Вы находитесь на странице: 1из 142

KAJIAN PENGARUH TINGKAT KEMATANGAN DAN

METODE EKSTRAKSI TERHADAP MUTU MINYAK BIJI


BINTARO

SKRIPSI

DESTI PUSPITASARI

F34070120

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011
The Influence Analysis Between Fruit Maturity and Oil Extraction Method to

Quality of Bintaro Seed Oil

Desti Puspitasari
Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural technology,
Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java,
Indonesia.
Phone 0856 97966095, e-mail: puspitasaridesti@ymail.com

ABSTRACT

Cerbera manghas L. (Bintaro) is a small evergreen coastal tree that could grow up to 12 m
high. The color of leaves is shiny dark-green, ovoid in shape. Bintaro have a fairly high oil content of
about 43-64% in seeds so it can be developed into biofuels. There are several factors that influence
Bintaro seed oil quality, including the level of maturity and the used of extraction method. The
research objective was to study the influence between fruits maturity level and oil extraction method
on yield and quality of Bintaro seed oil. The fruits maturity level categorized into three
types: immature fruit (dark-green), fruits that were ripe (bright red) and fruits that have been
germinated. The extraction method of Bintaro seed oil consist of a mechanical pressing method using
a hydraulic presser and hot hydraulic presser, and maceration extraction using n-hexane solvent. The
greatest content of Bintaro seed was oil content which was 59,58 % for ripe Bintaro, 55,04 % for
immature Bintaro and 45,56 % for germinate Bintaro. In order to achieve the efficiency of Bintaro
seed extraction process, drying process was done earlier before the pressing stages. The oil obtained
from the extraction process were characterized for each treatment. Based on the analysis, the best
treatment for Bintaro seed oil production was the ripe fruit and extracted with maceration using n-
hexane solvent method with a yield of 52.59 %, free fatty acid levels of 2.75 %, iodine value number
was 60.31 I2/100g, peroxide value numbers was 5.85 mg O2 / g, saponification value number was
199.76 mg KOH / g, the viscosity value was 63 cP, the density value was 0.90 g/cm3, the %
transmission was 87.43 % and the ash content was 0.40 %.

Keywords : Bintaro, extraction, fruit maturity, bintaro seed oil,biofuel


DESTI PUSPITASARI. F34070120. Kajian Pengaruh Tingkat Kematangan Buah dan Metode
Ekstraksi Terhadap Mutu Minyak Bintaro . Di bawah bimbingan Sapta Raharja. 2011.
RINGKASAN

Bintaro (Cebera manghas L.) adalah tumbuhan atau pohon yang memiliki tinggi mencapai 12
meter dengan daun yang berwarna hijau tua mengkilat. Buah bintaro berbentuk bulat telur dengan
panjang 5 – 10 cm. Buah bintaro yang masih muda berwarna hijau pucat dan ketika masak berubah
menjadi merah cerah. Biji bintaro yang terdapat di dalam buah bintaro memiliki kandungan minyak
yang cukup tinggi sekitar 43-64 % sehingga dapat dikembangkan menjadi bahan bakar nabati. Bahan
bakar dengan mutu yang baik dihasilkan dari minyak murni dengan mutu yang baik juga. Terdapat
beberapa faktor yang berpengaruh terhadap mutu minyak bintaro, diantaranya adalah tingkat
kematangan dan metode ekstraksi yang digunakan. Tingkat kematangan biji bintaro dikatagorikan
menjadi tiga jenis yaitu buah bintaro yang masih muda (hijau), buah yang sudah masak (merah) dan
buah yang sudah berkecambah. Selain tingkat kematangan, metode ekstraksi juga sangat berpengaruh
terhadap mutu minyak biji bintaro. Metode ekstraksi minyak biji bintaro yang digunakan terdiri atas
pengepresan mekanis dengan menggunakan alat hydraulic presser dan hot presser hydraulic, dan
metode ekstraksi maserasi dengan pelarut n-Heksana.
Tujuan penelitian adalah untuk mempelajari pengaruh tingkat kematangan buah dan metode
ekstraksi minyak terhadap rendemen dan mutu minyak biji bintaro yang dihasilkan sehingga
mendapatkan karakteristik minyak biji bintaro yang terbaik. Pada biji bintaro didapatkan hasil bahwa
kandungan terbesar dari biji bintaro adalah kadar minyak yaitu 59,58 % untuk biji bintaro masak,
55,04 % untuk biji bintaro muda, dan 45,56 % untuk biji bintaro berkecambah. Sebelum dilakukan
pengepresan, dilakukan terlebih dahulu proses pengeringan biji agar tercapainya efisiensi proses
ekstraksi minyak biji bintaro. Minyak yang didapatkan dari proses ekstraksi dikarakterisasi untuk
setiap perlakukan. Karakterisasi minyak dilakukan dengan menganalisis bilangan asam, kadar asam
lemak bebas, bilangan iod, bilangan peroksida, bilangan penyabunan, densitas, viskositas, kadar abu,
% transmisi, dan % rendemen.
Berdasarkan hasil analisis, didapatkan perlakuan terbaik untuk produksi minyak biji bintaro
adalah minyak biji bintaro yang berasal dari buah yang sudah masak dan di ekstrak minyaknya dengan
menggunakan pelarut n-heksana dengan rendemen sebesar 52,59 %, kadar asam lemak bebas sebesar
2.75 %, nilai bilangan iod sebesat 60.30 g I2/100 g, nilai bilangan peroksida 5.85 mg O2/g, nilai
bilangan penyabunan 199.76 mg KOH/g, nilai viskositas 63 cP, nilai densitas 0.90 g/cm3, nilai %
transmisi 87.43 % dan nilai kadar abu 0.40 %.
KAJIAN PENGARUH TINGKAT KEMATANGAN DAN
METODE EKSTRAKSI TERHADAP MUTU MINYAK BIJI
BINTARO

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN


pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor

Oleh
DESTI PUSPITASARI
F34070120

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Judul Skripsi : Kajian Pengaruh Tingkat Kematangan Buah dan Metode
Ekstraksi Terhadap Mutu Minyak Biji Bintaro
Nama : Desti Puspitasari
NIM : F34070120

Menyetujui,

Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA


19631026 199002 1 001

Mengetahui :
Ketua Departemen,

Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti


NIP 19621009 198903 2 001
Tanggal Lulus :
SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar – benarnya bahwa skripsi dengan judul KAJIAN
PENGARUH TINGKAT KEMATANGAN DAN METODE EKSTRAKSI TERHADAP
MUTU MINYAK BIJI BINTARO adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen
Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar – benarnya dan dapat
dipertanggungjawabkan.

Bogor, Juli 2011


Yang membuat pernyataan

Desti Puspitasari
F34070120
© Hak cipta milik Desti Puspitasari, tahun 2011
Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian
atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya.
BIODATA PENULIS

Desti Puspitasari. Lahir di Jakarta, 30 Desember 1988 dari ayah Purwito


dan ibu Luciana Suwarsilah (Alm), sebagai putri pertama dari dua
bersaudara. Pendidikan Taman Kanak-anak diselesaikan pada tahun 1995
di TK Marsudi Utomo, Jakarta. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun
2001 di SD K Lemuel II, Jakarta Barat. Pendidikan lanjutan menengah
pertama diselesaikan pada tahun 2004 di SMP K Lemuel, Jakarta. Penulis
menamatkan SMA pada tahun 2007 dari SMA Negeri 78, Jakarta dan
pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur SPMB. Penulis
memilih Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti kegiatan perkuliahan penulis aktif dalam
berbagai kegiatan termasuk menjadi asisten mata kuliah Pengawasan Mutu pada tahun 2009/2010
dan menjadi staf Human Resources Development, Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri pada
tahun 2008/2009. Pada tahun 2009 penulis mengikuti lomba karya seni drama yang diadakan
Badan Eksekutif Mahasiswa, Fakultas Teknologi Pertanian dan mendapatkan juara 1. Pada tahun
2010 penulis juga mengikuti lomba inovasi makanan tradisional dalam acara “Nutrition” yang
diadakan Departemen Gizi Masyarakat. Penulis juga pernah melaksanakan praktek lapangan di PT
Indofood Sukses Makmur, Bogasari Flour Mills, Jakarta pada tahun 2010.
KATA PENGANTAR

Segala puji dipanjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Kajian Pengaruh Tingkat Kematangan
Buah dan Metode Ekstraksi Terhadap Mutu Minyak Biji Bintaro. Penulis menulis dan menyusun
skripsi ini berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan selama kurang lebih tiga bulan dari bulan
Maret 2011 hngga Juni 2011 di Laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Skripsi ini dapat dibuat dengan bantuan, bimbingan, motivasi dan dorongan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA. sebagai pembimbing yang telah membimbing, memberikan
kritik, saran dan memotivasi selama penelitian dan penyusunan skripsi.
2. Drs. Purwoko, M. Si. dan Dr. Ir. Endang Warsiki sebagai penguji yang telah menguji,
memberikan kritik dan saran dalam penyusunan skripsi.
3. Kedua orang tua, adik dan seluruh keluarga yang telah memberikan do’a, kasih sayang dan
dukungan kepada penulis.
4. Egnawati Sari, Sri Mulyasih, Rini Purnawati, Sugiardi, dan Gunawan selaku laboran di
Laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor, yang telah memberikan bantuan, kritik, saran dan motivasi selama
penelitian.

Akhirnya kritik dan saran yang membangun, penulis harapkan untuk memyempurnakan
skripsi ini. Penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Juli 2011

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ....................................................................................................................... i

DAFTAR ISI ...................................................................................................................................... ii

DAFTAR TABEL.............................................................................................................................. iv

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................................... v

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1

1.1. Latar Belakang .............................................................................................................. 1

1.2. Tujuan ........................................................................................................................... 1

1.3. Ruang Lingkup ............................................................................................................. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................... 3

2.1. Bintaro .......................................................................................................................... 3

2.2. Minyak Bintaro ............................................................................................................. 4

2.3. Ekstraksi Minyak .......................................................................................................... 6

2.4. Minyak Nabati .............................................................................................................. 8

BAB III METODOLOGI ............................................................................................................... 12

3.1. Alat dan Bahan ............................................................................................................. 12

3.2. Metode Penelitian ......................................................................................................... 12

3.1.1. Penelitian Pendahuluan ................................................................................... 14

3.1.2. Penelitian Utama ............................................................................................. 14

3.3. Rancangan Percobaan................................................................................................... 16

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................................... 18

4.1. Karakteristik Biji Bintaro ........................................................................................... 18

4.2 Karakteristik Minyak Biji Bintaro .............................................................................. 20

4.2.1. Kadar Asam Lemak Bebas............................................................................... 20

ii
Halaman

4.2.2. Bobot Jenis Minyak (Densitas) ...................................................................... 23

4.2.3. Bilangan Iod Minyak ..................................................................................... 23

4.2.4. Bilangan Penyabunan Minyak ....................................................................... 25

4.2.5. Bilangan Peroksida Minyak ........................................................................... 27

4.2.6. Viskositas Minyak ......................................................................................... 28

4.2.7. Kadar Abu Minyak ........................................................................................ 30

4.2.8. Kejernihan Minyak (% Transmisi) ................................................................. 30

4.2.9. Rendemen Minyak ......................................................................................... 32

4.2.10. Komponen Asam Lemak Minyak Biji Bintaro ............................................ 33

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................................... 35

5.1 Kesimpulan ................................................................................................................. 35

5.2 Saran............................................................................................................................. 35

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................ 36

LAMPIRAN ....................................................................................................................................... 39

iii
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi asam lemak penyusun trigliserida minyak biji Bintaro ..................................... 5

Tabel 2. Kandungan asam lemak pada minyak jarak pagar .............................................................. 9

Tabel 3. Sifat Fisikokimia minyak jarak pagar ................................................................................. 9

Tabel 4. Kandungan asam lemak pada minyak kelapa sawit ............................................................ 10

Tabel 5. Sifat Fisikokimia minyak kelapa sawit ............................................................................... 10

Tabel 6. Karakteristik Minyak Nyamplung ....................................................................................... 10

Tabel 7. Komposisi Asam Lemak Minyak Nyamplung .................................................................... 11

Tabel 8. Komposisi kimia biji bintaro kering .................................................................................... 18

Tabel 9. Asam – asam lemak penyusun minyak biji bintaro ............................................................. 34

iv
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Pohon bintaro .................................................................................................................. 3

Gambar 2. (a) akar, (b) batang, (c) daun, (d) bunga, dan (e) buah bintaro ........................................ 4

Gambar 3. (a) kulit (epikarp) (b) sabut (mesokarp), dan (c) biji (endokarp) ..................................... 4

Gambar 4. Gugus fungsi asam lemak ................................................................................................ 5

Gambar 5. Diagram alir tahapan penelitian ....................................................................................... 12

Gambar 6. Diagram alir tahapan ekstraksi minyak biji bintaro ......................................................... 13

Gambar 7. Alat hydraulic presser .................................................................................................... 15

Gambar 8. Alat hot presser hydraulic .............................................................................................. 15

Gambar 9. (a) maserator dengan pengaduk, (b) penyaring vakum .................................................... 16

Gambar 10. (a) Buah bintaro muda, (b) Buah bintaro matang, dan (c) Buah bintaro berkecambah ... 18

Gambar 11. (a) minyak hydraulic pressing, (b) minyak hot hydraulic pressing, (c) minyak ekstraksi
maserasi) .......................................................................................................................... 20

Gambar 12. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap kadar
asam lemak bebas (FFA) minyak biji bintaro yang dihasilkan ....................................... 21

Gambar 13. Persamaan reaksi hidrolisis minyak atau lemak .............................................................. 22

Gambar 14. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap bobot
jenis minyak biji bintaro yang dihasilkan ....................................................................... 23

Gambar 15. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap
bilangan iod minyak biji bintaro yang dihasilkan ........................................................... 24

Gambar 16. Reaksi bilangan penyabunan minyak ............................................................................. 25

Gambar 17. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap
bilangan penyabunan minyak biji bintaro yang dihasilkan ............................................ 26

Gambar 18. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap bilangan
peroksida minyak biji bintaro yang dihasilkan ................................................................ 27

Gambar 19. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap
viskositas minyak biji bintaro yang dihasilkan ................................................................ 29

v
Halaman

Gambar 20. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap kadar
abu minyak biji bintaro yang dihasilkan .......................................................................... 30

Gambar 21. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap
kejernihan minyak biji bintaro yang dihasilkan ............................................................... 31

Gambar 22. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi minyak biji
bintaro terhadap rendemen yang dihasilkan .................................................................... 32

vi
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Prosedur Analisa Proksimat Biji Bintaro .................................................................... 39

Lampiran 2. Prosedur Analisa Fisiko Kimia Minyak Biji Bintaro .................................................. 41

Lampiran 3. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Kadar Asam Lemak Bebas
Minyak ......................................................................................................................... 45

Lampiran 4. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Bobot Jenis (Densitas) Minyak Biji
Bintaro ......................................................................................................................... 47

Lampiran 5. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Bilangan Iod Minyak Biji Bintaro
..................................................................................................................................... 48

Lampiran 6. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Bilangan Penyabunan Minyak Biji
Bintaro ......................................................................................................................... 50

Lampiran 7. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Bilangan Peroksida Minyak Biji
Bintaro ......................................................................................................................... 52

Lampiran 8. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Viskositas Minyak Biji Bintaro .. 54

Lampiran 9. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Kadar Abu Minyak Biji Bintaro 56

Lampiran 10. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Kejernihan Minyak Biji Bintaro 57

Lampiran 11. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Rendemen Minyak ...................... 59

Lampiran 12. Hasil analisis Gas Chromatography Spectrofotometry Mass ..................................... 61

vii
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bintaro (Cebera manghas L.) merupakan tumbuhan atau pohon yang mempunyai tinggi
mencapai 12 m. Daunnya berwarna hijau tua mengkilat dan berbentuk buah telur. Buah bintaro
memiliki panjang 5 – 10 cm. Buah bintaro yang masih muda berwarna hijau pucat dan ketika masak
berubah menjadi merah cerah. Biji bintaro yang terdapat di dalam buah bintaro memiliki kandungan
minyak yang cukup tinggi. Kandungan minyak yang tinggi menyebabkan bintaro berpotensi sebagai
sumber minyak nabati dan dapat dikembangkan sebagai bahan bakar.
Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif yang dapat diperbaharui dan prospektif untuk
dikembangkan karena melonjaknya harga minyak bumi akibat terbatasnya produksi minyak bumi.
Terbatasnya produksi minyak bumi akibat ketersediaan energi fosil yang diramalkan tidak akan
berlangsung lama lagi memerlukan solusi yang tepat untuk mengatasinya, diantaranya adalah dengan
mencari sumber energi alternatif (biodiesel). Biodiesel diproduksi dari minyak murni melalui proses
transesterifikasi. Semakin baik mutu minyak murni maka mutu biodiesel yang dihasilkan akan
semakin baik. Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap mutu minyak bintaro diantaranya adalah
tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi yang digunakan.
Tingkat kematangan biji bintaro dapat dicirikan berdasarkan asal buah bintaro tersebut
dihasilkan. Buah yang masih terdapat di pohon berbeda tingkat kematangannnya dengan buah yang
sudah jatuh ke tanah begitu pula dengan buah yang sudah berkecambah. Buah yang sudah
berkecambah memiliki tingkat kematangan yang paling tinggi dibandingkan terhadap buah yang
masih terdapat di pohon dan buah yang jatuh ke tanah. Minyak bintaro yang dihasilkan dari buah
bintaro dengan tingkat kematangan yang berbeda memiliki kandungan asam lemak yang berbeda.
Kandungan asam lemak yang berbeda dapat mempengaruhi mutu minyak biji bintaro yang dihasilkan.
Selain tingkat kematangan, metode ekstraksi juga sangat berpengaruh terhadap mutu minyak
bintaro yang dihasilkan. Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan
mentah, daya penyesuaian dengan metode ekstraksi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang
sempurna. Pengepresan mekanis merupakan cara pemisahan minyak yang sesuai untuk bahan biji –
bijian dan memiliki kadar minyak yang tinggi. Ekstraksi minyak biji bintaro dapat dilakukan dengan
berbagai macam cara, diantaranya dengan menggunakan pelarut n – heksana dan dapat pula dilakukan
dengan menggunakan alat pengempa hidrolik.
Semakin baik kualitas minyak yang dihasilkan maka efisiensi proses pembuatan biodieselpun
semakin meningkat dan dapat menghasilkan mutu biodiesel yang lebih baik. Oleh karena itu, sangat
penting untuk dilakukan optimasi proses ekstraksi minyak biji bintaro dengan menggunakan biji
bintaro yang memiliki tingkat kematangan yang berbeda – beda.

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengkaji pengaruh tingkat kematangan dan metode
ekstraksi yang digunakan terhadap mutu minyak biji bintaro yang dihasilkan, (2) menentukan sifat
fisiko kimia minyak biji bintaro, (3) menentukan komposisi asam lemak yang terkandung di dalam
minyak biji bintaro melalui analisis Gas Chromatography Spectrofotometry Mass (GCMS), dan
(4) menentukan perlakuan proses terbaik untuk memperoleh minyak biji bintaro dengan kualitas yang
terbaik.

1
1.3. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini meliputi karakteristik minyak biji bintaro yang dihasilkan oleh
beberapa perlakuan seperti tingkat kematangan biji bintaro dan metode ekstraksi sehingga dapat
ditentukan proses yang terbaik untuk menghasilkan minyak biji bintaro dengan kualitas yang terbaik.

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. BINTARO (Cebera manghas)

Bintaro (Cebera manghas) termasuk tumbuhan mangrove yang berasal dari daerah tropis di
Asia, Australia, Madagaskar, dan kepulauan sebelah barat samudera pasifik. Pohon bintaro banyak
digunakan sebagai penghijauan dan juga sebagai penghias taman kota. Dinamakan Cerbera karena
bijinya dan semua bagian pohonnya mengandung racun yang disebut “cerberin” yaitu racun yang
dapat menghambat saluran ion kalsium di dalam otot jantung manusia, sehingga mengganggu detak
jantung dan dapat menyebabkan kematian (Gaillard et al. 2004). Pohon bintaro sering disebut juga
sebagai mangga laut, buta badak, babuto dan kayu gurita. Dalam bahasa inggris tanaman ini sering
disebut sebagai sea mango. Nama bintaro juga sering disematkan kepada teman dekatnya yang
bernama ilmiah Cebera odollam karena memiliki kemiripan dalam berbagai hal (Alamendah 2011).

Gambar 1. Pohon bintaro (Alamendah 2011)

Klasifikasi tanaman bintaro menurut Anonim (2011) adalah :


Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Division : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Division : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Class : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Subclass : Asteridae
Orde : Gentianales
Family : Apocynaceae
Genus : Cerbera
Spesies : Cerbera manghas L
Pohon bintaro memiliki tinggi 4 sampai 20 meter dengan akar tunggak dan berwarna coklat
dan batang yang berkayu, bulat dan berbintik. Daun tumbuhan bintaro berbentuk bulat telur (lonjong),
tepi rata, ujung dan pangkal meruncing, tipis, permukaan licin, pertulangan menyirip, panjang 15-20
cm, lebar 3-5 cm, berwarna hijau tua, dan tersusun berselingan. Bunga tumbuhan bintaro bersifat
majemuk, berkelamin dua, terletak di ujung batang, tangkai silindris, panjang 11 cm, hijau, kelopak
tidak jelas, tangkai putik panjang 2 - 2,5 cm, kepala sari coklat, kepala putik hijau keputih-putihan,
mahkota bentuk terompet, halus, putih, bunganya harum dengan mahkota berdiameter 3-5cm

3
berbentuk terompet dengan pangkal merah muda, dan benang sari berjumlah lima dan posisi bakal
buah tinggi. Buah berbentuk telur dengan panjang 5 – 10 cm. buah bintaro yang masih muda berwarna
hijau sementara buah yang sudah tua berwarna merah kehitaman. Biji bintaro berbentuk pipih,
panjang, dan berwarna putih (Chang et al. 2000).

(a) (b) (c) (d) (e)


Gambar 2. (a) akar, (b) batang, (c) daun, (d) bunga, dan (e) buah bintaro (Pranowo 2010)

Buah bintaro terdiri atas tiga lapisan (Gambar 3), yaitu lapisan kulit terluar (epikarp), lapisan serat
seperti sabut kelapa (mesokarp) dan bagian biji yang dilapisi oleh kulit biji atau tista (endokarp).
Bagian mesokarp dapat diperas sebagai bahan biopestisida, sedangkan bijinya disamping untuk bahan
biopestisida juga dapat diperah untuk menghasilkan minyak nabati sebagai bahan baku biodiesel
(Pranowo 2010).

Gambar 3. (a) kulit (epikarp) (b) sabut (mesokarp), dan (c) biji (endokarp) (Pranowo 2010)

2.2. MINYAK BINTARO

Lemak atau minyak merupakan trigliserida yang merupakan ester dari gliserol dan asam
lemak rantai panjang. Minyak nabati terdapat dalam buah – buahan, kacang – kacangan, biji – bijian,
akar tanaman, dan sayur – sayuran. Dalam jaringan hewan lemak terdapat di seluruh badan, tetapi
jumlah terbanyak terdapat dalam jaringan adipose dan jaringan tulang sumsum. Sebagian besar
minyak nabati berbentuk cair karena mengandung sejumlah asam lemak tidak jenuh yaitu asam oleat,
linoleat, atau asam linolenat dengan titik cair rendah. Lemak dalam tanaman dibentuk dalam sel
hidup, yang merupakan hasil serangkaian reaksi yang kompleks dalam proses metabolisme (Ketaren
1986).
Asam lemak bersama-sama dengan gliserol, merupakan penyusun utama minyak nabati
atau lemak dan merupakan bahan baku untuk semua lipida pada makhluk hidup. Asam lemak
tidak lain adalah asam alkanoat atau asam karboksilat berderajat tinggi (rantai C lebih dari 6). Rumus
molekulnya adalah : CnH2n O2.

4
O

R – C – OH atau R–COOH
Gambar 4. Gugus fungsi asam lemak (Ketaren 1986)

Karena berguna dalam mengenal ciri-cirinya, asam lemak dibedakan menjadi asam lemak jenuh
dan asam lemak tak jenuh. Asam lemak jenuh hanya memiliki ikatan tunggal di antara atom-atom
karbon penyusunnya, sementara asam lemak tak jenuh memiliki paling sedikit satu ikatan ganda
di antara atom-atom karbon penyusunnya. Asam lemak merupakan asam lemah, dan dalam air
terdisosiasi sebagian. Umumnya berfase cair atau padat pada suhu ruang (27 °C). Semakin panjang
rantai C penyusunnya, semakin mudah membeku dan juga semakin sukar larut (Anonim 2010).
Asam lemak jenuh bersifat lebih stabil (tidak mudah bereaksi) daripada asam lemak tak
jenuh. Ikatan ganda pada asam lemak tak jenuh mudah bereaksi dengan oksigen (mudah teroksidasi).
Keberadaan ikatan ganda pada asam lemak tak jenuh menjadikannya memiliki dua bentuk: cis
dan trans. Semua asam lemak nabati alami hanya memiliki bentuk cis (dilambangkan dengan
"Z"). Asam lemak bentuk trans fatty acid, dilambangkan dengan "E") hanya diproduksi oleh
sisa metabolisme hewan atau dibuat secara sintetis. Akibat polarisasi atom H, asam lemak cis
memiliki rantai yang melengkung. Asam lemak trans karena atom H-nya berseberangan tidak
mengalami efek polarisasi yang kuat dan rantainya tetap relatif lurus (Anonim 2010).
Menurut Edi (2011), biji Bintaro mengandung lemak/minyak sebesar 46 - 64%. Sementara
itu, menurut Chang et al. (2000), biji bintaro mengandung minyak yang cukup banyak (54,33%) dan
berpotensi digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Menurut Pranowo (2010), komposisi kulit, sabut,
dan tista buah bintaro sebesar 94,76 persen dan komposisi biji adalah 5,24 persen biji basah atau
hanya sebanyak 3,10 persen biji kering dari buah panen. Sementara itu, komposisi kimia minyak
bintaro dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Komposisi asam lemak penyusun trigliserida minyak biji bintaro


Asam Lemak Nama Sistematik Hasil Analisis (%)
Miristat Tetradekanoat 0,17
Palmitat Heksadekanoat 17,90
Stearat Oktadekanoat 4,38
Oleat cis-9-oktadekenoat 36,64
Linoleat cis-9,12-oktadekadienoat 23,44
Linolenat cis-9,12,15-oktadekatrienoat 2,37
Sumber : Endriana (2011)

Minyak biji bintaro itu bisa memiliki daya bahan bakar selama 11,8 menit, sedangkan
minyak tanah 5,6 menit dengan takaran 1 ml minyak biji bintaro dan minyak tanah. Itu menunjukkan
bahwa minyak biji Bintaro memiliki daya bakar dua kali lebih lama dibandingkan minyak tanah.
Ampas kering biji bintaro dapat diolah menjadi briket arang atau diolah menjadi kompos untuk pupuk
tanaman sehingga, dalam proses ini tidak menghasilkan sampah (zero waste) (Adrian 2009).
Tingkat kematangan buah bintaro dapat dilihat dari warna buah bintaro dimana buah
mudanya berwarna hijau pucat, tuanya berwarna merah cerah, dan setelah berkecambah berwarna
coklat. Menurut Muchtadi (1992), selama proses pematangan buah akan terjadi degradasi klorofil
sehingga kandungan klorofil menjadi rendah dan muncul warna dari pigmen lainnya, hal ini

5
menyebabkan buah berubah warnanya menjadi kuning, orange atau merah. Menurut Anonim (2010),
minyak yang mula – mula terbentuk dalam buah adalah trigliserida yang mengandung asam lemak
bebas jenuh, dan setelah mendekati masa pematangan buah terjadi pembentukan trigliserida yang
mengandung asam lemak tidak jenuh. Minyak yang terbentuk dalam daging buah maupun dalam inti
terbentuk emulsi pada kantong – kantong minyak, dan agar minyak tidak keluar dari buah dilapisi
dengan kulit yang tebal dan berkilat. Untuk melindungi minyak dari oksidasi yang dirangsang maka
tanaman tesebut membentuk senyawa kimia pelindung yaitu karotein. Setelah penyerbukan kelihatan
buah berwarna hitam kehijau-hijauan. Pada saat pembentukan minyak terjadi yaitu trigliserida dengan
asam lemak tidak jenuh, tanaman membentuk karotein dan phitol untuk melindungi dari oksidasi,
sedangkan klorofil tidak mampu melakukannya sebagai antioksidasi.

2.3. EKSTRAKSI MINYAK

Ekstraksi adalah suatu cara untuk mendapatkan minyak atau lemak dari bahan yang diduga
mengandung minyak atau lemak. Adapun cara ekstraksi ini bermacam – macam, yaitu rendering (dry
rendering dan wet rendering), mechanical expression, dan solvent extraction. Rendering merupakan
suatu cara ekstraksi minyak atau lemak dari bahan yang mengandung minyak atau lemak dengan
kadar air tinggi (Ketaren 1986). Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari
bahan mentah, daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi dan kepentingan dalam
memperoleh ekstrak yang sempurna (Ansel 1989).
Pengepresan mekanis (mechanical expression) merupakan suatu cara ekstraksi minyak atau
lemak, terutama untuk bahan yang berasal dari biji – bijian. Cara ini dilakukan untuk memisahkan
minyak dari bahan yang berkadar minyak tinggi (30 – 70 persen). Pada pengepresan mekanis ini
diperlukan perlakuan pendahuluan sebelum minyak atau lemak dari bijinya. Perlakuan pendahuluan
tersebut meliputi pembuatan serpih, perajangan dan penggilingan serta tempering atau pemasakan.
Dua cara umum dalam pengepresan mekanis, yaitu pengepresan hidraulik (hydraulic pressing) dan
pengepresan berulir (expeller pressing) (Ketaren 1986).
Pada cara pengepresan hidraulik (hydraulic pressing), bahan dipres dengan tekanan sekitar
2000 pound/inch2 (140,6 kg/cm = 136 atm). Banyaknya minyak atau lemak yang dapat diekstraksi
tergantung dari lamanya pengepresan, tekanan yang dipergunakan, serta kandungan minyak dalam
bahan asal. Sedangkan banyaknya minyak yang tersisa pada bungkil bervariasi sekitar 4 sampai 6
persen, tergantung lamanya bungkil ditekan dibawah tekanan hidraulik (Ketaren 1986). Cara
pengepresan berulir (expeller pressing) memerlukan perlakuan pendahuluan yang terdiri dari proses
pemasakan atau tempering. Proses pemasakan berlangsung pada remperatur 240 °F (115,5 °C) dengan
tekanan berkisar sekitar 15 – 20 ton/inch2. Kadar air minyak atau lemak yang dihasilkan berkisar
sekitar 2,5 – 3,5 persen, sedangkan bungkil yang dihasilkan masih mengandung minyak sekitar 4 – 5
persen (Ketaren 1986)
Ekstraksi dengan pelarut (solvent extraction) adalah ekstraksi dengan melarutkan minyak
dalam pelarut minyak dan lemak. Pada cara ini dihasilkan bungkil dengan kadar minyak yang rendah
yaitu sekitar 1 persen atau lebih rendah, dan mutu minyak yang dihasilkan cenderung menyerupai
hasil dengan cara expeller pressing, karena sebagian fraksi bukan minyak akan ikut terekstraksi.
Pelarut minyak atau lemak yang dipergunakan dalam proses ekstraksi dengan pelarut menguap adalah
petroleum eter, gasoline karbon disulfide, karbon tetraklorida, benzene dan n – heksan (Ketaren
1986).

6
Menurut Voigt (1994), pada proses ekstraksi dengen pelarut pada dasarnya dibedakan
menjadi dua fase yaitu fase pencucian dan fase ekstraksi.
 Fase Pencucian (Washing Out)
Pada saat penggabungan pelarut dengan simplisia, maka sel – sel yang rusak karena proses
pengecilan ukuran langsung kontak dengan bahan pelarut. Komponen sel yang terdapat pada
simplisisa tersebut dengan mudah dilarutkan dan dicuci oleh pelarut. Dengan adanya proses tersebut,
maka dalam fase pertama ini sebagian bahan aktif telah berpindah ke dalam pelarut. Semakin halus
ukuran simpisia, maka semakin optimal jalannya proses pencucian tersebut.
 Fase ekstraksi (Difusi)
Pada fase difusi, pelarut menarik senyawa senyawa yang ada di dalam sel dengan cara
menembus dinding sel terlebih dahulu. Pelarut dapat masuk ke dalam sel karena adanya perbedaan
konsenterasi antara larutan dalam sel dengan pelarut yang mula – mula masih tanpa bahan aktif .
proses penarikan ini akan berlangsung sampai terbentuk keseimbangan konsenterasi antara di sebelah
dalam dan sebelah luar sel.
Tahapan yang harus diperhatikan dalam mengekstraksi jaringan tumbuhan adalah penyiapan
bahan sebelum ekstraksi, pemilihan pelarut dan kondisi proses ektraksi, proses pengambilan pelarut
pengawasan mutu, dan pengujian yang dikenal pula sebagai tahappan penyelesaian. Penggunaan
pelarut bertitik didih tinggi menyebabkan adanya kemungkinan kerusakan komponen – komponen
senyawa penyusun pada saat pemanasan. Pelarut yang digunakan harus bersifat inert terhadap bahan
baku, mudah didapat, dan harganya murah (Sabel dan Waren 1973).
Dalam pemilihan cairan penyari harus memenuhi beberapa kriteria, antara lain murah dan
mudah diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral tidak mudah menguap, dan tidak
mudah terbakar, selektif. Selektif yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki, tidak
mempengaruhi zat berkhasiat, dan diperbolehkan oleh peraturan (Ketaren 1986).
Menurut Ketaren (1986), pelarut yang sering digunakan dalam ekstraksi minyak lemak
adalah petroleum eter, gasoline, karbon disulfide, karbon tetraklorida, benzene, dan n – heksana.
Menurut Rose et al (1975) dan Jacobs (1953), heksana merupakan pelarut yang mudah menguap,
aromanya memusingkan, bobot molekul 86,2, titik didih pada tekanan 760 mmHg 66-71 °C dan
banyak digunakan sebagai pelarut. Kelarutan 0,0138g/100 ml dalam air pada suhu 15,5 °C, 50
gram/100ml dalam air pada 33°C, larut dalam eter, sangat larut dalam kloroform. Heksana merupakan
cairan yang tidak berwarna, mudah menguap, sangat mudah terbakar, titik leleh – 95 °C, larut dalam
alkohol, aseton, eter, dan tidak larut dalam air.
Menurut Kurnia (2010), ekstraksi dengan pelarut dapat dilakukan dengan cara dingin dan
cara panas. Cara dingin yaitu metode maserasi dan perkolasi, sedangkan cara panas antara lain dengan
refluks, soxhlet, digesti, destilasi uap dan infuse. Refluks merupakan ekstraksi pelarut pada suhu
didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatasyang relatif konstan dengan adanya
pendingin balik. Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru menggunakan alat
khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya
pendingin balik. Digesti adalah maserasi kinetik pada suhu lebih tinggi dari suhu kamar 40 – 50 °C.
Destilasi uap adalah ekstraksi zat kandungan menguap dengan fase uap air dari ketel secara kontinyu
sampai sempurna dan diakhiri dengan kondensasi fase uap campuran menjadi destilasi air bersama
kandungan yang memisah sempurna atau sebagian. Infuse adalah ekstraksi pelarut air pada suhu
penangas air 96 – 98 °C selama 15 – 20 menit.
Istilah maserasi berasal dari bahasa latin “macerace” yang artinya mengairi, melunakkan,
merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana. Proses pengerjaan dilakukan dengan cara merendam
simplisia dalam pelarut. Pelarut akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang

7
mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut karena adanya perbedaan konsenterasi antara larutan zat
aktif di dalam sel dengan di luar sel, maka larutan akan didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang
sehingga terjadi keseimbangan konsenterasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Keuntungan
dari metode maserasi adalah peralatannya sederhana. Kerugian metode maserasi adalah waktu yang
dibutuhkan untuk mengekstraksi sampel cukup lama, cairan penyari yang digunakan lebih banyak,
dan tidak dapat digunakan untuk bahan – bahan yang memiliki tekstrur keras seperti benzoin, tiraks,
dan lilin. Metode maserasi dapat dilakukan dengan beberapa modifikasi, diantaranya adalah
modifikasi maserasi melingkar, modifikasi maserasi digesti, modifikasi maserasi melingkar
bertingkat, modifikasi remaserasi dan modifikasi maserasi dengan mesin berpengaduk (Sudjadi 1986).

2.4. MINYAK NABATI

Lemak atau minyak yang dapat dimakan (edible fat), dihasilkan oleh alam, yang dapat
bersumber dari bahan nabati dan hewani. Dalam tanaman atau hewan, minyak tersebut berfungsi
sebagai sumber cadangan energi. Minyak dalam tanaman dibentuk dalam sel hidup, yang merupakan
hasil dari serangkaian reaksi yang kompleks dalam proses metabolisme. Adapun perbedaan umum
antara lemak nabati dan hewani adalah lemak hewani mengandung kolesterol sedangkan lemak nabati
mengandung fitosterol, kadar asam lemak tidak jenuh dalam lemak hewani lebih kecil dari lemak
nabati, dan lemak hewani memiliki bilangan Reichert Meissl lebih besar serta bilangan Polenske lebih
kecil dibandingkan dengan minyak nabati.
Minyak atau lemak nabati adalah minyak yang diekstrak dari berbagai bagian tumbuhan.
Sumber dari minyak nabati dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Biji – bijian palawija : minyak jagung, biji kapas, kaang, rape seed, wijen, kedelai, dan
bunga matahari,
2. Kulit buah tanaman tahunan : minyak zaitun dan kelapa sawit
3. Biji – bijian dari tanaman tahunan : kelapa, cokelat, inti sawit, babassu, cohune, dan
sebagainya (Ketaren 1986).
Komposisi atau jenis asam lemak dan sifat fisiko-kimia tiap jenis minyak berbeda – beda.
Hal ini disebabkan oleh perbedaan sumber, iklim, keadaan tempat tumbuh, dan pengolahan.
Tanaman jarak (Jatropha curcas L) adalah tanaman semak yang tahan kekeringan dan dapat tumbuh
dengan cepat hingga mencapai 3-5 meter. Biji jarak bagar terdiri atas 75 persen biji dan 25 persen
kulit (Ketaren 1986). Komposisi kimia jarak pagar terdiri atas 54,59 persen minyak, 9,13 persen
karbohidrat, 2,82 persen serat, 4,13 persen abu, 24,85 persen protein (Achten et al 2008). Minyak
jarak mempunyai sifat sangat beracun di samping kandungan asam esensialnya yang sangat rendah
sehingga tidak dapat digunakan sebagai minyak pangan atau bahan pangan (Ketaren 1986).
Kandungan asam lemak minyak jarak pagar didominasi oleh asam palmitat, asam oleat, dan asam
linoleat (Tabel 2). Adapun sifat fisiko kimia dari minyak jarak pagar dapat dilihat dari Tabel 3.

