Вы находитесь на странице: 1из 10

JPSL Vol.

(2)1: 1–10, Juli 2012


ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT UNTUK MENDORONG FUNGSI
LINDUNG
(Policy Analysis on Private Forest Management to Promote its Protectional Function)

Alan Purbawiyatna1, Hariadi Kartodihardjo2, Hadi Sukadi Alikodra3, Lilik Budi Prasetyo4
1
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Dramaga, Bogor, 16680, e-mail:
alanp@lei.or.id
2
Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Dramaga,
Bogor, 16680
3,4
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor,
Kampus IPB Dramaga, Bogor, 16680

Abstract

Community forest that privately owned at Kuningan Regency, West Java Province, have showed forest
cover improvement at average of 5.86% during 2003 –2009. The main factor which contributes to this
improvement was economic motivation of owners as a response to growing market of timber originated from
community forest. This forest potentially serves as protected area outside state forest in land use plan of
Kuningan district. Due to its characteristic as common-pool resources in the context of its protection
function, privately owned community forest requires certain institutional arrangement to enable sustainable
forest management resulting sustainable benefit for public. The aim of this study is to assess policy
framework and its implementation designed to promote sustainable community forest development. The
framework for implementation analysis was applied in this research with emphasis on the policy variable.
The result showed that existing policy framework is weak to support sustainable management of community
forest. They were characterized by unclear formulation of concepts in policy documents, inappropriate
causal theory, unbalance financial resource allocation, very much detail and almost rigid in technical
guidelines thereby hindering the achievement of policy objectives.

Keywords: community forest, sustainable forest management, policy variable, policy analysis

