Вы находитесь на странице: 1из 20

WEWENANG LEMBAGA MANAJEMEN KOLEKTIF

NASIONAL (LMKN) DALAM MENARIK, MENGHIMPUN


DAN MENDISTRIBUSIKAN ROYALTI DITINJAU DARI
PERMENKUMHAM NOMOR 29 TAHUN 2014

MANUSKRIP

Oleh
P.F.Bonifasius Lumban Gaol
8111413131

Gedung K1, Kampus Sekaran Gunungpati, Semarang 50229


Telp/Fax. (024) 8507891-70709205
Laman: www.fh.unes.ac.id Email: fh@unnes.ac.id

1
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Manuskrip dengan judul “Wewenag Lembaga Manajemen Kolektif Nasional

(LMKN) dalam Menarik, Menghimpun dan Mendistribusikan Royalti

Ditinjau dari Permenkumham Nomor 29 Tahun 2014”, disusun oleh

P.F.Bonifasius Lumban Gaol (8111413131) telah disetujui oleh Pembimbing

pada:

Hari : Kamis

Tanggal : 5 Oktober 2017

Menyetujui,

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Waspiah, S.H.,M.H. Andry Setiawan, S.H.,M.H.


NIP. 198104112009122002 NIP. 197403202006041001

2
WEWENANG LEMBAGA MANAJEMEN KOLEKTIF NASIONAL
(LMKN) DALAM MENARIK, MENGHIMPUN DAN
MENDISTRIBUSIKAN ROYALTI DITINJAU DARI PERMENKUMHAM
NOMOR 29 TAHUN 2014

P.F.Bonifasius Lumban Gaol


Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang
Gedung K1, Kampus Sekaran Gunungpati, Semarang
Jawa Tengah, Indonesia, 50229
Email: pandang.bonifasius@gmail.com

ABSTRACT

This research aims to to know and analyze the authority of the National Collective
Management Organization (NCMO) in attracting, collecting and distributing
royalties in terms of Permenkumham No. 29 of 2014 and to identify and analyze
the distribution of tasks between National Collective Management Organization
(NCMO) with the Collective Management Organization (CMO) interesting, and
mendistrikan collect royalties in terms of Permenkumham No. 29, 2014.This
research using normative juridical approach with methods of regulation of Law
and Human Rights No. 29 of 2014, the secondary data literature regarding
withdrawal tertiary royalty and data with data collection in the form of literature
studies and interviews. The results of research and discussion show that (1) the
National Collective Management Organization in the rules has the power to
attract, collect and distribute royalties. In practice the National Collective
Management Organization is still exercised its powers to collect royalties due to
collect royalties account held by the National Collective Management
Organization even if the authority delegated by Permenkumham No. 29, 2014. (2)
The division of duties of the National Collective Management Organization
(NCMO) and the National Collective Management Organization stipulated in Law
No. 28 of 2014 and Regulation of the Minister of Law and Human Rights No. 29
of 2014. Under the existing rules are basically the National Collective
Management Organization (NCMO) tasked to oversee the task of the Collective
Management Organization (CMO). Suggestions for the Government to NCMO
legal basis in the Copyright Act strengthened.

Keywords :Privileges, Royalty, LMKN, Permenkumham No. 29, 2014.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui dan menganalisis wewenang


Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dalam menarik, menghimpun
dan mendistribusikan royalti ditinjau dari Permenkumham Nomor 29 Tahun 2014
dan untuk mengetahui dan menganalisis pembagian tugas antara Lembaga

3
Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dengan Lembaga Manajemen Kolektif
(LMK) menarik, menghimpun dan mendistrikan royalti ditinjau dari
Permenkumham Nomor 29 Tahun 2014. Penelitian ini menggunakan metode
pendekatan yuridis normatif dengan metode Peraturan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Nomor 29 Tahun 2014, data sekunder yakni literatur mengenai
penarikan royalti dan data tersier dengan teknik pengumpulan data berupa studi
kepustakaan dan wawancara. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan
bahwa (1) Lembaga Manajemen Kolektif Nasional dalam aturan mempunyai
wewenang untuk menarik, menghimpun dan mendistribusikan royalti. Pada
praktiknya Lembaga Manajemen Kolektif Nasional masih menjalankan
wewenangnya untuk menghimpun royalti karena rekening untuk menghimpun
royalti dipegang oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional sekalipun
wewenang sudah didelegasikan berdasarkan Peraturuan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Nomor 29 Tahun 2014. (2) Pembagian tugas Lembaga Manajemen
Kolektif Nasional (LMKN) dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional diatur
dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Nomor 29 Tahun 2014. Berdasarkan aturan yang ada pada
dasarnya Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) bertugas untuk
mengawasi tugas Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Saran untuk Pemerintah
agar dasar hukum LMKN dalam Undang-Undang Hak Cipta diperkuat.

Kata Kunci :Wewenang, Royalti, LMKN, Permenkumham Nomor 29 Tahun


2014.

1. PENDAHULUAN
Hak cipta adalah salah satu hak yang paling luas di bidang KI, selain
objeknya yang sangat besar tetapi juga melibatkan begitu banyak orang. Hak
cipta juga merupakan bagian dari hak eksklusif bagi pencipta atau penerima
hak untuk mengumumkan, memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin
kepada orang lain untuk itu. Hak cipta seseorang dilindungi seumur hidup
pencipta dan 50 (lima puluh) tahun setelah pencipta meninggal dunia
berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, maka
pada Undang-Undang Hak Cipta yang baru ini sampai 70 tahun dan jangka
waktu 70 tahun ini mengikuti sejumlah negara maju. Itu merupakan
perlindungan KI yang paling lama sekaligus penghargaan bagi para pencipta.
Hak cipta di Indonesia mengenal konsep hak ekonomi dan hak moral. Hak
ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan,
sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta yang tidak
dapat dihilangkan dengan alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak terkait
telah dialihkan. Contoh pelaksanaan hak moral adalah pencantuman nama
pencipta pada ciptaan, walaupun misalnya hak cipta atas ciptaan tersebut
sudah dijual untuk dimanfaatkan pihak lain. Hak ekonomi pencipta berupa
royalti saat karya ciptanya diproduksi dalam berbagai bentuk dan royalti pasca
produksi karena pengumuman dan pemanfaatan secara komersial.