8
Tabel 2. Kandungan asam lemak pada minyak jarak pagar
Jenis Asam lemak Komposisi (%)
Asam palmitat 14,1
Asam palmitoleat 0,5
Asam stearat 6,8
Asam oleat 38,6
Asam linoleat 36,0
Asam arasidat 0,2
Asam gadoleat 3,6
Sumber :Janin dan Sharma (2010)

Tabel 3. Sifat fisikokimia minyak jarak pagar


Sifat Minyak Satuan Nilai
Densitas pada 15 °C gr/ ml 0,860 – 0,920
Viskositas pada 30 °C cP 37,00 – 54,80
Nilai Kalor mj/kg 37,83 – 42,05
Titik Tuang °C -3
Titik awan °C 2
Titik nyala °C 210 – 240
Bilangan penyabunan mg KOH/g 102,9 – 209,0
Bilangan tak tersabunkan % 0,79 – 3,80
Bilangan iod mg iodine/g 92 – 112
Asam lemak bebas % 0,18 – 3,40
Bilangan Asam mg KOH/ g 0,92 – 6,16
Sulfur % 0,00 – 0,13
Residu karbon % 0,07 – 0,64
Monogliserida % Maks. 1,7
Digliserida % 2,50 – 2,70
Trigliserida % 88,20 – 97,30
Sumber : Achten et al (2008)

Tanaman kelapa sawit ( Elaeis guinensis) adalah tanaman yang termasuk dalam family
Palmae. Kelapa sawit tumbuh dengan baik pada daerah beriklim tropis dengan curah hujan 2000
mm/tahun dan kisara suhu 22 °C – 32 °C. Minyak kelapa sawit dapat berasal dari daging buah kelapa
sawit (crued palm oil) dan inti kelapa sawit (palm kernel oil). Kelapa sawit mengandung lebih kurang
80 persen perikarp dan 20 persen buah yang dilapisi kulit yang tipis. Kadar minyak dalam perikarp
sekitar 30 – 40 persen (Ketaren 1986). Rata – rata komposisi asam lemak minyak biji sawit dapat
dilihat pada Tabel 4 dan sifat fsikokimia minyak kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 5.

9
Tabel 4. Kandungan asam lemak pada minyak kelapa sawit
Asam Lemak Minyak Kelapa Sawit Minyak Inti Sawit (persen)
(persen)
Asam kaprilat - 3–4
Asam kaproat - 3–7
Asam laurat - 46 – 52
Asam miristat 1,1 – 2,5 14 – 17
Asam palmitat 40 – 46 6,5 – 9
Asam stearat 3,6 – 4,7 1 – 2,5
Asam oleat 39 – 45 13 – 19
Asam linoleat 7 - 11 0,5 – 2
Sumber : Eckey, S.W (1955)

Tabel 5. Sifat fisikokimia minyak kelapa sawit


Sifat Minyak Satuan Nilai
Asam lemak bebas % 3–5
Kadar air % < 0,1
Pengotoran % <0,01
Besi ppm < 10
Tembaga ppm 0,2
Bilangan iodium mg iod/g 45 – 56
Karotena ppm 500 -700
Sumber : Ketaren (1986)

Nyamplung (Calophyllum inophyllum L) merupakan tanaman yang banyak tumbuh di


sepenjang pantai di seluruh Indonesia. Menurut Heyne (1987), inti biji mengandung air 3,3 persen dan
minyak 71,4 persen bila biji segar mengandung 55 persen minyak sedangkan biji yang benar-benar
kering mengandung 70,5 persen minyak. Minyak yang berasal dari bijinya dapat dipakai sebagai
penerangan, pembuatan sabun, pelitur, minyak rambut, minyak urut dan obat (Dephut 2008).
Karakteristik dan komposisi asam lemak minyak dapat dilihat pada Tabel 6 dan Tabel 7

Tabel 6. Karakteristik minyak nyamplung


Karakteristik Minyak Satuan Nilai
Air % 0,25
Densitas g/ml 0,944
Kekentalan cP 21,97
Bilangan Asam mg KOH/g 59,94
Asam lemak bebas % 29,53
Bilangan penyabunan mg KOH/g 198,1
Bilangan Iod mg/g 86,42
Sumber : SNI 04-7182-2006

10
Tabel 7. Komposisi asam lemak minyak nyamplung
Komponen Minyak Nyamplung Nilai (persen)
Asam miristat 0,09
Asam palmitat 15,89
Asam stearat 12,30
Asam oleat 48,49
Asam linoleat 20,70
Asam lonolenat 0,27
Asam arachidat 0,94
Asam erukat 0,72
Sumber : Sudrajat (2007)

11
III. METODOLOGI

3.1. Alat dan Bahan

3.1.1. Alat

Alat – alat yang digunakan dalam penelitian ini, terdiri atas cawan alumunium, oven,
desikator, piknometer, elemeyer 250 ml, elemeyer 300 ml, elenmeyer 100 ml, elemeyer 500 ml, pipet
tetes, pipet volumetric, pemanas listrik, timbangan, soxlet, alat maserasi, rotary evaporator, Hydraulic
Presser, dan Hot Press Hydraulic.

3.1.2. Bahan

Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah bintaro dengan berbagai
tingkat kematangan. Bahan – bahan kimia yang digunakan untuk reaksi dan analisis antara lain
chloroform, kalium iodida, natrium thiosulfat, NaOH, KOH, HCL 0.5 N, alkohol 95%, air destilata,
indikator pp, indikator amilum 1 %, larutan Hanus, dan asam asetat.

3.2. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan dibagi menjadi dua, yaitu penelitian pendahuluan dan
penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menyiapkan bahan ekstraksi minyak biji
bintaro. Sementara itu, penelitian utama dilakukan untuk mendapatkan metode ekstraksi yang terbaik
dengan menggunakan tingkat kematangan buah yang berbeda. Diagram alir penelitian disajikan pada
Gambar 5 , sedangkan diagram alir tahapan ekstraksi minyak biji bintaro disajikan pada Gambar 6.
Mulai

Pengambilan sampel buah bintaro yang berasal dari buah yang sudah
jatuh ke tanah (berwarna merah), buah bintaro yang berasal dari
tangkai pohon, dan buah bintaro yang sudah berkecambah

Pemisahan biji buah dengan serat dan kulit buah bintaro

Analisis proksimat biji bintaro

Ekstraksi minyak biji bintaro dengan menggunakan alat hot presser


hydraulic, hydraulic presser, dan pelarut n-heksana

Analisis sifat fisiko kimia minyak biji bintaro

Penentuan perlakuan proses yang terbaik

Analisa Gas Chromatography Spectrofotometry Mass

Selesai
Gambar 5. Diagram alir tahapan penelitian

12
1. Buah bintaro muda
(hijau)

2. Buah bintaro tua


Biji Bintaro
(merah kehitaman)

3. Buah bintaro
Pengupasan berkecambah

1. Kadar Air Pengeringan biji pada suhu 55 °C

2. Kadar Abu

3. Kadar Lemak
Biji buah kering
4. Kadar Serat

5. Kadar Karbohidrat
Analisa Proksimat
6. Kadar Protein

Penghancuran biji bintaro

1. Ekstraksi dengan Hot Presser


Hydraulic (T = 60-70 °C, P =
Ekstraksi
20 Ton)

2. Ekstraksi dengan Hydraulic


Presser (P=20Ton)
Minyak Biji
3. Ekstraksi Pelarut (maserasi) Bintaro
1. Rendemen
Pelarut = n-Heksana
2. Bobot jenis
Analisa Fisiko Kimia
3. Bilangan Asam

4. Bilangan Iod

Minyak Biji Bintaro 5. Bilangan Penyabunan


Analisa Gas Chromatography
terpilih
Spectrofotometry Mass 6. Bilangan Peroksida

7. Viskositas

8. Kejernihan (%Transmisi)

9. Kadar Abu

Gambar 6. Diagram alir tahapan ekstraksi minyak biji bintaro

13
3.2.1. Penelitian Pendahuluan

Persiapan bahan untuk ekstraksi minyak meliputi sortasi (pemilihan buah bintaro berdasarkan
tingkat kematangan), pemisahan biji buah dengan serat dan kulit buah, pengeringan biji buah selama
48 jam pada suhu 55 °C, dan analisis proksimat pada biji yang telah dikeringkan. Pengeringan
bertujuan untuk mengurangi kadar air yang terdapat di dalam biji. Menurut Norris (1982), minyak
yang diperoleh dengan pengempaan mekanis dipengaruhi oleh kandungan air, metode pemanasan, dan
komposisi kimia biji. Menurut Hartanti (1995), pengeringan dimaksudkan untuk memudakan
pengeluaran minyak pada waktu ekstraksi sehingga waktu ekstraksi menjadi lebih singkat. Dengan
adanya pemanasan, butiran – butiran lemak minyak dapat membentuk butiran – butiran yang lebih
besar dan protein yang mengikat lemak akan terkoagulasi sehingga butiran ini akan lebih mudah
keluar dari biji. Pemanasan juga dapat menurunkan afinitas minyak terhadap permukaan biji, sehingga
minyak dapat diekstrak dengan pengepresan. Menurut Swern (1979), pemanasan dapat memberikan
sifat plastis biji, mengurangi kelarutan fosfatida, destruksi kapang dan bakteri, serta dapat
meningkatkan fluiditas minyak. Pemanasan yang terlalu lama pada suhu yang tinggi akan menurunkan
mutu organoleptik minyak. Suhu oven yang digunakan pada penelitian ini adalah 55 °C. Suhu tersebut
didasarkan atas pernyataan oleh Whiteley et al. (1949) bahwa suhu yang baik untuk ekstraksi minyak
secara mekanis adalah 50 – 60 °C, karena pada suhu tersebut lemak sudah mencair sekaligus dapat
menggumpalkan protein yang terdapat pada dinding sel dan memecahkan emulsi protein dengan
lemak. Prosedur analisis proksimat dapat dilihat pada Lampiran 1.

3.2.2. Penelitian Utama

Penelitian yang dilakukan meliputi kajian proses ekstraksi minyak biji bintaro dengan tingkat
kematangan buah yang berbeda. Faktor – faktor yang dipelajari adalah pengaruh tingkat kematangan
buah dan metode ekstraksi yang digunakan. Biji bintaro yang telah dikeringkan, dikecilkan ukurannya
sampai sekitar 40 mesh dengan menggunakan blender untuk selanjutnya dilakukan ekstraksi dengan
menggunakan pelarut n-heksana melalui maserasi, hydraulic presser, dan hot press hydraulic. Ukuran
partikel akan mempengaruhi rendemen yang dihasilkan semakin kecil ukuran partikel, maka
rendemen minyak yang didapat akan semakin besar. Hal ini dikarenakan semakin kecil ukuran
partikel maka luas permukaan biji yang bereaksi dengan pelarut akan semakin besar sehingga kontak
antara biji bintaro dengan pelarut akan semakin besar. Ekstraksi dengan pelarut n-heksana dilakukan
dengan metode maserasi pada suhu ruang selama ±15 jam dan suhu 40 °C selama 6 jam, dengan
perbandingan pelarut adalah 1:3(w/v).
Ekstraksi dengan alat hydraulic presser dilakukan pada tekanan 20 ton pada suhu ruang
(Gambar 7). Sementara itu, ekstraksi dengan menggunakan alat hot press hydraulic dilakukan dengan
mengepress minyak pada tekanan 20 ton pada suhu 60 – 70 0C (Gambar 8). Pada ekstraksi minyak
dengan menggunakan hydraulic presser dan hot press hydraulic, biji yang telah dikecilkan ukurannya
dibungkus terlebih dahulu di dalam kain saring. Biji bintaro yang akan dikempa dibungkus dengan
kain atau cages agar bungkil dapat tertahan. Jumlah minyak yang diperoleh dengan cara ini
dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang berkaitan dengan afinitas minyak dalam biji, lama
pengempaan, tekanan maksimum, dan viskositas minyak dalam biji (Bailey 1950). Tekanan yang
digunakan pada pengepresan mekanis dengan mesin hot press adalah sekitar 2000 lb/in2 (140,6
kg/cm2) dan suhunya berkisar antara 50 – 60 °C (Ketaren 1986). Menurut Jamieson (1943),
pengempaan sebaiknya dilakukan dengan jalan menaikkan tekanan perlahan – lahan sampai mencapai
tekanan optimum yaitu sebesar 1800 – 2000 psi dan lama pengempaan 20 – 30 menit. Suhu hot
hydraulic pressing yang digunakan dalam penelitian ini adalah 60-70 °C karena didasarkan atas

14
penelitian yang dilakukan oleh Vitriani (2003). Pada penelitian tersebut minyak diekstraksi dengan
alat hot hydraulic presser menggunakan tiga jenis perlakuan suhu yaitu 30 – 40 °C, 50-60 °C, dan 70
– 80 °C. Dari hasil penelitian, didapat hasil bahwa rendemen minyak terbesr terdapat pada ekstraksi
dengan suhu 70 – 80 °C dan 50- 60 °C sehingga digunakan gabungan suhu diantara keduanya yaitu
60-70 °C.
Pada ekstraksi minyak dengan pelarut n-heksana dengan metode maserasi dengan digesti
dilakukan dengan merendam biji dalam pelarut n – heksana selama 15 jam selanjutnya dilakukan
proses ekstraksi pada suhu 40 °C dalam waktu 6 jam. Setelah dilakukan ekstraksi, minyak yang
terdapat di dalam pelarut n – heksana dipisahkan dengan bungkil dengan menggunakan penyaring
vakum untuk selanjutnya dilakukan pemisahan larutan n-heksana dengan minyak dengan
menggunakan alat rotary evaporator dengan suhu 70 °C (Gambar 9). Menurut Kurnia (2010), digesti
adalah maserasi kinetik pada suhu yang lebih tinggi dari suhu kamar yaitu 40 – 50 °C. Maserasi
dengan pengadukan merupakan metode ekstraksi dengan maserasi yang dapat mempercepat waktu
menjadi 6 sampai 24 jam (Ahmad 2006). Pada ekstraksi dengan metode ini, biji bintaro direndam di
dalam pelarut n-heksan selama ± 15 jam. Hal tersebut dimaksudkan agar terjadi proses pencucian
(washing out) dan fase ekstraksi (difusi). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa proses
ekstraksi dibedakan menjadi dua fase yaitu fase pencucian (washing out) dan fase ekstraksi (difusi).
Fase washing out merupakan proses pencucian atau penarikan minyak yang terdapat di luar
sel oleh pelarut. Fase berikutnya adalah fase ekstraksi dimana pelarut heksana menarik senyawa –
senyawa yang ada di dalam sel dengan menembus dinding sel terlebih dahulu. Pelarut masuk ke dalam
sel karena adanya perbedaan konsenterasi antara larutan dalam sel dengan pelarut yang mula – mula
masih tanpa bahan aktif. Proses penarikan ini akan berlangsung sampai terbentuk keseimbangan
konsentersai antara larutan di sebelah dalam dan sebelah luar sel. Fase ekstraksi ini akan
dioptimalkan dengan menaikkan suhu ekstraksi menjadi 40°C dan menggunakan alat pengaduk
selama 6 jam. Menurut Moestafa (1981) ekstraksi akan lebih cepat dilakukan pada suhu tinggi, tetapi
hal ini akan mengakibatkan beberapa komponen rusak. Menurut Suryandari (1981), semakin lama
waktu ekstraksi maka kesempatan untuk bersentuhan antara bahan dengan pelarut semakin besar
sehingga rendemen juga akan bertambah sampai titik jenuh larutan. Pada penelitian ini digunakan
pelarut n – heksana karena sifatnya yang stabil, mudah menguap, dan selektif dalam melarutkan zat.

Gambar 7. Alat hydraulic presser

Gambar 8. Alat hot presser hydraulic

15
(a) (b)
Gambar 9. (a) maserator dengan pengaduk, (b) penyaring vakum

Setelah dilakukan ekstraksi, dilakukan analisa minyak biji bintaro yang dihasilkan,
diantaranya adalah rendemen, bobot jenis, % transmisi, (kejernihan), FFA, bilanagan iod, bilangan
penyabunan, bilangan peroksida, kadar abu minyak, dan viskositas minyak. Prosedur analisis sifat
fisiko kimia minyak dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil yang terbaik yang diperoleh pada tahap ini
selanjutnya dilakukan pengujian Gas Chromatography Spectrofotometry Mass untuk menentukan
komponen asam – asam lemak yang terkandung di dalam minyak.

3.3. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang dilakukan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan dua
faktor. Faktor – faktor yang divariasikan adalah metode ekstraksi (A) dan tingkat kematangan (B).
Faktor metode ekstraksi terdiri atas tiga taraf , yaitu ekstraksi dengan menggunakan alat Hot Press
Hydraulic, alat Hydraulic Presser, dan pelarut n-heksana dengan maserasi. Faktor tingkat kematangan
terdiri atas tiga taraf, yaitu buah yang matang (berwarna merah), buah yang muda (berwarna hijau),
dan buah yang berkecambah. Model matematika dapat dilihat pada persamaan (1.1) :

YIJ = µ + Ai + Bj + ABij + єij (1.1)


dengan :
YIJ = Nilai pengamatan
µ = Rata – rata
Ai = Pengaruh faktor metode ekstraksi pada taraf ke-i (i = 1,2,3)
Bj = Pengaruh faktor tingkat kematangan pada taraf ke-j (j = 1,2,3)
ABij = Pengaruh interaksi faktor metode ekstraksi pada taraf ke-I dengan faktor tingkat kematangan
pada taraf ke-j
єij = Galat percobaan

Uji lanjut Duncan digunakan untuk menguji perbedaan diantara semua pasangan perlakuan
yang mungkin tanpa memperhatikan jumlah perlakuan. Uji lanjut Duncan didasarkan pada
sekumpulan nilai beda nyata yang ukurannya semakin besar, tergantung pada jarak di antara pangkat-
pangkat dari dua nilai tengah yang dibandingkan.

16
Langkah perhitungan uji Duncan terdiri atas :
1. Urutkan menaik nilai tengah perlakuan
2. Hitung wilayah nyata terpendek untuk wilayah dari berbagai nilai tengah dengan menggunakan
formula (1.2) :

Rρ = rα,ρ,v √ (1.2)
Keterangan :
rα,ρ,v = nilai wilayah nyata Duncan
KTG = Kuadrat Tengah Galat
r = ulangan
3. Nilai mutlak selisih kedua rata – rata dibandingkan dengan nilai wilayah nyata terpendek
ρ
Jika | |{
ρ

17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. KARAKTERISTIK BIJI BINTARO

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menyiapkan bahan yang digunakan pada ekstraksi
minyak. Proses diawali dengan sortasi buah bintaro yang akan diolah. Sortasi dimaksudkan untuk
memisahkan buah bintaro berdasarkan atas tingkat kematangannya. Tingkat kematangan dalam proses
sortasi buah bintaro didasarkan atas buah bintaro yang muda (berwarna hijau), buah bintaro yang
matang (berwarna merah), dan buah bintaro berkecambah. Buah bintaro yang muda biasanya masih
terdapat pada tangkai pohon bintaro. Sementara itu buah bintaro yang sudah matang dan berkecambah
buahnya sudah gugur dari tangkai pohon. Buah bintaro yang berkecambah ditandai dengan adanya
kecambah yang terdapat pada buah. Perubahan tingkat kematangan buah bintaro dapat dilihat pada
Gambar 10.

(a) (b) (c)


Gambar 10. (a) buah bintaro muda, (b) buah bintaro matang, dan
(c) buah bintaro berkecambah (Pranowo 2010)

Buah bintaro dengan tingkat kematangan yang berbeda kemudian dicuci dengan air bersih
untuk membersihkan kotoran – kotoran yang menempel pada kulit buah yang dapat menyebabkan
terjadinya pembusukkan. Setelah itu buah ditempatkan pada wadah (karung) sesuai dengan tingkat
kematangan buah masing – masing. Buah bintaro yang telah dibersihkan dikupas dengan
menggunakan golok sehingga didapatkan biji bintaro yang berwarna putih dan berbentuk pipih.
Biji bintaro dengan tingkat kematangan yang berbeda – beda tersebut dikeringkan dengan
menggunakan oven pada suhu 55 °C selama 48 jam. Kemudian, biji bintaro yang siap diolah tersebut
dilakukan analisis proksimat. Analisa proksimat merupakan analisa kimia yang digunakan untuk
mengetahui kandungan komponen nutrisi dari suatu bahan sehingga dapat digunakan sebagai dasar
untuk analisis selanjutnya. Analisis proksimat terdiri atas kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar
protein, kadar serat, dan kadar karbohidrat (by different). Hasil analisa prosimat biji bintaro dapat
dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Komposisi kimia biji bintaro kering


Komposisi Biji Biji Muda Biji Matang Biji Berkecambah
Kadar Air (%) 1,53 1.44 2,09
Kadar Abu (%) 1,97 2,58 2,63
Kadar Lemak (%) 55,04 59,58 45,56
Kadar Protein (%) 15,29 12,84 12,39
Kadar Serat (%) 16,18 18,75 13,77
Kadar karbohidrat (by 11,51 6,33 25,62
different) (%)

18
Hasil penelitian menunjukkan bahwa minyak (lemak) merupakan komponen tertinggi dalam
biji bintaro sehingga biji bintaro cukup potensial digunakan sebagai sumber minyak nabati. Kadar
minyak (lemak) terbesar adalah biji bintaro matang dan biji bintaro muda yaitu sebesar 59,58 persen
dan 55,04 persen, sementara kadar minyak (lemak) biji bintaro terkecil adalah biji bintaro
berkecambah yaitu 45,56 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa kadar lemak mengalami kenaikan
seiring dengan tingkat kematangan buah kecuali biji berkecambah. Bertambahnya kadar lemak pada
buah yang muda dengan buah yang matang disebabkan oleh adanya metabolisme pembentukan lemak
yang terjadi selama tingkat kematangan buah. Menurut Ketaren (1986) proses pembentukan lemak
dalam tananaman terdiri atas 3 tahap yaitu sintesis gliserol, sintesis asam lemak, dan kondensasi
gliserol yang merupakan hasil serangkaian reaksi kompleks dalam metabolisme. Sementara itu, kadar
lemak dalam biji berkecambah mengalami penurunan karena karena lemak tersebut digunakan
sebagai cadangan makanan untuk pembentukan struktur membran sel (Junaidi 2010). Selain itu,
dikarenakan kadar minyak yang tinggi maka minyak biji bintaro cocok untuk diekstrak dengan
menggunakan alat kempa mekanis seperti yang dinyatakan oleh Ketaren (1986), pengepresan mekanis
dilakukan untuk memisahkan minyak dari bahan yang berkadar minyak tinggi (30 – 70 persen).
Kadar air terendah terdapat pada biji muda sebesar 1,53 persen dan biji matang sebesar 1,44
persen. Sementara itu, kadar air tertinggi terdapat pada biji berkecambah yaitu sebesar 2,09 persen.
Sehingga dengan pertambahan tingkat kematangan buah cenderung menaikkan kadar air yang terdapat
di dalamnya kecuali biji bintaro matang. Hal tersebut sesuai dengan literatur karena terjadinya proses
respirasi pada buah seiring dengan tingkat kematangan buah. Respirasi didefinisikan sebagai
perombakan senyawa komplek yang terdapat pada sel seperti pati, gula dan asam organik menjadi
senyawa yang lebih sederhana seperti karbondioksida, dan air, dalam waktu bersamaan memproduksi
energi dan senyawa lain yang dapat digunakan sel untuk reaksi sintetis. Laju respirasi per unit berat
adalah tertinggi untuk buah dan sayur yang belum matang dan kemudian terus menerus menurun
dengan bertambahnya umur (Fauzi 2011). Nilai kadar air ini dapat menunjukkan bahwa biji bintaro
siap untuk diolah. Kandungan air yang tinggi dapat menyebabkan hidrolisa minyak. Selain itu, pada
proses ekstraksi minyak menggunakan pelarut jumlah kadar air merupakan faktor penting karena
kandungan air di dalam bahan akan mempengaruhi efektifitas pelarut dalam melarutkan minyak.
Kadar air yang tinggi akan memperpanjang proses pemisahan air pada tahap evaporasi.
Kadar protein tertinggi terdapat pada buah yang muda yaitu 15,29 persen dilanjutkan dengan
biji matang yaitu 12,84 persen. Sementara itu, kadar protein terkecil didapatkan pada buah yang sudah
berkecambah yaitu 12,39 persen. Kadar protein mengalami penurunan seiring dengan kematangan
buah. Wirahadikusumah (1989) menyatakan bahwa menurunnya kadar protein di dalam buah dengan
semakin meningkatnya umur buah disebabkan karena dalam proses pematangannya sebagian besar
protein (asam amino) disintesis menjadi lemak. Lemak berfungsi dalam pertumbuhan struktur
membran sel. Pada proses ekstraksi, protein akan terurai dan menghasilkan senyawa – senyawa yang
larut dalam minyak. Hal ini dapat menyebabkan warna minyak menjadi lebih gelap. Menurut Ketaren
(1986) pigmen cokelat yang terdapat pada minyak atau lemak disebabkan karena terjadi reaksi
molekul karbohidrat dengan gugus pereduksi seperti aldehid serta gugus amin dari molekul protein
dan yang disebabkan karena aktivitas enzim – enzim, seperti phenol oxidase, polyphenol oxidase, dan
sebagainya.
Kadar serat mengalami peningkatan pada buah yang muda (16,18 persen) menjadi 18,75
persen pada buah yang matang. Hal tersebut disebabkan karena pada tahap awal daging buah tersusun
dari gula sederhana, namun komponen sel belum terisi oleh selulosa secara sempurna sehingga
kandungan gula yang terdapat dalam buah dikonversi menjadi selulosa seiring dengan meningkatnya
tingkat kematangan buah (Rindengan et al 1996). Sementara, pada buah yang berkecambah memiliki

19
kadar serat yang paling rendah (13,77 persen) karena enzim selulosa yang terbentuk akan aktif
merombak polisakarida menjadi monosakarida sebagai cadangan energi dalam pembentukan embrio
(Rindengan et al. 1996).
Kadar abu (mineral) merupakan bagian berat mineral dari bahan yang didasarkan atas berat
keringnya. Abu adalah zat anorganik yang tidak menguap, sisa hasil proses pembakaran dan oksidasi.
Kadar abu terendah terdapat pada biji muda sebesar 1,97 persen dan kadar abu yang paling tinggi
terdapat pada biji yang berkecambah sebesar 2,63 persen. Semakin tinggi tingkat kematangan buah
semakin tinggi kadar abu yang dimiliki. Kadar abu menyatakan besarnya kandungan bahan – bahan
anorganik yang terdapat di dalam suatu bahan. Nilai kadar abu dipengaruhi oleh tempat tumbuh,
keadaan tanah, dan pemberian unsur hara pada tanaman. Kadar abu dalam tumbuhan naik karena
unsur organik yang terdapat di dalam tanaman digunakan dalam proses metabolisme tumbuhan
(Setiono 2010).

4.2. KARAKTERISTIK MINYAK BIJI BINTARO

Ekstraksi minyak biji bintaro dilakukan dengan dua metode, yaitu metode mekanis
(hydraulic presser dan hot presser hydraulic) dan metode ekstraksi dengan pelarut n-heksana.
Ekstraksi dengan alat hydraulic presser dilakukan pada tekanan 20 ton pada suhu ruang. Sementara
itu, ekstraksi dengan menggunakan alat hot press hydraulic dilakukan dengan mengepress minyak
pada tekanan 20 ton pada suhu 60 – 70 °C. Ekstraksi dengan pelarut n-heksana dilakukan dengan
metode maserasi pada suhu ruang selama ±15 jam dan suhu 40 °C selama 6 jam, dengan perbandingan
pelarut adalah 1:3 (w/v). Minyak yang dihasilkan dari setiap perlakuan kemudian dianalisa beberapa
sifat fisiko kimianya dan juga dihitung rendemen yang dihasilkan. Hasil ekstraksi minyak biji bintaro
dapat dilihat pada Gambar 11.

(a) (b) (c)


Gambar 11. (a) minyak hydraulic pressing, (b) minyak hot hydraulic pressing,
(c) minyak ekstraksi maserasi.

4.2.1. Kadar Asam Lemak Bebas (FFA)

Kadar asam lemak bebas (Free Fatty Acid) merupakan jumlah asam lemak yang terkandung
di dalam minyak dan dihitung berdasarkan bobot molekul dari asam lemak atau campuran asam lemak
asam lemak bebas terbentuk pada reaksi hidrolisis trigliserida. Melalui proses hidrolisis, trigliserida
dirombak menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Nilai bilangan asam dan FFA dapat digunakan
untuk menentukan kualitas minyak. Semakin tinggi bilangan asam yang dikandung minyak maka
semakin tinggi pula tingkat kerusakan minyak (Ketaren, 1986). Penelitian kadar asam lemak bebas
minyak biji bintaro dengan variasi perlakuan tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi disajikan
seperti pada Gambar 12.

20
5
4,5
4
Fat Fatty Acid (%) 3,5
3
2,5
2
1,5
1
0,5
0
Kecambah Muda Matang
Tingkat Kematangan Buah

Hydraulic Pressing Hot Hydraulic Pressing Maserasi dengan pelarut heksana

Gambar 12. Pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi minyak biji bintaro
terhadap kadar asam lemak bebas (FFA).

Berdasarkan data yang diperoleh dari grafik, kadar asam lemak bebas terbesar terdapat pada
minyak yang dihasilkan dari buah yang berkecambah dengan metode ekstraksi menggunakan pelarut
n- heksana sebesar 4,54 persen dan kadar asam lemak bebas terkecil terdapat pada minyak yang
dihasilkan dari buah bintaro muda sebesar 0,31 persen dengan metode ekstraksi hydraulic pressing.
Dari hasil data keseluruhan, kadar asam lemak bebas yang terkandung di dalam minyak biji bintaro
menyerupai kadar asam lemak bebas yang terkandung di dalam minyak jarak sebesar 0,18 persen –
3,40 persen (Achten et al, 2008), lebih rendah dibanding minyak kelapa sawit sebesar 3 sampai 5
persen (Ketaren, 1986), dan lebih rendah dibandingkan dengan minyak nyampung sebesar 7,4 persen
(Sudrajat, 2007).
Berdasarkan hasil keragaman (Lampiran 3), faktor tingkat kematangan buah memberikan
pengaruh yang nyata terhadap kadar asam lemak bebas yang terkandung di dalam minyak biji bintaro.
Dari hasil uji Duncan didapatkan perbedaan yang sangat nyata antara rata – rata kadar asam lemak
bebas minyak dari buah bintaro muda sebesar 1,18 persen dengan rata – rata kadar asam lemak bebas
minyak dari buah bintaro matang sebesar 2,15 persen dan rata – rata kadar asam lemak bebas minyak
dari buah bintaro berkecambah sebesar 2,94 persen. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa
semakin tinggi tingkat kematangan buah maka kadar asam lemak bebas yang terkandung di dalam
buah semakin tinggi. Hal tersebut dapat disebabkan karena kadar air yang cenderung mengalami
peningkatan selama proses kematangan buah yang dapat dilihat dari hasil analisis proksimat. Kadar air
yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya proses hidrolisis minyak. Menurut Ketaren (1986), dalam
reaksi hidrolisa, minyak atau lemak akan dubah menjadi asam – asam lemak bebas dan gliserol.
Reaksi hidrolisis yang dapat mengakibatkan kerusakan minyak atau lemak terjadi karena terdapatnya
sejumlah air dalam minyak atau lemak tersebut. Reaksi ini akan mengakibatkan ketengikan hidrolisa
yang menghasilkan flavor dan bau yang tengik pada minyak tersebut. Reaksi hidrolisis minyak atau
lemak dapat ditunjukkan pada Gambar 13.

21
O
CH2 – O – C – R
O H+ O
CH – O – C – R+ 3 HOH 3R – C – OH
O
CH2 – O – C – R
trigliserida gliserol asam lemak
Gambar 13. Persamaan reaksi hidrolisis minyak atau lemak (Ketaren, 1986).

Pembentukan asam lemak bebas pada minyak dapat terjadi karena proses pengolahan (penyiapan
bahan). Menurut Ketaren (1986), proses hidrolisis dapat berlangsung pada waktu minyak masih
berada dalam jaringan biji yang telah dipanen, selama pengolahan, dan penyimpanan. Selain itu lemak
hewan dan nabati yang masih berada dalam jaringan, biasanya mengandung enzim yang dapat
menghidrolisis lemak.
Berdasarkan hasil keragaman, faktor metode ekstraksi memberikan pengaruh yang nyata
terhadap kadar asam lemak bebas yang terkandung di dalam minyak. Dari hasil uji Duncan tidak
didapatkan perbedaan yang sangat nyata antara rata – rata kadar asam lemak bebas minyak dengan
metode ekstraksi hydraulic pressing sebesar 1,37 persen dengan rata – rata kadar asam lemak bebas
minyak dengan metode ekstraksi hot press hydraulic sebesar 1,75 persen. Sementara itu, kedua
metode ekstraksi memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap rata – rata kadar asam lemak
bebas dengan metode ekstraksi dengan pelarut n – heksana sebesar 3,16 persen. Dari hasil penelitian
dapat dilihat bahwa metode ekstraksi dengan menggunakan alat hydraulic presser menghasilkan kadar
asam lemak bebas yang lebih rendah dibanding dengan ekstraksi minyak dengan menggunakan alat
hot hydraulic presser. Hal tersebut disebabkan karena suhu yang digunakan pada ekstraksi hot
hydraulic pressing lebih tinggi dibandingkan dengan hydraulic pressing.
Menurut Ketaren (1986), pemanasan mengakibatkan tiga macam perubahan kimia dalam
lemak yaitu terbentuknya peroksida dalam asam lemak tidak jenuh, peroksida berdekomposisi
menjadi persenyawaan karbonil, dan terjadinya polimerasi oksidasi sebagian. Jika minyak dipanaskan
pada suhu tinggi maka lapisan permukaan minyak panas akan kontak dengan oksigen. Dekomposisi
minyak dengan adanya udara terjadi pada suhu lebih rendah (190 °C) daripada tanpa udara (240 °C-
260 °C) sehingga dekomposisi minyak tidak terjadi pada proses ini karena suhu yang digunakan lebih
rendah. Thermal polimerisasi terjadi jika minyak dipanaskan pada suhu sekitar 250 °C tanpa oksigen
sehingga tidak terjadi juga thermal polimerisasi di dalam minyak. Sedangkan yang terjadi adalah
oksidasi thermal dimana dalam proses ekstraksi dengan mekanis minyak sudah bersentuhan dengan
oksigen dan dengan adanya pemanasan maka akan meningkatkan laju oksidasi. Namun minyak yang
dihasilkan dari hot press hydraulic ataupun hydraulic pressing tidak berbeda nyata karena suhu yang
digunakan berada di bawah titik didih minyak. Sementara itu minyak yang dihasilkan dengan
menggunakan pelarut heksana memiliki kandungan asam lemak bebas yang paling tinggi. Hal tersebut
dapat disebabkan karena terjadinya reaksi hidrolisis yang terdapat di dalam minyak. Reaksi hidrolisis
dapat terjadi karena suhu yang digunakan pada saat ekstraksi lebih rendah dibanding titik didih air dan
ekstraksi berlangsung lebih lama dibanding dengan ekstraksi secara mekanis.
Berdasarkan hasil analisa keragaman, faktor metode ekstraksi minyak dan faktor tingkat
kematangan buah tidak memilki interaksi anatara satu dengan yang lainnya secara nyata baik pada
tingkat 5 persen ataupun pada tingkat 1 persen. Berdasarkan penelitian ini, maka kadar asam lemak
bebas yang terbaik terdapat pada minyak biji bintaro yang dihasilkan dari kombinasi perlakuan tingkat
kematangan buah yang muda dan menggunakan metode ekstraksi minyak hydraulic pressing.

22
4.2.2. Bobot Jenis Minyak (Densitas)

Bobot jenis adalah perbandingan berat dari suatu volume contoh pada suhu tertentu dengan
berat air pada volume dan suhu yang sama. Alat yang digunakan dalam pengukuran densitas minyak
adalah piknometer (Ketaren,1986). Bobot jenis yang terdapat di dalam minyak ditentukan oleh jumlah
komponen yang terdapat di dalam minyak. Semakin banyak komponen yang terdapat dalam minyak
maka bobot jenis akan semakin besar. Penelitian besarnya bobot jenis (densitas) minyak biji bintaro
dengan variasi perlakuan tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi disajikan seperti pada Gambar
14.
1
0,9
0,8
Densitas (gr/ml)

0,7
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0
Kecambah Muda Matang
Tingkat Kematangan Buah

Hidraulic Pressing Hot Hydraulic Pressing Maserasi dengan pelarut heksana

Gambar 14. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap bobot
jenis minyak biji bintaro.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bobot jenis tertinggi terdapat pada minyak yang
berasal dari buah bintaro yang berkecambah dengan menggunakan metode ekstraksi hydraulic
pressing sebesar 0,9062 g/ml dan yang paling rendah adalah minyak yang berasal dari buah bintaro
yang berkecambah dengan menggunakan metode ekstraksi hot hydraulic pressing sebesar 0,8984
g/ml. Sementara itu, hasil analisis keragaman (Lampiran 4) menunjukkan bahwa faktor tingkat
kematangan buah bintaro dengan faktor metode ekstraksi minyak tidak berpengaruh secara nyata
terhadap bobot jenis minyak bintaro yang dihasilkan. Hal tersebut dapat disebabkan karena bobot jenis
merupakan sifat fisis minyak sehingga setiap minyak memiliki bobot jenis yang berbeda pada rentang
tertentu. Bobot jenis semakin besar dengan semakin tingginya ketidakjenuhan asam lemak yang
dikandungnya. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa minyak biji bintaro memiliki bobot
jenis minyak pada rentang 0,8984 g/ml dan 0,9062 g/ml.

4.2.3. Bilangan Iod Minyak

Asam lemak yang tidak jenuh dalam minyak dan lemak mampu menyerap sejumlah iod dan
membentuk senyawa yang jenuh. Besarnya jumlah iod yang diserap menujukkan banyaknya ikatan
rangkap atau ikatan tidak jenuh. Bilangan iod dinyatakan sebagai jumlah gram iod yang diserap oleh
100 gram minyak atau lemak (Ketaren, 1986). Bilangan iod merupakan parameter penting dalam
menentukan mutu minyak. Semakin tinggi bilangan iod menunjukkan jumlah ikatan rangkap di dalam
minyak semakin banyak.

