Вы находитесь на странице: 1из 17

Wajah Nasionalisme Masyarakat Melayu Melalui Sepakbola

dalam Novel Sebelas Patriot

Penulis: Rhillaeza Mareta


Pembimbing: Sunu Wasono

Program Studi Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya


Universitas Indonesia

E-mail: rhil.mareta@gmail.com

Abstrak

Skripsi ini berisi pengkajian atas novel ketujuh Andrea Hirata yang berjudul Sebelas Patriot (2011) yang
berkisah tentang kecintaan seorang anak dan sang ayah terhadap sepakbola, PSSI, dan bangsa Indonesia. Kisah
dalam Sebelas Patriot bermain di era kolonial (1936—1940) dan selepasnya (1967—1997 ke atas). Di dalam novel
yang berlatar tempat di Pulau Belitong dan Benua Eropa ini tergambar pula wajah nasionalisme masyarakat Melayu
Belitong melalui sepakbola. Penelitian atas novel ini dilakukan dengan metode deskriptif analisis dan pendekatan
sosiologi sastra. Unsur-unsur intrinsik dalam novel dikaji menggunakan pendekatan sosiologi sastra guna
mengetahui hubungan konteks nasionalisme di Indonesia baik dalam ranah pergerakan merebut kemerdekaan
maupun ranah sepakbola dengan novel Sebelas Patriot. Hasil penelitian membuktikan bahwa Andrea Hirata kembali
menghadirkan semangat mengejar mimpi lewat tokoh Ikal dan novel Sebelas Patriot adalah karya yang
menghadirkan wajah nasionalisme masyarakat Melayu melalui sepakbola yang sarat akan penghadiran kembali kisah
kesejarahan dan pengalaman masa lalu tokoh pencerita.

Kata kunci:
Andrea Hirata; Nasionalisme; PSSI; Sebelas Patriot; Sepakbola.

Face of Malay Community Nationalism Through Football Sport


in the Sebelas Patriot Novel

Abstract

This thesis contains the review of Andrea Hirata's seventh novel, entitled Sebelas Patriot (2011) which
tells the story of a child and his father’s love for football, PSSI, and Indonesia. The stories in Sebelas Patriot play in
the colonial era (1936-1940) and thereafter (1967-1997). In this novel, which is sets in Belitong Island and
Continental Europe, also reflected face of Belitong Malay nationalism through football. The research was conducted
with descriptive analysis method and sociology literature approach. Intrinsic elements in novel examined with
sociology literature approach in order to determine the relationship of Indonesian nationalism context within the
realm of the movement for independence as well as the realm of football with Sebelas Patriot novel. The results
prove that Andrea Hirata bring back the spirit of pursuing dreams through his character named Ikal and Sebelas
Patriot novel is a work that presents a face of Malay nationalism through football with telling back historical stories
and past experiences of the author.    
 
Keywords:
Andrea Hirata; Football; Nationalism; PSSI; Sebelas Patriot.

Wajah nasionalisme..., Rhillaeza Mareta, FIB UI, 2013


Pendahuluan

Karya sastra di Indonesia terus menggeliat dari masa ke masa. Adapun para ahli telah
mencoba merekamnya ke dalam rumusan-rumusan angkatan sastra yang berupa-rupa. Hingga
memasuki millenium kedua, Korrie Layun Rampan hadir dengan usahanya membidani kelahiran
Angkatan 2000. Dalam antologi Angkatan 2000 tersebut, dimuat 76 nama dari 150 nama
sastrawan yang hingga Agustus 1999 ia pandang memiliki corak dan pengucapan yang
mencerminkan lahirnya sebuah angkatan sastra baru. Dari ke-76 nama tersebut di antaranya
disebutkan Ayu Utami, Seno Gumira Adjidarma, Jujur Prananto, Helvy Tiana Rosa, dan Agus
Noor. Hingga sejauh ini, kiranya belum terdapat antologi karya-karya yang menandakan
kelahiran angkatan sastra baru di Indonesia setelah Angkatan 2000 seserius antologi hasil
penyusunan Rampan meski mulai bermunculan angkatan yang dikenal dengan angkatan
cybersastra.
Kendati demikian, kemunculan karya sastra kian beragam dan semarak. Ayu Utami yang
sempat mencecap rasa dari kesuksesan karya pertama saat digolongkan sebagai sastrawan
Angkatan 2000 hingga tahun ini terhitung terus produktif menerbitkan novel. Begitu pula dengan
nama-nama lainnya yang terus memperkaya galaksi sastra Indonesia dengan karya yang kian
berupa-rupa. Selain terus meruncing dengan kualitas yang makin bersaing, karya-karya para
sastrawan berbakat Indonesia di era 1990 hingga 2000-an sesungguhnya berkembang pula di
kancah internasional.
Dalam pidato penerimaan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Indonesia, 4 Juni
1975 silam, H.B. Jassin telah mengungkapkan jalan pikirannya yang memandang bahwa sastra
Indonesia adalah bagian dari sastra dunia. Pidato ini dimuat dalam Sastra Indonesia sebagai
Warga Sastra Dunia bersama-sama dengan pemikiran-pemikiran Jassin lainnya. Dalam pidato
tersebut (1983: 3—9), Jassin menyatakan bahwa sejak sebelum Perang Dunia Kedua sastra
Indonesia telah mendapatkan perhatian dari para filolog dunia seperti Hans Overbeck, R.O.
Winstedt, R.J. Wilkinson, W.H. Rassers, Ph. S. van Ronkel, dan C. Hooykaas. Pada masa
sesudah perang, penelitian terhadap karya-karya sastra modern Indonesia masih berlanjut. Nama-
nama seperti Prof. Dr. A. Teeuw, Prof. Dr. J.M. Echols, dan Harry Aveling banyak menggarap
karya sastra Indonesia guna diteliti secara mendalam. Kegiatan tersebut kemudian berlanjut pada
murid-murid mereka.

