Вы находитесь на странице: 1из 31

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/265554191

Teori Sinyal Dalam Manajemen Keuangan

Article · September 2009

CITATIONS READS

2 9,753

1 author:

Tatang Ary Gumanti


Universitas Bhayangkara Jakarta Raya
80 PUBLICATIONS   98 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

malaysisan stock market response to AirAsia plane crash December 2014 View project

The effecte of brand equity on repurchase intention : The role of brand relationship quality in Muslim Wear Brand Surabaya-Indonesia View project

All content following this page was uploaded by Tatang Ary Gumanti on 05 November 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


0

TEORI SINYAL DALAM MANAJEMEN KEUANGAN

Oleh: Tatang A Gumanti

Abstract

This paper evaluates the signaling theory in corporate finance. Signaling


theory suggests that managers (agents) or the firms have qualitatively better
information than do outsiders and they use certain measures or facilities to convey
about the quality of the firm. There are at least four types of signaling theory in the
finance literature, namely (1) Signaling models of debt maturity choice, (2) Signaling
models of corporate investment, (3) Signaling models of financial structure, and (4)
Dividend signaling model. Each of the models has its own consequences both for the
managers (agents) and shareholders (investors)/debtholders (bondholders).
Shareholders or investor must use his/her knowledge to infer all the possible
signals shown by the managers. If shareholders or investors do not seek information
relating to the signals, they will not be able to take any advantage. So, any signals
given by the firms that could affect the value of the firm should properly be
interpreted.

Keywords: Signaling theory, information asymmetric, financial structure, dividen


policy.

Abstraksi

Tulisan ini mengupas teori sinyal dalam bidang keuangan korporasi. Teori
sinyal menyatakan bahwa manajer (agen) atau perusahaan secara kualitatif memiliki
kelebihan informasi dibandingkan dengan pihak luar dan mereka menggunakan
ukuran-ukuran atau fasilitas tertentu menyiratkan kualitas perusahaannya. Setidaknya
ada empat jenis teori sinyal yang dikenal dalam literatur keuangan, yaitu 1) model
sinyal pilihan maturitas utang, 2) model sinyal investasi perusahaan, 3) model sinyal
struktur keuangan, dan 4) model sinyal dividen. Masing-masing model memiliki
konsekuensi sendiri-sendiri baik bagi manajer (agen) maupun pemegang saham
(investor) atau pemegang surat utang.
Pemegang saham atau investor harus menggunakan segala pemahaman yang
dimiliki untuk menduga kemungkinan sinyal-sinyal yang diisyaratkan oleh manajer.
Jika pemegang saham atau investor tidak mencoba mencari informasi terkait dengan
sinyal, mereka tidak akan mampu mengambil manfaat. Jadi, setiap sinyal yang
berpotensi mempengaruhi nilai perusahaan harus dicermati secara seksama.

Kata-kata Kunci: Teori sinyal, ketimpangan informasi, struktur keuangan, dividen.

0
1

TEORI SINYAL DALAM MANAJEMEN KEUANGAN

1. Pendahuluan

Teori sinyal (signaling theory) merupakan salah satu teori pilar dalam

memahami manajemen keuangan. Secara umum, sinyal diartikan sebagai isyarat yang

dilakukan oleh perusahaan (manajer) kepada pihak luar (investor). Sinyal tersebut

dapat berwujud berbagai bentuk, baik yang secara langsung dapat diamati maupun

yang harus dilakukan penelaahan lebih mendalam untuk dapat mengetahuinya.

Apapun bentuk atau jenis dari sinyal yang dikeluarkan, semuanya dimaksudkan untuk

menyiratkan sesuatu dengan harapan pasar atau pihak eksternal akan melakukan

perubahan penilaian atas perusahaan. Artinya, sinyal yang dipilih harus mengandung

kekuatan informasi (information content) untuk dapat merubah penilaian pihak

eksternal perusahaan.

Secara umum, teori sinyal berkaitan dengan pemahaman tentang bagaimana

suatu sinyal sangat bernilai atau bermanfaat sementara sinyal yang lain tidak berguna.

Teori sinyal mencermati bagaimana sinyal berkaitan dengan kualitas yang

dicerminkan di dalamnya dan elemen-elemen apa saja dari sinyal atau komunitas

sekitarnya yang membuat sinyal tersebut tetap meyakinkan dan menarik. Selain itu,

teori ini juga mencermati apa yang akan terjadi manakala sinyal yang diisyaratkan

tidak sepenuhnya meyakinkan atau seberapa besar yang ketidakyakinan yang dapat

ditoleransi sebelum sinyal tersebut menjadi tidak bermakna sama sekali.

Penyinalan muncul dalam suatu lingkungan yang kompetitif. Hasrat dari

pengirim sinyal dan penerima sinyal seringkali sesuai, tetapi ada kalanya tidak sesuai

sama sekali. Ada kalanya persaingan agresif dan dilakukan terbuka tanpa upaya untuk

1
2

mengungkapkan, sebagaimana dapat dianalogikan seperti buruan dan pemburunya.

Buruan yang potensial dapat menyiratkan dirinya dengan tampilan yang penuh racun

atau mereka dapat lari cepat menghindar lalu kembali melakukan serangan membabi

buta. Pesaing yang potensial mungkin dapat memberi sinyal berupa kekuatan yang

dimiliki ke pesaing yang lain, jika pesaing tidak setara, pesaing yang lebih lemah

tidak melakukan apa-apa atau melakukan pertarungan sesungguhnya yang tentunya

akan sangat mahal biayanya bagi semuanya, atau menghindari persaingan sama

sekali. Kadangkala persaingan berupa adu cerdik, khususnya manakala perusahaan

yang bersaing adalah setara. Suatu sinyal merupakan aksi yang dapat dirasakan atau

struktur yang dimaksudkan untuk atau sudah berevolusi untuk mengindikasikan

sesuatu yang sulit ditebak atau sulit diduga tentang kualitas pemberi sinyal

lingkungan pemberi sinyal. Dalam hal ini tujuan sinyal adalah mengindikasikan

kualitas tertentu. Artinya, sinyal diisyaratkan dengan maksud untuk dinilai berbeda

dengan pesaing atau lawan.

Dalam literatur ekonomi dan keuangan, teori sinyal dimaksudkan untuk secara

eksplisit mengungkapkan bukti bahwa pihak-pihak di dalam lingkungan perusahaan

(corporate insiders, yang terdiri atas officers dan directors) umumnya memiliki

informasi yang lebih bagus tentang kondisi perusahaan dan prospek masa depan

dibandingkan dengan pihak luar, misalnya investor, kreditor, atau pemerintah, bahkan

pemegang saham. Dengan kata lain, pihak perusahaan mempunyai kelebihan

penguasaan informasi daripada pihak luar yang memiliki kepentingan dengan

perusahaan. Kondisi dimana satu pihak memiliki kelebihan informasi sementara pihak

lain tidak dalam teori keuangan disebut dengan ketimpangan informasi (information

asymmetry).

2
3

Dalam kondisi adanya ketimpangan informasi ini, adalah sangat sulit bagi

investor untuk dapat secara objektif membedakan antara perusahaan yang berkualitas

bagus (high quality firms) dan yang berkualitas jelek (low quality firms). Sementara

itu, baik manajer perusahaan yang ‘bagus’ maupun yang ‘jelek’ akan mengklaim

memiliki pertumbuhan yang menakjubkan (mengesankan) atau secara implisit

menyiratkan bahwa perusahaan yang mereka kelola berkualitas bagus. Seringkali

manajer juga mengklaim memiliki prospek perolehan laba (profitability prospects)

yang menarik. Seiring dengan berlalunya waktu yang mampu untuk membuktikan

mana yang memang bagus, perusahaan yang memiliki kualitas rendah akan

mendapatkan keuntungan dengan membuat klaim-klaim yang tidak benar bilamana

investor mempercayai klaim-klaim tersebut. Artinya, perusahaan yang sebenarnya

tidak berkualitas bagus memperoleh manfaat dengan menyiratkan aksi atau tindakan

tertentu.