23
Menurut Ketaren (1986), bilangan iod dapat digunakan untuk menggolongkan minyak
sebagai minyak mengering dan bukan mengering. Minyak yang mempunyai bilangan iod lebih dari
130 digolongkan sebagai minyak mengering, sedangkan minyak yang mempunyai bilangan iod antara
100 sampai 130 bersifat setengah mengering dan bilangan iod kurang dari 100 bersifat tidak
mongering. Jenis minyak mengering (drying oil) adalah minyak yang mempunyai sifat dapat
mengering jika terkena oksidasi, dan akan berubah menjadi lapisan tebal, bersifat kental, dan
membentuk sejenis selaput bila dibiarkan di udara terbuka. Istilah minyak “setengah mengering”
berupa minyak yang memiliki daya mengering lebih lambat. Penelitian nilai bilangan iod minyak biji
bintaro dengan variasi perlakuan tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi disajikan seperti pada
Gambar 15.
100
Bilangan Iod (I2/100 gr minyak)

80

60

40

20

0
Kecambah Muda Matang
Tingkat Kematangan Buah

Hydraulic Pressing Hot Hydraulic Pressing Maserasi dengan pelarut hekasana

Gambar 15. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap bilangan
iod minyak biji bintaro.

Berdasarkan data yang diperoleh dari grafik, bilangan iod tertinggi terdapat pada minyak
yang berasal dari buah bintaro berkecambah dengan metode ekstraksi maserasi dengan pelarut n-
heksana sebesar 85,19 I2/100 gram minyak dan bilangan iod terendah terdapat pada minyak yang
berasal dari buah bintaro matang dengan metode ekstraksi hydraulic pressing sebesar 51,08 I2/100
gram. Berdasarkan bilangan iod yang diperoleh maka minyak biji bintaro termasuk ke dalam minyak
yang tidak mengering dimana kandungan bilangan iod yang dihasilkan cukup rendah. Nilai bilangan
iod minyak biji bintaro lebih rendah dibanding dengan minyak jarak pagar sebesar 92 – 112 I2/100
gram (Achten et al. 2008) dan minyak biji nyamplung sebesar 86,42 I2/100 gram (SNI 2006).
Sementara itu minyak biji bintaro memiliki bilangan iod yang lebih tinggi dibandingkan dengan
minyak kelapa sawit sebesar 45 – 56 I2/100 gram (Ketaren, 1986).
Berdasarkan hasil analisa keragaman (Lampiran 5), tingkat kematangan buah memiliki
pengaruh yang nyata terhadap bilangan iod minyak biji bintaro yang dihasilkan. Dari hasil uji Duncan
didapatkan bahwa buah bintaro yang matang memiliki minyak dengan rata – rata bilangan iod sebesar
57,67 I2/100 gram yang berbeda nyata dengan rata – rata bilangan iod minyak yang dihasilkan dari
buah bintaro yang muda sebesar 67,89 I2/100 gram dan rata – rata bilangan iod minyak buah bitaro
berkecambah sebesar 74,09 I2/100 gram. Berdasarkan hasil yang didapat, minyak bintaro dari buah
berkecambah rentan terhadap terjadinya oksidasi minyak dibandingkan dengan minyak yang berasal
dari buah bintaro muda dan minyak bintaro dari buah yang sudah matang. Menurut Ketaren (1986),
ikatan rangkap pada asam lemak tidak jenuh dapat bereaksi secara adisi dengan hidrogen, oksigen,
halogen, dan sulfur yang dapat menurunkan bilangan iod minyak. Reaksi adisi tersebut
mengakibatkan ikatan rangkap pada minyak berkurang sehingga bilangan iod menurun.

24
Hasil analisa keragaman juga menunjukkan bahwa metode esktraksi minyak biji bintaro
berpengaruh secara nyata terhadap bilangan iod minyak yang dihasilkan. Dari hasil uji Duncan
didapatkan bahwa rata – rata bilangan iod terbesar terdapat pada minyak biji bintaro dengan metode
ekstraksi dengan pelarut n-heksana sebesar 70,87 I2/100 gram dilanjutkan dengan minyak biji bintaro
dengan metode ekstraksi hydraulic pressing sebesar 65,30 I2/100 gram, dan metode ekstraksi hot
hydraulic pressing menghasilkan minyak biji bintaro dengan rata – rata bilangan iod terkecil yaitu
63,49 I2/100 gram. Rendahnya bilangan iod minyak biji bintaro hasil hot hydraulic pressing dapat
disebabkan karena telah terjadi sejumlah reaksi oksidasi pada ikatan rangkap asam lemak tidak jenuh.
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Ketaren (1986) bahwa kecepatan oksidasi lemak yang
dibiarkan di udara terbuka akan bertambah dengan kenaikkan suhu. Suhu yang tinggi selama
pengempaan mendorong terjadinya reaksi kimia pada komponen – komponen minyak sehingga terjadi
perubahan pada komponen – komponen minyak tersebut. Sementara itu, pada ekstraksi dengan
menggunakan pelarut n-heksana menghasilkan bilangan iod yang tinggi karena suhu yang digunakan
tidak terlalu tinggi dan ekstraksi dilakukan pada tempat yang tertutup rapat sehingga kecil
kemungkinan oksigen dapat masuk.
Berdasarkan hasil analisa keragaman, faktor tingkat kematangan buah dengan metode
ekstraksi minyak memiliki interaksi secara nyata baik pada tingkat 5 persen dan 1 persen. Hal tersebut
dapat disebabkan karena semakin tinggi tingkat kematangan buah menyebabkan semakin banyaknya
jumlah asam lemak tidak jenuh yang terdapat di dalam minyak sehingga apabila masing – masing biji
bintaro akan menghasilkan bilangan iod yang berbeda tergantung dari metode ekstraksi yang
dilakukan. Dari hasil uji Duncan didapatkan bahwa kombinasi perlakuan A1B2 tidak memiliki
perbedaan yang nyata terhadap kombinasi perlakuan A3B2 pada tingkat 1 persen. Berdasarkan
bilangan iod yang dihasilkan dari penelitian ini, untuk mendapatkan minyak biji bintaro yang
memiliki asam lemak tidak jenuh paling banyak berasal dari minyak biji bintaro dari buah yang
berkecambah dengan ekstraksi menggunakan pelarut n-heksana.

4.2.4. Bilangan Penyabunan Minyak

Bilangan penyabunan adalah jumlah mg KOH yang diperlukan untuk menyabunkan satu
gram minyak atau lemak. Apabila sejumlah contoh minyak atau lemak disabunkan dengan larutan
KOH akan bereaksi dengan trigliserida, yaitu tiga molekul KOH bereaksi dengan satu molekul
minyak atau lemak. Larutan alkali yang tertinggal ditentukan dengan satu molekul minyak atau lemak.
Larutan alkali yang tertinggal ditentukan dengan titrasi menggunakan asam, sehingga jumlah alkali
yang turut bereaksi dapat diketahui (Ketaren, 1986).

R1COO – CH2 R1COOK HOCH2

R2COO – CH + 3 KOH R2COOK + HOCH

R3COO – CH2 R3COOK HOCH2

gliserol sabun kalium gliserol

Gambar 16. Reaksi bilangan penyabunan minyak (Ketaren, 1986).

Besarnya bilangan penyabunan tergantung dari berat molekul. Minyak yang mempunyai
berat molekul rendah akan mempunyai bilangan penyabunan yang lebih tinggi daripada minyak yang
mempunyai berat molekul tinggi (Ketaren, 1986). Peningkatan bilangan penyabunan seiring dengan

25
peningkatan bilangan asam karena semakin banyak dibutuhkan alkali untuk menetralisasi. Penelitian
nilai bilangan penyabunan minyak biji bintaro dengan variasi perlakuan tingkat kematangan buah dan
jenis ekstraksi disajikan seperti pada Gambar 17.

Bilangan Penyabunan (mg KOH/gr 250

200

150
minyak)

100

50

0
Kecambah Muda Matang
Tingkat Kematangan Buah

Hydrauluc Pressing Hot Hydraulic Pressing Maserasi dengan pelarut heksana

Gambar 17. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap bilangan
penyabunan minyak biji bintaro.

Berdasarkan data hasil penelitian, nilai bilangan penyabunan tertinggi terdapat pada minyak
yang berasal dari buah bintaro muda dengan metode ekstraksi hot hydraulic pressing sebesar 208,55
mg KOH/g minyak dan nilai bilangan penyabunan terendah terdapat pada minyak yang berasal dari
buah berkecambah dengan ekstraksi menggunakan pelarut n-heksana sebesar 182,66 20 mg KOH/g
minyak. Rata – rata bilangan penyabunan yang didapatkan dari penelitian ini adalah 196,67 mg
KOH/g minyak. Pada penelitian ini, minyak biji bintaro menghasilkan bilangan penyabunan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan bilangan penyabunan minyak biji jarak yang berkisar antara 176 –
181 mg KOH/g minyak (Kirk dan Othmer,1964).
Berdasarkan hasil analisa keragaman (Lampiran 6), tingkat kematangan buah bintaro
memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai bilangan penyabunan yang dihasilkan. Dari hasil uji
Duncan didapatkan nilai rata – rata bilangan penyabunan tertinggi didapat dari minyak yang berasal
dari buah bintaro yang matang sebesar 203,84 mg KOH/g minyak dilanjutkan dengan buah bintaro
muda sebesar 197,95 mg KOH/g minyak dan buah bintaro kecambah sebesar 188,20 mg KOH/g
minyak. Hasil analisa keragaman juga menunjukkan bahwa metode ekstraksi berpengaruh terhadap
nilai bilangan penyabunan yang dihasilkan. Dari hasil uji Duncan didapatkan nilai rata – rata bilangan
penyabunan tertinggi didapat dari minyak yang berasal dari hot hydraulic pressing sebesar 199,48 mg
KOH/g minyak dilanjutkan minyak yang berasal dari hydraulic pressing sebesar 198,20 mg KOH/g
minyak dan minyak yang berasal dari ekstraksi pelarut n-heksana sebesar 192,32 mg KOH/g minyak.
Besarnya bilangan penyabunan pada terjadi pada ekstraksi dengan menggunakan hot hydraulic
pressing disebabkan karena suhu yang tinggi yang digunakan sehingga menimbulkan adanya reaksi
oksidasi minyak.
Menurut Silan (1998), bilangan penyabunan di dalam minyak dapat turun ataupun naik
karena di dalam minyak dapat terjadi reaksi oksidasi, esterifikasi, polimerisasi dan lain – lain. Reaksi
oksidasi akan menghasilkan asam lemak bebas dan senyawa dengan bobot molekul rendah sehingga

26
minyak yang mengalami oksidasi akan mempunyai bilangan penyabunan yang lebih tinggi.
Sedangkan reaksi esterifikasi dan polimerisasi akan menghasilkan senyawa dengan bobot molekul
tinggi sehingga minyak yang mengalami esterifikasi dan polimerisasi akan memiliki bilangan
penyabunan yang lebih rendah.
Berdasarkan hasil analisa keragaman menunjukkan bahwa terjadinya interaksi yang berbeda
nyata antara faktor metode ekstraksi dan tingkat kematangan buah dengan bilangan penyabunan yang
dihasilkan baik pada tingkat 5 persen ataupun satu persen. Berdasarkan uji Duncan didapatkan bahwa
nilai bilangan penyabunan terendah didapatkan dari minyak dengan kombinasi perlakuan A3B3 (buah
bintaro berkecambah dengan metode ekstraksi dengan pelarut) dan tertinggi didapatkan dari minyak
dengan kombinasi perlakuan A1B2 (buah muda dengan metode ekstraksi dengan hot hydraulic
pressing). Hal tersebut menunjukkan bahwa perlakuan metode esktraksi memberikan pengaruh yang
lebih nyata dibandingkan dengan tingkat kematangan buah.

4.2.5. Bilangan Peroksida Minyak

Bilangan peroksida adalah nilai terpenting untuk menentukan derajat kerusakan minyak atau
lemak. Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk
perosida (Ketaren, 1986). Penelitian nilai bilangan peroksida minyak biji bintaro dengan variasi
perlakuan tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi disajikan seperti pada Gambar 18.
35
Bilangan Peroksida (mg O2/100 gr

30
25
20
minyak)

15
10
5
0
Kecambah Muda Matang
Tingkat Kematangan Buah

Hydraulic Pressing Hot Hydraulic Pressing Maserasi dengan pelarut heksana

Gambar 18. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap bilangan
peroksida minyak biji bintaro.

Berdasarkan hasil penelitian, nilai bilangan peroksida terbesar terdapat pada minyak yang
dihasilkan dari buah bintaro matang dengan ekstraksi hydraulic pressing sebesar 31,65 mg
oksigen/100 g minyak dan terendah terdapat pada minyak yang dihasilkan dari buah bintaro matang
dengan ekstraksi hot hydraulic pressing sebesar 5,61 mg oksigen/100 g minyak dengan rata – rata
bilangan peroksida adalah 13,59 mg oksigen/100 g minyak.
Berdasarkan hasil analisa keragaman (Lampiran 7), tingkat kematangan buah memberikan
pengaruh yang nyata terhadap bilangan peroksida minyak biji bintaro. Dari hasil uji Duncan,
didapatkan bahwa nilai rata – rata bilangan peroksida tertinggi didapat dari minyak yang berasal dari
buah bintaro yang matang sebesar 14,37 mg oksigen/100 g minyak dilanjutkan dengan nilai rata – rata

27
bilangan peroksida minyak yang berasal dari buah bintaro berkecambah sebesar 13,61 mg
oksigen/100 g minyak dan rata – rata nilai bilangan peroksida minyak yang berasal dari buah yang
muda sebesar 12,80 mg oksigen/100 g minyak. Tingginya bilangan peroksida pada buah bintaro
matang dan berkecambah dapat disebabkan karena ikatan rangkap yang terdapat di dalam minyak dari
buah bintaro matang lebih banyak dibandingkan dengan minyak yang berasal dari buah bintaro muda
sehingga oksidasi minyak terus berlangsung dan akan berlangsung ditandai dengan adanya bilangan
peroksida yang terbentuk dalam minyak. Pada minyak yang berasal dari buah yang berkecambah
sudah terjadi proses oksidasi sebelumnya. Sementara itu, minyak yang berasal dari buah bintaro muda
memiliki bilangan peroksida terendah karena sedikitnya jumlah ikatan rangkap yang terdapat
didalamnya sehingga minyak tidak rentan terhadap proses oksidasi. Hal tersebut sesuai dengan
Anonim (2010) yang menyatakan bahwa minyak yang mula – mula terbentuk dalam buah adalah
trigliserida yang mengandung asam lemak bebas jenuh, dan setelah mendekati masa pematangan buah
terjadi pembentukan trigliserida yang mengandung asam lemak tidak jenuh.
Berdasarkan hasil analisa keragaman juga didapatkan hasil bahwa jenis ekstraksi minyak
berpengaruh nyata terhadap bilangan peroksida minyak yang dihasilkan. Nilai rata – rata bilangan
peroksida tertinggi didapat pada minyak biji binatro yang berasal dari ekstraksi minyak biji binatao
dengan hydraulic pressing sebesar 20,17 mg oksigen/100 g dilanjutkan dengan minyak biji bintaro
yang berasal dari ekstraksi minyak biji bintaro dengan hot hydraulic pressing sebesar 12,98 mg
oksigen/100 g dan nilai rata – rata bilangan peroksida terendah didapat pada minyak biji bintaro
dengan ekstraksi menggunakan pelarut n-heksana sebesar 7,62 mg oksigen/100 g. Tingginya bilangan
peroksida yang terdapat pada minyak yang diekstrak dengan hydraulic pressing dibanding ekstraksi
dengan menggunakan hot hydraulic pressing dan pelarut n – heksana disebabkan karena ekstraksi
minyak dengan hot hydraulic pressing sudah mengalami oksidasi. Selain itu, maserasi dengan
menggunakan pelarut heksana kecil kemungkinan mengalami oksidasi karena proses ekstraksi
dilakukan pada tempat yang tertutup rapat sehingga kontak dengan udara luar jarang dapat terjadi.
Menurut Ketaren (1986), tingginya bilangan peroksida pada minyak diakibatkan adanya senyawa
peroksida, senyawa ini terbentuk akibat terjadinya reaksi oksidasi pada minyak. Oksidasi ini terjadi
pada asam lemak tidak jenuh. Proses oksidasi dapat terjadi pada suhu kamar dan selama proses
pengolahan menggunakan suhu tinggi. Proses pembentukan peroksida dipercepat oleh adanya cahaya,
suasan asam, kelembaban udara, dan katalis seperti logam.
Hasil analisa keragaman menunjukkan bahwa tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi
memiliki interaksi yang berbeda nyata terhadap bilangan peroksida minyak biji bintaro. Dari hasil uji
Duncan didapat bahwa kombinasi minyak A1B1 dengan A3B1 tidak memiliki interaksi yang berbeda
nyata sementara A2B3 juga memiliki interaksi yang tidak berbeda nyata dengan A3B3. Berdasarkan
bilangan peroksida yang dihasilkan, minyak yang berasal dari buah bintaro matang dan ekstraksi
dengan hot hydraulic pressing menghasilkan bilangan peroksida yang paling rendah.

4.2.6. Viskositas Minyak

Viskositas atau nilai kekentalan dari suatu minyak sangat diperlukan untuk menentukan
kegunaan dari minyak atau lemak. Lemak dengan viskositas yang kecil baik untuk digunakan sebagai
bahan bakar. Viskositas atau kekentalan minyak biji bintaro didapatkan dengan menggunakan
viskometer Brookfield. Penelitian nilai viskositas minyak biji bintaro dengan variasi perlakuan tingkat
kematangan buah dan jenis ekstraksi disajikan seperti pada Gambar 19.

28
68
66
Viskositas (cP) 64
62
60
58
56
Kecambah Muda Matang
Tingkat Kematangan Buah

Hydraulic Pressing Hot hydraulic Pressing Maserasi dengan pelarut heksana

Gambar 19. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap
viskositas minyak biji bintaro.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa nilai viskositas terbesar terdapat pada minyak
yang berasal dari buah yang muda dan diekstrak dengan hydraulic pressing sebesar 66,4 cP dan
viskositas terkecil terdapat pada minyak yang berasal dari buah yang berkecambah dengan metode
ekstraksi dengan pelarut sebesar 59,70 cP. Dari hasil penelitian didapatkan juga bahwa rata – rata
viskositas minyak adalah 63,22 cP.
Berdasarkan hasil analisis keragaman (Lampiran 8) didapatkan bahwa tingkat kematangan
buah berpengaruh nyata terhadap viskositas minyak biji bintaro yang dihasilkan. Dari hasil uji Duncan
didapat bahwa minyak yang dihasilkan dari biji bintaro muda mempunyai rata – rata nilai viskositas
terbesar yaitu 65,1 cP dilanjutkan minyak yang dihasilkan dari biji bintaro matang yaitu 63,3 cP dan
rata –rata nilai viskositas minyak yang dihasilkan dari biji bintaro berkecambah yaitu 61,4 cP. Dari
hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat kematangan maka nilai viskositas
akan semakin kecil. Hal itu disebabkan karena buah bintaro yang berkecambah memiliki kadar air biji
yang paling besar dibandingkan dengan minyak yang berasal dari buah bintaro muda ataupun matang.
Air yang terdapat di dalam minyak menyebabkan kerapatan minyak menjadi lebih berkurang.
Berdasarkan hasil analisis keragaman juga didapatkan bahwa metode esktraksi memiliki
pengaruh yang nyata terhadap viskositas minyak biji bintaro yang dihasilkan. Dari hasil uji Duncan
didapat bahwa viskositas minyak terkecil terdapat pada minyak yang dihasilkan dari metode ekstraksi
hot hydraulic pressing yaitu rata – rata nilai viskositas sebesar 62,17 cP dilanjutkan dengan minyak
yang didapatkan dari ekstraksi dengan pelarut sebesar 62,4 cP dan viskositas terbesar adalah minyak
yang berasal dari ekstraksi hydraulic pressing sebesar 65,23 cP. Rendahnya viskositas minyak yang
berasal dari hot hydraulic pressing disebabkan karena suhu yang tinggi yang terdapat di dalam alat
tersebut. Menurut Bailey (1950), pemakaian suhu yang tinggi pada alat pengempaan menyebabkan
bahan menjadi lunak dan kekentalan menjadi rendah.
Hasil analisis keragaman didapatkan bahwa tidak terdapat interaksi yang nyata antara metode
ekstraksi dengan tingkat kematangan buah terhadap nilai viskositas minyak biji bintaro. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa minyak yang dihasilkan dari buah yang berkecambah dan diekstrak
dengan menggunakan pelarut n-heksana memiliki nilai viskositas yang paling rendah yaitu 59,7cP.

29
4.2.7. Kadar Abu Minyak

Kadar abu menunjukkan banyaknya kandungan komponen – komponen non-organik yang


terdapat di dalam minyak. Penelitian kadar abu minyak biji bintaro dengan variasi perlakuan tingkat
kematangan buah dan jenis ekstraksi disajikan seperti pada Gambar 20. Berdasarkan hasil penelitian
didapat bahwa kadar abu tertinggi didapat pada minyak yang dihasilkan dari buah bintaro matang
yang diekstrak minyaknya menggunakan pelarut n – heksana sebesar 0,3981 persen, sementara kadar
abu terendah didapat dari minyak yang dihasilkan dari buah bintaro berkecambah yang diekstrak
dengan menggunakan hydraulic pressing sebesar 0,0131 persen.

0,45
0,4
0,35
Kadar Abu (%)

0,3
0,25
0,2
0,15
0,1
0,05
0
Kecambah Muda Matang
Tingkat Kematangan Buah

Hydraulic Pressing Hot Hydraulic Pressing Maserasi dengan pelarut heksana

Gambar 20. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap kadar
abu minyak biji bintaro.

Berdasarkan data analisis keragaman (Lampiran 9) didapatkan bahwa tingkat kematangan


buah tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap kadar abu minyak biji bintaro yang dihasilkan.
Sementara itu, metode ekstraksi memiliki pengaruh yang nyata terhadap kadar abu minyak biji bintaro
yang dihasilkan. Hasil uji Duncan menujukkan bahwa rata – rata kadar abu terbesar terdapat pada
minyak yang diekstraksi dengan menggunakan pelarut n-heksan sebesar 0,25 persen dilanjutkan
dengan kadar abu minyak yang diekstrak dengan hot hydraulic pressing sebesar 0,11 dan kadar abu
yang diekstrak dengan hydraulic pressing sebesar 0,035 persen. Minyak yang diekstrak dengan hot
hydraulic pressing dan hydraulic pressing tidak memiliki perbedaan yang nyata kadar abu minyaknya.
Menurut Ketaren (1986), ekstraksi minyak dengan menggunakan pelarut menghasilkan bungkil
dengan kadar lemak yang lebih rendah (1 persen atau lebih rendah) dibandingkan dengan ekstraksi
minyak dengan menggunakan hydraulic presser sebesar 4 sampai 6 persen karena sebagian fraksi
bukan minyak akan ikut terekstraksi.

4.2.8. Kejernihan Minyak ( % Transmisi)

Kejernihan minyak ditandai dengan besarnya nilai persen transmisi. Semakin besar nilai
persen transmisi maka minyak yang dihasilkan semakin besar. Menurut Sutiah et al. (2008),
pengukuran transmisi dilakukan dengan menggunakan alat luxmeter. Dengan luxmeter dapat
diketahui nilai intensitas sinar yang masuk dan intensitas sinar yang diteruskan. Persen transmisi
dihitung dari perbandngan antara intensitas sinar yang diteruskan terhadap intensitas sinar yang

30
masuk. Nilai persen tramsmisi berbanding terbalik dengan indeks bias. Menurut Ketaren (1986),
indeks bias adalah derajat penyimpangan dari cahaya yang dilewatkan pada suatu medium cerah.
Menurut Formo (1978), indeks bias berhubungan dengan struktur dan komposisi senyawa organik di
dalam suatu bahan. Indeks bias akan meningkat dengan bertambah panjangnya rantai karbon senyawa
organik tetapi peningkatan ini akan berkurang dengan bertambahnya jumlah ikatan rangkap pada
senyawa tersebut. Penelitian persen transmisi minyak biji bintaro dengan variasi perlakuan tingkat
kematangan buah dan jenis ekstraksi disajikan seperti pada Gambar 21.
120

100
% Transmisi

80

60

40

20

0
Kecambah Muda Matang
Tingkat Kematangan Buah

Hydrolic Pressing Hot Hydraulic Pressing Maserasi dengan pelarut heksana

Gambar 21. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap
kejernihan minyak biji bintaro.

Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa nilai kejernihan terbesar terdapat pada minyak
yang berasal dari buah bintaro berkecambah yang diekstrak minyaknya dengan menggunakan pelarut
sebesar 97,61 persen dan nilai kejernihan terendah terdapat pada minyak yang dihasilkan dari buah
bintaro muda yang diekstrak dengan menggunakan hot hydraulic pressing sebesar 38,35 persen. Rata
– rata persen transmisi pada minyak biji bintaro adalah 81,31 persen.
Berdasarkan hasil analisis keragaman (Lampiran 10) didapatkan bahwa faktor tingkat
kematangan buah berpengaruh nyata terhadap nilai kejernihan minyak biji bintaro. Berdasarkan hasil
pengujian Duncan didapatkan bahwa rata – rata persen transmisi minyak biji bintaro terbesar adalah
minyak yang berasal dari buah yang matang sebesar 91,22 persen dilanjutkan dengan minyak yang
berasal dari buah yang kecambah sebesar 90,97 persen dan buah yang muda sebesar 61,74 persen.
Pada minyak yang berasal dari buah berkecambah dengan buah yang berasal dari buah yang matang,
nilai persen transmisinya tidak berbeda nyata karena memiliki kadar protein yang tdak berbeda jauh.
Data hasil penelitian menujukkan bahwa semakin tinggi tingkat kematangan buah maka nilai
kejernihan semakin besar. Hal tersebut disebabkan karena banyaknya kandungan protein yang
terdapat pada buah yang muda dimana keberadaan protein dalam biji bntaro dapat menyebabkan
terjadinya browning pada minyak biji bintaro. Menurut Ketaren (1986), pigmen cokelat yang terdapat
di dalam minyak dapat disebabkan karena adanya reaksi molekul karbohidrat dengan gugus pereduksi
seperti aldehid serta gugus amin dari molekul proteindan yang disebabkan karena aktivitas enzim –
enzim, seperti phenol oxidase, polyphenol oxidase, dan sebagainya.
Berdasarkan hasil analisis keragaman juga didapatkan hasil bahwa faktor metode ekstraksi
berpengaruh nyata terhadap nilai persen transmisi minyak yang didapat. Berdasarkan hasil pengujian

31
Duncan didapatkan bahwa rata – rata persen transmisi minyak biji bintaro terbesar adalah minyak
yang diekstrak dengan pelarut sebesar 85,74 persen dilanjutkan dengan minyak yang diekstrak dengan
menggunakan hydraulic pressing sebesar 84,82 persen dan minyak yang diekstrak dengan
menggunakan hot hydraulic pressing sebesar 73, 37 persen. Rendahnya nilai persen transmisi yang
terdapat di dalam minyak biji bintaro pada pengepresan menggunakan hydraulic dan hot hydraulic
presser disebabkan karena sebagian minyak mengalami oksidasi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Ketaren (1986) yaitu suhu pemanasan yang tinggi pada waktu pengepresan dengan cara hidrolik atau
expeller dapat mengakibatkan oksidasi sebagian minyak dan disamping itu minyak yang terdapat
dalam keadaan panas akan mengekstraksi zat warna yang terdapat dalam bahan tersebut.
Hasil analisa keragaman juga menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang berbeda nyata
pada tingkat 1 persen dan 5 persen antara faktor tingkat kematangan buah dengan faktor metode
ekstraksi. Dari hasil uji Duncan didapat bahwa nilai persen transmisi minyak dari setiap perlakuan
berbeda nyata secara keseluruhan. Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa minyak yang dihasilkan
dari buah bintaro berkecambah yang diekstraksi menggunakan pelarut memiliki tingkat kejernihan
yang paling tinggi.

4.2.9. Rendemen

Rendemen minyak dihitung untuk mengetahui jumlah minyak biji bintaro yang dihasilkan
dari setiap perlakuan. Rendemen minyak dapat digunakan untuk mengetahui besarnya hasil dari suatu
proses produksi. Rendemen minyak biji bintaro didapatkan dengan menghitung jumlah produk
(minyak) yang dihasilkan terhadap total bahan (biji bintaro) yang diekstraksi. Penelitian rendemen
minyak biji bintaro dengan variasi perlakuan tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi disajikan
seperti pada Gambar 22.
60
50
Rendemen (%)

40
30
20
10
0
Kecambah Muda Matang
Tingkat Kematangan Buah

Hydraulic Presser Hot Press Hydraulic Maserasi dengan heksana

Gambar 22. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi minyak biji
bintaro terhadap rendemen.

Berdasarkan data yang diperoleh dari grafik di atas, rendemen yang terbesar terdapat pada
buah bintaro matang dan diekstrak minyaknya menggunakan pelarut n – heksan sebesar 52,59 persen
sedangkan rendemen terendah terdapat pada buah bintaro yang berkecambah dan diekstrak minyaknya
menggunakan alat kempa hidrolik (hydraulic presser) sebesar 21,82 persen. Menurut Ketaren (1986)
banyaknya minyak atau lemak yang dapat diekstraksi tergantung dari lamanya pengepresan, tekanan
yang dipergunakan, serta kandungan minyak dalam bahan asal. Banyaknya minyak yang tersisa pada

32
bungkil dengan pengepresan mekanis berkisar 4 sampai 6 persen. Sedangkan banyaknya kadar
minyak yang tersisa pada ekstraksi dengan pelarut berkisar 1 persen atau lebih rendah.
Berdasarkan hasil analisis keragaman (Lampiran 11), faktor tingkat kematangan buah bintaro
memberikan pengaruh yang nyata terhadap rendemen minyak biji bintaro yang dihasilkan. Dari hasil
uji Duncan didapatkan rata – rata rendemen minyak antara biji bintaro muda sebesar 42,31 persen
dengan rata – rata rendemen minyak biji bintaro matang sebesar 43,33 persen tidak terdapat perbedaan
nyata. Sedangkan perbedaan rata – rata rendemen minyak biji bintaro berkecambah sebesar 35,95
persen memiliki perbedaan yang sangat nyata terhadap rata – rata rendemen minyak biji bintaro muda
dan matang. Tingginya rendemen minyak biji bintaro pada buah yang matang disebabkan karena
terjadinya proses metabolisme pembentukan lemak yang terjadi selama tingkat pematangan buah.
Namun pada buah berkecambah memiliki kadar lemak terendah karena pada buah yang berkecambah
lemak digunakan sebagai bahan dalam pembentukan membran sel.
Dari hasil analisis keragaman menunjukkan juga bahwa faktor jenis ekstraksi minyak biji
bintaro memberikan pengaruh yang nyata terhadap rendemen minyak biji bintaro yang dihasilkan.
Dari hasil uji Duncan didapatkan rata – rata rendemen minyak biji bintaro dengan ekstraksi hot
hydraulic pressing sebesar 42,12 persen, rata – rata rendemen minyak biji bintaro dengan ekstraksi
hydraulic pressing sebesar 29,28 persen dan rata – rata rendemen minyak biji bintaro dengan ekstraksi
pelarut sebesar 50,20 persen. Ekstraksi minyak dengan pelarut n-heksan memiliki rendemen yang
paling tinggi dibandingkan ekstraksi minyak dengan alat kempa hidrolik. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Ketaren (1986) bahwa ekstraksi minyak dengan menggunakan pelarut menghasilkan
bungkil dengan kadar lemak (minyak) yang lebih rendah (1 persen atau lebih rendah) dibandingkan
dengan ekstraksi minyak menggunakan hydraulic presser sebesar 4 sampai 6 persen karena sebagian
fraksi bukan minyak akan ikut terekstraksi. Selain itu, rendahnya rendemen minyak biji bintaro yang
diekstrak dengan pengepresan hidrolik disebabkan oleh sifat fisis dari minyak biji bintaro itu sendiri
yang tergolong cukup kental sehingga pada saat dilakukan pengepresan, masih banyak terdapat
minyak yang terkandung di dalam bungkil biji bintaro.
Dari hasil penelitian juga didapatkan bahwa ekstraksi dengan hot hydraulic pressing
menghasilkan minyak yang lebih besar dibandingkan dengan hydraulic pressing karena perbedaan
suhu yang cukup tinggi pada kedua metode pengepresan tersebut. Semakin tinggi suhu maka
viskositas fasa cair semakin kecil sehingga minyak lebih mudah keluar. Menurut Norris (1982),
minyak yang diperoleh dengan pengempaan mekanis dipengaruhi oleh kandungan air, metode
pemanasan, dan komposisi kima biji. Selain itu rendemen minyak bergantung pula dengan laju
pengempaan, pengempaan maksimum yang diperoleh, waktu dan suhu atau viskositas.
Berdasarkan hasil analisis keragaman didapatkan bahwa terjadi interaksi antara tingkat
kematangan buah dengan metode ekstraksi minyak biji bintaro terhadap rendemen yang dihasilkan
pada tingkat 5 persen. Hasil uji Duncan pengaruh interaksi kematangan buah bintaro dengan metode
ekstraksi biji bintaro menunjukkan bahwa terdapat beberapa kombinasi perlakuan yang tidak memiliki
perbedaan nyata dengan kombinasi lainnya, diantaranya adalah kombinasi antara A2B2 dengan A2B1,
kombinasi antara A1B2 dengan A1B1, dan kombinasi antara A3B2 dengan A3B1. Sedangkan pada
kombinasi lainnya berpengaruh nyata. Berdasarkan penelitian ini, maka rendemen minyak biji bintaro
terbaik dihasilkan dari buah bintaro yang matang dengan metode ekstraksi menggunakan pelarut.

4.2.10. Komponen Asam Lemak Minyak Biji Bintaro

Penentuan komponen asam lemak dilakukan dengan menggunakan metode Gas


Chromatography Spectrofotometry Mass. Analisa Gas Chromatography Spectrofotometry Mass
dilakukan pada minyak biji bintaro dengan hasil yang terbaik dari setiap kombinasi perlakuan yaitu

33
minyak biji bintaro dari buah matang dan diekstrak minyaknya dengan menggunakan pelarut. Hasil
analisa dapat dilihat pada Lampiran 12. Berdasarkan hasil uji, didapat komposisi asam – asam lemak
penyusun minyak biji bintaro yang dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Komposisi Asam – Asam Lemak Minyak Biji Bintaro


Jenis Asam Lemak Jumlah atom C Komposisi (%)
Palmitat C16 26,24
Oleat C18:1 47,78
Stearat C18 0,80
Miristat C14 0,59
Linoleat C18:2 4,10
Linolenat C18:3 1,11
Asetat C2 0,88

Berdasarkan uji GCMS dapat dilihat bahwa asam lemak cis-9-oktadekenoat (asam oleat)
merupakan asam lemak yang tertinggi yaitu sebesar 47,78 persen. Asam oleat merupakan asam lemak
tidak jenuh yang tersusun atas 18 atom C dengan satu ikatan rangkap di antara atom C ke-9 dan ke-10.
Asam ini memiliki rumus kimia: CH3(CH2)7CHCH(CH2)7)COOH. Asam oleat memiliki sifat tidak
larut dalam air dan memiliki titik didih 14°C. Pada suhu ruang asam oleat berbentuk kental dengan
warna kuning kecoklatan. Selain asam oleat, minyak biji bintaro juga mengandung asam palmitat
yang cukup tinggi yaitu 26,24 persen. Asam palmitat merupakan asam lemak jenuh yang tersusun dari
16 atom karbon (CH3(CH2)14COOH). Pada suhu ruang, asam palmitat berwujud padat berwarna putih
dengan titik cair 64 °C (Ketaren 1986). Selain itu, minyak biji bintaro juga mengandung asam – asam
lemak lainnya seperti asam stearat, asam miristat, asam asetat, asam linolenat, dan asam linoleat.
Asam stearat merupakan asam lemak yang terdapat pada sebagian besar lemak hewani dan minyak
nabati. Asam lemak ini merupakan asam lemak jenuh dengan 18 atom C. Asam stearat mencair pada
suhu sekitar 69.4°C (Muchtadi 1993). Asam asetat merupakan asam lemak jenuh yang memiliki 2
atom C dengan rumus molekul CH3COOH (Ketaren 1986). Asam miristat merupakan asam lemak
jenuh yang bersumber dari minyak nabati dan memiliki 14 atom C. Asam linolenat adalah asam lemak
tidak jenuh dengan 18 ataom C yang memiliki 3 ikatan rangkap (Ketaren 1986). Asam linoleat
merupakan asam lemak tidak jenuh yang mamiliki 18 atom C dengan dua ikatan rangkap diantara
atom C ke-9 dan ke-12. Asam lemak ini dikenal juga dengan sebutan 9,12-oktadekadienoat yang
banyak ditemukan pada minyak perilla dan biji lin (Muchtadi 1993).
Pada penelitian ini, kandungan asam lemak oleat minyak biji bintaro lebih tinggi
presentasenya dibandingkan dengan minyak jarak pagar sebesar 38,6 persen (Janin 2010) dan minyak
kelapa sawit sebesar 39 – 45 persen (Eckey 1955). Sementara itu, minyak biji bintaro memiliki asam
lemak oleat yang lebih rendah namun mendekati dibandingkan dengan minyak nyamplung sebesar
48,49 persen (Sudrajat 2007). Kandungan asam lemak palmitat minyak biji bintaro lebih tinggi
presentasenya dibandingkan dengan minyak jarak pagar sebesar 14,1 persen (Janin 2010) dan minyak
nyamplung sebesar 15,89 persen (Sudrajat 2007). Sementara itu, minyak biji bintaro memiliki
kandungan asam lemak palmitat lebih rendah presentasenya dibandingkan dengan minyak kelapa
sawit sebesar 40 – 46 persen (Eckey 1955). Pada penelitian ini juga meunjukkan bahwa kandungan
asam lemak tidak jenuh minyak biji bintaro memiliki presentase yang lebih tinggi sebesar 52,99
persen dibandingkan dengan asam lemak jenuh 28,51 persen.