4
Pelaksanaan hak ekonomi, seringkali terkena kendala dan masalah seperti
optimalisasi teknologi informasi, optimalisasi royalty collecting, efektifitas
Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Hak Cipta yang mendapat
perlindungan adalah ide yang nyata dan berwujud, artinya suatu ciptaan harus
mempunyai keaslian agar supaya dapat menikmati hak-hak yang diberikan
oleh Undang-Undang, keaslian sangat erat kaitannya dengan bentuk
perwujudan suatu ciptaan. Selain itu ciptaan mempunyai Hak Cipta jika
ciptaan yang bersangkutan diwujudkan dalam bentuk tertulis atau bentuk
materiil yang lain, hal ini berarti suatu ide atau suatu pikiran belum
merupakan suatu ciptaan Latar belakang pemungutan, penghimpunan dan
pendistribusian royalti di Indonesia yang tidak berjalan dengan lancar
disebabkan oleh ketidaksepahaman antara LMKN dan LMK. Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, LMKN mempunyai
wewenang untuk menarik, menghimpun dan mendistribusikan royalti
sementara LMK juga memiliki tugas yakni menarik, menghimpun dan
mendistribusikan royalti. Jika dilihat dari syarat-syarat di dalam Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2014 Pasal 88 angka (2) yang harus dimiliki oleh
LMK untuk menarik, menghimpun dan mendistribusikan royalti adalah harus
memiliki anggota minimal dua ratus pemilik hak cipta dan lima puluh hak
terkait, maka LMK yang berhak untuk menarik, menghimpun dan
mendistribusikan royalti. Sementara LMKN yang tidak memiliki syarat-syarat
tersebut tidak berhak menarik, menghimpun dan mendistribusikan royalti.
1
Jika ditinjau lebih lanjut pemilik hak cipta dan hak terkait
mendaftarkan karya ciptanya kepada LMK untuk menarik, menghimpun dan
mendistribusikan royalti dengan surat kuasa. Dengan demikian perlu surat
kuasa untuk menjalankan tugas tersebut. LMKN adalah lembaga yang
dibentuk di luar LMK yang tidak terhubung langsung dengan LMK oleh
sebuah dewan khusus yang disebut sebagai Dewan Ad-Hoc dan disahkan oleh
Menteri Hukum dan HAM. Oleh karena itu LMKN tidak berwenang sama
sekali untuk menarik, menghimpun dan mendistribusikan royalti karena tidak
ada kaitannya dengan pemilik/pemegang hak cipta maupun hak terkait.
Fokus penelitian dalam penelitian ini yang hendak dikaji adalah (1)
Bagaimana wewenang Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN)
dalam menarik, menghimpun dan mendistribusikan royalti ditinjau dari
Permenkumham Nomor 29 Tahun 2014? (2)Bagaimana pembagian tugas
antara Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan Lembaga
Manajemen Kolektif (LMK) dalam menarik, menghimpun dan
mendistribusikan royalti ditinjau dari Permenkumham Nomor 29 Tahun
2014?
Tujuan dari penelitian yang ini adalah (1) Untuk mengetahui dan
menganalisis wewenang Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN)
dalam menarik, menghimpun dan mendistribusikan royalti ditinjau dari

1
Gatot Supramon, (2009). Hak Cipta Dan Aspek-aspek Hukumnya. Jakarta: P.T. RINEKA
CIPTA hlm 3

5
Permenkumham Nomor 29 Tahun 2014. (2) Untuk mengetahui dan
menganalisis pembagian tugas antara Lembaga Manajemen Kolektif Nasional
(LMKN) dengan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) menarik,
menghimpun dan mendistrikan royalti ditinjau dari Permenkumham Nomor
29 Tahun 2014.
Konsep dan teori yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari Teori
Wewenang, Asas-Asas Perjnjian, Konsep LMKN dan LMK, Konsep
Kekayaan Intelektual, Konsep Royalti.

2. METODE PENELITIAN
2
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif.
Sedangkan jenis penelitian adalah yuridis normatif. Lokasi penelitian di
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Jenis data yang digunakan pada
penelitian ini adalah sumber data primer yaitu dengan melakukan analisis
studi kepustakaan yakni Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 dan
Permenkumham Nomor 29 Tahun 2014 dan wawancara dengan Bapak Irbar
Sutanto, S.H.,M.H. selaku Ketua Bidang Bantuan Hukum dan Litigasi, Dirjen
KI. Selain itu juga menggunakan data sekunder yang berupa buku-buku
literatur hukum, Undang-undang, Jurnal Hukum yang mendukung teori yang
digunakan. Teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan dan
wawancara. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan metode deduksi.

3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual merupakan sebuah unsur
pelaksana Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia yang
mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan
di bidang kekayaan intelektual sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
Undangan.
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual beralamat di Jalan H.R.
Rasuna Said Kav.8-9, Jakarta Selatan. Direktorat Jenderal Kekayaan
Intelektual adalah sebuah unit organisasi Eselon I di lingkungan Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, yang bertugas
melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perlindungan KI di Indonesia,
untuk Paten, Merek, Hak Cipta, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit
Terpadu, Rahasia Dagang, dan Indikasi Geografis. Adapun Visi Dirjen KI
adalah terciptanya sistem Kekayaan Intelektual (KI) yang efektif dan efisien
dalam menopang pembangunan nasional dan Misi Direktorat Jenderal
Kekayaan Intelektual adalah sebagai berikut:
Mengelola sistem KI dengan cara:
1. Memberikan perlindungan, penghargaan dan pengakuan atas kreatifitas;

2
Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. (2015). Penelitian Hukum Normatif.Jakarta:Rajawali
Pers. hlm 20