Wajah nasionalisme..., Rhillaeza Mareta, FIB UI, 2013


Beragam judul karya sejak Angkatan Balai Pustaka hingga seterusnya pun telah
diterjemahkan dan tersebar ke berbagai negara di dunia. Jika dihubungkan dengan konteks
perkembangan sastra Indonesia pasca-2000, terdapat sebuah nama yang kini sedang mendaki
puncak kepopuleran sebab novelnya dikabarkan berhasil menjadi novel best seller di tingkat
dunia. Ia adalah penulis novel Laskar Pelangi yang mencuri perhatian para penggiat dan
penikmat sastra Indonesia sejak tahun 2005: Andrea Hirata.
Sejak kemunculannya pada tahun 2005, pembaca sastra Indonesia seolah tersihir oleh
kehadiran karya dari seorang penulis yang hingga kini karya tersebut telah diwacanakan di
Fakultas Sastra, dijadikan skripsi, mas kawin, bacaan wajib di sekolah, dan bacaan orang di
dalam bus kota, yakni tetralogi Laskar Pelangi. Sang pengarang adalah seorang putra asli Pulau
Belitung yang menceritakan kisah hidupnya yang sarat akan potret pendidikan serba sulit nan
menghimpit. Pulau Belitung yang kini telah berstatus sebagai provinsi bersama dengan Pulau
Bangka dan sejak 4 Desember 2000 resmi bernama Provinsi Bangka Belitung ini memiliki
ibukota bernama Pangkal Pinang. Dalam bahasa lokal Melayu Belitung, masyarakat setempat
menyebut tanah kelahiran Hirata dengan sebutan “Belitong” (Andrea Hirata telah menggunakan
sebutan “Belitong” pula sejak memunculkan pulau ini dalam Laskar Pelangi). Orang Belanda
memiliki sebutan khusus untuk pulau yang terletak di timur Sumatera ini, yakni Billiton atau
Billiton Eiland1. Meski dalam peta umum pulau tersebut disebut “Belitung”, selanjutnya dalam
penelitian ini penulis akan menggunakan sebutan “Belitong”. Hal ini dilakukan guna
menyamakan gaya penyebutan yang digunakan Andrea Hirata saat menceritakan Belitung dalam
novel.
Andrea Hirata mengebatkan jalinan kisah bertema persahabatan dan kekeluargan yang
semuanya dibalut dengan kekhasan budaya Melayu yang amat kental. Setelah mereguk
kesuksesan atas tetralogi Laskar Pelangi yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa,
Hirata kemudian menebar pukat selanjutnya berupa novel yang kembali sarat akan kekentalan
etnisitas masyarakat Melayu yakni dwilogi Padang Bulan di tahun 2010. Jeda waktu satu tahun
kemudian dimanfaatkan oleh pria yang bersuku Melayu asli ini untuk menerbitkan novel
berikutnya: Sebelas Patriot. Di tahun 2012, suatu gabungan potongan-potongan beberapa bab

                                                                                                                       
1
  Informasi ini diperoleh dari artikel berjudul “Sejarah Awal Pertambangan Timah di Belitung” dalam
laman www.billitonisland.com, sebuah laman penyedia informasi sejarah dan wisata Pulau Belitung (25
Agustus 2011).
 

Wajah nasionalisme..., Rhillaeza Mareta, FIB UI, 2013


pilihan dalam Laskar Pelangi disatukan dalam sebuah buku yang di dalamnya dilengkapi pula
oleh torehan lirik-lirik lagu karya Andrea Hirata. Karya ini bernamakan Laskar Pelangi Song
Book.
Novel Sebelas Patriot yang diterbitkan pada tahun 2011 cukup berbeda dengan novel-
novel Andrea Hirata sebelumnya. Jika ia membentangkan Laskar Pelangi dalam satu lintasan
yang sejajar dengan Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov membentuk gugus tetralogi,
ataupun menciptakan Padang Bulan dengan saudara kandungnya yakni Cinta di Dalam Gelas
hingga bergandengan membentuk dwilogi, maka Sebelas Patriot nyatanya dihadirkan hanya
seorang diri di jagat sastra nusantara. Novel ini pun semakin berbeda dari karya Hirata
sebelumnya karena menjadi novel pertamanya yang dilengkapi oleh kepingan CD (berisi lagu-
lagu yang diharapkan menggenapi pemahaman pembaca terhadap karya) dan foto-foto di antara
jalinan cerita. Dengan tebal 112 halaman saja (novel ini adalah novel Hirata yang paling tipis), ia
menenun kisah dengan rapat juga padat menggunakan benang-benang emas yang memantulkan
rasa kagumnya terhadap sosok sang ayah yang begitu pendiam namun ternyata sempat
melakukan perlawanan terhadap Belanda melalui sepakbola. Perlawanan tersebut dilakukan oleh
sang ayah pada saat lelaki Melayu yang tak bisa membaca huruf latin itu masih belia. Lewat
kejeniusannya dalam bermain sepakbola, Belanda berhasil ia tekuk hingga merah padam
mukanya. Akan tetapi, Belanda tetaplah Belanda. Kekejaman bertubi yang tertanam pada diri
mereka sebagai bangsa penjajah tak membiarkan mereka rela martabatnya terinjak oleh pribumi
begitu saja, bahkan dalam pertandingan sepakbola sekali pun. Melalui sumbu ini, Hirata terus
menyalakan kisah-kisah seputar kekejian lain Belanda yang dilakukan saat menjajah tanah
Belitong, saat mereka mengeruk timah-timah terbaik pulau tersebut.
Potret nasionalisme masyarakat Melayu, khususnya Melayu Belitong, cukup terpampang
dominan pada novel ini. Dalam karya-karya sebelumnya bukan berarti tak ada sama sekali potret
nasionalisme tersebut, namun dalam novel ketujuh Hirata ini potret tersebut disajikan melalui
suguhan tema yang bebeda. Hirata masih mengusung pengalaman masa lalunya di Belitong dan
belahan dunia lainnya yang diolah sedemikian rupa. Namun, dalam Sebelas Patriot, wajah
nasionalisme yang digambarkan berhubungan dengan perjuangan para patriot Belitong di
lapangan hijau. Andrea Hirata menumpahkan kecintaannya dan masyarakat Melayu Belitong
yang meluap-luap terhadap sepakbola sedari zaman pendudukan Belanda hingga pasca Indonesia
merdeka. Kecintaan terhadap PSSI turut pula mewarnai kisahan dalam novel Hirata yang kini tak