Pendahuluan periode 1997–2002 mencapai 10% per tahun,


Pengelolaan kawasan lindung di berbagai sedangkan hutan produksi 5% per tahun (Badan
belahan dunia mengalami berbagai masalah sehingga Planologi Kehutanan 2002 dalam Ginoga et al. 2005).
tujuan pengelolaan tidak tercapai. Mascia & Pailler Sedangkan secara keseluruhan deforestasi di dalam
(2011) menyatakan terdapat tiga bentuk umum kawasan lindung mencapai lebih dari 18%, meski data
kerusakan kawasan lindung yang merupakan sejarah ini pun hampir dapat dipastikan masih terlalu rendah
panjang sejak 1900-an, yaitu kerusakan kawasan (Kurniawan 2003 & Brown 2006 dalam Bickford et al.
(downgrading), pengurangan luas (downsizing) dan 2008).
alih fungsi secara formal (degazettement) kawasan Kebijakan yang secara khusus menjadi acuan
lindung menjadi peruntukan lain. Tiga faktor utama dalam pengelolaan kawasan lindung di Indonesia
penyebabnya adalah produksi dan ekstraksi komoditi adalah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 32 Tahun
skala industri, pembangunan infrastruktur, 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Dalam
permukiman, dan klaim lahan oleh masyarakat lokal. Keppres tersebut diantaranya dirumuskan bentuk-
Dalam konteks pengelolaan sumber daya alam yang bentuk kawasan lindung terdiri dari (1) kawasan yang
lebih luas, beberapa penelitian menyatakan bahwa memberikan perlindungan kawasan bawahannya, (2)
fenomena akses terbuka (open access) terhadap sumber kawasan perlindungan setempat, (3) kawasan suaka
daya alam merupakan salah satu penyebab banyaknya alam dan cagar budaya, dan (4) kawasan rawan
kegagalan pengelolaan sumber daya alam (Ostrom bencana alam. Pada tingkat pemerintahan daerah salah
1999a; Anderson & Hugins 2003; Breckenridge 2005; satunya adalah Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa
Scott 2008). Open access adalah situasi tidak ada Barat Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pengelolaan
seorangpun yang memiliki hak legal untuk Kawasan Lindung, yang menjadi rujukan bagi
mengeluarkan siapapun dari penggunaan suatu sumber pengaturan pengelolaan kawasan lindung di
daya (Ciriacy-Wantrup & Bishop 1975 dalam Ostrom kabupaten/kota. Dalam Perda ini, pada bentuk kawasan
1999a). lindung yang memberikan perlindungan kawasan di
Kondisi pengelolaan kawasan lindung di bawahnya, disebutkan terdiri dari (1) hutan lindung, (2)
Indonesia pun mengindikasikan adanya masalah- kawasan berfungsi lindung di luar kawasan hutan
masalah tersebut. Laju kerusakan hutan lindung pada lindung, dan (3) kawasan resapan air. Kriteria kawasan
1
JPSL Vol. (2)1: 1–10, Juli 2012
berfungsi lindung di luar hutan lindung berbeda dengan penyangga kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.
kriteria hutan lindung, namun demikian tujuan Namun demikian, apakah kebijakan-kebijakan tentang
pengelolaannya serupa yaitu mencegah kerusakan hutan rakyat yang ada telah sejalan dan dilaksanakan
lingkungan lebih jauh yang diakibatkan oleh dengan tepat untuk mencapai tujuan tersebut?
terganggunya fungsi tata air, peningkatan erosi dan Studi pendekatan implementasi kebijakan
resiko banjir serta longsor yang dapat merugikan memandang bahwa outcome merupakan hasil dari
masyarakat sekitar hutan maupun di hilirnya. proses tawar-menawar (bargaining) di antara aktor,
Di tengah kenyataan tingginya tingkat kerusakan menekankan pada proses pelaksanaan kebijakan dan
kawasan lindung, beberapa studi melaporkan bahwa mengeksplorasi alasan-alasan terjadinya penyimpangan
dewasa ini terdapat perkembangan baru berupa dari tujuan awal, dan dengan demikian mengasumsikan
pendekatan konservasi di luar kawasan lindung negara bahwa tujuan secara alami akan mengalami perubahan
melalui pendekatan insentif (Langholz et al. 2000; selama proses realisasi program (Maresi 1984). Secara
Dudley & Stolton 2003). Perda tersebut di atas dapat garis besar terdapat tiga model pendekatan dalam
menjadi pintu masuk untuk mendorong fungsi dan analisis implementasi kebijakan yaitu (1) pendekatan
peran hutan rakyat sebagai kawasan berfungsi lindung manajerial atau rasional atau top-down, (2) pendekatan
di luar kawasan hutan lindung. Hal ini penting sebagai interaksi atau tawar-menawar, dan (3) pendekatan
salah satu alternatif untuk meningatkan pencapaian evolusioner atau proses pembelajaran (Maresi 1984,
tujuan pengelolaan kawasan lindung yang melindungi Parsons 2001).
kawasan di bawahnya. Implementasi kebijakan adalah mengenai apa
Hutan rakyat di Jawa biasanya dibangun di atas yang dibangun di antara perumusan maksud yang jelas
tegalan dan pekarangan ataupun talun. Pola pekarangan dari bagian pemerintah untuk melakukan atau tidak
di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta talun di Jawa melakukan sesuatu dengan dampak utama dalam dunia
Barat sudah berkembang sejak awal abad ke 20, aksi (O’Toole 2000 dalam deLeon & deLeon 2002).
sedangkan pola tegalan berkembang kemudian (Simon Model pendekatan yang digunakan dalam studi ini
1999 dalam Awang 2007a). Dalam konteks manfaat adalah model pendekatan manajerial atau rasional,
lingkungan hutan rakyat, pembangunan hutan rakyat dengan isu sentral menganalisis hubungan antara
melalui program penghijauan dalam jangka pendek tujuan denganhasilnya dan hal-hal yang menyebabkan
ditujukan untuk perbaikan lingkungan dan dalam kesenjangannya (Maresi 1984). Dalam model
jangka panjang untuk meningkatkan kesejahteraan pendekatan ini Mazmanian & Sabatier (1983)
(Awang 2007a), dan dengan menanam berbagai jenis mengembangkan kerangka analisis implementasi yang
tanaman melalui pola agroforestry telah meningkatkan mengidentifikasi variabel-variabel implementasi (1)
kestabilan ekosistem (Iskandar & Ellen 2000; Bismark kemudahan kontrol atas masalah atau karakteristik
et al. 2007; Widiarti & Pradjadinata 2008), serta masalah, (2) variabel kemampuan perundangan untuk
sebagian besar hutan rakyat (85%) di Jawa berada pada menstrukturkan implementasi atau variabel
bagian tengah dan hulu daerah aliran sungai atau DAS karakteristik kebijakan, dan (3) variabel lingkungan
(BPKH-XI & MFP-II 2009a). Namun demikian kajian yang mempengaruhi proses implementasi. Variabel
potensi hutan rakyat sebagai kawasan berfungsi karakteristik kebijakan meliputi (1) kejelasan dan
lindung dengan potensi kekuatan hak kepemilikannya konsistensi tujuan kebijakan, (2) digunakannya teori
belum pernah dilakukan. kausal yang memadai, (3) alokasi sumber daya
Purbawiyatna et al. (2011) menyatakan bahwa finansial, (4) integrasi hierarkis di dalam dan diantara
pada lahan masyarakat yang sesuai dengan pihak pelaksana, (5) pengambilan keputusan pada
karakteristik kawasan berfungsi lindung di luar hutan pihak pelaksana, (6) komitmen aparat pelaksana
lindung di wilayah kabupaten Kuningan menunjukkan terhadap pencapaian tujuan kebijakan, dan (7) akses