Awalnya, teori sinyal diarahkan untuk menjelaskan masalah ketimpangan

informasi di pasar tenaga kerja (labor markets). Dalam perkembangannya, teori sinyal

diterapkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berkenaan dengan hal-hal yang

secara khusus melekat di dalam perusahaan. Model-model teori sinyal dikembangkan

dan diupayakan untuk mampu menjawab beberapa pertanyaan pokok terkait dengan

kebijakan perusahaan, misalnya kebijakan dividen (Spence, 1973), keputusan struktur

modal (capital structure) (Ross, 1977), penyajian atau pengungkapan informasi

secara sukarela (voluntary disclosures) (Ross, 1979), penahanan kepemilikan

manajerial dalam penawaran saham perdana (initial public offerings) (Leland dan

Pyle, 1977; dan Downes dan Heinkel, 1982), akuntansi nilai sekarang (current value

accounting) (Forker, 1984), dan seleksi sukarela auditor (Bar-Yosef dan Livnat,

3
4

1984). Artinya, teori sinyal dikembangkan ke dalam berbagai aplikasi di dalam

perusahaan.

Keberadaan masalah ketimpangan informasi ini, bagaimanapun juga telah

membuat investor memberikan penilaian yang rendah pada semua perusahaan.

Artinya, dibayangi oleh adanya keraguan atas kualitas perusahaan yang sebenarnya

dan adanya kesamaan anggapan bahwa perusahaan pada umumnya kurang bagus,

maka akan memunculkan anggapan umum bahwa semua perusahaan pada umumnya

adalah jelek atau tidak baik. Dalam bahasa teori sinyal (signaling theory), hal ini

disebut dengan istilah keseimbangan mengumpul (“pooling equilibrium”). Dalam hal

ini, baik perusahaan yang bagus maupun yang tidak bagus ditempatkan pada penilaian

yang sama. Artinya, semua perusahaan dianggap tidak bagus.

Manajer perusahaan yang bagus memiliki keinginan (insentif) untuk

bagaimanapun juga meyakinkan investor bahwa perusahaan mereka harus dinilai

lebih bagus berdasarkan pada apa yang diketahui oleh manajer bahwa prospek

perusahaan memang bagus. Mereka tentu berharap bahwa jika memang bagus, pasar

tentu akan beranggapan kalau perusahaan tersebut memang dinilai lebih bagus.

Bagaimana caranya agar manajer perusahaan yang bagus dapat menunjukkan kepada

investor bahwa perusahaannya layak dinilai bagus dengan cara sebisa mungkin tidak

dapat ditiru oleh manajer perusahaan yang berkualitas rendah?.

Tulisan ini dimaksudkan untuk mengulas teori sinyal dalam konteks

perusahaan yang didalamnya ditekankan pada pembahasan terhadap empat teori

utama yang selama ini dikenal dalam manajemen keuangan. Bagian dua mengungkap

mengapa sinyal yang ditunjukkan oleh perusahaan itu penting. Bagian tiga membahas

empat teori sinyal. Bagian tiga diikuti oleh pembahasan tentang isu-isu penting di

4
5

sekitar praktik manajemen dalam menyiratkan informasi. Bagian akhir menyimpulkan

tulisan ini.

2. Mengapa Sinyal Penting?

Akerlof (1970) menyajikan suatu ilustrasi yang sederhana tetapi kaya makna

atas pentingnya sinyal untuk membedakan kualitas yang bagus atas suatu perusahaan

dibandingkan dengan perusahaan lain. Perusahaan yang secara kualitas memang lebih

bagus dituntut untuk kreatif dan berani menggunakan sinyal-sinyal tertentu yang

menyiratkan bahwa diri mereka memang bagus dan tidak dapat disamakan dengan

perusahaan lain yang tidak bagus. Salah satu metode yang dapat dilakukan oleh

manajer adalah dengan menerapkan sebuah sinyal (signal) yang bisa jadi cukup mahal

dan masih dapat dilakukan (affordable), oleh perusahaan mereka, tetapi akan sangat

susah dilakukan atau ditiru oleh perusahaan yang berkualitas rendah karena memang

terlalu mahal bagi mereka. Salah satu metode yang paling efektif dan bermanfaat

adalah pemberian dividen dalam jumlah besar (high dividend pay-out).

Strategi pembagian dividen dalam jumlah besar ini bisa jadi sangat mahal bagi

perusahaan untuk diterapkan karena dapat mengurangi kemampuan perusahaan

dalam memenuhi rencana pengeluaran (anggaran) modalnya yang akan dapat lebih

menguntungkan bilamana perusahaan tidak melakukan kebijakan pemberian dividen

dalam jumlah besar. Tetapi hal ini tidak menjadi masalah karena perusahaan masih

mampu untuk mendapatkan keuntungan guna mendanai kebutuhan investasi dan

memberikan penerimaan tunai kepada investor.

Di sisi lain, sinyal dalam bentuk jumlah dividen yang besar mungkin akan

sangat mahal bagi perusahaan yang kualitasnya kurang bagus (jelek) untuk ditiru

5
6

bilamana mereka harus mengorbankan kesempatan untuk berinvestasi dengan

membayar dividen dalam jumlah besar. Dana yang dikeluarkan untuk meniru aksi

perusahaan besar sangat mungkin dalam jangka panjang akan memberatkan

perusahaan karena akan mengerogoti cadangan keuangan (reserve). Jika harus tetap

mengikuti apa yang dilakukan oleh perusahaan yang bagus dan besar, maka

perusahaan yang berkualitas kurang bagus dan biasanya cenderung menjadi pengikut,

harus mengorbankan aktivitas yang membutuhkan dana karena dana yang tersedia

harus diwujudkan dalam bentuk dividen tunai. Hal ini tentu sebuah keputusan yang

sangat berat dan sulit dilakukan oleh perusahaan dengan kualitas kurang bagus yang

kebanyakan masih membutuhkan banyak dana guna mendukung pertumbuhannya.

Dengan anggapan bahwa investor memahami kondisi ini, maka investor akan

tetap menilai perusahaan bagus, yaitu perusahaan yang mampu membayar dividen

dalam jumlah besar, dengan nilai yang baik dan menilai perusahaan yang kurang

bagus dengan benar, karena tidak mampu membayar dividen dalam jumlah besar.

Oleh karena itu, investor dikatakan mampu atau memiliki kemampuan untuk

membedakan mana yang bagus dan mana yang tidak bagus. Kondisi ini melahirkan

situasi yang disebut keseimbangan pemisahan (“separating equilibrium”). Artinya,

perusahaan harus mampu memisahkan diri dari lingkungan yang telah menganggap

bahwa perusahaan masuk dalam kelompok perusahaan kurang bagus (jelek).

Konsep separating equilibrium seringkali diterapkan pada perusahaan yang

mengalami undervalued daripada perusahaan yang overvalued. Perusahaan kurang

bagus sering diidentikkan dengan overvalued, sementara perusahaan baik

diidentikkan dengan undervalued. Motivasi yang mendorong perusahaan undervalued

untuk memisahkan diri dari perusahaan overvalued adalah karena perusahaan tidak

6
7

mau dianggap jelek padahal sebenarnya perusanaan tersebut adalah perusahaan yang

bagus. Menurut konsep teori sinyal, perusahaan yang undervalued dapat memisahkan

diri dengan memberi sinyal yang mahal ke pasar modal dimana perusahaan yang

overvalued tidak mampu menirunya. Perusahaan undervalued dapat menggunakan

sarana “cheap talk” dimana perusahaan overvalued tidak akan meniru karena tidak

ada manfaat jika ada informasi yang terungkap sebagai konsekuensi dari aktivitas

“cheap talk” tadi. Cheap talk sendiri diartikan sebagai bentuk pengungkapan sinyal

tanpa harus bersusah payah, misalnya dengan menyampaikan rencana penebritan

saham.

