminar Pendidikan Matematika di
NTT tanggal 25 Februari 2012

Syah, M. (2004). Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru. PT Remaja Rosdakarya, Bandung.

van den Heuvel-Panhuizen, M. (1996). Assesment Realistic Mathematics Education. Utrecht,


Netherland: Freudental Institute

36
van de Walle. J. (2007) Matematika Sekolah Dasar dan Menengah: Pengembangan Pengajaran. Alih
Bahasa Suyono. Jakarta: Erlangga.

Wright, Jim (2002) Lesson 2: How to Give Compliments to Tutees. In www.interventioncentral.org.

37
IDENTIFIKASI SCAFFOLDING GURU MATEMATIKA MENUJU
PELAKSANAAN KURIKULUM 2013

Anwar1, Ipung Yuwono2, Edy Bambang Irawan2, Abdur Rahman As’ari2


1
Mahasiswa S3 Pendidikan Matematika Universitas Negeri Malang, Malang
Email: anwarramli@gmail.com
2
Dosen Pendidikan Matematika Universitas Negeri Malang, Malang

Abstrak. Salah satu bentuk interaksi yang diduga kuat terjadi dalam pembelajaran
matematika adalah ketika guru memberikan scaffolding kepada siswa, yaitu pemberian
bantuan guru secara terbatas yang mampu mendorong keberhasilan konstruksi
pemahaman siswa selama pembelajaran. Artikel ini berasal dari observasi peneliti di SDI
dan MTsI Surya Buana di Malang. Artikel ini membahas scaffolding yang diberikan guru
matematika sebagai salah satu bentuk interaksi antara guru dan siswa menuju pelaksanaan
kurikulum 2013. Hasil observasi menunjukkan bahwa scaffolding yang diberikan guru
matematika merujuk kepada Anghileri (2006), masih banyak terjadi pada level 1, dan
sedikit berada pada level 2 dan 3, yakni guru lebih banyak melakukan kegiatan explaining
dengan showing dan telling.

Kata-kunci: pembelajaran matematika, scaffolding, kurikulum 2013.

1. Pendahuluan

Kegiatan pembelajaran matematika di kelas tidak terlepas dari interaksi antara guru dan siswa (Franke,
2007). Interaksi ini berkontribusi terhadap pencapaian praktik di ruang kelas yang mendukung
penguasaan belajar siswa (h. 251). Namun, proses membangun interaksi ini tidaklah mudah. Hal ini
bergantung dari pengalaman guru, keyakinan guru, pengetahuan guru tentang materi yang
disampaikan, watak pribadi dan lain sebagainya (Hiebert & Grows, 2007; Rice, 2010; Unal, 2012).
Salah satu bentuk interaksi yang diduga kuat terjadi dalam pembelajaran adalah ketika guru
memberikan scaffolding kepada siswa, yakni sebagai pemberian bantuan secara terbatas oleh guru yang
mampu mendorong keberhasilan siswa mengkonstruksi pemahaman siswa sendiri dalam pembelajaran.

Perubahan kurikulum di Indonesia pada tahun 2013 sebagai kurikulum yang pembelajarannya
menggunakan pendekatan saintifik, yang disingkat dengan K-13 (Kemendikbud, 2013), telah
melahirkan tantangan baru bagi guru matematika yang tentu saja mempengaruhi interaksi pembelajaran
di kelas. Beberapa tantangan itu secara garis besar berkaitan dengan: (1) pembenahan pemahaman guru
tentang esensi kurikulum, (2) penyiapan dan penguasaan materi matematika yang difasilitasi, dan (3)
pengelolaan pembelajaran matematika di dalam kelas. Untuk menghadapi tantangan ini, menurut As’ari
(2014), diperlukan upaya guru mengubah mindset-nya. Dalam kaitan ini, ada dua hal yang sangat
penting yang harus dilakukan guru yaitu: (1) guru harus berubah bukan lagi sebagai satu-satunya
penyedia pengalaman belajar, dan (2) guru harus berubah dari sosok yang aktif menjelaskan menjadi
pendorong siswa untuk mencari informasi, mengolahnya dan menyimpulkannya.

Namun, perubahan kurikulum K-13 bukanlah bersifat total melainkan berupa penyesuaian dari
kurikulum yang sudah digunakan selama ini, sejak tahun 1974 hingga kurikulum KTSP 2006.
Kurikulum sebelum K-13 sudah memberikan ruang keaktifan siswa. Namun dalam K-13 ini diharapkan
ruang keaktifan belajar tersebut lebih besar lagi terjadi, yakni dengan menerapkan kegiatan 5M. Kelima
kegiatan tersebut seperti yang dituangkan dalam Permendikbud No. 81a 2013 adalah mengamati,
menanya, menggali informasi, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan (Kemendikbud, 2013)

Tuntutan pelaksanaan 5M tersebut tentu akan memperkuat interaksi antara guru dengan siswa di dalam
kelas. Apalagi, model yang disarankan untuk melaksanakan pembelajaran dalam K-13 adalah guided
discovery learning, problem based learning, dan project based learning (As’ari, 2014: 6). Ketiga model
ini berasaskan pendekatan konstruktivis yang mengarahkan pembelajaran berpusat pada siswa.
Memperhatikan siswa sebagai individu yang sedang berkembang, tidak dipungkiri bahwa dalam
pencapaian ketiga model itu diperlukan bantuan secara terbatas oleh guru (meminjam istilah Bruner
disebut scaffolding). Pemberian scaffolding diharapkan akan mewujudkan kesuksesan belajar.

38
Sebagaimana dikemukakan Hiebert (2007) bahwa mengajar adalah sesuatu yang bisa diubah di bawah
kondisi yang mendukungnya.

Pemberian scaffolding adalah dalam rangka mencapai strategi pembelajaran yang efektif. Menurut
Sowder (2007), guru yang efektif haruslah dapat memprediksi apa yang dipahami siswa, bagaimana
siswa memahami, dan bagaimana memberi bantuan yang diperlukan sehingga siswa tidak mengalami
kesalahpahaman. Paraguru haruslah memainkan peran penting dalam mengantisipasi kesukaran belajar
siswa sehingga pembelajaran menjadi efektif. Oleh karena itu, guru matematika perlu
mempertimbangkan kegiatan yang dirasa paling sesuai dengan tuntutan K-13 tersebut.

Di sinilah peran pemberian scaffolding diperlukan. Guru matematika yang efektif tidak hanya
memikirkan bagaimana rencana pembelajaran dibuat tetapi bagaimana menyampaikan materi secara
tepat dan memberikan bantuan yang diperlukan seperlunya sehingga siswa menjadi mandiri. Para guru
harus tahu bagaimana pemberian scaffolding yang dapat membantu pengembangan pemahaman para
siswa. Namun, diingatkan oleh Yuwono (2014), penjelasan guru yang bersifat dogmatis, mencontohi,
atau menggurui, harus diminimalkan. Guru di kelas hanya sebagai fasilitator kegiatan belajar siswa,
sehingga siswa belajar secara bermakna.

Tujuan
Artikel ini berusaha untuk mengidentifikasi scaffolding yang diberikan guru matematika sebagai salah
satu bentuk interaksi antara guru dengan siswa selama pembelajaran. Diharapkan identifikasi yang
diperoleh bermanfaat untuk pengembangan pembelajaran matematika menuju pelaksanaknaan
kurikulum 2013.

2. Tinjuauan Pustaka
Kerangka Teori Scaffolding
Kata scaffolding berasal dari bahasa Inggrsis yaitu dari kata benda “scaffold” yang berarti perancah
atau penopang, selanjutnya berkembang menjadi scaffolding. Metaphora ini banyak digunakan dalam
teknik sipil yaitu berupa bangunan kerangka sementara atau penyangga (biasanya terbuat dari bambu,
kayu, atau batang besi) yang memudahkan pekerja membangun gedung (Yamin, 2013). Teori
pemberian scaffolding ini pertama kali diperenalkan oleh Wood, Bruner dan Ross di-akhir tahun 70-an
dan sejalan dengan teori Vygotsky dengan istilah Zone Proximal Development (ZPD) (Akhtar, 2014).
ZPD merupakan jarak antara tingkat perkembangan aktual dengan tingkat perkembangan potensial,
yakni jarak antara apa yang siswa mampu pahami secara mandiri dengan kemampuan siswa memahami
sesuatu yang membutuhkan orang lain. Menurut pandangan ini, setiap anak membutuhkan bantuan
orang lain yang lebih dewasa yang semakin lama semakin harus dikurangi. Anak dalam
perkembangannya secara sosial memiliki tiga wilayah (daerah) perkembangan intelektual yakni: 1)
daerah yang anak secara bebas melakukan sesuatu tanpa ada bantuan orang lain, 2) daerah yang anak
melakukan sesuatu memerlukan bantuan orang lain, dan 3) daerah yang tidak mungkin dicapai oleh
anak. Pemberian bantuan mengajar berada dalam daerah pertengahan . Menggunakan kata-kata
Vigotsky, “what the child is able to do in collaboration today he will be able to do independently
tomorrow” (Akhtar, 2014).

Meskipun banyak perbedaan definisi yang diberikan para ahli mengenai scaffolding, tetapi pada
prinsipnya scaffolding merupakan bantuan secara terbatas yang sifatnya sementara dari orang yang
lebih mampu kepada orang yang membutuhkan bantuan. Orang yang lebih mampu itu misalnya para
ahli, guru, teman sejawat, atau alat-alat yang dipergunakan ketiga membutuhkan bantuan seperti kertas,
penggaris atau software. Pemberi scaffolding, sebut saja scaffolder, harus mampu mengorganisasikan
prosedur dan konsep agar pemahaman siswa menjadi benar. Dalam pembelajaran, scaffolding haruslah
berkenaan dengan empat tujuan 1) tujuan yang berkenaan dengan pengetahuan domain belajar, 2)
mempelajari bagaimana belajar itu sendiri, 3) belajar menggunakan alat bantu belajar, dan 4) belajar
mengadaptasikan atau memodifikasi konteks dan keunggulan belajar (Azevedo & hadwin, 2005).

Menurut Anghileri (2006), pembelajaran matematika sekarang telah mengubah peran guru dari
pendekatan pembelajaran tradisonal yang menekankan “showing and telling” menuju pembelajaran
yang cepat tanggap yang membimbing siswa mengembangkan pikirannya sendiri. Inilah hakikat dari

39
pembelajaran scaffolding dalam pembelajaran matematika. Selanjutnya, ditambahkan oleh Angileri
bahwa ada 3 tingkatan (level) yang secara hierarki merupakan interaksi yang berkaitan dengan praktik
pembelajaran yang dapat meningkatkan belajar matematika. Ketiga level itu adalah 1) environmental
provision, 2) explaining, reviewing, dan restucturing, 3) developing conceptual thinking. Untuk level
pertama memungkinkan pembelajaran dapat melakukannya tanpa bantuan guru. Sementara untuk
kedua level lainnya memerlukan interaksi langsung guru antara guru dan siswa yang lebih besar.
Namun, dalam pembelajaran tertentu dapat terjadi semuanya.

Kegiatan guru pada level 1, misalnya memilih benda-benda yang diperlukan (papan tulis, alat
manipulatif, permainan, dan alat alat yang tepat), pengorganisasian kelas seperti pengaturan tempat
dan urutan pembelajaran). Meskipun hal ini tidak memberi kesan langsung sebagai scaffolding tetapi
ia mempengaruhi pembelajaran. Pemberian LKS (lembar kerja siswa) atau kegiatan yang diarahkan
guru, pengelompokan siswa untuk bekerja secara kooperatif, termasuk dalam level ini.

Kegiatan guru pada Level 2, bantuan secara terbatas berupa penjelasan (explaining) termasuk di
dalamnya penunjukan (showing), mengatakan (telling) ide yang dipelajari. Dalam pembelajaran
tradisional lebih didominasi dengan kegiatan showing dan telling, sehingga kontribusi belajar siswa
sangat sedikit. Penjelasan yang tidak dalam batas-batas berpikir siswa dapat berakibat bertumpuknya
kesulitan yang dihadapi siswa sehinga dapat menimbulkan masalah baru bagi siswa. Oleh karena itu
suatu alternatif dari showing dan telling adalah mengembangkan pemahaman siswa melalui rewiewing
dan restructuring.

Rewieweing berkaitan dengan interaksi yang dibangun guru yang mendorong pengalaman belajar
matematika yang ada pada diri siswa. Misalnya, guru meminta siswa melihat, menyentuh, atau
menyatakan apa yang mereka lihat dan pikirkan. Guru meminta siswa menjelaskan dan membenarkan.
Guru menginterpretasikan apa yang dilakukan dan dikatakan siswa. Guru menggunakan pertanyaan
yang melacak. Restrucuring berkaitan dengan kegiatan guru membuat suatu adaptasi untuk
memodikasi pengalaman belajar siswa. Perhatian guru secara progresif memperkenalkan modifikasi
yang akan membuat ide-ide lebih mudah diterima, tidak hanya membangun kontak dengan siswa tetapi
mengambil makna selanjutnya. Hal ini berbeda dengan reviewing yakni interaksi guru dan siswa
cenderung mendorong refleksi, penjelasan tetapi tidak mengubah pemahaman yang ada pada siswa.
Kegiatan guru antara lain membekali konteks bermakna untuk situasi abstrak, menyederhanakan
masalah dengan membatasi agar jangan terlalu meluas, mengucapkan kembali perkataan siswa, dan
mendiskusikan makna.

Kegiatan guru pada level 3, merupakan level scaffolding tertinggi, terdiri atas interaksi pembelajaran
yang secara eksplisit menyatakan perkembangan berpikir konseptual dengan menghasilkan kesempatan
menyingkap pemahaman bersama antara guru dan siswa. Guru perlu mencari perkembangan konsep
melalu proses yang khusus seperti generalisasi, extrapolasi, dan abstraksi. Di sini peran guru lebih
bersifat perintah. Meskipun sedikit sekali terjadi, pembelajaran akan efektif jika difokuskan pada
pembuatan koneksi dan membangun pemahaman konseptual. Kegiatan guru antara lain
mengembangkan alat-alat representasi. Secara umum, karena matematika berkaitan dengan interpretasi
dan menggunakan sistem gambar, kata dan simbol maka kegiatan guru mendorong siswa memahami
simbol menjadi penting. Dalam kegiatan praktik, kegiatan guru dapat membantu siswa sekitar bahasa,
baik formal maupun informal. Misalnya ketika mengatakan prisma segitiga dengan memperkenal
dengan istilah informal sebagai “bentuk atap”, meskipun secara formal dinamai prisma segitiga.

Kegiatan guru pada level 3, yang merupakan level scaffolding tertinggi, terdiri atas interaksi
pembelajaran yang secara eksplisit menyatakan perkembangan berpikir konseptual dengan
menghasilkan kesempatan untuk menyingkap pemahaman bersama antara gru dan siswa. Guru perlu
mencari perkembangan konsep melalu proses yang khusus seperti generalisasi, extrapolasi, dan
abstraksi. Di sini peran guru lebih bersifat perintah. Meskipun sedkit sekali terjadi, pembelajaran akan
efektif jika difokuskan pada pembuatan koneksi dan membangun pemahaman konseptual. Kegiatan
guru antara lain mengembangkan alat-alat representasi. Secara umum, karena matematika berkaitan
dengan interpretasi dan menggunakan system gambar, kata dan simbol maka kegiatan guru mendorong
siswa memahami symbol menjadi penting. Dalam kegiatan praktik, kegiatan guru dapat membantu
siswa sekitar bahasa, baik formal maupun informal. Misalnya ketika mengatakan prisma segitiga
dengan memperkenal dengan istilah informal sebagai “bentuk atap”, meskipun secara formal dinamai
prisma segitiga.

40
Dalam membuat koneksi, intervensi guru sangat diperlukan sebagai bantuan bagi belajar siswa. Guru
dapat memperluas strategi yang digunakan sebelumnya sebagai sesuatu pengaitan yang baru. Misalnya,
dari pada meminta siswa “menjumlahkan 6 ditambah 6”, lebih baik mengatakan “coba gandakan 6-
nya” sebagai bentuk menyatakan kembali selesaian yang diberikan siswa. Contoh lain ketika
pebelajaran decimal, kegiatan dapat ditingkatkan dengan mengaitkan pecahan dan persen yang telah
dibuat. Misalnya, ½ x 40, 40 x 0.5, 50% dari 40. Selanjutnya, dalam hal membangun wacana
konseptual, guru harus melampaui scaffolding yang telah dilewati sebelumnya. Misalnya, setelah
mengurutkan bentuk-bentuk benda yang dapat bergulir, guru menanyakan “Mengapa ia akan bergulir?”
dan dilanjutkan dengan diskusi. Bahkan sampai meminta siswa membuat contoh sendiri.

Berikut adalah tiga level scaffolding dan contohnya menurut Anghileri (2006).
Tabel 1. Jenis Scaffolding dan Contohnya

Contoh
Level
Scaffolding
1. Artefacts (memilih alat-alat yang cocok, benda tiruan, papan tampilan dinding), teka-
1. Enviro teki, perangkat pengukuran.
nmental 2. Free play (menggunakan papan blok)
Provision 3. Grouping (kerjasama kelompok)
4. Interjection (ujaran khas, spontan) atau balikan, mendapatkan perhatian
5. Self constructing task (tugas-tugas yang dilakukan sendiri)
Reviewing
2. Explai 1. Meminta siswa melihat, menyentuh dan menyatakan apa yang mereka lihat dan pikirkan
ning, reviewing, 2. Meminta siswa menjelaskan dan membenarkan
dan 3. Menginterpretasikan kegiatan dan omongan siswa
restructuring: 4. Menggunakan pertanyaan yang melacak
melibatkan 5. Menggunakan strategi alternative (parallel model)
interaksi Restructuring
langsung 6. Identifying meaningful context [“6:12= ?” disederhanakan ”6 kue akan dibagikan kepada
dengan siswa 12 orang”]
7. Symplifying the problem [“Menyederhanakan pengulangan benda dengan meminta yang
dua sisi dan satu sisi saja”]
8. Re-phrasing student talk [menyebutkan kubus sebagai istilah yang benar dari ucapan
siswa yang menyebutkan “persegi”]
9. Negotiating meaning [berjuang bersama-sama guru dan siswa untuk memahami sesuatu
yang dipahami dalam belajar matemaika sebenarnya]

3. Developing 1. Mengembangkan alat-alat representasi:[memperkenalkan prisma segitiga sebagai “bentuk


Conceptual atap”. “Guru menggunakan representasi grafis dan spreadsheets” untuk memaknai
thinking: struktur matematika apa yang disajikan”
lebih bersifat 2. Membuat koneksi [menggunakan ide “gandakan 6-nya” daripada “ 6 tambah 6” dalam
imperative
(perintah) mengulangi kerja yang sudah dilakukan siswa.]
3. Membangun wacana konseptual [Setelah mengurutkan bentuk-bentuk pilihan benda yang
bisa bergelinding, guru menanyakan “mengapa ia akan bergelinding”. “Menanyakan
strategi yang digunakan unuk 6 + 7. Jika perlu mintalah siswa untuk membuat contoh
mereka sendiri]

Pemberian Scaffolding Pada Pembelajaran Matematika

Salah satu prinsip yang dituangkan dalam proses pembelajaran menggunakan K-13 adalah pendekatan
tekstual menuju proses sebagai penguatan penggunaan pendekatan ilmiah (Kemendikbud, 2013). Hal
ini berarti bahwa pelaksanaan K-13 menuntut adanya kemandirian siswa yang lebih besar. Oleh karena
itu, dalam pembelajaran tidaklah mengapa jika siswa melakukan kesalahan selama proses mereka
menyelesaikan masalah. Yang lebih dipentingkan dalam pembelajaran tersebut adalah prosesnya di
samping hasilya. Tugas guru adalah memfasilitasi proses belajar siswa sehingga siswa dapat

41
menyelesaikan masalahnya, yang dikenal sebagai scaffolding produktif (lawan dari scaffolding tak
produktif)

Pembelajaran matematika dengan menerapkan kurikulum K-13 merupakan atmosphere baru bagi guru
matematika di Indonesia. Hal ini berdampak tidak hanya pada poses pembelajaran yang dilakukan guru
di kelas, tetapi juga pada proses siswa mengelola belajarnya. Tuntutan melahirkan kegiatan 5M di kelas
menyebabkan beban kognitif siswa berbeda dari yang selama ini difasilitasi guru. Menurut (Danilenko,
2010), beban kognitif adalah suatu konstruksi penyajian beban yang menunjukkan suatu tugas khusus
yang membebani system kognitif siswa. Beban kognitif ini terdiri dari tiga komponen, yaitu intrinsic,
extraneous, dan germane. Ketiga beban ini sifatnya sementara. Beban intrinsic berkaitan dengan
kealamiahan dan hubungan dengan materi yang dipelajari. Beban kognitif extraneous dibutuhkan pada
memory kerja karena cara materi itu difasilitasi ke siswa. Beban germane merupakan hasil dari upaya
yang sengaja yang dihabiskan secara aktif atau mengotomatiskan scheme.

Pembelajaran guru matematika memunculkan kegiatan 5M pada diri siswa tidaklah mudah. Kondisi ini
memungkinkan terjadinya beban kognitif yang tinggi bagi siswa. Pemberian scaffolding untuk
memunculkan 5M merupakan suatu strategi pembelajaran yang dapat mengurangi beban kognitif siswa
dan membantu siswa mengkreasikan skema yang telah dimiliki guna mencapai hasil belajar yang lebih
tinggi.

3. Metode

Artikel ini merupakan deskripsi hasil observasi pembelajaran matematika yang dilakukan oleh dua
guru, masing-masing bertempat di SD Islam Surya Buana dan di MTs Surya Buana pada tanggal 7
April 2014 dan 14 April 2014, keduanya di Malang. Observasi dilakukan 1 kali di masing-masing
sekolah selama 90 menit. Pembelajaran juga menggunakan rekaman video dan selanjutnya hasil
rekaman dianalisis guna mengidentifikasi scaffolding yang diberikan guru selama pembelajaran
matematika berlangsung.

4. Hasil dan Pembahasan

Berikut ini adalah deskripsi pembelajaran yang merupakan hasil pengamatan kelas terhadap dua guru
matematika Ibu AN dan Bapak IR (bukan nama sebenarnya)

Deskripsi pembelajaran yang dilaksanakan Ibu AN


Ibu AN, seorang guru lulusan sarjana matematika, berpengalaman kurang dari lima tahun, sedang
memfasilitasi pelajaran tematik integratif di kelas IV. Materi tematiknya antara lain tentang PKn (kerja
sama), Matematika (sudut) dan IPS (berbagai profesi dan pekerjaan). Proses pembelajaran diberikan
secara berurutan, diawali dengan masalah berbagai profesi (PKn), kemudian diikuiti oleh kerjasama
(IPS) dan terakhir dengan masalah sudut (Matematika). Ibu AN membagikan LKS dan menjelaskan
cara mengisi LKS dengan detail. Siswa dibagi dalam enam kelompok guna menerapkan pembelajaran
kooperatif. Siswa diminta bekerja dalam kelompoknya dan pada umumnya para siswa aktif mengikuti
instruksi guru dengan penuh antusias. Selama pembelajaran guru tidak pernah menulis di papan tulis,
meskipun untuk menjelaskan matematika.

Sebagaimana dituliskan dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Ibu AN ingin menerapkan
pembelajaran yang bernuansa pendekatan saintifik berdasarkan K-13, sebagai kurikulum terbaru di
Indonesia. Ketika membahas matematika dengan materi memahami sudut, Ibu AN melakukan praktik
yang meminta siswa menggunting kertas yang telah disiapkannya. Selama itu, Ibu AN banyak
memberikan bantuan kepada kelompok siswa, baik dengan cara memberi penjelasan, atau ketika ada
siswa yang tidak bisa melakukan sesuatu atau bertanya, pada umumnya Ibu AN langsung menjawabnya,
baik dengan cara melanjutkan kerja siswa (menggunting) atau menunjukkannya. Dengan cara ini anak-
anak terlihat senang dengan Ibu AN. Namun, di akhir pembelajaran ternyata masih ada juga kelompok
siswa yang tidak tuntas mengerjakan tugas dari Ibu AN. Ketika pelajaran usai, Ibu AN berusaha
meminta siswa menyimpulkan apa yang telah mereka pelajari. Tetapi karena pada umumnya siswa
belum mampu menyimpulkan maka akhirnya Ibu AN sendirilah yang memberi simpulan.

42
Deskripsi pembelajaran yang dilaksanakan Bapak IR
Pak IR, seorang guru matematika berpendidikan magister dengan pengalaman mengajar kurang dari 5
tahun sedang memfasilitasi materi segitiga. Tujuan pebelajarannya adalah menentukan keliling segitiga
dan menggambarkan segitiga yang sisi-sisinya diketahui. Pembelajaran berlangsung aktif dan
bersemangat, baik guru maupun siswanya. Pembelajaran dimulai dengan memberikan apersepsi yang
menggali pemahaman siswa tentang segitiga dengan menanyakan bentuk-bentuk segitiga yang ada di
alam. Ada siswa yang menyebutkan contoh segitiga yang ada pada penggaris, segitiga Bermuda, dll.
Selanjutnya guru menanyakan yang bukan segitiga, sebagai non contoh. Seorang siswa, namanya Dier,
memberikan contoh benda yang bukan segitiga adalah roda mobil. Katanya roda mobil berbentuk
lingkaran. Ada siswa lain, Ilman memberikan jawaban yang merupakan segitiga yaitu piramida
(sisinya).

Untuk menyakinkan apakah siswa mampu menggolongkan contoh dan non contoh segitiga, guru
mengeluarkan beberapa bangun geometri yang ada dalam sakunya. Ketika itu, ada siswa yang
mengatakan segitiga sama kaki, ada yang mengatakan bukan segitiga. Selanjutnya, guru
memperlihatkan bangun persegipanjang. Semua siswa tahu jika bangun yang diperlihatkan itu adalah
persegipanjang. Tetapi ketika ditanya mengapa namanya persegi panjang, alasan siswa karena
bentuknya panjang. Anehnya lagi, ketika diambil bentuk lain dari saku guru berbentuk belah ketupat,
siswa sukar menentukan apakah bangun itu segitiga atau bukan. Oleh karena itu, guru mencoba
menggunting bangun tersebut menjadi dua bagian sehingga membentuk segitiga dan akhirnya siswa
mampu mengatakan bahwa setengah potongan belah ketupat tadi sebagai contoh segitiga.

Setelah siswa mampu membedakan segitiga dan bukan segitiga, barulah kegiatan pembelajaran dimulai.
Guru membagi siswa menjadi enam kelompok. Setelah memberikan LKS kepada masing-masing
kelompok, guru memberi penjelasan tentang cara mengerjakan lima masalah dari LKSnya dengan
membacakannya. LKS terdiri dari tiga kegiatan siswa yaitu menentukan keliling segitiga dengan cara
mengukur panjang sisi yang diberikan, menggambar bentuk segitiga dari panjang ruas garis yang
diketahui, dan memberikan alasan kapan suatu segitiga dapat dibentuk dari tiga ruas garis yang
diketahui. Melalui scaffolding yang diberikan selama pembelajaran dengan cara berkeliling ke setiap
kelompok dengan penunjukan dan bekerja sama dengan siswa akhirnya semua kelompok dapat
menyelesaikan dua tugas yang pertama. Tetapi, hanya satu kelompok saja yang dapat memberikan
simpulan kapan tiga ruas garis dapat membentuk suatu segitiga.

Analisis Scaffolding yang Diberikan Kedua Guru


Berdasarkan hasil observasi penulis terhadap dua guru, baik ibu AN dan pak IR, menunjukkan bahwa
dalam pembelajaran matematika selalu ada scaffolding dan kedua guru tersebut memberikan
scaffolding berbeda. Hal ini bergantung dari pengetahuan dan pengalaman mengajar guru.

Sebagaimana dituliskan dalam deskripsi Ibu AN, sejak awal hingga akhir pembelajaran, Ibu AN banyak
sekali memberikan scaffolding kepada siswanya. Scaffolding yang diberikan berupa pengarahan
langsung, pujian, memberikan simpulan, dan gerakan (tindakan). Pada umumnya, scaffolding yang
diberikan Ibu AN berupa kata-kata yang bersifat menjelaskan dan tindakan langsung oleh Ibu AN
sendiri. Menurut penulis, Ibu AN sebagai fasilitator terlalu mendominasi pembelajaran. Ketika ada
siswa yang meminta bantuan, misalnya ketika melekatkan potongan setiap sudut dari suatu persegi
panjang hingga memperlihatkan jumlah besar sudut satu lingkaran, Ibu AN langsung memberikan
contohnya dengan melakukannya sendiri. Seharusnya, Ibu AN cukup memfasilitasi siswa dengan
memberi tahu mereka atau menunjukkan cara melekatnya (bukan Ibu AN yang melekatkannya). Dengan
kata lain, pemberian scaffolding seperti itu perlu diminimalkan (Yuwono, 2014), karena kurang
produktif. Akibat konstruksi siswa yang kurang terjadi, maka siswa tidak bergitu terdorong dalam
mengkonstruk sendiri masalah yang dihadapinya. Hal ini terjadi hingga akhir pembelajaran. Sebagai
akibatnya, masih ada kelompok siswa yang belum menyelesaikan tugasnya sampai akhir pembelajaran.

Ibu AN lebih banyak diberikan secara oral (telling, lisan) dan gerakan menunjuk (showing). Secara
telling, guru lebih banyak memberikan pertanyaan, arahan, penjelasan, dan instruksi. Secara gerakan,
guru lebih mengunakan gerakan tangan (khususnya jari), menunjukkan kerja siswa, dan membantu
langsung kegiatan siswa. Jarang sekali guru memberikan scaffolding yang berbentuk tulisan. Hal ini

43
mungkin karena pengamatan dilakukan pada kedua kelas tersebut menggunakan Lembar Kerja Siswa
(LKS) sebagai media belajar.

Beberapa bantuan yang diberikan Ibu AN yaitu: (1) memberi tahu jawaban bahwa jumlah sudut dalam
satu putaran adalah 360o dan sudut siku-siku adalah 90o, (2) mengerakkan tangan membentuk lingkaran
untuk menunjukkan satu putaran besarnya 360o. (3) menunjukkan bagian yang akan dipotong, dan
melekatkan sendiri potongan gambar yang seharusnya dikerjakan oleh siswa. Menurut Anghileri
(2006), bantuan guru seperti ini termasuk memenuhi kriteria scaffolding. Adapun menurut Yuwono
(2014), penjelasan guru seperti ini harus diminimalkan.

Gambar 1. Jenis Scaffolding tindakan Ibu AN (gerakan menunjuk dan mela-kukan sendiri potongan
gambar yang seharusnya dikerjakan oleh siswa)

Berbeda dengan Ibu AN, meskipun tidak mengatakan secara jelas model pembelajarannya, pak IR yang
pendidikannya lebih tinggi dari Ibu AN telah melaksanakan pembelajaran dengan baik. Kekuatan
belajar pak IR adalah pada pemberian apersepsi yang lama, yakni mengeksplorasi contoh dan non-
contoh segitiga, dan penyiapan LKS, serta pemberian scaffolding yang lebih produktif selama
pembelajaran. Hambatan kecil terjadi ketika Pak IR menuangkan teks dalam LKS-nya yang ternyata
masih sukar dipahami siswa. Namun, dengan scaffolding (menurut Angileri (2006) scaffolding ini
disebut scaffolding analogi) yang diberikan pengamat kepada pak IR, akhirnya siswa memahami
maksud dari perintah yang diinginkan dalam LKS. Temuan analogi ini sesuai dengan temuan Hidayah
(2011) bahwa dengan berpikir analogi siswa dapat menyelesaikan masalah baru.

Beberapa bantuan yang diberikan pak IR adalah: (1) gerakan menunjuk, (2) gerakan peragaan
mencontohkan sambil melibatkan siswa, (3) bantuan berupa analogi pengerjaan, yakni bantuan berupa
benda manipilatif yang mirip ruas garis untuk membantu pemahaman siswa merangkai tiga ruas garis
membentuk segitiga. Semua bantuan ini termasuk scaffolding menurut Anghileri (2006).

44
Gambar 3. Jenis Scaffolding Tindakan pak IR (berupa gerakan menunjuk, peragaan mencontohkan
sambil melibatkan siswa, dan bekerja sama)

Gambar 4. Jenis Scaffolding Tindakan pak IR (membuat analogi pengerjaan )

Dalam kaitannya dengan K-13, ternyata scaffolding yang diberikan guru yang mengarah langsung
kepada kegiatan 5M masih sulit terjadi. Hal ini terbukti dari dua observasi yang ditunjukkan di atas.
Meskipun Ibu AN telah secara nyata menyatakan bahwa ia melaksanakan pembelajaran saintifik seperti
yang dituliskan dalam RPPnya, tetapi kegiatan 5M masih sulit terjadi. Demikian pula pada pembelajaran
yang dilakukan pak IR, mungkin karena pengetahuannya yang lebih tinggi dari Ibu AN telah membawa
kesuksesan belajar siswa, tetapi juga belum sepenuhnya menerapkan 5M. Oleh karena itu, pelaksanaan
K-13 perlu diberikan secara spesifik mengarah kepada selain mendorong guru memunculkan 5M, perlu
diupayakan pula mendorong guru memiliki pengetahuan memunculkan scaffolding pada setiap
kegiatan 5M.

5. Simpulan

Pelaksanakan K-13 yang menerapkan kegiatan 5M memerlukan lebih banyak scaffolding dari guru.
Merujuk kepada Angileri (2006), scaffolding guru masih banyak terjadi pada level 1, dan sedikit
berada pada level 2 dan jarang sekali berada pada level 3, yakni guru lebih banyak melakukan kegiatan
explaining dengan showing dan telling. Juga, masih ditemukan adanya pemberian scaffolding yang
berlebihan sehingga kurang dapat mengembangkan konstruksi pemahaman siswa atau kurang
produktif.

Tantangan ke depan guru perlu memberikan scaffolding lebih banyak pada level 2 dan level 3. Guru
diharapkan mampu mengembangkan scaffolding yang dapat memunculkan kegiatan 5M untuk setiap
materi matematika yang difasilitasi kepada siswa. Adanya scaffolding akan bermanfaat bagi siswa dan
guru dalam membangun interaksi di kelas sebagaimana harapan dari pembelajaran menggunakan
pendekatan konstruktivis. Oleh karena itu, pemberian scaffolding sebagai suatu strategi guru dalam
memfasilitasi belajar perlu selalu diberikan dalam pembelajaran matematika.

Daftar Pustaka
Akhtar, M. (2014). Patterns of Scaffolds in One-to-One Mathematics Teaching: An Analysis.
Educational Research International. Vol (3)1 Februari 2014. ISSN: 2307-3721, e ISSN: 2307-
3713.

45
Anghileri, J. (2006). Scaffolding Practices That Enhance Mathematics Learning. Journal of
Mathematics Teacher Education (2006) 9: 33–52.

A’sari, Abdur Rahman. (2014). Mewujudkan Pendekatan Saintifik Dalam Kelas Matematika. Makalah
disajikan dalam Seminar Internasional dengan tema “Curriculum In Global Perspective” Pada
Tanggal 8 Maret 2014 di Universitas Muhammadiyah Ponorogo.s

Azevedo, R., & Hadwin, A. F. (2005). Scaffolding self-regulated learning and metacognition-
Implications for the design of computer-based scaffolds. Instructional Science. 33:367-379. DOI
10.1007/s11251-005-1272-9.

Danilenko, E.P. (2010). The Relationship of Scaffolding on Cognitive Load in an Online Self-Regulated
Learning Environment. A Dissertation Submitted to the Faculty of the Graduate school of the
University of Minnesota.

Franke, M.L. et al. (2007). Mathematics Teaching and Classroom Practice. In Lester Jr, F. (Ed). Second
handbook of research on mathematics teaching and learning. (pp. 225-256). America:
Information Age Publishing Inc.

Hidayah, I. N. (2011). Analogi Dalam Struktur Aljabar 1. Jurnal Pembelajaran Matematika. Tahun I,
Nomor 1, Januari 2011. ISSN: 2078-913X

Hiebert J. & Grouws, D. A. (2007). The Effect of Classroom Mathematics Teaching on Students’
Learning. In Lester Jr, F. (Ed). Second handbook of research on mathematics teaching and
learning. (pp. 371-404). America: Information Age Publishing Inc.

Kemdikbud (2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, No. 65, tahun 2013. Jakarta:
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kemdikbud (2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, No. 81a, tahun 2013. Jakarta:
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Rice, J.K., (2010). The Impact of Teacher Experience Examining the Evidence and Policy Implications.
National Center for Analysis of Longitudinal Data in Educational Research (CALDER). Grant
R305A060018. Urban Institute, Washington DC.

Sowder, J.T. (2007). The Mathematics Education and Development of Teachers. Second handbook of
research on mathematics teaching and learning. (pp. 157-223). America: Information Age
Publishing Inc.

Ünal, Zafer & Ünal Aslihan (2012). The impact of Years of Teaching Experience on the Classroom
Management Approaches of Elementary School Teachers. International Journal of Instruction,
July 2012 vol.5, no.2, e-ISSN: 1308-1470. www.e-iji.net p-issn: 1694-609x.

Yamin, M. (2013). Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Anggota IKAPI.

Yuwono, I. (2013). Pendidikan Matematika dan Pendidikan Karakter Dalam Implementasi Kurikulum
2013. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika. STKIP Siliwangi Bandung.
Volume 1, Tahun 2014. ISSN 2355-0473.

46
KECERDASAN TRIANGLE SEMPURNA PADA PENERAPAN DESAIN MAKET
MATEMATIKA (MAMA) DI PERGURUAN TINGGI PADA MATA KULIAH
WORKSHOP MATEMATIKA
Ariyani Muljo
1
Prodi Pendidikan Matematika, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Zawiyah Cot Kala, Langsa
Email: ariyanimulyo41@gmail.com

Abstrak. Makalah ini bertujuan untuk mendesain Maket Matematika (MaMa) untuk
mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika Jurusan Tarbiyah STAIN Zawiyah Cot Kala
Langsa pada mata kuliah workshop matematika yang akan mereka terapkan nanti nya di
sekolah tempat mereka mengajar. Metode Penulisan ini menggunakan Pendekatan
Pengembangan (Development Research) yaitu model pengembangan 4-D meliputi 4
tahapan pengembangan, yaitu define, design, develop dan desseminate atau diadaptasikan
menjadi pendefinisian, perancangan, pengembangan dan penyebaran. Kegiatan pada
tahap analisis muka belakang yang dilaksanakan meliputi menganalisis materi yang diajar
pada mata kuliah workshop, menganalisis buku-buku teks matematika, merivieu literatur
tentang pembelajaran dengan maket matematika berbasis kecerdasan, interviu dengan
teman sejawat dalam hal ini dosen pengampu mata kuliah. Yang ingin ditunjukkan pada
makalah ini adalah maket matematika (MaMa) dapat di didesain berdasarkan kecerdasaan
triangle sempurna.

Kata kunci :Desain, MaketMatematika (MaMa), Kecerdasan Triangle Sempurna.

1. Pendahuluan

Potensi sumber daya manusia merupakan aset nasional sekaligus sebagai modal dasar pembangunan
bangsa. Potensi ini hanya dapat digali dan dikembangkan serta dipupuk secara efektif melalui strategi
pendidikan dan pembelajaran yang terarah dan terpadu, yang dikelola secara serasi dan seimbang
dengan memperhatikan pengembangan potensi siswa secara utuh dan optimal.

Strategi pembelajaran yang digunakan saat ini masih bersifat massal, yang memberikan perlakuan dan
layanan pendidikan yang sama kepada semua peserta didik. Padahal, mereka berbeda tingkat kecakapan,
kecerdasan, minat, bakat dan kreativitasnya. Strategi pelayanan pendidikan sepeti ini memang tepat
dalam konteks pemerataan kesempatan, tetapi kurang menunjang usaha menoptimalisasikan
pengembangan potensi siswa secara tepat.

Siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa merupakan kelompok kecil, berdasarkan
data di Balitang Depdikbud (1994) menunjukkan hanya 2-5% dari seluruh siswa yang ada. Jumlah ini
semakin meningkat pada jenjang yang lebih tinggi, di tingkat SMU jumlah siswa berkemampuan dan
berkecerdasan luar biasa mencapai 8%.(Uno Hamzah, 2009:2)

Salah satu tujuan mempelajari matematika adalah membentuk kepribadian dalam diri siswa untuk
menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu hal yang jamak jika siswa
dalam satu kelas beragam dalam berbagai hal, termasuk dalam hal kecerdasan mereka. Idealnya,
seorang guru harus memperhatikan keragaman jenis dan tingkat kecerdasan siswa yang biasa disebut
dengan Multiple Intelligent.

Pembelajaran matematika merupakan proses terjadinya interaksi antara guru dengan siswa, siswa
dengan guru dan siswa dengan siswa untuk memperoleh pengetahuan yang dilakukan dalam proses
belajar mengajar yang sedang berlangsung. Dalam pembelajaran matematika guru memerlukan bahan
ajar yang bisa mendukung siswa dalam proses pembelajaran. Salah satu bahan ajar yang bisa digunakan
dan mendukung proses pembelajaran adalah dengan maket.

Maket adalah sebagai barang tiruan yang kecil dengan bentuk (rupa) persis seperti yang ditiru.
Sedangkan maket adalah bentuk tiruan (gedung, kapal, pesawat terbang, dan sebagainya) dalam bentuk
tiga dimensi dan skala kecil, biasanya dibuat dari kayu, kertas, tanah liat, dan sebagainya. Dari arti

47
secara bahasa tersebut dapat kita mengerti bahwa kedua istilah itu (model dan maket) memiliki arti yang
hampir sama atau bahkan bisa disebut sama. Maka, dalam penggunaannya di buku ini, kedua istilah
tersebut disebutkan secara bersamaan dan hanya dipisahkan dengantanda “dalam kurung”

Sementara itu, sudjana dan rivai (2005) mengungkapkan bahwa model adalah tiruan tiga dimensi dari
beberapa benda nyata yang terlalu besar, terlalu jauh, terlalu kecil, terlalu mahal, terlalu panjang, atau
terlalu ruwet untuk dibawa ke dalam kelas dan dipelajari peserta didik dalam wujud aslinya. Dari
pandangan tersebut dapat kita pahami bahwa model (maket) sebagai bahan ajar tiga dimensi adalah
tiruan benda nyata untuk menjembatani berbagai kesulitan yang bisa ditemui, apabila menghadirkan
objek atau benda tersebut langsung ke dalam kelas. Dengan demikian, nuansa asli dari benda
mengurangi struktur aslinya, sehingga pembelajaran lebih bermakna.

Dengan adanya maket yang ada pada saat proses pembelajaran dapat membantu permasalahan yang
sering dihadapi pada mata pelajaran matematika yaitu siswa selalu merasa takut karena guru cenderung
untuk tidak memperhatikan secara individual siswa nya, lebih mengedepankan target materi yang akan
diajarkan dan ketuntasan kelas yang harus dipenuhi. Sehingga mengakibatkan guru tidak lagi
memperhatikan siswa yang memiliki kecenderungan akan satu bidang.

Setelah melakukan wawancara dengan guru SMA Negeri 5 Langsa pada tanggal 16 januari 2014, pukul
10.30 Wib. Dalam proses belajar mengajar guru menyampaikan materi pelajaran matematika
menggunakan buku teks. Tapi, ketika proses belajar mengajar berlangsung tidak ada seorang siswa yang
menggunakan buku teks. Buku teks yang tersedia di SMA Negeri 5 Langsa jumlahnya masih terbatas.
Dalam kegiatan belajar mengajar siswa hanya menggunakan Lembar Kerja Siswa (LKS).

Ketika guru selesai memberikan materi pelajaran siswa jarang bertanya jika diberikan kesempatan untuk
bertanya tentang materi yang belum dimengerti. Ketika guru memberikan latihan kepada siswa, banyak
dari siswa yang tidak mengerti dan bingung untuk mengerjakan soal tersebut. Dalam model
pembelajaran ini akan dikembangkan oleh peneliti dengan pengembangan bahan ajar berbentuk maket
dengan model 4-D. dengan adanya kecerdasan triangle ini dapat merancang dan mendesain maket
yang bisa membuat siswa menerima pembelajaran matematika yang baik. Kecerdasan triangle
sempurna yang dimaksud adalah kecerdasan matematis logika, kecerdasan musikal dan kecerdasan
visual spasial yang melatarbelakangi maket yang akan di desain melalui model 4-D.

Skala kecerdasan yang selama ini dipakai, ternyata memiliki banyak keterbatasan sehingga kurang dapat
meramalkan kinerja yang sukses untuk masa depan seseorang. Kecerdasan seseorang meliputi unsur-
unsur kecerdasan matematika logika, kecerdasan bahasa, kecerdasan musikal, kecerdasan visual spasial,
kecerdasan kinestetis, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis.
Yang difokuskan pada desain bahan ajar ini adalah kecerdasan matematis logika, kecerdasan musikal
dan kecerdasan visual spasial. Kecerdasan logis matematis memuat kemampuan seseorang dalam
berpikir secara induktif dan deduktif, berpikir menurut aturan logika, memahami dan menganalisis pola
angka-angka, serta memecahkan masalah dengan menggunakan kemampuan berpikir. Kecerdasan
spasial adalah kemampuan memahami, memproses, dan berpikir dalam bentuk visual. Anak dengan
kecakapan ini mampu menerjemahkan bentuk gambaran dalam pikirannya ke dalam bentuk dua atau
tiga dimensi. Kemampuan yang terkait dengan kecerdasan visual-spasial adalah: (1) Mengenal bentuk,
misalnya bentuk-bentuk geometri atau bangun ruang, (2) Mengenal warna, (3) Membuat bentuk atau
rancang bangun.

Musik sendiri memiliki dimensi kreatif dan memiliki bagian yang identik dengan proses belajar secara
umum. Musik mempunyai peranan penting dalam kehidupan seseorang, selain dapat mengembangkan
sensitivitas, membangun rasa keindahan mengungkapkan ekspresi, memberikan tantangan, melatih
disiplin dan mengenalkan sejarah budaya bangsa. Selain itu, musik juga berpengaruh sebagai alat untuk
meningkatkan dan membantu perkembangan kemampuan pribadi dan sosial. Perkembangan pribadi
meliputi aspek kemampuan kognitif, penalaran, intelegensi, kreatifitas, membaca, bahasa, perilaku
sosial, dan interaksi sosial.

Dalam kesempatan kali ini, peneliti akan melakukan penelitian dengan memanfaatkan faktor
eksternal/lingkungan berupa model (maket) sebagai stimulus untuk merangsang hasil belajar anak. Hal
ini diupayakan karena dalam proses pembelajaran matematika sangat membutuhkan daya konsentrasi
yang tinggi, suasana yang rileks, serta menenangkan dan menurunkan stress. Oleh karena itu, kehadiran

48
musik dinilai penting dalam pembelajaran matematika. Model (maket) yang akan digunakan oleh
peneliti adalah kotak ajaib.

Pengembangan media visual komik bilangan bulat dalam penelitian ini adalah menggunakan model 4-
D. model desain sistem 4-D meliputi 4 tahapan pengembangan, yaitu define, design, develop dan
desseminate atau diadaptasikan menjadi pendefinisian, perancangan, pengembangan dan penyebaran.

Peneliti memilih model 4-D karena peneliti memandang bahwa model desain pembelajaran dengan
pendekatan sistem ini sesuai dengan masalah yang melatarbelakangi penelitian ini. Dengan adanya
pendefenisisan, perancangan, pengembangan dan penyebaran maka peneliti berharap dengan model ini
dapat dikembangkan maket matematika sesuai yang valid, praktis dan efektif dalam meningkatkan hasil
belajar matematika siswa berdasarkan kecerdasan matematika logika, musikal dan visual-spasial

Berdasarkan uraian di atas, hal yang mendasari mendesain maket matematika adalah ketidakmampuan
siswa dalam memahami pelajaran matematika, sehingga terjadi kesulitan belajar dalam hal
menyelesaikan bentuk soal matematika pada siswa kelas X di SMAN Unggul Aceh Timur Kecamatan
Bireun. Pada keadaan ideal siswa seharusnya dapat memahami cara penyelesaian dari bentuk soal
tersebut. Namun penggunaan yang abstrak membuat siswa tidak bisa menggambarkannya dengan nyata
apa yang dipelajari nya selama ini. Oleh karena itu, metode penyajian soal tersebut memerlukan alat
bantu media edukatif berupa maket matematika.

Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk
mengadakan sebuah penelitian yang bertujuan mendesain bahan ajar berbentuk maket yang disebut
maket matematika (MAMA) untuk dilakukan penelitian dengan judul: “Kecerdasan Triangle
Sempurna pada Penerapan Desain Maket Matematika di SMAN Unggul Aceh Timur Kecamatan
Bireun”.Rumusan Masalahyang bisa di rangkum adalah :Apakah maket matematika dapat digunakan
sebagai media edukatif ?, Bagaimana praktikalitas siswa kelas X yang belajarnya menggunakan maket
matematika di SMAN Unggul Aceh Timur ?, Bagaimana efektivitas siswa kelas X yang belajar
menggunakan maket matematika di SMAN Unggul Aceh Timur ?

2. Tinjauan Pustaka
Model (Maket)

Model atau maket sebagai bahan ajar, jika disiapkan dan dibuat secara baik, maka akan memberikan
manfaat yang luar biasa bagi proses pembelajaran. Oleh karena itu, model yang digunakan dalam proses
pembelajaran hendaknya dibuat oleh pendidik atau para peserta didik. Sebab, model atau maket dapat
memberikan makna yang hampir sama dengan benda aslinya. Weidermann mengungkapkan bahwa
dengan melihat dan berinteraksi dengan benda aslinya, yang berarti dapat dipegang, maka peserta didik
akan lebih mudah mempelajarinya.(Dikdas, 2004) Hal ini sebenarnya juga tidak terlepas dari manfaat
besar yang bisa ditimbulkan oleh bahan ajar ini bagi proses pembelajaran, yaitu menciptakan
pembelajaran yang bermakna dan mengesankan.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat kita pahami bahwa penggunaan model sebagai bahan ajar
memiliki beberapa tujuan, diantaranya sebagai berikut :
a. Menyederhanakan objek atau benda yang terlalu sulit, terlalu besar, terlalu jarang, terlalu jauh,
terlalu kecil, atau terlalu mahal jika dihadirkan di kelas secara langsung dalam bentuk aslinya.
b. Memberikan pengalaman nyata kepada peserta didik terhadap suatu objek atau benda, meskipun
hanya dalam bentuk tiruannya.
c. Memudahkan penjelasan tentang suatu objek atau benda dengan menunjukkan tiruan benda
aslinya.

Sementara itu, fungsi model dalam kegiatan pembelajaran antara lain menjadi tiruan objek atau benda
atau benda asli didatangkan ke kelas untuk diobservasi peserta didik.(Andi Prastowo,2012)
Bagi peserta didik, dengan adanya model atau maket, maka mereka dapat belajar dengan lebih mudah.
Mereka dapat mengamati objek atau benda secara langsung. Penjelasan – penjelasan secara oral yang
disampaikan oleh pendidik pun dapat dicerna secara langsung oleh mereka dengan membandingkannya
dengan model yang mereka amati atau buat sendiri. Hal – hal yang bersifat abstrak menjadi konkrit
ketika model ada di depan mereka. Selain itu, mereka juga mendapatkan pengalaman yang sangat
berharga dari kegiatan yang mereka lakukan, sehingga mereka memperoleh banyak hal yang
mengesankan. Padahal, seperti kita ketahui, jika suatu kegiatan pembelajaran mampu memberi kesan

49
mendalam bagi peserta didiknya, berarti pembelajaran itu bermakna bagi mereka. Jika proses
pembelajaran tersebut bermakna, maka kegiatan pembelajaran itu telah berjalan secara efektif.

Pembelajaran Matematika

Pembelajaran adalah upaya membelajarkan siswa untuk belajar. Kegiatan pembelajaran akan
melibatkan siswa mempelajari sesuatu dengan cara efektif dan efesien.(RiyantoYatim, 2010:131)
Pembelajaran Matematika adalah pemberian bantuan kepada siswa untuk membangun konsep-konsep
dan prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi sehingga
konsep atau prinsip itu terbangun. Pembelajaran matematika secara sempit yaitu proses pembelajaran
dalam lingkup persekolahan, sehingga terjadi proses sosialisasi individu siswa dengan lingkungan
sekolah, seperti guru, sumber atau fasilitas, dan teman sesame siswa. Sedangkan pembelajaran
matematika secara luas yaitu upaya penataan lingkungan yang member nuansa agar program belajar
matematika tumbuh dan berkembang secara optimal.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika merupakan serangkaian aktivitas
guru dalam memberikan pengajaran terhadap siswa untuk membangun konsep-konsep dan prinsip-
prinsip matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi, sehingga konsep atau
prinsip itu terbangun dengan metode atau pendekatan mengajar dan aplikasinya agar dapat
meningkatkan kompetensi dasar dan kemampuan siswa.

Kecerdasan Triangle Sempurna


Kecerdasan Matematis Logika

Kecerdasan Logis matematika adalah kemampuan seseorang untuk menangani bilangan dan
perhitungan pola dan pemikiran logis dan ilmiah.(Wina Sanjaya, 2009:214)Kecerdasan logis matematis
memuat kemampuan seseorang dalam berpikir secara induktif dan deduktif, berpikir menurut aturan
logika, memahami dan menganalisis pola angka-angka, serta memecahkan masalah dengan
menggunakan kemampuan berpikir. Peserta didik dengan kecerdasan logis matematis tinggi cenderung
menyenangi kegiatan menganalisis dan mempelajari sebab akibat terjadinya sesuatu. Ia menyenangi
berpikir secara konseptual, misalnya menyusun hipotesis dan mengadakan kategorisasi dan klasifikasi
terhadap apa yang dihadapinya. Peserta didik semacam ini cenderung menyukai aktivitas berhitung dan
memiliki kecepatan tinggi dalam menyelesaikan problem matematika. Apabila kurang memahami,
mereka akan cenderung berusaha untuk bertanya dan mencari jawaban atas hal yang kurang
dipahaminya itu. Mereka juga sangat menyukai berbagai permainan yang banyak melibatkan kegiatan
berpikir aktif, diantaranya bermain catur dan bermain teka-teki. Dengan demikian seseorang yang
memiliki kecerdasar logis matematis yang tinggi akan terampil dalam melakukan hitungan atau
kuantifikasi, mengemukakan proposisi dan hipotesis dan melakukan operasi matematis yang kompleks.
Contoh – contoh orang yang memiliki kecerdasan matematis logis adalah ilmuwan, matematikawan,
akuntan, insinyur, dan pemrogram computer

Kecerdasan Musikal

Kecerdasan (IQ) sebagai istilah yang menggambarkan kecerdasan, kepintaran, atau kemampuan untuk
memecahkan masalah yang dihadapi. David Wechsler berpendapat bahwa kecerdasan adalah
keseluruhan kemampuan individu untuk berfikir abstrak, bertindak secara terarah dan menyesuaikan
diri dengan lingkungan secara efektif. Teori Multiple Intelligences atau kecerdasan majemuk
dikembangkan pada 1983 oleh Dr. Howard Gardner, professor dibidang kependidikan di Harvard
University Amerika Serikat. Multiple Intelligences adalah sebuah penilaian yang melihat secara
deskriptif bagaimana individu menggunakan kecerdasannya untuk memecahkan masalah dan
menghasilkan sesuatu. Pendekatan ini merupakan alat untuk melihat bagaimana pikiran manusia
mengoperasikan dunia, baik itu benda-benda yang konkret maupun hal-hal yang abstrak.
Kecerdasan musikal adalah pusat pengalaman manusia dan merupakan awal dari munculnya kecerdasan
individu. Kecerdasan memiliki keterkaitan erat dengan jenis kecerdasan
lainnya.(http://akhmadsudrajat.wordpress.com/kecerdasanmusikal) kecerdasan ini meliputi kepekaan
pada irama, pola titik nada pada melodi, dan warna nada atau warna suara suatu lagu. Menurut Handy
Susanto, S.PS.i, ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh bila menerapkan Multiple Intelligences
di dalam proses pendidikan yang dilaksanakan. Diantaranya: (1) Kita dapat menggunakan kerangka
Multiple Intelligences dalam melaksanakan proses pengajaran secara luas. Aktivitas yang bisa

50
digunakan seperti menggambar, menciptakan lagu, mendengarkan musik, melihat suatu pertunjukkan.
Aktivitas ini dapat menjadi “pintu masuk” yang vital kedalam proses belajar, (2) Dengan menggunakan
Multiple Intelligences, anda menyediakan kesempatan bagi siswa untuk belajar sesuai dengan
kebutuhan, minat dan talentanya, (3) Peran serta orang tua dan masyarakat akan semakin meningkat
dalam mendukung proses belajar mengajar, (4) Siswa akan mampu menunjukkan dan “berbagi” tentang
kelebihan yang dimilikinya, (5) Pada saat anda “mengajar untuk memahami” siswa akan mendapatkan
pengalaman belajar yang positif dan meningkatkan kemampuan untuk mencari solusi dalam
memecahkan persoalan yang dihadapinya(Soepandi,2009:88-89).

Kecerdasan musikal adalah kemampuan individu dalam menggubah lagu dan musik, bernyanyi dan
bermain alat musik, dan dapat menghargai semua jenis musik, serta memiliki kepekaan yang kuat akan
keserasian dan kesadaran universal tentang berbagai pola kehidupan.
Gardner dan banyak ilmuwan lainnya meyakini bahwa kecerdasan musikal adalah pusat pengalaman
manusia dan merupakan awal dari munculnya kecerdasan individu. Kecerdasan musikal memiliki
keterkaitan erat dengan jenis kecerdasan lainnya. Kita sering “merasakan” musik dengan tubuh kita
melalui gerakan-gerakan tubuh yang sesuai dengan irama musik (kecerdasan kinestetik), misalnya:
menggeleng-gelengkan kepala, menghentakan kaki, menepuk-nepuk paha, menari, berjoget dan aneka
gerak tubuh lainnya. Kita juga sering “merasakan” musik dengan emosi kita, misalnya menangis,
merinding, gembira, atau ekspresi emosi lainnya ketika mendengar musik tertentu yang sesuai
(kecerdasan emosional). Gardner menjelaskan pula bahwa “Kemampuan bermusik berhubungan
dengan memori suara. Sekian persen dari apa yang didengar seseorang akan masuk dalam alam bawah
sadarnya dan menjadi bagian pokok dari daya ingatnya”. “If we can explain music, we may find the key
for all human thought.”

Dengan kecerdasan musikal yang dimilikinya, seseorang dapat memperoleh berbagai manfaat,
diantaranya:
1. Memiliki pengetahuan bagaimana cara meredusir stress yang sedang dialaminya.
2. Meningkatkan kemampuan kreativitas dirinya maupun orang lain.
3. Menggali berbagai kemampuan terpendam untuk kepentingan belajarnya dan mengingat
berbagai informasi tentang sesuatu: orang, tempat, benda dan sebagainya.
4. Mengasah suasana hati untuk lebih mengoptimalkan keberadaan dirinya.
5. Memiliki pengetahuan untuk memperdalam hubungan personalnya dengan orang lain.

Meski dalam ukuran dan bentuk yang berbeda, pada dasarnya setiap orang memiliki potensi kecerdasan
musikal. Oleh karena itu, pendidikan seni musik menjadi penting. Melalui pendidikan musik yang tepat
dan terarah akan membantu mengembangkan manusia menjadi lebih berbudaya, memiliki
keseimbangan antara pikiran, perasaan dan perilakunya. Jika potensi kecerdasan ini tidak mendapatkan
penyaluran yang tepat, melalui pendidikan yang tepat, maka yang dikhawatirkan adalah kebalikan dari
hakikat musik itu sendiri. Bukannya menghasilkan manusia-manusia yang berbudaya, tetapi malah
justru menghasilkan manusia-manusia yang menanggalkan nilai-nilai budayanya sendiri, dengan
menampilkan perilaku-perilaku “eksentrik”-nya yang kebablasan. Oleh karena itu, mari kita
bermusik, jadikan hidup ini lebih indah.

Kecerdasan Visual Spasial

Kecerdasan spasial adalah kemampuan memahami, memproses, dan berpikir dalam bentuk visual. Anak
dengan kecakapan ini mampu menerjemahkan bentuk gambaran dalam pikirannya ke dalam bentuk dua
atau tiga dimensi. Kemampuan yang terkait dengan kecerdasan visual-spasial adalah: (1) Mengenal
bentuk, misalnya bentuk-bentuk geometri atau bangun ruang, (2) Mengenal warna, (3) Membuat bentuk
atau rancang bangun.

Kecerdasan visual spasial memuat kemampuan seorang anak untuk memahami secara lebih mendalam
mengenai hubungan antara objek dan ruang. Anak-anak ini memiliki kemampuan menciptakan
imajinasi bentuk dalam pikirannya, atau menciptakan bentuk-bentuk tiga dimensi. Setelah dewasa
biasanya mereka akan menjadi pemahat, arsitek, pelukis, desainer, dan profesi lain yang berkaitan
dengan seni visual. Menurut Howard Gardner, profesor pendidikan dari Harvard University, AS, dalam
bukunya Multiple Intelligences, anak yang memiliki kepintaran visual akan dapat menyelesaikan
masalah ruang (spasial). Anak mampu mengamati dunia spasial secara akurat, bahkan membayangkan
bentuk-bentuk geometri dan tiga dimensi, serta kemampuan memvisualisasikan dengan grafik atau ide

51
tata ruang (spasial). Dari hasil penelitian yang dilakukan Gardner, orang-orang yang memiliki
kepintaran visual spasial ini lebih banyak dipengaruhi otak kanan, yaitu bagian otak yang bertugas
memproses ruang(file///E:/kecerdasan%20spasial/kecerdasan-interpersonal-dan-visual.html).

Memiliki anak yang cerdas adalah impian semua orang tua, bahkan banyak orang tua yang memberikan
makanan terbaik dan susu terbaik agar buah hatinya bisa cerdas dibandingkan anak lainnya. Kecerdasan
pada anak satu sama lain berbeda sehingga anda tidak bisa menyamakan anak anda dengan anak lainnya.
Ada beberapa anak yang memang berbeda dari anak lainnya, anak yang berbeda tersebut mereka bisa
menghafal beberapa jalan yang sering dilewati bersama orang tuanya. Selain itu mereka juga hafal
dengan beberapa jalan menuju tempat wisata favorit bersama orang tuanya. Anak tersebut memang
berbeda bahkan tidak banyak anak yang bisa menghafal tempat yang pernah mereka kunjungi.

Anak yang mudah menghafal beberapa jalan baik kesekolahnya, jalan ketika akan ke tempat favoritnya
maupun jalan-jalan lainnya mereka memiliki kecerdasan visual-spasial. Kecerdasan ini sangatlah baik
bila dikembangkan terutama bila anda bisa memandunya agar mereka semakin terasah. Namun, disisi
lain anda pun tetap memberikan kontrol terhadap kecerdasan yang mereka miliki tersebut. Kecerdasan
visual adalah satu dari beberapa kecerdasan lainnya pada anak. Kecerdasan ini dikembangkan oleh
seorang profesor bernama Gardner. Pengembangan tentang teori kecerdasan visual-spasial pada anak
yang bisa menghafal beberapa jalan tersebut ini dikembangkan untuk mendongkrak beberapa
pandangan yang dianggap klasik seputar kecerdasan tersebut.

Memang 1 berbanding 10 anak yang memiliki kecerdasan visual tersebut namun sejak dini anak pun
bisa diarahkan agar bisa memiliki kecerdasan tersebut. Kecerdasan yang dimiliki anak tidak hanya
kecerdasan tentang beberapa teori yang bisa dipelajari seperti halnya matematika, fisika maupun ilmu
lainnya. Kecerdasan yang dimiliki anak juga meliputi kecerdasan visual-spasial, kecerdasan gerak atau
tubuh, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan ilmu alam, maupun logika. Nah, yang paling sulit ditemua
adalah kecerdasan visual-spasial yang ada pada diri anak-anak terutama mereka yang masih balita. Bila
anak anda masih berusia dibawah lima tahun dan bisa menghafal beberapa jalan yang ada di sekitarnya
bahkan beberapa jalan yang baru pertama kali mereka lewati, anak tersebut memang benar memiliki
kecerdasan visual-spasial.

Kecerdasan visual-spasial pada anak merupakan kemampuan untuk berpikir, memahami dan
memproses suatu dalam berntuk visual. Apa yang mereka lihat akan dipikirkan dalam beberapa
tahapan baik dalam bentuk dua dimensi maupun tiga dimensi. Mereka akan memahami beberapa tata
letak, bentuk dan arah suatu jalan yang pernah mereka lewati. Yang menjadi hal mengejutkan lagi,
sekali mereka melewati jalan mereka langsung bisa menunjukkan arah jalan tersebut ketika
melewatinya untuk yang kedua kalinya. Didalam pikiran anak tersebut sudah banyak gambaran
tentang tempat yang pernah mereka singgahi demikian juga dengan jalan yang mereka
lewati. Mereka akan mengingat pula beberapa tempat yang dekat dengan jalan tersebut.

Indikator kecerdasan visual-spasial

Anak yang memiliki kecerdasan visual-spasial, mereka anak lebih mudah mengenali tempat-tempat
yang ada disekitar jalan yang sering mereka lewati. Anak tersebut minimal bisa mengenali beberapa
bentuk bangunan atau tempat seperti halnya kotak, lonjong maupun bundar. Selain itu anak ang
memiliki kecerdasan visual-spasial juga bisa mengenali warna dengan mudah dan bisa membedakan
arah kanan maupun kiri. Banyak indikator yang bisa anda lihat dari anak yang memiliki kecerdasan
visual tersebut.

Berikut beberapa indikator anak yang memiliki kecerdasan visual-spasial:


 Anak mampu menghafal arah dan nama jalan
Hal yang sangat luar biasa bila di kecil mampu menghafal arah dan nama jalan yang sering mereka
lewati. Anda tak sadar bahwa mereka memiliki kecerdasan yang berbeda dari teman sebaya. Beberapa
orang tua mungkin menganggap hal ini hanya sepele padahal mereka memiliki kelebihan yang sangat
istimewa yang harus anda dukung dan asah.
 Anak mampu menghafal denah rumah
Sekalipun anak-anak sering menghabiskan waktunya dirumah, namun tidak sedikit diantara mereka
yang mampu menghafal denah rumahnya sendiri. Hanya beberapa anak saja yang mampu menghafal
denah rumahnya sendiri. Bila anak anda mampu menghafal letak kamarnya, letak dapur, kamar mandi

52
dan beberapa tempat yang ada di rumah, maka mereka bisa digolongkan memiliki kecerdasan visual-
spasial.

 Anak mampu menggambar dengan benar


Anak yang cerdas, mereka akan bisa menggambar sesuatu yang mereka lihat dengan jelas. Bahkan
anda anak terkagum ketika mereka bisa menggambar dalam bentuk dimensi lain. Seperti ketika anak
menggambar kursi, mereka akan menggambar dalam bentuk dua dimensi atau justru
menggambar dalam bentuk tiga dimensi. Anak anda mungkin belum pernah melihat kursi dari atas,
namun tanpa anda sadari mereka bisa menggambar dalam bentuk tiga dimensi.

 Membuat beberapa bangunan dalam media yang berbeda


Kemampuan anak yang bisa membuat beberapa benda yang ada di sekitarnya dalam bentuk media yang
lain, seperti halnya lilin atau balok, mereka adalah anak yang memiliki kemampuan visual. Selain bisa
menggambar anak yang memiliki kecerdasan visual juga bisa membuat beberapa bangunan atau benda
dengan media lainnya.

 Anak senang bermain puzzle


Kecerdasan visual-spasial pada anak akan semakin terasah tatkala mereka senang bermain
puzzle. Dengan berimajinasi beberapa bentuk kepingan puzzle dan membentuknya menjadi benda yang
berbeda, mereka akan semakin terasah untuk lebih berkreasi.

Beberapa indikator tersebut bisa anda amati pada anak sejak usia mereka diatas 2 tahun. Apakah
beberapa indikator tersebut ada pada diri anak anda? Bila anak anda memiliki beberapa indikator
tersebut maka beruntunglah anda karena memiliki buah hati yang cerdas dan siap menjadi anak yang
jenius. Anak yang memiliki kecerdasn visual-spasial lebih peka terhadap gejala alam dan akan
mengamatinya secara detail hingga mereka paham. Kelak anak yang memiliki kemampuan tersebut
sangat cocok menjadi seorang pilot, arsitek, pakar meteorologi, pelukis maupun sutradara.
Untuk mengasah kemampuan anak yang memiliki kecerdasan visual-spasial tersebut, anda bisa
menstimulasinya sejak dini. Berikut beberapa cara untuk menstimulasi kecerdasan visual-spasial
pada buah hati:
 Kenalkan mereka pada beberapa nama bangunan dan warna
Anak yang cerdas dan memiliki visual-spasial, mereka harus diasah kemampuannya dengan berbagai
cara. Salah satu cara yang bisa anda lakukan adalah dengan mengenalkan beberapa warna dan bentuk
bangunan yang sering mereka lihat. Anda bisa mengajak mereka jalan-jalan dan mengenalkan nama
bangunan sekaligus warnanya. Secara perlahan anak akan mudah menghafal beberapa jenis bangunan
sekaligus mampu membedakan warna satu dengan warna lainnya.

 Bantu anak merakit sesuatu


Anak yang memiliki kcerdasan visual-spasial, mereka akan senang bila membangun atau merakit
sesuatu. Anda bisa memberikan mereka mainan dan biarkan mereka merakit sendiri, ketika mereka
benar-benar kesulitan dalam merakitnya barulah anda membantu dan mengarahkannya.

 Pengenalan arah pada anak


Anah yang mudah menghafal jalan, lama kelamaan mereka akan mudah menghafal arah, kiri dan kanan,
depan dan belakang. Kenalkan arah dengan cara mengajak anak jalan-jalan bersepeda. Lama kelamaan
mereka akan mudah untuk menghafal mana sisi kanan, sisi kiri, depan dan belakang.

 Berikan permainan yang menantang


Buat anak anda semakin terasah kecerdasan visual-spasialnya dengan cara memberikan permainan
yang menantang seperti permainan harta karun. Jenis permainan ini cukup baik untuk stimulasi
kemampuan mereka dengan cepat.

Hasil Belajar

Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah
laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya(Slameto, 2010:2).Berdasarkan pengertian diatas dapat dipahami bahwa belajar itu
senantiasa merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan misalnya
dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru, dan lain sebagainya. Juga belajar itu akan lebih
baik, kalau si subjek belajar itu mengalami atau melakukannya.

53
Hasil belajar merupakan perwujudan kemampuan akibat perubahan perilaku yang dilakukan oleh usaha
pendidikan. Kemampuan tersebut menyangkut domain kognitif, afektif dan psikomotorik(Purwanto,
2009:49). Hasil belajar yang dimaksud yaitu hasil yang diperoleh siswa sebagai akibat proses belajar
yang dilaksanakan oleh siswa. Makin tinggi proses yang dilakukan oleh siswa diharapkan semakin
tinggi pula hasil belajar yang dicapai.

Adapun hasil belajar itu meliputi : (a) Hal ikhwal keilmuan dan pengetahuan, konsep atau fakta
(kognitif), (b) Hal ikhwal personal, kepribadian atau sikap (afektif), (c) Hal ikhwal kelakuan,
keterampilan atau penampilan ( psikomotorik )(Purwanto,2009:29). Ketiga hasil belajar diatas dalam
pengajaran merupakan tiga hal yang secara perencanan dan programatik terpisah, namun dalam
kenyataannya pada diri siswa akan merupakan suatu kesatuan yang utuh dan bulat. Ketiganya itu dalam
kegiatan belajar mengajar, masing-masing direncanakan sesuai dengan butir-butir bahan pelajaran.
Sejalan dengan tujuan belajar untuk memperoleh hasil belajar yang pada prinsipnya ada perubahan
antara keadaan sebelum dan sesudah belajar, yang semula tidak tahu menjadi tahu, yang semula tidak
bisa menjadi bisa.

3. Metode Penelitian
Model Desain Maket Matematika (MaMa)
Model 4-D

Model 4-D pada hakekatnya merupakan sebuah model desain pembelajaran yang sederahana, yang
dapat diiplementasikan pada hampir semua jenjang dan satuan pendidikan. dengan diterapkannya model
pembelajaran 4-D diharapkan guru nantinya akan memiliki kompetensi dalam pendefinisian,
perancangan, pengembangan dan penyebaran bahan ajar yang di desain pada program pembelajaran
yang diharapkan. 4-D ini merupakan rujukan bagi pendidik dalam membelajarkan peserta didik dalam
pembelajaran yang direncanakan dan disusun secara sistematis dengan mengintegrasikan teknologi dan
media sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif dan bermakna bagi peserta didik.

4. Hasil dan Pembahasan


Mendesain Maket Matematika pada Mata Kuliah Workshop

Dalam rangka menciptakan model-model pembelajaran yang inovatif, pembelajaran menggunakan alat
peraga merupakan hal yang mampu meningkatkan mutu pendidikanpadamahasiswa. Pekembangan ilmu
saat ini sangatberkembang pesatdan dalam pembelajaran yang mampumeningkatkan kecerdasan
matematika logika, kecerdasan visual-spasial dan kecerdasan musikal mahasiswa. Sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh anton sujarwo dengan judul proses berfikir siswa smk dengan kecerdasan
linguistik, logika matematika dan visual spasial dalam memecahkan masalah. Dari penelitian ini
pemakalah berfikir untuk melanjutkan pembahasannya tentang bagaimana menjembatani pemikiran
pemecahan masalah tersebut pada mahasiswa di mata kuliah workshop untuk mendesain maket
matematika yang dapat digunakan pada proses pembelajaran di sekolah.

Hasil penelitian dari anton sujarwo tersebut menunjukkan bahwa proses berikir siswa SMK dengan
kecerdasan linguistik, logika matematika, dan visual spasial dalam memecahkan masalah matematika
adalah sebagai berikut: Subjek dengan kecerdasan linguistik ketika memahami masalah proses
berpikirnya mula-mula membaca soal setidaknya dua kali. Melalui pembacaan yangdemikian subjek
dapat mengungkapkan semua informasi yang tersedia (yang diketahui) dan apa yang ingin didapatkan
(ditanyakan) dari masalah yang dihadapi. Ide rencana pemecahan masalah subjek ini berasal dari
pengetahuan sebelumnya mengenai konsep tertentu atau strategi pemecahan masalah yang mirip dengan
masalah yang sedang dihadapi. Selanjutnya ia mengintegrasikan konsep-konsep tertentu dan informasi
relevan dari masalah tersebut untuk menghasilkan suatu rencana pemecahan masalah yaitu
perbandingan. Pada waktu melaksanakan rencana, subjek ini menyatakan kembali semua informasi
yang tersedia (yang diketahui) dan apa yang ingin didapatkan (ditanyakan) dari masalah yang dihadapi.
Kemudian subjek mulai melaksanakan rencana sesuai dengan langkah-langkah pemecahan masalah
yang telah dibuatnya. Setelah melaksanakan rencana pemecahan masalah, subjek melakukan
pemeriksaan kembali pekerjaan yang telah dibuatnya. Ia tidak melakukan aktivitas menulis atau corat-
coret melainkan diam sambil memandang hasil pekerjaan yang telah dibuatnya. Pengecekan yang telah
dilakukan tidak dapat membetulkan kesalahan yang ada. Sehingga solusi yang diperoleh tidak benar.
Tetapi walaupun demikian, subjek ini yakin bahwa jawaban yang dibuatnya benar. Subjek dengan

54
kecerdasan logika matematika, ketika memahami masalah proses berpikirnya mula-mula membaca
masalah tiga kali dan disertai membuat tabel. Hal ini dilakukan untuk lebih memahami permasalahan
yang dihadapi dan menghidari ada informasi yang terlewat jika hanya dibacasekali. Ide rencana
pemecahan masalah subjek ini berasal dari pengetahuan sebelumnya mengenai konsep tertentu atau
strategi pemecahan masalah yang mirip dengan masalah yang sedang dihadapi. Selanjutnya ia
mengintegrasikan konsep-konsep tertentu dan informasi relevan dari masalah tersebut untuk
menghasilkan suatu rencana pemecahan masalah yaitu perbandingan berbalik nilai. Langkah
berikutnya, subjek dengan kecerdasan logika matematika sebelum melaksanakan rencana yang telah
dibuat, ia membuat tabel terlebih dahulu terkait dengan permasalahan yang dihadapi. Kemudian subjek
menjalankan langkah-langkah pemecahan masalah sesuai rencana sampai diperoleh hasil yang benar.
Setelah melaksanakan rencana pemecahan masalah, subjek melakukan pemeriksaan kembali pekerjaan
yang telah dibuatnya. Pemeriksaan dilakukan dengan cara menelusuri setiap langkah penyelesaian
mulai dari perhitungan, perbandingan, dan sampai pada hasilnya.Selanjutnya untuk meyakinkan hasil
yang telah diperolehnya, ia menggunakan cara lain. Hasil perhitungan dengan cara lain ia bandingkan
dengan cara pertama dan ternyata sama. Pada waktu memeriksa hasil pekerjaanya, subjek ini melakukan
manipulasi pengetahuan dalam struktur kognitifnya. Hal ini terlihat dari kemampuan subjek ini dalam
mengubah permasalahan yang dihadapi menjadi persamaan yang menggunakan simbol-simbol sebagai
representasi internal dalam struktur kognitifnya.

Berdasarkan hasil penelitian anton sujarwo tersebut maka desain maket matematika dapat di rancang
berdasarkan atau berbasis kecerdasan matematika logika, kecerdasaan musikal dan kecerdasan visual-
spasial.

5. Kesimpulan

Berbagai jenis media dapat dimanfaatkan sesuai dengan kondisi, waktu, keuangan, maupun materi yang
akan di sampaikan. Salah satu media pembelajaranyaitumaket matematikayang merupakan alat berupa
benda tiruan yang dapat membantu proses belajar mengajar dan berfungsi untuk memperjelas makna
pesan yang disampaikan, sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran yang lebih baik dan sempurna.

Desain maket matematika merupakan upaya untuk memotivasi mahasiswa dalam pembelajaran
terutama pada mata kuliah workshop. Model pengembangan maket matematika yang dilakukan
menggunakan model 4-D. Terdapat beberapa komponen yang akan dilewati di dalam proses
pengembangan dan perancangan tersebut yang berupa urutan langkah-langkah. pendefinisian,
perancangan, pengembangan dan penyebaran.

DaftarPustaka

Indra Soepandi.(2009). Strategi Mengembangkan Potensi Kecerdasan Anak. Jakarta: Bee Media
Indonesia.

Prastowo Andi, (2012). Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif.

Purwanto,(2009). Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sanjaya Wina, (2009). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Prenada Media Kencana.

Slameto,(2010). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya.Jakarta: Rineka Cipta.

Uno, Dkk.(2009). Mengelola Kecerdasan dalam Pembelajaran. Jakarta: PT.Bumi Aksara.

Yatim Riyanto, (2010). Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Kencana.

Diknas, Pedoman Umum Pemilihan dan Pemanfaatan Bahan Ajar (jakarta:ditjen dikdasmenum, 2004)

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2012/11/04/kecerdasan musikal/

file///E:/kecerdasan%20spasial/kecerdasan-interpersonal-dan-visual.html

55
ANALISIS FAKTOR KESULITAN GURU PPL MENGELOLA KELAS
DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SMA SE-KOTA LANGSA
Budi Irwansyah
Prodi Pendidikan Matematika, Jurusan Tarbiyah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Zawiyah Cot Kala Langsa
Email: budi.mathbadai@gmail.com

Abstrak. Pada makalah ini dibahas mengenai salah satu aplikasi teknik statistik
multivariat, yaitu analisis faktor yang bertujuan untuk mengetahui faktor utama apa saja
yang menyebabkan kesulitan guru PPL mengelola kelas dalam pembelajaran matematika
di SMA se-Kota Langsa. Sampel yang diambil sebanyak 28 mahasiswa PPL Program
Studi Pendidikan Matematika (Prodi PMA) STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa, yang
tekniknya dilakukan dengan cara sensus (sampling jenuh). Teknik analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis multivariat. Analisis multivariat adalah
analisis satu variabel dalam satu atau lebih hubungan. Analisis ini berhubungan dengan
semua teknik statistik yang secara simultan menganalisis sejumlah pengukuran pada
individu atau objek. Dan analisis multivariat yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis faktor. Analisis faktor merupakan nama umum yang menunjukkan suatu kelas
prosedur, utamanya digunakan dalam mereduksi data atau meringkas, dari variabel yang
banyak diubah menjadi sedikit variabel. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa total
persentase varians dari keempat faktor yang menyebabkan guru PPL kesulitan mengelola
kelas dalam pembelajaran matematika adalah sebesar 57,926%, dimana faktor
dominannya adalah adanya toleransi kelas terhadap kekeliruan-kekeliruan yang muncul
di dalam kelas, diantaranya; 1) Guru PPL kurang mampu mengatasi keributan yang ada
di dalam kelas, 2) Guru PPL kurang mampu mengurangi reaksi negatif siswa terhadap
kelompok lain, seperti merendahkan kelompok yang berkemampuan rendah, 3) Guru PPL
kurang mampu mencegah/mengatasi siswa yang dengan sengaja mendorong prilaku
temannya untuk tidak mengikuti aturan, 4) Guru PPL kurang mampu meleraikan siswa
yang bermusuhan di dalam kelas.

Kata Kunci : Analisis Faktor, Mengelola Kelas, Guru PPL, Pembelajaran Matematika

1. Pendahuluan

Seorang guru tidak hanya dituntut dalam penguasaan materi, namun juga harus pandai dalam memilih
metode, media, serta peka terhadap masalah-masalah dalam pembelajaran, misalnya masalah motivasi,
perbedaan individu siswa; baik secara fisik maupun psikis terutama dalam kemampuan menangkap
materi pelajaran serta masalah pengelolaan kelas. Menurut Surya dalam Kunandar (2007:1) bahwa guru
yang profesional akan tercermin dalam pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan
keahlian baik dalam materi atau metode. Selain itu juga ditunjukkan melalui tanggung jawabnya dalam
melaksanakan seluruh pengabdiannya. Tidak mudah untuk menjadi guru yang profesional. Ada banyak
kendala-kendala dan kesulitan yang harus dihadapi. Kesulitan guru dalam proses pembelajaran tidak
hanya dialami oleh guru yang sudah berpengalaman, tetapi juga dialami oleh guru yang sedang praktek
pengalaman lapangan (PPL). Zulkarnaini, dkk (2012:49) mengatakan bahwa; “Praktek pengalaman
lapangan adalah praktek yang berkaitan dengan profesi sesuai dengan jurusan masing-masing.” Banyak
kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh guru PPL selama proses pembelajaran. Kunandar (2007:1)
menyatakan ; “Bekal kecakapan yang diperoleh dari lembaga perguruan tinggi tidak memadai untuk
dipergunakan secara mandiri, karena yang dipelajari di lembaga pendidikan sering kali hanya terpaku
pada teori, sehingga peserta didik kurang inovatif dan kreatif.” Kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh
guru PPL yang di tugaskan di SMA/SMP ketika melakukan praktek di lapangan salah satunya adalah
sulitnya pengelolaan kelas. Menurut Sudirman dalam Syaiful Bahri Djamarah (2005:172); “pengelolaan
kelas merupakan upaya dalam mendayagunakan potensi kelas.” Tujuan pengelolaan kelas adalah
mengembangkan kemampuan siswa dalam menggunakan alat-alat belajar, menyediakan kondisi-
kondisi yang memungkinkan siswa bekerja dan belajar, serta membantu siswa untuk memperoleh hasil
yang diharapkan. Salah satu masalah yang harus diperbaiki oleh guru Praktek Pengalaman Lapangan
adalah masalah kesulitan mengelola kelas. Karena hal ini banyak dikeluhkan guru PPL yang telah lebih
dulu menjalankan tugasnya. Seperti sulitnya menertibkan kelas, mengatur kelas, dan perbedaan karakter

56
masing-masing siswa. Karena tugas guru adalah menciptakan, mempertahankan dan memelihara
organisasi kelas. Salah satu masalah pengelolaan kelas menurut Rudolf Dreikurs dalam Ahmad Rohani
(2004:125) adalah tingkah laku yang ingin menunjukkan kekuatan. Misalnya selalu berdebat atau
kehilangan kendali emosional, marah-marah, menangis (aktif), atau selalu lupa dengan aturan-aturan
penting di kelas (pasif). Berdasarkan pernyataan mahasiswa Prodi PMA STAIN Zawiyah Cot Kala
Langsa yang telah melaksanakan Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) sebelumnya, guru PPL yang
dipandang sebelah mata oleh peserta didik. Mereka tidak memperhatikan penjelasan guru ketika proses
pembelajaran dan hanya asyik mengobrol dengan temannya sehingga membuat keributan yang
mengganggu proses pembelajaran serta tidak menghargai keberadaan guru, hal ini yang menyulitkan
guru dalam mengelola kelas ketika pembelajaran berlangsung. Dan mungkin hal ini juga disebabkan
oleh kurangnya pengalaman mengajar guru PPL. Ini merupakan masalah yang harus dicari
penyelesaiannya, sehingga pembelajaran yang berlangsung akan lebih efektif, efisien, dan menarik.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis melakukan penelitian untuk menganalisis faktor apa
yang utama yang menyebabkan kesulitan guru PPL mengelola kelas dalam pembelajaran matematika.
Adapun manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi mahasiswa Pendidikan
Matematika tentang kesulitan-kesulitan mengelola kelas khususnya dalam pembelajaran matematika.

2. Pembelajaran Matematika di Sekolah

Tujuan pembelajaran matematika secara khusus seperti yang diungkapkan Soejadi (2001:107) yaitu
sebagai berikut; 1) Mempersiapkan siswa sanggup menghadapi perubahan keadaan dan pola pikir dalam
kehidupan dan dunia selalu berkembang, 2) Mempersiapkan siswa menggunakan matematika dalam
kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Lebih lanjut Soejadi
menyatakan bahwa Matematika di sekolah memiliki beberapa fungsi, yaitu; 1) Matematika sebagai alat
guna memberikan siswa pengalaman untuk memahami atau menyampaikan suatu informasi, 2) Belajar
matematika juga merupakan pembentukan pola pikir, 3) Matematika sebagai ilmu atau pengetahuan.
Mata pelajaran matematika di Indonesia sesuai ketetapan pemerintah melalui Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP, 2011), bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1)
Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep
atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah, 2) Menggunakan
penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi,
menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, 3) Memecahkan masalah yang
meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan
menafsirkan solusi yang diperoleh, 4) Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau
media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah, 5) Memiliki sikap menghargai kegunaan
matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

3. Praktek Pengalaman Lapangan (PPL)

Hamid Darmadi (2009:35) menyatakan; “Guru sebagai komponen pendidikan dan pengajaran di
sekolah menjalankan tugas dan fungsinya di dalam proses belajar dan mengajar atas dasar kemampuan
mengajar yang dimiliki.” Hal ini yang menuntut guru agar selalu memperhatikan sikap, tingkah laku,
dan perbuatan anak didiknya, tidak hanya di sekolah, tetapi juga di luar ingkungan sekolah. Karena itu,
benar lah di katakan bahwa guru adalah orang yang diguguh dan ditiru yang berarti bahwa guru
merupakan sosok yang menjadi panutan bagi anak didiknya. “Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
guru adalah semua orang yang berwenang dan bertanggung jawab untuk membimbing dan membina
anak didik, baik sacara individual maupun klasikal, disekolah maupun diluar sekolah. Praktek
pengalaman lapangan adalah praktek yang berkaitan dengan profesi sesuai dengan jurusan masing-
masing. PPL diberikan kepada mahasiswa dengan tujuan melatih dan mempersiapkan mahasiswa
dengan tujuan melatih dan mempersiapkan mahasiswa dalam melaksanakan profesinya berdasarkan apa
yang ditekuninya selama studi pada jurusan dan program studi masing-masing. Hamzah B. Uno
(2008:15) menyimpulkan bahwa guru adalah orang dewasa yang secara sadar bertanggung jawab dalam
mendidik, mengajar dan membimbing peserta didik dan guru juga harus memiliki kemampuan dalam
menata dan mengelola kelas. Selanjutnya, Zulkarnaini, dkk (2012:46) menyatakan “Praktek
pengalaman lapangan adalah praktek yang berkaitan dengan profesi sesuai jurusan masing-masing.
Tugas guru PPL di dalam kelas sama dengan tugas guru tetap yang mengajardi kelas. Sebagai guru yang
baik harus memenuhi syarat-syarat yang terkandung dalam Undang-Undang no. 12 tahun 1954 tentang
dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah untuk seluruh Indonesia, pada pasal 15, Ngalim

57
Purwanto (2007:139) menyatakan bahwa “syarat utama untuk menjadi guru, selain ijazah dan syarat-
syarat yang mengenai kesehatan jasmani dan rohani ialah sifat-sifat yang perlu untuk dapat member
pendidikan dan pengajaran seperti yang dimaksud dalam pasal 3, pasal 4, dan pasal 5 undang-undang
tersebut. Dari pasal-pasal tersebut, maka syarat-syarat untuk menjadi guru, Ngalim Purwanto
(2007:140) menyimpulkan sebagai berikut; 1) Berijazah, 2) Sehat Jasmani dan Rohani, 3) Takwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Berkelakuan Baik, 4) Bertanggung Jawab, 5) Berjiwa Nasional, 6)
Standar Profesional Guru di Indonesia. Guru yang memenuhi standar adalah guru yang memenuhi
kualifikasi yang dipersyaratkan dan memahami benar apa yang harus dilakukan, baik ketika didalam
maupun diluar kelas. Lebih lanjut Syaiful Sagala (2011:17) juga menyatakan bahwa ada beberapa
persoalan atau tugas prinsip yang semua guru harus mengetahui dan menguasai, yaitu: 1) Administrasi
kurikulum dan Pengembangannya, guru harus benar-benar memahaminya, mampu
mengembangkannya, dan menjadikannya sebagai pedoman proses belajar mengajar, 2) Pengelolaan
peserta didik, karena peserta didik yang sangat heterogen maka guru harus bisa mengelola hal tersebut
supaya dapat memberikan hasil pendidikan yang optimal, 3) Personal, yaitu guru memberikan layanan
individual sehingga memperoleh hasil pendidikan yang optimal. Guru tidak memaksa peserta didik yang
lambat, juga tidak menghambat peserta didik yang jenius, 4) Prasarana dan sarana, merupakan salah
satu hal yang terpenting dalam proses pembelajaran. seperti ruang kelas yang memadai, ukuran yang
cukup, ventilasi, dan peralatan pembelajaran lain seperti labolatorium yang lengkap, alat tulis yang
memadai, dan lain-lain, 5) Keuangan, dana atau biaya pendidikan merupakan salah satu komponen
penunjang yang mutlak harus dupenuhi, 6) Layanan khusus, seperti pengadaan dan pemberdayaan
koperasi sekolah, penyediaan layanan kesehatan sekolah, pembinaan keterampilan berorganisasi peserta
didik disekolah, kegiatan ekstrakulikuler, dan sebagainya, 7) Hubungan sekolah masyarakat, tidak
hanya dilakukan oleh kepala sekolah tetapi juga guru sebagai tokoh kunci di sekolah.

