Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Produksi Daun Pada Hutan
Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi Powell) adalah karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir disertasi ini.
PUDJA MARDI UTOMO. Model Produksi Daun Untuk Hutan Tanaman Kayu
Putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi Powell). Di bawah bimbingan Endang
Suhendang, Wasrin Syafii and Bintang CH Simangunsong.
Kayu putih merupakan salah satu hasil hutan non kayu yang penting di
Indonesia. Hutan tanaman kayu putih di Jawa cukup besar, diperkirakan Perum
Perhutani mengelola sekitar 24.000 ha areal produktif jenis ini dan memiliki 10
pabrik pengolahan minyak kayu putih (PMKP). Namun Pengelolaannya belum
optimal karena sampai saat ini produksi daun kayu putih masih jauh dari kapasitas
terpasang pabrik, yaitu sebesar 53.760 ton daun kayu putih per tahun.
Tujuan penelitian adalah: (1). Mengetahui model produksi daun tanaman
kayu putih dalam satu periode pemangkasan dan (2). Mengetahui model
produktivitas daun tanaman kayu putih dalam satu daur silvikultur. Untuk
mendukung tujuan tersebut juga dilakukan analisis kandungan minyak, kualitas
minyak dan beberapa sifat minyak pada umur tuans 6-12 bulan. Selanjutnya hasil
model yang diperoleh digunakan untuk menentukan saat kapan daun dipanen dan
saat kapan tanaman kayu putih diganti dengan tanaman baru.
Cara pengambilan data adalah survey, yaitu: pengamatan langsung di
lapangan melalui pengukuran plot-plot ukur sementara (PUS). Plot ukur untuk
pembuatan model dalam satu daur panen dibuat sebanyak 36 PUS dan 24 PUS
untuk pembuatan model dalam satu daur silvikultur. Model produksi daun kayu
putih terbaik dalam satu daur panen adalah Morgan-Mercer-Flodin model (MMF)
dan pemangkasan optimum adalah pada umur tunas 7 bulan, dimana kurva laju
pertumbuhan rata-rata bulanan maksimum berpotongan dengan kurva
pertumbuhan bulan berjalan. Model produktivitas dalam satu daur silvikulktur
adalah model polinomial. Daur silvikultur, yaitu umur tegakan kayu putih pada
saat tanaman harus diganti dengan tanaman baru diperkirakan pada umur 25 tahun
(KU V), oleh karena pada periode umur ini produktivitas daun tertinggi.
Kata kunci : Model produksi daun, minyak kayu putih, kayu putih
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa ijin IPB
MODEL PRODUKSI DAUN PADA HUTAN TANAMAN KAYU
PUTIH (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi Powell)
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan
Disetujui
Ketua Komisi Pembimbing
Ir. Bintang CH Simangunsong, MS, Ph.D Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr
Anggota Anggota
Mengetahui
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2011 ini adalah Model Produksi
Daun Pada Hutan Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi
Powell).
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada Prof.Dr.Ir. Endang Suhendang, MS, Prof.Dr.Ir. Wasrin
Syafii, M.Agr, Ir.Bintang CH Siamangunsong, MS,Ph.D atas bimbingan,
kesabaran, dukungan moril, kritik dan saran yang sangat besar perannya dalam
penyelesaian penulisan disertasi ini. Semoga semua sumbangsih kepada penulis
menjadi amal ibadah bagi mereka.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr.Ir. Irdika Mansur,
M.For.Sc dan Dr. Tatang Tiryana, S.Hut, M.Sc selaku dosen penguji luar komisi
pada ujian tertutup, Dr.Ir. Budi Kuncahyo, MS, selaku wakil Program Studi Ilmu
Pengelolaan Hutan, Dr.Ir. Naresworo Nugroho, MS, selaku Wakil Dekan Fakultas
kehutanan IPB Bogor yang telah memberikan saran dan masukan untuk perbaikan
disertasi ini pada ujian tertutup. Prof.Dr.Ir. Nurheni Wijayanto, MS dan Dr.Ir.
Mahfudz, MP selaku penguji luar komisi, Prof.Dr.Ir. Bambang Hero S, M.Agr
selaku wakil Rektor IPB dan Dr.Ir. Ahmad Budiaman, M.Sc F selaku wakil
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan yang telah memberikan saran dan
masukan untuk perbaikan disertasi ini pada ujian terbuka.
Penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Kesatuan Pemangkuan
Hutan Madiun beserta staf, Kepala Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Sukun
beserta staf, Kepala Pabrik Kayu Putih Sukun dan staf, Pak mandor Sugeng
Wiyani dan Sugito, dan para pesanggem (pak Kawuk dan keluarga, pak Saikun
dan keluarga, Sunaryo dan keluarga), Staf Laboratorium Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat Bogor, dan para pihak yang telah membantu dalam
proses penelitian.
Ucapan terima kasih kepada Kementerian Kehutanan dan jajarannya yang
telah memberikan beasiswa dan bantuan penelitian. Balai Penelitian Kehutanan
Manokwari yang telah memberikan bantuan penelitian. Keluarga mas Herdy dan
keluarga dik Pudja yang telah memberikan bantuan beasiswa dan bantuan
penelitian.
Ungkapan terima kasih dan penghargaan yang tulus disampaikan kepada
ibunda Siti Kustiyah dan Clerry Mogonta, istri Fitri dan anak-anaku Nisa dan
Sultan tercinta, Mas Heru dan Tono beserta keluarga, Dik Kembaran, Nurni, Rudi
dan Giri beserta keluarga, paklik dan bulik Sardjono dan keluarga besar di
Manado, atas doa dan dukungannya yang tiada henti. Ucapan terima kasih
kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas segala bantuan
dan dukungan dalam penyelesaian studi penulis.
Semoga segala bantuan, dukungan dan doa yang telah diberikan dibalas
Allah SWT dengan yang lebih baik dan lebih besar. Amin.
Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna. Namun
demikian, penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi umat
manusia.
Penulis bekerja sejak tahun 1992 sebagai Staf Peneliti pada Balai Penelitian
Kehutanan Manokwari Papua Barat, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Tugas yang diemban adalah peneliti pada
bidang silvikultur.
DAFTAR ISI
Teks Halaman
DAFTAR ISI……………………………..……………………....................... i
DAFTAR TABEL………………………..……………………....................... iii
DAFTAR GAMBAR…………………..…………………….......................... v
1. PENDAHULUAN……….……………………………………………. 1
1.1. Latar Belakang………….………………………………............................ 1
1.2. Perumusan Masalah……………..………………………………………... 4
1.3. Kerangka Pemikiran……………………………………………………… 6
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………………… 8
1.5. Novelty………………………………………………………………….... 8
1.6. Hipotesis………………..……………………………………………….... 9
1.7. Batasan dan Asumsi………………………………………………………. 10
2. TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 11
2.1. Tegakan Hutan Tanaman Seumur dan Sejenis………………………….... 11
2.2. Pertumbuhan dan Hasil Tegakan…………………………………………. 11
2.3. Pertumbuhan dan Hasil Tegakan Hutan Tanaman Seumur…...…………. 12
2.4. Riap dan Etat............................................................................................... 14
2.5. Model Pertumbuhan dan Hasil Tegakan..................................................... 16
2.6. Pemodelan di Bidang Kehutanan................................................................ 18
2.7. Kayu Putih (Melaleluca cajuputi subsp. Cajuputi Powell)........................ 21
2.8. Aspek Silvikultur Kayu Putih..................................................................... 24
2.9. Minyak Kayu Putih..................................................................................... 31
2.10 Hasil-hasil penelitian sebelumnya.............................................................. 32
3. METODOLOGI..................................................................................... 41
3.1. Lokasi Penelitian dan Waktu........................................................................ 41
3.2. Batasan dan Istilah....................................................................................... 42
3.3.Jenis dan Cara Pengumpulan Data............................................................... 44
3.4. Analisis Data................................................................................................ 52
i
5. HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................ 73
5.1. Model Produksi Daun dalam Satu Daur Panen.......................................... 74
5.2 Minyak Kayu Putih.................................................................................... 86
5.3 Hubungan Rendemen Minyak dan Produksi Optimal Daun……………. 92
5.4 Model Produksi Daun dalam Satu Daur Silvikultur................................... 94
LAMPIRAN.......................................................................................... 113
ii
DAFTAR TABEL
No Teks Halaman
2 Produksi daun kayu putih per pohon berdasarkan umur dan diameter
pohon………………………………………………………………… 28
14. Rendemen minyak kayu putih umur tunas 6 bulan sampai dengan 12
bulan setelah dikonversi ke berat basah……………………………. 89
iii
15. Kadar sineol minyak kayu putih umur tunas 6 bulan sampai dengan
12 bulan penyulingan selama 4 jam…………………………………. 90
17. Hasil pengukuran biomasa, cabang dan DKP per hektar tanaman
kayu putih kelompok umur tunas I s/d VIII ………………………... 94
iv
DAFTAR GAMBAR
No Teks Halaman
10a. Kurva pertumbuhan tunas kayu putih, CMI, MMI dan periode
optimum produksi total biomassa ……………………………. 84
.
10b. Kurva pertumbuhan tunas kayu putih, CMI, MMI dan periode
optimum (a) produksi biomasa (b) produksi DKP……………. 85
.
11 Kurva (a) periode optimum biomasa dan (b) kurva rendemen
(diarsir periode optimum berdasarkan rendemen ≥ 0,7%)……. 93
v
1. PENDAHULUAN
hutan tanaman kayu putih. Untuk mencapai tujuan tersebut antara lain dapat
dilakukan dengan tiga cara, yaitu rekayasa genetika dalam pembuatan tanaman,
manipulasi tempat tumbuh dan rekayasa pengelolaan hutan.
Rekayasa genetika atau pemuliaan tanaman bertujuan untuk memperoleh
bibit tanaman kayu putih unggul, yaitu tanaman yang mempunyai produksi daun
tinggi, kadar sineol tinggi, rendemen minyak kayu putih tinggi dan keunggulan
lainnya. Melalui rangkaian kegiatan pemuliaan yang dilakukan oleh Balai Besar
Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta dan CSIRO
Forestry and Forest Product Australia sejak tahun 1995 telah diperoleh hasil yang
cukup memuaskan. Hasil seleksi famili dari uji keturunan yang dilakukan
mendapatkan rendemen minyak sebesar 2% yang lebih tinggi dibandingkan
dengan tegakan biasa antara 0,6-1,0% (Susanto et al., 2003). Lebih lanjut Susanto
et al. (2008) menunjukkan bahwa pada uji keturunan M. cajuputi di Paliyan dapat
meningkatkan rendemen dan kadar sineol antara 10%-21% dan pertumbuhan
antara 15%-20% dari rata-rata setelah seleksi pertama. Waktu yang diperlukan
untuk pencapaian peningkatan genetik tersebut adalah kurang dari 4 tahun.
Cara kedua adalah melalui manipulasi tempat tumbuh tanaman kayu putih,
seperti pengolahan tanah, pemupukan, perlindungan terhadap gulma, penambahan
bahan organik sekaligus pemulsaan dengan afval daun kayu putih dari pabrik,
tumpangsari dan sebagainya. Pemberian pupuk (NPK dan Afval) dan
penggebrusan atau kedua-duanya memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
dengan plot yang tidak mendapat perlakuan. Plot yang mendapat pemeliharaan
dengan penambahan afval daun sebanyak 2.600 kg dan pupuk NPK 100 kg serta
gebrus pada plot percobaan memberikan hasil lebih baik terhadap produksi daun
kayu putih yaitu 1,44 kg/pohon dibanding tanpa perlakuan 1,13kg/pohon (Perum
Perhutani, 1984).