6
2. Mempromosikan teknologi, investasi yang berbasis ilmu pengetahuan
dan pertumbuhan ekonomi;
3. Merangsang pertumbuhan karya dan budaya yang inovatif dan inventif.
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual merupakan salah unsur
pelaksana Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mempunyai
tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang
Kekayaan Intelektual sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
3
Undangan.Dalam menyelenggarakan tugas, Direktorat Jenderal Kekayaan
Intelektual mempunyai tugas untuk merumuskan kebijakan perlindungan
tentang Hukum Kekayaan Intelektual dan pelaksanaan administrasi Ditjen KI.
Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dibentuk berdasarkan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 29 Tahun 2014. LMKN
adalah Badan Hukum Niralaba yang mengelola royalti bidang lagu dan musik
yang dibagi menjadi 2 (dua) bentuk Lembaga Manajemen Kolektif Nasional
yang masing-masing merepresentasikan keterwakilan kepentingan Pencipta
dan Kepentingan Hak Cipta.
Lembaga Manajemen Kolektif Nasional dibagi 2 (dua) yaitu:
1. Lembaga Manajemen Kolektif Nasional Pencipta
2. Lembaga Manajemen Kolektif Nasional Hak Terkait
Kantor Lembaga Manajemen Kolektif Nasional berada di Jalan H.R.
Rasuna Said Kav.8-9, Jakarta Selatan, di lantai 2, Gedung Direktorat Jenderal
Kekayaan Intelektual.Lembaga Manajemen Kolektif Nasional memiliki
wewenang untuk menarik, menghimpun dan mendistribusikan royalti dari
pengguna komersial. Pelaksanaan wewenang LMKN dapat mendelegasikan
kewenangannya kepada Lembaga Manajemen Kolektif sejenis yang berada di
bawah koordinasinya.
4
Lembaga Manajemen Kolektif Nasional berfungsi untuk melakukan
koordinasi dan mengawasi pengumpulan royalti oleh Lembaga Manajemen
Kolektif dibawahnya.
Tempat-tempat umum atau kegiatan yang menggunakan musik seperti
kafe, karaoke, dan pentas seni nantinya harus membayar royalti yang diatur
oleh lembaga ini. Lembaga ini diharapkan bisa menghimpun, kemudian
mengelola, dan menyalurkan royalti kepada para pencipta dan kemudian para
pemilik hak terkait. Pembentukan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional
diharapkan hak-hak pencipta terutama hak-hak ekonomi bisa diperoleh
dengan layak.
Pengguna Hak Cipta dan Hak Terkait yang memanfaatkan hak ekonomi
membayar Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak
Terkait, melalui Lembaga Manajemen Kolektif.
Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 memperjelas
kedudukan dan status Lembaga Manajemen Kolektif secara hukum yaitu

4
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt541f940621e89/kedudukan-lembaga-
(manajemen-kolektif-dalam-uu-hak-cipta-yang-baru [accessed 5/17/14], pukul 16.00.

7
Lembaga Manajemen Kolektif menjadi dua bagian yang sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 89 Ayat (1), yaitu:
1. Lembaga Manajemen Kolektif yang khusus mewakili kepentingan
Pencipta/Pemegang Hak Cipta;
2. Lembaga Manajemen Kolektif yang khusus mewakili kepentingan
Pemilik Hak terkait.
Karena sudah jelas diatur pada Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia dalam BAB I pada Ketentuan Umum Lembaga Manajemen Kolektif
Nasional Pencipta berdasarkan Pasal 1 angka 7 dan Lembaga Manajemen
Kolektif Hak Terkait berdasarkan Pasal 1 angka 8 yaitu: Lembaga
Manajemen Kolektif Nasional Pencipta yang selanjutnya disebut LMK
Nasional Pencipta adalah LMK yang merepresentasikan unsur LMK,
pencipta, akademisi, dan ahli hukum di bidang hak cipta untuk mengelola hak
ekonomi Pencipta di bidang lagu dan/atau musik (Pasal 1 Angka 7).
Lembaga Manajemen Kolektif Nasional Hak Terkait yang selanjutnya
disebut LMK Nasional Hak Terkait adalah LMK yang merepresentasikan
unsur LMK, pemilik Hak Terkait, akademisi, dan ahli hukum di bidang hak
cipta untuk mengelola hak ekonomi pemilik Hak Terkait di bidang lagu dan
atau musik (Pasal 1 Angka 8).
Sepuluh komisioner tersebut akan menjabat selama 3 (tiga) tahun dan
dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Masa
jabatan berlaku hingga 16 Januari 2018 mendatang sejak tahun 2015.
Struktur dari Lembaga Manajemen LMK Nasional Pencipta dan LMK
Nasional Hak Terkait dipimpin oleh Komisioner yang bersifat
independen.Keanggotaan Komisioner LMK Nasional Pencipta berjumlah
ganjil paling banyak 5 (lima) orang yang berasal dari unsur:
a. LMK di bidang lagu dan/atau musik;
b. Pencipta;
c. akademisi; dan
d. ahli/pakar hukum di bidang Hak Cipta.
Keanggotaan Komisioner LMK Nasional Hak Terkait berjumlah ganjil
paling banyak 5 (lima) orang yang berasal dari unsur:
a. LMK di bidang lagu dan atau musik;
b. pemilik Hak Terkait;
c. akademisi; dan
d. ahli/pakar hukum di bidang Hak Cipta.
Komisioner hanya dapat menduduki salah satu jabatan sebagai
Komisioner pada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional.Lembaga
Manajemen Kolektif Nasional terdiri atas 10 Komisioner. Mereka terdiri
dari lima komisioner untuk LMKN bidang Pencipta dan lima komisioner
lainnya untuk LMKN Hak Terkait. Berikut adalah sepuluh orang anggota
komisioner LMKN:
Tabel 4.1 Daftar Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional

No LMKN Pencipta No LMKN Hak Terkait

8
1 H. Rhoma Irama 1 Rd.M. Samsudin Dajat
(Sam Bimbo)

2 James Freddy Sundah 2 Ebiet G. Ade

3 Adi Andrian (Adi Kla Project) 3 Djanur Ishak

4 Dr.Iman Haryanto, SH., MH 4 Miranda Risang Ayu, SH.,


LL.M., P.hd

5 Slamet Adriyadie 5 Handi Santoso

Susunan keanggotaan Komisioner LMK Nasional Pencipta dan LMK


Nasional pemilik Hak Terkait terdiri atas:
 1 (satu) orang Ketua merangkap anggota;
 1 (satu) orang wakil ketua merangkap anggota; dan
 paling banyak 3 (tiga) orang anggota.
Ketua dan Wakil Ketua LMKN dipilih secara musyawarah oleh anggota.
Pemilihan Komisioner diatur dalam Anggaran Dasar LMKN. Untuk pertama
kali, Komisioner LMKN dipilih oleh panitia seleksi yang bersifat independen
yang dibentuk dan ditetapkan oleh Menteri. Untuk pemilihan Komisioner
selanjutnya dipilih oleh panitia seleksi yang bersifat independen yang dibentuk
dan ditetapkan oleh Komisioner.