4. Mengelola Kelas

Mengelola kelas merupakan salah satu komponen ketreampilan dasar mengajar guru. Jika dengan
pengelolaan kelas yang baik, kiranya guru dapat menciptakan dan mempertahankan kondisi kelas yang
sedemikian rupa sehingga anak didik dapat mencapai tjuan pengajaran secara efektif dan
memungkinkan mereka dapat belajar. Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain (2008:177) menyatakan
bahwa; “Pengelolaan kelas adalah kemampuan guru atau wali kelas dalam mendayagunakan potensi
kelas berupa pemberian kesempatan seluas-luasnya pada setiap personal untuk melakukan kegiatan-
kegiatan yang kreatif dan terarah sehingga waktu dan dana yang tersedia dapat dimanfaatkan secara
efisien untuk melakukan kegiatan-kegiatan kelas yang berkaitan dengan kurikulum dan perkembangan
murid. Dengan demikian pengelolaan kelas merupakan salah satu tugas guru dan prasyarat mutlak bagi
terjadinya proses belajar mengajar yang efektif yang harus dilakukan dengan baik supaya tercipta
kondisi belajar yang optimal. Jika guru mampu mengatur anak didik dan memanfaatkan sarana
pengajaran serta dapat mengendalikannya maka akan tercipta suasana yang menyenangkan untuk
mencapai tujuan pengajaran. Tujuan pengelolaan kelas pada hakikatnya telah terkandung dalam tujuan
pendidikan. Secara umum tujuan pengelolaan kelas adalah penyediaan fasilitas bagi bermacam-macam
kegiatan belajar siswa dalam lingkungan sosial, emosional, dan intelektual dalam kelas. Fasilitas yang
disediakan itu memungkinkan siswa belajar dan bekerja, terciptanya suasana sosial yang memberikan
kepuasan, Suasana disiplin, perkembangan intelektual, emosional dan sikap serta apresiasi pada siswa.
Oleh karena itu, pengelolaan kelas yang dilakukan guru pasti ada tujuannya. Karena ada tujuan itulah
guru harus berusaha mengelola kelas dengan baik walaupun terkadang ada merasakan lelah fisik
maupun fikiran. Jika guru tidak mengelola kelas dengan baik, maka akan menghambat proses
pembelajaran sehingga tidak tercapai tujuan pembelajaran. Menurut Made Pidarta dalam Syaiful Bahri
Djamarah (2005:173), masalah-masalah pengelolaan kelas yang berhubungan dengan perilaku anak
didik adalah: 1) Kurang kesatuan, misalnya dengan adanya kelompok-kelompok, klik-klik, dan
pertentangan jenis kelamin, 2) Tidak ada standar prilaku dalam bekerja kelompok, misalnya ribut,
bercakap-cakap, pergi kesana kemari, dan sebagainya, 3) Reaksi negatif terhadap anggota kelompok,
misalnya ribut, bermusuhan, mengucilkan , dan merendahkan kelompok bodoh, 4) Kelas mentoleransi
kekeliruan-kekeliruan temannya, menerima dan mendorong prilaku anak didik yang keliru, 5) Mudah
mereaksi ke ha-hal negative/terganggu, misalnya bila didatangi monitor atau tamu-tamu, iklim yang
berubah, dan sebagainya, 6) Moral rendah, permusuhan, agresif, misalnya pada lembaga yang alat-alat
belajarnya kurang, kekurangan uang, dan lain-lain, 7) Tidak mampu menyesuaikan dengan lingkungan
yang berubah, seperti tugas-tugas tambahan, anggota kelas yang baru, situasi baru, dan sebagainya.
Variasi prilaku anak didik itu menurut Made Pidarta dalam Syaiful Bahri Djamarah (2005:173) bukan
tanpa sebab. Faktor-faktor penyebab variasi prilaku tersebut adalah: 1) Pengelompokan (pandai, sedang,

58
bodoh), kelompok bodoh akan menjadi sumber negative, penolakan atau apatis, 2) Karakteristik
individual, seperti kemampuan kurang, ketidakpuasan atau dari latar belakang ekonomi rendah yang
menghalangi kemampuannya, 3) Kelompok pandai akan merasa terhalang dengan teman-temannya
yang tidak mampu seperti dia. Kelompok ini sering menolak standar yang diberikan oleh guru, 4) Dalam
latihan diharapkan semua siswa tenang dan bekerja sepanjang jam pelajaran, kalau ada interupsi atau
interaksi mungkin mereka merasa tegang atau cemas. Karena itu prilaku-prilaku yang menyimpang
seorang dua orang bisa ditoleransi asa tidak merusak kesatuan. Guru harus mengadalan situasi agar
mereka bisa mengadakan interaksi, 5) Dari organisasi kurikulum tentang team teaching, misalnya anak
didik pergi dari satu guru ke guru yang lain dan dari satu kelompok ke kelompok yang lain. Tenaga
mereka habis dipakai di jalanan dan harus menyesuaikan diri berkali-kali, tidak ada kestabilan.
Pengembangan diri yang sesungguhnya bersumber dari hubungan sosial menjadi terhambat.

5. Metodologi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di 11 (sebelas) SMA/sederajat di Kota Langsa. Yang dilaksanakan
selama kurang lebih 2 bulan pada semester ganjil tahun ajaran 2013/2014. Sampel yang diambil
sebanyak 28 mahasiswa PPL Prodi PMA STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa, yang tekniknya dilakukan
dengan menggunakan jenis sampling jenuh yaitu teknik pengambilan sampel apabila semua populasi
digunakan sebagai sampel dan dikenal juga dengan istilah sensus, (Riduwan, 2010:64). Sampel jenuh
ini dilakukan apabila populasinya kurang dari 30 orang. Jadi, yang menjadi sampel dalam penelitian ini
adalah seluruh populasi yang ada, berjumlah 28 orang. Untuk memperoleh data penelitian, penulis
menggunakan instrumen angket yang dibuat berdasarkan teori masalah-masalah pengelolaan kelas.
Angket dibuat menggunakan skala likers yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi
seseorang atau sekelompok tentang kejadian atau gejala social. (Riduwan, 2010:87). Angket berisikan
21 pernyataan dengan 5 alternatif jawaban yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), netral (N), tidak setuju
(TS), dan sangat tidak setuju (STS). Teknik analisis data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini
adalah analisis multivariat atau metode multivariat. Analisis multivariat adalah analisis satu variabel
dalam satu atau lebih hubungan. Analisis ini berhubungan dengan semua teknik statistik yang secara
simultan menganalisis sejumlah pengukuran pada individu atau objek. Dan analisis multivariat yang
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis faktor. J. Supranto, (2010:114) menyatakan bahwa
analisis faktor merupakan nama umum yang menunjukkan suatu kelas prosedur, utamanya digunakan
dalam mereduksi data atau meringkas, dari variabel yang banyak diubah menjadi sedikit variabel,
misalnya dari 15 variabel yang lama diubah menjadi 4 atau 5 variabel baru yang disebut vaktor dan
masih memuat sebagian besar informasi yang terkandung dalam variabel asli (original variable).
Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh dalam analisis faktor antara lain sebagai berikut: 1)
Merumuskan masalah, 2) Identifikasi kecukupan data yang terdiri dari; a) uji validitas menggunakan
teknik analisis faktor (Construct Validity), yaitu untuk menguji apakah butir-butir pernyataan atau
indikator yang digunakan dapat mengkonfirmasikan sebuah faktor atau konstruk atau variabel. Uji
Kaiser-Mayer Olkin (KMO) bertujuan untuk mengetahui apakah semua data yang telah terambil telah
cukup untuk difaktorkan; b) uji reliabilitas yang dimaksudkan untuk mengetahui apakah data yang
digunakan telah memenuhi syarat suatu data dapat dianalisis factor yang menggunakan uji Bartlett’s
yang bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antar variabel dalam kasus multivariat.
Jika variabel X1, X2, …, XP independent (bersifat saling bebas), maka matriks korelasi antar variabel
sama dengan matriks identitas, 3) Menganalisis variabel-variabel dengan melihat nilai Measure of
Sampling Adequacy (MSA), dimana variabel yang mempunyai nilai Measure of Sampling Adequacy
(MSA) ≥ 0,5 yang dapat dianalisi lebih lanjut, dan variabel yang mempunyai nilai Measure of Sampling
Adequacy (MSA) < 0,5 dikeluarkan dari analisis. Setelah diperoleh variabel-variabel yang dapat
dianaisi lebih lanjut, maka proses analisis faktor diulang kembali sehingga tidak ada lagi variabel-
variabel yang mempunyai nilai MSA < 0,5; 4) Menentukan metode analisis factor, dalam kajian ini
Penulis menggunakan metode Principal Components Analysis (PCA) dimana yang mempertimbangkan
jumlah varian dalam data atau diagonal matriks korelasi terdiri dari angka 1(satu) dan full variance
dibawa ke dalam matriks faktor, 5) Menentuan banyak faktor dengan eigenvalue yaitu jumlah varian
yang dijelaskan oleh setiap faktor. Satu eigenvalue menunjukkan besarnya sumbangan dari faktor
terhadap varian seluruh variabel asli. “hanya faktor yang varian lebih besar dari satu, yang dimasukkan”;
6) Melakukan rotasi factor yang bertujuan mengelompokkan variabel kedalam faktor yang telah
terbentuk dan dapat diketahui melalui nilai loading factor, mewakii koefesien korelasi antara faktor
dengan variable, 7) Membentuk interpretasi hasil rotasi yang dapat dilakukan dengan mengidentifikasi
variabel yang mempunyai nilai loading yang besar pada faktor yang sama (Supranto, 2010:118-128).

59
6. Hasil Penelitian

Pada bagian ini dijelaskan hasil penelitian yang telah diperoleh selama penelitian. Berdasarkan hasil
penyebaran angket yang dilakukan pada guru PPL dari Prodi Pendidikan Matematika STAIN Zawiyah
Cot Kala Langsa pada tanggal 30 agustus – 1 oktober 2013, diperoleh data faktor yang mempengaruhi
kesulitan guru PPL mengelola kelas dalam pembelajaran matematika yang analisisnya menggunakan
teknik analisis faktor konfirmatori, yaitu suatu teknik analisis faktor yang berdasarkan teori atau konsep
yang telah diketahui sebelumnya. Proses analisis faktor ini menggunakan bantuan software SPSS versi
17. Berikut ini akan ditampilkan hasilnya menggunakan metode analisis faktor.

a. Merumuskan Masalah
Berdasarkan landasan teori variabel dalam analisis harus jelas, maka dalam langkah ini, Penulis
merumuskan 21 variabel dalam analisis ini, yaitu :

Tabel 1. Indikator Kesulitan Mengelola Kelas


No Aspek yang Diamati Indikator
Saya dapat menyatukan kelompok-kelompok dalam kelas,
1 X1 seperti kelompok siswa yang berkemampuan rendah, sedang,
dan tinggi dalam pembelajaran matematika
Saya tidak membedakan antara siswa laki-laki dan perempuan
2 X2
dalam pembelajaran matematika
Saya dapat menyatukan persepsi antara siswa laki-laki dan
3 X3
perempuan dalam pembelajaran matematika
4 X4 Saya mampu mengatasi keributan yang ada di dalam kelas.
Saya mampu mengatasi siswa yang berbicara dalam kelas saat
5 X5
pembelajaran matematika
Saya mampu mengatasi perbedaan pendapat yang terjadi dalam
6 X6
suatu kelompok di dalam kelas matematika
Saya dapat mengurangi/mengatasi perselisihan antar kelompok
7 X7
di dalam kelas matematika
Saya dapat menenangkan keributan/konflik yang terjadi dalam
8 X8
suatu kelompok ketika proses pembelajaran matematika
Saya mampu mengurangi reaksi negatif siswa terhadap
9 X9 kelompok lain, seperti merendahkan kelompok yang
berkemampuan rendah dalam matematika
Saya dapat mengontrol siswa yang ingin mengacaukan keadaan
10 X10
kelas ketika pembelajaran matematika
Saya mampu mencegah/mengatasi siswa yang dengan sengaja
11 X11 mendorong prilaku temannya untuk tidak mengikuti aturan
dalam pembelajaran matematika
Saya mampu mengatur siswa yang menerima (mendukung)
12 X12 siswa lain agar mengganggu ketertiban proses pembelajaran
matematika
Saya mampu mengatasi hal-hal yang mengganggu proses
13 X13
pembelajaran matematika
Saya mampu mengembalikan fokus siswa terhadap matematika
14 X14
yang terganggu akibat perubahan cuaca yang dramatis
Saya mampu mengendalikan siswa agar tidak terpengaruh
15 X15 dengan pelajaran lain di luar kelas matematika yang bersifat
tidak lazim
Saya mampu mengatasi siswa yang menampakkan sikap
16 X16
negatif akibat kurangnya alat belajar di dalam kelas matematika
Saya mampu mengendalikan siswa yang cenderung agresif jika
17 X17 ditempatkan pada posisi yang kurang bagus dalam
pembelajaran matematika
Saya mampu meleraikan siswa yang bermusuhan di dalam
18 X18
kelas matematika

60
Saya mampu mengatasi siswa yang mengeluh di dalam kelas
19 X19
apabila diberikan pekerjaan rumah (PR) matematika.
Saya mampu mengatasi siswa yang tidak mau menyelesaikan
20 X20
pekerjaan rumah (PR) matematika
Saya mampu menghadapi situasi-situasi baru di kelas
21 X21
matematika

b. Identifikasi Kecukupan Data


Untuk mengetahui data dapat dianalisis faktor atau kecukupan data dapat menggunakan uji statistik
Kaiser-Mayer Olkin (KMO) mengukur sampling adequacy dimana nilai KMO ≥ 0,5. Sedangkan untuk
mengetahui korelasi antar variabel (uji reliabilitas) menggunakan Barlett’s test of sphericity yaitu suatu
uji statistik yang dipergunakan untuk menguji apakah variabel saling berkorelasi atau tidak di dalam
populasi. Kecukupan data atau sampel dapat diidentifikasi melalui nilai KMO dan Measure of Sampling
Adequacy (MSA). Nilai tersebut diperoleh dengan menggunakan bantuan software SPSS dengan
melihat nilai Barlett’s Test Of Sphericity. Berikut ini hasil dari Kaiser-Meyer-Olkin (KMO) Measure of
Sampling Adequacy (MSA) dan Barlett’s Test.

Tabel 2. Hasil Uji KMO and Bartlett's Test


Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy .522
Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 338.697
Df 210
Sig. .000

Berdasarkan tabel 2 diketahui asumsi kecukupan data terpenuhi dengan nilai MSA (Measure of
Sampling Adequacy) sebesar 0,522, ini berarti lebih dari 0,5, sedangkan Bartlett’s Test of Sphericity
dengan Chi-Square 338,697 (df = 210) dan nilai sig = 0,000 kurang dari 0,05 maka dapat disimpulkan
uji kecukupan data telah terpenuhi dan variabel (faktor) kesulitan guru PPL mengelola kelas pada
pembelajaran matematika telah memenuhi asumsi korelasi (reliabel), dengan demikian kedua asumsi
untuk analisis faktor terpenuhi dan dapat dianalisis lebih lanjut.

c. Analisis Variabel
Untuk mengetahui variabel-variabel yang mana saja yang dapat dianalisis lebih lanjut dapat diketahui
melalui nilai MSA (Measure of Sampling Adequacy) yang terdapat pada tabel anti-image matrices yang
diperoleh dengan bantuan software SPSS. Dari tabel tersebut dapat dilihat hasil analisis awal yang
menunjukan nilai MSA untuk variabel-variabel yang diteliti. Berdasarkan landasan teori variabel yang
mempunyai nilai kurang dari 0,5 dikeluarkan dari pemilihan variabel. Dari hasil analisis, variabel-
variabel yang dikeluarkan dari pemilihan varibel penelitian yaitu: X1, X2, X6, X7, X8, X12,
X14,X15,X19,X21 dan variabel-variabel yang lain akan dianalisis lebih lanjut. Setelah melakukan analisis
variabel maka peneliti menentukan metode yang digunakan dalam analisis faktor.

d. Analisis Variabel (Kedua)


Setelah diperoleh variabel-variabel yang dapat dianalisis lebih lanjut, maka analisis diulang kembali
dengan cara yang sama dengan variabel-variabel yang tersisa. Setelah beberapa variabel dikeluarkan
dari analisis, maka dilakukan identifikasii kecukupan data dan korelasi antar variabel kembali seperti
pada analisis tahap pertama. Berikut ini akan ditampilkan nilai KMO dan Barlett’s Test analisis kedua.
Tabel 3. Hasil Uji KMO and Bartlett's Test Analisis Kedua
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .758
Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 138.542
df 55
Sig. .000

Berdasarkan tabel 3 diketahui asumsi kecukupan data pada analisis kedua (analisis ulang) terpenuhi
dengan nilai MSA (Measure of Sampling Adequacy) sebesar 0,758, ini berarti nilai MSA (Measure of
Sampling Adequacy) mangalami kenaikan, sedangkan Bartlett’s Test of Sphericity dengan Chi-Square
138,542 (df = 55) dan nilai sig = 0,000. Sehingga dapat disimpulkan uji kecukupan data pada analisis
kedua telah terpenuhi dan variabel (faktor) kesulitan guru PPL mengelola kelas pada pembelajaran

61
matematika telah memenuhi asumsi korelasi, dengan demikian kedua asumsi untuk analisis faktor
terpenuhi dan dapat dianalisis lebih lanjut.

e. Analisis Variabel (Ketiga)


Untuk mengetahui variabel-variabel yang mana saja yang dapat dianalisis lebih lanjut dapat diketahui
melalui nilai MSA yang terdapat pada tabel anti-image matrices kedua. Dari tabel tersebut dapat dilihat
hasil analisis kedua yang menunjukkan masih terdapat variabel yang mempunyai nilai MSA < 0,5 yaitu
pada variabel X3, X5, X10, X17 maka variabel tersebut dapat dikeluarkan dari pemilihan variabel. Setelah
variabel X3, X5, X10, X17 dikeluarkan karena tidak memenuhi persyaratan maka variabel-variabel yang
tersisa di analisis ulang kembali dengan cara yang sama. Setelah mengeluarkan variabel yang tidak
memenuhi persyaratan maka kembali dilakukan identifikasi kecukupan data dan korelasi antar variabel
seperti pada analisis sebelumnya. Berikut ini akan ditampilkan nilai KMO dan Barlett’s Test analisis
ketiga.
Tabel 4. Hasil Uji KMO and Bartlett's Test Analisis Ketiga
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .799
Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 64.222
df 21
Sig. .000

Berdasarkan tabel 4 diketahui asumsi kecukupan data pada analisis ketiga terpenuhi dengan nilai MSA
(Measure of Sampling Adequacy) sebesar 0,799, sedangkan Bartlett’s Test of Sphericity dengan Chi-
Square 64,222 (df = 21) dan nilai sig = 0,000. Sehingga dapat disimpulkan uji kecukupan data pada
analisis ketiga telah terpenuhi dan korelasi antar variabel terpenuhi, dengan demikian kedua asumsi
untuk analisis faktor terpenuhi dan dapat dianalisis lebih lanjut.

f. Analisis Variabel (Keempat)


Melalui nilai MSA (Measure of Sampling Adequacy) yang terdapat pada tabel anti-image matrices
ketiga, dapat diperoleh hasil bahwa masih terdapat variabel yang mempunyai nilai MSA < 0,5 yaitu
pada variabel X13, X16, X21 maka X13, X16, X21 dikeluarkan dari pemilihan variabel dan analisis diulang
kembali. Pada analisis ketiga, variabel yang dikeluarkan yaitu X13, X16, X21, oleh karena itu analisis
diulang kembali dengan cara yang sama. Pada analisis ketiga masih terdapat variabel yang mempunyai
nilai MSA < 0,5; oleh karena itu analisis di ulang kembali. Berikut ini akan ditampilkan nilai KMO.
Tabel 5. Hasil Uji KMO and Bartlett's Test Analisis Keempat
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .767
Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 23.103
df 6
Sig. .001

Berdasarkan tabel 5 diketahui asumsi kecukupan data pada analisis keempat terpenuhi setelah variabel-
variabel yang tidak memenuhi persyaratan dikeluarkan dari analisis dengan nilai MSA sebesar 0,767,
sedangkan Bartlett’s Test of Sphericity dengan Chi-Square 23,103 (df = 6) dan nilai sig = 0,001.
Sehingga dapat disimpulkan uji kecukupan data pada analisis keempat telah terpenuhi dan korelasi
antar variabel terpenuhi dan korelasi antar variabel terpenuhi, dengan demikian kedua asumsi untuk
analisis faktor terpenuhi dan dapat dianalisis lebih lanjut.

g. Analisis Variabel (Kelima)

Seperti pada analisis sebelumnya untuk melanjutkan analisis ketahap berikutnya, maka peneliti terlebih
dahulu menganalisis variabel-variabel yang memenuhi persyaratan untuk dianalisis lebih lanjut melului
nilai MSA (Measure of Sampling Adequacy) yang terdapat pada tabel anti image matrices.

Tabel 6. Perbandingan Nilai MSA


Variabel Nilai MSA I Nilai MSA II Nilai MSA III Nilai MSA IV
X4 0,665 0,722 0,762 0,788
X9 0,625 0,569 0,603 0,750

62
X11 0,578 0,514 0,601 0,825
X18 0,676 0,685 0,662 0,734

Berdasarkan tabel 6 di atas dapat disimpulkan hanya variabel-variabel yang mempunyai nilai MSA >
0,5 dari analisis pertama sampai analisis keempat yang dapat dilanjutkan ke tahap analisis berikutnya.

Menentukan Metode Analisis Faktor


Setelah melakukan anilisis variabel maka peneliti menentukan metode yang digunakan dalam analisis
faktor. Dalam penelitian ini digunakan metode Principal Components Analysis (PCA). Di dalam metode
ini, jumlah varian dalam data dipertimbangkan. Berikut ini akan ditampilkan print out komputer
sebagian hasil pengolahan data dengan menggunakan Principal Components Analysis (PCA).
Tabel 7. Communalities
Variabel Initial Extraction
X1 1.000 .713
X2 1.000 .765
X3 1.000 .640
X4 1.000 .812
X5 1.000 .865
X6 1.000 .703
X7 1.000 .910
X8 1.000 .874
X9 1.000 .673
X10 1.000 .827
X11 1.000 .671
X12 1.000 .689
X13 1.000 .654
X14 1.000 .856
X15 1.000 .911
X16 1.000 .816
X17 1.000 .820
X18 1.000 .827
X19 1.000 .773
X20 1.000 .756
X21 1.000 .798

Berdasarkan tabel 7 dapat dilihat nilai communality yaitu jumlah varian yang disumbangkan oleh suatu
variabel dengan seluruh variabel lainnya dalam analisis dengan menggunakan metode Principal
Components Analysis (PCA). Untuk setiap variabel masing-masing mempunyai nilai communality
sebesar 1 (satu).

h. Penentuan Banyak Faktor Dengan eigenvalue


Untuk menentukan banyaknya faktor yang terbentuk dari variabel-variabel yang tersisa dapat ditentukan
dengan nilai eigenvalue. Berdasarkan landasan teori nilai eigenvalue yang lebih dari atau sama dengan
1(satu) yang dimasukan sebagai faktor. Dengan menggunakan bantuan software SPSS dapat diperoleh
nilai eigenvalue seperti yang ditampilkan pada tabel dibawah ini.

63
Tabel 8. Nilai Eigenvalue

Componen Initial Eigenvalues Extraction Sums of Squared Loadings


t Total % of Variance Cumulative % Total % of Variance Cumulative %
1 2.317 57.926 57.926 2.317 57.926 57.926
2 .667 16.667 74.593
3 .562 14.041 88.634
4 .455 11.366 100.000

Dari tabel 8 dapat dilihat bahwa ada 1 komponen yang mempunyai nilai eigenvalue lebih dari 1(satu)
yaitu faktor 1 dengan eigenvalue 2,317 dan persentase yaitu sebesar 57,926%, maka dapat disimpulkan
ada 1 faktor yang dapat terbentuk.

i. Melakukan Rotasi Faktor


Sebelum menginterpretasikan faktor maka dilakukan rotasi faktor terlebih dahulu yaitu untuk
mengetahui korelasi antara faktor dengan variabel, dan hanya korelasi yang diwakili factor loading yang
mempunyai nilai di atas 0,30 yang dianggap cukup kuat berkorelasi. Berikut ini akan ditampilkan
korelasi faktor dengan variabel sebelum dirotasi faktor :
Tabel 9. Component Matrixa (sebelum dirotasi)
Variable Component
1
X4 .756
X9 .789
X11 .684
X18 .809
Dari tabel 9 di atas, diperoleh bahwa faktor 1 berkorelasi dengan variabel X4, X9, X11, X18. Dari hasil
tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap variabel hanya berkorelasi pada satu faktor saja sehingga
mudah untuk diinterpretasikan.

7. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di SMA/sederajat yang ada di Kota Langsa yaitu yang
ditujukan kepada guru PPL dari Prodi PMA STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa pada tahun akademik
2013/2014 sebanyak 28 orang mahasiswa. Hasil penelitian diperoleh melalui empat (4) kali analisis
faktor; bahwa pada analisis pertama diperoleh nilai Kaiser-Mayer Olkin (KMO) sebesar 0,522
sedangkan Barlett’s test of sphericity dengan Chi-Square 338,697 (df = 210) dan nilai sig = 0,000
kurang dari 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa data telah valid dan reliabel dan data dapat dianalisis
lebih lanjut. Kemudian dari analisis variabel diperoleh variabel-variabel yang tidak memenuhi
persyaratan untuk dianalisis faktor atau variabel-variabel yang dikeluarkan dari analisis yaitu X1, X2,
X6, X7, X8, X12, X14, X15, X19, X21, Setelah variabel-variabel yang tidak memenuhi persyaratan analisis
faktor dikeluarkan, maka analisis faktor diulang kembali sampai tidak ada lagi variabel yang tidak
memenuhi persyaratan analisis faktor, pada analisis faktor kedua masih terdapat variabel yang tidak
memenuhi persyaratan yaitu variabel X3, X5, X10, X17, dan pada analisis faktor yang ketiga diperoleh
variabel yang tidak memenuhi persyaratan yaitu X13, X16, X21, dan variabel yang tersisa sebanyak empat
variabel yang kemudian dianalisis faktor keempat. Pada analisis keempat, diperoleh KMO sebesar
0,767 sedangkan Bartlett’s Test of Spherycity dengan Chi-Square 23,103 (df = 6) dan nilai sig = 0,001,
yang berarti data masih valid dan reliabel. Berdasarkan analisis variabel keempat, ternyata tidak
terdapat variabel yang tidak memenuhi persyaratan analisis faktor, maka empat variabel tersebut dapat
dianalisis lebih lanjut. Setelah menentukan metode yang digunakan dalam analisis faktor yaitu principal
components analysis (PCA), langkah berikutnya yaitu menentukan banyaknya faktor yang terbentuk
dari empat (4) variabel yang ada. Dengan melihat nilai eigenvalue yang lebih dari 1 maka diperoleh satu
faktor yang terbentuk yang nilai eigenvalue-nya adalah 2,317. Setelah diketahui faktor yang terbentuk
selanjutnya menentukan variabel pada setiap faktor dengan melakukan rotasi faktor. Setelah dilakukan
rotasi faktor, diperoleh faktor 1 berkorelasi dengan variabel X4, X9, X11, X18. Artinya bahwa faktor
utama yang menyebabkan kesulitan guru PPL mengelola kelas dalam pembelajaran matematika di SMA

64
se–Kota Langsa adalah adanya toleransi kelas terhadap kekeliruan-kekeliruan yang muncul di dalam
kelas.

8. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa total persentase
varians dari keempat faktor yang menyebabkan guru PPL kesulitan mengelola kelas dalam
pembelajaran matematika adalah sebesar 57,926%, dimana faktor dominannya adalah adanya toleransi
kelas terhadap kekeliruan-kekeliruan yang muncul di dalam kelas, diantaranya; 1) Guru PPL kurang
mampu mengatasi keributan yang ada di dalam kelas, 2) Guru PPL kurang mampu mengurangi reaksi
negatif siswa terhadap kelompok lain, seperti merendahkan kelompok yang berkemampuan rendah, 3)
Guru PPL kurang mampu mencegah/mengatasi siswa yang dengan sengaja mendorong perilaku
temannya untuk tidak mengikuti aturan, 4) Guru PPL kurang mampu meleraikan siswa yang
bermusuhan di dalam kelas.

Daftar Pustaka
Ahmad Rohani, 2004. Pengelolaan Pengajaran, Jakarta: Rineka Cipta.

Hamid Darmadi. 2009. Kemampuan Dasar Mengajar. Bandung : Pustaka Setia.

Hamzah B. Uno. 2008. Profesi Kependidikan, Jakarta: Bumi Aksara.

J. Supranto, 2010. Analisis Multivariat Arti dan Interpretasi. Jakarta : Rineka Cipta.

Kunandar. 2007. Guru Profesional Implementasi Kurikulum KTSP dan Su kses dalam Sertifikasi Guru.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Ngalim Purwanto. 2007. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Riduwan. 2010. Belajar Mudah Penelitian untuk Guru, Karyawan, dan Peneliti Pemula. Bandung:
Alfabeta.

Singgih Santoso.2012. Aplikasi SPSS pada Statistik Multivariat. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Soejadi. 2001. Kiat-kiat Matematika di Indonesia. Jakarta: Depdiknas.

Syaiful Bahri Djamarah, 2005. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, Jakarta: Rineka Cipta.

Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, 2002. Strategi Belajar Mengajar .Jakarta :Rineka Cipta.

Syaiful Sagala. 2011. Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan. Bandung: Alfabeta.

Zulkarnaini, dkk, 2012. Panduan Akademik STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa Tahun Akademik. Langsa:
STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa.

65
KESALAHAN SISWA MAN MODEL BANDA ACEH DALAM
MENYELESAIKAN SOAL-SOAL FUNGSI

Budiman, Rahmat Fitra, dan M. Hasbi


Dosen Prodi Pend. Matematika, FKIP Unsyiah, Banda Aceh
Mahasiswa S2 Pend. Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
Email: rahmatfitra.usk@gmail.com
Dosen Prodi Pend. Matematika, FKIP Unsyiah, Banda Aceh

Abstrak. Permasalahan pembelajaran matematika SMA/MAN saat ini adalah


rendahnya pemahaman siswa terhadap konsep. Hal ini ditandai dengan banyak
kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa saat menyelesaikan soal-soal
matematika khususnya fungsi. Dengan demikian diperlukan penelitian yang
bertujuan untuk mengidentifikasi jenis kesalahan yang dilakukan siswa dalam
menyelesaikan soal soal fungsi dan mengidentifikasi penyebab terjadinya
kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal fungsi. Penelitian ini merupakan
jenis penelitian kualitatif. Subjek penelitian adalah siswa kelas IX MAN Model
Banda Aceh yang berjumlah 59 orang. Subjek wawancara adalah berjumlah 5
orang. Hasil penelitian diperoleh, kesalahan siswa dalam menyelesaikan soals-
soal fungsi yaitu kesalahan konsep, operasi dan kesalahan verbal. Penyebab
kesalahan adalah: belum memahami definisi fungsi, definisi fungsi injektif,
surjektif dan bijektif, fungsi genap, fungsi ganjil, belum mahir dalam
perhitungan aljabar, belum mahir dalam menggunakan prinsip fungsi invers
dan langkah-langkah menentukan fungsi invers dan invers fungsi komposisi.

Kata kunci: jenis kesalahan siswa, penyebab kesalahan, fungsi

1. Pendahuluan

Matematika mempunyai peranan penting dalam menunjang keberhasilan siswa, karena matematika
merupakan sarana untuk mempelajari mata pelajaran lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Karso
(1993:80) ”Matematika diajarkan di sekolah karena matematika dapat membantu bidang studi lain
seperti fisika, kimia, arsitektur, farmasi, geologi, ekonomi, statistik dan sebagainya”.

Sehubungan dengan peranan matematika yang sangat penting, matematika merupakan salah satu mata
pelajaran diajarkan di setiap jenjang sekolah baik tingkat dasar, menengah maupun perguruan tinggi.
Tujuan pembelajaran matematika berdasarkan Badan Standar Nasioal Pendidikan (BSNP; 2006) adalah
agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan
konsep dan algoritma secara akurat, efisien dan tetap dalam pemecahan masalah,
2. menggunakan penalaran pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat
generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika,
3. memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model
matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh,
4. mengkomunikasi gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media lain untuk memperjelas
keadaan atau masalah, dan
5. memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin
tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika serta sikap ulet dan percaya diri
dalam pemecahan masalah.

Tujuan pembelajaran matematika tersebut menekankan pada pemahaman siswa terhadap konsep,
penggunaan konsep dan hubungan antara konsep. Namun kenyataan menunjukkan pemahaman siswa
terhadap konsep fungsi, hubungan antar konsep dan penggunaan konsep dalam menyelesaiakan
masalah belum memadai. Masih banyak siswa yang tidak memahami arti fungsi dari himpunan A ke
bimpunan B, arti nilai fungsi di suatu titik, dan menggunakan konsep fungsi dalam menyelesaikan
masalah matematika. Rendahnya pemahaman siswa dalam memahami konsep fungsi ditandai dengan
banyaknya kesalahan yang dilakukan siswa dalam menyelesaiakan soal-soal tentang fungsi, baik
kesalahan konsep, prinsip, operasi dan menyelesaiakan soal dalam bentuk verbal.

66
Hal ini didukung hasil penelitian Purnami (1994) bahwa pemahaman siswa terhadap konsep fungsi
bervariasi. Demikian juga pemahaman siswa terhadap penulisan notasi fungsi, rumus (aturan) fungsi,
daerah asal, daerah kawan dan daerah hasil, fungsi komposisi dan fungsi invers juga bervariasi.
Misalnya:
1. Ketika diminta memberikan contoh relasi yang merupakan fungsi dan contoh relasi yang bukan
fungsi, variasi jawaban siswa antara lain adalah memberikan contoh dalam bentuk diagram panah
yang benar, memberikan contoh dalam bentuk diagram panah, pasangan berurutan dan disertai
dengan notasi fungsi, tetapi penulisan notasi fungsi salah. Mestinya ditulis {(0,0), (1,1), (2,4)},
tetapi siswa menulis (0,0), (1,1), (2,4). Mestinya f :A→B, tetapi ditulis f(A) → B.
2. Sebahagian siswa tidak dapat membedakan relasi yang merupakan fungsi atau bukan fungsi.
3. Sebahagian siswa menyatakan bahwa fungsi harus dengan rumus. Bahkan ada siswa yang
mengatakan bahwa f(x) = 1 bukan fungsi karena tidak ada ”x” dalam persamaannya.
4. Dari hasil wawancara terungkap bahwa sebahagian siswa tidak dapat menentukan range fungsi
yang disajikan dengan grafik, yaitu dengan mengatakan bahwa titik- titik pada grafik merupakan
daerah hasil (range).
5. Sebahagian siswa menganggap sama daerah kawan dan daerah hasil.
6. Tentang hubungan antara konsep fungsi dengan pokok bahasan lain, sebahagian siswa mengatakan
tak merasa ada hubungan antara fungsi dengan pelajaran lain.
7. Sebahagian siswa mengatakan pernah mendengar fungsi kosinus tetapi tidak tahu pasti apakah f(x)
= cos x adalah fungsi atau bukan.

Permasalahan di atas juga ditemukan siswa MAN Model Banda Aceh. Oleh karena itu, diperlukan
penelitian tentang permasalahan tersebut. Tujuan penelitian: (1) untuk mengidentifikasi jenis kesalahan
yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal fungsi dan (2) mengidentifikasi penyebab terjadinya
kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal fungsi.

2. Landasan Teori
Karakteristik Matematika

Setiap mata pelajaran memiliki karakteristik tertentu, baik ditinjau dari aspek kompetitif yang ingin
dicapai maupun aspek materi yang dipelajari dalam rangka menunjang tercapainya kompetensi.
Karakteristik matematika menurut Soedjadi (2000:13-18) adalah sebagai berikut: (a) Memiliki objek
abstrak yang meliputi fakta, konsep, operasi dan prinsip abstrak, (b) Bertumpu pada kesepakatan, (c)
Berpola pikir deduktif, (d) Memiliki simbol yang kosong dalam arti, (e) Memperhatikan semesta
pembicaraan, dan (f) Konsisten dalam pembicaraan. Di samping itu matematika juga bersifat hirarkis
yaitu suatu materi merupakan prasyarat untuk mempelajari materi selanjutnya. Menurut Gagne
(Hudoyo: 2005), secara garis besar matematika memiliki objek kajian yang abstrak sebagai berikut:
1) Fakta. Fakta adalah pemufakatan atau konvensi dalam matematika yang biasanya diungkapkan
lewat simbol tertentu. Cara mempelajari fakta bisa dengan cara hafalan, drill (latihan menerus),
demonstrasi tertulis, dan lain-lain. Namun perlu dicamkan bahwa mengingat fakta adalah penting
tetapi jauh lebih penting memahami konsep yang diwakilinya. Dengan demikian dalam
memperkenalkan simbol atau fakta matematika kepada siswa, guru seharusnya melalui beberapa
tahap yang memungkinkan siswa dapat menyerap makna dari simbol-simbol tersebut. Sebagai
contoh dalam fungsi yaitu: fungsi f memetakan A ke B, secara singkat di tulis f : A→B, invers fungsi
f, secara singkat ditulis f -1.
2) Konsep. Bell (1981:102), konsep adalah suatu ide abstrak yang memungkinkan kita untuk
mengelompokkan objek-objek atau kejadian-kejadian dan menentukan apakah objek/kejadian itu
merupakan contoh atau bukan contoh dari ide abstrak tersebut. Konsep berhubungan erat dengan
definisi, definisi adalah ungkapan yang membatasi suatu konsep, dengan adanya definisi orang dapat
membuat ilustrasi atau lambang dari konsep yang dimaksud. Suatu konsep yang berada dalam
lingkup ilmu matematika disebut konsep matematika. Contoh konsep dalam fungsi yaitu konsep
pemetaan, ada pemetaan yang merupakan fungsi, ada juga pemetaan yang bukan fungsi.
3) Operasi. Begle (1975:7) menjelaskan operasi adalah suatu fungsi yang mengaitkan objek
matematika yang satu dengan yang lain. Soedjadi (2000:5) mengungkapkan operasi yaitu aturan
untuk memperoleh elemen tunggal dari satu atau lebih elemen yang diketahui. Elemen tunggal yang
diperoleh disebut sebagai hasil operasi, sedangkan elemen yang diketahui disebut dengan elemen
yang dioperasikan. Di dalam materi fungsi yang berhubungan dengan operasi yaitu pada aljabar
fungsi yang menyangkut penjumlahan, pengurangan, pembagian dan perkalian dua buah fungsi.

67
4) Prinsip. Menurut Soedjadi (2000:15), prinsip adalah hubungan antara berbagai objek matematika.
Prinsip dapat terdiri atas beberapa konsep yang dikaitkan oleh suatu relasi/operasi, dengan kata lain
prinsip adalah hubungan antara berbagai objek dasar matematika. Prinsip dapat berupa aksioma,
teorema dan sifat. Contoh dari prinsip dalam fungsi misalnya prinsip f ◦ g(x) = f (g(x)), f (g(x)) ≠
g(f(x)).

Jenis Kesalahan dan Faktor Penyebab Kesalahan Siswa

Kesalahan adalah penyimpangan dari yang sebenarnya, atau hal yang telah disepakati sebelumnya.
Sukirman (dalam Swida 2000: 36) mengklasifikasikan kesalahan yang diperbuat siswa pada setiap
aspek penguasaan bahan pelajaran matematika adalah kesalahan konsep, kesalahan operasi, dan
kesalahan prinsip. Clement (dalam Haryono, 1998:13) membedakan kesalahan yang dibuat siswa
menjadi dua kategori yaitu: kesalahan sistematis dan kesalahan kealpaan (careless).

Berdasarkan pendapat di atas, kesalahan siswa adalah suatu kejadian atau tingkah laku yang diamati
dari hasil kerja siswa dalam menyelesaikan soal-soal fungsi yang tidak sesuai dengan aturan-aturan atau
kesepakatan-kesepakatan yang terdapat dalam matematika. Kesalahan meliputi, konsep, prinsip,
operasi, verbal dan kecerobohan. Pada penelitian ini jawaban tes dikatakan salah bila: (1) Menyimpang
atau tidak sesuai dengan jawaban yang telah ditetapkan; (2) Jawaban tidak lengkap dan tidak menjawab.
Selanjutnya kesalahan yang mungkin terjadi pada penelitian ini antara lain: (1) Kesalahan dalam
menjelaskan arti relasi, fungsi dan menghitung aljabar fungsi, (2) Kesalahan dalam menentukan jenis-
jenis fungsi dan sifat- sifat fungsi, (3) Kesalahan dalam menentukan komposisi dari dua fungsi, (4)
Kesalahan dalam menentukan fungsi invers dan invers fungsi komposisi. Selanjutnya, kemungkinan-
kemungkinan kesalahan yang telah disebutkan di atas, akan dianalisis berdasarkan karakteristik
matematika yang diklasifikasikan ke dalam kesalahan konsep, prinsip, operasi, dan kesalahan verbal.

3. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang
mendeskripsikan tentang suatu hal secara mendalam. Penelitian ini terdiri dari 5 langkah yaitu: (1)
mengidentifikasi masalah yang akan diteliti – aktivitas siswa dalam menyelesaikan soal fungsi; (2)
mengidentifikasi subjek penelitian – 59 orang siswa kelas XI MAN Model Banda Aceh ; (3)
pengumpulan data – kegiatan observasi dan wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi jenis
kesalahan dan faktor penyebab kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal fungsi; (4) analisis data- data
akan dianalisis dengan cara mendeskripsikan semua aktivitas penelitian; dan (5) menarik kesimpulan.

4. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Hasil tes dan wawancara siswa dalam menyelesaikan soal-soal fungsi disajikan sebagai berikut.
1) Kesalahan Siswa dalam Memahami Pengertian Fungsi

Soal yang berkaitan dengan kesalahan ini adalah soal nomor 1. Siswa yang diwawancarai ternyata masih
menunjukkan kelemahan dalam memahami pengertian fungsi. Di bawah ini disajikan hasil tes, petikan
wawancara serta analisis hasil data tersebut.
Nama siswa MR
Soal nomor 1
a) Jawaban tes :

68
b) Petikan wawancara
P : Coba kamu perhatikan soal no 1, kamu paham maksud soal ?
S : Paham pak, diantara gambar a, b, c dan d disuruh tentukan mana yang merupakan fungsi dan
mana yang bukan.
P : Coba kamu perhatikan jawaban yang sudah kamu jawab ketika tes, apakah kamu masih setuju
dengan jawaban tersebut? (sambil menunjukkan kertas jawaban tes)
S : (Siswa memperhatikan jawaban). Masih pak, yang merupakan fungsi adalah gambar a dan d,
sedangkan gambar b dan c bukan fungsi.
P : Coba kamu jelaskan mengapa diagram a dan d itu fungsi dan diagram b dan c itu bukan
fungsi?
S : Kalau gambar a fungsi, karena relasi A ke B mendapatkan satu himpunan, tidak ada yang
kosong dari fungsi B dan mendapat himpunan dari A. Kalau gambar b bukan fungsi, karena
dari relasi B ada yang kosong. Karena kalau kosong bukan fungsi pak. Kalau gambar c juga
bukan fungsi, karena masih sama dengan gambar b yaitu masih ada yang kosong. Kalau yang
no d fungsi, karena B nya mendapat himpunan dari A, walaupun A nya ada yang kosong pak.
P : Berdasarkan apa yang kamu pelajari, apa pengertian dari fungsi?
S : (diam)…Eumm fungsi itu misalkan ada relasi A ke B, B ini mendapatkan himpunan dari A, itu
setahu saya pak.

Dari hasil kerja siswa dan wawancara diperoleh MR belum memahami konsep relasi yang
merupakan fungsi. Hal ini terlihat siswa tidak dapat membedakan dan memberikan alasan yang tepat
mana relasi yang merupakan fungsi dan mana relasi yang bukan fungsi. Dari hasil wawancara juga juga
ditemukan bahwa siswa belum menguasai konsep fungsi yaitu siswa tidak bisa menyebutkan definisi
fungsi secara jelas. Berkaitan dengan kesalahan, MR melakukan kesalahan konsep yang disebabkan
karena siswa belum bisa membedakan mana relasi yang merupakan fungsi dan mana relasi yang bukan
fungsi. Dengan demikian, MR melakukan kesalahan konsep yang disebabkan oleh tidak dapat
membedakan relasi yang merupakan fungsi dan relasi yang bukan fungsi.

2) Kesalahan Siswa dalam Menentukan Jenis - Jenis Fungsi dan Sifat - Sifat Fungsi.

Soal yang berkaitan dengan kesalahan ini adalah soal-soal nomor 3 dan 4. Siswa yang diwawancarai
ternyata masih belum dapat menentukan jenis – jenis fungsi dan sifat – sifat fungsi. Di bawah ini
disajikan hasil tes, petikan wawancara serta analisis hasil data tersebut.
Nama siswa FI
Soal nomor 3
a) Jawaban Tes

b) Petikan Wawancara
P : Coba kamu perhatikan soal no 3, apa maksud dari soal tersebut?
S : Disuruh periksa ke dua buah fungsi a dan b, apakah termasuk fungsi genap, ganjil atau
bukan keduanya.
P : Coba kamu jelaskan lembar jawaban kamu pada saat tes?(sambil menunjukkan kertas lembar
jawaban).
S : Emmm….saya tidak tahu juga prosesnya bagaimana, tapi saya buat yang nomor a itu termasuk
fungsi ganjil karena pada fungsi tersebut terdapat angka 3 dan angka 3 itu termasuk angka
ganjil, makanya saya buat yang nomor a adalah fungsi ganjil.
Kalau fungsi yang b itu saya buat fungsi genap, karena ada angka 2 pada fungsi tersebut.

69
P : Menurut anda, apa yang dimaksud dengan fungsi genap?
S : Kalau fungsi genap berarti pada fungsi itu harus ada angka genap.
P : Kalau pengertian fungsi ganjil, bagaimana?
S : fungsi ganjil berarti pada fungsi itu harus ada angka ganjil pak.
P : Kamu yakin dengan jawaban kamu?
S : Yakin pak.

Dari hasil tes dan wawancara, FI mengalami kesalahan konsep, yaitu salah dalam menentukan fungsi
genap dan fungsi ganjil karena FI cuma menuliskan jawaban tanpa membuat alas an. Kesalahan ini
disebabkan oleh FI tidak menguasai konsep fungsi genap dan fungsi ganjil. Dengan demikian, FI
melakukan kesalahan konsep. Penyebabnya belum memahami konsep fungsi genap dan fungsi ganjil.
Nama siswa FR
Soal nomor 4
a) Jawaban tes:

b) Petikan wawancara
P : Coba kamu perhatikan jawaban yang no 4, coba kamu jelaskan mengapa gambar (I) fungsi
surjektif, gambar (II) fungsi bijektif dan gambar (III) fungsi injektif ?
S : Gambar (I) saya buat surjektif karena semua anggota dari himpunan A mempunyai relasi ke
himpunan B yang berpasangan, jadi tidak saling silang.
Gambar (II) itu saya buat fungsi bijektif, karena ada 2 anggota himpunan A yang berelasi ke
satu anggota himpunan B, kalau bercabang- cabang itu disebut fungsi bijektif.
Gambar (III) itu fungsi injektif, karena dari himpunan B ada yang tidak berelasi ke himpunan
A. Jadi kalau ada yang kosong itu fungsi injektif pak.
P : Jadi menurut kamu apa pengertian dari fungsi surjektif?
S : Kalau pengertiannya saya tidak paham betul pak, karena sewaktu saya menjawab saya
menganalisa soal, kalau surjektif itu menunjuk ke suatu subjek, jadi berpasang- pasangan.
P : pengertian dari fungsi bijektif?
S : Kalau bijektif itu ada kata- kata bi yang artinya dua, jadi ada dua yang bercabang.
P : pengertian fungsi injektif?
S : Kalau injektif itu karena surjektif dan bijektifnya sudah ada, maka yang tinggal injektif pak.

Dari hasil tes dan wawancara diperoleh FR melakukan kesalahan konsep, yaitu tidak bisa
membedakan antara ketiga diagram fungsi surjektif, fungsi injektif dan fungsi bijektif. Hal ini
disebabkan karena siswa tidak menguasai konsep fungsi surjektif, fungsi injektif, dan fungsi bijektif.
Dengan demikian, FR mengalami kesalahan konsep. Penyebabnya siswa tidak menguasai konsep fungsi
surjektif, fungsi injektif dan fungsi bijektif.

3) Kesalahan Siswa dalam Menentukan Rumus Fungsi Invers dan Invers Fungsi Komposisi.

Soal yang berkaitan dengan kesalahan ini adalah soal nomor 7 dan 8. Siswa yang diwawancarai ternyata
masih belum terampil menentukan rumus invers, dan juga belum dapat menentukan invers dari fungsi
komposisi. Di bawah ini disajikan hasil tes, petikan wawancara serta analisis hasil data tersebut.

70
Nama siswa RA
Soal nomor 7b
a) Jawaban Tes

b) Petikan Wawancara
P : Mengapa kamu tidak menjawab soal no 7b?
S : Tidak tau pak.
P : Mengapa kamu tidak tahu, apakah kamu tidak memahami maksud soal ?
S : Saya tidak tahu cara mencarinya, karena soalnya f(x + 2) pak, bukan f(x) saja.
P : Kamu tahu cara mencari rumus untuk fungsi invers?
S : Tahu pak, misalkan dulu f(x) itu dengan y, kemudian nanti kalau sudah dapat hasil ditukar
lagi nilai y dengan nilai x.
P : Perhatikan soal no 7b, mana yang menjadi f(x) nya?
S : Tidak ada pak, harus dicari dulu dari f(x + 2) itu. Tapi saya tidak bisa pak.

Dari hasil wawancara diperoleh data bahwa siswa RA memahami prinsip menentukan fungsi invers,
tetapi siswa tidak memahami operasi untuk mencari f(x) dari f(x + 2). Dengan demikian, RA mengalami
kesalahan operasi disebabkan karena siswa belum memahami cara mencari mengoperasikan f(x + 2)
untuk mendapatkan f(x) supaya bisa dicari inversnya.
Nama siswa FR
Soal nomor 8
a) Jawaban tes

b) Petikan wawancara
P : Coba kamu perhatikan jawaban no 8, apakah kamu masih setuju dengan jawaban kamu?
S : Masih pak.
2𝑥+5
P : Bagaimana cara kamu mencarinya sehingga kamu dapatkan hasil 3
S : Untuk langkah pertama saya cari f invers dulu, kemudian saya cari g invers, lalu baru saya
2𝑥+5
gabung, sehingga di dapat 3 .
P : Coba kamu buat penguraian rumus (g ◦ f)-1(x)!
S : Siswa menuliskan (g-1 ◦ f-1)(x) = g-1(f-1(x)).
P : Kamu yakin (g-1 ◦ f-1)(x) = g-1(f-1(x)).?
S : Yakin pak, sama.

71
Dari hasil wawancara diperoleh data bahwa siswa FR mengalami kesalahan prinsip, yaitu tidak
memahami prinsip invers fungsi komposisi. Dengan demikian, FR mengalami kesalahan prinsip
disebabkan karena siswa belum memahami prinsip invers fungsi komposisi.

5. Simpulan dan Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan kesalahan siswa dalam menyelesaikan
soal-soal fungsi adalah: (1) kesalahan konsep, yang meliputi: konsep fungsi, konsep jenis- jenis fungsi
dan sifat- sifat fungsi, dan konsep daerah asal fungsi, (2) kesalahan prinsip, yang meliputi: prinsip rumus
fungsi invers, dan prinsip rumus invers fungsi komposisi, (3) kesalahan operasi yang meliputi: :
kesalahan dalam operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian dalam perhitungan
fungsi; dan (4) kesalahan verbal, yaitu kesalahan karena kecorobohan siswa soal cerita tentang fungsi.
Faktor penyebab kesalahan siswa adalah: (1) belum memahami definisi fungsi, definisi fungsi injektif,
surjektif dan bijektif, fungsi genap, fungsi ganji, (2) belum mahir dalam perhitungan aljabar, (3) belum
mahir dalam menggunakan prinsip fungsi invers dan langkah-langkah menentukan fungsi invers dan
invers fungsi komposisi.

Dari simpulan, diharapkan kepada guru matematika, dosen untuk selalu memperhatikan terhadap
pemahaman siswa/mahasiswaa terhadap suatu materi fungsi dan materi lain dalam pelajaran
matematika. Sehingga dapat diperbaiki kesalahan-kesalahan tersebut dalam proses pembelajaran.

Daftar Pustaka

Ali, Mohammad. (1985). Penelitian Pendidikan Prosedur Srategi. Bandung: Angkara.

Arikunto, Suharsimi. (1995). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Depdiknas, (2008). Perangkat Pembelajaran Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Sekolah
Menengah Atas. Jakarta: Depdiknas.

Fitriana, Yulia. (2005). Kesulitan Siswa Kelas II SMP Negeri 6 Banda Aceh dalam Memahami Materi
Fungsi Tahun Pelajaran 2005/2006. Banda Aceh : FKIP Unsyiah.

Hamalik, Oemar. (1995). Kurikulum Pembelajaran. Jakarta: Bina Aksara.

Hudoyo, Herman. (1979). Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya di Depan Kelas.
Surabaya: Usaha Nasional.

Karso, dkk. (1993). Dasar-Dasar Pendidikan MIPA UT. Jakarta : Depdikbud.

Marzuki. (2009). Penguasan Materi Integral Siswa Kelas III IPA MAN Darussalam Banda Aceh Tahun
pelajaran 2009/ 2010. Banda Aceh: FKIP Unsyiah.

Miksalmina. (2010). Penguasaan Siswa Pada Materi Trigonometri Kelas XI IPA Man Darussalam
Aceh Besar Tahun Pelajaran 2009/2010. Banda Aceh: FKIP Unsyiah.

Nana, Sudjana. (1985). Komponen Dasar dalam Pembinaan Kurikulum. Jakarta : Gramedia.

Nurkancana, Wayan dan Sumartana. (1981). Evaluasi Ilmu Pendidikan. Surabaya : Usaha Nasional.

Rusfendi. (1977). Pengantar Matematika Modern. Bandung : Transito.

Sagala, Viktor. (2001). Konsepsi Fungsi Siswa SMU Ciputra Surabaya. Makalah Konprehensif
Pascasarjana IKIP Surabaya.

Slameto. (2003). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta., Rineka Cipta

Sujana. (1988). Evaluasi Hasil Belajar dan Umpan Balik. Jakarta: Gramedia.

72
Tim Penyusun Kamus. (1991). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.

Winkel, W.S. (1986). Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bina Aksara.

Wirodikromo, S. (2007). Matematika untuk SMA Kelas XI. Jakarta: Erlangga.

73
PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL (CTL) PADA MATERI
SEGIEMPAT DI KELAS VII SMP NEGERI 1 BANDA ACEH
Dhelsy Nahraisyah Azma1, Erni Maidiyah2, dan Usman2
1
Departemen Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
Email: dhelcyneezudiensprinces@yahoo.com
2
Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Abstrak. Pendekatan kontekstual (CTL) merupakan suatu konsep belajar dimana guru
menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan
mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Penelitian ini mengangkat masalah
apakah dengan penerapan pendekatan kontekstual (CTL) pada materi segiempat hasil
belajar siswa di kelas VII SMP Negeri 1 Banda Aceh dapat mencapai taraf berhasil ?.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui hasil belajar siswa melalui penerapan
pendekatan kontekstual (CTL) pada materi segiempat di kelas VII SMP Negeri 1 Banda
Aceh. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pre-eksprerimental
dengan desain the one shot case study. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas
VII SMP Negeri 1 Banda Aceh dan sampel diambil secara random satu kelas yaitu kelas
VII-1 yang berjumlah 23 siswa. Materi yang diajarkan adalah segiempat. Teknik
Pengumpulan data dilakukan dengan tes, observasi kemampuan guru mengelola
pembelajaran, observasi aktivitas siswa dan respon siswa. Selanjutnya data dianalisis
dengan menggunakan uji-t. Berdasarkan perhitungan tes akhir diperoleh 𝑥̅ = 84,32 dan s
= 10,75. Analisis data dengan menggunakan uji chi-kuadrat diperoleh  <  (1-α)(k-
2 2

3) , yaitu 1,89 < 3,84, berarti sebaran data mengikuti distribusi normal. Dalam penelitian
ini diambil 𝜇0 = 80 (berdasarkan standar KKM di SMP Negeri 1 Banda Aceh) dengan
taraf signifikan α = 0,05 dan derajat kebebasan dk = n-1 = 22 sehingga diperoleh t > t1-α
yaitu 1,92 > 1,71, hipotesis H0 ditolak. . Berdasarkan hasil analisis data dapat
disimpulkan bahwa hasil belajar siswa melalui penerapan pendekatan kontekstual (CTL)
pada materi segiempat di kelas VII SMP Negeri 1 Banda Aceh sudah mencapai taraf
berhasil. (2) Bagaimana aktivitas siswa selama pembelajaran? (3) Bagaimana Respon
siswa terhadap proses pembelajaran?

Kata kunci: Pendekatan Kontekstual, Hasil Belajar, Segiempat

1. Pendahuluan

Matematika merupakan salah satu bidang studi yang diajarkan secara eksplisit mulai dari tingkat taman
kanak – kanak hingga perguruan tinggi. Matematika yang diajarkan tersebut terdiri dari bagian
matematika yang dipilih dalam usaha meningkatkan perkembangan IPTEK. Pembelajaran matematika
akan melatih kemampuan berpikir kritis, logis, analitis dan sistematis, sehingga manusia dapat
menemukan ide – ide baru yang berguna bagi perkembangan teknologi untuk menuju kehidupan
manusia yang lebih baik.

Sehubungan dengan peranan matematika yang amat penting dalam perkembangan IPTEK, maka
matematika merupakan salah satu bidang studi yang wajib dipelajari mulai dari taman kanak – kanak
hingga perguruan tinggi. Tujuan pelajaran matematika dalam KTSP (2006:417) antara lain
1. memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan
konsep atau logaritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
2. menggunakan penalaran pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat
generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model
matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
4. mengkomunikasikan gagasan dan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas
keadaan atau masalah.

74
5. memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memilki rasa ingin
tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri
dalam pemecahan masalah.

Berdasarkan uraian di atas tujuan matematika adalah menekankan pada kemampuan memahami
pengetahuan dasar siswa untuk mencapai tujuan matematika yang tercantum dalam Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan, dimana kurikulum menyarankan untuk setiap kesempatan pembelajaran matematika
hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contekstual problem)
peserta didik. Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing untuk
menguasai konsep matematika dan membuat peserta didik lebih aktif dalam pembelajaran. Disamping
itu, matematika dapat digunakan untuk menganalisa dan menyederhanakan berbagai masalah baik untuk
ilmu pendidikan itu sendiri maupun masalah-masalah yang timbul di dalam masyarakat.

Kenyataannya di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan matematika siswa selama ini belum
menunjukkan hasil yang menggembirakan. Itu bisa kita lihat di saat UTS dan akhir semester, siswa yang
mendapat nilai diatas KKM kurang dari 70%. Seperti yang diketahui, banyak siswa menganggap
matematika hanyalah mata pelajaran yang membosankan, tidak menyenangkan dan tidak ada keinginan
untuk berperan secara aktif di saat pembelajaran berlangsung sehingga mengakibatkan hasil belajar
siswa selama ini cenderung belum mencapai taraf berhasil.

Materi segiempat adalah salah satu dari bagian geometri yang sulit di pahami, dimana objek yang
dibicarakan adalah benda yang sifat-sifatnya abstrak, sehingga pada waktu membicarakan objek
tersebut didalam kegiatan pembelajaran dalam kelas perlu ditunjukkan kepada siswa dalam bentuk
benda yang nyata berupa model atau gambar dari benda yang dimaksud.

Salah satu pendekatan yang dapat membuat peserta didik lebih aktif dan dapat menumbuhkan motivasi
untuk mempelajari matematika yaitu dengan menggunakan pendekatan kontekstual (CTL). Nurhadi
(2004:4) mengatakan “Pendekatan kontekstual merupakan suatu konsep belajar dimana guru
menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga
dan masyarakat”. Hal ini senada dengan pendapat Johnson (2006 : 91) mengatakan bahwa ketika murid
dapat mengaitkan isi dari mata pelajaran akademik seperti matematika, ilmu pengetahuan alam, atau
sejarah dengan pengalaman sendiri, mereka menemukan makna, dan makna memberi mereka alasan
untuk belajar.

Berdasarkan latar belakang diatas penulis mengangkat judul penelitian tentang “Penerapan
Pendekatan Kontekstual (CTL) Pada Materi Segiempat Di Kelas VII SMP Negeri 1 Banda
Aceh.”

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah penerapan pendekatan kontekstual
(CTL) pada materi segiempat siswa di kelas VII SMP Negeri 1 Banda Aceh dapat mencapai taraf
berhasil ?, (2) Bagaimana aktivitas siswa selama pembelajaran?, (3) Bagaimana Respon siswa terhadap
proses pembelajaran?

2. Tinjauan Pustaka
Pendekatan kontekstual

Pendekatan kontekstual merupakan suatu konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia
nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Nurhadi,
2004:4).

Komponen pendekatan kontekstual (CTL)

1) Konstruktivisme
Menurut Nurhadi (2004:33) Konstruktivisme (constructivism) merupakan landasan berfikir (filosofi)
pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang
hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong – konyong.pengetahuan

75
bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia
harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.

Selanjutnya Trianto (2009:120) Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun


pengetahuan baru dalam unsur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Esensi dari teori
konstruktivisme adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi
kompleks ke situasi yang lain, dan apabila dikehendaki informasi itu menjadi milik mereka sendiri.
Dengan dasar ini pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima
pengetahuan.

2) Menemukan (Inkuiri)
Menurut Nurhadi (2004:43) sebagaimana dikemukakan sebelumnya, menemukan merupakan bagian
inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual. Pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh
siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta – fakta, tetapi juga hasil dari menemukan
sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apa pun materi
yang diajarkannya.

3) Bertanya (Questioning)
Menurut Nurhadi (2004: 45) Questioning (Bertanya) adalah induk dari strategi pembelajaran
kontekstual, awal dari pengetahuan, jantung dari pengetahuan, dan aspek penting dari pembelajaran.
Orang bertanya karena ingin tahu, menguji, mengkonfirmasi, memapersepsi, mengarahkan/mengiring,
mengaktifkan skemata, men-judge, mengklarifikasi, memfokuskan, dan menghindari kesalahpahaman.

Menurut Nurhadi (2004: 45) Pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang bermula dari bertanya, karena
bertanya merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis pendekatan CTL. Bertanya dalam
pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing,dan menilai
kemampuan berfikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam
melaksanakan pembelajaran berbasis inkuiri, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang
yang belum diketahuinya.

4) Masyarakat belajar (Learning Community)


Menurut Nurhadi (2004:48) Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran
diperoleh dari hasil kerjasama dengan orang lain berupa sharing antar teman, antar kelompok dan antara
yang tahu ke yang belum tahu. Selanjutnya Menurut Nurhadi (2004:49) kalau setiap orang mau belajar
dari orang lain, maka setiap orang lain bisa menjadi sumber belajar, dan ini berarti setiap orang akan
sangat kaya dengan pengetahuan dan pengalaman. Metode pembelajaran dengan tekhnik “learning
community” ini sangat membantu proses pembelajaran di kelas.

5) Pemodelan (Modeling)
Menurut Nurhadi (2004: 49) pemodelan adalah sebuah pembelajaran ketrampilan atau pengetahuan
tertentu, ada model yang bisa ditiru.pemodelan pada dasarnya membahasakan gagasan yang dipikirkan,
mendemonstrasikan bagaimana guru inginkan agar siswa-siswanya melakukan. Pemodelan dapat
berbentuk demonstrasi, pemberian contoh tentang konsep atau aktivitas belajar. Selanjutnya menurut
Nurhadi (2004: 50) Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Model dapat
dirancang dengan melibatkan siswa.

6) Refleksi
Menurut Nurhadi (2004: 61) refleksi adalah cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir
ke belakang apa-apa saja yang sudah kita lakukan di masa yang lalu. Refleksi merupakan gambaran
terhadap kegiatan atau pengetahuan yang baru saja diterima. Siswa mngendapkan apa yang baru
dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari
pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan
yang baru diterima.

7) Penilaian sebenarnya (Aunthenthic Assesment)


Menurut Nurhadi (2004: 52) Aunthenthic Assesment adalah prosedur penilaian pada pembelajaran
kontekstual, prinsip yang dipakai dalam penilaian serta ciri-ciri penilaian autentik adalah sebagai
berikut: (1) Harus mengukur semua aspek pembelajaran: proses, kinerja, dan produk, (2) Dilaksanakan

76
selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung, (3) Menggunakan berbagai cara dan berbagai
sumber, (4) Tugas-tugas yang diberikan kepada siswa harus mencerminkan bagian-bagian kehidupan
siswa yang nyata setiap hari, mereka harus dapat menceritakan pengalaman atau kegiatan yang mereka
lakukan setiap hari, (5) Penilaian harus menekankan kedalam pengetahuan dan keahlian siswa, bukan
keluasannya (kuantitas).

Hasil belajar siswa

Pada umumnya hasil belajar dapat dikelompokkan menjadi tiga ranah yaitu ranah kognitif, afektif dan
psikomotor. Menurut Arikunto (2010:117) mengatakan ada 3 ranah atau domain besar, yang terletak
pada tingkatan ke-2 yang selanjutnya disebut taksonomi yaitu: (1) Ranah kognitif (cognitive domain),
(2) Ranah afektif (affective domain), (3) Ranah psikomotor (psychomotor domain).

Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, terlebih dahulu pembelajaran dilakukan dengan
menerapkan pendekatan kontekstual (CTL) pada materi segiempat. Pada akhir pertemuan, diadakan tes
untuk uji kemampuan. Data tes hasil belajar diperoleh dengan cara memberikan tes berbentuk essay.
Soal tersebut terdiri dari 5 butir soal denga skor maksimal 100, setiap soal skornya berbeda menurut
tibgkat kesukaran soal, waktu yang digunakan untuk menyelesaikna soal tes adalah 2 x 45 menit.

Aktivitas siswa

Lembar observasi ini digunakan untuk memperoleh data tentang aktivitas siswa selama pembelajaran .
Lembar observasi aktivitas siswa diberikan kepada pengamat ketika guru sedang melaksanakan
pendekatan (CTL) untuk diisi setiap 5 menit dengan menuliskan kode atau nomor kategori aktivitas
siswa yang sesuai.

Respon siswa

Angket respon siswa digunakan untuk mengetahui sikap, minat dan respon siswa terhadap pembelajaran
pendekatan kontekstual (CTL) pada materi segiempat yang telah mereka ikuti. Angket ini diberikan
setelah semua kegiatan pembelajaran dan evaluasi selesai dilakukan.

Materi segiempat

Segiempat merupakan salah satu materi yang diajarkan di kelas VII semester genap. Adapun materi
segiempat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah persegi panjang, persegi, jajargenjang, trapesium,
belah ketupat dan layang - layang.

Penerapan pendekatan kontekstual (CTL) pada materi segiempat

Ada tiga langkah penerapan pendekatan kontekstual pada materi segiempat, yaitu:
Kegiatan awal
Menyampaikan tujuan, memotivasi siswa.
 Guru mengajukan pertanyaan mengenai bentuk – bentuk bangun segiempat yang ada dalam
kehidupan sehari-hari siswa.
 Siswa memperhatikan benda – benda yang berbentuk segiempat yang di perlihatkan oleh guru.
(modelling)
 Guru menyampaikan manfaat dan tujuan pembelajaran.

Kegiatan inti
Eksplorasi
 Siswa mengamati benda – benda yang berbentuk segiempat yang di perlihatkan oleh guru
untuk menemukan sifat – sifat, pengertian, keliling dan luas segiempat. (Inguiry).
 Siswa duduk dalam kelompok belajar yang telah diorganisasikan oleh guru yang terdiri dari 4-
5 orang secara heterogen. (Learning Community)
Elaborasi
 Masing – masing kelompok mendapatkan LKS dari guru

77
 Menjelaskan cara mengerjakan LKS dan bertanggung jawab dengan kelompok (modelling)
 Meminta siswa memahami LKS dan memberikan kesempatan siswa bertanya jika ada yang
belum bisa memahami LKS. (Questioning)
 Siswa secara kelompok menyelesaikan permasalahan yang ada pada LKS untuk menggali
informasi baru sehingga dapat menemukan konsep-konsep dalam mendefinisikan dan
menghitung keliling serta luas segiempat. (Contructivisme dan Inquiry)
 Guru membimbing siswa dalam kelompok untuk menyelesaikan masalah yang ada dalam LKS
dan meminta kepada siswa untuk saling bekerjasama
Konfirmasi
 Guru meminta masing-masing kelompok menyiapkan hasil kerja diskusi .
 Salah satu perwakilan kelompok mempresentasikan hasil kerja kelompok di depan kelas.
(Reflection)
 Siswa dari kelompok lain diberikan kesempatan untuk bertanya atau memberikan tambahan
jawaban. (Questioning)
 Guru mengevaluasi proses hasil belajar, merespon diskusi, meluruskan kesalahan pemahaman
dan memberikan penguatan. (Authentic Assesment)

Kegiatan akhir
 Siswa menyimpulkan materi yang dipelajari pada hari ini dengan dibimbing guru.
 Guru memberikan tugas dirumah sebagai latihan dan memberitahu materi yang akan dibahas
untuk pertemuan selanjutnya.

3. Metode

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Sugiyono (2013: 14) mengatakan bahwa metode
penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat
positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, teknik pengambilan sampel
pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian. Jenis
penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan Pre-Eksperimental design. Dan bentuk Pre-
Eksperimental design yang dimaksud adalah one shot case study (studi kasus satu tembakan).

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 1 Banda Aceh. Sampel
penelitian ini diambil secara simple random sampling. Dan yang menjadi sampel dalam penelitian ini
adalah kelas VII-I yang diambil secara random yang berjumlah 23 siswa dari delapan kelas yang
tersedia.

Setelah data diperoleh, tahap berikutnya adalah tahap pengolahan data.. Pengolahan data dalam
penelitian ini menggunakan uji-t.

1) Data hasil belajar siswa

Untuk keperluan analisis terlebih dahulu ditentukan:


Nilai rata-rata (𝑥̅ ) varians (s2) dan simpangan baku (s).
Selanjutnya di uji normalitas sebaran data dengan menggunakan uji chi-kuadrat. Adapun uji chi-kuadrat
menurut Sudjana (2002:273) adalah:

𝑘
2
(𝑂𝑖 − 𝐸𝑖 )2
𝜒 =∑
𝐸𝑖
𝑖=1
Keterangan :
𝜒2 = statistik chi-kuadrat
𝑂𝑖 = frekuensi pengamatan
𝐸𝑖 = frekuensi yang diharapkan

78
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji-t pihak kanan dengan taraf signifikan
α=0,05. Pengujiannya adalah rata-rata µ0, pasangan hipotesis nol dan tandingannya adalah:
Ho : 𝜇 = 0 Penerapan pendekatan kontekstual (CTL) pada materi segiempat di kelas VII SMP N 1
Banda Aceh belum mencapai taraf berhasil.
Ha : 𝜇 > 0 Penerapan pendekatan kontekstual (CTL) pada materi segiempat di kelas VII SMP
N 1 Banda Aceh sudah mencapai taraf berhasil.
Pengujian hipotesis digunakan statistik uji-t. Menurut Sudjana (2002:227) rumus uji-t tersebut adalah:
𝑥̅ − 𝜇0
𝑡= 𝑠
√𝑛
Dengan keterangan:
̅𝑥 = rata-rata sampel
s = simpangan baku
𝜇0= 80, didasarkan pada KKM mata pelajaran matematika di SMP Negeri 1Banda Aceh.

2) Data aktivitas siswa


Data aktivitas siswa selama pembelajaran dianalisis dengan menggunakan rumus persentase.

3) Data respon siswa


Menurut Mukhlis (2005:79), “presentase dari setiap respon siswa diperoleh dengan membagi jumlah
respon siswa tiap aspek yang muncul dengan jumlah seluruh siswa dikali searatus persen”. Secara
sistematis presentase dari setiap respon dapat ditulis:
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑟𝑒𝑠𝑝𝑜𝑛 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎 𝑠𝑒𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑎𝑠𝑝𝑒𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑢𝑛𝑐𝑢𝑙
× 100 %
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎

4. Hasil dan Pembahasan

1) Deskripsi hasil belajar siswa

Berdasarkan perhitungan sebelumnya, untuk nilai tes siswa dengan pendekatan kontekstual diperoleh 𝑥̅
= 84,32 dan s = 10,75. Dalam hal lain yang menjadi hipotesis Ho adalah sampel sebarannya mengikuti
distribusi normal. Kriteria pengujian adalah: “Tolak H0 jika 2 ≥
2
(1-α)(k-3) dengan  sebagai taraf
nyata untuk pengujian. Dalam hal lainnya, H0 terima. Oleh karena  <  (1-α)(k-3) yaitu 1,89 < 3,84,
2 2

maka H0 diterima dan dapat disimpulkan bahwa sebaran data tes siswa SMP Negeri 1 Banda Aceh
mengikuti distribusi normal.

Dengan taraf signifikan  = 0,05 dan derajat kebebasan dk = (n-1) = (23-1) = 22 maka melalui daftar
distribusi t diperoleh t(0,95)(23) = 1,71. Kriteria pengujian adalah tolak Ho jika t ≥ t1-α dan terima Ho dalam
hal lainnya. Oleh karena t > t1-α yaitu 1,92 > 1,71, maka Ho ditolak, akibatnya Ha diterima. Dengan
demikian hipotesis yang berbunyi “Penerapan pendekatan kontekstual (CTL) pada materi segi empat di
kelas VII SMP Negeri 1 Banda Aceh sudah mencapai taraf berhasil”, diterima.

2) Deskripsi aktivitas siswa

Secara keseluruhan, aktifitas siswa yang peneliti amati selama proses belajar mengajar dengan
pendekatan kontekstual adalah aktif. Sudah mempunyai keinginan untuk bertanya, menanggapi dan
lain sebagainya. Meskipun peneliti menemukan 3-4 siswa yang kurang aktif selama mengikuti
pembelajaran. Disamping itu, peneliti juga menemukan bahwa ada siswa yang kurang memahami
perbedaan tentang keliling dan luas segiempat, karena mereka masih terbalik pada saat menjawab soal
LKS. Aktifitas siswa selama proses pembelajaran berada pada efektifitas yang ditentukan sehingga bisa
dikatakan aktifitas siswa selama mengikuti pembelajaran di kelas berada pada kategori efektif.

3) Deskripsi hasil respon siswa

Minat siswa terhadap diskusi kelompok yang diadakan pada setiap pertemuan menunjukan angka 95,6%
siswa merasa tidak takut ketika kelompoknya dipanggil untuk mempresentasikan hasil kerja mereka

79
didepan kelas. Hal ini mengindikasikan adanya respon positif siswa terhadap pembelajaran bidang datar
segiempat melalui penerapan pendekatan kontekstual (CTL).

5. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa: penerapan pendekatan kontekstual (CTL)
pada materi segi empat di kelas VII SMP Negeri 1 Banda Aceh sudah mencapai taraf berhasil. Hal ini
terlihat dari (1) aktifitas siswa selama proses pembelajaran berada pada efektifitas yang ditentukan
sehingga bisa dikatakan aktifitas siswa selama mengikuti pembelajaran di kelas berada pada kategori
efektif, (2) respon siswa positif, karena untuk setiap aspek yang direspon 95,6% siswa memberikan
tanggapan positif.

Daftar Pustaka

Arikunto, Suharsimi. 2010. Dasar – Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi) Jakarta:Bumi Aksara.
Depdiknas. 2006. Kurikulum Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika Sekolah
Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jakarta : Balitbang.
FKIP. Universitas Syiah Kuala. 2012 . Pedoman Penulisan Skripsi. Banda Aceh.
UniversitasSyiah Kuala
Johnson, Elaine. 2006. Contekstual Teaching & Learning. Bandung : Kaifa
Mukhlis. 2005. Pembelajaran Matematika Realistik Untuk Materi Pokok Perbandingan
di Kelas VII SMP Negeri 1 Pailangan. PPS3 UNESA.
Nurhadi, dkk.2004. Kurikulum 2004 Pertanyaan dan Jawaban. Jakarta: Gramedia.
Sudjana.2002.Metoda Satatistika. Bandung: Tarsito.
Sugijono. dkk . 2007. Matematika Untuk SMP kelas VII B. Jakarta : Erlangga
Sugiyono.2013. Metode Penelitian pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif – Progresif.

80
PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP PRESTASI
BELAJAR MATEMATIKA SISWA DI KELAS X SMA NEGERI
MODAL BANGSA

Elsa Rahmah1, Erni Maidiyah2, dan Johan Yunus2


1
Departemen Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
Email: elsamath24@gmail.com
2
Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala

Abstrak. Proses belajar di sekolah merupakan proses yang sifatnya kompleks dan
menyeluruh. Kebanyakan dalam proses belajar itu hanya berpusat pada kecerdasan akal
atau sering disebut dengan intelegence quotient (IQ) padahal yang diperlukan sebenarnya
adalah bagaimana mengembangkan emotional quotient (EQ), seperti kemampuan
seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri,
mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan
(kerjasama) dengan orang lain. Dalam hal ini, berdasarkan hasil pengamatan di sekolah
bahwa ada siswa memiliki IQ tinggi mendapat prestasi rendah dan sebaliknya IQ rendah
mendapat prestasi tinggi. Banyak faktor yang mempengaruhi prestasi belajar selain
kecerdasan intelektual seperti kecerdasan emosional. Mengingat pernyataan tersebut,
peneliti melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap
Prestasi Belajar Matematika Siswa di Kelas X SMA Negeri Modal Bangsa”.Tujuan
penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui pengaruh kecerdasan emosional terhadap
prestasi belajar matematika siswa di kelas X SMA Negeri Modal Bangsa dan (2) untuk
mengetahui hubungan antara kecerdasan emosional dan prestasi belajar siswa di kelas X
SMA Negeri Modal Bangsa. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan
menggunakan sampel siswa kelas X SMA Negeri Modal Bangsa sebanyak 27 siswa.
Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket dalam
bentuk skala Likert dan dokumentasi. Uji validitas menunjukkan jumlah item yang valid
untuk skala kecerdasan emosional berjumlah 36 item dan 14 yang tidak valid. Pengolahan
data dilakukan dengan menggunakan rumus korelasi product-moment dari Pearson dan
hipotesis di uji dengan menggunakan statistik uji-t. Hasil perhitungan korelasi diperoleh
r = 0,4152 dan hipotesis yang di uji dengan taraf signifikan α = 0,05 dan dk = 27 – 2 =
25, diperoleh thitung > ttabel yaitu 2,28 > 1,71. Dengan demikian H0 ditolak sehingga dapat
disimpulkan bahwa“Terdapat pengaruh yang signifikan antara kecerdasan emosional
terhadap prestasi belajar matematika siswa di kelas X SMA Negeri Modal Bangsa”. Hasil
perhitungan korelasi tersebut menunjukkan bahwa terdapat korelasi/ hubungan positif
sedang antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar matematika siswa di kelas X
SMA Negeri Modal Bangsa.

Kata kunci: kecerdasan emosional, prestasi belajar

1. Pendahuluan

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang menduduki peranan penting dalam pendidikan.
Walaupun pendidikan bukan pengetahuan saja yang diprioritaskan namun sikap dan keterampilan juga
merupakan hal yang penting. Kebanyakan program pendidikan hanya berpusat pada kecerdasan akal
atau sering disebut dengan intelegence quotient (IQ) padahal yang diperlukan sebenarnya adalah
bagaimana mengembangkan kecerdasan hati, seperti ketangguhan, inisiatif, optimisme, kemampuan
beradaptasi yang kini telah menjadi dasar penilaian baru.

Kurikulum 2013 yang sudah diterapkan di beberapa sekolah di Banda Aceh adalah salah satu hal yang
penting dalam meningkatkan kemampuan emosional, kurikulum 2013 tidak serta merta pengetahuan
saja yang dinilai melainkanpenilaian diri, penilaian teman sejawat, pengamatan/observasi dan lain-lain.
Kurikulum 2013 tentunya bertujuan untuk menghadapi tantangan global, karena kurikulum berkaitan
dengan standar isi. Ditambahkan, tujuan kurikulum 2013 adalah menghasilkan siswa yang selalu
bertanya akan sesuatu hal atau meningkatkan jiwa kritis dalam diri siswa. Sementara dasar kurikum
2013 adalah attitude dan aktualisasi diri.

81
Kami dapatkan kondisi siswadi SMA Negeri Modal Bangsaketika dia berada dibangku SMP merupakan
juara umum tetapi di sekolah ini biasa-biasa saja dan bahkan saat ulangan harian matematika nilai
ketuntasannya tidak memenuhi. Akhirnya harus mengikuti remedial, hal ini membuat kami ingin
mengetahui lebih lanjut mengenai kondisi yang dialami siswa tersebut.

Banyak hal yang membuat siswa seperti pernyataan di atas, terkadang menyikapi kondisi lingkungan
merasa belum siap. Apalagi siswayang masih bersosialisasi dengan keluarga baru di asrama SMA
Negeri Modal Bangsa. Rasa kecewa, malu, amarah, dan perasaan-perasaan negatif lain bersumber pada
ketidakmampuan anak mengenali dan mengelola emosi,serta memotivasi diri.

Kecerdasan emosional siswa memiliki pengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Kecerdasan emosional
ini mampu melatih kemampuan untuk mengelola perasaannya, kemampuan untuk memotivasi dirinya,
kesanggupan untuk tegar dalam menghadapi frustasi, kesanggupan mengendalikan dorongan dan
menunda kepuasan sesaat, mengatur suasana hati yang reaktif, serta mampu berempati dan bekerja sama
dengan orang lain. Kecerdasan ini yang mendukung seorang siswa dalam mencapai tujuan dan cita-
citanya.

Perbedaan yang paling penting antara IQ dan EQ yaitu EQ tidak begitu dipengaruhi oleh faktor
keturunan, sehingga membuka kesempatan bagi orang tua dan para pendidik untuk melanjutkan apa
yang sudah disediakan oleh alam agar anak mempunyai peluang besar untuk meraih prestasi. Walaupun
otak emosi dan otak logika sering manjalankan fungsi-fungsi yang berbeda dalam menentukan perilaku
kita, namun keduanya saling bergantung. Bagian otak pengatur emosi bereaksi lebih cepat dan lebih
kuat.

Emosi mempunyai peran khusus dalam perkembangan seorang anak untuk menjadi manusia dewasa
yang bahagia dan berhasil. Kita juga tahu bahwa perkembangan emosi bisa kearah yang sangat buruk,
yang membuatnya menderita akibat berbagai masalah baik pribadi maupun sosial. Mengajari anak
memahami dan mengkomunikasikan emosinya akan mempengaruhi banyak aspek dalam
perkembangan dan keberhasilan hidup mereka.

Di sekolah, siswa SMA mengalami proses pembelajaran matematika,meskipun belajar matematika


merupakan suatu proses pembentukankonstruksi kognitif yang dialami oleh masing‐masing siswa,
tetapi dalamprosesnya siswa tidak lepas dari pengendalian dan pengelolaan emosidiri. Siswa
berkomunikasi dengan teman, guru di dalam kelas dan kepeduliansatu sama lain merupakan bentuk
emosi dalam kelas yang baik.

Pengelolaan emosi yang selanjutnya dinamakan sebagai kecerdasan emosional yang tinggi akan
berpengaruh terhadap cara‐cara siswa dalam belajar matematika. Sehingga diduga bahwa kecerdasan
emosional yang tinggi merupakan salah satu faktor penentuan prestasi belajar matematika siswa.

Berdasarkan uraian diatas, kami ingin mengadakan penelitian dengan judul “Pengaruh Kecerdasan
Emosional terhadap Prestasi Belajar Matematika Siswa di Kelas X SMA Negeri Modal Bangsa”.

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah kecerdasan emosional berpengaruh
terhadap prestasi belajar matematikasiswa di kelas X SMA Negeri Modal Bangsa dan bagaimana
hubungan antara kecerdasan emosional dan prestasi belajar matematikasiswa di kelas X SMA Negeri
Modal Bangsa.

2. Tinjauan Pustaka

Prestasi belajar

Dalam dunia pendidikan dan pengajaran, prestasi belajar memegang peranan penting. Prestasi belajar
pada dasarnya merupakan hasil yang telah dicapai oleh siswa melalui kegiatan belajar, yang dapat
dilakukan secara individu dan secara kelompok. Prestasi belajar paling tidak memiliki dua ciri yaitu
adanya suatu tindakan baik yang dilakukan secara individu atau secara kelompok dan adanya suatu
hasil.

82
Kecerdasan emosional

Istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey
dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan
kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Konsep inilah yang menyebar
luas dikalangan masyarakat kelas berpendidikan.

Shapiro (2003:7) mengatakan, “keterampilan EQ yang sama untuk membuat siswa yang bersemangat
tinggi dalam belajar, atau untuk disukai oleh teman-temannya di arena bermain, juga akan
membantunya dua puluh tahun kemudian ketika sudah masuk ke dunia kerja atau ketika sudah
berkeluarga”. Kecerdasan emosional itu menyangkut keterampilan bersosialisasi. Manusia adalah
makhluk sosial yang saling membutuhkan. Tak ada orang yang tidak membutuhkan petani yang menjual
beras dan sebaliknya juga petani membutuhkan orang untuk membeli berasnya.

Goleman (2002:512) mengatakan, “kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur


kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga
keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui
keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial”.

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah kemampuan siswa untuk
mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain
(empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.

Komponen kecerdasan emosional

Goleman (dalam Nggermanto, 2005:100) mengemukakan bahwa dalam kecerdasan emosi terdapat lima
komponen penting dan kombinasi dari masing-masing komponen ini memiliki nilai yang lebih penting
dari IQ. Elemen tersebut adalah: kesadaran diri, manajemen emosi, motivasi, empati, dan mengatur
hubungan/relasi. Kelima komponen ini yang sama-sama harus ditingkatkan sehingga selaras dengan IQ
kita sendiri.

Goleman (2007:57) membagi kecerdasan emosional menjadi lima bagian yaitu tiga komponen berupa
kompetensi emosional (pengenalan diri, pengendalian diri dan motivasi) dan dua komponen berupa
kompetensi sosial (empati dan keterampilan sosial). Lima komponen kecerdasan emosional tersebut
adalah sebagai berikut:

Pengenalan Diri (Self Awareness)

Pengenalan diri adalah kemampuan seseorang untuk mengetahui perasaan dalam dirinya dan digunakan
untuk membuat keputusan bagi diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan
memiliki kepercayaan diri yang kuat.

Pengenalan diri dapat disebut juga dengan kesadaran diri. Mayer (dalam Goleman, 2007:64)
mengatakan, “Kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana
hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh
emosi”. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu
prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi. Unsur-unsur
kesadaran diri, yaitu:
a. Kesadaran emosi (emosional awareness), yaitu mengenali emosinya sendiri dan efeknya.
b. Penilaian diri secara teliti (accurate self awareness), yaitu mengetahui kekuatan dan batas-batas
diri sendiri.
c. Percaya diri (self confidence), yaitu keyakinan tentang harga diri dan kemampuan sendiri.

1) Pengendalian Diri (Self Regulation)


Pengendalian diri adalah kemampuan menangani emosi diri sehingga berdampak positif pada
pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati, sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu
sasaran, dan mampu segera pulih dari tekanan emosi. “Emosi berlebihan yang meningkat dengan
intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita” (Goleman, 2007:7). Unsur-unsur
pengendalian diri, yaitu:

83
a. Kendali diri (self-control), yaitu mengelola emosi dan desakan hati yang merusak.
b. Sifat dapat dipercaya (trustworthiness), yaitu memelihara norma kejujuran dan integritas.
c. Kehati-hatian (conscientiousness), yaitu bertanggung jawab atas kinerja pribadi.
d. Adaptabilitas (adaptability), yaitu keluwesan dalam menghadapi perubahan.
e. Inovasi (innovation), yaitu mudah menerima dan terbuka terhadap gagasan, pendekatan, dan
informasi-informasi baru.

2) Motivasi (Motivation)
Motivasi adalah kemampuan menggunakan hasrat agar setiap saat dapat membangkitkan semangat dan
tenaga untuk mencapai keadaan yang lebih baik, serta mampu mengambil inisiatif dan bertindak secara
efektif. Unsur-unsur motivasi, yaitu:
a. Dorongan prestasi (achievement drive), yaitu dorongan untuk menjadi lebih baik atau memenuhi
standar keberhasilan.
b. Komitmen (commitmen), yaitu menyesuaikan diri dengan sasaran kelompok atau lembaga.
c. Inisiatif (initiative), yaitu kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan.
d. Optimisme (optimisme), yaitu kegigihan dalam memperjuangkan sasaran kendati ada halangan dan
kegagalan.

3) Empati (Emphaty)
Empati adalah kemampuan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Mampu memahami
perspektif orang lain dan menimbulkan hubungan saling percaya, serta mampu menyelaraskan diri
dengan berbagai tipe individu.

Goleman (2007:57) mengatakan, “Kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli,
menunjukkan kemampuan empati seseorang”. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih
mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang
dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap
perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain. Unsur-unsur empati, yaitu:
a. Memahami orang lain (understanding others), yaitu mengindra perasaan dan perspektif orang lain
dan menunjukkan minat aktif terhadap kepentingan mereka.
b. Mengembangkan orang lain (developing other), yaitu merasakan kebutuhan perkembangan orang
lain dan berusaha menumbuhkan kemampuan orang lain.
c. Orientasi pelayanan (service orientation), yaitu mengantisipasi, mengenali, dan berusaha
memenuhi kebutuhan pelanggan.
d. Memanfaatkan keragaman (leveraging diversity), yaitu menumbuhkan peluang melalui pergaulan
dengan bermacam-macam orang.
e. Kesadaran politis (political awareness), yaitu mampu membaca arus-arus emisi sebuah kelompok
dan hubungannya dengan perasaan.

4) Keterampilan Sosial/ Membina Hubungan (Social Skills)


Goleman (2007:59) mengatakan, “Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu
keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi”.
Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina
hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami
keinginan serta kemauan orang lain.

Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun.
Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain.
Keterampilan sosial merupakan kemampuan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan
orang lain, bisa mempengaruhi, memimpin, bermusyawarah, menyelasaikan perselisihan, dan
bekerjasama dalam tim. Unsur-unsur keterampilan sosial, yaitu:
a. Pengaruh (influence), yaitu memiliki taktik untuk melakukan persuasi.
b. Komunikasi (communication), yaitu mengirim pesan yang jelas dan meyakinkan.
c. Manajemen konflik (conflict management), yaitu negoisasi dan pemecahan silang pendapat.
d. Kepemimpinan (leadership), yaitu membangitkan inspirasi dan memandu kelompok dan orang
lain.
e. Katalisator perubahan (change catalyst), yaitu memulai dan mengelola perusahaan.
f. Membangun hubungan (building bond), yaitu menumbuhkan hubungan yang bermanfaat.

84
g. Kolaborasi dan kooperasi (collaboration and cooperation), yaitu kerjasama dengan orang lain demi
tujuan bersama.
h. Kemampuan tim (tim capabilities), yaitu menciptakan sinergi kelompok dalam memperjuangkan
tujuan bersama.

Pengaruh kecerdasan emosional dan prestasi belajar

Margasari dkk. (2009:23) mengemukakan bahwa dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh
kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar mahasiswa dengan jenis kelamin dan level akademis
sebagai variabel pemoderasi: studi empiris pada mahasiswa universitas negeri Yogyakarta yang
hipotesis awalnya mengatakan bahwa kecerdasan emosional secara positif berpengaruh terhadap
prestasi belajar mahasiswa. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa pengaruh positif dari kecerdasan
emosional terhadap prestasi belajar juga merupakan faktor penting yang tidak boleh ditinggalkan. Hal
ini menunjukkan perkembangan kecerdasan emosional dapat diperhatikan juga selain faktor-faktor
intelektualitas setiap siswa.

Hubungan antara kecerdasan emosional dan prestasi belajar matematika

Kecerdasan emosional yang tinggi memiliki kesadaran tentang kelemahan dan kekuatan diri serta
berorientasi kearah perbaikan diri. Siswa yang demikian mampu mengelola emosinya artinya mampu
menahan diri pada waktu emosinya bergejolak, dan sebaliknya mampu bersegera untuk menghilangkan
emosi negatif. Membantu teman yang menemui kesulitan dalam belajar sebagai bentuk mengenali
emosi temannya dan sekaligus membina hubungan dengan sesama teman. Usaha membantu teman
dalam mengatasi kesulitan belajar secara tidak langsung merupakan pemantapan pengetahuan yang
telah dimiliki.

3. Metode

Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif, hal ini sesuai dengan pendapat
Margono (2009:105), ”Penelitian kuantitatif adalah suatu proses menemukan pengetahuan yang
menggunakan data berupa angka sebagai alat menentukan keterangan mengenai apa yang ingin kita
ketahui”. Adapun hal ini sesuai dengan penelitian kami yaitu mencari data kecerdasan emosional yang
akan diangkakan berdasarkan pernyataan angket yang sudah disesuaikan.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data subjek. “Data subjek adalah jenis data
penelitian yang berupa opini, sikap, pengalaman atau karakteristik dari seseorang atau sekelompok
orang yang menjadi subjek penelitian atau responden” (Indriantoro dan Supomo, 2000:46).

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa/ siswi SMA Negeri Modal Bangsa kelas X-1, X-2, dan X-3.
Penelitian ini mengambil sampel siswa/ siswi kelas X dengan persentase 30% perkelas dari SMA
Negeri Modal Bangsa. Alasan pemilihan sampel ini karena setiap kelas ada yang mewakili maksud dan
tujuan tertentu. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket dan
dokumentasi.