34
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Kadar minyak biji bintaro berkisar antara 45,56 persen sampai 59,58 persen. Tingginya kadar
lemak pada biji bintaro menyebabkan minyak bintaro memiliki potensi yang besar untuk
dikembangkan menjadi sumber minyak nabati. Dari beberapa parameter yang digunakan sebagai
respon setiap perlakuan, diperoleh hasil bahwa tingkat kematangan buah dan metode ekstraksi
berpengaruh nyata terhadap rendemen, kadar asam lemak bebas (Fat Fatty Acid), bilangan iod,
bilangan penyabunan, bilangan peroksida, viskositas, persen transmisi, dan kadar abu. Namun tingkat
kematangan buah dan metode ektraksi tidak berpengaruh nyata terhadap densitas minyak biji bintaro.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan rendemen yang terbesar terdapat pada buah bintaro
matang dan diekstrak minyaknya menggunakan pelarut n – heksan sebesar 52,59 persen, kadar asam
lemak bebas terkecil terdapat pada minyak yang dihasilkan dari buah bintaro muda sebesar 0,31
persen, bilangan iod tertinggi terdapat pada minyak yang berasal dari buah bintaro berkecambah
dengan metode ekstraksi dengan pelarut n-heksana sebesar 85,19 I2/100 gram minyak, bilangan
peroksida terendah terdapat pada minyak yang dihasilkan dari buah bintaro matang dengan ekstraksi
hot hydraulic pressing sebesar 5,61 mg oksigen/100 g minyak, viskositas terkecil terdapat pada
minyak yang berasal dari buah yang berkecambah dengan metode esktraksi dengan pelarut sebesar
59,70 cP, nilai kejernihan terbesar terdapat pada minyak yang berasal dari buah bintaro berkecambah
yang diekstrak minyaknya dengan menggunakan pelarut sebesar 97,61 persen. Selain itu dari hasil
penelitian juga didapat bahwa minyak biji bintaro memiliki bobot jenis minyak pada rentang 0,8984
g/ml dan 0,9062 g/ml. Minyak biji bintaro juga memliki bilangan penyabunan pada rentang 182,66
mg KOH/g minyak dan 208,55 mg KOH/g minyak.
Berdasarkan hasil analisis, didapatkan perlakuan terbaik untuk produksi minyak biji bintaro
adalah minyak biji bintaro yang berasal dari buah yang sudah masak dan di ekstrak minyaknya dengan
menggunakan pelarut n-heksana dengan rendemen sebesar 52,59%, kadar asam lemak bebas sebesar
2.75%, nilai bilangan iod sebesar 60.31 g I2/100 g, nilai bilangan peroksida 5.85 mg O2/g, nilai
bilangan penyabunan 199.76 mg KOH/g, nilai viskositas 63.25 cP, nilai densitas 0.9041 g/cm3, nilai
%transmisi 87.43% dan nilai kadar abu 0.39%.
Pengujian Gas Chromatography Spectrofotometry Mass (GCMS) dilakukan pada minyak
dengan kombinasi perlakuan terbaik yaitu minyak dari buah yang sudah masak dan diekstrak
minyaknya dengan menggunakan pelarut n-heksana. Hasil pengujian GCMS menyatakan bahwa
asam lemak asam lemak oleat dan asam lemak palmitat merupakan asam lemak dengan jumlah yang
tertinggi di dalam minyak biji bintaro.

5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, disarankan untuk menentukan umur buah bintaro secara lebih
spesifik sehingga diketahui perbedaan sifat fisiko kimia minyak yang dihasilkan, menganalisis
bungkil hasil sisa ekstraksi, menghitung rpm pengaduk pada ekstraksi dengan maserasi, menggunakan
suhu yang berbeda pada ekstraksi dengan maserasi dan mengkaji tekno ekonomi terhadap pembuatan
minyak biji bintaro.

35
DAFTAR PUSTAKA

Achten WMJ., Verhot YJ., Franken E., Mathijs VP., Singh R., Aerts, and B. Muys. 2008. Jatropha
Bio-diesel Production and Use. Biomass Bioenergi. 32:1063 – 1084.

Ahmad. 2006. Ekstaksi Minyak Nabati. Sinar Wadja Lestari. Jakarta.

Adrian WD. 2009. Biji Buah Bintaro Sebagai Bakar Alternatif.


http://www.wargahijau.org/index.php?option=com_content&view=article&id=474:biji-buah-
bintaro-sebagai-bahan-bakar-alternatif&catid=24:green-energy&Itemid=25. [10 Jun 2011].

Alamendah. 2011. Bintaro (Cebera Manghas) Pohon Penghijauan yang Beracun.


http://alamendah.wordpress.com/2011/01/10/bintaro-cerbera-manghas-pohon-penghijauan-
yang-beracun/. [10 Jun 2011].

Anonim. 2010. Asam Lemak. http://ocw.usu.ac.id/course/download/4140000062-


teknologioleokimia/tkk 322_handout_asam_lemak.pdf. [8 Juli 2011].

Anonim. 2011. Bintaro (Cebera Manghas L). http://www.plantamor.com/index.php?plant=309.[10


Jun 2011].

Ansel HC. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi.EdisiIV. Jakarta:UI Press.

AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of Association Official Analytical Chemist. AOAC Inc.
Washington.

AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of Association Official Analytical Chemist. AOAC Inc.
Washington.

Bailey AE. 1950. Industrial Oil and Fat Products. Interscholastic Publishers. New York.

Chang LC., Gills JJ., Bhat KP., Luyengi L., Farnsworth NR, Pezzuto JM., and Kinghorn AD. 2000.
Activity Guided Isolation of Constituents of Cerbera manghas with Antiproliferative and
Antiestrogenic Activities. Bioorganic and Medical Chemistry Letters 10(21): 2431–2434.

Departemen Kehutanan. 2008. Tanaman Nyamplung sebagai Sumber Energi Biofuel. www.
Indonesia.go.id [Diakses tanggal 9 Juli 20011].

Eckey SW. Vegetable Fat and Oil. Di dalam: Ketaren (ed).1986. UI Press. Jakarta.

Edi. 2011. Minyak Biji Bintaro, Newcomer in Alternative Energy. http://id.shvoong.com/exact-


sciences/bioengineering-and-biotechnology/2095974-minyak-biji-bintaro-newcomer
alternative/. [10 Jun 2011].

Endriana D. 2007. Sintesis Biodiesel dari Minyak Biji Bintaro (Ceberra manghas) Hasil Ekstraksi.
Kimia Mipa-ui. Depok.

Fantastico. 1986. Fisiologi Pasca Panen. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Fauzi A. 2011. Respirasi Pada Buah dan Sayur. http://chylenzobryn.blogspot.com/2011/05/respirasi-


pada-buah-dan-sayur.html.[14 Jun 2011].

Formo MW. 1978. Physical Properties. di dalam D Swern (ed) Bailey’s Industrial Oil and Fat
Products. John Wiley and Sons. New York.

36
Gaillard Y., Krisnamoorthy, A., and Bevalot, F. 2004. Cebera odollam: a suicide tree and cause of
death in the state of Kerala India. Journal of Ethnopharmacology 95:123-126.

Unin. 2003. Kajian Ekstraksi Minyak Biji Mengkudu (Morinda citrifolia L.,) Menggunakan Pelarut
Organik. Skripsi. Fateta: IPB Bogor.

Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia III. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Departemen Kehutanan. Jakarta.

Jacobs MB. and L Scheflan. 1953. The Handbook of Solvents. Van Nostrand Company, Inc. New
York.

Jamieson GS. 1943. Vegetable fat and Oils 2nd ed. Reinhold Publishing Corporation. New York.

Janin S. and M. P. Sharma. 2010. Kinetics of Acid Base Catalized Transesterification of Jathropha
Curcas Oil. Bioresource Technology.

Junaidi W. 2010. Metabolisme Lipid. http://wawan-junaidi.blogspot.com/2010/01/metabolisme-


lipid.html [5 Juli 2011].

Keenan. 1984. Kimia Untuk Universitas. Erlangga. Jakarta.

Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan lemak. UI Press. Jakarta.

Kurnia R. 2010. Ekstraksi dengan Pelarut. Skripsi. FATETA: IPB Bogor.

Kusumo S. 1990. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. CV Yasaguna. Jakarta

Krik RE and DF Othmer. 1964. Encyclopedia of Chemical Technology. The Interscience


Encyclopedia Inc., New York. P 362 – 374.

Moestapa. 1981. Aspek Teknis Pengolahan Rempah – Rempah Menjadi Oleoresin dan minyak
Rempah – Rempah. BBIHP. Bogor.

Muchtadi D dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat Antar-Universitas Pangan
dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Muchtadi D dan Sugiyono. 1993. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat Antar-Universitas Pangan
dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Norris FA. 1982. Extraction of Fat and Oils. di dalam D.Swern (ed) Bailey’s Industrial Oil and Fat
Products. John Wiley and Sons. New York.

Pranowo D. 2010. Bintaro (Cerbera manghas LINN) Tanaman Penghasil Minyak Nabati. Tree 1:91

Rindengan B., A. Lay, H. Novarianto dan Z. Mahmud. 1996. Pengaruh Jenis dan Umur Buah
Terhadap Sifat Fisikokimia Daging Buah Kelapa Hibrida dan Pemanfaatannya. Jurnal
Penelitian Tanaman Industri 18(4): 143 – 149.

Rose and Arthur. 1975. The Condensed Chemical Dictionary. Chapmand and Hall, Ltd. London.

Sabel and Warren. 1973. Theory and Practice of Oleoresin Extraction. Di dalam Proceeding of The
Conference of Spice. Tropical Products Institute. London.

37
Setiono. 2010. Mekanisme Penyerapan Nutrisi Mineral.
http://setiono774.blogspot.com/2010/11/mekanisme-penyerapan-nutrisi-mineral.html [8 Juli
2011].

Silan. 1998. Ekstraksi Minyak Biji Karet dengan Alat Pengempa Berulir dan karakteristik Mutu
Minyaknya. Skripsi. FATETA. IPB Bogor.

SNI. 2006. Standar Nasional Indonesia Biodiesel. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.

Sudjadi. 1986. Metode Pemisahan. UGM Press. Jogjakarta.

Sudrajat R., Sahiman, dan D. Setiawan. 2007. Pembuatan Biodiesel dari Biji Nyamplung. Jurnal
Penelitian Hasil Hutan Vol. 25 No. 1, Februari, pp. 41-56.
Suryandari S. 1981. Pengambilan Oleoresin Jahe Dengan Cara Solvent Extraction. BBIHP. Bogor.

Swern D. 1989. Bailey’s.Industrial Oil and Fat Product. Vol 1. 4th edition. John Wiley and Sons. New
York.

Vitriani V. 2003. Ekstraksi Biji Jarak (Ricinus communis L) Menggunakan Alat Pengempa Panas dan
Karaketerisasi Mutu Minyaknya. Skripsi. Fateta. IPB Bogor.

Voight R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Edisi ke-5. Diterjemahkan oleh: Dr. Soendani
Bandung.

Wirahadikusumah M. 1989. Biokimia, Protein, Enzim dan Asam Nukleat. ITB. Bandung.

38
LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur Analisa Proksimat Biji Bintaro

1. Kadar Air dengan Metode Oven (AOAC, 1984)

Cawan aluminium kosong dipanaskan dengan oven 105 oC selama 15 menit, kemudian didinginkan
dengan desikator selama 30 menit dan ditimbang. Prosedur pengeringan cawan ini diulang sampai
didapatkan bobot tetap. Contoh sebanyak 4-5 gram ditimbang dalam cawan tersebut, kemudian
dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC selama 3-5 jam. Setelah cawan dikeluarkan dari oven dan
didinginkan, diulang sampai didapatkan bobot tetap bahan. Presentase kadar air dapat dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :

Keterangan :
m = bobot contoh (gram)
m1 = bobot contoh sebelum dikeringkan (gram)
m2 = bobot contoh setelah dikeringkan (gram)

2. Kadar Abu dengan Metode Oven (AOAC, 1984)

Contoh sebanyak 4-5 gram ditimbang dalam cawan yang bobotnya konstan. Dibakar sampai tak
berasap di atas bunsen dengan api kecil, kemudian dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 oC sampai
menjadi abu. Cawan didinginkan dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang. Pengabuan
diulangi, dengan cara dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 oC selama 1 jam sampai didapat bobot
yang tetap. Presentase kadar abu dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Keterangan :
m = bobot contoh basah (gram)
m1 = bobot cawan berisi abu contoh (gram)

m2 = bobot cawan (gram)

3. Kadar Protein (Nitrogen) dengan Metode Kjedhal

Contoh sebanyak 0.1-0.5 gram, ditambahkan dengan 1 gram katalis (CuSO4 dan Na2SO4) dan 2.5
larutan H2SO4 pekat dan didekstruksi dalam labu kjeldhal sampai berwarna hijau bening. Kemudian
bahan dimasukkan ke dalam tabung dan alat destilat selama 4 menit. Bahan akan bercampur dengan
larutan NaOH 6 N, asam borat dan indikator mensel. Larutan hasil destilat ditampung dalam erlenmeyer
dan dititrasi dengan larutan H 2SO4 0.02 N. Penentuan kadar nitrogen berdasarkan volume larutan H 2SO4
0.02 N yang digunakan untuk titrasi.
Blanko disiapkan seperti prosedur penentuan kadar nitrogen dengan metode kjeldhal. Penentuan kadar
nitrogen dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut :

39
Keterangan :
FP = Faktor Pengenceran
FK = Faktor Konversi (6.25)

4. Kadar Lemak dengan Metode Ekstraksi Langsung dengan Alat Soxhlet (SNI 01-2891-1992)

Sebanyak 1-2 gram contoh, dimasukkan ke dalam selongsong kertas saring yang dilapisi dengan
kapas. Kemudian selongsong kertas saring berisi contoh disumbat dengan kapas lalu dikeringkan di
dalam oven pada suhu 80oC selama kurang lebih 1 jam. Kemudian selongsong kertas yang telah dioven
dimasukkan ke dalam alat soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak berisi batu didih yang telah
dikeringkan dan telah diketahui bobotnya. Kemudian diekstraksi dengan hexan atau pelarut lemak lainnya
selama kurang lebih 6 jam. Kemudian hexan disuling dan ekstrak lemak dikeringkan di dalam oven pada
suhu 105oC sampai bobotnya tetap. Didinginkan dan ditimbang. Penentuan kadar lemak dihitung
berdasarkan rumus sebagai berikut :

Keterangan :
W = bobot contoh (gram)
W1 = bobot labu lemak kosong (gram)
W2 = bobot labu lemak dan lemak (gram)

5. Kadar Serat Kasar (AOAC, 1984)

Sebanyak 2 gram contoh dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan 100 ml
H2SO4 0.325 N, kemudian dihidrolisis di dalam autoklaf selama 15 menit pada suhu 105 oC. Didinginkan
lalu ditambahkan NaOH 1.25 N sebanyak 50 ml. Hidrolisis kembali ke dalam autoklaf selama 15 menit.
Kemudian contoh disaring dengan kertas saring yang telah dikeringkan dan diketahui bobot tetapnya.
Contoh dicuci berturut-turut dengan air panas menggunakan 25 ml H2SO4 0.325 N, kemudian dicuci
dengan air panas terakhir menggunakan alkohol 25 ml. Kertas saring dikeringkan di dalam oven pada
suhu 105oC sampai bobotnya tetap. Penentuan kadar serat dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut :

Keterangan :
W = bobot contoh (gram)
W1 = bobot kertas (gram)
W2 = bobot kertas dan serat (gram)

40
Lampiran 2. Prosedur Analisa Fisiko Kimia Minyak Biji Bintaro

1. Rendemen

Rendemen minyak biji bintaro dihitung dengan cara membandingkan bobot minyak yang diperoleh
dengan bobot biji bintaro yang akan diekstraksi

2. Asam Lemak Bebas (AOAC, 1995)

Contoh yang akan diuji, ditimbang sebanyak 5-10 gram di dalam erlenmeyer 250 ml, kemudian ke
dalam contoh ditambahkan etanol netral 95% sebanyak 25 ml dan dipanaskan sampai mendidih. Larutan
ditambahkan 2 tetes indikator PP, kemudian dititrasi dengan larutan KOH 0.1 N hingga berwarna merah
muda (konstan selama 15 detik).

Keterangan :
V = Volume KOH yang diperlukan dalam titrasi contoh (ml)
T = Normalitas larutan KOH
M = Bobot molekul asam lemak dominan (asam oleat yaitu 282)
m = bobot contoh (gram)

3. Bilangan Iod (AOAC, 1995)

Contoh minyak yang telah disaring ditimbang sebanyak 0.25 gram di dalam erlenmeyer 500 ml,
lalu dilarutkan dengan 10 ml kloroform atau tetraklorida dan ditambahkan dengan 25 ml pereaksi hanus.
Semua bahan di atas dicampur merata dan disimpan di dalam ruangan gelap selama satu jam. Sebagian
iodium akan dibebaskan dari larutan. Setelah penyimpanan, ke dalamnya ditambahkan 10 ml larutan KI
15% sambil terus dikocok. Selanjutnya aquades yang telah dididihkan ditambahkan sebanyak 100 ml.
Iod yang dibebaskan kemudian dititrasi dengan larutan Na 2S2O3 0.1 N sampai larutan tersebut berwarna
kuning pucat. Selanjutnya ditambahkan larutan kanji 1% dan titrasi kembali sampai warna biru hilang.
Blanko dibuat dengan cara yang sama tanpa menggunakan minyak.

Keterangan :
T = normalitas larutan Na2S2O3 0.1 N
V1 = volume larutan Na2S2O3 0.1 N yang diperlukan dalam titrasi blanko (ml)
V2 = volume larutan Na2S2O3 0.1 N yang diperlukan dalam titrasi contoh (ml)
m = bobot contoh (gram)

41
4. Bilangan Penyabunan (SNI 01-2891-1992)

Sebanyak dua gram contoh ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 250 ml.
Kemudian ditambahkan 25 ml KOH alkohol 0.5 N dengan menggunakan pipet dan beberapa butir batu
didih. Erlenmeyer yang berisi larutan dihubungkan dengan pendingin tegak dan dididihkan di atas
penangas air atau penangas listrik selama satu jam. Lalu ditambahkan 0.5-1 ml fenolftalein ke dalam
larutan tersebut dan dititer dengan HCl 0.5 N sampai warna indikator berubah menjadi tidak berwarna.
Lakukan juga untuk blanko.

Keterangan :
Vo = volume HCl 0.5 N yang diperlukan pada peniteran blanko (ml)
V1 = volume HCl 0.5 N yang diperlukan pada peniteran contoh (ml)
m = bobot contoh (gram)

5. Bilangan Peroksida (AOAC, 1995)

Minyak sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam gelas erlenmeyer berpenutup. Ditambahkan 30 ml


CH3COOH-CHCl3 dan diaduk sampai larut. Selanjutnya ditambah KI jenuh 0.5 ml dari pipet mohr,
biarkan kadang-kadang diaduk selama 1 menit dan ditambahkan 30 ml H2O. Perlahan-lahan titrasi dengan
0.1 N Na2S2O3 sambil diaduk kuat hingga warna kuning mulai menghilang. Tambahkan kira-kira 0.5 ml
larutan amilum 1% dan titrasi kembali. Aduk kuat-kuat untuk melepas semua I2 dari lapisan CHCl3
sampai warna biru menghilang. Jika kurang dari 0.5 ml 0.1 N Na2S2O3 digunakan, kita ulangi penentuan
dengan 0.01 N Na2S2O3. Prosedur yang sama kita lakukan untuk blanko. Bilangan peroksida dinyatakan
dengan mmol O2/2 kg sampel atau sebanding dengan mg O2/kg sampel.

Keterangan :
S = volume Na2S2O3 0.1 N yang diperlukan pada peniteran sampel (ml)
B = volume Na2S2O3 0.1 N yang diperlukan pada peniteran blanko (ml)
N = Normalitas Na2S2O3
G = bobot contoh (gram)

6. Kadar Abu dengan Metode Oven (AOAC, 1984)

Contoh sebanyak 4-5 gram ditimbang dalam cawan yang bobotnya konstan. Dibakar sampai tak
berasap di atas bunsen dengan api kecil, kemudian dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 oC sampai
menjadi abu. Cawan didinginkan dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang. Pengabuan
diulangi, dengan cara dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 oC selama 1 jam sampai didapat bobot
yang tetap. Presentase kadar abu dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

42
Keterangan :
m = bobot contoh basah (gram)
m1 = bobot cawan berisi abu contoh (gram)

m2 = bobot cawan (gram)

7. Kekentalan / Viskositas (AOAC, 1995)

Pengukuran viskositas dilakukan dengan menggunakan alat Viskometer Brookfield. Contoh


sebanyak ± 25 ml (jumlah yang diperlukan untuk merendamkan tanda tera pada beban) dimasukan ke
dalam gelas piala, dan diatur suhunya agar tetap 25 ± 0.5 °C. Beban dan putaran per menit (rpm) yang
akan digunakan (bernomor) diatur terlebih dahulu untuk menentukan angka konversinya yang terdapat
pada tabel bagian atas alat. Contoh dimasukkan ke dalam wadah hingga tanda tera pada beban terendam.
Motor penggerak dijalankan setelah jarum menunjukan angka nol. Motor dimatikan setelah satu menit,
dan tombol penekan jarum ditekan, kemudian dibaca angka yang ditunjukkan oleh jarum tersebut (A).
Pada Gambar 10 dapat dilihat proses pengujian viskositas dengan menggunakan viscometer brookfield.
Rumus viskositas adalah sebagai berikut.

Viskositas (cP) = A x angka konversi

8. Densitas Metode Piknometer (AOAC, 1995)

Piknometer dicuci dengan air kemudian dengan etanol dan dietileter lalu dikeringkan dengan oven.
Piknometer ditimbang (m) kemudian diisi dengan aquades yang telah dididihkan dan bersuhu 40 oC
dihindari adanya gelembung-gelembung udara dan permukaan air diatur sampai penuh atau tanda tera.
Piknometer dimasukkan ke dalam penangas air pada suhu 40 oC selama 30 menit. Suhu penangas air
diperiksa dengan termometer. Apabila terdapat air di bagian luar maka keringkan dengan menggunakan
kertas saring sampai benar-benar kering. Piknometer yang berisi aquades ditimbang (m1). Piknometer
dikosongkan dan dicuci dengan etanol dan dietileter kemudian dikeringkan. Piknometer diisi dengan
bahan yang akan diukur bobot jenisnya dan dihindari terjadinya gelembung udara. Permukaan bahan
diatur sampai tanda tera kemudian ditimbang (m2). Densitas atau bobot jenis dihitung dengan rumus
berikut :

Keterangan :
m = bobot piknometer (gram)
m1 = bobot piknometer berisi aquades (gram)
m2 = bobot piknometer berisi minyak (gram)

43
9. Persen Transmisi (Spectronic 20)

Prinsip analisis persen transmisi adalah jumlah sinar dengan λ tertentu yang dapat diteruskan
dipengaruhi oleh intensitas warna adan kejernihan serta kandungan komponen di dalam minyak atau
lemak tersebut.
Prosedur:
Alat spectronic 20 dinyalakan 15 menit sebelum digunakan. Kemudian panjang gelombang diset pada
panjang gelombang yang menghasilkan persen transmisi tertinggi (optimum). Kuvet diisi dengan larutan
blanko dan selanjutnya diset hingga skala menunjukkan angka 100%. Setelah itu kuvet yang berisi larutan
blanko diganti dengan contoh minyak yang akan diukur persen transmisinya dan dicatat persen transmisi
yang terbaca pada skala. Angka yang terbaca pada skala merupakan persen transmisi dari sampel yang
diukur.

44
Lampiran 3. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Kadar Asam Lemak Bebas Minyak

a) Data rata – rata kadar asam lemak bebas minyak biji bintaro
Tingkat Kematangan Buah Metode Ekstraksi % FFA
Matang Hot Hydraulic Pressing 1,90
Muda Hot Hydraulic Pressing 1,06
Kecambah Hot Hydraulic Pressing 2,51
Matang Hydraulic Pressing 1,79
Muda Hydraulic Pressing 0,31
Kecambah Hydraulic Pressing 2,01
Matang Ekstraksi Pelarut 2,75
Muda Ekstraksi Pelarut 2,17
Kecambah Ekstraksi Pelarut 4,54

b) Sidik ragam pengaruh tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi minyak terhadap kadar
asam lemak bebas minyak biji bintaro

Ftabel Ftabel α= α=
Sumber Keragaman Db JK KT Fhitung
(α = 0.05) (α = 0.01) 0.05 0.01
Perlakuan 8
Tingkat Kematangan (Ei) 2 9,36 4,68 21,68 4,26 8,02 BN BN
Jenis Ekstraksi (Vj) 2 10,54 5,27 24,40 4,26 8,02 BN BN
Interaksi (EVij) 4 1,75 0,44 2,03 3,63 6,42 TBN TBN
Ek (ij) 9 1,94 0,22
Total 17 23,60
Keterangan : BN = Berbeda Nyata ; TBN = Tidak Berbeda Nyata

c) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh tingkat kematangan buah terhadap kadar asam
lemak bebas minyak biji bintaro
Kelompok Kelompok
Tingkat Kematangan Buah Rata-Rata Duncan Duncan
(α=0.05) (α=0.01)
Muda 1,18 A A
Matang 2,15 B B
Kecambah 2,94 C C

45
d) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh metode ekstraksi minyak terhadap kadar asam
lemak bebas minyak biji bintaro
Kelompok Kelompok
Metode Ekstraksi Rata-Rata Duncan Duncan
(α=0.05) (α=0.01)
Hydraulic Pressing 1,37 A A

Hot Hydraulic Pressing 1,75 A A


Ekstraksi Pelarut 3,16 B B
Keterangan : Huruf yang sama pada kelompok Duncan menunjukan taraf perlakuan tidak berbeda nyata
pada α=0.05 dan α=0.01

46
Lampiran 4. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Bobot Jenis (Densitas) Minyak Biji
Bintaro

a) Data rata – rata densitas minyak biji bintaro


Tingkat Kematangan Buah Metode Ekstraksi Densitas
(g/ml)
Matang Hot Hydraulic Pressing 0,9029
Muda Hot Hydraulic Pressing 0,9037
Kecambah Hot Hydraulic Pressing 0,8984
Matang Hydraulic Pressing 0,9056
Muda Hydraulic Pressing 0,9058
Kecambah Hydraulic Pressing 0,9062
Matang Ekstraksi Pelarut 0,9041
Muda Ekstraksi Pelarut 0,9021
Kecambah Ekstraksi Pelarut 0,9009

b) Sidik ragam pengaruh tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi minyak terhadap bobot
jenis minyak biji bintaro

Ftabel Ftabel α= α=
Sumber Keragaman Db JK KT Fhitung
(α = 0.05) (α = 0.01) 0.05 0.01
Perlakuan 8
Tingkat Kematangan (Ei) 2 1,95E-05 9,78E-06 0,61 4,26 8,02 TBN TBN
Jenis Ekstraksi (Vj) 2 6,15E-05 3,08E-05 1,91 4,26 8,02 TBN TBN
Interaksi (EVij) 4 2,41E-05 6,02E-06 0,37 3,63 6,42 TBN TBN
Ek (ij) 9 1,44E-04 1,61E-05
Total 17 0,00025
Keterangan : BN = Berbeda Nyata ; TBN = Tidak Berbeda Nyata

47
Lampiran 5. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Bilangan Iod Minyak Biji Bintaro

a) Data rata – rata bilangan iod minyak biji bintaro


Tingkat Kematangan Buah Metode Ekstraksi Bilangan Iod
(I2/100 gram)
Matang Hot Hydraulic Pressing 61,63
Muda Hot Hydraulic Pressing 66,68
Kecambah Hot Hydraulic Pressing 62,16
Matang Hydraulic Pressing 51,08
Muda Hydraulic Pressing 69,90
Kecambah Hydraulic Pressing 74,93
Matang Ekstraksi Pelarut 60,30
Muda Ekstraksi Pelarut 67,12
Kecambah Ekstraksi Pelarut 85,19

b) Sidik ragam pengaruh tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi minyak terhadap bilangan
iod minyak biji bintaro

Ftabel Ftabel α= α=
Sumber Keragaman Db JK KT Fhitung
(α = 0.05) (α = 0.01) 0.05 0.01
Perlakuan 8
Tingkat Kematangan (Ei) 2 825,39 412,69 3518,08 4,26 8,02 BN BN
Jenis Ekstraksi (Vj) 2 177,64 88,82 757,18 4,26 8,02 BN BN
Interaksi (EVij) 4 498,84 124,71 1063,12 3,63 6,42 BN BN
Ek (ij) 9 1,05E+00 0,12
Total 17 1502,94
Keterangan : BN = Berbeda Nyata ; TBN = Tidak Berbeda Nyata

c) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh tingkat kematangan buah terhadap bilangan iod
minyak biji bintaro
Kelompok Kelompok
Tingkat Kematangan Rata-Rata Duncan Duncan
(α=0.05) (α=0.01)
Matang 57,67 A A
Muda 67,89 B B
Kecambah 74,09 C C

48
d) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh metode ekstraksi minyak terhadap bilangan iod
minyak biji bintaro
Kelompok Kelompok
Rata-
Metode Ekstraksi Duncan Duncan
Rata
(α=0.05) (α=0.01)
Hydraulic Pressing 63,49 A A
Hot Hydraulic Pressing 65,30 B B
Ekstraksi Pelarut 70,87 C C

e) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh interaksi antara perlakuan terhadap bilangan iod
minyak biji bintaro.
Kelompok Kelompok
Rata-
Perlakuan Duncan Duncan
Rata
(α=0.05) (α=0.01)
A2B1 51,08 A A
A3B1 60,30 B B
A1B1 61,63 C C
A1B3 62,16 D D
A1B2 66,67 E E
A3B2 67,12 F E
A2B2 69,90 G F
A2B3 74,92 H G
A3B3 85,19 I H
Keterangan : Huruf yang sama pada kelompok Duncan menunjukan taraf perlakuan tidak berbeda nyata
pada α=0.05 dan α=0.01

49
Lampiran 6. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Bilangan Penyabunan Minyak Biji
Bintaro

a) Data rata – rata bilangan penyabunan minyak biji bintaro


Tingkat Kematangan Buah Metode Ekstraksi Bilangan
Penyabunan
(mg KOH/g)
Matang Hot Hydraulic Pressing 205,08
Muda Hot Hydraulic Pressing 208,55
Kecambah Hot Hydraulic Pressing 184,83
Matang Hydraulic Pressing 206,70
Muda Hydraulic Pressing 190,78
Kecambah Hydraulic Pressing 197,13
Matang Ekstraksi Pelarut 199,76
Muda Ekstraksi Pelarut 194,53
Kecambah Ekstraksi Pelarut 182,66

b) Sidik ragam pengaruh tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi minyak terhadap bilangan
penyabunan minyak biji bintaro

Ftabel Ftabel α= α=
Sumber Keragaman Db JK KT Fhitung
(α = 0.05) (α = 0.01) 0.05 0.01
Perlakuan 8
Tingkat Kematangan (Ei) 2 748.59 374.29 3716.28 4.26 8.02 BN BN
Jenis Ekstraksi (Vj) 2 175.36 87.68 870.58 4.26 8.02 BN BN
Interaksi (EVij) 4 472.18 118.04 1172.04 3.63 6.42 BN BN
Ek (ij) 9 0.91 0.10
Total 17 1397.05
Keterangan : BN = Berbeda Nyata ; TBN = Tidak Berbeda Nyata

c) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh tingkat kematangan buah terhadap bilangan
penyabunan minyak biji bintaro
Kelompok Kelompok
Tingkat Kematangan Buah Rata-Rata Duncan Duncan
(α=0.05) (α=0.01)
Kecambah 188,21 A A
Muda 197,95 B B
Matang 203,85 C C

50
d) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh metode ekstraksi minyak terhadap bilangan
penyabunan minyak biji bintaro
Kelompok Kelompok
Rata-
Metode Ekstraksi Duncan Duncan
Rata
(α=0.05) (α=0.01)
Ekstraksi Pelarut 192,32 A A
Hydraulic Pressing 198,20 B B
Hot Hydraulic Pressing 199,48 C C

e) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh interaksi antara perlakuan terhadap bilangan
penyabunan minyak biji bintaro.
Kelompok Kelompok
Rata-
Perlakuan Duncan Duncan
Rata
(α=0.05) (α=0.01)
A3B3 182,66 A A
A1B3 184,82 B B
A2B2 190,77 C C
A3B2 194,53 D D
A2B3 197,13 E E
A3B1 199,75 F F
A1B1 205,08 G G
A2B1 206,70 H H
A1B2 208,55 I I
Keterangan : Huruf yang sama pada kelompok Duncan menunjukan taraf perlakuan tidak berbeda nyata
pada α=0.05 dan α=0.01

51
Lampiran 7. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Bilangan Peroksida Minyak Biji
Bintaro

a) Data rata – rata bilangan penyabunan minyak biji bintaro


Tingkat Kematangan Buah Metode Ekstraksi Bilangan
Peroksida
(mg O2/100g)
Matang Hot Hydraulic Pressing 5,61
Muda Hot Hydraulic Pressing 11,25
Kecambah Hot Hydraulic Pressing 22,10
Matang Hydraulic Pressing 31,65
Muda Hydraulic Pressing 19,56
Kecambah Hydraulic Pressing 9,31
Matang Ekstraksi Pelarut 5,85
Muda Ekstraksi Pelarut 7,59
Kecambah Ekstraksi Pelarut 9,41

b) Sidik ragam pengaruh tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi minyak terhadap bilangan
peroksida minyak biji bintaro

Ftabel Ftabel α= α=
Sumber Keragaman Db JK KT Fhitung
(α = 0.05) (α = 0.01) 0.05 0.01
Perlakuan 8
Tingkat Kematangan (Ei) 2 7,39 3,69 37,51 4,26 8,02 BN BN
Jenis Ekstraksi (Vj) 2 476,04 238,02 2415,58 4,26 8,02 BN BN
Interaksi (EVij) 4 786,45 196,61 1995,32 3,63 6,42 BN BN
Ek (ij) 9 0,89 0,09
Total 17 1270,77
Keterangan : BN = Berbeda Nyata ; TBN = Tidak Berbeda Nyata

c) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh tingkat kematangan buah terhadap bilangan
peroksida minyak biji bintaro
Kelompok Kelompok
Tingkat Kematangan
Rata-Rata Duncan Duncan
Buah
(α=0.05) (α=0.01)
Muda 12,79 A A
Kecambah 13,60 B B
Matang 14,36 C C

52
d) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh metode ekstraksi minyak terhadap bilangan
peroksida minyak biji bintaro
Kelompok Kelompok
Metode Ekstraksi Rata-Rata Duncan Duncan
(α=0.05) (α=0.01)
Ekstraksi Pelarut 7,62 A A
Hot Hydraulic Pressing 12,98 B B
Hydraulic Pressing 20,17 C C

e) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh interaksi antara perlakuan terhadap bilangan
penyabunan minyak biji bintaro
Kelompok Kelompok
Rata-
Perlakuan Duncan Duncan
Rata
(α=0.05) (α=0.01)
A1B1 5,60 A A
A3B1 5,85 A A
A3B2 7,59 B B
A2B3 9,31 C C
A3B3 9,41 C C
A1B2 11,25 D D
A2B2 19,55 E E
A1B3 22,09 F F
A2B1 31,64 G G
Keterangan : Huruf yang sama pada kelompok Duncan menunjukan taraf perlakuan tidak berbeda nyata
pada α=0,05 dan α=0,01

53
Lampiran 8. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Viskositas Minyak Biji Bintaro

a) Data rata – rata bilangan viskositas minyak biji bintaro


Tingkat Kematangan Buah Metode Ekstraksi Viskositas
(cP)
Matang Hot Hydraulic Pressing 62,5
Muda Hot Hydraulic Pressing 70
Kecambah Hot Hydraulic Pressing 60
Matang Hydraulic Pressing 64,4
Muda Hydraulic Pressing 66,4
Kecambah Hydraulic Pressing 64,5
Matang Ekstraksi Pelarut 63,25
Muda Ekstraksi Pelarut 69,7
Kecambah Ekstraksi Pelarut 59,7

b) Sidik ragam pengaruh tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi minyak terhadap
viskositas minyak biji bintaro

Ftabel Ftabel α= α=
Sumber Keragaman Db JK KT Fhitung
(α = 0.05) (α = 0.01) 0.05 0.01
Perlakuan 8
Tingkat Kematangan (Ei) 2 41,08 20,54 18,48 4,26 8,02 BN BN
Jenis Ekstraksi (Vj) 2 34,97 17,49 15,73 4,26 8,02 BN BN
Interaksi (EVij) 4 6,75 1,69 1,51 3,63 6,42 TBN TBN
Ek (ij) 9 10,00 1,11
Total 17 92,8
Keterangan : BN = Berbeda Nyata ; TBN = Tidak Berbeda Nyata

c) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh tingkat kematangan buah terhadap viskositas
minyak biji bintaro
Kelompok Kelompok
Tingkat Kematangan Buah Rata-Rata Duncan Duncan
(α=0.05) (α=0.01)
Kecambah 61,4 A A
Matang 63,3 B B
Muda 65,1 C C

54
d) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh metode ekstraksi minyak terhadap viskositas
minyak biji bintaro
Kelompok Kelompok
Metode Ekstraksi Rata-Rata Duncan Duncan
(α=0.05) (α=0.01)
Hot Hydraulic Pressing 62.16 A A
Ekstraksi Pelarut 62.4 A A
Hydraulic Pressing 65.23 B B
Keterangan : Huruf yang sama pada kelompok Duncan menunjukan taraf perlakuan tidak berbeda nyata
pada α=0.05 dan α=0.01

55
Lampiran 9. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Kadar Abu Minyak Biji Bintaro

a) Data rata – rata bilangan kadar abu minyak biji bintaro


Tingkat Kematangan Buah Metode Ekstraksi Kadar Abu
(%)
Matang Hot Hydraulic Pressing 0,08
Muda Hot Hydraulic Pressing 0,07
Kecambah Hot Hydraulic Pressing 0,19
Matang Hydraulic Pressing 0,04
Muda Hydraulic Pressing 0,05
Kecambah Hydraulic Pressing 0,01
Matang Ekstraksi Pelarut 0,39
Muda Ekstraksi Pelarut 0,13
Kecambah Ekstraksi Pelarut 0,21

b) Sidik ragam pengaruh tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi minyak terhadap kadar
abu minyak biji bintaro

Ftabel Ftabel α= α=
Sumber Keragaman Db JK KT Fhitung
(α = 0.05) (α = 0.01) 0.05 0.01
Perlakuan 8
Tingkat Kematangan (Ei) 2 0,02 0,01 2,41 4,26 8,02 TBN TBN
Jenis Ekstraksi (Vj) 2 0,14 0,07 14,64 4,26 8,02 BN BN
Interaksi (EVij) 4 0,06 0,02 3,19 3,63 6,42 TBN TBN
Ek (ij) 9 0,04 0,00
Total 17 0,27
Keterangan : BN = Berbeda Nyata ; TBN = Tidak Berbeda Nyata

c) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh metode ekstraksi minyak terhadap kadar abu
minyak biji bintaro
Kelompok Kelompok
Rata-
Metode Ekstraksi Duncan Duncan
Rata
(α=0.05) (α=0.01)
Hydraulic Pressing 0,03 A A
Hot Hydraulic Pressing 0,11 B A
Ekstraksi Pelarut 0,25 C B
Keterangan : Huruf yang sama pada kelompok Duncan menunjukan taraf perlakuan tidak berbeda nyata
pada α=0.05 dan α=0.01

56
Lampiran 10. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Kejernihan Minyak Biji Bintaro

a) Data rata – rata bilangan kejernihan minyak biji bintaro


Tingkat Kematangan Buah Metode Ekstraksi %Transmisi
Matang Hot Hydraulic Pressing 90,26
Muda Hot Hydraulic Pressing 38,35
Kecambah Hot Hydraulic Pressing 91,51
Matang Hydraulic Pressing 95,96
Muda Hydraulic Pressing 74,69
Kecambah Hydraulic Pressing 83,81
Matang Ekstraksi Pelarut 87,42
Muda Ekstraksi Pelarut 72,19
Kecambah Ekstraksi Pelarut 97,61

b) Sidik ragam pengaruh tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi minyak terhadap
kejernihan minyak biji bintaro.