perbaikan tutupan lahan sebesar 5.86% pada periode formal bagi pihak lain untuk terlibat.
2003–2009 yang terutama dipicu oleh motivasi untuk Berdasarkan latar belakang dan kerangka teoritis
mendapatkan manfaat ekonomi kayu sebagai respons di atas maka hal yang ingin dieksplorasi dalam
atas permintaan pasar yang meningkat. Beberapa penelitian ini adalah (1) apakah kebijakan-kebijakan
masalah dalam pengelolaan hutan rakyat tersebut mendukung pengelolaan hutan rakyat berkelanjutan
adalah (1) lemahnya kelembagaan pengelolaan hutan dan diimplementasikan dengan tepat di lapangan, (2)
rakyat, (2) lemahnya kemampuan teknis pengelolaan bagaimanakah perspektif masyarakat dan masalah
hutan, dan (3) lemahnya kerangka insentif untuk kebijakan dalam pengelolaan rakyat, dan (3)
pengelolaan hutan secara berkelanjutan. bagaimanakah pengembangan kelembagaan
Peran penting hutan rakyat dalam pembangunan pengelolaan hutan rakyat untuk pengelolaan
kehutanan Indonesia dirumuskan dalam Rencana berkelanjutan.
Pembangunan Jangka Panjang 2006–2025 (Permenhut
No. P.27/Menhut-II/2006), yang menyatakan bahwa Metode Penelitian
salah satu sasaran pokok pembangunan kehutanan Penelitian dilakukan di Kabupaten Kuningan,
jangka panjang adalah mewujudkan kesejahteraan dan Provinsi Jawa Barat pada 16 desa yang tersebar di 8
peran aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan yang wilayah kecamatan. Pemilihan lokasi didasarkan pada
adil dan bertanggungjawab yang diantaranya dilakukan kondisi lokasi yang memiliki kawasan hutan rakyat
melalui peningkatan luas hutan rakyat yang mandiri yang sesuai dengan kriteria kawasan berfungsi lindung
dan lestari yang mendukung fungsi hutan sebagai di luar kawasan hutan lindung serta memperhatikan
2
JPSL Vol. (2)1 : 1–10, Juli 2012
potensi pengembangan wilayah pembangunan dalam bukti hak kepemilikan dan membedakannya dari hutan
tata ruang daerah.Waktu penelitian dilakukan selama 8 negara.
bulan sejak Juni 2009 hingga Januari 2010. Secara teknis untuk memberikan kepastian
Karena tujuan penelitian difokuskan pada hukum mengenai kawasan hutan dilakukan melalui
eksplorasi bagaimanakah sebetulnya kerangka kegiatan pengukuhan hutan yang terdiri dari kegiatan-
kebijakan yang ada atas masalah-masalah hutan rakyat kegiatan penunjukan kawasan, penataan batas,
di lapangan, maka analisis tidak dilakukan dengan pemetaan dan penetapan kawasan hutan (UU Nomor
cara menguji implementasi satu kebijakan tertentu 41/1999 Pasal 14 dan 15). Pengertian kawasan hutan
dengan variabel-variabel implementasi yang adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau
dirumuskan Mazmanian & Sabatier (1983) di atas ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan
secara lengkap, melainkan dengan menjelaskan posisi keberadaannya sebagai hutan tetap (UU Nomor
masalah tertentu dalam berbagai kebijakan yang ada. 41/1999 Pasal 1 Ayat 3). Dalam kegiatan pengukuhan
Hal ini didasarkan pada alasan (1) bahwa suatu hutan kewenangan penetapan berada pada pemerintah
masalah sering dicoba diatasi dengan berbagai alat (dilakukan oleh Menteri), sedangkan pemerintah
kebijakan atau regulasi baik dari sektor yang sama daerah kabupaten/kota berwenang mengusulkan
maupun sektor yang berlainan yang belum tentu penunjukan kawasan hutan berdasarkan fungsinya
konsisten, (2) masalah yang ada di lapangan belum (Peraturan Pemerintah 38/2007 lampiran AA).
tentu terakomodasi hanya dalam satu kebijakan. Dari rumusan peraturan perundangan di atas
Dengan demikian analisis difokuskan pada identifikasi nampak bahwa kepastian hukum status hutan hak akan
kesenjangan pelaksanaan kebijakan pada masalah- sulit diperoleh karena (1) pengukuhan dilakukan untuk
masalah hutan rakyat dalam kerangka variabel menetapkan kawasan hutan yang implikasi harus
kebijakan sedangkan dua variabel lainnya digunakan dipertahankannya sebagai hutan tetapakan berbenturan
sebagai informasi pendukung. dengan hak-hak kepemilikan privat sebagaimana
Pengumpulan data primer dan sekunder untuk dirumuskan Ostrom & Schlager 1996 dalam Ostrom
menjelaskan hubungan masalah-masalah di apangan 1999a, (2) secara teknis tidak bisa dilakukan karena
dengan kerangka kebijakannya dilakukan melalui kriteria penunjukan kawasan hutan sebagai tahap awal
diskusi kelompok terfokus kelompok tani yang juga pengukuhan hutan hanya untuk areal yang tidak
pemilik hutan, pengamatan lapangan dan wawancara dibebani hak atau bukan hutan rakyat (Keputusan
mendalam dengan informan yang berasal dari tokoh Menteri Kehutanan No. 32/Kpts-II/2001 tentang
setempat baik tokoh formal maupun informal di lokasi kriteria dan standar pengukuhan kawasan hutan).
penelitian, penilaian dokumen-dokumen pengelolaan Dengan demikian amanat Undang-Undang Kehutanan
hutan maupun dokumen lain yang relevan dari pada Pasal 5 Ayat 3 tersebut dalam hal menetapkan
berbagai instansi terkait. status hutan hak tidak dapat dijalankan.
Implikasinya di lapangan dapat dilihat dalam
Hasil dan Pembahasan peta rencana tata ruang wilayah yang tidak ada peta
Masalah pengelolaan hutan rakyat dan kerangka lokasi hutan rakyat karena memang tidak pernah
kebijakannya ditetapkan. Pemetaan lokasi hutan hak dalam peta tata
Analisis kerangka kebijakan pengelolaan hutan ruang tidak lantas membatasi hak-hak pemiliknya
rakyat difokuskan pada masalah pengelolaan hutan untuk mengalokasikannya menjadi peruntukan lain
rakyat yang diidentifikasi pada studi sebelumnya yaitu sesuai kebutuhan pemiliknya seperti pada lahan-lahan
masalah kelembagaan, teknis pengelolaan hutan dan milik lainnya. Adanya penetapan status hutan hak dan
insentif, yang didahului dengan bahasan isu kepastian dipetakan diperlukan untuk menyusun rencana
kawasan. pembinaannya oleh pemerintah termasuk pemberian
insentif yang diperlukan serta untuk melakukan
a) Kepastian hukum atas kawasan hutan rakyat dan
monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan kebijakan-
kawasan lindung
kebijakan atas hutan rakyat. Kebijakan-kebijakan
Meskipun secara de facto hutan rakyat
insentif baik dalam pengelolaan hutan maupun tata
menunjukkan peningkatan luas yang cukup
ruang didasarkan atas kejelasan status kawasan
menggembirakan (Nugroho 2010) namun secara de
(Permenhut No. P.26/Menhut-II/2005, PP No. 26
jure kepastian hukum status hutan rakyat lemah. Status
Tahun 2008, Permen PU No. 16/PRT/M/2009).
hutan yang dimaksud di sini adalah merujuk pada
Implikasi lainnya adalah kebijakan-kebijakan di
Undang-undang (UU) Nomor 41/1999 Pasal 5 Ayat 1
atas tidak mendorong masyarakat pemilik hutan hak
yaitu status hutan terdiri dari hutan negara dan hutan
untuk melakukan pengelolaan secara kolektif dalam
hak, serta pemerintah menetapkan status hutan (Pasal 5
suatu kawasan unit pengelolaan hutan. Sebagian besar
Ayat 3). Hal ini perlu dibedakan dengan status
hutan rakyat masih dikelola secara individual dengan
kepemilikan lahannya karena dalam hal kepemilikan