Tabel 1Kisi-kisi Angket Kecerdasan Emosional


No. Komponen Kecerdasan Emosional Jumlah
Pernyataan

Positif Negatif
1. Kemampuan untuk mengenali emosi diri 1, 2, 3, 5, 7 4, 6, 8, 9 9

2. Kemampuan untuk mengelola emosi diri 10, 14, 16, 17, 11, 12, 13, 15, 13
18, 19, 20, 21 22
3. Kemampuan untuk memotivasi diri 23, 24, 25, 26, 28, 32, 12
sendiri 27, 29, 30, 31,
33, 34

85
4. Kemampuan untuk mengenali emosi 38, 40, 41 35, 36, 37, 39 7
orang lain
5. Kemampuan untuk membina hubungan 42, 47 43, 44, 45, 46, 9
48, 49, 50
JUMLAH 28 22 50

Berdasarkan uraian di atas angket pada penelitian terdiri dari 50 pernyataan dengan kategori pernyataan
positif dan pernyataan negatif. Untuk jawaban pernyataan positif Sangat Setuju (SS) bernilai 4, Setuju
(S) bernilai 3, Tidak Setuju (TS) bernilai 2, dan Sangat Tidak Setuju (STS) bernilai 1. Sedangkan untuk
jawaban pernyataan negatif Sangat Tidak Setuju (STS) bernilai 4, Tidak Setuju (TS) bernilai 3, Setuju
(S) bernilai 2, dan Sangat Setuju (SS) bernilai 1.

Dalam hal penskoran, nilai berdasarkan kategori Likert tersebut akan menghasilkan nilai maksimum
200 sehingga dijadikan nilai tertinggi itu adalah 100 dengan cara nilai berdasarkan Likert dibagi 100
𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑘𝑒𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ𝑎𝑛
kemudian dikalikan dengan banyaknya soal ( 100
× 50).
Suharso (2009:104) mengatakan, “Dokumentasi adalah data yang disimpan dalam bentuk dokumen atau
file (catatan konvensional maupun elektronik), buku, tulisan, laporan, notulen rapat, majalah, surat
kabar, dan lain sebagainya”. Teknik dokumentasi digunakan untuk memperoleh data prestasi belajar
siswa pada mata pelajaran matematika, yaitu nilai matematika wajib di semester gasal yang berupa nilai
mentah (belum diolah) di kelas X SMA Negeri Modal Bangsa yang termasuk dalam sampel penelitian.

Data dari hasil angket dan dokumentasi yang diperoleh diolah dengan menggunakan statistik. Data
penelitian tersebut akan diolah sebagai berikut:

1) Mencari rata-rata (𝒙 ̅)
Mencari rata-rata dari nilai kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar matematika siswa. Untuk
data yang telah disusun dalam daftar frekuensi menurut Sudjana (2005: 70), nilai rata-rata (𝑥̅ ) dihitung
dengan menggunakan rumus:
∑ 𝑓𝑖 𝑥𝑖
𝑥̅ =
∑ 𝑓𝑖
Keterangan:
x̅ = rata − rata
fi = banyak siswa dalam interval tertentu
xi = nilai tengah atau tanda kelas interval

2) Menghitung varians (𝒔𝟐 ) dan simpangan baku (𝒔)


Mencari standar deviasi (simpangan baku) dari nilai kecerdasan emosional dan prestasi belajar
matematika siswa. Pangkat dua dari simpangan baku dinamakan varians (Sudjana, 2005: 93). Untuk
mencari standar deviasi (simpangan baku) s dari varians s2 menurut Sudjana (2005: 95) adalah:
𝑛 ∑ 𝑓𝑖 𝑥𝑖2 − (∑ 𝑓𝑖 𝑥𝑖 )2
𝑠2 =
𝑛(𝑛 − 1)
Keterangan:
s2 = varians
n = banyak data

3) Uji validitas
Uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu angket. Suatu angket dikatakan
valid jika pernyataan pada angket mampu mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh angket
tersebut. Sukardi (2009:31),”Validitas suatu instrumen evaluasi, tidak lain adalah derajat yang
menunjukkan di mana suatu tes mengukur apa yang hendak diukur”.

Dalam penelitian yang akan diteliti pengukuran validitas dilakukan dengan melakukan korelasi antar
skor butir pertanyaan dengan total skor konstruk variabel.

86
4) Uji normalitas
Menguji normalitas kedua variabel, yaitu variabel 𝑋 dan 𝑌 dengan menggunakan uji Chi kuadrat,
menurut Sudjana (2005:273) adalah:
(𝑂𝑖 − 𝐸𝑖 )2
𝑋2 = ∑
𝐸𝑖
Keterangan:
X 2 = statistik chi − kuadrat
Oi = frekuensi pengamatan
Ei = frekuensi yang diharapkan

5) Uji linieritas
Mencari hubungan kedua variabel tersebut pada garis lurus, disebut juga regresi linear. Untuk mencari
rumus regresi linear menurut Irianto (2010:156) adalah:
ŷ = 𝑎 + 𝑏𝑋
Dengan:
𝑎 = ŷ − 𝑏𝑋
𝑛(∑ 𝑋𝑖 𝑌𝑖 ) − (∑ 𝑋𝑖 )(∑ 𝑌𝑖 )
𝑏=
𝑛 ∑ 𝑋𝑖2 − (∑ 𝑋𝑖 )2
Keterangan:
𝑦̂ = prestasi belajar matematika siswa
X = kecerdasan emosional
a, b = bilangan konstanta yang akan dicari

6) Uji Korelasi Product Moment


Mencari koefisien korelasi antara pengaruh kecerdasan emosional dan prestasi belajar matematika
siswa. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dengan menggunakan rumus korelasi product moment
dari Pearson yang dikemukakan oleh Arikunto (2010:319) yaitu:
𝑁 ∑ 𝑋𝑌 − ∑ 𝑋 . ∑ 𝑌
𝑟𝑥𝑦 =
√(𝑁 ∑ 𝑋 2 − (∑ 𝑋)2 )(𝑁 ∑ 𝑌 2 − (∑ 𝑌)2 )
Keterangan:
r = harga koefisien korelasi antara X dan Y
X = harga X (Kecerdasan emosional)
Y = harga Y (prestasi belajar matematika siswa)
N = jumlah sampel penelitian
XY = jumlah 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑐𝑡 dari X dan Y

Langkah selanjutnya yaitu menginterprestasikan nilai koefisien korelasi yang diperoleh atau nilai r. Ada
dua cara menginterpretasikan nilai r yaitu dengan cara sederhana dan dengan cara mengkonsultasikan
nilai r ke table t- Product moment. Interpretasi secara sederhana yaitu menggunakan pedoman atau
ancar-ancar, menurut Bungin (2011:194) interpretasi tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 2 Interpretasi Nilai r


Nilai Koefisien Penjelasannya

A very strong positive association (hubungan positif yang sangat


+ 0,70 – ke atas
kuat)

+ 0,50 - + 0,69 A substantial positive association (hubungan positif yang kuat)

+ 0,30 - + 0,49 A moderate positive association (hubungan positif yang sedang)

+ 0,10 - + 0,29 A low positive association (hubungan positif yang tak berarti)

0,0 No association (tidak ada hubungan)

-0,01 - -0.09 A negligible negative association (hubungan negatif yang tak berarti)

87
-0,10 - -0,29 A low negative association (hubungan negatif yang rendah)

-0,30 - -0,49 A moderate negative association (hubungan negatif yang)

-0,50 - -0,59 A substansial negative association (hubungan negatif yang kuat)

A vey strong negative association (hubungan negatif yang sangat


- 0,70 - -ke bawah
kuat)
(Sumber: Bungin, 2011:194)

7) Uji Hipotesis
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji-t. Menurut Sugiono (2010:259) rumus uji-t
tersebut adalah:
𝑟√𝑛 − 2
𝑡=
√1 − 𝑟 2
Keterangan:
t = hasil hitung distribusi koefisien korelasi
n = jumlah sampel yang diteliti
r = koefisien korelasi antara variabel X dan Y

4. Hasil dan Pembahasan

Dalam penelitian ini, kami menganalisis pengaruh kecerdasan emosional dengan prestasi belajar
matematika siswa di kelas X SMA Negeri Modal Bangsa. Penelitian ini dilakukan sebanyak satu kali
tahap pada setiap kelas X namun hanya beberapa orang yang menjadi sampel penelitian.

Tahapan yang dimaksud adalah pengisian angket kecerdasan emosional untuk mengetahui seberapa
besar kecerdasan emosional yang ada pada siswa. Hal penting lainnya seperti mengetahui prestasi
belajar siswa diperoleh dari guru matematika terkait nilai mentah ujian matematika semester gasal di
kelas X.

Sehubungan dengan itu, dari nilai prestasi belajar siswa di kelas X SMA Negeri Modal Bangsa yang
terpilih menjadi sampel penelitian sebanyak 27 siswa. Terdapat 19 diantaranya yang tuntas secara
individu, sedangkan 8 Siswa lainnya belum tuntas secara individu.

Kontribusi kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar masih rendah yaitu 20%, ini disebabkan oleh
banyaknya faktor lain yang mempengaruhi prestasi belajar itu sendiri selain faktor kecerdasan
emosional. Prestasi belajar menunjukkan taraf kemampuan siswa dalam mengikuti program belajar
dalam waktu tertentu sesuai kurikulum 2013 yang telah diterapkan di SMA Negeri Modal Bangsa.

Berdasarkan perhitungan dan analisa data dapat dilihat bahwa ada pengaruh yang signifikan antara
kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar matematika siswa di kelas X SMA Negeri Modal
Bangsa, dengan demikian sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Richard hermstein dan Charles
Murray dalam bukunya The Bell Curve, yang menaruh bobot penting pada IQ, menurut mereka setinggi-
tingginya IQ menyumbang 20% bagi faktor-faktor yang menentukan sukses dalam hidup, maka yang
80% diisi oleh kekuatan-kekuatan lain.

Kenyataan ini disebabkan oleh beberapa hal: yang pertama sistem pendidikan yang diterapkan di SMA
Negeri Modal Bangsa sudah berorientasi pada pengembangan kecerdasan emosional yang didukung
oleh penerapan kurikulum 2013 dalam proses belajar mengajar. Pendidik menyadari bahwa proses
belajar adalah proses kejiwaan yang sangat penuh nuansa emosi. Yang dibutuhkan sekarang ini adalah
bagaimana agar anak didik tidak hanya pintar dalam intelektual, tetapi juga berkembang dalam hal
emosinya. Dengan demikian anak akan lebih cepat bersosialisasi, mandiri dan kreatif. Kemudian
penilaian yang dilakukan di sekolah untuk ketrampilan sosial sudah dilakukan penilaian.

Selain itu banyak tenaga pendidik di SMA Negeri Modal Bangsa mengaplikasikan peranan emosi
terhadap suatu mata pelajaran dalam lingkup pendidikan, sehingga mereka mampu menanggapi emosi

88
yang dialami siswa. Kemudian siswa sendiri memiliki jam untuk bimbingan konseling sehingga mereka
memperoleh pendidikan pengenalan emosi di sekolah.

Hal seperti ini sangat mempengaruhi secara nyata ketika materi pelajaran diberikan di kelas, sedangkan
empati dan ketrampilan sosial sangat berpengaruh dalam mengerjakan tugas kelompok, baik di dalam
maupun di luar kelas. Terlihat jelas bahwa berpengaruh kecerdasan emosional anak terhadap prestasi
belajar sehingga dapat dimanfaatkan sebagai aspek penting penunjang keberhasilan dalam pembelajaran
siswa.

Selain itu dalam kerangka berpikir dipaparkan bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi prestasi
belajar. Salah satunya adalah tingkat kecerdasan emosional. Ternyata dalam penelitian ini ditemukan
kecerdasan emosional berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar. Dalam hal lain, ada faktor-
faktor lain yang mempengaruhinya seperti perhatian, minat, bakat, kematangan, kesiapan, dan lain-lain.

Berdasarkan analisis data penelitian menunjukkan angka koefisien korelasi (rxy) sebesar 0,4152.
Berdasarkan indeks korelasi yang diperoleh tersebut dapat diketahui adanya empat hal, yakni ada
tidaknya korelasi, arah korelasi, interpretasi mengenai tinggi-rendahnya korelasi, dan signifikan
tidaknya harga koefisien korelasi.

“Ada tidaknya korelasi, dinyatakan dalam angka pada indeks. Betapa pun kecilnya indeks korelasi. Jika
bukan 0,0000, dapat diartikan bahwa antara kedua variabel yang dikorelasikan, terdapat adanya
korelasi” (Arikunto, 2010:322). Merujuk pada pendapat tersebut, dapat dikatakan hasil penelitian ini
memperlihatkan bahwa terdapat pengaruh atau korelasi antara kecerdasan emosional dengan prestasi
belajar siswa.

Arikunto (2010:322) mengatakan, ”Arah korelasi dinyatakan dalam tanda + (plus) dan – (minus). Tanda
+ menunjukkan adanya korelasi sejajar searah, dan tanda – menunjukkan korelasi sejajar berlawanan
arah”. Berdasarkan nilai r yang diperoleh memperlihatkan bahw nilai r bertanda + (plus). Hal tersebut
menunjukkan adanya korelasi positif (searah) antara kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar
matematika siswa dan bermakna makin tinggi nilai kecerdasan emosional maka semakin tinggi nilai
prestasi belajar matematika siswa. Selain itu pengujian hipotesis memperlihatkan bahwa kerja Ha
diterima, yakni terdapat pengaruh yang signifikan antara kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar
matematika siswa di kelas X SMA Negeri Modal Bangsa.

Tinggi rendahnya korelasi dapat diinterpretasi secara kasar/sederhana ataupun dengan menggunakan
tabel nilai r-product-moment. Interpretasi secara kasar/sederhana dapat memperlihatkan besarnya nilai
r yaitu 0,42, ternyata terletak antara +0,30 - +0,49. Berdasarkan interpretasi yang dikemukakan oleh
Bungin (2011:194) kita dapat menyatakan bahwa korelasi positif antara kecerdasan emosional dengan
prestasi belajar matematika siswa antara variabel X dan variabel Y adalah termasuk korelasi positif yang
sedang. Berdasarkan hasil tersebut maka dinyatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara
kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar matematika siswa di kelas X SMA Negeri Modal
Bangsa.

5. Kesimpulan

Terdapat pengaruh yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar matematika
siswa di kelas X SMA Negeri Modal Bangsa. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diperoleh
nilai r = 0,4152, yang menyatakan bahwa ada hubungan yang positif sedang antara kecerdasan
emosional dengan prestasi belajar matematika siswa di kelas X SMA Negeri Modal Bangsa.

Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Yogyakarta: Rineka Cipta.
Bungin, Burhan. 2011. Metodelogi pendidikan kuantitatif: komunikasi, ekonomi, dan kebijakan public
serta ilmu-ilmu social lainnya. Jakarta: Kencana.
Gardner, Howard. 2003. Multiple Intelligences (Kecerdasan Majemuk) Teori dalam Praktek. Batam:
Interaksara.
Goleman, Daniel. 2002. Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional) Mengapa EI Lebih Penting
daripada IQ. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

89
Goleman, Daniel. 2007. Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional) Mengapa EI Lebih Penting
daripada IQ. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Indriantoro, Nur dan Supomo, Bambang. 2000. Metodologi Penelitian Bisnis: untuk Akuntansi dan
Managemen. Yogyakarta: BPFE.
Margasari dkk. (2009). Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Prestasi Belajar Mahasiswa dengan
Jenis Kelamin dan Level Akademis sebagai Variabel Pemoderasi: Studi Empiris pada
Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta. Di akses [pada 14 Agustus 2013, dari
alamat,http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Arum%20Darmawati,%20SE.,MM./P
ENGARUH%20EI%20TERHADAP%20PRESTASI%20BM.pdf.
Margono. 2009. Metodologi Penelitian Pendidikan Komponen MKDK. Jakarta: Rineka Cipta.
Nggermanto.Agus, 2005. Quantum Quotient Kecerdasan Quantum Cara Praktis Melijitkan IQ, EQ, SQ
yang Harmonis. Bandung: Nuansa.
Ronnie M, Dani. 2006. The Power of Emotional and Adversity Quotient for Teachers.Kebon Jeruk: PT
Mizan Publika.
Reber S., Arthur dan Emily S. Reber. 2010. Kamus Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Shapiro E., Lawrence. 2003. Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Sugiono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Suharsono, Puguh. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif untuk Bisnis: Pendekatan Filosofi dan Praktis.
Jakarta: PT Indeks.

90
MENINGKATKAN PENALARAN GEOMETRI SPASIAL SISWA DALAM
PEMBELAJARAN BANGUN RUANG DI SEKOLAH MENENGAH ATAS
Khairul Umam1, Suryawati1, M. Hasbi1, dan Juanda BJ1
1
Departemen Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
Email: juandabj@fkip.unsyiah.ac.id

Background of study

The concept of spatial thinking is very interesting to discuss. Spatial thinking is an active process in
which the elements about think and act in a space that tied (Claire H. Jarvis, 2011). Spatial thinking is
a collection of cognitive skills, which consists : a combination of three elements, namely spatial
concepts, tools of representation, and reasoning processes (National Academy of Science, 2006). To
understand the detail of three-dimensional object properly, someone must have a spatial ability. But
not everyone has the good spatial ability, even among them there is no way to recognize the longer form
of the three-dimensional shape of the object if the same three-dimensional images drawn from different
angle. Because of these problems, many students difficulty to grasp objects or geometry images.

Spatial ability is a concept in spatial thinking. Linn and Petersen (the National Academy of Science,
2006) classify spatial capabilities into three categories: (1) spatial perception, (2) mental rotation, and
(3) spatial visualization. Viewed in the context of mathematics especially geometry, it is very important
for the spatial abilities improved, it is referring to the results of research conducted by the (National
Academy of Science, 2006), in this study stated that every student should strive to develop skills and
spatial sensing, it is very useful in the discussion of the relation and the properties of the geometry in
solving mathematical problems and problems in everyday life.

(Hannafin, et al, 2008) found that students with high spatial ability has a level significantly higher math
skills.

In a study conducted by (Nuran Guzel and Ersin Sener, 2009), this research was conducted to see "High
school students spatial ability and creativity in geometry", the purpose of this study was to investigate
the potential of high creativity and low spatial ability students in geometry.

This study was conducted among 145, grade 10, 11, and 12 students during mathematics and geometry
courses in high school and the application of research has three phases. This study took place at two
high schools and two high schools Anatolia. 50 Biga Ataturk Anatolian High School (BAAL), 49 Biga
Anatolian High School (BAL), 23, Mehmet Akif Ersoy High School (Mael), and 23 New Biga High
School (YBL).

The first part of this study consisted of three questions geometry in the range from easy to difficult.
Students were given three different time periods to answer every question that are : easy, very easy, and
difficult. Students are supposed to solve the question "very easy" within 5 minutes, the question of
"easy" in 7 minutes, and the question of "difficult" in 8 minutes and they were supposed to produce a
different way for each solution as many questions as they can. Each question in this application is
governed in a way that students can imagine a different way of solution in their mind while solving the
question.

In the second phase of the study, a survey with 6 questions applied. This survey is proposed to examine
students’ views about mathematics and mathematics questions, and the different paths they use to solve
the questions. The students were asked to answer questions by selecting the appropriate option from the
following options: 1: Strongly Agree, 2: Agree, 3: Disagree: 4: Strongly Disagree.

The final stage of the study, the test consists of 20 questions that applied to students in order to measure
the level of students' spatial abilities. Time range for this test is 20 minutes. This test is designed to see
how well students are able to visualize the rotation of three-dimensional objects. There are the examples
of questions in the begining of the test. In each question, first, the students should understand how the
objects in the playing. Then, students must draw in their mind about how the objects in the second line

91
will look like when played in the same way as it is in the top row. Finally, students were asked to select
an object that is given in the third row who looks like a rotated version of the object in the second row
in the correct position based on the pattern in the first row. Each question is mutually exclusive and
have 5 choices.

On the results of the study, Tabel.1 shows the average number of different solution methods for
geometry questions based on Spatial Ability.
Geometry Question 1 Geometry Question 2
N Mean SD Mean SD
Lower ability 54 3,0* 1,1 0,4 0,6
Higher ability 91 3,4* 1,1 0,5 0,6
*p<0,05

Students who got higher score on spatial abilities of 11 is encoded as high spatial ability students,
whereas students with the ability score equal to or lower than 11 are coded as low spatial ability students.
The high spatial ability students are more able to find a different method than the lower group.

Table 2 One-way ANOVA on mathematics test scores, scores geometry, algebra scores, statistics and
probability and arithmetic scores.

Sum of Squares df Mean Square F


Between 414,3 3 138,1 11,6*
Within 1675,8 141 11,8
Total 2090,2 144

The findings were no significant differences between schools based on students' spatial ability. (F =
11.6; df = 3, 144, p = 0.0). Students in BAAL have higher spatial ability than any other school students.
As a result, students in BAAL have found more one methods question compared with other school
students.

In a study (Aytaç Kurtulu and Canda Uygan, 2010) entitled "Effect of Google SketchUp in geometry-
based activities and projects on students' spatial visualization skills of mathematics teachers", the study
aimed to determine the effect on the SketchUp geometry-based activities and projects in students' spatial
visualization skills math teacher, this is an experimental research model pretest-posttest design with a
control group. Both of the two groups, including twenty-four each student math teacher. To obtain the
data, Santa Barbara solid test designed by Cohen and Hagarty to measure the ability to identify cross-
sectional 2D slices of 3D objects used (Picture.1)

Picture.1: sample from santa barbara solid test

In the instruction of the experimental group, activity-based problems are solved by using dynamic tools
and project studies done on SketchUp environment while the activities of traditional geometry applied
to the control group using only paper and pencil. Before instruction, the researchers introduce the basic
tools and demonstrate the use of software for the experimental group. After that, the students made a
practice in software to gain experience on how to use the toolbar and build the base object. Next lesson

92
students solve the problem of solid objects by manipulating and analyzing simulation of 3D objects in
a dynamic environment. SketchUp on this lesson gives students the same opportunity as the sketch,
rotate and cut solid objects. On the other hand, the control group solved the same problem on paper
without getting help from a computer or appliance if any dynamic material. In the research project, the
first experimental group designed building has a different geometric shapes and complex in SketchUp,
then measured their surface area and volume using software measurement tools and redrawing the
surface of a particular point of view on their own paper. At the end of the lesson, the students in the
experimental group made a virtual presentation of their products to researchers (Picture.2)

Picture.2: The sample from students

To reveal whether there are significant differences between the experimental group pretest scores and
the control group, Mann Whitney U test applied to the data. Analyzing the results gathered in tabel.3
below.
N X S.D. Z P
Experimental Group 24 13.375 6.092
-0.052 0.959
Control Group 24 13.416 4.624
P > 0.05

Tabel.3: Results of Mann Whitney U test on pretest scores the experimental group and the control group

According tabel.3, the average score of the control group rate was 0.041 points higher than the control
group and the standard deviation of the experimental and control groups, respectively 6.092 and 4.624.
In addition, Z is calculated as -0.052 degrees while the degree of significance p was found to be 0.756.
Due to the fact that the significance level p was higher than 0.05, it is seen that the difference between
the mean value of the two groups were not significant.

In order to determine if the difference between pretest and posttest score of the experimental group were
significant, Wilcoxon test used and the findings presented at tabel.4 out below.

Experimental Group N X S.D. Z P


Pretest 24 13.375 6.092
-2.704 0.007
Posttest 24 18.833 6.162
P < 0.05

Tabel.4: Wilcoxon’s test results on the value of the experimental group pretest and posttest

In reference to tabel.4, it is clear that the average posttest score 5,468 points higher than the average
pretest score. Also, the standard deviation of the pretest and posttest scores was found to be respectively
6.092 and 6.162. In addition to that title Z detected as -2.704 and significance level p was found to be
0.007. Seeing that a significant level of p less than 0.05, there is a significant difference between pretest
and posttest scores in favor of posttest scores.

93
So, to see if there is a significant difference between pretest and posttest score of the control group, the
Wilcoxon test is applied again. Tabel.5 below shows the test results.

Control Group N X S.D. Z P


Pretest 24 13.416 4.624
-1.570 0.116
Posttest 24 15.875 4.730
P > 0.05

Tabel.5: Wilcoxon’s test results on the value of the pretest and posttest control group

Such as tabel.5, standard deviation scores pretest and posttest respectively 4.624 and 4.730. Also the
title of Z is calculated as -1.570 and significance of p is detected as 0116 degrees. Because p level
significantly higher than 0.05, the difference in points between 2.359 as the average posttest score and
the average value was not significant pretest scores.

In an attempt to see if there is a significant difference between the posttest score of the experimental
group and the control group, Mann Whitney U test performed on the data. The finding seen in tabel.6
below.
N X S.D. Z P
Experimental Group 24 18.833 6.162
-2.244 0.025
Control Group 24 15.875 4.730
P < 0.05

Tabel.6: Results of Mann Whitney U test on the posttest score of the experimental group and the control
group

According tabel.6, the average value of the experimental group posttest score is 3,042 points higher
than the control group. In addition, the standard deviation of the experimental group was found to be
6.162 while the standard deviation of the control group was calculated as 4.730. It is also clear that the
degree and significance Z is -2.244 degrees p is 0.025, lower than 0.05. So it was determined that a
significant difference between the posttest scores in favor of the experimental group.

According to the findings, and project-based activities SketchUp affect spatial visualization skills.
Confirmed positive student math skills. It can be concluded 2D slices of 3D objects. On the other hand,
that the conventional applications where static tools examples of paper, board and used two-dimensional
images do not provide a significant effect on students' spatial visualization abilities. Results in the
context of SketchUp can be used as well as beneficial for improving students' spatial abilities. And, the
results of using the software more effectively in a dynamic 3D spatial abilities than using conventional
media.

From this background the author wants to do research at Senior High School to find appropriate methods
and media and is ideal for use in conducting learning.

The Objective of the Study


1. Seeing the students’ understanding the spatial understanding/mastering geometry objects.
2. Improve spatial understanding of students in understanding the geometry with the help of Google
SketchUp software media in learning.
3. Comparing the level of spatial’s understanding and the ability of students to solve problems in the
geometry of three-dimensional materials that use Google SketchUp software media with the use of
conventional media.
4. Students' ability in understand the content, form, and rotation of geometrical objects.

Methodology of the Research


The following are the steps that will be used to conduct this research,
1. Randomly select two Senior high school level which is the object of research.
2. Perform pre-test to students in some classes in order to find two homogeneous classes of each
school to be the object of research

94
3. From the two classes are the object of research will be considered each experimental class and the
control class.
4. Experimental class will use the media software as a learning tool in doing.
5. Control class still use conventional media in doing the learning.
6. Assess and perform data processing of the sample assessment to get the results that students became
the object of the study has good spatial geometry capabilities or not.
7. Furthermore find the best solution by using computer programming to create the most suitable
media and is ideal for teachers or students in the learning process by increasing teacher performance
and student learning outcomes in the classroom.

References

Aytaç Kurtulu and Canda Uygan (2010). The effects of Google Sketchup based geometry activities
and projects on spatial visualization ability of student mathematics teachers.

Claire H. Jarvis (2011). Spatial Literacy and the Postgraduate GIS Curriculum.

Hannafin, et al, (2008). Effects of Spatial Ability and Instructional Program on Geometry
Achievement.

National Academy of Science (2006). Learning to Think Spatially, Washington DC : The National
Academics Press.

Nuran Guzel and Ersin Sener (2009). High school students’ spatial ability and creativity in
geometry.

95
TINGKAT BERPIKIR DAN KESULITAN SISWA PADA MATERI
TRIGONOMETRI DI KELAS XI SMA LABORATORIUM UNSYIAH
BANDA ACEH TAHUN PELAJARAN 2013/2014

Intan Sari1 dan Suryawati1


1
Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
Email: intnsmangt@yahoo.co.id

Abstrak. Trigonometri merupakan materi yang diajarkan di kelas XI SMA yang sangat
penting untuk dipelajari karena memiliki banyak kontribusi dalam kehidupan sehari-hari
dan berguna untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Fakta di lapangan
menunjukkan hasil yang memprihatinkan dalam pembelajaran trigonometri. Banyak
siswa yang belum mencapai nilai KKM dan hasil belajar siswa yang belum memuaskan.
Penelitian ini berjudul “Tingkat Berpikir dan Kesulitan Siswa Pada Materi Trigonometri
di Kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah Banda Aceh tahun Pelajaran 2013/2014”.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana tingkat berpikir siswa,
mendeskripsikan kesulitan siswa disetiap tingkat berpikir,dan mengidentifikasi penyebab
kesulitan yang dialami siswa pada materi trigonometri di kelas XI SMA Laboratorium
Unsyiah Banda Aceh tahun Pelajaran 2013/2014. Penelitian ini berbentuk deskriptif
dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Instrumen yang digunakan dalam penelitian
berupa tes dan wawancaradengan mengambil subjek 30 siswa. Tes dilakukan untuk
mengetahui penguasaan dan kesulitan siswa sedangkan wawancara digunakan untuk
mengetahui penyebab kesulitan siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa yang
mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal C1 (pengetahuan) dan C2
(pemahaman)terkendala dari segi penguasaan konsep. Sedangkan siswa yang mengalami
kesulitan untuk mengerjakan soal C3 (aplikasi) sampai dengan soal C6
(evaluasi)mengalami kesulitan dalam penerapan prinsip. Dari hasil wawancara diperoleh
informasi bahwa penyebab kesulitan yang dialami siswa antara lain 1) pemahaman
konsep dasar trigonometri yang rendah; 2) kurangnya minat/kemauan; 3) kurangnya
latihan untuk mengerjakan soal-soal trigonometri; 4) kesulitan menganalisis soal cerita;
5) materi yang sulit difahami; 6) persepsi yang salah tentang trigonometri; 7) jarak
pemberian tes dengan materi cukup jauh; dan 8) pembelajaran trigonometri yang agak
monoton.

Kata kunci: Tingkat Berpikir, Kesulitan Siswa, Trigonometri.

1. Pendahuluan
Pendidikan merupakan salah satu komponen terpenting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa.
Pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seseorang, baik sebagai makhluk individhu maupun
kelompok. Hal ini dikarenakan pendidikan dapat membentuk kepribadian manusia sehingga
memungkinkan manusia itu tumbuh menjadi pribadi yang cerdas dan kreatif.Pendidikan juga dapat
didefenisikan sebagai proses untuk mendapatkan pengetahuan. Syah (2006:10) mengemukakan,
“Pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang
memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan”.

Trigonometri adalah salah satu materi matematika yang diajarkan di kelas XI SMA. Materi ini sangat
penting untuk dipelajari bukan hanya karena menjadi bahan ujian, tapi karena materi inimemiliki
banyak kontribusi dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari yang hal yang sederhana seperti perhitungan
ketinggian pohon sampai hal yang kompleks seperti penentuan arah kiblat suatu tempat pada bidang
astronomi.

Terkait dengan kesulitan siswa dalam mempelajari trigonometri, Afdanun (2010:52) di SMA 6 Banda
Aceh menyimpulkan, “salah satu penyebab kesulitan yang mendominasi siswa dalam mempelajari
materi trigonometri adalah kesulitan menggunakan konsep”. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Adnin (2010:49) di SMA 13 Banda Aceh menyimpulkan, “berdasarkan hasil penelitian maka siswa
SMA 13 Banda Aceh pada umumnya mengalami kesulitan menggunakan prinsip pada pembelajaran

96
trigonometri”. Berdasarkan beberapa temuan di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa menengah ke atas
pada umumnya mengalami kesulitan dalam mempelajari materi trigonometri.

SMA Laboratorium Unsyiah adalah salah satu sekolah yang bergengsi di Banda Aceh karena dikenal
dengan kualitas siswanya dan keprofesionalan tenaga pengajarnya. SMA ini juga merupakan salah satu
sekolah yang telah menyandang gelar Sekolah Standar Nasional (SSN) dan telah dipercaya oleh dinas
pendidikan untuk menerapkan kurikulum 2013. Berdasarkan hasil observasi yang penulis lakukan
selama PPL di SMA Laboratorium Unsyiah Banda Aceh, diperoleh informasi bahwa ternyata banyak
siswa-siswa yang tidak menyukai trigonometri dan mengalami kesulitan dalam mempelajarinya. Hal ini
terbukti dengan banyak siswa yang belum mencapai KKM dan hasil belajar siswa yang belum
memuaskan. Tidak hanya itu, ketika guru menginformasikan bahwa trigonometri akan dipelajari pada
semester ganjil, siswa-siswa langsung mengeluh.

Salah satu yang menunjang keberhasilan pembelajaran adalah kemampuan intelektual siswa.
Kemampuan ini menyangkut kemampuan untuk mengingat kembali, memahami, memanipulasinya,
menggeneralisasi, dan masih banyak lagi. Slameto (2010:56) mengungkapkan, “Inteligensi besar
pengaruhnya terhadap kemajuan belajar. Dalam situasi yang sama, siswa mempunyai tingkat
intelegensi yang tinggi akan lebih berhasil daripada yang mempunyai tingkat intelegensi rendah”.

Saat siswa mengalami kesulitan dalam pembelajaran, kebanyakan guru hanya fokus untuk meneliti
kesulitan siswa tanpa mencari tahu tingkat berpikir siswa. Padahal, dengan mengetahui tingkat berpikir
siswa, guru bisa memaksimalkan kemampuan berpikir siswa sampai pada taraf yang paling tinggi,
sehingga ilmu atau fakta yang mereka dapatkan secara parsial atau terpisah dapat dijadikan bahan
masukan dalam setiap pemecahan masalah yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari secara
komprehensif dan terintegrasi. Oleh karena itu, selain harus mengetahui penyebab dan cara mengatasi
kesulitan siswa, seorang guru juga harus mengetahui tingkat berpikir siswanya.

Berdasarkan permasalahan di atas, penulis merasa penting untuk mengetahui tingkat berpikir dan
kesulitan siswa siswa dalam menyelesaikan soal-soal trigonometri. Maka dari itu penulis tertarik untuk
mengkaji lebih dalam mengenai “Tingkat Berpikir dan Kesulitan Siswa pada Materi
Trigonometridi Kelas XISMALaboratorium Unsyiah Banda Aceh Tahun Pelajaran 2013/2014.”

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalahsejauh manakah tingkat berpikir siswa pada materi
trigonometri di kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah Banda Aceh tahun pelajaran 2013/2014, kesulitan
apakah yang dialami siswa disetiap tingkat berpikir pada materi trigonometri di kelas XI SMA
Laboratorium Unsyiah Banda Aceh tahun pelajaran 2013/2014 dan apa penyebab terjadinya kesulitan
siswa pada materi trigonometri di kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah Banda Aceh tahun pelajaran
2013/2014.

2. Tinjauan Pustaka
Tingkat berpikir siswa
Taksonomi Bloom adalah salah satu pendekatan psikologik yang dipopulerkan oleh Benjamin S Bloom
untuk melihat tingkat berpikir siswa. Bloom membagi tujuan belajar menjadi 3 domain, yaitu cognitive
domain, affective domain, dan psycho-motor domain. Dalam penelitian ini, kita hanya akan fokus untuk
membahas pada aspek kognitif saja. Adapun Bloom (dalam Arikunto, 2010:117) menjelaskan
perkembangan kognitif domain meliputi:
a. Pengetahuan (Knowledge)
Dalam pengetahuan, siswa diminta untuk memilih satu dari dua jawaban. Dalam mengingat
kembali siswa diminta untuk mengingat kembali satu atau lebih fakta-fakta yang sederhana.
Kategori ini merupakan kategori yang paling rendah tingkatannya karena tidak terlalu banyak
meminta energi.
b. Pemahaman (Comprehention)
Dengan pemahaman, siswa diminta untuk membuktikan bahwa ia memahami hubungan yang
sederhana dengan fakta-fakta atau konsep.
c. Penerapan atau aplikasi (Application)
Untuk penerapan atau aplikasi ini siswa dituntut memiliki kemampuan untuk menyeleksi atau
memilih suatu abstraksi tertentu (konsep, hukum, dalil, aturan, gagasan, cara) secara tepat
untuk diterapkan dalam situasi baru dan menerapkannya secara benar.

97
d. Analisis (Analysis)
Dalam tugas analisis ini siswa diminta untuk menganalisis suatu hubungan atau situasi yang
kompleks atas konsep-konsep dasar.
e. Sintesis (Syinthesis)
Apabila penyusun soal tes bermaksud meminta siswa untuk melakukan sintesis, maka
pertanyaan-pertanyaan disusun sedemikian rupa sehingga meminta siswa untuk
menggabungkan atau menyusun kembali (recognize) hal-hal yang spesifik agar dapat
mengembangkan suatu struktur yang baru. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa dengan soal
sintesis ini siswa diminta melakukan generalisasi.
f. Evaluasi (Evaluation)
Melakukan evaluasi dalam ranah kognitif ini menyangkut masalah “benar/salah” yang
didasarkan atas dalil, hukum, prinsip pengetahuan. Pada tingkat evaluasi, peneliti bertujuan
untuk mengetahui sejauh mana siswa mampu menerapkan pengetahuan dan kemampuan yang
telah dimiliki untuk menilai suatu kasus.

Taksonomi Bloom adalah struktur hierarki yang mengidentifikasikan kemampuanmulai dari tingkat
yang rendah hingga yang tinggi.Tentunya untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, level yang rendah
harus dipenuhi lebih dulu.
 Sebelum kita memahami sebuah konsep maka kita harus mengingatnya
 Sebelum kita menerapkan maka kita harus memahaminya
 Sebelum kita menganalisa maka kita harus menerapkannya
 Sebelum kita mensintesis maka kita harus menganalisa
 Sebelum kita mengevaluasi, maka kita harus mengingat, memahami, mengaplikasikan,
menganalisis dan mengevaluasi.

Selanjutnya dalam penelitian ini, tingkat berpikir siswa akan dianalisis berdasarkan tingkat berpikir
kognitif Bloom yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.

1) C1 (Pengetahuan)
Pada tingkat ini jenjang belajar siswa masih rendah, tapi siswa mampu mengingat fakta-fakta, mampu
menghafal rumus dan defenisi. Misalnya siswa sudah mampu menjelaskan defenisi sinus, siswa mampu
menghapal rumus cos (a + b), dan siswa mengingat konsep untuk menentukan sin a dengan
menggunakan teorema pytagoras.

2) C2 (Pemahaman)
Pada tingkat ini, siswa telah menguasai konsep-konsep, struktur matematika sehingga dapat
mengaplikasikan ke situasi yang lain. Misalnya ketika siswa diminta untuk menyelesaikan berapa nilai
cos 51o cos 9o – sin 50o sin 9o tanpa kalkulator atau tabel, maka siswa akan menggunakan rumus
cos(𝑎 + 𝑏) = cos 𝑎 cos 𝑏 − sin 𝑎 sin 𝑏 yang telah dipelajari sebelumnya. Siswa telah memahami
mengubah bentuk ruas kanan menjadi ruas kiri sehingga didapatkan cos (51 o + 9o) = cos 60o

3) C3 (Aplikasi)
Pada tingkat ini siswa mampu menggunakan rumus-rumus trigonometri ke mata pelajaran lain, misalnya
pada mata pelajaran fisika (Hudojo (2001:21). Pada materi gelombang, kita menggunakan trigonometri
untuk menyelesaikan berbagai persoalan.

4) C4 (Analisis)
Analisis ini berkenaan dengan penguraian suatu situasi atau informasi ke dalam unsur-unsur atau
komponen-komponen pembentuknya, hubungan-hubungan antar bagian dengan keseluruhan serta cara
bagaimana mereka diorganisasikan Hudojo (2001:21). Misalnya siswa mampu menuliskan hubungan-
hubungan rumus trigonometri yang satu dengan yang lainnya. Ketika siswa diminta untuk membuktikan
suatu identitas trigonometri, siswa mampu mengaitkan dengan rumus-rumus sebelumnya, contohnya
dalam membuktikan 4 sin 2𝑥 cos 2𝑥 cos 𝑥 = sin 5𝑥 + sin 3𝑥, siswa mampu mengaitkan dengan rumus
perkalian sinus dan kosinus yaitu 2 sin 𝑎 cos 𝑏

5) C5 (Sintesis)
Hudojo (2001:21) mengungkapkan, “Sintesis berkenaan dengan pernyataan unsur-unsur atau
komponen-komponen untuk membentuk suatu kesatuan yang utuh sehingga polanya menjadi jelas.Pada
matematika nampak jelas kepada kemampuan penyusun konsep-konsep matematika untuk menciptakan

98
struktur matematika”. Misalnya Ketika siswa diberikan suatu permasalahan trigonometri, siswa mampu
menyelsaikan permasalahan tersebut dengan menggunakan dua cara yang berbeda bahkan lebih.

6) C6 (Evaluasi)
Hudojo (2001:21) mengemukakan, “evaluasi berkenaan dengan penilaian suatu ide dan metode-metode
dengan menggunakan suatu kriteria.Evaluasi merupakan tingkat kognitif yang tertinggi, karena jenis ini
melibatkan pengetahuan, pengertian, aplikasi, analisis, dan sintesis agar tercapai tujuan evaluasi
tersebut”.Misalnya saja siswa mampu memilih rumus trigonometri untuk menyelesaikan permasalahan
yang menyangkut bangunan (arsitek). Contohnya pada desain suatu taman kota, siswa diminta untuk
menentukan penempatan pipa air agar semburan air ke utara membentuk sebuah busur panah dengan
jarak mendatar dan tinggi maksimum semburan air yang sudah diketahui.

Kesulitan belajar matematika


Kebanyakan orang menganggap bahwa matematika adalah bidang hitung-berhitung. Namun, ahli
matematika mengatakan bahwa perhitungan hanyalah bahagian dalam matematika. Matematika yang
sesungguhnya melibatkan pemecahan soal matematika dan pemahaman struktur dalam pola
matematika. Abdurrahman (2003:255) menjelaskan bahwa sebenarnya kesulitan pembelajaran
matematika bukan terletak pada keterampilan berhitung, tetapi terletak pada materi yang harus diajarkan
dan pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran.

Dalam mempelajari matematika, siswa memiliki berbagai kesulitan diantaranya kesulitan menggunakan
konsep, kesulitan menggunakan prinsip, dan kesulitan memecahkan soal dalam bentuk verbal. Seperti
yang diungkapkan Soedjono (1984:4)
1. Kesulitan dalam menggunakan konsep
a. Siswa lupa nama singkatan/nama teknik suatu objek
b. Ketidakmampuan mengingat satu atau lebih syarat cukup dan sebagainya
2. Kesulitan belajar dalam menggunakan prinsip
a. Siswa tidak mempunyai konsep yang dapat digunakan untuk mengembangkan prinsip
sebagai butir pengetahuan baru
b. Siswa tidak dapat menggunakan prinsip karena kurang kejelasan tentang prinsip tersebut
dan sebagainya
3. Kesulitan memecahkan soal dalam bentuk verbal
a. Tidak mengerti apa yang dibaca, akibat kurangnya pengetahuan siswa tentang konsep atau
beberapa istilah yang tidak diketahui
b. Tidak mampu menetapkan variabel untuk menyusun persamaan dan sebagainya

Kesulitan menggunakan konsep adalah keadaan dimana siswa lupa singkatan atau nama teknik suatu
objek dan ketidakmampuan siswa untuk mengingat syarat cukup. Contohnya adalah pengertian sudut
dan perbandingan trigonometri. Siswa yang mengalami kesulitan prinsip adalah siswa yang mengalami
kesulitan untuk menerapkan konsep-konsep pada soal. Contoh prinsip adalah identitas trigonometri.
Sedangkan siswa yang mengalami kesulitan untuk menganalisis atau menerjemahkan soal digolongkan
menjadi siswa yang mengalami kesulitan konsep.

Kesulitan siswa
Siswa yang memperoleh skor dibawah 65 dikatagorikan sebagai siswa yang mengalami kesulitan
belajar, sedangkan jika telah memperoleh nilai sekurang-kurangnya 65 dari skor maksimum 100
dikategorikan telah memahami materi trigonometri. Sebagaimana dikemukakan Sri (dalam Afdanun,
2010:15) tentang kriteria pengusaan materi yaitu:
secara individu penguasaan materi disebut dikuasai oleh siswa bila ia dapat menjawab dengan benar
atau memperoleh skor sekurang-kurangnya 65% dari jumlah skor ideal setiap materi penguasaan.
Sedangkan secara klasikal penguasaan sudah dikuasai oleh sekelompok siswa bila telah terdapat
sekurang-kurangnya 85% siswa telah menguasai materi tersebut.

Berdasarkan kategori yang telah ditetapkan, kita pun dengan mudah dapat mengetahui siswa-siswa yang
mengalami kesulitan pada materi trigonometri dengan melihat pada hasil kerja siswa.
1) Kesulitan dalam menggunakan konsep

99
Abdurrahman (2003:254) mengemukakan, “Konsep menunjuk pada pemahaman dasar. Siswa
mengembangkan suatu konsep ketika mereka mampu mengklasifikasikan atau mengelompokkan
benda-benda atau ketika mereka dapat mengasosiasikan suatu nama dengan dengan kelompok benda
tertentu”. Dengan kata lain, pemahaman konsep menuntut siswa untuk mampu mengelompokkan yang
mana yang merupakan konsep dan yang mana bukan konsep.
a. Siswa lupa nama singkatan/tehnik suatu objek
Siswa tidak mampu menyebutkan defenisi dari sinus dan kosinus dengan bahasa sendiri. Ketika
siswa menjumpai segitiga dengan bentuk yang berbeda (misalnya segitiga dengan posisi alasnya
tidak horizontal), siswa menjadi bingung dan tidak dapat menentukan nilai sinus dan kosinus sudut
tersebut. Terkait dengan teknik, misalnya saja siswa kebingungan untuk mengkorvensikan nilai
suatu sudut ke dalam bentuk sudut istimewa. Contohnya siswa bingung mengkorversikan nilai cos
15o menjadi cos (60o- 45o). Karena terkadang siswa berpikir untuk membuat cos 15 o = cos (30o-
15o). Hal tersebut benar, tapi tidak merujuk pada konsep yag diharapkan.

b. Ketidakmampuan mengingat satu atau lebih syarat cukup dan sebagainya


Siswa tidak bisa mengingat materi yang terkait (prasyarat) dengan pembelajaran trigonometri.
Misalnya siswa tidak bisa menentukan nilai sinus dan kosinus dari suatu segitiga karena tidak
memahami rumus pytagoras.

2) Kesulitan dalam menggunakan prinsip


a. Siswa tidak mempunyai konsep yang dapat digunakan untuk mengembangkan prinsip sebagai butir
pengetahuan baru
Untuk menyelesaikan suatu persoalan, terkadang dibutuhkan konsep yang telah dipelajari
sebelumnya, misalnya ketika siswa ingin membuktikan nilai cos 2𝑎 = 𝑐𝑜𝑠 2 𝑎 − 𝑠𝑖𝑛2 𝑎 dengan
menggunakan cara cos(𝑎 + 𝑎) diperlukan cos 𝑎 dan sin 𝑎.
b. Siswa tidak dapat menggunakan prinsip karena kurang kejelasan tentang prinsip tersebut dan
sebagainya
Dalam hal ini, kurangnya pemahaman siswa tentang prinsip dasar trigonometri akan membuat
siswa kesulitan untuk memahami prinsip lainnya.
 Siswa kesulitan dalam menjelaskan operasi hitung tertentu. Contohnya siswa masih bingung
untuk mencari nilai sin 2x, siswa bingung apakah x yang dikuadratkan atau sin yang harus
dikuadratkan atau siswa bingung dengan sin x . sin x, hasilnya sama dengan sin 2 x atau 2 sin x.
 Siswa kesulitan dalam menentukan tanda positif negatif pada setiap kuadran dan siswa masih
tidak memahami mengenai relasi setiap kuadran, contohnya nilai sin (90o- a) = cos a dan sin
(180o- b) = sin b
 Ketidakmampuan siswa dalam memilih rumus yang tepat untuk menyelesaikan persoalan
trigonometri. Contohnya siswa salah menerapkan identitas trigonometri saat menyelesaikan
soal yang membutuhkan pembuktian
 Siswa tidak dapat memberikan alasan dalam penggunaan suatu prinsip. Contohnya siswa tidak
bisa menjelaskan pytagoras digunakan untuk menentukan nilai sinus, cosinus, dan tangen pada
segitiga siku-siku.

3) Kesulitan memecahkan soal dalam bentuk verbal


Kesulitan verbal terjadi bila siswa tidak dapat menerjemahkan soal cerita dalam bahasa matematika
berupa ilustrasi gambar, simbol, grafik dan tabel.
a. Kesulitan untuk menerjemahkan soal.
Siswa tidak mengerti apa yang ditanya, hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan siswa tentang
konsep atau beberapa istilah dalam trigonometri. Misalnya saja ketika siswa ingin menyelesaikan
soal trigonometri dalam bentuk cerita, siswa kebingungan untuk menerjemahkan soal tersebut
menjadi bahasa matematika. Kebingungan tersebut terjadi karena siswa tidak mendapat ide pokok
mengenai permasalahan yang ada dalam soal tersebut (siswa kesulitan dalam menganalisis soal).
b. Tidak mampu menetapkan variabel untuk menyusun persamaan dan sebagainya
Siswa mengalami kesulitan dalam menetapkan variabel sehingga persamaannya tidak bisa
ditentukan. Contohnya siswa kesulitan dalam menyelesaikan persamaan pecahan dari sudut-sudut
istimewa dalam persoalan trigonometri.

100
3. Metode
Adapun jenis penelitian yang akan dilakukan adalah deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan untuk
menjelaskan atau mendeskripsikan suatu keadaan, peristiwa, objek apakah orang atau segala sesuatu
yang tekait dengan variabel-variabel yang bisa dijelaskan baik dengan angka-angka maupun kata-kata.
Dengan kata lain, penelitian deskriptif menggambarkan tingkat berpikir dan kesulitan yang dialami oleh
siswa dengan melakukan penelitian secara cermat dan teratur untuk mengetahui hasil yang efektif.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif karena penelitian ini mengembangkan
konsep atas data yang ada yang lebih mementingkan proses daripada hasil.Moleong (2010:21)
mendefenisikan bahwa salah satu karakteristik dari penelitian kualitatif adalah lebih mementingkan
proses daripada hasil.

Adapun teknik yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu:


1) Tes
Menurut Thoha (2003:43), “Tes adalah alat pengukuran berupa pertanyaan, perintah, dan petunjuk yang
diajukan kepada testee untuk mendapatkan respon sesuai petunjuk itu. Testee adalah responden yang
sedang mengerjakan tes”. Untuk memperoleh data tentang kesulitan siswa dalam menyelesaikan materi
trigonometri, peneliti memberikan 6 soal essay. Soal-soal tes tersebut dibuat dengan bantuan dosen
pembimbing dan juga diadopsi dari soal-soal latihan pada buku paket matematika SMA untuk kelas XI.
Soal-soal tersebut hirarkies karena telah disusun berdasarkan tingkat berpikir Bloom.

2) Wawancara
Wawancara dilakukan untuk menyaring data kualitatif sebanyak-banyaknya tentang tingkat berpikir dan
penyebab kesulitan siswa kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah dalam menyelesaikan soal
trigonometri.Peneliti akan memilih 7 siswa yang melakukan kesalahan terbanyak dalam tes, artinya satu
soal akan diwakili oleh satu siswa.

Setelah data terkumpul, selanjutnya akan dilakukan analisis untuk mengetahui tingkat berpikir dan
kesulitan siswa dalam mempelajari trigonometri.
1) Tingkat Berpikir
Analisis data yang ada merupakan jawaban dari lembar jawaban siswa. Dalam proses penilaian terhadap
tingkat berpikir siswa sesuai dengan teori berpikir Bloom yang terdiri dari enam tahap yaitu
pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Semua siswa mendapatkan nilai
yang mengacu pada tingkat Bloom adalah hierarkis, dimana seorang siswa tidak bisa berada pada
tingkat n apabila belum melewati tingkat n-1.Adapun untuk melihat ketuntasan siswa dalam menjawab
soal, maka siswa harus memperoleh minimal 75% dari skor masing-masing soal. Widdiharto (2008:30)
mengungkapkan bahwa untuk menyatakan bahwa siswa telah menguasai kompetensi dasar atau
indikator yang telah ditentukan. Umumnya skor pencapaian adalah 75%.

2) Kesulitan Siswa
Untuk menentukan kesulitan siswa, peneliti mencermati setiap jawaban yang diberikan siswa.Setelah
semua data terkumpul, peneliti akan melakukan pemeriksaan/analisis terhadap kesulitan yang dihadapi
siswa berdasarkan kriteria yang telah dikemukakan sebelumnya yaitu kesulitan menggunakan konsep,
prinsip, dan verbal.

3) Penyebab Kesulitan Siswa


Untuk mengetahui penyebab kesulitan siswa dalam menyelesaikan permasalahan trigonometri, penulis
akan memilih beberapa siswa yang paling banyak melakukan kesalahan untuk diwawancarai. Subjek
dipilih berdasarkan analisis hasil jawaban tes yang dikerjakan oleh siswa.Dari sejumlah siswa yang
mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal trigonometri dipilih 7 orang siswa untuk mewakili
masing-masing soal.Siswa-siswa tersebut adalah siswa-siswa yang mendapatkan skor dibawah 65,
paling banyak melakukan kesalahan, dan kesalahan unik untuk diteliti.

101
4. Hasil dan Pembahasan
Tingkat berpikir siswa dalam mempelajari trigonometri
Berdasarkan hasil analisis data terhadap 30 orang siswa diperoleh data sebagai berikut: ada 3,3% siswa
telah mencapai tingkat berpikir C6 (evaluasi); 6,67% siswa yang mencapai tingkat berpikir C5
(sintesis); 26,67% siswa yang mencapai tingkat berpikir C4 (analisis); 30% yang mencapai tingkat
berpikir C3 (aplikasi); 23,3% yang masih mencapai tingkat berpikir C2 (pemahaman); 3,3% yang masih
ditingkat berpikir C1 (pengetahuan); dan masih ada 6,6% siswa yang belum bisa menjawab soal C1.
Kesulitan siswa dalam menyelesaikan permasalahan trigonometri
Dari tabel distribusi hasil tes setiap butir soal yang diperoleh siswa (lampiran) terlihat bahwa skor yang
diperoleh siswa dapat dirincikan sebagai berikut: skor minimum 14, skor maksimum 77, dan skor rata-
rata 47,31 sedangkan skor ideal adalah 100. Bila dinyatakan dalam bentuk persentase diperoleh data
sebagai berikut: skor minimum 14%, skor maksimum 77%, dan skor rata-rata 47,31%. Dari tabel
tersebut tampak bahwa hanya 2 orang yang mencapai ketuntasan belajar pada materi trigonometri.

Berdasarkan hasil analisis data terhadap 30 orang siswa diperoleh data sebagai berikut: 6,6% siswa
mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal C1 (pengetahuan); 3,3% siswa mengalami kesulitan untuk
mengerjakan soal C2 (pemahaman); 23,3% siswa mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal C3
(aplikasi); 30% siswa mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal C4 (analisis); 26,67% siswa
mengalami kesulitan mengerjakan soal C5 (sintesis); dan 6,67% siswa mengalami kesulitan
mengerjakan soal C6 (evaluasi).

Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap hasil tes siswa, ditemukan kesulitan-kesulitan yang dialami
siswa dalam menyelesaikan permasalahan trigonometri.Adapun kesulitan itu diklasifikasikan
berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya yaitu kesulitan menggunakan konsep, prinsip,
dan verbal.

Kesulitan menggunakan konsep


a. Kesulitan menggunakan dalil pytagoras dalam menghitung sisi suatu segitiga
b. Kesulitan menentukan sisi depan dan sisi samping sudut yang dicari
c. Kesulitan menentukan nilai sinus, cosinus, dan tangen dari segitiga siku-siku
d. Kesulitan untuk menentukan tanda positif atau negatif untuk nilai sinus, cosinus, dan tangen
disetiap kuadran
𝜃
e. Kesulitan mengingat rumus sin 2𝑎 dan tan 2
f. Kesulitan mengingat identitas trigonometri 𝑐𝑜𝑠 2 𝑎 + 𝑠𝑖𝑛2 𝑎 = 1
g. Kesulitan untuk membedakan nilai tan 2a dan 2 tan a
h. Kesulitan untuk memilih rumus yang tepat untuk menyelesaikan persoalan trigonometri

Kesulitan menggunakan prinsip


a. Kesulitan menjabarkan sin 2𝑎 menjadi 2 sin 𝑎 cos 𝑎 dengan menggunakan sin(𝑎 + 𝑎)
2 𝑠𝑖𝑛 2 𝑎 2 sin 𝑎 sin 𝑎
b. Kesulitan menjabarkan 2 sin 𝑎+sin 2𝑎 menjadi 2 sin 𝑎(1+cos 𝑎)
c. Kesulitan menyusun persamaan dalam menyelesaikan identitas trigonometri
d. Kesulitan mensubstitusikan persamaan yang telah diketahui
e. Kesulitan mengoperasikan persamaan trigonometri

Kesulitan verbal
a. Kesulitan menggambar segitiga berdasarkan nilai yang diketahui dari soal
b. Siswa tidak tahu apa yang harus dicari

Penyebab kesulitan
Dari 30 orang siswa yang diteliti 24,54% siswa yang mengalami kesulitan konsep; 40,91% siswa yang
mengalami kesulitan prinsip; dan 8,18% siswa yang mengalami kesulitan berbentuk verbal.Adapun jika
dianalisis penyebab kesulitan siswa disetiap tingkat berpikir diperoleh informasi bahwa
 Siswa yang mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal C1 (pengetahuan) paling banyak
mengalami kesulitan konsep

102
 Siswa yang mengalami kesulitan untuk mengerjakan C2 (pemahaman) paling banyak mengalami
kesulitan konsep
 Siswa yang mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal C3 (aplikasi) paling banyak mengalami
kesulitan prinsip
 Siswa yang mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal C4 (analisis) paling banyak mengalami
kesulitan prinsip
 Siswa yang mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal C5 (sintesis) paling banyak mengalami
kesulitan prinsip
 Siswa yang mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal C6 (evaluasi) paling banyak mengalami
kesulitan prinsip.

Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan terhadap beberapa orang siswa yang mengalami
kesulitan untuk menyelesaikan soal trigonometri, diperoleh informasi bahwa kesulitan-kesulitan yang
dialami siswa cenderung disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
1) Pemahaman dasar yang rendah tentang materi trigonometri
2) Kurangnya minat/kemauan dalam mempelajari trigonometri
3) Kurangnya latihan untuk mengerjakan soal-soal trigonometri
4) Kesulitan menerjemahkan soal cerita
5) Materi yang sulit difahami
6) Persepsi yang salah tentang trigonometri
7) Jarak pemberian tes dengan materi cukup jauh
8) Pembelajaran trigonometri yang agak monoton

5. Kesimpulan
Dari 30 orang siswa yang diteliti 3,3% siswa telah mencapai tingkat berpikir C6 (evaluasi); 6,67% siswa
yang mencapai tingkat berpikir C5 (sintesis); 26,67% siswa yang mencapai tingkat berpikir C4
(analisis); 30% yang mencapai tingkat berpikir C3 (aplikasi); 23,3% yang masih mencapai tingkat
berpikir C2 (pemahaman); 3,3% yang masih ditingkat berpikir C1 (pengetahuan); dan masih ada 6,6%
siswa yang belum bisa menjawab soal C1.

Siswa yang mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal C1 (pengetahuan) dan C2


(pemahaman)terkendala dari segi penguasaan konsep. Sedangkan siswa yang mengalami kesulitan
untuk mengerjakan soal C3 (aplikasi) sampai dengan soal C6 (evaluasi)mengalami kesulitan dalam
penerapan prinsip.

Penyebab kesulitan siswa dalam menyelesaikan persoalan trigonometri adalah sebagai berikut:

1) Pemahaman dasar yang rendah tentang materi trigonometri


2) Kurangnya minat/kemauan dalam mempelajari trigonometri
3) Kurangnya latihan untuk mengerjakan soal-soal trigonometri
4) Kesulitan menerjemahkan soal cerita
5) Materi yang sulit difahami
6) Persepsi yang buruk tentang trigonometri
7) Jarak pemberian tes dengan materi cukup jauh
8) Pembelajaran trigonometri yang kurang bermakna

Daftar Pustaka
Abdurrahman, Mulyono. 2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Adnin, Huliatul. 2010. Kesulitan Siswa Kelas XII pada Materi Trigonometri di SMA Negeri 13 Banda
Aceh Tahun Ajaran 2010/2011.Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala.
Afdanun, Winda. 2010. Analisis Kesulitan Siswa Dalam Menyelesaikan Soal-soal Trigonometri Kelas
XI SMA Negeri 6 Banda Aceh Tahun 2009/2010. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala.
Arikunto, Suharsimi. 2010. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT BUMI AKSARA.

103
Hudojo, Herman. 2001. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang.
Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-faktor yang mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta.
Soedjono.1984. Diagnosa Kesulitan Belajar dan Pengajaran Remedial Matematika. Jakarta:
Depdikbud.
Sulistiyono, dkk. 2006. Matematika SMA dan MA untuk Kelas XI Semester 1 Program IPA. Jakarta:
ESIS.
Syah, Muhibbin. 2006. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT REMAJA
ROSDAKARYA.
Thoha C., Muhammad. 2003. Teknik Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Widdiharto, Rachmadi. 2008. Diagnosis Kesulitan Belajar Matematika SMP dan Alternatif Proses
Remedinya. Jogjakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Matematika.

104
KEMAMPUAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI MELALUI METODE
PENEMUAN PADA MATERI LUAS PERMUKAAN BANGUN RUANG SISI
LENGKUNG SISWA KELAS IX SMP NEGERI 18 BANDA ACEH
Laila Zuriatina1, Bainuddin Yani2, dan Tuti Zubaidah3
1
Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
Email: l_zuriatina@yahoo.co.id
2
Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
3
Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Abstrak. Pembelajaran matematika di sekolah masih berpusat pada guru, matematika


diajarkan secara informatif dengan rumus-rumus yang diberikan langsung oleh guru.
Akibatnya, siswa SMP Indonesia sangat lemah dalam problem solving, namun cukup
baik dalam keterampilan prosedural (TIMSS). Ini membuktikan bahwa terhadap masalah
matematika yang menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi, siswa SMP Indonesia
jauh di bawah rata-rata Internasional. Untuk itu, diperlukan suatu metode yang dapat
memunculkan kemampuan berpikir tingkat tinggsi siswa. Penelitian ini berjudul
“kemampuan berpikir tingkat tinggi melalui metode penemuan pada materi luas
permukaan bangun ruang sisi lengkung siswa kelas IX SMPN 18 Banda Aceh”, bertujuan
untuk mengetahui kemampuan berpikir tingkat tinggi melalui metode penemuan pada
materi bangun ruang sisi lengkung di SMPN 18 Banda Aceh. Subjek penelitian ini adalah
3 orang siswa berkemampuan tinggi, sedang dan rendah yang dipilih dari 22 orang siswa
kelas IX-1 SMPN 18 Banda Aceh. Pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan
aktivitas siswa selama pembelajaran dan dengan melakukan tes hasil belajar siswa.
Pengolahan data pengamatan dilakukan dengan checklist (untuk menunjukkan
kemunculan indikator kemampuan berpikir tingkat tinggi yang ditentukan), dan data hasil
belajar diolah dengan rumus persentase. Dari hasil pengolahan data diperoleh siswa tidak
tuntas secara klasikal, yaitu siswa yang tuntas sebanyak 73% dan yang tidak tuntas
sebanyak 27%. Meski demikian, melalui penerapan metode penemuan pada materi luas
permukaan bangun ruang sisi lengkung, kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa muncul
dengan keterampilan yang berbeda-beda pada tiap-tiap siswa.
Kata kunci: kemampuan berpikir tingkat tinggi, penemuan, BRSL

1. Pendahuluan
Third Matemathics and Science Study (TIMSS), lembaga yang mengukur hasil pendidikan di dunia
melaporkan bahwa kemampuan matematika anak SMP di Indonesia berada di urutan 34 dari 38 negara.

Salah satu penyebab rendahnya kualitas pemahaman siswa dalam matematika menurut hasil survey
IMSTEP-JICA (2000) adalah bahwa dalam pembelajaran matematika guru terlalu berkonsentrasi pada
hal-hal yang prosedural dan mekanistik pembelajaran berpusat pada guru. Konsep matematika
disampaikan secara informatif dan siswa dilatih menyelesaikan banyak soal tanpa pemahaman yang
mendalam. Akibatnya kemampuan penalaran dan kompetensi strategis siswa tidak berkembang
sebagaimana mestinya. Bukti ini diperkuat lagi oleh hasil yang diperoleh The Third International
Mathematics and Science Study (TIMSS) bahwa siswa SMP Indonesia sangat lemah dalam problem
solving namun cukup baik dalam keterampilan prosedural (Mullis, dkk: 2004). Hal ini membuktikan
bahwa terhadap masalah matematika yang menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi, siswa SMP
kelas dua Indonesia jauh di bawah rata-rata internasional, bahkan dengan beberapa negara tetangga
sekalipun, seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Melihat keadaan seperti ini, upaya untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran terutama dalam pengembangan kemampuan berpikir tingkat tinggi
siswa menjadi penting dan esensial.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah dalam penelitian ini adalah: ”Bagaimanakah
kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa melalui metode penemuan pada materi luas permukaan
bangun ruang sisi lengkung di kelas IX SMP Negeri 18 Banda Aceh?”

105
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan berpikir tingkat tinggi melalui metode
penemuan pada materi luas permukaan bangun ruang sisi lengkung siswa kelas IX SMP Negeri 18
Banda Aceh.

2. Tinjauan Pustaka

Kemampuan berpikir dan berpikir tingkat tinggi


Menurut Khodijah, 2006 (dikutip melalui online: http://psikologi.or.id) secara sederhana, berpikir
adalah memproses informasi secara mental atau secara kognitif. Menurut Solso, Robert dkk (2008:
402) berpikir adalah proses yang membentuk representasi mental baru melalui transformasi informasi
oleh interaksi kompleks dari atribusi mental yang mencakup pertimbangan, penabstrakan, penalaran,
penggambaran, pemecahan masalah logis, pembentukan konsep, kreativitas dan kecerdasan.

Berpikir biasa adalah berpikir


sederhana dan dapat dilakukan oleh
kebanyakan orang.
Tingkatan
berpikir Berpikir tingkat tinggi
adalah proses berpikir
yang mendalam
terhadap sesuatu .
Gambar 1. Diagram Tingkatan Berpikir
Sumber: www.slideshare.net/NisatuwnamaQ/berpikir-tingkat-tinggi

Berpikir tingkat tinggi adalah operasi kognitif yang banyak dibutuhkan pada proses-kemampuan
berpikir yang terjadi dalam short-term memory. Ibrahim dan Nur (2000) menjelaskan bahwa
karakteristik berpikir tingkat tinggi adalah non-algoritmik yaitu alur tindakan yang tidak sepenuhnya
dapat ditetapkan sebelumnya, cenderung kompleks, seringkali menghasilkan banyak solusi, melibatkan
pertimbangan dan interpretasi, serta aktivitas mental yang tinggi.
Secara umum, langkah-langkah berpikir tingkat tinggi mencakup semua tugas intelektual yang
memerlukan lebih dari pengambilan informasi. Oleh karena itu, dalam arti luas, HOTS (High Order
Thinking Skills/ keterampilan berpikir tingkat tinggi) dapat dianggap sebagai keterampilan yang
dibutuhkan untuk melakukan tugas-tugas. Siswa diharapkan dapat meningkatkan keterampilan ini dan
menggunakannya untuk membangun pengetahuan matematika mereka, dan karenanya terlibat dalam
pembelajaran seumur hidup. NCTM (National Council of Teachers of Mathematics), memaparkan lima
keterampilan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Keterampilan Pemecahan Masalah

Menurut Solso, Robert dkk (2008: 434) pemecahan masalah adalah suatu pemikiran yang terarah
secara langsung untuk menemukan suatu solusi/ jalan keluar untuk suatu masalah yang spesifik.
Kita menemukan banyak masalah yang spesifik. Kita menemukan banyak masalah dalam
kehidupan sehari-hari kita, sehingga kita akan membuat suatu cara untuk menanggapi, memilih,
menguji respons, yang kita dapat untuk memecahkan suatu masalah. Pemecahan masalah
merupakan bagian integral dari semua pembelajaran matematika dan melibatkan identifikasi
hambatan, kendala atau pola tak terduga, mencoba prosedur yang berbeda dan mengevaluasi atau
membenarkan solusi.

Dewan Nasional Guru Matematika (NCTM) menganggap pemecahan sebagai proses menerapkan
pengetahuan yang diperoleh sebelumnya (atau tak terduga) situasi baru dan asing masalah. Untuk
mengatasi masalah, siswa memanfaatkan pengetahuan mereka dan mengembangkan pemahaman
matematika baru. Mereka juga harus mendapatkan cara berpikir, mengembangkan kepercayaan dan
kebiasaan ketekunan dalam situasi yang asing melalui proses pemecahan masalah.

Strategi pemecahan mencakup cara memahami masalah, menyusun rencana pemecahan masalah,
melaksanakan rencana, memeriksa kewajaran hasil evaluasi dan membuat evaluasi. Dalam proses
pemecahan masalah, siswa dapat membuat dugaan dan mencoba berbagai cara untuk mengatasi

106
masalah itu. Guru harus mencatat bahwa metode apapun, yang dapat digunakan baik untuk
memecahkan masalah adalah metode yang sebenarnya.

2. Keterampilan Bertanya

Bertanya melibatkan penemuan atau membangun pengetahuan melalui pertanyaan atau menguji
hipotesis. Observasi, analisis, meringkas dan verifikasi adalah elemen penting dalam melaksanakan
kegiatan bertanya. Kegiatan bertanya terutama melibatkan proses belajar mandiri, tetapi bimbingan
yang sesuai dari guru kadang-kadang diperlukan tergantung pada kemampuan siswa dan
kompleksitas kegiatan. Mengajukan pertanyaan merupakan salah satu sarana populer diadopsi
untuk membimbing siswa untuk membuat eksplorasi. Bahkan, pertanyaan yang dirancang dengan
baik yang berguna untuk merangsang siswa untuk menemukan kesamaan, perbedaan, pola dan tren.
Siswa juga mungkin diminta untuk menguji dugaan matematika, yang memungkinkan mereka
untuk berpartisipasi dalam peran yang lebih aktif dalam proses pembelajaran. Kegiatan bertanya
dirancang harus sesuai dengan kemampuan siswa sehingga mereka dapat menikmati hasil
penemuan matematika. Selain itu, mungkin lebih efektif untuk mengatur siswa dalam kelompok-
kelompok kecil (bila memungkinkan) karena lebih mudah bagi mereka untuk mengemukakan
gagasannya.

3. Keterampilan Berkomunikasi

Dewan Nasional Guru Matematika (NCTM) (2000: 348) menyatakan bahwa komunikasi
melibatkan menerima dan berbagi ide dan dapat dinyatakan dalam bentuk angka, simbol, diagram,
grafik, diagram, model dan simulasi. Hal ini dipandang sebagai bagian integral dari pembelajaran
matematika karena membantu menjelaskan konsep dan membangun makna untuk ide-ide. Melalui
proses komunikasi, siswa belajar harus jelas dan meyakinkan dalam menyajikan ide-ide
matematika, yang pasti membantu mengembangkan pemikiran logis mereka.

Karena matematika sangat sering disampaikan dalam simbol-simbol, komunikasi lisan dan tertulis
tentang ide-ide matematika sering diabaikan oleh guru. Namun, perlu dicatat bahwa bahasa baik
lisan maupun tulisan yang diperlukan untuk menggambarkan, menjelaskan dan membenarkan ide-
ide matematika. Kemampuan ini dapat membantu siswa mengklarifikasi pemikiran mereka dan
mempertajam pemahaman mereka tentang konsep dan prosedur. Selain itu, selama proses
berkomunikasi, siswa dapat membangun, memperbaiki dan mengkonsolidasikan pemahaman
matematika mereka.

4. Keterampilan Penalaran

Penalaran menarik kesimpulan dari bukti-bukti, alasan atau asumsi. Menurut Dewan Nasional Guru
Matematika (NCTM) (2000: 342), siswa diharapkan mampu menjelaskan dan memberikan alasan
atas kesimpulan yang mereka ambil. Ini melibatkan mengembangkan argumen logis untuk
menyimpulkan atau menyimpulkan kesimpulan. Penalaran dapat diklasifikasikan ke dalam
penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif bekerja dari pengamatan khusus
untuk generalisasi yang lebih luas dan teori sementara penalaran deduktif bergerak dari putaran
cara lain, yaitu, dari lebih umum untuk lebih spesifik. Sifatnya, metode penalaran induktif lebih
terbuka dan eksplorasi dan yang deduktif sempit di alam dan biasanya berkaitan dengan pengujian
atau memverifikasi hipotesis dan teori. Oleh karena itu, menemukan istilah umum urutan seperti 1,
3, 5, 7, 9, ......, melibatkan penalaran induktif saat melakukan bukti geometris dengan menerapkan
teorema geometri (misalnya, sudut yang sesuai dua segitiga yang sama adalah sama) melibatkan
penalaran deduktif. Karena penalaran merupakan aspek fundamental matematika, mampu mengerti
alasan adalah penting untuk memahami konsep-konsep matematika. Dengan membuat
penyelidikan dan dugaan, mengembangkan dan mengevaluasi argumen matematika, membenarkan
hasil, dan lain-lain, siswa dapat memahami dan menghargai kekuatan penalaran dan menghasilkan
bukti, yang memerlukan pemotongan logis dari kesimpulan dari teori dan hipotesis. Penalaran
seperti HOTS lainnya, tidak dapat diajarkan dalam pelajaran tunggal. Sebaliknya, itu adalah
kebiasaan pikiran dan harus menjadi bagian yang konsisten dari pengalaman matematika siswa.

5. Keterampilan Konseptualisasi

107
Solso, Robert dkk (2008: 434) menjelaskan bahwa pembentukan konsep berhubungan dengan
pengasahan sifat-sifat yang sesuai dengan kelas objek atau ide. Konseptualisasi melibatkan
pengorganisasian dan reorganisasi pengetahuan melalui mengamati dan berpikir tentang
pengalaman tertentu untuk pola-pola abstrak dan ide-ide dan generalisasi dari pengalaman tertentu.
Pembentukan konsep melibatkan penggolongan dan abstrak dari pengalaman sebelumnya.

Masalah khusus matematika terletak pada bentuk abstrak dan keumumannya. Konsep-konsep
abstrak tidak dapat dikomunikasikan kepada siswa menurut definisi tetapi hanya dengan
mengarahkan kepada siswa untuk menemukan koleksi contoh-contoh yang sesuai. Oleh karena itu,
konsep-konsep abstrak harus didukung oleh banyaknya contoh matematika dan dalam kehidupan
sehari-hari.

Metode penemuan
Metode Penemuan adalah terjemahan dari discovery. Menurut Sund (dalam Roestiyah, 2001: 20)
penemuan adalah proses mental, di mana siswa mampu mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip.
Yang dimaksudkan dengan proses mental tersebut antara lain: mengamati, mencerna, mengerti,
menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan, dan
sebagainya. Suatu konsep misalnya: segitiga, panas, demokrasi, dan sebagainya, sedang yang dimaksud
dengan prinsip antara lain ialah: logam, apabila dipanaskan, mengembang. Dalam teknik ini siswa
dibiarkan menemukan sendiri atau mengalami proses mental itu sendiri, guru hanya membimbing dan
memberikan instruksi.
Penemuan merupakan metode yang lebih menekankan pada pengalaman langsung. Pembelajaran
dengan Metode Penemuan lebih mengutamakan proses daripada hasil belajar. Dalam metode ini tidak
berarti sesuatu yang ditemukan oleh peserta didik (siswa) benar-benar baru sebab sudah diketahui oleh
orang yang lain.
Tabel 1. Sintaks Penemuan Terbimbing
Tahap Tingkah Laku Guru Tingkah Laku Siswa
Tahap 1 Guru menyajikan kejadian-kejadian Siswa mengembangkan
Observasi untuk atau fenomena yang memungkinkan keterampilan berpikir melalui
merumuskan masalah siswa menemukan masalah observasi spesifik membuat
inferensi atau generalisasi.
Tahap 2 Guru membimbing siswa Siswa merumuskan masalah yang
Merumuskan masalah merumuskan masalah penelitian akan membawa siswa pada suatu
berdasarkan kejadian dan fenomena persoalan yang mengandung teka-
yang disajikannya. teki.
Tahap 3 Guru membimbing siswa mengajukan Siswa menetapkan jawaban
Mengajukan hipotesis hipotesis terhadap masalah yang telah sementara atau yang lebih dikenal
dirumuskannya dengan istilah hipotesis.
Tahap 4 Guru membimbing siswa Siswa amencari informasi, data,
Merencanakan merencanakan pemecahan masalah, fakta yang diperlukan untuk
pemecahan masalah membantu menyiapkan alat dan bahan menjawab permasalahan/
(melalui eksperimen yang diperlukan dan menyusun hipotesis
atau cara lain) prosedur kerja yang tepat.
Tahap 5 Selama siswa bekerja, guru Siswa menguji kebenaran
Melaksanakan membimbing dan memfasilitasi jawaban sementara. Dugaan
eksperimen (atau cara jawaban ini tentu didasarkan
pemecahan masalah kepada data yang telah diperoleh
yang lain)
Tahap 6 Guru membantu siswa melakukan Siswa mencari data atau
Melakukan pengamatan tentang hal-hal yang keterangan yang dapat digunakan
pengamatan dan penting dan membantu untuk memecahkan masalah,
pengumpulan data mengumpulkan dan mengorganisasi misalnya dengan jalan membaca
data buku-buku, meneliti, bertanya,
berdiskusi dan lain-lain.
Tahap 7 Guru membantu siswa menganalisis Siswa menganalisis data untuk
Analisis Data data supaya menemukan suatu konsep menemukan suatu konsep

108
Tahap 8 Guru membimbing siswa mengambil Secara bekelompok siswa
Penarikan kesimpulan kesimpulan berdasarkan data dan menarik kesimpulan,
atau penemuan menemukan sendiri konsep yang ingin merumuskan kaidaah, prinsip, ide
ditanamkan generalisasi atau konsep
berdasarkan data yang diperoleh.
Sumber: http://eprints.uny.ac.id/9362/.pdf
Menurut Richard Scuhman (Roestiyah, 2001: 22), langkah-langkah pembelajaran dengan Metode
Penemuan adalah sebagai berikut.
1. Identifikasi kebutuhan siswa;
2. Seleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian, konsep dan generalisasi yang akan
dipelajari;
3. Seleksi bahan, dan problema serta tugas-tugas;
4. Membantu memperjelas problema yang akan dipelajari dan peranan masing-masing siswa;
5. Mempersiapkan setting kelas dan alat-alat yang diperlukan;
6. Mencek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan dan tugas-tugas siswa;
7. Memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan penemuan;
8. Membantu siswa dengan informasi, data, jika diperlukan oleh siswa;
9. Memimpin analisis sendiri dengan pertanyaan yang mengarahkan dan mengidentifikasi proses;
10. Merangsang terjadinya interaksi antar siswa dengan siswa;
11. Memuji dan membesarkan siswa yang bergiat dalam proses penemuan;
12. Membantu siswa merumuskan prinsip-prinsip dan generalisasi atas hasil penemuannya.

Materi bangun ruang sisi lengkung

Tabung
Luas Permukaan Tabung
Amati kembali Gambar 2.4. Jika tabung pada Gambar 2.4 direbahkan dengan
cara memotong sepanjang ruas garis AC, keliling alas, dan keliling atasnya
ditempatkan pada bidang datar maka diperoleh jaring-jaring tabung, seperti pada
Gambar 2.5.
Daerah yang tidak diarsir (selimut tabung) pada Gambar 2.5 berbentuk persegi
panjang dengan ukuran sebagai berikut.
Panjang = keliling alas tabung = 2πr
Lebar = tinggi tabung =t
sehingga luas selimut tabung = panjang × lebar
= 2πr × t
= 2πrt
Luas permukaan tabung sama dengan luas jaring-jaringnya, yaitu:
L = luas selimut tabung + 2 × luas alas.
Dengan demikian, luas permukaan tabung adalah 2πr( r + t)

Kerucut
Luas Permukaan Kerucut
Gambar 2.8(a) menunjukkan kerucut dengan titik puncak T dan jari-jari
bidang alasnya adalah r. Jika kerucut itu kamu potong sepanjang ruas garis
TB dan seputar lingkaran alasnya, serta diletakan pada bidang datar maka
diperoleh jaring-jaring kerucut, seperti pada Gambar 2.8(b).

109
Amati Gambar 2.8(b). Daerah yang diarsir merupakan alas kerucut (berbentuk lingkaran). Adapun
daerah yang tidak diarsir merupakan selimut kerucut yang berbentuk juring lingkaran.

Berapakah luas juring TB1B2? Untuk men-jawabnya, pelajarilah uraian


berikut.
Panjang busur B1B2 = keliling alas kerucut = 2πr.
Keliling lingkaran yang berjari-jari s adalah 2πs.
Luas lingkaran yang berjari-jari s adalah πs2.

luas juring TB1 B2 panjang busur B1 B2


Oleh karena = ,
luas lingkaran keliling lingkaran
2π𝑟
maka luas juring TB1B2 = x πs2 = πrs
2π𝑠
Jadi, luas selimut kerucut adalah πrs.
Dengan demikian, luas permukaan kerucut adalah:
L = luas selimut kerucut + luas alas kerucut
L = πrs + πr2 = πr(s + r)

Penerapan Luas Permukaan Bangun Ruang Sisi Lengkung


Luas permukaan bangun ruang sisi lengkung diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari agar kita kamu dapat memahami dan menyelesaikan masalah nyata
melalui konsep matematika. Benda-benda berikut ini disajikan contoh soal-
soal penerapan bangun ruang sisi lengkung.

Contoh.
Gambar berikut memperlihatkan sebuah monumen yang dibentuk dari sebuah
kerucut dan setengah bola. Monumen tersebut menempel pada tanah seluas 1
m2. Jika monumen itu akan dicat dan setiap m2 memerlukan biaya Rp
35.000,00, berapa rupiah biaya pengecatan tugu tersebut? (ambil π = 3,14)
Jawab:
Perhatikan tugu di samping. Diketahui bahwa tutu terdiri dari bangun kerucut (selimut) kerucut yang
dialasi dengan setengah bola.
LP monumen = LP Kerucut tanpa alas + LP ½ Bola
= πrs + ½.4.πr 2
= 3,14 x 6cm x 8cm + 2 x 3,14 x (6cm)2
= 150,72 cm2 + 226,08 cm2
= 376,8 cm2
= 3,768 m2
Jadi, biaya yang dibutuhkan untuk mengecat bangun tersebut adalah:
Harga x luas permukaan bangun = Rp 35.000 x 3,768
= Rp 131.880,-

3. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yang menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut
Moleong (2008:2), “Penelitian kuantitatif mencakup setiap jenis penelitian yang didasarkan atas
perhitungan persentase, rata-rata, chi kuadart, dan perhitungan statistik lainnya”. Bogdan dan Taylor
(dalam Moleong, 2008:3) menyatakan, “Penelitian kualitatif didefinisikan sebagai prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati”. Moleong (2008:6) menyimpulkan bahwa: “penelitian kualitatif adalah penelitian
yang bermaksud memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain serta holistik, dan dengan cara deskripsi dalam
bentuk kata-kata dan bahasa, pada konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai
metode ilmiah.”

Penelitian ini mendeskripsikan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa melalui metode penemuan.
Peneliti melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan metode penemuan dan diamati oleh 2 orang
observer, seorang melakukan pengamatan terhadap peneliti selama pembelajaran berlangsung, dan

110
seorang lainnya mengamati aktivitas siswa selama pembelajaran dengan metode penemuan berlangsung
di kelas. Selama pengamatan, pengamat mengisi lembar observasi yang berkaitan dengan kegiatan guru
dan aktivitas siswa selama pembelajaran berlangsung.

Dalam penelitian ini data dikumpulkan berdasarkan observasi yang dilakukan oleh seorang observer
dan analisis data hasil tes belajar siswa oleh peneliti. Hal ini mengingat pernyataan Denzin dan Lincoln
(dalam Moleong, 2008:5): “dalam penelitian kualitatif metode yang biasanya dimanfaatkan adalah
wawancara, pengamatan dan pemanfaatan dokumen”.

4. Hasil dan Pembahasan


Berdasarkan penelitian yang dilakukan di kelas IX-1 SMP Negeri 18 Banda Aceh, berikut ini disajikan
tabel hasil belajar siswa untuk melihat ketuntasan belajar siswa.

Tabel 2. Nilai Hasil Belajar Siswa Kelas IX-1 SMP Negeri 18 Pada Materi Luas Permukaan
Bangun Ruang Sisi Lengkung
Nilai Nilai
No. Nama LKS I LKS III Ket.
Kelompok Akhir
1. Siswa A 80 65 75 73 Tuntas
2. Siswa B 80 95 86 87 Tuntas
3. Siswa C 70 75 76 74 Tuntas
4. Siswa D - 50 76 63 T.T
5. Siswa E 90 40 76 69 Tuntas
6. Siswa F 80 65 68 71 Tuntas
7. Siswa G 85 90 68 81 Tuntas
8. Siswa H 80 35 68 61 T.T
9. Siswa I 80 90 75 82 Tuntas
10. Siswa J 65 50 68 61 T.T
11. Siswa K 90 70 86 82 Tuntas
12. Siswa L 85 80 86 84 Tuntas
13. Siswa M 45 25 76 49 T.T
14. Siswa N 50 50 68 56 T.T
15. Siswa O 55 70 75 67 Tuntas
16. Siswa P 80 50 76 69 Tuntas
17. Siswa Q 85 70 86 80 Tuntas
18. Siswa R 75 80 75 77 Tuntas
19. Siswa S 90 75 76 80 Tuntas
20. Siswa T 85 70 75 77 Tuntas
21. Siswa U 90 90 86 89 Tuntas
22. Siswa V 60 35 68 54 T.T

Selanjutnya, setelah dianalisis ketuntasan belajar siswa, akan dilihat kemampuan berpikir tingkat
tinggi siswa melalui pengamatan pada lembar observasi dan Lembar Kerja Siswa. Berikut ini
beberapa lembar kerja siswa yang menunjukkan kemampuan berpikir tingkat tingginya, meliputi
keterampilan pemecahan masalah, keterampilan berkomunikasi, keterampilan penalaran, dan
keterampilan koseptualisasi siswa. Lembar kerja siswa yang menunjukkan keterampilan pemecahan
masalah antara lain.

Adapun keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa melalui metode penemuan selanjutnya dianalisis
dengan memperhatikan dan berdasarkan hasil lembar kerja siswa masing-masing dengan kemampuan
tinggi, sedang dan rendah.
Tabel 3. Analisis Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa
No. Indikator Kel. I Kel. II Kel. III
1  Membuat rancangan pemecahan masalah √ √ √
 Memiliki alternative pemecahan masalah yang lain - - -
 Memecahkan masalah berdasarkan konsep √ √ √
2  Mengungkapkan pertanyaan secara jelas dan singkat √ √ -

111
 Bertanya dalam menyampaikan kritik secara lisan disertai alasan √ - -
yang masuk akal
 Berani menjawab pertanyaan dari kelompok lain berdasarkan materi √ √ √
bangun ruang sisi lengkung
3  Menjawab dengan argumen yang tepat √ √ -
 Menjawab berdasarkan ide-ide yang logis √ - -
 Berbagi ide dalam bentuk angka, simbol, diagram, grafik, model dan √ √ √
simulasi
 Memperhatikan pendengar mereka ketika menulis atau berbicara √ √ √
4  Memahami dan mampu menyelesaikan masalah √ √ √
 Mengembangkan jawaban atas bagian-bagian yang sesuai/ tepat √ - -
 Memberikan alasan terhadap kesimpulan yang diambil √ √ -
 Mencari cara-cara baru untuk berpikir tentang masalah yang diberikan - - -
5  Memahami konsep √ √ √
 Memahami materi-materi prasyarat yang relevan/ terkait. √ √ -
Keterangan:
√ = keterampilan berpikir tingkat tinggi muncul
- = keterampilan berpikir tingkat tinggi tidak muncul

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa pada beberapa
keterampilan lebih banyak muncul daripada tidak muncul. Hal ini jauh lebih baik dibandingkan
ketuntasan belajar siswa secara klasikal, yaitu termasuk dalam kategori belum tuntas secara klasikal.
Hasil tes belajar siswa berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata siswa pada dua
kali pertemuan diperoleh 16 dari 22 orang siswa dinyatakan tuntas. Namun, jika dihitung persentasenya,
diperoleh 73% siswa dalam satu kelas yang tuntas, sedangkan 27% siswa dalam kelas belum tuntas. Hal
ini menunjukkan bahwa pada pembelajaran materi bangun ruang sisi lengkung melalui metode
Penemuan, siswa dalam kelas tersebut belum mencapai ketuntasan belajar secara klasikal.

5. Kesimpulan
Kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa melalui metode penemuan dinyatakan muncul dengan
keterampilan yang berbeda-beda pada tiap-tiap siswa. Siswa berkemampuan tinggi berdasarkan nilai
hasil tes cenderung memiliki seluruh keterampilan yang menjadi indikator kemampuan berpikir tingkat
tinggi, siswa berkemampuan sedang memiliki sebagian keterampilan, dan siswa berkemampuan rendah
berdasarkan nilai hasil tes memiliki hanya sedikit keterampilan yang menjadi indikator kemampuan
berpikir tingkat tinggi. Hal ini menunjukkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa berbanding lurus
dengan pencapaian hasil belajar siswa.

Daftar Pustaka

IMSTEP-JICA. (1999). Monitoring Report on Current Practice on Mathematics and Science


Teaching and Learning. Bandung: IMSTEP- JICA.

Meolong, Lexy J. (2004). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Mullis, I.V.S. dkk, (2004). International Mathematics Report. Boston: The International Study Center
Boston College.

NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. United State of America: NCMR
Inc.

NCTM. (2012). Five High Order Thinking Skill. Diakses pada 31 Juli 2013, dari alamat
http://cd1.edb.hkedcity.net/cd/maths/en/ref_res/material/hots_e/5Skill_e.pdf

Nur, Fatayati. (2012). Pengaruh Metode Pembelajaran Penemuan Terbimbing terhadap Prestasi
Belajar dan Kemampuan Representasi Matematika Siswa SMK Negeri 1 Godean. S1 Thesis,

112
Universitas Negeri Yogyakarta. Diakses pada 12 Oktober 2013, dari alamat
http://eprints.uny.ac.id/9362/3.pdf

Nur & Ibrahim. (2011). Berpikir Tingkat Tinggi. Diakses pada 1 Maret 2013, dari alamat
http://idarianawaty. wordpress.com/2011/08/10/berpikir-tingkat-tinggi-higher-order-thinking/

Roestiyah, NK. (2001). Srategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Sagala, S. (2102). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.

Solso, Robert dkk. (2008). Psikologi Kognitif. Jakarta: Erlangga.

113
MOTIVASI SISWA DALAM PEMBELAJARAN UNSUR-UNSUR KUBUS
MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN QUANTUM
TEACHING DI KELAS VIII MTSN LAMBALEK KABUPATEN ACEH
BARAT

Listika Burais1
1
Prodi Pasca Sarjana Pendidikan matematika, Universitas Syiah Kuala
Email: listikaburais2013@gmail.com

Abstrak. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus menerus dari waktu
ke waktu menunjukkan adanya keinginan dari berbagai pihak untuk membuat perubahan
yang lebih baik dalam sistem pendidikan di Indonesia. Banyak faktor yang dapat
menyebabkan rendahnya hasil belajar matematika. Salah satunya adalah kurangnya
motivasi siswa dalam menerima materi pelajaran sehingga menimbulkan berbagai
masalah yang dihadapi guru ketika kegiatan pembelajaran berlangsung. Dalam makalah
ini, akan dibahas mengenai motivasi siswa dalam pembelajaran unsur-unsur kubus
melalui penerapan model pembelajaran Quantum Teaching di kelas VIII MTsN lambalek.
Kerangka rancangan model pembelajaran Quantum Teaching diistilahkan dengan kata
TANDUR, yaitu: Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi, Rayakan. Azas
utama Quantum Teaching bersandar pada konsep: “Bawalah Dunia Mereka ke Dunia Kita
dan Antarkan Dunia Kita ke Dunia Mereka” Diharapkan dengan adanya model
pembelajaran ini dapat memotivasi siswa dalam pembelajaran sehingga memperoleh
hasil belajar yang baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, dari 15 siswa, 14
diantaranya mencapai nilai di atas KKM. Nilai KKM yang telah ditentukan adalah 70.
Berdasarkan analisis angket yang dibagikan kepada siswa, menunjukkan bahwa siswa
sangat termotivasi dalam pembelajaran menggunakan model pembelajaran Quantum
Teaching.

Kata Kunci: Quantum teaching, motivasi, hasil belajar, unsur kubus

1. Pendahuluan

Latar belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus menerus dari waktu ke waktu menunjukkan
adanya keinginan dari berbagai pihak untuk membuat perubahan yang lebih baik dalam sistem
pendidikan di Indonesia, akan tetapi perubahan yang ditunjukkan belum menunjukkan hasil yang
menggembirakan. Berdasarkan data dari kementerian pendidikan pada tahun 2013, menunjukkan bahwa
nilai ujian nasional untuk pelajaran matematika siswa masih tergolong rendah dibandingkan pelajaran
yang lain.