Ftabel Ftabel α= α=
Sumber Keragaman Db JK KT Fhitung
(α = 0.05) (α = 0.01) 0.05 0.01
Perlakuan 8
Tingkat Kematangan (Ei) 2 3447 1723,50 6485,30 4,26 8,02 BN BN
Jenis Ekstraksi (Vj) 2 569,96 284,98 1072,34 4,26 8,02 BN BN
Interaksi (EVij) 4 1345,40 336,35 1265,63 3,63 6,42 BN BN
Ek (ij) 9 2,39 0,27
Total 17 5364,75
Keterangan : BN = Berbeda Nyata ; TBN = Tidak Berbeda Nyata

c) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh tingkat kematangan buah minyak terhadap
kejernihan minyak biji bintaro
Kelompok Kelompok
Tingkat Kematangan
Rata-Rata Duncan Duncan
Buah
(α=0.05) (α=0.01)
Muda 61,74 A A
Kecambah 90,97 B B
Matang 91,21 B B

57
d) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh metode ekstraksi minyak terhadap kejernihan
minyak biji bintaro

Kelompok Kelompok
Metode Ekstraksi Rata-Rata Duncan Duncan
(α=0.05) (α=0.01)

Hot Hydraulic Pressing 73,37 A A


Hydraulic Pressing 84,82 B B
Ekstraksi Pelarut 85,74 C C

e) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh interaksi antara perlakuan terhadap kejernihan
minyak biji bintaro

Kelompok Kelompok
Rata-
Perlakuan Duncan Duncan
Rata
(α=0.05) (α=0.01)
A1B2 38,34 A A
A3B2 72,18 B B
A2B2 74,69 C C
A2B3 83,81 D D
A3B1 87,42 E E
A1B1 90,26 F F
A1B3 91,50 G G
A2B1 95,96 H H
A3B3 97,61 I I
Keterangan : Huruf yang sama pada kelompok Duncan menunjukan taraf perlakuan tidak berbeda nyata
pada α=0,05 dan α=0,01

58
Lampiran 11. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Rendemen Minyak

a) Data rata – rata bilangan kejernihan minyak biji bintaro


Tingkat Kematangan Buah Metode Ekstraksi Rendemen (%)
Matang Hot Hydraulic Pressing 43,79
Muda Hot Hydraulic Pressing 42,62
Kecambah Hot Hydraulic Pressing 39,96
Matang Hydraulic Pressing 33,60
Muda Hydraulic Pressing 32,38
Kecambah Hydraulic Pressing 21,82
Matang Ekstraksi Pelarut 52,59
Muda Ekstraksi Pelarut 51,93
Kecambah Ekstraksi Pelarut 46,10

b) Sidik ragam pengaruh tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi minyak terhadap
rendemen minyak biji bintaro

Ftabel Ftabel α= α=
Sumber Keragaman Db JK KT Fhitung
(α = 0.05) (α = 0.01) 0.05 0.01
Perlakuan 8
Tingkat Kematangan (Ei) 2 191,29 95,64 36,28 4,26 8,02 BN BN
Jenis Ekstraksi (Vj) 2 1337,88 668,93 253,74 4,26 8,02 BN BN
Interaksi (EVij) 4 43,05 10,76 4,08 3,63 6,42 BN TBN
Ek (ij) 9 23,73 2,63
Total 17 1595,95
Keterangan : BN = Berbeda Nyata ; TBN = Tidak Berbeda Nyata

c) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh tingkat kematangan buah terhadap rendemen
minyak biji bintaro
Kelompok Kelompok
Tingkat Kematangan Buah Rata-Rata Duncan Duncan
(α=0.05) (α=0.01)
Kecambah 35,95 A A
Muda 42,30 B B
Matang 43,32 B B

59
d) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh metode ekstraksi minyak terhadap rendemen
minyak biji bintaro
Kelompok Kelompok
Metode Ekstraksi Rata-Rata Duncan Duncan
(α=0.05) (α=0.01)
Hydrolic Pressing 29,26 A A
Hot Hydrolic Pressing 42,12 B B
Ekstraksi Pelarut 50,20 C C

e) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh interaksi antara perlakuan terhadap rendemen
minyak biji bintaro.
Kelompok
Rata-
Perlakuan Duncan
Rata
(α=0.05)
A2B3 21,82 A
A2B2 32,38 B
A2B1 33,59 B
A1B3 39,96 C
A1B2 42,61 D
A1B1 43,78 D
A3B3 46,09 E
A3B2 51,92 F
A3B1 52,59 F
Keterangan : Huruf yang sama pada kelompok Duncan menunjukan taraf perlakuan tidak berbeda nyata
pada α=0.05 dan α=0.01

60
Lampiran 12. Grafik Gas Chromatography Spectrofotometry Mass

C18:1
C16

C18:2

61
KAJIAN PENGARUH TINGKAT KEMATANGAN DAN
METODE EKSTRAKSI TERHADAP MUTU MINYAK BIJI
BINTARO

SKRIPSI

DESTI PUSPITASARI

F34070120

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011
The Influence Analysis Between Fruit Maturity and Oil Extraction Method to

Quality of Bintaro Seed Oil

Desti Puspitasari
Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural technology,
Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java,
Indonesia.
Phone 0856 97966095, e-mail: puspitasaridesti@ymail.com

ABSTRACT

Cerbera manghas L. (Bintaro) is a small evergreen coastal tree that could grow up to 12 m
high. The color of leaves is shiny dark-green, ovoid in shape. Bintaro have a fairly high oil content of
about 43-64% in seeds so it can be developed into biofuels. There are several factors that influence
Bintaro seed oil quality, including the level of maturity and the used of extraction method. The
research objective was to study the influence between fruits maturity level and oil extraction method
on yield and quality of Bintaro seed oil. The fruits maturity level categorized into three
types: immature fruit (dark-green), fruits that were ripe (bright red) and fruits that have been
germinated. The extraction method of Bintaro seed oil consist of a mechanical pressing method using
a hydraulic presser and hot hydraulic presser, and maceration extraction using n-hexane solvent. The
greatest content of Bintaro seed was oil content which was 59,58 % for ripe Bintaro, 55,04 % for
immature Bintaro and 45,56 % for germinate Bintaro. In order to achieve the efficiency of Bintaro
seed extraction process, drying process was done earlier before the pressing stages. The oil obtained
from the extraction process were characterized for each treatment. Based on the analysis, the best
treatment for Bintaro seed oil production was the ripe fruit and extracted with maceration using n-
hexane solvent method with a yield of 52.59 %, free fatty acid levels of 2.75 %, iodine value number
was 60.31 I2/100g, peroxide value numbers was 5.85 mg O2 / g, saponification value number was
199.76 mg KOH / g, the viscosity value was 63 cP, the density value was 0.90 g/cm3, the %
transmission was 87.43 % and the ash content was 0.40 %.

Keywords : Bintaro, extraction, fruit maturity, bintaro seed oil,biofuel


DESTI PUSPITASARI. F34070120. Kajian Pengaruh Tingkat Kematangan Buah dan Metode
Ekstraksi Terhadap Mutu Minyak Bintaro . Di bawah bimbingan Sapta Raharja. 2011.
RINGKASAN

Bintaro (Cebera manghas L.) adalah tumbuhan atau pohon yang memiliki tinggi mencapai 12
meter dengan daun yang berwarna hijau tua mengkilat. Buah bintaro berbentuk bulat telur dengan
panjang 5 – 10 cm. Buah bintaro yang masih muda berwarna hijau pucat dan ketika masak berubah
menjadi merah cerah. Biji bintaro yang terdapat di dalam buah bintaro memiliki kandungan minyak
yang cukup tinggi sekitar 43-64 % sehingga dapat dikembangkan menjadi bahan bakar nabati. Bahan
bakar dengan mutu yang baik dihasilkan dari minyak murni dengan mutu yang baik juga. Terdapat
beberapa faktor yang berpengaruh terhadap mutu minyak bintaro, diantaranya adalah tingkat
kematangan dan metode ekstraksi yang digunakan. Tingkat kematangan biji bintaro dikatagorikan
menjadi tiga jenis yaitu buah bintaro yang masih muda (hijau), buah yang sudah masak (merah) dan
buah yang sudah berkecambah. Selain tingkat kematangan, metode ekstraksi juga sangat berpengaruh
terhadap mutu minyak biji bintaro. Metode ekstraksi minyak biji bintaro yang digunakan terdiri atas
pengepresan mekanis dengan menggunakan alat hydraulic presser dan hot presser hydraulic, dan
metode ekstraksi maserasi dengan pelarut n-Heksana.
Tujuan penelitian adalah untuk mempelajari pengaruh tingkat kematangan buah dan metode
ekstraksi minyak terhadap rendemen dan mutu minyak biji bintaro yang dihasilkan sehingga
mendapatkan karakteristik minyak biji bintaro yang terbaik. Pada biji bintaro didapatkan hasil bahwa
kandungan terbesar dari biji bintaro adalah kadar minyak yaitu 59,58 % untuk biji bintaro masak,
55,04 % untuk biji bintaro muda, dan 45,56 % untuk biji bintaro berkecambah. Sebelum dilakukan
pengepresan, dilakukan terlebih dahulu proses pengeringan biji agar tercapainya efisiensi proses
ekstraksi minyak biji bintaro. Minyak yang didapatkan dari proses ekstraksi dikarakterisasi untuk
setiap perlakukan. Karakterisasi minyak dilakukan dengan menganalisis bilangan asam, kadar asam
lemak bebas, bilangan iod, bilangan peroksida, bilangan penyabunan, densitas, viskositas, kadar abu,
% transmisi, dan % rendemen.
Berdasarkan hasil analisis, didapatkan perlakuan terbaik untuk produksi minyak biji bintaro
adalah minyak biji bintaro yang berasal dari buah yang sudah masak dan di ekstrak minyaknya dengan
menggunakan pelarut n-heksana dengan rendemen sebesar 52,59 %, kadar asam lemak bebas sebesar
2.75 %, nilai bilangan iod sebesat 60.30 g I2/100 g, nilai bilangan peroksida 5.85 mg O2/g, nilai
bilangan penyabunan 199.76 mg KOH/g, nilai viskositas 63 cP, nilai densitas 0.90 g/cm3, nilai %
transmisi 87.43 % dan nilai kadar abu 0.40 %.
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bintaro (Cebera manghas L.) merupakan tumbuhan atau pohon yang mempunyai tinggi
mencapai 12 m. Daunnya berwarna hijau tua mengkilat dan berbentuk buah telur. Buah bintaro
memiliki panjang 5 – 10 cm. Buah bintaro yang masih muda berwarna hijau pucat dan ketika masak
berubah menjadi merah cerah. Biji bintaro yang terdapat di dalam buah bintaro memiliki kandungan
minyak yang cukup tinggi. Kandungan minyak yang tinggi menyebabkan bintaro berpotensi sebagai
sumber minyak nabati dan dapat dikembangkan sebagai bahan bakar.
Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif yang dapat diperbaharui dan prospektif untuk
dikembangkan karena melonjaknya harga minyak bumi akibat terbatasnya produksi minyak bumi.
Terbatasnya produksi minyak bumi akibat ketersediaan energi fosil yang diramalkan tidak akan
berlangsung lama lagi memerlukan solusi yang tepat untuk mengatasinya, diantaranya adalah dengan
mencari sumber energi alternatif (biodiesel). Biodiesel diproduksi dari minyak murni melalui proses
transesterifikasi. Semakin baik mutu minyak murni maka mutu biodiesel yang dihasilkan akan
semakin baik. Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap mutu minyak bintaro diantaranya adalah
tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi yang digunakan.
Tingkat kematangan biji bintaro dapat dicirikan berdasarkan asal buah bintaro tersebut
dihasilkan. Buah yang masih terdapat di pohon berbeda tingkat kematangannnya dengan buah yang
sudah jatuh ke tanah begitu pula dengan buah yang sudah berkecambah. Buah yang sudah
berkecambah memiliki tingkat kematangan yang paling tinggi dibandingkan terhadap buah yang
masih terdapat di pohon dan buah yang jatuh ke tanah. Minyak bintaro yang dihasilkan dari buah
bintaro dengan tingkat kematangan yang berbeda memiliki kandungan asam lemak yang berbeda.
Kandungan asam lemak yang berbeda dapat mempengaruhi mutu minyak biji bintaro yang dihasilkan.
Selain tingkat kematangan, metode ekstraksi juga sangat berpengaruh terhadap mutu minyak
bintaro yang dihasilkan. Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan
mentah, daya penyesuaian dengan metode ekstraksi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang
sempurna. Pengepresan mekanis merupakan cara pemisahan minyak yang sesuai untuk bahan biji –
bijian dan memiliki kadar minyak yang tinggi. Ekstraksi minyak biji bintaro dapat dilakukan dengan
berbagai macam cara, diantaranya dengan menggunakan pelarut n – heksana dan dapat pula dilakukan
dengan menggunakan alat pengempa hidrolik.
Semakin baik kualitas minyak yang dihasilkan maka efisiensi proses pembuatan biodieselpun
semakin meningkat dan dapat menghasilkan mutu biodiesel yang lebih baik. Oleh karena itu, sangat
penting untuk dilakukan optimasi proses ekstraksi minyak biji bintaro dengan menggunakan biji
bintaro yang memiliki tingkat kematangan yang berbeda – beda.

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengkaji pengaruh tingkat kematangan dan metode
ekstraksi yang digunakan terhadap mutu minyak biji bintaro yang dihasilkan, (2) menentukan sifat
fisiko kimia minyak biji bintaro, (3) menentukan komposisi asam lemak yang terkandung di dalam
minyak biji bintaro melalui analisis Gas Chromatography Spectrofotometry Mass (GCMS), dan
(4) menentukan perlakuan proses terbaik untuk memperoleh minyak biji bintaro dengan kualitas yang
terbaik.

1
1.3. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini meliputi karakteristik minyak biji bintaro yang dihasilkan oleh
beberapa perlakuan seperti tingkat kematangan biji bintaro dan metode ekstraksi sehingga dapat
ditentukan proses yang terbaik untuk menghasilkan minyak biji bintaro dengan kualitas yang terbaik.

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. BINTARO (Cebera manghas)

Bintaro (Cebera manghas) termasuk tumbuhan mangrove yang berasal dari daerah tropis di
Asia, Australia, Madagaskar, dan kepulauan sebelah barat samudera pasifik. Pohon bintaro banyak
digunakan sebagai penghijauan dan juga sebagai penghias taman kota. Dinamakan Cerbera karena
bijinya dan semua bagian pohonnya mengandung racun yang disebut “cerberin” yaitu racun yang
dapat menghambat saluran ion kalsium di dalam otot jantung manusia, sehingga mengganggu detak
jantung dan dapat menyebabkan kematian (Gaillard et al. 2004). Pohon bintaro sering disebut juga
sebagai mangga laut, buta badak, babuto dan kayu gurita. Dalam bahasa inggris tanaman ini sering
disebut sebagai sea mango. Nama bintaro juga sering disematkan kepada teman dekatnya yang
bernama ilmiah Cebera odollam karena memiliki kemiripan dalam berbagai hal (Alamendah 2011).

Gambar 1. Pohon bintaro (Alamendah 2011)

Klasifikasi tanaman bintaro menurut Anonim (2011) adalah :


Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Division : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Division : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Class : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Subclass : Asteridae
Orde : Gentianales
Family : Apocynaceae
Genus : Cerbera
Spesies : Cerbera manghas L
Pohon bintaro memiliki tinggi 4 sampai 20 meter dengan akar tunggak dan berwarna coklat
dan batang yang berkayu, bulat dan berbintik. Daun tumbuhan bintaro berbentuk bulat telur (lonjong),
tepi rata, ujung dan pangkal meruncing, tipis, permukaan licin, pertulangan menyirip, panjang 15-20
cm, lebar 3-5 cm, berwarna hijau tua, dan tersusun berselingan. Bunga tumbuhan bintaro bersifat
majemuk, berkelamin dua, terletak di ujung batang, tangkai silindris, panjang 11 cm, hijau, kelopak
tidak jelas, tangkai putik panjang 2 - 2,5 cm, kepala sari coklat, kepala putik hijau keputih-putihan,
mahkota bentuk terompet, halus, putih, bunganya harum dengan mahkota berdiameter 3-5cm

3
berbentuk terompet dengan pangkal merah muda, dan benang sari berjumlah lima dan posisi bakal
buah tinggi. Buah berbentuk telur dengan panjang 5 – 10 cm. buah bintaro yang masih muda berwarna
hijau sementara buah yang sudah tua berwarna merah kehitaman. Biji bintaro berbentuk pipih,
panjang, dan berwarna putih (Chang et al. 2000).

(a) (b) (c) (d) (e)


Gambar 2. (a) akar, (b) batang, (c) daun, (d) bunga, dan (e) buah bintaro (Pranowo 2010)

Buah bintaro terdiri atas tiga lapisan (Gambar 3), yaitu lapisan kulit terluar (epikarp), lapisan serat
seperti sabut kelapa (mesokarp) dan bagian biji yang dilapisi oleh kulit biji atau tista (endokarp).
Bagian mesokarp dapat diperas sebagai bahan biopestisida, sedangkan bijinya disamping untuk bahan
biopestisida juga dapat diperah untuk menghasilkan minyak nabati sebagai bahan baku biodiesel
(Pranowo 2010).

Gambar 3. (a) kulit (epikarp) (b) sabut (mesokarp), dan (c) biji (endokarp) (Pranowo 2010)

2.2. MINYAK BINTARO

Lemak atau minyak merupakan trigliserida yang merupakan ester dari gliserol dan asam
lemak rantai panjang. Minyak nabati terdapat dalam buah – buahan, kacang – kacangan, biji – bijian,
akar tanaman, dan sayur – sayuran. Dalam jaringan hewan lemak terdapat di seluruh badan, tetapi
jumlah terbanyak terdapat dalam jaringan adipose dan jaringan tulang sumsum. Sebagian besar
minyak nabati berbentuk cair karena mengandung sejumlah asam lemak tidak jenuh yaitu asam oleat,
linoleat, atau asam linolenat dengan titik cair rendah. Lemak dalam tanaman dibentuk dalam sel
hidup, yang merupakan hasil serangkaian reaksi yang kompleks dalam proses metabolisme (Ketaren
1986).
Asam lemak bersama-sama dengan gliserol, merupakan penyusun utama minyak nabati
atau lemak dan merupakan bahan baku untuk semua lipida pada makhluk hidup. Asam lemak
tidak lain adalah asam alkanoat atau asam karboksilat berderajat tinggi (rantai C lebih dari 6). Rumus
molekulnya adalah : CnH2n O2.

4
O

R – C – OH atau R–COOH
Gambar 4. Gugus fungsi asam lemak (Ketaren 1986)

Karena berguna dalam mengenal ciri-cirinya, asam lemak dibedakan menjadi asam lemak jenuh
dan asam lemak tak jenuh. Asam lemak jenuh hanya memiliki ikatan tunggal di antara atom-atom
karbon penyusunnya, sementara asam lemak tak jenuh memiliki paling sedikit satu ikatan ganda
di antara atom-atom karbon penyusunnya. Asam lemak merupakan asam lemah, dan dalam air
terdisosiasi sebagian. Umumnya berfase cair atau padat pada suhu ruang (27 °C). Semakin panjang
rantai C penyusunnya, semakin mudah membeku dan juga semakin sukar larut (Anonim 2010).
Asam lemak jenuh bersifat lebih stabil (tidak mudah bereaksi) daripada asam lemak tak
jenuh. Ikatan ganda pada asam lemak tak jenuh mudah bereaksi dengan oksigen (mudah teroksidasi).
Keberadaan ikatan ganda pada asam lemak tak jenuh menjadikannya memiliki dua bentuk: cis
dan trans. Semua asam lemak nabati alami hanya memiliki bentuk cis (dilambangkan dengan
"Z"). Asam lemak bentuk trans fatty acid, dilambangkan dengan "E") hanya diproduksi oleh
sisa metabolisme hewan atau dibuat secara sintetis. Akibat polarisasi atom H, asam lemak cis
memiliki rantai yang melengkung. Asam lemak trans karena atom H-nya berseberangan tidak
mengalami efek polarisasi yang kuat dan rantainya tetap relatif lurus (Anonim 2010).
Menurut Edi (2011), biji Bintaro mengandung lemak/minyak sebesar 46 - 64%. Sementara
itu, menurut Chang et al. (2000), biji bintaro mengandung minyak yang cukup banyak (54,33%) dan
berpotensi digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Menurut Pranowo (2010), komposisi kulit, sabut,
dan tista buah bintaro sebesar 94,76 persen dan komposisi biji adalah 5,24 persen biji basah atau
hanya sebanyak 3,10 persen biji kering dari buah panen. Sementara itu, komposisi kimia minyak
bintaro dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Komposisi asam lemak penyusun trigliserida minyak biji bintaro


Asam Lemak Nama Sistematik Hasil Analisis (%)
Miristat Tetradekanoat 0,17
Palmitat Heksadekanoat 17,90
Stearat Oktadekanoat 4,38
Oleat cis-9-oktadekenoat 36,64
Linoleat cis-9,12-oktadekadienoat 23,44
Linolenat cis-9,12,15-oktadekatrienoat 2,37
Sumber : Endriana (2011)

Minyak biji bintaro itu bisa memiliki daya bahan bakar selama 11,8 menit, sedangkan
minyak tanah 5,6 menit dengan takaran 1 ml minyak biji bintaro dan minyak tanah. Itu menunjukkan
bahwa minyak biji Bintaro memiliki daya bakar dua kali lebih lama dibandingkan minyak tanah.
Ampas kering biji bintaro dapat diolah menjadi briket arang atau diolah menjadi kompos untuk pupuk
tanaman sehingga, dalam proses ini tidak menghasilkan sampah (zero waste) (Adrian 2009).
Tingkat kematangan buah bintaro dapat dilihat dari warna buah bintaro dimana buah
mudanya berwarna hijau pucat, tuanya berwarna merah cerah, dan setelah berkecambah berwarna
coklat. Menurut Muchtadi (1992), selama proses pematangan buah akan terjadi degradasi klorofil
sehingga kandungan klorofil menjadi rendah dan muncul warna dari pigmen lainnya, hal ini

5
menyebabkan buah berubah warnanya menjadi kuning, orange atau merah. Menurut Anonim (2010),
minyak yang mula – mula terbentuk dalam buah adalah trigliserida yang mengandung asam lemak
bebas jenuh, dan setelah mendekati masa pematangan buah terjadi pembentukan trigliserida yang
mengandung asam lemak tidak jenuh. Minyak yang terbentuk dalam daging buah maupun dalam inti
terbentuk emulsi pada kantong – kantong minyak, dan agar minyak tidak keluar dari buah dilapisi
dengan kulit yang tebal dan berkilat. Untuk melindungi minyak dari oksidasi yang dirangsang maka
tanaman tesebut membentuk senyawa kimia pelindung yaitu karotein. Setelah penyerbukan kelihatan
buah berwarna hitam kehijau-hijauan. Pada saat pembentukan minyak terjadi yaitu trigliserida dengan
asam lemak tidak jenuh, tanaman membentuk karotein dan phitol untuk melindungi dari oksidasi,
sedangkan klorofil tidak mampu melakukannya sebagai antioksidasi.

2.3. EKSTRAKSI MINYAK

Ekstraksi adalah suatu cara untuk mendapatkan minyak atau lemak dari bahan yang diduga
mengandung minyak atau lemak. Adapun cara ekstraksi ini bermacam – macam, yaitu rendering (dry
rendering dan wet rendering), mechanical expression, dan solvent extraction. Rendering merupakan
suatu cara ekstraksi minyak atau lemak dari bahan yang mengandung minyak atau lemak dengan
kadar air tinggi (Ketaren 1986). Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari
bahan mentah, daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi dan kepentingan dalam
memperoleh ekstrak yang sempurna (Ansel 1989).
Pengepresan mekanis (mechanical expression) merupakan suatu cara ekstraksi minyak atau
lemak, terutama untuk bahan yang berasal dari biji – bijian. Cara ini dilakukan untuk memisahkan
minyak dari bahan yang berkadar minyak tinggi (30 – 70 persen). Pada pengepresan mekanis ini
diperlukan perlakuan pendahuluan sebelum minyak atau lemak dari bijinya. Perlakuan pendahuluan
tersebut meliputi pembuatan serpih, perajangan dan penggilingan serta tempering atau pemasakan.
Dua cara umum dalam pengepresan mekanis, yaitu pengepresan hidraulik (hydraulic pressing) dan
pengepresan berulir (expeller pressing) (Ketaren 1986).
Pada cara pengepresan hidraulik (hydraulic pressing), bahan dipres dengan tekanan sekitar
2000 pound/inch2 (140,6 kg/cm = 136 atm). Banyaknya minyak atau lemak yang dapat diekstraksi
tergantung dari lamanya pengepresan, tekanan yang dipergunakan, serta kandungan minyak dalam
bahan asal. Sedangkan banyaknya minyak yang tersisa pada bungkil bervariasi sekitar 4 sampai 6
persen, tergantung lamanya bungkil ditekan dibawah tekanan hidraulik (Ketaren 1986). Cara
pengepresan berulir (expeller pressing) memerlukan perlakuan pendahuluan yang terdiri dari proses
pemasakan atau tempering. Proses pemasakan berlangsung pada remperatur 240 °F (115,5 °C) dengan
tekanan berkisar sekitar 15 – 20 ton/inch2. Kadar air minyak atau lemak yang dihasilkan berkisar
sekitar 2,5 – 3,5 persen, sedangkan bungkil yang dihasilkan masih mengandung minyak sekitar 4 – 5
persen (Ketaren 1986)
Ekstraksi dengan pelarut (solvent extraction) adalah ekstraksi dengan melarutkan minyak
dalam pelarut minyak dan lemak. Pada cara ini dihasilkan bungkil dengan kadar minyak yang rendah
yaitu sekitar 1 persen atau lebih rendah, dan mutu minyak yang dihasilkan cenderung menyerupai
hasil dengan cara expeller pressing, karena sebagian fraksi bukan minyak akan ikut terekstraksi.
Pelarut minyak atau lemak yang dipergunakan dalam proses ekstraksi dengan pelarut menguap adalah
petroleum eter, gasoline karbon disulfide, karbon tetraklorida, benzene dan n – heksan (Ketaren
1986).

6
Menurut Voigt (1994), pada proses ekstraksi dengen pelarut pada dasarnya dibedakan
menjadi dua fase yaitu fase pencucian dan fase ekstraksi.
 Fase Pencucian (Washing Out)
Pada saat penggabungan pelarut dengan simplisia, maka sel – sel yang rusak karena proses
pengecilan ukuran langsung kontak dengan bahan pelarut. Komponen sel yang terdapat pada
simplisisa tersebut dengan mudah dilarutkan dan dicuci oleh pelarut. Dengan adanya proses tersebut,
maka dalam fase pertama ini sebagian bahan aktif telah berpindah ke dalam pelarut. Semakin halus
ukuran simpisia, maka semakin optimal jalannya proses pencucian tersebut.
 Fase ekstraksi (Difusi)
Pada fase difusi, pelarut menarik senyawa senyawa yang ada di dalam sel dengan cara
menembus dinding sel terlebih dahulu. Pelarut dapat masuk ke dalam sel karena adanya perbedaan
konsenterasi antara larutan dalam sel dengan pelarut yang mula – mula masih tanpa bahan aktif .
proses penarikan ini akan berlangsung sampai terbentuk keseimbangan konsenterasi antara di sebelah
dalam dan sebelah luar sel.
Tahapan yang harus diperhatikan dalam mengekstraksi jaringan tumbuhan adalah penyiapan
bahan sebelum ekstraksi, pemilihan pelarut dan kondisi proses ektraksi, proses pengambilan pelarut
pengawasan mutu, dan pengujian yang dikenal pula sebagai tahappan penyelesaian. Penggunaan
pelarut bertitik didih tinggi menyebabkan adanya kemungkinan kerusakan komponen – komponen
senyawa penyusun pada saat pemanasan. Pelarut yang digunakan harus bersifat inert terhadap bahan
baku, mudah didapat, dan harganya murah (Sabel dan Waren 1973).
Dalam pemilihan cairan penyari harus memenuhi beberapa kriteria, antara lain murah dan
mudah diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral tidak mudah menguap, dan tidak
mudah terbakar, selektif. Selektif yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki, tidak
mempengaruhi zat berkhasiat, dan diperbolehkan oleh peraturan (Ketaren 1986).
Menurut Ketaren (1986), pelarut yang sering digunakan dalam ekstraksi minyak lemak
adalah petroleum eter, gasoline, karbon disulfide, karbon tetraklorida, benzene, dan n – heksana.
Menurut Rose et al (1975) dan Jacobs (1953), heksana merupakan pelarut yang mudah menguap,
aromanya memusingkan, bobot molekul 86,2, titik didih pada tekanan 760 mmHg 66-71 °C dan
banyak digunakan sebagai pelarut. Kelarutan 0,0138g/100 ml dalam air pada suhu 15,5 °C, 50
gram/100ml dalam air pada 33°C, larut dalam eter, sangat larut dalam kloroform. Heksana merupakan
cairan yang tidak berwarna, mudah menguap, sangat mudah terbakar, titik leleh – 95 °C, larut dalam
alkohol, aseton, eter, dan tidak larut dalam air.
Menurut Kurnia (2010), ekstraksi dengan pelarut dapat dilakukan dengan cara dingin dan
cara panas. Cara dingin yaitu metode maserasi dan perkolasi, sedangkan cara panas antara lain dengan
refluks, soxhlet, digesti, destilasi uap dan infuse. Refluks merupakan ekstraksi pelarut pada suhu
didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatasyang relatif konstan dengan adanya
pendingin balik. Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru menggunakan alat
khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya
pendingin balik. Digesti adalah maserasi kinetik pada suhu lebih tinggi dari suhu kamar 40 – 50 °C.
Destilasi uap adalah ekstraksi zat kandungan menguap dengan fase uap air dari ketel secara kontinyu
sampai sempurna dan diakhiri dengan kondensasi fase uap campuran menjadi destilasi air bersama
kandungan yang memisah sempurna atau sebagian. Infuse adalah ekstraksi pelarut air pada suhu
penangas air 96 – 98 °C selama 15 – 20 menit.
Istilah maserasi berasal dari bahasa latin “macerace” yang artinya mengairi, melunakkan,
merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana. Proses pengerjaan dilakukan dengan cara merendam
simplisia dalam pelarut. Pelarut akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang

7
mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut karena adanya perbedaan konsenterasi antara larutan zat
aktif di dalam sel dengan di luar sel, maka larutan akan didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang
sehingga terjadi keseimbangan konsenterasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Keuntungan
dari metode maserasi adalah peralatannya sederhana. Kerugian metode maserasi adalah waktu yang
dibutuhkan untuk mengekstraksi sampel cukup lama, cairan penyari yang digunakan lebih banyak,
dan tidak dapat digunakan untuk bahan – bahan yang memiliki tekstrur keras seperti benzoin, tiraks,
dan lilin. Metode maserasi dapat dilakukan dengan beberapa modifikasi, diantaranya adalah
modifikasi maserasi melingkar, modifikasi maserasi digesti, modifikasi maserasi melingkar
bertingkat, modifikasi remaserasi dan modifikasi maserasi dengan mesin berpengaduk (Sudjadi 1986).

2.4. MINYAK NABATI

Lemak atau minyak yang dapat dimakan (edible fat), dihasilkan oleh alam, yang dapat
bersumber dari bahan nabati dan hewani. Dalam tanaman atau hewan, minyak tersebut berfungsi
sebagai sumber cadangan energi. Minyak dalam tanaman dibentuk dalam sel hidup, yang merupakan
hasil dari serangkaian reaksi yang kompleks dalam proses metabolisme. Adapun perbedaan umum
antara lemak nabati dan hewani adalah lemak hewani mengandung kolesterol sedangkan lemak nabati
mengandung fitosterol, kadar asam lemak tidak jenuh dalam lemak hewani lebih kecil dari lemak
nabati, dan lemak hewani memiliki bilangan Reichert Meissl lebih besar serta bilangan Polenske lebih
kecil dibandingkan dengan minyak nabati.
Minyak atau lemak nabati adalah minyak yang diekstrak dari berbagai bagian tumbuhan.
Sumber dari minyak nabati dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Biji – bijian palawija : minyak jagung, biji kapas, kaang, rape seed, wijen, kedelai, dan
bunga matahari,
2. Kulit buah tanaman tahunan : minyak zaitun dan kelapa sawit
3. Biji – bijian dari tanaman tahunan : kelapa, cokelat, inti sawit, babassu, cohune, dan
sebagainya (Ketaren 1986).
Komposisi atau jenis asam lemak dan sifat fisiko-kimia tiap jenis minyak berbeda – beda.
Hal ini disebabkan oleh perbedaan sumber, iklim, keadaan tempat tumbuh, dan pengolahan.
Tanaman jarak (Jatropha curcas L) adalah tanaman semak yang tahan kekeringan dan dapat tumbuh
dengan cepat hingga mencapai 3-5 meter. Biji jarak bagar terdiri atas 75 persen biji dan 25 persen
kulit (Ketaren 1986). Komposisi kimia jarak pagar terdiri atas 54,59 persen minyak, 9,13 persen
karbohidrat, 2,82 persen serat, 4,13 persen abu, 24,85 persen protein (Achten et al 2008). Minyak
jarak mempunyai sifat sangat beracun di samping kandungan asam esensialnya yang sangat rendah
sehingga tidak dapat digunakan sebagai minyak pangan atau bahan pangan (Ketaren 1986).
Kandungan asam lemak minyak jarak pagar didominasi oleh asam palmitat, asam oleat, dan asam
linoleat (Tabel 2). Adapun sifat fisiko kimia dari minyak jarak pagar dapat dilihat dari Tabel 3.

8
Tabel 2. Kandungan asam lemak pada minyak jarak pagar
Jenis Asam lemak Komposisi (%)
Asam palmitat 14,1
Asam palmitoleat 0,5
Asam stearat 6,8
Asam oleat 38,6
Asam linoleat 36,0
Asam arasidat 0,2
Asam gadoleat 3,6
Sumber :Janin dan Sharma (2010)

Tabel 3. Sifat fisikokimia minyak jarak pagar


Sifat Minyak Satuan Nilai
Densitas pada 15 °C gr/ ml 0,860 – 0,920
Viskositas pada 30 °C cP 37,00 – 54,80
Nilai Kalor mj/kg 37,83 – 42,05
Titik Tuang °C -3
Titik awan °C 2
Titik nyala °C 210 – 240
Bilangan penyabunan mg KOH/g 102,9 – 209,0
Bilangan tak tersabunkan % 0,79 – 3,80
Bilangan iod mg iodine/g 92 – 112
Asam lemak bebas % 0,18 – 3,40
Bilangan Asam mg KOH/ g 0,92 – 6,16
Sulfur % 0,00 – 0,13
Residu karbon % 0,07 – 0,64
Monogliserida % Maks. 1,7
Digliserida % 2,50 – 2,70
Trigliserida % 88,20 – 97,30
Sumber : Achten et al (2008)

Tanaman kelapa sawit ( Elaeis guinensis) adalah tanaman yang termasuk dalam family
Palmae. Kelapa sawit tumbuh dengan baik pada daerah beriklim tropis dengan curah hujan 2000
mm/tahun dan kisara suhu 22 °C – 32 °C. Minyak kelapa sawit dapat berasal dari daging buah kelapa
sawit (crued palm oil) dan inti kelapa sawit (palm kernel oil). Kelapa sawit mengandung lebih kurang
80 persen perikarp dan 20 persen buah yang dilapisi kulit yang tipis. Kadar minyak dalam perikarp
sekitar 30 – 40 persen (Ketaren 1986). Rata – rata komposisi asam lemak minyak biji sawit dapat
dilihat pada Tabel 4 dan sifat fsikokimia minyak kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 5.

9
Tabel 4. Kandungan asam lemak pada minyak kelapa sawit
Asam Lemak Minyak Kelapa Sawit Minyak Inti Sawit (persen)
(persen)
Asam kaprilat - 3–4
Asam kaproat - 3–7
Asam laurat - 46 – 52
Asam miristat 1,1 – 2,5 14 – 17
Asam palmitat 40 – 46 6,5 – 9
Asam stearat 3,6 – 4,7 1 – 2,5
Asam oleat 39 – 45 13 – 19
Asam linoleat 7 - 11 0,5 – 2
Sumber : Eckey, S.W (1955)

Tabel 5. Sifat fisikokimia minyak kelapa sawit


Sifat Minyak Satuan Nilai
Asam lemak bebas % 3–5
Kadar air % < 0,1
Pengotoran % <0,01
Besi ppm < 10
Tembaga ppm 0,2
Bilangan iodium mg iod/g 45 – 56
Karotena ppm 500 -700
Sumber : Ketaren (1986)

Nyamplung (Calophyllum inophyllum L) merupakan tanaman yang banyak tumbuh di


sepenjang pantai di seluruh Indonesia. Menurut Heyne (1987), inti biji mengandung air 3,3 persen dan
minyak 71,4 persen bila biji segar mengandung 55 persen minyak sedangkan biji yang benar-benar
kering mengandung 70,5 persen minyak. Minyak yang berasal dari bijinya dapat dipakai sebagai
penerangan, pembuatan sabun, pelitur, minyak rambut, minyak urut dan obat (Dephut 2008).
Karakteristik dan komposisi asam lemak minyak dapat dilihat pada Tabel 6 dan Tabel 7

Tabel 6. Karakteristik minyak nyamplung


Karakteristik Minyak Satuan Nilai
Air % 0,25
Densitas g/ml 0,944
Kekentalan cP 21,97
Bilangan Asam mg KOH/g 59,94
Asam lemak bebas % 29,53
Bilangan penyabunan mg KOH/g 198,1
Bilangan Iod mg/g 86,42
Sumber : SNI 04-7182-2006

10
Tabel 7. Komposisi asam lemak minyak nyamplung
Komponen Minyak Nyamplung Nilai (persen)
Asam miristat 0,09
Asam palmitat 15,89
Asam stearat 12,30
Asam oleat 48,49
Asam linoleat 20,70
Asam lonolenat 0,27
Asam arachidat 0,94
Asam erukat 0,72
Sumber : Sudrajat (2007)

11
III. METODOLOGI

3.1. Alat dan Bahan

3.1.1. Alat

Alat – alat yang digunakan dalam penelitian ini, terdiri atas cawan alumunium, oven,
desikator, piknometer, elemeyer 250 ml, elemeyer 300 ml, elenmeyer 100 ml, elemeyer 500 ml, pipet
tetes, pipet volumetric, pemanas listrik, timbangan, soxlet, alat maserasi, rotary evaporator, Hydraulic
Presser, dan Hot Press Hydraulic.