1. Wewenang Lembaga Kolektif Nasional dalam Menarik,


Menghimpun dan Mendistribusikan Royalti ditinjau dari
Permenkumham Nomor 29 Tahun 2014.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
Pasal 1 angka (22) : Lembaga Manajemen Kolektif adalah institusi yang
berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh Pencipta. Pemegang
Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait guna mengelola hak ekonominya
dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti. Peraturan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 29 Tahun 2014 Pasal 1 angka (7)
menjelaskan bahwa Lembaga Manajemen Kolektif Nasional Pencipta yang
selanjutnya disebut LMKN Pencipta adalah LMK yang mempresentasikan
unsur LMK, pencipta, akademisi, dan ahli hukum di bidang hak cipta untuk
mengelola hak ekonomi Pencipta di bidang lagu dan/atau musik. Pasal 1
angka 8 juga menjelaskan bahwa Lembaga Manajemen Kolektif Nasional
Hak Terkait yang selanjutnya disebut LMKN Hak Terkait adalah LMK yang
mempresentasikan unsur LMK, pemilik Hak Terkait, akademisi, dan ahli di
bidang hak cipta untuk mengelola hak ekonomi pemilik Hak Terkait di
bidang lagu dan/atau musik. Berdasarkan dari pengertian diatas maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa Lembaga Manajemen Kolektif Nasional Pencipta
dan Hak Terkait adalah Lembaga Kolektif Nasional atau LMK yang

9
berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh Pencipta. Pemegang
Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait guna mengelola hak ekonominya
dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti.
Selanjutnya, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor
29 Tahun 2014 Pasal 2 angka (1) menyebutkan : untuk dapat menarik,
menghimpun dan mendistribusikan royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak
Cipta atau pemilik Hak Terkait LMK wajib memiliki izin operasional dari
Menteri. Izin operasional tersebut selanjutnya dijelaskan pada pada angka (2)
yang berbunyi : untuk memperoleh izin operasional, LMK harus memenuhi
syarat:
a. berbentuk badan hukum Indonesia yang besifat nirlaba;
b. mendapat kuasa dari Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak
Terkait untuk menarik, menghimpun, dan mendistribuiskan royalti;
c. memiliki pemberi kuasa sebagai anggota paling sedikit 200 (dua ratus)
orang pencipta untuk LMK bidang lagu dan/atau musik yang mewakili
kepentingan pencipta dan paling sedikit 50 (lima puluh) orang untuk
LMK yang mewakili pemilik hak terkait dan/atau objek hak cipta
lainnya;
d. bertujuan untuk menarik, menghimpun dan mendistribusikan royalti;
dan
e. mampu menarik, menghimpun dan mendistribusikan royalti kepada
pencipta, pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait.
Lembaga Manajemen Kolektif Nasional adalah Lembaga Manajemen
Kolektif sesuai dari penjelasan dari Pasal 1 angka (7) dan (8) Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, sesuai dengan hal tersebut maka
LMKN dapat menarik, menghimpun dan mendistribusikan royalti dan hal
itu dijelaskan juga dalam Pasal 5 angka (2) bahwa : LMK Nasional Pencipta
dan LMK Nasional Hak Terkait memiliki kewenangan untuk menarik,
menghimpun dan mendistibusikan royalti dari pengguna yang bersifat
komersil.
`` 5Berdasarkan syarat-syarat di atas, Lembaga Manajemen Kolektif
Nasional tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. LMKN harus berbentuk
badan hukum nirlaba, sementara dalam Undang-Undang tentang Hak Cipta
maupun Permenkumham tidak ada disebutkan bentuk badan hukum LMKN
itu sendiri.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta tidak
dengan tegas menyebutkan bentuk hukum LMKN. Mengacu pada kelahiran
LMK-LMK hak cipta yang sudah ada, maka berdasarkan uraian panjang
lebar di atas, sudah sepatutnya jika LMKN adalah perkumpulan dari LMK-
LMK yang sudah mendapatkan ijin operasional dari Menteri Hukum dan
HAM berdasarkan ketentuan Pasal 88 angka (2) Undang-Undang Hak Cipta
2014.

5
Nainggolan, Bernard. (2011). Pemberdayaan Hak Cipta Dan Lembaga Manajemen
Kolektif. Bandung: P.T.ALUMNI hlm 55

10
Selanjutnya untuk menarik, menghimpun dan mendistribusikan royalti
LMK harus mendapat kuasa dari Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau
pemilik Hak Terkait dan memiliki pemberi kuasa sebagai anggota paling
sedikit 6200 (dua ratus) orang pencipta untuk LMK bidang lagu dan/atau
musik yang mewakili kepentingan pencipta dan paling sedikit 50 (lima
puluh) orang untuk LMK yang mewakili pemilik hak terkait dan/atau objek
hak cipta lainnya. Syarat ini sama sekali tidak terpenuhi oleh LMKN untuk
menarik menghimpun dan mendistribusikan royalti karena LMKN adalah
bentukan langsung oleh Pemerintah dalam hal ini adalah Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia karena yang sebenarnya memiliki surat kuasa dari
pencipta dan pemilik hak terkait adalah LMK bukan LMKN.
Perjanjian mempunyai beberapa asas yang harus dipenuhi antara lain
asas itikad baik, asas konsensualitas, asas pacta sun servanda, dan asas
kebebasan berkontrak. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1972
berbunyi : pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan
pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk
melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa. Penjelasan
dari Undang-Undang di atas adalah penjelasan dari asas pacta sun servanda.
Dengan demikian asas ini menegaskan bahwa perjanjian hanya mengikat
para pihak yang membuat perjanjian saja, sedangkan pihak ketiga tidak bisa
mendapatkan keuntungan karena perbuatan mereka itu dan pihak ketiga juga
tidak akan menanggung kerugian karena perbuatan mereka itu, kecuali
kalau perjanjian itu dimaksudkan untuk pihak ketiga. Berdasarkan
penjelasan ini, maka unsur yang harus ada dalam sebuah pemberian kuasa
adalah adanya persetujuan, yang berisi pemberian kekuasaan atau kepada
orang lain di mana kekuasaan itu diberikan untuk melaksanakan sesuatu atas
nama orang yang memberi kuasa.
Jadi wewenang Lembaga Manajemen Kolektif Nasional untuk menarik,
menghimpun dan mendistribusikan royalti jika dilihat dari Undang-Undang
aadalah tepat, dan juga pendelegasiannya kepada Lembaga Manajemen
Kolektif juga tidak keliru. Namun sudah jelas bahwa wewenang adalah
kemampuan untuk melakukan sesuatu, Lembaga Manajemen Kolektif
Nasional dalam hal ini tidaklah mampu untuk menarik, menghimpun dan
mendistribusikan royalti karena syarat-syarat untuk menarik, menghimpun
dan mendistribusikan tidak terpenuhi. Maka, pendelegasian wewenang oleh
Lembaga manajemen Kolektif Nasional kepada Lembaga Manajemen
Kolektif menjadi sangat keliru.