Banyak faktor yang dapat menyebabkan rendahnya hasil belajar matematika, diantaranya faktor guru,
faktor siswa maupun proses belajar mengajar. Kurangnya motivasi siswa dalam menerima materi
pelajaran sering menimbulkan berbagai masalah yang dihadapi guru ketika kegiatan pembelajaran
berlangsung. Seringkali saat berlangsungnya pembelajaran siswa merasa acuh tak acuh, kurang percaya
diri, dan kurang bergairah dalam belajar. Tugas seorang guru akan menjadi lebih berat ketika siswanya
mengeluh dan tidak dapat menjawab soal latihan yang berujung pada hasil belajar yang tidak
memuaskan. Berdasarkan akar masalah yang ditemukan, faktor utama yang harus segera dicarikan
solusinya adalah : bagaimana meningkatkan motivasi siswa untuk belajar matematika sehingga siswa
dapat memusatkan perhatian, menumbuhkan rasa ingin tau dan mencapai tingkat kepuasan dan hasil
pembelajaran yang lebih baik. Menurut Lie (2005) Paradigma lama dimana guru memberikan
pengetahuan kepada siswa yang pasif sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Untuk itu selain penguasaan
materi, seorang guru dituntut memiliki ketrampilan dalam menyampaikan materi yang diajarkan dan
mampu menciptakan susana belajar alamiah yang menarik sehingga siswa termotivasi dan terus aktif
melaksanakan pembelajaran.

Konsep geometri merupakan salah satu konsep matematika yang harus dikuasai oleh siswa SMP atau
MTs. Penguasaan konsep-konsep dalam geometri merupakan hal utama yang harus dipahami oleh setiap

114
siswa. Kubus merupakan salah satu bangun ruang yang merupakan bahagian dari geometri. Kompetensi
dasar yang diharapkan dari pembelajaran bangun ruang khususnya geometri adalah mengenal unsur-
unsur kubus. Salah satu model pembelajaran yang dipandang sesuai untuk mengatasi permasalahan di
atas yang berhubungan dengan materi unsur-unsur pada kubus adalah pembelajaran Quantum Teaching.
Bedasarkan uraian di atas penulis mengambil judul: “Motivasi siswa dalam pembelajaran unsur-
unsur kubus melalui penerapan model pembelajaran Quantum Teaching di kelas VIII MTsN
Lambalek Kabupaten Aceh Barat”

Tujuan penelitian
Untuk mengetahui bagaimana motivasi siswa dalam pembelajaran unsur-unsur kubus melalui
penerapan model pembelajran Quantum Teaching di kelas VIII MTsN Lambalek Kabupaten Aceh Barat

Manfaat penelitian
Diharapkan dengan adanya penelitian dapat mengembangkan kreatifitas guru dalam mempersiapkan
pembelajaran secara maksimal sebagai persiapan diri sebelum melakukan proses belajar mengajar.

2. Tinjauan Pustaka

Model pembelajaran
Winataputra dalam Sugiyanto (2008) mengemukakan bahwa model pembelajaran adalah kerangka
konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar
untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para pencanang
pembelajaran dan para pengajar dalam mencanangkan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran.
Sugiyanto (2008) mengemukakan bahwa ada banyak model pembelajaran yang dikembangkan oleh
para ahli dalam usaha mengoptimalkan hasil belajar siswa. Model pembelajaran tersebut antara lain
terdiri dari:
1) ModelPembelajaranKontekstual
Model pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang mendorong guru untuk
menghubungkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa. Pembelajaran ini
juga mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan
penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pengetahuan dan keterampilan siswa
diperoleh dari usaha siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru ketika
siswa belajar.
2) Model Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran kooperatif merupakan pendekatan pembelajaran yang berfokus pada
penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar
untuk mencapai tujuan belajar.
3) Model Pembelajaran Kuantum
Model pembelajaran kuantum merupakan rakitan dari berbagai teori atau pandangan psikologi
kognitif dan pemrograman neurologi yang jauh sebelumnya sudah ada.

4) Model Pembelajaran Terpadu


Model pembelajaran terpadu merupakan pembelajaran yang memungkinkan siswa baik secara
individual maupun kelompok aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip secara
holistik. Pembelajaran ini merupakan model yang mencoba memadukan beberapa pokok bahasan.
5) Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning – PBL)
Model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning – PBL) merupakan pembelajaran
yang mengambil psikologi kognitif sebagai dukungan teoritisnya. Fokusnya tidak banyak pada apa
yang sedang dikerjakan siswa tetapi pada apa yang siswa pikirkan selama mereka mengerjakannya.
Guru memfungsikan diri sebagai pembimbing dan fasilitator sehingga siswa dapat belajar untuk
berfikir dan menyelesaikan masalahnya sendiri.

Motivasi
Kata “motif” diartikan sebagai daya upaya mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Menurut
Sardiman (2001), motif dapat diartikan daya penggerak dari dalam dan didalam subyek untuk
melakukan aktivitas demi tercapainya suatu tujuan. Sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia
motivasi adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar untuk melakukan suatu tindakan
dengan tujuan tertentu.

115
Menurut Santrock, motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah, dan kegigihan perilaku.
Artinya, perilaku yang memiliki motivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah, dan bertahan lama
(Santrock, 2007).Dalam kegiatan belajar, maka motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya
penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari
kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh
subjek belajar itu dapat tercapai (Sardiman, 2001).

Terdapat dua aspek dalam teori motivasi belajar yaitu:


a. Motivasi ekstrinsik, yaitu dorongan terhadap perilaku seseorang yang ada di luar perbuatan yang
dilakukannya karena dorongan dari luar.(Dimyati : 2002) Motivasi ekstrinsik sering dipengaruhi
oleh insentif eksternal seperti imbalan dan hukuman. Misalnya, murid belajar keras dalam
menghadapi ujian untuk mendapatkan nilai yang baik.
b. Motivasi intrinsik, yaitu motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi sesuatu itu sendiri
(tujuan itu sendiri) (Santrock :2007). Misalnya, murid belajar menghadapi ujian karena dia senang
pada mata pelajaran yang diujikan itu.

3. Metode Penelitian

Model pembelajaran Quantum Teaching merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat
membuat siswa langsung mengalami permasalahan, menemukan sendiri jawaban atas permasalahan dan
beraktivitas sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai saat ini. Deporter (2010) menjelaskan
Quantum teaching adalah pengubahan belajar yang meriah dengan segala nuansa yang menyertakan
segala kaitan, interaksi dan perbedaan yang memaksimalkan momen belajar. Model pembelajaran
Quantum Teaching menganut pendekatan yang segar, mengalir, praktis dan mudah diterapkan, yang
menawarkan suatu sintesis yang ingin dicapai.

Azas utama model pembelajaran quantum teaching


Quantum Teaching bersandar pada konsep: “Bawalah Dunia Mereka ke Dunia Kita dan Antarkan Dunia
Kita ke Dunia Mereka”. De Porter B (2005), menjelaskan bahwa seorang guru mampu menjembatani
jurang antara dunia siswa dan dunia mereka untuk memasuki dunia siswa. Oleh karena itu, guru harus
memasuki dunia murid, dengan cara mengaitkan apa yang diajarkan dengan sebuah peristiwa, pikiran,
atau perasaan yang diperoleh dari kehidupan sehari-hari. Setelah kaitan itu terbentuk, guru dapat
membawa siswa ke dalam dunia guru dan memberi pemahaman yang dimiliki guru mengenai dunia itu,
sehingga siswa dapat membawa apa yang telah mereka pelajari ke dalam dunia mereka dengan
menerapkannya pada situasi baru dalam dunia mereka.

Prinsip-prinsip pembelajaran quantum teaching


Quantum teaching memiliki lima prinsip atau kebenaran tetap yang mempengaruh gaya belajar.
Menurut Deporter. B (2005) prinsip-prinsip yang mempengaruhi gaya belajar tersebut adalah:
a. Segalanya berbicara, artinya segalanya dari lingkungan kelas hingga bahasa tubuh guru, intonasi
guru dan ruang kelas, semuanya menyampaikan pesan tentang belajar.
b. Segalanya bertujuan, artinya semua yang dipraktekkan, disampaikan guru, serta yang terjadi dalam
proses belajar mempunyai tujuan tersendiri dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas,
tujuan yang sama bagi seluruh siswa adalah mengembangkan kecakapan dalam mata pelajaran,
menjadi pelajar yang baik, serta mengembangkan ketrampilan yang dimiliki.
c. Pengalaman sebelum pemberian nama, artinya proses belajar yang paling baik ketika siswa telah
menjalani atau mengalami informasi sebelum mereka memperoleh nama untuk apa yang mereka
pelajari dalam proses belajar mengajar di kelas.
d. Akui setiap usaha, artinya belajar mengandung resiko. Belajar berarti melangkah keluar dari
kenyamanan, maka setiap usaha yang ditempuh siswa sudah selayaknya mendapat pengakuan atas
kepercayaan diri mereka dari guru.
e. Jika layak dipelajari, maka layak pula dirayakan,artinya perayaan adalah sarapan para juara.
Perayaan memberikan umpan balik mengenai kemajuan dan meningkatkan asosiasi emosi positif
dan belajar.

Kerangka rancangan model pembelajaran quantum teaching


Kerangka Rancangan Belajar Quantum Teaching dikenal dengan istilah TANDUR, yaitu: (T)
Tumbuhkan, (A) Alami, (N) Namai, (D) Demonstrasikan, (U) Ulangi, (R) Rayakan. Menurut Johar dkk

116
(2013) dalam Modul Strategi Belajar Mengajar Matematika, kerangka TANDUR dapat dirumuskan
sebagai berikut:
a. Tumbuhkan.
Guru menumbuhkan minat belajar siswa dengan memuaskan. Tumbuh kesadaran “apa manfaat
bagiku?” , yaitu menyadari manfaat mempelajari suatu konsep bagi siswa. Untuk itu guru
menjelaskan tujuan pembelajaran dan manfaatnya bagi siswa.
b. Alami
Guru meminta siswa menyelasikan masalah nyata baik secara individu maupun berkelompok,
dengan memanfaatkan berbagai sumber belajar/alat/bahan. Guru memberi bimbingan kepada
siswa sekedarnya ketika siswa menyelesaikan maslah nyata dan memberi pengakuan atau
penguatan.
c. Namai
Setelah siswa menjalani tahapan kedua yakni mengalami proses beajar sampai siswa menemukan
suatu temuan baru, maka guru memberi nama temuan tersebut apakah konsep, simbol, definisi,
rumus, dalil, atau teori baru. Nama tersebut benar-benar muncul melalui proses yang
dikonstruksikan dari masalah yang telah diselesaikan siswa.
d. Demonstrasikan
Guru memberikan kesempatan kepada siswa memperlihatkan bahwa mereka bisa
melakukan/menyelesaikan masalah-masalah baru yang ekuivalen atau sedikit lebih sulit dengan
masalah yang telah dialaminya dalam kegiatan pembelajaran.
e. Ulangi
Guru bersama siswa merangkum materi yang telah dipelajari. Melalui tanya jawab guru
menggiring siswa untuk dapat mengulangi materi yang telah dibahas. Melalui tahapan ulangi guru
mendapat umpan balik tentang kemajuan yang didapatkan siswa.
f. Rayakan
Guru memberikan penghargaan berupa pujian atau hadiah bagi siswa yang berhasil menunjukkan
prestasi gemilang dan ini tidak boleh terabaikan oleh guru. Pengakuan akan prestasi yang bagus
akan memotivasi siswa untuk cenderung mempertahankan atau malah meningkatkan prestasinya.
Penghargaan yang cepat dan tepat amat dibutuhkan siswa sebagai pengakuan atas kemampuannya.

4. Pembahasan dan Hasil

Pembahasan
Kesesuaian Materi Dengan Model

Materi yang diambil dalam uji coba ini adalah kubus dengan sub pokok pembahasan unsur-unsur pada
kubus khususnya tentang diagonal bidang, diagonal ruang dan bidang diagonal pada kubus. Materi
unsur-unsur kubus ini dapat disesuaikan dengan model Quantum Teaching yaitu siswa mencoba
menemukan sendiri konsep dan rumus untuk menghitung panjang diagonal, panjang diagonal ruang dan
luas bidang diagonal. Sehingga dapat terjadi aktivitas siswa mengalami, menamai, demonstrasi dan
mengulanginya dengan menerapkan rumus dan menghitung panjang diagonal ruang, diagonal bidang
dan bidang diagonal. Sehingga dengan aktivitas TANDUR siswa menjadi bersemangat, menambah
minat dan motivasi dalam belajar dan meningkatkan hasil belajar siswa.

Komponen Model Pembelajaran Quantun Teaching (Sesuai Praktek di Kelas)


1. Sintaks (Fase)
Adapun fase pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran Quantun Teaching Sebagai
berikut:

Tahap pertama: Tumbuhkan


Pada tahap ini guru mencoba menumbuhkan minat siswa dengan konsep “Apa Manfaat Bagiku?”
mempelajari unsur-unsur kubus. Dengan menampilkan slide power point guru menjelaskan tujuan
pembelajaran, memberi apersepsi tentang diagonal dan memberikan motivasi dengan menjelaskan
manfaat dari pembelajaran yang dilakukan. Motivasinya berupa gambar sebuah kado yang telah
dihiasi dengan sehelai pita, siswa ditantang menghitung panjang pita yang diperlukan untuk
menghiasi kado tersebut. Guru juga memotivasi siswa dengan mengaitkan materi dengan sikap
spiritual dan sikap sosial yang berhubungan dengan kubus.

Tahap Kedua : Alami

117
Diagonal bidang: Setiap kelompok menempelkan pita pada setiap bidang kubus secara diagonal.
Siswa menghitung jumlah pita yang ditempelkan.
Diagonal bidang: Setiap kelompok menancapkan lidi pada sangkar yang telah dibuat siswa dengan
pelepah rumbia pada sudut-sut yang saling berhadapan di dalam kubus.. Siswa menghitung jumlah
lidi yang ditancapkan seluruhnya.
Bidang diagonal: Setiap kelompok memotong kue yang telah disediakan sehingga terlihat bidang
potongnya. Siswa menghitung jumlah bidang potong kue yang tampak pada kue.

Tahap ketiga: Namai


Pada LKS, guru telah menamai setiap kegiatan misalnya; Panjang pita disebut diagonal bidang,
panjang lidi disebut diagonal rung dan bidang potong kue disebut bidang diagonal.

Tahap keempat: Demonstrasikan


Berdasarkan hasil yang telah dilakukan pada kegiatan yang diuraikan di LKS, maka setiap
kelompok diminta mempresentasikan hasil kerja kelompoknya sesuai pembagian tugas yang telah
diatur oleh guru yaitu setiap kelompok mempresentasikan masing-masing satu kegiatan.

Tahap kelima: Ulangi


Siswa diberikan beberapa soal latihan untuk mengulang apa yang telah mereka dapatkan saat
bekerja dalam kelompok. Sehingga mereka dapat mengaplikasikan/menerapkan konsep yang telah
mereka dapatkan.

Tahap keenam: Rayakan


Guru memberikan refleksi, memberi penguatan tentang kesimpulan materi yang telah dipelajari
dan untuk merayakan pembelajaran yang telah dilakukan pada pertemuan ini, guru bersama siswa
merayakan pembelajaran dengan mempersilakan siswa untuk mebuka kado yang digunakan
sebagai bahan praktek. Dan isi didalamnya diminta untuk dibagikan kepada teman-teman
sekelompoknya dengan adil.

2. Sistem Sosial
Jumlah siswa di dalam kelas seluruhnya 17 orang, tetapi yang hadir pada hari ini berjumlah 15
orang. Siswa belajar dalam kelompok yang beranggotakan 3-4 siswa. Siswa bebas berfikir serta
berperilaku dalam proses pembelajaran. Model ini menuntut agar antara guru dan siswa terdapat
hubungan yang kooperatif di mana guru menjalankan dwifungsi sebagai pemrakarsa dan
pengontrol aktivitas siswa pada setiap tahap. Selain itu guru menjadi fasilitator bagi kegiatan siswa
dalam proses belajar mengajar.

3. Prinsip Reaksi
Prinsip reaksi bermakna sikap dan perilaku guru untuk menanggapi dan merespon bagaimana
siswa memproses informasi, menggunakannya sesuai pertanyaan yang diajukan oleh guru. Tugas
penting yang diemban guru pada tahap ini adalah menangkap kesiapan siswa menerima informasi
baru dan aktivitas mental baru untuk dipahami dan diterapkan.Selama diskusi kelompok guru
bertindak sebagai fasilitator. Guru berupaya agar kegiatan diskusi mengutakan nilai demokratis
dan kemandirian setiap kelompok.

4. Suasana Dalam Kelas


Suasana kelas pada saat proses belajar mengajar sudah sangat kondusif meskipun pada awal
pembelajaran siswa masih merasa canggung dengan perbedaan yang ada di dalam kelasnya.
Misalnya: ada yang merekam kegiatan pembelajaran, sehingga memberikan kesan kaku pada
siswa. Tetapi, seiring berjalannya waktu, kondisi ini kembali normal. Berikut adalah kegiatan
selama pembelajaran:

118
Gambar 1: Tumbuhkan

Gambar 2: Alami

Gambar 3: Namai

Gambar 4: Demonstrasikan

Gambar 5: Ulangi

119
Gambar 6 : Rayakan

Hasil

Jika dipandang dari segi ketercapaian tujuan pembelajaran, pembelajaran ini dikategorikan berhasil,
walaupun terdapat beberapa kendala yang menghambat misalnya: harus tersita waktu istirahat siswa,
walaupun demikian siswa tidak mengeluh, karena mereka tampak sangat antusias dalam mengikuti
pembelajaran. Walaupun pembelajaran telah berlangsung cukup lama, tapi siswa tidak merasakan waktu
terus berjalan karena mereka sibuk dengan kegiatan selama pembelajaran, baik kegiatan pada LKS
maupun kegiatan pada saat presentasi. Terlebih lagi saat yang ditunggu-tunggu adalah kegiatan
merayakan pembelajaran, mereka sudah bersiap-siap untuk membuka kado-kado yang menjadi alat
peraga.

Berdasarkan hasil pengerjaan latihan yang dilakukan oleh 15 siswa, 14 orang siswa memperoleh nilai
diatas batas KKM yang telah ditentukan untuk materi ini, yaitu 70, hanya 1 orang yang mendapat nilai
di bawah KKM. Berdasarkan pengamatan hasil pengerjaan latihannya, siswa ini mengalami kendala
dalam mengerjakan operasi aljabar dalam menyelesaikan soal latihan. Secara persentase, 93 % siswa
mencapai nilai ketuntasan.

Penilaian sikap rasa ingin tahu dan tanggung jawab siswa yang dilakukan guru selama proses
pembelajaran dapat terlihat bahwa, pada sikap rasa ingin tahu terdapat 12 siswa dikategorikan “sangat
baik” dan 3 siswa “baik”. Dari ketiga siswa ini menunjukkan bahwa mereka kurang ikut serta saat
teman-teman sekelompoknya mengerjakan kegiatan di LKS yang berhubungan dengan perhitungan,
tetapi saat mempraktekkan kerja pada alat peraga, mereka sangat bersemangat. Untuk penilaian sikap
“tanggung jawab” terdapat 12 siswa dikategorikan “sangat baik” dan 4 siswa dikategorikan “baik”.

Untuk mengukur tingkat motivasi siswa, pernyataan dalam angket dikategorikan dalam 3 kategori,
yaitu, perhatian, rasa percaya diri dan tingkat kepuasaan selama proses pembelajaran berlangsung.
Berdasarkan angket yang telah diisi oleh siswa, dapat terlihat bahwa dari 4 pernyataan yang
berhubungan dengan kategori perhatian, 3 pernyataan tergolong “sangat baik” dan 1 pernyataan
tergolong “baik”. 4 pernyataan tergolong “sangat baik” dalam kategori tingkat kepuasan siswa dalam
proses belajar mengajar. Dan 2 pernyatan tergolong “baik” dalam kategori rasa percaya diri siswa.
Berdasarkan rata-rata gabungan dari setiap pernyataan, dapat dinyatakan motivasi siswa tergolong
“sangat baik”.

5. Kesimpulan

Penerapan model pembelajaran Quantum Teaching pada materi unsur-unsur kubus disaat proses belajar-
mengajar berlangsung di MTsN Lambalek kelas VIII-A sangat memotivasi siswa untuk dapat
menemukan, memahami dan mengaplikasikan konsep yang berhubungan dengan materi ini. Hasil
belajar yang dicapai oleh siswa juga sangat baik.

Daftar Pustaka

Deporter, Bobby, dkk. (2010). Quantum Teaching (Mempraktekkan Quantum Learning di Ruang-ruang
kelas). Bandung: Kaifa.

De Porter, Bobby. (2005). Quantum Teaching. 2005. Bandung: Kaifa.

120
Depdiknas. (2003). Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: UU 20 Tahun 2003.

Dimyati. Mudjiono. (2002). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Johar, Rahmah. (2013). Modul: Strategi Belajar Mengajar Matematika. Banda Aceh: FKIP UNSYIAH.

Lie, Anita. (2005). Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Gramedia.

Nurjannah. (2006). Efektivitas Pembelajaran Quantum Teaching pada Materi Pokok Bahasan Bilangan
Bulat di SMPN 6 Banda Aceh. Banda Aceh: FKIP UNSYIAH.

Santrock, John.W. (2007). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Sardiman. (2001). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sugiyanto. (2008). Model Strategi Pembelajaran Inovatif . Surakarta: Panitia Sertifikasi Guru Rayon
13.

Tim Penyusun. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

121
PENERAPAN MODEL KOOPERATIF TIPE BERKIRIM SALAM DAN
SOAL PADA MATERI TURUNAN FUNGSI DI KELAS XI SMA
LABORATORIUM UNSYIAH BANDA ACEH

Elianti1, dan Marhami2


1
Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
2
Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Abstrak. Salah satu unsur yang dapat mendorong terlaksananya proses pembelajaran
dengan baik adalah model pembelajaran. Guru dituntut agar dapat mendesain model
pembelajaran semenarik mungkin yang dapat menimbulkan minat serta motivasi siswa
dalam belajar. Dalam pembelajaran matematika, guru perlu mencoba menerapkan
berbagai model yang sesuai dengan tuntutan materi pembelajaran, termasuk dalam
penerapan model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif yang dapat
menarik minat siswa dalam belajar salah satunya adalah berkirim salam dan soal. Model
ini melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melatih
keterampilan dan kemampuan siswa, dan menciptakan suasana belajar yang
menyenangkan. Penelitian yang berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif
Tipe Berkirim Salam dan Soal pada Materi Turunan Fungsi di Kelas XI SMA
Laboratorium Unsyiah Banda Aceh” ini bertujuan untuk melihat ketuntasan hasil belajar
siswa yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe berkirim
salam dan soal pada materi turunan fungsi di kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah Banda
Aceh. Populasinya adalah seluruh siswa kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah Banda
Aceh yang terdiri dari empat kelas. Adapun sampel pada penelitian ini diambil secara
acak yaitu kelas XI IPA3 yang berjumlah 32 orang. Penggumpulan data dilakukan melalui
tes akhir yang diberikan kepada siswa setelah selesainya penerapan pembelajaran model
berkirim salam dan soal. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan uji-t pada taraf
nyata 𝛼 = 0,05 dan derajat kebebasan dk = 31. Dari hasil pengoahan data diperoleh thitung
< ttabel (0,34 < 1,70), ini menunjukkan bahwa H0 diterima dan dapat disimpulkan bahwa
penerapan model kooperatif tipe berkirim salam dan soal pada materi turunan fungsi di
kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah belum mencapai ketuntasan.
Kata kunci: hasil belajar, model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal,
turunan fungsi

1. Pendahuluan

Matematika merupakan salah satu pengetahuan yang melatih berpikir logis, kritis, dan kreatif.
Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan
memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan
kompetitif. Sehingga peserta didik dapat menghadapi laju perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang begitu pesat.

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang ada di setiap jenjang pendidikan. Salah satu
materi matematika yang diajarkan di SMA (Sekolah Menengah Atas) adalah turunan fungsi. Turunan
fungsi merupakan salah satu dari tiga topik terpenting dalam kalkulus selain limit dan integral yang
diajarkan di kelas XI semester genap SMA/MA. Beberapa materi prasyarat yang harus dikuasai peserta
didik sebelum mempelajari materi turunan fungsi diantaranya fungsi, konsep limit fungsi, aljabar, dan
trigonometri.

Turunan fungsi banyak digunakan dalam bidang-bidang seperti fisika, kimia, biologi, ekonomi, dan
lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Sulistiyono (2007:148), “Konsep turunan fungsi yang universal
banyak sekali digunakan dalam bidang ekonomi untuk menghitung keuntungan marginal, biaya total
(total cost) atau total penerimaan (total revenue), juga dalam bidang biologi untuk menghitung laju
pertumbuhan organisme, dalam bidang fisika untuk menghitung kepadatan kawat, dalam bidang kimia
untuk menghitung laju pemisahan, dan banyak disiplin ilmu lainnya”.

122
Meskipun materi turunan fungsi merupakan salah satu penyumbang soal dalam Ujian Nasional (UN)
dan tes SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri), namun pada kenyataannya di
lapangan sangatlah memprihatinkan. Ternyata kebanyakan siswa di beberapa SMA/MA sederajat di
Banda Aceh masih memiliki kendala dalam menyelesaikan permasalahan tentang turunan fungsi seperti
pada menentukan turunan fungsi aljabar dan fungsi trigonometri. Keterangan ini diperoleh dari hasil
wawancara dengan Bu Chaira Usrati, S. Pd, salah satu guru matematika di SMA Laboratorium Unsyiah
dan beberapa siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian
Rahmawati (2010:90) menyimpulkan bahwa masih banyak siswa yang memecahkan masalah
differensial hanya dengan coba-coba dan penyelesaian masalah dilakukan selalu berorientasi pada
tujuan yang dicapai tanpa suatu aturan khusus yang mengikuti aturan-aturan operasi matematika. Dari
hasil tes tersebut menunjukkan bahwa banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam memecahkan
masalah turunan dari bentuk perpangkatan dan turunan dari fungsi-fungsi trigonometri.

Untuk mengatasi kesulitan siswa tersebut perlu dikembangkan suatu model pembelajaran yang tidak
monoton hanya mentransfer pengetahuan kepada siswa tetapi juga dapat menarik minat siswa sehingga
siswa terlibat aktif dalam pembelajaran dan memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan
potensinya secara maksimal. Salah satu model pembelajaran yang dimaksud adalah model pembelajaran
kooperatif. Johar dkk (2006:31) mengatakan, “Pembelajaran kooperatif adalah salah satu model dimana
aktivitas pembelajaran dilakukan guru dengan menciptakan kondisi belajar yang memungkinkan
terjadinya proses belajar sesama siswa. Proses interaksi akan memungkinkan apabila guru mengatur
kegiatan pembelajaran dalam suatu setting siswa bekerja sama dalam suatu kelompok”. Sementara itu,
Roger (Huda, 2011:29) mengatakan, “Pembelajaran kooperatif merupakan aktivitas pembelajaran
kelompok yang diorganisir oleh satu prinsip bahwa pembelajaran harus didasarkan pada perubahan
informasi secara sosial di antara kelompok-kelompok pembelajar yang di dalamnya setiap pembelajar
bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri dan didorong untuk meningkatkan pembelajaran
anggota-anggota yang lain ”.

Salah satu model dalam pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran berkirim salam dan soal.
Model ini dilakukan dengan membentuk kelompok yang terdiri dari 4 orang. Setiap kelompok nantinya
akan mengutus salah satu orang anggotanya untuk mengirimkan soal kepada kelompok lain. Kelompok
yang menerima soal tersebut harus menjawabnya yang kemudian dicocokkan dengan jawaban dari
kelompok yang mengirim soal. Teknik ini dapat menjadi alternatif bagi guru untuk menerapkan model
pembelajaran yang dapat memacu minat siswa sehingga membantu dalam memahami materi pelajaran.
Sehubungan dengan ini, hasil penelitian Adistiani (2011:71) menyimpulkan bahwa peningkatan
kemampuan pemahaman siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model cooperative learning
teknik berkirim salam dan soal pada pembelajaran TIK lebih baik dibandingkan dengan siswa yang
mendapatkan pembelajaran dengan menggunakan model konvensional.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
Apakah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal pada materi turunan
fungsi dapat mencapai ketuntasan hasil belajar siswa kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah Banda
Aceh?

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk melihat ketuntasan hasil belajar siswa yang diajarkan melalui
model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal pada materi turunan fungsi di kelas XI
SMA Laboratorium Unsyiah Banda Aceh.

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan dan membangkitkan motivasi agar
memunculkan minat dalam belajar sehingga dapat dengan mudah memahami materi pelajaran. Serta
sebagai alternatif untuk memilih model pembelajaran yang variatif dan inovatif sehingga siswa dapat
termotivasi dalam belajar.

2. Tinjauan Pustaka

Model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal


Huda (2011:137) mengatakan bahwa teknik Berkirim Salam dan Soal memberi siswa kesempatan
untuk melatih keterampilan dan kemampuan siswa. Siswa membuat pertanyaan sendiri, sehingga

123
siswa akan lebih terdorong untuk belajar dan menjawab pertanyaan yang dibuat oleh teman-teman
sekelasnya. Model ini dapat diterapkan untuk semua mata pelajaran dan tingkatan kelas.

Menurut Huda (2011:137), langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif Tipe Berkirim Salam dan Soal
di antaranya sebagai berikut:
1. Guru membagi siswa dalam kelompok berempat dan setiap kelompok ditugaskan untuk
menuliskan beberapa pertanyaan yang akan dikirim ke kelompok yang lain. Guru dapat
mengawasi dan membantu memilih soal-soal yang tepat.
2. Kemudian, masing-masing kelompok mengirimkan salah seorang anggotanya yang akan
menyampaikan “salam dan soal” dari kelompoknya kepada kelompok lain. (Salam bisa berupa
yel-yel atau ungkapan-ungkapan unik yang menjadi ciri khas setiap kelompok).
3. Setiap kelompok mengerjakan soal kiriman dari kelompok lain.
4. Setelah selesai, jawaban tersebut dikirimkan kembali ke kelompok asal untuk dikoreksi dan
diperbandingkan satu sama lain.

Ada kalanya suasana kelas pada saat pembelajaran berlangsung menjadi jenuh dan membosankan. Lie
(2010:51) mengatakan bahwa untuk menghidupkan semangat belajar siswa dan mempererat hubungan
dalam kelompok, siswa bisa disuruh menciptakan sapaan dan sorak khas kelompok. Siswa bisa
mengembangkan kreativitas mereka dengan menciptakan cara menyapa rekan-rekan dalam satu
kelompok yang disesuaikan dengan identitas kelompok mereka. Demikian pula dengan sorak
kelompok, siswa bisa membuat ungkapan sederhana namun meriah, misalnya
“Hebat...hebat..hebat...hebat Einsten!, Kami datang untuk belajar bersama-sama...ya...ya...ya!,
Ole...ole...ole...terimalah kami /datang bertamu /untuk belaja /kepada Anda, Oke..oke..oke?!, Hai
teman-teman /ayo...ayo...ayo/ kita belajar supaya pintar!, dan sebagainya”. Pendidik dapat menyarankan
agar siswa dapat membuat yel-yel atau nyanyian kelompok yang baik. Sehingga siswa merasa
pembelajaran lebih menyenangkan karena diisi pula kegiatan yang bersifat non akademis.

Lie (2010:58) menyebutkan beberapa dari kelebihan teknik berkirim salam dan soal diantaranya:
1. Melatih pengetahuan peserta didik
2. Melatih keterampian berpikir peserta didik.
3. Bisa digunakan untuk semua mata pelajaran dan semua tingkatan usia anak didik
4. Cocok untuk persiapan menjelang tes dan ujian.

Sedangkan kekurangan dari teknik berkirim salam dan soal diantaranya:


1. Membutuhkan lebih banyak waktu
2. Membutuhkan sosialisasi yang lebih baik
3. Salam (yel-yel) dari kelompok akan mempengaruhi konsentrasi dari kelompok lain yang tidak
bersangkutan.

Implementasi pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal pada materi
turunan fungsi
Langkah-langkah pembelajaran turunan fungsi dengan model kooperatif tipe berkirim salam dan soal
adalah sebagai berikut:

a. Pendahuluan
1. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yaitu menentukan turunan perkalian fungsi.
2. Guru memberikan motivasi dan mengingatkan materi sebelumnya yang relevan dengan
materi turunan yang akan dipelajari.
3. Guru menjelaskan langkah-langkah pembelajaran model kooperatif tipe berkirim salam dan
soal.
b. Kegiatan Inti
1. Guru menjelaskan inti-inti dari materi yang akan dipelajari serta memberikan contoh soal dan
contoh cara membuat soal dari suatu informasi yang diberikan.
2. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menanyakan hal-hal yang belum
dimengerti.
3. Guru membagi siswa ke dalam kelompok-kelompok yang beranggotakan 4-5 orang.
4. Guru meminta setiap kelompok untuk membuat sebuah salam (yel-yel) yang nantinya akan
dikirimkan kepada kelompok lain.

124
5. Guru membagikan LKS yang di dalamnya telah ada soal yang dibuat oleh guru dan siswa
hanya diminta menjawab soal di tempat (lembaran LKS) yang disediakan dan juga informasi
tertentu agar siswa dapat membuat soal lain yang akan dikirimkan/diberikan kepada
kelompok lain.
Berikut contoh soal yang dibuat oleh siswa.
Informasi yang diberikan oleh guru:
Diberikan suatu fungsi 𝑓(𝑥) = 3𝑥 + 4, buatlah satu soal tentang turunan perkalian fungsi
dari fungsi tersebut, kamu juga boleh menambahkan informasi yang lain, kemudian
selesaikanlah!
Soal yang dibuat oleh siswa:
- Diketahui suatu fungsi 𝑓(𝑥) = 3𝑥 + 4 , 𝑔(𝑥) = 2𝑥 − 3 , dan ℎ(𝑥) = 𝑓(𝑥). 𝑔(𝑥) .
Tentukan turunan dari ℎ(𝑥)dan berapa nilai ℎ(𝑥) untuk 𝑥 = −1!
- Diketahui suatu fungsi 𝑓(𝑥) = (2𝑥 + 2)2 . (3𝑥 + 4). tentukan turunan pertama dari
𝑓(𝑥)!
6. Guru meminta siswa membuat soal dari informasi yang diberikan beserta jawabannya
bersama anggota kelompoknya.
7. Guru membimbing siswa berdiskusi dalam kelompok untuk memadukan ide-ide mereka
dalam membuat dan menyelesaikan soal.
8. Kemudian, masing-masing kelompok mengirimkan satu atau dua orang utusan yang akan
menyampaikan salam dan soal dari kelompoknya.
9. Setiap kelompok mengerjakan soal kiriman dari kelompok lain.
10. Setelah selesai, perwakilan masing-masing kelompok mengirimkan jawaban mereka kepada
kelompok pembuat soal untuk dicocokkan dengan jawaban kelompok pembuat soal.
11. Jika jawaban benar, maka kelompok tersebut mendapat poin. Kelompok dengan poin
tertinggi akan mendapat reward.
12. Guru meminta beberapa kelompok untuk menjawab soal yang guru berikan di LKS dan
menuliskan soal yang mereka buat serta menjelaskan jawabannya di depan kelas.
c. Penutup
1. Guru membimbing siswa dalam membuat kesimpulan.
2. Guru memberikan penghargaan kepada kelompok yang mendapat poin tertinggi.

3. Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Arikunto (2010:27)
menyatakan, “Penelitian kuantitatif banyak dituntut menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data,
penafsirannya terhadap data serta penampilan dari hasilnya”.

Dalam penelitian ini digunakan prosedur rancangan pra eksperimen. Dalam model rancangan ini
peneliti hanya mempunyai kelompok eksperimen yang diteliti untuk melihat hasil belajar siswa dengan
menggunakan model berkirim salam dan soal pada materi turunan fungsi.

Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan April 2013 di SMA Laboratorium Unsyiah Banda Aceh yang
berlokasi di Darussalam, Banda Aceh. Sedangkan waktu yang diperlukan untuk melaksanakan
penelitian ini adalah dua minggu. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan empat kali pertemuan.
Pertemuan pertama sampai ketiga proses pembelajaran dan pertemuan keempat tes akhir.

Penetapan subjek penelitian ini merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan, karena penelitian
ini bertujuan untuk mengambil kesimpulan yang objektif secara keseluruhan. Yang menjadi populasi
adalah seluruh siswa kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah Banda Aceh Tahun Ajaran 2012/2013.
Sampel dalam penelitian ini adalah satu kelas yang diambil secara acak yaitu siswa kelas XI-IPA3 SMA
Laboratorium Unsyiah Banda Aceh yang berjumlah 32 orang.

Dalam penelitian ini menggunakan instrumen berupa tes akhir. Bentuk tes yang digunakan adalah tes
tertulis dengan jenis soal uraian yang dikembangkan sesuai dengan indikator dan termuat dalam
pedoman penskoran. Tes ini diberikan kepada siswa setelah berlangsung proses pembelajaran. Tes akhir
ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan dan ketuntasan belajar siswa setelah menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal pada materi turunan fungsi. Bila ketuntasan

125
belajar tercapai, penerapan model kooperatif tipe berkirim salam dan soal dikatakan berhasil dalam
membantu siswa memahami konsep matematika pada materi turunan fungsi.

Dalam pembuatan instrumen, dilaksanakan tahapan-tahapan sebagai berikut (1) Merumuskan tujuan
dari instrumen dan mengembangkan instrumen sesuai standar kompetensi, kompetensi dasar, dan
indikator yang telah ditentukan; (2) Menuliskan butir soal; (3) Melengkapi instrumen dengan pedoman
penskoran; (4) Berkonsultasi dengan para ahli; (5) Uji coba insrumen kepada 4 orang mahasiswa yang
dipilih secara acak; (6) Dari hasil uji coba dapat disimpulkan bahwa soal-soal tersebut dapat dikerjakan
dengan benar oleh mahasiswa dalam jangka waktu kurang dari 20 menit; (7) Revisi terhadap item-item
yang dirasa kurang baik; (8) instrumen yang telah direvisi dikonsultasikan sekali lagi dengan para ahli

Setelah data terkumpul secara keseluruhan, tahap selanjutnya adalah analisis data. Data hasil penelitian
ini akan diolah dengan menggunakan analisis statistik untuk memperoleh jawaban tentang pembelajaran
dengan penerapan model kooperatif tipe berkirim salam dan soal pada materi turunan fungsi.

Data yang telah dikumpulkan selanjutnya diolah dengan menggunakan statistk uji-t pada taraf signifikan
α = 0,05 dengan derajat kebebasan dk = n – 1. Pengolahan data diawali dengan mentabulasi data yang
telah terkumpul kedalam daftar frekuensi, kemudian menghitung rata-rata dan varians dengan rumus:

∑ 𝑓𝑖 𝑥𝑖 𝑛𝛴𝑓𝑖 𝑥𝑖2 −(𝛴𝑓𝑖 𝑥𝑖 )2


𝑥̅ = ∑ 𝑓𝑖
dan 𝑠 2 = 𝑛(𝑛−1)
(1)

Keterangan:
𝑥̅ = rata-rata
𝜇0 = nilai standar yang menyatakan siswa telah menguasai materi pelajaran
𝑠 = simpangan baku
𝑛 = banyaknya data
𝑠 2 = varians
𝑥𝑖 = data ke-i
Lalu menggunakan uji normalitas data untuk melihat apakah data yang diperoleh dalam penelitian
berbentuk distribusi normal atau tidak. Bila data berbentuk distribusi normal, maka data tersebut dapat
diolah dengan menggunakan statistik uji-t. Uji normalitas sebaran data dilakukan secara parametrik
atau dikenal dengan uji kenormalan data yaitu chi-kuadrat χ2. Adapun rumus χ 2 yang digunakan
menurut Sudjana (2002 : 273) adalah
(O𝑖 −𝐸𝑖)2
χ 2 = ∑𝑘𝑖=1 (2)
𝐸𝑖

Keterangan :
𝑂𝑖 = Frekuensi nyata hasil pengamatan
𝐸𝑖 = Frekuensi teoritik
𝑘 = Banyaknya kelas interval

Langkah terakhir adalah pengujian hipotesis. Hipotesis yang akan di uji adalah:
H0 : 𝛍 = 75 (Penerapan model kooperatif tipe berkirim salam dan soal pada materi turunan fungsi di
kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah Banda Aceh belum mencapai ketuntasan)
H1 : 𝛍 > 75 (Penerapan model kooperatif tipe berkirim salam dan soal pada materi turunan fungsi di
kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah Banda Aceh dapat mencapai ketuntasan)

Untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan, menurut Sudjana (2002:227) dapat dihitung dengan
rumus:

𝑥̅ −𝜇0
𝑡= 𝑠 (3)
√𝑛

Kriteria pengujiannya adalah terima 𝐻0 jika 𝑡 < 𝑡1−𝛼 dan tolak 𝐻0 jika 𝑡 mempunyai harga-harga yang
lain. Derajat kebebasan untuk daftar distribusi 𝑡 ialah dk = n – 1 dan peluang (1 − 𝛼).

126
4. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Data yang diolah adalah data nilai tes akhir. Berdasarkan data nilai tes akhir, distribusi frekuensi
untuk data siswa kelas XI IPA3 sebagai berikut:

Tabel 1. Daftar Distribusi Frekuensi Nilai Tes Akhir


Frekuensi Titik Tengah
No Interval xi 2 fi xi fi xi2
(fi ) (xi)
1 23 – 35 3 29 841 87 2523
2 36 – 48 0 42 1764 0 0
3 49 – 61 1 55 3025 55 3025
4 62 – 74 8 68 4624 544 36992
5 75 – 87 10 81 6561 810 65610
6 88 – 100 10 94 8836 940 88360
Jumlah 32 25651 2436 196510

Dari tabel di atas didapat nilai chi-kuadrat hitung 2 = 4,72. Dengan taraf signifikan α = 0,05 dan derajat
kebebasan dk = k – 3 = 4 – 3 = 1, maka dari tabel distribusi chi kuadrat 2 (0.95)(1) = 6,31. Oleh karena
2 hitung <2 tabel , yaitu (4,72 < 6,31) maka H0 diterima dan dapat disimpulkan bahwa sebaran data
mengikuti distribusi normal.

Dari perhitungan diperoleh bahwa:


𝑛 = 32 ; 𝑥̅ = 76,125 ; 𝑠 2 = 357,081 ; 𝑠 = 18,9 ; 𝜇0 = 75; dan 𝑡 = 0,34

Dengan taraf signifikan α = 0,05 dan dk = (32 -1) = 31 maka dari distribusi t dengan cara interpolasi
diperoleh t0,95(31) = 1,70. Karena thitung < ttabel (0,34 < 1,70) maka H0 diterima. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa hasil belajar siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe
berkirim salam dan soal belum mencapai ketuntasan.

Berdasarkan hasil tes akhir diperoleh ada 20 siswa yang mendapat nilai mencapai taraf berhasil dan 12
siswa mendapat nilai masih di bawah taraf berhasil. Adapun kriteria siswa yang dikatakan tuntas
mencapai taraf berhsil belajar apabila memperoleh nilai ≥ 75 yang sesuai KKM yang ditetapkan di
sekolah SMA Laboratorium Unsyiah. Dari hasil analisis data diperoleh bahwa hasil belajar siswa yang
diajarkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal belum mencapai
ketuntasan.

Penerapan model kooperatif tipe berkirim salam dan soal dapat membuat suasana belajar menjadi lebih
menyenangkan dan membantu pemahaman siswa terhadap materi. Hal ini sesuai dengan pendapat
Cahyaningtyas (2013) yang mengemukakan bahwa pada penerapan model pembelajaran kooperatif tipe
berkirim salam dan soal suasana pembelajaran dibuat menarik dan menyenangkan dengan adanya
“salam” yang berupa yel-yel. Kondisi ini menyebabkan suasana pembelajaran tidak terlalu kaku,
sehingga siswa dapat merasakan pembelajaran yang menyenangkan dan tidak membosankan sehingga
siswa lebih menikmati proses pembelajaran dan mudah dalam memahami materi, serta adanya
kesadaran siswa untuk belajar tanpa ada rasa terpaksa.

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas (PTK) dari Parlina (2013:9) menyatakan bahwa penerapan
pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal dapat meningkatkan hasil belajar matematika
siswa pada materi pokok Simetri lipat dan Pencerminan semester genap di kelas IV SDN 021 Tanjung
Medan pada tahun ajaran 2011/2012. Hasil dari penelitian tersebut berbeda dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh peneliti yang menyatakan bahwa hasil belajar siswa yang diajarkan dengan model
pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal belum mencapai ketuntasan. Hal ini disebabkan
oleh beberapa kendala dan kekurangan yang dilakukan peneliti (selaku guru) dan siswa dalam proses
pembelajaran yang berlangsung selama 3 kali pertemuan yaitu sebagai berikut:

1. Peneliti masih dalam tahap pembelajaran untuk menjadi guru yang professional.
2. Pada saat mengerjakan LKS, tidak semua siswa aktif bekerja dan masih ada siswa yang bekerja
secara sendiri-sendiri.

127
3. Waktu yang tersedia kurang efektif yaitu 2 kali pertemuan dilaksanakan pada siang hari sehingga
siswa kurang konsentrasi terhadap pembelajaran.
4. Beberapa siswa kurang menyukai sistem belajar secara berkelompok (khusus terhadap
pembelajaran matematika).
5. Pada saat melakukan teknik berkirim salam dan soal masih terdapat beberapa kelompok yang malu-
malu dan menyembunyikan salam kelompoknya.
6. Pengawasan atau bimbingan yang diberikan oleh guru kurang merata.

5. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran
kooperatif tipe berkirim salam dan soal pada materi turunan fungsi di kelas XI SMA Laboratorium
Unsyiah Banda Aceh belum dapat mencapai ketuntasan belajar.
Adapun saran-saran yang dapat peneliti berikan adalah sebagai berikut:
1. Apabila ingin menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal, perlu
diperhatikan penguasaan guru dalam pengelolaan kelas terutama manajemen waktu karena model
pembelajaran tersebut membutuhkan waktu yang relatif lebih lama dalam pelaksanaannya. Selain
itu, seorang guru perlu senantiasa mengawasi kelas untuk memotivasi keaktifan kelas dan memberi
bimbingan secara individu maupun kelompok. Sehingga dengan penerapan yang baik dan efektif,
diharapkan siswa dapat mencapai ketuntasan belajar.
2. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam
dan salam dalam melihat ketuntasan belajar siswa pada tingkat kelas dan topik yang berbeda.
3. Untuk penelitian selanjutnya, peneliti menyarankan untuk mengadakan penelitian mengenai
model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal dalam ruang lingkup yang lebih luas.
Seperti pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal terhadap
peningkatan pemahaman siswa dan lain-lain.
4. Peneliti berharap agar penerapan model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal
dapat dikembangkan, disosialisasikan, dan digunakan sebagai alternatif dalam pembelajaran
matematika di sekolah

Daftar Pustaka
Adistiani, Dini. (2011). Penerapan Model Cooperatif Learning Teknik Berkirim Salam dan Soal Untuk
Meningkatkan Pemahaman Siswa dalam Pembelajaran TIK. Diakses 23 Januari 2012, dari
alamat http://repoository.upi.edu/operator/upload/s_kom0706504chapter1.pdf

Cahyaningtyas, Meidita. (2013). Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Berkirim Salam
dan Soal untuk Meningkatkan Minat dan Hasil Belajar Sosiologi Siswa Kelas X-1 SMA Negeri
5 Surakarta Tahun Pelajaran 2012/2013. Diakses 3 Maret 2013, dari alamat
http://jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/sosant/article/view/2270/1649

Huda, Miftahul. (2011). Cooperative Learning. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Johar, Rahmah dkk. (2006). Bahan Ajar Strategi Belajar Mengajar. Banda Aceh: FKIP Unsyiah.

Lie, Anita. (2010). Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Grasindo
Parlina, Linda. 2012. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Berkirim Salam dan Soal
untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas IV SD Negeri 021 Tanjung Medan
Kecamatan Pujud. Diakses 3 Maret 2013, dari alamat
http://repository.unri.ac.id/bitstream/123456789/2072/1/LINDA%20PARLIA.pdf

Rahmawati. (2010). Proses Berpikir Siswa Kelas XI SMA Negeri 4 Banda Aceh dalam Menyelesaikan
Soal-soal Diferensial. Skripsi. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala.

Sudjana. (2002). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.

Sulistiyono dkk. (2007). Matematika SMA dan MA Kelas XI Semester 2. Jakarta: Gelora Aksara
Pratama.

128
ANALISIS KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS SISWA
PADA MATERI PERTIDAKSAMAAN LINIER SATU VARIABEL
DI KELAS VII SMP NEGERI 6 BANDA ACEH

Mila Rahmadina1, Johan Yunus2, dan Rahmah Johar3


1
Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
Email: rahmadina.mila@gmail.com
2
Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
3
Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Abstrak. Penelitan ini dilatarbelakangi oleh masih rendahnya kemampuan representasi


matematis siswa. Padahal kemampuan representasi adalah kunci dari penyelesaian
masalah matematika. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kemampuan
representasi matematis siswa pada materi pertidaksamaan linier satu variabel di kelas VII
SMP Negeri 6 Banda Aceh. Subjek penelitian terdiri dari enam siswa kelas VII-2.
Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Pengumpulan data dilakukan dengan tes dan wawancara. Data dianalisis dengan
memeriksa lembar jawaban siswa, kemudian diberi skor berdasarkan pedoman penilaian
kemampuan representasi matematis. Selanjutnya guna mengetahui kemampuan
representasi matematis siswa lebih jauh, peneliti melakukan wawancara. Pemilihan siswa
yang diwawancarai berdasarkan kriteria tertentu, yaitu siswa mengerjakan setiap soal
dengan representasi yang unik dan siswa yang mewakili setiap variasi skor untuk setiap
jenis representasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) kemampuan representasi
visual siswa masih rendah, artinya siswa mampu merepresentasikan masalah ke dalam
bentuk garis bilangan, tapi tidak disertai dengan pemahaman kepadatan bilangan real
pada garis bilangan, 2) kemampuan representasi simbolik siswa masih rendah, 3)
kemampuan representasi verbal siswa beragam, tiga siswa mendapat skor 4 dan tiga
siswa lainnya mendapat skor 1, artinya siswa yang memperoleh skor 4 benar dalam
membuat soal cerita yang sesuai dengan pertidaksamaan yang diberikan, sedangkan
siswa yang memperoleh skor 1 artinya soal cerita yang dibuat siswa tidak sesuai dengan
pertidaksamaan yang diberikan, 4) hasil temuan lain yang terkait dengan kemampuan
representasi siswa adalah miskonsepsi siswa dalam menyelesaikan masalah
pertidaksamaan linier satu variabel yang meliputi: miskonsepsi dalam menerjemahkan
soal cerita ke dalam model matematis, miskonsepsi dalam memahami kepadatan
bilangan real, dan miskonsepsi dalam menggunakan sifat pertidaksamaan.

Kata kunci: representasi matematis, representasi visual, representasi simbolik,


representasi verbal, miskonsepsi

1. Pendahuluan

Salah tujuan pendidikan matematika sesuai dengan Permendiknas no. 22 tahun 2006 adalah agar peserta
didik memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau
media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. Tujuan pembelajaran matematika tersebut sejalan
dengan lima standar kemampuan matematis yang ditetapkan oleh National Council Teacher
Mathematics (NCTM) yang harus dimiliki oleh siswa, yaitu kemampuan pemecahan masalah (problem
solving), kemampuan komunikasi (communication), kemampuan koneksi (connection), kemampuan
penalaran (reasoning), dan kemampuan representasi (representation). Hal ini menunjukkan bahwa
kemampuan representasi adalah kemampuan yang penting untuk dimiliki dan dikembangkan oleh
siswa.
Goldin (Kartini: 2009) menyatakan bahwa representasi adalah suatu susunan yang dapat
menggambarkan sesuatu yang lain dalam beberapa cara. Rosengrant (2005) menyatakan bahwa
beberapa representasi bersifat lebih konkrit yang berfungsi sebagai acuan untuk konsep-konsep yang
lebih abstrak dan sebagai alat bantu dalam pemecahan masalah. Setiap siswa mempunyai cara yang
berbeda-beda dalam menyelesaikan masalah. Dalam hal ini memungkin siswa menggunakan berbagai
representasi dalam memahami suatu konsep guna memudahkan dalam penyelesaian masalah.

129
Kartini (2009) menyatakan bahwa representasi dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu (1) representasi
visual (gambar, diagram grafik, atau tabel), (2) representasi simbolik (pernyataan matematik/notasi
matematik, numerik/simbol aljabar) dan (3) representasi verbal (teks tertulis/kata-kata)”. Untuk
mengkomunikasikan ide-ide matematika kita perlu merepresentasikannya dengan cara tertentu, seperti
representasi ke dalam bentuk gambar, kata-kata, atau simbol matematis.
Selama ini siswa jarang diberi kesempatan untuk membuat representasinya sendiri. Siswa cendrung
meniru cara guru dalam menyelesaikan masalah. Laporan Trends in International Mathematics and
Science Study (TIMMS) (Pratiwi: 2013) menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam
merepresentasikan ide atau konsep matematis dalam beberapa materi termasuk rendah. Hal serupa
diungkapkan Hudiono (Afriani: 2014) dalam disertasinya bahwa sebagian kecil siswa dapat menjawab
benar dalam menyelesaikan masalah matematika matematika yang berhubungan dengan kemampuan
representasi, sedangkan sebagian lainnya lemah dalam memanfaatkan kemampuan representasi yang
dimilikinya, khususnya representasi visual.

Pertidaksamaan linier satu variabel adalah salah satu materi yang dipelajari siswa kelas VII SMP.
Aplikasi dari materi ini dapat berupa masalah kehidupan sehari-hari, sehingga memerlukan kemampuan
representasi yang baik guna menemukan solusinya. Beberapa penelitian menemukan cara siswa dan
kesulitan siswa dalam menyelesaikan masalah pertidaksamaan, di antaranya adalah penelitian yang
dilakukan oleh Blanco dan Garrote (2007) menemukan bahwa banyak sekali siswa yang kesulitan dalam
materi pertidaksamaan.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana kemampuan representasi matematis siswa
pada materi pertidaksamaan linier satu variabel di kelas VII SMP Negeri 6 Banda Aceh?

2. Tinjauan Pustaka

Pembelajaran matematika
Ismail, dkk (2004:1.4) menyatakan bahwa matematika dapat dipandang sebagai sebuah struktur dari
hubungan-hubungan yang mengaitkan simbol-simbol. Pemahaman tentang keterkaitan simbol
merupakan kemampuan abstraksi dasar seseorang yang berperan dalam memahami matematika.
Hakikat matematika adalah berkaitan dengan ide-ide, struktur-struktur, dan hubungan-hubungan yang
diatur menurut urutan yang logis. Jadi, matematika berhungan dengan konsep-konsep yang abstrak.
Kurikulum 2013 telah menetapkan materi, fungsi, dan tujuan pembelajaran matematika di sekolah. Arah
pembelajarannya berorientasi pada jangkauan belajar di bidang sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Kemampuan berpikir siswa yang dikembangkan adalah kemampuan berpikir matematis, yang bermuara
pada kemampuan menggunakan matematika sebagai bahasa atau alat dalam menyelesaikan masalah-
masalah yang dihadapi dalam ilmu lain dan kehidupannya.
Dengan proses pembelajaran matematika di sekolah yang berkualitas, diharapkan dapat
mengembangkan kemampuan berfikir kritis, kreatif, logis, dan sistematis sehingga siswa mampu
menghadapi tantangan global.

Representasi matematis

Goldin (Kartini: 2009) menyatakan bahwa representasi adalah suatu susunan yang dapat
menggambarkan sesuatu yang lain dalam beberapa cara. Rosengrant (2005) yang menyatakan bahwa
beberapa representasi bersifat lebih konkrit dan berfungsi sebagai acuan untuk konsep-konsep yang
lebih abstrak dan sebagai alat bantu dalam pemecahan masalah. NCTM, 1989 (Ansari, 2009:12)
menyatakan bahwa representasi adalah: (1) bentuk baru sebagai hasil translasi dari suatu masalah, atau
ide, (2) translasi suatu diagram atau model fisik ke dalam simbol atau kata-kata. Berdasarkan uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa representasi adalah ungkapan pemikiran seseorang dalam menerjemahkan
konsep atau masalah yang bersifat abstrak untuk mencari solusi dari masalah yang dihadapinya dengan
penyelesaian yang berbeda-beda.
Dalam pembelajaran matematika, representasi matematis diartikan sebagai ungkapan dari ide-ide
matematika yang digunakan untuk memperlihatkan hasil kerjanya dengan cara tertentu sebagai hasil

130
interpretasi dari pikirannya. Sedangkan kemampuan representasi matematis adalah kemampuan
seseorang untuk menyajikan gagasan matematika yang meliputi penerjemahan masalah atau ide-ide
matematis ke dalam interpretasi berupa gambar, persamaan matematis, maupun kata- kata.
NCTM (2000:67) menyatakan bahwa representasi matematis adalah kunci untuk menyelesaikan
permasalahan matematika. Hal ini cukup berasalan karena untuk menyelesaikan masalah dan
mengkomunikasikan ide-ide matematis seseorang perlu merepresentasikannya dalam berbagai bentuk
representasi matematis. Representasi selalu digunakan siswa dalam menyelesaikan masalah
matematika. Tindakan dalam merepresentasikan sebuah konsep atau masalah matematis dapat
menggunakan benda manipulatif, grafik atua diagram, kata-kata baik tertulis maupun secara lisan.
Soedjadi (2000) mengemukakan bahwa objek kajian dalam matematika bersifat abstrak. Oleh
karenanya untuk mempermudah dan memperjelas dalam penyelesaian masalah matematika,
representasi sangat berperan yaitu untuk mengubah ide abstrak menjadi konsep yang nyata, misalkan
dengan gambar, simbol, kata-kata, grafik, dan lain-lain. Dalam pembelajaran, lewat representasi
eksternal siswa, guru dapat mengetahui apa sesungguhnya yang merupakan representasi internal dalam
pikiran siswa, sehingga guru dapat melakukan evaluasi kemampuan siswa dalam menyelesaikan
masalah.
Suatu masalah yang rumit akan menjadi lebih sederhana, jika menggunakan representasi yang sesuai
dengan permasalahan tersebut, sebaliknya representasi yang keliru membuat masalah menjadi sukar
untuk dipecahkan, bahkan akan terjadi kesalahan dalam penyelesaian masalah tersebut. Representasi
yang digunakan dalam menyelesaikan masalah tentulah sangat beragam tergantung dari cara berpikir
siswa. Kartini (2009) menyatakan, “pada dasarnya representasi dapat digolongkan menjadi (1)
representasi visual (gambar, diagram grafik, atau tabel), (2) representasi simbolik (pernyataan
matematik/notasi matematik, numerik/simbol aljabar) dan (3) representasi verbal (teks tertulis/kata-
kata)”.
Miskonsepsi
Soedjadi (2000:14) menyatakan bahwa konsep adalah ide abstrak yang dinyatakan dalam suatu istilah
atau rangkaian kata. Kemudian Michel (Bambico) menyatakan bahwa miskonsepsi adalah kesulitan
konsep dan penalaran yang menghambat penguasaan siswa dalam berbagai ilmu. Selanjutnya, Suparno
(Kiswanto: 2013) menyatakan bahwa miskonsepsi atau salah konsep menunjuk pada tidak sesuia antara
suatu konsep dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima para pakar dalam bidang itu.
Berdasarkan penelitian Muzangwa dan Chifamba (2012), umumnya miskonsepsi terlihat melalui
kesalahan. Miskonsepsi bisa berupa salah perhitungan atau salah secara konsep. Berdasarkan uraian di
atas, jika dikaitkan dengan pembelajaran matematika, miskonsepsi diartikan sebagai kesalahpahaman
dalam memahami materi matematika atau salah dalam melakukan perhitungan.
Kiswanto (2013) menyatakan bahwa adanya miskonsepsi menyebabkan siswa kesulitan dalam
memahami konsep-konsep matematika. Miskonsepsi dalam matematika dapat menjadi masalah serius
jika tidak segera diperbaiki, sebab kesalahan satu konsep dasar saja dapat menuntun seseorang pada
kesalahan yang terus menerus, karena sebuah konsep dasar dalam matematika akan terus diaplikasikan
ke materi selanjutnya. Menemukan letak miskonsepsi siswa di kelas merupakan cara yang bijak untuk
memperbaiki miskonsepsi.

3. Metode

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilakukan di
kelas VII-2 SMP Negeri 6 Banda Aceh, yang beralamat Jl. Tgk. Lam U No.1 Kota Baru Banda Aceh.
Setelah semua siswa menjawab soal kemamapuan representasi matematis. secara tertulis, dan jawaban
mereka diperiksa, subjek penelitian dipilih sebanyak 6 orang siswa berdasarkan berdasarkan keunikan
representasi yang dibuat siswa dalam menyelesaikan masalah dan siswa yang mewakili setiap variasi
skor untuk setiap jenis representasi.

Teknik pengumpulan data


a. Tes
Tes dilakukan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam merepresenatsikan masalah yang
diberikan. Soal tes disusun berdasarkan kisi-kisi yang telah dibuat. Setelah subjek penelitian

131
mengikuti tes, peneliti menganalisis lembar jawaban siswa. Kemudian setiap jawaban diberi skor
berdasarkan pedoman penilaian kemampuan representasi yang telah dibuat. Dari skor tersebut dapat
diketahui kemampuan representasi matematis siswa. Berikut tabel kisi-kisi soal pertidaksamaan
linier satu variabel.

Tabel 1. Kisi- Kisi Soal Pertidaksamaan Linier Satu Variabel


Nomor
Kemampuan yang diukur
Soal
1 a. Kemampuan siswa merepresentasikan masalah ke dalam bentuk gambar berupa
garis bilangan (representasi visual)
b. Kemampuan siswa merepresentasi masalah ke dalam simbol matematika
(representasi simbolik)
2 Kemampuan siswa menyelesaikan masalah dengan menggunakan persamaan
matematis (representasi simbolik)
3 a. Kemampuan siswa merepresentasikan masalah ke dalam simbol dan bahasa
matematika (representasi simbolik)
b. Kemampuan siswa menyelesaikan masalah dengan menggunakan persamaan
matematis (representasi simbolik)
4 Kemampuan siswa merepresentasikan simbol ke dalam bahasa/ kata-kata
(kemampuan representasi verbal)

b. Wawancara
Wawancara dilakukan untuk mengetahui lebih jauh bagaimana siswa menerjemahkan setiap
masalah ke dalam bahasa matematis dan mengetahui apakah setiap representasi yang dibuat siswa
dalam penyelesaian masalah sesuai dengan konsep pertidaksamaan linier satu variabel atau tidak.
Pemilihan siswa yang diwawancarai dilakukan berdasarkan kriterian tertentu, yaitu siswa yang
mengerjakan setiap soal dengan represenatsi yang unik dan variasi skor yang diperoleh siswa untuk
setiap jenis representasi.
Teknik analisis data
Untuk mengetahui kemampuan representasi matematis siswa pada materi pertidaksamaan linier satu
variabel maka dilakukan analisis data sebagi berikut.
1. Memeriksa semua lembar jawaban siswa. Selanjutnya, setiap jawaban siswa diberi skor berdasarkan
pedoman penilaian kemampuan representasi matematis.
2. Mewawancarai siswa yang telah dipilih sebagai subjek penelitian. wawancara bertujuan untuk
mengetahui penjelasan siswa lebih dalam mengenai representasi yang mereka buat dalam
menyelesaikan masalah serta mengetahui representasi yang dibuat siswa sudah sesuai dengan
konsep pertidaksamaan atau tidak. Membandingkan jawaban tertulis dengan hasil wawancara.
Tabel 2 berikut adalah pedoman penilaian kemampuan representasi siswa berdasarkan jawaban tertulis
dan wawancara yang diadaptasi dari Holistic Scoring Rubrics menurut Cai, Lane, dan Jakabcsin
(Pratiwi: 2013).
Tabel 2 Pedoman Penilaian Kemampuan Representasi Matematis Siswa
Jenis
Nomor
Kemampuan Deskripsi Kemampuan Representasi Siswa Skor
soal
Representasi
1a Representasi Siswa mampu merepresentasikan masalah ke dalam bentuk garis 4
Visual bilangan disertai dengan pemahaman tentang kepadatan bilangan
real pada garis bilangan dengan benar
Siswa mampu merepresentasi masalah ke dalam bentuk garis 3
bilangan namun gambar garis bilangan yang dibuat siswa belum
lengkap
Siswa mampu merepresentasikan masalah ke dalam bentuk garis 2
bilangan, tetapi tidak disertai dengan pemahaman tentang
kepadatan bilangan real pada garis bilangan.
Siswa salah dalam merepresentasikan masalah ke dalam garis 1
bilangan

132
Jenis
Nomor
Kemampuan Deskripsi Kemampuan Representasi Siswa Skor
soal
Representasi
Tidak ada jawaban 0
1b Representasi Siswa mampu merepresentasi masalah ke dalam bentuk simbol 4
simbolik dan mampu menentukan umur yang benar sesuai masalah yang
diberikan
Siswa merepresentasikan masalah ke dalam bentuk symbol (>) 3
serta mampu menunjukkan umur yang benar.
Siswa salah dalam merepresentasikan masalah ke dalam bentuk 2
simbol, namun mampu menentukan umur dengan benar sesuai
dengan masalah yang diberikan atau siswa benar dalam
menentukan simbol tapi belum mampu menentukan umur yang
diminta dengan benar.
Siswa salah dalam merepresentasikan masalah dan belum 1
mampu menentukan umur yang benar sesuai dengan masalah
yang diberikan
Tidak ada jawaban 0

2 Representasi Siswa mampu menyelesaikan masalah dengan menggunakan 4


Simbolik persamaan matematis dan melakukan perhitungan dengan benar
Siswa mampu menyelesaikan masalah dengan menggunakan 3
persamaan matematis, namun terdapat sedikit kesalahan dalam
perhitungan matematisnya
Siswa mampu menyelesaikan masalah dengan menggunakan 2
persamaan matematis, namun terdapat banyak kesalahan dalam
perhitungan matematisnya atau siswa benar dalam
menyelesaikan langkah awal, tapi salah dalam menerapkan sifat
pertidaksamaan
Siswa mampu menyelesaikan masalah dengan menggunakan 1
persamaan matematis, namun salah dalam menerapkan sifat
pertidaksamaan dalam menyelesaikan masalah, langkah awal
salah
Tidak ada jawaban 0
3 Representasi Siswa mampu membuat model matematis dari masalah, mampu 4
simbolik melakukan perhitungan dan menemukan solusi dengan benar
Siswa mampu mampu membuat model matematis dari masalah 3
dan mampu melakukan perhitungan dengan benar, namun salah
dalam menentukan solusi
Siswa belum mampu membuat model matematis yang benar dari 2
masalah, namun mampu melakukan perhitungan dan
menemukan solusi dengan benar
Siswa mampu membuat model matematis dari masalah namun 1
terdapat banyak kesalahan dalam perhitungan
Siswa salah dalam membuuat model matematis dan belum 0
mampu melakukan perhitungan dengan benar
4 Representasi Siswa mampu membuat situasi masalah berdasarkan data-data 4
Verbal yang diberikan dengan benar, tersusun secara logis dan sistematis
Siswa mampu membuat situasi masalah berdasarkan data-data 3
yang diberikan dengan benar, tersusun secara sistematis, tapi
tidak tersusun secara logis
Siswa mampu membuat situasi masalah menggunakan konteks 2
pertidaksamaan, tapi tidak sesuai dengan data yang diberikan.
Siswa salah dalam membuat situasi masalah yang meliputi 1
masalah yang dibuat tidak menggunakan konteks pertidaksamaan
atau masih menggunakan simbol dalam menuliskan masalah.
Tidak ada jawaban 0

133
Selanjutnya, mendeskripsikan kemampuan representasi siswa berdasarkan jawaban tes dan hasil
wawancara, kemudian skor yang diperoleh siswa untuk setiap soal dirangkum dalam bentuk tabel.
Apabila jawaban tes tertulis dan penjelasan-penjelasan pada saat wawancara tidak sesuai maka
kemampuan representasi siswa akan disimpulkan berdasarkan hasil wawancara, karena proses
wawancara dikontrol tanpa adanya gangguan dari luar dan segala tindakan serta ucapan dapat
diperhatikan.

4. Hasil dan Pembahasan


Gambaran kemampuan representasi siswa
Analisis kemampuan representasi visual siswa
Soal nomor 1a
Pada soal ini, siswa dituntut mampu menggambarkan garis bilangan yang mewakili masalah umur yang
diizinkan untuk memiliki ktp. Berdasarkan jawaban tertulis dari enam siswa, terdapat tiga model garis
bilangan yang dibuat siswa, seperti gambar berikut.

Gambar 1 Jawaban siswa 1 Gambar 2 Jawaban siswa 6 Gambar 3 Jawaban siswa 3


Siswa 1 mengungkapkan bahwa umur penduduk yang diperbolehkan memiliki KTP adalah bilangan
yang mereka bulatkan secara penuh pada garis bilangan, maksud bilangan yang lebih dari 17 adalah
bilangan bulat, seperti 17, 18, 19, dan seterusnya. Dari petikan wawancara diketahui bahwa siswa 2, 4,
5, dan 6 juga membatasi himpunan penyelesaian masalah hanya berupa bilangan bulat saja. Ini adalah
salah satu bentuk miskonsepsi dalam menentukan solusi masalah. Penyebab miskonsepsi ini adalah
siswa cendrung menganggap bilangan yang ada pada garis bilangan hanya bilangan bulat tanpa
mempertimbangkan bilangan lain yang berada di sepanjang garis bilangan. Sedangkan siswa 3 tidak
memahami konsep garis bilangan karena siswa salah dalam menempatkan letak bilangan pada garis
bilangan.
Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa lima siswa merepresentasikan masalah ke dalam bentuk
garis bilangan, tapi tidak disertai dengan pemahaman kepadatan bilangan real pada garis bilangan.
Dengan demikian berdasarkan pedoman penilaian kemampuan representasi, lima siswa memperoleh
skor 2, yaitu siswa 1, 2, 4, 5, dan 6, sedangkan satu siswa yaitu siswa 3 mendapat skor 1, artinya siswa
salah dalam merepresentasikan masalah ke dalam garis bilangan.

Analalisis kemampuan representasi simbolik


Soal nomor 1b
Berdasarkan jawaban tertulis dari enam siswa, terdapat tiga model matematika yang dibuat siswa,
diantaranya dapat dilihat seperti gambar berikut ini.

Gambar 4 Jawaban siswa 2

Gambar 5 Jawaban siswa 5 Gambar 6 Jawaban siswa 1


Dari petikan wawancara diketahui bahwa siswa 2 tidak memahami makna dari tanda pertidaksamaan
yang dibuatnya (≤), siswa 2 menerjemahkan kata minimal menjadi ≤, tetapi ia benar memahami bahwa
umur yang diizinkan memiliki KTP adalah lebih dari atau sama dengan 17 tahun (masih membatasi
solusi penyelesaian masalah dalam bentuk bilangan bulat saja). Gambar 5 adalah jawaban yang benar
untuk masalah 1b yang dibuat oleh siswa 3, 4, 5, dan 6. Secara tertulis, mereka benar dalam menuliskan
kalimat matematis berdasarkan masalah yang diberikan. Ketika peneliti mewawancarai siswa 3, 4, 5,

134
dan 6, terungkap bahwa mereka masih membatasi solusi dari penyelesaian masalah adalah berupa
bilangan bulat. Sedangkan siswa 1 menganggap bahwa titik yang berada pada garis bilangan tersebut
adalah simbol yang menandakan umur seseorang yang diperbolehkan memiliki KTP.
Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa empat siswa mampu merepresentasikan masalah ke dalam
bentuk simbol pertidaksamaan, tetapi tidak disertai dengan pemahaman tentang kepadatan bilangan real.
Berdasarkan pedoman penilaian kemampuan representasi, keempat siswa memperoleh skor 2, yaitu
siswa 3, 4, 5, dan 6. Sedangkan siswa 1 dan 2 salah dalam merepresentasikan masalah ke dalam simbol
matematis dan belum mampu menentukan umur yang benar sesuai dengan masalah yang diberikan.
Berdasarkan pedoman penilaian kemampuan representasi, siswa 1 dan 2 mendapat skor 1.
Soal nomor 2
Berdasarkan jawaban tertulis dari enam siswa yang diwawancarai, terdapat lima cara menyelesaikan
masalah yang dibuat siswa, yaitu:

Gambar 7 Jawaban siswa 1 Gambar 8 Jawaban siswa 2 Gambar 9 Jawaban siswa 3

Gambar 10 Jawaban siswa 4 Gambar 11 Jawaban siswa 5


Siswa 1 mencoba-coba bilangan yang bisa diganti dengan nilai x. Hal ini diperkuat dengan hasil
wawancara, siswa dengan percaya diri membaca tidak kurang dari. Dari petikan wawancara diketahui
bahwa siswa 1 belum mampu membaca dan memahami makna dari tanda pertidaksamaan. Siswa 2
dan siswa 6 menyelesaikan masalah seperti Gambar 8. Berdasarkan gambar diketahui bahwa siswa
mampu menuliskan langkah awal dengan benar, namun ketika kedua ruas sama-sama dibagi bilangan
negatif, siswa tidak merubah tanda pertidaksamaannya. Ini menunjukkan bahwa siswa mengalami
miskonsepsi dalam menggunakan sifat-sifat pertidaksamaan dalam menyelesaikan masalah. Siswa 3
dan 4 belum mampu menuliskan langkah pertama dengan benar dalam menyelesaikan masalah. Dari
hasil wawancara diketahui bahwa siswa 3 bingung dalam menentukan bilangan mana yang harus
dihilangkan untuk mendapatkan nilai x, serta belum mampu menentukan bilangan mana saja yang bisa
dijumlahkan. Sedangkan siswa 4 menyelesaikan masalah dengan konsepnya sendiri, siswa
mengurangkan 10 dengan 3x dan memperoleh hasil 7x. Hal ini juga menunjukkan bahwa kedua siswa
mengalami miskonsepsi mengenai bilangan yang dapat dioperasikan dengan operasi tambah atau
kurang. Siswa 5 mampu menyelesaikan masalah dengan benar sesuai dengan perintah soal.
Berdasarkan uraian di atas, satu siswa yang siswa mampu menyelesaikan masalah dengan
menggunakan persamaan matematis dan melakukan perhitungan dengan benar, yaitu siswa 5. Dua
siswa yaitu siswa 2 dan 6 benar dalam langkah awal, namun salah dalam menggunakan sifat
pertidaksamaan. Tiga siswa menyelesaikan masalah dengan menggunakan persamaan matematis,
namun salah dalam menerapkan sifat pertidaksamaan ditandai dengan salah pada langkah awal, yaitu
siswa 1, 3, dan 4. Berdasarkan pedoman penilaian kemampuan representasi, satu siswa mendapat skor
4, dua siswa memperoleh skor 2, tiga siswa memperoleh skor 1.
Soal nomor 3
Berdasarkan jawaban tertulis dari enam siswa, terdapat empat model matematis yang dibuat oleh siswa
berdasarkan situasi yang diberikan, berikut hasil jawaban siswa.

135
Gambar 12 Jawaban siswa 1 Gambar 13 Jawaban siswa 3

Gambar 14 Jawaban siswa 5 Gambar 15 Jawaban siswa 6


Berdasarkan jawaban siswa dan hasil wawancara diketahui bahwa siswa 1 dan siswa 3 belum mampu
membuat model yang berdasarkan masalah dengan benar. Mereka menerjemahkan kata “maksimal”
menjadi “≥ ", siswa 1 mencoba-coba mengganti nilai x dengan suatu bilangan yang mememenuhi
model pertidaksamaan yang dibuatnya, serta membaca tanda pertidaksamaan ( ≥) yang dibuatnya
sebagai tidak lebih dari. Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa siswa 1 memahami soal, tetapi
belum mampu merepresentasikan masalah menjadi model matematis dengan benar serta siswa 1
mencoba-coba mengganti x dengan sebuah bilangan yang memenuhi model pertidaksamaan yang
dibuatnya. Dari petikan wawancara diketahui bahwa siswa 3 membaca tanda “≥ " sebagai “lebih besar
dari” serta menerjemahkan kata maksimal menjadi ≥. Ini menunjukkan bahwa siswa mengalami
miskonsepsi dalam menerjemahkan masalah menjadi model matematis yang sesuai dengan
pertidaksamaan linier satu variabel .

Siswa 5 membuat tabel untuk memudahkannya dalam memahami soal. Siswa 2, 4, dan 5 mampu
menerjemahkan masalah ke dalam model matematis dengan benar. Siswa 2 dan 5 juga mampu
menyelesaikan masalah b dengan benar disertai alasan yang tepat. Sedangkan siswa 4 menemukan 38
kotak paling banyak yang dapat diangkut dengan cara mencoba-coba mensubstitusi nilai x yang
memenuhi pertidaksamaan. Untuk soal nomor 3c, siswa 2 dan 4 menggunakan tanda sama dengan (=),
sedangkan siswa 5 menggunakan tanda kurang dari atau sama dengan (≤). Secara tertulis siswa 2 dan
menyatakan bahwa hanya 5 kali pengangkutan saja kotak itu akan habis. Sedangkan siswa 5 menyatakan
bahwa kotak akan habis jika diangkut sebyak 1, 2, 3, 4, dan 5 kali pengakutan. Ketika wawancara
ditemukan bahwa maksud siswa 2 sama dengan siswa 5 yaitu Pak Riki bisa mengangkut sebanyak 1,
2, 3, 4, dan 5 kali agar 190 kotak bisa habis. Sedangkan siswa 4 menganggap bahwa hanya 5 kali
pengangkutan saja 190 kotak akan habis diangkut oleh Pak Riki. Siswa 6 mampu membuat model dan
menyelesaikan persamaan matematis dengan benar disertai dengan penjelasan yang tepat.
Berdasarkan uraian di atas, hanya ada satu siswa yang mampu membuat model matematis dari masalah,
mampu melakukan perhitungan dan menemukan solusi dengan benar yaitu siswa 6. Tiga siswa mampu
membuat model matematis dari masalah dan mampu melakukan perhitungan dengan benar, namun
salah dalam menentukan solusi, yaitu siswa 2, 4, dan 5. Dua siswa yaitu siswa 1 dan 3 salah dalam
membuat model matematis dari masalah, perhitungan benar, serta salah dalam menentukan solusi yang
diminta. Dengan demikian berdasarkan pedoman penilaian kemampuan representasi, satu siswa
mendapat skor 4, tiga siswa mendapat skor 3, dua siswa mendapat skor 1.
Analisis kemampuan representasi verbal
Soal nomor 4
Berdasarkan jawaban tertulis dari enam siswa yang diwawancarai, terdapat 6 soal cerita berbeda yang
dibuat oleh siswa berdasarkan situasi yang diberikan, berikut hasil jawaban siswa.

136
Gambar 16 Jawaban siswa 4 Gambar 17 Jawaban siswa 5
Secara tertulis terdapat 6 soal cerita yang berbeda yang dibuat siswa, dua soal cerita seperti gambar di
atas memiliki maksud yang berbeda. Siswa 1 dan 5 membuat soal cerita dengan cara mencoba-coba
mengubah variabel y dengan sebuah bilangan yang nilainya sesuai dengan tanda pertidaksamaan yang
diminta. Siswa 2, 4, dan 6 mampu membuat soal cerita yang sesuai dengan pertidaksamaan yang
diberikan (Gambar 16). Siswa 3 dan 5 membuat soal cerita seperti Gambar 17, berdasarkan hasil
wawancara diketahui bahwa siswa bingung dalam merubah nilai y ke dalam masalah sehari-hari.
Berdasarkan uraian di atas, tiga siswa mampu membuat situasi masalah berdasarkan data-data yang
diberikan dengan benar, tersusun secara logis dan sistematis yaitu siswa 2, 4, dan 6. Tiga siswa lainnya
salah dalam membuat situasi masalah yang meliputi masalah yang dibuat tidak sesuai simbol atau
masalah yang dibuat tidak menggunakan konteks pertidaksamaan, yaitu siswa 1, 3, dan 5. Dengan
demikian berdasarkan pedoman penilaian kemampuan representasi, tiga siswa memperoleh skor 4, tiga
siswa memperoleh skor 1.
Tabel 3 Skor Kemampuan Representasi Matematis Siswa Setelah Wawancara
Skor Kemampuan Representasi Matematis siswa
Subjek Kemampuan Kemampuan Representasi Simbolik Kemampuan
Penelitian Representasi Soal nomor Soal Soal nomor 3 (a, Representasi
Visual 1b nomor 2 b, dan c) Verbal
Siswa 1 2 1 1 1 1
Siswa 2 1 1 2 3 4
Siswa 3 2 2 1 1 1
Siswa 4 2 2 1 3 4
Siswa 5 2 2 4 3 1
Siswa 6 2 2 2 4 4

Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa siswa membuat beragam representasi dalam
meyelesaikan masalah. Berdasarkan pedoman penilaian kemampuan representasi, skor kemampuan
representasi siswa umumnya termasuk kepada skor rendah yaitu skor 1 dan 2, hanya sebagian kecil
siswa yang mendapat skor 3 dan 4. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Hudiono (Afriani,
Siti:2014) dalam disertasinya menyatakan bahwa sebagian kecil siswa dapat menjawab benar dalam
mengerjakan soal matematika yang berkaitan dengan kemampuan representasi, sedangkan sebagian
lainnya lemah dalam memanfaatkan kemampuan representasi yang dimilikinya, khususnya representasi
visual. Berikut akan dijelaskan masing-masing representasi yang dibuat siswa.
1. kemampuan representasi visual siswa yang masih rendah diketahui dari gambar garis bilangan yang
dibuat siswa. Representasi yang dibuat siswa dalam menentukan penyelesaian masalah masih
terbatas berupa bilangan bulat. Penyebabnya adalah siswa cendrung menganggap bilangan yang ada
pada garis bilangan hanya bilangan bulat tanpa mempertimbangkan bilangan lain yang berada di
sepanjang garis bilangan. Temuan ini menunjukkan bahwa siswa mengalami miskonsepsi ketika
mempelajari materi bilangan khususnya kepadatan bilangan real pada garis bilangan sehingga
mereka tetap menggunkan konsep yang mereka pahami sendiri dalam menyelesaikan masalah yang
berkaitan dengan garis bilangan. Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian Blanco dan Garrote
(2007) bahwa sedikit siswa yang menggunakan bilangan real dalam penyelesaian operasi hitung.
Kebanyakan siswa mengambil batasan bilangan asli dalam pemahaman interval pada garis bilangan.
Dengan demikian guru perlu meninjau dahulu pemahaman siswa mengenai kepadatan bilangan real
pada garis bilangan sebelum melanjutkan pada topik yang lebih tinggi.

137
2. kemampuan representasi simbolik siswa dapat diketahui dari penyelesaian masalah pada soal nomor
satu, dua, dan tiga.
a. Pada soal nomor 1b dan 3a, siswa dituntut untuk menerjemahkan masalah ke dalam model
matematis. Berdasarkan jawaban siswa dan wawancara kemampuan representasi simbolik siswa
pada soal nomor 1b dan 3a dipengaruhi konteks masalah yang diberikan, misalnya kata-kata
“maksimal” dan “minimal”. Siswa mengartikan “maksimal” dengan tanda “≥” dan “minimal”
dengan tanda “≤ ”, jawaban siswa seperti Gambar 4.12. Hal ini disebabkan karena siswa
memodelkan masalah dengan spontan tanpa memahami maksud dari masalah yang diberikan
dan siswa mengannggap bahwa maksimal itu berarti besar dan minimal itu berarti kecil sehingga
kebanyakan siswa menerjemahkan kata “maksimal” menjadi ≥ dan “minimal” menjadi ≤.
b. Pada soal nomor 2 dan 3 (b dan c), siswa dituntut untuk menyelesaikan pertidaksamaan linier
satu variabel. Dari jawaban siswa diketahui bahwa umumnya siswa belum mampu menggunakan
sifat pertidaksamaan linier dalam menyelesaikan masalah. Hal ini diperjelas dengan penjelasan
siswa ketika wawancara.Berkenaan dengan masalah tersebut Rosengrant (2005) menyatakan
bahwa pencapaian tertinggi dari representasi tidak hanya membantu siswa menyelesaikan
masalah, namun juga dapat mengevaluasi pekerjaan mereka.
Secara umum, jawaban dan penjelasan siswa menggambarkan ketidakpahaman siswa mengenai
konsep pertidaksamaan. Ketidakpahaman konsep pertidaksamaan merupakan lanjutan
ketidakpahaman siswa dalam pada materi sebelumnya.
3. kemampuan representasi verbal siswa dapat diketahui dari soal cerita yang dibuat siswa pada soal
nomor empat. Pada soal nomor empat siswa dituntut mampu menuliskan situasi nyata berdasarkan
pertidaksamaan yang diberikan.
Dari jawaban siswa yang didukung dengan hasil wawancara ditemukan tiga orang siswa kesulitan dalam
menerjemahkan variabel y ke dalam soal cerita yang sesuai dengan kehidupan sehari-hari, seperti
Gambar 17. Setelah diskusi dengan guru matematika yang mengajar di kelas tersebut diketahui
penyebab kesulitan siswa ini adalah selama ini siswa tidak terbiasa membuat soal cerita berdasarkan
model matematis yang diberikan. Tiga siswa lainnya mendapat skor 4 artinya siswa mampu membuat
situasi masalah berdasarkan data-data yang diberikan dengan benar, tersusun secara logis dan sistematis.
Mereka menganggap bahwa soal nomor 4 adalah soal yang mudah karena tiga siswa tersebut
memperoleh nilai 3 dan 4 untuk soal sebelumnya yang menuntut siswa mampu menerjemahkan soal
cerita ke dalam simbol matematik, kemudian siswa membalik situasi dari pertidaksamaan yang
diberikan menjadi soal cerita seperti soal nomor 3.

5. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan antara lain sebagai berikut.
1. Kemampuan representasi visual siswa masih rendah, artinya siswa mampu merepresentasikan
masalah ke dalam bentuk garis bilangan, tapi tidak disertai dengan pemahaman kepadatan bilangan
real pada garis bilangan,
2. Kemampuan representasi simbolik siswa masih rendah, umumnya siswa memperoleh skor 1 dan 2.
3. Kemampuan representasi verbal siswa bervariasi, tiga siswa mendapat skor 4 dan tiga siswa lainnya
mendapat skor 1. Siswa yang memperoleh skor 4 artinya siswa benar dalam membuat soal cerita
yang sesuai dengan pertidaksamaan yang diberikan, sedangkan siswa yang memperoleh skor 1
artinya soal cerita yang dibuat siswa tidak sesuai dengan pertidaksamaan yang diberikan.
4. Hasil temuan lain yang terkait dengan kemampuan representasi siswa adalah miskonsepsi siswa
dalam menyelesaikan masalah pertidaksamaan linier satu variabel yang meliputi: miskonsepsi
dalam menerjemahkan soal cerita ke dalam model matematis, miskonsepsi dalam memahami
kepadatan bilangan real, dan miskonsepsi dalam menggunakan sifat pertidaksamaan.

Berdasarkan simpulan di atas disarankan diharapkan guru untuk dapat mengevaluasi terlebih dahulu
pengetahuan prasyarat yang harus dimiliki siswa sebelum melangkah ke materi selanjutnya, diharapkan
guru menyediakan waktu untuk berdiskusi dengan siswa mengenai cara siswa dalam merepresentasikan
masalah matematika, khusunya pada materi pertidaksamaan linier satu variabel, dan diharapkan adanya
penelitian lanjutan untuk mengetahui metode yang tepat guna meningkatkan kemampuan representasi
matematis siswa.

138
Daftar Pustaka

Afriani, Nur Fitri Siti. 2014. “Pengaruh Pembelajaran Matematika dengan Metode Improve terhadap
Kemampuan Representasi Matematis Siswa SMP”. Skripsi tidak diterbitkan. Bandung: UPI.

Anonymous. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. USA: Library of Congress
Cataloguing in Publication Data.

Ansari, I. B. 2009. Komunikasi Matematik Konsep dan Aplikasi. Banda Aceh: Yayasan PeNA Banda
Aceh Divisi Penerbitan.

Bambico, Tersita. Tanpa Tahun. Mathematical Strengths, Difficulties and Misconceptions of Teachers:
Analysis of Their Performance in an Achievement Test. Diakses pada 27 Maret 2014 dari
alamat http://library.ikippgrismg.ac.id/docfiles/fulltext/3e2dab5527a127d4.pdf.
Blanco, J Lorenzo dan Manuel Garrot. 2007. Difficulties in Learning Inequalitiesin Students of the
First Year of Pre-University Education in Spain. Eurasia Journal of Mathematics, Science &
Technology Education, 3(3), 221-229. Diakses pada 24 Maret 2014 dari alamat
http://www.ejmste.com/v3n3/EJMSTE_v3n3_Blanco_Garrote.pdf.

Ismail, dkk. 2004. Kapita Selekta Pembelajaran Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka.
Kartini. 2009. ”Peranan Representasi dalam Pembelajaran Matematika”. Makalah disajikan dalam
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, FMIPA UNY, Yogyakarta, 5
Desember. Diakses pada 13 Oktober 2013 dari alamat http://eprints.uny.ac.id/7036/1/P22-
Kartini.pdf,
Kiswanto, Aris. 2013. “Miskonsepsi Siswa Dalam Menyelesaikan Soal Materi Lingkaran Kelas VIII
Mts Taqwiyatul Wathon”. Skripsi tidak diterbitkan. Semarang: IKIP PGRI Semarang.
Muzangwa, Jonatan dan Peter Chifamba. 2012. Analysis Of Errors And Misconceptions In The
Learning Of Calculus By Undergraduate Students. Journal: Acta Didactika Napocensia,
Volume 2, Number 5. Diakses pada 27 Maret 2014 dari alamat
http://dppd.ubbcluj.ro/adn/article_5_2_1.pdf,
Pratiwi, Endah Dwi. 2013. “Penerapan Pendekatan Model Eliciting Activities (MEAs) untuk
Meningkatkan Kemampuan Representasi Siswa SMP”. Skripsi tidak diterbitkan. Bandung:
UPI.
Rosengrant, D, et. al. 2005. An Overview of Recent Research on Multiple Representations. Diakses pada
7 Januari 2014 dari alamat http://paer.rutgers.edu/ScientificAbilities/
Downloads/Papers/DavidRosperc2006.pdf,
Soedjadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
Wiryanto. 2012. “Representasi Siswa Sekolah Dasar dalam Pemahaman Konsep Pecahan”. Makalah
disajikan dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, FMIPA UNY,
Yogyakarta, 10 November. Diakses pada 8 Januari 2014 dari alamat
http://eprints.uny.ac.id/10112/1/P%20-%20100.pdf.

139
PENGEMBANGAN PORTOFOLIO ASESSMENT PADA PEMBELAJARAN
MATA KULIAH GEOMETRI PGSD: PEGANGAN GURU

Murni1, Burhanuddin AG2


1
Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh
Email: murniusm@gmail.com
2
Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh

Abstrak. Dalam memahami kosep-konsep, geometri di PGSD dianggap mata kuliah yang
paling sulit. Hal ini terjadi karena geometri dianggap mempunyai tingkat kesulitan yang
tinggi dan sulitnya penyesuaian mahasiswa PGSD dengan pembelajaran yang ada di
dunia barunya yaitu universitas. Selain itu, penilaian dosen juga dianggap lebih
menitikberatkan pada aspek kognitif saja. Oleh karena itu, perlu adanya penilaian yang
dapat mengembangkan kesuluruhan aspek (kognitif, afektif, psikomotorik, dan
emosional) yaitu authentic assessment dengan portofolio. Target khusus dalam
penelitian ini adalah: (1) dapat menghasilkan instrumen Portopolio Asessment pada
Pembelajaran Giometri yang dilengkapi dengan silabus dan kontrak perkuliahan; (2)
Buku Panduan Mahasiswa; (3) Lembar Kerja Mahasiswa; (4) Buku Pegangan Guru SD
dalam pembelajaran Giometri SD; (5) Jurnal Internasional; (6) Jurnal Nasional; (7)
Workshop Guru SD Aceh Besar Penelitian ini dilakukan dengan sampelnya yaitu
mahasiswa PGSD di Universitas Serambi Mekkah, karena diharapkan nantinya mereka
dapat mempraktekannya langsung untuk siswa-siswinya di SD yang merupakan level
awal khususnya dalam mempelajari geometri (Tujuan Jangka Panjang).
Pengembangan penelitian ini dilakukan mengikuti 5 (lima) tahapan pengembangan
Plomp yang dimodifikasi dengan memadu tahapan pengembangan material (produk) oleh
Nieveen dengan memperhatikan 3 aspek kualitas, yakni aspek kevalidan, aspek
kepraktisan, dan aspek keefektifan (Metode). Sehingga diharapkan mendapat suatu
penilaian geometri yang menilai keseluruhan aspek.