3.1.2. Bahan

Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah bintaro dengan berbagai
tingkat kematangan. Bahan – bahan kimia yang digunakan untuk reaksi dan analisis antara lain
chloroform, kalium iodida, natrium thiosulfat, NaOH, KOH, HCL 0.5 N, alkohol 95%, air destilata,
indikator pp, indikator amilum 1 %, larutan Hanus, dan asam asetat.

3.2. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan dibagi menjadi dua, yaitu penelitian pendahuluan dan
penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menyiapkan bahan ekstraksi minyak biji
bintaro. Sementara itu, penelitian utama dilakukan untuk mendapatkan metode ekstraksi yang terbaik
dengan menggunakan tingkat kematangan buah yang berbeda. Diagram alir penelitian disajikan pada
Gambar 5 , sedangkan diagram alir tahapan ekstraksi minyak biji bintaro disajikan pada Gambar 6.
Mulai

Pengambilan sampel buah bintaro yang berasal dari buah yang sudah
jatuh ke tanah (berwarna merah), buah bintaro yang berasal dari
tangkai pohon, dan buah bintaro yang sudah berkecambah

Pemisahan biji buah dengan serat dan kulit buah bintaro

Analisis proksimat biji bintaro

Ekstraksi minyak biji bintaro dengan menggunakan alat hot presser


hydraulic, hydraulic presser, dan pelarut n-heksana

Analisis sifat fisiko kimia minyak biji bintaro

Penentuan perlakuan proses yang terbaik

Analisa Gas Chromatography Spectrofotometry Mass

Selesai
Gambar 5. Diagram alir tahapan penelitian

12
1. Buah bintaro muda
(hijau)

2. Buah bintaro tua


Biji Bintaro
(merah kehitaman)

3. Buah bintaro
Pengupasan berkecambah

1. Kadar Air Pengeringan biji pada suhu 55 °C

2. Kadar Abu

3. Kadar Lemak
Biji buah kering
4. Kadar Serat

5. Kadar Karbohidrat
Analisa Proksimat
6. Kadar Protein

Penghancuran biji bintaro

1. Ekstraksi dengan Hot Presser


Hydraulic (T = 60-70 °C, P =
Ekstraksi
20 Ton)

2. Ekstraksi dengan Hydraulic


Presser (P=20Ton)
Minyak Biji
3. Ekstraksi Pelarut (maserasi) Bintaro
1. Rendemen
Pelarut = n-Heksana
2. Bobot jenis
Analisa Fisiko Kimia
3. Bilangan Asam

4. Bilangan Iod

Minyak Biji Bintaro 5. Bilangan Penyabunan


Analisa Gas Chromatography
terpilih
Spectrofotometry Mass 6. Bilangan Peroksida

7. Viskositas

8. Kejernihan (%Transmisi)

9. Kadar Abu

Gambar 6. Diagram alir tahapan ekstraksi minyak biji bintaro

13
3.2.1. Penelitian Pendahuluan

Persiapan bahan untuk ekstraksi minyak meliputi sortasi (pemilihan buah bintaro berdasarkan
tingkat kematangan), pemisahan biji buah dengan serat dan kulit buah, pengeringan biji buah selama
48 jam pada suhu 55 °C, dan analisis proksimat pada biji yang telah dikeringkan. Pengeringan
bertujuan untuk mengurangi kadar air yang terdapat di dalam biji. Menurut Norris (1982), minyak
yang diperoleh dengan pengempaan mekanis dipengaruhi oleh kandungan air, metode pemanasan, dan
komposisi kimia biji. Menurut Hartanti (1995), pengeringan dimaksudkan untuk memudakan
pengeluaran minyak pada waktu ekstraksi sehingga waktu ekstraksi menjadi lebih singkat. Dengan
adanya pemanasan, butiran – butiran lemak minyak dapat membentuk butiran – butiran yang lebih
besar dan protein yang mengikat lemak akan terkoagulasi sehingga butiran ini akan lebih mudah
keluar dari biji. Pemanasan juga dapat menurunkan afinitas minyak terhadap permukaan biji, sehingga
minyak dapat diekstrak dengan pengepresan. Menurut Swern (1979), pemanasan dapat memberikan
sifat plastis biji, mengurangi kelarutan fosfatida, destruksi kapang dan bakteri, serta dapat
meningkatkan fluiditas minyak. Pemanasan yang terlalu lama pada suhu yang tinggi akan menurunkan
mutu organoleptik minyak. Suhu oven yang digunakan pada penelitian ini adalah 55 °C. Suhu tersebut
didasarkan atas pernyataan oleh Whiteley et al. (1949) bahwa suhu yang baik untuk ekstraksi minyak
secara mekanis adalah 50 – 60 °C, karena pada suhu tersebut lemak sudah mencair sekaligus dapat
menggumpalkan protein yang terdapat pada dinding sel dan memecahkan emulsi protein dengan
lemak. Prosedur analisis proksimat dapat dilihat pada Lampiran 1.

3.2.2. Penelitian Utama

Penelitian yang dilakukan meliputi kajian proses ekstraksi minyak biji bintaro dengan tingkat
kematangan buah yang berbeda. Faktor – faktor yang dipelajari adalah pengaruh tingkat kematangan
buah dan metode ekstraksi yang digunakan. Biji bintaro yang telah dikeringkan, dikecilkan ukurannya
sampai sekitar 40 mesh dengan menggunakan blender untuk selanjutnya dilakukan ekstraksi dengan
menggunakan pelarut n-heksana melalui maserasi, hydraulic presser, dan hot press hydraulic. Ukuran
partikel akan mempengaruhi rendemen yang dihasilkan semakin kecil ukuran partikel, maka
rendemen minyak yang didapat akan semakin besar. Hal ini dikarenakan semakin kecil ukuran
partikel maka luas permukaan biji yang bereaksi dengan pelarut akan semakin besar sehingga kontak
antara biji bintaro dengan pelarut akan semakin besar. Ekstraksi dengan pelarut n-heksana dilakukan
dengan metode maserasi pada suhu ruang selama ±15 jam dan suhu 40 °C selama 6 jam, dengan
perbandingan pelarut adalah 1:3(w/v).
Ekstraksi dengan alat hydraulic presser dilakukan pada tekanan 20 ton pada suhu ruang
(Gambar 7). Sementara itu, ekstraksi dengan menggunakan alat hot press hydraulic dilakukan dengan
mengepress minyak pada tekanan 20 ton pada suhu 60 – 70 0C (Gambar 8). Pada ekstraksi minyak
dengan menggunakan hydraulic presser dan hot press hydraulic, biji yang telah dikecilkan ukurannya
dibungkus terlebih dahulu di dalam kain saring. Biji bintaro yang akan dikempa dibungkus dengan
kain atau cages agar bungkil dapat tertahan. Jumlah minyak yang diperoleh dengan cara ini
dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang berkaitan dengan afinitas minyak dalam biji, lama
pengempaan, tekanan maksimum, dan viskositas minyak dalam biji (Bailey 1950). Tekanan yang
digunakan pada pengepresan mekanis dengan mesin hot press adalah sekitar 2000 lb/in2 (140,6
kg/cm2) dan suhunya berkisar antara 50 – 60 °C (Ketaren 1986). Menurut Jamieson (1943),
pengempaan sebaiknya dilakukan dengan jalan menaikkan tekanan perlahan – lahan sampai mencapai
tekanan optimum yaitu sebesar 1800 – 2000 psi dan lama pengempaan 20 – 30 menit. Suhu hot
hydraulic pressing yang digunakan dalam penelitian ini adalah 60-70 °C karena didasarkan atas

14
penelitian yang dilakukan oleh Vitriani (2003). Pada penelitian tersebut minyak diekstraksi dengan
alat hot hydraulic presser menggunakan tiga jenis perlakuan suhu yaitu 30 – 40 °C, 50-60 °C, dan 70
– 80 °C. Dari hasil penelitian, didapat hasil bahwa rendemen minyak terbesr terdapat pada ekstraksi
dengan suhu 70 – 80 °C dan 50- 60 °C sehingga digunakan gabungan suhu diantara keduanya yaitu
60-70 °C.
Pada ekstraksi minyak dengan pelarut n-heksana dengan metode maserasi dengan digesti
dilakukan dengan merendam biji dalam pelarut n – heksana selama 15 jam selanjutnya dilakukan
proses ekstraksi pada suhu 40 °C dalam waktu 6 jam. Setelah dilakukan ekstraksi, minyak yang
terdapat di dalam pelarut n – heksana dipisahkan dengan bungkil dengan menggunakan penyaring
vakum untuk selanjutnya dilakukan pemisahan larutan n-heksana dengan minyak dengan
menggunakan alat rotary evaporator dengan suhu 70 °C (Gambar 9). Menurut Kurnia (2010), digesti
adalah maserasi kinetik pada suhu yang lebih tinggi dari suhu kamar yaitu 40 – 50 °C. Maserasi
dengan pengadukan merupakan metode ekstraksi dengan maserasi yang dapat mempercepat waktu
menjadi 6 sampai 24 jam (Ahmad 2006). Pada ekstraksi dengan metode ini, biji bintaro direndam di
dalam pelarut n-heksan selama ± 15 jam. Hal tersebut dimaksudkan agar terjadi proses pencucian
(washing out) dan fase ekstraksi (difusi). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa proses
ekstraksi dibedakan menjadi dua fase yaitu fase pencucian (washing out) dan fase ekstraksi (difusi).
Fase washing out merupakan proses pencucian atau penarikan minyak yang terdapat di luar
sel oleh pelarut. Fase berikutnya adalah fase ekstraksi dimana pelarut heksana menarik senyawa –
senyawa yang ada di dalam sel dengan menembus dinding sel terlebih dahulu. Pelarut masuk ke dalam
sel karena adanya perbedaan konsenterasi antara larutan dalam sel dengan pelarut yang mula – mula
masih tanpa bahan aktif. Proses penarikan ini akan berlangsung sampai terbentuk keseimbangan
konsentersai antara larutan di sebelah dalam dan sebelah luar sel. Fase ekstraksi ini akan
dioptimalkan dengan menaikkan suhu ekstraksi menjadi 40°C dan menggunakan alat pengaduk
selama 6 jam. Menurut Moestafa (1981) ekstraksi akan lebih cepat dilakukan pada suhu tinggi, tetapi
hal ini akan mengakibatkan beberapa komponen rusak. Menurut Suryandari (1981), semakin lama
waktu ekstraksi maka kesempatan untuk bersentuhan antara bahan dengan pelarut semakin besar
sehingga rendemen juga akan bertambah sampai titik jenuh larutan. Pada penelitian ini digunakan
pelarut n – heksana karena sifatnya yang stabil, mudah menguap, dan selektif dalam melarutkan zat.

Gambar 7. Alat hydraulic presser

Gambar 8. Alat hot presser hydraulic

15
(a) (b)
Gambar 9. (a) maserator dengan pengaduk, (b) penyaring vakum

Setelah dilakukan ekstraksi, dilakukan analisa minyak biji bintaro yang dihasilkan,
diantaranya adalah rendemen, bobot jenis, % transmisi, (kejernihan), FFA, bilanagan iod, bilangan
penyabunan, bilangan peroksida, kadar abu minyak, dan viskositas minyak. Prosedur analisis sifat
fisiko kimia minyak dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil yang terbaik yang diperoleh pada tahap ini
selanjutnya dilakukan pengujian Gas Chromatography Spectrofotometry Mass untuk menentukan
komponen asam – asam lemak yang terkandung di dalam minyak.

3.3. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang dilakukan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan dua
faktor. Faktor – faktor yang divariasikan adalah metode ekstraksi (A) dan tingkat kematangan (B).
Faktor metode ekstraksi terdiri atas tiga taraf , yaitu ekstraksi dengan menggunakan alat Hot Press
Hydraulic, alat Hydraulic Presser, dan pelarut n-heksana dengan maserasi. Faktor tingkat kematangan
terdiri atas tiga taraf, yaitu buah yang matang (berwarna merah), buah yang muda (berwarna hijau),
dan buah yang berkecambah. Model matematika dapat dilihat pada persamaan (1.1) :

YIJ = µ + Ai + Bj + ABij + єij (1.1)


dengan :
YIJ = Nilai pengamatan
µ = Rata – rata
Ai = Pengaruh faktor metode ekstraksi pada taraf ke-i (i = 1,2,3)
Bj = Pengaruh faktor tingkat kematangan pada taraf ke-j (j = 1,2,3)
ABij = Pengaruh interaksi faktor metode ekstraksi pada taraf ke-I dengan faktor tingkat kematangan
pada taraf ke-j
єij = Galat percobaan

Uji lanjut Duncan digunakan untuk menguji perbedaan diantara semua pasangan perlakuan
yang mungkin tanpa memperhatikan jumlah perlakuan. Uji lanjut Duncan didasarkan pada
sekumpulan nilai beda nyata yang ukurannya semakin besar, tergantung pada jarak di antara pangkat-
pangkat dari dua nilai tengah yang dibandingkan.

16
Langkah perhitungan uji Duncan terdiri atas :
1. Urutkan menaik nilai tengah perlakuan
2. Hitung wilayah nyata terpendek untuk wilayah dari berbagai nilai tengah dengan menggunakan
formula (1.2) :

Rρ = rα,ρ,v √ (1.2)
Keterangan :
rα,ρ,v = nilai wilayah nyata Duncan
KTG = Kuadrat Tengah Galat
r = ulangan
3. Nilai mutlak selisih kedua rata – rata dibandingkan dengan nilai wilayah nyata terpendek
ρ
Jika | |{
ρ

17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. KARAKTERISTIK BIJI BINTARO

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menyiapkan bahan yang digunakan pada ekstraksi
minyak. Proses diawali dengan sortasi buah bintaro yang akan diolah. Sortasi dimaksudkan untuk
memisahkan buah bintaro berdasarkan atas tingkat kematangannya. Tingkat kematangan dalam proses
sortasi buah bintaro didasarkan atas buah bintaro yang muda (berwarna hijau), buah bintaro yang
matang (berwarna merah), dan buah bintaro berkecambah. Buah bintaro yang muda biasanya masih
terdapat pada tangkai pohon bintaro. Sementara itu buah bintaro yang sudah matang dan berkecambah
buahnya sudah gugur dari tangkai pohon. Buah bintaro yang berkecambah ditandai dengan adanya
kecambah yang terdapat pada buah. Perubahan tingkat kematangan buah bintaro dapat dilihat pada
Gambar 10.

(a) (b) (c)


Gambar 10. (a) buah bintaro muda, (b) buah bintaro matang, dan
(c) buah bintaro berkecambah (Pranowo 2010)

Buah bintaro dengan tingkat kematangan yang berbeda kemudian dicuci dengan air bersih
untuk membersihkan kotoran – kotoran yang menempel pada kulit buah yang dapat menyebabkan
terjadinya pembusukkan. Setelah itu buah ditempatkan pada wadah (karung) sesuai dengan tingkat
kematangan buah masing – masing. Buah bintaro yang telah dibersihkan dikupas dengan
menggunakan golok sehingga didapatkan biji bintaro yang berwarna putih dan berbentuk pipih.
Biji bintaro dengan tingkat kematangan yang berbeda – beda tersebut dikeringkan dengan
menggunakan oven pada suhu 55 °C selama 48 jam. Kemudian, biji bintaro yang siap diolah tersebut
dilakukan analisis proksimat. Analisa proksimat merupakan analisa kimia yang digunakan untuk
mengetahui kandungan komponen nutrisi dari suatu bahan sehingga dapat digunakan sebagai dasar
untuk analisis selanjutnya. Analisis proksimat terdiri atas kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar
protein, kadar serat, dan kadar karbohidrat (by different). Hasil analisa prosimat biji bintaro dapat
dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Komposisi kimia biji bintaro kering


Komposisi Biji Biji Muda Biji Matang Biji Berkecambah
Kadar Air (%) 1,53 1.44 2,09
Kadar Abu (%) 1,97 2,58 2,63
Kadar Lemak (%) 55,04 59,58 45,56
Kadar Protein (%) 15,29 12,84 12,39
Kadar Serat (%) 16,18 18,75 13,77
Kadar karbohidrat (by 11,51 6,33 25,62
different) (%)

18
Hasil penelitian menunjukkan bahwa minyak (lemak) merupakan komponen tertinggi dalam
biji bintaro sehingga biji bintaro cukup potensial digunakan sebagai sumber minyak nabati. Kadar
minyak (lemak) terbesar adalah biji bintaro matang dan biji bintaro muda yaitu sebesar 59,58 persen
dan 55,04 persen, sementara kadar minyak (lemak) biji bintaro terkecil adalah biji bintaro
berkecambah yaitu 45,56 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa kadar lemak mengalami kenaikan
seiring dengan tingkat kematangan buah kecuali biji berkecambah. Bertambahnya kadar lemak pada
buah yang muda dengan buah yang matang disebabkan oleh adanya metabolisme pembentukan lemak
yang terjadi selama tingkat kematangan buah. Menurut Ketaren (1986) proses pembentukan lemak
dalam tananaman terdiri atas 3 tahap yaitu sintesis gliserol, sintesis asam lemak, dan kondensasi
gliserol yang merupakan hasil serangkaian reaksi kompleks dalam metabolisme. Sementara itu, kadar
lemak dalam biji berkecambah mengalami penurunan karena karena lemak tersebut digunakan
sebagai cadangan makanan untuk pembentukan struktur membran sel (Junaidi 2010). Selain itu,
dikarenakan kadar minyak yang tinggi maka minyak biji bintaro cocok untuk diekstrak dengan
menggunakan alat kempa mekanis seperti yang dinyatakan oleh Ketaren (1986), pengepresan mekanis
dilakukan untuk memisahkan minyak dari bahan yang berkadar minyak tinggi (30 – 70 persen).
Kadar air terendah terdapat pada biji muda sebesar 1,53 persen dan biji matang sebesar 1,44
persen. Sementara itu, kadar air tertinggi terdapat pada biji berkecambah yaitu sebesar 2,09 persen.
Sehingga dengan pertambahan tingkat kematangan buah cenderung menaikkan kadar air yang terdapat
di dalamnya kecuali biji bintaro matang. Hal tersebut sesuai dengan literatur karena terjadinya proses
respirasi pada buah seiring dengan tingkat kematangan buah. Respirasi didefinisikan sebagai
perombakan senyawa komplek yang terdapat pada sel seperti pati, gula dan asam organik menjadi
senyawa yang lebih sederhana seperti karbondioksida, dan air, dalam waktu bersamaan memproduksi
energi dan senyawa lain yang dapat digunakan sel untuk reaksi sintetis. Laju respirasi per unit berat
adalah tertinggi untuk buah dan sayur yang belum matang dan kemudian terus menerus menurun
dengan bertambahnya umur (Fauzi 2011). Nilai kadar air ini dapat menunjukkan bahwa biji bintaro
siap untuk diolah. Kandungan air yang tinggi dapat menyebabkan hidrolisa minyak. Selain itu, pada
proses ekstraksi minyak menggunakan pelarut jumlah kadar air merupakan faktor penting karena
kandungan air di dalam bahan akan mempengaruhi efektifitas pelarut dalam melarutkan minyak.
Kadar air yang tinggi akan memperpanjang proses pemisahan air pada tahap evaporasi.
Kadar protein tertinggi terdapat pada buah yang muda yaitu 15,29 persen dilanjutkan dengan
biji matang yaitu 12,84 persen. Sementara itu, kadar protein terkecil didapatkan pada buah yang sudah
berkecambah yaitu 12,39 persen. Kadar protein mengalami penurunan seiring dengan kematangan
buah. Wirahadikusumah (1989) menyatakan bahwa menurunnya kadar protein di dalam buah dengan
semakin meningkatnya umur buah disebabkan karena dalam proses pematangannya sebagian besar
protein (asam amino) disintesis menjadi lemak. Lemak berfungsi dalam pertumbuhan struktur
membran sel. Pada proses ekstraksi, protein akan terurai dan menghasilkan senyawa – senyawa yang
larut dalam minyak. Hal ini dapat menyebabkan warna minyak menjadi lebih gelap. Menurut Ketaren
(1986) pigmen cokelat yang terdapat pada minyak atau lemak disebabkan karena terjadi reaksi
molekul karbohidrat dengan gugus pereduksi seperti aldehid serta gugus amin dari molekul protein
dan yang disebabkan karena aktivitas enzim – enzim, seperti phenol oxidase, polyphenol oxidase, dan
sebagainya.
Kadar serat mengalami peningkatan pada buah yang muda (16,18 persen) menjadi 18,75
persen pada buah yang matang. Hal tersebut disebabkan karena pada tahap awal daging buah tersusun
dari gula sederhana, namun komponen sel belum terisi oleh selulosa secara sempurna sehingga
kandungan gula yang terdapat dalam buah dikonversi menjadi selulosa seiring dengan meningkatnya
tingkat kematangan buah (Rindengan et al 1996). Sementara, pada buah yang berkecambah memiliki

19
kadar serat yang paling rendah (13,77 persen) karena enzim selulosa yang terbentuk akan aktif
merombak polisakarida menjadi monosakarida sebagai cadangan energi dalam pembentukan embrio
(Rindengan et al. 1996).
Kadar abu (mineral) merupakan bagian berat mineral dari bahan yang didasarkan atas berat
keringnya. Abu adalah zat anorganik yang tidak menguap, sisa hasil proses pembakaran dan oksidasi.
Kadar abu terendah terdapat pada biji muda sebesar 1,97 persen dan kadar abu yang paling tinggi
terdapat pada biji yang berkecambah sebesar 2,63 persen. Semakin tinggi tingkat kematangan buah
semakin tinggi kadar abu yang dimiliki. Kadar abu menyatakan besarnya kandungan bahan – bahan
anorganik yang terdapat di dalam suatu bahan. Nilai kadar abu dipengaruhi oleh tempat tumbuh,
keadaan tanah, dan pemberian unsur hara pada tanaman. Kadar abu dalam tumbuhan naik karena
unsur organik yang terdapat di dalam tanaman digunakan dalam proses metabolisme tumbuhan
(Setiono 2010).

4.2. KARAKTERISTIK MINYAK BIJI BINTARO

Ekstraksi minyak biji bintaro dilakukan dengan dua metode, yaitu metode mekanis
(hydraulic presser dan hot presser hydraulic) dan metode ekstraksi dengan pelarut n-heksana.
Ekstraksi dengan alat hydraulic presser dilakukan pada tekanan 20 ton pada suhu ruang. Sementara
itu, ekstraksi dengan menggunakan alat hot press hydraulic dilakukan dengan mengepress minyak
pada tekanan 20 ton pada suhu 60 – 70 °C. Ekstraksi dengan pelarut n-heksana dilakukan dengan
metode maserasi pada suhu ruang selama ±15 jam dan suhu 40 °C selama 6 jam, dengan perbandingan
pelarut adalah 1:3 (w/v). Minyak yang dihasilkan dari setiap perlakuan kemudian dianalisa beberapa
sifat fisiko kimianya dan juga dihitung rendemen yang dihasilkan. Hasil ekstraksi minyak biji bintaro
dapat dilihat pada Gambar 11.

(a) (b) (c)


Gambar 11. (a) minyak hydraulic pressing, (b) minyak hot hydraulic pressing,
(c) minyak ekstraksi maserasi.

4.2.1. Kadar Asam Lemak Bebas (FFA)

Kadar asam lemak bebas (Free Fatty Acid) merupakan jumlah asam lemak yang terkandung
di dalam minyak dan dihitung berdasarkan bobot molekul dari asam lemak atau campuran asam lemak
asam lemak bebas terbentuk pada reaksi hidrolisis trigliserida. Melalui proses hidrolisis, trigliserida
dirombak menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Nilai bilangan asam dan FFA dapat digunakan
untuk menentukan kualitas minyak. Semakin tinggi bilangan asam yang dikandung minyak maka
semakin tinggi pula tingkat kerusakan minyak (Ketaren, 1986). Penelitian kadar asam lemak bebas
minyak biji bintaro dengan variasi perlakuan tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi disajikan
seperti pada Gambar 12.

20
5
4,5
4
Fat Fatty Acid (%) 3,5
3
2,5
2
1,5
1
0,5
0
Kecambah Muda Matang
Tingkat Kematangan Buah

Hydraulic Pressing Hot Hydraulic Pressing Maserasi dengan pelarut heksana

Gambar 12. Pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi minyak biji bintaro
terhadap kadar asam lemak bebas (FFA).

Berdasarkan data yang diperoleh dari grafik, kadar asam lemak bebas terbesar terdapat pada
minyak yang dihasilkan dari buah yang berkecambah dengan metode ekstraksi menggunakan pelarut
n- heksana sebesar 4,54 persen dan kadar asam lemak bebas terkecil terdapat pada minyak yang
dihasilkan dari buah bintaro muda sebesar 0,31 persen dengan metode ekstraksi hydraulic pressing.
Dari hasil data keseluruhan, kadar asam lemak bebas yang terkandung di dalam minyak biji bintaro
menyerupai kadar asam lemak bebas yang terkandung di dalam minyak jarak sebesar 0,18 persen –
3,40 persen (Achten et al, 2008), lebih rendah dibanding minyak kelapa sawit sebesar 3 sampai 5
persen (Ketaren, 1986), dan lebih rendah dibandingkan dengan minyak nyampung sebesar 7,4 persen
(Sudrajat, 2007).
Berdasarkan hasil keragaman (Lampiran 3), faktor tingkat kematangan buah memberikan
pengaruh yang nyata terhadap kadar asam lemak bebas yang terkandung di dalam minyak biji bintaro.
Dari hasil uji Duncan didapatkan perbedaan yang sangat nyata antara rata – rata kadar asam lemak
bebas minyak dari buah bintaro muda sebesar 1,18 persen dengan rata – rata kadar asam lemak bebas
minyak dari buah bintaro matang sebesar 2,15 persen dan rata – rata kadar asam lemak bebas minyak
dari buah bintaro berkecambah sebesar 2,94 persen. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa
semakin tinggi tingkat kematangan buah maka kadar asam lemak bebas yang terkandung di dalam
buah semakin tinggi. Hal tersebut dapat disebabkan karena kadar air yang cenderung mengalami
peningkatan selama proses kematangan buah yang dapat dilihat dari hasil analisis proksimat. Kadar air
yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya proses hidrolisis minyak. Menurut Ketaren (1986), dalam
reaksi hidrolisa, minyak atau lemak akan dubah menjadi asam – asam lemak bebas dan gliserol.
Reaksi hidrolisis yang dapat mengakibatkan kerusakan minyak atau lemak terjadi karena terdapatnya
sejumlah air dalam minyak atau lemak tersebut. Reaksi ini akan mengakibatkan ketengikan hidrolisa
yang menghasilkan flavor dan bau yang tengik pada minyak tersebut. Reaksi hidrolisis minyak atau
lemak dapat ditunjukkan pada Gambar 13.

21
O
CH2 – O – C – R
O H+ O
CH – O – C – R+ 3 HOH 3R – C – OH
O
CH2 – O – C – R
trigliserida gliserol asam lemak
Gambar 13. Persamaan reaksi hidrolisis minyak atau lemak (Ketaren, 1986).

Pembentukan asam lemak bebas pada minyak dapat terjadi karena proses pengolahan (penyiapan
bahan). Menurut Ketaren (1986), proses hidrolisis dapat berlangsung pada waktu minyak masih
berada dalam jaringan biji yang telah dipanen, selama pengolahan, dan penyimpanan. Selain itu lemak
hewan dan nabati yang masih berada dalam jaringan, biasanya mengandung enzim yang dapat
menghidrolisis lemak.
Berdasarkan hasil keragaman, faktor metode ekstraksi memberikan pengaruh yang nyata
terhadap kadar asam lemak bebas yang terkandung di dalam minyak. Dari hasil uji Duncan tidak
didapatkan perbedaan yang sangat nyata antara rata – rata kadar asam lemak bebas minyak dengan
metode ekstraksi hydraulic pressing sebesar 1,37 persen dengan rata – rata kadar asam lemak bebas
minyak dengan metode ekstraksi hot press hydraulic sebesar 1,75 persen. Sementara itu, kedua
metode ekstraksi memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap rata – rata kadar asam lemak
bebas dengan metode ekstraksi dengan pelarut n – heksana sebesar 3,16 persen. Dari hasil penelitian
dapat dilihat bahwa metode ekstraksi dengan menggunakan alat hydraulic presser menghasilkan kadar
asam lemak bebas yang lebih rendah dibanding dengan ekstraksi minyak dengan menggunakan alat
hot hydraulic presser. Hal tersebut disebabkan karena suhu yang digunakan pada ekstraksi hot
hydraulic pressing lebih tinggi dibandingkan dengan hydraulic pressing.
Menurut Ketaren (1986), pemanasan mengakibatkan tiga macam perubahan kimia dalam
lemak yaitu terbentuknya peroksida dalam asam lemak tidak jenuh, peroksida berdekomposisi
menjadi persenyawaan karbonil, dan terjadinya polimerasi oksidasi sebagian. Jika minyak dipanaskan
pada suhu tinggi maka lapisan permukaan minyak panas akan kontak dengan oksigen. Dekomposisi
minyak dengan adanya udara terjadi pada suhu lebih rendah (190 °C) daripada tanpa udara (240 °C-
260 °C) sehingga dekomposisi minyak tidak terjadi pada proses ini karena suhu yang digunakan lebih
rendah. Thermal polimerisasi terjadi jika minyak dipanaskan pada suhu sekitar 250 °C tanpa oksigen
sehingga tidak terjadi juga thermal polimerisasi di dalam minyak. Sedangkan yang terjadi adalah
oksidasi thermal dimana dalam proses ekstraksi dengan mekanis minyak sudah bersentuhan dengan
oksigen dan dengan adanya pemanasan maka akan meningkatkan laju oksidasi. Namun minyak yang
dihasilkan dari hot press hydraulic ataupun hydraulic pressing tidak berbeda nyata karena suhu yang
digunakan berada di bawah titik didih minyak. Sementara itu minyak yang dihasilkan dengan
menggunakan pelarut heksana memiliki kandungan asam lemak bebas yang paling tinggi. Hal tersebut
dapat disebabkan karena terjadinya reaksi hidrolisis yang terdapat di dalam minyak. Reaksi hidrolisis
dapat terjadi karena suhu yang digunakan pada saat ekstraksi lebih rendah dibanding titik didih air dan
ekstraksi berlangsung lebih lama dibanding dengan ekstraksi secara mekanis.
Berdasarkan hasil analisa keragaman, faktor metode ekstraksi minyak dan faktor tingkat
kematangan buah tidak memilki interaksi anatara satu dengan yang lainnya secara nyata baik pada
tingkat 5 persen ataupun pada tingkat 1 persen. Berdasarkan penelitian ini, maka kadar asam lemak
bebas yang terbaik terdapat pada minyak biji bintaro yang dihasilkan dari kombinasi perlakuan tingkat
kematangan buah yang muda dan menggunakan metode ekstraksi minyak hydraulic pressing.

22
4.2.2. Bobot Jenis Minyak (Densitas)

Bobot jenis adalah perbandingan berat dari suatu volume contoh pada suhu tertentu dengan
berat air pada volume dan suhu yang sama. Alat yang digunakan dalam pengukuran densitas minyak
adalah piknometer (Ketaren,1986). Bobot jenis yang terdapat di dalam minyak ditentukan oleh jumlah
komponen yang terdapat di dalam minyak. Semakin banyak komponen yang terdapat dalam minyak
maka bobot jenis akan semakin besar. Penelitian besarnya bobot jenis (densitas) minyak biji bintaro
dengan variasi perlakuan tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi disajikan seperti pada Gambar
14.
1
0,9
0,8
Densitas (gr/ml)

0,7
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0
Kecambah Muda Matang
Tingkat Kematangan Buah

Hidraulic Pressing Hot Hydraulic Pressing Maserasi dengan pelarut heksana

Gambar 14. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap bobot
jenis minyak biji bintaro.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bobot jenis tertinggi terdapat pada minyak yang
berasal dari buah bintaro yang berkecambah dengan menggunakan metode ekstraksi hydraulic
pressing sebesar 0,9062 g/ml dan yang paling rendah adalah minyak yang berasal dari buah bintaro
yang berkecambah dengan menggunakan metode ekstraksi hot hydraulic pressing sebesar 0,8984
g/ml. Sementara itu, hasil analisis keragaman (Lampiran 4) menunjukkan bahwa faktor tingkat
kematangan buah bintaro dengan faktor metode ekstraksi minyak tidak berpengaruh secara nyata
terhadap bobot jenis minyak bintaro yang dihasilkan. Hal tersebut dapat disebabkan karena bobot jenis
merupakan sifat fisis minyak sehingga setiap minyak memiliki bobot jenis yang berbeda pada rentang
tertentu. Bobot jenis semakin besar dengan semakin tingginya ketidakjenuhan asam lemak yang
dikandungnya. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa minyak biji bintaro memiliki bobot
jenis minyak pada rentang 0,8984 g/ml dan 0,9062 g/ml.

4.2.3. Bilangan Iod Minyak

Asam lemak yang tidak jenuh dalam minyak dan lemak mampu menyerap sejumlah iod dan
membentuk senyawa yang jenuh. Besarnya jumlah iod yang diserap menujukkan banyaknya ikatan
rangkap atau ikatan tidak jenuh. Bilangan iod dinyatakan sebagai jumlah gram iod yang diserap oleh
100 gram minyak atau lemak (Ketaren, 1986). Bilangan iod merupakan parameter penting dalam
menentukan mutu minyak. Semakin tinggi bilangan iod menunjukkan jumlah ikatan rangkap di dalam
minyak semakin banyak.

23
Menurut Ketaren (1986), bilangan iod dapat digunakan untuk menggolongkan minyak
sebagai minyak mengering dan bukan mengering. Minyak yang mempunyai bilangan iod lebih dari
130 digolongkan sebagai minyak mengering, sedangkan minyak yang mempunyai bilangan iod antara
100 sampai 130 bersifat setengah mengering dan bilangan iod kurang dari 100 bersifat tidak
mongering. Jenis minyak mengering (drying oil) adalah minyak yang mempunyai sifat dapat
mengering jika terkena oksidasi, dan akan berubah menjadi lapisan tebal, bersifat kental, dan
membentuk sejenis selaput bila dibiarkan di udara terbuka. Istilah minyak “setengah mengering”
berupa minyak yang memiliki daya mengering lebih lambat. Penelitian nilai bilangan iod minyak biji
bintaro dengan variasi perlakuan tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi disajikan seperti pada
Gambar 15.
100
Bilangan Iod (I2/100 gr minyak)

80

60

40

20

0
Kecambah Muda Matang
Tingkat Kematangan Buah

Hydraulic Pressing Hot Hydraulic Pressing Maserasi dengan pelarut hekasana

Gambar 15. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap bilangan
iod minyak biji bintaro.

Berdasarkan data yang diperoleh dari grafik, bilangan iod tertinggi terdapat pada minyak
yang berasal dari buah bintaro berkecambah dengan metode ekstraksi maserasi dengan pelarut n-
heksana sebesar 85,19 I2/100 gram minyak dan bilangan iod terendah terdapat pada minyak yang
berasal dari buah bintaro matang dengan metode ekstraksi hydraulic pressing sebesar 51,08 I2/100
gram. Berdasarkan bilangan iod yang diperoleh maka minyak biji bintaro termasuk ke dalam minyak
yang tidak mengering dimana kandungan bilangan iod yang dihasilkan cukup rendah. Nilai bilangan
iod minyak biji bintaro lebih rendah dibanding dengan minyak jarak pagar sebesar 92 – 112 I2/100
gram (Achten et al. 2008) dan minyak biji nyamplung sebesar 86,42 I2/100 gram (SNI 2006).
Sementara itu minyak biji bintaro memiliki bilangan iod yang lebih tinggi dibandingkan dengan
minyak kelapa sawit sebesar 45 – 56 I2/100 gram (Ketaren, 1986).
Berdasarkan hasil analisa keragaman (Lampiran 5), tingkat kematangan buah memiliki
pengaruh yang nyata terhadap bilangan iod minyak biji bintaro yang dihasilkan. Dari hasil uji Duncan
didapatkan bahwa buah bintaro yang matang memiliki minyak dengan rata – rata bilangan iod sebesar
57,67 I2/100 gram yang berbeda nyata dengan rata – rata bilangan iod minyak yang dihasilkan dari
buah bintaro yang muda sebesar 67,89 I2/100 gram dan rata – rata bilangan iod minyak buah bitaro
berkecambah sebesar 74,09 I2/100 gram. Berdasarkan hasil yang didapat, minyak bintaro dari buah
berkecambah rentan terhadap terjadinya oksidasi minyak dibandingkan dengan minyak yang berasal
dari buah bintaro muda dan minyak bintaro dari buah yang sudah matang. Menurut Ketaren (1986),
ikatan rangkap pada asam lemak tidak jenuh dapat bereaksi secara adisi dengan hidrogen, oksigen,
halogen, dan sulfur yang dapat menurunkan bilangan iod minyak. Reaksi adisi tersebut
mengakibatkan ikatan rangkap pada minyak berkurang sehingga bilangan iod menurun.

24
Hasil analisa keragaman juga menunjukkan bahwa metode esktraksi minyak biji bintaro
berpengaruh secara nyata terhadap bilangan iod minyak yang dihasilkan. Dari hasil uji Duncan
didapatkan bahwa rata – rata bilangan iod terbesar terdapat pada minyak biji bintaro dengan metode
ekstraksi dengan pelarut n-heksana sebesar 70,87 I2/100 gram dilanjutkan dengan minyak biji bintaro
dengan metode ekstraksi hydraulic pressing sebesar 65,30 I2/100 gram, dan metode ekstraksi hot
hydraulic pressing menghasilkan minyak biji bintaro dengan rata – rata bilangan iod terkecil yaitu
63,49 I2/100 gram. Rendahnya bilangan iod minyak biji bintaro hasil hot hydraulic pressing dapat
disebabkan karena telah terjadi sejumlah reaksi oksidasi pada ikatan rangkap asam lemak tidak jenuh.
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Ketaren (1986) bahwa kecepatan oksidasi lemak yang
dibiarkan di udara terbuka akan bertambah dengan kenaikkan suhu. Suhu yang tinggi selama
pengempaan mendorong terjadinya reaksi kimia pada komponen – komponen minyak sehingga terjadi
perubahan pada komponen – komponen minyak tersebut. Sementara itu, pada ekstraksi dengan
menggunakan pelarut n-heksana menghasilkan bilangan iod yang tinggi karena suhu yang digunakan
tidak terlalu tinggi dan ekstraksi dilakukan pada tempat yang tertutup rapat sehingga kecil
kemungkinan oksigen dapat masuk.
Berdasarkan hasil analisa keragaman, faktor tingkat kematangan buah dengan metode
ekstraksi minyak memiliki interaksi secara nyata baik pada tingkat 5 persen dan 1 persen. Hal tersebut
dapat disebabkan karena semakin tinggi tingkat kematangan buah menyebabkan semakin banyaknya
jumlah asam lemak tidak jenuh yang terdapat di dalam minyak sehingga apabila masing – masing biji
bintaro akan menghasilkan bilangan iod yang berbeda tergantung dari metode ekstraksi yang
dilakukan. Dari hasil uji Duncan didapatkan bahwa kombinasi perlakuan A1B2 tidak memiliki
perbedaan yang nyata terhadap kombinasi perlakuan A3B2 pada tingkat 1 persen. Berdasarkan
bilangan iod yang dihasilkan dari penelitian ini, untuk mendapatkan minyak biji bintaro yang
memiliki asam lemak tidak jenuh paling banyak berasal dari minyak biji bintaro dari buah yang
berkecambah dengan ekstraksi menggunakan pelarut n-heksana.