6
Soerjono Soekanto, dan Mamudji, Sri. (2015). Penelitian Hukum Normatif.Jakarta:Rajawali
Pers. hlm 20

11
2. Pembagian Tugas Antara Lembaga Manajeen Kolektif Nasional dan
Lembaga Manajemen Kolektif dalam Menarik, Menghimpun dan
Mendistribusikan Royalti Ditinjau dari Permenkumham Nomor 29
Tahun 2014
Penelitian ini mengambil beberapa negara sebagai perbandingan
pengaturan LMK, seperti Perancis dan Jepang. Perancis merupakan negara
penggagas terwujudnya Lembaga Manajemen Kolektif. Jejak langkahnya
yang panjang dapat dijadikan contoh perjalanan LMK di Indonesia ke
depannya. Terdapat dua jenis LMK untuk musik di Perancis, yaitu LMK
Hak Cipta dan LMK Hak Terkait. Berdasarkan jenis kewenangannya,
terdapat LMK utama yang melakukan kontak langsung dengan pencipta
hingga melakukan pembelaan apabila terdapat kasus hukum dan
keuntungan ekonomi. Sementara jenis yang kedua yaitu LMK Intermedier
yang bertugas untuk menghimpun dan mendistribusikan royalti.
Pemilihan Jepang sebagai negara pembanding mengingat negara ini
berperan dalam mendampingi kinerja KCI. Pada tahun 1991, LMK Jepang
Japan Society for Rights of Authors, Composers, and Publishers
(JASRAC) mendatangkan ahli di bidang dokumentasi dan distribusi royalti
untuk pengembangan KCI. Regulasi LMK di Jepang telah efektif sejak 1
Oktober 2001 melalui Hukum Bisnis Manajemen untuk bidang Hak Cipta
dan Hak Terkait Hak Cipta. Ketentuan ini bicara tentang sistem registrasi
bagi para pihak yang terikat dalam bisnis pengelolaan Hak Cipta, yakni
Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan/atau Pemilik Hak Terkait sebagai
pemberi lisensi, dan pihak-pihak Pengguna sebagai penerima lisensi. LMK
berperan besar dalam pembentukan hukum Hak Cipta di Jepang melalui
sengketa hukum yang terjadi, hal ini dapat terlihat pada kasus di tahun
1988. Melalui kasus yang diangkat oleh Japan Society for Rights of
Authors, Composers, and Publishers (JASRAC) ini lahir “karaoke legal
theory” berdasarkan putusan Hakim Mahkamah Agung Jepang. Bahkan
untuk menaggapi era digital ini, JASRAC di tahun 2003 melakukan
gugatan terhadap Napster Music untuk melakukan pembayaran Royalti
kepada pihak yang berhak. Hingga tahun 2010, terdapat 4 LMK
intermedier dan sekurang-kurangnya 37 LMK utama di Jepang.
Pengelolaan LMK secara umum terdapat pada Undang-Undang Hak Cipta
Jepang.
Lembaga Manajemen Kolektif Nasional terbentuk berdasarkan Pasal 89
UUHC yang menyatakan bahwa:
“(1) untuk pengelolaan royalti hak cipta bidang lagu dan/atau musik
dibentuk 2 (dua) Lembaga Manajeman Kolektif Nasional yang
masing-masing merepresentasikan keterwakilan sebagai berikut:
a. kepentingan Pencipta; dan
b. kepentingan pemilik Hak Terkait.

12
(2) Kedua Lembaga Manajemen Kolektif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) memiliki kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan
mendistribusikan Royalti dari Pengguna yang bersifat komersial.
(3) Untuk melakukan penghimpunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) kedua Lembaga Manajemen Kolektif wajib melakukan
koordinasi dan menetapkan besaran Royalti yang menjadi hak
masing-masing Lembaga Manajemen Kolektif dimaksud sesuai
dengan kelaziman dalam praktik berdasarkan keadilan.
(4) Ketentuan mengenai pedoman penetapan besaran Royalti
ditetapkan oleh Lembaga Manajemen Kolektif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan disahkan oleh Menteri.” LMKN
Pencipta dan LMKN Hak Terkait memiliki kewenangan untuk
menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti dari pengguna
yang bersifat komersial. Tugas dari LMKN Pencipta dan LMKN
Hak Terkait berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI
No. 29 Tahun 2014 tentang Tata Cara Permohonan dan Penerbitan
Izin Operasional Serta Evaluasi Lembaga Manajemen Kolektif ini
adalah:
a) menyusun kode Etik LMK di bidang lagu dan/atau
musik;
b) melakukan pengawasan terhadap LMK di bidang
lagu dan/atau musik
c) memberikan rekomendasi kepada Menteri untuk
menjatuhkan sanksi atas pelanggaran kode etik
yang dilakukan oleh pengurus LMK;
d) memberikan rekomendasi kepada Menteri terkait
dengan perizinan LMK di bidang lagu dan/ atau
musik yang berada di bawah koordinasinya;
e) menetapkan sistem dan tata cara penghitungan
pembayaran Royalti oleh Pengguna kepada LMK;
f) menetapkan tata cara pendistribusian Royalti dan
besaran Royalti untuk Pencipta, Pemegang Hak
Cipta, dan Pemilik Hak Terkait;
g) melakukan mediasi atas sengketa Hak Cipta dan
Hak Terkait; dan
h) memberikan laporan kinerja dan laporan keuangan
kepada Menteri.
Adapun tujuan pembentukan LMKN Pencipta dan LMKN Hak
Terkait adalah untuk pengelolaan royalti Hak Cipta bidang lagu dan/atau
musik. Terdapat dua jenis LMKN yaitu LMKN Pencipta dan LMKN Hak
Terkait. Telah pula ditunjuk para komisioner yang bertugas di dalamnya
berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor M.HH-01. HI.01.08 Tahun 2015 tentang Penetapan
Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional Pencipta dan
Lembaga Manajemen Kolektif Nasional Hak Terkait di Bidang Lagu dan
Musik. Komisioner LMKN Pencipta adalah, H. Rhoma Irama, James