Kata Kunci: assessment, portofolio, geometri, PGSD, Pembelajaran Matematika

1. Pendahuluan

Latar belakang

Mata kuliah Geometri merupakan salah satu mata kuliah yang sangat penting dan fundamental dalam
membentuk kemampuan matematika bagi mahasiswa S-1 PGSD. Penting, karena beberapa konsep dan
prinsip yang ada di geometri teraplikasi secara sederhana dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam
konteks pengembangan ilmu lainnya. Fundamental, karena hampir semua konsep yang diajarkan di
mata kuliah lainnya (mata kuliah lanjut) menggunakan konsep-konsep yang ada di geometri.

Dalam pembelajaran Mata Kuliah Geometri di S-1 PGSD, mahasiswa atau calon guru harus mampu
memahami konsep-konsep geometri, mulai dari pengenalan geometri dari kurva, garis sejajar, segitiga,
segiempat, dan lingkaran serta dapat membuktikannya dan akhirnya dapat mengaplikasikannya.

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa secara umum mahasiswa merasa kesulitan dalam
memahami konsep-konsep geometri. Hal ini terlihat dari nilai geometri yang rata-rata mahasiswa
dengan nilai kurang memuaskan (tiap tahun, rata-rata IPK yang menempuh mata kuliah ini, kurang dari
3). Dugaan sementara, (1) konsep yang ada di geometri mempunyai tingkat kesulitan yang agak tinggi,
(2) adanya kekagetan mahasiswa, terutama kaitannya dengan sistem belajar di SMA dan di PT, dan (3)
cara penilaian dosen yang lebih menitikberatkan pada pemahaman konsep secara kognitif, dan kurang
memperhatikan aspek afektif dan psikomotorik. Khusus point (3), perlu adanya penerapkan suatu
penilaian (assessment) yang lebih mengukur kemampuan mahasiswa secara komprehensif yang disebut
dengan authentic assessment yang dalam pelaksanaannya menggunakan portofolio. Penggunaan
authentic assessment ini bertujuan untuk mengembangkan keseluruhan aspek (kognitif, afektif,
psikomotor, dan emosional mahasiswa).

140
Authentic assessment didesain untuk lebih menggiatkan para mahasiswa agar mampu menguasai dan
mendemonstrasikan pengalaman belajar dan mengaplikasikannya di sekolah dasar. Ide penerapan
model assessment ini adalah ingin meninggalkan assessment tradisional yang biasa digunakan pendidik,
karena dipandang kurang relevan dengan kondisi riil peserta didik. Oleh karena itu, para pendidik
ditantang untuk mampu mengidentifikasi bagaimana cara mahasiswa dalam mendemonstrasikan
pengalaman belajarnya secara tepat, dan mereka harus mampu memilih standar penilaian yang cocok
(adekuat) dalam mengakses performance mahasiswa (Savage and Amstrong, 1996), seperti yang
diamanatkan oleh kurikulum tahun 2013.

Dengan mengimplementasikan authentic assessment, diharapkan para peserta didik (Calon Guru
Sekolah Dasa) dapat mendemonstrasikan beberapa kemampuan sesuai dengan pengalaman hidup yang
lebih riil dan lebih komprehensif. Fokus yang diakses tidak hanya aspek kognitif tingkat tinggi saja
tetapi juga aspek afektif dan keterampilan (Borich, 1994). Oleh sebab itu, authentic assessment tidak
hanya berfungsi untuk mengakses kemampuan dalam menghafal informasi, bentuk-bentuk konsep,
generalisasi dan problem solving saja, tetapi juga meliputi kebiasaan berfikir, bersikap dan keterampilan
sosial. Misalnya aktivitas peserta didik dalam diskusi, groupwork, fieldwork, observasi di lapang,
interaksi antar mahasiswa, dan pekerjaan mahasiswa. Semua itu akan dapat terdeteksi dengan mudah
melalui performance assessment. Dalam penelitian ini, penilaian diarahkan pada penilaian portofolio.
Penilaian portofolio merupakan penilaian secara berkesinambungan dengan metode pengumpulan
informasi atau data secara sistematik atas hasil pekerjaan mahasiswa dalam waktu tertentu (Yasin,
2002:64). Penilaian portofolio juga dianggap sebagai salah satu jenis assessment authentic (Karim,
2004:3). Hal ini dikarenakan penilaian portofolio dapat menilai mahasiswa secara authentic. Artinya,
tugas-tugas yang diberikan kepada mahasiswa (serta terkumpul dalam map) terkait dengan penilaian
portofolio dapat bermakna dan sesuai dengan kedaan mahasiswa yang sebenarnya. Melalui portofolio,
kemampuan berfikir mahasiswa dapat diketahui. Hal ini dapat dilakukan dosen dengan melihat map
mahasiswa yang berisi hasil kerja mahasiswa, ide-ide yang ditulis, konsep yang diperoleh, atau hasil
kerja mahasiswa ketika menyelesaikan masalah. Dengan demikian diharapkan dosen dapat menilai
mahasiswa baik dari segi proses belajar maupun hasil belajar.

Urgensi (keutamaan) penelitian

Kebijakan penilaian (assessment) merupakan bagian dari reformasi Sistem Pendidikan Nasional
sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, yang dalam
pelaksanaannya diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. Penilaian (assessment) adalah istilah umum yang mencakup semua metode yang biasa
digunakan untuk menilai unjuk kerja individu atau kelompok peserta didik. Proses penilaian mencakup
pengumpulan bukti yang menunjukkan pencapaian belajar peserta didik. Penilaian merupakan suatu
pernyataan berdasarkan sejumlah fakta untuk menjelaskan karakteristik seseorang atau sesuatu (Angari,
2005). Penilaian juga diartikan sebagai kegiatan menafsirkan data hasil pengukuran atau kegiatan untuk
memperoleh informasi tentang pencapaian kemajuan belajar peserta didik.

Portofolio adalah kumpulan dokumen dan karya-karya peserta didik dalam bidang tertentu yang
diorganisasikan untuk mengetahui minat, perkembangan prestasi, dan kreativitas peserta didik. Bentuk
ini cocok untuk mengetahui perkembangan unjuk kerja peserta didik dengan menilai bersama karya-
karya atau tugas-tugas yang dikerjakannya. Peserta didik dan pendidik perlu melakukan diskusi untuk
menentukan skor penilaian. Perkembangan kemampuan peserta didik dapat dilihat pada hasil penilaian
portofolio. Sistem penilaian meliputi kegiatan perancangan dan pelaksanaan penilaian, analisis dan
tindak lanjut hasil penilaian, serta pelaporan penilaian. Mekanisme penilaian hasil belajar peserta
didik digambarkan pada bagan berikut:

Perencanaan Pelaksanaan Analisis Hasil


Penilain Penilaian Penilaian

Pelaporan Hasil Tindak Lanjut Hasil


Penelitian Penilaian

Bagan 1. Mekanisme Penilaian

141
Inovasi yang ditargetkan dalam penelitian ini adalah:
a) Bagi dosen, sebagai bahan pertimbangan dalam perkuliahan untuk pemilihan strategi dan
portofilio assessment sehingga dapat menumbuhkan motivasi dan semangat belajar bagi
mahasiswa PGSD untuk memperoleh hasil belajar yang lebih baik,
b) Bagi guru SD, dapat dijadikan sebagai pegangan dalam mengajar materi Geometri,
c) Bagi lembaga, sebagai bahan informasi yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan dan
dalam penerapan kurikulum 2013 di Program Studi Pendidikan Matematika FKIP,
d) Bagi mahasiswa PGSD, semakin mengetahui dan menyadari bahwa aspek penilaian tidak hanya
unsur kognitif, melainkan juga aspek psikomotorik dan afektif.

2. Tinjauan Pustaka
Assessment

(1) Pengertian assessment. Pengertian assessment Shrock dan Coscarelli (dalam Karim, 2004:1)
adalah ”Suatu proses pengumpulan informasi yang dilakukan secara sistematik tanpa
memperhatikan pada suatu keputusn tentang nilai”. Assessment juga diartikan sebagai proses
pengumpulan data yang dapat memberikan gambaran tentang perkembangan belajar peserta didik
(Depdiknas, 2005). Selain itu, Karim (2004:1) mengatakan bahwa, assessment merupakan
kegiatan yang terintegrasi dengan pembelajaran. Maksudnya, penilaian yang dilakukan merupakan
bagian dari proses pembelajaran yang bertujuan untuk mengetahui berhasil atau tidaknya proses
pembelajaran yang telah dilakukan oleh pendidik.
(2) Assessment dalam pembelajaran. Dalam kaitannya dengan pembelajaran, Hart (dalam Karim,
2004:1) menyatakan bahwa: ”Assessment merupakan suatu proses yang diketahui dan apa yang
dapat dikerjakan peserta didik”. Selanjutnya, Hart (dalam Karim, 2004:1) juga menegaskan bahwa
dalam pengumpulan informasi tentang belajar dapat dilakukan dengan cara melakukan tes,
mengobsevasi peserta didik ketika sedang belajar, serta mewawancarai atau memeriksa produk
hasil kerja peserta didik. Dengan kata lain, assessment dalam pembelajaran harus berupa interaksi
antara pengajar dan peserta didik.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa assessment merupakan suatu
proses mengumpulkan informasi tentang belajar peserta didik dan memperoleh gambaran hasil
belajar, berdasarkan informasi-informasi yang terkumpul.

Menurut Kahfi (2005:4), ada beberapa kriteria yang perlu diperhatikan dalam assessment antara
lain: (a) Assessment/penilaian harus mencakup tiga aspek, yaitu: pengetahuan, keterampilan, dan
sikap; (b) menggunakan berbagai cara assessment pada waktu kegiatan pembelajaran sedang
berlangsung, misalnya: mendengarkan, observasi, mengajukan pertanyaan, mengamati hasil kerja
, dan memberikan tes; (c) pemilihan cara dan bentuk penilaian berdasarkan tuntutan kompetensi
dasar; (d) mengacu kepada tujuan dan fungsi penilaian, misalnya pemberian umpan balik,
pemberian informasi kepada mahasiswa tentang tingkat keberhasilan belajarnya, memberikan
laporan kepada orang tua; (e) bersifat memilih-milih yang berhasil dan yang gagal dalam
menerima pelajaran. Dalam pembelajaran, ada beberapa bentuk penilaian yang dapat di gunakan
dosen untuk mengumpulkan informasi berhubungan dengan proses dan hasil belajar . Penilaian
tersebut antara lain: penilaian tertulis, produk, unjuk kerja, proyek, dan portofolio (Kahfi,
2005:25).

(3) Assessment authentic. Menurut Karim (2004:1), assessment authentic adalah penilaian
dengan melibatkan dalam menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki.
Karim (2004:1) menegaskan bahwa suatu penilaian dikatakan authentic apabila tugas-tugas
yang diberikan sesuai, berarti dan bermakna bagi, istilah lain tentang assessment authentic
merupakan penilaian yang mengukur kemampuan peserta didik yang mencakup aspek-
aspek yang luas. Aspek-aspek tersebut antara lain berupa aspek minat belajar, pemahaman
konsep matematika, penyelesaian masalah melalui kerja kelompok, dan kreatifitas dalam
mengembangkan kemampuan matematika.

Dengan kata lain, Assessment authentic merupakan penilaian yang mengukur kemampuan
mahasiswa dimana tugas-tugas yang diberikan menantang mahasiswa agar dapat mengembangkan
kemampuan dan meningkatkan pengetahuan pada kondisi yang bermakna. Assessment authentic
memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a) mengukur semua aspek pembelajaran, yang terdiri dari

142
proses, kinerja, dan produk; (b) dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran
berlangsung; (c) menggunakan berbagai cara dan berbagai sumber dalam proses penilaiannya; (d)
tes hanya sebagai salah satu alat pengumpul data penilaian; (e) tugas-tugas yang diberikan kepada
peserta didik harus mencerminkan bagian-bagian kehidupan peserta didik sehari-hari, mereka
harus dapat menceritakan pengalaman atau kegiatan yang mereka lakukan setiap hari; (f) penilaian
harus menekankan pada kedalaman pengetahuan dan keahlian mahasiswa, bukan keluasannya
(kuantitatif).

Menurut Johnson (2002:166), terdapat empat jenis assessment authentic yang dapat digunakan
dalam pembelajaran yaitu portofolio, assessment kinerja (performance assessment), proyek, dan
evaluasi diri oleh mahasiswa. Perlu ditegaskan bahwa keenam tipe assessment tersebut tidak
bersifat satu kesatuan, tetapi saling melengkapi satu dengan yang lain. Karena itu, dalam tulisan
ini dari beberapa tipe assessment di atas, penulis lebih memfokuskan pada penggunaan assessment
portofolio. Misalnya, pada penggunaan penilaian portofolio dalam penelitian pembelajaran
giometri, dapat menyertakan laporan proyek, jurnal belajar, rangkuman materi yang sudah
dijelaskan, pekerjaan rumah, latihan soal, keaktifan mahasiswa dalam pembelajaran, nilai kuis,
dan nilai ulangan harian.

(4) Pengertian portofolio. Secara etimologis, portofolio berdasar dari dua kata yaitu report yang
berarti laporan dan folio berarti penuh atau lengkap. Jadi portofolio berarti laporan lengkap tentang
segala aktifitas mahasiswa yang berkaitan dengan kegiatan pembelajaran yang diikutinya.
Portofolio merupakan kumpulan karya (hasil kerja) seorang mahasiswa dalam satu priode tertentu.
Kumpulan karya ini dapat berbentuk tugas-tugas yang dikerjakan mahasiswa, jawaban mahasiswa
atas pertanyaan dosen, catatan hasil observasi dosen, catatan hasil wawancara dosen dengan
mahasiswa, laporan kegiatan mahasiswa dan karangan atau jurnal yang dibuat mahasiswa.

(5) Jenis-jenis portofolio. Menurut Pheeny (dalam Susilo & Zubaidah, 2004:1), ada tiga jenis
portofolio yang dapat digunakan sebagai assessment/penilaian portofolio yaitu: (a) Portofolio
Proses (Working): Portofolio proses berisi karya mahasiswa yang sedang dalam perkembangan,
dapat berisi hasil usaha terbaik dan terjelek mahasiswa. Umumnya portofolio proses tidak
langsung dievaluasi tetapi dapat digunakan untuk mengakses strategi pembelajaran yang akan
datang dan mereview kemajuan mahasiswa dalam waktu tertentu; (b) Portofolio Hasil kerja (Show
Case) : Portofolio Hasil kerja berisi hasil kerja akhir (makalah, laporan proyek, dan contoh-contoh
dari upaya terbaik) yang merefleksikan upaya terbaik mahasiswa. Dalam memilih hasil akhir
dalam portofolio, hasil kerja ini dapat ditentukan sepenuhnya oleh dosen tetapi seringkali
mempertimbangkan masukan dari mahasiswa. (c) Portofolio Penilaian (Evaluative) : Portofolio
penilaian berisi semua hasil catatan yang diperlukan oleh dosen untuk mengevaluasi mahasiswa
dan berisi hasil karya terbaik mahasiswa. Pada akhir semester atau akhir waktu penyusunan
portofolio, mahasiswa diminta untuk mengubah suatu portofolio proses menjadi portofolio hasil
kerja (dengan memilih karya terbaik dan membuang karya yang kurang memuaskan), sehingga
pada gilirannya portofolio tersebut dapat dijadikan portofolio penilaian dengan menambahkan
kelengkapan lainnya termasuk hasil refleksi diri mahasiswa.

Portofolio assessment

Dalam penerapan pada pembelajaran, portofolio dapat digunakan untuk mendokumentasikan


perkembangan belajar, melihat kemajuan belajar, sikap, keterampilan, dan ekspresinya mahasiswa
terhadap sesuatu. Hal tersebut dilakukan karena menyadari proses belajar sangat penting untuk
keberhasilan hidup (Rusoni, 2002:l1). Dengan demikian, assessment portofolio menurut (Yasin,
2002:64) merupakan penyempurnaan dan pengembangan dari portofolio dengan mempertimbangkan
langkah-langkah yang dipakai dalam merencanakan, mengumpulkan dan menganalisis data yang
terkumpul melalui portofolio. Pelaksanaan assessment portofolio mensyaratkan kejujuran mahasiswa
dalam melaporkan rekaman belajarnya, dan kejujuran dosen dalam menilai kemampuan mahasiswa
sesuai dengan kriteria yang telah disepakati. Dengan kata lain dosen harus mampu menunjukkan
pentingnya laporan yang jujur dari mahasiswa.

Beberapa karakteristik assessment portofolio (Yasin, 2002:64): (a) Komprehensif adalah dalam menilai
hasil pekerjaan, assessment portofolio menggunakan teknik assessment formal dan informal;
memfokuskan tidak hanya pada produk (hasil) tetapi juga proses pembelajaran, berusaha memahami

143
perkembangan bahasa pembelajaran dalam kebahasaan, kognitif, metakognitif, dan aspek afektif, terdiri
dari masukan yang berasal dari dosen/guru, pembelajar dan tujuan belajar, dan menekankan pada
pengembangan akademik disamping pengembangan formal; (b) Terencana dan sistematisadalah
Assessment portofolio direncanakan dengan matang sebelum melaksanakannya; anggota tim portofolio
menyusun aturan portofolio, isi portofolio, jadwal pengumpulan data dan kriteria kinerja pembelajaran,
serta assessment portofolio haruslah mempunyai tujuan yang jelas; (c) Informatif adalah Informasi yang
diperoleh dari penilaian portofolio harus bermakna bagi dosen, pembelajar, dan orang tua. Informasi
tersebut berguna untuk penyesuaian pengajaran dan kurikulum terhadap kebutuhan pembelajaran, serta
merupakan mekanisme umpan balik bagi dosen dan mahasiswa dalam mengevaluasi pembelajaran yang
telah dilakukan (d) Terpola adalah Assessment portofolio terpola sesuai tujuan yang akan dicapai model
assessment, tujuan pembelajaran, dan kebutuhan penilaian kegiatan pembelajaran; (e) Authentic
Adalah Informasi yang terkumpul didasarkan pada tugas-tugas yang diberikan terkait dengan kegiatan
mahasiswa, serta berarti bagi mahasiswa. Dalam menyelesaikan tugas yang diberikan dosen, mahasiswa
berusaha meningkatkan kemampuannya dalam berbahasa yang lebih komunikatif dan fungsional dari
pada kemampuan terpisah-pisah.

Penerapan portofolio assessment dalam pembelajaran geometri

Bentuk-bentuk assessment portofolio adalah berupa catatan anekdotal, yaitu berupa lembaran
khususnya selama berlangsung proses pembelajaran. Lembaran ini memuat identitas yang diamati,
waktu pengamatan, dan lembar rekaman kejadiannya, yang meliputi kognitif, afektif, dan psikomotor.
Catatan anekdotal dalam assessment portofolio terdiri dari jurnal belajar harian, lembar kerja
mahasiswa, rangkuman materi yang sudah dijelaskan, pekerjaan rumah, proyek, latihan soal, kuis,
ulangan harian, dan refleksi akhir pembelajaran dan aktivitas mahasiswa.

(1) Jurnal Belajar Harian. Jurnal belajar yang dibuat mahasiswa merupakan salah satu tugas yang
harus dikerjakan mahasiswa pada waktu pembelajaran Geometri. Kegiatan ini dilaksanakan 10 atau
15 menit diakhir pembelajaran. Jurnal belajar harian mahasiswa berisi tentang: (a) pengalaman
belajar pada waktu mengikuti perkuliahan, (b) uraian tertulis materi yang telah dipahami setelah
mengikuti pembelajaran, dan (c) uraian tertulis materi yang belum dipahami serta bagaimana
mahasiswa mengatasi kesulitan yang dialami;
(2) Lembar Kerja Mahasiswa (LKM).Untuk menunjang aktifitas pembelajaran digunakan lembar
kerja mahasiswa (LKM). LKM digunakan pada saat melakukan diskusi kelompok. LKM
digunakan dosen untuk membimbing mahasiswa dalam menelusuri penyelesaian masalah dan
mendalami konsep yang dipelajari;
(3) Rangkuman Materi. Rangkuman materi merupakan catatan-catatan singkat yang ditulis
mahasiswa dan berisi tentang materi yang sudah diajarkan. Tugas ini dikerjakan mahasiswa di luar
jam perkuliahan. Hal ini bertujuan agar mahasiswa mempelajari materi yang telah didiskusikan di
kelas dengan menuliskan kembali materi dan contoh soal yang diperoleh dengan bahasa sendiri.
Rangkuman materi yang telah dibuat juga bertujuan untuk penekanan inti pembelajaran serta
refleksi dosen untuk mengetahui sejauh mana pemahaman mahasiswa terhadap materi Geometri.
Di akhir waktu pada saat pengumpulan/pemeriksaan portofolio, rangkuman materi yang di miliki
mahasiswa dikumpulkan sebagai bukti portofolio;
(4) Pekerjaan Rumah (PR). Tugas pekerjaan rumah (PR) diberikan pada saat pembelajaran berakhir
yang dikerjakan di rumah sebagai tugas individu. Tugas pekerjaan rumah (PR) dikumpulkan pada
pertemuan berikutnya, dinilai, dan diberi komentar serta pembetulan oleh dosen. Setelah itu
diberikan kembali kepada mahasiswa untuk direfleksi dan dikumpulkan sebagai bukti portofoli;
(5) Proyek. Proyek adalah suatu metode atau suatu cara mengajar yang memberikan kesempatan pada
anak didik untuk menggunakan unit-unit kehidupan sehari-hari sebagai bahan pelajarannya. Proyek
bertujuan agar anak didik tertarik untuk belajar. Proyek yang diberikan dosen digunakan untuk
meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menyelesaikan soal-soal yang bervariatif. Dengan
memberikan proyek, mahasiswa diharapkan dapat menerapkan materi dikehidupannya serta
menyelesaikan masalah secara bertahap. Laporan proyek yang telah diselesaikan dikumpulkan
sebagai bukti portofolio;
(6) Latihan Soal. Latihan soal yang diberikan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam
menyelesaikan soal-soal yang bervariasi. Mahasiswa bebas menentukan soal yang akan
diselesaikan, dengan syarat sesuai dengan materi yang dipelajari dan sesuai indikator yang harus
dicapai. Latihan soal yang telah diselesaikan dikumpulkan sebagai bukti portofolio;

144
(7) Kuis. Kuis merupakan salah satu bentuk tes yang diberikan dosen kepada mahasiswa setelah
pembelajaran dilaksanakan. Pemberian kuis dilaksanakan 20 atau 15 menit di akhir pembelajaran.
Tujuan pemberian kuis adalah untuk mengetahui sejauh mana mahasiswa menguasai materi yang
diajarkan pada pertemuan tersebut. Kemudian hasil kuis dikoreksi, dinilai oleh dosen. Pada
pertemuan berikutnya hasil kuis diberikan kembali kepada mahasiswa untuk direfleksi dan
dikumpulkan sebagai bukti portofolio;
(8) Ulangan Harian. Untuk persiapan ulangan harian, dosen memerlukan beberapa soal. Soal
dilengkapi dengan kunci jawaban dan pedoman penskoran. Kunci jawaban tertulis terpisah dari
lembaran tes. Hudojo (2001:266) mengatakan bahwa dalam mempersiapkan tes, harus
memperhatikan beberapa faktor penting, yaitu: (a) setiap soal harus dihubungkan dengan indikator
yang telah dirumuskan, (b) setiap soal harus benar secara matematis, dan (c) setiap soal harus benar
secara teknis. Soal tersebut harus dinyatakan dengan benar dan mempunyai jawaban tertentu.

Selain faktor di atas, dalam menyusun tes harus mempertimbangkan alokasi waktu, bentuk soal, dan
jumlah soal. Tujuan pemberian ulangan harian adalah untuk mengetahui sejauh mana mahasiswa
menguasai materi yang didiskusikan pada pertemuan tersebut; (8) Refleksi Akhir Pembelajaran:
Refleksi akhir pembelajaran merupakan salah satu tugas yang harus dibuat mahasiswa setelah
mahasiswa menerima materi secara keseluruhan. Refleksi akhir pembelajaran berisi tentang: (a) uraian
tertulis mengenai semua materi yang telah dipelajari; (b) uraian tertulis tentang hal terpenting yang telah
dipelajari selama proses pembelajaran Geometri; (c) uraian tertulis tentang hal yang paling istimewa
yang telah dipelajari selama proses pembelajaran, dan (d) uraian tertulis tentang hal yang ingin dipelajari
di masa yang akan datang.

3. Metode Penelitian
Pengembangan instrumen authentic assessment

Pengembangan dilakukan mengikuti 5 (lima) tahapan pengembangan Plomp yang dimodifikasi dengan
memadu tahapan pengembangan material (produk) oleh Nieveen dengan memperhatikan 3 aspek
kualitas, yakni aspek kevalidan, aspek kepraktisan, dan aspek keefektifan.

(1) Tahap Investigasi Awal


Untuk tahap ini dilakukan identifikasi dan kajian terhadap materi Geometri, analisis kondisi
mahasiswa, analisis konsep, analisis tugas dan penetapan kriteria kinerja yang akan dicapai melalui
pembelajaran Geometri. Kelima kegiatan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Analisis
ujung depan; (2) Analisis mahasiswa; (3) Analisis materi; (4) Analisis tugas, dan (5) Spesifikasi
kompetensi
(2) Tahap Perancangan (Desain)
Kegiatan yang dilakukan dalam perancangan instrumen ini adalah memilih format yang akan
dipergunakan. Langkah selanjutnya adalah: (1) Penyusunan silabus dan kontrak perkuliahan
Geometri.Dasar dari penyusunan rencana pembelajaran adalah komponen-komponen model
(sintaks, sistem sosial, prinsip reaksi, sistem pendukung, dan dampak instruksional dan dampak
pengiring), analisis tugas dan analisis topik yang dijabarkan berdasarkan materi pembelajaran untuk
mencapai sub-sub kompetensi yang ditetapkan; (2) Pemilihan media (LKM) dan (BPM)

(3) Tahap Realisasi (Konstruksi)


Tahapan ini sebagai lanjutan kegiatan pada tahap perancangan. Pada tahap ini dihasilkan prototipe
1 (awal) sebagai realisasi hasil perancangan sebelumnya. Hasil-hasil konstruksi diteliti kembali
apakah kecukupan teori-teori pendukung model telah dipenuhi dan diterapkan dengan baik pada
setiap komponen-komponen model sehingga siap diuji kevalidannya oleh para ahli dan praktisi dari
sudut rasional teoritis dan kekonsistenan konstruksinya.
(4) Tahap Tes dan Evaluasi, dan Revisi
Kegiatan yang dilakukan pada waktu memvalidasi instrumen portofolio assessment untuk mata
kuliah Geometri adalah sebagai berikut:

145
1. meminta pertimbangan ahli dan praktisi tentang kelayakan portofolio assessment untuk mata
kuliah Geometri (pada prototipe 1) yang telah direalisasikan. Untuk kegiatan ini diperlukan
instrumen berupa lembar validasi yang diserahkan kepada validator,
2. melakukan analisis terhadap hasil validasi dari validator. Jika hasil analisis menunjukkan: (a)
valid tanpa revisi, maka kegiatan selanjutnya adalah uji coba lapangan (pelaksanaan
pembelajaran); (b) valid dengan sedikit revisi, maka kegiatan selanjutnya adalah merevisi
terlebih dahulu, kemudian langsung uji coba lapangan; (c) tidak valid, maka dilakukan
revisi sehingga diperoleh prototipe baru. Kemudian kembali pada kegiatan (1), yaitu meminta
pertimbangan ahli dan praktisi. Di sini ada kemungkinan terjadi siklus (kegiatan validasi secara
berulang) untuk mendapatkan model yang valid.

Pelaksanaan pembelajaran geometri dengan menggunakan instrumen portofolio assessment

Pelaksanaan pembelajaran ini dilakukan bertujuan untuk melihat sejauh mana kepraktisan dan
keefektifan penggunaan instrumen dalam pembelajaran. Berdasarkan hasil ujicoba lapangan dan
analisis data hasil ujicoba dilakukan revisi. Adapun kegiatan yang dilakukan adalah (1) melakukan
analisis terhadap data hasil pelaksanaan pembelajaran, dan (2) melakukan perbaikan instrumen
berdasarkan hasil analisis data hasil pelaksanaan.

4. Kesimpulan

Berdasarkan temuan-temuan dan hasil analisis data, dari sini dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.

1. Berdasarkan data persepsi dan pengalaman pakar dapat disimpulkan bahwa pengembangan
Portofolio Asessment pembelajaran Giometri yang dikembangkan dapat diterapkan secara praktis
dan efektif dalam pelaksanaan pembelajaran di PGSD dengan menggunakan perangkat
pembelajaran yang disediakan.
2. Pada Tahun Pertama Luaran yang dihasilkan perangkat pembelajaran pendukung dalam
pelaksanaan pembelajaran Portofolio Asessment kompetensi "Giometri" PGSD yang memenuhi
kriteria kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan. Perangkat pembelajaran terdiri dari (1) Silabus dan
Kontrak Perkuliahan (2) Buku Panduan Mahasiswa (3) Lembar Kerja Mahasiswa (4) Rancangan
Naskah Buku Pegangan Guru SD dan (5) Jurnal Nasional (6 ) Naskah Jurnal Internasional.
3. Pada Tahun Kedua Target Luaran yang dihasilkan penyempurnaan (1) Silabus dan Kontrak
Perkuliahan (2) Buku Panduan Mahasiswa (3) Lembar Kerja Mahasiswa (4) Naskah Buku
Pegangan Guru SD (5) Jurnal Nasional (6 ) Proses Jurnal Internasional.
4. Pada Tahun Ketiga Target Luaran yang dihasilkan penyempurnaan (1) Silabus dan Kontrak
Perkuliahan (2) Buku Panduan Mahasiswa (3) Lembar Kerja Mahasiswa (4) Naskah Buku
Pegangan Guru SD (5) Jurnal Nasional (6) Jurnal Internasional.
5. Pelaksanaan pembelajaran Pengembangan Portofolio Asessment Pada Pembelajaran kompetensi
"Giometri" dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa dan mahasiswa semakin mengetahui
dan menyadari bahwa aspek penilaian tidak hanya unsur kognitif, melainkan juga aspek
psikomotorik dan afektif.

Daftar Pustaka

Akker, d. v. J., Branch, M.R., Gustafson, K., Nieveen, N., and Plompt, T. (1999). Design Approaches
and Tools in Education and Training. Dordrecht/Boston/London: Kluwer Academic
Publishers.

Angari, Angie Siti. (2005). Rubrik sebagai salah satu alat assessment. Makalah disajikan dalam
Seminar Nasional Pendidikan Matematika, Himpunan Matematika Indonesia Bekerjasama
dengan SBI MADANIA Parung, Bogor, 9-11 April.

Borich D, G. (1992). Effective Teaching Method. New Jersey: Prentice Hall Inc.

146
Borich, G.D. (1994). Observation Skills for Effective Teaching. New York: Macmillan Publishing
Company.

Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas. (2005). Pengembangan Sistem Assessment Berbasis
Kompetensi, Buku I Pedoman Umum. Jakarta: Dirjen Dikti.

Doolittle, P.E. & Camp, G.W. (1999). Constructivism: The Career and Technical Education
Perspective. Journal of Vocational and Technical Education. Volume 16, Number 1, Fall 1999.
Diakses pada 4 Januari 2006 dari alamat http://scholar.lib.vt.edu/ejournals/
JVTE/v16n1/doolitle.pdf

Grinnell, Jr, R.M. (1988). Social Work Research and Evaluation (Third Edition) Illionis: F.E. Peacock
Publisher Inc.

Grounlund, N.E. (1982). Constructing Achievement Test, (Third Edition). Englewood Cliff: Printice-
Hall.

Johnson, E.B. (2002). Contextual Teaching and Learning, what it is and why it’s here stay. California:
Corwin Press, Inc.

Hudojo, Herman. (2001). Mengembangkan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Jurusan


Pendidikan Matematika: FMIPA UM Malang

Kahfi, Muhammad, Shohibul. (2005). Panduan Belajar Mengembangkan Perangkat Pembelajaran


Maetematika dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi. Malang. FMIPA UM.

Karim, Muchtar Abdul. (2004). Assessment Authentic dalam Pembelajaran Matematika di Sekolah.
Makalah Disajikan dalam Seminar Dan Worksop Calon Fasilitator Kolaborasi FMIPA UM-
MGMP kota Malang. Malang, 19-20 Maret 2004.

Linn, R.L & Gronlund, N.E. (1995). Measurement and Assessment in Teaching. New Jersey: Prentice
Hall Regent.

McCallum et.al. (1996). Teacher’s Own Assessment: ed. Craft, A “Primary Education Assessing and
Planning Learning”. Routledge.

Plomp, T. (1997). Educational and Training System Design. Enschede, Netherlands: Twente
University.

Reigeluth, C.M. (1996). “What is instructional Design Theory and How is It Changing?”. In Reigeluth,
C.M. (Ed). Instructional design Theories and Models : A New Paradigm of Instructional.

Richey, R. and Nelson. (1996). “Developmental Research”. In Jonassen (Ed) Handbook of Research for
Educational Communications and Technology. New York: Macmillan Simon & Schuster.

Robinson. (1998). Student Portofolio in Mathematics. The Mathematic Theacher.

Rusoni, Elin. (2002). Portofolio dan Pradikma Baru dalam Penilaian Matematika. Diakses pada 5 April
2008 dari alamat http://www.depdiknas.go.id

Savage V. TOM and Amstrong G. David. (1996). Effective Teaching in Elementary Social Studies. New
Jersey: Prentice Hall, Inc.

Setyono, B. (2004). Penilaian Authentic dalam KBK. Jurnal Pengembangan Pendidikan, Vol. 2, No. 4
tahun 2005.

Slavin E, R. (1997). Educational Psychology Theory and Practice. A Viacom Company.

147
Surapranata, S.& Hatta, M. (2006). Penilaian Portofolio. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Susilo & Subaidah. (2004). Assessment Portofolio dalam Pembelajaran Matematika dan Sain. Makalah
disajikan dalam Seminar dan Workshop Calon Fasilitator Kolaborasi FMIPA UM-MGMP
Kota Malang, Malang, 19-20 Maret 2004.

Yasin, Anas. (2002). Penerapan Model Assessment Portofolio pada Pengajaran Bahasa Inggris.
Gentengkali. Vol, 4, (3 dan 4) : hlm. 64.

148
KORELASI ANTARA NILAI MATEMATIKA DENGAN EKONOMI PADA
SISWA KELAS X MAN MODEL BANDA ACEH TAHUN PELAJARAN
2013/2014

Musafir Kumar1, Bintang Zaura 2, dan Emilia Mailisa 3

1
Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
Email: emilia.mailisa92@gmail.com
2
Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
3
Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Abstrak. Dalam upaya meningkatkan prestasi balajar ekonomi harus mampu memahami
matematika. Mengingat penguasaan dasar matematika dalam pelajaran ekonomi sangat
perlu dipahami oleh siswa sebagai tindak lanjut dalam memahami konsep matematika,
maka timbul suatu masalah yaitu apakah siswa yang mempunyai nilai tinggi dalam
pelajaran matematika juga akan memperoleh nilai tinggi pada mata pelajaran ekonomi
atau sebaliknya. Sesuai dengan permasalahan tersebut maka penulis memilih judul
“Korelasi Antara Nilai Matematika dengan Ekonomi pada Siswa Kelas X MAN Model
Banda Aceh Tahun Pelajaran 2013/2014”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
korelasi antara nilai matematika dengan ekonomi pada siswa kelas X MAN Model Banda
Aceh Tahun Pelajaran 2013/2014. Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh siswa kelas X MAN Model Banda Aceh, yang terdiri dari 8 kelas. Sampel
pada penelitian ini adalah 30 siswa kelas X-1 tahun pelajaran 2013/2014 yang dipilih
secara acak dari 8 kelas X yang ada di MAN Model banda Aceh. Untuk mendapatkan data
digunakan instrumen penelitian berupa tes matematika dan tes ekonomi. Tes ini berbentuk
soal uraian (essai) yang masing-masing berjumlah 5 butir soal. Pengolahan data dilakukan
dengan menggunakan analisis regresi linear dan korelasi product moment dari Pearson dan
hipotesis diuji dengan menggunakan statistik uji-t. Hasil analisis didapat persamaan garis
regresi 𝑌̂ = 21,465 + 0,704𝑋. Pengujian hipotesis untuk linearitas hubungan
menunjukkan bahwa hubungan antara nilai matematika dengan nilai ekonomi pada siswa
kelas X MAN Model Banda Aceh berbentuk linear. Hasil perhitungan korelasi diperoleh
r = 0,787 menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif yang sangat kuat antara nilai
matematika dengan nilai ekonomi siswa kelas X MAN Model Banda Aceh. Hipotesis yang
diuji dengan taraf signifikan α = 0,05 dan dk = 30 – 2 = 28, diperoleh thitung > ttabel yaitu
6,75 > 1,70. Dengan demikian Ha yang berbunyi “ada korelasi yang signifikan antara nilai
matematika dengan ekonomi pada siswa kelas X MAN Model Banda Aceh tahun Pelajaran
2013/2014” diterima.
Kata kunci: korelasi, nilai matematika, nilai ekonomi

1. Pendahuluan
Matematika sebagai salah satu cabang ilmu yang dinilai dapat memberikan kontribusi positif dalam
memacu ilmu pengetahuan dan teknologi. Bantuan matematika sebagai alat untuk mempelajari ilmu
lainnya sangat dominan seperti pada ilmu fisika, kimia, ekonomi, teknik dan sebagainya. Sehubungan
dengan hal ini sriyono (2009:1) mengatakan, “banyak model dan permasalahan ekonomi yang dapat
dinyatakan dengan bahasa matematika dan dianalisis dengan teknik matematika”. Hal ini disebabkan
perhitungan yang terdapat dalam ekonomi tanpa memahami matematika akan mengalami kesukaran.
Oleh karena itu pengetahuan tentang matematika sangat dibutuhkan dalam mempelajari ekonomi. Lebih
lanjut sriyono (2009:1) mengatakan, “belajar ekonomi tanpa kemampuan berhitung, terlebih tanpa
penguasaan matematika ekonomi, adalah sangat tidak wajar. Matematika adalah bagian dari alat yang
digunakan untuk analisis”. Dalam kaitannya dengan bidang ekonomi, jika seseorang siswa mampu
memahami konsep matematika, maka siswa tersebut cenderung mengalami hambatan lebih rendah
dalam mengerjakan soal-soal ekonomi.

Ekonomi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang memusat pada konsep-konsep kuantitatif, misalnya:
harga, biaya, tingkat upah, investasi, penghasilan, dan laba, maka analisis ekonomi tidak dapat
dilepaskan dari matematika. Lebih lanjut Rosyidi (2004:29) menyatakan, “ilmu ekonomi adalah satu
dari antara ilmu-ilmu sosial yang pertama sekali menggunakan metode kuantitatif di dalam analisis-

149
analisisnya, dan hingga sekarang ini merupakan ilmu yang paling banyak memakai teknik-teknik
matematika dan statistika di kalangan ilmu sosial”. maka timbul suatu masalah yaitu apakah siswa yang
mempunyai nilai tinggi dalam pelajaran matematika juga akan memperoleh nilai tinggi pada mata
pelajaran ekonomi atau sebaliknya. Sesuai dengan permasalahan tersebut maka yang menjadi rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah ada korelasi antara nilai matematika dengan ekonomi pada
siswa kelas X MAN Model Banda Aceh Tahun Pelajaran 2013/2014?”.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara nilai matematika dengan ekonomi pada siswa
kelas X MAN Model Banda Aceh Tahun Pelajaran 2013/2014. Adapun yang menjadi hipotesis dalam
penelitian ini adalah “Terdapat korelasi antara nilai matematika dengan ekonomi pada siswa kelas X
MAN Model Banda Aceh Tahun Pelajaran 2013/2014”.

2. Landasan Teoritis
Karakteristik matematika dan ekonomi

Karakteristik memiliki pengertian bahwa sesuatu objek memiliki ciri-ciri atau kekhasan yang
membedakannya dengan objek yang lain. Adapun karakteristik matematika menurut Soedjadi (2000:13-
18) adalah sebagai berikut: (1) Memiliki objek abstrak yang meliputi fakta, konsep, operasi, dan prinsip;
(2) Bertumpu pada kesepakatan; (3) Berpola pikir deduktif; (4) memiliki simbol yang kosong dalam
arti; (5) Memperhatikan semesta pembicaraan; dan (6) Konsisten dalam sistemnya. Pembelajaran
ekonomi adalah salah satu mata pelajaran yang berangkat dari fakta atau gejala ekonomi yang nyata
yang dapat mengembangkan kemampuan berfikir analitis induksi dan deduksi dalam menyelesaikan
masalah baik secara kualitatif maupun kuantitatif dengan menggunakan matematika, untuk memilih
alternatif terbaik dari berbagai alternatif yang tersedia.

Hubungan mata pelajaran matematika dengan ekonomi

Adapun beberapa materi matematika yang berhubungan dengan materi ekonomi menurut Desmizar
(2003:61-301) adalah sebagai berikut:
1. Aplikasi materi fungsi pada materi fungsi permintaan, fungsi penawaran, keseimbangan pasar, pajak,
subsidi dan sebagainya.
2. Aplikasi materi diferensial pada materi elastisitas permintaan, elastisitas penawaran, elastisitas
pendapatan, biaya total, biaya rata-rata, biaya marginal, perpajakan dan sebagainya.
3. Aplikasi materi integral pada materi fungsi biaya, fungsi penerimaan, fungsi produksi, fungsi
konsumsi, fungsi tabungan dan lain sebagainya.
4. Aplikasi materi aritmetika sosial pada materi untung, rugi, harga pembelian, harga penjualan, bruto,
tara, netto, diskon, pajak, bunga dan lain sebagainya.

Berdasarkan uraian di atas, maka jelas ada hubungan antara pelajaran matematika dan ekonomi. Hal ini
disebabkan perhitungan yang terdapat dalam ekonomi tanpa memahami matematika akan mengalami
kesukaran. Oleh karena itu pengetahuan tentang matematika sangat dibutuhkan dalam mempelajari
ekonomi. Lebih lanjut Sriyono (2009:1) mengatakan, “Belajar ekonomi tanpa kemampuan berhitung,
terlebih tanpa penguasaan matematika ekonomi, adalah sangat tidak wajar. Matematika adalah bagian
dari alat yang digunakan untuk analisis”. Dalam kaitannya dengan bidang ekonomi, jika seseorang siswa
mampu memahami konsep matematika, maka siswa tersebut cenderung mengalami hambatan lebih
rendah dalam mengerjakan soal-soal ekonomi. Oleh karena itu jelas bahwa matematika sangat berperan
penting dalam ilmu sosial lainnya seperti ekonomi. Peranan itu semakin bertambah luas dan dalam
dengan diterbitkannya berbagai buku-buku tentang matematika ekonomi. Widodo (2005:1)
mengatakan: “Di dalam matematika ekonomi, matematika digunakan sebagai salah satu pendekatan
(approach) untuk menerangkan atau menganalisis hubungan variabel-variabel ekonomi”. Matematika
berkaitan dengan sesuatu yang dapat dihitung atau sesuatu yang dinyatakan dalam bentuk kuantitas
(jumlah). Banyak sekali variabel-variabel (konsep) ekonomi yang bisa dikuantifikasikan seperti harga
barang, jumlah barang yang diminta, jumlah barang yang ditawarkan, jumlah uang beredar, suku bunga,
pendapatan nasional, dan lain-lain.

150
Uraian materi matematika

1. Menyusun Persamaan Kuadrat


Menyusun persamaan kuadrat yang akar-akarnya mempunyai hubungan dengan akar-akar
persamaan kuadrat lainnya dapat disusun dengan cara menggunakan rumus jumlah (𝑥1 + 𝑥2 =
− 𝑏⁄𝑎 ) dan hasil kali (𝑥1 × 𝑥2 = 𝑐⁄𝑎 ) akar-akar persamaan kuadrat. Untuk menyusun persamaan
kuadrat, kita menggunakan rumus 𝑥 2 − (𝑥1 + 𝑥2 )𝑥 + 𝑥1 × 𝑥2 = 0. Dimana (𝑥1 + 𝑥2 ) dan 𝑥1 ×
𝑥2 masing-masing adalah jumlah dan hasil kali akar-akar suatu persamaan kuadrat.

2. Sistem Persamaan Linear Tiga Variabel


Bentuk umum persamaan linear tiga variabel adalah:
𝑎11 𝑥 + 𝑎12 𝑦 + 𝑎13 𝑧 = 𝑑1
{ 𝑎21 𝑥 + 𝑎22 𝑦 + 𝑎23 𝑧 = 𝑑2
𝑎31 𝑥 + 𝑎32 𝑦 + 𝑎33 𝑧 = 𝑑3
Dengan 𝑎11 , 𝑎12 , 𝑎13 , 𝑎21 , 𝑎22 , 𝑎23 , 𝑎31 , 𝑎32 , 𝑎33 , 𝑑1 , 𝑑2 dan 𝑑3 adalah bilangan real.
𝑎11 , 𝑎21 , dan 𝑎31 disebut koefisien dari peubah x;
𝑎12 , 𝑎22 , dan 𝑎32 disebut koefisien dari peubah y;
𝑎13 , 𝑎23 , dan 𝑎33 disebut koefisien dari peubah z.
Jika 𝑑1 , 𝑑2 dan 𝑑3 masing-masing bernilai nol, dinamakan sistem persamaan linear homogen,
sedangkan jika tidak semuanya bernilai nol, sistem persamaan linear di atas dinamakan sistem
persamaan linear nonhomogen.
Cara menyelesaikan sistem persamaan linear tiga variabel dapat dilakukan seperti cara
menyelesaikan sistem persamaan linear dua variabel, di antaranya dengan metode substitusi dan
gabungan antara metode eliminasi dan metode substitusi.

3. Perbandingan Trigonometri
- Perbandingan Trigonometri Suatu Sudut Pada Segitiga Siku-Siku
Secara umum, jika diberikan segitiga ABC siku-siku seperti gambar berikut:
C

b
a

A α° c B

Nilai-nilai perbandingan trigonometri untuk sudut α pada segitiga ABC sebagai berikut:
𝑎 𝑐
a. Sin α = d. Cot α =
𝑏 𝑎
𝑐 𝑏
b. Cos α = e. Sec α =
𝑏 𝑐
𝑎 𝑏
c. Tan α = f. Cosec =
𝑐 𝑎

Uraian materi ekonomi

1. Fungsi Permintaan
Permintaan suatu barang adalah beberapa kemungkinan dari jumlah barang yang dapat diminta di
berbagai tingkat harga. Hukum permintaan berbunyi: “apabila harga suatu barang naik maka
jumlah barang yang diminta akan turun dan sebaliknya, apabila harga barang turun maka jumlah
barang yang diminta akan naik”. Berdasarkan pengertian tersebut, jika P harga barang dan Q jumlah
barang yang diminta maka secara matematik dapat dikatakan bahwa jumlah barang yang diminta
merupakan fungsi dari harganya. Secara simbolis dapat ditulis: Q = f(P).

2. Fungsi Penawaran
Penawaran suatu barang adalah suatu kemungkinan dari jumlah barang yang dapat dijual diberbagai
tingkat harga. Hukum penawaran berbunyi: “apabila harga suatu barang naik maka jumlah barang
yang ditawarkan akan naik dan sebaliknya, apabila harga barang turun maka jumlah barang yang

151
ditawarkan akan turun”. Berdasarkan pengertian tersebut, jika P harga barang dan Q jumlah barang
yang ditawarkan maka secara matematik dapat dikatakan bahwa jumlah barang yang ditawarkan
merupakan fungsi dari harganya. Secara simbolis dapat ditulis: Q = f(P).

3. Keseimbangan Pasar (Market Equilibrium)


Dalam transaksi jual beli biasanya didahului dengan adanya tawar menawar antara penjual dan
pembeli. Hasil tawar menawar tersebut akan menghasilkan suatu titik kesepakatan atau suatu titik
kesamaan. Harga kesepakatan inilah yang dinamakan dengan harga keseimbangan atau harga pasar
atau disebut juga dengan market equilibrium. Apabila fungsi permintaan dan fungsi penawaran
diketahui maka harga keseimbangan itu dapat ditentukan dengan jalan menyamakan dari kedua
fungsi tersebut.
Apabila kurva permintaan dan kurva penawaran sudah dapat digambarkan maka harga pasar itu
dapat diketemukan oleh titik berpotongan antara kurva permintaan dan kurva penawaran yang
disebut dengan titik E. Titik keseimbangan pasar hanya berlaku pada satu titik. Dari uraian di atas,
dapat diketahui bahwa keseimbangan pasar terjadi apabila QD = QS dan PD = PS.

3. Metode Penelitian
Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif, sedangkan jenis penelitian ini adalah
penelitian korelasional. Penelitian ini dilaksanakan pada Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Model Banda
Aceh. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu tes matematika dan tes ekonomi. Pemberian tes
matematika dilakukan pada tanggal 26 Maret 2014 sedangkan untuk tes ekonomi diberikan pada tanggal
29 Maret 2014. Pemberian tes bertempat di kelas X-1 MAN Model Banda Aceh. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh kelas X MAN Model Banda Aceh tahun pelajaran 2013/2014 yang terdiri
dari 8 kelas. Sedangkan sampelnya diambil secara acak sebanyak satu kelas, dan yang terpilih kelas X-
1 untuk tes matematika dan tes ekonomi. Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan, digunakan
instrumen penelitian yaitu berupa tes. Tes digunakan untuk mengumpulkan data tentang nilai hasil
belajar matematika dan nilai hasil belajar ekonomi siswa pada kelas X semester genap Tahun Pelajaran
2013/2014 di MAN Model Banda Aceh.

Teknik pengolahan data

Analisis yang digunakan untuk mengolah data adalah analisis regresi dan korelasi. Sesuai dengan
metode analisis yang akan dipakai untuk menguji hipotesis dalam penelitian tersebut, maka harus
diperlukan pengujian terpenuhinya asumsi normalitas pada variabel-variabelnya. Secara rinci tahapan
pengolahan data adalah sebagai berikut:
1. Mentabulasikan data ke dalam daftar distribusi frekuensi
Untuk membuat tabel distribusi frekuensi dengan panjang kelas yang sama maka menurut Sudjana
(2005:47) terlebih dahulu ditentukan:
 Rentang kelas, yaitu data terbesar – data terkecil
 Banyak kelas (k) = 1 + 3,3 log n
Rentang
 Panjang kelas interval (p) =
Banyak kelas
2. Mencari nilai rata-rata ( x ), Varians (s2) dan simpangan baku (s)
Untuk data yang telah disusun dalam daftar frekuensi menurut Sudjana (2005:70), nilai rata-rata (
x ) dihitung dengan menggunakan rumus:
∑𝑓 𝑥
𝑥̅ = ∑ 𝑖 𝑖 (1)
𝑓𝑖
Keterangan: 𝑥̅ = rata-rata
𝑓𝑖 = banyak siswa dalam interval tertentu
𝑥𝑖 = nilai tengah atau tanda kelas interval
Untuk mencari standar deviasi (simpangan baku), menurut Sudjana (2005:93) pangkat dua dari
simpangan baku dinamakan varians. varians (s2) menurut Sudjana (2005:95) dapat diukur dengan
rumus:

152
n  f i xi  ( f i xi ) 2
2

s 
2

n (n  1) (2)
Keterangan: n = banyaknya data
s 2 = varians
3. Uji Normalitas Sebaran Data
Uji normalitas diperlukan untuk mengetahui apakah data dalam penelitian ini berdistribusi normal
atau tidak. Untuk menguji normalita33s data digunakan statistik chi-kuadrat seperti dikemukakan
Sudjana (2005 : 273) sebagai berikut:
k
(Oi  Ei ) 2
2  
i 1 Ei (3)
Dengan :
 2 = statistik chi-kuadrat
Oi = frekuensi pengamatan
Ei = frekuensi yang diharapkan.

Kriteria pengujian untuk chi-kuadrat menurut Sudjana (2005:273) adalah tolak H0 jika  hitung
2

 2
tabel
dengan  = taraf nyata untuk menguji dan dk = k - 3, dalam hal lain H0 diterima.

4. Mencari hubungan linear variable, yaitu hubungan X (nilai matematika) dengan Y (nilai ekonomi).
Untuk mencari hubungan tersebut maka digunakan rumus regresi linear sederhana seperti yang
dikemukakan oleh Sudjana (2005:315) yaitu sebagai berikut:
𝑌̂ = 𝑎 + 𝑏𝑋 (4)
Nilai 𝑎 dan b ditentukan dengan menggunakan persamaan rumus berikut:
𝑎 = 𝑌̅ − 𝑏 𝑋̅ (5)
𝑛 ∑ 𝑋𝑖 𝑌𝑖−(∑ 𝑋𝑖)(∑ 𝑌𝑖)
𝑏= 2 (6)
𝑛 ∑ 𝑋𝑖2−(∑ 𝑋𝑖 )
Keterangan :
Xi = nilai matematika siswa
Yi = nilai ekonomi siswa
𝑋̅ = rata-rata nilai matematika siswa
𝑌̅ = rata-rata nilai ekonomi siswa
XiYi = hasil perkalian antara nilai matematika dengan ekonomi
n = jumlah sampel
a = nilai konstan
b = koefisien x
(Sudjana, 2005:315)

5. Mencari koefisien korelasi antara dua variabel X (nilai matematika) dan Y (nilai ekonomi) dengan
menggunakan rumus korelasi product moment. Rumus korelasi menurut Sudjana (2005:369) adalah
sebagai berikut:
nXY  (X )(Y
rxy  (7)
{nX  (X ) 2 }{nY 2  (Y ) 2 }
2

Keterangan:
X = Variabel X (nilai matematika siswa)
Y = Variabel Y (nilai ekonomi siswa)
XY = Hasil perkalian antara X dan Y
X2 = Nilai matematika siswa dikuadratkan
Y2 = Nilai ekonomi siswa dikuadratkan
n = Jumlah Sampel
r = Korelasi product moment

153
Langkah selanjutnya yaitu menginterpretasikan nilai koefisien korelasi yang diperoleh atau nilai r.
Menurut Bungin (2011:194) interpretasi tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1 Interpretasi nilai r


Nilai Koefisien Penjelasannya
+ 0,70 – ke atas A very strong positive association (hubungan positif yang sangat kuat)
+ 0,50 – + 0,69 A substansial positive association (hubungan positif yang mantap)
+ 0,30 – + 0,49 A moderate positive association (hubungan positif yang sedang)
+ 0,10 – + 0,29 A low positive association (hubungan positif yang tak berarti)
0,0 No association (tidak ada hubungan)
- 0,01 – - 0,09 A negligible negative association (hubungan negatif yang tak berarti)
- 0,10 – - 0,29 A low negative association (hubungan negatif yang rendah)
- 0,30 – - 0,49 A moderate negative association (hubungan negatif yang sedang)
- 0,50 – - 0,59 A substansial negative association (hubungan negatif yang mantap)
- 0,70 – - ke bawah A very strong negative association (hubungan negatif yang sangat kuat
(Sumber: Bungin, 2011:194)

6. Pengujian hipotesis
a. Pengujian hipotesis tentang regresi, menurut Fleming and Nellis (1994:256) pengujian
hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji-t dengan rumus:

𝑏−𝛽
t= , dimana 𝛽 = 0 (8)
𝑠𝑏
𝑆𝐸𝐸
dan standar error 𝑠𝑏 = (9)
√∑ 𝑋𝑖2 −𝑛𝑋̅ 2

∑ 𝑌𝑖2 −𝑎 ∑ 𝑌𝑖 −𝑏 ∑ 𝑋𝑖 𝑌𝑖
dimana Standar Error Estimasi (SEE) = √
𝑛−2
(10)
Kriteria penerimaan dan penolakan hipotesis pada taraf signifikan 5% (α = 0,05) dengan derajat
kebebasan dk = (n–2) adalah terima H0 jika thitung < ttabel dan H0 ditolak jika thitung > ttabel.

Dimana:
H0 : 𝛽 = 0 (Hubungan antara nilai matematika dengan ekonomi pada siswa kelas X di MAN
Model Banda Aceh tidak berbentuk linear).
Ha : 𝛽 > 0 (Hubungan antara nilai matematika dengan ekonomi pada siswa kelas X di MAN
Model Banda Aceh berbentuk linear).

b. Pengujian hipotesis tentang korelasi, dalam penelitian ini menggunakan uji-t. Menurut Sudjana
(2005:377) rumus uji-t tersebut adalah:
𝑟 (√𝑛−2)
t=
√1− 𝑟 2
(11)

Keterangan:
T = Hasil hitung distribusi koefisien korelasi
n = Jumlah sampel yang diteliti
r = koefisien korelasi antara variabel X dan Y
Kriteria penerimaan dan penolakan hipotesis pada taraf signifikan 5% (α = 0,05) dengan derajat
kebebasan dk = (n–2) adalah terima H0 jika thitung < ttabel dan H0 ditolak jika thitung > ttabel.

154
Dimana:
H0 : 𝜌 = 0 (Tidak ada korelasi yang positif antara nilai matematika dengan ekonomi pada siswa
kelas X di MAN Model Banda Aceh).
Ha : 𝜌 > 0 (Ada korelasi yang positif antara nilai matematika dengan ekonomi pada siswa
kelas X di MAN Model Banda Aceh).

4. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis regresi linear yang telah dilakukan, penulis memperoleh persamaan garis
regresi linear yaitu 𝑌̂ =21,465+0,704𝑋 . Dari persamaan garis regresi tersebut dapat dibuat suatu grafik
regresi linear, dengan sumbu horizontal menunjukkan nilai matematika siswa (X) dan sumbu vertikal
menunjukkan nilai ekonomi siswa (Y). Penulis memperoleh grafik dari persamaan regresi yang
diketahui dengan menggunakan Microsoft Office Excel 2007. Grafik tersebut adalah sebagai berikut:

𝑌̂ =21,465
83+0,704𝑋
60
55
100
65
72
70

Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa:


a. Variabel-variabel tersebut mempunyai hubungan yang cukup dekat. Hal ini disebabkan bahwa titik-
titik pada grafik itu terletak saling berdekatan dengan garis yang bisa ditarik melalui titik tersebut.
b. Variable-variabel tersebut mempunyai hubungan positif, karena titik-titik pada grafik menunjukkan
gejala dari kiri ke kanan.
c. Variable-variabel tersebut mempunyai korelasi yang linear karena titik-titik pada grafik
menunjukkan gejala garis lurus.

Berdasarkan pengujian hipotesis untuk linearitas hubungan, didapat t hitung= 6,122. Pada taraf nyata α
=0,05 dengan dk=28 didapat ttabel=1,70. Jadi thitung> ttabel atau 6,122 > 1,70. maka sebagai konsekuensinya
menerima hipotesis alternatif yaitu Ha, artinya hubungan antara nilai matematika dengan nilai ekonomi
pada siswa kelas X MAN Model Banda Aceh tahun pelajaran 2013/2014 berbentuk linear. Ini berarti
semakin tinggi nilai matematika siswa maka nilai ekonominya juga semakin tinggi dan begitu juga
sebaliknya.

Berdasarkan hasil pengolahan data diperoleh angka koefisien korelasi atau nilai r yaitu 0,787.
Berdasarkan indeks korelasi yang diperoleh tersebut dapat diketahui adanya empat hal, yakni ada
tidaknya korelasi, arah korelasi, interpretasi mengenai tinggi-rendahnya korelasi, dan signifikan
tidaknya harga koefisien korelasi.

Ada tidaknya korelasi, dinyatakan dalam angka pada indeks. Batapapun kecilnya indeks korelasi, jika
bukan 0,0000, dapat diartikan bahwa antara kedua variable yang dikorelasikan, terdapat adanya korelasi
(Arikunto, 2006:279). Merujuk pada pendapat tersebut, dapat dikatakan hasil penelitian ini
memperlihatkan bahwa terdapat korelasi antara nilai matematika dengan nilai ekonomi.

Arikunto (2006:279) menyatakan “arah korelasi dinyatakan dalam tanda + (plus) dan – (minus). Tanda
+ menunjukkan adanya korelasi sejajar searah, dan tanda – menunjukkan korelasi sejajar berlawanan
arah”. Sedangkan Sudijono (2010:186) mengemukakan bahwa korelasi antara variabel X dan variabel
Y disebut korelasi positif apabila angka indeks korelasinya bertanda “plus” (+); sebaliknya, apabila
angka indeks korelasi antara variabel X dan variabel Y bertanda “minus” (-), maka korelasi yang

155
demikian itu disebut korelasi negatif. Selain itu Sudjana (2002:369) mengatakan, “harga-harga r
bergerak antara -1 dan +1 dengan tanda negatif menyatakan adanya korelasi tak langsung atau korelasi
negatif dan tanda positif menyatakan korelasi langsung atau korelasi positif”. Berdasarkan nilai r yang
diperoleh memperlihatkan bahwa nilai r bertanda + (plus). Hal tersebut menunjukkan adanya korelasi
positif (searah) antara nilai matematika dengan nilai ekonomi dan bermakna makin tinggi nilai
matematika maka makin tinggi nilai ekonomi siswa atau dengan kata lain kenaikan nilai matematika
siswa diikuti kenaikan nilai ekonomi siswa.

Tinggi rendahnya korelasi dapat diinterpretasikan secara kasar/sederhana ataupun dengan


menggunakan tabel nilai r – product – moment. Interpretasi secara kasar/sederhana dengan
memperhatikan besarnya nilai r yaitu 0,787, ternyata terletak antara +0,6000 - +0,8000. Berdasarkan
interpretasi yang dikemukakan oleh Bungin (2011:194) kita dapat menyatakan bahwa korelasi positif
antara nilai matematika siswa dengan nilai ekonomi siswa atau antara variabel X dengan variabel Y
adalah termasuk korelasi positif yang sangat kuat. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, diperoleh
thitung = 6,75 sedangkan ttabel pada taraf signifikan 0,05 adalah sebesar 1,70. Ini menunjukkan bahwa
thitung > ttabel, maka sebagai konsekuensinya menerima hipotesis alternatif yaitu Ha, artinya ada korelasi
antara nilai matematika dengan nilai ekonomi pada siswa kelas X MAN Model Banda Aceh tahun
pelajaran 2013/2014.
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa hasil penelitian ini membuktikan bahwa nilai
matematika memiliki hubungan yang positif terhadap nilai ekonomi. artinya semakin tinggi nilai
matematika seseorang maka semakin tinggi pula nilai ekonominya. Hal ini ternyata sesuai dengan
Sudjono (1988:8) menyatakan bahwa: “Matematika telah memberikan peranan dan kemudahan kepada
berbagai ilmu pengetahuan lain”. Dengan kata lain kemampuan siswa dalam matematika akan dapat
memberikan kemudahan dalam pelajaran ekonomi yang penjelasannya banyak membutuhkan konsep-
konsep matematika.

Dengan hal ini Sriyono (2009:1) mengatakan, “Belajar ekonomi tanpa kemampuan berhitung, terlebih
tanpa penguasaan matematika ekonomi, adalah sangat tidak wajar. Matematika adalah bagian dari alat
yang digunakan untuk analisis”. Untuk mempelajari ekonomi tingkat lanjut diperlukan pengetahuan
matematika yang baik. Siswa atau mahasiswa yang bekal pengetahuan matematika yang cukup kuat
akan dapat mempelajari ekonomi dengan penuh kepercayaan. Dari uraian di atas jelas terlihat
keterkaitan materi mata pelajaran matematika dengan ekonomi, dimana materi mata pelajaran
matematika menjadi dasar dalam memahami konsep ekonomi.

5. Penutup
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa ada korelasi yang positif
antara nilai matematika dengan nilai ekonomi kelas X MAN Model Banda Aceh Tahun Pelajaran
2013/2014.

Saran-saran
Berdasarkan kesimpulan yang dikemukakan di atas, maka perlu kiranya penulis memberikan saran-
saran yang bermanfaat kepada guru dan lembaga yang terkait dalam rangka peningkatan mutu
pendidikan matematika di MAN Model Banda Aceh. Adapun saran-saran sebagai berikut:
1) Diharapkan adanya kerjasama antara guru bidang studi matematika dengan guru bidang studi
ekonomi dalam upaya peningkatan prestasi belajar siswa. Dengan adanya kerjasama tersebut dapat
diketahui siswa-siswa yang mengalami masalah dalam matematika dan juga siswa-siswa yang
mengalami masalah dalam ekonomi, sehingga guru sama-sama dapat memberi dorongan dan
perhatian untuk perbaikan prestasi belajarnya, khususnya pelajaran matematika dan ekonomi.
2) Diharapkan pada siswa yang ingin mendalami ilmu perbankan, bisnis, maupun perdagangan, harus
belajar matematika dan ekonomi dengan lebih giat. Karena antara matematika dan ekonomi
memiliki hubungan (korelasi) yang cukup erat.
3) Bagi pihak-pihak yang berhubungan dengan pendidikan agar memperhatikan perkembangan
pendidikan baik dalam bidang sarana maupun prasarana sehingga kegiatan belajar mengajar dapat
berlangsung dengan baik, dan dapat dipertahankan sekaligus ditingkatkan untuk masa yang akan
datang.

156
Daftar Pustaka
Amin, Safwan. (2005). Pengantar Psikologi Pendidikan. Banda Aceh: Yayasan Pena.

Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Bungin, Burhan. (2011). Metodologi Penelitian Kuantitatif. Edisi Kedua. Jakarta: Kencana.

Depdiknas. (2006). Perangkat Pembelajaran Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah Menengah
Atas. Jakarta: Depdiknas.

Desmizar. (2003). Matematika untuk Ekonomi dan Bisnis. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Dimyati dan Mudjiono. (2009). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. (2012). Pedoman Penulisan Skripsi. Banda Aceh: Universitas
Syiah Kuala.

Fleming, Michael C dan Joseph G Nellis. (1994). Principles Of Applied Statistics. London: EC4P 4EE.

Hamalik, Oemar. (2011). Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.

Hudoyo, Herman. (1979). Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya di Depan Kelas.
Surabaya: Usaha Nasional.

Johar, Rahmah dkk. (2006). Strategi Belajar Mengajar. Darussalam: Unsyiah.

Karso, dkk. (1993). Dasar-dasar Pendidikan MIPA UT. Jakarta: Depdikbud

Ratumanan, Tanwey Gerson. (2004). Belajar dan Pembelajaran. Ambon: Unesa University Press.

Rosyidi, Suherman. (2004). Pengantar Teori Ekonomi: Pendekatan Kepada Teori Ekonomi Mikro dan
Makro. Jakarta: PT Raja Grafindo.

Siswanto. (2005). Matematika Motivatif. Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.

Slameto. (2003). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.

Soedjadi, R. (2000). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Sriyono, D. (2009). Matematika Ekonomi dan Keuangan. Yogyakarta: CV ANDI OFFSET.

Sudjana. (2005). Metode Statistika. Bandung: Tarsito.

Sudijono, Anas. (2010). Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.

Sudjono. (1988). Pengajaran Matematika untuk Sekolah. Jakarta: Rajawali.

Sukino dan Wilson Simangunsong. (2007). MATEMATIKA untuk SMP kelas VIII. Jakarta: Erlangga.

Surya, Mohamad. (2004). Piskologi Pembelajaran dengan Pengajaran. Bandung: Tarsito.

Widodo, Tri. (2005). Matematika Ekonomi dan Bisnis. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.

157
MEMINIMALKAN KESULITAN BELAJAR MATERI PERSAMAAN GARIS LURUS
PADA SISWA KELAS VIII3 SMP NEGERI 16 BANDA ACEH
DENGAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVIS

Niwati1
1
SMP Negeri 16 Banda Aceh

Abstrak. Matematika merupakan mata pelajaran yang sangat sulit untuk dipelajari,
bahwa tidak menarik dibandingkan dengan mata pelajaran yang lain, hanya sedikit sekali
siswa yang menyukainya, ini terbukti dengan hasil pembelajaran yang diperoleh siswa
selalu rendah. Untuk mengubah pandangan tersebut diperlukan suatu cara yang bisa
membuat siswa tertarik untuk mempelajari matematika. Belajar merupakan proses yang
membuat seseorang mengalami perubahan tingkah laku baik dalam bentuk pengetahuan
dan sikap sebagai hasil dari pengalaman yang diperolehnya, dengan demikian orang yang
belajar merupakan orang yang mengalami sendiri proses pembelajaran tersebut.
Pembelajaran matematika harus dapat dikemas dalam bentuk yang menyenangkan dan
melibatkan semua siswa secara aktif, sehingga siswa memperoleh sendiri pengetahuan
yang harus dimilikinya. Penelitian ini bertujuan untuk meminimalkan kesulitan belajar
siswa dalam bidang studi matematika, kegiatannya dilaksanakan dalam proses
pembelajaran, dengan memaksimalkan keaktifan siswa, guru hanya sebagai fasilitator
dan motifator. Dalam pembelajaran konstruktivis siswa belajar dengan mengalami sendiri
dan membangun pengetahuan sendiri dari pengalaman yang dialaminya, dan pada
akhirnya belajarnya bermakna, bila belajarnya bermakna maka kesulitan belajar siswa
teratasi.Penelitian ini dilaksanakan dalam 3 siklus, masing-masing siklus terdiri atas tahap
Perencanaan, Tindakan, Pengamatan, Refleksi. Sedangkan pendekatan pembelajaran
dalam penelitian ini menggunakan pendekatan konstruktivis melalui Lembar Kegiatan
Siswa (LKS) yang peneliti buat secara berstruktur sehingga siswa bisa membangun
pengetahuannya sendiri dengan jalan menyelesaikan LKS secara berkelompok. Adapun
data dalam penelitian ini diperoleh dengan nilai tes, observasi dan angket, dimana fungsi
dari data yang telah diperoleh sebagai berikut: nilai tes untuk mengetahui keberhasilan
belajar siswa dalam memahami materi yang diajarkan, observasi untuk mengetahui
aktivitas siswa dalam pembelajaran, dan angket untuk mengetahui respon siswa terhadap
pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis. Dari hasil penelitian diperoleh
peningkatan dari siklus ke siklus dengan data terakhir pada siklus III adalah 85,71 %
siswa .memiliki nilai diatas KKM

Kata kunci : kesulitan belajar, pendekatan konstruktivis, persamaan garis lurus

1. Pendahuluan

Sampai saat ini pelajaran matematika masih dianggap sebagai pelajaran yang amat sulit untuk dipelajari,
sehingga hasil yang diperoleh siswa masih sangat jauh dari yang diharapkan. Sementara itu matematika
merupakan salah satu mata pelajaran yang diujikan secara nasional, maka seluruh kompetensi yang ada
harus dikuasai siswa, sehingga hasil belajar yang diperoleh siswa mencapai Standar Ketuntasan Lulusan
(SKL) yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu harus diupayakan meminimalkan kesulitan-kesulitan
belajar matematika yang dihadapi siswa.

Penyebab kesulitan belajar yang dihadapi siswa sangatlah komplek, yang datang dari siswa sendiri
misalkan kurangnya pengetahuan prasyarat yang dimiliki siswa, masalah sosial dan lain-lain. Adapun
kesulitan belajar siswa disebabkan oleh guru misalnya, guru dalam proses pembelajaran tidak mengikut
sertakan siswa dalam pembelajaran secara aktif, siswa hanya disuruh menghafal rumus-rumus,
menerima konsep-konsep yang ada tidak melakukan sendiri. Sehingga hasilnya kurang bermakna dan
tidak terekam dengan baik pada otak siswa.

Peneliti mengambil materi persamaan garis lurus, karena kebanyakan siswa selama peneliti
menyampaikan materi ini banyak mengalami kesulitan, dengan hasil yang kurang membanggakan.
Padahal banyak soal-soal yang berhubungan dengan materi telah dibahas, setelah konsep-konsep yang
berhubungan dengan materi penulis berikan.

158
Untuk mengantisipasi permasalahan di atas, perlu diupayakan suatu pembelajaran yang meminimalkan
kesulitan belajar siswa. Kesulitan belajar siswa dapat diupayakan dengan cara menciptakan suasana
belajar yang menyenangkan sehingga belajarnya bermakna. Bila belajarnya bermakna diharapkan
kesulitan belajar siswa berkurang dan pada akhirnya ada peningkatan hasil belajarnya

Adapun usaha yang akan dilakukan untuk mengupayakan belajar bermakna pada mata pelajaran
matematika dengan Pembelajaran Konstruktivis. Pembelajaran Konstruktivis memungkinkan siswa
untuk membangun pengetahuaannya sendiri yang diperoleh dari pengalaman yang dialaminya dan dapat
pula menghubungkan dengan pengalaman yang lalu (Pengetahuan Prasyarat) yang dimilikinya.

Sesuai dengan uraian diatas maka peneliti mengadakan penelitian dengan judul “Meminimalkan
Kesulitan Belajar Materi Persamaan Garis Lurus pada Siswa Kelas VIII 3 SMP Negeri 16 Banda Aceh
dengan Pendekatan Konstruktivis “

Rumusan masalah

Masalah yang diangkat dari penelitian ini adalah bagaimanakah penggunaan Pendekatan Konstruktivis
dapat meminimalkan kesulitan belajar materi persamaan garis lurus pada siswa kelas VIII3 SMP Negeri
16 Banda Aceh?

Tujuan penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan agar siswa kelas VIII 3 SMP Negeri 16 Banda Aceh dapat
meningkatkan hasil belajar matematikanya, yang ditunjukkan pada indikator :
1. Umum :
Meningkatkan mutu pembelajaran matematika di SMP Negeri 16 Banda Aceh yang ditunjukkan
dengan meningkatnya jumlah siswa yang memperoleh hasil belajar matematika yang optimal.
2. Khusus :
- Meningkatnya respon siswa dalam aktivitas dan kreativitasnya dalam pembelajaran.
- Sekurang-kurangnya 65 % perolehan hasil belajar matematika individu siswa kelas VIII3 SMP
Negeri 16 Banda Aceh di atas KKM telah ditentukan.

Manfaat hasil penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi :


1. Siswa: mendapatkan pengalaman belajar yang bermakna yang dapat dipergunakan untuk
menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya.
2. Guru: menambah wawasan dan informasi untuk memilih bentuk-bentuk pendekatan
pembelajaran yang menarik dan menyenangkan bagi siswa sesuai dengan materi yang akan
diajarkan, agar dalam pembelajaran mendapatkan hasil yang maksimal

2. Kajian Pustaka

Pembelajaran matematika

Departemen Pendidikan Nasional, 2003, Matematika berasal dari bahasa latin MANTHANEIN atau
MATHEMA yang berarti belajar atau hal yang dipelajari. Matematika dalam bahasa Belanda disebut
WISKUNDE atau ilmu pasti, yang kesemuanya berkaitan dengan penalaran. Ciri utama matematika
adalah penalaran deduktif yaitu kebenaran suatu konsep atau pernyataan diperoleh sebagai akibat logis
dari kebenaran sebelumnya sehingga kaitan konsep atau pernyataan dalam matematika bersifat
konsisten.

Tujuan pembelajaran matematika menurut DepPenNas 2003 adalah:


a) Melatih cara berfikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan
penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukkan kesamaan, perbedaan, konsisten dan
inkonsistensi.

159
b) Mengembagkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan
mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan serta
mencoba-coba.
c) Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah.
Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan antara
lain pembicaraan lisan, catatan, grafik, peta, diagram, dalam menjelaskan gagasan (DepPenNas,
2003).

Elemen belajar konstruktivis

Pembelajaran matematika akan bermakna bagi siswa apabila mereka aktif dalam proses pembelajaranan
membangun (mengkonstruksi) sendiri materi pembelajaran yang mereka perlukan. Menurut Zakorik
(dalam CTL, 2003: 7) ada lima elemen yang harus diperhatikan dalam praktek pembelajaran
konstruktivis.

1. Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge)


2. Memperoleh pengetahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara
keseluruhan data, kemudian memperhatikan detailnya.
3. Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge) yaitu dengan cara menyusun (a) konsep
sementara (hipotesis), (b) melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan (validasi)
dan atas dasar tanggapan itu, (c) konsep tersebut direvisi dan dikembangkan.
4. Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge).
5. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut.

Pengaruh Konstruktivis dalam Pembelajaran Matematika

Dalam pembelajaran matematika pengaruh konstruktivisme menurut Lambas, dkk, (2004: 14) meliputi:
1. Pengaruh konstruktivisme terhadap proses pembelajaran siswa.
Bagi konstruktivisme, belajar adalah kegiatan aktif siswa dalam membangun pengetahuan barunya,
siswa mencari sendiri arti dari yang mereka pelajari dan bertanggung jawab terhadap hasil
belajarnya, mereka sendiri yang membuat penalaran dengan apa yang dipelajarinya dengan cara
mencari makna, membandingkan apa yang telah diketahui dengan pengalaman dan situasi baru.
2. Pengaruh konstruktivisme terhadap proses mengajar guru.
Mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, tetapi merupakan
kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti
partisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mempertanyakan
kejelasan, bersifat kritis dan mengadakan justifikasi.

Teori pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis

Kesulitan belajar siswa merupakan suatu hal yang harus segera dapat diatasi, dicari penyebab dan jalan
keluarnya. Kegagalan siswa dalam pembelajaran adalah kegagalan guru dalam pendidikan. Karena
pengetahuan bukannya seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah-kaidah yang siap diambil dan
diingat sejalan dengan itu.

Piaget (dalam Nurhadi, dkk., 2003: 36) berpendapat, manusia memiliki struktur pengetahuan dalam
otaknya, seperti kotak-kotak yang masing-masing berisi informasi bermakna yang berbeda-beda.
Pengalaman sama bagi beberapa orang akan dimaknai berbeda-beda oleh masing-masing individu dan
disimpan dalam kotak yang berbeda. Setiap pengalaman baru dihubungkan dengan kotak-kotak
(struktur pengalaman) dalam otak manusia tersebut.

Sejalan dengan pendapat di atas, dalam pembelajaran agar siswa diberi kesempatan membangun
pengetahuannya sendiri. Hal ini sesuai dengan pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL).
Dalam buku CTL yang disusun oleh Departemen Pendidikan Nasional (2002: 11) siswa perlu
dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan bergelut
dengan ide-ide. Guru tidak mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa, siswa harus
mengkonstruksi pengetahuan di benak mereka sendiri.

160
Pendapat di atas diperkuat oleh Nurhadi (2002: 26) menyatakan landasan filosofi CTL adalah
konstruktivis, yaitu filosofi belajar yang menekankan bahan belajar tidak hanya sekedar menghafal,
siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Pengetahuan tidak dapat dipisah-
pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan ketrampilan yang dapat
diterapkan.

Pengetahuan terus berkembang, penemuan-penemuan baru banyak yang ditemukan sehingga


pembelajaran tidak pernah berakhir dan harus selalu diikuti perkembangannya. Nurhadi, Burhanudin
Yasin, Agus Gerrad Senduk (2003 : 10) berpendapat teori konstruktivis memandang secara terus-
menerus memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lain dan
memperbarui aturan-aturan tersebut jika tidak sesuai lagi. Teori konstruktivis menuntut siswa berperan
aktif dalam pembelajaran mereka sendiri. Karena penekanannya pada siswa yang aktif maka strategi
konstruktivis sering disebut pengajaran yang berpusat pada siswa (student-centered instruction). Di
dalam kelas yang pengajarannya berpusat pada siswa, peran guru adalah membantu siswa menemukan
fakta, konsep atau prinsip bagi diri mereka sendiri, bukan memberikan ceramah atau mengendalikan
seluruh kegiatan di kelas.

Dari pendapat-pendapat di atas dapat dinyatakan bahwa pendekatan konstruktivis dalam pembelajaran
dapat mengoptimalkan pengalaman belajar. Siswa menemukan konsep-konsep atau dalil matematika
sendiri, maupun melalui diskusi kelompok dengan guru sebagai fasilitator, sehingga dapat
meminimalkan kesulitan belajar siswa

3. Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan dari penelitian ini adalah:


a). Pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam belajar
kelompok.
b). Terdapat peningkatan rata-rata hasil ulangan akhir siklus.Adanya peningkatan respons siswa
terhadap pembelajaran.
c). Pembelajaran dengan pendekatan konstuktivis dapat meminimalkan kesulitan belajar siswa
d). Secara klasikal, peningkatan hasil belajar matematika siswa sangat bergantung dari keterlibatan
guru dalam malakukan analisis materi pelajaran dan bagaimana guru berperan dalam mendampingi
siswa ketika proses pembelajaran berlangsung.

Berdasarkan dari hasil yang penulis capai dalam penelitian ini maka dapat penulis sarankan: pada suatu
proses pembelajaran hendaknya guru menggunakan metode/pendekatan yang sesuai dengan materi
yang akan diajarkan dan melakukan analisis materi pelajaran yang akan disampaikan serta berperan
dalam mendampingi siswa ketika proses pembelajaran berlangsung.

Daftar Pustaka

Arikunto S, Suhardjono, Supardi. (2003). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.

Kurikulum Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). (1994). Garis-garis Besar Program
Pengajaran. Jakarta: Depdikbud.

Kurikulum Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). (1994). Petunjuk Pelaksanaan Proses Belajar
Mengajar. Jakarta: Depdikbud.

Kurikulum 2004 Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. (2003). Standar Kompetensi.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Lambas, dkk, (2004). Materi Pelatihan Terintegrasi Buku 3, Modul 25, Jakarta:Departemen Pendidikan
Nasional, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama.

Nurhadi. (2002). Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL). Jakarta:


Departemen Pendidikan Nasional.

161
Nurhadi, Yasin B, Senduk, A.G. (2003). Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and
Learning/CTL) dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Penerbit UM.

Sungkowo. (2003). Pendekatan Kontekstual. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Dirjen


Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama.

162
PENGGUNAAN ALAT PERAGA BEKAS UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN
HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK KELAS VIII-1 SMP NEGERI 7 BANDA ACEH PADA
MATERI LUAS PERMUKAAN PRISMA DAN LIMAS TEGAK

Qadarusmi1
1
SMP Negeri 7, Banda Aceh
Email: qadamimi@gmail.com

Abstrak. Keberhasilan pelaksanaan pembelajaran matematika dipengaruhi oleh


kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran di sekolah. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui apakah menggunakan alat peraga bekas pada materi luas permukaan
prisma tegak dapat meningkatkan hasil belajar dan aktivitas peserta didik kelas VIII-1
SMP Negeri 7 Banda Aceh. Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK) yang
terdiri dari dua siklus. Tiap siklus terdiri dari empat tahapan PTK, yaitu: perencanaan,
pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Subyek penelitian ini adalah peserta didik kelas
VIII-1 SMP Negeri 7 Banda Aceh tahun pelajaran 2013/2014. Hasil penelitian pada siklus
I belum mencapai indikator keberhasilan penelitian. Persentase aktivitas peserta didik
siklus I adalah 60,4%, rata-rata hasil belajar mencapai 64,5 dan persentase ketuntasan
belajar klasikal 56,7%, pada siklus II mengalami peningkatan untuk aktivitas dan hasil
peserta didik dibandingkan siklus I, di siklus II aktivitas peserta didik adalah 75,1%, dan
rata-rata hasil belajar peserta didik 70,2, persentase ketuntasan belajar klasikal 76,7%.
Dari hasil siklus II, menunjukkan bahwa persentase aktivitas, rata-rata hasil belajar, dan
persentase ketuntasan belajar klasikal yang telah didapat pada siklus II sudah melebihi
indikator penelitian yang ada. Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan secara keseluruhan
bahwa dengan menggunakan alat peraga bekas pada materi luas permukaan prisma dan
limas tegak dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar peserta didik kelas VIII-1 SMP
Negeri 7 Banda Aceh. Berdasarkan hasil penelitian disarankan bahwa alat peraga bekas
layak dikembangkan sebagai alternatif media pembelajaran yang dapat digunakan dalam
pembelajaran matematika.

Kata kunci: Aktivitas siswa, hasil belajar, alat peraga

1. Pendahuluan

Pada proses pembelajaran matematika masih sering ditemui adanya kecenderungan guru masih
mendominasi kelas karena guru memberitahukan langsung konsep kepada peserta didik, sedangkan
peserta didik terlihat pasif hanya menerima konsep jadi yang diberikan tanpa pernah mencari asal usul
konsep suatu materi yang diajarkan. Peserta didik tidak melakukan suatu aktivitas yang mendorong
untuk menemukan konsep secara mandiri. Peserta didik hanya duduk, diam, memperhatikan penjelasan
guru, dan berlatih akibatnya peserta didik menjadi cepat lupa dengan isi materi yang telah diterima.

Pembelajaran yang semacam ini kurang bisa memecahkan masalah yang ada, karena disajikan rumus
secara instan. Dalam hal ini penyajian rumus secara instan khususnya bagi materi luas permukaan
prisma dan limas tegak tidak mengena pada kepahaman konsep materi yang diterima peserta didik,
karena materi luas permukaan prisma dan limas tegak memerlukan banyak penemuan konsep awal
secara mandiri untuk bisa mempermudah dalam mempelajari materi tersebut lebih lanjut. Disajikannya
rumus secara instan, juga akan membuat peserta didik jenuh karena mereka sebagai obyek belajar bukan
sebagai subyek belajar yang bisa melakukan kegiatan untuk menemukan konsep secara mandiri.

Hal ini dikarenakan kurangnya aktivitas yang berarti, seperti peserta didik hanya menulis apa yang
ditulis oleh guru dan menganggap apa yang telah ditulis oleh guru sudah benar, sebagian besar peserta
didik hanya menerima dari guru berupa rumus-rumus yang sudah dikemas dengan contoh soal. Oleh
sebab itu, ketika diberi latihan soal dengan model soal yang berbeda dengan contoh soal, peserta didik
sudah kebingungan dan tidak mampu menyelesaikan latihan soal.

Melihat karakteristik materi luas permukaan prisma dan limas tegak yang abstrak seharusnya dipelajari
dengan pendekatan terhadap keadaan kongkret yang ada disekitar peserta didik. Peserta didik berperan
aktif untuk membangun pengetahuannya sendiri, melalui pembelajaran yang dikaitkan terhadap

163
permasalahan realita yang ada, peserta didik mendapat pengalaman dalam belajar. Dengan adanya
pengalaman belajar, peserta didik dapat menguasai konsep luas permukaan prisma dan limas tegak
tersebut. Karena peserta didik yang mampu menguasai suatu konsep matematika, mampu menghadapi
abstraksi terhadap objek-objek yang dihadapi.

Alat peraga bekas bukanlah sekedar alat peraga yang menggunakan keterampilan motorik yang tidak
melibatkan proses mental. Pada saat peserta didik sedang melakukan keterampilan proses, misalnya
mengamati. Peserta didik sesungguhnya bukan hanya “memperhatikan” objek dengan inderanya tetapi
juga menghubungkan apa yang sedang diamati dengan apa yang telah diketahuinya. Pada saat sedang
mengamati kita mencoba mengaitkan apa yang kita amati dengan pengetahuan yang telah kita miliki.
Misalnya, pada saat peserta didik dihadapkan dengan suatu benda yang berbentuk prisma tegak, mereka
akan mencoba menguraikan benda tersebut menjadi bangun-bangun datar yang sudah dikenalnya. Oleh
karena itu keterampilan proses bukan hanya sekedar keterampilan motorik tetapi juga melibatkan
keterampilan berpikir. Dalam proses pembelajaran tersebut peserta didik akan mendapatkan
pengalaman belajar. Dengan adanya pengalaman belajar kemampuan intelegensi peserta didik dapat
berkembang dengan baik (Sumarto dan Hartono, 2002:143).

Berdasarkan permasalahan diatas penulis ingin melakukan suatu perubahan dengan menggunakan
media alat peraga bekas agar dapat meningkatkan hasil belajar dan aktivitas peserta didik kelas VIII-1
SMP Negeri 7 Banda Aceh pada materi luas permukaan prisma dan limas tegak. Media pembelajaran
ini diharapkan dapat membantu dan memperbaiki proses belajar mengajar, bahkan dapat memberi
kepuasan kepada guru karena dapat menyajikan pelajaran dengan cara yang baik atau lengkap. Hasil
penelitian tindakan kelas ini diharapkan dapat memberikan informasi bahwa untuk meningkatkan
aktifitas dan hasil belajar siswa pada materi luas permukaan prisma dan limas tegak dapat dilakukan
dengan menggunakan alat peraga bekas.

2. Tinjauan Pustaka

Pembelajaran matematika

Pembelajaran menurut Hamalik (2001: 57) adalah “suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur
manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan
pembelajaran”. Kegiatan pembelajaran bertujuan, untuk membelajarkan peserta didik dengan
melibatkan interaksi antara peserta didik dengan pendidik, peserta didik dengan peserta didik untuk
mencapai suatu tujuan belajar dengan memanfaatkan beberapa komponen seperti sarana dan prasarana,
strategi atau metode (Sanjaya, 2010: 51). Menurut Djamarah (2008: 30) bahwa peserta didik yang
mampu menguasai suatu konsep matematika, yaitu peserta didik yang mampu menghadapi abstraksi
terhadap objek-objek yang dihadapi.

Dengan belajar matematika yang dihubungkan dalam keadaan riil dapat memberikan pengalaman
belajar yang mampu mengkonstruk suatu konsep dasar matematika. Karena pembelajaran matematika
dengan realita merupakan pembelajaran secara keseluruhan yang kemudian dipecah dalam bagian-
bagian tertentu.

Aktivitas belajar

Sekolah adalah salah satu pusat kegiatan belajar. Dengan demikian sekolah merupakan arena untuk
mengembangkan aktivitas Banyak jenis aktivitas yang dapat dilakukan oleh peserta didik di sekolah.
Aktivitas peserta didik tidak cukup hanya mendengarkan dan mencatat seperti yang lazim terdapat di
sekolah-sekolah. Dalam pembelajaran di sekolah peserta didik diharapkan dapat melakukan aktivitas
belajar secara maksimal. Melalui aktivitas belajar yang tinggi diharapkan hasil belajar yang diperoleh
peserta didik juga tinggi. Aktivitas dalam belajar sangat perlu sebab pada prinsipnya belajar adalah
berbuat, berbuat untuk mengubah tingkah laku. Tidak ada belajar kalau tidak ada aktivitas. Itulah
sebabnya aktivitas merupakan prinsip yang sangat penting di dalam interaksi belajar mengajar. Dengan
mengemukakan beberapa pandangan dari berbagai ahli di atas, jelas bahwa dalam pembelajaran, peserta
didik harus aktif berbuat. Dengan kata lain bahwa dalam belajar diperlukan adanya aktivitas, tanpa
aktivitas, belajar itu tidak mungkin berlangsung dengan baik (Sardiman, 2001:93-95).

164
Paul B. Dierich membuat suatu daftar yang berisi macam-macam kegiatan siswa digolongkan sebagai
berikut:
1. Visual activities, yang termasuk di dalamnya misal, membaca, memperhatikan gambar
demonstrasi, percobaan, pekerjaan orang lain.
2. Oral activities, seperti menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan
pendapat, mengadakan wawancara, diskusi, interupsi.
3. Listening activities, sebagai contoh mendengarkan uraian, percakapan, diskusi, musik, pidato.
4. Writing activities, misalnya: menulis cerita, karangan, laporan, angket, menyalin.
5. Drawing activities, misalnya: menggambar, membuat grafik, peta, diagram.
6. Motor activities, yang termasuk kegiatan ini antara lain melakukan percobaan, membuat konstruksi,
model mereparasi, bermain, berkebun, beternak.
7. Mental activities, sebagai contoh misalnya: menanggapi, mengingat, memecahkan soal,
menganalisa, melihat hubungan, mengambil keputusan.
8. Emotional activities, seperti misalnya, menaruh minat, merasa bosan, gembira, bersemangat,
bergairah, berani, tenang, gugup.

Jadi, aktivitas di sekolah itu sangat kompleks dan bervariasi, kalau berbagai macam kegiatan tersebut
dapat diciptakan di sekolah, tentu sekolah akan lebih dinamis, tidak membosankan dan benar-benar
menjadi pusat aktivitas belajar yang maksimal.

Hasil belajar

Hasil belajar tidak lepas dari kegiatan atau pelaksanaan belajar itu sendiri. Proses dalam belajar
mempunyai peranan penting dalam mencapai tujuan pembelajaran. Dalam prosesnya pun banyak
mengalami kendala. Hasil belajar menunjukkan tingkat sampai dimana pencapaian dalam pelaksanaan
pembelajaran. Menurut Purwanto (2009: 45) “Hasil belajar adalah perubahan yang mengakibatkan
manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya”.

Hasil belajar pada hakikatnya merupakan kompetensi yang mencakup aspek pengetahuan, ketrampilan,
sikap dan nilai-nilai yang diwujudkan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Menurut S. Bloom hasil
belajar pengetahuan terdiri atas empat kategori yaitu: a) Pengetahuan tentang fakta. b) Pengetahuan
tentang prosedural. c) Pengetahuan tentang konsep. d) Pengetahuan tentang prinsip.(Jihad dan Haris,
2009: 12-13). Jadi hasil belajar merupakan kemampuan yang dimiliki peserta didik setelah melakukan
proses pembelajaran dalam mencapai suatu tujuan pembelajaran.