Wajah nasionalisme..., Rhillaeza Mareta, FIB UI, 2013


begitu kental dipenuhi deskripsi nilai budaya layaknya karay-karya terdahulu. Belakangan
diketahui pula bahwa ternyata kehadiran Sebelas Patriot tak semeledak novel-novel Hirata
lainnya. Fakta ini kiranya cukup menarik untuk digali. Selain itu, tema nasionalisme yang
disajikan melalui media sepakbola di kalangan masyarakat Melayu pun belum banyak dibahas.
Hal ini berhubungan dengan berdirinya PSSI pada 1930 di Solo (Pulau Jawa), sehingga
pembahasan sepakbola di luar Pulau Jawa, terlebih Belitong, belum kaya.
Dari penjelasan yang telah dipaparkan pada paragraf-paragraf sebelumnya, Andrea Hirata
menjadi sastrawan Indonesia yang kiranya menarik untuk diteliti baik jejak kepengarangan
maupun karya-karyanya. Ia termasuk sebagai pengarang yang disebut-sebut fenomenal dan telah
menorehkan prestasi baru dalam sejarah sastra Indonesia di jagat sastra dunia lewat karyanya.
Penelitian karya Hirata dalam kajian ini kemudian akan difokuskan pada novel ketujuhnya yang
nampak memiliki paling banyak perbedaan dengan novel-novelnya yang terdahulu. Potret
nasionalisme masyarakat Melayu melalui sepakbola pada masa pendudukan Belanda di Belitong
seputar tahun 1936 hingga pascamerdeka dalam Sebelas Patriot menjadi titik kajian penulis.
Melalui peninjauan terhadap nasionalisme dalam diri para tokoh yang menonjol, wajah
nasionasisme dalam novel akan terungkap. Selain itu, penelusuran strategi Hirata dalam meramu
dan mengekspresikan kilasan-kilasan masa lalunya menjadi sebuah novel dalam Sebelas Patriot
akan penulis lakukan pula. Dengan penggalian ini, diharapkan suara-suara yang berusaha untuk
digaungkan oleh Hirata melalui Sebelas Patriot dapat ditangkap untuk kemudian diungkapkan
secara gamblang oleh penulis.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif analisis. Metode deksriptif
analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan
analisis (Ratna, 2009: 53). Sebelum kajian dipaparkan, penulis terlebih dahulu akan memaparkan
dengan amat ringkas konsep nasionalisme yang berkembang di Indonesia mulai dari asal mula
kemunculannya hingga hubungannya dengan sepakbola bangsa.

Perjalanan Nasionalisme di Indonesia

Lothrop Stoddard mengatakan bahwa nasionalisme adalah suatu kepercayaan dari banyak
orang bahwa mereka merupakan suatu bangsa (nation). Monsterrat Guibernau menyatakan bahwa
nasionalisme adalah paham dan proses di dalam sejarah saat sekelompok orang merasa menjadi
anggota dari suatu nation (bangsa) dan mereka ingin mendirikan satu state (negara) yang

Wajah nasionalisme..., Rhillaeza Mareta, FIB UI, 2013


mencakup semua anggota dari kelompok itu. Ernest Renan dalam teorinya mengemukakan pula
bahwa nasionalisme adalah terutama suatu perasaan kebersamaan, semua orang ‘merasa’ menjadi
anggota dari satu bangsa (Dhont, 2005: 91, 9, 109). Suatu perasaan dan penghayatan manusia
sebagai bagian dari sebuah bangsa atau nation jelas menjadi hal yang penting dalam
nasionalisme. Menilik pandangan tentang bangsa atau nation, Bennedict Anderson (1991: 49—
50) mengemukakan gagasannya bahwa terdapat empat hal pokok yang berkaitan dengan konsep
bangsa, yaitu terbayang (imagined), terbatas (limited), berdaulat (sovereign), dan komunitas
(community).
Berbicara mengenai nasionalisme, tidak dapat disangkal bahwa bangsa Indonesia
memiliki kisah panjang tentang kemunculan nasionalisme dalam diri rakyat-rakyatnya. Masa lalu
perjuangan meraih kemerdekaan yang tidak mudah menjadikan tumbuhnya jiwa nasionalisme
dalam diri rakyat Indonesia di masa itu dianggap sebagai momen penting dalam sejarah bangsa.
Nasionalisme Indonesia memiliki asal-usul yang kompleks, demikian pernyataan seorang
sejarawan asal Belgia, Frank Dhont (2005: 115).
Sebelum menjadi Indonesia yang merdeka, perjalanan panjang berisikan penjajahan dan
penindasan tidak berkesudahan dialami oleh bangsa Indonesia. Pada tahun 1602, VOC didirikan
oleh pemerintah Belanda. VOC benar-benar mengisap sumber daya alam maupun tenaga
pribumi. Pribumi kalangan bangsawan yang menjadi kaki-tangan VOC ditugaskan memimpin
pribumi rendah tertindas. Para bangsawan ini memperoleh kekuasaan yang luar biasa dari VOC
untuk mengisap ekonomi desa di Jawa sebanyak mungkin (Kahin, 1995: 3—8).
Pada 1798, VOC runtuh akibat korupsi besar-besaran yang dilakukan para pengurusnya di
sektor pemerintahan Kepulauan Hindia. Daerah kekuasaan VOC pun kemudian jatuh ke tangan
pemerintah Belanda langsung. Program-program pemerintahan yang baru ini sejatinya masih
begitu senapas dengan program VOC. Pada kurun waktu 1816-1830 pemerintah Belanda
menjalankan sistem monopoli pemerintah. Sistem Tanam Paksa atau Cultuur Stelsel dijalankan
sepenuhnya hingga tahun 1877. Sistem ini sedikit demi sedikit dibatasi hingga akhirnya pada
1915 dihapuskan sama sekali. Seperti yang sudah-sudah, sistem ini amat menguntungkan
pemerintah Belanda namun menyengsarakan kaum pribumi petani. Praktik penjajahan masih
terus berjalan. Meski telah dihapuskan, pengaruh pemerintahan VOC dan Sistem Tanam Paksa
masih terasa hingga permulaan 1942 (Kahin, 1995: 12—19).