Sambil menunggu hasil kedua cara di atas, cara ketiga, yaitu meningkatkan
produktivitas hutan secara keseluruhan melalui rekayasa pengelolaan hutan kayu
putih. Guna mencapai tujuan pengusahaan yang ditetapkan, diperlukan strategi
pengelolaan yang baik, yakni strategi pengelolaan yang memadukan pengetahuan
biologi jenis yang diusahakan dengan pertimbangan ekonomi dan teknik
pengelolaan yang lazim dilakukan pada hutan tanaman. Penentuan strategi
3
pengelolaan tegakan hutan yang demikian itu dipermudah dengan adanya konsep-
konsep tujuan pengusahaan hutan produksi yang dapat dikuantifikasikan,
diprediksi dan diterjemahkan dalam struktur tegakan hutan.
Fenomena dinamika pertumbuhan tegakan selalu dihadapi pihak pengelola
dalam pengelolaan tegakan. Dinamika pertumbuhan tegakan tidak selalu
memenuhi harapan-harapan pengusahaan. Praktik-praktik pengelolaan tegakan di
Indonesia selama ini masih dikategorikan belum intensif. Beragamnya kegunaan
jenis pohon menyebabkan beragamnya pula tujuan pengusahaan. Pengaturan
tegakan hutan yang diusahakan untuk menyediakan bahan baku kertas tidak
seketat jika ditujukan untuk penyediaan bahan baku industri kayu pertukangan.
Demikian juga dengan pengaturan tegakan hutan untuk penyediaan bahan baku
minyak atsiri hanya diarahkan untuk mencapai volume biomassa daun yang
maksimum, sedangkan ukuran pohon tidak menjadi faktor pertimbangan utama.
Dengan demikian dalam praktik pengelolaan tegakan perlu memperhatikan tujuan
pengusahaan dan melibatkan kegiatan pengaturan dinamika pertumbuhan tegakan.
Penelitian tentang model pertumbuhan dan hasil beberapa jenis tegakan
hutan tanaman sudah banyak dilakukan. Namun, hingga saat ini belum ada studi
di Indonesia yang menggunakan model pertumbuhan dan hasil atau model
produksi daun kayu putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) sistem pemanenan
pangkas tunas. Padahal informasi seperti itu sangat dibutuhkan oleh pengelola
hutan khususnya kelas perusahaan kayu putih.
Selama ini praktik pengelolaan hutan tanaman kayu putih di Jawa dilakukan
dengan sistem pangkas tunas, dimana pohon kayu putih pada semua kelas umur
dipangkas tunasnya setelah berumur 6 bulan ke atas dengan asumsi pada umur
tersebut kualitas dan rendemen minyak kayu putih sudah layak. Pengaturan
hasilnya belum memperhatikan model pertumbuhan dan hasil tunas, secara umum
hanya berdasarkan luas total tanaman kayu putih dibagi 10, yang merupakan
jumlah bulan dalam setahun dikurangi 2 bulan untuk perbaikan dan perawatan alat
penyulingan. Konsep pengaturan hasil berdasarkan pendugaan hasil sebaiknya
dilakukan berdasarkan pada data dan informasi akhir dari sumberdaya serta
pendugaan nilai maksimum pemanenan lestari (Vanclay, 1995)
4
1.5. Novelty
Penelitian disertasi yang dilaksanakan dengan judul ” Model Produksi Daun
pada Hutan Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi Powell)”
sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya dengan
9
judul, tujuan dan permasalahan yang sama. Penelitian dapat disebut memiliki
novelty (kebaruan) jika memiliki tiga kriteria, yaitu fokus (focus), terdepan
dibidangnya (advance) dan ilmiah (scholar). Kriteria pertama, fokus penelitian ini
adalah merumuskan model produksi daun kayu putih sistem pemangkasan tunas.
Kedua, berdasarkan review hasil-hasil penelitian yang dipublikasikan di beberapa
jurnal luar negeri dan dalam negeri, penelusuran hasil penelitian yang tidak
dipublikasikan dalam bentuk Thesis maupun Disertasi di Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta dan Institut Pertanian Bogor, serta penelusuran jurnal
penelitian dalam website, belum ada penelitian mengenai Model Produksi Daun
pada Hutan Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi Powell).
Ketiga, proses penelitian ini menggunakan metode ilmiah, menggunakan teori-
teori pertumbuhan dan hasil yang lazim di hutan tanaman. Namun demikian
beberapa penelitian dengan permasalahan yang hampir sama telah dilakukan
tetapi obyek komoditas tanamannya berbeda atau sebaliknya jenis komoditas
tanaman yang sama tetapi metode, lokasi dan fokus penelitian yang berbeda.
Disamping itu kajian pengelolaan hutan tanaman kayu putih berdasar model
produksi daun kayu putih dan dikaitkan dengan rendemen dan kualitas minyak
yang dihasilkan merupakan kekhasan dan keaslian dari penelitian ini. Beberapa
penelitian yang menjadi sumber acuan dari penelitian ini dapat dilihat pada Tabel
4 dan Tabel 5.
1.6. Hipotesis
1. Bentuk kurva pertumbuhan daun kayu putih pada tegakan hutan tanaman
kayu putih dengan sistem pemanenan pangkas tunas berbentuk sigmoid,
mendekati bentuk kurva pertumbuhan ideal untuk organisme hidup.
2. Persamaan matematika kurva pertumbuhan untuk daun kayu putih dalam satu
siklus panen akan dapat dipergunakan untuk menentukan siklus (rotasi)
pemanenan daun, sedangkan persamaan matematika untuk laju pertumbuhan
daun kayu putih dalam beberapa siklus panen akan dapat dipergunakan untuk
menentukan daur silvikultur tegakan kayu putih.
10
Menurut Spurr (1952) hasil suatu tegakan merupakan akumulasi riap dari
tegakan yang bersangkutan selama peiode tumbuhnya atau sampai pada waktu
tertentu. Sedangkan pertumbuhan tegakan adalah pertambahan (riap) dari suatu
besaran (contoh: volume, luas bidang dasar, rata-rata diameter, tinggi pohon )
dalam periuode tertentu. Dengan demikian antara pertumbuhan dan hasil tegakan
mempunyai keterkaitan satu sama lain.
Selanjutnya Spurr (1952) menyatakan bahwa untuk mendapatkan fungsi
hasil tegakan ada dua pendekatan, yaitu pendekatan langsung dan tak langsung.
Pendekatan tak langsung, fungsi pertumbuhan tegakan ditentukan terlebih dahulu
kemudian berdasarkan integrasi fungsi tersebut diperoleh fungsi hasil tegakan.
Sedangkan dalam pendekatan langsung dilakukan proses sebaliknya.
Pada awal abad 19 studi-studi pertumbuhan dan hasil tegakan hutan
tanaman sejenis dan seumur di Eropa telah dimulai jauh sebelum ilmu statistik
berkembang. Metode yang digunakan pada saat itu adalah metode grafik. Dalam
metode tersebut digunakan dua peubah bebas, yaitu umur tegakan dan bonita
tempat tumbuh. Sejalan dengan perkembanganm ilmu statistika dan komputer
studi-studi pertumbuhan dan hasil berkembang dengan pesat. Analisis regresi
linear berdasarkan metode kuadrat terkecil dapat diselesaikan dengan mudah dan
cepat, meskipun harus melibatkan peubah bebas yang banyak. Seleksi peubah
bebas berdasarkan seleksi bertahap dapat dilakukan dengan mudah. Analisis
regresi tidak linear pun dapat diselesaikan dengan mudah.
Menurut Revilla (1974) pertumbuhan dan hasil tegakan hutan tanaman
sejenis dan seumur dipengaruhi oleh umur, kualitas tempat tumbuh, kerapatan
tegakan dan intensitas penjarangan. Secara fungsional hal ini dapat dituliskan
dalam bentuk sebagai berikut:
G = f { A, SJ, SD, M } (1)
Y = g { A, SJ, SD, M } (2)
SD = kerapatan tegakan
M = intensitas penjarangan
F {...} dan g {...} menyatakan funsi dari
Jika fungsi pertumbuhan tegakan diketahui, maka hasil tegakan pada umur n
tahun dapat diduga berdasarkan rumus
n
Y =
0
f { A, SJ, SD, M } A (3)
Sebaliknya jika fungsi hasil tegakan diketahui, maka pertumbuhan tahunan dapat
diduga berdasarkan rumus:
G = g { A, SJ, SD, M } / A (5)
atau dengan pendekatan Clutter (1963) :
G = Yn - Yn-1
n n 1
=
i 0
G -
i 0
G (6)
Akumulasi pertumbuhan
CAI
Pertumbuhan
MAI
Riap tegakan dibentuk oleh pohon yang masih hidup di dalam tegakan,
tetapi penjumlahan dari riap pohon tidak akan sama dengan riap tegakannya, oleh
karena dalam periode tertentu beberapa pohon dalam tegakan itu dapat saja mati,
busuk atau oleh sebab lainnya atau mungkin ditebang (Davis, et al. 2001).
Menurut Prodan (1968), riap dibedakan ke dalam riap tahunan berjalan
(Current Annual Increment, disingkat CAI), riap periodik (Periodict Increment,
disingkat PI) dan riap rata-rata tahunan (Mean Annual Increment, disingkat MAI).
CAI adalah riap dalam satu tahun berjalan, PI adalah riap dalam satu periode
waktu tertentu, sedangkan MAI adalah riap rata-rata (per tahun) yang terjadi
sampai periode waktu tertentu. Ketiga bentuk riap tersebut, secara matematis
dapat ditulis sebagai berikut:
a. CAI = Vt / t = Vt’ (7)
b. PI t 1-2 = Vt2 - Vt1 / t2-t (8)
c. MAI = Vt/ t (9)
dimana Vt adalah pertumbuhan kumulatif tegakan sampai umur t
16
menjadi dua, yaitu model yang tidak mempunyai asimtot dan model yang
berasimtot.
a. Model yang tidak mempunyai asimtot ialah:
Y = β0 + β1 A + β2 A2 + β3 A3+…. (10)
Y = β0 exp (β1 A) (11)
2
Y = β0 A (12)
Y = exp (-β1 A) (13)
Y = (β0 A2) exp (-β1 A) (14)
positip, sedangkan nilai β1 negatip dan nilai β2 (pada persamaan 11 dan 12 juga
negatif.
Selain model-model di atas, beberapa fungsi pertumbuhan yang sering
digunakan dalam pemodelan fenomena-fenomena biologi antara lain: fungsi
Logistic(18), Gompertz(19), Log-logistic(20), Morgan-Mercer-Flodin(21),
Chapman-Richards (22), bentuk bentuk persamaan tersebut sebagai berikut:
Y = β0 / ( 1 + β1 exp (-β2 A)) (18)
Y = β0 exp (- β1 exp (-β2 A)) (19)
Y = β0 / [ 1 - β1 exp (-β2 ln A) ] (20)
β3 β3
Y = (β1 * β2 + β0 A ) / (β2 + A ) (21)
A / (1 – β3)
Y = β0 ( 1 - β1 exp (-β2 A) ) (22)
bahwa bentuk aljabar model hasil harus dapat diturunkan secara matematis
melalui integrasi dari model pertumbuhannya. Sullivan dan Clutter (1972) dalam
Clutter et .al. (1983) memperluas konsep tersebut dengan menggabungkan secara
simultan pendugaan hasil dan kumulatif pertumbuhan sebagai fungsi dari umur
awal, luas bidang dasar awal, indeks tapak dan umur yang akan datang.
Kelemahan utama dari model tegakan ini adalah tidak dapat memberikan
informasi tambahan mengenai struktur tegakan atau informasi khusus mengenai
individu pohon. Sehingga, model ini hanya sesuai digunakan pada kondisi dimana
hasil dan nilai ekonomi produk tidak tergantung ukuran pohon, contohnya tegakan
untuk tujuan kayu serpih.