Dari pengertian tentang hasil belajar, dapat disimpulkan hasil belajar merupakan kemampuan yang
dimiliki peserta didik setelah melalui proses belajar yang sesuai dengan tujuan pengajaran. Dalam
mencapai hasil belajar yang maksimal dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah ketepatan
dalam memilih strategi, metode dan model pembelajaran yang tepat dalam menyampaikan materi agar
materi dapat diterima oleh peserta didik dengan baik. Serta pengertian pembelajaran yang sesungguhnya
yaitu adanya timbal balik serta komunikasi antara peserta didik dengan pendidik, dan peserta didik
dengan peserta didik yang lain. Bukan hanya pendidik saja yang berbicara.

Untuk mencapai hasil belajar dengan pembelajaran sesungguhnya maka diperlukan strategi
pembelajaran peserta didik aktif, bukan hanya gurunya saja yang aktif, salah satunya yaitu dengan
pembelajaran yang sesuai dengan keadaan peserta didik di sekolah tersebut.

Alat peraga

Alat peraga adalah alat bantu untuk mendidik atau mengajar supaya apa yang diajarkan mudah
dimengerti anak didik. Menurut Anitah (2008: 4) bahwa Alat peraga dalam pembelajaran pada
hakikatnya merupakan suatu media pembelajaran yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang riil
sehingga memperjelas pengertian belajar. Sedangkan menurut Arsyad (2005: 15) bahwa dalam proses
belajar mengajar dua unsur yang sangat penting adalah model mengajar dan media pembelajaran seperti
alat peraga.

Belajar yang efektif harus dimulai dengan pengalaman langsung atau pengalaman konkrit dan menuju
kepada pengalaman yang lebih abstrak. Proses belajar mengajar pada hakekatnya adalah proses
komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan dari sumber pesan melalui saluran/media tertentu ke

165
penerima pesan. Dalam proses pembelajaran matematika, penggunaan media perlu untuk direalisasikan.
Dengan penggunaan media, dalam hal ini alat peraga, maka peserta didik akan mampu memahami
konsep dan mampu mengabstraksikan konsep-konsep mereka.

Dalam mengajar matematika penggunaan media alat peraga akan membantu guru agar proses belajar
peserta didik lebih efektif dan efisien. Ada beberapa keunggulan dari alat peraga matematika dalam
proses pembelajaran, yaitu:
1) Mampu mengatasi keterbatasan perbedaan pengalaman pribadi peserta didik
2) Mampu mengatasi keterbatasan ruang kelas
3) Mampu mengatasi keterbatasan ukuran benda
4) Mampu mengatasi keterbatasan kecepatan gerak benda
5) Mampu mempengaruhi motivasi belajar peserta didik
6) Mampu mempengaruhi daya abstraksi peserta didik
7) Memungkinkan pembelajaran yang lebih bervariasi.

Alat peraga bekas

Luas permukaan prisma dan limas tegak merupakan materi yang abstrak artinya peserta didik sulit
memahami materi tiga dimensi yang digambar pada dua dimensi. Untuk mempermudah dalam
memahami dan mempelajari materi tersebut guru mencoba menggunakan inovasi dalam model
pembelajaran yang mana bisa menggugah peserta didik untuk aktif dalam menemukan konsep atau
sesuatu yang baru secara mandiri sehingga apa yang mereka dapat dari jerih payah sendiri tidak mudah
lupa.

Dengan materi yang bersifat abstrak bisa dikonkretkan melalui bantuan media khusus yaitu alat peraga
bekas yang akan merubah dari hal abstrak menjadi konkret. Banyak terdapat barang bekas di sekeliling
peserta didik yang berbentuk prisma tegak dan juga dapat dimanfaatkan untuk membuat model bentuk
limas tegak, diantaranya bekas kemasan makanan yang sering dikonsumsi oleh peserta didik sendiri.

Gambar 1. Kemasan bekas makanan

Selain bersifat abstrak, dalam mempelajari materi luas permukaan prisma dan limas tegak memerlukan
tingkat ketelitian yang tinggi karena dalam materi luas permukaan prisma dan limas tegak terdapat
banyak sekali luas bangun datar yang membentuk prisma dan limas tegak tersebut, seperti luas bangun
segitiga, luas bangun persegi, luas belah ketupat, dan teorema pytagoras yang digunakan untuk
menghitung tinggi bidang tegak sebuah limas, dan lain sebagainya. Dengan banyaknya luas bangun
datar yang berkaitan dengan luas permukaan prisma dan limas tegak peserta didik harus belajar lebih
mendalami lagi untuk mengingat macam-macam luas bangun datar serta luas permukaan prisma, tanpa
mengetahui macam-macam luas bangun datar dan teorema pytagoras peserta didik akan kesulitan dalam
mempelajari luas permukaan prisma dan limas tegak.

Gambar 2. Jaring-jaring prisma tegak segitiga dari kemasan bekas makanan

166
Gambar 3. Bentuk bangun datar yang merupakan pembentuk prisma segitiga

Tinjauan materi prisma dan limas tegak

1) Prisma

Menurut Asyono (2005:58) “Prisma adalah bangun ruang yang dibatasi oleh dua bidang alas dan
bidang atas berhadap-hadapan yang kongruen dan sejajar serta bidang-bidang tegak yang
berpotongan menurut rusuk-rusuk yang sejajar”. Sedangkan pengertian prisma beraturan adalah
“prisma tegak yang bidang alas dan bidang atasnya berbentuk segi banyak beraturan, sedangkan
panjang rusuk tegaknya disebut tinggi prisma tegak tersebut”. Untuk lebih jelasnya perhatikan
gambar 4 adalah prisma tegak segilima ABCDE. FGHIJ, dan BG merupakan salah satu rusuk tegak
prisma tersebut dan sebagai tinggi prisma tegak tersebut.

Gambar 4. Prisma Tegak Segilima ABCDE.FGHIJ

2) Luas Permukaan Prisma Tegak

Luas daerah permukaan (surface) bangun ruang adalah jumlah luas daerah seluruh permukaannya
yaitu luas daerah bidang-bidang sisinya. Jadi, luas daerah permukaan prisma adalah jumlah seluruh
bidang-bidang prisma. Untuk menemtukan rumus luas permukaan prisma tegak, perhatikan
gambar prisma tegak trapesium sama kaki ABCD. EFGH (gambar 5) dan jaring-jaringnya.

167
Gambar 5. Prisma Tegak Trapesium Sama Kaki ABCD. EFGH dan Jaring-jaringnya

Dari jaring-jaring prisma tegak trapesium sama kaki ABCD.EFGH, terlihat bahwa prisma memiliki
enam buah bidang yang terdiri dari bidang tegaknya berbentuk persegi panjang dan bidang atas
serta bidang alas berbentuk trapesium. Jadi, luas permukaan prisma tegak trapesium sama dengan
jumlah dari keenam sisi tersebut. Karena sisi atas dan alas suatu prisma adalah sama dan jumlah
semua luas keempat sisi tegaknya bisa dilambangkan dengan ∑ 𝐿𝑠 maka:

Luas permukaan prisma = 2 × 𝐿𝑎 + ∑ 𝐿𝑠

Dimana: 𝐿𝑎 = Luas alas

∑ 𝐿𝑠 = jumlah luas semua sisi tegak dari prisma tegak.

3) Limas

“Limas adalah bangun ruang yang dibatasi oleh sebuah segi banyak (sebagai alas) dan beberapa
sisi segitiga yang bertemu pada satu titik puncak”. Sedangkan pengertian limas beraturan adalah
limas yang alasnya berbentuk segi banyak beraturan, dan sisi tegaknya berbentuk segitiga-segitiga
yang kongruen. Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar 6 adalah limas tegak segitiga sama sisi T.
ABC. dan limas segienam T.ABCDEF.

Gambar 6. Limas Tegak Segitiga Sama Sisi T.ABC dan Limas Segienam T.ABCDEF

4) Luas Permukaan Limas

Perhatikan gambar limas tegak segitiga T.ABC (Gambar 6) dan jaring-jaringnya.

Gambar 7. Limas Tegak Segitiga T.ABC dan Jaring-jaringnya

Dari jaring-jaring limas tegak segitiga T. ABC terlihat bahwa limas memiliki empat buah
bidang yang terdiri dari bidang tegak dan bidang alasnya berbentuk segitiga. Maka, luas
permukaan limas tegak segitiga sama dengan jumlah dari keempat sisi terebut. Jumlah seluruh
luas keempat sisi tegak limas segitiga bisa dilambangkan dengan maka

Luas sisi/permukaan limas = Luas alas + jumlah seluruh luas segitiga pada bidang tegak

168
Dimana : = Luas alas

= Jumlah luas semua sisi tegak dari limas tegak

3. Metode Penelitian

Penelitian dilaksanakan di SMP Negeri 7 Banda Aceh Jl. Krueng Tripa Geuceu Komplek pada kelas
VIII-1dengan jumlah peserta didiknya sebanyak 30 orang terdiri dari 16 orang peserta didik perempuan
dan 14 orang peserta didik laki-laki. Data yang diperoleh berasal dari peserta didik dan guru/teman
sejawat yang merupakan guru kolaborasi dalam melaksanakan kegiatan penelitian ini.

Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan yaitu pada awal April sampai dengan Mei 2014 semester
genap tahun pelajaran 2013/2014. Dilakukan pada waktu tersebut karena materi luas permukaan prisma
dan limas tegak merupakan pelajaran yang diajarkan pada semester genap. PTK ini dilaksanakan
melalui dua siklus untuk melihat peningkatan aktivitas dan hasil belajar peserta didik pada materi luas
permukaan prisma dan limas tegak menggunakan alat peraga bekas.

Adapun siklus yang akan dilaksanakan adalah pra siklus, siklus I dan siklus II yang akan dijabarkan
sebagai berikut:

1. Pra Siklus
Pra siklus merupakan pembelajaran sebelum dilakukan tindakan. Sebagai study pendahuluan yaitu
segala sesuatu yang dibutuhkan sebelum penelitian diperlukan dokumen dan informasi pada
pembelajaran sebelumnya, yang terdiri atas tiga hal yaitu paper atau dokumen, person, dan place.
Untuk memperoleh data tersebut peneliti membuat pre test sebagai informasi awal kondisi peserta
didik. Setelah mendapatkan informasi mengenai permasalahan yang ada dalam pembelajaran
matematika peneliti menganalisis dan melakukan tindakan penelitian mengenai pembelajaran
tersebut.
2. Siklus I
Pada siklus I yang dilaksanakan dalam penelitian tindakan kelas ini dimulai dari perencanaan,
pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi yang akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Perencanaan
1) Menyiapkan rencana pembelajaran dengan materi luas permukaan prisma tegak.
2) Menentukan kolaborasi dengan guru matematika kelas lain.
3) Merancang pembelajaran dengan menggunakan model ROPES
4) Menyiapkan LKS dan soal latihan, PR serta tes akhir siklus I, beserta jawaban dan
penilaiannya.
5) Menyiapkan alat peraga untuk materi luas permukaan prisma tegak dari bekas kemasan.
6) Menyusun lembar penilaian tugas dan nilai tes akhir siklus, serta lembar observasi aktivitas
baik untuk peserta didik maupun untuk guru. Observasi dilaksanakan sampai pertemuan
kedua saja, karena pertemuan ketiga hanya memberikan tes akhir siklus I.
7) Menyiapkan pembagian anggota kelompok dalam diskusi.
b. Pelaksanaan
Dalam proses pelaksanaan pembelajaran dilakukan sesuai dengan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) yang disusun. Adapun langkah-langkah pembelajaran pada siklus 1
dilaksanakan sebagai berikut:
1) Guru dan peserta didik menyiapkan sarana pembelajaran.
2) Guru membuka pembelajaran dengan salam.
3) Guru mengadakan presensi terhadap peserta didik.
4) Guru memberikan informasi awal tentang jalannya pembelajaran, dan tugas yang harus
dilakukan peserta didk secara singkat dan jelas.
5) Guru memberikan apersepsi mengenai materi luas permukaan prisma tegak secara singkat.
6) Guru memberitahu peserta didik mengenai kelompok. Masing-masing kelompok
beranggotakan 5 orang.

169
7) Guru memberikan fotokopian Lembar Kerja Siswa (LKS), dan alat peraga prisma tegak
berupa kotak bekas yang disediakan oleh siswa. Melalui LKS dan menggunakan,
mengamati, menyusun dan menganalisis pernyataan-pernyataan.
8) Peserta didik mempresentasikan hasil diskusi kelompok.
9) Guru memberikan latihan kepada peserta didik.
10) Guru bersama peserta didik menyimpulkan apa yang telah dipelajari.
11) Guru memberikan tugas rumah berupa PR, untuk dikumpulkan.
12) Guru memberikan tes evaluasi siklus I sebagai tes akhir siklus I dan juga sebagai evaluasi
tahapan pertama. alat peraga peserta didik

3. Siklus II
Untuk pelaksanaan yang dilaksanakan pada siklus II secara teknis sama dengan siklus I. Langkah-
langkah dalam siklus II ini yang perlu ditekankan dari perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan
refleksi adalah sebagai berikut:
a. Perencanaan
Perencanaan yang dilakukan pada siklus II ini pada dasarnya sama yang dilakukan pada
siklus I. Berdasarkan hasil refleksi siklus I baik yang berkaitan dengan guru, peserta didik,
ataupun perangkat diadakan perencanaan ulang yang didasarkan pada refleksi di siklus II.
b. Pelaksanaan
Pembelajaran dilaksanakan sesuai dengan RPP yang telah disiapkan dan direvisi berdasarkan
evaluasi pada siklus I. Adapun langkah-langkah pembelajaran sama dengan langkah-langkah
pelaksanaan pada siklus I. Adapun sub materi yang akan dipelajari pada siklus II adalah luas
permukaan limas tegak
c. Pengamatan
Selama kegiatan pembelajaran berlangsung observer dibantu peneliti mengamati dan mencatat
hasil dalam lembar observasi yang digunakan sebagai dasar refleksi siklus II dipadukan dengan
hasil evaluasi.
d. Refleksi
Refleksi pada siklus II ini dilakukan untuk penyempurnaan pembelajaran dengan
menggunakan alat peraga bekas yang diharapkan dapat meningkatkan aktivitas dan hasil
belajar yang menumbuhkan sikap positif terhadap mata pelajaran matematika.

Data dan cara pengumpulan data

1) Lembar Observasi aktivitas guru dan peserta didik

Lembar observasi aktivitas guru digunakan untuk memperoleh data tentang aktivitas guru dalam
mengelola pembelajaran dengan penggunaan media bekas pada materi luas permukaan prisma dan
limas tegak. Lembar observasi peserta didik digunakan untuk memperoleh data tentang aktivitas
peserta didik selama pembelajaran berlangsung.

2) Lembar evaluasi berupa soal pretest dan ulangan harian

Soal pretest yang diberikan sebelum materi diajarkan guna mengetahui kemampuan awal peserta
didik, dan soal ulangan harian diberikan pada akhir siklus guna mengetahui peningkatan hasil
belajar pada tiap siklus.

Teknik pengolahan data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif tentang aktivitas peserta didik dan
guru dalam mengelola pembelajaran dengan yang diperoleh dari pengamatan dengan menggunakan
lembar pengamatan dalam bentuk ceklist, sedangkan data kuantitatif diperoleh dari pemberian tes
(evaluasi) dalam bentuk pilihan ganda dan essay yang terdiri dari soal pretest dan soal tes evaluasi yang
diberikan pada tiap akhir siklus yang disesuaikan dengan indikator pada setiap RPP.

Teknik analisis data

Apabila datanya telah terkumpul, maka diklasifikasikan menjadi dua kelompok data, yaitu data
kuantitatif yang berbentuk angka-angka dan data kualitatif yang dinyatakan dalam kata-kata atau

170
simbol. Data kualitatif yang berbentuk amgka-angka disisihkan untuk sementara karena sangat berguna
untuk menyertai dan melengkapi gambaran yang diperoleh dari analisis data kuantitatif.

Dari data pengamatan dan hasil akhir siklus diolah dengan analisis deskriptif untuk menggambarkan
keadaan peningkatan pencapaian indikator keberhasilan setiap siklus dan menggambarkan
pembelajaran dengan menggunakan alat peraga bekas untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar.
Untuk mengetahui aktivitas peserta didik diguankan lembar observasi selama pembelajaran. Sedangkan
data mengenai hasil belajar diambil dari kemampuan kognitif peserta didik dalam memecahkan masalah
dianalisis dengan menggunakan rata-rata nilai ketuntasan belajar.

Indikator keberhasilan

1. Persentase aktivitas peserta didik >= 75%.


2. Rata-rata nilai hasil belajar peserta didik >= 65.
3. Ketuntasan belajar klasikal >= 75%.

4. Hasil dan Pembahasan

Hasil penelitian

1. Deskripsi Pra Siklus


Evaluasi awal (pretest) yang dilakukan pada tanggal 1 April 2014 dari 30 peserta didik yang
memperoleh nilai diatas KKM hanya 8 orang atau sebesar 26,7 % saja yang nilainya tuntas,
sedangkan yang belum tuntas sebesar 73,3% atau sebanyak 22 orang yang nilainya masih dibawah
65. Hal ini berarti masih banyak peserta didik yang belum tuntas belajar baik secara individu
maupun klasikal. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa
pemahaman tentang luas permukaan prisma tegak oleh peserta didik kelas VIII-1 SMP Negeri 7
Banda Aceh masih rendah. Berdasarkan gambaran diatas, guru (peneliti) melakukan tindakan
sebanyak 2 (dua) siklus melalui pembelajaran menggunakan alat peraga bekas dalam memberi
pemahaman materi luas permukaan prisma dan limas tegak kepada peserta didik yang, dan
diharapkan dengan pembelajaran ini hasil belajar dan aktivitas peserta didik dapat meningkat.

2. Deskripsi Siklus I
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) terdiri dari empat tahap, yaitu perencanaan, pelaksanaan,
pengamatan dan refleksi. Penelitian yang telah dilakukan akhirnya diperoleh hasil yang dapat
diuraikan sebagai berikut:
a. Perencanaan Siklus 1
1. Menyiapkan rencana pembelajaran dengan materi pokok luas permukaan prisma tegak.
2. Menentukan kolaborasi dengan guru matematika lain sebagai observer.
3. Merancang pembelajaran atau menyusun RPP.
4. Menyiapkan LKS, soal latihan individu, dan tes evaluasi.
5. Menyiapkan alat peraga luas permukaan prisma tegak yang berbentuk prisma tegak
segitiga dan segienam.
6. Menyusun lembar observasi aktivitas baik untuk peserta didik maupun untuk guru.
Observasi akan dilaksanakan pada pertemuan pertama dan pertemuan kedua yang
dilakukan oleh observer, sedangkan pertemuan ketiga tidak dilakukan observasi aktivitas
guru dan peserta didik karena pertemuan ketiga pemberian soal tes siklus I.
7. Menentukan anggota kelompok diskusi.
b. Pelaksanaan
Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) pada siklus I terlaksana tiga kali pertemuan.
Pertemuan 1 dilaksanakan pada tanggal 8 April 2014 dengan mempelajari luas permukaan
prisma tegak menggunakan bantuan alat peraga bekas berbentuk prisma tegak segitiga dan
segienam. Permasalahan yang harus dipecahkan peserta didik yaitu bagaimana menemukan
luas permukaan prisma tegak. Kemudian mengadakan diskusi kelompok mengenai asal usul
luas permukaan prisma tegak dan hasil kerja kelompok tersebut dipresentasikan ke depan
kelas. Sementara itu pada pertemuan ke-2 tanggal 10 April 2014 diberikan pendalaman materi
melalui soal-soal latihan dan pada pertemuan 3 tanggal 12 April 2014 diberikan tes akhir siklus
I.

171
Dari analisis terhadap hasil belajar yang dicapai oleh peserta didik diperoleh data bahwa
peserta didik yang memperoleh nilai 65 keatas (diatas KKM 65) berjumlah 17 orang dari
keseluruhan jumlah peserta didik 30 orang, maka jumlah peserta didik yang mengalami
ketuntasan belajar baru sebesar 56,7 %. Hasil belajar peserta didik secara garis besar dapat
dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Hasil Belajar Peserta Didik Siklus I


Siklus I
Tuntas Tidak Tuntas
Jlh (org) % Jlh (org) %
17 56,7 13 43,3
Rata-rata kelas 64,5

c. Observasi
Observasi yang dilakukan pada siklus I ini antara lain adalah aktivitas peserta didik saat PBM
berlangsung dan pelaksanaan PBM yang diselenggarakan oleh guru. Hasil observasi guru
terhadap aktivitas peserta didik pada saat proses belajar mengajar berlangsung dengan
menggunakan lembar observasi aktivitas peserta didik, yaitu persentase aktivitas sebesar 60,4
%. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas peserta didik tergolong kategori cukup namun masih
kurang dari yang diharapkan oleh peneliti. Perbaikan harus dilakukan pada siklus berikutnya
dengan cara lebih memotivasi dan membimbing peserta didik pada saat diskusi kelas maupun
diskusi kelompok agar mereka lebih memperhatikan dan aktif dalam belajar. Dari data yang
diperoleh rata-rata persentase kemampuan guru dalam melakukan PBM adalah 62,5 %
termasuk kategori cukup. Dari hasil diskusi dengan guru kolaborasi perlu perbaikan dalam
PBM, yaitu pada saat menyampaikan tujuan pembelajaran, memberikan motivasi,
membimbing peserta didik dalam diskusi kelompok dan diskusi kelas serta membimbing
peserta didik dalam membuat kesimpulan diakhir pembelajaran karena dianggap belum
maksimal.
Hal ini dapat disebabkan karena PBM yang diselelenggarakan dalam memberikan penjelasan
terlalu banyak ceramah oleh guru. Pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan di siklus I belum
optimal, hal ini terbukti dengan adanya beberapa langkah penerapan pembelajaran yang belum
terlaksana secara optimal. Oleh karena itu, dilanjut ke siklus II dengan harapan menggunakan
alat peraga pada materi luas permukaan prisma dan limas tegak pada siklus II mengalami
peningkatan.
d. Refleksi
Setelah siklus I selesai dilaksanakan beserta penilaian terhadap hasil belajar peserta didik,
aktivitas peserta didik dan tanggapan peserta didik dalam melaksanakan PBM, guru peneliti
bersama dengan guru kolaborasi membuat pertemuan untuk membahas tentang tindakan yang
harus diperbaiki pada proses belajar mengajar di siklus II . Tindakan tersebut antara lain :
1. Menyampaikan tujuan pembelajaran dapat dilakukan dengan lebih jelas kepada peserta
didik.
2. Memotivasi peserta didik yang tidak aktif dalam kelompoknya, membimbing peserta didik
dalam diskusi kelompok dengan cara mendekati tempat duduk peserta didik untuk melihat
aktivitas peserta didik lebih dekat serta membimbing peserta didik dalam kegiatan diskusi
kelas.
3. Pengelolaan waktu lebih efektif.
4. Menggunakan bantuan media IT.

3. Deskripsi Siklus II
Pada siklus II ini juga melalui empat tahap, yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengamatan dan
refleksi. Penelitian yang telah dilakukan pada siklus II akhirnya diperoleh hasil yang dapat
diuraikan sebagai berikut:
a. Perencanaan
1. Menyiapkan rencana pembelajaran dengan materi pokok luas permukaan limas tegak.
2. Menentukan kolaborasi dengan guru matematika kelas lain.
3. Merancang pembelajaran atau menyusun RPP.
4. Menyiapkan LKS, soal latihan individu, soal tugas PR, dan soal tes evaluasi.
5. Menyiapkan alat peraga luas permukan limas tegak.

172
6. Menyusun lembar observasi aktivitas baik untuk peserta didik maupun untuk guru.
Observasi akan dilaksanakan pada pertemuan pertama dan kedua yang dilakukan oleh
observer sedangkan pertemuan ketiga tidak diobservasi untuk aktivitas guru dan peserta
didik karena hanya diberikan soal tes evaluasi siklus II.
b. Pelaksanaan
Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) pada siklus II terlaksana tiga kali pertemuan.
Pertemuan 1 pada tanggal 15 April 2014 dimana peserta didik mempelajari luas permukaan
limas tegak menggunakan bantuan alat peraga yang dirancang sendiri dari kotak bekas.
Dilanjutkan pertemuan selanjutnya pada tanggal 17 April 2014 dengan mendalami materi
tersebut melalui pembahasan soal-soal latihan. Pelaksanaan evaluasi hasil pembelajaran pada
siklus II dilaksanakan pada tanggal 19 April 2014 dengan alokasi waktu 2 jam pelajaran. Dari
pembelajaran yang dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 2. Hasil Belajar Peserta Didik Siklus II


Siklus II
Tuntas Tidak Tuntas
Jlh (org) % Jlh (org) %
23 76,7 7 23,3
Rata-rata kelas 70,2

c. Observasi
Hasil observasi yang dilakukan pada siklus II terhadap aktivitas peserta didik pada saat proses
belajar mengajar berlangsung diperoleh persentase sebesar 75,1 %. Hal ini menunjukkan
bahwa aktivitas peserta didik sudah baik. Peserta didik sudah siap dalam memperhatikan
penjelasan guru dan sigap dalam membentuk kelompok dikarenakan sudah berpengalaman
dalam siklus I, sehingga pembelajaran segera dimulai dan memperlancar jalannya proses
belajar mengajar.
Peserta didik lebih tenang dan tidak bingung lagi dengan apa yang harus dikerjakan dan sudah
berani bertanya dan menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru tanpa rasa malu atau
enggan. Peserta didik sudah terampil dalam menggunakan alat peraga meskipun alat peraga
yang ada berbeda dengan alat peraga siklus I. Peserta didik tidak canggung untuk berdiskusi
dengan teman kelompoknya untuk menemukan konsep luas permukaan limas tegak dan
mereka antusias dalam mempresentasikan hasil temuan diskusi.
Selanjutnya hasil observasi terhadap aktivitas guru dalam pelaksanaan proses belajar mengajar
diperoleh rata-rata persentase sebesar 82,5 % termasuk kategori sangat baik. Guru sudah
berusaha maksimal dalam mengadakan proses belajar mengajar yang menggunakan tambahan
bantuan media IT karena sudah berpengalaman pada siklus I.
Guru dapat mengondisikan peserta didik dan mengatur waktu dengan baik dalam memberikan
penjelasan dengan jelas dan memberikan bimbingan terhadap peserta didik dalam kelompok
secara menyeluruh.
d. Refleksi
Berdasarkan hasil pelaksanaan dan pengamatan yang diperoleh dari penelitian menunjukkan
bahwa pada siklus II pembelajaran sudah cukup baik dari pada siklus sebelumnya.
Meningkatnya hasil belajar peserta didik yang ditandai dengan rata-rata hasil belajar peserta
didik dan ketuntasan belajar dan persentase aktivitas peserta didik sudah mencapai indikator
keberhasilan yang dicapai. Sehingga peneliti dan observer, memutuskan tidak perlu diadakan
siklus berikutnya.

Pembahasan

Setelah melalui 4 tahap dalam penelitian tindakan kelas siklus I dan siklus II, guru memberikan
penilaian terhadap peserta didik. Penilaian yang diambil guru yaitu aktivitas dan hasil belajar peserta
didik. Aktivitas dilihat dari Lembar Observasi selama pelaksanaan pembelajaran, sedangkan hasil
belajar melalui gabungan beberapa nilai, yaitu antara nilai kerja kelompok, nilai latihan dan nilai tes
akhir siklus. Aktivitas guru dan peserta didik diamati dari pertemuan pertama hinggá pertemuan kedua.

Pencapaian aktivitas peserta didik pada siklus I adalah 60,4 %, sedangkan pada siklus II persentase
aktivitas peserta didik mencapai 75,1 %. Hasil ini sudah lebih memperlihatkan kenaikan yang cukup

173
tinggi dan sudah mencapai indikator keberhasilan. Oleh karena itu, penggunaan alat peraga bekas sudah
berhasil dan sudah menunjukkan peningkatan dari siklus I sebesar 14,7%. Grafik perbandingan aktivitas
peserta didik antar siklus dapat dilihat pada gambar berikut.

GRAFIK AKTIVITAS PESERTA DIDIK

100
80
dalam persen
60
40
20
0
SI SI
K K
L L
U U
S…TINDAKAN S…
AKTIF 60,4 75,1
Gambar. 8. Grafik Perbandingan Aktivitas Peserta Didik pada Siklus I dan Siklus II
TIDAK AKTIF 39,6 24,9
Berdasarkan grafik di atas, dapat dijelaskan bahwa hasil pengamatan yang didapatkan di siklus II,
adalah peserta didik sudah sigap dalam membentuk kelompok dikarenakan sudah berpengalaman dalam
siklus I. Ketika guru memerintah untuk membentuk kelompok mereka segera bergabung dengan
kelompoknya masing-masing. Sehingga pembelajaran segera dimulai dan memperlancar jalannya
proses belajar mengajar. Peserta didik sudah berani bertanya dan menjawab pertanyaan yang diberikan
guru tanpa rasa malu atau enggan.

Peserta didik sudah terampil dalam menggunakan alat peraga meskipun alat peraga yang ada berbeda
dengan siklus I. Peserta didik senang dan tertarik ketika belajar limas tegak menggunakan alat peraga,
dan peserta didik juga tidak mendapat kesukaran ketika belajar materi yang bersifat abstrak karena
dikonkretkan dengan alat peraga.

Sedangkan aktivitas guru mengalami peningkatan dari 62,5 % pada siklus I menjadi 82,5% pada siklus
II. Hal ini terjadi karena selama berlangsungnya siklus kegiatan di siklus II kekurangan-kekurangan
yang ada di siklus I sudah bisa teratasi. Baik peserta didik maupun guru telah menunjukkan peningkatan.
Hal ini juga dikarenakan sudah mempunyai pengalaman di siklus I.

Penilaian hasil belajar yang dilakukan pada setiap akhir siklus melalui ulangan harian digunakan untuk
mengukur kemampuan kognitif peserta didik. Pada siklus I hasil belajar belum mencapai indikator
keberhasilan. Hal ini terlihat dengan hasil rata-rata kelas yang dicapai adalah 64,5 dan persentase
ketuntasan belajar secara klasikal sebesar 56,7%. Sedangkan persentase ketuntasan belajar klasikal yang
dicapai peserta didik pada siklus II sudah meningkat menjadi 76,7 % dengan rata-rata hasil belajar
seluruh peserta didik 70,2.

Karena ketuntasan belajar klasikal dan rata-rata hasil belajar yang dicapai oleh peserta didik pada siklus
II sudah mencapai indikator keberhasilan yang ditentukan, maka pembelajaran dengan menggunakan
alat peraga bekas pada siklus II sudah berhasil. Oleh karena itu, pembelajaran dicukupkan pada siklus
II ini.

174
80 90

70 80

60 70
60
50 AKTIVITAS
50
40 RATA-RATA KELAS
40
30 KETUNTASAN
30
20 20
10 10
0 0
PRA
SIKLU SIKLU
SIKLU
SI S II
S
AKTIVITAS 55 60,4 75,1
RATA-RATA KELAS 60,5 64,5 70,2
KETUNTASAN 26,7 56,7 76,7
TINDAKAN

Gambar. 9.Grafik Perbandingan Hasil Belajar Peserta Didik pada Pra Siklus, Siklus I dan Siklus II

Dari grafik di atas terlihat jelas bahwa setiap siklus dari pra siklus sampai siklus II mengalami
peningkatan baik peningkatan pada aktivitas peserta didik, rata-rata hasil belajar dan ketuntasan belajar
klasikal. Ini menunjukkan penggunaan alat peraga bekas tepat digunakan pada materi luas permukaan
prisma dan limas tegak pada peserta didik kelas VIII-1 SMP Negeri 7 Banda Aceh tahun pelajaran
2013/2014.

5. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan pada penelitian tindakan kelas ini diperoleh simpulan berikut:

1. Pembelajaran di kelas VIII-I SMP Negeri 7 Banda Aceh dengan menggunakan alat peraga bekas
pada materi luas permukaan prisma dan limas tegak dapat meningkatkan hasil belajar. Ini terbukti
hasil belajar yang selalu mengalami kenaikan dari setiap siklus.

2. Pembelajaran dengan menggunakan alat peraga bekas dapat meningkatkan aktivitas peserta didik
kelas VIII-I SMP Negeri 7 Banda Aceh pada materi luas permukaan prisma dan limas tegak. Ini
terbukti aktivitas peserta didik dari setiap siklus mengalami peningkatan.

Dalam penelitian tindakan kelas dalam pembelajaran dengan menggunakan alat peraga bekas memang
sudah berhasil, akan tetapi masih perlu adanya suatu perbaikan agar hasil belajar peserta didik lebih
baik lagi, dan pembelajaran ini bisa lebih bermanfaat. Adapun saran dalam penelitian ini adalah:

1. Dalam pembelajaran matematika guru harus pandai memilih media dan model pembelajaran yang
sesuai dengan materi yang akan disampaikan kepada peserta didik agar peserta didik tidak jenuh
dengan model pembelajaran yang ada dan menjadi inovasi dalam mengadakan pembelajaran.

2. Pada pembelajaran matematika materi yang bersifat abstrak, guru sebaiknya menggunakan alat
peraga agar peserta didik lebih mudah dalam belajar dan tertarik terhadap materi yang akan
dipelajari.

3. Pembelajaran dengan menggunakan alat peraga bekas dapat meningkatkan hasil belajar, maka
dalam kegiatan pembelajaran pada materi luas permukaan prisma dan limas tegak disarankan
menggunakan media alat peraga.

Daftar Pustaka

175
Anitah, Sri. (2008). Media Pembelajaran. Solo: UNS Press.

Arsyad, Azhar. (2005). Media Pembelajaran. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Djamarah, Syaiful Bahri. (2008). Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Hamalik, Oemar. (2001). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Jihad, Asep dan Haris, Abdul. (2009). Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: Multi Presindo.

Purwanto. (2009). Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Sumarto dan Hartono, Agung. (2002). Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta.

176
PENERAPAN MODEL DISCOVERY LEARNING UNTUK MENINGKATKAN
PEMAHAMAN KONSEP SISWA PADA POKOK BAHASAN PERMUTASI
DI KELAS X MAN ULIM KABUPATEN PIDIE JAYA

Rahmawati

Departemen Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh


Prodi Matematika, Universitas Syiah Kuala
Email: rahma.ayya@gmail.com

Abtrak. Keberhasilan proses kegiatan belajar mengajar pada pembelajaran matematika


dapat dilihat dari tingkat pemahaman, penguasaan materi serta hasil belajar siswa.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan pemahaman konsep siswa dalam
pembelajaran matematika pada penerapan model discovery learning di kelas X MAN
Ulim Kabupaten Pidie Jaya. Metode yang digunakan yaitu discovery learning. Data yang
diperoleh dari penelitian ini adalah hasil dari LKS dan pekerjaan rumah yang diberikan
kepada siswa dan berdasarkan angket pengamatan yang telah diisi oleh siswa, dapat
terlihat bahwa dari 3 kategori 4 siswa tergolong “sangat baik”, 3 siswa tergolong “cukup”
dan 18 siswa tergolong “baik”. Dari hasil kategori terlihat bahwa pemahaman konsep
siswa “baik”. Penerapan model pembelajaran Discovery Learning ini sangat memotivasi
siswa untuk dapat menemukan, memahami dan mengaplikasikan konsep. Perlu adanya
penelitian lebih lanjut sebagai pengembangan dari penelitian ini.

Kata kunci: discovery learning, pemahaman konsep, permutasi

1. Pendahuluan

Sampai saat ini persoalan pendidikan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu
pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan,khususnya pendidikan dasar dan menengah
(Manur Muslich, 2009: 11). Sebagian besar dari peserta didik tidak mampu menghubungkan antara apa
yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dipergunakan atau dimanfaatkan.
Peserta didik memiliki kesulitan untuk memahami konsep akademik sebagaimana mereka biasa
diajarkan yaitu dengan menggunakan sesuatu yang abstrak dan metode ceramah. Padahal peserta didik
sangat butuh untuk dapat memahami konsep-konsep yang berhubungan dengan tempat kerja dan
masyarakat pada umumnya di mana mereka akan hidup dan bekerja.

Keberhasilan proses kegiatan belajar mengajar pada pembelajaran matematika dapat dilihat dari tingkat
pemahaman, penguasaan materi serta hasil belajar siswa. Hal ini dapat diasumsikan bahwa semakin
tinggi pemahaman dan penguasaan materi serta hasil belajar, maka semakin tinggi pula tingkat
keberhasilan pembelajaran. Namun dalam kenyataannya dapat dilihat bahwa hasil belajar matematika
yang dicapai siswa masih rendah. Masalah tersebut, dikarenakan kurangnya pemahaman konsep siswa
tentang materi yang dipelajari.

Sulitnya matematika bagi siswa adalah karena pembelajaran matematika kurang bermakna. Guru dalam
pembelajarannya di kelas tidak mengaitkan dengan skema yang telah dimiliki siswa dan siswa kurang
diberi kesempatan untuk menemukan kembali dan mengkontruksi sendiri ide-ide matematika. Untuk
itu diperlukan suatu metode yang dapat mengaitkan pengalaman hidup nyata siswa dengan ide-ide
matematika dalam pembelajaran dikelas agar pembelajaran lebih bermakna.

Model pembelajaran discovery learning merupakan salah satu alternatif yang diharapkan mampu
mengaktifkan anak, menemukan sesuatu dan mengembangkan kreatifitas. Bruner (dalam Dahar, 1996)
menganggap bahwa belajar dengan 5 metode penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara
aktif oleh manusia. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang
menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna bagi siswa. Penemuan yang
dimaksud yaitu siswa menemukan konsep melalui bimbingan dan arahan dari guru karena pada
umumnya sebagian besar siswa masih membutuhkan konsep dasar untuk dapat menemukan sesuatu.

177
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk menulis dengan judul: “ Penerapan model Discovery
Learning untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa pada pokok bahasan permutasi di kelas
X MAN Ulim Kabupaten Pidie Jaya.”

2. Tinjauan Pustaka

Model-model pembelajaran

Dalam pembelajaran, berbagai masalah sering dialami oleh guru. Untuk mengatasi berbagai masalah
dalam pembelajaran, maka perlu adanya model-model pembelajaran yang dipandang dapat membantu
guru dalam proses belajar mengajar. Model dirancang untuk mewakili realitas sesungguhnya, walaupun
model itu sendiri bukanlah realitas dari dunia sebenarnya. Model pembelajaran adalah pola yang
digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelompok maupun tutorial (Rusman,
2012: 132).

Jawane (2006) mengemukakan bahwa model pembelajaran adalah kerangka konseptual dalam
melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai
tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para
pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran. Dengan demikian aktivitas
pembelajaran benar-benar merupakan kegiatan bertujuan yang tertata secara sistematis.

Joice dan Well dalam Rusman (2012) berpendapat bahwa model pembelajaran adalah suatu rencana
atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang),
merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran dikelas atau yang lain.

Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah serangkaian
kegiatan pembelajaran yang disajikan secara khas oleh guru guna menciptakan proses pembelajaran
yang lebih kondusif dalam mencapai tujuan pembelajaran tertentu.

Rusman (2012) mengemukakan bahwa ada banyak model pembelajaran yang dikembangkan oleh para
ahli dalam usaha mengoptimalkan hasil belajar siswa. Model pembelajaran tersebut antara lain terdiri
dari:
1. Model Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning)
2. Model Pembelajaran Kooperatif
3. Model Pembelajaran Discovery Learning
4. Model Pembelajaran Berbasis Komputer (CBI)
5. Model Pembelajaran PAKEM ( Partisipatif, Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan)
6. Model Pembelajaran Berbasis Web (E-Learning) / Web Based Eduacation (WBE)
7. Model Pembelajaran Mandiri

Metode discovery learning

Discovery learning adalah teori belajar yang didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi bila
pelajar tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan siswa
mengorganisasikan sendiri. Sebagai strategi belajar, Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama
dengan inkuiri (inquiry) dan Problem Solving. Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada ketiga istilah
ini, pada Discovery Learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang
sebelumnya tidak diketahui. Perbedaannya dengan discovery ialah bahwa pada discovery masalah yang
diperhadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru.

Metode Discovery Learning adalah suatu metode pembelajaran yang membimbing siswa untuk
menemukan hal-hal yang baru bagi siswa berupa konsep, rumus, pola, dan sejenisnya. Sehingga, dengan
penerapan metode ini dapat merangsang siswa untuk lebih aktif dalam proses pembelajaran (TIM
MKPBM: 178-179).

Menurut Husain (2013:3) kata penemuan sebagai metode mengajar merupakan penemuan yang
dilakukan oleh siswa. Siswa menemukan sendiri sesuatu yang baru, ini tidak berarti yang ditemukannya

178
benar-benar baru, sebab sudah diketahui oleh orang lain. Metode penemuan merupakan komponen dari
suatu bagian praktik pendidikan yang seringkali diterjemahkan sebagai mengajar heuristik, yakni suatu
jenis mengajar yang meliputi metode-metode yang dirancang untuk meningkatkan rentangan keaktifan
siswa yang lebih besar, berorientasi kepada proses, mengarahkan pada diri sendiri, mencari sendiri, dan
refleksi yang sering muncul sebagai kegiatan belajar. Metode penemuan adalah poses mental dimana
siswa mampu mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip. Proses mental yang dimaksud adalah
mengamati, mencerna, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur dan
membuat kesimpulan.

Rohani (2010) mengemukakan bahwa metode discovery learning adalah metode yang berangkat dari
suatu pandangan bahwa peserta didik sebagai subyek di samping sebagai obyek pembelajaran. Mereka
memiliki kemampuan dasar untuk berkembang secara optimal sesuai dengan kemampuan yang mereka
miliki. Proses pembelajaran harus dipandang sebagai suatu stimulus atau rangsangan yang dapat
menantang peserta didik untuk merasa terlibat atau berpartisipasi dalam aktivitas pembelajaran. Peranan
guru hanyalah sebagai fasilitator dan pembimbing atau pemimpin pengajaran yang demokratis,
sehingga diharapkan peserta didik lebih banyak melakukan kegiatan sendiri atau dalam bentuk
kelompok memecahkan masalah atas bimbingan guru.

Menurut Suryobroto (2010) Metode discovery learning diartikan sebagai suatu prosedur mengajar yang
mementingkan pengajaran perseorangan, manipulasi obyek dan lain-lain, sebelum sampai kepada
generalisasi. Metode discovery learning merupakan komponen dari praktek pendidikan yang meliputi
metode mengajar yang memajukan cara belajar aktif, beroreientasi pada proses, mengarahkan sendiri,
mencari sendiri dan reflektif. Encyclopedia of Educational Research, penemuan merupakan suatu
strategi yang unik dapat diberi bentuk oleh guru dalam berbagai cara, termasuk mengajarkan
ketrampilan menyelidiki dan memecahkan masalah sebagai alat bagi siswa untuk mencapai tujuan
pendidikannya.

Berdasarkan uraian di atas, secara garis besar dapat dikatakan bahwa metode discovery learning ini: (a)
Merupakan suatu cara untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif, (b) Dengan menemukan sendiri,
menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperoleh akan setia dan tahan lama dalam ingatan, tidak akan
mudah dilupakan siswa, (c) Pengertian yang ditemukan sendiri merupakan pengertian yang betul-betul
dikuasai dan mudah digunakan atau ditransfer dalam situasi lain, (d) Dengan menggunakan strategi
penemuan, anak belajar menguasai salah satu metode ilmiah yang akan dapat dikembangkannya sendiri,
(e) dengan metode penemuan ini juga, anak belajar berfikir analisis dan mencoba memecahkan probela
yang dihadapi sendiri, kebiasaan ini akan ditransfer dalam kehidupan bermasyarakat.

Langkah-langkah pembelajaran discovery learning

Menurut Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2013), model discovery learning memiliki langkah
persiapan sebagai berikut:
a. Menentukan tujuan pembelajaran
b. Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat, gayabelajar, dan sebagainya)
c. Memilih materi pelajaran.
d. Menentukan topik-topik yang harus dipelajari siswa secara induktif (dari contoh-contoh
generalisasi
e. Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh- contoh, ilustrasi tugas dan sebagainya
untuk dipelajari siswa
f. Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkret ke abstrak,
atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik
g. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.
Adapun langkah pelaksanaan model discovery learning menurut Muhibbin Syah dalam Qorri’ah (2011)
yaitu:
a. Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan), kegiatan belajar dimulai dengan memberikan
pertanyaan yang meransang berpikir siswa, mengajukan dan mendorongnya untuk mebaca buku
dan aktifitas belajar lain yang mengarah kepada persiapan pemecahan masalah.
b. Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah), memberikan kesempatan kepada siswa
untuk mengidentifikasikan sebanyak mungkin masalah yang relevan dengan bahan pelajaran,

179
kemudian memilih dan merumuskannya dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara dari masalah
tersebut).
c. Data collection (Pengumpulan Data), memberikan kesempatan kepada siswa mengumpulkan
informasi yang relevan sebanyak-banyaknya untuk membuktikan benar tidaknya hipotesis tersebut.
d. Data Processing (Pengolahan Data), mengolah data yang telah diperoleh siswa melalui kegiatan
wawancara, observasi dan lain-lain. Data tersebut kemudian ditafsirkan.
e. Verification (Pembuktian), mengadakan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar
tidaknya hipotesis yang ditetapkan dan dihubungkan dengan hasil dan pengolahan data.
f. Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi), mengadakan penarikan kesimpulan untuk
dijadikan umum yang berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama dengan
memperhatikan hasil verifikasi.

Kemampuan pemahaman konsep

Menurut Sadirman dalam Qorri’ah (2011), pemahaman (comprehension) dapat diartikan menguasai
sesuatu dengan pikiran, memahami maksudnya dan menagkap maknanya. Pemahaman memilki arti
sangat mendasar yang meletakkan bagian-bagian belajar pada proporsinya, oleh sebab itu pemahaman
tidak sekedar tahu, tetapi juga menghendaki agar subjek belajar dapat memanfaatkan bahan-bahan yang
telah dipahaminya. Fenomena ini menunjukkan bahwa pemahaman merupakan unsur psikologis yang
penting dalam proses belajar-mengajar.

Seseorang dikatakan memahami sesuatu jika telah dapat mengorganisasikan dan mengatakan kembali
apa yang dipelajarinya dengan menggunakan kalimatnya sendiri. Siswa tidak lagi mengingat dan
menghafal informasi yang diperolehnya, melainkan harus dapat memilih dan mengorganisasikan
informasi tersebut. Termasuk di dalamnya menafsirkan suatu bagan, grafik, gambar untuk menjelaskan
dengan kalimatnya sendiri (Sri Anitah:2011).

Sedangkan konsep menurut kamus bahasa Indonesia adalah “ide atau pengertian yang diabtrakskan dari
peristiwa kongkret”. Dan menurut kamus matematika, “konsep adalah gambaran ide tentang sesuatu
benda yang dilihat dari segi ciri-cirinya seperti kuantitas, sifat, atau kualitas”. Pada dasarnya konsep
adalah sesuatu kelas stimuli yang mewakili sifat-sifat umum, misalnya konsep demokrasi, konsep kuda,
konsep bangunan, mobil dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan metode pelajaran dapat dikatakan
bahwa untuk mengajarkan konsep konkret akan lebih baik jika digunakan metode penemuan
(discovery).

Konsep-konsep dalam matematika tersusun secara hirarkis, terstruktur, logis dan sistematis mulai dari
konsep yang paling sederhana samapai pada konsep yang kompleks. Dalam matematika terdapat topik
atau konsep prasyarat sebagai dasar untuk memahami topik atau konsep selanjutnya. Dapat dikatakan
bahwa dalam mempelajari matematika dibutuhkan kemampuan mengkaji dan berfikir (bernalar) secara
logis, kritis dan sistematis.

3. Hasil Penelitian

Kegiatan yang dilakukan

Kegiatan pembelajaran dengan model pembelajaran Discovery Learning dilaksanakan pada tanggal 29
April 2014 dengan permutasi. Adapun kegiatan pembelajaran yang dilakukan di kelas sesuai dengan
kerangka rancangan model pembelajaran Discovery Learning. Berikut adalah kegiatan selama
pembelajaran:

Tahap Pertama: Stimulation (pemberian rangsangan)

180
Gambar 1. Guru Menumbuhkan Minat Siswa dengan Memotivasi tentang Materi
yang Akan Dipelajari

Tahap Dua: Problem statement (Pertanyaan/Identifikasi masalah)

Gambar 2: Siswa Mengajukan Pertanyaan tentang Apa yang Belum Siswa Pahami
Tahap Tiga: Data collection (Pengumpulan data)

Gambar 3. Guru Membimbing Siswa dalam Kelompok untuk Mendiskusikan


Masalah yang Ada pada LKS

Tahap Empat: Data processing (pengolahan data)

181
Gambar 4. Siswa Mendiskusikan Penyelesaian Permutasi dengan Cara Mereka
Sendiri dengan Bimbingan Guru
Tahap lima: Verification (pembuktian)

Gambar 5. Dengan Bimbingan Guru Siswa Mencoba Menemukan Rumus


Permutasi
Tahap enam: Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi)

Gambar 6. Siswa Menarik Kesimpulan Tentang Apa yang Telah Ditemukan dan
Mempresentasikannya

182
Berdasarkan hasil penyelesaian LKS yang dilakukan oleh 5 kelompok, rata-rata semua kelompok bisa
menyelesaikannya walaupun dengan bimbingan guru namun siswa cepat mengerti di saat bimbingan.
Berdasarkan pengamatan hasil pengerjaan LKS, siswa ini mengalami kendala dalam mengerjakan
operasi aljabar yaitu pada saat pembuktian rumus.

Penilaian pemahaman dan tanggung jawab siswa yang dilakukan guru selama proses pembelajaran
dapat terlihat bahwa, pada sikap rasa ingin tahu terdapat 3 siswa dikategorikan “sangat baik” dan 3
siswa “kurang baik” dan lainnya “Baik” dari 25 siswa yang hadir dan 4 siswa yang tidak hadir. Dari
ketiga siswa ini menunjukkan bahwa mereka kurang ikut serta saat teman-teman sekelompoknya
mengerjakan kegiatan di LKS yang berhubungan dengan perhitungan, tetapi saat mempraktekkan kerja
pada alat peraga, mereka sangat bersemangat. Untuk penilaian sikap “tanggung jawab” terdapat 22
siswa dikategorikan “sangat baik” dan 3 siswa dikategorikan “baik”.

Untuk mengukur tingkat pemahaman konsep siswa, pernyataan dalam angket dikategorikan dalam 3
kategori, yaitu pemahaman masalah terhadap permutasi, kebenaran jawaban akhir soal, dan proses
penurunan rumus permutasi. Berdasarkan angket yang telah diisi oleh siswa, dapat terlihat bahwa dari
3 kategori 4 siswa tergolong “sangat baik”, 3 siswa tergolong “cukup” dan 18 siswa tergolong “baik”.
Dari hasil kategori terlihat bahwa pemahaman konsep siswa “baik” karena siswa baru pertama kali
membuktikan rumus selama mereka belajar.

4. Kesimpulan

Penerapan model pembelajaran Discovery Learning pada materi permutasi disaat proses
belajar-mengajar berlangsung di MAN Ulim kelas X3 sangat memotivasi siswa untuk dapat
menemukan, memahami dan mengaplikasikan konsep yang berhubungan dengan materi ini. Hal ini
disebabkan karena penerapan Model Pembelajaran Discovery learning guru berperan sebagai
pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara aktif, sebagaimana
pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan.
Kondisi seperti ini ingin merubah kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented menjadi student
oriented.

Daftar Pustaka

Effendi, Leo Adhar. (2012). Pembelajaran Matematika dengan Metode Penemuan Terbimbing untuk
Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMP.
Diakses pada 22 Mei 2014 dari alamat http://jurnal.upi.edu/file/Leo_Adhar.pdf

Husain, Rahmin T. (2013), Penerapan Metode Discovery Learning Dalam Meningkatkan Hasil Belajar
Siswa Pada Mata Pelajaran Matematika Di Mts Kiayi Modjo Kecamatan Limboto Barat.
Diakses pada 22 Mei 2014, dari alamat
http://ejurnal.fip.ung.ac.id/index.php/PDG/article/viewFile/305/298.pdf

Kementrian pendidikan dan kebudayaan, (2013), Model Pembelajaran Penemuan (Discovery


Learning). Diakses pada 20 Mei 2014 dari alamat https://docs.google.com/document/pdf.

Muslich, Manur. (2009). KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Konstekstual. Jakarta: Bumi
Aksara.

Qorri’ah, (2011), Penggunaan Metode Guided Discovery Learning Untuk Meningkatkan Pemahaman
Konsep Siswa pada Pokok Bahasan Bagun Ruang Sisi Lengkung, Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah. Diakses pada 22 Mei 2014 dari alamat http://ebookbrowsee.net/13895-pdf-
d308219246

Rohani, (2010). Penerapan Metode Discovery learning. Diakses pada 22 Mei 2014 dari alamat
http://www.riyantoyosapat. com/ search.pdf

Rusman, (2012). Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta:


Rajawali Pers.

183
Sri Anitah, (2011), Strategi Belajar Mengajar.Jakarta: Universitas Terbuka.

Suryobroto, (2010), Macam-Macam Metode Pembelajaran. Diakses pada 23 Mei 2014 dari alamat
http://yastaki56.spaces. live. com/Pdf/cns!669E85C7CBD2F075!946.entry

Sutrisno. 2012. Efektifitas Pembelajran dengan Metode Penemuan Terbimbing terhadap Pemahaman
Konsep Matematika Siswa. Diakses pada 25 Mei 2014 dari alamat
http://fkip.unila.ac.id/ojs/data/journals/11/JPMUVol1No4/016_Sutrisno.pdf

TIM MKPBM. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: UPI, JICA.

184
PENERAPAN MODEL DISCOVERY LEARNING UNTUK MENINGKATKAN
PEMAHAMAN DAN MOTIVASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA DI
KELAS X-3 MA DARUL ULUM BANDA ACEH

Rahmazatullaili
Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala
Email: rahma.auqil8411@gmail.com

Abstrak. Pendidikan pada zaman yang serba canggih seperti sekarang menuntut siswa
mampu menguasai berbagai bidang ilmu, khususnya ilmu matematika. Kualitas
pembelajaran dan prestasi belajar matematika di Indonesia, khususnya di Aceh sampai
saat ini masih belum mengalami perubahan yang menggembirakan. Kurikulum 2013
mengharapkan dapat menghasilkan manusia indonesia yang memiliki kemampuan hidup
sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan
afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara, dan peradaban dunia, serta bisa membentuk manusia yang mampu berpikir
tingkat tinggi. Salah satu materi penting yang diajarkan pada siswa mulai SD hingga SMA
adalah bangun ruang yang di dalamnya mencakup definisi bangun ruang, bagian-
bagiannya, jarak serta sudut dalam bangun ruang. Cara mengajar guru dikelas yang
menoton dan mendominasi proses pembelajaran serta kurangnya pemotivasian yang
menyebabkan kurangnya keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran sehingga siswa
pasif, kurang peduli, kurang bergairah dan tidak adanya rasa ingin tahu pada diri siswa,
yang pada akhirnya berimbas pada hasil pembelajaran matematika yang tidak memuaskan
serta berasumsi bahwa belajar matematika sangat sulit yang menyebabkan siswa
kehilangan minat dan akhirnya menyerah untuk belajar matematika. Untuk itu sangatlah
penting membuat pembelajaran yang menuntut kreatifitas siswa dalam menemukan
konsep dan rumus-rumus sendiri sehingga lebih bermakna. Model Discovery Learning
merupakan salah satu model pembelajaran yang menitikberatkan pada aktifitas siswa
sehingga siswa dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui proses
mentalnya sendiri. Tujuan penulisan makalah adalah untuk melihat bagaimana
pemahaman dan motivasi belajar matematika siswa di kelas X-3 MA Darul Ulum Banda
Aceh melalui penerapan model Discovery Learning. Hasil uji coba di kelas: Adanya
perubahan sikap belajar siswa diantaranya siswa merasa puas, mandiri, percaya diri,
termotivasi dengan adanya rasa ingin tahu dan siswa memahami konsep yang
berhubungan dengan materi ini, walaupun tidak semua siswa bagus seperti yang
diharapkan, masih ada siswa yang masih kurang dalam pengambilan kesimpulan dan hasil
latihan.

Kata kunci: Discovery Learning, Dimensi tiga, sudut

Pendahuluan

Pendidikan merupakan usaha yang dilakukan manusia untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih baik.
Pendidikan tidak terlepas dari kegiatan belajar mengajar, sebab tanpa belajar maka pendidikan tidak
pernah ada dan tanpa belajar manusia mungkin tidak dapat mengembangkan bakat, minat dan
kepribadiannya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Pendidikan pada zaman yang serba
canggih seperti sekarang menuntut siswa mampu menguasai berbagai bidang ilmu secara kompleks,
khususnya ilmu matematika. Kualitas pembelajaran dan prestasi belajar matematika di indonesia,
khususnya di aceh sampai saat ini masih belum mengalami perubahan yang menggembirakan.
Pengumuman hasil ujian nasional tahun 2014 menunjukkan bahwa nilai ujian nasional untuk pelajaran
matematika siswa masih tergolong rendah dibandingkan pelajaran yang lain. di sisi lain, Kurikulum
2013 mengharapkan dapat menghasilkan manusia indonesia yang memiliki kemampuan hidup sebagai
pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu

185
berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia, serta bisa
membentuk manusia yang mampu berpikir tingkat tinggi.

Banyak faktor yang dapat menyebabkan rendahnya hasil belajar matematika, diantaranya faktor guru,
faktor siswa maupun proses belajar mengajar. kebanyakan pembelajaran di sekolah masih berpusat pada
guru. Banyak guru, terutama yang kurang pemahaman tentang materi matematika hanya mentransfer
materi yang ada dalam buku teks kepada siswa sehingga pengetahuan matematika yang disampaikan
guru kepada siswa menjadi tidak tepat, siswa sulit memahami konsep matematika yang merupakan
akibat dari pengajaran yang abstrak, diajarkan melalui metode ceramah dan hampir sepenuhnya
bergantung kepada buku teks (Zubainur, 2013). Cara mengajar yang menoton dan guru yang
mendominasi proses pembelajaran menyebabkan kurangnya keterlibatan siswa dalam proses
pembelajaran. Hal ini mengakibatkan siswa pasif dalam pembelajaran, sulit memahami dan membangun
konsep matematika dan siswa hanya menghafal konsep matematika tanpa mengerti. padahal aktivitas
dalam pembelajaran matematika akan bermakna bagi siswa apabila dilakukan melalui interaksi dengan
guru dan dengan siswa lainnya.

Kurangnya pemotivasian siswa untuk ikut aktif dalam proses pembelajaran merupakan salah satu faktor
yang mengakibatkan rendahnya hasil belajar matematika siswa. Seringkali saat berlangsungnya
pembelajaran siswa kurang peduli, merasa kurang percaya diri, dan kurang bergairah dalam belajar.
Oleh karenanya kita harus mencarikan solusi agar meningkatnya motivasi siswa untuk belajar
matematika sehingga siswa dapat memusatkan perhatian, menumbuhkan rasa ingin tahu dan
memperoleh hasil pembelajaran yang lebih baik serta tidak berasumsi bahwa belajar matematika sangat
sulit yang menyebabkan siswa kehilangan minat dan akhirnya menyerah untuk belajar matematika.

Berdasarkan hal tersebut perlu adanya pembelajaran yang menekankan pada kreativitas dan inovatif
siswa sehingga tujuan tersebut dapat tercapai, apalagi Kurikulum 2013 yang mulai diterapkan juga
menekankan pada aspek kontekstual dan scientific learning yang mengharuskan guru mengupayakan
pembelajaran yang berkaitan erat dengan kehidupan keseharian siswa, untuk itu sangatlah penting
membuat pembelajaran yang menuntut kreatifitas siswa dalam menemukan konsep dan rumus- rumus
matematikanya sendiri sehingga lebih bermakna. Ebbutt dan Strakker dalam Depdiknas (2006)
berpandangannya bahwa agar potensi siswa dapat berkembang dan mempelajari matematika secara
optimal, asumsi tentang karakteristik subjek didik diberikan antara lain: 1) siswa akan mempelajari
matematika jika mereka mempunyai motivasi, 2) siswa mempelajari dengan caranya sendiri, dan 3)
siswa mempelajari matematika baik secara mandiri maupun melalui kerjasama dengan temannya.
Menurut Yeping Li (2010) terdapat empat konsep kategori untuk menggambarkan pembelajaran
matematika yang baik, yaitu: (1) siswa dan pembelajaran, (2) guru dan pengajaran, (3) kurikulum dan
isi, dan (4) lingkungan kelas dan interaksi.

Bangun ruang merupakan salah satu materi penting yang diajarkan pada siswa mulai Sekolah Dasar
hingga Sekolah Menengah Atas. Materi bangun ruang ini mencakup definisi bangun ruang, deskripsi
yang mencakup bagian- bagian dari bangun ruang, volume dan luas permukaan bangun ruang, jarak
antara titik garis dan bidang, juga membahas sudut antara dua garis, garis dengan bidang dan antara dua
bidang. Berdasarkan hasil pengamatan penulis selama mengajar di Madrasah Aliyah Darul Ulum Banda
Aceh dan konsultasi dengan guru matematika yang juga mengajar di sekolah tersebut memperlihatkan
bahwa, siswa kurang berminat dan sering kali acuh tak acuh untuk belajar matematika dan hasil belajar
matematika mareka rata-rata rendah dibandingkan dengan pelajaran lain. Hal ini mungkin disebabkan
karena selama ini siswa jarang di ajak untuk mengenal lebih dalam akan materi yang dipelajarinya,
sehingga terkesan matematika yang diperolehnya tidak bermakna dan tidak berguna untuk
kehidupannya, selain itu mungkin mereka kurang adanya waktu yang efesien untuk mengulang materi
yang telah dipelajari disekolah, karena mereka harus belajar pelajaran dayah di luar jam sekolah. Oleh
karenanya sangatlah penting membuat pembelajaran yang menuntut kreatifitas siswa dan melibatkan
siswa dalam proses pembelajaran sehingga siswa dapat menemukan konsep dan rumus-rumus sendiri
serta akan adanya rasa puas dan belejar akan lebih bermakna.

Model pembelajaran discovery learning merupakan salah satu model pembelajaran yang menuntut
siswa untuk belajar secara aktif, melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi,
membandingkan, mengintegrasikan, mengorganisasikan bahan, membuat kesimpulan-kesimpulan serta
menggabungkan pengetahuan baru dan pengetahuan yang sudah ada dan membiasakan untuk senantiasa

186
berpikir kreatif, sehingga konsep-konsep yang didapat oleh siswa dari hasil penemuannya sendiri akan
lebih bermakna dan pemahaman siswa terhadap konsep tersebut akan lebih baik.

Berdasarkan uraian di atas, yang menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah bagaimana
pemahaman dan motivasi belajar matematika siswa di kelas X-3 MA Darul Ulum Banda Aceh melalui
penerapan model Discovery Learning

Tinjauan Pustaka

Pembelajaran merupakan suatu proses interaksi antara guru dan siswa untuk mencapai tujuan
pendidikan, dalam kegiatan pembelajaran di kelas terdapat beberapa istilah tentang cara mengajar
seperti model, strategi, pendekatan dan metode pembelajaran. Winataputra (1997) mengemukakan
bahwa model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis
dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi
sebagai pedoman bagi para pencanang pembelajaran dan para pengajar dalam mencanangkan dan
melaksanakan aktivitas belajar mengajar. Joyce dan Weil dalam Johar (2013) mengemukakan bahwa
ada lima unsur penting yang menggambarkan suatu model pembelajaran yaitu 1) sintakmatik, 2) sistem
sosial, 3) prinsip reaksi, 4) sistem pendukung, dan 5) dampak intruksional dan dampak pengiring.

Dalam permendikbud no.65 Tahun 2013 tentang Standar Proses, Kegiatan inti menggunakan model
pembelajaran, metode pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar yang disesuaikan dengan
karakteristik peserta didik dan mata pelajaran. Pemilihan pendekatan tematik dan/atau tematik terpadu
dan/atau saintifik dan/atau inkuiri dan penyingkapan (discovery) dan/atau pembelajaran yang
menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah (project based learning) disesuaikan dengan
karakteristik kompetensi dan jenjang pendidikan. Dalam implementasinya, guru dapat manerapkan
berbagai model pembelajaran, selain model yang telah dijelaskan sebelumya, guru dapat juga
menerapkanmodel lain diantaranya discovery learning, project based learning dan problem based
learning.

Menurut Budiningsih (2005) Model pembelajaran discovery learning mengarahkan siswa untuk
memahami konsep, arti dan hubungan melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu
kesimpulan. Model pembelajaran discovery learning mendorong siswa untuk mengidentifikasi apa yang
ingin diketahui kemudian dilanjutkan dengan mencari informasi lalu mengorganisasi atau membentuk
apa yang diketahui dan dipahami dalam suatu bentuk akhir. Hal ini akan terjadi apabila dalam
pembelajaran siswa terlibat dan dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui proses
mentalnya sendiri, suatu konsep tidak disajikan dalam bentuk akhir sehingga pembelajaran akan
bermakna. Tiga ciri utama belajar menemukan yaitu: (1) mengeksplorasi dan memecahkan masalah
untuk menciptakan, menggabungkan dan menggeneralisasi pengetahuan; (2) berpusat pada siswa; (3)
kegiatan untuk menggabungkan pengetahuan baru dan pengetahuan yang sudah ada.

Adapun menurut Syah (2004) dalam mengaplikasikan model Discovery Learning di kelas tahapan atau
prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar secara umum adalah sebagai
berikut:
a) Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan).
Tahapan ini siswa dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan perhatiannya, kemudian dilanjutkan
untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Guru dapat memulai
kegiatan belajar dengan meminta siswa membaca buku, mengajukan pertanyaan yang mengarah pada
persiapan pemecahan masalah. Stimulation pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi
interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi bahan.
b) Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah).
Setelah dilakukan stimulation langkah selanjutya adalah guru memberi kesempatan kepada siswa untuk
mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran,
kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis yaitu jawaban sementara atas
pertanyaan masalah (Syah 2004).
c) Data collection (pengumpulan data).
Pada tahap ini siswa diberi kesempatan untuk mengumpulkan berbagai informasi yang relevan untuk
membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004) yang bertujuan agar siswa belajar secara aktif

187
untuk menemukan sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi, sehingga secara
alamiah siswa menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang telah dimiliki.
d) Data processing (pengolahan data).
Menurut Syah (2004) data processing merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah
diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan. Data
processing disebut juga dengan pengkodean coding/ kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan
konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan mendapatkan penegetahuan baru tentang
alternatif jawaban/ penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis.
e) Verification (pentahkikan/pembuktian).
Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika
guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau
pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya (Budiningsih, 2005).
f) Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi)
Tahap generalitation/menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang dapat
dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama, dengan
memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004).

Pemahaman konsep adalah kemampuan menangkap pengertian-pengertian seperti mampu memahami


atau mengerti apa yang diajarkan, mengetahui apa yang sedang dikomunikasikan, memberikan
penjelasan atau memberi uraian yang lebih rinci dengan menggunakan kata-kata sendiri, mampu
menyatakan ulang suatu konsep, mampu mengklasifikasikan suatu objek dan mampu mengungkapkan
suatu materi yang disajikan kedalam bentuk yang lebih dipahami. Menurut Morgan dalam Winataputra
(1997), Motivasi dapat didefinisikan sebagai tenaga pendorong yang menyebabkan adanya tingkah laku
kearah suatu tujuan tertentu, adanya motivasi dapat disimpulkan dari observasi tingkah laku. Dalam
kegiatan belajar, maka motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri
siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan
memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat
tercapai (Sardiman, 2000).

Hasil dan Pembahasan

Penerapan Model Discovery Learning pada materi menentukan sudut dalam bangun ruang

Materi yang diambil dalam uji coba ini adalah Geometri dengan sub pokok pembahasan menentukan
sudut dalam ruang khususnya tentang sudut antara garis dengan garis dan sudut antara garis dan bidang.
Materi ini dapat disesuaikan dengan model Discovery Learning yaitu siswa mencoba menemukan
sendiri konsep tentang sudut antara dua garis dan sudut antara garis dan bidang, sehingga siswa dapat
terlibat dalam proses pembelajaran dan siswa menjadi bersemangat, menambah minat dan motivasi
dalam belajar dan meningkatkan hasil belajar siswa.

Komponen Model Pembelajaran Discovery (yang dilakukan di kelas)

a. Sintaks (Fase)
Tahap1: Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan)
Pada tahap ini guru mencoba mengaitkan materi yang sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari,
menumbuhkan minat siswa. Dengan menampilkan slide power point guru menjelaskan tujuan
pembelajaran dan pengalaman belajar yang dapat diperoleh siswa serta memberikan motivasi dengan
menjelaskan manfaat dari pembelajaran yang dilakukan.

(a) (b)

188
Gambar 1. Sejarah singkat geometri (a), contoh penggunaan sudut dalam kehidupan (b)

Tahap 2: Problem statemen (pertanyaan/identifikasi masalah)


Pada tahap ini siswa mengamati gambar pada slide power point, benda yang ada disekitar mereka dan
contoh-contoh lain dalam kehidupan yang berkaitan dengan sudut kemudian mengajukan pertanyaan
dari hasil pengamatannya.

(a) (b)
Gambar 1. Sudut dari tali pengikat tiang bendera pramuka dan sudut dari benda gengan bayangannya
(a), contoh lain penggunaan sudut (b)

Tahap 3: Data collection (pengumpulan data)


Siswa dibagi dalam beberapa kelompok yang beranggotakan 4-5 orang, siswa mengerjakan LKS secara
berkelompok, siswa mengamati masalah yang diberikan dan mempelajari alat peraga yang akan
digunakan untuk menyelesaikan persoalan dalam LKS
Tahap 4: Data processing (pengolahan data)
Siswa menganalisis dan membuat kategori dari unsur-unsur yang membentuk sudut dalam bangun
ruang dengan menggunakan alat peraga, kemudian menghubungkan unsur-unsur yang sudah
dikategorikan yaitu sudut antara dua garis dan sudut antara garis dengan bidang, serta menentukan
ukuran sudut yang di Tanya, lalu menyiapkan hasil diskusi.

(a) (b)
Gambar 1. Menggunakan alat peraga (a), menyiapkan hasil diskusi (b)

Tahap 5: Verification (pembuktian)


Sebelum mempresentasikan hasil kerja kelompok, siswa memeriksa kembali hasil diskusi dengan
menggunakan alat peraga dan menanyakan pada guru jika ada keraguan tentang hasil diskusi.
Tahap 6: Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi)
Siswa mengambil kesimpulan secara umum mengenai sudut dalam bangun ruang, dan berdasarkan hasil
yang telah dilakukan pada kegiatan yang diuraikan di LKS, maka setiap kelompok diminta
mempresentasikan hasil kerja kelompoknya. Setelah selesai mempresentasikan hasil kerjanya, Siswa
diberikan beberapa soal latihan.

189
(a) (b) (c)
Gambar 1. Menggunakan alat peraga untuk memeriksa kembali (a), pengambilan kesimpulan (b),
mempresentasikan hasil diskusi (c).

b. Sistem Sosial
Jumlah siswa di dalam kelas X-3 MA Darul ulum seluruhnya 31 orang, tetapi yang hadir pada hari ini
berjumlah 23, kerena yang tidak hadir sedang mengikuti kegiatan pramuka. Siswa belajar dalam
kelompok yang beranggotakan 4-5 siswa. Siswa bebas berfikir, mengemukakan pendapat serta
berperilaku dalam proses pembelajaran, guru hanya bertindak sebagai pembimbing dan fasilitator yang
mengarahkan siswa untuk menemukan konsep, dalil, prosedur, algoritma dan semacamnya serta
pengontrol aktivitas dalam proses belajar mengajar.

c. Prinsip reaksi: fasilitator


Prinsip reaksi merupakan kegiatan yang menggambarkan sikap dan perilaku guru untuk menanggapi
dan merespon bagaimana siswa memproses informasi, menggunakannya sesuai pertanyaan yang
diajukan oleh guru. Tugas penting yang diemban guru pada tahap ini adalah menangkap kesiapan siswa
menerima informasi baru dan aktivitas mental baru untuk dipahami dan diterapkan selama diskusi
kelompok, dan guru bertindak sebagai fasilitator serta pengontrol yang berupaya agar kegiatan diskusi
mengutamakan nilai demokratis dan kemandirian setiap kelompok.

d. Sistem Pendukung
Ada beberapa sistem pendukung pada saat pembelajaran berlangsung, yaitu: Slide Power point, LKS,
Alat peraga (kerangka kubus) dan lembar pengamatan.

e. Dampak Instruksional dan Dampak Pengiring


Dampak instruksional model pembelajaran Discovery bagi siswa: (a) Siswa lebih antusias dan
bersemangat mengikuti pelajaran; (b) Siswa dapat menemukan sendiri konsep sesuai arahan yang telah
disusun guru dalam kegiatan pada LKS sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna; (c) Siswa
memperoleh nilai baik, rata-rata mencapai KKM yang telah ditetapkan di sekolah.
Dampak pengiring model pembelajaran Discovery: (a) Siswa dapat lebih mandiri dan tumbuhnya rasa
solidaritas antar siswa; (b) Menimbulkan rasa percaya diri; (c) Dapat menunjukkan sikap demokratis
antar siswa.

Setiap kegiatan pembelajaran, diharapkan selalu berhasil sebaik mungkin, akan tetapi tidak dapat
dipungkiri bahwa kekurangan dan kelemahan itu akan selalu muncul sehingga dapat melakukan
perbaikan ke depan. beberapa kendala yang dihadapi siswa selama proses pembelajaran berlangsung
yaitu (a) Siswa tidak terbiasa mengerjakan LKS yang menuntut siswa untuk bekerja mandiri. Sehingga
guru sedikit kewalahan dalam menjelaskan kepada setiap kelompok hal yang mereka kurang pahami;
(b) Banyak menyita waktu, sehingga tidak semua masalah di LKS dapat diselesaikan dalam sekali
pertemuan, oleh karenanya, masalah yang tersisa dijadikan sebagai tugas rumah; (c) Mereka masih
merasa kurang percaya diri tampil di depan kelas saat mempresentasikan hasil kerja kelompoknya.

Komentar Siswa
Siswa sangat bersemangat mengikuti pembelajaran hari ini. Hal ini terlihat dari antusias siswa mulai
dari awal pembelajaran, dan respon yang mereka berikan dari angket yang dibagikan, mereka juga rela
waktu istirahatnya tersita untuk pembelajaran. Siswa juga senang dan merasa puas dengan hasil yang
mereka perolah dari latihan yang diberikan.
Setelah pembelajaran, guru meminta siswa untuk mengisi angket yang berisikan respon, kesan dan
pesan selama pembelajaran berlangsung. Umumnya siswa senang dan menyukai pembelajaran seperti
ini, maunya sering-sering diterapkan pembelajaran seperti, disamping menerapkan model-model lain
serta memperbanyak contoh-contoh soal. Tapi ada juga yang tidak mereka sukai yaitu ada kawannya
yang sekelompok tidak sepenuhnya bekerja sama dan merasa waktu kurang untuk pembelajaran
tersebut.
Ketercapaian Tujuan Pembelajaran

190
Jika dipandang dari segi ketercapaian tujuan pembelajaran, pembelajaran ini bisa dikategorikan
berhasil, walaupun terdapat beberapa kendala yaitu banyak menghabiskan waktu, sampai-sampai jam
istirahat juga terpakai walaupun siswa tidak ada yang keberatan. Kendala lain yaitu saat siswa
mengambil kesimpulan dari hasil yang didiskusikan, ada satu kelompok saat mengambil kesimpulan
terjadi kesalahan pemahaman terhadap konsep sudut, dan ada juga yang salah menentukan ukuran sudut,
walaupun kesalahan tersebut dapat tertutupi oleh kelompok lain. Selama kegiatan pembelajaran siswa
sangat antusias dan sangat aktif.

Berdasarkan hasil latihan yang dikerjakan oleh 23 siswa, 21 orang siswa memperoleh nilai diatas batas
KKM yang telah ditentukan yaitu 75, 2 orang mendapat nilai di bawah KKM yaitu nilainya 40.
Berdasarkan pengamatan hasil pengerjaan latihan, siswa ini mengalami kendala dalam menentukan
ukuran sudut dari segitiga yang bukan segitiga siku-siku (segitiga tersebut merupakan gambar yang
didapat dari hubungan garis dengan garis atau garis dengan bidang pada bangun ruang).

Penilaian sikap rasa ingin tahu dan tanggung jawab siswa yang dilakukan guru selama proses
pembelajaran dapat terlihat bahwa, pada sikap rasa ingin tahu terdapat 15 siswa dikategorikan “sangat
baik”, 4 siswa “baik” dan 4 siswa “cukup”. Siswa yang dikategorikan cukup menunjukkan bahwa
mereka kurang ikut serta saat teman-teman sekelompoknya mengerjakan kegiatan di LKS, hal ini
terlihat bahwa kurangnya dia mengemukakan pikiran, tidak berani bertanya pada guru tapi kadang-
kadang ada juga bertanya pada kawannya serta kurang berupaya mencari informasi tentang masalah
yang dipelajari, Tetapi mereka sudah menunjukkan perhatian pada saat pembelajaran walupun belum
focus. Untuk penilaian sikap “tanggung jawab” terdapat 18 siswa dikategorikan “sangat baik” dan 5
siswa dikategorikan “baik”.

Pemahaman dan Motivasi


Pemahaman siswa dilihat dari hasil latihan yang diberikan setelah proses pembelajaran, rata-rata siswa
memperoleh hasil yang memuaskan yaitu melebihi nilai KKM. Nilai KKM untuk materi ini adalah 75.
hanya dua orang siswa yang tidak mencapai nilai KKM yaitu memperoleh nilai 40. Pemahaman siswa
juga terlihat saat pembelajaran, banyak siswa yang paham akan materinya walaupun ada juga yang
masih butuh bimbingan dari guru, siswa juga sudah mampu untuk mengambil kesimpulan dari hasil
yang telah didiskusikan. Tapi ada satu kelompok yang saat mengambil kesimpulan terjadi kesalahan
pemahaman terhadap konsep sudut.

Untuk melihat motivasi siswa, guru melakukan pengamatan saat proses pembelajaran untuk melihat
rasa ingin tahu siswa dan membagikan angket kepada siswa yang berisikan respon, kesan dan pesan
terhadap pembelajaran. Penilaian sikap rasa ingin tahu memperlihatkan bahwa terdapat 15 siswa
dikategorikan “sangat baik”, 4 siswa “baik” dan 4 siswa “cukup”, hal ini bisa dikategorikan bahwa siswa
termotivasi dengan adanya rasa ingin tahu mereka terhadap pembelajaran.

6. Kesimpulan

Penerapan model pembelajaran discovery learning pada materi menentukan sudut dalam ruang disaat
proses belajar-mengajar berlangsung di ma darul ulum kelas x-3 dapat menumbuhkan motivasi siswa
dengan adanya rasa ingin tahu dari siswa untuk dapat menemukan dan memahami konsep yang
berhubungan dengan materi ini. walaupun tidak semua siswa bagus seperti yang diharapkan, masih ada
siswa yang masih kurang dalam pengambilan kesimpulan dan hasil latihan.

Daftar Pustaka

Budiningsih, Asri. (2005). Pembelajaran Moral Berpijak pada Karakteristik Siswa dan Budayanya.
Jakarta: Rineka Cipta

Depdiknas. (2006). Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Sekolah Menengah
Pertama. Jakarta: Depdiknas

Depdiknas. (2013). permendikbud no.65 Tahun 2013 tentang Standar Proses. Jakarta: Depdiknas

Hamzah, Ali. (2014). Perencanaan dan Strategi Pembelajaran matematika. Jakarta: Rajawali pers

191
Johar, Rahmah (2013). Strategi Belajar Mengajar Matematika. Bahan ajar. Banda Aceh: Universitas
Syiah Kuala

Kementrian pendidikan dan kebudayaan, (2013), Model Pembelajaran Penemuan (Discovery


Learning), (Online: https://docs.google.com/document/pdf. diakses 20 Mei 2014).

Syah, Muhibbin. (2004). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Jakarta: Rosda
Sutrisno. 2012. Efektifitas Pembelajran dengan Metode Penemuan Terbimbing terhadap Pemahaman
Konsep Matematika Siswa. (Online).
http://fkip.unila.ac.id/ojs/data/journals/11/JPMUVol1No4/016_Sutrisno.pdf diakses 25 Mei
2014.

Suyitno. (2006). Pemahaman Mahasiswa UPI Terhadap Hakikat Manusia dan Pendidikan
dalam Rangka Menjadi Guru. Sekolah pasca Sarjana UPI. Bandung.

Winataputra, Udin S dan Soekamto, Toeti,(1997). Teori Belajar dan Model-Mode


Pembelajaran. Jakarta: Ditjen Dikti, Depdiknas

Yeping li. 2011. Elementary Teachers Thinking About A Good Mathematics Lesson. International
Journal of Science and Mathematics Education, (2011) 9: 1189-1212.

Zubainur, Cut Morina, Veloo, Arsaythamby (2013). Interaksi dalam Pembelajaran Matematika dengan
Pendidikan Matematika Realistik Indonesia di Sekolah Rendah. Makalah SIMANTAP 2013.
Universitas Syiah Kuala

192
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN GENERATIF LEARNING
PADA MATERI TRIGONOMETRI DI KELAS X SMAN 4
BANDA ACEH TAHUN PELAJARAN 2012/2013

Elianti1 , Rahmi Maulina2, dan Mailizar3


1,2,3
Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala

Abstrak. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran penting yang di ajarkan dari
TK sampai perguruaan tinggi. Pengetahuan matematika selama proses pembelajaran
haruslah merupakan hasil pembentukan oleh siswa itu sendiri, agar mudah dipahami.
Perlulah diterapkannya model pembelajaran yang berpusat kepada siswa agar siswa lebih
aktif dalam membangun pengetahuannya. Salah satunya adalah model pembelajaran
generatif. Model pembelajaran generatif merupakan model pembelajaran yang
menekankan pada pembentukan secara aktif pengetahuan baru dengan menggunakan
pengetahuan yang sudah dimiliki. Dengan menerapkan model pembelajarn generatif
diharapkan hasil belajar siswa pada pelajaran matematika mengalami peningkatan
khususnya pada materi trigonometri. Adapun tujuan dari Penelitian ini adalah untuk
mengetahui ketuntasan hasil belajar siswa melalui model pembelajaran generatif pada
materi trigonometri. Penelitian ini menggunakan pre-eksperimental design jenis one shot
case study dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh siswa kelas X SMAN 4, sedangkan sampel diambil satu kelas secara
purposive sampling yaitu kelas X-1 yang diterapkan model pembelajaran generatif.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan tes akhir hasil belajar siswa setelah
diterapkannya model pembelajaran generatif. Pengolahan data tes dilakukan dengan
pengujian statistik uji-t satu pihak (uji pihak kanan) dan taraf signifikan 0,05. Berdasarkan
analisis data di peroleh 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 3,48 dan 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,70 , karena 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙
yaitu 3,48 > 1,70 maka tolak hipotesis H0. Dengan demikian hipotesis H1 diterima.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Hasil belajar siswa dengan penerapan model
pembelajar Generatif Learning pada materi Trigonometri di kelas X SMA Negeri 4
Banda Aceh sudah mencapai nilai ketuntasan.

Kata Kunci : Model Pembelajaran Generatif, hasil belajar materi trigonometri

Pendahuluan

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang penting di dalam kurikulum, dapat dilihat dari
mata pelajaran matematika yang di ajarkan setiap jenjang pendidikan serta jam pelajaran matematika di
sekolah yang lebih banyak dibandingkan dengan pelajaran lain. Hudojo (1998:2) menyatakan bahwa
“dalam perkembangan peradaban modern, matematika memegang peranan penting karena dengan
bantuan matematika semua ilmu pengetahuan menjadi sempurna”.

Namun kenyataannya menunjukkan bahwa hasil belajar siswa selama ini belum menunjukkan hasi yang
memuaskan. Hal ini berdasarkan pengalaman peneliti dari hasil ulangan maupun tes matematika siswa
SMAN 4 Banda Aceh masih rendah. Salah satu materi pelajaran yang masih mengalami rendahnya
hasil belajar siswa adalah materi trigonometri. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil ujian siswa
mengenai materi tersebut sekitar 25 dari 32 siswa tidak tuntas pada materi tersebut sesuai kkm yang
ditetapkan yaitu 65. Data ini diperoleh dari hasil ujian siswa SMAN 4 banda aceh tahun pelajaran
2011/2012.

Rendahnya pemahaman siswa pada materi trigonometri berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan
guru matematika di sman 4 yaitu, mungkin terjadi karena siswa lebih menghafal dari pada memahami
rumus-rumus yang disajikan dalam pembelajaran. Hal ini menyebabkan adanya anggapan dilapangan
mata pelajaran matematika, khususnya trigonometri masih merupakan pelajaran yang kurang menarik
dan sukar bagi siswa sehingga hasil belajar siswa pada materi trigonometri masih rendah.

Untuk mengatasi permasalahan hasil belajar siswa yang belum mencapai nilai ketuntasan dan
pembelajaran yang membosankan dalam mengajarkan materi trigonometri penulis melaksanakan

193
penelitian dengan menerapkan model yang berlandaskan paham konstruktivisme. Salah satunya dengan
menerapkan model pembelajaran generative agar siswa lebih antusias dalam pembelajaran matematika
khususnya pada materi trigonometri.

Model pembelajaaran generatif merupakan satu model pembelajaran yang berlandaskan paham
konstruktivisme. Menurut Astuti (Lusiana,2009:3) model pembelajaran yang berdasarkan
konstruktivisme salah satunya adalah model pembelajaran generatif yang menekankan pada
pengintegrasian secara aktif pengetahuan baru dengan menggunakan pengetahuan yang sudah dimiliki
siswa sebelumnya, sehingga pengetahuan baru itu benar-benar dipahami siswa dan akan disimpan dalam
memori jangka panjang. Siswa juga diberi kebebasan untuk mengungkapkan ide dan alasan terhadap
permasalahan yang diberikan sehingga siswa akan lebih memahami pengetahuan yang dibentuknya
sendiri dan pembelajaran tidak lagi membosankan.

Dengan kata lain model pembelajaran generatif dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini
didukung dengan hasil penelitian terdahu oleh Ayu (2003) menyimpulkan bahwa pembelajaran
generatif dengan metode PQ4R pada siswa kelas II-b SLTP laboratorium IKIP Negeri Singaraja dapat
mereduksi miskonsepsi dan meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas II-b SLTP laboratorium
IKIP Negeri Singaraja. Selanjutnya, Lusiana (2009) menyimpulkan bahwa keefektifan penerapan model
pembelajaran generatif untuk pelajaran matematika dikelas X SMA Negeri 8 Palembang yang ditinjau
dari ketuntasan belajar terhadap penerapan MPG mencapai 76.32% dengan kategori ”efektif”.

Berdasarkan hal di atas, untuk mengatasi rendahnya hasil belajar siswa khususnya pada materi
trigonometri adalah dengan diterapkannya model pembelajaran yang berlandaskan paham
konstruktivisme salah satunya adalah model pembelajaran generatif. Sehingga, hasil belajar siswa
melalui model pembelajaran generatif pada materi perbandingan trigonometri di kelas X SMA Negeri
4 Banda Aceh dapat mencapai nilai ketuntasan.
Adapun masalah dalam penelitian ini adalah apakah hasil belajar siswa melalui model pembelajaran
generatif pada materi trigonometri di Kelas X SMAN 4 Banda Aceh dapat mencapai nilai ketuntasan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketuntasan hasil belajar siswa melalui model pembelajaran
generatif pada materi di Kelas X SMAN 4 Banda Aceh.

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi guru-guru matematika dalam
meningkatkan hasil belajar siswa melalui penerapan model pembelajaran generatif. Selain itu dapat
memberikan suasana baru bagi siswa yang tidak monoton sehingga dapat mendorong siswa lebih aktif
untuk menyampaikan gagasan sesuai pemikiran mereka.

Implementasi Model Pembalajaran generatif dalam Pembelajaran Matematika

Model pembelajaran generatif merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan dalam
pembelajaran matematika yang terdiri atas empat fase (lusiana2009:2). Menurut Wena (2009:177)
pembelajaran Generatif terdiri dari empat tahap, yaitu:

a. Exsplorasi
Pada tahapan ini guru menyampaikan topik pembelajaran yaitu mengenai perbandingan trigonometri.
Yang diperlukan adalah membuat siswa berani mengemukakan pendapatnya tanpa takut disalahkan
untuk mengungkapkan pemahaman dan pengalaman mereka dalam kehidupan sehari-hari yang
berkaitan dengan perbandingan trigonometri.

Apabila konsepsi siswa ada yang salah, guru tidak memberikan makna menyalahkan atau membenarkan
konsep tersebut. Menurut Sutarman & Swasono (wena,2009:178) pengaruh hipotesis siswa akan
dilakukan pada kegiatan eksperimen (tahap pemfokusan) pada siswa itu sendiri.

b. Pemfokusan
Guru mengarahkan siswa untuk mengkonstruksi pemahaman materi perbandingan trigonometri pada
segitiga melalui pertanyaan-pertanyaan yang ada pada LKS yang bersifat menggali informasi dengan
mengaitkan informasi awal dengan informasi baru berupa perbandingan trigonometri. Selanjutnya
siswa akan menggunakan informasi baru tersebut untuk memecahkan masalah pada LKS.

194
Jadi tahap pemfokusan merupakan tahap dimana siswa bekerja sama dalam internal kelompok masing-
masing untuk menyelesaikan LKSnya, sehingga mereka memperoleh hasil kerja berdasarkan
kemampuan mereka sendiri dan hasil inilah yang nanti akan didiskusikan antar kelompok pada tahapan
tantangan.

c. Tantangan
Pada tahap ini guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan sharing idea. Sharing idea
berdasarkan argumen-argumen dari berbagai sudut pandang dan bukti-bukti yang dapat dipertanggung
jawabkan. Sharing idea selain dilakukan antar siswa dan guru juga dilakukan antar kelompok dengan
mempresentasikan hasil kerjanya ke depan kelas. Pada tahap ini hendaknya guru memberikan arahan
dan bimbingan positif mengenai materi jika terjadi kesalahan konsep (misskonsepsi), karena pada akhir
diskusi siswa diharapkan dapat memperoleh kesimpulan dan pemantapan konsep yang benar.

d. Aplikasi
Untuk melaksanakan tahap ini guru menyiapkan lembar tugas sekaligus diperuntukkan sebagai evaluasi
dari proses pembelajaran yang telah dilakukan. siswa mengaplikasikan konsep baru yang telah dibangun
sejalan dengan proses yang dilakukan secara sendiri-sendiri. Pada tahap ini guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menggunakan pemahamaan konseptual yang baru diperolehnya
kedalam konteks lain. Pada tahap ini juga siswa mengaplikasikan dan modifikasi kembali bila
diperlukan.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMAN 4 Banda Aceh. Penelitian ini dilaksanakan dalam 4 kali pertemuan.
3 kali pertemuan dengan menerapkan model pembelajaran generatif dan pertemuan ke 4 untuk
melakukan tes hasil pelajaran. Penelitian ini berlangsung pada bulan februari 2013.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Adapun
desain dalam penelitian ini adalah pre-eksperimental dengan jenis one shot case study. Arikunto
(2010:10), menyatakan bahwa one-shot case merupakan eksperimen satu kali tembak. Eksperimen yang
dilaksanakan tanpa adanya kelompok pembanding dan juga tanpa tes awal. Menurut Arikunto
(2010:124) One-shot case study mempunyai pola yang digambarkan seperti digram berikut :

X O
Keterangan :
X : yang mengalami perlakuan
O : hasil observasi sesudah penelitian (Arikunto, 2005:212).

Desain one shoot case study memiliki kelemahan utama yakni peneliti tidak memiliki kelompok atau
grup pembanding (reference group atau control group) dan kedua peneliti tidak melakukan pengukuran
sebelum perlakuan/intervensi diberikan (Subali,2010:25). Sehingga kelompok eksperimen diberi
perlakuan kemudian sesudahnya diobservasi. Dengan demikian, tidak diketahui keadaan sebelum
dilakukannya eksperimen.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMAN 4 Banda Aceh yang terdiri dari
delapan kelas. Sampel diambil dengan teknik purposive sampling. Sehingga yang menjadi sampel
dalam penelitian ini adalah siswa kelas X-1 SMA Negeri 4 Banda Aceh sebanyak satu kelas yang
berjumlah 30 orang siswa, dimana pada kelas tersebut akan diterapkan model pembelajaran generatif.

Peneliti akan menerapkan model pembelajaran generatif selama tiga kali pertemuan, dan pada
pertemuan keempat melakukan kegiatan evaluasi terhadap siswa dengan memberikan tes. Hasil tes
siswa inilah yang peneliti jadikan data untuk diolah. Instrumen tes ini di buat oleh peneliti untuk
mengetahui ketuntasan hasil belajar siswa tehadap materi trigonometri.