keputusan sepenuhnya pada pemilik. Model
lahannya, hutan hak yang berada pada tanah yang
pengelolaan individual ini jika tidak terkendali dapat
dibebani hak milik lazim disebut hutan rakyat
menyebabkan over exploitation pada sumber daya
(penjelasan Pasal 5), merupakan hak milik (private
alam, oleh karena itu perlu segera diarahkan menjadi
property) sesuai dengan bukti kepemilikannya.
tindakan collective action, lembaga pengelola
Penetapan status hutan hak oleh pemerintah (Pasal 5
merupakan kumpulan individu-individu pemilik yang
Ayat 3) dengan demikian seharusnya didasarkan pada
diharapkan mampu menjamin kelestarian sumber daya
3
JPSL Vol. (2)1: 1–10, Juli 2012
alam demi kepentingan pemilik dan ekonomi rakyat meliputi penyuluhan, fasilitasi pertemuan kelompok
serta lingkungan hidup sekitarnya (Awang 2007b). tani hutan dan pelatihan dalam rangka mendukung
Dalam hal kawasan lindung pun ketidakjelasan program Gerakan Rehabilitasi Lahan (Gerhan) dan
kewenangan penetapan kawasan ini terjadi. Undang- Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK) serta
undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)
dan peraturan-peraturan di bawahnya mengatur tentang antara masyarakat dengan Perhutani di kawasan hutan
kawasan lindung dan kewenangan penetapannya dalam negara yang dikelola Perhutani (Dishutbun Kuningan
konteks sebagai kawasan strategis. Pemerintah dan 2008a). Masyarakat melakukan pengelolaan hutan
pemerintah daerah berwenang menetapkan kawasan secara sendiri-sendiri berdasarkan norma-norma yang
strategis yaitu kawasan yang penataan ruangnya diwarisi dari orang-orang tua terdahulu, dan
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh penting masyarakat khawatir estafet sistem nilai ini ke generasi
terhadap kedaulatan negara, hankam, ekonomi, sosial, berikutnya tidak mulus karena sebagian besar kaum
budaya dan/atau lingkungan termasuk wilayah yang muda merantau ke luar daerah.
telah ditetapkan sebagai warisan dunia. Dengan Realisasi anggaran dapat digolongkan pada
demikian, kewenangan pemerintah daerah menetapkan kegiatan-kegiatan yang sifatnya administratif sebesar
kawasan strategis dalam rencana tata ruang wilayahnya 3.32%, penguatan kelembagaan 7.60 % dan kegiatan
potensial menimbulkan benturan kewenangan dengan fisik 89.08%. Berdasarkan sumber dananya proporsi
pemerintah ketika pertimbangan kawasan strategis itu APBD kabupaten 44.32%, APBD propinsi 20.47% dan
berdasarkan kepentingan lingkungan dan berada pada APBN 35.21%, dengan alokasi dana APBD provinsi
kawasan hutan namun di luar kriteria kawasan lindung dan APBN adalah untuk program GRLK dan Gerhan
yang diatur dalam sektor kehutanan. (Dishutbun Kuningan 2008a). Jika hanya melihat pada
cara pencapaian sasaran pembangunan kehutanan
b) Kelembagaan pengelolaan hutan rakyat jangka panjang melalui peningkatan luas hutan rakyat
Pengelolaan hutan rakyat perlu dilakukan secara maka fokus alokasi anggaran tersebut di atas mungkin
berkelanjutan untuk menjamin keberlanjutan tepat. Namun jika dikaitkan dengan prasyarat
manfaatnya bagi pemiliknya maupun bagi masyarakat pengelolaan yang lestari maka aspek pengembangan
yang lebih luas. Hal ini membutuhkan kelembagaan kelembagaan menjadi hal yang penting, yaitu terdapat
mengingat sifat hutan tersebut sebagai common-pool tiga unsur penting yang menentukan keberhasilan
resources yang dicirikan oleh sulitnya membatasi akses pengelolaan sumber daya alam, yaitu nilai-nilai lokal,
pemanfaatan oleh pihak lain dan pengambilan manfaat hak kepemilikan, dan kelembagaan (Gibson & Baker
oleh satu pihak akan mengurangi manfaat yang tersedia 2000 dalam Karmacharya et al., 2003).
bagi pihak lain, dan oleh karena itu pengelolaannya
memerlukan kelembagaan kolektif yang membangun c) Teknis pengelolaan hutan rakyat
tata aturan untuk pemanfaatan secara berkelanjutan Teknis pengelolaan hutan rakyat yang dimaksud
(Ostrom 1999a). Kelembagaan atau institusi adalah adalah dalam hal perencanaan, penanaman,
aturan-aturan main di masyarakat, baik formal maupun pemeliharaan hutan, pemanenan dan penyiapan
informal, serta karakteristik penegakannya dan prasarananya sehingga dihasikan hasil hutan bernilai
merupakan produk dari interaksi sosial manusia (North ekonomis tinggi tanpa menimbulkan dampak
1994). merugikan bagi lingkungan maupun sosial. Namun
Pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan demikian berbeda dengan masalah kelembagaan di
pemerintah daerah kabupaten/kota wajib atas, dalam hal pengelolaan hutan rakyat tidak ada
mengembangkan hutan rakyat melalui fasilitasi, rujukan kebijakan yang secara tegas menyebutkan
pengembangan kelembagaan, dan sistem usaha (PP kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah. Undang-
6/2007 Pasal 103). Kewenangan pemerintah dan undang kehutanan dan peraturan dibawahnya pun tidak
pemerintah daerah dalam pengembangan hutan rakyat memberikan arahan pengelolaan hutan rakyat, namun
dirumuskan dalam PP 38/2007. Namun kedua mengatur pemanfaatan hutan rakyat pada apa yang
peraturan pemerintah tersebut tidak merumuskan boleh dan tidak boleh dilakukan pada hutan hak.
integrasi hierarkisnya bagi pelaksanaan kebijakan Pada sisi lain, dalam rangka mendorong
tersebut, sehingga pada tingkat daerah belum ada pemanfaatan optimal hutan rakyat dan meningkatkan
peraturan daerah tentang pengembangan hutan rakyat daya saing usaha hutan rakyat pemerintah menerbitkan
yang dapat menjadi acuan operasional bagi perumusan kebijakan tentang Surat Keterangan Asal-usul Kayu
program pelaksanaannya. Mazmanian & Sabatier (Permenhut Nomor P.51/Menhut-II/2006) dan
(1983) menyatakan bahwa untuk menjamin integrasi Verifikasi Legalitas Kayu (Permenhut Nomor.
hierarkis di dalam dan di antara institusi pelaksana, P.38/Menhut-II/2009). Kedua kebijakan ini dilengkapi
kebijakan dapat memfasilitasinya melalui rumusan dengan petunjuk teknis yang rinci. Kebijakan ini lebih
insentif maupun sanksi yang memadai. bersifat pengaturan adminstrasi hasil hutan kayu yang
Kondisi di atas mengakibatkan rumusan berasal dari hutan rakyat namun tidak jelas betul
program pada tingkat pelaksana tidak memiliki acuan kaitannya dengan masalah pengelolaan hutan rakyat
yang secara khusus untuk pengembangan hutan rakyat yaitu (1) lemahnya kelembagaan pengelolaan hutan
melainkan pada rencana strategis dan program rakyat, (2) lemahnya kemampuan teknis pengelolaan
pembangunan daerah yang bersifat umum. Kegiatan- hutan, dan (3) lemahnya kerangka insentif untuk
kegiatan penguatan kelembagaan yang dilakukan pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Dalam
4
JPSL Vol. (2)1 : 1–10, Juli 2012
pelaksanaannya pun kebijakan keterangan asal-usul tidak dapat dilayani, dan ini menimbulkan persepsi
kayu tersebut terkendala oleh kesiapan sumber daya negatif masyarakat atas program tersebut. Skema
manusia, lemahnya sistem dokumentasi pada insentif langsung seperti program Gerhan dan GRLK