Realitasnya, walaupun nilai jual produk tidak ditentukan oleh ukuran pohon,
tetapi biaya produksi sangat ditentukan oleh ukuran pohon, terutama dalam
operasional penebangan, semakin besar ukuran pohon maka biaya akan semakin
rendah. Hakkila (1994) telah mendemonstrasikan hasil penelitiannya dimana
ukuran batang memiliki pengaruh signifikan terhadap produktivitas pemanenan
tiga sistem penebangan. Pengaruh yang sangat signifikan terlihat jelas pada
sistem penebangan mekanis (system forwarder dan system timber jack). Oleh
karena itu, model tegakan berbasis sebaran diameter (model implisit) menjadi
lebih sesuai untuk digunakan, karena selain mampu memrediksi pertumbuhan dan
hasil tegakan secara total, juga mampu mendeskripsikan struktur ukuran individu
pohon didalamnya. Selain itu, model implisit ini dapat digunakan baik untuk
menggambarkan status pertumbuhan dan hasil tegakan saat ini maupun tegakan
dimasa yang akan datang.
Model tegakan berbasis sebaran diameter banyak digunakan dengan tujuan
untuk lebih memperjelas hasil model tegakan pada setiap umur dengan
menambahkan informasi mengenai struktur kelas diameternya. Tinggi, volume
dan karaktersitik tegakan lainnya dapat dimasukan pada setiap kelas diameter.
Sehingga, model ini lebih bermanfaat bagi analisis ekonomi yang berhubungan
dengan analisis finansial pemanenan dan nilai kayu pada berbagai ukuran
diameter (Davis et. al., 2001).
21
Kayu putih mempunyai daun yang sempit, tipis, permukaan rata, tangkai
pendek. kuat, mempunyai lebar antara 0,5 - 1,5 inchi dan panjang daun antara 2 -
4 inchi. Bentuk daun berbeda-beda walaupun satu jenis. Ada tiga macam bentuk
daun yaitu lonjong, lansit dan oval. Dilihat dari warna kuncup daunnya, kayu
putih mempunyai variasi warna merah, putih dan kuning. Daun jika diremas
mempunyai aroma yang khas karena mengandung minyak atsiri atau lebih dikenal
minyak kayu putih (Kasmudjo, 1992).
2.7.2. Sistematika
Tanaman kayu putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) atau dalam
literatur lama sering juga disebut Melaleuca leucadendron (Doran dan Turnbull,
1997) merupakan tanaman asli Indonesia yang cukup penting bagi industri
minyak atsiri. Dalam Rimbawanto et al. (2009) jenis ini dibagi menjadi tiga
subspecies, yaitu: 1) subsp.cajuputi Powell tumbuh di bagian barat daya Australia
dan bagian timur Indonesia (Kepulauan Maluku dan Timor). 2). Subsp.
Cuminggiana Barlow tumbuh di bagian barat Indonesia (Sumatera, Jawa Barat
dan Kalimantan bagian selatan), malaysia, Myanmar, Thailand dan Vietnam dan
3). Subsp.platyphylla Barlow tumbuh di bagian utara Queensland/Australia,
bagian barat laut Papua New Guenia, bagian selatan papua, Kep. Aru dan Kep.
Tanimbar (Craven dan Barlow, 1997)
Menurut Core dalam Djumantoro (1973), sistematika tanaman kayu putih
adalah sebagai berikut :
Divisi : Spermatopyta
Sub Divisi : Angiospremae
Klas : Dycotyledoneae
Sub Klas : Myrtales
Famili : Myrtaceae
Genus : Melaleuca
Species : Melaleuca cajuputi, dalam literatur lama sering
disebut Melaleuca leucadendron
subspecies cajuputi
23
2.7.2. Penyebaran
Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi tumbuh didataran rendah dan rawa tapi
jarang ditemukan didaerah pegunungan. Menurut Bailey (1963) dalam Ketaren
dan Djatmiko (1978), pohon kayu putih tumbuh baik didaerah air yang
bergaram,angin bertiup kencang berhawa panas dan sedikit dingin. Pohon kayu
putih paling baik tumbuh di daerah yang mempunyai ketinggian tempat kurang
dari 400 meter dari permukaan laut (Kasmudjo,1992).
Di Indonesia umumnya tanaman kayu putih berwujud sebagai hutan alam
dan hutan tanaman. Hutan alam terdapat di Maluku (pulau Buru, Seram, Nusa
Laut dan Ambon), Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Papua,
sedangkan yang merupakan hutan tanaman ada di Jawa Timur (Ponorogo, Kediri,
Madiun), Jawa Tengah (Solo dan Gundih), Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa
Barat (Banten, Bogor, Sukabumi, Indramayu, Majalengka).
Soetrisno (1990), menyebutkan bahwa pulau Buru merupakan sumber
tanaman kayu putih, tumbuh dalam bentuk belukar yang bergerombol dengan
diselingi pohon-pohon yang menjulang tinggi. Belukar itu sendiri tumbuh dari
tunas-tunas yang tingginya tidak lebih dari 30 sampai 40 cm. Hal ini terjadi
karena perladangan yang berpindah-pindah sehingga merupakan hutan sekunder.
tanah yang kurang subur atau tandus yang tidak memerlukan syarat tumbuh yang
baik mengenai tanahnya,dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang bersifat
buruk, sehingga dapat disebut jenis pioner. Pohon ini mudah bertunas dari
tonggak-tonggak, oleh karena itu meskipun hutan sering mengalami kerusakan
karena api, pohon ini akan segera tumbuh kembali.
2.8.1. Penanaman
Pembuatan tanaman merupakan salah satu unsur penting dalam pengelolaan
hutan yang berdasarkan asas kelestarian. Tegakan kayu putih yang baik dengan
Dkn (derajat kesempurnaan tegakan) tinggi akan menjamin produksi daun kayu
putih yang berkesinambungan dan lestari. Faktor-faktor yang mendukung
keberhasilan pembuatan tanaman adalah gebrus dan pembibitan. Pelaksanaan
gebrus yang tepat adalah pada awal musim hujan atau akhir musim kemarau
dimana tanah tidak lengket dan tanah mudah dicangkul karena sudah ada air
walapun sedikit. Pembuatan bibit di persemaian juga harus dilakukan dengan
cermat melalui pemilihan bibit unggul, penggunaan media yang tidak mudah
pecah dan rusak serta umur semai telah cukup. Pengangkutan bibit ke lapangan
penanaman juga harus diperhatikan dengan serius karena kalau bibit sampai
terganggu akan mengakibatkan kegagalan tanaman.
Pembuatan tanaman kayu putih di lapangan berupa tanaman baris dengan
sistem tumpangsari dan diantaranya digunakan tanaman sela lamtoro (Leucaena
25
2.8.2. Pemeliharaan
Selain kegiatan pembuatan tanaman, bagian lain yang penting agar
pembangunan hutan berhasil adalah pemeliharaan hutan. Maksud dari
pemeliharan hutan adalah untuk memperoleh tanaman kayu putih yang
berproduktivitas tinggi pada saat pemungutan daun serta menjaga kesuburan tanah
dan erosi. Kegiatan-kegiatan pemeliharaan yang dilakukan antara lain:
penyulaman, pengkayaan, penyiangan, pendangiran, pengebrusan, pemupukan
dan tumpangsari.
Penyulaman biasanya dilakukan sejak penanaman tahun berjalan sampai
dengan tanaman umur lima tahun menggunakan bibit yang telah disemaikan
terlebih dahulu. Sedangkan untuk tegakan yang umurnya lebih dari 5 tahun pada
lokasi-lokasi dengan jumlah pohon tidak standar dilakukan pengkayaan untuk
mempertahankan jumlah pohon per hektar tetap tinggi. Pemeliharaan dengan
penyulaman dan pengkayaan ini dilakukan sebagai usaha penanaman kembali
untuk menganti tanaman yang mati, sehingga jumlah tanaman setiap hektarnya
merata dan jumlah pohon sesuai standar yaitu Dkn = 1.
Untuk mendapatkan pertumbuhan yang baik perlu dilakukan pendangiran
dan penyiangan /pengendalian gulma terhadap tanaman kayu putih. Gulma yang
tumbuh disekitar tanaman mengakibatkan penurunan laju pertumbuhan dan
produksi akhir. Adanya gulma tersebut membahayakan bagi kelangsungan
pertumbuhan dan menghalangi sasaran produksi tanaman pada umumnya. Tujuan
dari pendangiran dan penyiangan itu sendiri adalah untuk mengemburkan tanah,
merangsang pertumbuhan tanaman dan memudahkan pemeliharaan.
Setelah adanya pendangiran, penyiangan dan gebrus dilakukan pemberian
pupuk sesuai dengan keperluan, dengan adanya perawatan ini diharapkan
pertumbuhan tanaman akan menjadi lebih baik. Pemupukan bertujuan untuk
memelihara dan memelihara kesuburan tanah dengan memberikan unsur hara ke
dalam tanah secara langsung maupun tidak langsung dapat menyumbangkan
bahan makanan pada tanaman. Suriatna (1992) menyatakan bahwa pemupukan
akan memperbaiki pH tanah dan memperbaiki lingkungan tanah sebagai tempat
tumbuh tanaman.
27
Tabel 1. Pengaruh perlakuan pemberian pupuk (NPK), afval daun dan gebrus
terhadap produksi daun kayu putih pada plot percobaan seluas 0,1 ha.
Selain hal tersebut di atas, pada Tabel 2 terlihat bahwa produksi daun kayu
putih juga dipengaruhi oleh umur tanaman dan diameter batang. Umumnya kayu
putih dengan diameter besar akan memproduksi daun yang tinggi pula, kecuali
pada pohon yang sudah tua (lebih dari 30 tahun). Sedangkan produksi daun
optimum terjadi pada umur 15 tahun, yaitu 2,3 kg/pohon.
Tabel 2. Produksi daun kayu putih per pohon berdasarkan umur dan diameter
pohon.
Hasil penelitian Perum Perhutani (1982) dalam Sukirno (1994) yang tertera
pada Tabel 3, menunjukan bahwa derajat kesempurnaan tegakan (Dkn) juga
menentukan besarnya produksi daun per hektar, semakin tinggi Dkn semakin
tinggi pula produksi daunnya.
Tabel 3. Produksi daun kayu putih rata-rata (kg/ha) berdasarkan kelompok
umur (KU) dan derajat kesempurnaan tegakan (Dkn)
daun berbentuk langsit lebih banyak mengandung minyak dan daun yang
berbentuk lonjong kadar cineolnya lebih tinggi (LPHH, 1973 dalam Perum
Perhutani, 1985).
Untuk rimbas berikutnya cabang atau ranting yang dipotong adalah 3 s/d
5 cm di atas pemotongan sebelumnya.
Bagian pangkal cabang atau ranting tidak boleh rusak, agar tunas tumbuh
kembali dengan baik.
3. Keuntungan-keuntungan Cara Rimbas
Cara rimbas dapat dilakukan setahun sekali, sehingga produksi daunnya
lebih tinggi dari cara urut yang hanya biasa dilakukan dua tahun sekali.
Hasil percobaan penyulinagn daun kayu putih yang berasal dari cara
rimbas remdemen lebih tinggi dibanding cara urut.
Cara rimbas lebih praktis dan cepat dibanding cara urut dalam
pemangkasan daun.
2.9. Minyak kayu putih
M. cajuputi merupakan salah satu dari berbagai jenis spesies Melaleuca
yang menghasilkan minyak atsiri yang disebut minyak kayu putih. M. cajuputi
banyak digunakan untuk industri farmasi karena mengandung bahan yang sangat
berharga, yaitu sineol, yang merupakan salah satu jenis monoterpenes dari jenis
monocyclic, dalam jumlah besar (15-60%) (Brophy dan Doran, 1996,
Rimbawanto, et al. (2009).