Wajah nasionalisme..., Rhillaeza Mareta, FIB UI, 2013


Latar sosial masyarakat pribumi Hindia Belanda jelas dipenuhi dengan penindasan
pemerintah kolonial. Tatkala kaum tani yang terus mengalami penindasan mulai bergerak,
realisasi atas penderitaan mereka dan meningkatnya kesadaran politis ke dalam suatu
nasionalisme hanya tinggal menunggu seorang elite Indonesia untuk memimpinnya. Sementara
kesadaran nasionalisme mulai lahir dalam diri kaum tani dalam bentuk gerakan perlawanan
terhadap rezim kolonial, pemerintah Belanda justru lebih menitikberatkan fokusnya terhadap
ancaman bahaya Pan-Islam. Guna memerangi Pan-Islam, pemerintah Belanda menjadikan
pendidikan Barat sebagai senjata yang tanpa mereka sadari di kemudian hari justru membunuh
rezim mereka sendiri (Kahin, 2005: 58).
Frank Dhont telah melakukan suatu kajian mengenai kaum intelektual Indonesia yang
dengan kelompok diskusinya muncul sebagai suatu generasi baru dalam perjuangan politik
melawan Belanda. Kaum intelektual muda ini terdiri atas pemuda-pemuda bangsa yang
mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan Barat. Kelompok studi bentukan kaum
ini lahir di akhir tahun 1920-an dan Dhont menyebut mereka sebagai golongan pelaku politik
yang menjadi pelopor dari gelombang nasionalisme kedua dalam perjuangan Indonesia untuk
mencapai kemerdekaan (gelombang pertama dianggap diwakili oleh pendiri Budi Utomo, Sarekat
Islam, dan sebagainya) (2005: 1)
Dalam kajiannya, Dhont menyimpulkan bahwa mahasiswa membuat suatu nation-
building dengan menciptakan suatu pola pikir pribumi di Hindia Belanda berdasarkan konsep
nasionalisme Indonesia. Konsep itu dijalankan berdasar pada lima orientasi nilai nasionalisme
yang melandasi pikiran dan cita-cita kaum muda dalam menjawab tantangan dan tuntutan
zamannya kala itu. Kelima orientasi yang ditemukan dalam tulisan-tulisan para mahasiswa itu
adalah nonkooperasi dan self-help atau kepercayaan atas kemampuan dan kecerdasan diri sendiri
yang berasal dari nasionalis Irlandia, ide kemauan bersama dan keinginan untuk menciptakan
self-determination serta self-government yang berasal dari para pemikir Barat dan Indische Partij,
serta ide persatuan budaya yang berasal dari pemuda di Hindia Belanda dengan unsur kesatuan
bahasa dari Kongres Pemuda dan Sumpah Pemuda.
Di Indonesia, munculnya konsep nasionalisme telah dimulai oleh Indische Partij dalam
bentuk nasionalisme Indis. Selanjutnya, konsep ini diadopsi oleh kaum intelektual muda
Indonesia menjadi konsep nasionalisme Indonesia yang lebih berfokus pada pribumi. Pencipta
konsep nasionalisme Indonesia adalah Perhimpoenan Indonesia yang didirikan di Belanda,

Wajah nasionalisme..., Rhillaeza Mareta, FIB UI, 2013


sedangkan penyebarnya adalah Indonesische Studieclub yang didirikan di Surabaya dan
Algemeene Studieclub yang didirikan di Bandung. Perlengkapan konsep nasionalisme Indonesia
kemudian dilaksanakan dalam wilayah Hindia Belanda sendiri melalui Sumpah Pemuda oleh
pemuda pribumi dan tidak lagi dilakukan di Belanda. Selanjutnya, kaum intelektual muda ini
terus berkarya. Pada 17 Agustus 1945, Sukarno, mantan pemimpin Algemeene Studieclub, dan
Hatta, mantan pemimpin Perhimpoenan Indonesia, mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia.
(Dhont, 2005: 119—123).
Pembahasan seputar awal kemunculan konsep nasionalisme Indonesia hingga kini tidak
dapat dilepaskan dari sosok seorang putra bangsa yang terus menginspirasi banyak pihak di
Indonesia maupun dunia. Dalam bagian 4.2.1 telah disebutkan pula bahwa ia turut berperan
dalam pembentukan studieclub yang menjadi pelopor atas munculnya konsep nasionalisme
Indonesia yang tidak lagi membedakan pribumi atas suku dan agamanya. Sosok ini
sesungguhnya memiliki pemikiran-pemikiran tentang konsep nasionalisme Indonesa yang kuat.
Kuatnya konsep nasionalisme Indonesia yang ia gencarkan penyebarannya pada rakyat jajahan
terbukti mampu membuat pemerintah Belanda merasa sangat terancam hingga memutuskan
memenjarakannya berkali-kali selama belasan tahun. Tokoh tersebut adalah Sukarno, Bapak
Proklamator Indonesia
Latar belakang Sukarno sebagai kaum muda intelektual telah membuka wawasannya.
Pengetahuan bahwa semangat rakyat yang disengsarakan oleh suatu keadaan, baik rakyat proletar
di negeri-negeri industri maupun rakyat di tanah-tanah jajahan, adalah semangat ingin merdeka,
terhunjam dalam di benaknya. Semangat ingin merdeka inilah yang ingin Sukarno dan PNI
tumbuhkan dengan subur dalam jiwa tiap-tiap rakyat Indonesia terjajah (Sukarno, 2001: 114).
Semangat ingin merdeka dapat terbentuk jika rakyat memiliki pemikiran tentang bangsa yang
satu dan utuh. Pemikiran semacam ini adalah denyut nasionalisme. Berikut ini kutipan dalam
pidato “Indonesia Menggugat” yang berisikan pandangan Sukarno dan PNI tentang nasionalisme
yang harus mereka suburkan.