pengelolaan hutan rakyat dan lemahnya pengawasan bagi masyarakat seolah-olah merupakan sumbangan,
(Sahadat & Sabarudi 2007). tidak menimbulkan rasa kepemilikan (ownership) yang
Lemahnya hubungan kausal dalam perumusan kuat untuk melakukan pengelolaannya secara
kebijakan di atas juga menyebabkan sasaran program berkelanjutan. Analisis bentuk insentif bagi
pada tingkat pelaksana menjadi tidak menyentuh pengembangan hutan rakyat di Ciamis (Diniyati &
masalah-masalah pengelolaan hutan rakyat di Awang 2010) menyimpulkan bahwa bentuk insentif
lapangan. Hal ini nampak dari rancangan program pada yang sesuai adalah berupa insentif tidak langsung
tingkat pelaksana yang meliputi (1) program berupa perbaikan prakondisi untuk melancarkan
pemanfaatan potensi sumberdaya hutan yang terdiri penerapan insentif langsung.
dari kegiatan-kegiatan pengembangan hasil hutan Insentif lainnya dalam kaitan hutan rakyat yang
nonkayu, pengembangan dan pengujian serta memiliki fungsi lindung adalah yang dirumuskan pada
pengendalian peredaran hasil hutan, (2) program Permenhut No. P.26/Menhut-II/2005. Dalam peraturan
pembinaan dan penertiban industri hasil hutan yang menteri tersebut dinyatakan insentif diberikan oleh
terdiri dari kegiatan-kegiatan peningkatan pemerintah daerah bagi pemegang hak yang memiliki
penatausahaan dan peredaran hasil hutan, pengumpulan fungsi lindung/konservasi jika telah dilakukan
dan penyusunan data base industri primer hasil hutan penunjukan fungsi lindung dan atau telah direboisasi.
kayu dan pola pemasaran, dan (3) program Implementasi hal ini di lapangan sulit karena (1)
perencanaan dan pengembangan hutan yang terdiri dari ketidakjelasan kewenangan penunjukan status dan
kegiatan-kegiatan pembuatan data base lahan kritis dan fungsi hutan hak sebagaimana dijelaskan di atas, (2)
penataan penggunaan lahan sesuai fungsinya untuk reboisasi harus dilakukan oleh pemegang hak yang
perencanaan kegiatan RHL, inventarisasi dan pemetaan pengorbanannya belum tentu sebanding dengan
potensi hutan rakyat, rekontruksi tata batas hutan, dan insentif yang didapatkan, dan (3) jika pendapatan
evaluasi hasil penataan lahan (Dishutbun Kuningan daerah dari sektor kehutanan minim maka daerah akan
2008b). kesulitan mengalokasikan sumberdaya untuk
pemberian insentif tersebut.
d) Kerangkan insentif untuk pengelolaan hutan rakyat
Insentif didefinisikan sebagai dorongan yang
Perspektif masyarakat dan masalah kebijakan
dirancang dan diimplementasikan untuk mempengaruhi
Hasil wawancara dan pengamatan di lokasi
atau memotivasi individu maupun masyarakat untuk
penelitian menunjukan faktor-faktor pendukung yang
melakukan tindakan tertentu (Emerton 1999).
mendorong peningkatan tutupan hutan rakyat adalah
Kebijakan isentif yang berkaitan dengan
(1) program pemerintah berupa Gerhan dan GRLK, (2)
pengembangan hutan rakyat diantaranya adalah Kredit
program PHBM, (3) motif ekonomi, (4) kelembagaan
Usaha Hutan Rakyat atau KUHR (Kepmenhut No.
informal masyarakat, (5) luas lahan milik, dan (6)
49/Kpts-II/1997), Gerakan Rehabilitasi Hutan Lahan
jumlah masyarakat yang bermata pencaharian sebagai
atau Gerhan (Perpres N0. 89/2007, Permenhut No.
petani sebagaimana disajikan pada Gambar 1. Motif
P.02/ Menhut-V/2004), Gerakan Rehabilitasi Lahan
untuk memperoleh manfaat ekonomi merupakan faktor
Kritis atau GRLK (Keputusan Gubernur Jawa Barat
penting dominan yang terdapat pada 13 dari 16 desa-
No. 23 Tahun 2003), Penyelenggaraan Kebun Bibit
desa penelitian (81.25 %), kemudian adalah jumlah
Rakyat (Permenhut No. 24/ Menhut-II/2010) dan
anggota masyarakat yang bermata pencaharian sebagai
Insentif dari Pemerintah Daerah (Permenhut No.
petani (62.50%). Faktor yang cukup penting adalah
P.26/Menhut-II/2005). Namun menurut Nugroho
program PHBM dan kelembagaan informal masyarakat
(2010), pemerintah telah menghentikan program
(62.50%). Bantuan program pemerintah berupa Gerhan
KUHR karena mengalami berbagai hambatan yang
dan GRLK bagi masyarakat dianggap tidak penting
mengakibatkan gagalnya pengembalian kredit.
dalam arti tidak menjadi aset utama masyarakat, namun
Tujuan Gerhan adalah terciptanya pranata sosial
diakui juga cukup penting sebagai stimulus bagi
(sistem perilaku) yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat untuk menanami lahannya secara swadaya.
masyarakat ke arah yang lebih baik dalam rangka
Masyarakat mengakui tanaman swadaya lebih banyak
kesejahteraan masyarakat dan pelestarian lingkungan
dari sumbangan pemerintah, selain itu bantuan bibit
(Permenhut No. P.03/Menhut-V/2004). Melalui
datangnya sering tidak sesuai dengan masa tanam
program Gerhan dan GRLK periode 2004–2008 di
sehingga keberhasilan tumbuhnya rendah.
kabupaten Kuningan telah dilakukan penanaman/
Dalam konteks tujuan pengelolaan hutan rakyat
pengkayaan seluas 5.152 ha (Dishutbun Kuningan
sebagai fungsi lindung, masyarakat menganggap
2008a). Kebijakan Gerhan dan GRLK dilengkapi
penting untuk melindungi bagian-bagian hutannya
dengan petunjuk teknis yang lengkap dan cenderung
terutama di lokasi-lokasi sekitar sumber mata air, areal
rigid sehingga terkadang menyulitkan pelaksana di
berlereng curam dan areal dengan lapisan tanah yang
lapangan. Sebagai contoh; syarat luas areal hutan
tipis. Tujuan perlindungan adalah untuk menjaga
rakyat untuk penanaman/pengkayaan adalah 25 ha
kelangsungan suplai air, mencegah longsor dan
efektif (Permenhut No.P.70/Menhut-II/2008) akibatnya
menjadikan masyarakat mengelola hutan dengan baik.
masyarakat yang memiliki lahan kritis kurang dari itu
Meskipun demikian karena hutan tersebut bagi pemilik
5
JPSL Vol. (2)1: 1–10, Juli 2012
fungsi utamanya adalah fungsi ekonomis maka mereka perlu bantuan jenis-jenis tanaman cepat tubuh dan
mengharapkan dukungan insentif berupa kompensasi untuk perlindungan areal sekitar sumber-sumber air.
atas kemungkinan hasil yang berkurang, adanya aturan Pada tingkat lapangan, berdasarkan struktur
main yang jelas dan sosialisasi untuk membangun administrasi pemerintahan pihak-pihak yang
prakondisinya. Analisis persepsi kebutuhan masyarakat bersentuhan langsung dengan masyarakat dalam
menunjukkan gambaran persoalan-persoalan yang pengelolaan hutan rakyat adalah Dinas Kehutanan dan
dihadapi masyarakat di lokasi penelitian sebagaimana Perkebunan (Dishutbun) dan Badan Pelaksana
disajikan pada Tabel 2, yaitu (1) perlu bantuan Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan
infrastruktur pengelolan hutan untuk meningkatkan (BP4K). Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dishutbun
nilai ekonomis kayu, (2) perlu dukungan pengaman Kuningan terdiri dari 9 unit yang dibagi berdasarkan
sumber-sumber pendapatan jangka pendek, (3) perlu wilayah subDAS, jumlah staf setiap unit antara 3–5
bantuan peningkatan teknis pengelolaan hutan, dan (4) orang dengan cakupan wilayah layanan 3–5 wilayah
kecamatan.