13
Freddy Sundah, Adi Adrian, Dr. Imam Haryanto, dan Slamet Adriyadie.
Anggota komisioner LKMN Hak Terkait yaitu, Rd. M. Samsudin Dajat
Hardjakusumah (Sam Bimbo), Ebiet G. Ade, Djanuar Ishak, Miranda
Risang Ayu, dan Handi Santoso.
Berdasarkan Permenkumham Nomor 29 Tahun 2014 tentang Tata
Cara Permohonan dan Penerbitan Izin Operasional serta Evaluasi
Lembaga Manajemen Kolektif, dalam menghimpun royalti hak cipta di
bidang lagu dan/atau musik, LMKN wajib melakukan koordinasi dan
menetapkan besaran royalti yang menjadi hak masing-masing LMK sesuai
dengan kelaziman dan praktik berdasarkan keadilan. Tidak terdapat
ketentuan mengenai besaran royalti yang sesuai dengan kelaziman dan
praktik berdasarkan keadilan ini, meskipun demikian, besaran royalti
ditentukan dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia tentang Izin Operasional Lembaga Manajemen
Kolektif.
Sampai saat ini telah terpublikasi setidaknya lima Keputusan
Menteri tentang Izin Operasional LMK. Terdapat dua izin operasional
LMK Pencipta, pertama, Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Nomor: HKI.2-OT.03.01-06 tentang Izin
Operasional Lembaga Manajemen Kolektif Pencipta atas nama Yayasan
Karya Cipta Indonesia (selanjutnya disebut YKCI). Kedua, yaitu
Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor: HKI.2OT.03.01-08 tentang Izin Operasional Lembaga Manajemen
Kolektif Pencipta atas nama Perkumpulan Royalti Anugrah Indonesia.
Sementara itu, terdapat tiga izin operasional LMK Hak Terkait yaitu
pertama, Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor: HKI.2-OT.03.01-04 tentang Izin Operasional Lembaga
Manajemen Kolektif Hak Terkait atas nama Perkumpulan Sentra Lisensi
Musik Indonesia (selanjutnya disebut SELMI). Kedua, Keputusan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: HKI.2-
OT.03.01-05 tentang Izin Operasional Lembaga Manajemen Kolektif Hak
Terkait atas nama Perkumpulan Wahana Musik Indonesia (selanjutnya
disebut WAMI). Ketiga, Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Nomor: HKI.2-OT.03.01-07 tentang Izin
Operasional Lembaga Manajemen Kolektif Hak Terkait atas nama
Perkumpulan Perlindungan Hak Penyanyi dan Pemusik Rekaman
Indonesia (selanjutnya disebut PAPPRI).
7
Keputusan Menteri tentang izin operasional ditentukan bahwa
70% dari royalti yang dihimpun didistribusikan kepada
Pencipta/Pemegang Hak Cipta yang bernaung di bawah LMK, 25% dari
total royalti yang dihimpun digunakan untuk biaya operasional LMK, 5%

7
Hutagalung, Sophar Maru. (2012). Hak Cipta, Kedudukan dan Peranannya dalam
Pembangunan. Jakarta: P.T. Sinar Grafika hlm 99

14
dari total royalti yang dihimpun digunakan untuk biaya operasional
LMKN. Hal inilah yang merupakan kelaziman dalam praktik LMK
sebelum terbitnya Undang-Undang Hak Cipta tahun 2014.
Sebelum berlakunya UUHC 2014, LMK yang telah ada tidak
memiliki kemampuan untuk bertindak sebagai lembaga yang menghimpun
dan mendistribusikan royalti sebagaimana mestinya. Salah satu contohnya,
lagu “Balada Seorang Biduan” ciptaan Bimbo, sudah 40 tahun tidak diberi
royalti dari penyanyi asal Malaysia bahkan penyanyi Malaysia tersebut
menuliskan bahwa dialah yang menulis lirik lagu tersebut. Pembentukan
UUHC baru didasari dengan tekad untuk memberikan royalti kepada
pencipta/pemilik hak terkait yang selama ini tidak tercapai. Dengan
demikian diperlukan adanya lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah dan
bertanggung jawab kepada pemerintah yang memiliki wibawa untuk
mengayomi LMK yang merupakan lembaga swasta.
Adapun yang dimaksud dengan Pengguna lagu dan/atau musik
berdasarkan sumber lagu yang digunakan, yaitu:
a. Kelompok Pengguna lagu yang mempertunjukkan dan
memperdengarkan lagu secara langsung (live performance):
1) Penyelenggara konser atau pertunjukan musik (live);
2) Pengusaha tempat hiburan yang menampilkan musik secara
langsung, seperti: pub, bar, café;
3) Stasiun pemancar televisi dan radio yang memproduksi dan
menyiarkan acara pertunjukan musik.
b. Kelompok Pengguna lagu yang menyiarkan atau mempertunjukkan
atau memperdengarkan lagu yang berasal dari produk rekaman suara
atau rekaman gambar dan suara (kaset, CD, VCD, DVD):
1) Pengelola taman hiburan;
2) Pengusaha bioskop;
3) Pengusaha hotel;
4) Pengusaha restoran;
5) Pengusaha café, karaoke, diskotik, dan tempat hiburan lainnya
yang tidak memperdengarkan musik secara langsung (live
performance);
6) Pengelola mall, plaza, supermarket, pertokoan, perkantoran;
7) Stasiun pemancar televisi dan radio;
8) Perusahaan angkutan umum (darat, laut, udara);
9) Pengusaha salon, pijat dan kebugaran;
10) Pengusaha fitness center, aerobic, dan usaha sejenis.
11) Pengelola lagu yang ditransmisikan secara digital: pengelola
situs internet, konvergensi media radiotelevisi-internet;
pengusaha ringback tone.
Batasan penggunaan secara komersial berdasarkan Pasal 1 angka
24 UUHC adalah pemanfaatan Ciptaan atau produk Hak Terkait yang
bertujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Cara perolehan