Mencari nilai rata-rata ( 𝑥̅ ) dapat dihitumg dengan rumus:


∑𝑓 𝑥
𝑥̅ = ∑ 𝑖 𝑖
𝑓𝑖
Ket: 𝑓𝑖 = frekuensi kelas interval
𝑥𝑖 = nilai tengah kelas interval

195
Menentukan simpangan baku (s)

Menurut Sudjana (2005:95), simpangan baku ( s ) dapat dihitung dengan rumus:

𝑛 ∑ 𝑓𝑖 𝑥𝑖 2 − (∑ 𝑓𝑖 𝑥𝑖 )2
𝑠=√ 𝑛 (𝑛−1)
Ket: 𝑥𝑖 = nilai tengah kelas interval
𝑓𝑖 = frekuensi kelas interval
n = banyaknya data

Menguji kenormalan sampel dari tes akhir, menurut Sudjana (2005:273) digunakan rumus :
𝑘
2
(𝑂𝑖 − 𝐸𝑖 )2
𝜒 =∑
𝐸𝑖
𝑖=1
Ket : 𝜒2 = chi-kuadrat
𝑂𝑖 = frekuensi pengamatan
𝐸𝑖 = frekuensi yang diharapkan

Setelah diperoleh nilai rata-rata (𝑥̅ ) dan simpangan baku (s), tahap selanjutnya adalah menentukan nilai
t hitung dari data tersebut. Nilai t hitung diperoleh dengan rumus Sudjana (2005:227) yaitu sebagai
berikut.
𝑥̅1 − μ0
𝑡= s
√n
Ket: 𝑥̅ = nilai rata-rata
n = jumlah data
s = simpangan baku
μ0 = 65

Kriteria pengujiannya adalah tolak H0 apabila thitung > ttabel dengan


dk= n1 + n2 – 2 dengan peluang (1 - α).

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Dari nilai tes setelah model pembelajaran generatif learning diterapkan pada materi trigonometri di
kelas X-1, diperoleh 8 dari 30 orang siswa masih belum mencapai nilai ketuntasan yang ditetapkan.
Nilai terendah dari data tersebut adalah 42. Sedangkan selebihnya mencapai ketuntasan dengan nilai
≥65 dengan nilai tertinggi mencapai nilai sempurna yaitu 100. Adapun persentase nilai yang diperoleh
pada tes akhir tersebut digambarkan pada diagram yang menunjukkan seperti:

Tuntas Tidak Tuntas

27%

73%

Gambar : persentase hasil belajar siswa


Setelah data hasil belajar siswa terkumpulkan, sebelum data dianalisis dengan menggunakan rumus
statistik uji-t, terlebih dahulu dicari nilai rata-rata (𝑥̅ ), varians (s2), simpangan baku (s), dan uji
kenormalan sebaran data.

196
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Nilai Tes siswa SMAN 4 Banda Aceh
Frekuensi Titik tengah
Nilai Tes (fi) (xi) xi 2 fi xi fi xi 2

41-50 2 45,5 2070,25 91 4140,5


51-60 3 55,5 3080,25 166,5 9240,75
61-70 7 65,6 4290,25 458,5 30031,8
71-80 7 75,5 5700,25 528,5 39901,8
81-90 8 85,5 7310,25 648 58482
91-100 3 95,5 9120,25 286,5 17360,8

jumlah 30 2215 169158

Dari tabel 4.2 diatas, diperoleh nilai rata-rata sebagai berikut :


∑ 𝑓𝑖 𝑥𝑖 2215
𝑥̅ = ∑ 𝑓𝑖
= = 73,83
30

Dari tabel di atas didapatkan varians (S2) = 193,68 dan simpangan baku (S) = 13,9
Selanjutnya data di uji kenormalannya yang bertujuan untuk mengetahui apakah data yang diperoleh
dalam penelitian ini berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Data yang di uji diambil
dari nilai tes akhir kelas yang diterapkan model pembelajaran generatif learning. Dari hasil uji
normalitas dapat disimpulkan bahwa nilai siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran Generatif
Learning sebarannya mengikuti distribusi normal.

Adapun hipotesis yang akan di uji adalah :

H0 : µ1 = µ2 : Hasil belajar siswa dengan penerapan model pembelajar Generatif Learning pada
materi Trigonometri di kelas X SMA Negeri 4 Banda Aceh belum mencapai nilai
ketuntasan.

H1 : µ1 > µ2 : Hasil belajar siswa dengan penerapan model pembelajar Generatif Learning pada
materi Trigonometri di kelas X SMA Negeri 4 Banda Aceh sudah mencapai nilai
ketuntasan.

Dalam penelitian ini di ambil µ0 = 65, yang merupakan nilai standar minimal yang telah di tetapkan oleh
SMAN 4 Banda Aceh untuk menyatakan bahwa siswa harus menguasai 65% dari materi yang diajarkan.
Kriteria pengujiannya adalah :
Tolak hipotesis Ho jika 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 ≥ 𝑡1−𝛼 dan terima Ho jika 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 < 𝑡1−𝛼

Dengan taraf signifikan α = 0,05 dan derajat kebebasan dk = (n – 1) = (30 – 1) = 29. Dari tabel distribusi
t diperoleh nilai dk = 29. Dari nilai tersebut di peroleh 𝑡(0,95)(29) = 1,70 .
karena 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 3,48 dan 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,70 , sehingga diperoleh 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 yaitu 3,48 > 1,70
maka tolak hipotesis H0. Dengan demikian hipotesis H1 diterima.

Hal ini menunjukkan bahwa model pembelajaran generative learning efektif diterapkan pada materi
trigonometri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model generative learning dapat mencapai nilai
ketuntasan pada materi trigonometri di kelas X-1 SMAN4 Banda Aceh.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, peneliti mencoba menganalisis pengaruh penerapan model
pembelajaran generative learning terhadap hasil belajar siswa pada materi Trigonometri di kelas X-1
SMA Negeri 4 Banda Aceh. Pada penelitian ini Model generatif Learning dapat membantu siswa dalam
menguasai materi.

Pada tahap eksplorasi, pertanyaan-pertanyaan yang mengarah ke materi sangat diperlukan sehingga
dapat memotivasi siswa untuk memberikan ide/pendapat yang diketahuinya. Selain dapat meningkatkan

197
keberaniaan siswa memberikan pendapat, jawaban siswa tersebut dapat dijadikan sebagai titik tolak
sejauh mana pengetahuan awal siswa memahami materi tersebut.

Pada model generatif learning pembagian kelompok dan pemberian Lembar Kegitan Siswa (LKS)
selain sebagai sarana untuk membangun pengetahuan siswa, bertujuan juga untuk menciptakan interaksi
saling membantu, menghargai dan memberikan dukungan antar sesama teman kelompoknya. Sehingga
apabila ada siswa yang malu untuk bertanya kepada guru dapat menanyakan kepada siswa kelompoknya
yang lebih mengerti. Selain itu siswa juga diajarkan untuk bertanggung jawab atas apa yang telah
mereka kerjakan dengan mempresentasikan hasil kerja kelompoknya. Presentasi dilakukan oleh
perwakilan kelompok siswa yang langsung ditunjuk oleh peneliti. Tugas guru/peneliti disini adalah
untuk menciptakan suasana senyaman mungkin dan tetap saling menghargai dan menghormati antar
kelompok.

Namun demikian, setiap model pembelajaran mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Dari hasil penelitian yang telah peneliti lakukan, kendala-kendala yang dialami peneliti saat menerapkan
model pembelajaran generatif yaitu, kurangnya waktu yang tersedia, kretifitas peneliti dalam
memberikan motivasi sangat menentukan keaktifan siswa mengungkapkan ide/pendapat, banyaknya
siswa yang meminta bimbingan membuat peneliti sulit untuk membimbing secara merata, serta peneliti
tidak dapat mengontrol siswa secara keseluruhan jika ada siswa yang kurang memiliki keinginan
belajar, sehingga siswa itu cenderung pasif saat pembelajaran.

Selain itu terdapat pula hal-hal yang tidak sesuai dengan rencana yang peneliti inginkan pada saat
menerapkan model pembelajaran generatif. Salah satunya yaitu, peneliti menginginkan semua siswa
dapat aktif disaat pembelajaran berlangsung, tetapi hasil yang didapatkan masih ada beberapa siswa
yang kurang aktif serta acuh tak acuh pada saat pembelajaran. Peneliti merumuskan hal ini mungkin
terjadi karena kurang tegasnya peneliti sebagai guru menerapkan model pembelajaran, sehingga ada
beberapa siswa yang kurang menghargai peneliti di kelas. Selain itu pada pertemuan pertama siswa
kurang aktif pada tahap eksplorasi, hal ini karena materi trigonometri merupakan materi yang baru
dikenal oleh siswa. Seharusnya peneliti meminta siswa membaca terlebih dahulu mengenai materi
trigonometri dirumah.

Kesimpulan

Penguasaan materi pada siswa perlu diperhatikan karena berdampak pada hasil belajarnya. Sehingga
guru diharapkan dapat berkreasi dengan model-model pembelajaran yang berpusat pada siswa, agar
siswa tidak mendapatkan pembelajaran yang membosankan.

Model generatif Learning merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat membantu siswa dalam
mencapai ketuntasan belajar. Siswa dapat menguasai materi karena siswa lebih aktif mengkonstruksi
pengetahuan dibenaknya sendiri sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakan dan dapat tersimpan
kedalam memory jangka panjangnya .

Siswa juga lebih komunikatif dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah ke materi sangat
diperlukan sehingga dapat memotivasi siswa untuk memberikan ide/pendapat yang diketahuinya.
Dengan disertai adanya pembagian kelompok dan pemberian Lembar Kegitan Siswa (LKS) selain
sebagai sarana untuk membangun pengetahuan siswa, bertujuan juga untuk menciptakan interkasi saling
membantu, menghargai dan memberikan dukungan antar sesama teman kelompoknya.

Saran

a) Diharapkan kepada guru untuk dapat menjadikan model pembelajaran generatif sebagai salah
satu alternatif yang digunakan untuk mengatasi masalah keaktifan dan ketuntasan belajar
siswapada materi trigonometri, maupun pada materi lain yang sesuai dengan model
pembelajaran ini.

b) Diharapkan kepada guru yang ingin menerapkan model pembelajaran generatif ini agar
menciptakan suasana belajar yang baik agar waktu yang digunakan lebih efisien.

198
c) Bagi guru yang ingin menerapkan pembelajaran generatif menyiapkan materi sebaik mungkin
serta menguasai model langkah-langkahnya.

d) Hasil penelitian ini hendaknya dapat dijadikan sebagai salah satu informasi untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran dan prestasi belajar siswa khususnya pada pelajaran
matematika.

Daftar Pustaka

Arikunto, Suharsimi. (2010). Evaluasi Pendidikan. Bandung: Rineka cipta.

Fahinu. (2013). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Keritis dan Memandirikan Belajar Matematika
pada Mahasiswa melalui Pembelajaran Generatif. Disertasi : Universitas Pendidikan
Indonesia

Hudujo, Herman.(1988). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: Penerbit


IKIP Malang.

Lusiana. (2009). Penerapan Model Pembelajaran Generatif (MPG) untuk Pelajaran Matematika di
Kelas X SMA Negeri 8 Palembang. JURNAL PENDIDIKAN MATEMATIKA VOLUME 3.
NO. 2 DESEMBER 2009

Mahayukti, Gst Ayu. (2003). Penerapan Model Pembelajaran Generatif (MPG) untuk Pelajaran
Matematika di Kelas X SMA Negeri 8 Palembang.
Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 2 TH. XXXVI April 2003

Sudjana. (2005). Metode Statistika. Bandung: Tarsito Bandung.

Wena, Made. (2009). Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer (Suatu Tinjauan Konseptual
Operasional). Jakarta: Bumi Aksa.

199
ASPEK SIKAP MAHASISWA PENDIDIKAN MATEMATIKA TERHADAP
PELAKSANAAN PERKULIAHAN SEJARAH MATEMATIKA

RM Bambang1, Usman2 , Rahmat Fitra3


1,2
Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala
3
Prodi Magister Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala

Abstrak. Sikap mahasiswa terhadap perkuliahan merupakan salah satu komponen


penting yang harus diperhatikan dosen/guru dalam pembelajaran. Karena sikap
menunjukkan perilaku pemahaman, perasaan, dan berbuat seorang mahasiswa terhadap
suatu matakuliah/pelajaran. Dengan demikian diperlukan menyelidiki terhadap sikap
mahasiswa terhadap pelaksanaan perkuliahan sejarah matematika. Tujuan penelitian ini
adalah mendeskripsikan sikap mahasiswa terhadap pelaksanaan perkuliahan sejarah
matematika program studi pendidikan matematika FKIP Unsyiah. Teknik pengambilan
data dengan menggunakan angket. Hasil analisis data diperoleh sikap mahasiswa
terhadap pelaksanaan perkuliahan sejarah matematika program studi pendidikan
matematika FKIP Unsyiah yaitu sikap mahasiswa terhadap tujuan dan isi matakuliah
sejarah matematika, sikap mahasiswa terhadap cara mempelajari materi sejarah
matematika,sikap mahasiswa terhadap dosen yang mengajar sejarah matematika, dan
sikap mahasiswa terhadap upaya memperdalam materi sejarah matematika.

Kata kunci: Sikap, Sejarah Matematika

Pendahuluan

Sejarah matematika merupakan salah satu mata kuliah wajib bagi mahasiswa program studi pendidikan
matematika FKIP Unsyiah. Mata kuliah ini mendeskripsikan tentang filsafat pendidikan matematika:
matematika dan warisan budaya, perkembangan matematika, berpikir matematika, sifat kebenaran
matematika, pondasi dan landasan matematika, matematika sebagai seni dan model, serta tokoh-tokoh
matematika. Tujuan mata kuliah ini diharapkan mahasiswa memiliki wawasan tentang hakekat
matematika, filsafat matematika, dan perkembangan matematika. Oleh karena itu, mahasiswa sebagai
calon guru matematika harus menguasai sejarah matematika sebagai salah satu media dalam
melaksanakan pembelajaran di sekolah

Sikap merupakan salah satu komponen penting dalam pembelajaran matematika di perguruan tinggi.
Sikap mahasiswa terhadap matakuliah sejarah matematika dapat dipandang sebgai cerminan proses
pembelajaran yang terjadi di kelas. Proses pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk aktif melakukan aktifitas matematika dan diberi kesempatan untuk berinteraksi serta
bernegosiasi baik dengan teman sesama kelompok maupun teman pada kelompok yang lain atau
terhadap dosennya akan memungkinkan mahasiswa merasa tidak tertekan, tidak cemas, rasa percaya
diri muncul dan termotivasi untuk belajar. Bila hal tersebut dapat dikembangkan dalam proses
pembelajaran maka sikap positif mahasiswa terhadap sejarah matematika akan tumbuh. Hal ini sesuai
pendapat Ma, X (1997) mengingat adanya korelasi positif antara sikap terhadap matematika dengan
hasil belajar. Demikian juga pendapat Saiful (2006), sikap siswa yang positif terutama kepada
guru/dosen dan materi mata pelajaran/matakuliah yang disajikan merupakan pertanda awal yang baik
bagi proses belajar siswa tersebut. Sebaliknya, sikap negatif siswa/mahasiswa terhadap guru/dosen dan
materi pelajaran/matakuliah, apabila jika diiringi kebencian kepada guru/dosen maka materi yang
disajikan dapat menimbulkan kesulitan belajar siswa/mahasiswa.
Namun pengalaman tim pengasuh matakuliah sejarah matematika selama ini, sikap mahasiswa terhadap
pelaksanaan perkuliahan sejarah matematika belum tumbuh optimal. Sikap mereka dalam perkuliahan
seperi kurang termotivasi dalam belajar sejarah matematika. Hal ini ditandai dengan rendahnya minat
mahasiswa membaca, bertanya atau menjawab pertanyaan dosen. Selain itu, suasana kegiatan
perkuliahan bersifat pasif. Minat mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan sejarah merupakan salah
satu unsur yang sangat penting dalam pelaksanaan perkuliahan. Dosen perlu memberikan dan
mendorong mahasiswa untuk Hal ini ditandai dengan memperlihatkan minat dan perhatian yang serius
terhadap apa yang dipelajari. Oleh karena itu, yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah
bagaimana sikap mahasiswa terhadap pelaksanaan perkuliahan sejarah matematika.

200
Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan sikap mahasiswa
terhadap pelaksanaan perkuliahan sejarah matematika program studi pendidikan matematika FKIP
Unsyiah.

Landasan Teori

Pembelajaran di Perguruan Tinggi


Menurut Hamalik (2010:57) pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur
manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan
pembelajaran. Suherman (2003:8) menjelaskan pembelajaran ditinjau dari konsep komunikasi adalah
proses komunikasi fungsional antara mahasiswa dengan dosen dan mahasiswa dengan mahasiswa
dalam rangka perubahan sikap dan pola pikir yang akan menjadi kebiasaan bagi mahasiswa yang
bersangkutan. Dosen berperan sebagai komunikator, mahasiswa sebagai komunikan dan materi yang
dikomunikan berisi pesan berupa ilmu pengetahuan. Dalam komunikasi banyak arah dalam
pembelajaran, peran-peran tersebut bisa berubah yaitu antara dosen dengan mahasiwa dan sebaliknya,
serta antara mahasiswa dengan mahasiswa. Ratumanan (2004) menjelaskan pembelajaran menurut
pandangan terori konstruktivis adalah suatu kondisi dimana dosen membantu mahasiswa untuk
membangun konsep pengetahuan dengan kemampuannnya sendiri melalui konsep internalisasi
sehingga pengetahuan dapat terkonstruksi kembali. Fungsi pembelajaran adalah membagun
pemahaman terhadap informasi (pengetahuan). Proses membangun pemahaman inilah yang lebih
penting dari pada hasil belajar sebab pemahaman materi yang dipelajari akan bermakna. Tekanan
belajar tidak mengutamakan perolehan pengetahuan yang banyak tetapi yang lebih utama adalah
memberi interpretasi melalui skemata yang dimiliki siswa.

Sikap Mahasiswa Terhadap Perkuliahan


Afektif merupakan salah satu komponen penting dalam pembelajaran matematika. Maker menyatakan
bahwa terdapat suatu komponen kognitif pada setiap komponen tujuan afektif dan sebaliknya juga
terdapat komponen afektif pada setiap tujuan kognitif sehingga tidak mungkin untuk memisahkan
domian kognitif dengan domain afektif dalam pembelajaran matematika. Sikap merupakan salah satu
komponen dari ranah afektif. Aiken (Ma, X, 1997) menjelaskan sikap sebagai kecenderungan seseorang
untuk merespon secara positif atau negatif suatu objek, situasi, konsep, atau orang lain. Neale (Ma X,
1997) menjelaskan sikap sebagai kurang suka atau tidak suka seseorang tentang matematika, yaitu
kecenderungan seseorang untuk terlibat atau mengindarkan dari kegiatan matematika.

Menurut Bahri (2006:130), sikap adalah gejala internal yang berdimensi efektif berupa kecenderungan
untuk mereaksi atau merespon (respon tendency) dengan cara yang relatif tetap terhadap objek orang,
barang, dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif. Sudjana (2010) menjelaskan sikap adalah
kecenderungan berperilaku pada seseorang. Sikap juga dapat diartikan reaksi seseorang terhadap suatu
stimulus yang datang kepada dirinya. Lebih lanjut Sudjana menjelaskan, ada tiga komponen sikap,
yaitu: kognisi, afeksi, dan konasi. Kognisi berkenaan dengan pengetahuan seseorang tentang objek atau
stimulus yang dihadapnya, afeksi berkenaan dengan perasaan dalam menanggapi objek tersebut, dan
konasi berkenaan dengan kecenderungan berbuat, berkenaan dengan objek. Oleh sebab itu, sikap
mahasiswa selalu bermakna bila dihadapkan kepada objek tertentu, misalnya sikap mahasiswa terhadap
matakuliah pelaksanaan perkuliahan sejarah matematika.

Hudoyo (1990:99) menjelaskan sikap adalah macam motivasi yang biasanya digunakan untuk mengacu
kepada gagasan yang berkaitan dengan emosi. Sikap ini terarah atau terpusat kepada sesuatu. Misalnya
seseorang peserta didik menyukai matematika.Tentu sikapnya itu mempengaruhi tingkah lakunya
terhadap matematika. Karena itu, sikap juga merupakan motivasi. Lebih lanjut Hudoyo menjelaskan,
sikap seringkali membuat topik baru (konsep atau teorema) dapat dipengaruhi lebih mudah atau lebih
sukar. Sikap tidak menyukai matematika merupakan salah satu hambatan untuk belajar matematika
yang efektif.

Russefendi (1988: 234) menjelaskan sikap seseorang terhadap sesuatu itu erat sekali kaitannya dengan
minat; sebagian bisa tumpang tindih , sebagai dari sikap itu merupakan akibat dari minat. Misalnya,
karena siswa berminat terhadap matematika ia suka mengerjakan pekerjaan rumah. Itu suatu pertanda
bahwa siswa itu bersikap positif terhadap matematika. Lebih lanjut Russefensi menjelaskan sikap itu
paling tidak dapat dikelompokkan ke dalam tiga macam: sikap positif, sikap netral, dan sikap negatif.

201
Pengelompokkan yang lebih rinci, misalnya: positif sekali, positif netral, netral dan negatif, dan negatif
sekali.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, sikap adalah kecenderungan berperilaku pada seseorang yang
meliputi kognisi, afeksi, dan konasi. Berkaitan dengan pelaksanaan perkuliahan sejarah matematika,
sikap mahasiswa terhadap pelaksanaan perkuliahan sejarah matematika adalah kecenderungan perilaku
mahasiswa yang meliputi kognisi, afeksi, dan konasi terhadap pelaksaaan perkuliahan sejarah
matematika. Misalnya seseorang mahasiswa menyukai matakuliah sejarah matematika, tentu sikapnya
juga mempengaruhi tingkah laku terhadap matakuliah sejarah matematika. Oleh karena itu, sikap juga
merupakan motivasi. Jika seorang mahasiswa sikap positif terhadap perkuliahan sejarah matematika
misalnya dosen, materi dan strategi pembelajaran maka sikap ini menujukkan pertanda yang baik bagi
proses belajar mahasiswa. Sebaliknya, sikap seorang mahasiswa tidak menyukai perkuliahan sejarah
matematika maka mahasiswa akan menimbulkan kesulitan belajar sejarah matematikat. Selain itu, sikap
terhadap ilmu pengetahun yang bersifdat conservih seperti yang diuraikan sebelumnya, walaupun
mungkin tidak menimbulkan kesulitan belajar, namun yang dicapai hasil belajar yang icapai mahasiswa
kurang memuaskan.

Untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya sikap negatif siswa seperti di atas, dosen dituntut untuk
terlebih dahulu menunjukkan sikap positif terdadap dirinya dan terhadap mata kuliah yang diasuh.
Dalam hal bersikap positif terhadap mata kuliah yang diasuh, seorang dosen sangat dianjurkan untuk
senantiasa menghargai dan mencintai profesinya. Dosen yang demikian tidak hanya menguasai materi-
materi yang terdapat dalam mata kuliah yang diasuh, tetapi juga mampu meyakinkan mahasiswa akan
manfaat materi matakuliah dalam kehidupan sehari-hari mereka kelak menjadi guru. Dengan meyakini
manfaat mata kuliah tertentu, mahasiswa akan merasa membutuhkannya dan dari perasaan butuh itulah
diharapkan muncul sikap positif terhadap mata kuliah sekaligus terhadap dosen yang mengajarkannya.

Menurut Russefendi (1991), sikap seseorang terhadap sesuatu (misalnya terhadap sejarah matematika)
erat kaitan dengan minat seseorang terhadap sesuatu itu. Agar mahasiswa pendidikan matematika
berminat atau tertarik terhadap sejarah matematika paling tidak mahasiswa harus dapat melihat
kegunaannya, melihat keindahannya atau karena sejarah matematika sebagai materi yang menentang.
Mungkin juga mahasiswa tertarik kepada sejarah matematika karena tokoh-tokoh matematika dan
karyanya, atau tokoh-tokoh matematika ini dapat menyelesaikan soal-soal matematika yang menentang.

Untuk mengetahui sikap mahasiswa terhadap pelaksanaan perkuliahan sejarah matematika maka
diperlukan alat ukur. Menurut Sudjana (2010), skala sikap digunakan untuk mengukur sikap seseorang
terhadap objek tertentu. Hasilnya berupa kategori sikap, yakni mendukung (positif), menolak (negatif)
dan netral. Lebih lanjut Sudjana menjelaskan skala sikap dinyatakan dalam bentuk pernyataan untuk
dinilai oleh responden, apakah pernyataan itu diukung atau ditolaknya melalui rentangan nilai tertentu.
Salah satu skala yang sering digunakan adalah skala Likert. Dalam skala Likert, pernyataan-pernyataan
yang diajukan, baik pernyataan positif maupun negatif, dinilai oleh subjek dengan sangat setuju, setuju,
tidak punya pendapat, tidak setujua dan sangat tidak setuju.

Berkaiatan penelitian ini, sikap mahasiswa terhadap pelaksanaan perkuliahan sejarah matematika dibagi
menjadi empat variabel yaitu: sikap mahasiswa terhadap tujuan dan isi matakuliah sejarah matematika,
sikap mahasiswa terhadap cara mempelajari materi sejarah matematika, sikap mahasiswa terhadap
dosen yang mengajar sejarah matematika dan sikap mahasiswa terhadap upaya memperdalam materi
sejarah matematika.

Karakteritik Sejarah Matematika


Menurut Sukardjono (2003:1) menjelaskan mata kuliah filsafat dan sejarah matematika memberi
fasilitas kepada mahasiswa untuk membangun (konstruksi) pengertian, sikap dan nilai mahasiswa
tentang apa dan siapa matematika ditinjau dari filsafat dan sejarahnya sehingga terbuka kemungkinan
pembelajaran matematika di SMP atau SMA akan makin efektif. Menurut Williams (Sukardjono, 2003:
1) menyatakan tidak sesorang guru pun dapat melakukan tuganya dengan efektif dan kreatif tanpa
pemahaman yang cukup terhadap perkembangan bidang syudi yang diasuhnya. Karena itu, mata kuliah
sejarah matematika sangat penting bagi mahasiswa calon guru matematika SMP atau SMA yang
tentunya setiap saat, selalu bersedia untuk meningkatkan mutu pembelajarannya. Dengan mempelajari
mata kuliah sejarah matematika, mahasiswa akan lebih mantap dan percaya diri dalam melakukan
pembelajaran matematika di kelas. Dengan kata lain, sebagai guru matematika akan makin profesional.

202
Tambunan (1987) menjelaskan beberapa kegunaan dan nilai sejarah matematika untuk pembelajaran
matematika dan pengembangan matematika selanjutnya antara lain: (1) matematika disajikan sebagai
suatu subjek yang dinamis dan progresif, (2) tidak hanya mengingatkan kita tentang masa silam, tetapi
mengajar kita memperluas perbendaharaan pengetahuan kita, (3) banyak topik dalam matematika yang
dapat diajarkan kepada siswa untuk tidak mengambil kesimpulan yang tergesa-gesa, (4) banyak topik
dalam matematika yang dapat diajarkan melalui diskusi sejarahnya, (5) menghemat waktu siswa untuk
menyelesaikan soal, dengan menghindari metode yang gagal dipakai oleh ahli matematika terdahulu,
(6) siswa akan mengetahui bahwa matematika itu dikembangkan dasarnya adalah manusia, (7) semua
istilah, konsep dan kesepakatam dapat dipahami dengan baik hanya dengan referensi latar belakang
sejarah, (8) mempertimbangkan bahwa matematika adalah buatan manusia, sehingga siswa merasakan
bahwa mereka juga dapat dikonstribusikan terhadap pengembangannya, (9) mengungkapkan bawah
semua cabang matematika dikembangkan berhubungan satu dengan lainnya sehingga dapat mencegah
siswa dari partisi matematika yang saling asing, (10) mengungkapkan bagaimana para ahli matematika
berjuang mati-matian untuk mengembangkan matematika sehingga membangkitkan minat siswa untuk
melakukan eksperimen.

Metode Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang dikemukakan sebelumnya, penelitian termasuk jenis penelitian
survey dengan pendekatan penelitian deskriptif. Populasi penelitian ini adalah mahasiswa program studi
pendidikan matematika FKIP Unsyiah tahun akademik 2012/2013. Sedangkan sampel adalah
mahasiswa yang diambil secara acak dari 123 orang sebanyak 30 orang mahasiswa.

Data yang menyatakan sikap mahasiswa terhadap pelaksanaan perkuliahan sejarah matematika
dikumpulkan dengan menggunakan angket. Teknik penyusunan angket mengacu pada skala Likert.
Setiap butir skala sikap tersebut terdiri dari penyataan positif dan pernyataan negatif. Banyak butir
pernyataan adalah 15 butir dan setiap pernyataan dilengkapi lima pilihan jawaban, yaitu sangat setuju
(SS), setuju (S), ragu-ragu atau tidak tahu (RR), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Teknik
analisis data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan statitik deskriptif. Analisis data
dilakukan dengan menghitung prosentase responden memilih setiap butir pernyataan tentang sikap
mahasiswa.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Hasil penelitian terhadap 30 mahasiswa yang mengisi angket sikap mahasiswa terhadap pelaksanaan
perkuliahan sejarah matematika dibagi menjadi 4 sikap yaitu: sikap mahasiswa terhadap tujuan dan isi
matakuliah sejarah matematika, sikap mahasiswa terhadap cara mempelajari materi sejarah matematika,
sikap mahasiswa terhadap dosen yang mengajar sejarah matematika dan sikap mahasiswa terhadap
upaya memperdalam materi sejarah matematika.

Sikap Mahasiswa terhadap Tujuan dan Isi Matakuliah Sejarah Matematika

Hasil jawaban mahasiswa terhadap butir pernyataan adalah saya tidak perlu memahami tujuan
perkuliahan sejarah matematika mahasiswa menjawab: 6,67 tidak setuju dan 93,3% menjawab sangat
tidak setuju. Sikap ini termasuk dalam kategori sikap menolak (negatif). Respon mahasiswa terhadap
isi mata kuliah sejarah matematika tidak sesuai dengan kehidupan sehari-hari diperoleh 83,3%
mahasiswa tidak setuju dan 16,7% mahasiswa sangat tidak setuju. Sikap ini termasuk sikap menolak
(negatif). Respon mahasiswa terhadap materi sejarah matematika diterapkan dalam menyelesaikan
soal-soal matematika sekolah diperoleh 30 % mahasiswa sangat setuju dan 70% mahasiswa setuju.
Respon ini termasuk dalam kategori respon mendukung (positip). Sikap terakhir pada bagian ini adalah
30% mahasiswa sangat setuju dan 70% setuju bahwa mahasiswa merasa banyak matakuliah lain yang
memerlukan materi sejarah matematika. Sikap ini termasuk dalam kategori sikap mendukung (positif).

Sikap Mahasiswa terhadap Cara Mempelajari Materi Sejarah Matematika

Hasil jawaban mahasiswa terhadap butir pernyataan adalah matakuliah sejarah matematika harus
menarik minat mahasiswa menjawab: 6,67 % sangat setuju dan 93,3 % setuju. Sikap mahasiswa
terhadap mahasiswa merasa untuk mempelajari mata kuliah sejarah matematika perlu banyak membaca
buku-buku diperoleh 6,67% sangat setuju dan 93,3% setuju. Sikap ini termasuk kategori sikap

203
mendukung (positif). Sikap mahasiswa terhadap mahasiswa semakin banyak buku, modul, bahan ajar
sejarah matematika yang saya pelajari semakin jelas materi yang dipelajari diperoleh 10 % sangat setuju
dan 90 % setujua. Sikap mahasiswa terhadap bahwa paham terhadap materi yang disajikan dalam mata
kuliah sejarah matematika belum menjamin senang terhadap mata kuliah sejarah matematika diperoleh
10% sangat setuju dan 90 % setuju. Kedua sikap ini termasuk kategori sikap mendukung (positif).

Sikap Mahasiswa terhadap Dosen yang Mengajar Sejarah Matematika

Hasil jawaban mahasiswa diperoleh: matakuliah sejarah matematika harus menarik minat mahasiswa
menjawab diperoleh 6,67 % sangat setuju dan 93,3 % setuju. Sikap mahasiswa terhadap materi sejarah
matematika perlu dipelajari dengan menggunakan media pembelajaran diperoleh 10% sangat setuju dan
90 % setuju. Sikap mahasiswa terhadap mahasiswa senang bila dosen sejarah matematika memberi
pekerjaan rumah diperoleh 26,67% sangat setuju, 66,76% setuju dan 6,67 % ragu-ragu. Ketiga sikap
mahasiswa tersebut termasuk kategori sikap mendukung (positif).

Sikap Mahasiswa terhadap Upaya Memperdalam Materi Sejarah Matematika.

Hasil jawaban mahasiswa diperoleh: mahasiswa berpendapat soal-soal sejarah matematika tidak sulit
apabila diselesaikan dengan sungguh-sungguh diperoleh 6,67% sangat setuju dan 93,3% setuju. Sikap
mahasiswa terhadap mempelajari materi sejarah matematika memerlukan berbagai buku, modul, dan
bahan ajar diperoleh 10% sangat setuju dan 90 % setuju. Kedua sikap ini termasuk kategori sikap
mendukung (positif).

Berdasarkan hasil analisis diperoleh sikap mahasiswa terhadap tujuan dan isi matakuliah sejarah
matematika yaitu sikap menolak terhadap tidak perlu memahami tujuan perkuliahan sejarah matematika
mahasiswa dan sikap menolak terhadap isi mata kuliah sejarah matematika tidak sesuai dengan
kehidupan sehari-hari. Sedangkan sikap mendukung terhadap materi sejarah matematika diterapkan
dalam menyelesaikan soal-soal matematika sekolah dan banyak matakuliah lain yang memerlukan
materi sejarah matematika. Sikap mahasiswa terhadap cara mempelajari materi sejarah matematika
yaitu: sikap mendukung terhadap matakuliah sejarah matematika harus menarik minat mahasiswa dan
mahasiswa merasa untuk mempelajari mata kuliah sejarah matematika perlu banyak membaca buku-
buku, sikap menerima terhadap mahasiswa semakin banyak buku, modul, bahan ajar sejarah
matematika yang saya pelajari semakin jelas materi yang dipelajari, dan sikap menerima terhadap
memahami terhadap materi yang disajikan dalam mata kuliah sejarah matematika belum menjamin
senang terhadap mata kuliah sejarah matematika. Sikap mahasiswa terhadap dosen yang mengajar
sejarah matematika yaitu sikap mahasiswa mendukung terhadap matakuliah sejarah matematika harus
menarik minat mahasiswa menjawab dan mendukung terhadap materi sejarah matematika perlu
dipelajari dengan menggunakan media pembelajaran, dan sikap senang bila dosen sejarah matematika
memberi pekerjaan rumah. Sikap mahasiswa terhadap upaya memperdalam materi sejarah matematika,
yaitu sikap mendukung terhadap soal-soal sejarah matematika tidak sulit apabila diselesaikan dengan
sungguh-sungguh dan mendukung terhadap mempelajari materi sejarah matematika memerlukan
berbagai buku, modul, dan bahan ajar.

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa sikap mahasiswa terhadap mata
kuliah sejarah matematika yaitu sikap mahasiswa terhadap tujuan dan isi matakuliah sejarah
matematika, sikap mahasiswa terhadap cara mempelajari materi sejarah matematika,sikap mahasiswa
terhadap dosen yang mengajar sejarah matematika, dan sikap mahasiswa terhadap upaya memperdalam
materi sejarah matematika. Dengan demikian kepada dosen khususnya matakuliah sejarah matematika
dan matakuliah lainnya untuk meningkatkan sikap baik mahasiswa terhadap pelaksanaan perkuliahan.

Daftar Pustaka

Bahri, Saiful, dkk. (2008). Psikologi Pendidikan. Darusalam: FKIP Unsyiah

Herman, Hudoyo. (1990). Strategi Mengajar Belajar Matematika. Malang: IKIP Malang

204
Ma, X. (1997). Assessing the Relationship Between Attitude Toward Mathematics and Achievement in
mathematics: A Meta-Analisis. Juornal for Research in Mathematics Education, 28 (1) 26-
47.

Russefendi. E.T.(1991). Pengantar Kepada Membantu Guru mengembangkan Kompetensinya dalam


Pengajaran Matematika untuk meningkatkan CBSA. Perkembangan Kompetensi Guru.
Bandung: Tarsito

Sudjana, Nana. (2010). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya

Sudjana, Nana dan Ibrahim. (2001). Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Jakarta: Sinar Baru
Algensindo

Sukardjono. (2003). Filsafat dan Sejarah Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka

Tambunan, G. (1987). Materi Pokok 2 Hakikat Pengajaran dan Sejarah Matematika. Jakarta:
Universitas Terbuka

205
PENERAPAN MODEL KOLB’S LEARNING STYLE (KLS) DALAM
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MATERI
LINGKARAN KELAS VIII SEMESTER II DI SMP NEGERI 16 BANDA
ACEH TAHUN PELAJARAN 2009/2010

Siti Nurbaya
Guru SMP Negeri 16 Banda Aceh

Abstrak. Rumusan masalah dalam penelitian tindakan kelas ini adalah Apakah Model
Pembelajaran Kolb’s Learning Style dapat meningkatkan hasil belajar siswa SMP Negeri
16 Banda Aceh Tahun Pelajaran 2009/2010. Tujuan dari penelitian tindakan kelas ini
Untuk meningkatkan hasil belajar siswa melalui Model Pembelajaran Kolb’s Learning
Style yang diajarkan dikelas. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP 16
Banda Aceh Tahun Pelajaran 2009/2010. Dalam penelitian ini dipilih satu kelas yaitu
kelas VIII berjumlah 26 orang. Alat yang digunakan dalam pengumpulan data pada
penelitian ini adalah Tes dan Observasi. Peningkatan hasil penguasaan materi lingkaran
dapat dilihat juga dari hasil evaluasi siswa. Hasil penelitian sebelum diberi tindakan,
tingkat ketuntasan belajar siswa secara klasikal hanya sebesar 34,6%, setelah pemberian
tindakan melalui pembelajaran dengan model Kolb Learning Style pada siklus I tingkat
ketuntasan belajar siswa secara klasikal sebesar 65,3%, ini berarti terjadi peningkatan
sebesar 30,7% dari tes sebelumnya. Kemudian setelah pemberian tindakan pada siklus II
melalui pembelajaran model Kolb Learning Style diperoleh tingkat ketuntasan belajar
siswa secara klasikal sebesar 84,6%, ini berarti mengalami peningkatan sebesar 21,3%.
Dengan melakukan tindakan melalui model Kolb Learning Style dikelas VIII SMP 16
Banda Aceh dapat meningkatkan hasil belajar siswa, karena siswa lebih laluasa untuk
menyelesaikan soal secara induvidual materi lingkaran.

Kata kunci: penerapan model kolb’s (KLS), meningkatkan hasil belajar matematika,
lingkaran.

Pendahuluan

Kurikulum matematika disempurnakan untuk meningkatkan mutu pendidikan matematika. Pendidikan


matematika merupakan salah satu wahana untuk meningkatkan kualitas manusia, terutama ditengah
kemajuan IPTEK seperti sekarang ini. Dengan demikian, tuntutan untuk terus menerus memuktahirkan
pengetahuan matematika menjadi suatu keharusan. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan relevansi
program pembelajaran matematika dengan keadaan dan kebutuhan setempat.

Memperhatikan bahwa matematika menempati posisi penting dalam sistem pendidikan maka
seharusnya pembelajaran matematika.

Dari uraian diatas dapat diasumsikan bahwa mata pelajaran matematika mempunyai nilai yang strategis
dan penting dalam mempersiapkan siswa yang unggul dan pintar. Hal yang menjadi hambatan selama
ini dalam pembelajaran matematika kelas VIII SMP Negeri 16 Banda Aceh adalah disebabkan kurang
dikemasnya pembelajaran matematika dengan model atau metode pembelajaran yang menarik,
menantang dan menyenangkan.

Rendahnya kreatifitas siswa dalam proses belajar mengajar dapat mengakibatkan proses belajar menjadi
kurang optimal sehingga materi yang disajikan menjadi tidak tuntas.

Melihat situasi dan kondisi kelas VIII SMP Negeri 16 Banda Acehyang berjumlah 26 siswa, dalam segi
kreatifitas dari 26 siswa yang mampu mengembangkan imajinasinya hanya 5 siswa maka persentasenya
sebesar 19,2%. Dan kemampuan untuk menjawab pertanyaan dari 26 siswa hanya 15 siswa saja yang
mampu maka persentasenya sebesar 57,69 %.

206
Untuk melibatkan siswa secara fisik dan menumbuhkan kreatifitas pola berfikir, penggunaan model
pembelajaran harus dilakukan. Sementara itu menumbuhkan kreatifitas belajar siswa terhadap pelajaran
matematika dalam proses pembelajaranya dapat menggunakan model kolb’s learning style (KLS).

Dalam proses belajar menurut KLS terdapat dua aspek atau dimensi yakni pengalaman langsung yang
konkrit pada satu pihak dan konseptualisasi abstrak pada pihak lain. Menyadari hal ini sudah sepatutnya
diusahakan perbaikan pembelajaran yang salah satunya dengan lebih memfokuskan pada pembelajaran
yang mengaktifkan siswa.

Berdasarkan data-data diatas maka peneliti terdorong untuk melakukan penelitian dengan judul : ”
Penerapan Model Kolb’s Learning Style (KLS) dalam Meningkatkan Hasil Belajar Matematika
Materi Lingkaran Kelas VIII Semester II di SMP Negeri 16 Banda Aceh Tahun Pelajaran
2009/2010”.

Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalahnya dalam penelitian ini adalah :
 Apakah Model Pembelajaran Kolb’s Learning Style dapat meningkatkan hasil belajar siswa
SMP Negeri 16 Banda Aceh ?

 Bagaimana aktifitas siswa selama mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model Kolb’s
Learning Styel .

Tujuan Penelitian
Berpedoman pada rumusan masalah diatas maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagi
berikut:
 Untuk meningkatkan hasil belajar siswa melalui Model Pembelajaran Kolb’s Learning Style
yang diajarkan dikelas.
 Untuk mengetahui aktifitas hasil belajar siswa selama mengikuti pembelajaran dengan
menggunakan model Kolb’s Learning style.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :
 Guru, yaitu sebagai informasi untuk memberikan gambaran tentang hasil belajar siswa dengan
menggunakan model pembelajaran Kolb’s Learning Style.
 Sekolah, yaitu sebagai sumbangan pemikiran dalam rangka perbaikan pengajaran.
 Peneliti, yaitu untuk menambah wawasan penulis menjalankan tugas sebagai pengajar masa
yang akan datang.

Landasan Teoritis

Pengertian Belajar Matematika


Pengertian belajar adalah suatu proses perubahan yang terjadi pada diri seseorang. Perubahan itu dapat
terjadi dalam bidang keterampilan, kebiasaan, sikap, pengertian, pengetahuan, atau aprsiasi.
Beberapa pandapat Menurut Para ahli tentang pengertian pembelajaran :

Menurut G.A. Kimble dan Lisnawati (2002: 38) menyatakan bahwa “Belajar adalah perubahan yang
relative menetap dalam potensi tingkah laku yang terjadi sebagai hasil latihan”.

Menurut Edward walker (1973: 66) menyatakan bahwa “Belajar adalah suatu perubahan dalam
pelaksanaan tugas yang terjadi sebagai hasil pengalaman dan tidak ada sangkutpautnya dengan
kematangan rohani”.

Manurut Slameto (2003: 2) pengertian belajar dapat diartikan sebagai berikut : “Belajar ialah suatu
proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru
secara keseluruhan sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.”

Menurut Sudirman AM (1992: 23) menyatakan bahwa “Belajar adalah perubahan tingkah laku atau
penampilan dengan serangkaian kegiatan, misalnya membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan
sebagainya’’

207
Dari pendapat para ahli diatas, belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku ynag kegiatannya
terproses dan disertai dengan usaha-usaha serta merupakan unsur yang sangat mendasar dalam
penyelesaian setiap jenis dan jenjang pendidikan dan tidak terlepas dari pengaruh lingkungan

Selanjutnya Hudoyo (1988: 3) mengatakan “Mempelajari matematika haruslah bertahap dan berurutan
serta berdasarkan kepada pengalaman belajar yang lalu”. Hal ini dikarenakan matematika itu memiliki
objek dasar itu berkembang menjadi objek lain, misalnya pola-pola dan struktur dalam matematika.
Oleh sebab itu Hudoyo (1988: 4) melanjutkan bahwa “ Belajar matematika yang terputus-putus akan
mengganggu terjadinya proses belajar”.

Pengertian Hasil Belajar

Keberhasilan belajar diartikan bahwa suatu proses belajar mengajar tentang suatu bahan pengajaran
dinyatakan berhasil apabila satuan pengajarannya telah tercapai. Hasil belajar adalah kapasitas orang
memungkinkan beragam penampilan. Hal ini sesuai dengan beberapa pendapat, diantaranya hasil
belajar adalah suatu perubahan yang terjadi pada individu yang belajar, bukan saja perubahan yang
mengenai pengetahuan tetapi juga perubahan membentuk kecakapan, kebiasaan, sikap pengertian dan
penguasaan dalam diri individu yang belajar.

Jika menginginkan hasil belajar yang baik dan memuaskan, maka siswa tersebut harus belajar dibarengi
dengan sikap ketekunan, ketahanan, dan keuletan serta keinginan yang kuat untuk belajar. Namun untuk
memperoleh hasil ynag baik juga tidak terlepas dari cara atau metode yang digunakan guru dalam
menyajikan pelajaran.

Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar yaitu :


a. Kematangan kecerdasan
b. Latihan dan Ulangan
c. Sifat-sifat pribadi seorang anak didik.
d. Keadaan keluarga dan lingkungan
e. Guru dan cara mengajar
f. Alat-alat pengajaran.

Pengertian Model Pembelajaran Matematiaka

Menurut Briggs (dalam wina sanjana, 2006: 23) bahwa “model adalah seperangkat prosedur yang
berurutan untuk mewujudkan suatu proses, seperti penilaian kebutuhan, pemilihan media dan evaluasi”.
Sedangkan menurut harjanto (2008: 34) bahwa model adalah “kerangka konseptual yang digunakan
sebagai pedoman dalam melakukan kegiatan”. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka yang dimaksud
dengan model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang menyajikan prosedur yang sistematis
dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar.

Model pada pembelajaran matematika memiliki peranan yang sangat penting dalam pembelajaran
karena model-model matematika akan membawa setiap siswa untuk menjadi lebih efektif dalam belajar.
Tentunya seorang guru dituntut untuk mampu mengembangkan serta menerapkannya dalam proses
pembelajaran. Sehingga dengan demikian efektifitas pembelajaran matematika akan berjalan dengan
baik dan berkualitas. Tentunya model yang diterapkan harus juga dilihat berdasarkan kepada tingkat
psikologi dari setiap pembelajaran sehingga siawa pun dapat mengaplikasikan dan menerapkannya
sesuai dengan kemampuan daya berfikir mereka.

Pengertian Gaya Belajar


Ada beberapa defenisi tentang gaya belajar yang dikemukakan oleh para ahli :
Ardhana dan willis dalam yosep gobai menyatakan bahwa gaya belajar atau learning style adalah suatu
karakteristik kognitif, efektif dan perilaku psikomotoris sebagai indicator yang bertindak relatife stabil
untuk belajar merasa saling berhubungan dengan bereaksi terhadap lingkungan belajar.

Menurut Gunawan menyatakan bahwa gaya belajar adalah cara yang lebih kita sukai dalam melakukan
kegiatan berfikir, memproses dan mengerti suatu informasi. Gordon Driden (2005: 94) mendefenisikan

208
gaya belajar adalah “gaya belajar adalah pola siswa yang konsisten dari tingkah laku dan penampilan
dalam pendekatan secara indivudu terhadap pengalaman kerja”.

Dari ketiga defenisi tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa gaya belajar dimiliki seseorang secara
individual. Oleh karena itu gaya belajar adalah cara yang konsisten yang dilakukan oleh seorang murid
dalam menangkap stimulus atau informasi, cara mengingat, berfikir dan memecahkan soal.
Ciri-ciri atau karakteristik perilaku siswa yang gaya belajar berdasarkan modalitasnya menurut Gorden
Driden (2005: 116-118) :
a. Gaya Belajar Visual ( gaya belajar dengan cara melihat )
 rapi dan teratur.
 berbicara dengan tepat.
 mengingat apa yang dilihat, dari pada yang didengan.
 lebih suka membaca dari pada yang dibacakan.
 lebih suka seni dari pada musik.
b. Gaya Belajar Auditorial ( gaya belajar dengan cara mendengar )
 mudah terganggu oleh keributan.
 mengerakan bibir dan bersuara saat membaca
 senang membaca dengan keras dan mendengarkan
 suka berbicara, suka berdiskusi, dan menjelaskan sesuatu panjang lebar.
 lebih suka musik dari pada seni.
c. Gaya Belajar Kinestetik ( gaya belajar dengan cara bergerak, bekerja, dan menyentuh).
 menganggapi perhatian fisik
 mengingat sambil berjalan dan melihat.
 menggunakan jari sebagai penunjuk ketika membaca.
 banyak menggunakan isyarat lebih.

Pengertian Pembelajaran Kolb’s Learning Style (KLS).


Gaya belajar model Kolb terimplisit dalam resource based learning (belajar berdasarkan sumber) yang
mengajak siswa melakukan observasi untuk memecahkan masalah. Menurut David Kolb (Nasution
2005: 111), gaya belajar model kolb ialah “gaya belajar yang melibatkan pengalaman baru siswa,
mengembangkan observasi/merefleksi, menciptakan konsep, dan menggunakan teori untuk
memecahkan masalah”. Gaya belajar model kolb dapat dilakukan siswa baik secara kelompok maupun
individu.

Menurut model ini belajar berlangsung melalui 4 fase atau tahap yaitu :
a. Individu memperoleh pengalaman langsung yang konkrit.
b. Kemudian ia mengembangkan observasinya dan memikirkan atau merefleksikannya.
c. Dari itu dibentuknya generalisasi dan abstraksi.
d. Implikasi yang diambilnya dari konsep-konsep itu dijadikanya sebagai pegangannya dalam
menghadapi pengalaman pengalaman baru.

Jadi agar siswa yang efektif harus mempunyai empat macam kemampuan, dapat dilihat dari tabel:
Tabel

Kemampuan Uraian Pengutamaan

1. Concrete Experience (CE) Siswa melibatkan diri Feeling (perasaan)


sepenuhnya dalam
pengalaman baru.
2.Reflection Observation ( RO siswa mengobservasi dan Watching (mengamati)
) merefleksikan atau
memikirkan pengalamanya
dari berbagai segi.

209
3. Abstract Conceptuali- siswa menciptakan konsep- Thuinking (berfikir)
zation (AC) konsep yang
mengintegrasikan obsevsinya
menjadi teori yang sehat

4.Active Experimentation(AE) Siswa menggunakan teori itu Doing (berbuat)


untuk memecahkan masalah-
masalah dan mengambil
keputusan.

Dalam proses belajar menurut kolb terdapat dua aspek atau dimensi yakni pengalaman langsung yang
konkrit (CE) pada suatu pihak dan konseptualisasi abstrak (AC) pada pihak laen. Dimensi kedua ialah
: eksperientasi aktif (AE) pada suatu dan observasi reflektif (RO) pada pihak lain. Individu selalu
mencari kemampuan belajar tertentu dalam situasi tertentu. Jadi individu itu dapat beralih dari pelaku
(AE) menjadi pengamat (RO) dan dari keterlibatan langsung (CE) menjadi analisis abstrak (AC).

Untuk menentukan gaya belajar orang, Kolb menciptakan suatu Laerning Style Inventory (LSI) dan
membedakan 4 tipe gaya siswa, yaitu:

1. Converger
Siswa ini lebih suka belajar bila dihadapinya soal yang mempunyai jawaban tertentu. Bila mereka
menghadapi tugas atau masalah, mereka berusaha menemukan jawaban yang tepat. Kemampuan utama
mereka adalah AC dan AE. Biasanya minat mereka terbatas dan cenderung untuk mengkhususkan diri
dalam ilmu pengetahuan alam.

2. Diverger
Siswa ini lebih mengutamakan CE dan RO, kebalikan dari “converger”. Kekuatan mereka terletak pada
kemampuan imajinasi mereka. Bidang pekerjaan yang sesuai dengan tipe ini antara lain, counseling,
urusan personalia, dan pengembangan organisasi.

3. Assimilator
Cara belajar kelompok ini terutama bersifat AC dan RO. Mereka menunjukan kemampuan yang
tinggi dalam menciptakan model teori. Bidang studi yang mereka sukai ialah science dan matematika
dan pekerjaan yang sesuai bagi mereka ialah perencanaan dan penelitian.

4. Accomodator
Accommodator ini bertentangan minatnya dengan assimilator. Mereka ini justru tertarik pada
pengalamn yang konkrit (CE) dan eksperimentasi aktif(AE). Mereka suka akan pengalaman baru dan
melakukan sesuatu. Bidang study yang serasi bagi mereka ialah lapangan usaha dan tehnik dan
menyukai pekerjaan dalam penjualan dan pemasaran.

Sehingga menurut Kolb belajar itu merupakan perkembangan. Proses perkembangan itu melalui 3
fase, yakni :
1. fase “ acquisition” dimana seorang mengumpulkan pengetahuan,
2. fase “ spesialisasi” dimana ia memusatkan perhatianya kepada bidang tertentu,
3. fase “ integrasi “ damana ia menaruh minat untuk gaya belajar yang selama ini kurang
digunakannya, dan dengan demikian memperoleh minat dan tujuan hidup baru.

Penerapan Gaya Belajar Model Kolb dalam pembelajaran matematika


Gaya belajar model kolb dapat dilakukan siswa, baik secara kelompok maupun individu. Secara
kelompok yang berpedoman pada petunjuk winarno (2003: 23) langkah-langkah penerapan gaya belajar
model kolb pada mata pelajaran matematika yaitu :
Kegiatan Awal :
1. Guru membagi siswa dalam kelas menjadi beberapa kelompok.
2. Tiap kelompok terdiri dari 3 siswa.
Kegiatan Inti :
1. Pelibatan siswa.

210
- Guru memotifasi siswa.
- Guru menjelaskan materi pelajaran.
- Guru memberikan appersepsi kepada siswa dengan berbagai pertanyaan untuk menarik minat
siswa dalam belajar.
2. Observasi.
- Setiap kelompok diberikan sebuah kaleng kosong.
- Siswa mengamati bentuk lingkaran pada permukaan kaleng.
- Dengan memanfaatkan kertas kosong (kertas karton ) siswa disuruh menjiplak lingkaran
permukaan kertas kaleng.
- Dengan menggunakan gunting, siswa menggunting sekeliling lingkaran yang telah diberi garis
(menjiplak)
- Hasil guntingan dilipat sehingga saling menutupi dengan tepat, maka bekas lipatan tersebut
merupakan garis tengah/ diameter lingkaran.
- Guru berkeliling membantu siswa yang kesulitan dalam mengerjakan.
3. Menciptakan konsep.
- Siswa menentukan nilai pi sebuah lingkaran yang berpedoman pada rumus :. dengan pembulatan
sampai dua desimal maka akan didapatkan hasil yang mendekati 3,14 atau disimbolkan π.
diameterngkarankelilingli
- Siswa diajak berfikir untuk menemukan konsep rumus mencari lingkaran: πd.
- Tiap kelompok mempresentasikan hasil proses dan hasil pengamatan tersebut kedepan kelas.
4. Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
- Setelah siswa dapat melakukan kegiatan tersebut maka untuk memantapkan pengertian siswa
tentang mencari keliling lingkaran, guru memberikan tugas untuk dikerjakan siswa secara
perorangan.
- Guru berkeliling membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas.
Kegiatan Penutup:
Guru bersama siswa membuat rangkuman pelajaran tentang konsep geometri dan pengukuran
khususnya pada pokok bahasan keliling dan luas lingkaran.

Kerangka Konseptual
Salah satu faktor yang menyebabkan kurang berkembangnya aktifitas siswa dalam belajar adalah dalam
penggunaan metode mengajar yang monoton dan pembelajaran yang masih didominasi oleh guru. Gaya
belajar adalah salah satu yang memegang peranan penting dalam menentukan cara individu mengamati
dan menangggapi lingkungan belajar yang banyak melibatkan siswa. Siswa dipandang sebagai subjek
pembelajaran yang harus berperan dalam aktifitas pembelajaran.

Model gaya belajar kolb merupakan alternative untuk lebih mengaktifkan siswa dalam pembelajaran,
dengan model ini siswa dapat mendengar dengan aktif, menjelaskan pada teman, bertanya pada guru,
berdiskusi pada siswa lain menenggapi pertanyaan dan berargumentasi. Semakin banyak aktifitas
pembelajaran yang dilakukan pemahaman siwa semakin bertambah. Jika pemahaman bertambah maka
hasil belajar siswa akan meningkat.

Simpulan dan Saran

Simpulan
 Penggunaan Model Kolb Learning Style ternyata dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada
pokok bahasan lingkaran.
 Penguasaan siswa terhadap materi pembelajaran meningkat. Hal ini dapat ditunjukan dengan
ketuntasan hasil tes siswa. Berdasarkan hasil observasi terhadap aktifitas guru dalam proses
pembelajaran pada siklus I mencapai 69,16 % kemudian pada siklus II meningkat menjadi 76,5%.
Selama proses belajar mengajar berlangsung terlihat antusias siswa giat lagi belajar matematika.
Secara klasikal sebelum menggunakan Model Kolb Learning Style mencapai 34,5 % meningkat
menjadi 65,3 % pada siklus I kemudian pada siklus II meningkat menjadi 84,6%. Berarti terjadi
peningkatan sebanyak 30,8 % pada tes awal kesiklus I dan 19,3 % dari siklus I ke siklus II.
Aktivitas siswa dalam proses pembelajaran pada siklus I mencapai 67,6 % dan pada siklus II
meningkat menjadi 77,0 %.

211
Saran
Saran yang bisa diberikan untuk seorang guru: dalam mengajar perlu memperhatikan metode atau model
baru sehingga dalam mengajar tidak monoton sehingga siswa tidak merasa bosan dan menganggap
matematika sebagai pelajaran yang menyenangkan.Selanjutnya guru memotivasi siswa untuk berani
bertanya atau mengemukakan pendapat. Dan selain itu dalam mengajar seorang guru perlu menjadikan
siswa sebagai jiwa dengan potensi yang lebih, sehingga guru cukup sebagai fasilitator agar siswa dapat
mengembangkan kemampuannya dengan sebaik-baiknya.

Selain itu saran yang bisa diberi untuk seorang Siswa yaitu : dalam menyelesaikan soal harus teliti dan
siswa dalam menyelesaikan soal matematika harus paham terlebih dahulu apa pertanyaan yang diminta
oleh soal tersebut.

Dan terakhir saran untuk Sekolah: sebaiknya mengupayakan bermacam-macam model dalam mengajar
dengan menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan

DAFTAR PUSTAKA

Arends, Richardl. (1997). Classroom Instructional Management, New York: The Mc Graw – Hill
Company.

Djumanta, Wahyudin. (2008). Buku Matematika untuk Kelas VIII SMP / MTs, Bandung: Grafindo.

Ismail. (2003). Model-model Pembelajaran, Jakarta: Dit. Pendidikan Lanjutan Pertama.

Nur, M., Wikandri, P.R. dan Sugiarto, B. (1998). Teori Pembelajaran Sosial dan Teori Pembelajaran
Perilaku, Surabaya: Program Pascasarjana, IKIP, Surabaya.

Nur, M. (1998). Psikologi Pendidikan: Fondasi Untuk Pengajaran, Surabaya, IKIP Surabaya.

Nurkencana, Wayan. (1986). Evaluasi Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional.

Slameto. (2003). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta : Rieneka Cipta.

Soegito, E. dan Nuraini, E. (2003). Kemampuan Proses Belajar, Jakarta: Universitas Terbuka.

Sudjana. (2002). Metode Statistik. Bandung: Tarsito.

Suyatno. (2009). Menjelajah Pembelajaran Inovatif. Surabaya: Masmedia Buana Pustaka.

Riyadi, Slamet. (2008). Buku Matematika Be Smart Kumpulan Soal untuk Kelas VIII SMP / MTs,
Bandung: Grafindo.

212
PENDEKATAN PEMBELAJARAN INDUKTIF PADA MATERI
BANGUN RUANG PRISMA DAN LIMAS DI MTSN RUKOH
TAHUN PELAJARAN 2013/2014

Sri Wahyuni1, R.M. Bambang S2, dan Musafir Kumar3


1
Departemen Matematika, Universitas Syiah Kuala, Aceh
2,3
Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala
Email: sriwahyuni16gayo@yahoo.com

Abstrak. Pendekatan induktif adalah suatu cara mengajar yang penyajian topik atau
materi dikembangkan berdasarkan pemikiran induktif, yaitu berjalan dari yang konkret
ke abstrak atau dari yang khusus ke umum dan dari contoh-contoh menuju ke
umumPembelajaran dengan melibatkan pola pikir induktif efektif untuk mengajarkan
suatu konsep matematika, dan memberi peluang kepada siswa untuk memahami konsep
atau memperoleh generalisasi dengan cara yang lebih bermakna. Pemahaman konsep
dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Sehubungan dengan permasalahan tersebut,
maka penulis melakukan penelitian terhadap siswa kelas VIII MTsN Rukoh dengan
tujuan untuk mengetahui ketuntasan hasil belajar siswa dengan menggunakan pendekatan
pembelajaran induktif pada materi bangun ruang prisma dan limas. Hipotesis dalam
penelitian ini adalah Penerapan pendekatan pembelajaran induktif mencapai tingkat
ketuntasan belajar siswa pada materi bangun ruang prisma dan limas di kelas VIII MTsN
Rukoh. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Pengumpulan data
dilakukan dengan tes hasil belajar siswa. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
siswa kelas VIII MTsN Rukoh tahun ajaran 2013/2014. Sedangkan sampelnya adalah
siswa kelas VIII MTsN Rukoh yang terdiri dari 6. Data diolah dan dianalisis
menggunakan uji-t dua pihak yaitu pihak kanan. Dari hasil pengolahan data didapat
𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 3,13, pada taraf signifikan 𝛼 = 0,05 nilai 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,70. Dengan demikian
nilai 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 , maka hipotesis dalam penelitian ini diterima. Dengan demikian
disimpulkan bahwa Penerapan pendekatan pembelajaran induktif mencapai tingkat
ketuntasan belajar siswa pada materi bangun ruang prisma dan limas kelas VIII MTsN
Rukoh.
Kata kunci: pendekatan induktif, ketuntasan hasil belajar.

PENDAHULUAN

Belajar adalah suatu kegiatan yang tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Kegiatan belajar dapat
mengembangkan potensi-potensi yang dibawa sejak lahir. Menurut trianto (2009:9) “belajar adalah
adanya perubahan tingkah laku karena adanya suatu pengalaman”. Perubahan tingkah laku tersebut
dapat berupa perubahan keterampilan, kebiasaan, sikap, pengetahuan. Adapun pengalaman dalam
proses belajar merupakan interaksi antara individu dengan lingkungannya. Komponen-komponen yang
ada dalam kegiatan pembelajaran adalah guru dan siswa. Seorang guru dituntut mempunyai
pengetahuan, keterampilan dan sikap yang profesional dalam memberikan pembelajaran terhadap
siswa-siswanya.

Pengetahuan, keterampilan dan sikap yang profesional seorang guru berkaitan dengan kemampuan guru
untuk mengelolah program pembelajaran yang didalamnya mencakup kemampuan untuk
mengolaborasikan kemampuan peserta didik, merencanakan program pembelajaran, melaksanakan
program pembelajaran dan mengevaluasi program pembelajaran.

Selain guru, dalam kegiatan belajar mengajar siswa dituntut untuk selalu aktif memproses dan mengolah
perolehan belajar. Untuk dapat memproses dan mengolah perolehan belajaranya secara efektif siswa
dituntut secara fisik, intelektual dan emosional menurut ramly (2007:31) “pembelajaran hanya

213
berlansung manakala usaha tertentu telah dibuat untuk mengubah suatu keadaan sedemikian rupa
sehingga suatu hasil belajar tertentu dapat dicapai”.

Masalah utama dalam pembelajaran pada pendidikan saat ini adalah masih rendahnya daya serap peserta
didik. Hal ini tampak dari rata-rata hasil belajar peserta didik yang masih memprihatinkan. Prestasi ini
tentunya merupakan hasil kondisi pembelajaran yang masih bersifat konvensional dimana guru masih
mendominasi proses belajar mengajar sehingga siswa kurang berkembang secara mandiri melalui
penemuan dalam proses berpikirnya.

Masalah ini juga terjadi pada pembelajaranan matematika, matematika yang bersifat abstrak membuat
sulit dimengerti oleh sebagian besar siswa. Dalam mempelajari matematika membutuhkan penalaran,
pengertian, pemahaman dan aplikasi yang tinggi, sehingga matematika perlu disajikan dengan tepat.
Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang dilakukan dengan suatu cara untuk menarik
kesimpulan. Kesimpulan yang bersifat umum dapat ditarik dari hal-hal yang bersifat khusus atau disebut
penalaran induktif, tetapi dapat juga sebaliknya dari hal yang bersifat umum menjadi hal-hal yang
bersifat khusus atau penalaran deduktif.

Kenyataan yang terjadi dilapangan masih banyak guru yang menggunakan pendekatan deduktif dalam
mengajar matematika, pendekatan deduktif sering digunakan karena pendekatan ini lebih mudah untuk
pembelajaran matematika yang bersifat abstrak, pemberian hal yang bersifat umum menjadi hal-hal
yang bersifat khusus memudahkan siswa dalam memahami dan menyelesaikan permasalahan dalam
pembelajaran matematika.

Menurut pendapat para ahli, pendekatan yang lebih baik bagi anak – anak dalam belajar matematika
adalah pendekatan induktif dari pada pendekatan deduktif, dalam pembelajaran matematika khususnya
geometri. Copeland ( dalam Rocmad, 2008:3) menyatakan “Pendekatan yang lebih baik (induktif)
dalam mengajar siswa dengan menunjukkan beberapa segitiga kepada mereka dan menanyakan apakah
kesamaan dari bangun-bangun tersebut dan kemudian dari pengalaman tersebut membangun suatu
definisi atau generalisasi”. Christou dan Papageorgiou (dalam Rochmad, 2008:3) menyatakan
“Memandang penting penalaran induktif dalam matematika dan perlu kerangka proses kognitif yang
dapat digunakan untuk mendorong kecakapan penalaran induktif siswa dalam belajar matematika.
Proses induktif dari kesamaan (similarity), ketidaksamaan (disimilarity), dan integrasi (integration)”.

Pembelajaran dengan melibatkan pola pikir induktif efektif untuk mengajarkan suatu konsep
matematika, dan memberi peluang kepada siswa untuk memahami konsep atau memperoleh
generalisasi dengan cara yang lebih bermakna. Pengalaman ketika melakukan pengamatan secara
cermat pada kasus-kasus khusus yang diberikan guru. Marpaung (dalam Rochmad, 2008: 6)
menyatakan “Dalam mengkonstruksikan matematika ini siswa terlibat dengan proses adaptasi dan
organisasi, sehingga mempelajari konsep matematika dengan cara seperti ini dipandang lebih bermakna
dari sekedar menghapalkannya”. Apabila siswa hanya menghapal maka siswa hanya akan mengikuti
serangkaian prosedur dan siswa hanya meniru contoh-contoh tanpa mengetahui maknanya.

Dari permasalahan yang telah diuraikan diatas Penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
“Pendekatan Pembelajaran Induktif pada Materi Bangun Ruang Prisma dan Limas di MTsN Rukoh
Tahun Pelajaran 2013/2014”.

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Apakah melalui pendekatan pembelajaran
induktif siswa dapat mencapai ketuntasan belajar materi bangun ruang pada prisma dan limas di kelas
VIII MTsN Rukoh Tahun pelajaran 2013/2014?

Tinjauan Pustaka

Pendekatan Induktif
Pendekatan merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum.
oleh karenanya strategi dan model pembelajaran yang digunakan dapat bersumber atau tegantung dari
pendekatan tertentu.

214
Pendekatan pembelajaran merupakan merupakan penjelas untuk mempermudah bagi guru dalam
menyampaikan materi, seperti yang dikemukakan Sagala (2013:68) ”Pendekatan pembelajaran
dilakukan oleh guru untuk menjelaskan materi pelajaran dari bagian-bagian yang satu dengan bagian
yang lainnya berorientasi pada pengalaman-pengalaman yang dimiliki siswa untuk mempelalajari
konsep, prinsip atau teori yang baru tentang suatu bidang ilmu program ilmu.”

Menurut Suyono (2012:18) “Pendekatan pembelajaran merupakan latar pedagogis dan psikologis yang
dilandasi psikologis pendidikan tertentu yang dipilih agar tujuan pembelajaran dapat tercapai atau dapat
didekati secara optimal.”

Selanjutnya Suyono (2012:18-19) menyebutkan contoh-contoh pendekatan pembelajaran “ contoh


pendekatan pembelajaran adalah : pendekatan lingkungan, pendekatan exspositori dan pendekatan
heuristik, pendekatan konstektual, pendekatan konsep, pendekatan keterampilan proses, pendekatan
deduktif, pendekatan induktif, pendekatan sains lingkungan teknologi masyarakat, STM ( sciene,
technology and, society, STS), pendekatan kompetensi, pendekatan holistik dan lainnya.”

Roy killen (dalam sanjaya, 2006:127) “Ada dua pendekatan dalam pembelajaran yaitu pendekatan yang
berpusat pada guru (teacher - centred approaches) dan pendekatan yang berpusat pada siswa (student -
centred approaches) pendekatan yang berpusat pada guru menurunkan strategi pembelajaran
langsung(direct instruction)”.

Sehubungan dengan proses belajar mengajar yang berpusat pada guru, maka menurut Sanjaya
(2013:209 “ada tiga peran utama yang harus dilakukan guru, yaitu guru sebagai perencana, sebagai
penyampai imformasi, dan guru sebagai evaluator.”

pendekatan yang berpusat pada siswa menurut Sanjaya ( 2013:214) “siswa tidak dianggap sebagai objek
belajar yang dapat diatur dan dibatasi oleh kemauan guru, melainkan siswa ditempatkan sebagai subjek
yang belajar sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan yang dimiliki.”

Pendekatan yang berpusat pada guru yaitu pendekatan deduktif dan pendekatan yang berpusat pada
siswa yaitu pendekatan induktif.

Pendekatan deduktif menurut menurut Sagala (2013:76) “pendekatan deduktif adalah proses penalaran
yang bermula dari keadaan umum ke keadaan khusus sebagai pendekatan pembelajaran yang bermula
dengan menyajikan aturan, prinsip umum diikuti dengan contoh-contoh khusus atau penerapan aturan,
prinsip umum itu kedalam keadaan khusus.”

Selanjutnya menurut noviani (dalam Wati, 2010:16) “Pendekatan induktif menekanan pada pengamatan
dahulu, lalu menarik kesimpulan berdasarkan pengamatan tersebut. Metode ini sering disebut sebagai
sebuah pendekatan pengambilan kesimpulan dari khusus menjadi umum. Pendekatan induktif
merupakan proses penalaran yang bermula dari keadaan khusus menuju keadaan umum.”
Pendekatan induktif pada awalnya dikembangkan oleh filosofih inggris Prancis Bacon (1561) yang
menghendaki agar penarikan kesimpulan didasrkan atas fakta-fakta yang konkrit sebanyak mungkin,
sistem ini dipandang sebagai sistem berpikir yang paling baik pada abad pertengahan.”

Pendekatan induktif dikembangkan berdasarkan pemikiran induktif seperti yang dikemukakan Anitah
(2007:9.5)”Pendekatan induktif adalah suatu cara mengajar yang penyajian topik atau materi
dikembangkan berdasarkan pemikiran induktif, yaitu berjalan dari yang konkret ke abstrak atau dari
yang khusus ke umum dan dari contoh-contoh menuju ke umum. pendekatan ini adalah pendekatan
yang digunakan untuk menyusun rumus umum dengan bantuan contoh-contoh kongkrit yang cukup
banyak untuk menurunkan/menduga rumus umum tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan
dengan tahap perkembangan intelektual siswa. Dengan pendekatan ini konsep-konsep matematika yang
abstrak dapat dimengerti siswa melalui benda-benda konkrit”.

Menurut Sagala ( 2013:77 ) “berpikir induktif adalah suatu proses dalam berpikir yang berlangsung dari
khusus menuju ke yang umum orang mencari ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu dari berbagai fonomena,
kemudian menarik kesimpulan bahwa ciri-ciri atau sifat-sifat itu terdapat pada semua jenis fenomena.”

215
Logika induktif menurut Linda ( 2006:48 ) “Logika induktif meliputi pertimbangan dari kenyataan
fakta-fakta khusus kepada kesimpulan umum”. Karso (dalam Maulina, 2012:15) “Dalam
pelaksanaanya, mengajar dengan menggunakan pendekatan induktif akan lebih banyak memerlukan
waktu daripada mengajar dengan pendekatan deduktif. Tetapi bagi kelas rendah atau kelas yang lemah
pendekatan induktif akan lebih memudahkan murid menangkap konsep yang diajarkan” selanjutnya
Karso (dalam Maulina, 2012:15) mengemukakan kekuatan dan kelemahan pendekatan induktif, antara
lain sebagai berikut:

Kekuatan dan kelemahan pendekatan induktif


Menurut karso (dalam Maulina, 2012:15) mengemukakan kekuatan dan kelemahan pendekatan
induktif, antara lain sebagai berikut:
Kekuatan pendekatan pembelajaran induktif
1. Murid berkesempatan turut aktif dalam menemukan sifat atau rumus dengan jalan mengamati,
melakukan percobaan berpikir.
2. Murid memahami sifat atau rumus melalui serangkaai contohjika terjadi keraguan mengenai
pengertian daoat segera diatasi sejak masih awal.
Kelemahan pendekatan pembelajaran induktif
1. Memerlukan banyak waktu, sifat dan rumus yang diperolehnya masih memerlukan latihan atau
memahaminya.
2. Secara matematika(formal) sifat atau rumus yang diperolehnya dengan pendekatan induktif masih
belum menjamin berlaku umum.

Langkah-langkah Pendekatan Pembelajaran Induktif


Menurut Sulistyani (2010:3-4) langkah-langkah pendekatan induktif ada 4 fase (1) fase kegiatan
pembukaan; (2) fase kegiatan induktif; (3) fase kegiatan diskusi kelas; dan (4) fase kegiatan penutupan
1. Fase Kegiatan Pembukaan
Guru memulai fase kegiatan pembukaan dengan membuka pembelajaran. Kegiatan dilanjutkan
dengan menyampaikan tujuan pembelajaran dan motivasi siswa.
2. Fase Kegiatan Induktif
Pada fase kegiatan induktif, guru menyampaikan hal-hal khusus berkaitan dengan materi pokok
yang akan disampaikan. Selanjutnya, guru mengarahkan siswa melakukan kegiatan belajar dengan
menggunakan pola pikir induktif.
3. Fase Diskusi Kelas
Pada fase ini, setiap siswa diberi kesempatan untuk bertukar pemikiran dan pengalaman dengan
teman-teman lainnya dalam rangka mengkonstruksi pengetahuan secara individu. Bagi guru,
kegiatan tersebut dapat digunakan sebagai sarana untuk mengecek dan menguatkan pemahaman
siswa tentang konsep dan asas yang telah mereka peroleh sebelumnya.
4. Fase Kegiatan Penutup
Kegiatan pembelajaran pada fase kegiatan penutup ini mencakup: memberi kuis (tes singkat) secara
individu. Tujuan diadakan kuis adalah untuk mengukur seberapa jauh siswa telah menguasai
pengetahuan ditinjau dari aspek pemahaman konsep, penalaran dan komunikasi, atau pemecahan
masalah.

Metode

Jenis dan Pendekatan Penelitian


Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif, disebut kuantitatif karena penelitian ini
banyak menggunakan angka baik dalam pengumpulan data, penafsiran terhadap data serta penampilan
terhadap hasilnya.

Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian exsperimen. Menurut Riyanto (dalam
Zuriah, 2005:57-58) “Penelitian eksperimen merupakan metode penelitian yang sistematis, logis, dan
teliti di dalam melaksanakan kontrol terhadap kondisi. Dalam melakukan eksperimen peneliti
memanipulasi suatu stimulis, treatment atau kondisi-kondisi eksprimental, kemudian mengobservasi
pengaruh yang diakibatkan oleh adanya perlakuan atau manipulasi tersebut”. Perlakuaan pada penelitian
ini yaitu penerapan pendekatan pembelajaran induktif pada siswa kelas VIII MTsN Rukoh.

216
Populasi dan Sampel
Pada penelitian ini yang menjadi populasi yaitu seluruh siswa kelas VIII MTsN Rukoh sebanyak 6 kelas,
sedangkan sampel dari penelitian dipilih secara acak yaitu siswa kelas VIII-1 MTsN Rukoh yang
berjumlah 30 orang.

Teknik Pengumpulan Data


Dalam penelitian ini menggunakan data tes hasil belajar dan observasi. Tes hasil belajar dilakukan
setelah proses pembelajaran berlangsung. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan tes hanya dengan
tes akhir (post-test) saja. Tes akhir digunakan untuk menguji taraf penguasaan atas materi yang telah
diajarkan.

Setelah data-data penelitiannya terkumpul, kemudian data tersebut diolah dengan statistik yang sesuai.
2
Untuk data yang telah disusun dalam tabel frekuensi, maka nilai rata-rata ( x ) dan varians ( s ) dihitung
dengan rumus:

x
fx i i
(1)
f i

n f i xi   f i x1 
2 2

s  2

nn  1

dengan: x : nilai rata-rata


f i : frekuensi kelas interval data
xi : nilai tengah
n : banyak data
Selanjutnya untuk menguji normalitas data, digunakan rumus Chi-kuadrat sebagai berikut:

2  
k
oi  Ei 2
i 1 Ei

dengan Oi : frekuensi nyata hasil pengamatan


Ei : frekuensi teoritis

Dengan dk  (k  3) dan   0,05 kriteria pengujiannya adalah terima Ho jika


 2 hitung   2 tabel .
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
H0: 𝜇 ≤ 𝜇0 (Penerapan pendekatan pembelajaran induktif belum mencapai tingkat ketuntasan belajar
siswa pada materi bangun ruang prisma dan limas kelas VIII MTsN Rukoh)
Ha : 𝜇 > 𝜇0 (Penerapan pendekatan pembelajaran induktif mencapai tingkat
ketuntasan belajar siswa pada materi bangun ruang prisma dan limas kelas VIII MTsN
Rukoh)

Jika data berdistribusi normal maka pengujiannya menggunakann uji-t, menurut sudjana (2005:227)
untuk uji t.
𝑥̅ − 𝜇0
𝑡=
𝑠/√𝑛
Keterangan:
t = Hasil hitung distribusi korelasi
𝑥̅ = Rata-rata sampel
S = Simpangan baku

217
n = Banyaknya data
𝜇0 = 70, merupakan nilai standar yang menyatakan siswa mencapai taraf ketuntasan.

dengan kriteria pengujian tolak H0 jika t > t1-α , terima H0 jika t berharga lainnya dengan derajat
kebebasan (dk) = (n – 1).

Pembahasan
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah nilai tes akhir (post-test) yang berbentuk essay yang
diberikan kepada siswa kelas VIII MTsN Rukoh. Soal essay terdiri dari 5 soal
1. soal tentang unsur-unsur prisma dan limas
2. soal tentang luas prisma
3. soal tentang volume prisma
4. soal tentang luas limas
5. soal tentang volume prisma

dari tes diatas didapat data dari hasil belajar siswa dengan menggunakan pendekatan induktif pada
materi prisma dan limas. Adapun nilai yang diperoleh dari tes akhir (post-test) siswa adalah sebagai
berikut:

tabel 1 nilai hasil belajar siswa

Nilai hasil
NO NIS siswa belajar siswa
1 2116 98
2 2117 83
3 2118 95
4 2119 85
5 2121 75
6 2122 85
7 2123 90
8 2124 95
9 2125 70
10 2126 68
11 2127 90
12 2128 75
13 2129 53
14 2130 60
15 2131 75
16 2132 95
17 2133 93
18 2134 100
19 2135 81
20 2136 90
21 2137 60
22 2138 85
23 2139 95
24 2140 80
25 2141 45
26 2142 83

218
27 2143 85
28 2144 90
29 2146 95
30 2353 60

Dari data diatas maka nilai tertinggi adalah 100 dan nilai terendah adalah 45. Selanjutnya dari data nilai
hasil belajar siswa diperoleh rata-rata (𝑥̅ ) = 77,67simpangan baku (𝑠) = 13,43, Pada taraf signifikan
𝛼 = 0,05 dan derajat kebebasan dk = (k – 3) = 3, maka diperoleh dari tabel chi-kuadrat 𝜒2 (0,95)(3) =
7,81, karena 𝜒2 ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 < 𝜒2 𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 yaitu 7,29 < 7,81 maka H0 diterima dan dapat disimpulkan bahwa
Sebaran data tes hasil belajar siswa/siswi MTsN Rukoh mengikuti distribusi normal.

Oleh karena data hasil belajar matematika dengan menggunakan pendekatan pembelajaran induktif
berdistribusi normal maka pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan rumus uji t. Dari hasil
analisa data secara statistik yaitu dengan menggunakan uji-t pada taraf signifikan α = 0,05 dan derajat
kebebasan = 29 diperoleh t hitung = 3,13 dan ttabel = 1,70 sehingga 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 ≥ 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 yaitu 3,13 ≥ 1,70 . Ini
berarti t berada pada daerah tolak H0 dan terima H1. Dengan demikian Penerapan pendekatan
pembelajaran induktif mencapai tingkat ketuntasan belajar siswa pada materi bangun ruang prisma dan
limas kelas VIII MTsN Rukoh.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penulis menganalisis ketuntasan hasil belajar siswa pada materi
bangun ruang prisma dan limas di kelas VIII MTsN Rukoh. Pada proses pembelajaran guru
menggunakan pendekatan induktif, pendekatan pembelajaran induktif ini dimulai dengan memberikan
contoh-contoh soal kepada siswa kemudian siswa menyimpulakan rumus dari contoh-contoh tersebut,
proses belajar mengajar dengan menggunakan pendekatan induktif ini berlangsung selama 3 kali
pertemuan dan 1 kali post tes, pertemuan pertama peneliti menerapkan pendekatan induktif untuk
mengajarkan unsur-unsur prisma dan limas. Pertemuan kedua peneliti mengajarkan luas dan volume
prisma dan pertemuan ketiga guru mengajarkan luas dan volume limas.

Dalam proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan induktif peneliti menggunakan alat
peraga sebagai media pembelajaran, peneliti memberikan pengertian prisma dan limas kemudian siswa
menemukan jaring-jaring prisma dan limas.

Pertemuan kedua dan ketiga peneliti memberikan contoh-contoh lalu siswa menemukan rumus dari
contoh-contoh yang telah diberikan, dalam pembelajaran ini siswa dibentuk menjadi beberapa
kelompok, setiap pembelajaran siswa diberi LKS untuk diselesaikan dan dipersentasikan, hal ini
bertujuan agar siswa lebih memahami dan mengemukan pendapat mereka dalam menemukan rumus-
rumus dari contoh yang telah diberikan.

Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan induktif pada materi prisma dan limas membuat siswa
memahami konsep dasar sehingga mereka bisa menemukan rumus-rumus luas serta volume prisma dan
limas dengan alas yang berbeda-beda.

Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa penerapan pendekatan
pembelajaran induktif mencapai tingkat ketuntasan belajar siswa pada materi bangun ruang prisma dan
limas kelas VIII MTsN Rukoh

Daftar Pustaka

Anitah, Sri Dkk. (2007). Strategi Pembelajaran Matematika:Universttas Terbuka: Jakarta.

Maha, Ramly. (2007). Rancangan Pembelajaran Desain Instruksional. Banda Aceh: Yayasan Pena
Ar-Raniry Press.

219
Maulina Sri, (2011). Hasil Belajar Siswa Dengan Menggunakan Pendekatan Induktif Dan Deduktif
Pada Materi Persamaan Kuadrat Di Kelas X SMA Negeri Lubuk Ingin Aceh Besar Tahun
Ajaran 2010/2011. Banda Aceh: FKIP Unsyiah.

Noviani. (2013). Hasil Belajar Siswa Dengan Menggunakan Pendekatan Induktif Dan Pendekatan
Deduktif Pada Materi Kubus Dan Balok Kelas VIII SMP Negeri 16 Banda Aceh. Banda Aceh:
Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas
Syiah Kuala.

Rochmad. (2008). Proses Berpikir Induktif dan Deduktif dalam Mempelajari Matematika (online)
https://www.google.com/search?q=google&ie=utf- US:official.pdf, diakses 3 Februari 2014.

Sagala, syaiful. (2013). Konsep dan makna pembelajaran. Bandung: Alpabeta.

Sanjaya, Wina. (2006). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta :
Kencana Prenada Media Grup.

Sulistyani. (2010). Pendekatan Induktif dalam Pembelajaran Kimia Beracuan Konstruktivisme untuk
Membentuk Pemikiran Kritis, Kreatif, dan Berkarakter. Jurdik kimia UNY: Jogyakarta.

Sudjana. (2005). Metode Statistika. Bandung: Tarsito

Zuriah, Nurul. (2005). Metedologi Penelitian Sosial Dan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

220
IMPLEMENTASI MODEL POLYA PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI
PRODI PKK FKIP UNIVERSITAS SYIAH KUALA BANDA ACEH

Suhartati
Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala

Abstrak. Hasil observasi menunjukkan bahwa kemampuan mahasiswa Program Studi


PKK FKIP Unsyiah Banda Aceh dalam meyelesaikan masalah matematika masih belum
memadai. Oleh karena itu proses pembelajaran matematika harus dibenahi. Melalui
penelitian ini dicoba menerapkan Model Polya pada pembelajaran matematika. Masalah
yang diangkat pada penelitian ini adalah: (1) Bagaimana aktifitas dosen dan mahasiswa
selama pembelajaran matematika dengan model Polya?, (2) Bagaimana respon
mahasiswa?, (3) Bagaimana tingkat pencapaian hasil belajar matematika mahasiswa?, (4)
Apakah melalui pembelajaran matematika dengan model Polya mahasiswa dapat
mencapai ketuntasan belajar? Masalah-masalah tersebut didasarkan pada Pembelajaran
Matematika yang dilaksanakan sesuai dengan tahapan pemecahan masalah model Polya.
Tujuan penelitian adalah untuk memperoleh jawaban atas masalah-masalah di atas.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data penelitian dianalisis dengan
menggunakan statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Dosen dan
mahasiswa menunjukkan aktivitas yang relevan dengan kegiatan pembelajaran. (2)
Mahasiswa memberikan respon positif dan berminat untuk mengikuti pembelajaran
matematika berikutnya dengan menggunakan tahapan pemecahan masalah model Polya.
(3) Hasil belajar matematika mahasiswa mencapai tingkat sedang. (4) Pembelajaran
Matematika mencapai ketuntasan belajar.

Kata kunci: Masalah Matematika, Model Polya

Pendahuluan

Program Studi (Prodi) PKK adalah salah satu program studi yang ada di FKIP Universitas Syiah Kuala
Banda Aceh. Mata kuliah Matematika merupakan mata kuliah umum yang wajib dijalani oleh setiap
mahasiswanya, dengan bobot 2 SKS. Mata kuliah ini diasuh oleh Tim Pengajar dari yang berasal dari
Prodi Matematika.

Tujuan perkuliahan (pembelajaran) matematika di Prodi PKK adalah untuk memenuhi kebutuhan
mahasiswa dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ditemuinya dengan menggunakan prinsip-
prinsip matematika. Tentu saja masalah-masalah yang dimaksud adalah masalah-masalah yang relevan
dengan matematika. Dengan demikian pembahasan materi matematika di Prodi PKK lebih ditekankan
pada penerapan matematika atau biasa disebut matematika terapan. Matematika terapan ini disajikan
dalam bentuk kalimat verbal yaitu soal cerita yang biasanya dikenal sebagai masalah matematika.

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan terhadap mahasiswa Prodi PKK yang menempuh mata
kuliah Matematika semester ganjil tahun 2012/2013 menunjukkan bahwa kemampuan mahasiswa
masih belum memadai. Mahasiswa cenderung tidak tertarik dengan kuliah matematika. Masalah-
masalah matematika yang dibahas selama pembelajaran banyak yang tidak dipahami oleh mahasiswa
sehingga mereka gagal menyelesaikannya. Sedangkan masalah matematika tersebut adalah masalah-
masalah yang berkaitan dengan bidang keahlian Prodi PKK. Misalnya menentukan komposisi resep
untuk membuat sejenis makanan yang merupakan bidang keahlian Tata Boga, atau tentang harga beli
kain dan harga jualnya setelah menjadi pakaian yang merupakan masalah yang biasa ditemui bidang
keahlian Tata Busana.

Gejala yang terungkap di atas menunjukkan bahwa proses pembelajaran matematika di Prodi PKK FKIP
Universitas Syiah Kuala Banda Aceh perlu dibenahi. Salah satu cara yang mungkin dapat dilakukan
adalah memperbaiki model pembelajaran sehingga dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam
menyelesaikan masalah matematika. Menurut Hudojo (1998:2) strategi pembelajaran yang jitu adalah
dengan melibatkan intelektual pelajar yaitu mahasiswa secara maksimal.

221
Salah satu alternatif yang mungkin dilaksanakan adalah menerapkan pembelajaran dengan mengikuti
langkah-langkah Polya dalam menyelesaikan masalah. Menurut Polya (1973:5-6) terdapat empat tahap
dalam menyelesaikan masalah matematika yaitu (1) memahami masalah, (2) membuat rencana, (3)
melaksanakan rencana, dan (4) melihat kembali. Dengan menggunakan tahapan ini, mahasiswa
dilibatkan secara maksimal dalam kegiatan pada masing-masing tahap. Penggunaan alternatif ini
mengingat materi matematika di Jurusan PKK diberikan agar mahasiswa dapat menyelesaikan
masalah-masalah yang berkaitan dengan matematika, yang penyajiannya balam bentuk kalimat verbal.
Di samping itu, hasil penelitian Dewi (2003:8) menunjukkan bahwa penyelesaian masalah dengan
model Polya akan memberi prosedur yang jelas dan runtut, sehingga mahasiswa dapat memahami
masalah dengan mudah.

Mengingat pentingnya perbaikan kualitas pembelajaran Matematika pada Prodi PKK FKIP Universitas
Syiah Kuala Banda Aceh maka diadakan suatu penelitian tentang implementasi model polya dalam
menyelesaikan masalah matematika. Beberapa pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut: (1) Bagaimana aktifitas dosen dan mahasiswa dalam pembelajaran yang
dilaksanakan dengan tahapan pemecahan masalah model Polya?, (2) Bagaimana respon mahasiswa
terhadap kegiatan dengan pembelajaran yang dilaksanakan dengan tahapan pemecahan masalah model
Polya?, (3) Bagaimana tingkat pencapaian hasil belajar matematika mahasiswa yang pembelajarannya
dilaksanakan dengan tahapan pemecahan masalah model Polya? Dan (4) Apakah pembelajaran Masalah
Matematika yang dilaksanakan dengan tahapan pemecahan masalah model Polya dapat mewujudkan
ketuntasan belajar?

Sesuai dengan permasalahan yang dijelaskan terdahulu, maka tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui dan mendeskripsikan hal-hal berikut: (1) Aktifitas dosen dan mahasiswa dalam
pembelajaran yang dilaksanakan dengan tahapan pemecahan masalah model Polya, (2) Respon
mahasiswa terhadap kegiatan dengan pembelajaran yang dilaksanakan dengan tahapan pemecahan
masalah model Polya. (3) Tingkat pencapaian hasil belajar matematika mahasiswa yang
pembelajarannya dilaksanakan dengan tahapan pemecahan masalah model Polya. (4) Tingkat
ketuntasan belajar matematika mahasiswa dicapai dengan pembelajaran dilaksanakan dengan tahapan
pemecahan masalah model Polya

Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat bermanfaat untuk dijadikan informasi bagi dosen yang
mengajar matematika terapan lainnya dalam menentukan strategi dan model pembelajaran matematika,
menjadi acuan dalam pengembangan sarana penunjang proses belajar matematika pada materi pokok
yang lain dan menjadi masukan bagi guru/dosen dalam upaya peningkatan penalaran dan kegiatan
berpikir pelajar yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar.