16
14
12
10
8
6
4
2
0
Program PHBM Motif Ekonomi Kelembagaan Luas lahan Petani
Pemerintah Milik

Gambar 1 Faktor-faktor pendukung peningkatan tutupan lahan hutan rakyat. Sangat penting, Penting
Cukup penting Tidak penting.

Tabel 2 Hasil analisis persepsi kebutuhan masyarakat untuk pengelolaan hutan berkelanjutan
Frekuensi
No Masalah Kebutuhan
(%)
1 Harga kayu pada lokasi yang jauh dari jalan Bantuan pembuatan jalan angkutan hingga ke 93.75
angkutan lebih murah sehingga keuntungan lokasi hutan rakyat.
petani rendah dan dapat menurunkan minat
untuk investasi, masyarakat juga kesulitan
mengangkut pupuk untuk pemeliharaan
tanaman di bawah tegakan.
2 Umur panen kayu cukup panjang (6–8 th) untuk Bantuan teknis pengolahan dan pemasaran 75.00
mendapatkan hasil yang baik dari jenis-jenis hasil-hasil produksi masyarakat untuk
cepat tumbuh. mendukung sumber pendapatan jangka
pendek.
3 Kemampuan teknis pengelolaan hutan masih Bimbingan teknis perbaikan pengelolaan 62.50
lemah termasuk kemampuan penaksiran nilai hutan dan peningkatan kapasitas penyuluh
kayu, pengetahuan harga pasar dan penataan kehutanan pada isu tersebut termasuk
administrasi kayu di desa. penaksiran nilai kayu, pengetahuan harga
pasar dan penataan administrasi kayu di desa.
4 Modal untuk pembelian bibit tanaman. Bantuan bibit jenis-jenis cepat tumbuh dan 18.75
perlindungan sumber mata air.
5 Jaminan kepastian pemasaran hasil. Kerjasama kemitraan dengan dunia usaha. 12.50
6 Antisipasi penjualan pohon yang masih kecil Ada aturan batas diameter bagi pembeli kayu 12.50
oleh masyarakat. dan membangun kesepakatan kelompok.

6
JPSL Vol. (2)1: 1–10, Juli 2012
Tabel 3 Analisis masalah implementasi kebijakan tentang hutan rakyat
No Variabel kebijakan Analisis
1 Kejelasan dan konsistensi tujuan kebijakan: Rumusan kebijakan untuk memberikan status hukum bagi
semakin jelas dan tepat rumusan serta instruksi hutan hak, baik dari segi teknis pelaksanaan maupun
bagi pelaksananya semakin mudah kewenangan pihak yang harus melaksanakannya, tidak dapat
dimplemetasikan. dilaksanakan di lapangan.
2 Digunakanannya teori kausal yang memadai: Pengembangan hutan rakyat dilakukan melalui skema
teori kausal yang memadai membutuhkan (1) insentif langsung program Gerhan dan GRLK namun tidak
dipahaminya prinsip hubungan kausal antara membangun kelembagaan yang menumbuhkan tata aturan
intervensi pemerintah dengan pencapaian dan ownership kelompok atas bantuan program. Tujuan
tujuan, (2) pihak pelaksana memiliki pemanfaatan optimal hutan hak dan peningkatan daya saing
kewenangan yang cukup untuk benar-benar kayu rakyat didekati dengan kebijakan tata usaha kayu dan
mencapai tujuan. verifikasi legalitas kayu yang sifatnya lebih ke arah
pengaturan administratif.
3 Alokasi sumberdaya finansial untuk Alokasi sumberdaya finansial dari pemerintah daerah
administrasi, teknis pelaksanaan, dan propinsi dan pemerintah mencapai 55.68% dengan fokus
monitoring program. rehabilitasi lahan. Pada tingkat pelaksanaan proporsi
realisasi anggaran untuk urusan administratif 3.32%,
kelembagaan 7.60% dan fisik 89.08%.
4 Integrasi hierarkis di dalam dan diantara pihak PP tidak merancang integrasi hierarkis institusi pelaksana di
pelaksana: kebijakan merumuskan integrasi bawahnya sehingga belum ada peraturan daerah tentang
hierarkis institusi pelaksana dengan hutan rakyat untuk acuan perumusan program pelaksana-an
menyediakan insentif maupun sanksi yang di lapangan, koordinasi antar pihak pelaksana dalam
memadai. perumusan masalah dan penyusunan program lemah,
sehingga program tidak menyelesaikan masalah yang
dipersepsikan masyarakat.
5 Pengambilan keputusan pada pihak pelaksana: Beberapa kebijakan dirumuskan dengan petunjuk teknis
untuk menjamin pelaksanaannya peraturan yang rinci dan cenderung rigid sehingga tidak memberikan
dapat mempengaruhi proses implementasi ruang bagi pelaksana mengambil keputusan sesuai
dengan membuat aturan formal pengambilan kebutuhan.
keputusan pada tingkat pelaksana.
6 Komitmen aparat pelaksana terhadap Pelaksana kebijakan mengikuti struktur administrasi
pencapaian tujuan kebijakan: perumus pemerintahan, namun ketersediaansumberdaya manusia
kebijakan dapat memilih pihak pelaksana yang terbatas dan koordinasi lemah.
memiliki komitmen untuk mensukseskan
pencapaian tujuan kebijakan.
7 Akses bagi pihak lain untuk terlibat: suatu Program yang memungkinkan akses masyarakat dalam
program yang memberikan peluang luas bagi pembangunan rakyat adalah pada program Gerhan, GRLK
masyarakat untuk terlibat akan relatif mendapat dan verifikasi legalitas kayu. Program tersebut belum
dukungan daripada program yang tidak menyentuh masalah-masalah yang dipersepsikan
melibatkan masyarakat. masyarakat.

BP4K memiliki 15 UPT dengan jumlah total staf pada Kemungkinan pengembangan kelembagaan
tingkat UPT adalah 294 orang dimana 27 orang pengelolaan hutan rakyat sebagai kawasan
diantaranya adalah penyuluh kehutanan dan berfungsi lindung
perkebunan (BP4K Kuningan 2009). Rumusan masalah Fenomena peningkatan tutupan lahan hutan
hutan rakyat sebagai acuan penyusunan program BP4K rakyat yang didukung faktor-faktor di atas serta
berbeda dengan rumusan masalah menurut Dishutbun persepsi masyarakat yang baik atas kawasan lindung
maupun persepsi masalah menurut masyarakat pada dapat dipertimbangkan sebagai modal dasar untuk
Tabel 3 di atas. pengembangan hutan rakyat dalam mendukung fungsi
Berdasarkan informasi faktor-faktor pendukung, lindung kawasan. Meskipun statusnya sebagai hak
persepsi atas kawasan lindung dan masalah serta milik yang dalam konteks ekonomi pemilik berhak
kebutuhan masyarakat dikaitkan dengan kerangka melakukan investasi dan mendapatkan keuntungan dari
kebijakan pengelolaan hutan rakyat nampak investasinya, hak menjual dan mengelurkan pihak lain
implementasi kebijakan tentang hutan rakyat belum yang tidak berhak, namun seharusnya tidak membatasi
cukup mendukung pengelolaan hutan rakyat manfaat fungsinya bagi publik. Breckenridge (2005)
berkelanjutan. Sebagai rangkuman Tabel 3 menyajikan mengemukakan bahwa dalam konteks ekosistem, hak-
analisis masalah kebijakan berdasarka unsur-unsur hak kepemilikan perlu dibatasi dengan memasukkan
variabel kebijakan yang dikemukakan oleh Mazmanian serangkaian tangungjawab masyarakat dan meletakan
& Sabatier (1983). konsep hak kepemilikan privat (private ownership)
dalam pertimbangan ekologis yang lebih luas. Hal ini