Sinyal yang diisyaratkan oleh perusahaan dapat berbentuk sinyal mahal (costly

signaling) atau sinyal murah (costless signaling). Menurut literatur sinyal mahal

(Spence, 1973), jika biaya sinyal lebih tinggi bagi perusahaan yang berciri jelek

daripada perusahaan yang berciri bagus, maka perusahaan yang berciri jelek tidak

akan menirunya. Untuk itu, sinyal yang ditunjukkan harus sangat berarti (credible)

dan tidak mudah ditiru. Ross (1977) menunjukkan bagaimana utang dapat digunakan

sebagai sinyal mahal untuk membedakan perusahaan yang undervalued dari yang

overvalued. Menurut konsep sinyal murah (Crawford dan Sobel, 1982), perusahaan

dapat menggunakan pesan yang tidak mengikat dan tidak perlu diverifikasi. Salah satu

sinyal yang termasuk sinyal murah adalah rencana pembelian kembali saham (stock

repurchase). Namun demikian, Hertzel dan Jain (1991) menjelaskan bahwa

pembelian kembali saham juga dapat menjadi sinyal mahal. Brennan dan Hughes

(1991) membuat model tentang bagaimana perusahaan yang undervalued

menggunakan stock split yang dianggap sebagai sinyal murah yang diyakini dapat

memotivasi broker untuk menyajikan laporan yang menarik tentang perusahaan.

7
8

Penelitian yang dilakukan oleh Huang et al. (2007) tidak menemukan bukti bahwa

stock split merupakan sinyal untuk kemampulabaan di masa mendatang yang kuat.

Berdasarkan uraian di atas, kita mungkin dapat menyimpulkan bahwa sebuah

sinyal (signal) harus memiliki dua syarat untuk dapat berguna di pasar yang

dikarakterisasi oleh adanya ketimpangan informasi. Pertama, sinyal tersebut harus

‘sangat mahal’ bagi perusahaan yang melakukannya, dalam arti bahwa perusahaan

tidak akan menerapkannya kecuali sinyal tersebut dimaksudkan untuk memberikan

‘informasi’ kepada investor. Artinya, sinyal yang dipilih atau diterapkan harus

merupakan proyek ber-NPV negatif yang anggap saja membakar atau membuang-

buang uang (burn money). Kedua, sinyal yang dipilih harus lebih sangat mahal bagi

perusahaan yang lebih lemah (jelek) dibandingkan dengan perusahaan yang lebih

bagus (baik).

Selain dalam bentuk pembayaran dividen, sinyal lain yang mungkin akan

terasa sangat mahal bagi perusahaan yang jelek untuk ditiru telah diajukan dalam

penerapan teori sinyal. Leland dan Pyle (1977) membuat model yang menunjukkan

bagaimana pengusaha yang sedang mencari pembiayaan dari luar untuk investasi

proyeknya dapat menunjukkan bahwa proyek dimaksud memiliki nilai yang tinggi

(high value) dengan menahan kepemilikan (retaining the proportion of ownership)

atas proyek tersebut. Dalam hal ini pemilik perusahaan menggunakan tingkat

kepemilikan saham, yaitu dengan menahan porsi saham lebih besar (higher retained

ownership). Bukti-bukti empiris mendukung teori ini dengan temuan bahwa semakin

tinggi bagian saham yang ditahan oleh pemilik lama pada perusahaan yang akan go

public, semakin tinggi nilai perusahaan. Hasil penelitian Downes dan Heinkel (1982)

dan Grinbalt dan Hwang (1989) mendukung teori Leland dan Pyle (1977).

8
9

Adapun contoh lain dari suatu sinyal adalah penggunaan utang dalam struktur

modal (capital structure) perusahaan. Dalam situasi ini, perusahaan meningkatkan

beban utangnya. Dalam skenario ini perusahaan yang berani meningkatkan beban

utangnya diyakini memiliki kemampuan untuk membayar kembali utangnya, karena

hanya perusahaan yang prospektif yang berani mengambil risiko untuk meningkatkan

beban utangnya. Investor akan menilai dan menghargai lebih bagus perusahaan yang

memiliki beban utang tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang berutang rendah.

Tentu saja dalam hal ini perusahaan dimaksud haruslah perusahaan yang sudah

mapan. (Lihat diskusi yang lebih lengkap untuk bukti-bukti awal di tahun 1970an

dalam Ross, 1977).

Model-model sinyal yang berkembang sejauh ini memang cukup menarik

untuk dipelajari, karena kemampuannya dalam memprediksi cenderung manghasilkan

sesuatu yang masuk akal bahkan bagi orang awan sekalipun. Tentu saja perlakuan

yang sama tidak dapat diterapkan pada paper awal yang membahas model sinyal yang

banyak dihiasi oleh pendekatan matematis yang rumit untuk dipahami oleh orang

biasa. Sayangnya, bagi para pendukung model ini, kemampuan empiris model ini

belum begitu dapat diandalkan karena biasanya teori sinyal memprediksi sesuatu yang

berlawanan dengan apa yang kenyataannya ditemui dalam perilaku perusahaan.1

Misalnya, model sinyal biasanya memprediksi bahwa perusahaan yang paling

menguntungkan dan paling menjanjikan (dalam hal prospek pertumbuhan) akan juga

membayar dividen dalam jumlah besar dan akan memiliki rasio utang terhadap modal

sangat tinggi.

1
Lihat Smith dan Watts (1992) untuk perbandingan langsung yang menarik antara model
sinyal dan model biaya keagenan dalam perilaku perusahaan.

9
10

Dalam praktik nyata, sayangnya, perusahaan teknologi yang tumbuh cepat

cenderung sama sekali tidak membayar dividen sementara perusahaan dalam industri

yang stabil biasanya membayar dividen atas hampir semua labanya. Misalnya, sektor

biotechnology atau penerbangan yang tidak pernah membayar dividen atau sektor

minyak dan gas yang membagi dividen sampai tiga perempat dari laba bersihnya. Hal

yang sama juga ditemui dalam kaitannya dengan struktur modal. Rasio utang yang

sebenarnya cenderung berhubungan terbalik dengan tingkat pertumbuhan industri dan

keuntungan. Di samping masalah-masalah tersebut, model sinyal masih tetap

merupakan alat yang bernilai dalam teori keuangan, baik itu karena model-model

awal sudah dimodifikasi untuk secara lebih akurat mencerminkan realitas atau karena

kemampuan prediksi model-model tersebut di bidang selain kebijakan dividen dan

struktur modal telah terbukti lebih masuk akal dan kuat.

3. Jenis-Jenis Model Sinyal

Megginson (1996) merangkum bahwa setidaknya ada empat pilar utama

model sinyal yang dikenal dalam literatur keuangan. Keempat model dimaksud adalah

(1) Model sinyal berbasis masa jatuh temponya utang (signaling models of debt

maturity choice), (2) Model sinyal berbasis investasi korporasi (signaling models of

corporate investment), (3) Model sinyal struktur keuangan (signaling models of

financial structure), dan (4) Model sinyal dividen (dividend signaling model). Berikut

ini adalah ulasan masing-masing jenis model sinyal dimaksud.