Minyak kayu putih yang dikeluarkan dari daun diperoleh melalui proses
penyulingan (destilasi). Menurut Ketaren (1985) dalam industri pengolahan
minyak atsiri dikenal tiga macam sistem penyulinagan. yaitu (a) penyulingan
dengan direbus (water distillation), (b) penyulingan dengan air dan uap (water
and steam distillation) dan (c) penyulingan dengan uap (steam distillation).
Minyak kayu putih yang diperoleh dari proses penyulingan daun M.
cajuputi subsp. cajuputi terdiri dari komponen 1,8-cineole (3%-60%), dan
sesquiterpene alcohols globulol (trace-9%), viridiflorol (trace-16%) dan
spathulenol (trace-30%). Komponen minyak lainnya yang ditemukan dalam
jumlah cukup tinggi adalah limonene (trace-5%), β-caryophyllene (trace-4%),
humulene (trace-2%), viridflorene (0,5%-9%), α-terpinol (1%-8%), α- dan β-
selinene (masing-masing (0%-3%) dan caryophyllene oxide (tarce-7%).
Rendemen minyak bervariasi antara 0,4% sampai 1,2% (W/W %, berat basah).
32
Lanjutan Tabel 4. Daftar penelitian-penelitian yang berkaitan dengan tanaman kayu putih
Lanjutan Tabel 4. Daftar penelitian-penelitian yang berkaitan dengan tanaman kayu putih
Tabel 5. Daftar penelitian-penelitian yang berkaitan dengan model pertumbuhan dan hasil
Lanjutan.... Tabel 5. Daftar penelitian-penelitian yang berkaitan dengan model pertumbuhan dan hasil
Budi Kuncahyo (2006) (1) Mengkaji prospek kelestarian Peneltian survei melalui Berdasarkan model simulasi yang dibuat
hutan dan metode pengaturan hasil wawancara dan dapat ditentukan suatu formula
Model Simulasi Pengaturan yang digunakan oleh pengelola saat pengamatan langsung di pengaturan hasil yang
Hasil Lestari Yang Berbasis ini; (2) Mengkaji peubah-peubah lapangan mempertimbangkan peubah sosial
Kebutuhan Masyarakat Desa sosial ekonomi masyarakat desa ekonomi masyarakat desa hutan
Hutan sekitar hutan yang berpengaruh Multistage cluster
terhadap gangguan hutan dan (3) sampling
Menyususn model simulasi dan
merumuskan suatu formula Analisis diskriptif
pengaturan hasil hutan yang
mempertimbangkan kebutuhan
masyarakat desa sekitar hutan.
Mohamad Subhan
Labetubun (2004) Mendapatkan alternatif metode Penelitian survei melalui Berdasarkan kondisi hutan yang ada dan
pengaturan hasil hutan tidak seumur pengamatan dan informasi pertumbuhan dan hasil hutan
Metode Pengaturan Hasil yang optimal melelui pendekatan pengukuran PUP bekas tebangan melalui pendekatan
Hutan Tidak Seumur model dinamika sistem dinamika istem yang melibatkan model
Melalui Pendekatan Model Purposif Sampling dinamika struktur tegakan, model
Dinamika Sistem (Kasus keaneka-ragaman pohon dan model
Hutan Alam Bekas Analisis diskriptif pengembalian ekonomi merupakan faktor
Tebangan) yang perlu dijadikan pertimbangan dalam
rencana pengaturan hasil hutan tidak
seumur.
38
Lanjutan.... Tabel 5. Daftar penelitian-penelitian yang berkaitan dengan model pertumbuhan dan hasil
Lanjutan.... Tabel 5. Daftar penelitian-penelitian yang berkaitan dengan model pertumbuhan dan hasil
Analisis diskriptif
40
Lanjutan.... Tabel 5. Daftar penelitian-penelitian yang berkaitan dengan model pertumbuhan dan hasil
BKPH Sukun
Ponorogo
antara lain hutan tanaman dengan sistem pemanenan tunas, pengaturan hasilnya
berdasar etat luas, areal kerjanya dikelilinggi 15 desa yang berpenduduk padat
dengan matapencaharian penduduk terbesar petani, minat masyarakat sebagai
pesanggem sangat besar, akses ke dalam areal hutan sangat mudah dan sangat
dekat dengan ibu kota kabupaten.
Selain itu, BKPH Sukun ini dipilih sebagai lokasi penelitian karena
merupakan tempat yang cukup ideal untuk menyusun model pertumbuhan dan
hasil dalam rangka menyusun model pengelolaan hutan tanaman kayu putih yang
optimum. Dasar Pertimbangannya antara lain mempunyai luas areal hutan
produksi ± 3.450 ha, tegakan kayu putih mempunyai kelas umur yang lengkap
(KU I s/d KU IX), produktivitas daun kayu putih di BKPH Sukun belum
maksimal, kapasitas terpasang pabrik belum pernah terpenuhi dan di areal hutan
ini memungkinkan pelaksanaan kegiatan tumpangsari sepanjang tahun. Secara
teknis cara pemanenan daun kayu putih menggunakan sistem pangkas di areal
hutan BKPH Sukun baik di plong-plongan tumpangsari maupun diantara tegakan
kayu putih memudahkan pengukuran dimensi pohon kayu putih sepanjang tahun,
tidak terkendala tutupan semak-semak dan gulma sekitar tanaman.
pertumbuhan tegakan dari waktu ke waktu dilakukan dengan pembuatan plot ukur
permanen- PUP (permanent sample plot-PSP).
Priyadi et al. (2006) mengemukakan bahwa PUP merupakan sarana penting
dalam pengumpulan data lapangan untuk mengetahui riap diameter dan volume
serta dinamika tegakan. Plot ukur (PUP dan PUS) merupakan miniatur dari
tegakan yang diwakilinya, sehingga dalam hal ini ukuran petak ukur sangat
berperan terhadap representatif tidaknya petak ukur tersebut mencerminkan
kondisi tegakan. Semakin besar ukuran, maka plot ukur akan semakin mampu
menampung keragaman parameter tegakan yang diwakilinya. Namun demikian,
semakin besar ukuran plot ukur akan semakin besar waktu dan biaya yang
dibutuhkan untuk pembuatan dan penggukurannya. Berhubung pada lolasi
penelitian tidak tersedia plot permanen, maka dalam penelitian ini plot ukur yang
digunakan adalah plot ukur sementara (PUS). Oleh karena itu, dilakukan kajian
untuk memperoleh informasi cara pembuatan dan pengukuran plot ukur yang
efektif dan efisien seperti cara yang dilakukan oleh Harbagung (2009) pada
penentuan ukuran optimal plot ukur permanen untuk hutan tanaman agathis
(Agathis laronthifolia Salisb.)
1. Data pengukuran produksi daun kayu putih satu kali pemanenan tunas
Data diperoleh dari hasil pengukuran pohon-pohon dalam plot-plot ukur
sementara (PUS) yang mempunyai umur tunas 1 bulan sampai dengan 12 bulan
dan diletakkan tersebar pada Petak 5a dan Petak 6 BKPH Sukun. Pada masing-
masing umur tunas dibuat 3 PUS berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 25 m x
25 m. Seluruh pohon dalam PUS diukur dan dicatat berat biomassanya. Petak 5a
45
dan 6 merupakan petak tegakan tanaman kayu putih KU II tahun tanam 2006
dengan luas masing-masing 83,7 ha dan 44,0 ha.
3. Data Kadar minyak, kualitas dan beberapa sifat minyak kayu putih
Data kadar minyak (rendemen) diperoleh dari hasil penyulingan daun kayu
putih yang mempunyai umur tunas 6 bulan sampai dengan 12 bulan. Masing-
masing umur tunas dilakukan dua kali penyulingan untuk memperoleh data yang
representatif. Hasil penyulingan masing-masing tunas di atas dicampur dan diuji
di laboratorium Perum Perhutani dan Balitro Bogor untuk memperoleh data
kualitas minyak berupa kadar sineol dan beberapa sifat minyak.
(1). Keadaan umum daerah yang termasuk didalamnya adalah letak dan luas
wilayah, topografi, iklim dan tanah.
(2). Kependudukan yang meliputi: jumlah penduduk menurut umur.
(3). Tata guna dan pemikan lahan
(4). Produksi dan Produktivitas lahan
(5). Jumlah dan pemilikan ternak
(6). Keadaan bangunan rumah masyarakat dan data terkait lainnya.
3. Data Fisik Lingkungan, yaitu:
(1). Kesuburan tanah
(2). Curah hujan 10 tahun terakhir.
4. Data dari industri, yaitu:
(1). Kapasitas pabrik minyak kayu putih
(2). Produksi minyak kayu putih.
umur tunas yang diamati adalah umur 1 s.d 12 bulan, maka banyaknya PUS untuk
pembuatan model produksi daun dalam satu daur pemanenan adalah 36 buah atau
setiap umur tunas diulang 3x, Pohon yang ada dalam PUS seluruhnya diukur
untuk memperoleh data yang representatif. Data yang diperoleh dari PUS berupa
biomassa (Semua bagian pohon yang dipangkas) dan berat DKP (Campuran
antara daun dan ranting dengan diameter <0,5 cm) semua pohon.
adalah saat dimana riap bulanan maksimum( Curent Monthly Increment, CMI)
berpotongan dengan riap bulanan rata-rata (Mean Monthly Increment, MMI)
sampai dengan CMI = 0 (daerah yang diarsir) sampai dengan akhir daur panen.
Untuk lebih jelasnya lihat Gambar 4.
Untuk memperoleh data rendemen (kadar minyak) dilakukan dengan cara
menyuling daun kayu putih selama 4 jam di laboratorium Balitro Bogor. Data
kualitas dan beberapa sifat minyak diperoleh dari hasil uji laboratorium Perum
Perhutani dan Balitro Bogor.
5,0
4,5
4,0
3,5
Pertumbuhan
3,0
CMI
2,5
MMI
2,0
1,5
1,0
0,5
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Umur tunas (bulan)
Tabel 6. Jenis dan sumber data serta metode pengolahan data untuk analisis
Adapun cara untuk memperoleh data hasil rendemen, kualitas minyak dan
beberapa sifat minyak menggunakan metode seperti yang tercantum pada Tabel 6
. Masing-masing metode diuraikan secara singkat sebagai berikut:
3.3.2.4.1. Rendemen
Rendemen diukur didasarkan pada berat minyak hasil destilasi daun kayu
putih dan ranting dengan diameter ≤ 0,5 mm dan telah dikeringudarakan selama 2
minggu. Cara destilasi pada pengujian ini adalah pengkukusan (water steam
distillation) selama 4 jam dengan suhu didih air dan tekanan ± 1 atm. Adapun cara
perhitungannya adalah sebagai berikut (DSN, 1995, Perum Perhutani, 2008):
R = x 100%
= Bobot jenis
= Berat contoh daun kayu putih
=
Dimana : Ρ = Bobot jenis
M = masa (gram), piknometer kosong
m1= masa (gram), piknometer berisi air pada suhu 20 ℃
m2= masa (gram), piknometer berisi contoh minyak kayu putih pada
suhu 20 ℃
sertakan dalam pembentukan modelnya) yang memiliki keadaan yang relatif sama
dengan keadaan data yang dipakai untuk pembentukan modelnya, dilakukan
melalui dua cara.
Prosedur cara pertama yang dipakai dalam penelitian ini adalah prosedur uji
keabsahan model jactnife yang dikembangkan oleh Quenouille dan Tukey (1950)
(Efron, 1979) dalam Suhendang (1990), dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Hilangkan kasus pertama dari set data untuk menduga model
2. Tentukan penduga model berdasarkan (n-1) data sisanya, selain kasus pertama.
3. Tentukan penduga dari peubah tak bebas kasus pertama berdasarkan penduga
model yang diperoleh dari langkah kedua.