15
keuntungan ekonomi dapat dilakukan dengan berbagai sumber atau
berbayar.
Pasal 8 UUHC ditegaskan bahwa hak ekonomi merupakan hak
eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat
ekonomi atas Ciptaan. Hak ekonomi yang berkaitan dengan kinerja LMK
dan LMKN adalah untuk melakukan: pertunjukan ciptaan, pengumuman
ciptaan, dan komunikasi ciptaan. Setiap orang yang melaksanakan hak
ekonomi di atas wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak
Cipta. Dalam hal ini pengguna lagu dan/atau musik yang tanpa izin
Pencipta dilarang melakukan penggunaan secara komersial ciptaan.
Hak ekonomi tersebut tidak hanya dimiliki oleh Pencipta tetapi
juga oleh Pemilik Hak Terkait. Sebagaimana diatur dalam Pasal 23, Pelaku
Pertunjukan memiliki hak ekonomi. Pasal 23 ayat (5) diatur bahwa setiap
orang dapat melakukan penggunaan secara komersial ciptaan dalam suatu
pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta dengan
membayar imbalan kepada Pencipta melalui LMK.
Mengenai lagu dan/atau musik yang telah difiksasi menjadi
fonogram, pengaturannya terdapat di dalam Pasal 27 ayat (2) dari pasal ini
mengatur bahwa Pengguna harus membayar imbalan yang wajar kepada
Pelaku Pertunjukan dan Produser Fonogram jika Fonogram telah
dilakukan Pengumuman secara komersial atau Penggandaan Fonogram
tersebut digunakan secara langsung untuk keperluan Penyiaran dan/atau
Komunikasi. Mengenai pelanggaran atas Pasal 9 UUHC, diatur dalam
Pasal 113 sebagai berikut: (1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak
dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah). (2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin
Pencipta atau Pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi
Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
8
Kegiatan komersial yang dilakukan oleh Pengguna sangat
berkaitan dengan Pasal 9 ayat (1) huruf f. Pertunjukan; huruf g.
Pengumuman, dan huruf h. komunikasi Ciptaan. Sebagaimana dijelaskan
pada latar belakang, di Indonesia pemberian lisensi pemakaian lagu dan
pemungutan royalti oleh lembaga collecting society secara hukum maupun
secara praktik masih menunjukkan beberapa masalah, antara lain:

8
Sardjono, Agus. 2016. Problem Hukum Regulasi LMK & LMKN sebagai Pelaksanaan
Undang-Undang Hak Cipta 2014. Jurnal Hukum & Pembangunan 46 No. 1 (2016): 50-69
ISSN: 0125-9687.

16
a. Landasan hukum collecting society memberi lisensi penggunaan lagu
dan memungut royalti pemakaian lagu dari masyarakat sering
dipertanyakan karena dalam UUHC tidak diatur sama sekali hal
collecting society;
b. Belum sepenuhnya jelas pemaikaian lagu yang bagaimana yang harus
mendapat lisensi; dan
c. Belum sepenuhnya jelas siapa yang berhak memberi lisensi dan
mendapat royalti atas pemakaian lagu yang sudah terwujud dalam
bentuk rekaman suara/gambar, yakni kaset, CD, VCD, atau DVD, sebab
banyak pihak yang berperan mewujudkan karya rekaman suara, seperti
Pencipta lagu, arranger, penyanyi, pemain musik, dan produser rekaman
suara.
Terdapat perbedaan sistem penarikan royalti antara sebelum dan
sesudah pengesahan UUHC tahun 2014. Pembayaran yang dilakukan
sebelum UUHC 2014 disahkan, dilakukan langsung oleh pihak LMK
tempat Pencipta dan Pemegang hak terkait terdaftar. Melalui sistem
yang dibangun berdasarkan UUHC tahun 2014, LMKN memberikan
wewenang kepada LMK untuk memberikan lisensi dan melakukan
pengawasan terhadap pengusaha yang menggunakan karya cipta musik
dan lagu (selanjutnya disebut users atau pengguna) secara komersial,
kemudian pengguna melakukan pembayaran royalti melalui Bank.
Dalam hal ini seluruh LMK memiliki official bank dari seluruh LMK
yang ada. Setelah pengguna (pelaku usaha) melakukan pembayaran ke
Bank, maka kemudian Bank akan mendistribusikan royalti tersebut
kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta ataupun pemilik hak terkait;
biaya operasional untuk LMK; dan biaya operasional untuk LMKN.
Dengan adanya sistem one stop shop ini, seluruh pembayaran dilakukan
melalui satu bank sehingga tidak ada tumpang tindih pembayaran
seperti yang terjadi sebelumnya. Hal ini berarti sistem yang digunakan
sekarang adalah melalui sitem komputerisasi sehingga mengurangi
kemungkinan terjadinya kecurigaan-kecurigaan Pencipta lagu terhadap
LMK akan adanya penggelapan dana dan mengurangi kecurangan-
kecurangan lainnya yang dilakukan oleh LMK sebelum UUHC 2014
disahkan.
Lembaga Manajemen Kolektif Nasional memiliki beberapa cara
LMK bekerja:
a. Traditional Collective Management Movement Organizations,
maksudnya adalah LMK mewakili anggota organisasi (Pencipta/
pemegang hak cipta) untuk melakukan negosiasi atas harga dan
syarat penggunaan, hak yang diberikan dalam lisensi,
mengambil dan mendistribusikan royalti.
b. Right’s clearance centers, pada sistem ini LMK berperan
sebagai agen dari pemilik hak untuk selalu mengingatkan
penggunaan karya ciptaaanya, karena pada sistem ini Pencipta/
Pemegang Hak Cipta yang mengatur sendiri tentang syarat
penggunaan hak cipta dan penentuaan imbalannya.