3.1 Model Sinyal Berbasis Masa Jatuh Temponya Utang

Menurut model sinyal berbasis masa jatuh temponya utang manajer akan

memilih lama atau pendeknya masa pembayaran atau jatuh tempo (maturity date)

10
11

utang sebagai salah satu sinyal yang dapat menunjukkan bagus tidaknya suatu

perusahaan. Manajer melakukan hal ini karena didorong oleh adanya ketimpangan

informasi antara mereka dan investor (pihak luar). Pada model sinyal atas struktur

jatuh temponya utang, sinyal ditunjukkan manakala perusahaan memiliki informasi

privat tentang rating kredit di masa mendatang (Flannery, 1986) dan penawaran

tender (tender offer) pada saat perusahaan yang menawar memiliki informasi privat

tentang sinergi yang akan diperoleh (Hirchleifer dan Titman, 1990). Brennan (1990)

dan Stem (1988) telah juga menunjukkan bahwa pertimbangan sinyal mungkin

mempengaruhi bukan saja keputusan keuangan tetapi juga keputusan investasi riil,

yaitu pada saat manajer memiliki kepentingan terhadap tingkat harga saat ini.

Dukungan atas model ini dilaporkan oleh Flannery (1986). Flannery

mengajukan suatu model klasik yang berbendapat atau beragumen bahwa perusahaan

yang bagus akan memilih mengeluarkan utang berjangka pendek dibandingkan

dengan perusahaan yang relatif kurang bagus. Dengan mengeluarkan utang berjangka

pendek, manajer perusahaan yang bagus menempatkan perusahaannya pada tingkat

risiko yang tinggi, yaitu mereka dituntut untuk dapat dengan segera memenuhi

kewajibannya, apalagi bila setelah beberapa waktu investor dapat mengetahui kinerja

atau hal-hal sensitif perusahaan. Sementara itu, mengingat kondisi perusahaan yang

sudah bagus dan pertimbangan yang matang, manajer perusahaan yang bagus tidak

kuatir akan kemampuan untuk dapat membayar kewajibannya itu. Oleh karena itu,

manajer perusahaan yang kurang bagus akan berfikir ulang untuk mengambil risiko

dengan mencontoh apa yang dilakukan oleh manajer perusahaan yang bagus.

Manajer perusahaan yang kurang bagus akan cenderung untuk memilih

mengeluarkan obligasi berjangka panjang yang tidak terbebas dari kemungkinan

11
12

adanya negosiasi ulang atas persyaratan obligasi. Selanjutnya, Flannery (1986),

dengan menggunakan alibi bahwa pengeluaran sekuritas merupakan alternatif yang

mahal, menemukan bahwa separating equilibrium akan muncul dengan mana

perusahaan yang bagus akan mengeluarkan utang jangka pendek (yang sahamnya

cenderung akan mendapatkan apresiasi di pasar modal), sementara perusahaan yang

kurang bagus akan mengeluarkan utang berjangka panjang. Implikasi dari model yang

diajukan oleh Flannery adalah jika pengeluaran sekuritas secara ekonomis tidak

mahal, maka pooling equilibrium akan terjadi dimana investor tidak mampu untuk

membedakan mana perusahaan yang bagus dan mana yang kurang bagus.

Sementara itu, Diamonds (1991, 1993) mengajukan model ketimpangan

informasi berbasis pilihan struktur kedewasaan (jatuh tempo). Dalam tulisannya,

tentang pilihan struktur kedewasaan utang, Diamonds (1991) menggunakan model

keseimbangan antara keinginan peminjam (borrowers) untuk mengeluarkan utang

jangka pendek (berkenaan dengan informasi privat tentang prospek cerah perusahaan)

dan risiko likuiditas (liquidity risk) yang melekat apabila peminjam menggunakan

pinjaman jangka pendek. Risiko likuiditas diartikan sebagai risiko pada mana

peminjam akan kehilangan manfaat dari kendali sewa (control rents) yang tidak

diperhitungkan dalam suatu kondisi dimana penyandang dana tidak berkenan untuk

mendanai ulang bilamana berita-berita kurang menarik muncul. Kendali sewa

diartikan sebagai manfaat keuangan dan non-keuangan yang diperoleh manajer dan

yang tidak dapat didistribusikan kepada pemegang sekuritas. Dalam model ini,

Diamonds menyatakan bahwa perusahaan berkinerja sangat baik akan memilih untuk

mengeluarkan utang jangka pendek, adapun perusahaan yang berkinerja sangat buruk

tidak memiliki alternatif selain meminjam utang jangka pendek, dan perusahaan

12
13

berkinerja menengah akan mengeluarkan utang jangka panjang. Bentuk tiga

kemungkinan ini merupakan sisi menarik model teoritis yang dikembangkan oleh

Diamonds.

Dalam artikelnya yang lain, Diamonds (1993) membuat model yang

menjelaskan bagaimana peminjam dengan informasi privat tentang prospek kreditnya

memilih kedewasaan dan senioritas suatu jenis utang. Penggunaan utang berjangka

pendek sekali lagi meningkatkan risiko likuiditas bagi manajer perusahaan dan juga

meningkatkan sensitivitas biaya-biaya pendanaan atas informasi baru. Oleh karena

itu, hanya perusahaan-perusahaan besar dan mapan yang akan menggunakan

pendanaan utang jangka pendek. Model yang dikembangkan oleh Diamonds

memprediksi bahwa utang jangka pendek akan lebih senior daripada utang jangka

panjang, dan keberadaan utang jangka panjang akan memungkinkan untuk

pengeluaran tambahan utang senior selama strategi tersebut akan meningkatkan

sensitivitas biaya-biaya pendanaan atas informasi baru untuk suatu derajat proteksi

tertentu pada kendali manajer.

Goswani, Noe, dan Rebello (1995) mengembangkan model lain. Dalam model

ini, pilihan struktur kedewasaan merupakan suatu fungsi dari distribusi temporal

ketimpangan informasi. Misalnya, apabila ketimpangan informasi benar-benar

dikaitkan dengan ketidakpastian berkenaan dengan aliran kas jangka panjang, maka

perusahaan akan memilih untuk mengeluarkan utang jangka panjang, misalnya utang

berbasis pembayaran kupon yang secara parsial membatasi atau mengurangi porsi

untuk pembayaran dividen. Di sisi lain, jika ketimpangan informasi secara acak

terdistribusikan antara utang jangka pendek dan jangka panjang, maka perusahaan

akan cenderung untuk menggunakan pinjaman jangka pendek. Selanjutnya, Goswani

13
14

et al. mampu untuk menjelaskan popularitas baik itu utang jangka pendek maupun

utang jangka panjang, termasuk juga keberadaan pembatasan dividen dan obligasi

berbasis pembayaran dividen. Implikasi lain dari model yang dikembangkan oleh

Goswani et al. adalah tidak adanya keharusan untuk berbenturan dengan ketidak-

sempurnaan pasar (market imperfections) dan biaya-biaya keagenan (agency costs).

Artinya, model tersebut tidak memerlukan batasan-batasan yang ketat tentang tingkat

kesempurnaan pasar dan juga keberadaan biaya-biaya keagenan sebagai salah satu

pembatas yang dalam banyak hal dapat mempengaruhi keabsahan dari suatu model.

3.2. Model Sinyal Investasi Korporasi

Investasi modal dapat dijadikan sebagai suatu model untuk menunjukkan

tingkat keuntungan perusahaan (firm’s profitability) kepada investor di pasar yang

dikarakterisasi oleh ketimpangan informasi. Dalam hal ini manajer perusahaan yang

bagus dapat memilih atau menetapkan untuk melakukan pengeluaran dana yang besar

untuk investasi yang tidak dapat dengan mudah ditiru oleh perusahaan yang kurang

bagus. Manajer perusahaan yang bagus bisa jadi mengorbankan keuntungan dengan

harapan bahwa mereka mampu membedakan keunggulannya kepada investor.

