Вы находитесь на странице: 1из 11

A.

Definisi

Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena
adanya deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu bilirubin. Secara klinis, ikterus pada
neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih 5 mg/dL.

Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL.

Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya adalah fisiologis, kecuali:

 Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.


 Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan
>10 mg/dL.
 Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/24 jam.
 Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL.
 Ikterus menetap pada usia >2 minggu.
 Terdapat faktor risiko.

Efek toksik bilirubin ialah neurotoksik dan kerusakan sel secara umum. Bilirubin dapat
masuk ke jaringan otak. Ensefalopati bilirubin adalah terdapatnya tanda-tanda klinis
akibat deposit bilirubin dalam sel otak. Kelainan ini dapat terjadi dalam bentuk akut atau
kronik. Bentuk akut terdiri atas 3 tahap; tahap 1 (1-2 hari pertama): refleks isap lemah,
hipotonia, kejang; tahap 2 (pertengahan minggu pertama): tangis melengking, hipertonia,
epistotonus; tahap 3 (setelah minggu pertama): hipertoni. Bentuk kronik: pada tahun
pertama: hipotoni, motorik terlambat. Sedang setelah tahun pertama didapati gangguan
gerakan, kehilangan pendengaran sensorial.

B. Epidemiologi

Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65% mengalami
ikterus. Sensus yang dilakukan pemerintah Malaysia pada tahun 1998 menemukan sekitar
75% bayi baru lahir mengalami ikterus pada minggu pertama.

Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan.
Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan
Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada
bayi baru lahir sebesar 58%  untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan
kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito
melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5
mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada
hari 0, 3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan
hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi
kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56%
bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus
yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia.
Data yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens
ikterus pada tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus
fisiologis dan sisanya ikterus patologis. Angka kematian  terkait hiperbilirubinemia
sebesar 13,1%. Didapatkan juga data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar
12,0% dan bayi kurang bulan 22,8%.

Insidens ikterus neonatorum di RS Dr. Soetomo Surabaya  sebesar 30% pada tahun 2000
dan 13% pada tahun 2002. Perbedaan angka yang cukup besar ini mungkin disebabkan
oleh cara pengukuran yang berbeda. Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo ikterus dinilai
berdasarkan kadar bilirubin serum total > 5 mg/dL; RS Dr. Sardjito menggunakan metode
spektrofotometrik pada hari ke-0, 3 dan 5 ;dan RS Dr. Kariadi menilai ikterus berdasarkan
metode visual.

C. Etiologi dan Faktor Risiko

1. Etiologi

Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena:

 Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan
berumur lebih pendek.
 Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil
transferase, UDPG/T dan ligand dalam protein belum adekuat) -> penurunan
ambilan bilirubin oleh hepatosit dan konjugasi.
 Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya enzim ->
glukuronidase di usus dan belum ada nutrien.

Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus nonfisiologis) dapat disebabkan oleh
faktor/keadaan:

 Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi


G6PD, sferositosis herediter dan pengaruh obat.
 Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin.
 Polisitemia.
 Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir.
 Ibu diabetes.
 Asidosis.
 Hipoksia/asfiksia.
 Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi
enterohepatik.

2. Faktor Risiko
Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:

a.    Faktor Maternal

 Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani)


 Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
 Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.
 ASI

b.    Faktor Perinatal

 Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)


 Infeksi (bakteri, virus, protozoa)

c.    Faktor Neonatus

 Prematuritas
 Faktor genetik
 Polisitemia
 Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
 Rendahnya asupan ASI
 Hipoglikemia
 Hipoalbuminemia

D. Patofisiologi

Bilirubin pada neonatus meningkat akibat terjadinya pemecahan eritrosit. Bilirubin mulai
meningkat secara normal setelah 24 jam, dan puncaknya pada hari ke 3-5. Setelah itu
perlahan-lahan akan menurun mendekati nilai normal dalam beberapa minggu.

1. Ikterus fisiologis

Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin serum,


namun kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya dipertimbangkan sebagai ikterus
fisiologis. Pola ikterus fisiologis pada bayi baru lahir sebagai berikut: kadar bilirubin
serum total biasanya mencapai puncak pada hari ke 3-5 kehidupan dengan kadar 5-6
mg/dL, kemudian menurun kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat
muncul peningkatan kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonyugasi < 2
mg/dL.

Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktor-faktor lain.
Sebagai contoh, bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum yang lebih
tinggi pada hari ke-6 kehidupan dan berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa
minggu. Bayi ras Cina cenderung untuk memiliki kadar puncak bilirubin maksimum pada
hari ke-4 dan 5 setelah lahir. Faktor yang berperan pada munculnya ikterus fisiologis pada
bayi baru lahir meliputi peningkatan bilirubin karena polisitemia relatif, pemendekan
masa hidup eritrosit (pada bayi 80 hari dibandingkan dewasa 120 hari), proses ambilan
dan konyugasi di hepar yang belum matur dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.

Gambar berikut menunjukan metabolisme pemecahan hemoglobin dan pembentukan


bilirubin.

2. Ikterus pada bayi mendapat ASI (Breast milk jaundice)

Pada sebagian bayi yang mendapat ASI eksklusif, dapat terjadi ikterus yang yang
berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor tertentu dalam ASI yang
diduga meningkatkan absorbsi bilirubin di usus halus. Bila tidak ditemukan faktor risiko
lain, ibu tidak perlu khawatir, ASI tidak perlu dihentikan dan frekuensi ditambah.  

Apabila keadaan umum bayi baik, aktif, minum kuat, tidak ada tata laksana khusus
meskipun ada peningkatan kadar bilirubin.

E. Penegakan Diagnosis

1. Visual

Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat digunakan
apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus kulit berwarna,
karena besarnya bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan metode visual tidak
direkomendasikan, namun apabila terdapat keterbatasan alat masih boleh digunakan untuk
tujuan skrining dan bayi dengan skrining positif segera dirujuk untuk diagnostik dan tata
laksana lebih lanjut.
WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai
berikut:

 Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan
cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan
pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.
 Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah
kulit dan jaringan subkutan.
 Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak
kuning. (tabel 1)

2. Bilirubin Serum

Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus


neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang
perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan
ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan  morbiditas neonatus.
Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total. Sampel serum harus dilindungi dari
cahaya (dengan aluminium foil)

Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total > 20
mg/dL atau usia bayi > 2 minggu.     

3. Bilirubinometer Transkutan

Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja dengan prinsip


memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya dengan panjang gelombang 450 nm.
Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi warna kulit neonatus yang sedang
diperiksa.

Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat dipengaruhi
pigmen kulit. Saat ini, alat yang dipakai menggunakan multiwavelength spectral
reflectance yang tidak terpengaruh pigmen. Pemeriksaan bilirubin transkutan dilakukan
untuk tujuan skrining, bukan untuk diagnosis.

Briscoe dkk. (2002) melakukan sebuah studi observasional prospektif untuk mengetahui
akurasi pemeriksaan bilirubin transkutan (JM 102) dibandingkan dengan pemeriksaan
bilirubin serum (metode standar diazo). Penelitian ini dilakukan di Inggris, melibatkan
303 bayi baru lahir dengan usia gestasi >34 minggu. Pada penelitian ini
hiperbilirubinemia dibatasi pada konsentrasi bilirubin serum >14.4 mg/dL (249 umol/l).
Dari penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan TcB dan Total Serum Bilirubin (TSB)
memiliki korelasi yang bermakna (n=303, r=0.76, p<0.0001), namun interval prediksi
cukup besar, sehingga TcB tidak dapat digunakan untuk mengukur TSB. Namun
disebutkan pula bahwa hasil pemeriksaan TcB dapat digunakan untuk menentukan perlu
tidaknya dilakukan pemeriksaan TSB.

Umumnya pemeriksaan TcB dilakukan sebelum bayi pulang untuk tujuan skrining. Hasil
analisis biaya yang dilakukan oleh Suresh dkk. (2004) menyatakan bahwa pemeriksaan
bilirubin serum ataupun transkutan secara rutin sebagai tindakan skrining sebelum bayi
dipulangkan tidak efektif dari segi biaya dalam mencegah terjadinya ensefalopati
hiperbilirubin.

4. Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO

Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal ini menerangkan
mengapa ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum yang
rendah.

Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin bebas. Salah
satunya dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini berdasarkan kecepatan
reaksi oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin. Bilirubin menjadi substansi tidak berwarna.
Dengan pendekatan bilirubin bebas, tata laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah.

Seperti telah diketahui bahwa pada pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan gas CO
dalam jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran konsentrasi CO
yang dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan sebagai indeks produksi bilirubin.

Tabel 1. Perkiraan Klinis Tingkat Keparahan Ikterus


Usia  Kuning terlihat pada  Tingkat keparahan ikterus 
Hari 1 Bagian tubuh manapun Berat

Hari 2 Tengan dan tungkai *  

Hari 3 Tangan dan kaki  

* Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat pada
lengan, tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai ikterus
sangat berat dan memerlukan terapi sinar  secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil
pemeriksaan kadar bilirubin serum untuk memulai terapi sinar.

F. Tata laksana

1. Ikterus Fisiologis

Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi sehat, aktif,
minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan terjadinya
kernikterus sangat kecil. Untuk mengatasi ikterus pada bayi yang sehat, dapat dilakukan
beberapa cara berikut:

 Minum ASI dini dan sering


 Terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO
 Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan kontrol
lebih cepat (terutama bila tampak kuning).

Bilirubin serum total 24 jam pertama > 4,5 mg/dL dapat digunakan sebagai faktor prediksi
hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu pertama kehidupannya. Hal
ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis dan membutuhkan biaya
yang cukup besar.

Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum (WHO)

 Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat.


 Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat lahir < 2,5 kg, lahir
sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis
 Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan
golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs:

 Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan
terapi sinar.
 Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi
sinar, lakukan terapi sinar
 Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan penyebab
hemolisis atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring
G6PD bila memungkinkan.

 Tentukan diagnosis banding

2. Tata laksana Hiperbilirubinemia

Hemolitik

Paling sering disebabkan oleh inkompatibilitas faktor Rhesus atau golongan darah ABO
antara bayi dan ibu atau adanya defisiensi G6PD pada bayi. Tata laksana untuk keadaan
ini berlaku untuk semua ikterus hemolitik, apapun penyebabnya.

 Bila nilai bilirubin serum memenuhi kriteria untuk dilakukannya terapi sinar,
lakukan terapi sinar.
 Bila rujukan untuk dilakukan transfusi tukar memungkinkan:

 Bila bilirubin serum mendekati nilai dibutuhkannya transfusi tukar, kadar


hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit < 40%) dan tes Coombs positif, segera rujuk
bayi.
 Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa dan tidak memungkinkan untuk dilakukan
tes Coombs, segera rujuk bayi bila ikterus telah terlihat sejak hari 1 dan
hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit < 40%).
 Bila bayi dirujuk untuk transfusi tukar:

 Persiapkan transfer.
 Segera kirim bayi ke rumah sakit tersier atau senter dengan fasilitas transfusi
tukar.
 Kirim contoh darah ibu dan bayi.
 Jelaskan kepada ibu tentang penyebab bayi menjadi kuning, mengapa perlu
dirujuk dan terapi apa yang akan diterima bayi.

 Nasihati ibu:

 Bila penyebab ikterus adalah inkompatibilitas Rhesus, pastikan ibu mendapatkan


informasi yang cukup mengenai hal ini karena berhubungan dengan kehamilan
berikutnya.
 Bila bayi memiliki defisiensi G6PD, informasikan kepada ibu untuk menghindari
zat-zat tertentu untuk mencegah terjadinya hemolisis pada bayi (contoh: obat
antimalaria, obat-obatan golongan sulfa, aspirin, kamfer/mothballs, favabeans).
 Bila hemoglobin < 10 g/dL (hematokrit < 30%), berikan transfusi darah.
 Bila ikterus menetap selama 2 minggu atau lebih pada bayi cukup bulan atau 3
minggu lebih lama pada bayi kecil (berat lahir < 2,5 kg atau lahir sebelum
kehamilan 37 minggu), terapi sebagai ikterus berkepanjangan (prolonged
jaundice).
 Follow up setelah kepulangan, periksa kadar hemoglobin setiap minggu selama 4
minggu. Bila hemoglobin < 8 g/dL (hematokrit < 24%), berikan transfusi darah.