4. Ulangi langkah 1 sampai 3 untuk seluruh kasus yang ada, sampai kasus ke-n
Apabila Yi, yaitu penduga tak bebas dari kasus ke-I yang diperoleh dengan
memakai penduga model berdasarkan (n-1) kasus tanpa kasus ke-i, maka n kasus
yang ada akan diperoleh n buah simpanganŶi terhadap Yi, yaitu :
Ei = Yi - `Ŷi , untuk i = 1,2, .., n
dari n buah ei ini akan dapat ditenmtukan :
mi = (ei / Yi) x 100%, untuk i = 1,2, …, n
Selanjutnya, apabila : di = (mi)2, maka akan dapat dicari :
n
d = d I /n
i 1
n n
Sd2 = {( d i2 – (( d )2 ) / n } / (n-1)
i 1 i 1
CVd = ( Sd / d ) x 100%
Model akan makin baik apabila memiliki d dan CVd yang makin kecil.
Atas dasar ini, maka nilai d dan CVd ini selanjutnya dipakai sebagai kriteria
dalam menentukan model-model yang dicobakan.
Uji keabsahan model merupakan uji terakhir dilakukan dalam pemilihan
model terbaik. Selanjutnya cara kedua adalah pengujian keselarasan dan
performan model dilakukan dalam tiga tahap. Pada tahap pertama model
dibandingkan dengan yang digunakan untuk penyelarasan model (internal
validation). Statistik uji yang digunakan adalah galad baku pendugaan (se), galat
rata-rata (RMSE), bias (Biass) dan koefisien diterminasi terkoreksi (R2adj). Selain
56
itu keselarasan model dibantu dengan grafis terhadap pola penyebaran residu dari
setiap prediksi untuk menditeksi adanya korelasi berantai (serial correlation) atau
outo correlation karena data dihasilkan dari pengukuran ulang.
Pada tahap kedua model dibandingkan dengan data penyusunnya yang telah
dikurangi sebanyak 25% dan 50% secara sistematik. Ktriteria uji yang digunakan
adalah bias dan efisiensi model (MEF). Efisiensi model ini merupakan indeks
performan model dalam bentuk skala yang ekuivalen dengan R2adj. MEF akan
bernilai ‘1” jika model benar-benar selaras sempurna, jika bernilai “0” model
menunjukan tidak lebih baik dari pendugaan dengan menggunakan nilai rata-rata
biasa dan jika bernilai negatif maka model sangat buruk. Persamaan MEF ini
dapat dinyatakan dengan rumus sebagai berikut:
(n 1)i 1 ( yi yˆ ) 2
n
MEF = 1 -
(n p)i 1 yi y ) 2
n
dimana y adalah nilai observasi rata-rata. Pada tahap ketiga merupakan evaluasi
secara kualitatif yaitu berdasarkan biological realism. Pngujian secara biologi ini
dimaksudkan untuk menguji tingkat kerealistisan model terhadap teori, hukum
dan prinsip-prinsip biologis serta realitas lapangan. Karakteristik model yang diuji
pada validasi ini adalah:
1. Nilai dan tanda dari masing-masing koefisien regresi terutama nilai
asimtot.
2. Kualitas ekstrapolasi diluar kisaran data yang digunakan
3. Perkembangan tinggi pada tanaman muda
Model terpilih adalah model yang memiliki performan terbaik berdasarkan
kriteria kuantitatif maupun kualitatif. Model terpilih selanjutnya akan digunakan
untuk pembuatan model pertumbuhan tunas kayu putih. Alur analisis data dapat
dilihat pada Gambar 6.
57
1. Periode 1924-1936
Pada tahun 1924 Pemerintah Hindia Belanda mendatangkan peneliti dari
Lembaga Penelitian Hutan (LPH) Bogor untuk melakukan penelitian penanaman
kayu putih yang berasal dari Pulau Buru, di daerah Sukun, Pulung dan Bondrang
pada areal seluas 0,25 ha. Tujuan utama percobaan tersebut adalah untuk
menemukan jenis yang cocok untuk reboisasi tanah-tanah gundul dan tandus di
daerah tersebut. Ternyata hasilnya memuaskan maka penanaman jenis kayu putih
di BKPH Sukun diperluas terus menerus. Pada akhir tahun 1930-an penanaman
kayu putih sudah berproduksi baik maka dimulai percobaan penyulingan daun
kayu putih. Selanjutnya dibangun sebuah pabrik yang sangat sederhana dan tidak
permanen. Tungku hanya dibuat dari batu kali yang disemen dengan tanah liat
dan ketel daun berupa drum dari besi yang berkapasitas ± 3 kwintal daun sekali
masak.
2. Periode 1947-1955
Periode ini sudah masuk dalam masa kemerdekaan Republik Indonesia.
Pada tahun 1947 mulai dilakukan penyempurnaan alat-alat penyulingan dengan
peralatan yang lebih baik dan permanen, termasuk pengembangan pabrik minyak
60
kayu putih. Kapasitas ketel daun ditingkatkan yaitu mampu menampung 1.000 kg
(1 ton) daun kayu putih setiap kali masak dan alat pemasaknya adalah boiler
bekas ketel uap lokomotif. Pada tahun 1948 terjadi Agresi Militer Belanda II dan
Pemberontakan PKI di Madiun pabrik minyak kayu putih dibakar sehingga tidak
dapat beroperasi lagi. Setelah keadaan mulai aman pada tahun tahun 1950 teknisi
kehutanan secara sembunyi-sembunyi mulai melakukan penyulingan lagi dengan
kapasitas ketel daun ± 250 kg, sambil memperbaiki puing-puing pabrik yang
telah hancur dan akhirnya dapat dioperasikan lagi sampai tahun 1955.
3. Periode 1956-1974
Setelah beroperasi kurang lebih lima tahun maka pada tahun 1956 dilakukan
pembangunan pabrik yang permanen. Alat-alat baru yang dipasang meliputi 6
ketel daun yang masing-masing berkapasitas 1,7 ton daun, 3 buah boiler,
kondensor dari kuningan dan separator dari bahan gelas untuk meningkatkan
efisiensi kerja dan mutu minyak kayu putih. Ketel daun yang awalnya dibuat dari
tembaga yang dilapisi dinding semen dan pengisian maupun pengeluaran dari
ketel masih mengunakan tenaga manusia, disempurnakan menjadi ketel yang
terbuat dari besi yang dilapisi plat alumunium dengan kapasitas tetap dan untuk
pengisian dan pengeluaran dari ketel dipergunakan alat mekanis. Alat mekanis ini
berupa keranjang daun dari besi dan alumunium serta katrol. Penggunaan alat
mekanis ternyata dapat menghemat waktu pemasakan menjadi 8 jam dari 9 jam
sekali masak, sehingga setiap hari mampu masak sebanyak 3 shift.
4. Periode 1975-1985
Pada periode ini pabrik semakin berkembang walau tidak banyak
mengalami perubahan, hanya tahun 1975 pipa penyaring minyak dilapisi
alumunium dan posisi ketel daun yang semula di atas lantai diubah menjadi
separo bagian ketel daun dimasukan ke dalam lantai. Maksud perubahan ini
adalah untuk memudahkan bongkar muat daun dengan derek.
61
5. Periode 1986-sekarang
Dalam periode ini diadakan modifikasi menyeluruh, dimana semua instalasi
yang berhubungan dengan minyak bahannya diganti dengan bahan stainless steel.
Boiler diganti dengan boiler baru yang berkapasitas 3 ton uap air per jam,
sehingga proses pemasakan bisa dipercepat menjadi 5-6 jam. Kapasitas ketel
daun masih sama tetapi kapasitas terpasang pabrik meningkat menjadi 4 shift dari
3 shift artinya pabrik mampu memasak daun kayu putih sebanyak 12.000
ton/tahun. Untuk lima tahun ke depan seperti yang tercantum dalam Buku
Rencana Kelestarian Perusahaan Hutan tahun 2011 s/d 2015, kapasitas terpasang
pabrik tetap 12.000 ton/tahun. Dalam periode ini produksi daun kayu putih
mencapai 9.000 ton/tahun.
BKPH Sukun dan pabrik minyak kayu putih terletak pada Alur A yang
merupakan jalan raya Pulung - Ponorogo, dengan jarak ± 13 km ke arah Timur
dari kota Ponorogo. BKPH Sukun merupakan Hutan Kelas Perusahaan Kayu
Putih dan wilayah kerjanya dikelilinggi oleh pemukiman penduduk yang banyak
62
4.2.2. Topografi
Secara umum keadaan topografi wilayah BKPH Sukun adalah
bergelombang ringan, berjurang dengan punggung membujur ke arah Barat.
Diantara punggung tersebut terdapat sungai-sungai yang mengalir dari Timur Ke
Barat antara lain: Sungai Jurang Awang sampai Cimanuk, Sungai Plosorejo.
Keadaan lapangan yang bergelombang dan berjurang ini rawan terhadap erosi.
63
Tabel 7. Keadaan kelas hutan kayu putih di BKPH Sukun pada jangka 2001-2005
dan jangka 2006-2010.
4.2.3. Tanah
Penelitian yang mendalam tentang jenis tanah khususnya di wilayah Kelas
Perusahaan Kayu Putih BKPH Sukun belum pernah ada, namun demikian
keadaan tanah secara umum terdiri dari tanah Laterit agak miskin mineral tetapi
mempunyai sifat fisik yang baik antara lain kesarangan dan daya tahan air (Perum
Perhutani, 2010b). Pohon kayu putih yang tidak membutuhkan syarat-syarat
tempat tumbuh tertentu dapat tumbuh baik di kawasan tersebut.
64
4.2.4. Iklim.
Salah satu unsur iklim yang penting dan mudah diukur dalam bidang
kehutanan adalah curah hujan. Oleh karena data curah hujan tahun 2008 sampai
dengan 2011 tidak tersedia, maka data curah hujan selama 10 tahun terakhir yang
digunakan adalah data mulai tahun 1998 sampai dengan tahun 2007. Data curah
hujan yang direkam stasiun pencatat curah hujan Pulung pada periode tersebut
dapat dilihat pada Lampiran 1.
Tipe iklim di wilayah BKPH Sukun menurut klasifikasi iklim Schmidt dan
Ferguson yang ditetapkan berdasarkan perbandingan antara jumlah curah hujan
pada bulan basah (BB) dan bulan kering (BK) dalam periode waktu yang cukup
panjang. Schmidt dan Ferguson menyatakan dalam rumus:
Q = D / W x 100%
dimana: Q = Quation Index (besarnya dalam persen)
W = Jumlah Bulan Basah (BB)
D = Jumlah Bulan Kering (BK)
Dari besarnya Q tersebut dapat diketahui tipe iklim dari suatu daerah tertentu.
Adapun ketentuan-ketentuan penentuan iklim menurut Schmidt dan Ferguson
adalah sebagai berikut:
1. Suatu bulan diklasifikasikan ke dalam Bulan Basah (BB) apabila curah hujan
lebih besar dari 100 mm.
2. Suatu bulan diklasifikasikan ke dalam Bulan Lembab (BL) apabila curah hujan
antara 60 - 100 mm.
3. Suatu bulan diklasifikasikan ke dalam Bulan Kering (BK) apabila curah hujan
kurang dari 60 mm.