Beberapa peneliti mencoba menguji atau meneliti kebenaran teori ini. John

dan Nachman (1985), Miller dan Rock (1985) dan Ambarish, John, dan Williams

(1987) mengembangkan suatu model dimana tingkat (level) pengeluaran investasi

yang dipilih oleh manajemen merupakan sinyal yang efektif mengenai tingkat aliran

kas perusahaan (firm’s cah flow). Sinyal tersebut dikatakan efektif bilamana sinyal

dimaksud tidak dapat ditiru dengan mudah oleh perusahaan yang kurang lemah tanpa

mengorbankan cadangan uangnya (cash reserve). Dalam skenario ini, peningkatan

14
15

investasi menunjukkan berita bagus kepada investor sementara penurunan investasi

merupakan berita yang kurang bagus bagi investor. Akibatnya, hanya perusahaan-

perusahaan yang relatif lebih berani mengeluarkan dana tinggi untuk investasi akan

lebih dinilai bagus oleh investor. Sedangkan perusahaan yang tidak mampu

mengeluarkan dana untuk investasi akan kurang mendapatkan respon baik di mata

investor.

Umumnya manajer memiliki dorongan untuk melampirkan informasi yang

lebih banyak manakala perusahaan memiliki prospek laba atau peluang pertumbuhan

lebih bagus di masa mendatang. Dalam konteks ini, investor disisi lain akan

cenderung meminta informasi lebih banyak agar mampu menilai perusahaan.

Sejumlah penelitian mencoba untuk menguji apakah peluang pertumbuhan

perusahaan di masa mendatang menjadi alasan untuk mengungkapkan sinyal-sinyal

tertentu. Misalnya, Gul (1999) menggunakan observasi berbasis longitudinal pada

saham-saham di Shanghai tahun 1990-1995 untuk menguji hubungan antara tingkat

kepemilikan saham oleh pemerintah, peluang pertumbuhan perusahaan yang diukur

dengan IOS dan keputusan kebijakan perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa kebijakan dividen dan pendanaan dengan sumber utang dipengaruhi oleh

tingkat kepemilikan saham oleh pemerintah dengan koefisien positif, sedangkan IOS

berpengaruh negatif.

Hossain et al (2005) menguji hubungan antara tingkat disklosur atas informasi

harapan dan peluang investasi (IOS) pada perusahaan di Selandia Baru. Mereka

menemukan bukti bahwa tingkat disklosur informasi berhubungan positif dengan IOS.

Sementara IOS sendiri dipengaruhi oleh investasi perusahaan pada aset tetap dan

kemampulabaannya. Temuan lainnya menunjukkan bahwa tingkat disklosur yang

15
16

berkaitan dengan prospek masa depan ditentukan oleh proporsi dewan direksi dari

luar.

Bukti empiris yang ditemukan oleh Gul (1999) dan Hossain et al. (2005)

secara eksplisit menyiratkan bahwa perusahaan menggunakan sinyal tertentu untuk

menunjukkan kepada pihak luar atas prospek perusahaan di masa mendatang. Dengan

kata-kata lain, manajer percaya bahwa sinyal peluang pertumbuhan tidak harus

dinyatakan dalam bentuk yang demonstratif melainkan cukup dengan isyarat-isyarat

tertentu yang diyakini bahwa pasar akan memaknai isyarat tersebut secara

proporsional.

3.3 Model Sinyal Struktur Keuangan

Hipotesis dalam teori model sinyal struktur keuangan (signaling models of

financial structure) masih bermuara pada ketimpangan informasi antara manajer dan

investor (sebagaimana dalam pecking order hypothesis). Dalam model ini ditetapkan

bahwa perusahaan berkualitas bagus akan menggunakan struktur modal dalam upaya

untuk membedakan dirinya dari perusahaan yang berkualitas kurang bagus. Sinyal

yang dipilih dalam konteks ini memang cukup berisiko (mahal), yaitu dengan memilih

utang relatif tinggi dalam struktur modalnya. Hanya manajer perusahaan yang dapat

mengatasi kemungkinan kegagalan keuangan (financial distress) yang berani

mengambil risiko memilih sinyal ini. Oleh sebab itu, investor akan menghargai lebih

bagus dan investor memiliki kemampuan untuk membedakan dengan cepat mana

perusahaan yang bagus dan mana yang kurang bagus dari struktur modal suatu

perusahaan. Dalam hal ini investor telah dapat melakukan pemisahan. Dengan kata-

kata lain, keseimbangan pemisahan (separating equilibrium) dapat dicapai. Walaupun

16
17

model sinyal berbasis struktur modal cukup menarik, model-model yang ada tidak

menjelaskan perilaku struktur modal yang ada dengan baik.

Selain itu, bagian lain dari literatur keuangan menjelaskan perilaku struktur

modal dari sudut pandang teori permainan (game theory). Dalam hal ini, literatur

tersebut memodelkan industri riil sebagai bentuk oligopoli, yaitu suatu bentuk pasar

yang menggambarkan bahwa beberapa perusahaan memiliki pengaruh yang signifikan

di pasar. Selanjutnya, teori tersebut menguji bagaimana perusahaan dapat

menggunakan keputusan-keputusan struktur modalnya untuk bekerja sama dan

berkomunikasi sesamanya sebagai langkah untuk memaksimalkan keseluruhan

keuntungan industri dimana perusahaan-perusahaan tersebut beroperasi. Dalam hal

ini, rasio leverage dapat mengkomunikaskan baik itu kemauan untuk bekerja sama

ataupun komitmen untuk menekan perusahaan lain jika perusahaan-perusahaan

tersebut mengambil tindakan yang berbeda.

Sejumlah penelitian telah dilakukan dalam upaya untuk menguji hipotesis ini.

Misalnya, Brander dan Lewis (1986), Maksimovic (1988), dan Maksimovic dan

Zechner (1991) menunjukkan bukti bahwa tingkat leverage perusahaan dapat

mengkomunikasikan baik keinginan untuk bekerja sama (cooperate) atau komitmen

untuk menghukum perusahaan lain bilamana perusahaan yang kurang mampu berani

mengambil atau mencontoh apa yang dilakukan oleh perusahaan yang relatif lebih

bagus kualitasnya. Dalam hal ini rasio leverage dapat dijadikan sebagai patokan untuk

menilai bagus tidaknya perusahaan.

3.4 Model Sinyal Dividen

Model sinyal dividen (signaling models of dividend) didasarkan pada asumsi

bahwa dividen perlu dibagikan dalam rangka untuk memberikan sinyal tentang

17
18

adanya informasi positif (prospek bagus) perusahaan dari pihak internal (manajer)

yang diyakini memiliki kelebihan informasi kepada pemegang saham di pasar yang

dicirikan oleh adanya ketimpangan informasi. Manajemen atau para pengelola

perusahaan memiliki akses dan pengetahuan terhadap informasi lebih bagus

dibandingkan dengan pemegang saham (calon pemegang saham). Perlu dicatat bahwa

model sinyal dividen merupakan salah satu model sinyal yang paling banyak diteliti.

Anggapan umum seakan sepakat bahwa pembagian dividen tunai tidak hanya

diyakini sebagai sesuatu yang mahal bagi manajemen (perusahaan), tetapi juga bagi

pemegang saham. Bagi perusahaan, pembagian dividen tunai merupakan bentuk

pengorbanan manajemen (perusahaan), dimana sebenarnya bila perusahaan

memerlukan dana untuk pengembangan (investasi), laba yang diperoleh tidak harus

dalam jumlah besar dibagikan kepada pemegang saham. Bagi pemegang saham,

penerimaan dividen tunai harus diimbangi dengan pembayaran pajak. Oleh karena itu,

hanya perusahaan besar dan mapan saja yang memiliki kemungkinan lebih besar

untuk mampu membayar dividen tunai dalam jumlah relatif besar. Artinya,

perusahaan tersebut masih memiliki kelebihan dana untuk keperluan investasi

walaupun sebagian keuntungan dari usahanya telah dibayarkan dalam bentuk dividen

tunai kepada pemegang saham.