4.2.4. Bilangan Penyabunan Minyak

Bilangan penyabunan adalah jumlah mg KOH yang diperlukan untuk menyabunkan satu
gram minyak atau lemak. Apabila sejumlah contoh minyak atau lemak disabunkan dengan larutan
KOH akan bereaksi dengan trigliserida, yaitu tiga molekul KOH bereaksi dengan satu molekul
minyak atau lemak. Larutan alkali yang tertinggal ditentukan dengan satu molekul minyak atau lemak.
Larutan alkali yang tertinggal ditentukan dengan titrasi menggunakan asam, sehingga jumlah alkali
yang turut bereaksi dapat diketahui (Ketaren, 1986).

R1COO – CH2 R1COOK HOCH2

R2COO – CH + 3 KOH R2COOK + HOCH

R3COO – CH2 R3COOK HOCH2

gliserol sabun kalium gliserol

Gambar 16. Reaksi bilangan penyabunan minyak (Ketaren, 1986).

Besarnya bilangan penyabunan tergantung dari berat molekul. Minyak yang mempunyai
berat molekul rendah akan mempunyai bilangan penyabunan yang lebih tinggi daripada minyak yang
mempunyai berat molekul tinggi (Ketaren, 1986). Peningkatan bilangan penyabunan seiring dengan

25
peningkatan bilangan asam karena semakin banyak dibutuhkan alkali untuk menetralisasi. Penelitian
nilai bilangan penyabunan minyak biji bintaro dengan variasi perlakuan tingkat kematangan buah dan
jenis ekstraksi disajikan seperti pada Gambar 17.

Bilangan Penyabunan (mg KOH/gr 250

200

150
minyak)

100

50

0
Kecambah Muda Matang
Tingkat Kematangan Buah

Hydrauluc Pressing Hot Hydraulic Pressing Maserasi dengan pelarut heksana

Gambar 17. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap bilangan
penyabunan minyak biji bintaro.

Berdasarkan data hasil penelitian, nilai bilangan penyabunan tertinggi terdapat pada minyak
yang berasal dari buah bintaro muda dengan metode ekstraksi hot hydraulic pressing sebesar 208,55
mg KOH/g minyak dan nilai bilangan penyabunan terendah terdapat pada minyak yang berasal dari
buah berkecambah dengan ekstraksi menggunakan pelarut n-heksana sebesar 182,66 20 mg KOH/g
minyak. Rata – rata bilangan penyabunan yang didapatkan dari penelitian ini adalah 196,67 mg
KOH/g minyak. Pada penelitian ini, minyak biji bintaro menghasilkan bilangan penyabunan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan bilangan penyabunan minyak biji jarak yang berkisar antara 176 –
181 mg KOH/g minyak (Kirk dan Othmer,1964).
Berdasarkan hasil analisa keragaman (Lampiran 6), tingkat kematangan buah bintaro
memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai bilangan penyabunan yang dihasilkan. Dari hasil uji
Duncan didapatkan nilai rata – rata bilangan penyabunan tertinggi didapat dari minyak yang berasal
dari buah bintaro yang matang sebesar 203,84 mg KOH/g minyak dilanjutkan dengan buah bintaro
muda sebesar 197,95 mg KOH/g minyak dan buah bintaro kecambah sebesar 188,20 mg KOH/g
minyak. Hasil analisa keragaman juga menunjukkan bahwa metode ekstraksi berpengaruh terhadap
nilai bilangan penyabunan yang dihasilkan. Dari hasil uji Duncan didapatkan nilai rata – rata bilangan
penyabunan tertinggi didapat dari minyak yang berasal dari hot hydraulic pressing sebesar 199,48 mg
KOH/g minyak dilanjutkan minyak yang berasal dari hydraulic pressing sebesar 198,20 mg KOH/g
minyak dan minyak yang berasal dari ekstraksi pelarut n-heksana sebesar 192,32 mg KOH/g minyak.
Besarnya bilangan penyabunan pada terjadi pada ekstraksi dengan menggunakan hot hydraulic
pressing disebabkan karena suhu yang tinggi yang digunakan sehingga menimbulkan adanya reaksi
oksidasi minyak.
Menurut Silan (1998), bilangan penyabunan di dalam minyak dapat turun ataupun naik
karena di dalam minyak dapat terjadi reaksi oksidasi, esterifikasi, polimerisasi dan lain – lain. Reaksi
oksidasi akan menghasilkan asam lemak bebas dan senyawa dengan bobot molekul rendah sehingga

26
minyak yang mengalami oksidasi akan mempunyai bilangan penyabunan yang lebih tinggi.
Sedangkan reaksi esterifikasi dan polimerisasi akan menghasilkan senyawa dengan bobot molekul
tinggi sehingga minyak yang mengalami esterifikasi dan polimerisasi akan memiliki bilangan
penyabunan yang lebih rendah.
Berdasarkan hasil analisa keragaman menunjukkan bahwa terjadinya interaksi yang berbeda
nyata antara faktor metode ekstraksi dan tingkat kematangan buah dengan bilangan penyabunan yang
dihasilkan baik pada tingkat 5 persen ataupun satu persen. Berdasarkan uji Duncan didapatkan bahwa
nilai bilangan penyabunan terendah didapatkan dari minyak dengan kombinasi perlakuan A3B3 (buah
bintaro berkecambah dengan metode ekstraksi dengan pelarut) dan tertinggi didapatkan dari minyak
dengan kombinasi perlakuan A1B2 (buah muda dengan metode ekstraksi dengan hot hydraulic
pressing). Hal tersebut menunjukkan bahwa perlakuan metode esktraksi memberikan pengaruh yang
lebih nyata dibandingkan dengan tingkat kematangan buah.

4.2.5. Bilangan Peroksida Minyak

Bilangan peroksida adalah nilai terpenting untuk menentukan derajat kerusakan minyak atau
lemak. Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk
perosida (Ketaren, 1986). Penelitian nilai bilangan peroksida minyak biji bintaro dengan variasi
perlakuan tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi disajikan seperti pada Gambar 18.
35
Bilangan Peroksida (mg O2/100 gr

30
25
20
minyak)

15
10
5
0
Kecambah Muda Matang
Tingkat Kematangan Buah

Hydraulic Pressing Hot Hydraulic Pressing Maserasi dengan pelarut heksana

Gambar 18. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap bilangan
peroksida minyak biji bintaro.

Berdasarkan hasil penelitian, nilai bilangan peroksida terbesar terdapat pada minyak yang
dihasilkan dari buah bintaro matang dengan ekstraksi hydraulic pressing sebesar 31,65 mg
oksigen/100 g minyak dan terendah terdapat pada minyak yang dihasilkan dari buah bintaro matang
dengan ekstraksi hot hydraulic pressing sebesar 5,61 mg oksigen/100 g minyak dengan rata – rata
bilangan peroksida adalah 13,59 mg oksigen/100 g minyak.
Berdasarkan hasil analisa keragaman (Lampiran 7), tingkat kematangan buah memberikan
pengaruh yang nyata terhadap bilangan peroksida minyak biji bintaro. Dari hasil uji Duncan,
didapatkan bahwa nilai rata – rata bilangan peroksida tertinggi didapat dari minyak yang berasal dari
buah bintaro yang matang sebesar 14,37 mg oksigen/100 g minyak dilanjutkan dengan nilai rata – rata

27
bilangan peroksida minyak yang berasal dari buah bintaro berkecambah sebesar 13,61 mg
oksigen/100 g minyak dan rata – rata nilai bilangan peroksida minyak yang berasal dari buah yang
muda sebesar 12,80 mg oksigen/100 g minyak. Tingginya bilangan peroksida pada buah bintaro
matang dan berkecambah dapat disebabkan karena ikatan rangkap yang terdapat di dalam minyak dari
buah bintaro matang lebih banyak dibandingkan dengan minyak yang berasal dari buah bintaro muda
sehingga oksidasi minyak terus berlangsung dan akan berlangsung ditandai dengan adanya bilangan
peroksida yang terbentuk dalam minyak. Pada minyak yang berasal dari buah yang berkecambah
sudah terjadi proses oksidasi sebelumnya. Sementara itu, minyak yang berasal dari buah bintaro muda
memiliki bilangan peroksida terendah karena sedikitnya jumlah ikatan rangkap yang terdapat
didalamnya sehingga minyak tidak rentan terhadap proses oksidasi. Hal tersebut sesuai dengan
Anonim (2010) yang menyatakan bahwa minyak yang mula – mula terbentuk dalam buah adalah
trigliserida yang mengandung asam lemak bebas jenuh, dan setelah mendekati masa pematangan buah
terjadi pembentukan trigliserida yang mengandung asam lemak tidak jenuh.
Berdasarkan hasil analisa keragaman juga didapatkan hasil bahwa jenis ekstraksi minyak
berpengaruh nyata terhadap bilangan peroksida minyak yang dihasilkan. Nilai rata – rata bilangan
peroksida tertinggi didapat pada minyak biji binatro yang berasal dari ekstraksi minyak biji binatao
dengan hydraulic pressing sebesar 20,17 mg oksigen/100 g dilanjutkan dengan minyak biji bintaro
yang berasal dari ekstraksi minyak biji bintaro dengan hot hydraulic pressing sebesar 12,98 mg
oksigen/100 g dan nilai rata – rata bilangan peroksida terendah didapat pada minyak biji bintaro
dengan ekstraksi menggunakan pelarut n-heksana sebesar 7,62 mg oksigen/100 g. Tingginya bilangan
peroksida yang terdapat pada minyak yang diekstrak dengan hydraulic pressing dibanding ekstraksi
dengan menggunakan hot hydraulic pressing dan pelarut n – heksana disebabkan karena ekstraksi
minyak dengan hot hydraulic pressing sudah mengalami oksidasi. Selain itu, maserasi dengan
menggunakan pelarut heksana kecil kemungkinan mengalami oksidasi karena proses ekstraksi
dilakukan pada tempat yang tertutup rapat sehingga kontak dengan udara luar jarang dapat terjadi.
Menurut Ketaren (1986), tingginya bilangan peroksida pada minyak diakibatkan adanya senyawa
peroksida, senyawa ini terbentuk akibat terjadinya reaksi oksidasi pada minyak. Oksidasi ini terjadi
pada asam lemak tidak jenuh. Proses oksidasi dapat terjadi pada suhu kamar dan selama proses
pengolahan menggunakan suhu tinggi. Proses pembentukan peroksida dipercepat oleh adanya cahaya,
suasan asam, kelembaban udara, dan katalis seperti logam.
Hasil analisa keragaman menunjukkan bahwa tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi
memiliki interaksi yang berbeda nyata terhadap bilangan peroksida minyak biji bintaro. Dari hasil uji
Duncan didapat bahwa kombinasi minyak A1B1 dengan A3B1 tidak memiliki interaksi yang berbeda
nyata sementara A2B3 juga memiliki interaksi yang tidak berbeda nyata dengan A3B3. Berdasarkan
bilangan peroksida yang dihasilkan, minyak yang berasal dari buah bintaro matang dan ekstraksi
dengan hot hydraulic pressing menghasilkan bilangan peroksida yang paling rendah.

4.2.6. Viskositas Minyak

Viskositas atau nilai kekentalan dari suatu minyak sangat diperlukan untuk menentukan
kegunaan dari minyak atau lemak. Lemak dengan viskositas yang kecil baik untuk digunakan sebagai
bahan bakar. Viskositas atau kekentalan minyak biji bintaro didapatkan dengan menggunakan
viskometer Brookfield. Penelitian nilai viskositas minyak biji bintaro dengan variasi perlakuan tingkat
kematangan buah dan jenis ekstraksi disajikan seperti pada Gambar 19.

28
68
66
Viskositas (cP) 64
62
60
58
56
Kecambah Muda Matang
Tingkat Kematangan Buah

Hydraulic Pressing Hot hydraulic Pressing Maserasi dengan pelarut heksana

Gambar 19. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap
viskositas minyak biji bintaro.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa nilai viskositas terbesar terdapat pada minyak
yang berasal dari buah yang muda dan diekstrak dengan hydraulic pressing sebesar 66,4 cP dan
viskositas terkecil terdapat pada minyak yang berasal dari buah yang berkecambah dengan metode
ekstraksi dengan pelarut sebesar 59,70 cP. Dari hasil penelitian didapatkan juga bahwa rata – rata
viskositas minyak adalah 63,22 cP.
Berdasarkan hasil analisis keragaman (Lampiran 8) didapatkan bahwa tingkat kematangan
buah berpengaruh nyata terhadap viskositas minyak biji bintaro yang dihasilkan. Dari hasil uji Duncan
didapat bahwa minyak yang dihasilkan dari biji bintaro muda mempunyai rata – rata nilai viskositas
terbesar yaitu 65,1 cP dilanjutkan minyak yang dihasilkan dari biji bintaro matang yaitu 63,3 cP dan
rata –rata nilai viskositas minyak yang dihasilkan dari biji bintaro berkecambah yaitu 61,4 cP. Dari
hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat kematangan maka nilai viskositas
akan semakin kecil. Hal itu disebabkan karena buah bintaro yang berkecambah memiliki kadar air biji
yang paling besar dibandingkan dengan minyak yang berasal dari buah bintaro muda ataupun matang.
Air yang terdapat di dalam minyak menyebabkan kerapatan minyak menjadi lebih berkurang.
Berdasarkan hasil analisis keragaman juga didapatkan bahwa metode esktraksi memiliki
pengaruh yang nyata terhadap viskositas minyak biji bintaro yang dihasilkan. Dari hasil uji Duncan
didapat bahwa viskositas minyak terkecil terdapat pada minyak yang dihasilkan dari metode ekstraksi
hot hydraulic pressing yaitu rata – rata nilai viskositas sebesar 62,17 cP dilanjutkan dengan minyak
yang didapatkan dari ekstraksi dengan pelarut sebesar 62,4 cP dan viskositas terbesar adalah minyak
yang berasal dari ekstraksi hydraulic pressing sebesar 65,23 cP. Rendahnya viskositas minyak yang
berasal dari hot hydraulic pressing disebabkan karena suhu yang tinggi yang terdapat di dalam alat
tersebut. Menurut Bailey (1950), pemakaian suhu yang tinggi pada alat pengempaan menyebabkan
bahan menjadi lunak dan kekentalan menjadi rendah.
Hasil analisis keragaman didapatkan bahwa tidak terdapat interaksi yang nyata antara metode
ekstraksi dengan tingkat kematangan buah terhadap nilai viskositas minyak biji bintaro. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa minyak yang dihasilkan dari buah yang berkecambah dan diekstrak
dengan menggunakan pelarut n-heksana memiliki nilai viskositas yang paling rendah yaitu 59,7cP.

29
4.2.7. Kadar Abu Minyak

Kadar abu menunjukkan banyaknya kandungan komponen – komponen non-organik yang


terdapat di dalam minyak. Penelitian kadar abu minyak biji bintaro dengan variasi perlakuan tingkat
kematangan buah dan jenis ekstraksi disajikan seperti pada Gambar 20. Berdasarkan hasil penelitian
didapat bahwa kadar abu tertinggi didapat pada minyak yang dihasilkan dari buah bintaro matang
yang diekstrak minyaknya menggunakan pelarut n – heksana sebesar 0,3981 persen, sementara kadar
abu terendah didapat dari minyak yang dihasilkan dari buah bintaro berkecambah yang diekstrak
dengan menggunakan hydraulic pressing sebesar 0,0131 persen.

0,45
0,4
0,35
Kadar Abu (%)

0,3
0,25
0,2
0,15
0,1
0,05
0
Kecambah Muda Matang
Tingkat Kematangan Buah

Hydraulic Pressing Hot Hydraulic Pressing Maserasi dengan pelarut heksana

Gambar 20. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap kadar
abu minyak biji bintaro.

Berdasarkan data analisis keragaman (Lampiran 9) didapatkan bahwa tingkat kematangan


buah tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap kadar abu minyak biji bintaro yang dihasilkan.
Sementara itu, metode ekstraksi memiliki pengaruh yang nyata terhadap kadar abu minyak biji bintaro
yang dihasilkan. Hasil uji Duncan menujukkan bahwa rata – rata kadar abu terbesar terdapat pada
minyak yang diekstraksi dengan menggunakan pelarut n-heksan sebesar 0,25 persen dilanjutkan
dengan kadar abu minyak yang diekstrak dengan hot hydraulic pressing sebesar 0,11 dan kadar abu
yang diekstrak dengan hydraulic pressing sebesar 0,035 persen. Minyak yang diekstrak dengan hot
hydraulic pressing dan hydraulic pressing tidak memiliki perbedaan yang nyata kadar abu minyaknya.
Menurut Ketaren (1986), ekstraksi minyak dengan menggunakan pelarut menghasilkan bungkil
dengan kadar lemak yang lebih rendah (1 persen atau lebih rendah) dibandingkan dengan ekstraksi
minyak dengan menggunakan hydraulic presser sebesar 4 sampai 6 persen karena sebagian fraksi
bukan minyak akan ikut terekstraksi.

4.2.8. Kejernihan Minyak ( % Transmisi)

Kejernihan minyak ditandai dengan besarnya nilai persen transmisi. Semakin besar nilai
persen transmisi maka minyak yang dihasilkan semakin besar. Menurut Sutiah et al. (2008),
pengukuran transmisi dilakukan dengan menggunakan alat luxmeter. Dengan luxmeter dapat
diketahui nilai intensitas sinar yang masuk dan intensitas sinar yang diteruskan. Persen transmisi
dihitung dari perbandngan antara intensitas sinar yang diteruskan terhadap intensitas sinar yang

30
masuk. Nilai persen tramsmisi berbanding terbalik dengan indeks bias. Menurut Ketaren (1986),
indeks bias adalah derajat penyimpangan dari cahaya yang dilewatkan pada suatu medium cerah.
Menurut Formo (1978), indeks bias berhubungan dengan struktur dan komposisi senyawa organik di
dalam suatu bahan. Indeks bias akan meningkat dengan bertambah panjangnya rantai karbon senyawa
organik tetapi peningkatan ini akan berkurang dengan bertambahnya jumlah ikatan rangkap pada
senyawa tersebut. Penelitian persen transmisi minyak biji bintaro dengan variasi perlakuan tingkat
kematangan buah dan jenis ekstraksi disajikan seperti pada Gambar 21.
120

100
% Transmisi

80

60

40

20

0
Kecambah Muda Matang
Tingkat Kematangan Buah

Hydrolic Pressing Hot Hydraulic Pressing Maserasi dengan pelarut heksana

Gambar 21. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi terhadap
kejernihan minyak biji bintaro.

Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa nilai kejernihan terbesar terdapat pada minyak
yang berasal dari buah bintaro berkecambah yang diekstrak minyaknya dengan menggunakan pelarut
sebesar 97,61 persen dan nilai kejernihan terendah terdapat pada minyak yang dihasilkan dari buah
bintaro muda yang diekstrak dengan menggunakan hot hydraulic pressing sebesar 38,35 persen. Rata
– rata persen transmisi pada minyak biji bintaro adalah 81,31 persen.
Berdasarkan hasil analisis keragaman (Lampiran 10) didapatkan bahwa faktor tingkat
kematangan buah berpengaruh nyata terhadap nilai kejernihan minyak biji bintaro. Berdasarkan hasil
pengujian Duncan didapatkan bahwa rata – rata persen transmisi minyak biji bintaro terbesar adalah
minyak yang berasal dari buah yang matang sebesar 91,22 persen dilanjutkan dengan minyak yang
berasal dari buah yang kecambah sebesar 90,97 persen dan buah yang muda sebesar 61,74 persen.
Pada minyak yang berasal dari buah berkecambah dengan buah yang berasal dari buah yang matang,
nilai persen transmisinya tidak berbeda nyata karena memiliki kadar protein yang tdak berbeda jauh.
Data hasil penelitian menujukkan bahwa semakin tinggi tingkat kematangan buah maka nilai
kejernihan semakin besar. Hal tersebut disebabkan karena banyaknya kandungan protein yang
terdapat pada buah yang muda dimana keberadaan protein dalam biji bntaro dapat menyebabkan
terjadinya browning pada minyak biji bintaro. Menurut Ketaren (1986), pigmen cokelat yang terdapat
di dalam minyak dapat disebabkan karena adanya reaksi molekul karbohidrat dengan gugus pereduksi
seperti aldehid serta gugus amin dari molekul proteindan yang disebabkan karena aktivitas enzim –
enzim, seperti phenol oxidase, polyphenol oxidase, dan sebagainya.
Berdasarkan hasil analisis keragaman juga didapatkan hasil bahwa faktor metode ekstraksi
berpengaruh nyata terhadap nilai persen transmisi minyak yang didapat. Berdasarkan hasil pengujian

31
Duncan didapatkan bahwa rata – rata persen transmisi minyak biji bintaro terbesar adalah minyak
yang diekstrak dengan pelarut sebesar 85,74 persen dilanjutkan dengan minyak yang diekstrak dengan
menggunakan hydraulic pressing sebesar 84,82 persen dan minyak yang diekstrak dengan
menggunakan hot hydraulic pressing sebesar 73, 37 persen. Rendahnya nilai persen transmisi yang
terdapat di dalam minyak biji bintaro pada pengepresan menggunakan hydraulic dan hot hydraulic
presser disebabkan karena sebagian minyak mengalami oksidasi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Ketaren (1986) yaitu suhu pemanasan yang tinggi pada waktu pengepresan dengan cara hidrolik atau
expeller dapat mengakibatkan oksidasi sebagian minyak dan disamping itu minyak yang terdapat
dalam keadaan panas akan mengekstraksi zat warna yang terdapat dalam bahan tersebut.
Hasil analisa keragaman juga menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang berbeda nyata
pada tingkat 1 persen dan 5 persen antara faktor tingkat kematangan buah dengan faktor metode
ekstraksi. Dari hasil uji Duncan didapat bahwa nilai persen transmisi minyak dari setiap perlakuan
berbeda nyata secara keseluruhan. Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa minyak yang dihasilkan
dari buah bintaro berkecambah yang diekstraksi menggunakan pelarut memiliki tingkat kejernihan
yang paling tinggi.

4.2.9. Rendemen

Rendemen minyak dihitung untuk mengetahui jumlah minyak biji bintaro yang dihasilkan
dari setiap perlakuan. Rendemen minyak dapat digunakan untuk mengetahui besarnya hasil dari suatu
proses produksi. Rendemen minyak biji bintaro didapatkan dengan menghitung jumlah produk
(minyak) yang dihasilkan terhadap total bahan (biji bintaro) yang diekstraksi. Penelitian rendemen
minyak biji bintaro dengan variasi perlakuan tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi disajikan
seperti pada Gambar 22.
60
50
Rendemen (%)

40
30
20
10
0
Kecambah Muda Matang
Tingkat Kematangan Buah

Hydraulic Presser Hot Press Hydraulic Maserasi dengan heksana

Gambar 22. Grafik pengaruh tingkat kematangan buah bintaro dan metode ekstraksi minyak biji
bintaro terhadap rendemen.

Berdasarkan data yang diperoleh dari grafik di atas, rendemen yang terbesar terdapat pada
buah bintaro matang dan diekstrak minyaknya menggunakan pelarut n – heksan sebesar 52,59 persen
sedangkan rendemen terendah terdapat pada buah bintaro yang berkecambah dan diekstrak minyaknya
menggunakan alat kempa hidrolik (hydraulic presser) sebesar 21,82 persen. Menurut Ketaren (1986)
banyaknya minyak atau lemak yang dapat diekstraksi tergantung dari lamanya pengepresan, tekanan
yang dipergunakan, serta kandungan minyak dalam bahan asal. Banyaknya minyak yang tersisa pada

32
bungkil dengan pengepresan mekanis berkisar 4 sampai 6 persen. Sedangkan banyaknya kadar
minyak yang tersisa pada ekstraksi dengan pelarut berkisar 1 persen atau lebih rendah.
Berdasarkan hasil analisis keragaman (Lampiran 11), faktor tingkat kematangan buah bintaro
memberikan pengaruh yang nyata terhadap rendemen minyak biji bintaro yang dihasilkan. Dari hasil
uji Duncan didapatkan rata – rata rendemen minyak antara biji bintaro muda sebesar 42,31 persen
dengan rata – rata rendemen minyak biji bintaro matang sebesar 43,33 persen tidak terdapat perbedaan
nyata. Sedangkan perbedaan rata – rata rendemen minyak biji bintaro berkecambah sebesar 35,95
persen memiliki perbedaan yang sangat nyata terhadap rata – rata rendemen minyak biji bintaro muda
dan matang. Tingginya rendemen minyak biji bintaro pada buah yang matang disebabkan karena
terjadinya proses metabolisme pembentukan lemak yang terjadi selama tingkat pematangan buah.
Namun pada buah berkecambah memiliki kadar lemak terendah karena pada buah yang berkecambah
lemak digunakan sebagai bahan dalam pembentukan membran sel.
Dari hasil analisis keragaman menunjukkan juga bahwa faktor jenis ekstraksi minyak biji
bintaro memberikan pengaruh yang nyata terhadap rendemen minyak biji bintaro yang dihasilkan.
Dari hasil uji Duncan didapatkan rata – rata rendemen minyak biji bintaro dengan ekstraksi hot
hydraulic pressing sebesar 42,12 persen, rata – rata rendemen minyak biji bintaro dengan ekstraksi
hydraulic pressing sebesar 29,28 persen dan rata – rata rendemen minyak biji bintaro dengan ekstraksi
pelarut sebesar 50,20 persen. Ekstraksi minyak dengan pelarut n-heksan memiliki rendemen yang
paling tinggi dibandingkan ekstraksi minyak dengan alat kempa hidrolik. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Ketaren (1986) bahwa ekstraksi minyak dengan menggunakan pelarut menghasilkan
bungkil dengan kadar lemak (minyak) yang lebih rendah (1 persen atau lebih rendah) dibandingkan
dengan ekstraksi minyak menggunakan hydraulic presser sebesar 4 sampai 6 persen karena sebagian
fraksi bukan minyak akan ikut terekstraksi. Selain itu, rendahnya rendemen minyak biji bintaro yang
diekstrak dengan pengepresan hidrolik disebabkan oleh sifat fisis dari minyak biji bintaro itu sendiri
yang tergolong cukup kental sehingga pada saat dilakukan pengepresan, masih banyak terdapat
minyak yang terkandung di dalam bungkil biji bintaro.
Dari hasil penelitian juga didapatkan bahwa ekstraksi dengan hot hydraulic pressing
menghasilkan minyak yang lebih besar dibandingkan dengan hydraulic pressing karena perbedaan
suhu yang cukup tinggi pada kedua metode pengepresan tersebut. Semakin tinggi suhu maka
viskositas fasa cair semakin kecil sehingga minyak lebih mudah keluar. Menurut Norris (1982),
minyak yang diperoleh dengan pengempaan mekanis dipengaruhi oleh kandungan air, metode
pemanasan, dan komposisi kima biji. Selain itu rendemen minyak bergantung pula dengan laju
pengempaan, pengempaan maksimum yang diperoleh, waktu dan suhu atau viskositas.
Berdasarkan hasil analisis keragaman didapatkan bahwa terjadi interaksi antara tingkat
kematangan buah dengan metode ekstraksi minyak biji bintaro terhadap rendemen yang dihasilkan
pada tingkat 5 persen. Hasil uji Duncan pengaruh interaksi kematangan buah bintaro dengan metode
ekstraksi biji bintaro menunjukkan bahwa terdapat beberapa kombinasi perlakuan yang tidak memiliki
perbedaan nyata dengan kombinasi lainnya, diantaranya adalah kombinasi antara A2B2 dengan A2B1,
kombinasi antara A1B2 dengan A1B1, dan kombinasi antara A3B2 dengan A3B1. Sedangkan pada
kombinasi lainnya berpengaruh nyata. Berdasarkan penelitian ini, maka rendemen minyak biji bintaro
terbaik dihasilkan dari buah bintaro yang matang dengan metode ekstraksi menggunakan pelarut.

4.2.10. Komponen Asam Lemak Minyak Biji Bintaro

Penentuan komponen asam lemak dilakukan dengan menggunakan metode Gas


Chromatography Spectrofotometry Mass. Analisa Gas Chromatography Spectrofotometry Mass
dilakukan pada minyak biji bintaro dengan hasil yang terbaik dari setiap kombinasi perlakuan yaitu

33
minyak biji bintaro dari buah matang dan diekstrak minyaknya dengan menggunakan pelarut. Hasil
analisa dapat dilihat pada Lampiran 12. Berdasarkan hasil uji, didapat komposisi asam – asam lemak
penyusun minyak biji bintaro yang dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Komposisi Asam – Asam Lemak Minyak Biji Bintaro


Jenis Asam Lemak Jumlah atom C Komposisi (%)
Palmitat C16 26,24
Oleat C18:1 47,78
Stearat C18 0,80
Miristat C14 0,59
Linoleat C18:2 4,10
Linolenat C18:3 1,11
Asetat C2 0,88

Berdasarkan uji GCMS dapat dilihat bahwa asam lemak cis-9-oktadekenoat (asam oleat)
merupakan asam lemak yang tertinggi yaitu sebesar 47,78 persen. Asam oleat merupakan asam lemak
tidak jenuh yang tersusun atas 18 atom C dengan satu ikatan rangkap di antara atom C ke-9 dan ke-10.
Asam ini memiliki rumus kimia: CH3(CH2)7CHCH(CH2)7)COOH. Asam oleat memiliki sifat tidak
larut dalam air dan memiliki titik didih 14°C. Pada suhu ruang asam oleat berbentuk kental dengan
warna kuning kecoklatan. Selain asam oleat, minyak biji bintaro juga mengandung asam palmitat
yang cukup tinggi yaitu 26,24 persen. Asam palmitat merupakan asam lemak jenuh yang tersusun dari
16 atom karbon (CH3(CH2)14COOH). Pada suhu ruang, asam palmitat berwujud padat berwarna putih
dengan titik cair 64 °C (Ketaren 1986). Selain itu, minyak biji bintaro juga mengandung asam – asam
lemak lainnya seperti asam stearat, asam miristat, asam asetat, asam linolenat, dan asam linoleat.
Asam stearat merupakan asam lemak yang terdapat pada sebagian besar lemak hewani dan minyak
nabati. Asam lemak ini merupakan asam lemak jenuh dengan 18 atom C. Asam stearat mencair pada
suhu sekitar 69.4°C (Muchtadi 1993). Asam asetat merupakan asam lemak jenuh yang memiliki 2
atom C dengan rumus molekul CH3COOH (Ketaren 1986). Asam miristat merupakan asam lemak
jenuh yang bersumber dari minyak nabati dan memiliki 14 atom C. Asam linolenat adalah asam lemak
tidak jenuh dengan 18 ataom C yang memiliki 3 ikatan rangkap (Ketaren 1986). Asam linoleat
merupakan asam lemak tidak jenuh yang mamiliki 18 atom C dengan dua ikatan rangkap diantara
atom C ke-9 dan ke-12. Asam lemak ini dikenal juga dengan sebutan 9,12-oktadekadienoat yang
banyak ditemukan pada minyak perilla dan biji lin (Muchtadi 1993).
Pada penelitian ini, kandungan asam lemak oleat minyak biji bintaro lebih tinggi
presentasenya dibandingkan dengan minyak jarak pagar sebesar 38,6 persen (Janin 2010) dan minyak
kelapa sawit sebesar 39 – 45 persen (Eckey 1955). Sementara itu, minyak biji bintaro memiliki asam
lemak oleat yang lebih rendah namun mendekati dibandingkan dengan minyak nyamplung sebesar
48,49 persen (Sudrajat 2007). Kandungan asam lemak palmitat minyak biji bintaro lebih tinggi
presentasenya dibandingkan dengan minyak jarak pagar sebesar 14,1 persen (Janin 2010) dan minyak
nyamplung sebesar 15,89 persen (Sudrajat 2007). Sementara itu, minyak biji bintaro memiliki
kandungan asam lemak palmitat lebih rendah presentasenya dibandingkan dengan minyak kelapa
sawit sebesar 40 – 46 persen (Eckey 1955). Pada penelitian ini juga meunjukkan bahwa kandungan
asam lemak tidak jenuh minyak biji bintaro memiliki presentase yang lebih tinggi sebesar 52,99
persen dibandingkan dengan asam lemak jenuh 28,51 persen.

34
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Kadar minyak biji bintaro berkisar antara 45,56 persen sampai 59,58 persen. Tingginya kadar
lemak pada biji bintaro menyebabkan minyak bintaro memiliki potensi yang besar untuk
dikembangkan menjadi sumber minyak nabati. Dari beberapa parameter yang digunakan sebagai
respon setiap perlakuan, diperoleh hasil bahwa tingkat kematangan buah dan metode ekstraksi
berpengaruh nyata terhadap rendemen, kadar asam lemak bebas (Fat Fatty Acid), bilangan iod,
bilangan penyabunan, bilangan peroksida, viskositas, persen transmisi, dan kadar abu. Namun tingkat
kematangan buah dan metode ektraksi tidak berpengaruh nyata terhadap densitas minyak biji bintaro.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan rendemen yang terbesar terdapat pada buah bintaro
matang dan diekstrak minyaknya menggunakan pelarut n – heksan sebesar 52,59 persen, kadar asam
lemak bebas terkecil terdapat pada minyak yang dihasilkan dari buah bintaro muda sebesar 0,31
persen, bilangan iod tertinggi terdapat pada minyak yang berasal dari buah bintaro berkecambah
dengan metode ekstraksi dengan pelarut n-heksana sebesar 85,19 I2/100 gram minyak, bilangan
peroksida terendah terdapat pada minyak yang dihasilkan dari buah bintaro matang dengan ekstraksi
hot hydraulic pressing sebesar 5,61 mg oksigen/100 g minyak, viskositas terkecil terdapat pada
minyak yang berasal dari buah yang berkecambah dengan metode esktraksi dengan pelarut sebesar
59,70 cP, nilai kejernihan terbesar terdapat pada minyak yang berasal dari buah bintaro berkecambah
yang diekstrak minyaknya dengan menggunakan pelarut sebesar 97,61 persen. Selain itu dari hasil
penelitian juga didapat bahwa minyak biji bintaro memiliki bobot jenis minyak pada rentang 0,8984
g/ml dan 0,9062 g/ml. Minyak biji bintaro juga memliki bilangan penyabunan pada rentang 182,66
mg KOH/g minyak dan 208,55 mg KOH/g minyak.
Berdasarkan hasil analisis, didapatkan perlakuan terbaik untuk produksi minyak biji bintaro
adalah minyak biji bintaro yang berasal dari buah yang sudah masak dan di ekstrak minyaknya dengan
menggunakan pelarut n-heksana dengan rendemen sebesar 52,59%, kadar asam lemak bebas sebesar
2.75%, nilai bilangan iod sebesar 60.31 g I2/100 g, nilai bilangan peroksida 5.85 mg O2/g, nilai
bilangan penyabunan 199.76 mg KOH/g, nilai viskositas 63.25 cP, nilai densitas 0.9041 g/cm3, nilai
%transmisi 87.43% dan nilai kadar abu 0.39%.
Pengujian Gas Chromatography Spectrofotometry Mass (GCMS) dilakukan pada minyak
dengan kombinasi perlakuan terbaik yaitu minyak dari buah yang sudah masak dan diekstrak
minyaknya dengan menggunakan pelarut n-heksana. Hasil pengujian GCMS menyatakan bahwa
asam lemak asam lemak oleat dan asam lemak palmitat merupakan asam lemak dengan jumlah yang
tertinggi di dalam minyak biji bintaro.

5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, disarankan untuk menentukan umur buah bintaro secara lebih
spesifik sehingga diketahui perbedaan sifat fisiko kimia minyak yang dihasilkan, menganalisis
bungkil hasil sisa ekstraksi, menghitung rpm pengaduk pada ekstraksi dengan maserasi, menggunakan
suhu yang berbeda pada ekstraksi dengan maserasi dan mengkaji tekno ekonomi terhadap pembuatan
minyak biji bintaro.

35
DAFTAR PUSTAKA

Achten WMJ., Verhot YJ., Franken E., Mathijs VP., Singh R., Aerts, and B. Muys. 2008. Jatropha
Bio-diesel Production and Use. Biomass Bioenergi. 32:1063 – 1084.

Ahmad. 2006. Ekstaksi Minyak Nabati. Sinar Wadja Lestari. Jakarta.

Adrian WD. 2009. Biji Buah Bintaro Sebagai Bakar Alternatif.


http://www.wargahijau.org/index.php?option=com_content&view=article&id=474:biji-buah-
bintaro-sebagai-bahan-bakar-alternatif&catid=24:green-energy&Itemid=25. [10 Jun 2011].

Alamendah. 2011. Bintaro (Cebera Manghas) Pohon Penghijauan yang Beracun.


http://alamendah.wordpress.com/2011/01/10/bintaro-cerbera-manghas-pohon-penghijauan-
yang-beracun/. [10 Jun 2011].

Anonim. 2010. Asam Lemak. http://ocw.usu.ac.id/course/download/4140000062-


teknologioleokimia/tkk 322_handout_asam_lemak.pdf. [8 Juli 2011].

Anonim. 2011. Bintaro (Cebera Manghas L). http://www.plantamor.com/index.php?plant=309.[10


Jun 2011].

Ansel HC. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi.EdisiIV. Jakarta:UI Press.

AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of Association Official Analytical Chemist. AOAC Inc.
Washington.

AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of Association Official Analytical Chemist. AOAC Inc.
Washington.

Bailey AE. 1950. Industrial Oil and Fat Products. Interscholastic Publishers. New York.

Chang LC., Gills JJ., Bhat KP., Luyengi L., Farnsworth NR, Pezzuto JM., and Kinghorn AD. 2000.
Activity Guided Isolation of Constituents of Cerbera manghas with Antiproliferative and
Antiestrogenic Activities. Bioorganic and Medical Chemistry Letters 10(21): 2431–2434.

Departemen Kehutanan. 2008. Tanaman Nyamplung sebagai Sumber Energi Biofuel. www.
Indonesia.go.id [Diakses tanggal 9 Juli 20011].

Eckey SW. Vegetable Fat and Oil. Di dalam: Ketaren (ed).1986. UI Press. Jakarta.

Edi. 2011. Minyak Biji Bintaro, Newcomer in Alternative Energy. http://id.shvoong.com/exact-


sciences/bioengineering-and-biotechnology/2095974-minyak-biji-bintaro-newcomer
alternative/. [10 Jun 2011].