4. Berdasarkan nilai Q yang merupakan perbandingan jumlah bulan basah (BB)
dan jumlah bulan kering (BK) dalam persen, maka Schmidt dan Ferguson
mengklasifikasikan tipe iklim adalah sebagai berikut:
a. Tipe Iklim A, Sangat Basah = 0% < Q < 14,3 %
b. Tipe Iklim B, Basah = 14,3 % < Q < 33,3 %
c. Tipe Iklim C, Agak Basah = 33,3 % < Q < 60,0 %
d. Tipe Iklim D, Sedang = 60,0 % < Q < 100,0 %
e. Tipe Iklim E, Agak Kering = 100,0 % < Q < 167,0 %
65
sengaja ditanam di lahan yang sama dengan tanaman pertanian dan atau
peternakan dalam suatu pengaturan spatial atau temporal, dan terdapat interaksi
baik secara ekonomis maupun ekologis antara komponen-komponen yang
berbeda.
Penggunaan teknik agroforestry telah dikenal luas dan dapat diterima
sebagai teknik yang dapat dipakai untuk intensifikasi di bidang kehutanan.
Penerapan teknik ini diharapkan dapat meningkatkan produktifitas lahan hutan,
tidak hanya produksi daun kayu putih tetapi juga hasil pangan, pakan ternak,
kesempatan kerja dan kayu bakar.
daerah ini baik untuk pertumbuhan jenis tanaman kayu putih. Pabrik minyak
kayu putih ini menggunakan 6 ketel (4 ketel yang masih baik) dengan kapasitas
terpasang 40 ton daun kayu putih (DKP) setiap hari atau dalam satu tahun dengan
hari efektif sekitar 300 hari (bulan Januari dan Pebruari revisi pabrik) maka
kapasitas dalam satu tahun sebesar 12.000 ton DKP. Namun demikian sampai
dengan saat ini kapasitas terpasang tidak terpenuhi, rata-rata hanya ± 11 ton DKP
per hari kecuali pada bulan Juli s/d September bisa mencapai 30 ton DKP.
72
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 9. Hasil pengukuran biomassa, cabang dan DKP per hektar tanaman kayu
putih umur tunas 1 s/d 12 bulan
Lanjutan…
Tabel 9. Hasil pengukuran biomassa, cabang dan DKP per hektar tanaman kayu
putih umur tunas 1 s/d 12 bulan
.Tabel 10. Rekapitulasi hasil pengukuran biomassa tunas kayu putih di BKPH
Sukun
No Umur Berat Biomassa Per Plot Berat Biomassa Per Pohon Berat Biomassa Per Hektar
Tunas Ukur (kg) (kg) (kg)
(bulan) Biomassa Cabang DKP Biomassa Cabang DKP Biomassa Cabang DKP
1 1 8,31 0 8,31 0,08 0 0,08 132,91 0 132,91
2 2 35,09 0 35,09 0,35 0 0,35 561,44 0 561,44
3 3 111,58 0 111,58 1,13 0 1,13 1.785,28 0 1.785,28
4 4 274,72 20,89 253,83 2,78 0,21 2,57 4.395,52 334,24 4.061,28
5 5 330,63 54,65 275,98 3,32 0,55 2,77 5.290,02 874,35 4.415,68
6 6 358,80 63,02 295,78 3,62 0,64 2,99 5.740,80 1.008,37 4.732,43
7 7 457,05 124,52 332,45 4,63 1,26 3,37 7.312,74 1.992,37 5.319,25
8 8 482,55 140,81 341,74 4,86 1,42 3,44 7.720,80 2.253,01 5.467,79
9 9 511,08 163,01 348,07 5,16 1,65 3,52 8.177,28 2.608,11 5.569,17
10 10 593,82 228,74 365,08 6,04 2,33 3,71 9.501,06 3.659,84 5.841,23
11 11 633,26 232,64 400,61 6,37 2,34 4,03 10.132,11 3.722,29 6.409,81
12 12 586,85 230,09 356,76 5,93 2,32 3,60 9.389,54 3.681,39 5.708,16
Dari kelima model tersebut ternyata dua model yang dipilih pada tulisan
ini juga cocok digunakan untuk menggukur sebuah fenomena pertumbuhan yang
menunjukan sebuah bentuk sigmoid sepanjang waktu. Model tersebut adalah
model Gompertz, Logistic, Log-logistic, Morgan-Mercer-Flodin dan Chapman-
Richards.
Dari hasil pengukuran biomassa dan DKP yang telah direkap pada Tabel 10
dan dimasukkan pada model yang dipilih diperoleh nilai-nilai konstanta yang
disajikan pada Tabel 11, sedangkan persamaan yang diperoleh adalah persamaan
18 (Model Logistik) dan persamaan 21 (Model Morgan-Mercer-Flodin).
Tabel 11. Nilai konstanta, Se dan R2 persamaan model MMF dan Logistik
Persamaan a b c d Se R2
12000
10000
8000
6000
Y = a/(1+b*exp(-cA))
4000
2000
0
0 2 4 6 8 10 12
Gambar 7a. Kurva hubungan antara produksi biomassa dan umur tunas model
Logistik
80
10000
8000
6000
Y = (a*b+c*Ad)/(b+Ad)
4000
2000
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Gambar 7b. Kurva hubungan antara produksi biomassa dan umur tunas model
Morgan-Mercer-Flodin
Produksi (kg/ha/bulan)
12000
10000
Kurva total biomassa
8000
6000
Kurva DKP
4000
2000
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Gambar 8. Hubungan kurva produksi biomassa dan produksi DKP selama satu
daur panen
riap bulanan berjalan dan riap rata-rata bulanan baik biomassa maupun DKP dapat
dilihat pada di bawah ini.
Hal yang sama CMI DKP tinggi terjadi pada umur 4 bulan (1567,18
kg/ha/bulan). CMI sampai umur tunas 4 bulan meningkat secara eksponensial dan
selanjutnya riap turun secara tajam sampai umut 7 bulan. Pada umur tunas 8 bulan
CMI turun landai dengan bertambahnya umur. MMI pada tunas kayu putih mulai
umur 5 bulan pertumbuhan menurun secara linier, seperti yang telah dibahas di
sebelumnya mulai umur 6 bulan produksi DKP stabil tetapi produksi cabang dan
ranting masih meningkat walaupun tidak tajam.
Tabel 12. Riap bulan berjalan (CMI) dan riap rata-rata bulanan (MMI) tanaman
kayu putih berdasarkan model MMF.
Biomasa (kg/ha/bulan)
1600.00
MMI
1400.00 CMI
1200.00
1000.00
800.00
600.00
400.00
200.00
0.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
(a)
DKP (kg/ha/bulan)
1800.00 MMI
1600.00 CMI
1400.00
1200.00
1000.00
800.00
600.00
400.00
200.00
0.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Umur Tunas (bulan)
(b)
Gambar 9. Riap bulan berjalan (CMI) dan riap rata-rata bulanan (MMI) (a)
biomassa dan (b) DKP tanaman kayu putih berdasarkan model
MMF.
84
5.1.4. Penentuan daur optimum produksi daun dalam satu daur panen
Pada kasus ini kurva CMI biomassa berpotongan dengan kurva MMI terjadi
pada umur tunas 7 bulan, sehingga penentuan titik umur tunas optimum bisa
ditentukan berdasarkan perpotongan kurva sampai akhir daur panen. Lebih lanjut,
apabila berdasarkan produksi DKP, maka periode optimum menjadi lebih lebar
menjadi 7 bulan. Oleh karena itu, untuk menentukan daur optimum diperlukan
parameter lain seperti: kadar minyak (rendemen), kualitas minyak (kadar sineol)
atau parameter lain yang terkait dengan industri minyak kayu putih.
Biomasa (kg/ha/bulan)
12000
10000
8000
Biomasa
6000
MMI
CMI
4000
2000
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Gambar 10 a. Kurva pertumbuhan tunas kayu putih, CMI, MMI dan periode
optimum produksi total biomassa
85
DKP (kg/ha/bulan)
7000.00
6000.00
5000.00
4000.00
DKP
3000.00 MMI
CMI
2000.00
1000.00
0.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Gambar 10 b. Kurva pertumbuhan tunas kayu putih, CMI, MMI dan periode
optimum produksi DKP
Dari Tabel 12. dan Gambar 10a dimuka dapat diketahui bahwa rata-rata
produksi daun segar terus meningkat dari umur tunas 1 bulan s/d umur tunas 11
bulan kemudian menurun pada umur tunas 12 bulan. Pertumbuhan dengan
peningkatan tajam terjadi sampai umur tunas 4 bulan, umur tunas 7 s/d 11 bulan
produksi stabil, yaitu: 7313 s/d 10.132 kg/ha dan pada umur tunas 12 bulan
menurun. Hal ini dapat diartikan bahwa umur tunas 7 bulan dapat dilakukan mulai
pemangkasan karena produksi daun mulai stabil. Produksi biomassa baik pada
tegakan maupun individu pohon meningkat seiring dengan meningkatnya umur
tunas. Namun demikian pada umur tunas 12 bulan terjadi penurunan produksi
biomassa.
Penurunan pada umur 12 bulan merupakan fenomena alami yang terjadi
pada pertumbuhan tunas kayu putih, dimana pada umur tersebut terjadi
pemangkasan tunas alami (natural pruning) dan perontokan daun tua. Keadaan
ini ditunjang pada saat pengambilan data terjadi puncak musim kemarau. Untuk
86
mengetahui berapa besar biomassa yang hilang karena rontok dan saat kapan
terjadinya hal terjebut perlu kajian lebih lanjut. Pertanyaan lain adalah apakah
setelah tunas berumur 12 bulan atau lebih terjadi kecenderungan penurunan atau
justru terjadi kenaikan produksi perlu penelitian lebih lanjut. Namun demikian,
berdasarkan pengamatan dari sisa tanaman kayu putih yang tidak sempat
dipangkas pada periode sebelumnya, produksi biomassa menunjukkan
kencenderungan naik pada umur tunas 24 bulan dan 36 bulan.
Apabila perhitungan didasarkan pada kurva pertumbuhan tunas kayu putih,
CMI dan MMI produksi DKP, maka umur tunas optimum adalah 5 bulan karena
pada umur tersebut terjadi perpotongan kurva CMI dan MMI maksimum. CMI
sampai umur tunas 4 bulan meningkat secara eksponensial dan selanjutnya riap
turun secara linier sampai umut 8 bulan. Pada umur tunas 9 bulan CMI turun
mendekati nol dengan bertambahnya umur. MMI pada tunas kayu putih mulai
umur 5 bulan pertumbuhan mendatar sampai umur 12 bulan.
Dari uraian di atas, berdasarkan kurva produksi total biomassa saat
pemangkasan berikutnya adalah 7 bulan dari pemangkasan sebelumnya. Sedang
berdasarkan kurva produksi DKP saat pemangkasan optimum adalah 5 bulan.
Namun demikian, pada umur tersebut berdasarkan pengalaman di lapangan daun
masih muda dan dikawatirkan rendemen dan kadar sineolnya masih rendah. Selain
itu, sampai umur tunas 8 bulan masih terjadi peningkatan walaupun tidak tajam.
Oleh karena itu, berdasarkan kurva ini umur pemangkasan tunas sebaiknya
dilakukan pada umur tunas 9 bulan karena pada bulan berikutnya laju
pertumbuhan sampai umur tunas 12 bulan mendekati nol. Setelah saat
pemangkasan optimum diketahui, langkah selanjutnya adalah menentukan saat
kapan umur tunas mempunyai rendemen dan kualitas minyak yang tinggi.
minyak yang maksimal dilakukan penyulingan cara mengkukus daun kayu putih
selama 4 jam, suhu antara 150 s/d 175 0 C.
Sehubungan jarak lokasi pengambilan sampel daun kayu putih dengan
Laboratorium Balitro Bogor sangat jauh, maka daun kayu putih yang disuling
adalah daun yang telah dikeringanginkan selama 2 minggu. Maksud dari
pengeringan ini adalah daun tidak layu atau busuk., sehingga kandungan minyak
dalam daun terjaga. Daun yang disuling adalah daun yang telah mempunyai umur
6 s/d 12 bulan dan hanya terdiri dari daun dan ranting yang mempunyai diameter
≤ 0,5 mm. Masing-masing umur tunas dilakukan dua kali penyulingan agar
diperoleh hasil yang representatif.
