Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
E-mail: rhil.mareta@gmail.com
Abstrak
Skripsi ini berisi pengkajian atas novel ketujuh Andrea Hirata yang berjudul Sebelas Patriot (2011) yang
berkisah tentang kecintaan seorang anak dan sang ayah terhadap sepakbola, PSSI, dan bangsa Indonesia. Kisah
dalam Sebelas Patriot bermain di era kolonial (1936—1940) dan selepasnya (1967—1997 ke atas). Di dalam novel
yang berlatar tempat di Pulau Belitong dan Benua Eropa ini tergambar pula wajah nasionalisme masyarakat Melayu
Belitong melalui sepakbola. Penelitian atas novel ini dilakukan dengan metode deskriptif analisis dan pendekatan
sosiologi sastra. Unsur-unsur intrinsik dalam novel dikaji menggunakan pendekatan sosiologi sastra guna
mengetahui hubungan konteks nasionalisme di Indonesia baik dalam ranah pergerakan merebut kemerdekaan
maupun ranah sepakbola dengan novel Sebelas Patriot. Hasil penelitian membuktikan bahwa Andrea Hirata kembali
menghadirkan semangat mengejar mimpi lewat tokoh Ikal dan novel Sebelas Patriot adalah karya yang
menghadirkan wajah nasionalisme masyarakat Melayu melalui sepakbola yang sarat akan penghadiran kembali kisah
kesejarahan dan pengalaman masa lalu tokoh pencerita.
Kata kunci:
Andrea Hirata; Nasionalisme; PSSI; Sebelas Patriot; Sepakbola.
Abstract
This thesis contains the review of Andrea Hirata's seventh novel, entitled Sebelas Patriot (2011) which
tells the story of a child and his father’s love for football, PSSI, and Indonesia. The stories in Sebelas Patriot play in
the colonial era (1936-1940) and thereafter (1967-1997). In this novel, which is sets in Belitong Island and
Continental Europe, also reflected face of Belitong Malay nationalism through football. The research was conducted
with descriptive analysis method and sociology literature approach. Intrinsic elements in novel examined with
sociology literature approach in order to determine the relationship of Indonesian nationalism context within the
realm of the movement for independence as well as the realm of football with Sebelas Patriot novel. The results
prove that Andrea Hirata bring back the spirit of pursuing dreams through his character named Ikal and Sebelas
Patriot novel is a work that presents a face of Malay nationalism through football with telling back historical stories
and past experiences of the author.
Keywords:
Andrea Hirata; Football; Nationalism; PSSI; Sebelas Patriot.
Karya sastra di Indonesia terus menggeliat dari masa ke masa. Adapun para ahli telah
mencoba merekamnya ke dalam rumusan-rumusan angkatan sastra yang berupa-rupa. Hingga
memasuki millenium kedua, Korrie Layun Rampan hadir dengan usahanya membidani kelahiran
Angkatan 2000. Dalam antologi Angkatan 2000 tersebut, dimuat 76 nama dari 150 nama
sastrawan yang hingga Agustus 1999 ia pandang memiliki corak dan pengucapan yang
mencerminkan lahirnya sebuah angkatan sastra baru. Dari ke-76 nama tersebut di antaranya
disebutkan Ayu Utami, Seno Gumira Adjidarma, Jujur Prananto, Helvy Tiana Rosa, dan Agus
Noor. Hingga sejauh ini, kiranya belum terdapat antologi karya-karya yang menandakan
kelahiran angkatan sastra baru di Indonesia setelah Angkatan 2000 seserius antologi hasil
penyusunan Rampan meski mulai bermunculan angkatan yang dikenal dengan angkatan
cybersastra.
Kendati demikian, kemunculan karya sastra kian beragam dan semarak. Ayu Utami yang
sempat mencecap rasa dari kesuksesan karya pertama saat digolongkan sebagai sastrawan
Angkatan 2000 hingga tahun ini terhitung terus produktif menerbitkan novel. Begitu pula dengan
nama-nama lainnya yang terus memperkaya galaksi sastra Indonesia dengan karya yang kian
berupa-rupa. Selain terus meruncing dengan kualitas yang makin bersaing, karya-karya para
sastrawan berbakat Indonesia di era 1990 hingga 2000-an sesungguhnya berkembang pula di
kancah internasional.