7
JPSL Vol. (2)1: 1–10, Juli 2012
sejalan dengan pendapat Ostrom (1999a) bahwa hutan Saran
rakyat sebagai common pool resources, memerlukan Dalam merumuskan kebijakan dan program
pengaturan yang membatasi akses maupun aturan- pelaksanaannya pemerintah perlu didasarkan atas
aturan lain dalam pemanfaatannya agar dapat diperoleh permasalahan yang sebenarnya dihadapi oleh
manfaat berkelanjutan. masyarakat. Pelaksanaan program pengembangan
Dalam konteks pengembangan kelembagaan ini kelembagaan perlu diarahkan pada menumbuhkan
Ostrom (1999b) menjelaskan pengorganisasian secara kelembagaan pengelolaan hutan secara kelompok guna
mandiri (self-organisation) sangat mungkin terjadi jika membangun aturan-aturan yang memungkinkan
sumberdaya hutan sangat penting bagi para pemanfaat, perolehan manfaat hutan secara berkelanjutanoleh
memiliki pemahaman yang sama atas masalah yang masyarakat luas. Perlu peningkatan kapasitas penyuluh
dihadapi, memiliki sikap saling mempercayai satu dengan kemampuan teknis pengelolaan hutan termasuk
sama lain, memiliki otonomi untuk mengembangkan penaksiran nilai kayu, pengetahuan harga pasar dan
beberapa aturannya sendiri dan memiliki pengalaman penataan administrasi kayu di desa.
berorganisasi sebelumnya. Namun perubahan
kelembagaan dari pengelolaan individual menjadi
Daftar Pustaka
pengelolaan kolektif memerlukan waktu lama (Awang
Anderson TL, Huggins LE. 2003. The Property Rights
2007b), dan karena pengelolaan ekosistem harus
Path to Sustainable Development. Di dalam:
terintegrasi dengan kesejahteraan masyarakat maka
Proceedings of Federal Reserve Bank of Dallas.
perlu dibangun kapasitas yang yang memungkinkan
Tersedia pada: http://www.dallasfed.org/
penanganan multitujuan, mengkaitkan lembaga lokal
research/pubs/ftc/anderson_huggins.pdf
dengan lembaga lain baik secara horizontal maupun
vertikal dan hal ini akan melibatkan distribusi
Awang SA. 2007a. Manajemen Hutan Rakyat
kewenangan pada banyak lembaga (Berkes 2007).
Kolaboratif di tingkat Kawasan. Di dalam:
Emerton (1999) menyatakan bahwa
Prosiding Lokakarya Hutan Rakyat Relung-
pertimbangan ekonomis memainkan peranan sentral
PKHR. Tersedia pada: http://sanafriawang.
dalam pengelolaan sumber daya alam, oleh karena itu
staff.ugm.ac.id/
pilihan paling strategis dalam hal konservasi adalah
dengan melibatkan dan menguntungkan masyarakat
Awang SA. 2007b. Kontruksi Pengetahuan dan
secara ekonomis. Hasil studi Prihadi et al. (2010)
Manajemen Hutan Rakyat. Di dalam: Prosiding
menunjukkan bahwa kerjasama kemitraan antara petani
Lokakarya Hutan Rakyat; Ciamis 30 Oktober
dengan industri yang didasari kontrak formal telah
2007. Tersedia pada: http://sanafriawang.
memberikan insentif positif bagi para pelaku dan
staff.ugm.ac.id/
mendukung pembangunan hutan di Pulau Jawa.
Demikian pula kegiatan sertifikasi pengelolaan hutan
Berkes F. 2007. Community-based conservation in a
rakyat secara sukarela yang dilakukan Lembaga
globalized world. In: Proceedings of the
Ekolabel Indonesia, yang mengkaitkan dukungan pasar
National Academic of Science of the USA.
dengan kinerja pengelolaan hutan, telah mendorong
Vol.(104)39.
kerjasama antara masyarakat pemilik hutan rakyat di
Jawa, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Barat
Bickford D, Supriatna J, Andayani N, Iskandar Dj,
dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk
Evans BJ, Brown RM, Townsend T, Umilaela
membangun kelembagaan kelompok pengelola dan
AD, Mcguire JA. 2008. In: Navjot S. Sodhi,
meningkatkan kinerja pengelolaan hutannya. Kecuali
Greg Acciaioli, Maribeth Erb and Alan Khee-Jin
hal tersebut memberikan manfaat ekonomis yang nyata
Tan, editor. Indonesia’s Protected Areas Need
bagi masyarakat, masyarakat tidak akan bersedia dan
More Protection: Suggestions from Island
sering tidak bisa, untuk melindungi sumberdaya alam
Examples in Biodiversity And Human
dalam kegiatan-kegiatan produksi dan konsumsi
Livelihoods In Protected Areas: Case Studies
mereka (Emerton 1999).
from The Malay Archipelago. Cambridge
University Press.
Kesimpulan
Kerangka kebijakan yang ada belum mendukung
Bismark M, Sawitri R, Heriyanto NM. 2007. Zonasi
pengelolaan hutan rakyat berkelanjutan dalam hal
dan Karakteristik Hutan Rakyat di Daerah
kejelasan status hukum hutan hak, kelembagaan
Penyangga Taman Nasional Gunung Halimun.
pengelolaan hutan, teknis pengelolaan hutan serta
Info Hutan. IV(2):187–199. Bogor: Pusat
kerangka insentif yang diperlukan. Kebijakan hutan
Penelitian dan Pengembangan Hutan dan
rakyat dan program yang dilaksanakan tidak sesuai
Konservasi.
dengan masalah yang dihadapi masyarakat. Motif
ekonomi dan persepsi masyarakat yang baik atas
[BP4K] Badan Pelaksanaan Penyuluhan Pertanian,
pentingnya fungsi lindung hutan dapat menjadi modal
Perikanan, dan Kehutanan Kabupaten
dasar dalam pengembangan konservasi berbasis
Kuningan. 2009. Profil Badan Pelaksana
masyarakat dengan mengem-bangkan kelembagaan
Penyuluhan Pertanian Perikanan dan
pengelolaan sumber daya bersama (common-pool
Kehutanan Kabupaten Kuningan 2009.
resources) melalui pendekatan insentif ekonomi.
8
JPSL Vol. (2)1 : 1–10, Juli 2012
[BPKH] Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah Tersedia pada: http://www.cifor.org/
XI dan Multistake-holders Forestry Programme publications/
(MFP) - II. 2009. Potensi Kayu dan Karbon
Hutan Rakyat di Pulau Jawa Tahun 1990–2008. Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 39 Tahun 2003
BPKH Wilayah XI Jawa-Madura bekerjasama tentang Petunjuk Pelaksanaan Gerakan
dengan MFP. rehabilitasi Lahan Kritis.