Seperti terlihat pada Tabel 13 bahwa rendemen minyak kayu putih terus
naik seiring dengan meningkatnya umur tunas, yaitu umur tunas 6 s/d 12 bulan
kecuali pada umur tunas 11 bulan rendemen lebih tinggi. Dibandingkan dengan
hasil penyulingan di pabrik yang berkisar 0,6 % s/d 0,9 %, hasil ini relatif tinggi,
dimana pada setiap umur tunas memiliki rendemen di atas 1%. Hal ini dapat
dimengerti, seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa daun yang disuling pada
penelitian ini adalah daun yang telah dikeringkan dan hanya terdiri dari daun dan
ranting kecil saja, sedangkan daun kayu putih yang disuling di pabrik merupakan
daun yang baru dipetik dan masih basah serta kandungan airnya masih tinggi.
Pada umumnya daun yang dipetik hari itu akan disuling hari itu juga, sehingga
daun masih segar dan mempunyai masa yang relatif berat.
Besarnya penyusutan daun kayu putih setelah dikeringanginkan selama 2
minggu pada umur tunas 6 dan 12 relatif sama, yaitu 68%. Demikian juga pada
umur tunas 7 s/d 10 bulan mempunyai penyusutan masa daun yang relatif sama
sebesar 64%, kecuali pada umur tunas 11 bulan sebesar 53%. Perbedaan besarnya
penyusutan ini mempengaruhi perhitungan rendemen. Namun demikian, setelah
daun dikonversi menjadi berat basah, rendemen hasil penyulingan baik di
laboratorium maupun di pabrik relatif sama kecuali pada umur tunas 11 bulan.
Rendemen pada umur tunas 9 bulan s/d 12 bulan berkisar 0,58 % s/d 1,01 %
hampir sama dengan hasil penyulingan pabrik pada umur tunas yang sama,
sedangkan umur tunas 11 bulan rendemennya hampir dua kali lipat, yaitu sebesar
88
Tabel 13. Rendemen minyak kayu putih umur tunas 6 bulan sampai dengan 12
bulan penyulingan selama 4 jam.
Perbedaan penyusutan masa daun disebabkan antara lain oleh bentuk daun,
ketebalan daun dan varietas kayu putih. Dilihat dari produksi minyak, varietas
kayu putih berkuncup putih menghasilkan kadar sineol rata-rata 33,3 % dan
rendemen minyak 1,2 % lebih tinggi dibandingkan dengan kayu putih yang
berkuncup merah dengan kadar cineol 29,3 % dan rendemen minyak 0,8 %,
sedangkan dilihat bentuk daunnya, daun berbentuk langsit lebih banyak
mengandung minyak dan daun yang berbentuk lonjong kadar sineolnya lebih
tinggi (LPHH, 1973 dalam Perum Perhutani, 1985).
Hasil tersebut senada dengan hasil kajian Susanto, et al. (2008),
menyatakan bahwa hasil evaluasi kebun benih uji keturunan di Paliyan
menujukkan adanya keragaman pertumbuhan dan sifat minyak diantara pohon
induk dan asal induk (provenan). Berdasarkan data uji keturunan M. cajuputi di
Paliyan menunjukan adanya individu pohon yang mempunyai kualitas minyak
yang superior yaitu rendemen minyak sampai 4,78% dan kadar sineol sampai 73%
(Santoso, et al., 2008).
89
Tabel 14. Rendemen minyak kayu putih umur tunas 6 bulan sampai dengan 12
bulan setelah dikonversi ke berat basah
kayu putih selain ditentukan oleh kadar sineol juga ditentukan oleh sifat-sifat
minyak, yaitu : warna, bobot jenis, indeks bias, putaran optik, kelarutan dalam
alkohol. Menurut SNI 06-3954-1995, kayu putih dikatakan bermutu apabila
mempunyai kadar sineol 50 – 65%, warna kekuning-kuningan sampai kehijau-
hijauan, memiliki bobot jenis yang diukur pada suhu 20oC sebesar 0,91 – 0,92,
memiliki indeks bias pada suhu 20oC berkisar antara 1,466 – 1,472, putaran
optiknya pada suhu 27,5oC sebesar (-4)o – 0o, larut dalam alkohol dan tidak
mengandung lemak dan minyak pelican.
Dari hasil analisis di laboratorium Perum Perhutani pada masing-masing
umur tunas mempunyai kadar sineol yang baik. Pada umur tunas 8 s/d 12 bulan
mempunyai kadar sineol ≥ 55% (mutu utama), sedangkan umur tunas 6 dan 7
mempunyai kadar sineol <50%. Namun demikian, analisis minyak ini masih
kasar dimana kadar sineol yang terbaca tidak seluruhnya bukan mutlak sineol
tetapi tercampur unsur kimia lain yang tidak terditeksi. Ini merupakan salah satu
kelemahan metode basah atau sering disebut metode konvensional. Oleh karena
itu untuk mengetahui kadar sineol yang lebih akurat harus menggunakan metode
GC. Pada metode GC semua unsur senyawa kimia yang terkandung dalam minyak
akan terbaca semua, paling tidak unsur utamanya. Hasil analisis laboratorium
kadar sineol masing-masing umur tunas dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Kadar sineol minyak kayu putih umur tunas 6 - 12 bulan
Secara umum, kayu putih yang diperoleh dikatakan bermutu karena memiliki
kadar sineol sesuai ketentuan SNI, yaitu memiliki kadar sineol antara 50 – 65%.
Minyak kayu putih hasil analisis di laboratorium Balitro Bogor mempunyai
bau khas minyak kayu putih dan memiliki warna kekuning-kuningan, bobot jenis
yang diukur pada suhu 25oC sebesar 0,90 – 0,93, memiliki indeks bias pada suhu
25oC berkisar antara 1,46 – 1,47 dan putaran optiknya sebesar (- 703’) – (- 0056’).
Indeks bias adalah bilangan yang menunjukkan perbandingan antara sinus sudut
datang dengan sinus sudut bias cahaya, sedangkan yang dimaksud putaran optik
adalah besarnya pemutaran bidang polarisasi suatu zat. Disamping itu, minyak
kayu putih yang bermutu akan tetap jernih bila dilakukan uji kelarutan dalam
alkohol 80%, yaitu dalam perbandingan 1 : 1, 1 : 2, dan seterusnya s.d. 1 : 10.
Hasil anailis beberapa sifat minyak kayu putih yang dilakukan laboratorium
Balitro Bogor tersebut menunjukkan bahwa pada semua umur tunas memiliki sifat
yang hampir sama. Perbedaan cukup mencolok hanya terjadi pada umur tunas 4
bulan, dimana minyak yang dihasilkan mempunyai putaran optik terendah.
Dibanding dengan standar SNI, beberapa hasil analisis sifat minyak yang
diperoleh tidak memenuhi standar. Putaran optic seharusnya berkisar antara (-0) –
(-4), minyak hasil penyulingan umur tunas 6 – 9 bulan diluar kisaran yang
dierkenankan.
Walapun dalam penelitian ini tidak dilakukan uji kandungan minyak lemak
minyak pelican, dalam minyak kayu putih tidak diperkenankan adanya kandungan
minyak tersebut. Minyak lemak merupakan minyak yang berasal dari hewan
maupun tumbuhan, seperti lemak sapi dan minyak kelapa, yang mungkin
ditambahkan sebagai bahan pencampur dalam minyak kayu putih. Demikian juga
minyak pelican yang merupakan golongan minyak bumi seperti minyak tanah dan
bensin biasa digunakan sebagai bahan pencampur minyak kayu putih, sehingga
merusak mutu kayu putih tersebut. Beberapa sifat minyak kayu putih hasil analisis
di laboratorium Balitro Bogor disajikan pada Tabel 16.
92
Tabel 16. Beberapa sifat minyak kayu putih umur tunas 6 bulan sampai dengan
12 bulan penyulingan selama 4 jam.
Biomasa (kg/ha/bulan)
12000
10000
Biomasa
8000 MMI
CMI
6000
4000
2000
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
(a)
Rendemen (%)
1,2
1,0
0,8
0,6
0,4
0.2
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
(b)
Gambar 11. Kurva (a) periode optimum biomassa dan (b) kurva rendemen
(diarsir periode optimum berdasarkan rendemen ≥ 0,7%)
tinggal sepertiganya dibanding pada umur tegakan awal. Hal ini disebabkan
selama proses pertumbuhan tegakan terjadi gangguan, antara lain : kematian,
kebakaran hutan, pemangkasan awal yang tidak tepat, hama penyakit dan
sebagainya.
Tabel 18. Rekapitulasi hasil pengukuran biomassa tegakan kayu putih di BKPH
Sukun
berbagai pustaka. Untuk menyusun persamaan model produksi daun dalam satu
daur silvikultur diperoleh persamaan yang tepat, yaitu model polinomial
(persamaan 10).
Tabel 19. Nilai konstanta, Se dan R2 persamaan model hasil pengukuran dan
hasil perhitungan kumulatif
Persamaan a b c d Se R2
16.00
12.00
Y = a+bA+cA2+dA3
8.00
4.00
0.00
0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0 40.0 45.0
Gambar 12. Kurva hubungan produktivitas biomassa dan umur tegakan dengan
model Polinomial derajat 3.
Tabel 20. Nilai koefisien, Se dan R2 kurva model polinomial hubungan biomassa,
cabang dan daun dengan umur tegakan
Persamaan a b c Se R2 r
Biomassa 3.8979874 1.1274811 -0.02831747 1.63 85.38 % 0.924
Daun 2.6969293 0.60697511 -0.01544286 1.75 61.15 % 0.782
Cabang 0.12157258 0.60493607 -0.01383264 1.19 70.39 % 0.839
98
Produktivitas (ton/ha/tahun)
18
16
Total biomassa
14
12 DKP
10
6
Cabang
4
0
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Gambar 13. Kurva model polinomial derajat dua hubungan biomassa, cabang dan
daun dengan umur tegakan
andil terjadinya penurunan produktivitas biomassa pohon mulai tua karena bentuk
batang tidak sempurna lagi.
Terjadinya kebakaran tegakan, pengambilan biomassa yang terus menerus
juga menurunkan produktivitas biomassa. Asupan nutrisi pada tegakan tidak
sebanding dengan biomassa yang diambil juga mempengaruhi menurunnya
produktivitas biomassa. Kesuburan tanah hutan yang rendah tersebut dan sistem
pemangkasan yang diterapkan pada hutan kayu putih menimbulkan dampak yang
kurang baik terhadap kelestarian kesuburan tanah. Dengan sistem pangkas daur
hara tertutup yang seharusnya ada menjadi terputus karena terjadi penggangkutan
keluar biomassa tanaman kayu putih yang berupa daun dan ranting kecil ke pabrik
dan cabang lainnya digunakan penduduk sebagai kayu bakar, sehingga hampir
tidak ada biomassa yang kembali ke tanaman. Akibat lain dari cara ini adalah
proses dekomposisi serasah di permukaan tanah sangat sedikit, padahal proses ini
yang memperkaya unsur hara ke tanah. Apabila keadaan ini dibiarkan terus dalam
jangka waktu lama akan menyebabkan produktivitas daun kayu putih menurun.