Ikterus Berkepanjangan (Prolonged Jaundice)

 Diagnosis ditegakkan apabila ikterus menetap hingga 2 minggu pada neonatus


cukup bulan, dan 3 minggu pada neonatus kurang bulan.
 Terapi sinar  dihentikan, dan lakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari
penyebab.
 Bila buang air besar bayi pucat atau urin berwarna gelap, persiapkan kepindahan
bayi dan rujuk ke rumah sakit tersier atau senter khusus untuk evaluasi lebih
lanjut, bila memungkinkan.
 Bila tes sifilis pada ibu positif, terapi sebagai sifilis kongenital.

Mengenai penatalaksanaan dengan terapi sinar dan transfusi tukar selengkapnya dimuat
terpisah.
G. Efek Hiperbilirubinemia

Perhatian utama pada hiperbilirubinemia adalah potensinya dalam menimbulkan


kerusakan sel-sel saraf, meskipun kerusakan sel-sel tubuh lainnya juga dapat terjadi.
Bilirubin dapat menghambat enzim-enzim mitokondria serta  mengganggu sintesis DNA. 
Bilirubin juga dapat menghambat sinyal neuroeksitatori dan konduksi saraf (terutama
pada nervus auditorius) sehingga menimbulkan gejala sisa berupa tuli saraf.

Kerusakan jaringan otak yang terjadi seringkali tidak sebanding dengan konsentrasi
bilirubin serum. Hal ini disebabkan kerusakan jaringan otak yang terjadi ditentukan oleh
konsentrasi dan lama paparan bilirubin terhadap jaringan.  

Ensefalopati bilirubin

Ikterus neonatorum yang berat dan tidak ditata laksana dengan benar dapat menimbulkan
komplikasi ensefalopati bilirubin. Hal ini terjadi akibat terikatnya asam bilirubin bebas
dengan lipid dinding sel neuron di ganglia basal, batang otak dan serebelum yang
menyebabkan kematian sel. Pada bayi dengan sepsis, hipoksia dan asfiksia bisa
menyebabkan kerusakan pada sawar darah otak. Dengan adanya ikterus, bilirubin yang
terikat ke albumin plasma bisa masuk ke dalam cairan ekstraselular. Sejauh ini hubungan
antara peningkatan kadar bilirubin serum dengan ensefalopati bilirubin telah diketahui.
Tetapi belum ada studi yang mendapatkan nilai spesifik bilirubin total serum pada bayi
cukup bulan dengan hiperbilirubinemia non hemolitik yang dapat mengakibatkan
terjadinya gangguan pada kecerdasan atau kerusakan neurologik yang disebabkannya.

Faktor yang mempengaruhi toksisitas bilirubin pada sel otak bayi baru lahir sangat
kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti. Faktor tersebut antara lain: konsentrasi
albumin serum, ikatan albumin dengan bilirubin, penetrasi albumin ke dalam otak, dan
kerawanan sel otak menghadapi efek toksik bilirubin. Bagaimanapun juga, keadaan ini
adalah peristiwa yang tidak biasa ditemukan sekalipun pada bayi prematur dan kadar
albumin serum yang sebelumnya diperkirakan dapat menempatkan bayi prematur berisiko
untuk terkena ensefalopati bilirubin.   

Bayi yang selamat setelah mengalami ensefalopati bilirubin akan mengalami kerusakan
otak permanen dengan manifestasi berupa serebral palsy, epilepsi dan keterbelakangan
mental atau hanya cacat minor seperti gangguan belajar dan perceptual motor disorder.

H. Pencegahan

Perlu dilakukan terutama bila terdapat faktor risiko seperti riwayat inkompatibilitas ABO
sebelumnya. AAP dalam rekomendasinya mengemukakan beberapa langkah pencegahan
hiperbilirubinemia sebagai berikut:
1. Primer

AAP merekomendasikan pemberian ASI pada semua bayi cukup bulan dan hampir cukup
bulan yang sehat. Dokter dan paramedis harus memotivasi ibu untuk menyusukan bayinya
sedikitnya 8-12 kali sehari selama beberapa hari pertama.