[…] tiap-tiap rakyat jajahan , tiap-tiap rakyat yang saban hari, saban jam merasakan
imperialisme bangsa lain, […] adalah berbudi nasionalistis.
PNI mengerti akan hal ini. PNI mengerti, bahwa di dalam kesadaran nasionaliteit,
di dalam nasionalisme inilah letaknya daya, yang nanti bisa membuka kenikmatan hari
kemudian. PNI oleh karenanya, menyubur-nyuburkan dan memelihara nasionalisme itu,

Wajah nasionalisme..., Rhillaeza Mareta, FIB UI, 2013


dari nasionalisme yang kurang hidup dibikin jadi nasionalisme yang hidup, dari
nasionalisme yang instinktif jadi nasionalisme yang sadar, dari nasionalisme yang statis
jadi nasionalisme yang dinamis, --pendek kata: dari nasionalisme yang negatif jadi
nasionalisme yang positif. Dibikin jadi nasionalisme yang positif, Tuan-tuan Hakim,
dibikin nasionalisme positif, sebab dengan nasionalisme yang hanya rasa protes atau rasa
dendam saja terhadap imperialisme, kami belumlah tertolong. Kami punya nasionalisme
haruslah suatu nasionalisme yang positif, suatu nasionalisme yang mencipta, suatu
nasionalisme yang “mendirikan”, suatu nasionalisme yang “mencipta dan memuja”.
Dengan nasionalisme yang positif itu maka rakyat Indonesia bisa mendirikan syarat-syarat
hidup merdeka yang bersifat kebendaan dan kebatinan. Dengan sekarang sudah
menghidup-hidupkan nasionalisme yang positif itu, maka ia bisa menjaga, jangan sampai
nasionalisme itu menjadi nasionalisme yang benci kepada bangsa lain, yakni jangan
sampai nasionalisme itu menjadi nasionalisme yang cahuvinistis […]
Dengan nasionalisme yang demikian itu, maka rakyat kami tentulah melihat hari
kemudian sebagai fajar yang berseri-seri dan terang cuaca, tentulah hatinya penuh dengan
pengharapan-pengharapan yang menghidupkan. [..] tidaklah lagi hatinya dipenuhi dendam
belaka. Dengan nasionalisme yang demikian itu rakyat kami akan rida dan suka hati
menjalankan segala pengorbanan untuk membeli hari kemudian yang indah yang
menimbulkan hasrat itu. Pendek kata: dengan nasionalisme yang demikian itu rakyat kami
akan bernyawa, akan hidup, dan tidak laksana bangkai sebagai sekarang!
(Sukarno, 2001: 114—115)

Kutipan panjang di atas kiranya telah secara jelas menggambarkan hakikat dan tujuan dari
konsep nasionalisme positif yang dimaksud oleh PNI dan tentu saja Sukarno sebagai ketuanya.
Adapun jalan yang akan ditempuh oleh Sukarno dalam menyuburkan nasionalisme di Indonesia
tertuang dalam trimurti yang ia sampaikan pula dalam “Indonesia Menggugat”. Berikut ini tiga
jalan yang ia rumuskan.

Dan caranya menyuburkan nasionalisme itu? Jalannya menghidupkannya?


Jalannya ada tiga:
pertama: kami menunjukkan kepada rakyat, bahwa ia punya hari dulu, adalah hari
dulu yang indah;
kedua: kami menambah keinsafan rakyat, bahwa ia punya hari sekarang, adalah
hari sekarang yang gelap;
ketiga: kami memperlihatkan kepada rakyat sinarnya hari kemudian yang berseri-
seri dan terang cuaca, beserta cara-caranya mendatangkan hari kemudian yang penuh
janji-janji itu.
[…] hanya trimurti inilah yang akan bisa menjadikan kembang Jayakusuma yang
menghidupkan kembali nasionalisme rakyat yang layu.

Wajah nasionalisme..., Rhillaeza Mareta, FIB UI, 2013


[…] dengan mengetahui kebesaran hari dulu itu, lantas hiduplah rasa nasionalnya,
lantas menyala lagilah api harapan di dalam hatinya, dan lantas mendapat lagilah rakyat
itu nyawa baru dan tenaga baru oleh karenanya.
[…] makin mendalam keinsafan rakyat akan getirnya nasib hari sekarang itu,
membikin pula makin rajin dan makin maunya rakyat berusaha membanting tulang dan
memeras tenaga untuk terkabulnya kesanggupan-kesanggupan hari kemudian yang indah
itu, —mengerti, bahwa makin merasuk keinsafan akan perihalnya hari sekarang itu di
dalam daging dan sumsum rakyat, membikin hidupnya rasa nasional, lebih berkobar-
kobarnya nasionalisme positif yang memang sudah menyala!
(Sukarno, 2001: 116—19)

Sejak era kolonial, sepakbola menjadi salah satu media bagi pribumi untuk menyalurkan
semangat nasionalismenya. Sesuai dengan semangat zamannya, secara umum dapat dikatakan
olahraga di masa kolonial masih terpisah-pisah berdasarkan latar belakang keturunan pelaku
(organisasi, pengurus, dan atletnya) yakni Eropa, Tionghoa, dan pribumi. Segregasi itu
memunculkan semangat tersendiri bagi pemain jika ada pertandingan yang mempertemukan dua
tim yang berbeda latar belakang karena seolah pertandingan itu menjadi lambang pertarungan
dua pihak. Organisasi dan para pengurus pun terpacu untuk berbuat lebih agar dapat mencapai
prestasi pesaing mereka, khususnya kalangan Tionghoa dan Pribumi yang menganggap titik
prestasi tertinggi adalah prestasi bangsa Eropa.
Beberapa kali tim pribumi dikabarkan menang melawan tim Eropa kala itu. pertandingan
yang kiranya tidak terlupakan salah satunya terjadi di Bengkulu pada tahun 1910. Tim pribumi
berhasil memenangkan pertandingan dengan skor 4-0. Menanggapi hal ini, Agum Gumelar
(dalam Bangun, 2007: viii) berpendapat bahwa pertandingan di Bengkulu kala itu adalah wujud
nyata atas fanatisme yang ia artikan sebagai nasionalisme yang disalurkan secara positif.
Waktu pun terus melaju, hingga akhirnya pada bulan April 1930 sebuah panitia dibentuk
di Yogyakarta dengan tujuan mengadakan konferensi pembentukan organisasi sepakbola tingkat
nasional. Tepat pada tanggal 19 April 1930, PSSI (Persatuan Sepakraga Seloeroeh Indonesia)
resmi didirikan. Perlakuan diskriminatif pemerintah kolonial yang hanya memperhatikan bond-
bond Belanda dan pemain kulit putih dalam sepakbola mendorong kelahiran organisasi ini.
Dalam konteks ini, kelahiran PSSI tidak hanya dijadikan sebagai aksi protes atas sikap
diskriminatif pemerintah kolonial. Kelahiran PSSI turut menjadi simbol perjuangan bangsa dan
salah satu pintu gerbang menuju kemerdekaan Indonesia.
Hingga pasca kemerdekaan, nasionalisme melalui sepakbola di Indonesia masih terus
menyala. Kobaran semangat cinta tanah air yang melanda PSSI dan seluruh masyarakat Indonesia