Breckenridge LP. 2005. Can Fish Own Water?: Keputusan Menteri Kehutanan No. 49/Kpts-II/1997
Envisioning Nonhuman Property in Ecosystem. tentang Pendanaan dan Usaha Hutan Rakyat.
Journal of Land Use and Environmental Law.
20(2). Florida State University. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 32/Kpts-II/2001
tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan
deLeon P, deLeon L. 2002. What Ever Happened to Kawasan Hutan.
Policy Implementation? An Alternative
Approach. Journal of Public Administration Langholz J, Lassoie J, Schelhas J. 2000. Incentives for
Research and Theory. 12(4):467–492. Tersedia Biological Conservation: Costarica’s Private
pada: http://jpart.oxfordjournals.org. Wildlife Refuge Program. Journal Conservation
Biology. 14(6):1735–1743.
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Kuningan. 2008a. Laporan Kegiatan Dinas Maresi N. 1984. Implementation Analysis: a new
Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten magic tool for research in higher education.
Kuningan 2004-2008. Kassel University. West Germany. Tersedia
pada: http://www.eric.ed.gov/ERICWebPortal/
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabuapaten
Kuningan. 2008b. Perencanaan Strategis Dinas Mascia MB, Pailler S. 2011. Protected area
Kehutanan dan Perkebunan 2009-2013. downgrading, down-sizing, and degazettement
(PADDD) and its conservation implications.
Diniyati D, Awang SA. 2010. Kebijakan Penentuan Conservation Letters 4 (2011):9–20. Wiley
Bentuk Insentif Pengembangan Hutan Rakyat di Periodicals, Inc.
Wilayah Gunung Sawal, Ciamis dengan Metoda
AHP. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. Mazmanian DA, Sabatier PA. 1983.
7(2):129–143. Bogor. Puslitsosek Dephut. Imp le men ta t io n a n d Pu b li c Po li cy.
Illinois: Scott, Foresman and Company
Dudley N, Stolton S. 2003. Running Pure: The
importance of forest protected areas to drinking North DC. 1994. Institutional Change: A Framework
water. World Bank/WWF Alliance for Forest of Analysis. Tersedia pada:
Conservation and Sustainable Use. http://129.3.20.41/eps/eh/papers/ 9412/9412001

Emerton L. 1999. Community-based Incentives for Nugroho B. 2010. Pembangunan Kelembagaan


Nature Conservation. IUCN-The World Pinjaman Dana Bergulir Hutan Rakyat. Jurnal
Conservation Union - Eastern Africa Regional Manajemen Hutan Tropika. XVI(3):118–125.
Office and Economics Unit. Tersedia pada:
http://economics.iucn.org Ostrom E. 1999a. Private and Common Property.
Tersedia pada: http://encyclo.findlaw.com/
Ginoga K, Lugina M, Djaenudin D. 2005. Kajian 2000book.pdf
Kebijakan Pengelolaan Hutan Lindung. Jurnal
Penelitian Sosial & Ekonomi. 2(2). 2005. Bogor: Ostrom E. 1999b. Self-governance and Forest
Puslitsosek Dephut. Resources. Occasional Paper No. 20. Bogor:
CIFOR.
Iskandar J, Ellen RF. 2000. The Contribution of
Paraserianthes (Albizia) falcataria to Parsons W. 2001. Public Policy, Pengantar Teori dan
Sustainable Swidden Management Practices Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta: Prenada
among the Baduy of West Java. Journal Human Media. Terjemahan.
Ecology. 28(1). Plenum Publishing Corporation.
Peraturan Menteri Kehutanan No.P.03/Menhut-V/2004
Karmacharya M, Karna B, Ostrom E. 2003. Rules, tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan
Incentives and Enforcement: livelihood Penyelenggaraan Gerakan Nasional
strategies of community forestry and leasehold Rehabilitasi Hutan dan Lahan.
forestry users in Nepal. Paper presented at
International Conference on Rural Livelihoods, Peraturan Menteri Kehutanan No.P.70/Menhut-II/2008
Forest and Biodiversity, Bonn, Germany. tentang Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan
Lahan.
9
JPSL Vol. (2)1: 1–10, Juli 2012

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.26/Menhut- Prihadi N, Darusman D, Nugroho B, Wijayanto H.


II/2005 tentang Pedoman Pemanfaatan Hutan 2010. Kelembagaan Kemitraan Industri
Hak. Pengolahan Kayu Bersama Rakyat Untuk
Membangun Hutan Di Pulau Jawa. Jurnal
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor. P.27/Menhut- Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. 7(2):
II/2006 tentang Rencana Pembangunan 127–138. Bogor: Puslitsosek Dephut.
Kehutanan Jangka Panjang 2006-2025.
Purbawiyatna A, Kartodihardjo H, Alikodra HS,
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor. P.38/Menhut- Prasetyo LB. 2011. Analisis Kelestarian
II/2009 tentang Standard dan Pedoman Pengelolaan Hutan Rakyat di Kawasan
Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Berfungsi Lindung: studi kasus di kabupaten
Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Kuningan propinsi Jawa Barat. Jurnal
Pemegang Izin atau pada Hutan Hak . Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan. 1(2):84–92.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor. P.51/Menhut-
II/2006 tentang Penggunaan Surat Keterangan Sahadat E, Sabarudi. 2007. Kajian Dampak
Asal Usul (SKAU) untuk Pengangkutan Hasil Pelaksanaan Peraturan Menteri Kehutanan
Hutan Kayu yang Berasal dari Hutan Hak. Nomor P.51/2006 Terhadap Efektifitas
Penatausahaan Hasil Hutan di Hutan Rakyat.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi
16/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Kehutanan. 4(2): 177–191. Bogor: Puslitsosek
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten. Dephut.

Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Scott A. 2008. The evolution of resource property
Tata Ruang Wilayah Nasional. rights. New York: Oxford University Press Inc.

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Undang-undang Republik Indonesia Nomor. 41 tahun
Pembagian Urusan Pemerintahan antara 1999 tentang Kehutanan.
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi,
dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Undang-undang Republik Indonesia Nomor. 26 Tahun
2007 tentang Tata Ruang.
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Widiarti A, Pradjadinata S. 2008. Karakteristik Hutan
Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan. Rakyat Pola Kebun Campuran. Jurnal Penelitan
Hutan dan Konservasi Alam. 5(2):145–156.
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 89 Tahun Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan
2007 tentang Gerakan Nasional Rehabilitasi Kehutanan.
Hutan dan Lahan.

10

Вам также может понравиться