Hal ini diperkuat hasil analisis tanah yang dilakukan Sukirno (1994) bahwa
tanah hutan BKPH Sukun termasuk tanah kurang subur. Adapun hasil analisis
tersebut berdasarkan pada kriteria Lembaga Penelitian Tanah Bogor bahwa pH di
lokasi penelitian, BKPH Sukun umumnya adalah agak masam sampai netral (6,10
- 6,80). Sedangkan unsur hara makro antara lain nitrogen, kalsium, pospor dan
bahan organik adalah sebagai berikut: C-tersedia sangat rendah sampai rendah
(0,67 % - 5,02 %), N-total sangat rendah sampai rendah (0,06 % - 0,10 %), P-
tersedia kurang (0,23 ppm - 2,19 ppm), K-tersedia rendah sampai tinggi (0,18 -
0,62) sedangkan bahan organik sangat rendah sampai rendah (1,15 % - 5,47%).
Oleh karena itu, untuk mempertahankan kelestarian kesuburan tanah perlu
dilakukan penambahan unsur hara ke dalam tanah yang berupa pupuk atau bahan
ornanik lainnya. Sedangkan untuk memulihkan daur hara yang terputus akibat
penggangkutan biomassa ke pabrik dan ke rumah penduduk dilakukan melalui
pengembalian sisa pabrik yang berupa afval daun kembali ke lahan hutan.
Kegiatan lain yang mendukung kegiatan di atas adalah penanaman tanaman sela
dan tumbuhan bawah diantara tanaman kayu putih serta pembuatan angelan untuk
mengurangi erosi.
100
6.1. KESIMPULAN
1. Persamaan matematika untuk kurva pertumbuhan daun tegakan kayu putih
yang dipungut dengan sistem pemanenan pangkas tunas dalam satu rotasi
panen berbentuk sigmoid, dengan bentuk penduga persamaan sebagai
berikut:
6.2. SARAN
Ketelitian dan ketepatan persamaan untuk penduga model pertumbuhan
daun kayu putih sangat tergantung kepada ketelitian dan kecukupan data
yang dipergunakan untuk menduga model tersebut. Untuk mendapatkan
data dengan kualitas seperti itu, diperlukan adanya petak ukur permanen-
PUP (permanent sample plot-PSP). Untuk keperluan ini, maka disarankan
104
Alder, D. 1980. Forest Volume Estimation and Yield Prediction. FAO. Rome.
Bettinger P, Boston K, Siry J.P, Grebner D.L. 2009. Forest Management and
Planning. Academic Press – Elsevier.
[BPS dan Bappeda]. Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah. 2010. Kabupaten Ponorogo Dalam Angka Tahun 2010. Badan
Pusat Statistik Kabupaten Ponorogo. Ponorogo.
Clutter J.L., Forston J.C., Pienaar L.V., Bristen G.H., Bailey R.C., 1983. Timber
Management: a quantitative approach. John Willey & Sons. NewYork. Pp
233.
Craven, L.A. , Barlow, B.A. 1997. New taxa and new combination in Melaleuca
(Myrtaceae). Novon. 7(2): 113-119.
Daniel, T.W., J.A. Helm , F.S. Baker. 1979. Principles of Silviculture. The
McGraw-Hill Companies, Inc. New York.
Davis, L.S., K.N. Johnson, P.S. Bettinger, T.E. Howard.. 2001. Forest
Management: To Sustain Ecological, Economic, and Social Value: Fourth
Edition. . McGraw-Hill Book Company, New York.
Davis, L.S., K.N. Johnson. 1987. Forest Management. Third Edition. McGraw-
Hill Book Company, New York.
Doran, J.C. 1999. Cajuput Oil. In Southwell, I , Lowe, R.(eds.) Tea Tree: the
Genus Melaleuca (Medical and Aromatic Plant: Industrial Profiles).
Harwood Academic Publisher, pp 221-233.
Doran, J.C, Turbull, J.W. 1997. Australian Trees and Shrubs: Species for Land
Rehabilitation and Farm Planting in the Tropic. ACIAR Monograph No. 24.
Australian Centre for International Agriculturean Research. Canberra.
Draper N.R., H. Smith, 1981. Applied Regression Analisys. Jhon Wiley and Sons,
New York.
Fries, J. 1974. Growth model for tree and stand simulation. IUFRO Working
Party S4, 01 – 4. Proceedings of Meeting 1973. Skogshogskolan Royak
College of Forestry, Stockholm.
Gunn, B., McDonald, M, Lea D. 1996. Seed and Leaf Colelections of Melalleuca
cajuputil Powell in Indonesia and Nothern Australia. Australian Tree Seed
Centre, CSIRO Forest and Forest Product, Canberra, ACT.
Helms, J.A. 1998. The dictionary of Forestry. The Society of American Forester
and CABI Publishing, Walingford.210p.
Kasmudjo. 1992. Hasil minyak kayu putih harus diambil secara bertahap. Duta
Rimba 17 (14). Jakarta.
Labetubun MS. 2004. Metode pengaturan hasil hutan tidak seumur melalui
pendekatan model dinamika sistem. Tesis pada Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan
Morgan, P.H, L.P. Mercer, N.W. Flodin. 1975. General model for nutrional
response of higher organisms, Proc.Nat.Acad.Sci. USA. 72:4327-4331.
Munez, P.S. 1981. Growth, yield and economic cutting cycle of natural Mindoro
Pine (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) stand. IUFRO Meetring, UPLB
College of Forestry, Los Banos, The Philippines.
Myer, R.H. 1986. Clasical and modern regression with applications. Duxubury
Press, Boston. 359p.
Navar J. 2009. Allomatric equation for tree species and carbon stocks for forests
of Northwestern Mexico. Forest Ecology ang Management 257: 427-434.
Palahi M, Pukkala, T., Miina, J., Montero, G. 2003. Individual-tree growth and
mortality models for Scots pine (Pinus sylvestris L.) in north-east Spain.
Annals of Forest Science 60:1–10.
Parera, E. 2005. Nilai ekonomi total hutan kayu putih kasus desa Piru,
Kabupaten Seram Bagian Barat, Propinsi Maluku. Tesis pada Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan
[Perum Perhutani]. 2000a. Tarif Volume Lokal (TVL) Daun Kayu Putih KPH
Madiun . Seksi Perencanaan Hutan II Madiun. Perum Perhutani Unit II Jawa
Timur.
Ricards, F.J. 1959. A flexible growth fuction for empirical use. Journal of
Experimental Botany 10: 290-300.
Seber, G.A.F. , C.J. Wild. 1989. Nonlinear Regression. John Wiley and Sons.
New York.
110
Spurr, N.H. 1952. Forest Inventory. The Ronald Press Company. New York.
Utomo, P.M. 2001. Rekayasa pengelolaan hutan kayu putih dalam perspektif
sosial, ekonomi dan lingkungan. Thesis Program Pascasarjana S-2 Fakultas
Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak Diterbitkan.
Vanclay, J.K. 1994. Growth model for tropical forest. CAB International,
Wilingford, UK. 380p.
Vanclay, J.K. 1995. Growth model for tropical forest: A synthesis of models and
methods, Forest Science 41 (1): 7 – 42.
111
Van Laar A., Akça A., 1997. Forest Mensuration .Cuvillier Verlag. Gottingen.
418p.
Widodo, P.P. 1989. Model penduga pertumbuhan dan hasil tegakan hutan
tanaman seumur Pinus Merkusii Jungh. Et De Vriese di Pulau Jawa.
Disertasi Doktor pada. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak
Diterbitkan.
Lampiran 1. Data Curah Hujan Tahun 1998 s/d 2007 Stasiun Penakar Curah Hujan Pulung Ponorogo Sub Das Madiun
Tahun
Bulan 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH
(hari) (mm) (hari) (mm) (hari) (mm) (hari) (mm) (hari) (mm) (hari) (mm) (hari) (mm) (hari) (mm) (hari) (mm) (hari) (mm)
Januari 10 218 22 286 15 189 15 336 20 407 19 250 14 329 13 204 20 310 12 257
Februari 17 449 20 274 16 208 15 202 18 295 19 300 15 288 14 142 23 272 20 512
Maret 23 391 12 302 23 340 18 254 18 381 14 329 17 249 16 273 16 192 16 354
April 19 408 8 153 17 278 15 218 15 328 10 119 9 122 15 318 21 382 20 361
Mei 13 220 6 121 3 20 4 46 3 20 6 120 5 68 2 6 11 219 8 122
Juni 15 323 1 36 2 12 8 22 0 0 4 32 3 20 5 92 0 0 5 151
Juli 12 125 0 0 0 0 5 28 0 0 0 0 3 11 4 98 0 0 0 0
Agustus 1 51 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
September 7 105 1 5 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 66 0 0 0 0
Oktober 17 314 10 141 8 300 16 143 0 0 1 8 1 4 5 61 0 0 4 52
November 14 266 18 274 16 487 12 233 9 312 17 231 13 104 8 81 6 28 15 514
Desember 14 390 18 275 0 0 13 132 24 398 17 535 18 414 24 611 20 224 23 789
Jumlah 162 3260 116 1867 100 1834 121 1614 107 2141 107 1924 99 1610 107 1952 117 1627 123 3112
BB 11 8 6 7 6 7 6 5 6 8
BL 0 0 0 0 0 0 1 5 0 0
BK 1 4 6 5 6 5 5 2 6 4
Keterangan : HH = Hari hujan; CH = Curah hujan; BB = Bulan basah; BL = Bulan lembab; BK = Bulan kering
114
Model MMF 0,53 0,51 0,98 0,96 0,26 0,094 0,83 4,57
Model Logistik 0,69 0,87 0,97 0,93 0,43 0,036 1,74 4,57
115
Lampiran 3a. Hasil pengukuran biomasa, cabang dan DKP per hektar tanaman kayu putih
umur tunas 1 s/d 12 bulan
Lanjutan…
116
Tabel 3a. Hasil pengukuran biomasa, cabang dan DKP per hektar tanaman kayu putih
umur tunas 1 s/d 12 bulan
Lampiran 3b. Hasil pengukuran biomasa, cabang dan DKP per pohon tanaman kayu putih
umur tunas 1 s/d 12 bulan
Lanjutan…
Lampiran 3b. Hasil pengukuran biomasa, cabang dan DKP per pohon tanaman kayu putih
umur tunas 1 s/d 12 bulan
Lampiran 3c. Hasil pengukuran biomasa, cabang dan DKP per plot ukur tanaman kayu putih
umur tunas 1 s/d 12 bulan
Lanjutan…
Lampiran 3c. Hasil pengukuran biomasa, cabang dan DKP per plot ukur tanaman kayu putih
umur tunas 1 s/d 12 bulan
Lampiran 4. Rekapitulasi hasil pengukuran biomasa tegakan kayu putih di BKPH Sukun
No Kelompok Umur Kerapatan Berat per plot ukur Berat per pohon
umur tegakan tegakan (kg) (kg)
tegakan (%) Biomasa Cabang DKP Biomasa Cabang DKP
(kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg)
1 I 5,56 2,20 3,35
5 0,98 8623,15 3417,01 5206,13
2 II
8 0,94 11068,37 4576,85 6491,52 7,36 3,04 4,31
3 III
13 0,69 12184,64 4263,25 7921,39 5,53 1,94 3,59
4 IV
17 0,77 16673,44 5609,653 11063,79 6,77 2,28 4,49
5 V
22 0,45 15812,80 6830,03 8982,77 7,07 3,05 4,02
6 VI
26 0,33 12726,56 6690,83 6035,73 7,45 3,91 3,54
7 VII
34 0,35 11543,52 4204,21 7339,31 6,65 2,43 4,22
8 VIII
38 0,52 6931,15 2023,41 4907,73 2,69 0,78 1,91
122
Lampiran 5a. Hasil pengukuran biomasa, cabang dan DKP per plot ukur tanaman kayu putih
kelompok umur tunas I s/d VIII
Lampiran 5b. Hasil pengukuran biomasa, cabang dan DKP per hektar tanaman kayu putih
kelompok umur tunas I s/d VIII
123
Lampiran 5c. Hasil pengukuran biomasa, cabang dan DKP per pohon tanaman kayu putih
kelompok umur tunas I s/d VIII