Wajah nasionalisme..., Rhillaeza Mareta, FIB UI, 2013


pada gelaran AFF Championship – Suzuki Cup 2010 turut mewarnai sejarah persepakbolaan
Indonesia. Kala iu, sepakbola di Indonesia bagi para pemain dan pendukungnya telah menjadi
medan tempat memperjuangkan martabat bangsa. Di kampung-kampung, di kampus-kampus, di
pasar swalayan, dan di sepanjang jalan di atas tanah air Indonesia kerapkali terlihat pemandangan
masyarakat mengenakan kostum Tim Garuda. Acara menonton laga Timnas Indonesia bersama-
sama menjadi suatu kegiatan penuh sorak-sorai “Indonesia! Indonesia!”. Pada Piala AFF 2010
sesungguhnya telah terbukti bahwa Indonesia memiliki tim sepakbola dan masyarakat pendukung
yang fanatik. Pemain yang berlaga di lapangan dengan para pendukungnya tidaklah saling
mengenal, akan tetapi semangat nasionalisme dalam diri mereka membuat mereka semua merasa
satu sebagai satu bangsa.

Nasionalisme Masyarakat Melayu Melalui Sepakbola dalam Novel Sebelas Patriot

Telah dipaparkan pada bagian sebelumnya mengenai asal-usul nasionalisme di Indonesia,


konsep nasionalisme yang dirumuskan oleh Sukarno selaku kaum intelektual muda Indonesia
yang memiliki peran sentral dalam kemunculan nasionalisme di Indonesia, serta nasionalisme
yang terkandung dalam olahraga sepakbola bangsa. Uraian tersebut pada bagian ini digunakan
untuk memahami gambaran nasionalisme masyarakat Melayu melalui sepakbola dalam novel
Sebelas Patriot karangan Andrea Hirata. Terdapat tiga tokoh dalam Sebelas Patriot yang
memiliki jiwa nasionalisme menonjol dalam bidang sepakbola, yaitu tokoh Ayah Ikal, Ikal, dan
Pelatih Toharun.
Dalam diri sang ayah, nasionalisme lahir disebabkan dorongan atas keinginan untuk
merdeka dari kungkungan penjajah. Kesempatan melawan pemerintah kolonial itu didapat ayah
Ikal dalam pertandingan sepakbola. Bertanding secara total tanpa memedulikan ancaman
pemerintah Belanda yang akan menyiksanya jika tim Belanda kalah adalah realisasi atas
semangat nasionalisme yang ada dalam diri tokoh ayah. Ia dan timnya pun menang. Semangat
berani mati demi kemerdekaan dirinya yang juga mewakili bangsanya itu kemudian berdampak
pada penyiksaan yang sungguh-sungguh dilakukan oleh pihak Belanda. Poin-poin orientasi
nasionalisme Indonesia seperti nonkoperasi, self-help, dan self-determination tampak menyala
dalam diri tokoh ayah. Selepas era kolonial pun nasionalisme positif khas Sukarno tampak tetap
hidup dalam dirinya.

Wajah nasionalisme..., Rhillaeza Mareta, FIB UI, 2013


Selanjutnya, nasionalisme dalam diri tokoh Ikal lahir ketika ia mendengar kisah
perjuangan sang ayah di lapangan hijau saat memperkuat tim sepakbola kuli parit tambang
melawan tim Belanda. Penyiksaan pemerintah Belanda yang menyebabkan karier ayah Ikal
sebagai pemain sepakbola berakhir membakar semangat Ikal. Ikal berniat untuk meneruskan cita-
cita ayahnya untuk menjadi pemain sepakbola. Pertandingan-pertandingan yang Ikal ikuti pun ia
jalani dengan membayangkan perjuangan ayahnya saat melawan Belanda. Semangat
nasionalisme era kolonial tampak menyala di dadanya yang saat itu sudah tidak lagi hidup di
masa yang sama. Hingga dewasa, meski tidak berhasil menjadi pemain PSSI, rasa cinta Ikal
terhadap sepakbola, PSSI, dan Indonesia tidak pernah hilang. Meski Ikal tengah menapakkan
kakinya di tanah Eropa, ia tetap merindukan saat-saat ketika ia dan ayahnya bersama-sama
masyarakat Melayu Belitong menyaksikan pertandingan PSSI dengan dukungan penuh.
Kerinduan ini adalah buah nasionalisme, buah rasa cintanya terhadap bangsa Indonesia yang
membuat ia terus merasa terikat dengan tanah tumpah darahnya di mana pun ia berada. Segenap
karakteristik ini mencerminkan bahwa Ikal adalah sosok anak bangsa yang menghayati sejarah
Indonesia dan pertumbuhan nasionalismenya sejalan dengan Trimurti Nasionalisme khas
Sukarno.  
Pelatih Toharun, meski tidak seusia dengan Ikal dan lebih dekat usianya dengan usia ayah
Ikal, juga mengalami apa yang Ikal alami dalam soal pewarisan nasionalisme. Ayahnya yang
berprofesi sebagai pelatih bagi tim sepakbola yang diperkuat ayah Ikal turut menentang larangan
Belanda bagi timnya untuk menang. Siksaan pun diterima Pelatih Amin saat timnya berhasil
mengalahkan tim Belanda. Kisah inilah yang kiranya menginspirasi Pelatih Toharun untuk
meneruskan perjuangan yang sama membangun klub sepakbola kampung demi kemajuan
sepakbola bangsa. Nasionalisme positif dapat dilihat telah tumbuh dalam diri Pelatih Toharun
melalui Trimurti Nasionalisme.
Ketiga tokoh di atas adalah sosok-sosok lelaki Melayu Belitong asli. Mereka adalah
bagian dari masyarakat Melayu Belitong yang dekat dengan dunia sepakbola. Selain itu, mereka
juga termasuk sebagai bagian dari masyarakat Melayu Belitong kebanyakan yang hidup dalam
serba keterbatasan. Namun, semangat nasionalisme dalam diri mereka mampu menjadi vitamin
penguat untuk menembus segala keterbatasan yang mengadang. Tokoh Ikal, sang ayah, dan
Pelatih Toharun dapat dikatakan hadir sebagai representasi masyarakat Melayu Belitong.