17
c. One Stop Shops, adalah jenis penggabungan dari beberapa LMK
yang memberikan penawaran kepada pengguna atas pemusatan
sumber dimana hak akan diperoleh secara cepat dan mudah.
Ditegaskan di dalam setiap Keputusan Menteri tentang izin
operasional, diktum kelima, bahwa dalam menghimpun/menarik royalti
dari pengguna dilakukan dengan meggunakan rekening bank Lembaga
Manajemen Kolektif Nasional. Adapun penggunaan rekening Bank atas
nama LMKN berlaku mulai 1 Januari 2016.
Tabel 4.1 Pembagian Tugas LMKN dan LMK

Tugas LMKN Tugas LMK

a. Menyusun kode etik LMK di a. Menarik sejumlah uang dari


bidang Lagu dan/musik Pengguna atau user atas
b. Melakukan pengawasan terhadap penggunaan ciptaan.
LMK di bidang lagu/ atau musik b. Menghimpun royalti dari
c. Memberikan rekomendasi pengguna atau users
kepada Menteri untuk c. Mendistribusikan royalti
menjatuhkan sanksi kepada kepada pencipta atau pemilik
LMK atas pelanggaran kode etik hak terkait yang telah
d. Memberikan rekomendasi dikumpulkan dari users
kepada Menteri terkait perizinan d. Membuat dan memerikan
LMK laopran kepada LMKN agar
e. Menetapkan sistem dan tata cara menjadi bahan evaluasi bagi
pembayaran royalti Menteri dalam menjalankan
f. Menetapkan tata cara kinerja LMK.
pendistribusian royalti dan
besaran royalti
g. Melakukan mediasi atas
sengketa Hak Cipta dan Hak
Terkait
h. Memberikan laporan kinerja dan
keuangan kepada Menteri
(Sumber : Hasil penelitian yang telah diolah)

Berdasarkan hasil yang sudah diperoleh maka dapat ditarik analisis bahwa
wewenang LMKN adalah mengawasi tugas LMK sedangkan wewenang LMK
adalah menarik, menghimpun dan mendistribuskian royalti. Pembagian tugas LMK
dan LMKN di Indonesia bisa diartikan LMK adalah lembaga yang menjalankan
penarikan, penghimpunan dan pendistribusian royalti serta LMKN merupakan yang
menjalankan tugasnya sebagai pengawas kinerja LMK. Masalah yang timbul adalah
wewenang LMKN untuk menarik, menghimpun dan mendistribusikan royalti
membuat tugas LMK menjadi tidak spesifik. Undang-Undang Hak Cipta mengatur
agar wewenang LMKN dan tugas LMK tidak tumpang-tindih dengan adanya
pemberian delegasi LMKN kepada LMK. Masalahnya sselanjutnya adalah soal
penghimpunan royalti yang rekening bank royalti dipegang oleh LMKN membuat
tugas LMK untuk “menghimpun” juga terhalang. Oleh sebab itu diperlukan aturan
yang jelas mengenai pembagian tugas antara LMK dan LMKN.

18
SIMPULAN
Wewenang Lembaga Manajemen Kolektif Nasional adalah wewenang
yang didapatkan dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Pasal 89
(atribusi) untuk membantu pemerintah dalam mewujudkan pengelolaan
royalti hak cipta dan hak terkait lagu dan/atau musik yang ideal dan
menjalankankan salah satu wewenangnya untuk menghimpun royalti karena
LMKN memiliki rekening penghimpunan royalti. Lembaga Manajemen
Kolektif dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional bersifat subordinasi, hal
ini berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nommor 29 Tahun 2014 tentang Tata Cara Permohonan dan
Penerbitan Izin Operasional serta Evaluasi Lembaga Manajemen Kolektif.
Tugas Lembaga Manajemen Kolektif Nasional ditinjau dari Permenkumham
No. 29 Tahun 2014 adalah sebagai lembaga pengawas Lembaga Manajemen
Kolektif dalam menjalankan tugasnya yakni: menarik, menghimpun dan
mendistribuskan royalti. Penarikan Royalti Hak Cipta dan Hak Terkait lagu
dan/atau musik yang adil bagi Pengguna lagu dan/atau musik bersifat one
stop shop, sehingga pengguna tidak merasa dirugikan dengan penarikan
royalti yang berkali-kali oleh LMK.

1. UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Waspiah, S.H.,M.H. dan Andry Setiawan, S.H., M.H. Dosen Pembimbing
yang telah memberikan bimbingan, motivasi, bantuan, saran dan kritik
dengan sabar dan tulus kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
2. Irbar Sutanto,S.H.,M.H. selaku Ketua Bidang Bantuan Hukum dan Litigasi
Dirjen KI yang telah membantu dalam proses penelitian dan penyusunan
skripsi.

2. DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. (2015). Penelitian Hukum

Normatif.Jakarta:Rajawali Pers.

Supramon, Gatot. (2009). Hak Cipta Dan Aspek-aspek Hukumnya. Jakarta:

P.T. RINEKA CIPTA.

Sutarto. 2001. Dasar-dasar Kepemimpinan dalam Administrasi. Yogyakarta :

Gadjah Mada University Press.

19
Nainggolan, Bernard. (2011). Pemberdayaan Hak Cipta Dan Lembaga

Manajemen Kolektif. Bandung: P.T.ALUMNI.

Hutagalung, Sophar Maru. (2012). Hak Cipta, Kedudukan dan Peranannya

dalam Pembangunan. Jakarta: P.T. Sinar Grafika.

Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 29 Tahun 2014

Jurnal
Amended. 2008. Code of Conduct for Copyright Collecting Societies, diakses
19 Juli 2015.
Ohie, Shigeo. 2014. “Intellectual Property Law Overview (4): Copyrights
(including case studies),Japan Patent Office/Intellectual Property
Rights Training Course for IP Trainers.
Rafanti, Laina. 2015. Kiprah Lembaga Manajemen Kolektif Nasional bagi
Pencinta dan Pelaku Musik di Indonesia.
Sardjono, Agus. 2016. Problem Hukum Regulasi LMK & LMKN sebagai
Pelaksanaan Undang-Undang Hak Cipta 2014. Jurnal Hukum &
Pembangunan 46 No. 1 (2016): 50-69 ISSN: 0125-9687.

Website:
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt541f940621e89/kedudukan-

lembaga-(manajemen-kolektif-dalam-uu-hak-cipta-yang-baru

[accessed 5/17/14], pukul 16.00.

20

Вам также может понравиться