Bagi perusahaan kecil (small firms) atau perusahaan dengan kondisi keuangan

relatif lemah, dorongan untuk membagi dividen dalam jumlah besar tentunya tidak

sama dengan perusahaan besar. Artinya, perusahaan kecil tidak memiliki dorongan

untuk meniru perusahaan besar dengan membagi dividen karena memang secara

finansial masih belum memungkinkan.

18
19

Konsekuensi dari skenario tersebut adalah perusahaan besar dan mapan

(established firms) akan dapat membedakan dirinya dari perusahaan yang lebih kecil

secara lebih baik. Jika perusahaan besar mampu melakukan sesuatu dan tidak mampu

ditiru oleh perusahaan lain dan mampu memisahkan diri dari perusahaan di

sekitarnya, maka kondisi ini disebut dengan istilah keseimbangan pemisah

(separating equilibrium). Artinya, perusahaan dengan kemampu-labaan lebih tinggi

(dan biasanya perusahaan tersebut memiliki peluang investasi yang lebih bernilai)

akan mampu membayar dividen dan tidak dapat ditiru oleh perusahaan kecil (lemah)

walaupun harus mengorbankan sebagian usulan investasinya.

Dalam konteks pasar modal yang sempurna, kira-kira bagaimana sebenarnya

peran kebijakan dividen dalam kehidupan perusahaan. Bila kita menyikapi fenomena

ini, mau tidak mau kita harus menoleh kembali ke belakang dan mencermati model

relevansi kebijakan dividen (irrelevance proposition of dividend policy) yang

dikembangkan oleh Miller dan Modligiani (1961), yang kesimpulan akhirnya

menyatakan bahwa kebijakan dividen adalah tidak relevannya. Dalam dunia dimana

pasar modalnya adalah sempurna dan akses terhadap informasi tidak terbatas,

kebijakan dividen tidak dapat mempengaruhi nilai pasar suatu perusahaan. Artinya,

nilai perusahaan adalah independen dari kebijakan dividennya

Anggapan yang menyatakan bahwa tingkat keuntungan menentukan

kemampuan perusahaan dalam membayar dividen disamping juga kompetensi

manajemennya tidaklah dapat dengan serta merta diterima. Namun demikian, tidak

berarti bahwa bila kita mencoba mencermati ada tidaknya hubungan antara kebijakan

dividen dan nilai perusahaan merupakan upaya yang sia-sia. Setidaknya, jika kita mau

meneliti pada kondisi apa sebenarnya kebijakan dividen mampu mempengaruhi

19
20

persepsi pemegang saham (investor) atas suatu perusahaan atau bagaimana

seharusnya manajer menetapkan kebijakan dividen, maka kita akan mendapatkan

gambaran yang lebih nyata atas fenomena tersebut.

Bukti empiris tentang kandungan informasi atas pengumuman dividen juga

menawarkan kesempatan tersendiri untuk menjelaskan pembentukan dan pemikiran

pengembangan atas model sinyal. Bhattaracharya (1989) dan John dan William

(1985) mengembangkan model yang menekankan pada kemampu-pajakan dividen,

sementara Miller dan Rock (1985) membuat model yang menekankan pada suatu

hubungan antara dividen dan investasi untuk menyediakan biaya sinyal yang

diperlukan. Semua model yang disebutkan tadi berasumsi secara implisit bahwa orang

dalam (insider) yang memiliki kelebihan informasi (informed insider) menempatkan

hubungan positif pada baik harga saham saat ini maupun masa mendatang.

Li dan Zhao (2008) menguji apakah ketimpangan informasi mempengaruhi

kebijakan dividen. Pengamatan terhadap 22.413 tahun perusahaan selama 1983-2003

di pasar modal Amerika (NYSE) yang mereka lakukan menunjukkan bahwa

perusahaan yang mengalami ketimpangan informasi cenderung membayar dividen

lebih rendah, cenderung tidak membayar dividen, kurang tertarik untuk menginisiasi

dividen, dan cenderung tidak menaikkan dividen. Secara umum, Li dan Zhao tidak

menemukan bukti kuat bahwa model sinyal dividen terbukti. Analisis terhadap

fenomena pembelian kembali saham (stock repurchase) menunjukkan bahwa teori

sinyal dividen juga kurang terdukung.

4. Isu-isu Penting Lain

Terlepas dari apa yang disampaikan oleh Miller dan Modligiani (1961) bahwa

aksi manajerial memiliki atau mengandung informasi (information content) kepada

20
21

pihak luar (investors atau pihak lain) yang kurang memiliki informasi, model resmi

pertama terhadap fenomena tersebut dikembangkan oleh Leland dan Pyle (1977) dan

Ross (1977) dimana mereka menerapkan dan mengembangkan hasil kerja Rothschild

dan Stiglitz (1976) dan Spence (1973). Leland dan Pyle mungkin adalah yang pertama

yang mengungkapkan suatu kejadian atau transaksi tertentu dalam sejarah keuangan.

Sementara Ross adalah yang pertama memberi perhatian terhadap pentingnya fungsi

kompensasi manajerial, walaupun Ross menganggap bahwa fungsi tersebut sebagai

variabel luar.

Dengan menggunakan metode yang saat ini sudah dikenal luas, yaitu

metodologi studi kejadian atau studi peristiwa (event study), Asquith dan Mullins

(1986) menemukan bahwa harga saham cenderung turun (jatuh) pada peristiwa

pengumuman pengeluaran saham (stock issue). Smith (1990) merangkum sejumlah

penelitian yang mendukung anggapan tersebut. Kenyataan ini menimbulkan

pertanyaan mendasar, yaitu “Mengapa manajer mengambil kebijakan yang kurang

menguntungkan bahkan merugikan pemegang saham?”, yang jelas-jelas tidak populis

di mata pemegang saham. Padahal filisofi di balik kegiatan operasional perusahaan

adalah memakmurkan pemegang saham. Myers dan Majluf (1984) menawarkan

penjelasan yang elegan dalam konteks seleksi balikan (adverse selection). Dalam

modelnya, Myers dan Majluf, tidak seperti dalam Leland dan Pyle (1977) dan Ross

(1977), menyatakan bahwa manajer yang memiliki informasi pribadi (privat) sangat

akurat diasumsikan bekerja demi kepentingan pemegang saham lama.

Logue (1973) mungkin merupakan peneliti pertama yang mengungkap

fenomena underpricing dalam penawaran saham perdana (initial public offering =

IPO). Namun demikian, baru pada tahun 1986 fenomena yang mengarah pada

21
22

penjelasan perilaku seleksi balikan yang dialami oleh investor yang tidak terinformasi

(tidak memiliki kelebihan informasi) disampaikan oleh Rock (1986). Teori seleksi

balikan di pasar IPO mendapat dukungan melalui penelitian Koh dan Walter (1989)

dan upaya yang paling baru yang mencoba menjelaskan fenomena underpricing

sebagai sinyal kualitas kurang mendapat dukungan bukti empiris (lihat misalnya hasil

laporan Michaely dan Shaw, 1994).