Rendahnya asupan kalori dan atau keadaan dehidrasi berhubungan dengan proses
menyusui dan dapat menimbulkan ikterus neonatorum. Meningkatkan frekuensi menyusui
dapat menurunkan kecenderungan keadaan hiperbilirubinemia yang berat pada neonatus.
Lingkungan yang kondusif bagi ibu akan menjamin terjadinya proses menyusui yang
baik.

AAP juga melarang pemberian cairan tambahan (air, susu botol maupun dekstrosa) pada
neonatus nondehidrasi. Pemberian cairan tambahan tidak dapat mencegah terjadinya
ikterus neonatorum maupun menurunkan kadar bilirubin serum.

2. Sekunder

Dokter harus melakukan pemeriksaan sistematik pada neonatus yang memiliki risiko
tinggi ikterus neonatorum.

Pemeriksaan Golongan Darah

Semua wanita hamil harus menjalani pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus serta
menjalani skrining antibodi isoimun. Bila ibu belum pernah menjalani pemeriksaan
golongan darah selama kehamilannya, sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
golongan darah dan Rhesus. Apabila golongan darah ibu adalah O dengan Rh-positif,
perlu dilakukan pemeriksaan darah tali pusat. Jika darah bayi bukan O, dapat dilakukan
tes Coombs.

Penilaian Klinis

Dokter harus memastikan bahwa semua neonatus dimonitor secara berkala untuk
mengawasi terjadinya ikterus. Ruang perawatan sebaiknya memiliki prosedur standar tata
laksana ikterus. Ikterus harus dinilai sekurang-kurangnya setiap 8 jam bersamaan dengan
pemeriksaan tanda-tanda vital lain.

Pada bayi baru lahir, ikterus dapat dinilai dengan menekan kulit bayi  sehingga
memperlihatkan warna kulit dan subkutan. Penilaian ini harus dilakukan dalam ruangan
yang cukup terang, paling baik menggunakan sinar matahari. Penilaian ini sangat kasar,
umumnya hanya berlaku pada bayi kulit putih dan memiliki angka kesalahan yang tinggi.
Ikterus pada awalnya muncul di bagian wajah, kemudian akan menjalar ke kaudal dan
ekstrimitas.
Referensi:
1.     Health Technology Assessment Unit Medical Development Division Ministry of
Health Malaysia, 2002. Management of neonatal hyperbilirubinemia.
2.     Masukan berdasarkan hasil rapat tim ahli HTA Indonesia.
3.     Dennery PA, Seidman DS, Stevenson DK. Neonatal hyperbilirubinemia. N Engl J
Med 2001;344:581-90.
4.     Suradi R, Situmeang EH, Tambunan T. The association of neonatal jaundice and
breast-feeding. Paedatr Indones 2001;41:69-75.
5.     Laporan RS Dr. Sardjito Yogyakarta.
6.     Laporan RS Dr. Kariadi Semarang.
7.     Managing newborn problems:a guide for doctors, nurses, and midwives.
Departement of Reproductive Health and Research, World Health Organization, Geneva
2003.
8.     Briscoe L, Clark S. Yoxall CW. Can transcutaneous bilirubinometry reduce the need
for blood tests in jaundiced full term babies? Arch Dis Child Fetal Neonatal
2002;86:F190-2.
9.     Suresh GK, Clark RE. Cost-effectiveness of strategies that are intended to prevent
kernicterus in newborn infants. Pediatrics 2004;114:917-24.
10.     Surjono A. Hiperbilirubinemia pada neonatus:pendekatan kadar bilirubin bebas.
Berkala Ilmu Kedokteran 1995;27:43-6.
11.     Martin CR, Cloherty JP.  Neonatal Hyperbilirubinemia.  In: Cloherty JP,
Eichenwald EC, Stark AR, editors.  Manual of Neonatal Care, 5th edition.  Philadelphia,
Lippincott Williams and Wilkins;2004,185-222.
12.     Masukan Dr. Ali Usman, SpA(K)
13.     American Academy of Pediatrics. Clinical Practice Guideline. Management of
hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation.  Pediatrics
2004;114:297-316.

Вам также может понравиться