Dalam pidato penerimaan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Indonesia, 4 Juni
1975 silam, H.B. Jassin telah mengungkapkan jalan pikirannya yang memandang bahwa sastra
Indonesia adalah bagian dari sastra dunia. Pidato ini dimuat dalam Sastra Indonesia sebagai
Warga Sastra Dunia bersama-sama dengan pemikiran-pemikiran Jassin lainnya. Dalam pidato
tersebut (1983: 3—9), Jassin menyatakan bahwa sejak sebelum Perang Dunia Kedua sastra
Indonesia telah mendapatkan perhatian dari para filolog dunia seperti Hans Overbeck, R.O.
Winstedt, R.J. Wilkinson, W.H. Rassers, Ph. S. van Ronkel, dan C. Hooykaas. Pada masa
sesudah perang, penelitian terhadap karya-karya sastra modern Indonesia masih berlanjut. Nama-
nama seperti Prof. Dr. A. Teeuw, Prof. Dr. J.M. Echols, dan Harry Aveling banyak menggarap
karya sastra Indonesia guna diteliti secara mendalam. Kegiatan tersebut kemudian berlanjut pada
murid-murid mereka.
1
Informasi ini diperoleh dari artikel berjudul “Sejarah Awal Pertambangan Timah di Belitung” dalam
laman www.billitonisland.com, sebuah laman penyedia informasi sejarah dan wisata Pulau Belitung (25
Agustus 2011).
Lothrop Stoddard mengatakan bahwa nasionalisme adalah suatu kepercayaan dari banyak
orang bahwa mereka merupakan suatu bangsa (nation). Monsterrat Guibernau menyatakan bahwa
nasionalisme adalah paham dan proses di dalam sejarah saat sekelompok orang merasa menjadi
anggota dari suatu nation (bangsa) dan mereka ingin mendirikan satu state (negara) yang
[…] tiap-tiap rakyat jajahan , tiap-tiap rakyat yang saban hari, saban jam merasakan
imperialisme bangsa lain, […] adalah berbudi nasionalistis.
PNI mengerti akan hal ini. PNI mengerti, bahwa di dalam kesadaran nasionaliteit,
di dalam nasionalisme inilah letaknya daya, yang nanti bisa membuka kenikmatan hari
kemudian. PNI oleh karenanya, menyubur-nyuburkan dan memelihara nasionalisme itu,
Kutipan panjang di atas kiranya telah secara jelas menggambarkan hakikat dan tujuan dari
konsep nasionalisme positif yang dimaksud oleh PNI dan tentu saja Sukarno sebagai ketuanya.
Adapun jalan yang akan ditempuh oleh Sukarno dalam menyuburkan nasionalisme di Indonesia
tertuang dalam trimurti yang ia sampaikan pula dalam “Indonesia Menggugat”. Berikut ini tiga
jalan yang ia rumuskan.
Sejak era kolonial, sepakbola menjadi salah satu media bagi pribumi untuk menyalurkan
semangat nasionalismenya. Sesuai dengan semangat zamannya, secara umum dapat dikatakan
olahraga di masa kolonial masih terpisah-pisah berdasarkan latar belakang keturunan pelaku
(organisasi, pengurus, dan atletnya) yakni Eropa, Tionghoa, dan pribumi. Segregasi itu
memunculkan semangat tersendiri bagi pemain jika ada pertandingan yang mempertemukan dua
tim yang berbeda latar belakang karena seolah pertandingan itu menjadi lambang pertarungan
dua pihak. Organisasi dan para pengurus pun terpacu untuk berbuat lebih agar dapat mencapai
prestasi pesaing mereka, khususnya kalangan Tionghoa dan Pribumi yang menganggap titik
prestasi tertinggi adalah prestasi bangsa Eropa.