Satu catatan penting yang harus diperhatikan adalah model yang dikemukakan

oleh Rock (1986) bisa jadi lebih cocok dan dapat diterapkan pada sistem yang berlaku

di negara Inggris atau negara-negara persemakmuran (commonwealth) yang telah

mengadopsi sistem Inggris sebagai model formal dalam penawaran umum dan kurang

dapat diterapkan dalam konteks sistem yang berlaku di Amerika Serikat. Model lain

yang mencerminkan keberpihakan terhadap sistem penawaran yang berlaku di

Amerika Serikat adalah yang dikemukan oleh Spatt dan Srivastava (1991) yang

memberi tekanan insentif bagi investor potensial untuk mengungkap penilaian mereka

yang sebenarnya atau Welsch (1992) yang melakukan analisis atas konsekuensi

dengan melakukan pendekatan pembeli potensial atas suatu penawaran umum atau

penjualan saham baru.

Model Spatt dan Srivastava (1991) dan Welsch (1992) mengasumsikan

perilaku strategik dalam bagian penjamin emisi (underwriter) atau investor dan

model-model yang lain yang semuanya mengarah pada penekanan pentingnya

perhatian pada hal-hal penting berkenaan dengan mekanisme institusional. Benveniste

dan Wilhelm (1990) dan Chowdhury dan Sherman (1994) secara eksplisit melakukan

analisis terhadap implikasi perpedaan aturan institusi pada IPO. Bukti akhir-akhir ini

yang mengindikasikan terjadinya return negatif dalam jangka panjang (long-run

22
23

overpricing) baik terhadap penawaran perdana maupun penawaran terbatas (right

issue) memberikan peluang untuk diteliti dan merupakan tantangan bagi para ahli

manajemen keuangan.

Karena penerbit saham (sekuritas) baru (issuer of new shares) menghadapi

seleksi balikan, adalah suatu yang alami (biasa) untuk memperhitungkan bagaimana

perusahaan dapat memberikan sinyal tentang kemampuannya dengan pilihan sekuritas

dan sarana lain. Masulis (1980) menemukan bukti bahwa perubahan struktur modal

murni yang dikaitkan dengan pertukaran penawaran (exchange offer) meyebabkan

perubahan pada harga saham. Beberapa peneliti, misalnya Brennan dan Kraus (1987),

Constatinides dan Grundy (1989), dan Heinkel (1982), mengembangkan model sinyal

dalam mana sebuah perusahaan dapat mengungkapkan tipe-tipe sinyal tertentu dengan

pilihan terhadap paket keuangan yang ada.

Kenyataan yang dapat dilihat dari model sinyal tersebut di atas

mengindikasikan adanya kekuatan teori tersebut. Sayangnya, model yang ada

cenderung kurang memiliki penjelas karena biasanya model tersebut kurang mampu

menghasilkan prediksi di luar yang seharusnya terjadi (efek samping). Williamson

(1994) menyebut kondisi ini sebagai “naive functionalism”. Khususnya, pada saat

suatu model menunjukkan bahwa instrumen tertentu dapat digunakan sebagai sinyal,

umumnya model tersebut tidak mampu menunjukkan mengapa satu instrumen harus

dipilih sedangkan yang lain tidak. Ambarish, John, dan Williams (1987) menelaah isu

ini dengan menganalisis kombinasi sinyal-sinyal yang dapat menghasilkan

keseimbangan pemisah (separating equilbrium) pada biaya minimum. Sementara

hampir semua model sinyal berasumsi bahwa hanya ada satu paramater atas distribusi

relevan yang disinyalkan, Hughes (1986) mengembangkan suatu model dalam mana

23
24

baik distribusi rata-rata maupun varian dicerminkan oleh aksi pilihan orang dalam

sendiri.

Selanjutnya, pilihan fungsi tujuan bagi orang dalam yang terinformasi

(informed insider) dalam model sinyal masih merupakan kesepakatan ad hoc dan

kadang-kadang kontroversial. Dybvig dan Zander (1991) mengekspresikan ketidak-

setujuannya dengan menyebut kontrak sub-optimal yang dikenakan oleh manajemen

Fiat dan mengajukan kontrak bagi hasil sederhana yang menghasilkan keputussan

investasi efisien dan memberikan motivasi bagi pengembangan model sinyal lainnya.

Tetapi, Pearsons (1994) menunjukkan bahwa model kontrak Dybvig-Zender tidak

konsisten terhadap waktu dalam hal bahwa akan ada dorongan (insentif) bagi

pemegang saham dan manajer untuk menegosiasi ulang kontrak dengan kondisi-

kondisi tertentu. Sayangnya masih belum ada analisis positif atas penawaran dan

khususnya proses politis, dengan mana kontrak kompensasi eksekutif ditetapkan,

walaupun saat ini ada perkembangan literatur pada kontrak kompensasi optimal bagi

manajer dalam konteks moral hazard, dalam banyak literatur manajer diasumsikan

menerima tidak lebih banyak dari upah cadangan.

5. Penutup

Kita telah membahas beberapa model sinyal yang telah diuji kekuatan

empirisnya. Pengujian-pengujian yang ada sejauh ini banyak dilakukan di negara-

negara yang maju, dalam hal ini adalah Amerika Serikat atau Inggris. Tentu saja

masih sangat terbuka kesempatan untuk menguji hipotesis model teori sinyal pada

konteks pasar modal atau negara yang berbeda. Pengujian ulang selain dimaksudkan

untuk menguji validitas eksternal juga dimaksudkan untuk mengetahui sampai sejauh

24
25

mana praktik-praktik penerapan teori sinyal di suatu negara dilakukan oleh

manajemen.

Pengujian susulan dapat dilakukan dengan secara langsung menguji variabel-

variabel yang diteliti oleh peneliti terdahulu, tetapi dapat juga dengan mengurangi

atau menambah jumlah variabelnya yang disesuaikan dengan kondisi dan keadaan

dimana penelitian tersebut akan dilakukan. Dari aktivitas ini diharapkan akan dapat

ditemukan teori baru yang lebih bagus atau mungkin teori baru yang benar-benar

berbeda dengan hipotesis yang sudah ada.

Dari apa yang tersaji kiranya dapat disimpulkan bahwa sinyal atau hal-hal

tertentu yang ditunjukkan oleh suatu perusahaan (manajer) dapat dijadikan sebagai

suatu tanda akan kualitas suatu perusahaan. Pemilihan suatu sinyal akan sangat

mempengaruhi kinerja suatu perusahaan. Hanya manajer perusahaan yang memiliki

kemampuan dan keyakinan untuk dapat secara eksplisit membedakan bahwa

perusahaannya lebih bagus dibandingkan dengan perusahaan lain yang akan

menyiratkan suatu sinyal. Selain itu, akan sangat mahal dan berisiko bagi perusahaan

yang kurang berkualitas untuk menirunya. Setiap keputusan pemilihan sinyal akan

memiliki implikasi langsung terhadap kinerja keuangan perusahaan. Pertimbangan

risiko dan tingkat pengembalian yang diharapkan (risk and expected return) tentunya

manjadi pegangan utama bagi manajer sebelum keputusan penerapan sinyal diambil.