Landasan Teoritis

Pengertian Masalah Matematika

Menurut Grouws (1992:337) masalah matematika adalah sesuatu yang menghendaki untuk dikerjakan
atau pertanyaan yang tidak dapat langsung dijawab karena sukar. Hudojo dan Sutawidjawa
(1996/1997:189) menegaskan bahwa masalah matematika tidak dapat dijawab langsung sebab masih
harus menyeleksi informasi (data) yang diberikan. Jawaban terhadap masalah tersebut tidak merupakan
jawaban rutin dan mekanistik, namun merupakan strategi dengan menggunakan pengetahuan dan
pengalaman yang dimiliki.

Suatu pertanyaan mungkin merupakan masalah bagi seseorang tetapi bukan merupakan masalah bagi
orang lain. Dengan demikian jika dalam pembelajaran diharapkan pelajar dapat belajar dengan
menyelesaikan masalah, maka masalah yang dihadapkan haruslah masalah yang akrab dengan pelajar
sehingga pelajar dapat merasakan manfaatnya dan merasa terlibat langsung dalam masalah tersebut.
Sehingga belajar melalui pemecahan masalah dapat dilakukan jika (1) pertanyaan yang dihadapkan
harus sesuai dengan lingkungan atau pengalaman pelajar sehingga dapat dimengerti oleh pelajar, dan
(2) tidak dapat dijawab langsung melalui prosedur rutin yang telah diketahui siswa.

Penyelesaian masalah layaknya topik-topik lain yang diajarkan kepada pelajar matematika dan
dipraktekkan secara berkala. Sering disertai dengan pengerjaan beberapa operasi dalam suatu masalah
yang harus diselesaikan. Strategi utama untuk penyelesaian masalah matematika adalah memahami

222
kata-kata kunci yang terdapat dalam masalah. Kata-kata kunci tersebut akan memberikan petunjuk
konsep-konsep dan prosedur-prosedur yang harus digunakan untuk menyelesaikan masalah yang
dimaksud. Misalnya selisih, perbedaan atau sisa yang biasanya menunjukkan operasi pengurangan;
dikumpulkan atau jumlah yang biasanya menunjukkan operasi penjumlahan. Penilaian tentang
keterampilan menyelesaikan masalah dapat ditinjau berdasarkan pola penyelesaian yang dikerjakan
pelajar.

Menyelesaikan Masalah Matematika dengan Tahapan Polya

Menurut Gagne (1984:79) belajar penyelesaian masalah merupakan tipe belajar paling tinggi di antara
tipe belajar yang dikemukakannya. Tipe belajar ini di samping menuntut dikuasainya konsep dan prinsip
yang memadai, juga menuntut adanya kemampuan memilih konsep dan prinsip untuk diselesaikan
sesuai dengan kebutuhan. Sehingga tak jarang penyelesaian masalah menjadi topik yang tidak mudah
untuk dimengerti, karena merupakan proses yang akan menyerap program (berupa memori dalam
benak) secara keseluruhan dan menyediakan kondisi yang memungkinkan konsep dan keterampilan
dapat dipelajari. Diharapkan melalui pengajaran penyelesaian masalah para pelajar mempunyai bekal
berupa pengetahuan dan keterampilan dalam menghadapi masalah matematika dan masalah-masalah
yang sering muncul dalam kehidupan sehari-hari yang melibatkan matematika.
Penyelesaian masalah matematika melibatkan proses dan kegiatan yang kreatif dari pikiran
pelajar untuk menemukan cara-cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Ini merupakan proses tentang bagaimana pengetahuan diorganisasi, dipresentasikan secara simbolik di
dalam ingatan jangka panjang dan dikaitkan secara efisien pada waktu menyelesaikan masalah. Ini
artinya seseorang akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan masalah matematika jika tidak
mempunyai konsep dan kaidah yang dapat digunakan untuk menemukan jawaban. Ruseffendi (1988)
mengemukakan di Amerika dan Inggris langkah-langkah yang pelajar lakukan dalam menyelesaikan
masalah matematika adalah seperti yang dianjurkan Polya. Menurut Polya (1973:5-6) langkah-langkah
untuk menyelesaikan masalah matematika adalah sebagai berikut:
a. Memahami masalah (to understand the problem)
Pada tahap ini yang terjadi adalah proses memahami masalah. pelajar harus menyimpulkan apa
yang diketahui dan apa yang ditanyakan dalam masalah yang diberikan.
b. Membuat rencana (to make a plan)
Pada tahap ini diperlukan kemampuan mengabstraksi masalah untuk membuat rencana
menyelesaikan masalah. Umumnya dinyatakan dalam bentuk model matematika atau kalimat
matematika.
c. Melaksanakan rencana (carry out a plan)
Pada tahap ini dilakukan proses komputasi, sehingga dituntut kemampuan memahami konsep
yang terkait dengan model matematika dan kemampuan melakukan komputasi.
d. Melihat kembali (look back)
Pada tahap ini penyelesaian yang telah dilaksanakan dilihat dan diperiksa kembali. Dapat juga
dilakukan dengan menguji selesaian melalui cara yang berbeda dari yang telah dilaksanakan.

Terdapat kelebihan dari pemecahan masalah dengan menggunaan tahapan Polya. Menurut
Meiring (1980:21) kelebihan pemecahan masalah dengan menggunaan tahapan Polya adalah :
1. membuat siswa berhati-hati mengenai langkah-langkah dalam proses pemecahan masalah.
2. menyediakan kerangka kerja yang tersususn rapi untuk menyelesaikan masalah yang komplek dan
panjang,
3. membantu pelajar mengorganisasikan usahanya dalam pemecahan masalah.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kampus FKIP Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Subjek penelitian
adalah 15 orang mahasiswa Program Studi PKK FKIP Universitas Syiah Kuala Banda Aceh yang
menempuh mata kuliah matematika pada semester ganjil tahun 2013/2014.

Mengadaptasi tahapan Polya tersebut maka pembelajaran matematika pada Prodi PKK FKIP
Universitas Syiah Kuala Banda Aceh direncanakan akan dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut:
1. Memberikan masalah matematika (oleh dosen)
2. Mahasiswa mengidentifikasi komponen-komponen yang diberikan dalam masalah baik berupa
pernyataan ataupun pertanyaan.

223
3. Mahasiswa menyusun rancangan penyelesaian masalah dalam bentuk model matematika. Pada
tahap ini, jika diperlukan akan dilakukan diskusi (Tanya jawab) tentang konsep-konsep yang
diperlukan untuk pelaksanaan rencangan penyelesaian masalah.
4. Mahasiswa melaksanakan rancangan penyelesaian masalah yang telah disusun
5. Memeriksa kembali langkah-langkah yang telah dilakukan secara teliti.

Pembelajaran dilakukan dalam kelompok koperatif. Setiap kelompok terdiri dari 5 sampai 6 mahasiswa.
Masing-masing tahapan (tahap 2 sampai tahap 5) selalu diakhiri dengan diskusi kelas untuk
menghasilkan rumusan yang benar. Setiap kelompok diberi kesempatan untuk menyampaikan
pertanyaan atau pun ide-idenya tentang apa yang sedang dipelajari. Dalam hal ini dosen berperan
sebagai fasilitator dan mediator.

Ada tiga jenis data yang diperoleh dalam penelitian ini, yaitu aktifitas dosen dan mahasiswa selama
kegiatan pembelajaran, respon mahasiswa terhadap kegiatan pembelajaran, hasil belajar mahasiswa
setelah kegiatan pembelajaran. Untuk memperoleh data aktivitas dosen dan mahasiswa, dilakukan
pengamatan selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan
lembar observasi. Untuk memperoleh data respon mahasiswa, kepada siswa diminta tanggapannya
terhadap kegiatan perkuliahan dengan menggunakan angket. Untuk memperoleh data hasil belajar
kepada mahasiswa diberikan tes setelah kegiatan perkuliahan berlangsung.

Analisis data penelitian menggunakan statistik deskriptif. Untuk menjawab pertanyaan penelitian
dilakukan analisis data sebagai berikut:
1. Data hasil observasi dianalisis untuk mendeskripsikan kegiatan dosen dan mahasiswa selama
kegiatan pembelajaran berlangsung, analisis hasil observasi dilakukan dengan menggunakan
persentase. Kategori pengamatan merupakan hasil adaptasi bentuk yang dikembangkan oleh
Mukhlis (2005:72)
2. Data hasil angket dianalisis dengan mencari persentase jawaban mahasiswa untuk setiap butir yang
ditanyakan dalam angket. Respon siswa dikatakan positif jika jawaban siswa terhadap pernyataan
positif untuk setiap aspek yang direspon pada setiap komponen pembelajaran diperoleh persentase
 80% (Mukhlis, 2005:73).
3. Tingkat penguasaan siswa ditentukan dengan menggunakan kriteria rata-rata tingkat penguasaan
mahasiswa yang dikemukakan oleh Suherman (dalam Dewi & Hamid, 2009,16) yaitu tingkat
penguasaan 90 - 100% (sangat tinggi), 80 – 89% (tinggi), 65 - 79% (sedang), 55 - 64% (rendah),
dan 0-55% (sangat rendah),
4. Untuk Kriteria ketuntasan belajar yaitu seorang mahasiswa dikatakan telah tuntas belajar apabila
telah memiliki daya serap 65% ke atas, dan ketuntasan klasikal tercapai jika paling sedikit 85%
mahasiswa di kelas tersebut telah tuntas belajar (Mulyasa , 2003:99).

Hasil Penelitian

Aktivitas Dosen dan Mahasiswa selama Kegiatan Pembelajaran


Tabel 1. Aktivitas Dosen Selama Kegiatan Perbelajaran.
No Kategori Pengamatan Rata-rata Persentase Aktivitas
Dalam Pembelajaran (%)
1 Menampilkan masalah yang relevan dengan bidang
keahlian PKK dan meminta mahasiswa mencoba 12,5
menyelesaikan masalah
2 Menjelaskan tahapan menyelesaikan masalah dengan
16,67
menggunakan tahapan polya
3 Memberi kesempatan mahasiswa menyampaikan
12,5
pertanyaan atau pendapat
4 Membimbing dan memotivasi mahasiswa dalam
menyelesaikan masalah dengan menggunakan tahapan 29,17
polya
5 Membimbing mahasiswa mengkomunikasikan hasil
18,75
kerja kelompok
6 Membimbing mahasiswa merangkum hasil belajar 10,42
7 perilaku yang tidak relevan dengan KBM.. 0

224
Tabel 2. Aktivitas Mahasiswa Selama Kegiatan Pembelajaran.
No Kategori Pengamatan Rata-rata Persentase Aktivitas
Dalam Pembelajaran (%)
1 Mencoba menyelesaikan masalah 12,92
2 Mendengarkan/memperhatikan /mencatat penjelasan
16,11
dosen/teman
3 Menyampaikan pertanyaan atau pendapat 11,11
4 Secara berkelompok menyelesaikan masalah dengan
30,14
menggunakan tahapan polya
5 Mengkomunikasikan hasil kelompok 18,89
6 Merangkum hasil belajar 10,27
7 Perilaku yang tidak relevan dengan KBM 0,07

Respon Mahasiswa terhadap Kegiatan Pembelajaran

Angket respon mahasiswa terhadap kegiatan pembelajaran dan perangkat pembelajaran yang diterapkan
diisi oleh mahasiswa setelah kegiatan pembelajaran selesai. Hasil angket respon mahasiswa terhadap
kegiatan pembelajaran dan perangkat pembelajaran dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3. Respon Mahasiswa terhadap Kegiatan Pembelajaran

No Aspek yang Dinilai Respon Siswa (%)


1. Pendapat mahasiswa terhadap komponen Senang Baru
kegiatan pembelajaranmu mengenai:
1. Materi Pelajaran
100 86,67
2. LKS (aktivitas)
86,67 93,33
3. Cara Belajar
93,33 100,00
4. Cara Guru Mengajar
93,33 100,00

Rata-rata (%) 93,33 95


2. Mahasiswa yang berminat untuk mengikuti
kegiatan pembelajaran berikutnya seperti yang
100
telah diikuti pada saat penelitian

225
Hasil Tes Akhir setelah Kegiatan Pembelajaran

Tabel 4. Hasil Tes Akhir Mahasiswa


Mahasiswa Nilai (angka) Nilai (huruf) Ketuntasan
A1 77 B Tuntas
A2 87 A Tuntas
A3 80 B Tuntas
A4 68 C Tuntas
A5 75 B Tuntas
B1 90 A Tuntas
B2 75 B Tuntas
B3 80 B Tuntas
B4 75 B Tuntas
B5 68 C Tuntas
C1 66 C Tuntas
C2 58 D Belum Tuntas
C3 77 B Tuntas
C4 87 A Tuntas
C5 82 B Tuntas

14 dari 15 mahasiswa (93,33%) telah mencapai ketuntasan belajar, sedangkan nilai rata-rata
yang diperoleh mahasiswa adalah 76,8, yaitu berada pada kategori sedang..

Pembahasan

Aktivitas Dosen dan Mahasiswa selama Kegiatan Pembelajaran

Data aktivitas dosen dan mahasiswa selama kegiatan pembelajaran dikumpulkan selama tiga kali tatap
muka perkuliahan. Materi perkuliahan yang dibahas selama pengumpulan data terdiri dari Perbandingan
Senilai, Perbandingan Berbalik Nilai, Penggunaan KPK dan FPB, dan Aritmetika Sosial. Observasi
dilakukan hanya pada kegiatan inti perkuliahan yang melibatkan penyelesaian masalah melalui tahapan
polya yaitu 15 menit setelah perkuliahan dimulai dan 5 menit sebelum perkuliahan berakhir. 15 menit
pertama dilakukan untuk mengingat kembali konsep-konsep yang akan digunakan dalam penyelesaian
masalah, sedangkan 5 menit terakhir digunakan untuk menyampaikan hal-hal yang dianggap perlu
berkenaan dengan masalah perkuliahan. Dengan demikian observasi berlangsung selama 80 menit pada
masing-masing perkuliahan.

Hasil pengamatan terhadap aktivitas dosen dan mahasiswa menunjukkan adanya kesesuaian persentase
aktivitas yang dilakukan pada masing-masing komponen. Persentase aktivitas dosen terbesar yang
dilakukan pada kegiatan membimbing dan memotivasi mahasiswa dalam menyelesaikan masalah
dengan menggunakan tahapan polya. Kegiatan bimbingan ini meliputi tahap memahami masalah,
membuat rencana, melaksanakan rencana menyelesaikan masalah dan melihat kembali hasil yang
diperoleh. Terlihat umumnya mahasiswa tidak menemukan kesulitan dalam menentukan unsur-unsur
yang diketahui dan yang ditanyakan dalam masalah (memahami masalah) Namun mahasiswa
memerlukan bimbingan lebih banyak dibandingkan langkah yang lainnya pada tahap membuat rencana
dan melaksanakan rencana menyelesaikan masalah. Bimbingan dilakukan dengan memberikan
petunjuk penentuan variabel-variabel yang terdapat dalam masalah yang akan diselesaikan, sehingga
variabel-variabel tersebut membentuk suatu model matematika yang harus diselesaikan. Pada tahap
melaksanakan rencana menyelesaikan masalah, dosen memberi bimbingan dengan mengingatkan
kembali prinsip-prinsip pelaksanaan operasi yang terlibat dalam menyelesaikan masalah. Dalam hal ini
terlihat peran dosen sebagai fasilitator yang memfasilitasi mahasiswa untuk belajar. Proses ini sesuai
dengan pendapat Hudojo (2002:428) bahwa dalam pembelajaran matematika pengajar berfungsi
sebagai fasilitator yang berupaya mengarahkan begaimana pelajar memikirkan langkah-langkah dalam
penyelesaian masalah.

Sementara itu persentase aktivitas mahasiswa terbesar terjadi pada saat menyelesaikan masalah dengan
menggunakan tahapan polya yang dikerjakan secara berkelompok. Sesuai dengan aktivitas dosen,
waktu yang digunakan dalam kegiatan ini lebih banyak digunakan untuk membuat rencana dan

226
melaksanakan rencana menyelesaikan masalah Pada tahap ini mahasiswa dituntut mempunyai konsep
yang terkait dengan permasalahan. Mahasiswa harus mampu mengaitkan konsep-konsep yang relevan
dengan masalah yang akan diselesaikan. Suydan & Weaver (dalam Orton, 1991) menyatakan bahwa
pemecah masalah yang baik harus mempunyai kemampuan dalam mengaitkan konsep-konsep dan
istilah-istilah matematika yang relevan dengan masalah. Hal ini diduga yang menjadi penyebab
mahasiswa banyak menghabiskan waktu pada aktivitas menyelesaikan masalah dengan menggunakan
tahapan polya.

Respon Mahasiswa terhadap Kegiatan Pembelajaran

Angket respon mahasiswa terhadap kegiatan pembelajaran dan perangkat pembelajaran yang diterapkan
diisi oleh mahasiswa setelah kegiatan pembelajaran selesai Respon mahasiswa di akhir kegiatan
pembelajaran menunjukkan mereka masih berpendapat bahwa matematika merupakan materi sulit
untuk dipahami. Namun demikiant hasil angket juga menunjukkan respon positif dari mahasiswa untuk
mengikuti kembali kegiatan pembelajaran dengan menggunakan strategi yang diterapkan selama
penelitian. hal ini menunjukkan bahwa strategi pembelajaran dengan menggunakan tahapan polya
dalam menyelesaikan masalah matematika dapat memotivasi mahasiswa untuk tertarik mempelajari
matematika. Penggunaan masalah yang relevan dengan konteks keilmuan yang mereka pelajari
memotivasi mahasiswa untuk mengikuti kegiatan pembelajaran dengan baik. Mereka merasa masalah-
masalah yang diberikan selama kegiatan perkuliahan adalah masalah-masalah yang lazim mereka temui
dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Hudojo (2002:9) bahwa untuk
menciptakan kecintaan pada matematika pemahaman harus didekatkan dengan kasus-kasus yang nyata
yang dekat dengan realitas kehidupan sehari-hari pelajar. Sementara itu tahapan polya yang dilalui
selama proses penyelesaian masalah memberikan fasilitas bagi mahasiswa untuk dapat mengkaji
masalah secara terstruktur sehingga dapat menyelesaikan masalah dengan baik pula. Oleh karena itu
dapat disimpulkan bahwa tahapan polya merupakan strategi yang tepat dalam pembelajaran matematika
PKK sehingga dapat memotivasi mahasiswa untuk tertarik mengikuti perkuliahan matematika.

Hasil Tes Akhir setelah Kegiatan Pembelajaran

Tabel 4. menunjukkan bahwa nilai terendah yang diperoleh mahasiswa setelah kegiatan pembelajaran
adalah 58. Dan ini adalah satu-satunya mahasiswa yang tidak mencapai ketuntasan belajar. Adapun nilai
rata-rata yang diperoleh mahasiswa adalah 76,8. Dengan demikian penguasaan siswa terhadap materi
berada pada tingkat sedang. Di samping itu siswa juga mencapai tingkat ketuntasan belajar secara
klasikal, karena 14 mahasiswa dari 15 mahasiswa (93,33%) telah mencapai ketuntasan belajar secara
individual. Ketercapaian ini diduga akibat pengaruh penggunaan strategi yang tepat selama
pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pendapat Soedjadi (1992:11) bahwa untuk mencapai sesuatu tujuan
sangat diperlukan siasat, prosedur atau cara serta teknik yang akan digunakan. Untuk pencapai tujuan
pembelajaran diperlukan strategi, pendekatan atau metode serta teknik tertentu. Dengan kata lain
keberhasilan proses pembelajaran juga bergantung pada bagaimana suatu bahan ajar disampaikan.

Simpulan dan Saran

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:


1. Dosen dan mahasiswa menunjukkan aktivitas yang relevan dengan kegiatan pembelajaran.
2. Mahasiswa memberikan respon positif dan berminat untuk mengikuti pembelajaran matematika
berikutnya dengan menggunakan tahapan pemecahan masalah model Polya.
3. Hasil belajar matematika mahasiswa mencapai tingkat sedang.
4. Pembelajaran Matematika mencapai ketuntasan belajar.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, saran yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:
1. Bagi Dosen yang mengajarkan matematika pada Program Studi PKK disarankan untuk
menggunakan tahapan Polya dalam pembelajaran Penyelesaian Masalah Matematika.

227
2. Bagi dosen yang mengajar pada program studi yang Silabus Matematikanya lebih menekankan pada
matematika terapan, agar menggunakan tahapan Polya dalam pembelajaran Penyelesaian Masalah
Matematika.
3. Sebelum menggunakan tahapan Polya dalam pembelajaran Penyelesaian Masalah Matematika, agar
mempersiapkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip matematika yang akan digunakan dalam
menyelesaikan masalah.
4. Bagi peneliti lain yang berminat, dapat mencoba tahapan Polya ini pada materi matematika terapan
yang lain.

Daftar Pustaka

Dewi, M. 2003. Penerapan Pembelajaran Pemecahan masalah matematika Terapan dengan Model
Polya. Jurnal BISTEK, Politeknik Universitas Brawijaya Malang, Volume 11, No 2, Agustus
2003.

Dewi, R & Hamid, Y.H. 2009. Efektifitas Model Pembelajaran Koperatif Sistem Sanwich dalam Upaya
Meningkatkan Motifasi dan prestasi Belajar Keterampilan Siswa Di MTsN Tungkob. Jurnal
MON MATA. Volume 11, No 1, Maret 2009.

Gagne, R.M. 1984. The Conditions of Learning and Theory Instructional. New York: Holt, Rinchar t
Winston.

Grouws, D.A. 1992. Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. New York:
NCTM.

Hudojo, H. (2002) Representasi Belajar Berbasis Masalah. Prosiding Konferensi Nasional Matematika
XI Bagian I. Jurnal Matematika atau Pembelajarannya. Universitas Negeri MalangbTahun
VIII. Edisi Khusus. Malang Juli.

Hudojo, H dan Sutawidjaya, A. 1996/1997. Matematika. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Proyek Pendidikan Guru, Bagian Proyek Pengembangan Guru Sekolah Dasar.

Mukhlis. 2005. Pembelajaran Matematika Realistik Untuk Materi Pokok Perbandingan di Kelas VII
SMP Negeri 1 Palangga. Tesis PPs Unesa.Surabaya.

Mulyasa, E. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi (Konsep, Karakteristik dan Implementasi).


Bandung: Remaja Rosdakarya.

Orton, A. 1991. Learning Mathematics: Issues, Theory and Classroom Practice. (2nd Ed). London:
Cassel.

Polya, G. 1973. How to Solve it. New Jersey: Princeton University Press.

Ruseffendi, E.T. 1988. Pengajaran Matematika Modern untuk Otang Tua Murid dan Guru, dan SPG.
Bandung: Tarsito.

228
PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING PADA MATERI ATURAN
PENJUMLAHAN REEMAN DI SMAN 11 BANDA ACEH

Tien Fitrina
SMA Negeri 11 Banda Aceh

Pendahuluan

Mata pelajaran Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik dimulai dari Sekolah Dasar
untuk membekali mereka dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif serta
kemampuan bekerja sama. Dalam membelajarkan matematika kepada siswa, apabila guru masih
menggunakan paradigma pembelajaran lama dalam arti komunikasi dalam pembelajaran matematika
cenderung berlangsung satu arah umumnya dari guru ke siswa, guru lebih mendominasi pembelajaran
maka pembelajaran cenderung monoton sehingga mengakibatkan peserta didik (siswa) merasa jenuh
dan tersiksa. Oleh karena itu dalam membelajarkan matematika kepada siswa, guru hendaknya lebih
memilih berbagai variasi pendekatan, strategi, metode yang sesuai dengan situasi sehingga tujuan
pembelajaran yang direncanakan akan tercapai. Perlu diketahui bahwa baik atau tidaknya suatu
pemilihan model pembelajaran akan tergantung tujuan pembelajarannya, kesesuaian dengan materi
pembelajaran, tingkat perkembangan peserta didik (siswa), kemampuan guru dalam mengelola
pembelajaran serta mengoptimalkan sumber-sumber belajar yang ada.

Perubahan kurikulum yang diberlakukan sejak 2013 memiliki tujuan untuk meningkatkan rasa ingin
tahu siswa dan mendorong siswa untuk aktif. Pada kurikulum baru, siswa bukan lagi menjadi obyek
tapi justru menjadi subyek dengan ikut mengembangkan tema yang ada. Dengan adanya perubahan ini,
tentunya berbagai standar dalam komponen pendidikan akan berubah. Baik dari standar isi, standar
proses maupun standar kompetensi lulusan. Lalu bagaimana dengan standar penilaian? Apa yang akan
dinilai oleh para guru dengan sistem pengajaran yang berbeda ini?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, mengatakan bahwa standar penilaian pada
kurikulum baru tentu berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Mengingat tujuannya untuk mendorong
siswa aktif dalam tiap materi pembelajaran, maka salah satu komponen nilai siswa adalah jika si anak
banyak bertanya. “Jadi nanti didasarkan pada keaktifan anak bertanya saat sedang belajar. Biasanya kan
anak-anak malas bertanya, ini tidak bisa lagi,” ujar Nuh di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (21/12/2012).
Selain keaktifan bertanya, komponen lain yang akan masuk dalam standar penilaian adalah proses dan
hasil observasi siswa terhadap suatu masalah yang diajukan guru. Kemudian, kemampuan siswa
menalar suatu masalah juga menjadi komponen penilaian sehingga anak terus diajak untuk berpikir
logis. “Kemampuan nalar ini juga yang penting. Di kurikulum baru, ini akan masuk standar penilaian
untuk anak,” jelas Nuh.

Model pembelajaran discovery merupakan suatu cara untuk mengembangkan belajar siswa aktif dengan
menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yang akan diperoleh akan tahan lama dalam
ingatan, tidak mudah dilupakan siswa. Dalam model pembelajaran ini siswa menemukan dan
mengkonstruksi sendiri sehingga akan mendorong siswa berkreativitas menemukan konsep-konsep atau
ide-ide baru dalam matematika yang belum pernah diketahui sebelumnya. Menurut Bruner dalam Prince
& Felder (2006: 132), belajar dengan penemuan adalah pendekatan yang berbasis pemeriksaan di mana
para siswa diberi suatu pertanyaan untuk menjawab, suatu masalah untuk dipecahkan, atau pengamatan-
pengamatan untuk menjelaskan, dan mengarahkan dirinya sendiri untuk melengkapi tugas-tugas mereka
yang ditugaskan dan menarik kesimpulan-kesimpulan yang sesuai dari hasil-hasil, dan "menemukan"
pengetahuan konseptual berdasarkan fakta yang diinginkan di dalam proses.
Selain itu, siswa diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk dapat menggunakan kemampuan
bernalarnya dan membiasakan untuk senantiasa berpikir kreatif. Konsep-konsep yang didapat oleh
siswa dari hasil penemuannya sendiri akan lebih bermakna dan pemahaman siswa terhadap konsep
tersebut akan meningkat.

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah ”Bagaimana penerapan model
Discovery Learning pada materi Aturan Penjumlahan Reeman di kelas XI-IA2 SMAN 11 Banda Aceh”.

229
Pembahasan

Model-model Pembelajaran

Model pembelajaran merupakan cara/teknik penyajian yang digunakan guru dalam proses pembelajaran
agar tercapai tujuan pembelajaran. Ada beberapa model-model pembelajaran seperti ceramah, diskusi,
demonstrasi, studi kasus, bermain peran (role play) dan lain sebagainya. Yang tentu saja masing-masing
memiliki kelemahan dan kelebihan. Metode/model sangat penting peranannya dalam pembelajaran,
karena melalui pemilihan model/metode yang tepat dapat mengarahkan guru pada kualitas pembelajaran
efektif.

Pengertian Model Pembelajaran dapat diartikan sebagai cara, contoh maupun pola, yang mempunyai
tujuan meyajikan pesan kepada siswa yang harus diketahui, dimengerti, dan dipahami yaitu dengan cara
membuat suatu pola atau contoh dengan bahan-bahan yang dipilih oleh para pendidik/guru sesuai
dengan materi yang diberikan dan kondisi di dalam kelas. Suatu model akan mempunyai ciri-ciri
tertentu dilihat dari faktor-faktor yang melengkapinya.

Toeti Soekamto dan Winataputra (1995:78) mendefinisikan ‘model pembelajaran’ sebagai kerangka
konseptual yang menggambarkan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman
belajar bagi para siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran dan berfungsi sebagai pedoman bagi para
perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar
mengajar. Lebih lanjut lagi, Joyce dan Weil (1986: 14-15) mengemukakan bahwa setiap model belajar
mengajar atau model pembelajaran harus memiliki empat unsur berikut:
1. Sintak (syntax) yang merupakan fase-fase (phasing) dari model yang menjelaskan model
tersebut dalam pelaksanaannya secara nyata.
2. Sistem sosial (the social system) yang menunjukkan peran dan hubungan guru dan siswa
selama proses pembelajaran.
3. Prinsip reaksi (principles of reaction) yang menunjukkan bagaimana guru memperlakukan
siswa dan bagaimana pula ia merespon terhadap apa yang dilakukan siswanya.
4. Sistem pendukung (support system) yang menunjukkan segala sarana, bahan, dan alat yang
dapat digunakan untuk mendukung model tersebut.

Model Discovery learning


Penemuan (discovery) merupakan suatu model pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan
pandangan konstruktivisme. Model ini menekankan pentingnya pemahaman struktur atau ide-ide
penting terhadap suatu disiplin ilmu, melalui keterlibatan siswa ssecara aktif dalam proses
pembelajaran. Menurut Wilcox (Slavin, 1977), dalam pembelajaran dengan penemuan siswa didorong
untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan
prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang
memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri.

Pengertian discovery learning menurut Jerome Bruner adalah metode belajar yang mendorong siswa
untuk mengajukan pertanyaan dan menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip umum praktis contoh
pengalaman. Dan yang menjadi dasar ide J. Bruner ialah pendapat dari piaget yang menyatakan bahwa
anak harus berperan secara aktif didalam belajar di kelas. Untuk itu Bruner memakai cara dengan apa
yang disebutnya discovery learning, yaitu dimana murid mengorganisasikan bahan yang dipelajari
dengan suatu bentuk akhir.

Menurut Bell (1978) belajar penemuan adalah belajar yang terjadi sebagai hasil dari siswa
memanipulasi, membuat struktur dan mentransformasikan informasi sedemikian sehingga ie
menemukan informasi baru. Dalam belajar penemuan, siswa dapat membuat perkiraan (conjucture),
merumuskan suatu hipotesis dan menemukan kebenaran dengan menggunakan prose induktif atau
proses dedukatif, melakukan observasi dan membuat ekstrapolasi.

Pembelajaran penemuan merupakan salah satu model pembelajaran yang digunakan dalam pendekatan
konstruktivis modern. Pada pembelajaran penemuan, siswa didorong untuk terutama belajar sendiri
melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip. Guru mendorong siswa agar
mempunyai pengalaman dan melakukan eksperimen dengan memungkinkan mereka menemukan
prinsip-prinsip atau konsep-konsep bagi diri mereka sendiri.

230
Pembelajaran Discovery learning adalah model pembelajaran yang mengatur sedemikian rupa sehingga
anak memperoleh pengetahuan yang belum diketahuinya itu tidak melalui pemberitahuan, sebagian atau
seluruhnya ditemukan sendiri. Dalam pembelajaran discovery learning, mulai dari strategi sampai
dengan jalan dan hasil penemuan ditentukan oleh siswa sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Maier
(Winddiharto:2004) yang menyatakan bahwa, apa yang ditemukan, jalan, atau proses semata – mata
ditemukan oleh siswa sendiri.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran discovery learning adalah suatu
model untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif dengan menemukan sendiri, menyelidiki sendiri,
maka hasil yang diperoleh akan setia dan tahan lama dalam ingatan, tidak akan mudah dilupakan siswa.
Dengan belajar penemuan, anak juga bisa belajar berfikir analisis dan mencoba memecahkan sendiri
problem yang dihadapi. Kebiasaan ini akan di transfer dalam kehidupan bermasyarakat.

Media Pembelajaran
Media pembelajaran secara umum adalah alat bantu proses belajar mengajar. Segala sesuatu yang dapat
dipergunakan untuk merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemampuan atau ketrampilan
pebelajar sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar. Batasan ini cukup luas dan mendalam
mencakup pengertian sumber, lingkungan, manusia dan metode yang dimanfaatkan untuk tujuan
pembelajaran / pelatihan. Menurut Briggs (1977) media pembelajaran adalah sarana fisik untuk
menyampaikan isi/materi pembelajaran seperti : buku, film, video dan sebagainya. Kemudian menurut
National Education Associaton(1969) mengungkapkan bahwa media pembelajaran adalah sarana
komunikasi dalam bentuk cetak maupun pandang-dengar, termasuk teknologi perangkat keras.

Ada beberapa jenis media pembelajaran, diantaranya :


a) Media Visual : grafik, diagram, chart, bagan, poster, kartun, komik
b) Media Audial : radio, tape recorder, laboratorium bahasa, dan sejenisnya
c) Projected still media : slide; over head projektor (OHP), in focus dan sejenisnya
d) Projected motion media : film, televisi, video (VCD, DVD, VTR), komputer dan sejenisnya.

Pada hakikatnya bukan media pembelajaran itu sendiri yang menentukan hasil belajar. Ternyata
keberhasilan menggunakan media pembelajaran dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan hasil
belajar tergantung pada (1) isi pesan, (2) cara menjelaskan pesan, dan (3) karakteristik penerima pesan.
Dengan demikian dalam memilih dan menggunakan media, perlu diperhatikan ketiga faktor tersebut.
Apabila ketiga faktor tersebut mampu disampaikan dalam media pembelajaran tentunya akan
memberikan hasil yang maksimal.

Tujuan menggunakan media pembelajaran :


Ada beberapa tujuan menggunakan media pembelajaran, diantaranya yaitu :
a) mempermudah proses belajar-mengajar
b) meningkatkan efisiensi belajar-mengajar
c) menjaga relevansi dengan tujuan belajar
d) membantu konsentrasi mahasiswa
e) Menurut Gagne : Komponen sumber belajar yang dapat merangsang siswa untuk belajar
f) Menurut Briggs : Wahana fisik yang mengandung materi instruksional
g) Menurut Schramm : Teknologi pembawa informasi atau pesan instruksional
h) Menurut Y. Miarso : Segala sesuatu yang dapat merangsang proses belajar siswa

Tidak diragukan lagi bahwa semua media itu perlu dalam pembelajaran. Kalau sampai hari ini masih
ada guru yang belum menggunakan media, itu hanya perlu satu hal yaitu perubahan sikap. Dalam
memilih media pembelajaran, perlu disesuaikan dengan kebutuhan, situasi dan kondisi masing-masing.
Dengan perkataan lain, media yang terbaik adalah media yang ada. Terserah kepada guru bagaimana ia
dapat mengembangkannya secara tepat dilihat dari isi, penjelasan pesan dan karakteristik siswa untuk
menentukan media pembelajaran tersebut.

Strategi dalam Pembelajaran Discovery Learning


Dalam pembelajaran dengan penemuan dapat digunakan beberapa strategi, strategi-strategi yang
dimaksud adalah sebagai berikut:
1) Strategi Induktif

231
Strategi ini terdiri dari dua bagian, yakni bagian data atau contoh khusus dan bagian generalisasi
(kesimpulan). Data atau contoh khusus tidak dapat digunakan sebagai bukti, hanya merupakan jalan
menuju kesimpulan. Mengambil kesimpulan (penemuan) dengan menggunakan strategi induktif ini
selalu mengandung resiko, apakah kesimpulan itu benar ataukah tidak. Karenanya kesimpulan yang
ditemukan dengan strategi induktif sebaiknya selalu mengguankan perkataan “barangkali” atau
“mungkin”.
2) Strategi deduktif
Dalam matematika metode deduktif memegang peranan penting dalam hal pembuktian. Karena
matematika berisi argumentasi deduktif yang saling berkaitan, maka metode deduktif memegang
peranan penting dalam pengajaran matematika. Dari konsep matematika yang bersifat umum yang
sudah diketahui siswa sebelumnya, siswa dapat diarahkan untuk menemukan konsep-konsep lain yang
belum ia ketahui sebelumnya.

Penerapan Model Discovery Learning pada materi Aturan Penjumlahan Reeman


a. Kesesuaian Materi dengan Model
Model Discovery sangat sesuai penggunaanya pada materi ini, apalagi materi ini merupakan materi
pertama yang belum pernah mereka terima sebelumnya. Dengan berbagai uji coba dalam bentuk soal,
mereka akan menemukan bahwa dalam semakin banyak poligon, maka penjumlahan poligon-poligon
tersebut akan semakin mendekati nilai yang sebenarnya.

b. Komponen Model Pembelajaran


Hamzah (2014:219) menjelaskan tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh guru dalam menerapkan
penggunaan model penemuan (discovery learning) adalah sebagai berikut:

Tahap Kegiatan Guru


Tahap 1: Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan
Orientasi siswa pada masalah bahan yang diperlukan, dan memotivasi siswa terlibat pada
aktivitas pemecahan masalah.
Tahap 2: Guru membantu siswa mendefinisikan dan
Mengorganisasi siswa untuk belajar mengorganisasi tugas belajar yang berhubungan dengan
masalah yang akan dipecahkan.
Tahap 3: Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi
Membimbing penyelidikan yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk
individual maupun kelompok mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
Tahap 4: Guru membantu siswa dalam merencanakan dan
Mengembangkan dan menyajikan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan hasil
hasil karya praktikum, dan membantu mereka untuk membagi tugas
dengan temannya.
Tahap 5: Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau
Menganalisis dan mengevaluasi evaluasi terhadap penyelidikan dan proses yang mereka
proses pemecahan masalah gunakan.

Pada awal proses pembelajaran, guru memaparkan tujuan pembelajaran pada siswa. Guru memberikan
siswa gambar-gambar kontekstual dan merespon secara positif setiap jawaban siswa serta memberi
siswa kesempatan mengapresiasikan jawaban-jawaban mereka. Gambar-gambar tersebut adalah
gambar-gambar yang mengarahkan siswa terhadap penggunaan aturan penjumlahan Reeman.
Ditahap selanjutnya, melalui pembahansan materi, guru menggiring siswa memahami aturan
penjumlahan Reeman melalui kurva dengan beberapa poligon, hingga siswa terarah pada definisi aturan
penjumlahan Reeman tersebut.
Melalui LKS, siswa pada masing-masing kelompok membahas topik tentang konsep integral tentu
dalam aturan penjumlahan Reeman dan menyelesaikan kegiatan yang terdapat pada LKS.
Guru mengklarifikasi jika terjadi beberapa kesalahan sewaktu wakil kelompok mempresentasikan hasil
pengamatan, pemecahan masalah, dan diskusi tentang konsep aturan penjumlahan Reeman ke depan
kelas, sedangkan kelompok lain memberikan tanggapan.
Tahap terakhir, guru membimbing siswa membuat kesimpulan tentang konsep integral tentu, menjawab
beberapa pertanyaan refleksi yang diberikan guru.

232
c. Sistem Sosial
Guru sebagai fasilitator dan motivator dalam membantu proses belajar siswa. Siswa harus aktif dalam
memberikan ide-idenya dan mengembangkan pengetahuannya, keterampilan yang telah dimiliki
sebelumnya. Siswa juga mampu mencari atau memproses keterkaitan atau keterhubungan antara hal-
hal yang baru dengan hal-hal yang sudah diketahui. Dan siswa mampu mengemukakan hasil belajar
didepan kelas. Sehingga peran guru adalah membantu siswa mampu menemukan keterkaitan antara
pengalaman baru dengan pengalaman sebelumnya. Guru juga berperan dalam mendorong siswa dalam
memperbaiki hasil mereka sendiri maupun hasil kerja kelompoknya. Pada pembelajaran ini siswa dibagi
menjadi 5 kelompok ygng beranggotakan 5-6 orang.

d. Prinsip Reaksi
Berdasarkan gambar, guru membuat masalah yang realistis. Menyiapkan sumber belajar atau alat peraga
yang dapat merangsang anak berpikir dan tidak sekedar menghafal. Pada saat pemberian latihan, siswa
dituntun untuk tidak cepat menyerah dan berusaha memahami. Dalam setiap langkah siswa dapat
munculkan pertanyaan “mengapa” atau “bagaimana” bahkan “selanjutnya”, guru harus mampu menjadi
fasilitator sehingga anak dapat memahami materi dengan tepat.

e. Sistem Pendukung
Sarana dan prasarana yang digunakan dalam model pembelajaran Discovery adalah buku Matematika
SMA kelas XII penerbit Erlangga dan Tiga Serangkai, LKS, Power Point, dan bahan yang ditampilkan
langsung dari internet dengan alamat http://idkf.bogor.net/yuesbi/e-
DU.KU/edukasi.net/Matematika/Integral/Integral%20sebagai%20limit%20jumlah.htm

f. Dampak Instruksional dan Dampak Pengiring


Dampak Instruksional
- Siswa dapat dengan mudah memahami materi dengan adanya ide-ide, gagasan-gagasan yang
diciptakan karena siswa dituntut dari keadaaan yang sangat konkret.
- Siswa dapat menggali potensi dirinya dalam mengerjakan soal.
- Belajar untuk tidak menghafal, tetapi harus memahami masalah.

Dampak Pengiring :
- Siswa dapat lebih aktif dan kreatif dalam menyampaikan idenya.
- Pengetahuan baru yang dibangun siswa berasal dari seperangkat ragam pengalaman sehari-hari.
- Siswa menjadi lebih dapat menghargai perbedaan pendapat atau ide.

Hasil Uji coba di Kelas

Kegiatan yang dilakukan


Proses pembelajaran ini dilaksanakan pada tanggal 6 Mei 2014 kelas XI-IA3 SMAN 11 Banda Aceh
dengan materi Aturan Penjumlahan Reeman. Materi prasyarat sebelum mempelajari materi ini adalah
Luas Bangun Datar, Notasi Sigma, Menentukan titik tengah (terdapat dalam statistik), Limit, dan
Differensial.

Materi ini merupakan materi baru yang seharusnya mereka dapatkan di kelas XII nantinya. Gambar-
gambar yang akan memotivasi siswa dan materi ajar ditampilkan dalam power point, disini siswa
memahami bahwa tidak semua bangun datar berbentuk persegi, segi tiga atau bentuk-bentuk lain yang
biasa mereka pelajari, tetapi ada bangun datar yang berbentuk kurva dan mereka akan mempelajari
bagaimana menghitung luas daerah dibawah kurva tersebut.
Guru membagikan LKS yang sudah dipersiapkan kepada masing-masing kelompok. Siswa bekerja
sama dengan kelompoknya masing-masing untuk menyelesaikan LKS yang telah dipersiapkan oleh
guru, sedangkan guru memantau siswa dalam kelompok untuk membimbing siswa. Setelah diskusi
selesai semua maka perwakilan kelompok mempresentasikan hasil yang mereka dapatkan dan siswa
lain menanggapi presentasi temannya. Akhirnya tujuan pembelajaran tercapai, siswa mampu
menyelesaikan masalah yang diharapkan dapat bermanfaat dalam kehidupannya.

Suasana di Kelas
Suasana kelas sangat tertib saat mereka mengerjakan LKS dan mereka berusaha untuk mempelajari
pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam LKS tersebut, bahkan mereka ingin menyelesaikan soal tersebut

233
dengan rapi, benar, dan tepat. Siswa juga sangat bersemangat di dalam kelas, mereka bertanya tentang
hal yang mereka belum mengerti.

Komentar Siswa
Di akhir pertemuan, guru meminta siswa menjawab angket yang diberikan berupa 10 pernyataan yang
harus dipilih siswa. Pernyataan-pernyataan ini memiliki pilihan jawaban: sangat setuju, setuju, ragu-
ragu, tidak setuju, dan sangat tidak setuju.

Ketercapaian Tujuan Pembelajaran


Sesuai dengan tujuan pembelajaran pada silabus, 100% siswa mampu menjawab soal-soal yang
diberikan, namun 80% mereka lupa menggambar poligon. Mereka hanya berpedoman dengan soal dan
proses pengerjaan dan mengabaikan gambar poligon dalam kurva yang menjadi pendukung pengerjaan
soal. Ketika diselidiki, ternyata mereka menganggap bisa menyelesaikan soal tanpa menggambar
terlebih dahulu. Hal ini tentu saja mengurangi nilai karena gambar merupakan bagian dari LKS. Namun
dari jawaban yang mereka peroleh pada lembar kerja, tujuan pembelajaran tercapai mengingat ini adalah
materi baru dan metode baru buat mereka.

Komunikasi/strategi/kreativitas/karakter
Pada saat PBM berlangsung, tidak semua siswa aktif bertanya. Sebagian siswa hanya melihat,
mendengar, dan mengerjakan. Namun situasi ini dapat diatasi apabila guru menguasai kelas, dengan arti
dapat mengkondisikan kelas agar terlihat aktif. Karakteristik perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab,
peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan pro-aktif terjadi terutama saat
mereka di dalam kelompok belajar.

Simpulan dan Saran

Simpulan
Model discovery learning adalah pembelajaran yang menuntut siswa untuk berpatisipasi aktif dalam
proses belajar mengajar dengan kemampuan yang sudah dimiliki, agar mereka mendapatkan
pengalaman untuk melakukan percobaan. Dari percobaan tersebut maka mereka akan menemukan
jawaban atas pertanyaan dari proses pembelajaran tersebut.

Dari respon yang diberikan dalam proses pembelajaran, siswa menyatakan senang belajar dengan model
pembelajaran discovery learning, dengan alasan melalui pembelajaran dengan model pembelajaran ini
menjadikan mereka lebih semangat dalam belajar matematika, lebih berani untuk bertanya dan berani
untuk mengemukakan pendapat serta dengan penerapan model discovery learning dapat meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis siswa.

Saran
Diharapkan kreatifitas guru dalam pembelajaran lebih ditingkatkan untuk menunjang minat siswa dalam
belajar. Khususnya kepada berbagai pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pembelajaran matematika
hendaknya senantiasa memperhatikan dan mengevaluasi proses pembelajaran yang berlangsung dan
diharapkan mampu mengembangkan pendekatan-pendekatan pembelajaran yang inovatif dengan tetap
memperhatikan karakteristik siswa, salah satunya adalah kemampuan komunikasi matematis siswa.

Daftar Pustaka

Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono. (2004). Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Budiningsih, Asri. (2005). Pembelajaran Moral Berpijak pada Karakteristik Siswa dan Budayanya.
Jakarta: Rineka Cipta

Depdiknas. (2006). Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Sekolah
Menengah Pertama. Jakarta: Depdiknas

Djamarah dan Aswan Zain. (2002). Strategi Belajar Mengajar ,Jakarta: PT RinekaCipta

234
Hamzah, Ali. (2014). Perencanaan dan Strategi Pembelajaran matematika. Jakarta: Rajawali
pers

Joyce, B.Weil, M.; Showers, B. (1986). Models of Teaching. Boston: Allyn and Bacon

Mulyasa. (2008). Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Rusdakarya

Prince, M. J. & Felder, R. M. (2006). “Inductive Teaching and Learning Methods: Definitions,
Comparisons, and Research Bases”. Journal of Engineering Education, 95 (2). 123-
138.

Shadiq, F. (2009). Model-model Pembelajaran Matematika SMP. Sleman: Depdiknas

Sutarto Hadi. (2005). Pendidikan Matematika Realistik. Banjarmasin: Penerbit Tulip.

Suyitno. (2006). Pemahaman Mahasiswa UPI Terhadap Hakikat Manusia dan Pendidikan
dalam Rangka Menjadi Guru. Sekolah pasca Sarjana UPI. Bandung.

Syah, Muhibbin. (2004). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Jakarta: Rosda

Toeti Soekamto & Udin S. Winataputra. (1995). Teori Belajar dan Model-Model
Pembelajaran. Jakarta: Ditjen Dikti, Depdiknas

DOKUMENTASI

Guru memberikan contoh berupa gambar-gambar berbentuk kurva

Guru menerangkan bagaimana cara menghitung luas sebuah kurva

235
Membentuk kelompok dan membagikan LKS

Guru menjelaskan soal yang terdapat pada LKS

Guru membimbing siswa dan merespon setiap pertanyaan

Siswa mengerjakan LKS

236
Karakteristik yang terjadi dalam kelompok

Perwakilan kelompok mempresentasikan hasil kerja kelompoknya

Siswa dari kelompok lain menanggapi hasil kerja dari kelompok yang sedang presentase

Guru memberikan sebuah simulasi yang ditampilkan secara online kepada siswa

237
Guru menuntun siswa melakukan refleksi terhadap materi yg baru dipelajari, mengomunikasikan
materi untuk pertamuan selanjutnya dan memberikan PR

Siswa menjawab angket yang diberikan oleh guru

238
PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN HYPNO-TEACHING
DI KELAS VIII SMP PLUS AL-ATHIYAH ACEH BESAR

Yuhasriati1) dan Agam Mustafa2)


1)2)
Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala
1)
yuhasriati@yahoo.com
2)
Pangerankampung09@gmail.com

Abstrak. Matematika merupakan salah satu materi pelajaran yang harus dikuasai siswa,
sementara Matematika memiliki objek yang abstrak. Oleh sebab itu, perlu dipikirkan
sedemikian hingga pembelajaran yang terjadi tidak membuat siswa bosan, tertekan,
apalagi stress. Seorang guru harus mengupayakan pembelajaran yang menyenangkan.
Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah melaksanakan pembelajaran dengan
hypno-teaching. Hypno-Teaching merupakan pembelajaran dalam suasana rileks, dengan
senantiasa guru mengupayakan untuk mengaktifkan pikiran bawah sadar siswa. Hal ini
dapat dilakukan dengan cara memberikan sugesti belajar; menggunakan ice breaking;
memperhatikan modalitas belajar siswa; dan memberikan pujian. Tujuan dari penelitian
ini adalah 1) untuk mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran dengan hypno-
teaching, 2) untuk mengetahui pencapaian ketuntasan belajar matematika siswa melalui
pembelajaran dengan hypno-teaching. Populasi penelitian ini adalah siswa kelas VIII
SMP Plus Al-Athiyah Aceh Besar dan sampel diambil secara random satu kelas dan
terpilih kelas VIIIA dengan banyak siswa 26 siswa. Pengumpulan data dilakukan setelah
materi diajarkan dengan pendekatan Hypno-Teaching yaitu melalui tes dan angket respon
siswa. Soal tes berbentuk essay sebanyak 5 butir soal. Data dari penelitian ini berupa nilai
dari hasil tes dan respon siswa melalui angket. Data yang berupa nilai dianalisis dengan
menggunakan statistik uji-t pihak kanan dengan taraf signifikasi 5% dan data yang berupa
respon siswa dianalisis dengan persentase. Hasil analisis data menunjukkan bahwa 1)
siswa memberikan respon yang positif terhadap pembelajaran dengan Hypno-Teaching
dan 2) pembelajaran dengan Hypno-Teaching dapat mencapai ketuntasan belajar
matematika siswa khususnya pada materi Lingkaran di SMP Plus Al-Athiyah Aceh Besar.

Kata kunci: Hypno-teaching, Matematika

Pendahuluan
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang ada disetiap jenjang pendidikan, baik di jenjang
pendidikan dasar, menengah maupun perguruan tinggi. Peranan matematika sangat penting dalam
menunjang pembangunan baik dalam bidang pendidikan, ekonomi, maupun politik. Bagi siswa
penguasaan matematika akan menjadi sarana yang ampuh untuk menpelajari mata pelajaran lain, karena
matematika mengajarkan cara berfikir yang logis (rasional), kritis dan objektif. Matematika merupakan
suatu ilmu yang didasarkan atas akal (rasio) yang berhubungan dengan benda-benda dalam pikiran yang
abstrak. Menurut Soejadi (2000:13), karakteristik dari matematika adalah 1) memiliki objek kajian yang
abstrak, 2) Bertumpu pada kesepakatan, 3) berpola pikir deduktif, 4) memiliki simbul yang kosong dari
arti, 5) memperhatikan semesta pembicaraan, dan 6) konsisten dalam sistemnya. Salah satu karakteristik
dari matematika adalah memiliki objek yang abstrak. Keseriusan dari guru sangat dibutuhkan dalam
membelajarkan objek yang abstrak pada siswa. Guru harus menciptakan pembelajaran yang
menyenangkan bagi siswa, seperti amanah Undang-undang No. 20 pasal 40 ayat 2 yaitu “guru dan
tenaga kependidikan berkewajiban menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan,
kreatif, dinamis, dan dialogis”

Banyak masalah pembelajaran matematika yang harus dihadapi. Sebagaimana hasil wawancara dengan
guru yang ada di SMP Plus Al- Athiyah Aceh Besar, menyatakan bahwa dalam pelaksanaan belajar
mengajar guru menerapkan beberapa metode diantaranya metode ceramah, tanya jawab, dan pemberian
tugas. Akibat dari pembelajaran tersebut adalah
1. Siswa tidak antusias dalam mengikuti pembelajaran,

2. Siswa kurangnya percaya diri

3. Siswa hanya diposisikan sebagai pendengar, sehingga membosankan

239
4. Proses pembelajaran yang monoton dan kurang menarik, dan

5. Rendahnya penguasaan siswa terhadap materi pelajaran matematika

Kenyataan di atas merupakan masalah yang sangat urgen dan sangat mengkhawatirkan kualitas
pendidikan matematika. Guru harus berani memilih/menetapkan cara membelajarkan siswa dengan
menetapkan pola pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik matematika dan karakteristik siswa di
sekolahnya masing-masing. Artinya, guru sebagai orang yang pertama dan yang utama bertindak
sebagai pengembang kegiatan pembelajaran yang mengenal karakteristik siswa dengan baik yang dapat
mengupayakan pembelajaran yang menyenangkan sehingga dapat meningkatkan kualitas pendidikan
matematika di setiap sekolah tempat guru melaksanakan tugas profesionalitasnya. Pembelajaran yang
menyenangkan menurut Rusman (2011:326) menyatakan bahwa, “pembelajaran yang menyenangkan
adalah adanya pola hubungan yang baik antara guru dengan siswa dalam proses pembelajaran”

Salah satu alternatif pembelajaran yang menyenangkan dapat dilakukan melalui pembelajaran dengan
hypno-teaching. Hypno-teaching merupakan pembelajaran dalam suasana rileks, dengan senantiasa
guru mengupayakan untuk mengaktifkan pikiran bawah sadar siswa. menciptakan kondisi pembelajaran
yang sugestible. Bagaikan dokter ketika melakukan operasi pasiennya, supaya pssien tidak merasa sakit
maka dokter perlu membiusnya terlebih dahulu. Demikian juga guru diharapkan mampu berkomunikasi
dan dapat mempengaruhi pikiran siswa sehingga tercipta kondisi pembelajaran menjadi terfokus pada
materi pelajaran. Hal ini dapat dipelajari melalui hypno-teaching.

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraian pada pendahuluan maka peneliti mencoba melakukan
penelitian dengan judul “Pembelajaran Matematika dengan Hypno-Teaching di Kelas VIII SMP Plus
Al-Athiyah Aceh Besar”. Rumusan masalah dari penelitian ini adalah 1) Bagaimana respon siswa
terhadap pembelajaran dengan hypno-teaching, 2) Bagaimana ketuntasan belajar matematika siswa
melalui pembelajaran dengan hypno-teaching. Sejalan dengan rumusan masalah maka tujuan dari
penelitian ini adalah 1) untuk mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran dengan hypno-teaching,
2) untuk mengetahui pencapaian ketuntasan belajar matematika siswa melalui pembelajaran dengan
hypno-teaching.

Landasan Teoritis

Pembelajaran Matematika
Matematika adalah bahasa universal untuk menyajikan gagasan atau pengetahuan secara formal dan
presisi sehingga tidak memungkinkan terjadinya multi tafsir. Matematika berperan sebagai alat
komunikasi formal paling efisien. Penyampaiannya adalah dengan membawa gagasan dan pengetahuan
konkret ke bentuk abstrak melalui pendefinisian variabel dan parameter sesuai dengan yang ingin
disajikan. Penyajian dalam bentuk abstrak melalui matematika akan mempermudah analisis dan
evaluasi selanjutnya.

Pembelajaran matematika SMP mempunyai tujuan tertentu sesuai dengan fungsinya sebagaimana sudah
disebutkan di atas. Sebagaimana dicantumkan dalam Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan
Kebudayaan Nomor 68 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah
Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (2013:6), tujuan dari pembelajaran matematika agar siswa
memiliki Kompetensi Inti (KI) sebagai berikut.
KI 1 : Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.
KI.2 : Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong
royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan pro-aktif dan menunjukkan
sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara
efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai
cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
KI 3 : Memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural,
dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi,
seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan,
dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan
prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk
memecahkan masalah.

240
KI 4 : Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan
pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, bertindak secara efektif
dan kreatif, serta mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.

Berdasarkan KI dari Kurikulum 2013 menunjukkan bahwa pembelajaran menekankan pada pentingnya
keseimbangan kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan. Kemampuan matematika yang
dituntut dibentuk melalui pembelajaran berkelanjutan: dimulai dengan meningkatkan pengetahuan
tentang metode-metode matematika, dilanjutkan dengan keterampilan menyajikan suatu permasalahan
secara matematis dan menyelesaikannya, dan bermuara pada pembentukan sikap jujur, kritis, kreatif,
teliti, dan taat aturan.

Pembelajaran matematika yang dianjurkan oleh Kurikulum 20013 sebagaimana tercantum Kemdikbud
(2013:x) dilakukan dalam 5 tahapan pembelajaran, yaitu:
a. Apersepsi

b. Interaksi sosial di antara siswa, guru, dan masalah

c. Mempresentasikan dan mengembangkan hasil kerja

d. Temuan objek matematika dan penguatan skemata baru

e. Menganalisis dan mengevaluasi proses dan hasil penyelesaian masalah.

Lima tahapan pembelajaran tersebut belum menjamin dapat memberi kemudahan bagi siswa untuk
menguasai materi matematika yang disajikan guru. Percaya atau tidak, kondisi ruang kelas juga sangat
mempengaruhi diri siswa. banyaknya siswa dalam ruangan, suhu ruangan, sikap dan ekspresi guru
terhadap siswa dan masih banyak faktor lain ternyata mempunyai pengaruh terhadap kemampuan
berpikir siswa. Terutama faktor guru yang merupakan pengaruh yang kuat terhadap kemampuan
berpikir siswa.

Guru yang masuk ruang kelas dengan tubuh lemas, letih, lesu, lunglai, dan lusuh, tentu akan mendapat
respon yang sama dari siswanya. Bahasa tubuh atau komunikasi nonverbal yang dipancarkan oleh guru
akan diterima oleh pikiran bawah sadar siswa. Guru bisa saja berusaha untuk menyajikan materi
semenarik mungkin seperti tahapan yang tersebut di atas, namun apa yang ada di pikiran bawah
sadarnya akan tertangkap oleh siswa. Siswa tahu jika guru mereka sebenarnya tidak semangat dan
akibatnya siswa juga tidak bersemangat dalam belajar. Kondisi siswa yang tidak bersemangat tersebut
merupakan efek dari hipnosis dari guru. Namun guru dapat melakukan hipnosis yang efeknya
menumbuhkan semangat belajar siswa. Misalnya, guru matematika anda sangat ramah, perhatian,
mengerti anda, dan bersemangat menjelaskan materi matematika, anda belajar matematika dalam
kondisi rileks dan nyaman, akibatnya matematika menjadi pelajaran favorit anda.

Pembelajaran matematika yang bersemangat dapat dilakukan dengan 5 tahapan tersebut, tetapi harus
dilakukan oleh guru dapat mengaktifkan 4 kompetensi yang diwajibkan kepadanya, sebagaimana
tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 18 ayat 3, “Kompetensi guru
sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, atau pendidikan
menengah adalah 1) kompetensi pedagogik, 2) kompetensi kepribadian, 3) kompetensi profesional, dan
4) kompetensi sosial”. Terutama kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. Kompetensi
kepribadian maksudnya kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa,
menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Kompetensi sosial maksudnya kemampuan
pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta
didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitas,
sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005

Berdasarkan penjelasan di atas, indikator seorang guru mempunyai kompetensi kepribadian salah
satunya adalah memiliki perilaku yang berpengaruh positif terhadap peserta didik dan indikator
memiliki kompetensi soasial salah satunya adalah mampu berkomunikasi secara efektif dengan peserta
didik. Proses pembelajaran harus memuat komunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan
peserta didik’. Menyangkut komunikasi, Setiawan (2010:9) menyatakan “setiap komunikasi yang

241
berhasil adalah hipnosis”. Oleh karena Kemampuan komunikasi dapat diaktifkan dengan
mempertimbangkan pembelajaran dengan menggunakan hipnosis yang disebut hypno-teaching.

Hypno-teaching
Hypno-Teaching merupakan perpaduan dua kata “hypnosis” dan “teaching”. Teaching sudah kita tahu
semua yaitu mengajar. Hipnosis didefinisikan oleh Almatin (2010: 73) sebagai suatu kondisi pikiran
saat fungsi analitis logis pikiran direduksi sehingga memungkinkan individu masuk ke dalam kondisi
bawah sadar (sub-conscius) sehingga tersimpan beragam potensi internal yang dapat dimanfaatkan
untuk lebih meningkatkan kualitas hidup”. Selanjutnya ada beberapa definisi yang sudah di rangkum
oleh Gunawan (2012:3) untuk kata hipnosis, yaitu
1) hipnosis adalah suatru kondisi di mana perhatian menjadi sangat terpusat sehingga
tingkat sugestibilitas meningkat sangat tinggi,

2) hipnosis adalah seni komunikasi untuk mempengaruhi seseorang sehingga mengubah


tingkat kesadarannya yang dicapai dengan cara menurunkan gelombang otak,

3) hipnosis adalah seni eksplorasi alam bawah sadar,

4) hipnosis adalah kondisi kesadaran yang meningkat,

5) hipnosis adalah suatu kondisi pikiran yang dihasilkan oleh sugesti.

Gunawan (2012:146) menyatakan bahwa, “Proses pembelajaran yang terjadi di sekolah tidak terlepas
dari proses hipnosis”. Misalnya, anda pernah merasa sangat senang belajar matematika, karena guru
anda guru matematika anda sangat ramah, perhatian, mengerti anda, dan bersemangat menjelaskan
materi matematika, akibatnya matematika menjadi pelajaran favorit anda. Namun saat anda naik kelas,
mata pelajaran matematika diajarkan oleh guru lain, yang anda rasakan tidak tertarik, tidak semangat,
mudah bosan, atau bahkan mulai membenci matematika. Mata pelajaran yang sama diasuh oleh guru
yang berbeda memberikan pengaruh yang tidak sama. Itu semua efek dari hipnosis yang tidak
direncanakan oleh guru.

Salah satu definisi hipnosis adalah seni komunikasi untuk mempengaruhi seseorang sehingga mengubah
tingkat kesadarannya yang dicapai dengan cara menurunkan gelombang otak. Hipnosis adalah
kemampuan berkomunikasi, baik dengan dirinya sendiri maupun dengan orang lain. Hypno-teaching
menurut Triwidia (2010:4) adalah pembelajaran yang melibatkan pikiran sadar dan pikiran bawah sadar.
Sejalan dengan itu hypno-teaching didefinisikan oleh Navis (2013:128) adalah pembelajaran
melibatkan kemampuan guru untuk siswa ke kondisi kesadaran yang sangat mudah untuk menerima
berbagai saran/sugesti. Jadi Hypno-teaching adalah pembelajaran dengan hipnosis, merupakan seni
mengajar dengan mensugesti (mempengaruhi) pikiran siswa melalui komunikasi sehingga perhatian
siswa menjadi sangat terpusat. Terpusatnya perhatian siswa dalam pembelajaran mengakibatkan tingkat
sugestibilitas (daya terima informasi) meningkat sangat tinggi.

Komunikasi dalam hipnosis ada kesan dimanipulasi, sedemikian hingga mendapatkan hasil yang baik
atau efektif. Komunikasi dimanipulasi dengan menggunakan pola kalimat berkekuatan hipnosis. Guru
juga diharuskan mampu berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik,maka komunikasi yang
digunakanguru harus dimanipulasi dengan menggunakan pola kalimat berkekuatan hipnosis. Setiawan
(2010:74-Ada beberapa pola kalimat yang berkekuatan hipnosis yaitu;
1. Pola take and give, digunakan guru untuk menjalin keakraban (building raport) dengan
siswa.

2. Pola ‘karena’, digunakan agar memudahkan siswa untuk mengizinkan guru memberi saran
atau melakukan sesuatu

3. Pola ‘semakin ...... semakin.....’, digunakan untuk memperkuat apa yang sedang dilakukan
dan mengarahkan siswa untuk melakukan sesuai dengan dengan yang guru inginkan.

242
4. Pola Double Binding digunakan agar siswa memilih salah satu pilihan yang telah guru
arahkan untuk dipilih dari dua pilihan yang mengikat.

5. Polo Nominalisasi, Mengubah kata kerja menjadi kata benda untuk menyederhanakan
proses dalam pikiran, karena pada prinsipnya otak kita menyukai yang sederhana,
demikian juga otak siswa.

6. Pacing dan leading, Pacing adalah segala sesuatu yang merupakan kebenaran yang tidak
terbantahkan. Leading adalah saran-saran atau perintah agar dijalankan siswa. Jadi pacing
dan leading adalah teknik komunikasi untuk mendapatkan hati siswa (pacing), kemudian
mengarahkan seperti keingingan guru. (lading)

Pembelajaran dengan hipnosis (hypno-teaching) merupakan pembelajaran yang mengakomudir hal-


hal yang dapat mengaktifkan pikiran bawah sadar siswa. Beberapa hal yang harus dilakukan oleh guru
antara lain:

1. Menyapa siswa dengan ramah, antusias, dan bersemangat


Menciptakan awal yang berkesan adalah penting karena akan mempengaruhi proses selanjutnya. Jika
awalnya baik, menarik, dan memikat, maka proses pembelajaran akan lebih hidup dan menggairahkan.
Oleh karena itu selalu awali kegiatan pembelajaran dengan memberikan sapaan hangat kepada siswa,
misalnya “anak-anak senang bertemu kalian hari ini, kalian adalah anak-anak bapak atau/ibu yang
hebat”. Sapaan antusias, hangat dan raut wajah cerah memantulkan energi positif yang dapat
mempengaruhi semangat para siswa. Kita dapat bayangkan jika seorang guru ketika memulai
pembelajaran dengan raut muka ruwet, tidak senyum, penampilan kusut, tentu saja suasana kelas
menjadi menegangkan dan menakutkan.

2. Menciptakan suasana rileks


Ciptakanlah lingkungan yang rileks, yaitu dengan menciptakan lingkungan yang nyaman. Oleh karena
itu aturlah posisi tempat duduk secara berkala sesuai keinginan siswa. Bisa memakai format U,
lingkaran, dan lain-lain. Selain itu, ciptakanlah suasana kelas dimana siswa tidak takut melakukan
kesalahan. Untuk menanamkan keberanian kepada siswa dalam mengemukakan pendapat atau
menjawab pertanyaan, katakan kepada siswa jika jawabannya salah katakan “KAN LAGI BELAJAR”.
Karena sedang belajar, maka kesalahan adalah suatu yang lumrah dan tidak berdosa.

3. Memberikan sugesti belajar


Memberikan sugesti supaya lebih efektif perlu terlebih dahulu mengaktifkan pikiran bawah sadar,
caranya dengan menempatkan imajinasi dalam proses benar-benar berimajinasi. Imajinasi adalah
penciptaan gambar dalam pikiran. Sugesti adalah suatu rangkaian kata-kata atau kalimat yang
disampaikan dengan cara dan dalam situasi tertentu sehingga dapat memberi pengaruh bagi yang
mendengar.

4. Menggunakan ice breaking


Ice breaking berguna untuk menaikkan kembali derajat perhatian siswa. Hal ini perlu dilakukan oleh
guru karena berdasarkan hasil penelitian, rata-rata setiap orang untuk dapat berkonsentrasi pada satu
focus tertentu hanyalah sekitar 15-30 menit. Setelah itu konsentrasi seseorang sudah tidak lagi dapat
memusatkan perhatian (fokus). Seorang guru harus peka ketika melihat gejala yang menunjukkan
bahwa siswa sudah tidak dapat konsentrasi lagi dengan melakukan ice breaking agar siswa menjadi
segar dan konsentrasi kembali. Ice breaking bisa berupa yel-yel, tepuk tangan, menyanyi, gerak dan
lagu, gerak anggota badan, senam otak, atau games.

5. Memperhatikan modalitas belajar siswa


Modalitas belajar adalah cara termudah seseorang menyerap informasi. Setiap individu mempunyai
modalitas belajar yang berbeda-beda. Depoter dan Hernachi (2010:112) dalam bukunya ada tiga
modalitas belajar seseorang yaitu Auditory, Visual, dan Kinesthetic. Guru perlu menyadari bahwa siswa
dalam satu kelas memiliki modalitas belajar yang berbeda-beda. Oleh karena itu, untuk mengakomodir
semua siswa belajar dengan latar belakang yang berbeda tersebut guru dapat menggunakan metode yang
bervariasi.

243
6. Berikan pujian
Pujian dibutuhkan untuk peningkatan harga diri seseorang. Pujian merupakan salah satu cara untuk
membentuk konsep diri seseorang. Maka berikanlah pujian dengan tulus pada siswa Anda. Khususnya
ketika ia berhasil melakukan atau mencapai prestasi. Sekecil apapun bentuk prestasinya, tetap berikan
pujian. Termasuk ketika ia berhasil melakukan perubahan positif pada dirinya sendiri, meski mungkin
masih berada di bawah standart teman-temannya, tetaplah berikan pujian. Dengan pujian, seseorang
akan terdorong untuk melakukan yang lebih dari sebelumnya.

Guru yang melaksanakan pembelajaran matematika yang dengan hypno-teaching.seperti yang


dilakukan oleh gurunya manusia. Menurut Chatib (2013:xviii), “Gurunya manusia adalah guru yang
fokus kepada kondisi siswa, yang senantiasa memandang setiap siswa adalah juara, mengajar dengan
hati, mengartikan kemampuan siswa dalam arti yang luas, dan menjadi sosok yang menyenangkan bagi
siswanya”.

Metode Penelitian
Penelitian ini tergolong jenis penelitian eksperimen, karena peneliti memberikan suatu perlakuan berupa
pembelajaran dengan hypno-teaching terhadap satu kelas objek yaitu siswa kelas VIIIA SMP Plus Al-
Athiyah Aceh Besar. Dalam hal ini Riyanto (2011:31) mengemukakan bahwa: penelitian eksperimen
merupakan penelitian sistematis, logis dan teliti didalam melakukan control terhadap kondisi. Penelitian
ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian kuantitatif merupakan penelitian yang didasarkan
atas perhitungan angka dimulai dari pengumpulan data, penafsir terhadap data tersebut, serta
penampilan dari hasilnya (Arikunto,2006:12) Jadi penelitian ini menggunakan penelitian eksperimen
dengan pendekatan kuantitatif.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kelas VIII SMP Plus Al- Athiyah Aceh Besar yang
berjumlah 2 kelas, sedangkan yang menjadi sampel hanya satu kelas, yaitu Kelas VIIIA SMP Plus Al-
Athiyah Aceh Besar dengan banyak siswa 26 siswa Pengambilan sampel ini dilakukan secara purposiv
sampling, yaitu keadaan kelas dan siswa yang dapat diterapkan pembelajaran dengan Hypno-Teaching.

Materi matematika yang digunakan dalam penelitian ini adalah materi lingkaran. Pengumpulan data
dilakukan setelah materi diajarkan dengan hypno-teaching yaitu melalui tes dan angket respon siswa.
Soal tes berbentuk essay sebanyak 5 butir soal. Data dari penelitian ini berupa nilai dari hasil tes dan
respon siswa melalui angket. Data yang berupa nilai dianalisis dengan menggunakan statistik uji-t pihak
kanan dengan taraf signifikasi 5% dan data yang berupa respon siswa dianalisis dengan persentase.

Hipotesis yang diajukan adalah :


H0 : µ = µ0 Rata-rata hasil belajar siswa melalui pembelajaran dengan hypno-teaching pada materi
Lingkaran di kelas VIII SMP Plus Al-Athiyah Aceh Besar belum mencapai ketuntasan.
H0 : µ > µ0 Rata-rata hasil belajar siswa melalui pembelajaran dengan hypno-teaching pada materi
Lingkaran di kelas VIII SMP Plus Al-Athiyah Aceh Besar dapat mencapai ketuntasan
belajar.
Nilai µ0= 65 sesuai dengan KKM di SMP Plus Al-Athiyah Aceh Besar merupakan nilai standar yang
berarti bahwa siswa telah menguasai 65% materi pelajaran yang diberikan.

Hasil Penelitian

Data yang berupa respon siswa yang dikumpulkan melalui angket yang diisi oleh 26 orang siswa Kelas
VIIIA SMP Plus Al-Athiyah Aceh Besar setelah mengikuti pembelajaran dengan hypno-teaching
dianalisis dengan presentasi. Hasil analisis terlihat bahwa banyak komponen yang diamati direspon
positif yaitu persentasenya ≥80%. Komponen-komponen tersebut adalah siswa merasa senang terhadap
cara suasana pembelajaran di kelas dengan persentase 82,14% dan siswa senang terhadap cara guru
mengajar dengan persentase mencapai 100%, komponen lain yang direspon positif oleh siswa adalah
siswa merasa baru terhadap suasana pembelajaran di kelas, dan cara guru mengajar serta siswa
berkeinginan untuk mengikuti pembelajaran selanjutnya dengan dengan hipno-teaching sebesar
92,86%. Sedangkan ada aspek yang lainnya yaitu menyangkut materi pelajaran yang tidak merasa baru
bagi siswa, sehingga berada pada kategori tidak positif, karena respon yang diperoleh menunjukkan
hasil dibawah 80%. Respon siswa dikatakan efektif jika jawaban siswa terhadap pernyataan positif
untuk setiap aspek yang direspon pada setiap komponen pembelajaran dan diperoleh persentase

244
sekurang-kurangnya 80%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa respon siswa terhadap
pembelajaran dengan hipno-teaching adalah positif.

Data yang dikumpulkan adalah nilai hasil belajar siswa yang dilakukan secara tertulis dan dilaksanakan
setelah materi Linggkaran selesai diajarkan. Pengumpulan data hasil belajar dilakukan satu kali yaitu
tes akhir. Data nilai hasil belajar siswa diperoleh rata-rata 𝑥̅ = 69,96 dengan simpangan baku s = 12,07

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji-t pihak kanan, dengan taraf signifikan α=0,05
Namun sebelumnya dilakukan uji normalitas sebaran data sebagai syarat dari uji t. Berdasarkan uji
normalitas sebaran data pada taraf signifikansi α = 0,05 disimpulkan bahwa data dalam penelitian ini
berasal dari populasi yang berdistribusi normal.

Hasil dari pengujian hipotesis tentu saja berkaitan dengan perlakuan yang diberikan. Pengujian hipotesis
dalam penelitian ini menggunakan uji-t pihak kanan, dengan taraf signifikan α = 0,05. Nilai statistik
hitung diperoleh thitung = 2,09. Dengan taraf signifikan α = 0,05 dan derajat kebebasan dk = (n-1) = (26
- 1) = 25, diperoleh diperoleh t(0,95)(25) = ttabel = 1,71. Ternyata 2,09 > 1,71, atau thitung > ttabel artinya
thitung berada dalam daerah kritis (daerah tolak Ho). Karena itu keputusannya hiptotesis Ho ditolak.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, rata-rata hasil belajar siswa melalui pembelajaran dengan
hypno-teaching pada materi Lingkaran di kelas VIII SMP Plus Al-Athiyah Aceh Besar dapat mencapai
ketuntasan belajar.

Kesimpulan

Berdasarkan analisis data maka dapat disimpulkan: 1) siswa memberikan respon yang positif terhadap
pembelajaran dengan hypno-teaching dan 2) pembelajaran dengan Hypno-Teaching dapat mencapai
ketuntasan belajar matematika siswa khususnya pada materi Lingkaran di SMP Plus Al-Athiyah Aceh
Besar.

Berdasarkan simpulan di atas, saran-saran yang dapat penulis berikan adalah sebagai berikut: 1) Guru
dapat menerapkan pembelajaran matematika dengan hypno-teaching sebagai salah satu alternatif
pembelajaran yang dapat mencapai ketuntasan belajar siswa. 2) Menyangkut hipno-teaching khusus
untuk pembelajaran matematika, guru dapat melakukan pembelajaran dengan Mathemagics, yaitu
mengajarkan matematika dengan terlebih dahulu membongkar mental block yang menghambat diri
anak.

Daftar Pustaka

Aminulloh, Yusron. (2013). Ubah Mindset Pembelajaran: 10 Langkah Mendidik Siswa Secara Kreatif
dan Humanis. Yogyakarta: Aswaja Presindo

Annonim, (2003). Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Annonim, (2005). Peraturan Pemerintah Nomar 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Annonim,. (2013). Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 68 Tahun 2013
Tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah pertama/Madrasah
Tsanawiyah. Jakarta: Mendikbud.

Almatin, Isma. (2010). Dahsyatnya Hypnosis Learning untuk Guru dan Orangtua. Yogyakarta: Pustaka
Widyatama.

Chatib, Munif. (2013). Gurunya Manusia: Menjadikan Semua Anak Istimewa dan Semua Anak Juara.
Bandung: Kaifa

DePorter, Bobbi dan Hernachi, Mike. (2010). Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan
Menenangkan. Terjemahan Abdurrahman, Alwiyah. Bandung: Kaifa.

245
DePorter, Bobbi dkk. (2011). Quantum Teaching: Mempraktekkan Quantum Learning di Ruang-ruang
Kelas. Terjemahan Nilandari, Ari. Bandung: Kaifa.

Gunawan, Andi Wira (2003). Genius Learning Strategy. Jakarta: Gramedia

Gunawan, Andi Wira (2012). Hipnosis-The Art of Subconcious Communication: Meraih Sukses dengan
Kekuatan Pikiran. Jakarta: Gramedia.

Navis, Ali Akbar. (2013). Hipnoteaching: Revolusi Gaya Mengajar untuk Melejitkan Prestasi Siswa.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Rusman. (2011). Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru Jakarta: Raja


Grafindo.

Setiawan, Andrie. (2010). Kominikasi Dahsyat dengan Hipnosis. Jakarta:Visi Media

Soejadi, R. (2000). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas.

Sulistiani, Enny. (2012). Mendidik Tidak Mendadak: NLP Based dan EFT. Bandung: Khasanah
Intelektual.

Triwidia Jaya, Novian. (2010). Hypno-teaching: Bukan Sekedar Mengajar. Bekasi: D-Brain.

Yuhasriati, (2012). Pembelajaran Matematika yang Menyenangkan melalui Hypno-Teaching. Makalah


Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika, Tanggal 14 Desember 2012 di
Auditorium FKIP Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh.

246
PEMBUATAN APLIKASI KARTU ALJABAR DIGITAL

Zul Firdaus Mustafa1, Juwita2


1
SMP Negeri 2, Banda Aceh
2
Prodi Manajemen Informatika,Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
Email: zulfirdaus@gmail.com

Abstrak. Dalam dunia pendidikan penggunaan perangkat lunak komputer seperti adobe
flash, i-spring atau powerpoint dapat digunakan untuk membuat media pembelajaran
yang interaktif, quis interaktif, dan juga alat peraga digital. Penelitian ini bertujuan untuk
membuat alat peraga digital yang diberi nama aplikasi kartu aljabar digital. Ada empat
tahap yang dilalui untuk melakukan pengembangan kartu aljabar digital tersebut, yaitu :
perancangan antar muka pengguna, pengkodean, evaluasi dan publish. Penelitian ini telah
berhasil mengembangkan kartu aljabar digital yang terdiri dari tiga bagian utama, yaitu :
halaman intro, halaman kesepakatan dan halaman latihan. Halaman kesepakatan
menguraikan beberapa butir penting yang harus diingat oleh pengguna dalam
menyelesaikan permasalah bentuk aljabar yang diberikan. Kesepakatan tersebut antara
lain : warna merah untuk menyatakan nilai positif, warna biru untuk menyatakan nilai
negatif. Variabel x2 diwakili oleh persegi besar, variabel x diwakili oleh persegi panjang,
dan satuan diwakili oleh persegi kecil. Persegi-persegi ini selanjutnya dikenal dengan
nama kartu. Pada halaman latihan, pengguna terlebih dahulu menyusun kartu-kartu agar
menutupi bidang putih yang juga terdapat pada halaman latihan yang sama. Bila
diperlukan pengguna dapat memutar beberapa kartu persegi panjang merah atau persegi
panjang biru. Setelah kartu tersusun maka pengguna dapat mengisi faktor –faktor dari
bentuk aljabar pada kolom pengisian sesuai dengan urutan kartu yang telah disusun.
Pengguna dapat memeriksa kebenaran jawabannya dengan menekan tombol periksa.
Untuk setiap jawaban benar pengguna memperoleh nilai 100.
Kata kunci: Materi bentuk aljabar, Macromedia flash, kartu aljabar digital.

Pendahuluan
Pemanfaatan komputer dan perangkat lunak dalam aktivitas manusia sehari-hari selalu saja dapat
dijumpai. Dalam dunia pendidikan misalnya, komputer dengan bantuan perangkat lunak khusus seperti
adobe flash, i-spring dapat digunakan untuk membuat media pembelajaran interaktif, quis interaktif,
dan juga alat peraga digital. Alat peraga adalah suatu alat yang dapat diserap oleh mata dan telinga
dengan tujuan membatu guru agar proses belajar mengajar lebih efektif dan efisien (Sudjana, 2002).
Penggunaan alat peraga dalam matematika salah satunya bertujuan untuk memetakan konsep-konsep
abstrak kedalam bentuk konkret. Sebagai contoh, alat peraga kartu digunakan untuk materi aljabar.
Penggunaan kartu dimaksudkan untuk menggantikan variabel yang menurut siswa sangat abstrak,
misalnya untuk bentuk aljabar x2 + x + 1. Pada umumnya siswa belum dapat membayangkan bentuk x,
maka diperlukan kartu aljabar untuk mewakili bentuk x tersebut.
Materi aljabar yang diajarkan pada kelas VIII semester pertama di jenjang SMP tergolong materi yang
sulit dipahami oleh siswa, hal ini terbukti dari rendahnya nilai ulangan yang diperoleh siswa. Rata-rata
siswa yang memenuhi nilai kriteria ketuntasan minimal (KKM) hanya lima orang saja dari 28 siswa.
Data ini diperoleh dari hasil ulangan yang penulis lakukan di SMP Negeri 2 Banda Aceh pada tahun
ajaran 2013/2014. Realitas ini memacu penulis berupaya lebih giat lagi, untuk membuat pembelajaran
materi aljabar agar menjadi lebih menarik dan mudah dipahami oleh siswa.
Penulis berasumsi bahwa kesulitan memahami permasalahan dalam aljabar menyebabkan turunnya
motivasi belajar siswa. Sehingga penulis merasa penting untuk mengembangkan sebuah aplikasi kartu
aljabar digital yang akan berfungsi sebagai alat peraga yang atraktif dan interaktif. Pada kartu aljabar
digital ini siswa lebih ditekankan untuk menyusun kartu yang telah tersedia, sehingga memperoleh
solusi faktorisasi yang benar untuk setiap permasalahan bentuk aljabar yang diberikan.

247
Tinjauan Pustaka
Aljabar
Aljabar adalah suatu cabang penting dalam matematika. Kata aljabar berasal dari kata al-jabr yang
diambil dari buku karangan Muhammad ibn Musa Al-Khowarizmi (780-850 M), yaitu kitab al-jabr wa
al-muqabalah yang membahas tentang cara menyelesaikan persamaan-persamaan aljabar.
Bentuk-bentuk seperti 4a, -5a2b, 2p + 5, 7p2 – pq disebut bentuk aljabar.
Bentuk aljabar sepeerti 4a dan -5a2b disebut bentuk aljabar suku satu atau suku tunggal.
Bentuk aljabar seperti 2p + 5 dan 7p2 – pq disebut bentuk aljabar suku dua atau binom.

Untuk menentukan hasil penjumlahan maupun hasil pengurangan pada bentuk aljabar, perlu
diperhatikan hal-hal berikut :
a. suku-suku yang sejenis
b. sifat distributif perkalian terhadap penjumlahan pengurangan, yaitu :
i) ab + ac = a (b+C) atau a(b+c)= ab + ac
ii) ab-ac = a(b-c) atau a(b-c) = ab – ac
c. hasil perkalian dua bilangan bulat, yaitu :
i) hasil perkalian dua bilangan bulat positif adalah bilangan bulat positif,
ii) hasil perkalian dua bilangan bulat negative adalah bilangan bulat positif,
iii) hasil perkalian bilangan bulat positif dengan bilangan bulat negative adalah bilangan bulat
negatif.

Dengan menggunakan ketentuan-ketentuan diatas, maka hasil penjumlahan maupun hasil pengurangan
pada bentuk aljabar dapat dinyatakan dalam bentuk yang lebih sederhana dengan memperhatikan suku-
suku yang sejenis.

Fokus pembahasan pada kartu aljabar digital adalah faktorisasi. Faktorisasi adalah menyatakan bentuk
penjumlahan menjadi bentuk perkalian faktor-faktor. Bentuk penjumlahan suku-suku yang memiliki
faktor yang sama dapat difaktorkan dengan menggunakan hukum distributif.

Contoh :
Faktorkanlah bentuk aljabar : x2 + 10x + 16
Karena hasil kalinya bilangan positif, yaitu 16 dan hasil jumlahnya juga bilangan positif, yaitu 10, maka
pasangan bilangan bertanda positif.

Jadi, x2 + 10x + 16 = (x + 2 )( x + 8) .

(Adinawan, 2006)
Macromedia Flash 8
Pengembangan aplikasi kartu aljabar digital menggunakan perangkat lunak Macromedia Flash 8.
Macromedia Flash 8 adalah aplikasi standar authoring tool professional yang digunakan untuk
membuat animasi untuk berbagai keperluan. Macromedia Flash 8 digunakan untuk mengolah gambar,
animasi, suara, video. Sehingga Macromedia Flash cocok digunakan untuk membuat multimedia
pembelajaran.
Multimedia pembelajaran interaktif dapat digunakan untuk menjelaskan pokok bahasan pelajaran
tertentu, atau dapat juga digunakan untuk mengembangkan latihan-latihan pendalaman dari pokok
bahasan pelajaran tertentu (Juwita, 2013).
Ada beberapa keuntungan menggunakan Macromedia Flash 8 antara lain :
1. ukuran movie file yang cukup kecil, sehingga waktu loading file cepat,
2. mempunyai kemudahan dalam melakukan import file dalam banyak pilihan sehingga lebih hidup,
3. file disimpan dalam tipe file .exe tanpa harus menginstal flash.
4. gambar tidak akan pecah ketika di zoom,
5. font tidak akan berubah meski tidak ada font dalam komputer,
6. dapat membuat tombol interaktif.
7. dapat dikonversi dan di-publish ke dalam beberapa tipe ekstensi seperti .swf, .html, .gif, .jpg, .png,
.exe, .mov.
(Nurtantio, 2013)

248
Metode
Penulis menggunakan tahap-tahap pengembangan aplikasi seperti berikut :
1. Perancangan Antar Muka Pengguna
Antar muka pengguna yang dibuat terdiri dari : halaman intro yang menampilkan judul aplikasi dan
nama pembuat, halaman kesepakatan yang berisi aturan-aturan yang harus diingat selama proses latihan
faktorisasi dan halaman latihan yang berisi permasalahan bentuk aljabar yang harus diselesaikan. Selain
itu pada tahap perancangan ini, dirancang pula tombol-tombol navigasi. Kegiatan pada tahap ini juga
menentukan sound yang akan digunakan untuk halaman intro.
Pengaturan alur antar muka pengguna kartu aljabar digital adalah seperti gambar 1. berikut :

Halaman Halaman Halaman


intro Kesepakatan Latihan

Gambar 1. Alur halaman antar muka


2. Pengkodean
Setelah halaman selesai dirancang, penulisan kode-kode action script dilakukan, diantaranya adalah
action script untuk tombol rotasi yang akan memutar kartu-kartu, action script untuk tombol navigasi,
serta action script untuk movie clip.

3. Evaluasi
Proses yang dilakukan pada tahap evaluasi ini adalah memastikan bahwa tombol-tombol pada aplikasi
telah memberikan output yang sesuai. Misalnya pada tombol navigasi next harus menampilkan
halaman selanjutnya. Pada tahap ini juga di periksa apakah sound telah berjalan sesuai dengan rencana.
4. Publish
Tahap terakhir dari tahap pengembangan aplikasi kartu aljabar digital adalah tahap publish, format yang
dipilih dalam tahap ini adalah window projection (exe). Publish dengan format lain juga dapat dilakukan
sesuai kebutuhan.

Hasil dan Pembahasan


Faktorisasi bentuk aljabar merupakan salah satu materi matematika yang diajarkan untuk siswa kelas
VIII SMP/MTs. Penelitian ini telah berhasil mengembangkan kartu aljabar digital yang dapat digunakan
sebagai alat peraga untuk materi faktorisasi bentuk aljabar. Kartu aljabar digital yang dikembangkan
terdiri dari tiga bagian utama, bagian pertama adalah halaman intro, pada halaman ini dituliskan judul
dari aplikasi beserta nama pembuat dan instansi. Halaman intro menggunakan action script
movieclip1._rotation +=10, untuk merotasikan movie clip bintang. Halaman intro disajikan pada
gambar 2.

Gambar 2. Halaman Intro


Bagian kedua dari kartu aljabar digital adalah halaman kesepakatan, halaman ini menjelaskan beberapa
kesepakatan yang harus diingat untuk memecahkan permasalahan bentuk aljabar. Guru terlebih dahulu
menjelaskan bahwa kesepakatan tersebut hanya berlaku khusus untuk permasalahan bentuk aljabar

249
pada latihan dalam aplikasi kartu aljabar. Kesepakatan diperlukan untuk memudahkan siswa dalam
memahami dan menyelesaikan permasalahan bentuk aljabar pada bagian latihan selanjutnya. Gambar
3. merupakan tampilan halaman kesepakatan.

Gambar 3. Halaman Kesepakatan


Pada gambar 3 terlihat bahwa perbedaan warna persegi menunjukkan perbedaan nilai, warna merah
mewakili nilai positif dan warna biru mewakili nilai negatif. Variabel x 2 positif akan diwakili oleh
persegi besar merah sedangkan persegi besar biru mewakili variabel x2 negatif.
Bagian ketiga dari kartu aljabar digital ini adalah halaman latihan seperti terlihat pada gambar 4.

Gambar 3. Halaman Latihan


Pengguna dapat langsung menyeret kartu-kartu, dan menyusunnya sesuai dengan permasalahan bentuk
aljabar yang diberikan. Dalam menyusun kartu pengguna dapat memutar kartu ke kiri atau ke kanan
agar menutupi semua daerah putih dibagian kanan. Bila kartu sudah tersusun dan menutupi daerah putih,
maka pengguna melanjutkan mengisi kolom faktor-faktor bentuk aljabar (area dalam kurung). Bila
pengguna telah yakin dengan jawabannya pengguna dapat menekan tombol periksa.

Gambar 4. Halaman Jawaban Benar.


Untuk setiap permasalahan yang berhasil diselesaikan dengan benar pengguna memperoleh nilai 100.
Bila pengguna ingin memperbaiki jawabannya, pengguna dapat menekan tombol reset seperti terlihat
pada gambar 4.

Kesimpulan
Hasil dari penelitian ini berupa aplikasi kartu aljabar digital yang dikembangkan sebagai alat peraga
untuk materi faktorisasi bentuk aljabar, target pengguna kartu aljabar digital ini adalah siswa SMP/MTs
yang masih kesulitan untuk membayangkan bentuk konkret variabel yang digunakan dalam bentuk
aljabar. Kartu aljabar digital terdiri dari tiga bagian, bagian pertama adalah bagian intro, bagian kedua
bagian kesepakatan yang menguraikan butir-butir kesepakatan yang harus diingat dalam menyelesaikan
bagian ketiga, yaitu halaman latihan. Halaman latihan berisi permasalahan bentuk aljabar, kartu-kartu
yang harus disusun agar menutupi bidang putih pada halaman, serta kolom pengisian jawaban yang

250
berupa area dalam kurung. Untuk jawaban yang benar nilai yang ditampilkan adalah 100. Tombol reset
dapat digunakan untuk memperbaharui jawaban.

Daftar Pustaka
Adinawan, M.Cholik dan Sugijono. (2006). Matematika Untuk SMP Kelas VIII, Jakarta, Penerbit
Erlangga.

Juwita. 2013. Rancang Bangun Kuis Multimedia Latih Aritmatika untuk Siswa Sekolah Dasar Tahun
Pertama. Jurna AdMathEdu, vol 3 No.2 Tahun 2013. 143-150.

Nurtantio, Pulung dan Maulana Syarif, Ali. (2013). Kreasika Animasimu dengan Adobe Flash dalam
membuat Sistem Multimedia Interaktif, Yogyakarta, Penerbit ANDI

Sudjana, Nana dan Rivai Ahmad. (1991). Media Pengajaran, Sinar Baru Algensindo : Bandung
Diakses pada 28 Mei 2014, dari alamat http://www.sarjanaku.com/2011/03/pengertian-alat-
peraga.html

251

Вам также может понравиться