Beberapa kali tim pribumi dikabarkan menang melawan tim Eropa kala itu. pertandingan
yang kiranya tidak terlupakan salah satunya terjadi di Bengkulu pada tahun 1910. Tim pribumi
berhasil memenangkan pertandingan dengan skor 4-0. Menanggapi hal ini, Agum Gumelar
(dalam Bangun, 2007: viii) berpendapat bahwa pertandingan di Bengkulu kala itu adalah wujud
nyata atas fanatisme yang ia artikan sebagai nasionalisme yang disalurkan secara positif.
Waktu pun terus melaju, hingga akhirnya pada bulan April 1930 sebuah panitia dibentuk
di Yogyakarta dengan tujuan mengadakan konferensi pembentukan organisasi sepakbola tingkat
nasional. Tepat pada tanggal 19 April 1930, PSSI (Persatuan Sepakraga Seloeroeh Indonesia)
resmi didirikan. Perlakuan diskriminatif pemerintah kolonial yang hanya memperhatikan bond-
bond Belanda dan pemain kulit putih dalam sepakbola mendorong kelahiran organisasi ini.
Dalam konteks ini, kelahiran PSSI tidak hanya dijadikan sebagai aksi protes atas sikap
diskriminatif pemerintah kolonial. Kelahiran PSSI turut menjadi simbol perjuangan bangsa dan
salah satu pintu gerbang menuju kemerdekaan Indonesia.
Hingga pasca kemerdekaan, nasionalisme melalui sepakbola di Indonesia masih terus
menyala. Kobaran semangat cinta tanah air yang melanda PSSI dan seluruh masyarakat Indonesia
Penutup
Melalui kajian dalam tulisan ini, semangat nasionalisme yang disalurkan melalui olahraga
bangsa telah terbukti menyala-nyala kehadirannya di Indonesia. Salah satu olahraga yang
menjadi media penyaluran nasionalisme di masa pasca penjajahan seperti saat ini adalah
sepakbola. Sepakbola memang jelas terlihat sebagai olahraga yang begitu digemari di nusantara.
Kendati demikian, perluasan kajian terhadap wujud nasionalisme dalam novel Indonesia lainnya
yang juga mengangkat tema olahraga selain sepakbola kiranya baik dilakukan. Setelah sekian
banyak novel Indonesia bermunculan dengan tema nasionalisme yang mewujud dalam upaya
perlawanan melawan penjajah melalui aksi perang, tema nasionalisme dalam wujud-wujud
berbeda seperti olahraga memanglah menarik. Dengan jalan ini, pesan bahwa wujud nasionalisme
tidak hanya identik dengan masyarakat terjajah dan upayanya mengusir penjajah dapat lebih jelas
tersampaikan.
Di samping itu, kajian bandingan antara karya sastra bertema nasionalisme yang
diterbitkan saat Indonesia telah lepas dari cengkeraman penjajah dan karya sastra bertema
nasionalisme yang ditulis benar-benar saat penjajah masih menduduki Indonesia terlihat menarik.
Melalui kajian bandingan ini, perbedaan maupun persamaan tanggapan sastrawan yang
melahirkan karya-karya tersebut dapat digali dan diketahui sehingga tergambar pula pengaruh
maupun hubungan keberadaan penjajah dengan karya-karya bertema nasionalisme di Indonesia.
Upaya serius, kerja sama, dan tindak nyata para ahli sastra pada akhirnya menjadi poin penting
yang amat dibutuhkan guna mewujudkan pemikiran-pemikiran yang telah tersaji.
Daftar Acuan
Disertasi
Miftahuddin. Makna Nasionalisme Indonesia: Suatu Pendekatan Diskursif di Era Orde Baru.
Disertasi Doktor Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Depok:
FISIP UI, 2009.
Skripsi
Ichsan, Achmad Chuzaifah. Gentlement’s Agreement 15 Januari 1937 Antara NIVU
(Nederlansch Indishe Voetbal Unie) dengan PSSI (Persatoean Sepakraga Seloeroeh
Indonesia). Skripsi Sarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Depok: FIB UI, 2004.