Daftar Pustaka

Akerlof, G.A., 1970. The market for `Lemons': Quality uncertainty and the market
mechanism. Quarterly Journal of Economicsi, 84: 488-500.
Akhigbe, A., S.F. Borde, dan J. Madura, 1993. Dividend policy and signaling by
insurance companies. Journal of Risk and Insurance, 60: 413-428

25
26

Ambarish, R., K. John, dan J. Williams, 1987. Efficient signaling with dividends and
investments. Journal of Finance, 42(2): 321-343.
Asquith, P. dan D. Mullins, 1983. The impact of initiating dividend payments on
shareholders wealth. Journal of Business, 56: 77-96.
Asquith, P. dan D. Mullins, 1986. Signaling with dividends, stock repurchases, and
equity issues. Financial Management, 15: 27-44.
Bar-Yosef, S. dan J. Livnat, 1984. Auditor selection: An incentive signaling approach.
Accounting and Business Research, 54, Fall: 301-309.
Benveniste, L.M., dan W.J. Wilhelm, 1990. A comparative analysis of IPO proceeds
under alternative regulatory environments. Journal of Financial Economics,
28:173–207.
Bhattacharya, S., 1979. Imperfect information, dividend policy, and the bird in the
hand fallacy. Bell Journal of Economics, 10: 259-270.
Brander, J.A. dan T.R., Lewis, 1986. Oligopoly and financial structure. American
Economic Review, 76: 956-971.
Brennan, M.J. dan A. Kraus, 1987. Efficient financing under information asymmetry.
Journal of Finance, 42 (4): 1225-1243.
Brennan, M.J., 1990, Latent assets. Journal of Finance, 45 (3): 709-730.
Brennan, M.J., dan P. Hughes, 1991, Stock prices and the supply of information.
Journal of Finance, 46 (4): 1665-1691.
Chowdhury, B., dan A. Sheman, 1994, International differences in over-subscription
and underpricing IPOs, Working Paper, University of California Los Angeles
(UCLA).
Constantinides, G., dan B. Grundy, 1989. Optimal investment with stock repurchase
and financing as signals. Review of Financial Studies, 2: 445-465.
Crawford V.P. dan J. Sobel, 1982, Strategic information transmission. Econometrica,
50: 1431-1451.
Diamonds, D.W. 1991. Debt maturity structure and liquidity risk. Quarterly Journal
of Economics, 106: 711-737.
Diamonds, D.W. 1993. Seniority and maturity of debt contract. Journal of Financial
Economics, 33: 341-368.
Downes, D.H. dan R. Heinkel, 1982. Signaling and the valuation of unseasoned new
issues. Journal of Finance, 37 (1): 1-10.
Dybvig, P.H., dan J.F. Zender, 1991. Capital structure and dividend irrelevance with
asymmetric information. Review of Financial Studies, 4: 201-219.
Flannery, M.J. 1986. Asymmetry information and risky debt maturity choice. Journal
of Finance, 41 (1): 19-37.

26
27

Forker, J.J. 1984. Contract value accounting and the monitoring of managerial
performance: An agency based proposal. Accounting and Business Research,
54, Spring: 125-137.
Goswani, G., T., Noe., dan M. Rebello, 1995. Debt financing under asymmetric
information. Journal of Finance, 50 (2): 633-659.
Grinblatt, M., dan C.Y. Hwang, 1989. Signaling and the pricing of new issues.
Journal of Finance, 44 (2): 393-420.
Gul, Ferdinand A., 1999. Government share ownership, investment opportunity set
and corporate policy choices in China. Pacific-Basin Finance Journal,
7 (2): 157-172.
Heinkel, R., 1982. A Theory of capital structure relevance under imperfect
information. Journal of Finance, 37 (3): 1141-1150.
Hertzel, M., dan P. Jain, 1991. Earnings and risk changes around stock repurchases
tender offers. Journal of Accounting and Economics, 14: 253-274.
Hirshleifer, D. dan A.V. Thakor, 1992. Managerial conservatism, project choice and
debt. Review of Financial Studies, 5: 437-470.
Hirshleifer, D. dan S. Titman, 1990. Share tendering strategies and the success of
hostile takeover bids. Journal of Political Economy, 98: 295-324.
Hossain, Mahmud., K. Ahmed dan J. M. Godfrey, 2005. Investment opportunity set
and voluntary disclosure of prospective information: A simultaneous equations
approach. Journal of Business Finance & Accounting, 32 (5-6): 871-907.
Huang, G.C., K. Liano, dan M.S. Pan, 2007. Do stock split signal for future
profitability?. Review of Quantitative Finance and Accounting, 26: 347-367.
Hughes, P., 1986. Signaling by direct disclosure under asymmetric information.
Journal of Accounting and Economics, 8: 119-142
John, K. dan J. Williams, 1985. Dividends, dilution and taxes: A signaling
equilibrium. Jurnal of Finance, 40 (3): 1053-1070.
John, K., dan D. Nachman, 1985. Risky debt, investment incentives and reputation in
a sequential equilibrium. Journal of Finance, 40 (2): 863-878
Koh, F. dan T. Walter. 1989. A direct test of Rock’s model of the pricing of
unseasoned issues, Journal of Financial Economics, 23: 251-272.
Leland, H.E. dan D.H., Pyle, 1977. Informational asymmetries, financial structure,
and financial intermediation. Journal of Finance, 32 (2): 371-387.
Li, K., dan X. Zhao, 2008. Asymmetric information and dividend policy. Financial
Management, Winter 37: 673-694.
Logue, D.E. 1973. On the pricing of unseasoned equity offerings: 1965-1969. Journal
of Financial and Quantitative Analysis, 14 (1): 91-104.
Maksimovic, V. 1988. Capital structure and repeated oligopolies. RAND Journal of
Economics, 19: 489-507.

27
28

Maksimovic, V. dan J. Zechner, 1991. debt, agency costs, and industry equilibrium.
Journal of Finance, 46 (4): 1619-1644.
Masulis, R.W., 1980. The effects of capital structure changes on security prices: A
study of exchange offers. Journal of Financial Economics, 8: 139-178.
Megginson, W.R., 1996. Corporate Finance Theory, Addison Wesley Educational
Publisher, New York.
Michaely, R. dan W.H. Shaw, 1994. The pricing of initial public offerings: Tests of
adverse selection and signalling theories. Review of Financial Studies, 7 (2):
279-319.
Miller, M, dan F. Modigliani, 1961. Dividend policy, growth, and the valuation of
shares. Journal of Business, 34: 411-433.
Miller, M.H., dan K. Rock, 1985, Dividend policy under asymmetric information.
Journal of Finance, 40 (4): 1031–1051.
Myers, S.C., dan N.S., Majluf, 1984. Corporate financing and investment decisions
when firms have information that investors do not have. Journal of Financial
Economics, 13: 187-221.
Pearsons, J.C., 1994. Signaling and takeover deterrence with stock repurchases: Dutch
auctions versus fixed price tender offers. Journal of Finance, 49 (4): 1373-
1402.
Rock, K., 1986. Why new issues are underpriced. Journal of Financial Economics, 15
(1/2): 187-212.
Ross, S., 1977. The determination of financial structure: The incentive signaling
approach. Bell Journal of Economics, 8: 23-40.
Ross, S.A., 1979. The economics of information and the disclosure regulation debate,
dalam Edwards, F.R. (ed.). Issues in Financial Regulation, McGraw-Hill, New
York, hal. 177-202.
Rothschild, M. dan J.E. Stiglitz, 1976. Equilibrium in competitive insurance markets:
An essay on the economics of imperfect information. Quarterly Journal of
Economics, 90 (4): 629-649.
Smith, C.W., 1990. The Modern Theory of Corporate Finance, 2ed, McGraw Hill,
New York.
Smith, C.W., dan R.L. Watts, 1992. The investment opportunity set and corporate
financing, dividends, and compensation policy. Journal of Financial
Economics, 32: 263-292.
Spatt C dan S. Srivastava, 1991. Preplay communication, participation restrictions,
and efficiency in initial public offerings. Review of Financial Studies, 4: 709-
726.
Spence, M., 1973. Job market signaling. Quarterly Journal of Economics, 87: 355-
374

28
29

Welch, I., 1989. Seasoned offerings, imitation costs, and underpricing of initial public
offerings. Journal of Finance, 44 (2): 421-429.
Welch, I., 1992. Sequential sales, learning, and cascades. Journal of Finance, 47 (2):
695-732.
Williamson, S., 1994. Do informational frictions justify federal credit programs?.
Journal of Money, Credit and Banking, 26 (3): 523-554.

29

View publication stats

Вам также может понравиться