Endriana D. 2007. Sintesis Biodiesel dari Minyak Biji Bintaro (Ceberra manghas) Hasil Ekstraksi.
Kimia Mipa-ui. Depok.

Fantastico. 1986. Fisiologi Pasca Panen. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Fauzi A. 2011. Respirasi Pada Buah dan Sayur. http://chylenzobryn.blogspot.com/2011/05/respirasi-


pada-buah-dan-sayur.html.[14 Jun 2011].

Formo MW. 1978. Physical Properties. di dalam D Swern (ed) Bailey’s Industrial Oil and Fat
Products. John Wiley and Sons. New York.

36
Gaillard Y., Krisnamoorthy, A., and Bevalot, F. 2004. Cebera odollam: a suicide tree and cause of
death in the state of Kerala India. Journal of Ethnopharmacology 95:123-126.

Unin. 2003. Kajian Ekstraksi Minyak Biji Mengkudu (Morinda citrifolia L.,) Menggunakan Pelarut
Organik. Skripsi. Fateta: IPB Bogor.

Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia III. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Departemen Kehutanan. Jakarta.

Jacobs MB. and L Scheflan. 1953. The Handbook of Solvents. Van Nostrand Company, Inc. New
York.

Jamieson GS. 1943. Vegetable fat and Oils 2nd ed. Reinhold Publishing Corporation. New York.

Janin S. and M. P. Sharma. 2010. Kinetics of Acid Base Catalized Transesterification of Jathropha
Curcas Oil. Bioresource Technology.

Junaidi W. 2010. Metabolisme Lipid. http://wawan-junaidi.blogspot.com/2010/01/metabolisme-


lipid.html [5 Juli 2011].

Keenan. 1984. Kimia Untuk Universitas. Erlangga. Jakarta.

Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan lemak. UI Press. Jakarta.

Kurnia R. 2010. Ekstraksi dengan Pelarut. Skripsi. FATETA: IPB Bogor.

Kusumo S. 1990. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. CV Yasaguna. Jakarta

Krik RE and DF Othmer. 1964. Encyclopedia of Chemical Technology. The Interscience


Encyclopedia Inc., New York. P 362 – 374.

Moestapa. 1981. Aspek Teknis Pengolahan Rempah – Rempah Menjadi Oleoresin dan minyak
Rempah – Rempah. BBIHP. Bogor.

Muchtadi D dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat Antar-Universitas Pangan
dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Muchtadi D dan Sugiyono. 1993. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat Antar-Universitas Pangan
dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Norris FA. 1982. Extraction of Fat and Oils. di dalam D.Swern (ed) Bailey’s Industrial Oil and Fat
Products. John Wiley and Sons. New York.

Pranowo D. 2010. Bintaro (Cerbera manghas LINN) Tanaman Penghasil Minyak Nabati. Tree 1:91

Rindengan B., A. Lay, H. Novarianto dan Z. Mahmud. 1996. Pengaruh Jenis dan Umur Buah
Terhadap Sifat Fisikokimia Daging Buah Kelapa Hibrida dan Pemanfaatannya. Jurnal
Penelitian Tanaman Industri 18(4): 143 – 149.

Rose and Arthur. 1975. The Condensed Chemical Dictionary. Chapmand and Hall, Ltd. London.

Sabel and Warren. 1973. Theory and Practice of Oleoresin Extraction. Di dalam Proceeding of The
Conference of Spice. Tropical Products Institute. London.

37
Setiono. 2010. Mekanisme Penyerapan Nutrisi Mineral.
http://setiono774.blogspot.com/2010/11/mekanisme-penyerapan-nutrisi-mineral.html [8 Juli
2011].

Silan. 1998. Ekstraksi Minyak Biji Karet dengan Alat Pengempa Berulir dan karakteristik Mutu
Minyaknya. Skripsi. FATETA. IPB Bogor.

SNI. 2006. Standar Nasional Indonesia Biodiesel. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.

Sudjadi. 1986. Metode Pemisahan. UGM Press. Jogjakarta.

Sudrajat R., Sahiman, dan D. Setiawan. 2007. Pembuatan Biodiesel dari Biji Nyamplung. Jurnal
Penelitian Hasil Hutan Vol. 25 No. 1, Februari, pp. 41-56.
Suryandari S. 1981. Pengambilan Oleoresin Jahe Dengan Cara Solvent Extraction. BBIHP. Bogor.

Swern D. 1989. Bailey’s.Industrial Oil and Fat Product. Vol 1. 4th edition. John Wiley and Sons. New
York.

Vitriani V. 2003. Ekstraksi Biji Jarak (Ricinus communis L) Menggunakan Alat Pengempa Panas dan
Karaketerisasi Mutu Minyaknya. Skripsi. Fateta. IPB Bogor.

Voight R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Edisi ke-5. Diterjemahkan oleh: Dr. Soendani
Bandung.

Wirahadikusumah M. 1989. Biokimia, Protein, Enzim dan Asam Nukleat. ITB. Bandung.

38
LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur Analisa Proksimat Biji Bintaro

1. Kadar Air dengan Metode Oven (AOAC, 1984)

Cawan aluminium kosong dipanaskan dengan oven 105 oC selama 15 menit, kemudian didinginkan
dengan desikator selama 30 menit dan ditimbang. Prosedur pengeringan cawan ini diulang sampai
didapatkan bobot tetap. Contoh sebanyak 4-5 gram ditimbang dalam cawan tersebut, kemudian
dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC selama 3-5 jam. Setelah cawan dikeluarkan dari oven dan
didinginkan, diulang sampai didapatkan bobot tetap bahan. Presentase kadar air dapat dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :

Keterangan :
m = bobot contoh (gram)
m1 = bobot contoh sebelum dikeringkan (gram)
m2 = bobot contoh setelah dikeringkan (gram)

2. Kadar Abu dengan Metode Oven (AOAC, 1984)

Contoh sebanyak 4-5 gram ditimbang dalam cawan yang bobotnya konstan. Dibakar sampai tak
berasap di atas bunsen dengan api kecil, kemudian dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 oC sampai
menjadi abu. Cawan didinginkan dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang. Pengabuan
diulangi, dengan cara dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 oC selama 1 jam sampai didapat bobot
yang tetap. Presentase kadar abu dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Keterangan :
m = bobot contoh basah (gram)
m1 = bobot cawan berisi abu contoh (gram)

m2 = bobot cawan (gram)

3. Kadar Protein (Nitrogen) dengan Metode Kjedhal

Contoh sebanyak 0.1-0.5 gram, ditambahkan dengan 1 gram katalis (CuSO4 dan Na2SO4) dan 2.5
larutan H2SO4 pekat dan didekstruksi dalam labu kjeldhal sampai berwarna hijau bening. Kemudian
bahan dimasukkan ke dalam tabung dan alat destilat selama 4 menit. Bahan akan bercampur dengan
larutan NaOH 6 N, asam borat dan indikator mensel. Larutan hasil destilat ditampung dalam erlenmeyer
dan dititrasi dengan larutan H 2SO4 0.02 N. Penentuan kadar nitrogen berdasarkan volume larutan H 2SO4
0.02 N yang digunakan untuk titrasi.
Blanko disiapkan seperti prosedur penentuan kadar nitrogen dengan metode kjeldhal. Penentuan kadar
nitrogen dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut :

39
Keterangan :
FP = Faktor Pengenceran
FK = Faktor Konversi (6.25)

4. Kadar Lemak dengan Metode Ekstraksi Langsung dengan Alat Soxhlet (SNI 01-2891-1992)

Sebanyak 1-2 gram contoh, dimasukkan ke dalam selongsong kertas saring yang dilapisi dengan
kapas. Kemudian selongsong kertas saring berisi contoh disumbat dengan kapas lalu dikeringkan di
dalam oven pada suhu 80oC selama kurang lebih 1 jam. Kemudian selongsong kertas yang telah dioven
dimasukkan ke dalam alat soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak berisi batu didih yang telah
dikeringkan dan telah diketahui bobotnya. Kemudian diekstraksi dengan hexan atau pelarut lemak lainnya
selama kurang lebih 6 jam. Kemudian hexan disuling dan ekstrak lemak dikeringkan di dalam oven pada
suhu 105oC sampai bobotnya tetap. Didinginkan dan ditimbang. Penentuan kadar lemak dihitung
berdasarkan rumus sebagai berikut :

Keterangan :
W = bobot contoh (gram)
W1 = bobot labu lemak kosong (gram)
W2 = bobot labu lemak dan lemak (gram)

5. Kadar Serat Kasar (AOAC, 1984)

Sebanyak 2 gram contoh dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan 100 ml
H2SO4 0.325 N, kemudian dihidrolisis di dalam autoklaf selama 15 menit pada suhu 105 oC. Didinginkan
lalu ditambahkan NaOH 1.25 N sebanyak 50 ml. Hidrolisis kembali ke dalam autoklaf selama 15 menit.
Kemudian contoh disaring dengan kertas saring yang telah dikeringkan dan diketahui bobot tetapnya.
Contoh dicuci berturut-turut dengan air panas menggunakan 25 ml H2SO4 0.325 N, kemudian dicuci
dengan air panas terakhir menggunakan alkohol 25 ml. Kertas saring dikeringkan di dalam oven pada
suhu 105oC sampai bobotnya tetap. Penentuan kadar serat dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut :

Keterangan :
W = bobot contoh (gram)
W1 = bobot kertas (gram)
W2 = bobot kertas dan serat (gram)

40
Lampiran 2. Prosedur Analisa Fisiko Kimia Minyak Biji Bintaro

1. Rendemen

Rendemen minyak biji bintaro dihitung dengan cara membandingkan bobot minyak yang diperoleh
dengan bobot biji bintaro yang akan diekstraksi

2. Asam Lemak Bebas (AOAC, 1995)

Contoh yang akan diuji, ditimbang sebanyak 5-10 gram di dalam erlenmeyer 250 ml, kemudian ke
dalam contoh ditambahkan etanol netral 95% sebanyak 25 ml dan dipanaskan sampai mendidih. Larutan
ditambahkan 2 tetes indikator PP, kemudian dititrasi dengan larutan KOH 0.1 N hingga berwarna merah
muda (konstan selama 15 detik).

Keterangan :
V = Volume KOH yang diperlukan dalam titrasi contoh (ml)
T = Normalitas larutan KOH
M = Bobot molekul asam lemak dominan (asam oleat yaitu 282)
m = bobot contoh (gram)

3. Bilangan Iod (AOAC, 1995)

Contoh minyak yang telah disaring ditimbang sebanyak 0.25 gram di dalam erlenmeyer 500 ml,
lalu dilarutkan dengan 10 ml kloroform atau tetraklorida dan ditambahkan dengan 25 ml pereaksi hanus.
Semua bahan di atas dicampur merata dan disimpan di dalam ruangan gelap selama satu jam. Sebagian
iodium akan dibebaskan dari larutan. Setelah penyimpanan, ke dalamnya ditambahkan 10 ml larutan KI
15% sambil terus dikocok. Selanjutnya aquades yang telah dididihkan ditambahkan sebanyak 100 ml.
Iod yang dibebaskan kemudian dititrasi dengan larutan Na 2S2O3 0.1 N sampai larutan tersebut berwarna
kuning pucat. Selanjutnya ditambahkan larutan kanji 1% dan titrasi kembali sampai warna biru hilang.
Blanko dibuat dengan cara yang sama tanpa menggunakan minyak.

Keterangan :
T = normalitas larutan Na2S2O3 0.1 N
V1 = volume larutan Na2S2O3 0.1 N yang diperlukan dalam titrasi blanko (ml)
V2 = volume larutan Na2S2O3 0.1 N yang diperlukan dalam titrasi contoh (ml)
m = bobot contoh (gram)

41
4. Bilangan Penyabunan (SNI 01-2891-1992)

Sebanyak dua gram contoh ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 250 ml.
Kemudian ditambahkan 25 ml KOH alkohol 0.5 N dengan menggunakan pipet dan beberapa butir batu
didih. Erlenmeyer yang berisi larutan dihubungkan dengan pendingin tegak dan dididihkan di atas
penangas air atau penangas listrik selama satu jam. Lalu ditambahkan 0.5-1 ml fenolftalein ke dalam
larutan tersebut dan dititer dengan HCl 0.5 N sampai warna indikator berubah menjadi tidak berwarna.
Lakukan juga untuk blanko.

Keterangan :
Vo = volume HCl 0.5 N yang diperlukan pada peniteran blanko (ml)
V1 = volume HCl 0.5 N yang diperlukan pada peniteran contoh (ml)
m = bobot contoh (gram)

5. Bilangan Peroksida (AOAC, 1995)

Minyak sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam gelas erlenmeyer berpenutup. Ditambahkan 30 ml


CH3COOH-CHCl3 dan diaduk sampai larut. Selanjutnya ditambah KI jenuh 0.5 ml dari pipet mohr,
biarkan kadang-kadang diaduk selama 1 menit dan ditambahkan 30 ml H2O. Perlahan-lahan titrasi dengan
0.1 N Na2S2O3 sambil diaduk kuat hingga warna kuning mulai menghilang. Tambahkan kira-kira 0.5 ml
larutan amilum 1% dan titrasi kembali. Aduk kuat-kuat untuk melepas semua I2 dari lapisan CHCl3
sampai warna biru menghilang. Jika kurang dari 0.5 ml 0.1 N Na2S2O3 digunakan, kita ulangi penentuan
dengan 0.01 N Na2S2O3. Prosedur yang sama kita lakukan untuk blanko. Bilangan peroksida dinyatakan
dengan mmol O2/2 kg sampel atau sebanding dengan mg O2/kg sampel.

Keterangan :
S = volume Na2S2O3 0.1 N yang diperlukan pada peniteran sampel (ml)
B = volume Na2S2O3 0.1 N yang diperlukan pada peniteran blanko (ml)
N = Normalitas Na2S2O3
G = bobot contoh (gram)

6. Kadar Abu dengan Metode Oven (AOAC, 1984)

Contoh sebanyak 4-5 gram ditimbang dalam cawan yang bobotnya konstan. Dibakar sampai tak
berasap di atas bunsen dengan api kecil, kemudian dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 oC sampai
menjadi abu. Cawan didinginkan dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang. Pengabuan
diulangi, dengan cara dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 oC selama 1 jam sampai didapat bobot
yang tetap. Presentase kadar abu dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

42
Keterangan :
m = bobot contoh basah (gram)
m1 = bobot cawan berisi abu contoh (gram)

m2 = bobot cawan (gram)

7. Kekentalan / Viskositas (AOAC, 1995)

Pengukuran viskositas dilakukan dengan menggunakan alat Viskometer Brookfield. Contoh


sebanyak ± 25 ml (jumlah yang diperlukan untuk merendamkan tanda tera pada beban) dimasukan ke
dalam gelas piala, dan diatur suhunya agar tetap 25 ± 0.5 °C. Beban dan putaran per menit (rpm) yang
akan digunakan (bernomor) diatur terlebih dahulu untuk menentukan angka konversinya yang terdapat
pada tabel bagian atas alat. Contoh dimasukkan ke dalam wadah hingga tanda tera pada beban terendam.
Motor penggerak dijalankan setelah jarum menunjukan angka nol. Motor dimatikan setelah satu menit,
dan tombol penekan jarum ditekan, kemudian dibaca angka yang ditunjukkan oleh jarum tersebut (A).
Pada Gambar 10 dapat dilihat proses pengujian viskositas dengan menggunakan viscometer brookfield.
Rumus viskositas adalah sebagai berikut.

Viskositas (cP) = A x angka konversi

8. Densitas Metode Piknometer (AOAC, 1995)

Piknometer dicuci dengan air kemudian dengan etanol dan dietileter lalu dikeringkan dengan oven.
Piknometer ditimbang (m) kemudian diisi dengan aquades yang telah dididihkan dan bersuhu 40 oC
dihindari adanya gelembung-gelembung udara dan permukaan air diatur sampai penuh atau tanda tera.
Piknometer dimasukkan ke dalam penangas air pada suhu 40 oC selama 30 menit. Suhu penangas air
diperiksa dengan termometer. Apabila terdapat air di bagian luar maka keringkan dengan menggunakan
kertas saring sampai benar-benar kering. Piknometer yang berisi aquades ditimbang (m1). Piknometer
dikosongkan dan dicuci dengan etanol dan dietileter kemudian dikeringkan. Piknometer diisi dengan
bahan yang akan diukur bobot jenisnya dan dihindari terjadinya gelembung udara. Permukaan bahan
diatur sampai tanda tera kemudian ditimbang (m2). Densitas atau bobot jenis dihitung dengan rumus
berikut :

Keterangan :
m = bobot piknometer (gram)
m1 = bobot piknometer berisi aquades (gram)
m2 = bobot piknometer berisi minyak (gram)

43
9. Persen Transmisi (Spectronic 20)

Prinsip analisis persen transmisi adalah jumlah sinar dengan λ tertentu yang dapat diteruskan
dipengaruhi oleh intensitas warna adan kejernihan serta kandungan komponen di dalam minyak atau
lemak tersebut.
Prosedur:
Alat spectronic 20 dinyalakan 15 menit sebelum digunakan. Kemudian panjang gelombang diset pada
panjang gelombang yang menghasilkan persen transmisi tertinggi (optimum). Kuvet diisi dengan larutan
blanko dan selanjutnya diset hingga skala menunjukkan angka 100%. Setelah itu kuvet yang berisi larutan
blanko diganti dengan contoh minyak yang akan diukur persen transmisinya dan dicatat persen transmisi
yang terbaca pada skala. Angka yang terbaca pada skala merupakan persen transmisi dari sampel yang
diukur.

44
Lampiran 3. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Kadar Asam Lemak Bebas Minyak

a) Data rata – rata kadar asam lemak bebas minyak biji bintaro
Tingkat Kematangan Buah Metode Ekstraksi % FFA
Matang Hot Hydraulic Pressing 1,90
Muda Hot Hydraulic Pressing 1,06
Kecambah Hot Hydraulic Pressing 2,51
Matang Hydraulic Pressing 1,79
Muda Hydraulic Pressing 0,31
Kecambah Hydraulic Pressing 2,01
Matang Ekstraksi Pelarut 2,75
Muda Ekstraksi Pelarut 2,17
Kecambah Ekstraksi Pelarut 4,54

b) Sidik ragam pengaruh tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi minyak terhadap kadar
asam lemak bebas minyak biji bintaro

Ftabel Ftabel α= α=
Sumber Keragaman Db JK KT Fhitung
(α = 0.05) (α = 0.01) 0.05 0.01
Perlakuan 8
Tingkat Kematangan (Ei) 2 9,36 4,68 21,68 4,26 8,02 BN BN
Jenis Ekstraksi (Vj) 2 10,54 5,27 24,40 4,26 8,02 BN BN
Interaksi (EVij) 4 1,75 0,44 2,03 3,63 6,42 TBN TBN
Ek (ij) 9 1,94 0,22
Total 17 23,60
Keterangan : BN = Berbeda Nyata ; TBN = Tidak Berbeda Nyata

c) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh tingkat kematangan buah terhadap kadar asam
lemak bebas minyak biji bintaro
Kelompok Kelompok
Tingkat Kematangan Buah Rata-Rata Duncan Duncan
(α=0.05) (α=0.01)
Muda 1,18 A A
Matang 2,15 B B
Kecambah 2,94 C C

45
d) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh metode ekstraksi minyak terhadap kadar asam
lemak bebas minyak biji bintaro
Kelompok Kelompok
Metode Ekstraksi Rata-Rata Duncan Duncan
(α=0.05) (α=0.01)
Hydraulic Pressing 1,37 A A

Hot Hydraulic Pressing 1,75 A A


Ekstraksi Pelarut 3,16 B B
Keterangan : Huruf yang sama pada kelompok Duncan menunjukan taraf perlakuan tidak berbeda nyata
pada α=0.05 dan α=0.01

46
Lampiran 4. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Bobot Jenis (Densitas) Minyak Biji
Bintaro

a) Data rata – rata densitas minyak biji bintaro


Tingkat Kematangan Buah Metode Ekstraksi Densitas
(g/ml)
Matang Hot Hydraulic Pressing 0,9029
Muda Hot Hydraulic Pressing 0,9037
Kecambah Hot Hydraulic Pressing 0,8984
Matang Hydraulic Pressing 0,9056
Muda Hydraulic Pressing 0,9058
Kecambah Hydraulic Pressing 0,9062
Matang Ekstraksi Pelarut 0,9041
Muda Ekstraksi Pelarut 0,9021
Kecambah Ekstraksi Pelarut 0,9009

b) Sidik ragam pengaruh tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi minyak terhadap bobot
jenis minyak biji bintaro

Ftabel Ftabel α= α=
Sumber Keragaman Db JK KT Fhitung
(α = 0.05) (α = 0.01) 0.05 0.01
Perlakuan 8
Tingkat Kematangan (Ei) 2 1,95E-05 9,78E-06 0,61 4,26 8,02 TBN TBN
Jenis Ekstraksi (Vj) 2 6,15E-05 3,08E-05 1,91 4,26 8,02 TBN TBN
Interaksi (EVij) 4 2,41E-05 6,02E-06 0,37 3,63 6,42 TBN TBN
Ek (ij) 9 1,44E-04 1,61E-05
Total 17 0,00025
Keterangan : BN = Berbeda Nyata ; TBN = Tidak Berbeda Nyata

47
Lampiran 5. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Bilangan Iod Minyak Biji Bintaro

a) Data rata – rata bilangan iod minyak biji bintaro


Tingkat Kematangan Buah Metode Ekstraksi Bilangan Iod
(I2/100 gram)
Matang Hot Hydraulic Pressing 61,63
Muda Hot Hydraulic Pressing 66,68
Kecambah Hot Hydraulic Pressing 62,16
Matang Hydraulic Pressing 51,08
Muda Hydraulic Pressing 69,90
Kecambah Hydraulic Pressing 74,93
Matang Ekstraksi Pelarut 60,30
Muda Ekstraksi Pelarut 67,12
Kecambah Ekstraksi Pelarut 85,19

b) Sidik ragam pengaruh tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi minyak terhadap bilangan
iod minyak biji bintaro

Ftabel Ftabel α= α=
Sumber Keragaman Db JK KT Fhitung
(α = 0.05) (α = 0.01) 0.05 0.01
Perlakuan 8
Tingkat Kematangan (Ei) 2 825,39 412,69 3518,08 4,26 8,02 BN BN
Jenis Ekstraksi (Vj) 2 177,64 88,82 757,18 4,26 8,02 BN BN
Interaksi (EVij) 4 498,84 124,71 1063,12 3,63 6,42 BN BN
Ek (ij) 9 1,05E+00 0,12
Total 17 1502,94
Keterangan : BN = Berbeda Nyata ; TBN = Tidak Berbeda Nyata

c) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh tingkat kematangan buah terhadap bilangan iod
minyak biji bintaro
Kelompok Kelompok
Tingkat Kematangan Rata-Rata Duncan Duncan
(α=0.05) (α=0.01)
Matang 57,67 A A
Muda 67,89 B B
Kecambah 74,09 C C

48
d) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh metode ekstraksi minyak terhadap bilangan iod
minyak biji bintaro
Kelompok Kelompok
Rata-
Metode Ekstraksi Duncan Duncan
Rata
(α=0.05) (α=0.01)
Hydraulic Pressing 63,49 A A
Hot Hydraulic Pressing 65,30 B B
Ekstraksi Pelarut 70,87 C C

e) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh interaksi antara perlakuan terhadap bilangan iod
minyak biji bintaro.
Kelompok Kelompok
Rata-
Perlakuan Duncan Duncan
Rata
(α=0.05) (α=0.01)
A2B1 51,08 A A
A3B1 60,30 B B
A1B1 61,63 C C
A1B3 62,16 D D
A1B2 66,67 E E
A3B2 67,12 F E
A2B2 69,90 G F
A2B3 74,92 H G
A3B3 85,19 I H
Keterangan : Huruf yang sama pada kelompok Duncan menunjukan taraf perlakuan tidak berbeda nyata
pada α=0.05 dan α=0.01

49
Lampiran 6. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Bilangan Penyabunan Minyak Biji
Bintaro

a) Data rata – rata bilangan penyabunan minyak biji bintaro


Tingkat Kematangan Buah Metode Ekstraksi Bilangan
Penyabunan
(mg KOH/g)
Matang Hot Hydraulic Pressing 205,08
Muda Hot Hydraulic Pressing 208,55
Kecambah Hot Hydraulic Pressing 184,83
Matang Hydraulic Pressing 206,70
Muda Hydraulic Pressing 190,78
Kecambah Hydraulic Pressing 197,13
Matang Ekstraksi Pelarut 199,76
Muda Ekstraksi Pelarut 194,53
Kecambah Ekstraksi Pelarut 182,66

b) Sidik ragam pengaruh tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi minyak terhadap bilangan
penyabunan minyak biji bintaro

Ftabel Ftabel α= α=
Sumber Keragaman Db JK KT Fhitung
(α = 0.05) (α = 0.01) 0.05 0.01
Perlakuan 8
Tingkat Kematangan (Ei) 2 748.59 374.29 3716.28 4.26 8.02 BN BN
Jenis Ekstraksi (Vj) 2 175.36 87.68 870.58 4.26 8.02 BN BN
Interaksi (EVij) 4 472.18 118.04 1172.04 3.63 6.42 BN BN
Ek (ij) 9 0.91 0.10
Total 17 1397.05
Keterangan : BN = Berbeda Nyata ; TBN = Tidak Berbeda Nyata

c) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh tingkat kematangan buah terhadap bilangan
penyabunan minyak biji bintaro
Kelompok Kelompok
Tingkat Kematangan Buah Rata-Rata Duncan Duncan
(α=0.05) (α=0.01)
Kecambah 188,21 A A
Muda 197,95 B B
Matang 203,85 C C

50
d) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh metode ekstraksi minyak terhadap bilangan
penyabunan minyak biji bintaro
Kelompok Kelompok
Rata-
Metode Ekstraksi Duncan Duncan
Rata
(α=0.05) (α=0.01)
Ekstraksi Pelarut 192,32 A A
Hydraulic Pressing 198,20 B B
Hot Hydraulic Pressing 199,48 C C

e) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh interaksi antara perlakuan terhadap bilangan
penyabunan minyak biji bintaro.
Kelompok Kelompok
Rata-
Perlakuan Duncan Duncan
Rata
(α=0.05) (α=0.01)
A3B3 182,66 A A
A1B3 184,82 B B
A2B2 190,77 C C
A3B2 194,53 D D
A2B3 197,13 E E
A3B1 199,75 F F
A1B1 205,08 G G
A2B1 206,70 H H
A1B2 208,55 I I
Keterangan : Huruf yang sama pada kelompok Duncan menunjukan taraf perlakuan tidak berbeda nyata
pada α=0.05 dan α=0.01

51
Lampiran 7. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Bilangan Peroksida Minyak Biji
Bintaro

a) Data rata – rata bilangan penyabunan minyak biji bintaro


Tingkat Kematangan Buah Metode Ekstraksi Bilangan
Peroksida
(mg O2/100g)
Matang Hot Hydraulic Pressing 5,61
Muda Hot Hydraulic Pressing 11,25
Kecambah Hot Hydraulic Pressing 22,10
Matang Hydraulic Pressing 31,65
Muda Hydraulic Pressing 19,56
Kecambah Hydraulic Pressing 9,31
Matang Ekstraksi Pelarut 5,85
Muda Ekstraksi Pelarut 7,59
Kecambah Ekstraksi Pelarut 9,41

b) Sidik ragam pengaruh tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi minyak terhadap bilangan
peroksida minyak biji bintaro

Ftabel Ftabel α= α=
Sumber Keragaman Db JK KT Fhitung
(α = 0.05) (α = 0.01) 0.05 0.01
Perlakuan 8
Tingkat Kematangan (Ei) 2 7,39 3,69 37,51 4,26 8,02 BN BN
Jenis Ekstraksi (Vj) 2 476,04 238,02 2415,58 4,26 8,02 BN BN
Interaksi (EVij) 4 786,45 196,61 1995,32 3,63 6,42 BN BN
Ek (ij) 9 0,89 0,09
Total 17 1270,77
Keterangan : BN = Berbeda Nyata ; TBN = Tidak Berbeda Nyata

c) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh tingkat kematangan buah terhadap bilangan
peroksida minyak biji bintaro
Kelompok Kelompok
Tingkat Kematangan
Rata-Rata Duncan Duncan
Buah
(α=0.05) (α=0.01)
Muda 12,79 A A
Kecambah 13,60 B B
Matang 14,36 C C

52
d) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh metode ekstraksi minyak terhadap bilangan
peroksida minyak biji bintaro
Kelompok Kelompok
Metode Ekstraksi Rata-Rata Duncan Duncan
(α=0.05) (α=0.01)
Ekstraksi Pelarut 7,62 A A
Hot Hydraulic Pressing 12,98 B B
Hydraulic Pressing 20,17 C C

e) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh interaksi antara perlakuan terhadap bilangan
penyabunan minyak biji bintaro
Kelompok Kelompok
Rata-
Perlakuan Duncan Duncan
Rata
(α=0.05) (α=0.01)
A1B1 5,60 A A
A3B1 5,85 A A
A3B2 7,59 B B
A2B3 9,31 C C
A3B3 9,41 C C
A1B2 11,25 D D
A2B2 19,55 E E
A1B3 22,09 F F
A2B1 31,64 G G
Keterangan : Huruf yang sama pada kelompok Duncan menunjukan taraf perlakuan tidak berbeda nyata
pada α=0,05 dan α=0,01

53
Lampiran 8. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Viskositas Minyak Biji Bintaro

a) Data rata – rata bilangan viskositas minyak biji bintaro


Tingkat Kematangan Buah Metode Ekstraksi Viskositas
(cP)
Matang Hot Hydraulic Pressing 62,5
Muda Hot Hydraulic Pressing 70
Kecambah Hot Hydraulic Pressing 60
Matang Hydraulic Pressing 64,4
Muda Hydraulic Pressing 66,4
Kecambah Hydraulic Pressing 64,5
Matang Ekstraksi Pelarut 63,25
Muda Ekstraksi Pelarut 69,7
Kecambah Ekstraksi Pelarut 59,7

b) Sidik ragam pengaruh tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi minyak terhadap
viskositas minyak biji bintaro

Ftabel Ftabel α= α=
Sumber Keragaman Db JK KT Fhitung
(α = 0.05) (α = 0.01) 0.05 0.01
Perlakuan 8
Tingkat Kematangan (Ei) 2 41,08 20,54 18,48 4,26 8,02 BN BN
Jenis Ekstraksi (Vj) 2 34,97 17,49 15,73 4,26 8,02 BN BN
Interaksi (EVij) 4 6,75 1,69 1,51 3,63 6,42 TBN TBN
Ek (ij) 9 10,00 1,11
Total 17 92,8
Keterangan : BN = Berbeda Nyata ; TBN = Tidak Berbeda Nyata

c) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh tingkat kematangan buah terhadap viskositas
minyak biji bintaro
Kelompok Kelompok
Tingkat Kematangan Buah Rata-Rata Duncan Duncan
(α=0.05) (α=0.01)
Kecambah 61,4 A A
Matang 63,3 B B
Muda 65,1 C C

54
d) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh metode ekstraksi minyak terhadap viskositas
minyak biji bintaro
Kelompok Kelompok
Metode Ekstraksi Rata-Rata Duncan Duncan
(α=0.05) (α=0.01)
Hot Hydraulic Pressing 62.16 A A
Ekstraksi Pelarut 62.4 A A
Hydraulic Pressing 65.23 B B
Keterangan : Huruf yang sama pada kelompok Duncan menunjukan taraf perlakuan tidak berbeda nyata
pada α=0.05 dan α=0.01

55
Lampiran 9. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Kadar Abu Minyak Biji Bintaro

a) Data rata – rata bilangan kadar abu minyak biji bintaro


Tingkat Kematangan Buah Metode Ekstraksi Kadar Abu
(%)
Matang Hot Hydraulic Pressing 0,08
Muda Hot Hydraulic Pressing 0,07
Kecambah Hot Hydraulic Pressing 0,19
Matang Hydraulic Pressing 0,04
Muda Hydraulic Pressing 0,05
Kecambah Hydraulic Pressing 0,01
Matang Ekstraksi Pelarut 0,39
Muda Ekstraksi Pelarut 0,13
Kecambah Ekstraksi Pelarut 0,21

b) Sidik ragam pengaruh tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi minyak terhadap kadar
abu minyak biji bintaro

Ftabel Ftabel α= α=
Sumber Keragaman Db JK KT Fhitung
(α = 0.05) (α = 0.01) 0.05 0.01
Perlakuan 8
Tingkat Kematangan (Ei) 2 0,02 0,01 2,41 4,26 8,02 TBN TBN
Jenis Ekstraksi (Vj) 2 0,14 0,07 14,64 4,26 8,02 BN BN
Interaksi (EVij) 4 0,06 0,02 3,19 3,63 6,42 TBN TBN
Ek (ij) 9 0,04 0,00
Total 17 0,27
Keterangan : BN = Berbeda Nyata ; TBN = Tidak Berbeda Nyata

c) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh metode ekstraksi minyak terhadap kadar abu
minyak biji bintaro
Kelompok Kelompok
Rata-
Metode Ekstraksi Duncan Duncan
Rata
(α=0.05) (α=0.01)
Hydraulic Pressing 0,03 A A
Hot Hydraulic Pressing 0,11 B A
Ekstraksi Pelarut 0,25 C B
Keterangan : Huruf yang sama pada kelompok Duncan menunjukan taraf perlakuan tidak berbeda nyata
pada α=0.05 dan α=0.01

56
Lampiran 10. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Kejernihan Minyak Biji Bintaro

a) Data rata – rata bilangan kejernihan minyak biji bintaro


Tingkat Kematangan Buah Metode Ekstraksi %Transmisi
Matang Hot Hydraulic Pressing 90,26
Muda Hot Hydraulic Pressing 38,35
Kecambah Hot Hydraulic Pressing 91,51
Matang Hydraulic Pressing 95,96
Muda Hydraulic Pressing 74,69
Kecambah Hydraulic Pressing 83,81
Matang Ekstraksi Pelarut 87,42
Muda Ekstraksi Pelarut 72,19
Kecambah Ekstraksi Pelarut 97,61

b) Sidik ragam pengaruh tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi minyak terhadap
kejernihan minyak biji bintaro.

Ftabel Ftabel α= α=
Sumber Keragaman Db JK KT Fhitung
(α = 0.05) (α = 0.01) 0.05 0.01
Perlakuan 8
Tingkat Kematangan (Ei) 2 3447 1723,50 6485,30 4,26 8,02 BN BN
Jenis Ekstraksi (Vj) 2 569,96 284,98 1072,34 4,26 8,02 BN BN
Interaksi (EVij) 4 1345,40 336,35 1265,63 3,63 6,42 BN BN
Ek (ij) 9 2,39 0,27
Total 17 5364,75
Keterangan : BN = Berbeda Nyata ; TBN = Tidak Berbeda Nyata

c) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh tingkat kematangan buah minyak terhadap
kejernihan minyak biji bintaro
Kelompok Kelompok
Tingkat Kematangan
Rata-Rata Duncan Duncan
Buah
(α=0.05) (α=0.01)
Muda 61,74 A A
Kecambah 90,97 B B
Matang 91,21 B B

57
d) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh metode ekstraksi minyak terhadap kejernihan
minyak biji bintaro

Kelompok Kelompok
Metode Ekstraksi Rata-Rata Duncan Duncan
(α=0.05) (α=0.01)

Hot Hydraulic Pressing 73,37 A A


Hydraulic Pressing 84,82 B B
Ekstraksi Pelarut 85,74 C C

e) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh interaksi antara perlakuan terhadap kejernihan
minyak biji bintaro

Kelompok Kelompok
Rata-
Perlakuan Duncan Duncan
Rata
(α=0.05) (α=0.01)
A1B2 38,34 A A
A3B2 72,18 B B
A2B2 74,69 C C
A2B3 83,81 D D
A3B1 87,42 E E
A1B1 90,26 F F
A1B3 91,50 G G
A2B1 95,96 H H
A3B3 97,61 I I
Keterangan : Huruf yang sama pada kelompok Duncan menunjukan taraf perlakuan tidak berbeda nyata
pada α=0,05 dan α=0,01

58
Lampiran 11. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Rendemen Minyak

a) Data rata – rata bilangan kejernihan minyak biji bintaro


Tingkat Kematangan Buah Metode Ekstraksi Rendemen (%)
Matang Hot Hydraulic Pressing 43,79
Muda Hot Hydraulic Pressing 42,62
Kecambah Hot Hydraulic Pressing 39,96
Matang Hydraulic Pressing 33,60
Muda Hydraulic Pressing 32,38
Kecambah Hydraulic Pressing 21,82
Matang Ekstraksi Pelarut 52,59
Muda Ekstraksi Pelarut 51,93
Kecambah Ekstraksi Pelarut 46,10

b) Sidik ragam pengaruh tingkat kematangan buah dan jenis ekstraksi minyak terhadap
rendemen minyak biji bintaro

Ftabel Ftabel α= α=
Sumber Keragaman Db JK KT Fhitung
(α = 0.05) (α = 0.01) 0.05 0.01
Perlakuan 8
Tingkat Kematangan (Ei) 2 191,29 95,64 36,28 4,26 8,02 BN BN
Jenis Ekstraksi (Vj) 2 1337,88 668,93 253,74 4,26 8,02 BN BN
Interaksi (EVij) 4 43,05 10,76 4,08 3,63 6,42 BN TBN
Ek (ij) 9 23,73 2,63
Total 17 1595,95
Keterangan : BN = Berbeda Nyata ; TBN = Tidak Berbeda Nyata

c) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh tingkat kematangan buah terhadap rendemen
minyak biji bintaro
Kelompok Kelompok
Tingkat Kematangan Buah Rata-Rata Duncan Duncan
(α=0.05) (α=0.01)
Kecambah 35,95 A A
Muda 42,30 B B
Matang 43,32 B B

59
d) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh metode ekstraksi minyak terhadap rendemen
minyak biji bintaro
Kelompok Kelompok
Metode Ekstraksi Rata-Rata Duncan Duncan
(α=0.05) (α=0.01)
Hydrolic Pressing 29,26 A A
Hot Hydrolic Pressing 42,12 B B
Ekstraksi Pelarut 50,20 C C

e) Uji lanjut selang berganda Duncan pengaruh interaksi antara perlakuan terhadap rendemen
minyak biji bintaro.
Kelompok
Rata-
Perlakuan Duncan
Rata
(α=0.05)
A2B3 21,82 A
A2B2 32,38 B
A2B1 33,59 B
A1B3 39,96 C
A1B2 42,61 D
A1B1 43,78 D
A3B3 46,09 E
A3B2 51,92 F
A3B1 52,59 F
Keterangan : Huruf yang sama pada kelompok Duncan menunjukan taraf perlakuan tidak berbeda nyata
pada α=0.05 dan α=0.01

60
Lampiran 12. Grafik Gas Chromatography Spectrofotometry Mass

C18:1
C16

C18:2

61

Вам также может понравиться