Wajah nasionalisme..., Rhillaeza Mareta, FIB UI, 2013


Nasionalisme dalam diri mereka dapat pula digolongkan sebagai wajah nasionalisme masyarakat
Melayu Belitong dalam novel Sebelas Patriot.
Adapun wajah nasionalisme masyarakat Melayu Belitong melalui sepakbola yang tampak
dari penelusuran nasionalisme dalam diri ketiga tokoh ini adalah nasionalisme yang terbagi ke
dalam dua cabang. Pada cabang pertama, nasionalisme lahir dalam diri sosok yang mengalami
sendiri penindasan kaum penjajah. Pahitnya penjajahan membuat mereka berusaha meraih
kemerdekaannya sebagai manusia dan juga sebagai rakyat yang tergabung dalam suatu bangsa.
Pada cabang kedua, nasionalisme lahir secara terwariskan. Nasionalisme ini lahir pada generasi
yang tidak mengalami langsung penindasan penjajah. Akan tetapi, dengan mendengar,
mengetahui, dan mempelajari kisah perjuangan generasi pendahulunya, mereka mengerti
mahalnya harga kemerdekaan. Nasionalisme dalam diri generasi-generasi ini umumnya
disalurkan dalam bentuk selain perlawanan mengingat tidak ada lagi pemerintah jajahan yang
harus mereka lawan.
Berdasarkan temuan ini, dapat disimpulkan bahwa nasionalisme dalam diri masyarakat
Melayu Belitong melalui sepakbola pada novel Sebelas Patriot berhubungan erat dengan kondisi
sosial dan historis Pulau Belitong. Catatan pada sejarah yang menyatakan bahwa Belitong selama
berabad-abad pernah berada dalam kungkungan penjajah tidak heran menjadi pemicu tumbuhnya
semangat nasionalisme dalam diri masyarakatnya termasuk dalam hal memaknai sepakbola.
Adapun keberlanjutan semangat nasionalisme di era selepas masa kolonial terus diwariskan atau
tumbuh dengan sendirinya dalam jiwa-jiwa generasi penerus yang mau mengetahui sejarah
sepakbola Belitong.
Melalui sebuah novel, yakni Sebelas Patriot, Hirata seolah ingin menyadarkan
masyarakat pembaca bahwa potret masyarakat Melayu tidak dapat dianggap main-main.
Meskipun selalu ditindas, mereka mampu menemukan cara dan jalannya untuk melawan
pemerintah kolonial, salah satunya melalui sepakbola. Dengan jumlah halaman yang tidak
terlampau banyak jika dibandingkan dengan novel-novelnya terdahulu, Hirata tidak banyak
menawarkan hasil riset budaya seperti yang telah ia sajikan dalam dwilogi Padang Bulan. Jika
dalam dwilogi yang dipenuhi kelucuan akan hal-hal unik tentang kebiasaan masyarakat Melayu
tersebut Hirata menelanjangi habis kebiasaan para pria Melayu dengan kehidupannya di warung
kopi, maka kadar kekentalan sajian warna lokal tersebut terasa lebih encer dalam Sebelas Patriot.
Tampak kemungkinan bahwa dalam Sebelas Patriot Hirata tidak ingin mengulang-ulang berbagai

Wajah nasionalisme..., Rhillaeza Mareta, FIB UI, 2013


hal yang telah ia kisahkan panjang-lebar di karya-karya sebelumnya. Namun, jika dipandang
sebagai karya pembangkit semangat serta penguat keyakinan manusia akan kekuatan cinta tulus
dan mimpi, karya ini tidak kalah bersinarnya dengan karya-karya Hirata terdahulu yang memang
dikenal menginspirasi.
Dari novel Sebelas Patriot didapat kesimpulan bahwa Andrea Hirata hendak mengangkat
kisah sarat nilai nasionalisme yang belum terekam dalam sejarah umum secara formal. Kisah
yang ia angkat pun bukan seputar perjuangan dalam praktik angkat senjata maupun peperangan.
Perjuangan sepakbola rakyat Belitong di era kolonial dipilih oleh Andrea Hirata untuk
menyadarkan pembaca bahwa perjalanan kemerdekaan bangsa Indonesia bukan hanya terdiri atas
kisah-kisah perjuangan besar yang populer. Selain itu, penghadiran sosok sang ayah yang baru
pada kelas 6 SD ia sadari sebagai patriot Indonesia tampak pula sebagai upaya Hirata untuk
menyuarakan bahwa patriot bukanlah melulu sosok besar yang terkenal. Sosok patriot mungkin
saja ada di sekitar, bahkan sangat dekat, dengan keseharian kita. Dengan perjuangannya, sosok-
sosok patriot ini rela mempertaruhkan nyawa demi kemajuan bangsa yang mereka cinta.
Kisah dalam Sebelas Patriot yang amat kental diwarnai oleh semangat nasionalisme para
tokoh sentralnya pada akhirnya menguatkan pemikiran para kaum nasionalis bahwa semangat
nasionalisme adalah semangat yang harus dihidupkan, disuburkan, dan disebarkan dalam jiwa
setiap rakyat Indonesia. Adapun sepakbola dan PSSI dapat menjadi salah satu media penyalur
semangat nasionalisme itu.
Di samping itu, penghadiran tema nasionalisme dalam Sebelas Patriot tampak sebagai
jawaban Hirata atas kritik-kritik yang menyatakan bahwa karya-karyanya selama ini
sesungguhnya begitu mengagungkan modernitas Eropa dan tidak begitu mengakrabkan pembaca
dengan kekaguman terhadap bangsa Indonesia. Pada bagian akhir novel, Hirata menghadirkan
sosok Ikal yang terasa menjadi perpanjangan lidahnya untuk menyampaikan bahwa ke mana pun
ia melangkah dan betapa pun ia mengagumi kemajuan bangsa asing, cinta yang sesungguhnya
tetaplah ia persembahkan bagi Indonesia.
Berpijak pada segenap strategi Hirata yang terlihat dari pilihan tema yang ia angkat dan
cara penuangannya ke dalam sebuah novel beserta suara-suara yang tampak ingin ia gaungkan,
didapatkan pula kesimpulan bahwa suatu pengkajian mendalam secara nyata dapat menggali
nilai-nilai yang terkandung dalam karya yang sepintas terlihat sangat sederhana seperti Sebelas
Patriot ini. Meski data menunjukkan bahwa Sebelas Patriot adalah novel Hirata yang sejauh ini

Wajah nasionalisme..., Rhillaeza Mareta, FIB UI, 2013


paling tipis, tidak begitu kaya akan deksripsi warna lokal, dan belum meraih keberhasilan
setinggi karya-karya Hirata sebelumnya, nilai dan pesan yang terkandung di dalamnya tidaklah
sesederhana tampilan luarnya.

Penutup

Melalui kajian dalam tulisan ini, semangat nasionalisme yang disalurkan melalui olahraga
bangsa telah terbukti menyala-nyala kehadirannya di Indonesia. Salah satu olahraga yang
menjadi media penyaluran nasionalisme di masa pasca penjajahan seperti saat ini adalah
sepakbola. Sepakbola memang jelas terlihat sebagai olahraga yang begitu digemari di nusantara.
Kendati demikian, perluasan kajian terhadap wujud nasionalisme dalam novel Indonesia lainnya
yang juga mengangkat tema olahraga selain sepakbola kiranya baik dilakukan. Setelah sekian
banyak novel Indonesia bermunculan dengan tema nasionalisme yang mewujud dalam upaya
perlawanan melawan penjajah melalui aksi perang, tema nasionalisme dalam wujud-wujud
berbeda seperti olahraga memanglah menarik. Dengan jalan ini, pesan bahwa wujud nasionalisme
tidak hanya identik dengan masyarakat terjajah dan upayanya mengusir penjajah dapat lebih jelas
tersampaikan.
Di samping itu, kajian bandingan antara karya sastra bertema nasionalisme yang
diterbitkan saat Indonesia telah lepas dari cengkeraman penjajah dan karya sastra bertema
nasionalisme yang ditulis benar-benar saat penjajah masih menduduki Indonesia terlihat menarik.
Melalui kajian bandingan ini, perbedaan maupun persamaan tanggapan sastrawan yang
melahirkan karya-karya tersebut dapat digali dan diketahui sehingga tergambar pula pengaruh
maupun hubungan keberadaan penjajah dengan karya-karya bertema nasionalisme di Indonesia.
Upaya serius, kerja sama, dan tindak nyata para ahli sastra pada akhirnya menjadi poin penting
yang amat dibutuhkan guna mewujudkan pemikiran-pemikiran yang telah tersaji.

Daftar Acuan

Abdullah, Husnial Husin. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Bangka Belitung. Jakarta:


Karya Unipress, 1983.

Wajah nasionalisme..., Rhillaeza Mareta, FIB UI, 2013


Adams, Cindy. Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia: Biography As Told To Cindy
Adams. Jakarta: Gunung Agung, 1966.
Anderson, Bennedict. Imagined Communities. London, New York: Verso, 2000.
Bangun, Henry Ch. Wajah Indonesia dalam Olahraga: 100 Tahun Berita Olahraga Indonesia.
Jakarta: Pustaka Spirit, 2007.
Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra. Jakarta: Editum, 2010.
Dhont, Frank. Nasionalisme Baru Intelektual Indonesia Tahun 1920-an. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2005.
Hirata, Andrea. Maryamah Karpov. Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2008.
------------------. Cinta di Dalam Gelas. Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2010.
------------------. Padang Bulan. Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2010.
------------------. Edensor. Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2011.
------------------. Laskar Pelangi: New Edition. Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2011.
------------------. Sebelas Patriot. Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2011.
------------------. Sang Pemimpi: New Edition. Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2012.
Hirata, Andrea dan kawan-kawan. Laskar Pelangi Song Book. Yogyakarta: Bentang Pustaka,
2012.
Jassin, H.B. Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia. Jakarta: Gramedia, 1983.
Kahin, George McTurnan. Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik: Nasionalisme dan Revolusi
di Indonesia. Solo: UNS Press, 1995.
Rampan, Korrie Layun. Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (Terj. Nin Bakdi Soemanto).
Jakarta: Grasindo, 2000.
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009.
Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Terj. Satrio Wahono, dkk.). Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2005.
Sirimorok, Nurhady. Laskar Pemimpi; Andrea Hirata, Pembacanya, dan Modernisasi Indonesia.
Yogyakarta: Insist Press, 2008.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo, 2008.
Sudjiman, Panuti. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya, 1988.

Wajah nasionalisme..., Rhillaeza Mareta, FIB UI, 2013


Sukarno. Indonesia Menggugat: Pembelaan Bung Karno di Depan Pengadilan Kolonial,
Bandung, 1930. Jakarta: Gunung Agung, 2001.
Susilo, Joko dan Siti Maemunah. Tiga Abad Melayani Dunia: Potret Tambang Timah Bangka
Belitung. Jakarta: Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), 2009.
Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraan (Terj. Melani Budianta). Jakarta:
Gramedia, 1988.

Disertasi
Miftahuddin. Makna Nasionalisme Indonesia: Suatu Pendekatan Diskursif di Era Orde Baru.
Disertasi Doktor Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Depok:
FISIP UI, 2009.

Skripsi
Ichsan, Achmad Chuzaifah. Gentlement’s Agreement 15 Januari 1937 Antara NIVU
(Nederlansch Indishe Voetbal Unie) dengan PSSI (Persatoean Sepakraga Seloeroeh
Indonesia). Skripsi Sarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Depok: FIB UI, 2004.
 

Wajah nasionalisme..., Rhillaeza Mareta, FIB UI, 2013

Вам также может понравиться